pelanggaran HAM 2

Rabu, 16 Agustus 2023

pelanggaran HAM 2


AO terdapat luka tembak masuk (LTM) pada bagian 
dada sisi kiri. Menurut saksi yang melihat jenazah di RS 
Polri sebagaimana disampaikan pada TP3 dan sesuai 
dengan yang disiarkan oleh Najwa Shihab dalam acara 
Mata Najwa bulan Desember tahun lalu, ilustrasinya 
adalah sebagai berikut: 
AO (33) FAS (22)
Tiga titik merah di dada 
kiri, Luka Tembak Masuk. 
Bengkak dan lebam 
bagian pipi kiri, kulit bagian 
punggung melepuh, lecet di 
bagian kepala sekitar 5cm, 
kulit bagian pantat melepuh. 
Dua titik merah di dada kiri, 
Luka Tembak Masuk. Lebam 
di bagian kening. Jahitan di 
bagian leher. Luka Tembak 
di paha kanan. Luka tembak 
di tangan kiri
Menurut para saksi yang melihat jenazah, sebagai￾mana disampaikan kepada TP3, luka tembak tersebut
tegak lurus dan dari jarak dekat. Ada pun yang menjadi 
pertanyaan adalah apakah penembakan hingga mati 
terhadap AO dan FAS ketika mereka sedang melaju di 
mobil Chevrolet Spin bisa menghasilkan luka tembak 
masuk sebagaimana hasil autopsi atau ilustrasi di atas? 
Sepanjang laporan Komnas HAM, TP 3 tidak melihat 
ada pembuktian forensik seperti itu.
33. Di halaman 48 Komnas HAM melaporkan cerita 
pembunuhan terhadap LH (22), MR (20) AS (26) dan 
SKP (21) oleh Ipda EZ dan Briptu FR. Pada halaman 49 
terdapat tabel (2) yang memberi ilustrasi posisi duduk 
mereka di dalam mobil Xenia B 1519 UTI. Sebagaimana 
dinarasikan kembali oleh Komnas HAM, EZ membunuh 
LH dan AS, kemudian FR membunuh SKP dan MR. 
Pembunuhan ini dilakukan, katanya, karena MR 
mencekik FR dan LH berusaha merebut senjatanya FR. 
Sekali lagi, semua kejadian yang diceritakan di sini 
bersumber hanya dari pembunuh, jadi sebenarnya 
tidak ada saksi.
34. Untuk menguji kebenaran cerita sepihak tersebut, 
TP3 merekonstruksikan narasi Komnas HAM sebagai 
berikut:
Lokasi kejadian menurut narasumber Komnas HAM 
di KM 51 +200
35. Berdasarkan narasi yang disampaikan oleh Komnas 
HAM maka urutan penembakan adalah sebagai 
berikut;
1) Ipda EZ menembak LH hingga 4 x (empat kali)
2) Setelah selesai menembak LH kemudian Ipda EZ 
menembak AS hingga 2 (dua) kali
3) Setelah EZ selesai menembak LH dan AS, (atau 
bersamaan dengan itu), FR menembak SKP 3x (tiga 
kali)
4) Setelah selesai menembak SKP (3x), terakhir FR 
menembak MR hingga 2x (dua kali)
36. Banyak yang tidak masuk akal dengan cerita Komnas 
HAM pada halaman 43, sehingga pantas jika TP3 
berpendapat bahwa kejadian ini fiktif. Apa mungkin 
ketika EZ melepaskan tembakan yang pertama 
terhadap LH, laskar yang lain yaitu SKP,AS maupun MR 
diam saja, pasrah, menunggu giliran ditembak? Refleks 
manusiawi mendengar bunyi tembakan akan angkat 
tangan, tanda menyerah, apalagi diketahui dalam 
cerita ini mereka tidak bersenjata. Bukankah pada 
tembakan yang pertama sudah bisa melumpuhkan 
LH? Jika betul EZ adalah seorang polisi, maka tentu 
setelah penembakan pertama, EZ cukup menodongkan 
senjatanya saja untuk menghentikan yang katanya 
ada upaya perebutan senjata dan pencekikan serta 
penjambakan rambut. Mengapa LH harus ditembak 
hingga 4 kali. Setelah tembakan pertama oleh EZ pada 
LH dan tembakan pertama oleh FR pada SKP, tentu (jika 
memang betul terjadi upaya perampasan senjata atau 
pencekikan) semua itu sudah akan berhenti dan situasi 
akan berada dalam kendali pihak yang menguasai 
senjata api, sehingga tembakan-tembakan berikutnya 
merupakan tembakan yang berlebihan. Jika betul 
kejadiannya seperti itu, maka bisa dipastikan yang 
melakukan ini semua adalah bukan polisi namun suatu 
personil-personil dari satuan angkatan bersenjata yang 
terlatih untuk membunuh musuh di medan perang. 37. Jika cerita dari narasumber Komnas HAM dianggap 
betul, selama EZ melakukan tembakan kedua, ketiga 
dan keempat, apakah AS tetap di tempat duduknya 
tidak bereaksi sebelum dirinya ditembak dua kali oleh 
EZ? Pertanyaan yang sama berlaku untuk FR. Selama 
proses menembak SKP hingga 3 kali, apakah MR sama 
sekali juga tidak bereaksi sebelum akhirnya dirinya 
ditembak hingga 2 x? Apakah demikian protab polisi 
menghadapi warga sipil, yang tidak bersenjata, mereka 
juga masih tergolong sangat muda (umur 20, 22, dan 26 
tahun), yang tidak ada catatan kejahatan pada mereka 
dan juga sedang tidak melakukan kejahatan.
38. Sekarang marilah kita lihat secara khusus hasil autopsi 
berupa luka tembak masuk (LTM) pada dada sisi kiri 4 
(empat) laskar yaitu LH, AS, SKP dan MR; 
- pada LH terdapat 4 (empat) LTM
- pada AS terdapat 2 (dua) LTM 
- pada SKP terdapat 3 (tiga) LTM 
- dan pada MR terdapat 2 (dua) LTM
39. Dengan melihat skenario kejadian pada butir 34, maka 
kita bisa memastikan bahwa cerita kejadian pencekik￾an dan upaya perebutan senjata dibuat belakangan se￾telah melihat hasil autopsi berupa LTM pada jasad las￾kar. Cerita dibuat sedemikian agar sesuai (mencocoki) 
 dengan titik-titik LTM yang telah mereka ketahui ada 
pada jasad laskar. Kesimpulannya perihal ini adalah 
 bahwa semua cerita tersebut maupun pembu nuhan terhadap pengawal HRS ini adalah operasi penghi￾langan jejak oleh pembunuh dan tampaknya operasi 
penghilangan jejak ini dilakukan dengan cara bekerja 
sama dengan lebih dari satu instansi negara sehingga 
tampak suatu pola terstruktur mengikuti sistematika 
tertentu.
40. Jika Komnas HAM ingin mempercayai cerita dari 
narasumbernya, maka seharusnya menghadirkan ahli 
yang dapat membuktikan bahwa kejadian di KM 51 
+200 dengan ilustrasi sebagaimana kami sampaikan 
pada butir 34 dan 35 di atas, dapat menghasilkan luka￾luka sebagaimana yang kami ilustrasikan pada butir 
38. Tanpa bukti ini, maka harus dianggap bahwa cerita 
tersebut adalah fiktif dan merupakan cerita untuk 
menutupi dari kejadian sesungguhnya dan Komnas 
HAM terlibat juga dalam upaya penghilangan jejak ini.
41. Memang di halaman 97 dan seterusnya Komnas HAM 
mengakui bahwa kejadian di KM 50 ini merupakan 
unlawful killing namun hal ini tampak hanyalah 
merupakan “consololation” (langkah menghibur) bagi 
korban pembunuhan. Lebih dari itu dapat dikatakan 
sebagai langkah menghindar dari kewajibannya untuk 
melakukan penyelidikan atas dasar Undang-Undang 
No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sehingga 
merupakan langkah untuk melindungi dari pelaku dan 
perancang pelanggar HAM berat
42. Pada halaman 51 Komnas HAM melaporkan adanya 
barang bukti yang diserahkan oleh pihak PMJ kepada 
Komnas HAM . Antara lain yang diserahkan sebagai 
barang bukti ada 4 (empat) pucuk senjata api yang 
katanya digunakan oleh anggota Resmob Ditreskrimum 
PMJ, jenisnya HS 9, Sig Sauser dan CZ. Dalam keterangan 
sebelumnya pihak PMJ mengatakan (halaman 7) bahwa 
yang ditugaskan pada misi penguntitan ini ada dua 
mobil. Mobil pertama berisi (1) Faisal, (2) Yusni, (3) Elwira, 
(4) Fikri dan mobil kedua berisi (5) Adi dan (6) Toni. Jadi 
sedikitnya berdasarkan keterangan PMJ ada 6 anggota 
Resmob Ditreskrimum yang bertugas. Di halaman 
14, tentang penggunaan senjata api diterangkan 
bahwa setiap anggota dibekali dengan senpi dan 10 
(sepuluh) peluru tajam. Berarti sedikitnya harus ada 
6 (enam) senpi. Namun mengapa yang diserahkan 
sebagai barang bukti hanya 4 (empat) senpi? Tidak 
ada penjelasan mengapa 2 (dua) senpi yang lain tidak 
diserahkan sebagai barang bukti. 
43. Demikian juga tentang barang bukti yang lain, 
dilaporkan diserahkan “1 katapel dan kelereng sebanyak 
9 (sembilan) butir”, padahal dalam laporan polisi yang 
dibuat oleh Briptu Fikri Ramadhan menyatakan, 
melaporkan ada 10 kelereng yang ditemukan. Berikut 
ini adalah laporan polisi tersebut;
Mengenai jumlah selongsong peluru juga berbeda 
dengan jumlah yang terdapat pada laporan polisi. 
Semua ini membuktikan bahwa pihak PMJ yang 
mengaku melakukan pembunuhan sangat kesulitan 
untuk menegakkan fakta. Sehingga yang terkesan 
adalah pihak PMJ ini adalah pihak yang memang 
ditugaskan untuk melindungi atau menutupi kejadian 
yang sebenarnya.
44. Pada halaman 51 Komnas HAM melaporkan tentang 
uji DNA terhadap barang bukti. Pada pokoknya 
diceritakan bahwa pada barang bukti pedang dan pada 
trigger senjata api jenis revolver terdapat darah yang 
sama dengan darah yang ditemukan di mobil Chevrolet 
Spin. TP3 berpendapat bahwa upaya pembuktian 
model seperti ini adalah model pembuktian terarah 
dan tertutup. Terarah karena hanya mengarah pada 
hasil yang dikehendaki oleh yang menyerahkan barang 
bukti. Tertutup karena semua pihak yang terlibat dalam 
pengujian tidak bersedia membuka pikirannya (unopen 
minded) untuk adanya kemungkinan lain selain yang 
diarahkan itu.
Dalam kasus ini, pihak yang menyerahkan barang bukti 
meminta pada “penguji” untuk menguji barang bukti, 
apakah “darah” yang terdapat pada barang bukti pada 
“A” adalah identik dengan “darah” yang terdapat pada 
barang bukti pada “B”.
Hasil yang dikehendaki oleh yang menyerahkan barang 
bukti adalah kesimpulan bahwa barang bukti A adalah 
milik Mr.X1 dan Mr. X2. 
Kesimpulan seperti itu lemah karena absennya fakta￾fakta penting yang belum terbukti. Yaitu fakta bahwa 
barang bukti “A” adalah milik Mr. X1 dan Mr. X2 dan 
fakta bahwa Mr. X1 dan Mr.X2 pernah mengucurkan 
darahnya pada barang bukti “B”. Sebab sekali lagi, 
cerita tentang adanya fakta bahwa barang bukti “A” 
ditemukan pada barang bukti “B” dan Mr. X1 dan Mr . 
X2 mengucurkan darah ketika berada di dalam “barang 
bukti B”, adalah cerita sepihak yang berasal dari para 
pembunuh sendiri. 
Dalam pengujian DNA ini tentu saja si “penguji” akan 
mengatakan bahwa darah pada barang bukti “A” akan 
identik dengan “darah” pada barang bukti “B”, jika para 
pembunuh sengaja menempatkan darahnya Mr. X1 dan 
Mr. X2 pada barang bukti “A” dan pada barang bukti “B”
tanpa harus diketahui oleh “penguji DNA”. Dengan kata 
lain metode pembuktian ini menyesatkan dan lebih 
merupakan metode untuk memfitnah Mr. X1 dan/atau 
Mr. X2. 
45. Jika betul para pembunuh yang mengaku dari PMJ 
adalah yang melakukan pembunuhan terhadap para 
pengawal HRS karena “self defence”, dan jika betul 
mereka adalah polisi, maka tentu ketika menemukan 
barang-barang bukti berupa senjata tajam (sajam) 
dan senjata api (senpi), yang mereka lakukan tidak 
membawanya keluar dari TKP. Namun, yang akan 
mereka lakukan adalah mengamankan barang-barang 
bukti tersebut untuk tetap berada di TKP. Terutama jika 
diperlukan pernyataan bahwa barang-barang bukti 
tersebut milik korban. Hal ini untuk menghindari 
fitnah dan tuduhan rekayasa dan dalam rangka untuk 
membuktikan terjadinya “self defence”. Jadi, seharusnya 
tindakan yang dilakukan oleh mereka terhadap barang 
bukti, yang menurut mereka, ditemukan di TKP, adalah 
melakukan prosidur “sidik jari” . 
46. Jika betul para pengawal HRS tersebut pernah 
mengusai barang bukti sajam maupun senpi tentu 
akan meninggalkan sidik jari. Sebab, dalam kasus ini 
hanya dengan metode sidik jari saja dapat dipastikan 
benar tidaknya barang bukti tersebut milik atau 
pernah berada dalam kekuasaannya para pengawal 
HRS yang dibunuh. Absennya prosedur “sidik jari” ini 
makin menguatkan petunjuk bahwa pembunuhnya 
bukan polisi. Kenyataan bahwa PMJ dan kepolisian 
pada umumnya sibuk melakukan upaya untuk 
mengaku sebagai pelaku pembunuhan dalam rangka 
“self defence” makin memperkuat kesan bahwa mereka 
bekerja dalam tekanan. Yaitu tekanan dari perancang 
pembunuhan yang sebenarnya . Jika ada pihak yang
mampu menekan kepolisian RI, maka pihak ini sudah 
tentu pihak yang mempunyai kekuatan bersenjata dan 
kekuasaan politik negara. Dengan kata lain, apa yang 
dilakukan oleh kepolisian sejak kejadian hingga hari ini, 
dengan menjadikan beberapa polisi menjadi tersangka 
“unlawful killing” tidak lain hanya merupakan bagian dari 
“operation Cover-Up” yang dilakukan secara sistematis. 
Sebab kenyataannya tidak ada dari para tersangka polisi 
yang ditetapkan tersebut ditahan sehingga kuat kesan 
bahwa polisi tidak sungguh-sungguh dalam menetap 
tersangka mengingat tersangka pelanggaran prokes 
kesehatan saja dicari-carikan pasal untuk ditahan dan 
akhirnya ditahan. 
BERBAGAI PENILAIAN TENTANG LAPORAN KOMNAS 
HAM 
1. TP3 menjumpai fakta tentang tidak tuntasnya Komnas 
HAM dalam melaksanakan mandat Pasal 89 ayat (3) UU 
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM secara kualitatif dan 
atau masih dalam kategori Pemantauan sebagaimana 
terbukti dari isi Rekomendasi yang disampaikan oleh 
Komnas HAM sebagai berikut:
a. Peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI 
merupakan kategori dari pelanggaran HAM. Oleh 
karenanya, Komnas HAM merekomendasikan kasus 
ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan
mekanisme pengadilan Pidana guna mendapatkan 
kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan 
keadilan.
b. Mendalami dan melakukan penegakan hukum 
terhadap orang-orang yang terdapat di dalam dua 
mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 
1278 KJD.
c. Mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang 
diduga digunakan oleh laskar FPI.
d. Meminta proses penegakan hukum, akuntabel, 
objektif, dan transparan sesuai dengan standar Hak 
Asasi Manusia.
2. Dalam rekomendasi itu (di bagian akhir) Komnas 
HAM menyatakan bahwa laporan penyelidikan—yang 
disusun oleh Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas 
HAM dan disiarkan di Jakarta, 8 Januari 2021—itu akan 
disampaikan kepada Presiden dan Menkopolhukam. 
Dalam hal ini, Komnas HAM RI berharap—sekali lagi 
“berharap”—agar pengungkapan peristiwa kematian 6 
(enam) Laskar FPI dapat dilakukan secara transparan, 
obyektif, profesional, dan kredibel. 
3. Komnas HAM belum melaksanakan mandatnya sesuai 
Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang 
terbukti dari pernyataan butir keempat REKOMENDASI 
Komnas HAM yang menyebutkan: Meminta Proses Penegakan Hukum, Akuntabel, Objektif, dan Transparan 
sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia. Atau relevan 
dengan fakta butir kedua REKOMENDASI Komnas HAM 
yang berbunyi: Mendalami dan Melakukan Penegakan 
Hukum Terhadap Orang-orang yang Terdapat Dalam 
Dua Mobil Avanza Hitam N 1739 PWQ dan Avanza 
silver B 1278 KJD. Selain itu, juga relevan dengan butir 
kedua POKOK PERISTIWA yang dinyatakan Komnas 
HAM bahwa “Terdapat pengintaian dan pembuntutan 
di luar petugas kepolisian. (Penggunaan narasi 
“Meminta”, “Mendalami”, dan “Melakukan Penegakan 
Hukum” merupakan bukti bahwa Komnas HAM belum 
melakukan “penyelidikan kualitatif” sebagaimana 
amanat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang 
HAM, sehingga “menyerahkan” fungsi dan tugasnya 
kepada pihak lain di luar Komnas HAM).
4. Tidak tuntasnya pemeriksaan dan penyelidikan 
Komnas HAM sebagai bagian dari fungsi Pemantauan 
sebagaimana dimaksud Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 
1999 disebabkan dua hal. Pertama, untuk pemanggilan 
pihak terkait untuk memberikan keterangan tertulis 
dan meminta dokumen sesuai aslinya seharusnya 
dengan persetujuan Ketua Pengadilan (vide Pasal 89 
ayat (3) butir f dan g). Kedua, keliru Komnas HAM dalam 
proses penyelidikan dan pemeriksaan mengambil dasar 
hukum UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM semestinya mendasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM. Dengan demikian penyelidikan 
yang dilakukan Komnas HAM bukan merupakan 
penyelidikan yang bersifat “Pro-Justisia” karena 
memang sekedar “Pemantauan”.
5. Pendapat Komnas HAM (halaman 103) bahwa kasus 
 tewasnya 4 (empat) orang Laskar FPI merupakan kate￾gori pelanggaran HAM dan merekomendasikan meka￾nisme pengadilan Pidana, merupakan langkah kompro￾mistis Komnas HAM. Di satu pihak ingin memperoleh 
citra bahwa Komnas HAM telah melaksanakan tugas￾nya namun di pihak lain sebenarnya langkah untuk 
menghindar dari kewajibannya melakukan penyelidi￾kan berdasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang HAM.
KOMNAS HAM MENGABAIKAN ATAU KURANG MEN￾DALAMI BARANG BUKTI DARI FPI
1. Bahwa tidak tuntasnya Komnas HAM melaksanakan 
mandat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang 
HAM dan atau tidak melakukan penyelidikan dan atau 
bahkan Komnas HAM belum mengungkapkan peristiwa 
kematian 6 (enam) Laskar FPI secara transparan, proses 
keadilan yang profesional, dan kredibel, terbukti dari 
tidak dilakukannya pemeriksaan dan penyelidikan 
secara seksama atau pendalaman secara benar dan baik 
yang melibatkan para ahli yang kompeten terhadap
semua barang bukti yang sudah disampaikan oleh pihak 
FPI dan keluarga korban yang antara lain berupa; (1) 
Voice note sejumlah 105 percakapan, (2) R e k a m a n 
pembicaraan, (3) Foto mobil yang dicurigai, (4) J e j a k 
digital untuk lini masa digital, (5) Foto kondisi jenazah 
yang diterima keluarga sebanyak 32 lembar, (6) Foto￾foto terkait peristiwa penangkapan agen BIN tanggal 4 
Desember 2020. (7) Pandangan hukum atas peristiwa
2. Jika Komnas HAM mendalami bukti-bukti baik 
dokumen maupun keterangan dari FPI maka akan 
ditemukan sistematiknya peristiwa pembunuhan dan 
penyiksaan enam pengawal HRS. Hal ini menjadi alasan 
bahwa pembunuhan tersebut adalah pelanggaran HAM 
berat yang harus diproses melalui Pengadilan HAM.
3. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 
HAM menyatakan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan 
sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu 
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan 
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa 
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap 
penduduk sipil, berupa a. pembunuhan.....f. penyiksaan..”
4. Bahwa dari bukti foto jenazah dan keterangan pihak 
yang turut memandikan jenazah, maka fakta yang 
terjadi adalah bahwa keenam pengawal HRS diduga 
kuat mengalami penyiksaan sebelum ditembak mati. 
Tentu membutuhkan tempat tertentu untuk melakukan 
penyiksaan yang kecil kemungkinan dilakukan di mobil 
Avanza B. 1519 UTI atau mobil lainnya. Sayangnya, 
Komnas HAM tidak mengungkap tempat tersebut, 
bahkan mengesampingkan terjadinya penyiksaan. 
Mabes Polri sendiri dalam rilisnya telah menyatakan 
bahwa calon tersangka anggota Polri Metro Jaya (PMJ) 
selain akan dikenakan ketentuan Pasal 338 KUHP 
tentang pembunuhan, juga Pasal 351 ayat (3) yaitu 
penganiayaan yang menyebabkan kematian. 
5. Bahwa pembunuhan ini dilakukan secara sistematik 
tergambar dalam uraian Bab II buku ini dengan 
penegasan:
Pertama, pembunuhan dan penyiksaan adalah 
bagian dari serangan sistematik yang terjadi sejak 
pembuntutan dan penguntitan terhadap HRS tanggal 
4 Desember 29020 di Mega Mendung. Diawali dengan 
terdeteksi pengawasan menggunakan drone oleh agen 
Intelijen yang terbongkar oleh laskar FPI. Pembuntutan 
masif berlanjut hingga operasi pengejaran pada tanggal 
6 Desember 2020 yang berujung pada penyiksaan dan 
pembunuhan.
Kedua, pembunuhan ini bagian dari operasi 
pembunuhan politik yang bukan semata kerja aparat 
Kepolisian. Dimulai dari penurunan spanduk dan baliho 
oleh sekitar 500 personil pasukan TNI atas perintah 
Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman tanggal 20 November 2020. Dilanjutkan dengan teror 
konvoi kendaraan tempur Koopsus ke dekat Markas FPI 
Jln Petamburan oleh pasukan elite gabungan Angkatan 
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Ketiga, Pembunuhan dan penyiksaan ini menjadi 
bagian dari serangan sistematik sehubungan dengan 
kepulangan HRS ke tanah air, bahkan jauh sebelum 
kepulangan yakni gangguan selama di Saudi Arabia. 
Kemudian mencari kesalahan untuk dicocok-cocokkan 
dengan ketentuan hukum yang berlaku atas acara 
pernikahan di Petamburan dan pengajian maulid Nabi 
di Mega Mendung. Proses peradilan HRS dan pimpinan 
FPI lainnya kini adalah bukti dari operasi pemerintah 
untuk menekan dan melumpuhkan lawan politik.
KOMNAS HAM TIDAK OPTIMAL MENGGALI DATA
1. Komnas HAM baru melakukan Pemantauan belum 
melakukan penyelidikan “pro justisia” dan atau bahkan 
Komnas HAM belum optimal menggali data peristiwa 
kematian 6 (enam) laskar dengan fakta sebagai berikut:
2. Komnas HAM terbukti lebih banyak meminta dan atau 
menerima barang bukti resmi dari Kepolisian antara 
lain berupa:
a. Sejumlah powerpoint (PPT) yang menjelaskan 
peristiwa (Inafis, Labfor, Kedokteran, Siber) disertai 
dengan foto
b. Voice note yang diperoleh dari HP (handphone) korban 
sejumlah 172 rekaman dan 191 transkripnya.
3. Dalam hal ini, Komnas HAM tidak mencari data 
kebenaran dengan meminta rekaman Voice note HP 
(Handpohone) atau bukti percakapan atau bukti texting
dari para pembuntut yang menurut PMJ adalah anggota 
Kepolisian. Sebab komunikasi para penguntit ini (kalau 
betul mereka anggota Kepolisian) baik dengan sesama 
pembuntut maupun dengan atasan pasti terdapat jejak 
di perangkat komunikasi mereka. Justru merupakan 
kepentingan mereka untuk bisa diperlihatkan 
kepada publik maupun Komnas HAM sebagai bentuk 
transparansi dan sebagai bentuk pertanggungan jawab 
atas alasan bahwa mereka membunuh karena “self 
defence”. Tidak adil atau diskriminatif jika Komnas HAM 
hanya membuka voice note anggota laskar, sementara 
para penguntit/pembuntut yang katanya Polisi tidak. 
Yang terkesan di sini sikap melindungi pihak penguntit 
untuk diketahui identitasnya yang sebenarnya atau 
karena ditekan oleh instansi negara yang berada 
dibalik pihak penguntit untuk hanya fokus pada laskar 
dan memalingkan muka dari penyelidikan ke arah 
penguntit. 
4. Demikian juga dengan jejak rekam digital lini masa dan 
atau CCTV dari semua aparat yang katanya kepolisian 
dan atau warga sipil di lingkungan instansi kepolisian 
yang terlibat dan atau diduga mengetahui peristiwa 
pembunuhan enam Laskar FPI. Misal, Komnas HAM 
tidak menyelidiki barang bukti CCTV salah satu warung 
di TKP KM 50 yang disita dan atau diganti oleh petugas 
kepolisian.
5. Demikian halnya, Komnas HAM hanya meminta 
dan atau menerima barang bukti dan atau sekadar 
memantau dari pihak Jasa Marga berupa:
a. video rekaman situasi jalan tol dan pintu gerbang 
keluar masuk yang terkait peristiwa berjumlah 
9.942,
b. Screen capture dari smart CCTV Speed-Counting/Speed￾cam sejumlah 137.548 foto; tetapi Komnas HAM tidak 
meminta dan menyelidiki secara profesional dan 
kredibel semua rekaman Voice note HP (Handphone) 
dari semua karyawan Jasa Marga yang terlibat dan 
atau diduga mengetahui peristiwa pembunuhan 
enam Laskar FPI.
6. Data penting yang diabaikan oleh Komnas Ham adalah 
tidak menggali keberadaan mobil Land Cruiser yang 
tiba di KM 50. Mereka adalah komandan lapangan yang 
terlihat memberikan perintah dan komando, bahkan 
memimpin selebrasi keberhasilan. Benarkah Komnas 
HAM hanya mengetahui sebatas penumpang di mobil 
Land Cruiser tersebut adalah AKP WI dan Ipda R? adakah
petinggi Polri atau instansi lain berada di Land Cruiser 
tersebut? Mengapa nopol mobil tersebut tidak terekam? 
Demikian juga keberadaan mobil Avanza hitam B 1739 
PWQ dan Avanza B 1278 KJD yang tidak diakui sebagai 
mobil pembuntut dari Kepolisian. Kedua mobil ini 
membuntuti sejak perumahan Sentul hingga KM 50 
tempat Kejadian Perkara. Bahkan dugaan kuat personil 
di kedua mobil ini yang menembak dua anggota Laskar. 
Karenanya Komnas HAM merekomendasikan agar 
“melakukan penegakkan hukum terhadap orang-orang 
yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B 1739 
PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD”. Seharusnya Komnas 
HAM berupaya meminta keterangan kepada saksi-saksi 
atau langsung kepada penumpang kedua mobil yang 
terlibat kejahatan tersebut. Melalui Kepolisian mudah 
untuk mendapatkan data kepemilikan mobil di atas.
7. Komnas HAM hanya tertarik pada potongan informasi 
yang dapat digunakan untuk menyudutkan para 
pengawal HRS, tanpa bersedia memahami keseluruhan 
konteksnya. Misalnya, di halaman 33 dari laporan 
Komnas HAM, terdapat potongan rekaman yang 
berbunyi, “anak-anak lagi nyerang balik”. Oleh Komnas 
HAM, potongan ini diterjemahkan seolah-olah sebagai 
perilaku kekerasan. Kalau pun betul demikian, Komnas 
HAM tidak memedulikan kata “balik” dalam kalimat 
tersebut, yang artinya apa yang dilakukan para pengawal
HRS hanyalah bereaksi atas terjadinya serangan. 
Kalimat tersebut lebih mempunyai arti bahwa serangan 
kepada para pengawal HRS terjadi lebih dahulu, baru 
kemudian menyerang balik. Namun laporan Komnas 
HAM menempatkan kalimat tersebut sebagai bukti 
adanya aksi kekerasan dari para pengawal HRS. Jika 
Komnas HAM bersedia mendengarkan dan mempelajari 
secara seksama rekaman penuh dari kalimat tersebut, 
maka seharusnya juga dipahami situasi keseluruhan. 
TP3 mendengarkan rekaman penuh dan menurut TP3 
justru rekaman tersebut menggambarkan situasi yang 
cenderung para pengawal HRS sedang berada dalam 
todongan senjata api penguntit (at gun point) kemudian 
ditembak (dieksekusi). Karena HRS ikut mendengarkan 
voice notes tersebut, maka untuk menenangkan HRS 
begitulah jawabannya pendamping HRS. Apa yang 
merupakan jawaban berbunyi “lagi nyerang balik” juga 
tidak pernah terbukti bahwa hal itu betul-betul terjadi. 
KOMNAS HAM TIDAK MENGGALI INFORMASI 
KUALITATIF
Komnas HAM belum menggali informasi yang 
mendalam dan kualitatif terbukti TP3 menjumpai berbagai 
kejanggalan dalam “Laporan Penyelidikan Peristiwa 
Kematian 6 (Enam) Orang Laskar FPI Di Karawang 7 
Desember 2020”. Ada pun kejanggalan yang menimbulkan 
berbagai pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama, benarkah para pengawal HRS yang diikuti 
itu mengetahui bahwa pembuntut atau penguntit itu 
adalah petugas baik kepolisian atau instansi lainnya? 
Faktanya keenam anggota laskar maupun pengawal 
HRS lainnya sama sekali tidak mengetahui bahwa 
penguntit dan pembuntut itu adalah petugas atau aparat 
negara. Karenanya, dalam Laporan Komnas HAM ini 
semestinya melepas dahulu predikat “petugas” sebab 
diketahui bahwa mereka adalah petugas setelah diakui 
oleh Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran pada konperensi 
pers tanggal 7 Desember 2020;
2. Kedua, dalam Kesimpulan Laporan Komnas HAM tegas 
dinyatakan bahwa “Terdapat pengintaian dan pembun￾tutan di luar petugas kepolisian” semestinya diketahui 
oleh Komnas HAM siapa pengintai dan pembuntut di 
luar petugas kepolisian itu apakah preman penyusup, 
aparat intelijen, Koopsus atau instansi lain? Hal ini 
penting bagi pengusutan tindak lanjut sekaligus pem￾buktian bahwa pembunuhan enam pengawal HRS ini 
dilakukan secara sistematik. Bukankah Komnas HAM 
telah menemukan bahwa pengintaian dan pembun￾tutan dilakukan berdasarkan “Surat Perintah”?
3. Ketiga, pengintaian dan pembuntutan HRS yang 
didasarkan pada “Surat Perintah” tersebut, semestinya 
mendapatkan penelaahan dan kajian mendalam 
Komnas HAM tentang keabsahan hukumnya, sebab
status HRS saat itu bukan tersangka apalagi buron atau 
masuk DPO. Akan tetapi, baru sebatas “Saksi” dalam 
kasus kerumunan yang dikualifikasikan pelanggaran 
UU Kekarantinaan Kesehatan. Itu pun HRS telah terkena 
hukuman denda dan membayarnya uang sebesar Rp 50 
juta.
4. Keempat, kesimpulan terjadinya tembak-menembak 
yang menyebabkan meninggalnya dua pengawal HRS 
yakni Andi Oktavian dan Faiz Ahmad Syukur hanya 
didasarkan pada kesaksian pihak yang membunuh. 
Tiadanya bukti lain serta menyaksikan bukti 
penglihatan atas jenazah memberikan keyakinan bagi 
TP3 bahwa keduanya itu ditembak mati dari jarak dekat 
dan tidak dalam keadaan tembak menembak atau 
sedang melakukan perlawanan. Ihwal kepemilikan 
senjata juga hanya berdasarkan bukti sepihak dari 
yang melakukan pembunuhan, tidak didasarkan 
atas pemeriksaan sidik jari. Diperkuat kesaksiannya 
FPI maupun keluarga, bahwa anggota laskar dalam 
melakukan pengawalan HRS tidak dibekali dengan 
senjata api atau senjata rakitan serta senjata tajam 
lainnya. Sebab, hal itu merupakan larangan keras dalam 
organisasi FPI. Selain itu, ada bukti lain yakni keluarga 
korban menantang aparat kepolisian untuk melakukan 
sumpah mubahalah, ternyata pihak aparat Polda Metro 
Jaya tidak berani menghadapinya.5. Kelima, kondisi jenazah Andi Oktavian dengan 1 LTM 
pada mata kiri, 1 LTK pada pelipis kiri, 2 LTM pada dada 
sisi kiri, dan 2 LTK pada punggung sisi kiri, ditambah 
dengan kulit bagian punggung melepuh, lecet di bagian 
kepala, patah tulang pelipis kiri, serta kulit bagian 
pantat melepuh bukanlah gambaran akibat dari 
tembak menembak, melainkan bekas penyiksaan dan 
penembakan berulang-ulang. Demikian juga dengan 
kondisi Faiz Ahmad Syukur yang menunjukkan 2 LTM 
pada dada sebelah kiri, 2 buah LTK pada punggung sisi 
kiri, 1 LTM pada lengan bawah kiri sisi dalam, anak 
peluru yang bersarang di lengan bawah kiri, 1 LTM pada 
paha kanan sisi luar, 1 LTK pada paha kanan sisi depan, 
serta lebam di bagian kening. Hal itu membuktikan 
tidak mungkin keadaan tersebut adalah akibat dari 
tembak menembak, tapi akibat dari siksaan dengan 
benda tumpul dan tembakan tembakan berulang-ulang 
yang mematikan.
6. Keenam, Komnas HAM yang telah mengesampingkan 
kemungkinan terjadi penyiksaan dan penembakan 
sepihak pada kedua pengawal HRS tersebut adalah 
kesalahan besar. Dalam hal ini, ada peran instansi di 
luar Kepolisian yang berada di mobil Avanza hitam 
B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Komnas 
HAM meminta untuk melakukan “penegakkan hukum 
terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil 
Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 
KJD”. Selayaknya para penumpang dari kedua mobil 
tersebut ditetapkan sebagai tersangka penyiksaan dan 
pembunuhan.
7. Ketujuh, terhadap keempat pengawal HRS lainnya 
yang meninggal, yang menurut Polisi ditembak di 
mobil Avanza B 1519 UTI, semestinya Komnas HAM 
tidak menerima begitu saja keterangan sepihak dari 
kepolisian. Meski dikategorikan unlawful killing
sekaligus sebagai pelanggaran HAM, namun melihat 
kondisi jenazah keempat pengawal HRS tersebut yang 
antara lain lebih dari dua tembakan (bahkan ada yang 
empat tembakan) pada dada sisi kiri, tembakan pada 
punggung sisi kiri, melepuh kulit belakang, kemaluan 
bengkak dan melepuh, lebam mata kiri, tangan 
melepuh, pipi dan kening bengkak menghitam, maka 
menunjukkan adanya penyiksaan atau penganiayaan 
sebelum ditembak berulang-ulang hingga mati.
8. Kedelapan, enam pengawal HRS itu ditembak dari 
jarak dekat, di samping menepis terjadinya tembak 
menembak juga tiadanya bukti lain selain kesaksian 
dari pihak yang membunuh tentang terjadinya 
peristiwa penembakan dalam mobil yang sedang 
berjalan. Akurasi tembakan yang mematikan, tepat 
di dada, sulit diterima jika dilakukan dalam keadaan 
mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Komnas HAM menjelaskan “Keterangan ahli forensik kepada Komnas 
HAM menerangkan bahwa seluruh korban memiliki 
pola luka tembak yang sama, yaitu di dada kiri dan 
berbentuk circular/bulat bukan elips. Ahli menduga 
bahwa penembakan dilakukan dalam jarak kurang dari 
1 (satu) meter”. Kemudian ditegaskan bahwa “kematian 
keenam orang anggota Laksus FPI merupakan bentuk 
pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang dijamin 
dalam UUD 1945 dan Pasal 9 UU No. 39 tahun 1999”.
9. Kesembilan, kejanggalan terjadi berkaitan dengan 
kondisi mobil Xenia Silver Nopol B 1519 UTI. Mobil ini 
dikatakan oleh pembunuh adalah mobil yang dipakai 
untuk mengangkut empat pengawal HRS yang masih 
hidup. Kemudian keempat pengawal HRS itu, yakni Ah￾mad Sofyan, Lutfil Hakim, Suci Kadafi, dan Muhammad 
Reza ditembak karena melakukan perlawanan, Mobil B 
1519 UTI tidak tercatat sebagai mobil yang membuntuti 
dan terlibat saling serempet di Karawang Timur hingga 
Gerbang Tol Karawang Barat. Namun, anehnya kondisi 
mobil ini ‘berantakan” seperti dua lubang tembak pintu 
sisi kanan, satu lubang tembak dekat lampu rem, lampu 
rem yang pecah, body belakang di atas tulisan Xenia ada 
satu lubang tembak, bodi mobil belakang ada 2 lubang 
tembak di atas list chrome, kaca retak di belakang, kap 
mobil ada baretan menyerupai bekas tubrukan. Pada￾hal yang terlibat dalam kejar mengejar dan saling se￾rempet serta “tembak menembak” itu hanya tiga mobil 
yaitu Avanza silver K 9143 EL, Avanza hitam B 1739 PWQ 
dan Avanza silver B 1278 KJD. Hal ini diduga akibat 
skenario awal bahwa semua peristiwa adalah “tembak 
menembak” sebagaimana saat press conference Kapolda 
Metro Jaya yang didampingi Pangdam Jaya tanggal 7 
Desember 2020. Tersangka pun adalah keenam jenazah 
pe ngawal HRS tersebut.
10. Kesepuluh, pertanyaan penting adalah menurut 
Komnas HAM siapa pelaku pembunuhan katagori 
pelanggaran HAM berat ini? Setelah gagal pihak 
Kepolisian menetapkan keenam pengawal HRS sebagai 
tersangka, maka terpaksa tersangka pelaku kejahatan 
“unlawful killing” adalah aparat Kepolisian itu sendiri. 
Simpang siur Komnas HAM dalam mengindikasi. Di 
satu sisi, penembak empat pengawal HRS adalah aparat 
yang berada di mobil B. 1519 UTI dan itu adalah Ipda 
Yusmin (pengemudi), Ipda Elwira (duduk di depan 
sebelah kiri, samping sopir) dan Briptu Fikri Ramdhani 
(di tengah, sebelah kiri). Di sisi lain, ada keterangan 
“senjata Faisal sempat digunakan Yusmin untuk 
melakukan penembakan kepada Andi tiga kali dan 
Luthfi sebanyak dua kali” ditambahkan oleh Komnas 
HAM “Berdasarkan keterangan tersebut, petugas 
Kepolisian yang melakukan penembakan adalah Faisal, 
Yusmin, Fikri, dan Elwira”.11. Kesebelas, sesuai dengan Konperensi Pers Komnas HAM 
terdapat kalimat “Bahwa empat anggota Laksus tersebut 
kemudian ditembak mati di dalam mobil petugas saat 
dalam perjalanan dari KM 50 ke atas (menuju Polda 
Metro Jaya), semua ini didasarkan kesaksian sepihak 
dari yang melakukan pembunuhan semata bahwa 
terlebih dahulu teltah terjadi upaya melawan, yang 
katanya petugas, yang mengancam keselamatan diri 
sehingga diambil Tindakan tegas dan terukur”. Atas 
hal ini telah dibuat laporan kepada Kepolisian oleh 
anggota Kepolisian Polda Metro Jaya, yakni Briptu Fikri 
Ramdhani dengan Saksi Bripka Adi Ismanto dan Bripka 
Faisal. Apakah betul ketiga orang inilah yang dianggap 
mengetahui peristiwa penembakan anggota laskar FPI 
hanya diperintahkan untuk membuat laporan? 
KOMNAS HAM SEMESTINYA MENGGUNAKAN UU NO. 26 
TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM 
1. Dasar hukum penyelidikan “Pro-Justisia” Komnas HAM 
semestinya bukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM 
melainkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 
HAM karena sejak awal sudah dapat ditangkap bahwa 
peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI tidak 
berdiri sendiri, menjadi bagian dari pelaksanaan 
“Surat Perintah” untuk melakukan pengintaian dan 
pembuntutan HRS. Ada peristiwa pendahuluan dan 
pasca pembunuhan yang membuktikan adanya unsur “sistematik” sebagai elemen penting terjadinya 
pelanggaran HAM berat. Aneh Komnas HAM jika tidak 
menjadikan dasar hukum kuat untuk melakukan 
penyelidikan “Pro Justisia”. Bahkan sebenarnya 
kekeliruan Komnas HAM menggunakan acuan UU 
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang maksimal hanya 
melakukan “Pemantauan” itu adalah dapat dianggap 
sebagai kesengajaan untuk menghindar dari kewajiban 
untuk melakukan penyelidikan ke arah pelanggaran 
HAM berat.
2. Dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM maka Komnas HAM sebagai penyelidik 
berwenang melakukan penyelidikan. Pemeriksaan 
dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM. 
Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat 
melibatkan unsur masyarakat. Inilah obyektivitas 
yang sangat dibutuhkan dalam menyelidiki peristiwa 
pembunuhan dan penyiksaan enam pengawal HRS.
3. Pasal 18 ayat (2) menyatakan: “Komnas HAM dalam 
melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas 
Komnas HAM dan unsur masyarakat”. 
4. Dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM maka kewenangan Komnas HAM 
untuk melakukan penyelidikan menjadi sangat besar 
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20Undang-Undang ini. Bahkan dalam Pasal 25 Komnas 
HAM dapat sewaktu-waktu meminta keterangan kepada 
Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan 
penuntutan perkara pelanggaran HAM berat..***













Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam 
Pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS)—disebut sebagai 
TP3—sesungguhnya mempunyai misi yaitu melakukan 
pengawalan. Adapun yang dilakukan dalam menjalankan 
misinya tersebut antara lain TP3 menguji kebenaran langkah 
dan pernyataan pemerintah maupun penegak hukum 
sehubungan dengan terjadinya pembunuhan atas enam 
warga negara Indonesia (WNI) yang kebetulan merupakan 
pengawal HRS. Sebagai contoh, ketika TP3 pada tanggal 9 
Maret 2021 beraudiensi dengan Presiden Jokowi di Istana 
Merdeka, Jakarta. Menko Polhukam Mahfud MD yang pada 
waktu itu mendampingi Presiden RI menyatakan di depan 
TP3 bahwa untuk dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran 
HAM berat harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis, 
dan masif (TSM).
Gambar 1.1 Audiensi TP3 dengan Presiden Jokowi, Istana Merdeka, 
9 Maret 2021.
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD seperti itulah 
yang perlu diuji kebenarannya. TP3 menggunakan “batu 
uji” undang-undang, yang dalam hal ini adalah UU No. 26 
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hasil pengujian TP3 
menunjukkan bahwa pernyataan Mahfud MD ini sama 
sekali tidak berdasarkan hukum, karena ternyata menurut 
undang-undang terjadinya pelanggaran HAM berat adalah 
jika dilakukan secara sistematis atau meluas. Jadi Undang￾undang merumuskannya secara alternatif, yaitu sistematis 
atau meluas. Bukan seperti yang disampaikan oleh Menko  Polhukam yang mengharuskan syarat kumulatif atas 
unsur terstruktur, sistematis, dan masif yang secara yuridis 
nomenklatur kumulatif seperti yang disampaikan Mahfud 
MD tidak dikenal.
Temuan TP3 atas peristiwa pembunuhan enam warga 
negara Indonesia yang merupakan penduduk sipil ini 
menunjukkan telah terjadi pembunuhan dan penyiksaan 
yang dilakukan secara sistematis, sehingga menimbulkan 
keyakinan bagi TP3 bahwa peristiwa ini merupakan 
pelanggaran HAM berat. Itulah hal yang antara lain TP3 
sampaikan kepada Presiden RI di Istana Merdeka.
Setelah Presiden RI berjumpa dengan TP3, Mahfud 
MD menyelenggarakan konferensi pers secara sepihak dan 
mengatakan pada pokoknya bahwa TP3 datang ke Istana 
Merdeka tanpa bukti. Apakah Menko Polhukam Mahfud MD 
tidak mengetahui bahwa TP3 tidak diberikan wewenang oleh 
negara untuk membuktikan? Adapun yang berkewajiban 
untuk membuktikan adalah pemerintah melalui institusi 
penegak hukumnya. Keberadaan TP3 adalah sebagai 
perwujudan partisipasi masyarakat yang oleh Pasal 100 
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) 
diberikan hak untuk berpartisipasi dalam perlindungan, 
penegakan, dan pemajuan HAM. Dengan demikian, maka 
adalah suatu kesalahan yang sangat prinsipil bila Menko 
Polhukam Mahfudz MD menuntut bukti dari TP3.Temuan TP3 adalah berupa hasil penelitian dan kajian 
yang memberikan arahan dan petunjuk. Selanjutnya, atas 
dasar arahan dan petunjuk ini menjadi kewajiban bagi 
pemerintahlah untuk membuktikan temuan-temuan yang 
TP3 sajikan. Tujuan TP3 adalah untuk menggerakkan 
pemerintah, sehingga berkehendak (willing) untuk 
mendesak perangkat negara ke arah penyelidikan dan 
penyidikan terjadinya pelanggaran HAM berat. Kecuali, jika 
pemerintah bersedia memberikan kepada TP3 kewenangan 
membuktikan, maka dengan mudah TP3 akan datang 
kembali menjumpai Presiden RI dengan bukti-bukti yang 
ada (Lihat Lampiran Catatan I).
MAKSUD DAN TUJUAN
Misi pengawalan oleh TP3 termasuk melakukan 
pengawalan atas kinerja Komisi Nasional Hak Asasi 
Manusia (Komnas HAM) pada peristiwa pembunuhan enam 
pengawal HRS. TP3 secara resmi menerima salinan laporan 
dari Kemenko Polhukam RI atas hasil kerja Komnas HAM. 
Laporan yang oleh Komnas HAM diberi judul “Laporan 
Penyelidikan” itu, berisi laporan tertulis sebanyak 103 
halaman dan 21 halaman lampiran termasuk transkrip 
atas “voice notes” percakapan para pengawal HRS dalam 
peristiwa pembunuhan oleh aparat negara terhadap enam 
pengawal HRS.
Mengkaji hasil kerja Komnas HAM, maka TP3 menilai 
sejak awal Komnas HAM tidak mempunyai kehendak 
untuk menuntaskan peristiwa pembunuhan di KM 50 jalan 
raya tol Jakarta-Cikampek pada tanggal 7 Desember 2020. 
Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa Komnas HAM hanya 
menggunakan dasar Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999, 
bukan mendasarkan pada UU No. 26 tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM. Judul Pasal 89 ayat (3) ini adalah tentang 
pemantauan bukan penyelidikan. Dengan demikian, yang 
dilakukan oleh Komnas HAM bukanlah penyelidikan namun 
hanyalah pemantauan. Sehingga tidak seharusnya Komnas 
HAM memberikan judul kegiatannya sebagai “Laporan 
Penyelidikan” karena sejatinya hanyalah merupakan 
laporan pemantauan. Dalam hal ini, pemantauan yang 
dilakukan oleh Komnas HAM tidak mempunyai kewenangan 
penyelidikan “pro yustisia”.
Kegiatan yang dilakukan oleh Komnas HAM, tidak lebih 
merupakan kegiatan yang sama dengan yang dilakukan oleh 
TP3. Padahal Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk 
melakukan penyelidikan berdasarkan UU No. 26 Tahun 
2000 tentang Pengadilan HAM, namun justru memilih 
untuk menunjukkan sikap “unwilling”. Bahkan Komnas 
HAM berubah menjadi lembaga yang menjalankan fungsi 
polisionil. Yaitu dengan mempersalahkan masyarakat sipil—
dalam hal ini FPI dan khususnya enam pengawal HRS—
sebagai faktor penyebab terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat di KM 50 jalan raya tol Jakarta-Cikampek. Contoh 
konkretnya, Komnas HAM justru merekomendasikan 
penyelidikan tentang keberadaan senjata yang dituduhkan 
kepada enam pengawal HRS. Padahal kalau pun asumsi 
Komnas HAM tentang kepemilikan senjata tersebut 
mengandung kebenaran, dalam arti senjata itu dimiliki oleh 
pengawal HRS, maka saat publik membaca Buku Putih ini, 
senjata tersebut tidak menimbulkan korban pelanggaran 
HAM apa pun. Sehingga dalam hal ini, Komnas HAM 
telah menyalahi fungsinya dari lembaga yang seharusnya 
mengungkap peristiwa pelanggaran HAM menjadi lembaga 
pelindung pelaku pelanggaran HAM.
Dengan demikian, TP3 berkesimpulan bahwa sikap 
Komnas HAM ini merupakan kesengajaan untuk menghin￾dar dari kewajibannya melakukan penyelidikan terjadinya 
pelanggaran HAM berat. Kesimpulan ini juga didukung oleh 
adanya rekomendasi Komnas HAM untuk memberlakukan 
peristiwa pembunuhan ini dengan mekanisme pengadil￾an pidana. Adalah bukan wewenang Komnas HAM untuk 
merekomendasikan apalagi menentukan bahwa suatu pe￾ristiwa itu merupakan peristiwa pidana atau bukan (Lihat 
Lampiran Catatan II dan III).
Temuan TP3 menyatakan dengan tegas bahwa yang 
melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal HRS di 
KM 50 adalah bukan polisi, namun yakni aparatur negara. 
Temuan TP3 ini berdasarkan kajian bahwa jika yang melakukan pembunuhan adalah polisi, maka perlakuan 
terhadap korban pembunuhan tidak akan seperti yang 
dilakukan terhadap mayat enam pengawal HRS, dimana 
mayat-mayat tersebut langsung diangkut dan kemudian 
dilakukan operasi bedah mayat tanpa lebih dahulu 
memberitahukan keluarga. Sebab, jika yang melakukan 
pembunuhan tersebut adalah polisi, maka polisi akan 
sangat berkepentingan untuk menjaga Tempat Kejadian 
Perkara (TKP) steril dengan memberi garis polisi (police line). 
Ini penting bagi polisi dalam rangka pengamanan barang 
bukti untuk kepentingan olah TKP guna penyelidikan 
berikutnya. Ternyata tidak demikian, yang dilakukan oleh 
para pembunuh tersebut. Mereka bukan menjaga TKP 
namun justru merusak TKP dengan memindahkan posisi 
mayat, melenyapkan kios-kios di rest area KM 50 jalan raya tol 
Jakarta-Cikampek, dan merekayasa barang bukti. Sehingga 
yang terkesan adalah mereka ingin menghilangkan jejak 
(Lihat Lampiran Catatan IV, V, dan VI).
Berbeda jika memang betul polisi yang melakukan 
pembunuhan. Polisi hanya akan membunuh jika menghadapi 
keadaan luar biasa dan dalam hal membela diri dari 
ancaman kematian dan atau luka berat pada dirinya. Jika 
pembunuhan oleh aparat negara adalah sah, maka mayat 
dan barang-barang bukti justru akan dibiarkan berada di 
TKP seperti apa adanya untuk kepentingan pembuktian 
bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah dalam rangka membela diri. Adanya fakta yang diungkap Komnas 
HAM bahwa para pembunuh ini memerintahkan saksi untuk 
menghapus rekaman dan memeriksa handphone mereka, 
makin membuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan 
oleh aparat diikuti dengan operasi untuk menghilangkan 
jejak kejahatan (cover-up operation). Hal tersebut tidak 
akan dilakukan oleh pembunuh jika pembunuhan adalah 
sah dalam rangka membela diri. Karena, justru adanya 
rekaman tersebut diperlukan sebagai pembelaan bahwa 
pembunuhan terpaksa dilakukan dalam rangka bela diri 
dari ancaman kematian atau luka berat.
Tentang “cover-up” operation ini, juga terbukti dari 
kesaksiannya Komnas HAM M. Choirul Anam yang 
mengungkapkan bahwa pihaknya memperoleh informasi 
soal pengambilan kamera CCTV dari salah satu warung di 
rest area KM 50 tersebut. Komnas HAM pun menanyakan 
hal ini kepada pihak kepolisian. 
“Kami konfirmasi di terakhir-terakhir kami melakukan 
pemeriksaan terhadap pihak kepolisian dan itu diakui itu 
(kamera CCTV) diambil,” kata Anam dalam konferensi pers, 
Jumat (8/1/2021).
Kepada Komnas HAM, polisi mengaku mengambil 
kamera CCTV tersebut secara legal.
Pengawalan yang dilakukan oleh TP3, termasuk penga￾walan berupa menguji kebenaran seluruh rangkaian pem￾beritaan secara sepihak oleh Kepolisian Daerah Metro Ja￾karta (Polda Metro Jaya). Diawali ketika kepala kepolisian 
Polda Metro Jaya (Kapolda), Irjen Pol Fadil Imran pada hari 
Senin siang tanggal 7 Desember 2020 menyelenggarakan 
konferensi pers. Hadir dalam konferensi pers ini, Panglima 
Daerah Militer Jakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung 
Abdurachman. Pertanyaan hukumnya adalah “legal stan￾ding” apa yang dimiliki oleh Pangdam Jaya untuk boleh ikut 
hadir dan berperan dalam konferensi pers ini? Fakta hadir￾nya Pangdam Jaya ini justru makin menunjukkan bahwa 
operasi pembunuhan ini bukan merupakan operasi kepoli￾sian.
Dalam konferensi pers tersebut, Kapolda Metro Jaya, 
Irjen Pol Fadil Imran pada pokoknya menyampaikan 
pengakuannya bahwa kepolisian mengambil tindakan 
tegas terukur karena merasa diancam oleh para korban. 
Sebab, dalam kronologi versi kepolisian, keenam pengawal 
HRS itu disebut melakukan penyerangan terhadap petugas. 
Menurut Fadil Imran ketika petugas kepolisian melakukan 
penguntitan di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50, Fadil 
Imran mengakui kendaraan polisi dipepet oleh mobil 
berisi simpatisan HRS yang berjumlah sepuluh orang. 
Seterusnya, bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal 
HRS tersebut dilakukan oleh anggotanya setelah terjadi 
tembak menembak dengan enam pengawal HRS tersebut 
dan beberapa orang dari pengawal tersebut berusaha merampas senjata api petugas, maka terpaksa dibunuh. 
Pada kesempatan itu, juga ditunjukkan barang bukti yang 
dituduhkan milik para pengawal HRS. Barang bukti tersebut 
berupa dua senjata api, tujuh peluru, dan tiga selongsong 
peluru. Selain itu, ada pula satu pedang dan celurit serta 
katapel (Lihat Lampiran Catatan VII).
Untuk menguji kebenaran keterangan Fadil Imran 
dalam jumpa pers tersebut, TP3 mengkonfrontirnya 
dengan keterangan dari saksi-saksi yang waktu itu 
mengikuti rombongan HRS dan penjelasan dari sekretaris 
umum (Sekum) DPP FPI Munarman. Dari para saksi dan 
narasumber ini, TP3 memperoleh keterangan yang bertolak 
belakang dengan keterangan yang disampaikan oleh Fadil 
Imran. Sebelum ada konferensi pers dari Fadil Imran, DPP 
FPI tidak mengetahui siapa yang melakukan pembunuhan 
terhadap enam pengawal HRS tersebut. Sebab, para 
penguntit rombongan HRS itu, tidak berseragam dan mobil 
yang digunakan juga tidak bertanda sebagai mobil petugas 
atau polisi. Keterangan pers dari Fadil Imran langsung 
menyebutkan terjadi tembak menembak, namun tidak 
dirunut siapa yang terlebih dahulu melepaskan tembakan.
DPP FPI membantah bahwa barang bukti yang 
dipaparkan Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran tersebut adalah 
milik FPI. Menurut Munarman, barang bukti itu adalah 
palsu dan merupakan rekayasa, karena Kapolda Metro Jaya 
tidak menjelaskan bagaimana memperoleh barang bukti tersebut selain pernyataannya sepihak. Tidak ada bukti sidik 
jari para pengawal HRS pada barang bukti tersebut. Semua 
ini makin membuktikan bahwa sebenarnya pembunuhan 
terhadap enam pengawal HRS adalah pembunuhan yang 
bukan dilakukan oleh kepolisian. Polda Metro Jaya hanyalah 
bagian dari rencana sistematis.
Keyakinan TP3 tentang adanya rencana sistematis 
menjadi bertambah, ketika TP3 menjumpai para saksi 
yang melakukan penangkapan aparat negara yang sedang 
melakukan pengintaian dengan menggunakan drone di 
Markaz Syariah FPI di wilayah Mega Mendung. Para saksi 
yang menangkap para pengintai ini kemudian melakukan 
pemeriksaan terhadap mereka, termasuk pemeriksaan 
atas perangkat elektronik dan komunikasi mereka yang 
menyimpan berbagai data dan informasi. Para saksi 
memfoto wajah mereka dan mengatakan menemukan 
sejumlah barang bukti berupa berbagai tanda pengenal 
milik tiga orang bernama Angga Hermawan, Irsyad 
Ibrasma, dan Anjar Maulana. Pada ketiga orang tersebut, 
ditemukan tanda-tanda pengenal seperti kartu wartawan, 
kartu pengenal sebagai peneliti, dan kartu tanda pengenal 
sebagai anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Surat Izin 
Mengemudi (SIM) tipe A dan Tipe C, tanda pengenal sebagai 
prajurit TNI, STNK, badge Deputy II BIN, dan mobil dengan 
plat nomor polisi ganda.Dari para saksi ini, TP3 juga memperoleh bukti 
tentang adanya operasi intelijen yang disebutnya ‘Operasi 
Delima’. Hal ini diketahui dari berbagai laporan tertulis 
yang tersimpan dalam perangkat elektronik ketiga orang 
pengintai yang tertangkap tangan tersebut. Sistem pelaporan 
ini menunjukkan sistim pelaporan yang menggambarkan 
adanya suatu komando yang terstruktur secara hierarkis. 
Tertulis ada laporan terperinci dari Direktur 22 kepada 
Deputi II BIN (Lihat Lampiran Catatan VIII dan IX).
Pada khususnya, dalam kasus pembunuhan terhadap 
enam pengawal HRS ini, Polda Metro Jaya hanyalah bagian 
dari “cover up” operation. Karena, Polda Metro Jaya hanya 
bagian dari rencana operasi “cover-up”, maka tampak 
kesulitan ketika harus menegakkan fakta. Misalnya soal 
fakta terjadi tembak menembak, TP3 menemukan adanya 
laporan awal dari polisi yang berbeda. Laporan polisi 
pada awalnya yang dibuat oleh Briptu Fikri Ramadhan 
(NRP 94030910) tertanggal 7 Desember 2020 melaporkan 
kejadian tanggal 6 Desember 2020 pukul 23.45 WIB sebagai 
berikut:
“Pelapor yang disaksikan oleh Bripka Adi Ismanto dan 
Bripka Faisal Khasbi Aleya, melaporkan: saat petugas sedang 
melakukan tugas penyidikan, tiba-tiba mobil petugas di TKP 
dihalang-halangi oleh dua mobil dengan cara menabrakkan 
kendaraan dan memberhentikan kendaraan petugas tanpa 
memperhatikan keselamatan pengguna jalan lainnya. Kemudian turun 4 orang pelaku dari dalam mobil dengan 
membawa senjata tajam dan merusak mobil yang sedang 
dikendarai petugas kemudian turun 2 orang pelaku dengan 
membawa senjata api dan menembakkan ke arah bagian depan 
mobil petugas sebanyak 3 kali letusan, hanya 1 letusan yang 
mengenai kaca depan mobil petugas karena kondisi petugas 
dalam keadaan terdesak, maka petugas melakukan tindakan 
tegas dan terukur terhadap pelaku. 
Laporan awal itu, ceritanya menjadi berbeda ketika 
polisi dalam berbagai kesempatan menceritakan kembali 
laporan tersebut kepada publik. Setelah diungkapkan 
kembali oleh polisi ceritanya di masyarakat menjadi 
“tembak menembak” ketika keadaan kendaraan sedang 
melaju, bukan kendaraan dalam keadaan berhenti, 
seperti laporan awal yang dilaporkan oleh Briptu Fikri 
Ramadhan.
Demikian juga ketika polisi bermaksud membuktikan 
dugaan bahwa senjata rakitan adalah milik FPI. Yang 
dilakukannya adalah insinuasi (memberi kesan seolah￾olah) sehingga sebetulnya bukan menegakkan fakta namun 
justru setengah bermaksud mengelabui masyarakat. 
Kita perhatikan ketika Direktur Tindak Pidana Umum 
(Dirtipidum) Bareskrim Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi 
mengatakan bahwa dugaan bahwa senjata api (senpi) 
rakitan itu adalah milik FPI diperoleh dari hasil pengujian 
terhadap dua pucuk senpi.Hasil pemeriksaan ahli balistik menyatakan 2 pucuk 
Senpi yang digunakan Laskar FPI adalah senjata non pabrikan 
[rakitan],” kata Andi saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, 
Minggu (20/12/2020)
Perhatikan insinuasinya Andi Rian Djajadi yang 
bermaksud memberi kesan bahwa dua pucuk senpi 
adalah milik FPI, padahal pengujian yang dilakukan oleh 
ahli balistik hanya memastikan apakah senpi yang diuji 
merupakan senpi rakitan atau senpi pabrikan. Jadi, bukan 
soal kepemilikan senpi tersebut.
Selain itu, tidak hanya lemah dalam hal menegakkan 
fakta, polisi juga tampak berpartisipasi dalam operasi “cover 
up” ini dengan cara memutar balikkan fakta. Direktur 
Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Tubagus Ade 
Hidayat menyatakan ada fakta “voice notes” yang berisikan 
percakapan terkait mobil yang mengintai dan rencana 
penyerangan yang akan dilakukan oleh para pengawal 
HRS. Dalam keterangan persnya, Kombes Pol Tubagus 
menunjukkan transkrip percakapan para pengawal HRS 
yang dibunuh yang tersimpan dalam “voice notes” di telepon 
genggamnya. Atas dasar transkrip tersebut, Tubagus 
menarik kesimpulan dari dua voice notes No. 37 dan No. 40 
laporan Komnas HAM yang berbunyi “Avanza hitam tubruk 
aja”.Atas kesimpulan seperti itu, TP3 melakukan verifikasi 
atas keseluruhan transkrip “voice notes” yang berjumlah 
203 percakapan. Dari 203 voice notes ini menggambarkan 
percakapan para pengawal HRS yang sedang menghadapi 
penguntitan dari orang-orang yang tidak dikenal yang 
melakukan agresi dengan cara memepet rombongan HRS. 
Namun, polisi mencomot 2 voice note dari 203 voice note yang 
mengatakan “Avanza hitam tubruk saja”.
Dari 2 voice notes inilah, polisi memutar balikkannya 
menjadi-pembunuhnya adalah diserang sehingga beralasan 
untuk melakukan tembakan yang mematikan. Padahal jika 
dibaca lengkap voice note sebelum dan sesudahnya kata 
“tubruk saja” adalah bila terjadi agresi. 
Bukti lain bahwa polisi hanya dijadikan bagian 
dari rencana penghilangan jejak adalah ketika polisi 
menjadikan enam pengawal HRS yang sudah meninggal 
sebagai tersangka, kemudian meralatnya. Belakangan polisi 
menetapkan 3 tersangka polisi, dimana satu di antaranya 
dinyatakan telah meninggal dalam suatu kecelakaan lalu 
lintas. Ada pun yang aneh dalam penetapan tersangka ini 
tidak ada penahanan atas tersangka pembunuhan. Sungguh 
ironis tersangka pelanggar protokol kesehatan diburu 
dan dipenjara, sementara tersangka pembunuh seolah 
dilindungi. Rencana sistematis untuk menghilangkan jejak, ter￾nyata melibatkan juga lembaga negara lain, yaitu Komnas 
HAM. Seharusnya Komnas HAM melakukan penyelidikan 
atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 
Akan tetapi, ternyata Komnas HAM hanya melakukan 
kegiatan pemantauan berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999. 
Apa yang dilakukan oleh Komnas HAM ini menjauhkan 
proses hukum dari terlaksananya pengadilan HAM atas 
peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS di KM 50 (Lihat 
Lampiran Catatan X dan XI).
Buku ini memberikan arahan yang jelas bahwa telah 
terjadi pelanggaran HAM berat. Informasi dan kajian 
yang dipaparkan pada buku ini dapat dijadikan dasar bagi 
Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan “pro 
yustisia” yang sebenarnya belum pernah dilakukannya

Untuk mengetahui dan memahami, apakah 
pembunuhan terhadap enam pengawal Habib Rizieq 
Syihab (HRS) adalah pembunuhan yang bersifat accident
pinggir jalan, incident biasa salah tembak atau sebuah 
operasi sistematis yang memiliki struktur komando, maka 
publik perlu diberi penjelasan dengan paparan fakta-fakta 
peristiwa yang disusun secara kronologi dan berdasarkan 
periode waktu sekaligus menggambarkan praperistiwa 
pembunuhan, hari-hari menjelang peristiwa pembunuhan, 
dan pascapersitiwa pembunuhan. 
RUANG LINGKUP PERISTIWA
Peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pengawal 
HRS pada hakikatnya merupakan puncak dari gabungan berbagai rangkaian operasi intelijen bermotif politik yang 
bertujuan “menjinakkan” aspirasi politik, apa yang disebut 
oleh rezim sebagai kelompok FPI dan 212 serta kelompok 
oposisi lainnya yang tergabung dalam Koalisi Aksi 
Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Rangkaian operasi politik yang dijalankan melalui 
berbagai operasi dan kegiatan intelijen serta instrumentasi 
dan eksploitasi hukum pidana terhadap aktivis FPI dan 
Aktivis 212 serta aktivis KAMI adalah bermula dari sejak 
kekalahan politik salah satu proxy war kekuatan pemodal 
dalam pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Mengapa hal ini 
dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan enam pengawal 
HRS? Jawabannya adalah hingga saat ini kekalahan dalam 
pilkada tersebut tidak dapat mereka lupakan dan upaya 
“balas dendam” politik melalui berbagai operasi delegitimasi 
dan kriminalisasi pemenang Pilkada 2017. Hal tersebut 
terus mereka lakukan dalam satu paket target yaitu HRS 
dan Anies Baswedan.
Sebagai contoh bentuk operasi politik terhadap Anies 
Baswedan adalah salah dengan berupaya mencari celah 
dalam proyek renovasi Monumen Nasional (Monas) Jakarta 
yang seolah-olah ada unsur tindak pidana korupsi. Selain 
itu, juga dengan merekayasa aksi-aksi unjuk rasa yang 
secara rutin dijadikan ritual oleh kelompok tertentu untuk 
terus mendelegitimasi Gubernur DKI.Hal tersebut perlu sedikit disinggung dalam Buku Putih 
ini, karena untuk menggambarkan betapa operasi politik 
menjelang pembunuhan enam pengawal HRS sangat 
sistematis. Berikut ini sekadar contoh laporan operasi 
politik yang dilakukan secara sistematis: 
Dari : Plt. Kabinda DKI Jakarta
Tembusan : Yth. 1. Deputi – II Ka BIN
2. Deputi – IX Ka BIN
3. Dir – 21
4. Dir – 22
Perihal : Laporan Bangsit Wilayah DKI Jakarta, Jumat, 
4 Desember 2020, hingga pukul 11.00 WIB
Ijin melaporkan,
Bangsit Wilayah Prov. DKI Jakarta, Jumat 4 Desember 
2020, hingga pukul 11.00 WIB, sbb :
Lain-lain:
Rengiatmasjol Hari Jumat, 4 Desember 2020:
Pukul 11.00 WIB, Unras oleh Aliansi Mahasiswa dan 
Pemuda Jakarta (AMPERA) di Balai Kota DKI Jakarta 
& Gd. DPRD DKI Jakarta, diikuti 25 org, dpp. S. Ade 
Putra, tuntutan: Meminta Anies Baswedan mundur 
dari jabatannya karena tidak tegas dan gagal dalam 
penanganan pandemi covid-19.
Pukul 13.00 WIB, Unras oleh Forum Aksi Mahasiswa 
(FAKSI) 212 di Ktr. Pusat PT. Pelni Jl. Gajah Mada, diikuti 
30 org, dpp. Afandi, tuntutan: Aksi menyikapi pernyataan 
Komisaris PT. Pelni Kristia Budhyarto tentang status 
positif Covid-19 Gubernur DKI Jakarta.Laporan tersebut memang oleh pihak BIN dinyatakan 
tidak ada dan tidak diakui. Karena, memang secara fungsi 
kontra intelijen, salah satu modus operandi apabila sebuah 
operasi intelijen terbongkar, maka akan dilakukan denial
dan play ignorant (bantah dan pura-pura bodoh). Namun, 
dokumen laporan di atas didapat langsung dari pihak yang 
juga dinyatakan oleh BIN sebagai agen gadungan (Lihat 
Lampiran Catatan VIII dan IX).Akan tetapi, sebagai sebuah informasi yang dapat 
memberikan gambaran terhadap suatu peristiwa, walau 
dinyatakan sebagai gadungan tetap bernilai untuk 
dipaparkan kepada publik agar publik dapat menilai 
sendiri tentang peristiwa pembunuhan enam pengawal 
HRS tersebut.
Pembungkaman Aktivis Dakwah dan Kritikus Rezim
1. Selain terhadap HRS dan Anies Baswedan, operasi 
politik intelijen juga terjadi terhadap puluhan aktivis 
oposisi dan aktivis dakwah. Operasi politik dan intelijen 
pembungkaman para aktivis dakwah dan atau aktivis 
yang bersikap dan atau bersuara kritis terhadap rezim, 
dilakukan dengan modus penangkapan, penahanan, 
memamerkan tahanan dalam keadaan di borgol, seperti 
yang dialami oleh aktivis-aktivis dakwah antara lain 
Gus Nur, (alm) Habib Maher, Ustadzah Kingkin Anida, 
dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia 
(KAMI) antara lain Syahganda Nainggolan, Jumhur 
Hidayat, dan Anton Permana. Hal yang sama terjadi 
terhadap Ketua KAMI Sumatera Utara dan aktivisnya, 
Khairi Amri, Juliana, Devi, serta Wahyu Rasari Putri.
2. Operasi politik dan intelijen secara sistematis dan 
terorganisir oleh aparat negara dilakukan dengan 
tindakan “menghadang” acara deklarasi Koalisi Aksi 
Menyelamatkan Indonesia (KAMI) untuk membungkam aktivitas menyuarakan aspirasi rakyat, baik saat awal 
deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta 
Pusat, Selasa (18/8/2020) maupun ketika deklarasi di 
berbagai daerah di Indonesia.
OPERASI SISTEMATIS TERHADAP HRS
Adapun berbagai bentuk operasi politik yang ditujukan 
kepada HRS, berupa upaya kriminalisasi yang terus mene￾rus, character assassination, dan penghancuran kredibilitas 
HRS melalui gaya operasi ‘memisahkan ikan dari air’, yaitu 
menjauhkan HRS dari umat Islam (Lihat Lampiran Catatan 
III dan IV).
Di antara upaya kriminalisasi yang sekaligus character 
assassination terhadap HRS yang sengaja dibuat heboh 
adalah dalam kasus fake chat, yang kemudian terbongkar 
bahwa pihak yang pertama kali menyebarkan fake chat
melalui internet tidak lain adalah berasal dari kompleks 
perumahan BIN.
Secara kronologis, untuk dapat menggambarkan bahwa 
pembunuhan terhadap enam pengawal HRS tersebut adalah 
merupakan sebuah rangkaian OPERASI SISTEMATIS yang 
berkelanjutan, maka secara kasat mata operasi tersebut 
dapat kita bagi-bagi dalam tiga (3) periode, yaitu:1. Periode Januari - April 2017;
2. Periode ketika HRS “menetap” sementara di Saudi 
Arabia, disebut periode “pengasingan politik, antara 
April 2017-November 2020;
3. Periode HRS tiba di Tanah Air, yaitu November 2020 
hingga saat ini.
A. Periode Januari-April 2017
Secara ringkas periode pertama, yaitu antara Januari￾Maret 2017, HRS “dikerjai” oleh operasi intelijen dengan 
memperalat hukum pidana sebagai instrumen sekaligus 
operasi mendelegitimasi serta character assassination
terhadap HRS, yaitu dengan berbagai laporan Polisi 
terhadap HRS hingga mencapai 17 Laporan Polisi. Dari 17 
laporan Polisi ini, 3 kasus yang membuat HRS diperiksa oleh 
pihak kepolisian, yaitu kasus fake chat dan kasus peringatan 
simbol menyerupai lambang komunis di mata uang rupiah 
pada Polda Metro Jaya dan kasus Pancasila di Polda Jawa 
Barat. Dalam perjalanannya, dua kasus (yaitu kasus fake 
chat dan kasus Pancasila) dijadikan alat bargaining oleh 
penguasa untuk “menjinakkan” HRS.
B. Periode “Pengasingan Politik”, April 2017-November 
2020
Periode ini merupakan periode yang cukup panjang 
dan terbagi dalam dua segmen, yaitu sebelum HRS “dicekal” dan periode ketika HRS mulai “dicekal” hingga kepulangan 
ke Indonesia.
1. Periode Sebelum Dicekal, April 2017-Juni 2018
Pada periode ini, operasi politik terhadap HRS bersifat 
lunak dan berupaya merangkul. Upaya merangkul ini 
dilakukan hingga mencapai puncaknya pada pertemuan 
pimpinan tinggi lembaga intelijen Republik Indonesia 
dengan HRS di Jeddah. Dalam pertemuan tersebut terjadi 
diskusi dan pembicaraan untuk memulihkan kondisi dan 
mengedepankan dialog sebagai cara komunikasi politik. 
Untuk menunjukkan keseriusan proses “rekonsiliasi” 
tersebut, pimpinan tinggi lembaga intelijen tersebut 
menunjukkan komitmen dengan “menghentikan’ proses 
hukum terhadap salah satu ulama menjelang Idul Fitri 
2017 H. Hal ini sebetulnya merupakan win-win solution
bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan persoalan 
keterbelahan politik yang ada. Pihak penguasa Indonesia, 
baik melalui perwakilan aparat intelijen yang ditugaskan 
untuk berkomunikasi dengan HRS, maupun melalui saluran 
perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Saudi Arabia, 
bersikap sangat lunak dan berusaha sebaik mungkin untuk 
menjaga situasi dan kondisi tersebut agar tetap kondusif.
2. Periode Pencekalan Politik, Juli 2018-November 2020
Memasuki tahun-tahun politik 2018-2019, terjadi 
perubahan sikap dari pihak penguasa Indonesia. Perubahan sikap tersebut semata-mata didasari oleh peristiwa 
kunjungan kandidat kuat calon Presiden 2019, yaitu 
Prabowo Subianto ke kediaman HRS di Mekkah, bersama 
tokoh nasional M. Amien Rais.
Dengan terjadinya pertemuan tersebut, tiba-tiba pihak 
perwakilan resmi Indonesia, baik petugas intelijen yang di -
tugaskan maupun perwakilan diplomatik resmi, menunjuk￾kan sikap tidak bersahabat terhadap HRS. Beberapa pihak 
yang merepresentasikan incumbent, complain atas perte￾muan tersebut dan menyatakan keberatan. Terlihat sekali 
kekhawatiran pihak incumbent pada waktu itu bila HRS 
ikut terlibat dalam proses politik Pilpres 2019.
Sejak terjadinya pertemuan Prabowo, M. Amien Rais, 
dan HRS pada kisaran akhir Mei-awal Juni 2018 tersebut, 
tiba-tiba, HRS mengalami berbagai persoalan hukum 
sebagaimana ketika berada di Indonesia. Di antara persoalan 
hukum yang menimpa HRS adalah, “dicegah” keluar dari 
wilayah hukum Saudi Arabia, difitnah menggunakan visa 
palsu dan difitnah memasang bendera ISIS. Bahkan hari 
-hari menjelang kepulangan HRS ke Indonesia ada pula 
operasi gelap dengan upaya pembatalan tiket pulang HRS 
dan keluarga. Upaya–upaya pihak penguasa Indonesia 
untuk membuat sulit HRS di selama berada di Saudi Arabia 
tersebut, terkait erat agar HRS tidak bisa terlibat langsung 
dalam proses politik tahun 2019 sekaligus tetap menjauhkan 
HRS dari umat Islam Indonesia.Salah satu yang menjadi “diehard” dan “vocalis” utama 
dalam upaya mempersulit kepulangan HRS ke Indonesia 
adalah Dubes RI untuk Saudi Arabia saat itu. Di antara 
pernyataan Dubes RI ketika menjelang kepulangan HRS ke 
Indonesia, Agus Maftuh mengatakan ada tiga syarat yang 
mesti ditempuh HRS agar proses kembali ke Indonesia 
berjalan cepat. Syarat ini bermakna sebagai langkah￾langkah yang disarankan Agus Maftuh untuk ditempuh HRS 
untuk kembali ke Indonesia. Syarat pertama ialah bersikap 
kooperatif dengan perwakilan RI di Arab Saudi termasuk 
menyampaikan masalah yang dihadapi selama di Arab 
Saudi. Kedua, HRS disarankan mencabut pernyataan yang 
menyebut Jokowi sebagai presiden ilegal sebab faktanyaRaja Salman dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman 
menjalin persahabatan erat dan menghormati Jokowi 
sebagai Presiden RI. Ketiga, HRS disarankan mencabut 
sumpah <tidak akan meminta tolong kepada pemerintah> 
karena menurutnya rezim zalim. (Sumber: detik.com)
PERIODE HRS TIBA DI INDONESIA, NOVEMBER 2020-
HINGGA SAAT INI
Sejak kepulangan HRS 10 November 2020 hingga saat 
ini, setidaknya TP3 telah mencatat berbagai upaya yang 
bersifat permusuhan dan pemusnahan terhadap eksistensi 
HRS berikut organ pendukungnya, yaitu melalui;
1. Kriminalisasi HRS dengan menjadikan acara Maulid 
Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya 
sebagai kejahatan dengan ancaman pidana yang berat;
2. Pembunuhan para pengawal HRS;
3. Pembubaran FPI dan kriminalisasi para pengurusnya;
4. Pemblokiran rekening FPI dan para mantan pengu￾rusnya;
5. Upaya pencabutan hak-hak politik HRS;
6. Upaya pencabutan hak-hak keperdataan HRS di 
antaranya, mencabut hak sebagai bapak dan wali nasab, 
mencabut hak untuk menjadi pengurus organisasi 
atau yayasan, mencabut hak untuk menjalankan mata 
pencarian tertentu;7. Perampasan barang dalam hal ini aset milik tertentu 
milik HRS 
Bila kita lihat dari apa yang terjadi terhadap HRS dan 
ancaman hukuman yang dikenakan, jelas hal ini bukan 
sekedar problem politik dan hukum biasa, melainkan 
sudah merupakan pelanggaran HAM berat melalui penya￾lahgunaan instrumen hukum oleh aparat negara.
KRONOLOGI PRA PERISTIWA PEMBUNUHAN ENAM 
PENGAWAL HRS
Sebelum peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS, 
terdapat sejumlah fakta peristiwa yang merupakan prakon￾disi yang berujung kepada pembunuhan enam pengawal 
tersebut. Rangkaian peristiwa yang disajikan dalam Buku 
Putih ini, belum diketahui secara luas oleh masyarakat.
Adapun rangkaian peristiwa tersebut diuraikan berikut 
ini.
A. Operasi Surveillance Saat Kepulangan HRS
1. Ada sejumlah fakta yang terungkap menunjukkan 
kegiatan “Operasi Surveillence” atau pengawasan, 
penguntitan, atau pembuntutan terhadap HRS sejak 
saat kepulangannya ke Indonesia. Fakta-fakta tersebut 
sebagian sudah diungkap oleh beberapa media namun 
masih banyak lagi yang belum terungkap.2. Beberapa Peristiwa yang sudah diberitakan oleh 
media mainstream juga beredar di berbagai akun 
media sosial, antara lain @opposite, yang menyatakan 
bahwa laporan dari beberapa KaBinda (Kepala Badan 
Intelijen Negara Daerah) ke KaBIN dan WakaBIN 
yang didapatkan dari data HP dan laptop agen BIN 
yang tertangkap oleh Laskar FPI di Mega Mendung 
dua hari sebelum enam pengawal HRS dibunuh. Hal 
ini mengungkapkan fakta-fakta terkait desain operasi 
intelijen berskala besar dalam kasus pembunuhan 
enam pengawal HRS.
Sekali lagi, perlu TP3 tegaskan, bahwa pihak BIN secara 
resmi mengingkari temuan ini.
3. Selain @opposite dan media resmi Tempo.co dan 
atau video.tempo.co (19/12 2020) yang melansir berita 
seputar dokumen “Agen BIN” yang tertangkap di 
Mega Mendung, ada juga sejumlah media online 
lainnya yang memberitakan seperti fajar.co.id
(2020/12/07); kabar24bisnis.com; merdeka.com; liputan6.
com; antaranews.com; news.detik.com; akurat.co; www.
suara,com dan; www.tribunnews.com.
4. Dari berbagai informasi yang sudah beredar luas itu 
terungkap fakta-fakta, yang menunjukkan sistematis 
dan atau terstrukturnya kegiatan aparat badan intelijen 
negara yang sasaran target operasi (TO)-nya adalah HRS dan FPI, yang berujung dengan pembunuhan 
enam pengawal HRS pada Senin (7/12 2020) dini hari. 
Faktanya benar menunjukkan seluruh “kekuatan” di 
Kominda (Komunitas Intelijen Daerah) didayagunakan 
untuk mencegah “pergerakan” HRS dan FPI, baik yang 
ada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan 
Jawa Timur. 
5. Fakta tersebut terungkap, misalnya, pada hari Jumat 
(4/12 2020) pukul 17.00 WIB, masuk laporan bangsit 
ke KaBIN dan WakaBIN yang tembusannya ke Deputi 
II KaBIN, Deputi IX KaBIN, Dir-21 dan Dir-22 tentang 
situasi di sekitar rumah HRS Jln. Petamburan III Kel. 
Petamburan Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat. Laporan 
kategori A-1 perihal “Matriks Kegiatan Kontra Propaganda 
Binda DKI terhadap Rizieq Shihab” itu disampaikan 
oleh Plt. KaBINda DKI Jakarta. Isi laporannya sebagai 
berikut:
(1) Saat ini Rizieq Shihab dan keluarganya tidak berada 
di rumahnya Gg Paksi Petamburan III Jakpus, (2) Situasi Gg 
Paksi Petamburan III Jakpus, masih dijaga oleh sekitar 10 
orang laskar dan simpatisan, (3) sementara itu, hingga saat 
ini belum ada tamu yang datang di kediaman Rizieq Shihab, 
(4) Situasi di seputaran Masjid Al Islah Petamburan III tidak 
terlihat Jemaah pendatang, (5) Situasi jalan raya dari arah 
Slipi menuju Tanah Abang dan sebaliknya Jalan KS Tubun 
Raya menuju Slipi lancar. Haljol Nihil.
6. Dalam laporan tersebut, di bagian bawahnya ada 
“catatan khusus” sebagai berikut: Perkembangan di 
rumah Muhammad Rizieq Shihab dan Markaz FPI di 
Petamburan akan terus dimonitor serta dilaporkan.
7. Pada bagian klausul semacam “saran tindak”, namanya 
Langkah Intelijen yakni BIN daerah DKI Jakarta telah 
melakukan upaya (1) Monitoring dan pendalaman 
kegiatan serta keberadaan Rizieq Shihab di Petamburan 
Jakarta Pusat, (2) Menempatkan personel dalam monitor 
khusus kegiatan Rizieq Shihab di Petamburan.
Contoh Laporan dari KaBINda DKI adalah sebagai 
berikut.
Kepada : Yth. 1. Ka BIN
2. Waka BIN
Dari : Plt. KaBINda DKI Jakarta
Tembusan : Yth. 1. Deputi–II Ka. BIN
2. Deputi–IX Ka. BIN
3. Dir–21
4. Dir-22
Perihal : Pendalaman Respon DDII terhadap Rencana 
Pemeriksaan Rizieq Shihab di Polda Metro Jaya
Ijin melaporkan,
Pada 04 Desember 2020 pukul 10.00 s.d 11.30 WIB di 
Pesanggrahan, Jakarta Selatan, diperoleh informasi dar
Ustad Nasruddin (anggota DDII/RDK) terkait respon DDII 
terhadap rencana pemeriksaan Rizieq Shihab di Polda 
Metro Jaya pada 07 Desember 2020, sbb :
1. Pihaknya belum mendengar adanya perintah khusus 
dari Rizieq Shihab terkait pengawalan ke Polda Metro 
Jaya atau jika Polisi memaksa untuk menjemput ke 
Petamburan.
2. Rizieq Shihab saat ini terlihat takut untuk memulai 
masalah lebih dahulu dan diperkirakan tidak akan 
datang dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya pada 
07 Desember 2020.
3. Ikhwan DDII di Tanah Abang, Benhil dan Tanjung 
Priok siap untuk berjihad. Jika ada benturan antara 
Rizieq Shihab dengan Polisi, maka akan terjadi 
pertumpahan darah.
4. Berdasarkan komunikasi dengan Suripto (PKS), 
momen kembalinya Rizieq Shihab dari Arab Saudi ke 
Indonesia merupakan upaya AS untuk mengganggu 
Indonesia.
Catatan :
- Hingga saat ini belum terdapat rencana mobilisasi 
massa DDII terkait pemanggilan Rizieq Shihab ke 
Polda Metro Jaya pada 07 Desember 2020, karena 
belum adanya instruksi langsung dari Rizieq Shihab.
- Namun perlu diantisipasi jika Rizieq Shihab hadir 
dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya, karena 
berpotensi memicu mobilisasi massa dari FPI dan 
pok pendukungnya, sebagai upaya memberikan 
tekanan ke pihak Polda Metro Jaya, agar tidak
melanjutkan penyeledikan kasus pelanggaran 
protokol kesehatan Covid-19. Di sisi lain, mobilisasi 
massa tersebut diindikasikan juga sebagai media 
Cipop bahwa Muhammad Rizieq Shihab mendapat 
banyak dukungan dari masyarakat.
Langkah Intelijen :
Binda DKI Jakarta telah melakukan upaya :
1. Melakukan pendalaman dan pemetaan jumlah massa 
yang akan ikut dalam rencana mobilisasi massa pada 
07 Desember 2020 ke Polda Metro Jaya.
2. Melakukan penggalangan terhadap Ormas Islam, 
Tomas, Toga, dan elemen lainnya dalam rangka 
meredusir dukungan terhadap Muhammad Rizieq 
Shihab dan pok pendukungnya.
A1
DUMP. PLT. KABINDA DKI JAKARTA
8. KaBINda Jabar melaporkan perihalnya dengan kalimat 
“Matriks Rekapan Giat Cipta Kondisi Kontra Rizieq Shihab 
(RS) di Jawa Barat” (Update 4 Desember 2020). Rekap 
laporan itu terhitung sejak 20 November s.d. 4 Desember 
2020.
9. KaBINda Jabar dalam laporannya mengungkapkan ten￾tang Tim Cyber BINda Jabar yang melaksanakan moni￾toring dan pemetaan guna melacak serta mengidentifikasi 
aktivitas propaganda Kelompok FPI dan PA 212 serta Eks HTI di jejaring sosial maupun internet, di samping melak￾sanakan upaya counter opini terhadap setiap seruan pro￾vokatif yang disebar pok tersebut. 
10. KaBINda Jabar melakukan analisis atas situasi, dalam 
klausul “Dampak”, KaBINda Jabar melaporkannya 
berupa prediksi aksi protes secara massif dari Pok FPI dan 
pendukung RS akan bermunculan di berbagai daerah. 
Dengan menggerakkan massa banyak sebagai bentuk 
loyalitas dan dukungan terhadap RS. Pada point nomer 
2, dilaporkan bahwa tidak menutup kemungkinan kasus 
yang menimpa RS akan dialihkan oleh Pok FPI dengan 
mengangkat isu penistaan ulama. Hal ini bertujuan untuk 
mendapatkan simpati dan dukungan dari Pok Islam 
lainnya, serta akan dimanfaatkan oleh Pok Oposisi untuk 
menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tebang 
pilih.
Contoh Laporan dari KaBINda Jabar adalah sebagai 
berikut.Kepada : Yth. 1. Ka. BIN
2. Waka BIN
Dari : Kabinda Jabar
Tembusan : 1. Deputi II
2. Deputi IX 
Perihal : Reaksi Kader FPI di Beberapa Daerah terhadap 
Pemanggilan Rizieq Syihab ke Polda Metro Jaya
Dilaporkan Info Intelijen Harian, 04 Desember 2020, di 
Wil Jabar, sbb:
BIDANG : IDEOLOGI
Pada 04 Desember 2020 di Kota Bandung diperoleh 
informasi dari FPI Jabar tentang Reaksi Kader FPI di 
Beberapa Daerah terhadap Pemanggilan Rizieq Syihab 
ke Polda Metro Jaya, dilaporkan sebagai berikut:
1. Pemanggilan terhadap Rizieq Shihab (RS) oleh pihak 
Polda Metro Jaya mengundang protes dari pengurus/
kader FPI di beberapa daerah. 
2. Pada Rabu 02 Desember 2020, perwakilan 
pengurus FPI di Kota Bogor, Kabupaten Tasikmalaya 
dan Kabupaten Bandung menyampaikan surat 
keberatan ke Polres di wilayah masing-masing terkait 
pemanggilan RS ke Polda Metro Jaya tersebut.
3. Pemanggilan RS yang terkesan dicari-cari. Isi surat 
keberatan yang disampaikan ke Polres pada intinya, 
yaitu dengan alasan kerumunan acara Maulid 
Nabi Muhammad SAW yang dituding melanggar 
protokol kesehatan pandemi COVID-19, maka RS 
diproses hukum. Sementara kerumunan lainnyayang melibatkan Gibran Rakabuming (Putra Presiden 
Jokowi) saat pendaftaran Pilkada serta banyak 
kerumunan lainnya, hingga saat ini tak dijerat 
hukum.
4. Semua pengurus dan kader FPI di daerah akan tetap 
patuh pada perintah RS dan siap mengawal kemuliaan 
RS yang saat ini sedang menghadapi persekusi dari 
penguasa karena borok kepentingannya (Omnibus 
Law, Deideologisasi Pancasila melalui RUU BPIP, 
Utang Luar Negeri, Politik dinasti, dll) akan diungkap 
dan digugat oleh umat Islam.
B. Analisis
1. Kedatangan HRS ke Indonesia memantik simpati 
dan dukungan perjuangan dari kelompok dakwah 
dan ormas Islam, bahkan ormas Islam atau kelompok 
dakwah yang selama ini tidak sejalan sekalipun. Yang 
berujung terhadap aksi protes di para pendukung RS 
berbagai daerah terkait pemanggilan RS ke Polda 
Metro Jaya.
2. Pok FPI dan Simpatisannya baru selesai 
melaksanakan reuni 212, yang disinyalir sebagai 
ajang persiapan pergerakan/mobilisasi massa damka 
antisipasi kelanjutan kasus RS. Yang tidak memutup 
kemungkinan akan menggiringkan isu penistaan 
Ulama kembali. 
C. Dampak
1. Diprediksi aksi protes secara masif dari Pok FPI 
dan pendukung RS akan bermunculan di berbagai 
daerah. Dengan mengerahkan massa banyak sebagai 
bentuk loyalitas dan dukungan terhadap RS.2. Tidak menutup kemungkinan kasus yang menimpa 
RS akan dialihkan oleh Pok PFI dengan mengangkat 
isu penistaan Ulama. Yang bertujuan untuk 
mendapatkan simpati dan dukungan dari Pok Islam 
lainnya. Serta akan dimanfaatkan oleh Pok Opisi 
untuk menyerang Kebijakan kebijakan pemerintah 
yang tebang pilih. 
D. Upaya
1. Terus laksanakan lidik, pendalaman, dan monitoring 
terhadap pergerakan RS dan kelompoknya terutama 
oleh FPI dan PA 212 serta Eks HTI di Wil Jabar.
2. Galtas Pok-Pok Ormas islam, Pimpinan Ponpes, Tokoh 
Agama, Tokoh Masyarakat dan elemen masyarakat 
laiinya untuk tetap menjaga kondusivitas wilayah dan 
tidak terprovokasi oleh ajakan kelompok-kelompok 
yang dapat memecah belah bangsa 
3. Mendorong Komite penanganan Covid-19 Jabar 
untuk terus mensosialisasikan protokol kesehatan 
di masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung 
dan menertibkan/membubarkan serta menindak 
kelompok-kelompok yang terbukti melakukan 
kegiatan yang menghadirkan kerumunan masa yang 
tidak menaati protokol kesehatan dan Pihak lembaga/
RS yang menghalangi proses penegakan peraturan 
4. Tim Cyber Binda Jabar laksanakan monitoring dan 
pemetaan, guna melacak serta mengidentifikasi 
aktivitas propaganda Kelompok FPI dan PA 212 serta 
Eks HTI di jejaring sosial maupun internet, di samping 
melaksanakan upaya counter opini terhadap setiap 
seruan provokatif yang disebar pok tersebut.E. Saran Tindak
Pusat meminta kepada Kemkopolhukam, Kemndagri, 
Kemenag, Panglima TNI, Kapolri, MUI dan Komite 
Penanganan Covid-19 untuk terus meningkatkan 
pembinaan dan pengawasan dan penindakan 
terhadap kelompok yang mengancam persatuan dan 
kesatuan bangsa serta mengantisipasi potensi semakin 
berkembangnya dan masifnya kegiatan yang dilakukan 
oleh Pok tersebut 
DMMP.
KABINDA JABAR
11. Pada klausul upaya, KaBINda Jabar menyatakan akan 
terus laksanakan lidik, pendalaman, dan monitoring 
terhadap gerakan RS dan kelompoknya terutama oleh 
FPI dan PA 212 serta Eks HTI di Wilayah Jabar. Pada 
Jumat (4/12 2020) itu, Kabinda Jabar melaporkan Info 
Intelijen Harian, per 4 Desember 2020 di Wilayah Jabar 
sebagai berikut
Kepada : Yth. 1. Ka. BIN
2. Waka BIN
Dari : Kabinda Jabar
Tembusan : 1. Deputi II
2. Deputi IX 
Perihal : Reaksi Kader FPI di Beberapa Daerah terhadap 
Pemanggilan Rizieq Syihab ke Polda Metro Jaya
Dilaporkan Info Intelijen Harian, 04 Desember 2020, di 
Wil Jabar, sbb :
BIDANG : IDEOLOGI
Pada 04 Desember 2020 di Kota Bandung diperoleh 
informasi dari FPI Jabar di Beberapa Daerah terhadap 
Pemanggilan Rizieq Syihab ke Polda Metro Jaya, 
dilaporkan sebagai berikut:
1. Pemanggilan terhadap Rizieq Shihab (RS) oleh pihak 
Polda Metro Jaya mengundang protes dari pengurus/
kader FPI di beberapa daerah. 
2. Pada Rabu 02 Desember 2020, perwakilan 
pengurus FPI di Kota Bogor, Kabupaten Tasikmalaya 
dan Kabupaten Bandung menyampaikan surat 
keberatan ke Polres di wilayah masing-masing terkait 
pemanggilan RS ke Polda Metro Jaya tersebut.
3. Pemanggilan RS yang terkesan dicari-cari. Isi surat 
keberatan yang disampaikan ke Polres pada intinya, 
yaitu dengan alasan kerumunan acara Maulid 
Nabi Muhammad SAW yang dituding melanggar 
protokol kesehatan pandemi COVID-19, maka RS 
diproses hukum. Sementara kerumunan lainnya 
yang melibatkan Gibran Rakabuming (Putra Presiden Jokowi) saat pendaftaran Pilkada serta banyak 
kerumunan lainnya, hingga saat ini tak dijerat 
hukum.
4. Semua pengurus dan kader FPI di daerah akan tetap 
patuh pada perintah RS dan siap mengawal kemuliaan 
RS yang saat ini sedang menghadapi persekusi dari 
penguasa karena borok kepentingannya (Omnibus 
Law, Deideologisasi Pancasila melalui RUU BPIP, 
Utang Luar Negeri, Politik dinasti, dll) akan diungkap 
dan digugat oleh umat Islam.
B. Analisis
1. Kedatangan HRS ke Indonesia memantik simpati 
dan dukungan perjuangan dari kelompok dakwah 
dan ormas Islam, bahkan ormas Islam atau kelompok 
dakwah yang selama ini tidak sejalan sekalipun. Yang 
berujung terhadap aksi protes di para pendukung RS 
berbagai daerah terkait pemanggilan RS ke Polda 
Metro Jaya.
2. Pok FPi dan Simpatisannya baru selesai 
melaksanakan reuni 212, yang disinyalir sebagai 
ajang persiapan pergerakan/mobilisasi massa damka 
antisipasi kelanjutan kasus RS. Yang tidak menutup 
kemungkinan akan menggiringkan isu penistaan 
Ulama kembali. 
C. Dampak
1. Diprediksi aksi protes secara masif dari Pok FPI 
dan pendukung RS akan bermunculan di berbagai 
daerah. Dengan menggerahkan massa banyak 
sebagai bentuk loyalitas dan dukungan terhadap 
RS 2. Tidak menutup kemungkinan kasus yang menimpa 
RS akan dialihkan oleh Pok PFI dengan mengangkat 
isu penistaan Ulama. Yang bertujuan untuk 
mendapatkan simpati dan dukungan dari Pok Islam 
lainnya. Serta akan dimanfaatkan oleh Pok Opisi 
untuk menyerang Kebijakan kebijakan pemerintah 
yang tebang pilih. 
D. Upaya
1. Terus laksanakan lidik, pendalaman, dan monitoring 
terhadap pergerakan RS dan kelompoknya terutama 
oleh FPI dan PA 212 serta Eks HTI di Wil Jabar.
2. Galtas Pok-Pok Ormas islam, Pimpinan Ponpes, Tokoh 
Agama, Tokoh Masyarakat dan elemen masyarakat 
lainnya untuk tetap menjaga kondusivitas wilayah 
dan tidak terprovokasi oleh ajakan kelompok￾kelompok yang dapat memecah belah bangsa 
3. Mendorong Komite penanganan Covid-19 Jabar 
untuk terus mensosialisasikan protokol kesehatan 
di masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung 
dan menertibkan/membubarkan serta menindak 
kelompok-kelompok yang terbukti melakukan 
kegiatan yang menghadirkan kerumunan masa yang 
tidak menaati protokol kesehatan dan Pihak lembaga/
RS yang menghalangi proses penegakan peraturan 
4. Tim Cyber Binda Jabar laksanakan monitoring dan 
pemetaan, guna melacak serta mengidentifikasi 
aktivitas propaganda Kelompok FPI dan PA 212 serta 
Eks HTI di jejaring sosial maupun internet, di samping 
melaksanakan upaya counter opini terhadap setiap 
seruan provokatif yang disebar pok tersebut.E. Saran Tindak
Pusat meminta kepada Kemkopolhukam, Kemndagri, 
Kemenag, Panglima TNI, Kapolri, MUI dan Komite 
Penanganan Covid-19 untuk terus meningkatkan 
pembinaan dan pengawasan dan penindakan 
terhadap kelompok yang mengancam persatuan dan 
kesatuan bangsa serta mengantisipasi potensi semakin 
berkembangnya dan masifnya kegiatan yang dilakukan 
oleh Pok tersebut 
DMMP.
KABINDA JABAR
12. Bidang Ideologi, BIN daerah Jabar juga melaporkan akan 
terus monitoring dan pendalaman pergerakan Pok KAMI, 
FPI, Ex HTI, PA 212, dan GNPF yang terus memanfaatkan 
isu aktual yang berkembang pasca kepulangan Rizieq 
Shihab serta melakukan deteksi dini ancaman konflik 
sosial dengan munculnya seruan jihad jelang dan pasca 
pemanggilan Rizieq Shihab oleh Polda Metro Jaya.
13. Pada bagian “catatan” yang diberikannya oleh KaBINda 
Jabar dalam laporan tersebut adalah bahwa hingga saat 
ini belum terdapat rencana mobilisasi massa DDII terkait 
pemanggilan Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya pada 7 
Desember 2020, karena belum adanya instruksi langsung 
dari Rizieq Shihab. Namun, perlu diantisipasi jika Rizieq 
Shihab hadir dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya,
karena berpotensi memicu mobilisasi massa dari FPI dan 
Pok pendukungnya, sebagai upaya memberikan tekanan 
ke pihak Polda Metro Jaya agar tidak melanjutkan 
penyelidikan kasus pelanggaran protokol kesehatan Covid 
19.
B. Penggalangan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat 
Menolak HRS dan FPI
1. Aparat Badan Intelijen Negara (BIN) bersama jaringan 
intelijen daerahnya yakni Komunitas Intelijen Daerah 
(Kominda) melakukan operasi penggalangan tokoh 
agama (Toga) dan tokoh masyarakat (Tomas) untuk 
menolak HRS dan FPI.
2. Dalam laporannya perihal “Matriks Kontra Propaganda 
terhadap RS di Provinsi Jateng” (Update 4 Desember 2020), 
ditulisnya bahwa kegiatan yang telah dilakukan antara 
lain: (1) AUR Penolakan RS di 16 Kab/Kota, (2) Penurunan 
Baliho, spanduk, dan Banner di 9 Kab/Kota.
3. Dalam isi laporannya diawali dengan kalimat:
Izin jenderal, melaporkan pada 5 Desember 2020, 
di wilayah Jateng akan berlangsung aksi unjuk rasa 
menolak kedatangan Rizieq Shihab sbb:
1) Rencana AUR menolak Rizieq Shihab oleh Generasi 
Muda (Geram) Wonogiri pada 5 Desember 2020 
pukul 09.00 WIB di Bundaran Patung Soekarno Kab. 
Wonogiri, akan berlangsung aksi unjuk rasa menolak kedatangan Rizieq Shihab oleh Geram Wonogiri 
dengan Korlap, a.n. Nur Kholis, jumlah massa sekitar 
100 orang.
2) Rencana AUR menolak Rizieq Shihab oleh Sedulur 
Masyarakat Rembang pada 5 Desember 2020, pukul 
10.00 WIB di Alun-alun Utara Kab. Rembang, akan 
berlangsung aksi unjuk rasa menolak kedatangan 
Rizieq Shihab oleh “Sedulur Masyarakat Rembang” 
dengan Korlap a.n. D Jowansah, diikuti sekitar 100 
orang.
3) Rencana AUR tolak Rizieq Shihab oleh Forum 
Banjarnegara Damai di Kab. Banjarnegara pada 5 
Desember 2020 pukul 09.00 s.d. selesai di sebelah 
Utara Alun-alun Banjarnegara Jln. Dipayuda.
4. KaBINda Jateng, juga membuat “Catatan” laporannya 
yang berbunyi: Rencana AUR tolak Rizieq Shihab di 
Kab. Wonogiri, Kab. Rembang dan Kab. Banjarnegara 
merupakan Opsint BINda Jateng memanfaatkan potensi 
masyarakat yang tidak sejalan dengan Rizieq Shihab dan 
bertujuan untuk menghambat pergerakan FPI di daerah 
Jawa Tengah serta rencana safari dakwah Rizieq Shihab.
5. KaBINda Jateng mengungkapkan taktik strateginya 
yang notabene merupakan “Langkah Intelijen” yakni 
(1) Bersinergi dengan Forkompimda untuk mengeluarkan 
pernyataan sikap menolak rencana safari dakwah Rizieq 
Shihab di wilayah Jawa Tengah, (2) Terus menggalang 
kekuatan masyarakat agar bersama-sama menolak keberadaan FPI di daerah, (3) Terus melakukan amplifikasi 
dan memviralkan aksi penolakan kedatangan Rizieq Shihab 
di wilayah Jawa Tengah melalui media massa dan media 
sosial. (Tertulis di bagian bawah dokumen laporannya 
tertanda KaBINda Jateng, 14.53, 12/4 2020//+62 812 8930 
5236.)
6. KaBINda Jatim, melaporkan kepada KaBIN dan 
WakaBIN yang ditembuskan kepada Deputi II KaBIN 
dan Deputi IX KaBIN bahwa pada 5 Desember 2020 pukul 
10.00 WIB di depan Gedung Negara Grahadi Kota Surabaya 
akan dilaksanakan aksi unjuk rasa dan deklarasi menolak 
kegiatan dakwah dan kehadiran Rizieq Shihab di Jawa 
Timur serta mendukung pemerintah membubarkan FPI, 
oleh sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam 
Pasukan Soerabaya Peduli Akan Keutuhan Indonesia 
(Pasopati), dengan massa sekitar 200 orang, dipimpin 
Yanto Banteng. Tuntutan yang akan disampaikan a.l. 
menolak rencana road show Rizieq Shihab dan siap 
menghadapinya bila memaksa, mendukung penuh semua 
aparatur Negara termasuk Polri dan TNI menindak tegas 
Rizieq Shihab, FPI, dan antek-anteknya yang menebar rasa 
kebencian, serta masyarakat Surabaya dan Jawa Timur 
menyatakan Rizieq Shihab bukanlah ulama.
7. KaBINda Jatim memberi “catatan” sebagai berikut: 
Jajaran BINda Jatim telah dan akan terus melakukan 
upaya Cipta Kondisi dan penggalangan kepada para Togadan Tomas dalam rangka kontra Giat Rizieq Shihab serta 
berkoordinasi dengan jajaran Kominda untuk antisipasi 
kemungkinan kedatangan Rizieq Shihab di wilayah 
Jawa Timur maupun kegiatan simpatisannya yang dapat 
memicu instabilitas wilayah. Di bagian paling bawah 
dokumen tertulis, ttd KaBINda Jatim, 10.59, 12/4/2020, 
Brigjen TNI Neno Hamriono.
Fakta-fakta yang terungkap tersebut, hanya beberapa 
lembar dari “dokumen intelijen” yang sudah terekspose 
di media umum, baik cetak maupun elektronik. (Fakta 
pendukung dapat lihat Lampiran Catatan VIII dan IX)
C. Kriminalisasi HRS
1. Bermula dari acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan 
pernikahan putri HRS yang bernama Syarifah Najwa 
Shihab dengan Habib Muhammad Irvan Alaydrus 
pada tanggal 14 November 2020. Akan tetapi, tanpa 
disangka-sangka banyak umat yang hadir, dikarenakan 
kerinduan terhadap HRS yang baru kembali ke Tanah 
Air setelah sekitar 3,5 tahun lamanya berada di Mekah, 
Arab Saudi.
2. Dalam pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW, DPP 
FPI tetap meminta kepada umat yang terlanjur hadir 
untuk melaksanakan protokol kesehatan, memakai 
masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Guna 
mendukung dan terlaksananya protokol kesehatan, pihak DPP FPI juga membagi-bagikan masker, 
menyediakan hand sanitizer gratis, dan tempat mencuci 
tangan.
3. Setelah acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan 
pernikahan putri HRS terlaksana, pihak Pemerintah 
Provinsi DKI Jakarta tetap menganggap acara tersebut 
melanggar Pergub DKI Jakarta, sehingga memberikan 
sanksi administratif kepada HRS sebesar Rp 50.000.000,- 
(lima puluh juta rupiah) dan sudah dibayarkan secara 
penuh.
4. Kepolisian Daerah Metro Jaya melakukan penyelidikan 
kepada HRS beserta pengurus DPP FPI dan beberapa 
instansi pemerintahan yang dianggap terlibat dalam 
pelaksana Maulid Nabi Muhammad tersebut, bahkan 
sampai saat ini HRS ditetapkan sebagai Tersangka dan 
ditahan di Polda Metro Jaya dalam perkara dugaan 
Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 93 UU No. 6 Tahun 
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216 
KUHP, selain itu 5 (lima) orang dari pengurus DPP Front 
Pembela Islam juga ditetapkan sebagai Tersangka dalam 
dugaan Perkara Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang 
Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216, Pasal 10, dan 
Pasal 35 KUHP. 
5. Terjadi diskriminasi hukum yang bertentangan dengan 
UUD 1945 yang menyatakan derajat kesamaan setiap 
orang di depan hukum, karena kasus kerumunan terjadidilakukan pula oleh Presiden RI di NTT. Begitu pula, 
fakta terjadi kasus kerumunan dalam acara Pemilihan 
Umum kepada Daerah (Pilkada) Wali Kota Solo; acara 
elite race marathon di Magelang; dan acara gelar parade 
Banser di Banyumas.
D. Pengerahan Pasukan Koopsus di Dekat Markas DPP 
FPI 
Ada desain operasi intelijen berskala besar terhadap 
HRS dan FPI yang didasarkan pada fakta-fakta sebagai 
berikut:
1. Menurut HRS, pengurus DPP FPI, dan saksi warga 
setempat terjadi gerakan pasukan “super elite” 
untuk unjuk kekuatan di dekat Markaz DPP FPI dan 
kediamannya di Jln. Petamburan, Tanah Abang, Jakarta 
Pusat. Fakta yang sama diungkapkan kembali oleh HRS 
saat menyampaikan eksepsinya dalam sidang di PN 
Jakarta Timur, (26/3 2021). Disebutkannya, Petamburan 
tempat tinggal HRS didatangi oleh Pasukan Koopsus TNI 
yang terdiri atas tiga pasukan elite TNI, yaitu Kopassus 
AD, Marinir AL, serta Paskhas AU. Pasukan Koopsus 
ini tidak bergerak kecuali dengan perintah Presiden, 
sebagaimana dilansir, news.detik.com. HRS menyebutkan, 
kehadiran pasukan Koopsus yang berhenti sejenak dan 
membunyikan sirine itu merupakan teror kepada diri 
dan keluarganya.2. Pasukan tersebut dikenal bernama Koopsus yang 
pergerakannya itu hanya bisa “digerakkan” oleh orang 
“besar” sehingga bermakna ada “pesan” tertentu yang 
ingin disampaikannya di balik aksi “Operasi Sirine” 
atau giat bunyi sirinenya yang meraung-raung.
3. Peristiwa itu juga dilansir oleh media massa umum, 
antara lain detikNews-Detikcom,yang menyatakan ada 
sejumlah kendaraan taktis (rantis) Koopsus unjuk 
kekuatan (show of force) di depan markas FPI di Jln 
Petamburan. Dalam video yang beredar, setidaknya 
ada 4 kendaraan milik TNI, yang salah satu di antarnya 
terlihat tulisan “Maung”. Juga, dua truk hitam, satu 
mobil patroli, dan satu motor Polisi Militer mengawal 
rombongan. Terdengar sirine meraung-raung beberapa 
saat hingga akhirnya meninggalkan lokasi. Rombongan 
ini sempat berhenti di depan plang SMP tersebut 
sehingga tampak pula plang DPP FPI.
4. Media Tempo.co menulis bahwa Komando Operasi 
Khusus (Koopsus) TNI merupakan satuan resmi yang 
terbentuk setelah Presiden Jokowi menandatangani 
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 
tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 10 Tahun 
2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional 
Indonesia. Adapun pertimbangannya adalah dalam 
rangka menghadapi ancaman yang memiliki eskalasi 
tinggi dan dapat membahayakan ideologi negara,kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan 
melindungi segenap bangsa Indonesia. Demikian Tempo.
co mengutip dari situs Sekretariat Kabinet Republik 
Indonesia, Senin, (22/7 2019).
5. Media Tempo menulis, Koopsus TNI ini dibentuk dari 
gabungan tiga matra. Matra darat, matra laut, dan matra 
udara. Koopsus diklaim bercirikan kemampuan khusus 
dengan tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi. 
Menurut Perpres Nomor 42 ini, Koopsus TNI bertugas 
menyelenggarakan operasi khusus dan kegiatan 
untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus yang 
membutuhkan kecepatan dan keberhasilan tinggi 
guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam 
maupun luar wilayah NKRI dalam rangka mendukung 
tugas pokok TNI. 
6. Dalam media detikNews, Jumat, 20 November 2020, 
07:41 WIB, dilansir berita bahwa Koopsus TNI 
dipimpin oleh DanKoopsus, yang berkedudukan di 
bawah serta bertanggung jawab kepada Panglima 
TNI. Adapun DanKoopsus TNI dijabat pejabat tinggi 
bintang 2. Dalam struktur organisasi TNI, Koopsus TNI 
tergabung ke dalam badan pelaksana pusat. Koopsus 
TNI mengkoordinasikan 3 pasukan elite dari tiap 
matra, yaitu Den-81 Kopassus, Den-Jaka Marinir, dan 
Sat-Bravo Paskhas. Koopsus TNI menyatukan 3 satuan 
elite tersebut untuk melakukan operasi bersama. Alur komandonya adalah misi khusus ini atas perintah 
Presiden kepada Panglima TNI dan Panglima TNI 
memerintahkan kepada Komandan Koopsus. Deputi 
V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardhani 
memastikan tidak ada tumpang-tindih fungsi dan 
wewenang Koopsus dengan satuan yang sudah ada di 
TNI. “Tidak ada, ini semacam operasi bersama untuk misi 
khusus,” katanya.

E. Penurunan Baliho
1. Sejak lama FPI dikenal sebagai organisasi yang sering 
mendayagunakan media spanduk, baliho, dan media 
publisitas ruang terbuka dalam mensyiarkan kegiatan 
dakwahnya, dan atau ketika akan melakukan safari 
dakwah di berbagai daerah. Demikian halnya menjelang
peristiwa kepulangannya HRS ke Indonesia, banyak 
spanduk, baliho, dan media informasi publisitas di 
ruang terbuka yang dibuat oleh masyarakat secara 
masif.
2. DPP FPI, HRS, dan sebagian besar aktivis dakwah yang 
sering mengikuti kegiatan di lingkungan FPI merasa 
terkejut tatkala mengetahui adanya fakta pernyataan 
Pangdam V Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurahman 
dalam apel di Monas Jakarta Pusat, (20/12 2020), yang 
seolah “menantang” FPI untuk bereaksi kepada dirinya 
yang menarasikan kata-kata “pembubaran FPI” serta 
melakukan aksi pencopotan spanduk, baliho, dan aneka 
media publisitas FPI di ruang terbuka. Fakta yang sama 
diungkapkan kembali oleh HRS saat menyampaikan 
eksepsinya dalam sidang di PN Jakarta Timur, (26/3 
2021).
3. Bagi HRS dan DPP FPI khususnya tidak bisa dipahami 
ihwal sesuaikah dengan tupoksinya jika TNI mesti 
dilibatkan oleh Mayjen TNI Dudung Abdurrahman 
untuk “melawan” spanduk, baliho, dan media publisitas 
ruang terbuka. Pasalnya, TNI bertugas pokok adalah 
menjaga kedaulatan negara sehingga karenanya 
memiliki pasukan bersenjata serta punya disiplin 
tempur yang istimewa dan atau bagi TNI bukan 
“lawannya” yang nir-militer bernama spanduk, baliho, 
dan media publisitas ruang terbuka.F. Operasi Media untuk Cipta Kondisi
1. Terjadi peristiwa cipta kondisi yang dilakukan aparat 
Badan Intelijen Negara (BIN) bersama jaringannya 
Kominda, juga dengan cara memanfaatkan sejumlah 
media massa mainstream dan medsos. Beberapa buzzer 
dan atau wartawan melakukan aktivitas penulisan di 
media massa cetak maupun elektronik yang bersifat 
propaganda untuk menjadikan HRS dan FPI sebagai 
“musuh bersama”, dengan modus menggelar kegiatan 
seperti Aksi Unjuk Rasa (AUR) bayaran sebagaimana 
terjadi di kawasan Sentul.
2. Aksi Unjuk Rasa (AUR) bayaran yang diduga rekayasa 
intelijen untuk kontra propaganda sehingga tercipta 
kondisi masyarakat benci HRS dan anti FPI. Seperti
Aksi Unjuk Rasa (AUR) yang dilakukan oleh sekelompok 
masyarakat di Bogor yang menamakan diri Forum 
Rakyat Padjajaran menolak keberadaan HRS. 
Demonstrasi digelar, pada Senin (30/11/2020) karena 
menduga HRS menjalani karantina pasca-pulang dari 
Rumah Sakit Ummi Kota Bogor di sekitaran Perumahan 
Mutiara Sentul Bogor, Jawa Barat.
Bersatu berunjuk rasa terkait soal tes Covid-19 HRS.
3. Aksi Unjuk Rasa (AUR) bayaran yang dilakukan oleh 
sekelompok masyarakat di Bogor yang menamakan diri 
Forum Rakyat Padjajaran tersebut diberitakan secara 
masif dalam berbagai media massa mainstream dan 
medsos, antara lain sebagai berikut:
1) KOMPAS TV, Selasa, 1 Desember 2020, 00:14 WIB, 
melansir berita: Perumahan Mutiara Sentul The 
Nature yang berada di kawasan Sentul, Kabupaten 
Bogor, Jawa Barat menjadi sasaran aksi demonstrasi 
sejumlah warga pada Senin (30/11/2020). Pihak yang 
melakukan demonstrasi menamakan diri mereka 
Kelompok Forum Rakyat Padjajaran. Aksi demo 
itu dilakukan karena mereka menduga pemimpin 
Front Pembela Islam (FPI) Muhamad Rizieq Shihab 
bersembunyi di salah satu rumah yang ada di kompleks 
tersebut. Dalam aksi demonstrasinya, Kelompok Forum 
Rakyat Padjajaran meminta Rizieq Shihab untuk 
keluar dari perumahan Mutiara Sentul The Nature.
2) OKENEWS, Senin 30 November 2020, 19:19 WIB,