Home » pelanggaran HAM 2 » pelanggaran HAM 2
Rabu, 16 Agustus 2023
AO terdapat luka tembak masuk (LTM) pada bagian
dada sisi kiri. Menurut saksi yang melihat jenazah di RS
Polri sebagaimana disampaikan pada TP3 dan sesuai
dengan yang disiarkan oleh Najwa Shihab dalam acara
Mata Najwa bulan Desember tahun lalu, ilustrasinya
adalah sebagai berikut:
AO (33) FAS (22)
Tiga titik merah di dada
kiri, Luka Tembak Masuk.
Bengkak dan lebam
bagian pipi kiri, kulit bagian
punggung melepuh, lecet di
bagian kepala sekitar 5cm,
kulit bagian pantat melepuh.
Dua titik merah di dada kiri,
Luka Tembak Masuk. Lebam
di bagian kening. Jahitan di
bagian leher. Luka Tembak
di paha kanan. Luka tembak
di tangan kiri
Menurut para saksi yang melihat jenazah, sebagaimana disampaikan kepada TP3, luka tembak tersebut
tegak lurus dan dari jarak dekat. Ada pun yang menjadi
pertanyaan adalah apakah penembakan hingga mati
terhadap AO dan FAS ketika mereka sedang melaju di
mobil Chevrolet Spin bisa menghasilkan luka tembak
masuk sebagaimana hasil autopsi atau ilustrasi di atas?
Sepanjang laporan Komnas HAM, TP 3 tidak melihat
ada pembuktian forensik seperti itu.
33. Di halaman 48 Komnas HAM melaporkan cerita
pembunuhan terhadap LH (22), MR (20) AS (26) dan
SKP (21) oleh Ipda EZ dan Briptu FR. Pada halaman 49
terdapat tabel (2) yang memberi ilustrasi posisi duduk
mereka di dalam mobil Xenia B 1519 UTI. Sebagaimana
dinarasikan kembali oleh Komnas HAM, EZ membunuh
LH dan AS, kemudian FR membunuh SKP dan MR.
Pembunuhan ini dilakukan, katanya, karena MR
mencekik FR dan LH berusaha merebut senjatanya FR.
Sekali lagi, semua kejadian yang diceritakan di sini
bersumber hanya dari pembunuh, jadi sebenarnya
tidak ada saksi.
34. Untuk menguji kebenaran cerita sepihak tersebut,
TP3 merekonstruksikan narasi Komnas HAM sebagai
berikut:
Lokasi kejadian menurut narasumber Komnas HAM
di KM 51 +200
35. Berdasarkan narasi yang disampaikan oleh Komnas
HAM maka urutan penembakan adalah sebagai
berikut;
1) Ipda EZ menembak LH hingga 4 x (empat kali)
2) Setelah selesai menembak LH kemudian Ipda EZ
menembak AS hingga 2 (dua) kali
3) Setelah EZ selesai menembak LH dan AS, (atau
bersamaan dengan itu), FR menembak SKP 3x (tiga
kali)
4) Setelah selesai menembak SKP (3x), terakhir FR
menembak MR hingga 2x (dua kali)
36. Banyak yang tidak masuk akal dengan cerita Komnas
HAM pada halaman 43, sehingga pantas jika TP3
berpendapat bahwa kejadian ini fiktif. Apa mungkin
ketika EZ melepaskan tembakan yang pertama
terhadap LH, laskar yang lain yaitu SKP,AS maupun MR
diam saja, pasrah, menunggu giliran ditembak? Refleks
manusiawi mendengar bunyi tembakan akan angkat
tangan, tanda menyerah, apalagi diketahui dalam
cerita ini mereka tidak bersenjata. Bukankah pada
tembakan yang pertama sudah bisa melumpuhkan
LH? Jika betul EZ adalah seorang polisi, maka tentu
setelah penembakan pertama, EZ cukup menodongkan
senjatanya saja untuk menghentikan yang katanya
ada upaya perebutan senjata dan pencekikan serta
penjambakan rambut. Mengapa LH harus ditembak
hingga 4 kali. Setelah tembakan pertama oleh EZ pada
LH dan tembakan pertama oleh FR pada SKP, tentu (jika
memang betul terjadi upaya perampasan senjata atau
pencekikan) semua itu sudah akan berhenti dan situasi
akan berada dalam kendali pihak yang menguasai
senjata api, sehingga tembakan-tembakan berikutnya
merupakan tembakan yang berlebihan. Jika betul
kejadiannya seperti itu, maka bisa dipastikan yang
melakukan ini semua adalah bukan polisi namun suatu
personil-personil dari satuan angkatan bersenjata yang
terlatih untuk membunuh musuh di medan perang. 37. Jika cerita dari narasumber Komnas HAM dianggap
betul, selama EZ melakukan tembakan kedua, ketiga
dan keempat, apakah AS tetap di tempat duduknya
tidak bereaksi sebelum dirinya ditembak dua kali oleh
EZ? Pertanyaan yang sama berlaku untuk FR. Selama
proses menembak SKP hingga 3 kali, apakah MR sama
sekali juga tidak bereaksi sebelum akhirnya dirinya
ditembak hingga 2 x? Apakah demikian protab polisi
menghadapi warga sipil, yang tidak bersenjata, mereka
juga masih tergolong sangat muda (umur 20, 22, dan 26
tahun), yang tidak ada catatan kejahatan pada mereka
dan juga sedang tidak melakukan kejahatan.
38. Sekarang marilah kita lihat secara khusus hasil autopsi
berupa luka tembak masuk (LTM) pada dada sisi kiri 4
(empat) laskar yaitu LH, AS, SKP dan MR;
- pada LH terdapat 4 (empat) LTM
- pada AS terdapat 2 (dua) LTM
- pada SKP terdapat 3 (tiga) LTM
- dan pada MR terdapat 2 (dua) LTM
39. Dengan melihat skenario kejadian pada butir 34, maka
kita bisa memastikan bahwa cerita kejadian pencekikan dan upaya perebutan senjata dibuat belakangan setelah melihat hasil autopsi berupa LTM pada jasad laskar. Cerita dibuat sedemikian agar sesuai (mencocoki)
dengan titik-titik LTM yang telah mereka ketahui ada
pada jasad laskar. Kesimpulannya perihal ini adalah
bahwa semua cerita tersebut maupun pembu nuhan terhadap pengawal HRS ini adalah operasi penghilangan jejak oleh pembunuh dan tampaknya operasi
penghilangan jejak ini dilakukan dengan cara bekerja
sama dengan lebih dari satu instansi negara sehingga
tampak suatu pola terstruktur mengikuti sistematika
tertentu.
40. Jika Komnas HAM ingin mempercayai cerita dari
narasumbernya, maka seharusnya menghadirkan ahli
yang dapat membuktikan bahwa kejadian di KM 51
+200 dengan ilustrasi sebagaimana kami sampaikan
pada butir 34 dan 35 di atas, dapat menghasilkan lukaluka sebagaimana yang kami ilustrasikan pada butir
38. Tanpa bukti ini, maka harus dianggap bahwa cerita
tersebut adalah fiktif dan merupakan cerita untuk
menutupi dari kejadian sesungguhnya dan Komnas
HAM terlibat juga dalam upaya penghilangan jejak ini.
41. Memang di halaman 97 dan seterusnya Komnas HAM
mengakui bahwa kejadian di KM 50 ini merupakan
unlawful killing namun hal ini tampak hanyalah
merupakan “consololation” (langkah menghibur) bagi
korban pembunuhan. Lebih dari itu dapat dikatakan
sebagai langkah menghindar dari kewajibannya untuk
melakukan penyelidikan atas dasar Undang-Undang
No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sehingga
merupakan langkah untuk melindungi dari pelaku dan
perancang pelanggar HAM berat
42. Pada halaman 51 Komnas HAM melaporkan adanya
barang bukti yang diserahkan oleh pihak PMJ kepada
Komnas HAM . Antara lain yang diserahkan sebagai
barang bukti ada 4 (empat) pucuk senjata api yang
katanya digunakan oleh anggota Resmob Ditreskrimum
PMJ, jenisnya HS 9, Sig Sauser dan CZ. Dalam keterangan
sebelumnya pihak PMJ mengatakan (halaman 7) bahwa
yang ditugaskan pada misi penguntitan ini ada dua
mobil. Mobil pertama berisi (1) Faisal, (2) Yusni, (3) Elwira,
(4) Fikri dan mobil kedua berisi (5) Adi dan (6) Toni. Jadi
sedikitnya berdasarkan keterangan PMJ ada 6 anggota
Resmob Ditreskrimum yang bertugas. Di halaman
14, tentang penggunaan senjata api diterangkan
bahwa setiap anggota dibekali dengan senpi dan 10
(sepuluh) peluru tajam. Berarti sedikitnya harus ada
6 (enam) senpi. Namun mengapa yang diserahkan
sebagai barang bukti hanya 4 (empat) senpi? Tidak
ada penjelasan mengapa 2 (dua) senpi yang lain tidak
diserahkan sebagai barang bukti.
43. Demikian juga tentang barang bukti yang lain,
dilaporkan diserahkan “1 katapel dan kelereng sebanyak
9 (sembilan) butir”, padahal dalam laporan polisi yang
dibuat oleh Briptu Fikri Ramadhan menyatakan,
melaporkan ada 10 kelereng yang ditemukan. Berikut
ini adalah laporan polisi tersebut;
Mengenai jumlah selongsong peluru juga berbeda
dengan jumlah yang terdapat pada laporan polisi.
Semua ini membuktikan bahwa pihak PMJ yang
mengaku melakukan pembunuhan sangat kesulitan
untuk menegakkan fakta. Sehingga yang terkesan
adalah pihak PMJ ini adalah pihak yang memang
ditugaskan untuk melindungi atau menutupi kejadian
yang sebenarnya.
44. Pada halaman 51 Komnas HAM melaporkan tentang
uji DNA terhadap barang bukti. Pada pokoknya
diceritakan bahwa pada barang bukti pedang dan pada
trigger senjata api jenis revolver terdapat darah yang
sama dengan darah yang ditemukan di mobil Chevrolet
Spin. TP3 berpendapat bahwa upaya pembuktian
model seperti ini adalah model pembuktian terarah
dan tertutup. Terarah karena hanya mengarah pada
hasil yang dikehendaki oleh yang menyerahkan barang
bukti. Tertutup karena semua pihak yang terlibat dalam
pengujian tidak bersedia membuka pikirannya (unopen
minded) untuk adanya kemungkinan lain selain yang
diarahkan itu.
Dalam kasus ini, pihak yang menyerahkan barang bukti
meminta pada “penguji” untuk menguji barang bukti,
apakah “darah” yang terdapat pada barang bukti pada
“A” adalah identik dengan “darah” yang terdapat pada
barang bukti pada “B”.
Hasil yang dikehendaki oleh yang menyerahkan barang
bukti adalah kesimpulan bahwa barang bukti A adalah
milik Mr.X1 dan Mr. X2.
Kesimpulan seperti itu lemah karena absennya faktafakta penting yang belum terbukti. Yaitu fakta bahwa
barang bukti “A” adalah milik Mr. X1 dan Mr. X2 dan
fakta bahwa Mr. X1 dan Mr.X2 pernah mengucurkan
darahnya pada barang bukti “B”. Sebab sekali lagi,
cerita tentang adanya fakta bahwa barang bukti “A”
ditemukan pada barang bukti “B” dan Mr. X1 dan Mr .
X2 mengucurkan darah ketika berada di dalam “barang
bukti B”, adalah cerita sepihak yang berasal dari para
pembunuh sendiri.
Dalam pengujian DNA ini tentu saja si “penguji” akan
mengatakan bahwa darah pada barang bukti “A” akan
identik dengan “darah” pada barang bukti “B”, jika para
pembunuh sengaja menempatkan darahnya Mr. X1 dan
Mr. X2 pada barang bukti “A” dan pada barang bukti “B”
tanpa harus diketahui oleh “penguji DNA”. Dengan kata
lain metode pembuktian ini menyesatkan dan lebih
merupakan metode untuk memfitnah Mr. X1 dan/atau
Mr. X2.
45. Jika betul para pembunuh yang mengaku dari PMJ
adalah yang melakukan pembunuhan terhadap para
pengawal HRS karena “self defence”, dan jika betul
mereka adalah polisi, maka tentu ketika menemukan
barang-barang bukti berupa senjata tajam (sajam)
dan senjata api (senpi), yang mereka lakukan tidak
membawanya keluar dari TKP. Namun, yang akan
mereka lakukan adalah mengamankan barang-barang
bukti tersebut untuk tetap berada di TKP. Terutama jika
diperlukan pernyataan bahwa barang-barang bukti
tersebut milik korban. Hal ini untuk menghindari
fitnah dan tuduhan rekayasa dan dalam rangka untuk
membuktikan terjadinya “self defence”. Jadi, seharusnya
tindakan yang dilakukan oleh mereka terhadap barang
bukti, yang menurut mereka, ditemukan di TKP, adalah
melakukan prosidur “sidik jari” .
46. Jika betul para pengawal HRS tersebut pernah
mengusai barang bukti sajam maupun senpi tentu
akan meninggalkan sidik jari. Sebab, dalam kasus ini
hanya dengan metode sidik jari saja dapat dipastikan
benar tidaknya barang bukti tersebut milik atau
pernah berada dalam kekuasaannya para pengawal
HRS yang dibunuh. Absennya prosedur “sidik jari” ini
makin menguatkan petunjuk bahwa pembunuhnya
bukan polisi. Kenyataan bahwa PMJ dan kepolisian
pada umumnya sibuk melakukan upaya untuk
mengaku sebagai pelaku pembunuhan dalam rangka
“self defence” makin memperkuat kesan bahwa mereka
bekerja dalam tekanan. Yaitu tekanan dari perancang
pembunuhan yang sebenarnya . Jika ada pihak yang
mampu menekan kepolisian RI, maka pihak ini sudah
tentu pihak yang mempunyai kekuatan bersenjata dan
kekuasaan politik negara. Dengan kata lain, apa yang
dilakukan oleh kepolisian sejak kejadian hingga hari ini,
dengan menjadikan beberapa polisi menjadi tersangka
“unlawful killing” tidak lain hanya merupakan bagian dari
“operation Cover-Up” yang dilakukan secara sistematis.
Sebab kenyataannya tidak ada dari para tersangka polisi
yang ditetapkan tersebut ditahan sehingga kuat kesan
bahwa polisi tidak sungguh-sungguh dalam menetap
tersangka mengingat tersangka pelanggaran prokes
kesehatan saja dicari-carikan pasal untuk ditahan dan
akhirnya ditahan.
BERBAGAI PENILAIAN TENTANG LAPORAN KOMNAS
HAM
1. TP3 menjumpai fakta tentang tidak tuntasnya Komnas
HAM dalam melaksanakan mandat Pasal 89 ayat (3) UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM secara kualitatif dan
atau masih dalam kategori Pemantauan sebagaimana
terbukti dari isi Rekomendasi yang disampaikan oleh
Komnas HAM sebagai berikut:
a. Peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI
merupakan kategori dari pelanggaran HAM. Oleh
karenanya, Komnas HAM merekomendasikan kasus
ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan
mekanisme pengadilan Pidana guna mendapatkan
kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan
keadilan.
b. Mendalami dan melakukan penegakan hukum
terhadap orang-orang yang terdapat di dalam dua
mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B
1278 KJD.
c. Mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang
diduga digunakan oleh laskar FPI.
d. Meminta proses penegakan hukum, akuntabel,
objektif, dan transparan sesuai dengan standar Hak
Asasi Manusia.
2. Dalam rekomendasi itu (di bagian akhir) Komnas
HAM menyatakan bahwa laporan penyelidikan—yang
disusun oleh Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas
HAM dan disiarkan di Jakarta, 8 Januari 2021—itu akan
disampaikan kepada Presiden dan Menkopolhukam.
Dalam hal ini, Komnas HAM RI berharap—sekali lagi
“berharap”—agar pengungkapan peristiwa kematian 6
(enam) Laskar FPI dapat dilakukan secara transparan,
obyektif, profesional, dan kredibel.
3. Komnas HAM belum melaksanakan mandatnya sesuai
Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang
terbukti dari pernyataan butir keempat REKOMENDASI
Komnas HAM yang menyebutkan: Meminta Proses Penegakan Hukum, Akuntabel, Objektif, dan Transparan
sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia. Atau relevan
dengan fakta butir kedua REKOMENDASI Komnas HAM
yang berbunyi: Mendalami dan Melakukan Penegakan
Hukum Terhadap Orang-orang yang Terdapat Dalam
Dua Mobil Avanza Hitam N 1739 PWQ dan Avanza
silver B 1278 KJD. Selain itu, juga relevan dengan butir
kedua POKOK PERISTIWA yang dinyatakan Komnas
HAM bahwa “Terdapat pengintaian dan pembuntutan
di luar petugas kepolisian. (Penggunaan narasi
“Meminta”, “Mendalami”, dan “Melakukan Penegakan
Hukum” merupakan bukti bahwa Komnas HAM belum
melakukan “penyelidikan kualitatif” sebagaimana
amanat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, sehingga “menyerahkan” fungsi dan tugasnya
kepada pihak lain di luar Komnas HAM).
4. Tidak tuntasnya pemeriksaan dan penyelidikan
Komnas HAM sebagai bagian dari fungsi Pemantauan
sebagaimana dimaksud Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun
1999 disebabkan dua hal. Pertama, untuk pemanggilan
pihak terkait untuk memberikan keterangan tertulis
dan meminta dokumen sesuai aslinya seharusnya
dengan persetujuan Ketua Pengadilan (vide Pasal 89
ayat (3) butir f dan g). Kedua, keliru Komnas HAM dalam
proses penyelidikan dan pemeriksaan mengambil dasar
hukum UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM semestinya mendasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Dengan demikian penyelidikan
yang dilakukan Komnas HAM bukan merupakan
penyelidikan yang bersifat “Pro-Justisia” karena
memang sekedar “Pemantauan”.
5. Pendapat Komnas HAM (halaman 103) bahwa kasus
tewasnya 4 (empat) orang Laskar FPI merupakan kategori pelanggaran HAM dan merekomendasikan mekanisme pengadilan Pidana, merupakan langkah kompromistis Komnas HAM. Di satu pihak ingin memperoleh
citra bahwa Komnas HAM telah melaksanakan tugasnya namun di pihak lain sebenarnya langkah untuk
menghindar dari kewajibannya melakukan penyelidikan berdasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang HAM.
KOMNAS HAM MENGABAIKAN ATAU KURANG MENDALAMI BARANG BUKTI DARI FPI
1. Bahwa tidak tuntasnya Komnas HAM melaksanakan
mandat Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM dan atau tidak melakukan penyelidikan dan atau
bahkan Komnas HAM belum mengungkapkan peristiwa
kematian 6 (enam) Laskar FPI secara transparan, proses
keadilan yang profesional, dan kredibel, terbukti dari
tidak dilakukannya pemeriksaan dan penyelidikan
secara seksama atau pendalaman secara benar dan baik
yang melibatkan para ahli yang kompeten terhadap
semua barang bukti yang sudah disampaikan oleh pihak
FPI dan keluarga korban yang antara lain berupa; (1)
Voice note sejumlah 105 percakapan, (2) R e k a m a n
pembicaraan, (3) Foto mobil yang dicurigai, (4) J e j a k
digital untuk lini masa digital, (5) Foto kondisi jenazah
yang diterima keluarga sebanyak 32 lembar, (6) Fotofoto terkait peristiwa penangkapan agen BIN tanggal 4
Desember 2020. (7) Pandangan hukum atas peristiwa
2. Jika Komnas HAM mendalami bukti-bukti baik
dokumen maupun keterangan dari FPI maka akan
ditemukan sistematiknya peristiwa pembunuhan dan
penyiksaan enam pengawal HRS. Hal ini menjadi alasan
bahwa pembunuhan tersebut adalah pelanggaran HAM
berat yang harus diproses melalui Pengadilan HAM.
3. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM menyatakan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa a. pembunuhan.....f. penyiksaan..”
4. Bahwa dari bukti foto jenazah dan keterangan pihak
yang turut memandikan jenazah, maka fakta yang
terjadi adalah bahwa keenam pengawal HRS diduga
kuat mengalami penyiksaan sebelum ditembak mati.
Tentu membutuhkan tempat tertentu untuk melakukan
penyiksaan yang kecil kemungkinan dilakukan di mobil
Avanza B. 1519 UTI atau mobil lainnya. Sayangnya,
Komnas HAM tidak mengungkap tempat tersebut,
bahkan mengesampingkan terjadinya penyiksaan.
Mabes Polri sendiri dalam rilisnya telah menyatakan
bahwa calon tersangka anggota Polri Metro Jaya (PMJ)
selain akan dikenakan ketentuan Pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan, juga Pasal 351 ayat (3) yaitu
penganiayaan yang menyebabkan kematian.
5. Bahwa pembunuhan ini dilakukan secara sistematik
tergambar dalam uraian Bab II buku ini dengan
penegasan:
Pertama, pembunuhan dan penyiksaan adalah
bagian dari serangan sistematik yang terjadi sejak
pembuntutan dan penguntitan terhadap HRS tanggal
4 Desember 29020 di Mega Mendung. Diawali dengan
terdeteksi pengawasan menggunakan drone oleh agen
Intelijen yang terbongkar oleh laskar FPI. Pembuntutan
masif berlanjut hingga operasi pengejaran pada tanggal
6 Desember 2020 yang berujung pada penyiksaan dan
pembunuhan.
Kedua, pembunuhan ini bagian dari operasi
pembunuhan politik yang bukan semata kerja aparat
Kepolisian. Dimulai dari penurunan spanduk dan baliho
oleh sekitar 500 personil pasukan TNI atas perintah
Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman tanggal 20 November 2020. Dilanjutkan dengan teror
konvoi kendaraan tempur Koopsus ke dekat Markas FPI
Jln Petamburan oleh pasukan elite gabungan Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Ketiga, Pembunuhan dan penyiksaan ini menjadi
bagian dari serangan sistematik sehubungan dengan
kepulangan HRS ke tanah air, bahkan jauh sebelum
kepulangan yakni gangguan selama di Saudi Arabia.
Kemudian mencari kesalahan untuk dicocok-cocokkan
dengan ketentuan hukum yang berlaku atas acara
pernikahan di Petamburan dan pengajian maulid Nabi
di Mega Mendung. Proses peradilan HRS dan pimpinan
FPI lainnya kini adalah bukti dari operasi pemerintah
untuk menekan dan melumpuhkan lawan politik.
KOMNAS HAM TIDAK OPTIMAL MENGGALI DATA
1. Komnas HAM baru melakukan Pemantauan belum
melakukan penyelidikan “pro justisia” dan atau bahkan
Komnas HAM belum optimal menggali data peristiwa
kematian 6 (enam) laskar dengan fakta sebagai berikut:
2. Komnas HAM terbukti lebih banyak meminta dan atau
menerima barang bukti resmi dari Kepolisian antara
lain berupa:
a. Sejumlah powerpoint (PPT) yang menjelaskan
peristiwa (Inafis, Labfor, Kedokteran, Siber) disertai
dengan foto
b. Voice note yang diperoleh dari HP (handphone) korban
sejumlah 172 rekaman dan 191 transkripnya.
3. Dalam hal ini, Komnas HAM tidak mencari data
kebenaran dengan meminta rekaman Voice note HP
(Handpohone) atau bukti percakapan atau bukti texting
dari para pembuntut yang menurut PMJ adalah anggota
Kepolisian. Sebab komunikasi para penguntit ini (kalau
betul mereka anggota Kepolisian) baik dengan sesama
pembuntut maupun dengan atasan pasti terdapat jejak
di perangkat komunikasi mereka. Justru merupakan
kepentingan mereka untuk bisa diperlihatkan
kepada publik maupun Komnas HAM sebagai bentuk
transparansi dan sebagai bentuk pertanggungan jawab
atas alasan bahwa mereka membunuh karena “self
defence”. Tidak adil atau diskriminatif jika Komnas HAM
hanya membuka voice note anggota laskar, sementara
para penguntit/pembuntut yang katanya Polisi tidak.
Yang terkesan di sini sikap melindungi pihak penguntit
untuk diketahui identitasnya yang sebenarnya atau
karena ditekan oleh instansi negara yang berada
dibalik pihak penguntit untuk hanya fokus pada laskar
dan memalingkan muka dari penyelidikan ke arah
penguntit.
4. Demikian juga dengan jejak rekam digital lini masa dan
atau CCTV dari semua aparat yang katanya kepolisian
dan atau warga sipil di lingkungan instansi kepolisian
yang terlibat dan atau diduga mengetahui peristiwa
pembunuhan enam Laskar FPI. Misal, Komnas HAM
tidak menyelidiki barang bukti CCTV salah satu warung
di TKP KM 50 yang disita dan atau diganti oleh petugas
kepolisian.
5. Demikian halnya, Komnas HAM hanya meminta
dan atau menerima barang bukti dan atau sekadar
memantau dari pihak Jasa Marga berupa:
a. video rekaman situasi jalan tol dan pintu gerbang
keluar masuk yang terkait peristiwa berjumlah
9.942,
b. Screen capture dari smart CCTV Speed-Counting/Speedcam sejumlah 137.548 foto; tetapi Komnas HAM tidak
meminta dan menyelidiki secara profesional dan
kredibel semua rekaman Voice note HP (Handphone)
dari semua karyawan Jasa Marga yang terlibat dan
atau diduga mengetahui peristiwa pembunuhan
enam Laskar FPI.
6. Data penting yang diabaikan oleh Komnas Ham adalah
tidak menggali keberadaan mobil Land Cruiser yang
tiba di KM 50. Mereka adalah komandan lapangan yang
terlihat memberikan perintah dan komando, bahkan
memimpin selebrasi keberhasilan. Benarkah Komnas
HAM hanya mengetahui sebatas penumpang di mobil
Land Cruiser tersebut adalah AKP WI dan Ipda R? adakah
petinggi Polri atau instansi lain berada di Land Cruiser
tersebut? Mengapa nopol mobil tersebut tidak terekam?
Demikian juga keberadaan mobil Avanza hitam B 1739
PWQ dan Avanza B 1278 KJD yang tidak diakui sebagai
mobil pembuntut dari Kepolisian. Kedua mobil ini
membuntuti sejak perumahan Sentul hingga KM 50
tempat Kejadian Perkara. Bahkan dugaan kuat personil
di kedua mobil ini yang menembak dua anggota Laskar.
Karenanya Komnas HAM merekomendasikan agar
“melakukan penegakkan hukum terhadap orang-orang
yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B 1739
PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD”. Seharusnya Komnas
HAM berupaya meminta keterangan kepada saksi-saksi
atau langsung kepada penumpang kedua mobil yang
terlibat kejahatan tersebut. Melalui Kepolisian mudah
untuk mendapatkan data kepemilikan mobil di atas.
7. Komnas HAM hanya tertarik pada potongan informasi
yang dapat digunakan untuk menyudutkan para
pengawal HRS, tanpa bersedia memahami keseluruhan
konteksnya. Misalnya, di halaman 33 dari laporan
Komnas HAM, terdapat potongan rekaman yang
berbunyi, “anak-anak lagi nyerang balik”. Oleh Komnas
HAM, potongan ini diterjemahkan seolah-olah sebagai
perilaku kekerasan. Kalau pun betul demikian, Komnas
HAM tidak memedulikan kata “balik” dalam kalimat
tersebut, yang artinya apa yang dilakukan para pengawal
HRS hanyalah bereaksi atas terjadinya serangan.
Kalimat tersebut lebih mempunyai arti bahwa serangan
kepada para pengawal HRS terjadi lebih dahulu, baru
kemudian menyerang balik. Namun laporan Komnas
HAM menempatkan kalimat tersebut sebagai bukti
adanya aksi kekerasan dari para pengawal HRS. Jika
Komnas HAM bersedia mendengarkan dan mempelajari
secara seksama rekaman penuh dari kalimat tersebut,
maka seharusnya juga dipahami situasi keseluruhan.
TP3 mendengarkan rekaman penuh dan menurut TP3
justru rekaman tersebut menggambarkan situasi yang
cenderung para pengawal HRS sedang berada dalam
todongan senjata api penguntit (at gun point) kemudian
ditembak (dieksekusi). Karena HRS ikut mendengarkan
voice notes tersebut, maka untuk menenangkan HRS
begitulah jawabannya pendamping HRS. Apa yang
merupakan jawaban berbunyi “lagi nyerang balik” juga
tidak pernah terbukti bahwa hal itu betul-betul terjadi.
KOMNAS HAM TIDAK MENGGALI INFORMASI
KUALITATIF
Komnas HAM belum menggali informasi yang
mendalam dan kualitatif terbukti TP3 menjumpai berbagai
kejanggalan dalam “Laporan Penyelidikan Peristiwa
Kematian 6 (Enam) Orang Laskar FPI Di Karawang 7
Desember 2020”. Ada pun kejanggalan yang menimbulkan
berbagai pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama, benarkah para pengawal HRS yang diikuti
itu mengetahui bahwa pembuntut atau penguntit itu
adalah petugas baik kepolisian atau instansi lainnya?
Faktanya keenam anggota laskar maupun pengawal
HRS lainnya sama sekali tidak mengetahui bahwa
penguntit dan pembuntut itu adalah petugas atau aparat
negara. Karenanya, dalam Laporan Komnas HAM ini
semestinya melepas dahulu predikat “petugas” sebab
diketahui bahwa mereka adalah petugas setelah diakui
oleh Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran pada konperensi
pers tanggal 7 Desember 2020;
2. Kedua, dalam Kesimpulan Laporan Komnas HAM tegas
dinyatakan bahwa “Terdapat pengintaian dan pembuntutan di luar petugas kepolisian” semestinya diketahui
oleh Komnas HAM siapa pengintai dan pembuntut di
luar petugas kepolisian itu apakah preman penyusup,
aparat intelijen, Koopsus atau instansi lain? Hal ini
penting bagi pengusutan tindak lanjut sekaligus pembuktian bahwa pembunuhan enam pengawal HRS ini
dilakukan secara sistematik. Bukankah Komnas HAM
telah menemukan bahwa pengintaian dan pembuntutan dilakukan berdasarkan “Surat Perintah”?
3. Ketiga, pengintaian dan pembuntutan HRS yang
didasarkan pada “Surat Perintah” tersebut, semestinya
mendapatkan penelaahan dan kajian mendalam
Komnas HAM tentang keabsahan hukumnya, sebab
status HRS saat itu bukan tersangka apalagi buron atau
masuk DPO. Akan tetapi, baru sebatas “Saksi” dalam
kasus kerumunan yang dikualifikasikan pelanggaran
UU Kekarantinaan Kesehatan. Itu pun HRS telah terkena
hukuman denda dan membayarnya uang sebesar Rp 50
juta.
4. Keempat, kesimpulan terjadinya tembak-menembak
yang menyebabkan meninggalnya dua pengawal HRS
yakni Andi Oktavian dan Faiz Ahmad Syukur hanya
didasarkan pada kesaksian pihak yang membunuh.
Tiadanya bukti lain serta menyaksikan bukti
penglihatan atas jenazah memberikan keyakinan bagi
TP3 bahwa keduanya itu ditembak mati dari jarak dekat
dan tidak dalam keadaan tembak menembak atau
sedang melakukan perlawanan. Ihwal kepemilikan
senjata juga hanya berdasarkan bukti sepihak dari
yang melakukan pembunuhan, tidak didasarkan
atas pemeriksaan sidik jari. Diperkuat kesaksiannya
FPI maupun keluarga, bahwa anggota laskar dalam
melakukan pengawalan HRS tidak dibekali dengan
senjata api atau senjata rakitan serta senjata tajam
lainnya. Sebab, hal itu merupakan larangan keras dalam
organisasi FPI. Selain itu, ada bukti lain yakni keluarga
korban menantang aparat kepolisian untuk melakukan
sumpah mubahalah, ternyata pihak aparat Polda Metro
Jaya tidak berani menghadapinya.5. Kelima, kondisi jenazah Andi Oktavian dengan 1 LTM
pada mata kiri, 1 LTK pada pelipis kiri, 2 LTM pada dada
sisi kiri, dan 2 LTK pada punggung sisi kiri, ditambah
dengan kulit bagian punggung melepuh, lecet di bagian
kepala, patah tulang pelipis kiri, serta kulit bagian
pantat melepuh bukanlah gambaran akibat dari
tembak menembak, melainkan bekas penyiksaan dan
penembakan berulang-ulang. Demikian juga dengan
kondisi Faiz Ahmad Syukur yang menunjukkan 2 LTM
pada dada sebelah kiri, 2 buah LTK pada punggung sisi
kiri, 1 LTM pada lengan bawah kiri sisi dalam, anak
peluru yang bersarang di lengan bawah kiri, 1 LTM pada
paha kanan sisi luar, 1 LTK pada paha kanan sisi depan,
serta lebam di bagian kening. Hal itu membuktikan
tidak mungkin keadaan tersebut adalah akibat dari
tembak menembak, tapi akibat dari siksaan dengan
benda tumpul dan tembakan tembakan berulang-ulang
yang mematikan.
6. Keenam, Komnas HAM yang telah mengesampingkan
kemungkinan terjadi penyiksaan dan penembakan
sepihak pada kedua pengawal HRS tersebut adalah
kesalahan besar. Dalam hal ini, ada peran instansi di
luar Kepolisian yang berada di mobil Avanza hitam
B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Komnas
HAM meminta untuk melakukan “penegakkan hukum
terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil
Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278
KJD”. Selayaknya para penumpang dari kedua mobil
tersebut ditetapkan sebagai tersangka penyiksaan dan
pembunuhan.
7. Ketujuh, terhadap keempat pengawal HRS lainnya
yang meninggal, yang menurut Polisi ditembak di
mobil Avanza B 1519 UTI, semestinya Komnas HAM
tidak menerima begitu saja keterangan sepihak dari
kepolisian. Meski dikategorikan unlawful killing
sekaligus sebagai pelanggaran HAM, namun melihat
kondisi jenazah keempat pengawal HRS tersebut yang
antara lain lebih dari dua tembakan (bahkan ada yang
empat tembakan) pada dada sisi kiri, tembakan pada
punggung sisi kiri, melepuh kulit belakang, kemaluan
bengkak dan melepuh, lebam mata kiri, tangan
melepuh, pipi dan kening bengkak menghitam, maka
menunjukkan adanya penyiksaan atau penganiayaan
sebelum ditembak berulang-ulang hingga mati.
8. Kedelapan, enam pengawal HRS itu ditembak dari
jarak dekat, di samping menepis terjadinya tembak
menembak juga tiadanya bukti lain selain kesaksian
dari pihak yang membunuh tentang terjadinya
peristiwa penembakan dalam mobil yang sedang
berjalan. Akurasi tembakan yang mematikan, tepat
di dada, sulit diterima jika dilakukan dalam keadaan
mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Komnas HAM menjelaskan “Keterangan ahli forensik kepada Komnas
HAM menerangkan bahwa seluruh korban memiliki
pola luka tembak yang sama, yaitu di dada kiri dan
berbentuk circular/bulat bukan elips. Ahli menduga
bahwa penembakan dilakukan dalam jarak kurang dari
1 (satu) meter”. Kemudian ditegaskan bahwa “kematian
keenam orang anggota Laksus FPI merupakan bentuk
pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang dijamin
dalam UUD 1945 dan Pasal 9 UU No. 39 tahun 1999”.
9. Kesembilan, kejanggalan terjadi berkaitan dengan
kondisi mobil Xenia Silver Nopol B 1519 UTI. Mobil ini
dikatakan oleh pembunuh adalah mobil yang dipakai
untuk mengangkut empat pengawal HRS yang masih
hidup. Kemudian keempat pengawal HRS itu, yakni Ahmad Sofyan, Lutfil Hakim, Suci Kadafi, dan Muhammad
Reza ditembak karena melakukan perlawanan, Mobil B
1519 UTI tidak tercatat sebagai mobil yang membuntuti
dan terlibat saling serempet di Karawang Timur hingga
Gerbang Tol Karawang Barat. Namun, anehnya kondisi
mobil ini ‘berantakan” seperti dua lubang tembak pintu
sisi kanan, satu lubang tembak dekat lampu rem, lampu
rem yang pecah, body belakang di atas tulisan Xenia ada
satu lubang tembak, bodi mobil belakang ada 2 lubang
tembak di atas list chrome, kaca retak di belakang, kap
mobil ada baretan menyerupai bekas tubrukan. Padahal yang terlibat dalam kejar mengejar dan saling serempet serta “tembak menembak” itu hanya tiga mobil
yaitu Avanza silver K 9143 EL, Avanza hitam B 1739 PWQ
dan Avanza silver B 1278 KJD. Hal ini diduga akibat
skenario awal bahwa semua peristiwa adalah “tembak
menembak” sebagaimana saat press conference Kapolda
Metro Jaya yang didampingi Pangdam Jaya tanggal 7
Desember 2020. Tersangka pun adalah keenam jenazah
pe ngawal HRS tersebut.
10. Kesepuluh, pertanyaan penting adalah menurut
Komnas HAM siapa pelaku pembunuhan katagori
pelanggaran HAM berat ini? Setelah gagal pihak
Kepolisian menetapkan keenam pengawal HRS sebagai
tersangka, maka terpaksa tersangka pelaku kejahatan
“unlawful killing” adalah aparat Kepolisian itu sendiri.
Simpang siur Komnas HAM dalam mengindikasi. Di
satu sisi, penembak empat pengawal HRS adalah aparat
yang berada di mobil B. 1519 UTI dan itu adalah Ipda
Yusmin (pengemudi), Ipda Elwira (duduk di depan
sebelah kiri, samping sopir) dan Briptu Fikri Ramdhani
(di tengah, sebelah kiri). Di sisi lain, ada keterangan
“senjata Faisal sempat digunakan Yusmin untuk
melakukan penembakan kepada Andi tiga kali dan
Luthfi sebanyak dua kali” ditambahkan oleh Komnas
HAM “Berdasarkan keterangan tersebut, petugas
Kepolisian yang melakukan penembakan adalah Faisal,
Yusmin, Fikri, dan Elwira”.11. Kesebelas, sesuai dengan Konperensi Pers Komnas HAM
terdapat kalimat “Bahwa empat anggota Laksus tersebut
kemudian ditembak mati di dalam mobil petugas saat
dalam perjalanan dari KM 50 ke atas (menuju Polda
Metro Jaya), semua ini didasarkan kesaksian sepihak
dari yang melakukan pembunuhan semata bahwa
terlebih dahulu teltah terjadi upaya melawan, yang
katanya petugas, yang mengancam keselamatan diri
sehingga diambil Tindakan tegas dan terukur”. Atas
hal ini telah dibuat laporan kepada Kepolisian oleh
anggota Kepolisian Polda Metro Jaya, yakni Briptu Fikri
Ramdhani dengan Saksi Bripka Adi Ismanto dan Bripka
Faisal. Apakah betul ketiga orang inilah yang dianggap
mengetahui peristiwa penembakan anggota laskar FPI
hanya diperintahkan untuk membuat laporan?
KOMNAS HAM SEMESTINYA MENGGUNAKAN UU NO. 26
TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM
1. Dasar hukum penyelidikan “Pro-Justisia” Komnas HAM
semestinya bukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
melainkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM karena sejak awal sudah dapat ditangkap bahwa
peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI tidak
berdiri sendiri, menjadi bagian dari pelaksanaan
“Surat Perintah” untuk melakukan pengintaian dan
pembuntutan HRS. Ada peristiwa pendahuluan dan
pasca pembunuhan yang membuktikan adanya unsur “sistematik” sebagai elemen penting terjadinya
pelanggaran HAM berat. Aneh Komnas HAM jika tidak
menjadikan dasar hukum kuat untuk melakukan
penyelidikan “Pro Justisia”. Bahkan sebenarnya
kekeliruan Komnas HAM menggunakan acuan UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang maksimal hanya
melakukan “Pemantauan” itu adalah dapat dianggap
sebagai kesengajaan untuk menghindar dari kewajiban
untuk melakukan penyelidikan ke arah pelanggaran
HAM berat.
2. Dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM maka Komnas HAM sebagai penyelidik
berwenang melakukan penyelidikan. Pemeriksaan
dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM.
Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat
melibatkan unsur masyarakat. Inilah obyektivitas
yang sangat dibutuhkan dalam menyelidiki peristiwa
pembunuhan dan penyiksaan enam pengawal HRS.
3. Pasal 18 ayat (2) menyatakan: “Komnas HAM dalam
melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas
Komnas HAM dan unsur masyarakat”.
4. Dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM maka kewenangan Komnas HAM
untuk melakukan penyelidikan menjadi sangat besar
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20Undang-Undang ini. Bahkan dalam Pasal 25 Komnas
HAM dapat sewaktu-waktu meminta keterangan kepada
Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan
penuntutan perkara pelanggaran HAM berat..***
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam
Pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS)—disebut sebagai
TP3—sesungguhnya mempunyai misi yaitu melakukan
pengawalan. Adapun yang dilakukan dalam menjalankan
misinya tersebut antara lain TP3 menguji kebenaran langkah
dan pernyataan pemerintah maupun penegak hukum
sehubungan dengan terjadinya pembunuhan atas enam
warga negara Indonesia (WNI) yang kebetulan merupakan
pengawal HRS. Sebagai contoh, ketika TP3 pada tanggal 9
Maret 2021 beraudiensi dengan Presiden Jokowi di Istana
Merdeka, Jakarta. Menko Polhukam Mahfud MD yang pada
waktu itu mendampingi Presiden RI menyatakan di depan
TP3 bahwa untuk dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran
HAM berat harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis,
dan masif (TSM).
Gambar 1.1 Audiensi TP3 dengan Presiden Jokowi, Istana Merdeka,
9 Maret 2021.
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD seperti itulah
yang perlu diuji kebenarannya. TP3 menggunakan “batu
uji” undang-undang, yang dalam hal ini adalah UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hasil pengujian TP3
menunjukkan bahwa pernyataan Mahfud MD ini sama
sekali tidak berdasarkan hukum, karena ternyata menurut
undang-undang terjadinya pelanggaran HAM berat adalah
jika dilakukan secara sistematis atau meluas. Jadi Undangundang merumuskannya secara alternatif, yaitu sistematis
atau meluas. Bukan seperti yang disampaikan oleh Menko Polhukam yang mengharuskan syarat kumulatif atas
unsur terstruktur, sistematis, dan masif yang secara yuridis
nomenklatur kumulatif seperti yang disampaikan Mahfud
MD tidak dikenal.
Temuan TP3 atas peristiwa pembunuhan enam warga
negara Indonesia yang merupakan penduduk sipil ini
menunjukkan telah terjadi pembunuhan dan penyiksaan
yang dilakukan secara sistematis, sehingga menimbulkan
keyakinan bagi TP3 bahwa peristiwa ini merupakan
pelanggaran HAM berat. Itulah hal yang antara lain TP3
sampaikan kepada Presiden RI di Istana Merdeka.
Setelah Presiden RI berjumpa dengan TP3, Mahfud
MD menyelenggarakan konferensi pers secara sepihak dan
mengatakan pada pokoknya bahwa TP3 datang ke Istana
Merdeka tanpa bukti. Apakah Menko Polhukam Mahfud MD
tidak mengetahui bahwa TP3 tidak diberikan wewenang oleh
negara untuk membuktikan? Adapun yang berkewajiban
untuk membuktikan adalah pemerintah melalui institusi
penegak hukumnya. Keberadaan TP3 adalah sebagai
perwujudan partisipasi masyarakat yang oleh Pasal 100
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
diberikan hak untuk berpartisipasi dalam perlindungan,
penegakan, dan pemajuan HAM. Dengan demikian, maka
adalah suatu kesalahan yang sangat prinsipil bila Menko
Polhukam Mahfudz MD menuntut bukti dari TP3.Temuan TP3 adalah berupa hasil penelitian dan kajian
yang memberikan arahan dan petunjuk. Selanjutnya, atas
dasar arahan dan petunjuk ini menjadi kewajiban bagi
pemerintahlah untuk membuktikan temuan-temuan yang
TP3 sajikan. Tujuan TP3 adalah untuk menggerakkan
pemerintah, sehingga berkehendak (willing) untuk
mendesak perangkat negara ke arah penyelidikan dan
penyidikan terjadinya pelanggaran HAM berat. Kecuali, jika
pemerintah bersedia memberikan kepada TP3 kewenangan
membuktikan, maka dengan mudah TP3 akan datang
kembali menjumpai Presiden RI dengan bukti-bukti yang
ada (Lihat Lampiran Catatan I).
MAKSUD DAN TUJUAN
Misi pengawalan oleh TP3 termasuk melakukan
pengawalan atas kinerja Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) pada peristiwa pembunuhan enam
pengawal HRS. TP3 secara resmi menerima salinan laporan
dari Kemenko Polhukam RI atas hasil kerja Komnas HAM.
Laporan yang oleh Komnas HAM diberi judul “Laporan
Penyelidikan” itu, berisi laporan tertulis sebanyak 103
halaman dan 21 halaman lampiran termasuk transkrip
atas “voice notes” percakapan para pengawal HRS dalam
peristiwa pembunuhan oleh aparat negara terhadap enam
pengawal HRS.
Mengkaji hasil kerja Komnas HAM, maka TP3 menilai
sejak awal Komnas HAM tidak mempunyai kehendak
untuk menuntaskan peristiwa pembunuhan di KM 50 jalan
raya tol Jakarta-Cikampek pada tanggal 7 Desember 2020.
Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa Komnas HAM hanya
menggunakan dasar Pasal 89 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999,
bukan mendasarkan pada UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Judul Pasal 89 ayat (3) ini adalah tentang
pemantauan bukan penyelidikan. Dengan demikian, yang
dilakukan oleh Komnas HAM bukanlah penyelidikan namun
hanyalah pemantauan. Sehingga tidak seharusnya Komnas
HAM memberikan judul kegiatannya sebagai “Laporan
Penyelidikan” karena sejatinya hanyalah merupakan
laporan pemantauan. Dalam hal ini, pemantauan yang
dilakukan oleh Komnas HAM tidak mempunyai kewenangan
penyelidikan “pro yustisia”.
Kegiatan yang dilakukan oleh Komnas HAM, tidak lebih
merupakan kegiatan yang sama dengan yang dilakukan oleh
TP3. Padahal Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyelidikan berdasarkan UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, namun justru memilih
untuk menunjukkan sikap “unwilling”. Bahkan Komnas
HAM berubah menjadi lembaga yang menjalankan fungsi
polisionil. Yaitu dengan mempersalahkan masyarakat sipil—
dalam hal ini FPI dan khususnya enam pengawal HRS—
sebagai faktor penyebab terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat di KM 50 jalan raya tol Jakarta-Cikampek. Contoh
konkretnya, Komnas HAM justru merekomendasikan
penyelidikan tentang keberadaan senjata yang dituduhkan
kepada enam pengawal HRS. Padahal kalau pun asumsi
Komnas HAM tentang kepemilikan senjata tersebut
mengandung kebenaran, dalam arti senjata itu dimiliki oleh
pengawal HRS, maka saat publik membaca Buku Putih ini,
senjata tersebut tidak menimbulkan korban pelanggaran
HAM apa pun. Sehingga dalam hal ini, Komnas HAM
telah menyalahi fungsinya dari lembaga yang seharusnya
mengungkap peristiwa pelanggaran HAM menjadi lembaga
pelindung pelaku pelanggaran HAM.
Dengan demikian, TP3 berkesimpulan bahwa sikap
Komnas HAM ini merupakan kesengajaan untuk menghindar dari kewajibannya melakukan penyelidikan terjadinya
pelanggaran HAM berat. Kesimpulan ini juga didukung oleh
adanya rekomendasi Komnas HAM untuk memberlakukan
peristiwa pembunuhan ini dengan mekanisme pengadilan pidana. Adalah bukan wewenang Komnas HAM untuk
merekomendasikan apalagi menentukan bahwa suatu peristiwa itu merupakan peristiwa pidana atau bukan (Lihat
Lampiran Catatan II dan III).
Temuan TP3 menyatakan dengan tegas bahwa yang
melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal HRS di
KM 50 adalah bukan polisi, namun yakni aparatur negara.
Temuan TP3 ini berdasarkan kajian bahwa jika yang melakukan pembunuhan adalah polisi, maka perlakuan
terhadap korban pembunuhan tidak akan seperti yang
dilakukan terhadap mayat enam pengawal HRS, dimana
mayat-mayat tersebut langsung diangkut dan kemudian
dilakukan operasi bedah mayat tanpa lebih dahulu
memberitahukan keluarga. Sebab, jika yang melakukan
pembunuhan tersebut adalah polisi, maka polisi akan
sangat berkepentingan untuk menjaga Tempat Kejadian
Perkara (TKP) steril dengan memberi garis polisi (police line).
Ini penting bagi polisi dalam rangka pengamanan barang
bukti untuk kepentingan olah TKP guna penyelidikan
berikutnya. Ternyata tidak demikian, yang dilakukan oleh
para pembunuh tersebut. Mereka bukan menjaga TKP
namun justru merusak TKP dengan memindahkan posisi
mayat, melenyapkan kios-kios di rest area KM 50 jalan raya tol
Jakarta-Cikampek, dan merekayasa barang bukti. Sehingga
yang terkesan adalah mereka ingin menghilangkan jejak
(Lihat Lampiran Catatan IV, V, dan VI).
Berbeda jika memang betul polisi yang melakukan
pembunuhan. Polisi hanya akan membunuh jika menghadapi
keadaan luar biasa dan dalam hal membela diri dari
ancaman kematian dan atau luka berat pada dirinya. Jika
pembunuhan oleh aparat negara adalah sah, maka mayat
dan barang-barang bukti justru akan dibiarkan berada di
TKP seperti apa adanya untuk kepentingan pembuktian
bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah dalam rangka membela diri. Adanya fakta yang diungkap Komnas
HAM bahwa para pembunuh ini memerintahkan saksi untuk
menghapus rekaman dan memeriksa handphone mereka,
makin membuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan
oleh aparat diikuti dengan operasi untuk menghilangkan
jejak kejahatan (cover-up operation). Hal tersebut tidak
akan dilakukan oleh pembunuh jika pembunuhan adalah
sah dalam rangka membela diri. Karena, justru adanya
rekaman tersebut diperlukan sebagai pembelaan bahwa
pembunuhan terpaksa dilakukan dalam rangka bela diri
dari ancaman kematian atau luka berat.
Tentang “cover-up” operation ini, juga terbukti dari
kesaksiannya Komnas HAM M. Choirul Anam yang
mengungkapkan bahwa pihaknya memperoleh informasi
soal pengambilan kamera CCTV dari salah satu warung di
rest area KM 50 tersebut. Komnas HAM pun menanyakan
hal ini kepada pihak kepolisian.
“Kami konfirmasi di terakhir-terakhir kami melakukan
pemeriksaan terhadap pihak kepolisian dan itu diakui itu
(kamera CCTV) diambil,” kata Anam dalam konferensi pers,
Jumat (8/1/2021).
Kepada Komnas HAM, polisi mengaku mengambil
kamera CCTV tersebut secara legal.
Pengawalan yang dilakukan oleh TP3, termasuk pengawalan berupa menguji kebenaran seluruh rangkaian pemberitaan secara sepihak oleh Kepolisian Daerah Metro Jakarta (Polda Metro Jaya). Diawali ketika kepala kepolisian
Polda Metro Jaya (Kapolda), Irjen Pol Fadil Imran pada hari
Senin siang tanggal 7 Desember 2020 menyelenggarakan
konferensi pers. Hadir dalam konferensi pers ini, Panglima
Daerah Militer Jakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung
Abdurachman. Pertanyaan hukumnya adalah “legal standing” apa yang dimiliki oleh Pangdam Jaya untuk boleh ikut
hadir dan berperan dalam konferensi pers ini? Fakta hadirnya Pangdam Jaya ini justru makin menunjukkan bahwa
operasi pembunuhan ini bukan merupakan operasi kepolisian.
Dalam konferensi pers tersebut, Kapolda Metro Jaya,
Irjen Pol Fadil Imran pada pokoknya menyampaikan
pengakuannya bahwa kepolisian mengambil tindakan
tegas terukur karena merasa diancam oleh para korban.
Sebab, dalam kronologi versi kepolisian, keenam pengawal
HRS itu disebut melakukan penyerangan terhadap petugas.
Menurut Fadil Imran ketika petugas kepolisian melakukan
penguntitan di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50, Fadil
Imran mengakui kendaraan polisi dipepet oleh mobil
berisi simpatisan HRS yang berjumlah sepuluh orang.
Seterusnya, bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal
HRS tersebut dilakukan oleh anggotanya setelah terjadi
tembak menembak dengan enam pengawal HRS tersebut
dan beberapa orang dari pengawal tersebut berusaha merampas senjata api petugas, maka terpaksa dibunuh.
Pada kesempatan itu, juga ditunjukkan barang bukti yang
dituduhkan milik para pengawal HRS. Barang bukti tersebut
berupa dua senjata api, tujuh peluru, dan tiga selongsong
peluru. Selain itu, ada pula satu pedang dan celurit serta
katapel (Lihat Lampiran Catatan VII).
Untuk menguji kebenaran keterangan Fadil Imran
dalam jumpa pers tersebut, TP3 mengkonfrontirnya
dengan keterangan dari saksi-saksi yang waktu itu
mengikuti rombongan HRS dan penjelasan dari sekretaris
umum (Sekum) DPP FPI Munarman. Dari para saksi dan
narasumber ini, TP3 memperoleh keterangan yang bertolak
belakang dengan keterangan yang disampaikan oleh Fadil
Imran. Sebelum ada konferensi pers dari Fadil Imran, DPP
FPI tidak mengetahui siapa yang melakukan pembunuhan
terhadap enam pengawal HRS tersebut. Sebab, para
penguntit rombongan HRS itu, tidak berseragam dan mobil
yang digunakan juga tidak bertanda sebagai mobil petugas
atau polisi. Keterangan pers dari Fadil Imran langsung
menyebutkan terjadi tembak menembak, namun tidak
dirunut siapa yang terlebih dahulu melepaskan tembakan.
DPP FPI membantah bahwa barang bukti yang
dipaparkan Kapolda Metro Jaya, Fadil Imran tersebut adalah
milik FPI. Menurut Munarman, barang bukti itu adalah
palsu dan merupakan rekayasa, karena Kapolda Metro Jaya
tidak menjelaskan bagaimana memperoleh barang bukti tersebut selain pernyataannya sepihak. Tidak ada bukti sidik
jari para pengawal HRS pada barang bukti tersebut. Semua
ini makin membuktikan bahwa sebenarnya pembunuhan
terhadap enam pengawal HRS adalah pembunuhan yang
bukan dilakukan oleh kepolisian. Polda Metro Jaya hanyalah
bagian dari rencana sistematis.
Keyakinan TP3 tentang adanya rencana sistematis
menjadi bertambah, ketika TP3 menjumpai para saksi
yang melakukan penangkapan aparat negara yang sedang
melakukan pengintaian dengan menggunakan drone di
Markaz Syariah FPI di wilayah Mega Mendung. Para saksi
yang menangkap para pengintai ini kemudian melakukan
pemeriksaan terhadap mereka, termasuk pemeriksaan
atas perangkat elektronik dan komunikasi mereka yang
menyimpan berbagai data dan informasi. Para saksi
memfoto wajah mereka dan mengatakan menemukan
sejumlah barang bukti berupa berbagai tanda pengenal
milik tiga orang bernama Angga Hermawan, Irsyad
Ibrasma, dan Anjar Maulana. Pada ketiga orang tersebut,
ditemukan tanda-tanda pengenal seperti kartu wartawan,
kartu pengenal sebagai peneliti, dan kartu tanda pengenal
sebagai anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Surat Izin
Mengemudi (SIM) tipe A dan Tipe C, tanda pengenal sebagai
prajurit TNI, STNK, badge Deputy II BIN, dan mobil dengan
plat nomor polisi ganda.Dari para saksi ini, TP3 juga memperoleh bukti
tentang adanya operasi intelijen yang disebutnya ‘Operasi
Delima’. Hal ini diketahui dari berbagai laporan tertulis
yang tersimpan dalam perangkat elektronik ketiga orang
pengintai yang tertangkap tangan tersebut. Sistem pelaporan
ini menunjukkan sistim pelaporan yang menggambarkan
adanya suatu komando yang terstruktur secara hierarkis.
Tertulis ada laporan terperinci dari Direktur 22 kepada
Deputi II BIN (Lihat Lampiran Catatan VIII dan IX).
Pada khususnya, dalam kasus pembunuhan terhadap
enam pengawal HRS ini, Polda Metro Jaya hanyalah bagian
dari “cover up” operation. Karena, Polda Metro Jaya hanya
bagian dari rencana operasi “cover-up”, maka tampak
kesulitan ketika harus menegakkan fakta. Misalnya soal
fakta terjadi tembak menembak, TP3 menemukan adanya
laporan awal dari polisi yang berbeda. Laporan polisi
pada awalnya yang dibuat oleh Briptu Fikri Ramadhan
(NRP 94030910) tertanggal 7 Desember 2020 melaporkan
kejadian tanggal 6 Desember 2020 pukul 23.45 WIB sebagai
berikut:
“Pelapor yang disaksikan oleh Bripka Adi Ismanto dan
Bripka Faisal Khasbi Aleya, melaporkan: saat petugas sedang
melakukan tugas penyidikan, tiba-tiba mobil petugas di TKP
dihalang-halangi oleh dua mobil dengan cara menabrakkan
kendaraan dan memberhentikan kendaraan petugas tanpa
memperhatikan keselamatan pengguna jalan lainnya. Kemudian turun 4 orang pelaku dari dalam mobil dengan
membawa senjata tajam dan merusak mobil yang sedang
dikendarai petugas kemudian turun 2 orang pelaku dengan
membawa senjata api dan menembakkan ke arah bagian depan
mobil petugas sebanyak 3 kali letusan, hanya 1 letusan yang
mengenai kaca depan mobil petugas karena kondisi petugas
dalam keadaan terdesak, maka petugas melakukan tindakan
tegas dan terukur terhadap pelaku.
Laporan awal itu, ceritanya menjadi berbeda ketika
polisi dalam berbagai kesempatan menceritakan kembali
laporan tersebut kepada publik. Setelah diungkapkan
kembali oleh polisi ceritanya di masyarakat menjadi
“tembak menembak” ketika keadaan kendaraan sedang
melaju, bukan kendaraan dalam keadaan berhenti,
seperti laporan awal yang dilaporkan oleh Briptu Fikri
Ramadhan.
Demikian juga ketika polisi bermaksud membuktikan
dugaan bahwa senjata rakitan adalah milik FPI. Yang
dilakukannya adalah insinuasi (memberi kesan seolaholah) sehingga sebetulnya bukan menegakkan fakta namun
justru setengah bermaksud mengelabui masyarakat.
Kita perhatikan ketika Direktur Tindak Pidana Umum
(Dirtipidum) Bareskrim Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi
mengatakan bahwa dugaan bahwa senjata api (senpi)
rakitan itu adalah milik FPI diperoleh dari hasil pengujian
terhadap dua pucuk senpi.Hasil pemeriksaan ahli balistik menyatakan 2 pucuk
Senpi yang digunakan Laskar FPI adalah senjata non pabrikan
[rakitan],” kata Andi saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com,
Minggu (20/12/2020)
Perhatikan insinuasinya Andi Rian Djajadi yang
bermaksud memberi kesan bahwa dua pucuk senpi
adalah milik FPI, padahal pengujian yang dilakukan oleh
ahli balistik hanya memastikan apakah senpi yang diuji
merupakan senpi rakitan atau senpi pabrikan. Jadi, bukan
soal kepemilikan senpi tersebut.
Selain itu, tidak hanya lemah dalam hal menegakkan
fakta, polisi juga tampak berpartisipasi dalam operasi “cover
up” ini dengan cara memutar balikkan fakta. Direktur
Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Tubagus Ade
Hidayat menyatakan ada fakta “voice notes” yang berisikan
percakapan terkait mobil yang mengintai dan rencana
penyerangan yang akan dilakukan oleh para pengawal
HRS. Dalam keterangan persnya, Kombes Pol Tubagus
menunjukkan transkrip percakapan para pengawal HRS
yang dibunuh yang tersimpan dalam “voice notes” di telepon
genggamnya. Atas dasar transkrip tersebut, Tubagus
menarik kesimpulan dari dua voice notes No. 37 dan No. 40
laporan Komnas HAM yang berbunyi “Avanza hitam tubruk
aja”.Atas kesimpulan seperti itu, TP3 melakukan verifikasi
atas keseluruhan transkrip “voice notes” yang berjumlah
203 percakapan. Dari 203 voice notes ini menggambarkan
percakapan para pengawal HRS yang sedang menghadapi
penguntitan dari orang-orang yang tidak dikenal yang
melakukan agresi dengan cara memepet rombongan HRS.
Namun, polisi mencomot 2 voice note dari 203 voice note yang
mengatakan “Avanza hitam tubruk saja”.
Dari 2 voice notes inilah, polisi memutar balikkannya
menjadi-pembunuhnya adalah diserang sehingga beralasan
untuk melakukan tembakan yang mematikan. Padahal jika
dibaca lengkap voice note sebelum dan sesudahnya kata
“tubruk saja” adalah bila terjadi agresi.
Bukti lain bahwa polisi hanya dijadikan bagian
dari rencana penghilangan jejak adalah ketika polisi
menjadikan enam pengawal HRS yang sudah meninggal
sebagai tersangka, kemudian meralatnya. Belakangan polisi
menetapkan 3 tersangka polisi, dimana satu di antaranya
dinyatakan telah meninggal dalam suatu kecelakaan lalu
lintas. Ada pun yang aneh dalam penetapan tersangka ini
tidak ada penahanan atas tersangka pembunuhan. Sungguh
ironis tersangka pelanggar protokol kesehatan diburu
dan dipenjara, sementara tersangka pembunuh seolah
dilindungi. Rencana sistematis untuk menghilangkan jejak, ternyata melibatkan juga lembaga negara lain, yaitu Komnas
HAM. Seharusnya Komnas HAM melakukan penyelidikan
atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Akan tetapi, ternyata Komnas HAM hanya melakukan
kegiatan pemantauan berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999.
Apa yang dilakukan oleh Komnas HAM ini menjauhkan
proses hukum dari terlaksananya pengadilan HAM atas
peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS di KM 50 (Lihat
Lampiran Catatan X dan XI).
Buku ini memberikan arahan yang jelas bahwa telah
terjadi pelanggaran HAM berat. Informasi dan kajian
yang dipaparkan pada buku ini dapat dijadikan dasar bagi
Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan “pro
yustisia” yang sebenarnya belum pernah dilakukannya
Untuk mengetahui dan memahami, apakah
pembunuhan terhadap enam pengawal Habib Rizieq
Syihab (HRS) adalah pembunuhan yang bersifat accident
pinggir jalan, incident biasa salah tembak atau sebuah
operasi sistematis yang memiliki struktur komando, maka
publik perlu diberi penjelasan dengan paparan fakta-fakta
peristiwa yang disusun secara kronologi dan berdasarkan
periode waktu sekaligus menggambarkan praperistiwa
pembunuhan, hari-hari menjelang peristiwa pembunuhan,
dan pascapersitiwa pembunuhan.
RUANG LINGKUP PERISTIWA
Peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pengawal
HRS pada hakikatnya merupakan puncak dari gabungan berbagai rangkaian operasi intelijen bermotif politik yang
bertujuan “menjinakkan” aspirasi politik, apa yang disebut
oleh rezim sebagai kelompok FPI dan 212 serta kelompok
oposisi lainnya yang tergabung dalam Koalisi Aksi
Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Rangkaian operasi politik yang dijalankan melalui
berbagai operasi dan kegiatan intelijen serta instrumentasi
dan eksploitasi hukum pidana terhadap aktivis FPI dan
Aktivis 212 serta aktivis KAMI adalah bermula dari sejak
kekalahan politik salah satu proxy war kekuatan pemodal
dalam pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Mengapa hal ini
dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan enam pengawal
HRS? Jawabannya adalah hingga saat ini kekalahan dalam
pilkada tersebut tidak dapat mereka lupakan dan upaya
“balas dendam” politik melalui berbagai operasi delegitimasi
dan kriminalisasi pemenang Pilkada 2017. Hal tersebut
terus mereka lakukan dalam satu paket target yaitu HRS
dan Anies Baswedan.
Sebagai contoh bentuk operasi politik terhadap Anies
Baswedan adalah salah dengan berupaya mencari celah
dalam proyek renovasi Monumen Nasional (Monas) Jakarta
yang seolah-olah ada unsur tindak pidana korupsi. Selain
itu, juga dengan merekayasa aksi-aksi unjuk rasa yang
secara rutin dijadikan ritual oleh kelompok tertentu untuk
terus mendelegitimasi Gubernur DKI.Hal tersebut perlu sedikit disinggung dalam Buku Putih
ini, karena untuk menggambarkan betapa operasi politik
menjelang pembunuhan enam pengawal HRS sangat
sistematis. Berikut ini sekadar contoh laporan operasi
politik yang dilakukan secara sistematis:
Dari : Plt. Kabinda DKI Jakarta
Tembusan : Yth. 1. Deputi – II Ka BIN
2. Deputi – IX Ka BIN
3. Dir – 21
4. Dir – 22
Perihal : Laporan Bangsit Wilayah DKI Jakarta, Jumat,
4 Desember 2020, hingga pukul 11.00 WIB
Ijin melaporkan,
Bangsit Wilayah Prov. DKI Jakarta, Jumat 4 Desember
2020, hingga pukul 11.00 WIB, sbb :
Lain-lain:
Rengiatmasjol Hari Jumat, 4 Desember 2020:
Pukul 11.00 WIB, Unras oleh Aliansi Mahasiswa dan
Pemuda Jakarta (AMPERA) di Balai Kota DKI Jakarta
& Gd. DPRD DKI Jakarta, diikuti 25 org, dpp. S. Ade
Putra, tuntutan: Meminta Anies Baswedan mundur
dari jabatannya karena tidak tegas dan gagal dalam
penanganan pandemi covid-19.
Pukul 13.00 WIB, Unras oleh Forum Aksi Mahasiswa
(FAKSI) 212 di Ktr. Pusat PT. Pelni Jl. Gajah Mada, diikuti
30 org, dpp. Afandi, tuntutan: Aksi menyikapi pernyataan
Komisaris PT. Pelni Kristia Budhyarto tentang status
positif Covid-19 Gubernur DKI Jakarta.Laporan tersebut memang oleh pihak BIN dinyatakan
tidak ada dan tidak diakui. Karena, memang secara fungsi
kontra intelijen, salah satu modus operandi apabila sebuah
operasi intelijen terbongkar, maka akan dilakukan denial
dan play ignorant (bantah dan pura-pura bodoh). Namun,
dokumen laporan di atas didapat langsung dari pihak yang
juga dinyatakan oleh BIN sebagai agen gadungan (Lihat
Lampiran Catatan VIII dan IX).Akan tetapi, sebagai sebuah informasi yang dapat
memberikan gambaran terhadap suatu peristiwa, walau
dinyatakan sebagai gadungan tetap bernilai untuk
dipaparkan kepada publik agar publik dapat menilai
sendiri tentang peristiwa pembunuhan enam pengawal
HRS tersebut.
Pembungkaman Aktivis Dakwah dan Kritikus Rezim
1. Selain terhadap HRS dan Anies Baswedan, operasi
politik intelijen juga terjadi terhadap puluhan aktivis
oposisi dan aktivis dakwah. Operasi politik dan intelijen
pembungkaman para aktivis dakwah dan atau aktivis
yang bersikap dan atau bersuara kritis terhadap rezim,
dilakukan dengan modus penangkapan, penahanan,
memamerkan tahanan dalam keadaan di borgol, seperti
yang dialami oleh aktivis-aktivis dakwah antara lain
Gus Nur, (alm) Habib Maher, Ustadzah Kingkin Anida,
dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
(KAMI) antara lain Syahganda Nainggolan, Jumhur
Hidayat, dan Anton Permana. Hal yang sama terjadi
terhadap Ketua KAMI Sumatera Utara dan aktivisnya,
Khairi Amri, Juliana, Devi, serta Wahyu Rasari Putri.
2. Operasi politik dan intelijen secara sistematis dan
terorganisir oleh aparat negara dilakukan dengan
tindakan “menghadang” acara deklarasi Koalisi Aksi
Menyelamatkan Indonesia (KAMI) untuk membungkam aktivitas menyuarakan aspirasi rakyat, baik saat awal
deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta
Pusat, Selasa (18/8/2020) maupun ketika deklarasi di
berbagai daerah di Indonesia.
OPERASI SISTEMATIS TERHADAP HRS
Adapun berbagai bentuk operasi politik yang ditujukan
kepada HRS, berupa upaya kriminalisasi yang terus menerus, character assassination, dan penghancuran kredibilitas
HRS melalui gaya operasi ‘memisahkan ikan dari air’, yaitu
menjauhkan HRS dari umat Islam (Lihat Lampiran Catatan
III dan IV).
Di antara upaya kriminalisasi yang sekaligus character
assassination terhadap HRS yang sengaja dibuat heboh
adalah dalam kasus fake chat, yang kemudian terbongkar
bahwa pihak yang pertama kali menyebarkan fake chat
melalui internet tidak lain adalah berasal dari kompleks
perumahan BIN.
Secara kronologis, untuk dapat menggambarkan bahwa
pembunuhan terhadap enam pengawal HRS tersebut adalah
merupakan sebuah rangkaian OPERASI SISTEMATIS yang
berkelanjutan, maka secara kasat mata operasi tersebut
dapat kita bagi-bagi dalam tiga (3) periode, yaitu:1. Periode Januari - April 2017;
2. Periode ketika HRS “menetap” sementara di Saudi
Arabia, disebut periode “pengasingan politik, antara
April 2017-November 2020;
3. Periode HRS tiba di Tanah Air, yaitu November 2020
hingga saat ini.
A. Periode Januari-April 2017
Secara ringkas periode pertama, yaitu antara JanuariMaret 2017, HRS “dikerjai” oleh operasi intelijen dengan
memperalat hukum pidana sebagai instrumen sekaligus
operasi mendelegitimasi serta character assassination
terhadap HRS, yaitu dengan berbagai laporan Polisi
terhadap HRS hingga mencapai 17 Laporan Polisi. Dari 17
laporan Polisi ini, 3 kasus yang membuat HRS diperiksa oleh
pihak kepolisian, yaitu kasus fake chat dan kasus peringatan
simbol menyerupai lambang komunis di mata uang rupiah
pada Polda Metro Jaya dan kasus Pancasila di Polda Jawa
Barat. Dalam perjalanannya, dua kasus (yaitu kasus fake
chat dan kasus Pancasila) dijadikan alat bargaining oleh
penguasa untuk “menjinakkan” HRS.
B. Periode “Pengasingan Politik”, April 2017-November
2020
Periode ini merupakan periode yang cukup panjang
dan terbagi dalam dua segmen, yaitu sebelum HRS “dicekal” dan periode ketika HRS mulai “dicekal” hingga kepulangan
ke Indonesia.
1. Periode Sebelum Dicekal, April 2017-Juni 2018
Pada periode ini, operasi politik terhadap HRS bersifat
lunak dan berupaya merangkul. Upaya merangkul ini
dilakukan hingga mencapai puncaknya pada pertemuan
pimpinan tinggi lembaga intelijen Republik Indonesia
dengan HRS di Jeddah. Dalam pertemuan tersebut terjadi
diskusi dan pembicaraan untuk memulihkan kondisi dan
mengedepankan dialog sebagai cara komunikasi politik.
Untuk menunjukkan keseriusan proses “rekonsiliasi”
tersebut, pimpinan tinggi lembaga intelijen tersebut
menunjukkan komitmen dengan “menghentikan’ proses
hukum terhadap salah satu ulama menjelang Idul Fitri
2017 H. Hal ini sebetulnya merupakan win-win solution
bagi kedua belah pihak dalam menyelesaikan persoalan
keterbelahan politik yang ada. Pihak penguasa Indonesia,
baik melalui perwakilan aparat intelijen yang ditugaskan
untuk berkomunikasi dengan HRS, maupun melalui saluran
perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Saudi Arabia,
bersikap sangat lunak dan berusaha sebaik mungkin untuk
menjaga situasi dan kondisi tersebut agar tetap kondusif.
2. Periode Pencekalan Politik, Juli 2018-November 2020
Memasuki tahun-tahun politik 2018-2019, terjadi
perubahan sikap dari pihak penguasa Indonesia. Perubahan sikap tersebut semata-mata didasari oleh peristiwa
kunjungan kandidat kuat calon Presiden 2019, yaitu
Prabowo Subianto ke kediaman HRS di Mekkah, bersama
tokoh nasional M. Amien Rais.
Dengan terjadinya pertemuan tersebut, tiba-tiba pihak
perwakilan resmi Indonesia, baik petugas intelijen yang di -
tugaskan maupun perwakilan diplomatik resmi, menunjukkan sikap tidak bersahabat terhadap HRS. Beberapa pihak
yang merepresentasikan incumbent, complain atas pertemuan tersebut dan menyatakan keberatan. Terlihat sekali
kekhawatiran pihak incumbent pada waktu itu bila HRS
ikut terlibat dalam proses politik Pilpres 2019.
Sejak terjadinya pertemuan Prabowo, M. Amien Rais,
dan HRS pada kisaran akhir Mei-awal Juni 2018 tersebut,
tiba-tiba, HRS mengalami berbagai persoalan hukum
sebagaimana ketika berada di Indonesia. Di antara persoalan
hukum yang menimpa HRS adalah, “dicegah” keluar dari
wilayah hukum Saudi Arabia, difitnah menggunakan visa
palsu dan difitnah memasang bendera ISIS. Bahkan hari
-hari menjelang kepulangan HRS ke Indonesia ada pula
operasi gelap dengan upaya pembatalan tiket pulang HRS
dan keluarga. Upaya–upaya pihak penguasa Indonesia
untuk membuat sulit HRS di selama berada di Saudi Arabia
tersebut, terkait erat agar HRS tidak bisa terlibat langsung
dalam proses politik tahun 2019 sekaligus tetap menjauhkan
HRS dari umat Islam Indonesia.Salah satu yang menjadi “diehard” dan “vocalis” utama
dalam upaya mempersulit kepulangan HRS ke Indonesia
adalah Dubes RI untuk Saudi Arabia saat itu. Di antara
pernyataan Dubes RI ketika menjelang kepulangan HRS ke
Indonesia, Agus Maftuh mengatakan ada tiga syarat yang
mesti ditempuh HRS agar proses kembali ke Indonesia
berjalan cepat. Syarat ini bermakna sebagai langkahlangkah yang disarankan Agus Maftuh untuk ditempuh HRS
untuk kembali ke Indonesia. Syarat pertama ialah bersikap
kooperatif dengan perwakilan RI di Arab Saudi termasuk
menyampaikan masalah yang dihadapi selama di Arab
Saudi. Kedua, HRS disarankan mencabut pernyataan yang
menyebut Jokowi sebagai presiden ilegal sebab faktanyaRaja Salman dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman
menjalin persahabatan erat dan menghormati Jokowi
sebagai Presiden RI. Ketiga, HRS disarankan mencabut
sumpah <tidak akan meminta tolong kepada pemerintah>
karena menurutnya rezim zalim. (Sumber: detik.com)
PERIODE HRS TIBA DI INDONESIA, NOVEMBER 2020-
HINGGA SAAT INI
Sejak kepulangan HRS 10 November 2020 hingga saat
ini, setidaknya TP3 telah mencatat berbagai upaya yang
bersifat permusuhan dan pemusnahan terhadap eksistensi
HRS berikut organ pendukungnya, yaitu melalui;
1. Kriminalisasi HRS dengan menjadikan acara Maulid
Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putrinya
sebagai kejahatan dengan ancaman pidana yang berat;
2. Pembunuhan para pengawal HRS;
3. Pembubaran FPI dan kriminalisasi para pengurusnya;
4. Pemblokiran rekening FPI dan para mantan pengurusnya;
5. Upaya pencabutan hak-hak politik HRS;
6. Upaya pencabutan hak-hak keperdataan HRS di
antaranya, mencabut hak sebagai bapak dan wali nasab,
mencabut hak untuk menjadi pengurus organisasi
atau yayasan, mencabut hak untuk menjalankan mata
pencarian tertentu;7. Perampasan barang dalam hal ini aset milik tertentu
milik HRS
Bila kita lihat dari apa yang terjadi terhadap HRS dan
ancaman hukuman yang dikenakan, jelas hal ini bukan
sekedar problem politik dan hukum biasa, melainkan
sudah merupakan pelanggaran HAM berat melalui penyalahgunaan instrumen hukum oleh aparat negara.
KRONOLOGI PRA PERISTIWA PEMBUNUHAN ENAM
PENGAWAL HRS
Sebelum peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS,
terdapat sejumlah fakta peristiwa yang merupakan prakondisi yang berujung kepada pembunuhan enam pengawal
tersebut. Rangkaian peristiwa yang disajikan dalam Buku
Putih ini, belum diketahui secara luas oleh masyarakat.
Adapun rangkaian peristiwa tersebut diuraikan berikut
ini.
A. Operasi Surveillance Saat Kepulangan HRS
1. Ada sejumlah fakta yang terungkap menunjukkan
kegiatan “Operasi Surveillence” atau pengawasan,
penguntitan, atau pembuntutan terhadap HRS sejak
saat kepulangannya ke Indonesia. Fakta-fakta tersebut
sebagian sudah diungkap oleh beberapa media namun
masih banyak lagi yang belum terungkap.2. Beberapa Peristiwa yang sudah diberitakan oleh
media mainstream juga beredar di berbagai akun
media sosial, antara lain @opposite, yang menyatakan
bahwa laporan dari beberapa KaBinda (Kepala Badan
Intelijen Negara Daerah) ke KaBIN dan WakaBIN
yang didapatkan dari data HP dan laptop agen BIN
yang tertangkap oleh Laskar FPI di Mega Mendung
dua hari sebelum enam pengawal HRS dibunuh. Hal
ini mengungkapkan fakta-fakta terkait desain operasi
intelijen berskala besar dalam kasus pembunuhan
enam pengawal HRS.
Sekali lagi, perlu TP3 tegaskan, bahwa pihak BIN secara
resmi mengingkari temuan ini.
3. Selain @opposite dan media resmi Tempo.co dan
atau video.tempo.co (19/12 2020) yang melansir berita
seputar dokumen “Agen BIN” yang tertangkap di
Mega Mendung, ada juga sejumlah media online
lainnya yang memberitakan seperti fajar.co.id
(2020/12/07); kabar24bisnis.com; merdeka.com; liputan6.
com; antaranews.com; news.detik.com; akurat.co; www.
suara,com dan; www.tribunnews.com.
4. Dari berbagai informasi yang sudah beredar luas itu
terungkap fakta-fakta, yang menunjukkan sistematis
dan atau terstrukturnya kegiatan aparat badan intelijen
negara yang sasaran target operasi (TO)-nya adalah HRS dan FPI, yang berujung dengan pembunuhan
enam pengawal HRS pada Senin (7/12 2020) dini hari.
Faktanya benar menunjukkan seluruh “kekuatan” di
Kominda (Komunitas Intelijen Daerah) didayagunakan
untuk mencegah “pergerakan” HRS dan FPI, baik yang
ada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan
Jawa Timur.
5. Fakta tersebut terungkap, misalnya, pada hari Jumat
(4/12 2020) pukul 17.00 WIB, masuk laporan bangsit
ke KaBIN dan WakaBIN yang tembusannya ke Deputi
II KaBIN, Deputi IX KaBIN, Dir-21 dan Dir-22 tentang
situasi di sekitar rumah HRS Jln. Petamburan III Kel.
Petamburan Kec. Tanah Abang, Jakarta Pusat. Laporan
kategori A-1 perihal “Matriks Kegiatan Kontra Propaganda
Binda DKI terhadap Rizieq Shihab” itu disampaikan
oleh Plt. KaBINda DKI Jakarta. Isi laporannya sebagai
berikut:
(1) Saat ini Rizieq Shihab dan keluarganya tidak berada
di rumahnya Gg Paksi Petamburan III Jakpus, (2) Situasi Gg
Paksi Petamburan III Jakpus, masih dijaga oleh sekitar 10
orang laskar dan simpatisan, (3) sementara itu, hingga saat
ini belum ada tamu yang datang di kediaman Rizieq Shihab,
(4) Situasi di seputaran Masjid Al Islah Petamburan III tidak
terlihat Jemaah pendatang, (5) Situasi jalan raya dari arah
Slipi menuju Tanah Abang dan sebaliknya Jalan KS Tubun
Raya menuju Slipi lancar. Haljol Nihil.
6. Dalam laporan tersebut, di bagian bawahnya ada
“catatan khusus” sebagai berikut: Perkembangan di
rumah Muhammad Rizieq Shihab dan Markaz FPI di
Petamburan akan terus dimonitor serta dilaporkan.
7. Pada bagian klausul semacam “saran tindak”, namanya
Langkah Intelijen yakni BIN daerah DKI Jakarta telah
melakukan upaya (1) Monitoring dan pendalaman
kegiatan serta keberadaan Rizieq Shihab di Petamburan
Jakarta Pusat, (2) Menempatkan personel dalam monitor
khusus kegiatan Rizieq Shihab di Petamburan.
Contoh Laporan dari KaBINda DKI adalah sebagai
berikut.
Kepada : Yth. 1. Ka BIN
2. Waka BIN
Dari : Plt. KaBINda DKI Jakarta
Tembusan : Yth. 1. Deputi–II Ka. BIN
2. Deputi–IX Ka. BIN
3. Dir–21
4. Dir-22
Perihal : Pendalaman Respon DDII terhadap Rencana
Pemeriksaan Rizieq Shihab di Polda Metro Jaya
Ijin melaporkan,
Pada 04 Desember 2020 pukul 10.00 s.d 11.30 WIB di
Pesanggrahan, Jakarta Selatan, diperoleh informasi dar
Ustad Nasruddin (anggota DDII/RDK) terkait respon DDII
terhadap rencana pemeriksaan Rizieq Shihab di Polda
Metro Jaya pada 07 Desember 2020, sbb :
1. Pihaknya belum mendengar adanya perintah khusus
dari Rizieq Shihab terkait pengawalan ke Polda Metro
Jaya atau jika Polisi memaksa untuk menjemput ke
Petamburan.
2. Rizieq Shihab saat ini terlihat takut untuk memulai
masalah lebih dahulu dan diperkirakan tidak akan
datang dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya pada
07 Desember 2020.
3. Ikhwan DDII di Tanah Abang, Benhil dan Tanjung
Priok siap untuk berjihad. Jika ada benturan antara
Rizieq Shihab dengan Polisi, maka akan terjadi
pertumpahan darah.
4. Berdasarkan komunikasi dengan Suripto (PKS),
momen kembalinya Rizieq Shihab dari Arab Saudi ke
Indonesia merupakan upaya AS untuk mengganggu
Indonesia.
Catatan :
- Hingga saat ini belum terdapat rencana mobilisasi
massa DDII terkait pemanggilan Rizieq Shihab ke
Polda Metro Jaya pada 07 Desember 2020, karena
belum adanya instruksi langsung dari Rizieq Shihab.
- Namun perlu diantisipasi jika Rizieq Shihab hadir
dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya, karena
berpotensi memicu mobilisasi massa dari FPI dan
pok pendukungnya, sebagai upaya memberikan
tekanan ke pihak Polda Metro Jaya, agar tidak
melanjutkan penyeledikan kasus pelanggaran
protokol kesehatan Covid-19. Di sisi lain, mobilisasi
massa tersebut diindikasikan juga sebagai media
Cipop bahwa Muhammad Rizieq Shihab mendapat
banyak dukungan dari masyarakat.
Langkah Intelijen :
Binda DKI Jakarta telah melakukan upaya :
1. Melakukan pendalaman dan pemetaan jumlah massa
yang akan ikut dalam rencana mobilisasi massa pada
07 Desember 2020 ke Polda Metro Jaya.
2. Melakukan penggalangan terhadap Ormas Islam,
Tomas, Toga, dan elemen lainnya dalam rangka
meredusir dukungan terhadap Muhammad Rizieq
Shihab dan pok pendukungnya.
A1
DUMP. PLT. KABINDA DKI JAKARTA
8. KaBINda Jabar melaporkan perihalnya dengan kalimat
“Matriks Rekapan Giat Cipta Kondisi Kontra Rizieq Shihab
(RS) di Jawa Barat” (Update 4 Desember 2020). Rekap
laporan itu terhitung sejak 20 November s.d. 4 Desember
2020.
9. KaBINda Jabar dalam laporannya mengungkapkan tentang Tim Cyber BINda Jabar yang melaksanakan monitoring dan pemetaan guna melacak serta mengidentifikasi
aktivitas propaganda Kelompok FPI dan PA 212 serta Eks HTI di jejaring sosial maupun internet, di samping melaksanakan upaya counter opini terhadap setiap seruan provokatif yang disebar pok tersebut.
10. KaBINda Jabar melakukan analisis atas situasi, dalam
klausul “Dampak”, KaBINda Jabar melaporkannya
berupa prediksi aksi protes secara massif dari Pok FPI dan
pendukung RS akan bermunculan di berbagai daerah.
Dengan menggerakkan massa banyak sebagai bentuk
loyalitas dan dukungan terhadap RS. Pada point nomer
2, dilaporkan bahwa tidak menutup kemungkinan kasus
yang menimpa RS akan dialihkan oleh Pok FPI dengan
mengangkat isu penistaan ulama. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan simpati dan dukungan dari Pok Islam
lainnya, serta akan dimanfaatkan oleh Pok Oposisi untuk
menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tebang
pilih.
Contoh Laporan dari KaBINda Jabar adalah sebagai
berikut.Kepada : Yth. 1. Ka. BIN
2. Waka BIN
Dari : Kabinda Jabar
Tembusan : 1. Deputi II
2. Deputi IX
Perihal : Reaksi Kader FPI di Beberapa Daerah terhadap
Pemanggilan Rizieq Syihab ke Polda Metro Jaya
Dilaporkan Info Intelijen Harian, 04 Desember 2020, di
Wil Jabar, sbb:
BIDANG : IDEOLOGI
Pada 04 Desember 2020 di Kota Bandung diperoleh
informasi dari FPI Jabar tentang Reaksi Kader FPI di
Beberapa Daerah terhadap Pemanggilan Rizieq Syihab
ke Polda Metro Jaya, dilaporkan sebagai berikut:
1. Pemanggilan terhadap Rizieq Shihab (RS) oleh pihak
Polda Metro Jaya mengundang protes dari pengurus/
kader FPI di beberapa daerah.
2. Pada Rabu 02 Desember 2020, perwakilan
pengurus FPI di Kota Bogor, Kabupaten Tasikmalaya
dan Kabupaten Bandung menyampaikan surat
keberatan ke Polres di wilayah masing-masing terkait
pemanggilan RS ke Polda Metro Jaya tersebut.
3. Pemanggilan RS yang terkesan dicari-cari. Isi surat
keberatan yang disampaikan ke Polres pada intinya,
yaitu dengan alasan kerumunan acara Maulid
Nabi Muhammad SAW yang dituding melanggar
protokol kesehatan pandemi COVID-19, maka RS
diproses hukum. Sementara kerumunan lainnyayang melibatkan Gibran Rakabuming (Putra Presiden
Jokowi) saat pendaftaran Pilkada serta banyak
kerumunan lainnya, hingga saat ini tak dijerat
hukum.
4. Semua pengurus dan kader FPI di daerah akan tetap
patuh pada perintah RS dan siap mengawal kemuliaan
RS yang saat ini sedang menghadapi persekusi dari
penguasa karena borok kepentingannya (Omnibus
Law, Deideologisasi Pancasila melalui RUU BPIP,
Utang Luar Negeri, Politik dinasti, dll) akan diungkap
dan digugat oleh umat Islam.
B. Analisis
1. Kedatangan HRS ke Indonesia memantik simpati
dan dukungan perjuangan dari kelompok dakwah
dan ormas Islam, bahkan ormas Islam atau kelompok
dakwah yang selama ini tidak sejalan sekalipun. Yang
berujung terhadap aksi protes di para pendukung RS
berbagai daerah terkait pemanggilan RS ke Polda
Metro Jaya.
2. Pok FPI dan Simpatisannya baru selesai
melaksanakan reuni 212, yang disinyalir sebagai
ajang persiapan pergerakan/mobilisasi massa damka
antisipasi kelanjutan kasus RS. Yang tidak memutup
kemungkinan akan menggiringkan isu penistaan
Ulama kembali.
C. Dampak
1. Diprediksi aksi protes secara masif dari Pok FPI
dan pendukung RS akan bermunculan di berbagai
daerah. Dengan mengerahkan massa banyak sebagai
bentuk loyalitas dan dukungan terhadap RS.2. Tidak menutup kemungkinan kasus yang menimpa
RS akan dialihkan oleh Pok PFI dengan mengangkat
isu penistaan Ulama. Yang bertujuan untuk
mendapatkan simpati dan dukungan dari Pok Islam
lainnya. Serta akan dimanfaatkan oleh Pok Opisi
untuk menyerang Kebijakan kebijakan pemerintah
yang tebang pilih.
D. Upaya
1. Terus laksanakan lidik, pendalaman, dan monitoring
terhadap pergerakan RS dan kelompoknya terutama
oleh FPI dan PA 212 serta Eks HTI di Wil Jabar.
2. Galtas Pok-Pok Ormas islam, Pimpinan Ponpes, Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat dan elemen masyarakat
laiinya untuk tetap menjaga kondusivitas wilayah dan
tidak terprovokasi oleh ajakan kelompok-kelompok
yang dapat memecah belah bangsa
3. Mendorong Komite penanganan Covid-19 Jabar
untuk terus mensosialisasikan protokol kesehatan
di masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung
dan menertibkan/membubarkan serta menindak
kelompok-kelompok yang terbukti melakukan
kegiatan yang menghadirkan kerumunan masa yang
tidak menaati protokol kesehatan dan Pihak lembaga/
RS yang menghalangi proses penegakan peraturan
4. Tim Cyber Binda Jabar laksanakan monitoring dan
pemetaan, guna melacak serta mengidentifikasi
aktivitas propaganda Kelompok FPI dan PA 212 serta
Eks HTI di jejaring sosial maupun internet, di samping
melaksanakan upaya counter opini terhadap setiap
seruan provokatif yang disebar pok tersebut.E. Saran Tindak
Pusat meminta kepada Kemkopolhukam, Kemndagri,
Kemenag, Panglima TNI, Kapolri, MUI dan Komite
Penanganan Covid-19 untuk terus meningkatkan
pembinaan dan pengawasan dan penindakan
terhadap kelompok yang mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa serta mengantisipasi potensi semakin
berkembangnya dan masifnya kegiatan yang dilakukan
oleh Pok tersebut
DMMP.
KABINDA JABAR
11. Pada klausul upaya, KaBINda Jabar menyatakan akan
terus laksanakan lidik, pendalaman, dan monitoring
terhadap gerakan RS dan kelompoknya terutama oleh
FPI dan PA 212 serta Eks HTI di Wilayah Jabar. Pada
Jumat (4/12 2020) itu, Kabinda Jabar melaporkan Info
Intelijen Harian, per 4 Desember 2020 di Wilayah Jabar
sebagai berikut
Kepada : Yth. 1. Ka. BIN
2. Waka BIN
Dari : Kabinda Jabar
Tembusan : 1. Deputi II
2. Deputi IX
Perihal : Reaksi Kader FPI di Beberapa Daerah terhadap
Pemanggilan Rizieq Syihab ke Polda Metro Jaya
Dilaporkan Info Intelijen Harian, 04 Desember 2020, di
Wil Jabar, sbb :
BIDANG : IDEOLOGI
Pada 04 Desember 2020 di Kota Bandung diperoleh
informasi dari FPI Jabar di Beberapa Daerah terhadap
Pemanggilan Rizieq Syihab ke Polda Metro Jaya,
dilaporkan sebagai berikut:
1. Pemanggilan terhadap Rizieq Shihab (RS) oleh pihak
Polda Metro Jaya mengundang protes dari pengurus/
kader FPI di beberapa daerah.
2. Pada Rabu 02 Desember 2020, perwakilan
pengurus FPI di Kota Bogor, Kabupaten Tasikmalaya
dan Kabupaten Bandung menyampaikan surat
keberatan ke Polres di wilayah masing-masing terkait
pemanggilan RS ke Polda Metro Jaya tersebut.
3. Pemanggilan RS yang terkesan dicari-cari. Isi surat
keberatan yang disampaikan ke Polres pada intinya,
yaitu dengan alasan kerumunan acara Maulid
Nabi Muhammad SAW yang dituding melanggar
protokol kesehatan pandemi COVID-19, maka RS
diproses hukum. Sementara kerumunan lainnya
yang melibatkan Gibran Rakabuming (Putra Presiden Jokowi) saat pendaftaran Pilkada serta banyak
kerumunan lainnya, hingga saat ini tak dijerat
hukum.
4. Semua pengurus dan kader FPI di daerah akan tetap
patuh pada perintah RS dan siap mengawal kemuliaan
RS yang saat ini sedang menghadapi persekusi dari
penguasa karena borok kepentingannya (Omnibus
Law, Deideologisasi Pancasila melalui RUU BPIP,
Utang Luar Negeri, Politik dinasti, dll) akan diungkap
dan digugat oleh umat Islam.
B. Analisis
1. Kedatangan HRS ke Indonesia memantik simpati
dan dukungan perjuangan dari kelompok dakwah
dan ormas Islam, bahkan ormas Islam atau kelompok
dakwah yang selama ini tidak sejalan sekalipun. Yang
berujung terhadap aksi protes di para pendukung RS
berbagai daerah terkait pemanggilan RS ke Polda
Metro Jaya.
2. Pok FPi dan Simpatisannya baru selesai
melaksanakan reuni 212, yang disinyalir sebagai
ajang persiapan pergerakan/mobilisasi massa damka
antisipasi kelanjutan kasus RS. Yang tidak menutup
kemungkinan akan menggiringkan isu penistaan
Ulama kembali.
C. Dampak
1. Diprediksi aksi protes secara masif dari Pok FPI
dan pendukung RS akan bermunculan di berbagai
daerah. Dengan menggerahkan massa banyak
sebagai bentuk loyalitas dan dukungan terhadap
RS 2. Tidak menutup kemungkinan kasus yang menimpa
RS akan dialihkan oleh Pok PFI dengan mengangkat
isu penistaan Ulama. Yang bertujuan untuk
mendapatkan simpati dan dukungan dari Pok Islam
lainnya. Serta akan dimanfaatkan oleh Pok Opisi
untuk menyerang Kebijakan kebijakan pemerintah
yang tebang pilih.
D. Upaya
1. Terus laksanakan lidik, pendalaman, dan monitoring
terhadap pergerakan RS dan kelompoknya terutama
oleh FPI dan PA 212 serta Eks HTI di Wil Jabar.
2. Galtas Pok-Pok Ormas islam, Pimpinan Ponpes, Tokoh
Agama, Tokoh Masyarakat dan elemen masyarakat
lainnya untuk tetap menjaga kondusivitas wilayah
dan tidak terprovokasi oleh ajakan kelompokkelompok yang dapat memecah belah bangsa
3. Mendorong Komite penanganan Covid-19 Jabar
untuk terus mensosialisasikan protokol kesehatan
di masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung
dan menertibkan/membubarkan serta menindak
kelompok-kelompok yang terbukti melakukan
kegiatan yang menghadirkan kerumunan masa yang
tidak menaati protokol kesehatan dan Pihak lembaga/
RS yang menghalangi proses penegakan peraturan
4. Tim Cyber Binda Jabar laksanakan monitoring dan
pemetaan, guna melacak serta mengidentifikasi
aktivitas propaganda Kelompok FPI dan PA 212 serta
Eks HTI di jejaring sosial maupun internet, di samping
melaksanakan upaya counter opini terhadap setiap
seruan provokatif yang disebar pok tersebut.E. Saran Tindak
Pusat meminta kepada Kemkopolhukam, Kemndagri,
Kemenag, Panglima TNI, Kapolri, MUI dan Komite
Penanganan Covid-19 untuk terus meningkatkan
pembinaan dan pengawasan dan penindakan
terhadap kelompok yang mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa serta mengantisipasi potensi semakin
berkembangnya dan masifnya kegiatan yang dilakukan
oleh Pok tersebut
DMMP.
KABINDA JABAR
12. Bidang Ideologi, BIN daerah Jabar juga melaporkan akan
terus monitoring dan pendalaman pergerakan Pok KAMI,
FPI, Ex HTI, PA 212, dan GNPF yang terus memanfaatkan
isu aktual yang berkembang pasca kepulangan Rizieq
Shihab serta melakukan deteksi dini ancaman konflik
sosial dengan munculnya seruan jihad jelang dan pasca
pemanggilan Rizieq Shihab oleh Polda Metro Jaya.
13. Pada bagian “catatan” yang diberikannya oleh KaBINda
Jabar dalam laporan tersebut adalah bahwa hingga saat
ini belum terdapat rencana mobilisasi massa DDII terkait
pemanggilan Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya pada 7
Desember 2020, karena belum adanya instruksi langsung
dari Rizieq Shihab. Namun, perlu diantisipasi jika Rizieq
Shihab hadir dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya,
karena berpotensi memicu mobilisasi massa dari FPI dan
Pok pendukungnya, sebagai upaya memberikan tekanan
ke pihak Polda Metro Jaya agar tidak melanjutkan
penyelidikan kasus pelanggaran protokol kesehatan Covid
19.
B. Penggalangan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat
Menolak HRS dan FPI
1. Aparat Badan Intelijen Negara (BIN) bersama jaringan
intelijen daerahnya yakni Komunitas Intelijen Daerah
(Kominda) melakukan operasi penggalangan tokoh
agama (Toga) dan tokoh masyarakat (Tomas) untuk
menolak HRS dan FPI.
2. Dalam laporannya perihal “Matriks Kontra Propaganda
terhadap RS di Provinsi Jateng” (Update 4 Desember 2020),
ditulisnya bahwa kegiatan yang telah dilakukan antara
lain: (1) AUR Penolakan RS di 16 Kab/Kota, (2) Penurunan
Baliho, spanduk, dan Banner di 9 Kab/Kota.
3. Dalam isi laporannya diawali dengan kalimat:
Izin jenderal, melaporkan pada 5 Desember 2020,
di wilayah Jateng akan berlangsung aksi unjuk rasa
menolak kedatangan Rizieq Shihab sbb:
1) Rencana AUR menolak Rizieq Shihab oleh Generasi
Muda (Geram) Wonogiri pada 5 Desember 2020
pukul 09.00 WIB di Bundaran Patung Soekarno Kab.
Wonogiri, akan berlangsung aksi unjuk rasa menolak kedatangan Rizieq Shihab oleh Geram Wonogiri
dengan Korlap, a.n. Nur Kholis, jumlah massa sekitar
100 orang.
2) Rencana AUR menolak Rizieq Shihab oleh Sedulur
Masyarakat Rembang pada 5 Desember 2020, pukul
10.00 WIB di Alun-alun Utara Kab. Rembang, akan
berlangsung aksi unjuk rasa menolak kedatangan
Rizieq Shihab oleh “Sedulur Masyarakat Rembang”
dengan Korlap a.n. D Jowansah, diikuti sekitar 100
orang.
3) Rencana AUR tolak Rizieq Shihab oleh Forum
Banjarnegara Damai di Kab. Banjarnegara pada 5
Desember 2020 pukul 09.00 s.d. selesai di sebelah
Utara Alun-alun Banjarnegara Jln. Dipayuda.
4. KaBINda Jateng, juga membuat “Catatan” laporannya
yang berbunyi: Rencana AUR tolak Rizieq Shihab di
Kab. Wonogiri, Kab. Rembang dan Kab. Banjarnegara
merupakan Opsint BINda Jateng memanfaatkan potensi
masyarakat yang tidak sejalan dengan Rizieq Shihab dan
bertujuan untuk menghambat pergerakan FPI di daerah
Jawa Tengah serta rencana safari dakwah Rizieq Shihab.
5. KaBINda Jateng mengungkapkan taktik strateginya
yang notabene merupakan “Langkah Intelijen” yakni
(1) Bersinergi dengan Forkompimda untuk mengeluarkan
pernyataan sikap menolak rencana safari dakwah Rizieq
Shihab di wilayah Jawa Tengah, (2) Terus menggalang
kekuatan masyarakat agar bersama-sama menolak keberadaan FPI di daerah, (3) Terus melakukan amplifikasi
dan memviralkan aksi penolakan kedatangan Rizieq Shihab
di wilayah Jawa Tengah melalui media massa dan media
sosial. (Tertulis di bagian bawah dokumen laporannya
tertanda KaBINda Jateng, 14.53, 12/4 2020//+62 812 8930
5236.)
6. KaBINda Jatim, melaporkan kepada KaBIN dan
WakaBIN yang ditembuskan kepada Deputi II KaBIN
dan Deputi IX KaBIN bahwa pada 5 Desember 2020 pukul
10.00 WIB di depan Gedung Negara Grahadi Kota Surabaya
akan dilaksanakan aksi unjuk rasa dan deklarasi menolak
kegiatan dakwah dan kehadiran Rizieq Shihab di Jawa
Timur serta mendukung pemerintah membubarkan FPI,
oleh sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam
Pasukan Soerabaya Peduli Akan Keutuhan Indonesia
(Pasopati), dengan massa sekitar 200 orang, dipimpin
Yanto Banteng. Tuntutan yang akan disampaikan a.l.
menolak rencana road show Rizieq Shihab dan siap
menghadapinya bila memaksa, mendukung penuh semua
aparatur Negara termasuk Polri dan TNI menindak tegas
Rizieq Shihab, FPI, dan antek-anteknya yang menebar rasa
kebencian, serta masyarakat Surabaya dan Jawa Timur
menyatakan Rizieq Shihab bukanlah ulama.
7. KaBINda Jatim memberi “catatan” sebagai berikut:
Jajaran BINda Jatim telah dan akan terus melakukan
upaya Cipta Kondisi dan penggalangan kepada para Togadan Tomas dalam rangka kontra Giat Rizieq Shihab serta
berkoordinasi dengan jajaran Kominda untuk antisipasi
kemungkinan kedatangan Rizieq Shihab di wilayah
Jawa Timur maupun kegiatan simpatisannya yang dapat
memicu instabilitas wilayah. Di bagian paling bawah
dokumen tertulis, ttd KaBINda Jatim, 10.59, 12/4/2020,
Brigjen TNI Neno Hamriono.
Fakta-fakta yang terungkap tersebut, hanya beberapa
lembar dari “dokumen intelijen” yang sudah terekspose
di media umum, baik cetak maupun elektronik. (Fakta
pendukung dapat lihat Lampiran Catatan VIII dan IX)
C. Kriminalisasi HRS
1. Bermula dari acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan
pernikahan putri HRS yang bernama Syarifah Najwa
Shihab dengan Habib Muhammad Irvan Alaydrus
pada tanggal 14 November 2020. Akan tetapi, tanpa
disangka-sangka banyak umat yang hadir, dikarenakan
kerinduan terhadap HRS yang baru kembali ke Tanah
Air setelah sekitar 3,5 tahun lamanya berada di Mekah,
Arab Saudi.
2. Dalam pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW, DPP
FPI tetap meminta kepada umat yang terlanjur hadir
untuk melaksanakan protokol kesehatan, memakai
masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Guna
mendukung dan terlaksananya protokol kesehatan, pihak DPP FPI juga membagi-bagikan masker,
menyediakan hand sanitizer gratis, dan tempat mencuci
tangan.
3. Setelah acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan
pernikahan putri HRS terlaksana, pihak Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta tetap menganggap acara tersebut
melanggar Pergub DKI Jakarta, sehingga memberikan
sanksi administratif kepada HRS sebesar Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) dan sudah dibayarkan secara
penuh.
4. Kepolisian Daerah Metro Jaya melakukan penyelidikan
kepada HRS beserta pengurus DPP FPI dan beberapa
instansi pemerintahan yang dianggap terlibat dalam
pelaksana Maulid Nabi Muhammad tersebut, bahkan
sampai saat ini HRS ditetapkan sebagai Tersangka dan
ditahan di Polda Metro Jaya dalam perkara dugaan
Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 93 UU No. 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216
KUHP, selain itu 5 (lima) orang dari pengurus DPP Front
Pembela Islam juga ditetapkan sebagai Tersangka dalam
dugaan Perkara Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216, Pasal 10, dan
Pasal 35 KUHP.
5. Terjadi diskriminasi hukum yang bertentangan dengan
UUD 1945 yang menyatakan derajat kesamaan setiap
orang di depan hukum, karena kasus kerumunan terjadidilakukan pula oleh Presiden RI di NTT. Begitu pula,
fakta terjadi kasus kerumunan dalam acara Pemilihan
Umum kepada Daerah (Pilkada) Wali Kota Solo; acara
elite race marathon di Magelang; dan acara gelar parade
Banser di Banyumas.
D. Pengerahan Pasukan Koopsus di Dekat Markas DPP
FPI
Ada desain operasi intelijen berskala besar terhadap
HRS dan FPI yang didasarkan pada fakta-fakta sebagai
berikut:
1. Menurut HRS, pengurus DPP FPI, dan saksi warga
setempat terjadi gerakan pasukan “super elite”
untuk unjuk kekuatan di dekat Markaz DPP FPI dan
kediamannya di Jln. Petamburan, Tanah Abang, Jakarta
Pusat. Fakta yang sama diungkapkan kembali oleh HRS
saat menyampaikan eksepsinya dalam sidang di PN
Jakarta Timur, (26/3 2021). Disebutkannya, Petamburan
tempat tinggal HRS didatangi oleh Pasukan Koopsus TNI
yang terdiri atas tiga pasukan elite TNI, yaitu Kopassus
AD, Marinir AL, serta Paskhas AU. Pasukan Koopsus
ini tidak bergerak kecuali dengan perintah Presiden,
sebagaimana dilansir, news.detik.com. HRS menyebutkan,
kehadiran pasukan Koopsus yang berhenti sejenak dan
membunyikan sirine itu merupakan teror kepada diri
dan keluarganya.2. Pasukan tersebut dikenal bernama Koopsus yang
pergerakannya itu hanya bisa “digerakkan” oleh orang
“besar” sehingga bermakna ada “pesan” tertentu yang
ingin disampaikannya di balik aksi “Operasi Sirine”
atau giat bunyi sirinenya yang meraung-raung.
3. Peristiwa itu juga dilansir oleh media massa umum,
antara lain detikNews-Detikcom,yang menyatakan ada
sejumlah kendaraan taktis (rantis) Koopsus unjuk
kekuatan (show of force) di depan markas FPI di Jln
Petamburan. Dalam video yang beredar, setidaknya
ada 4 kendaraan milik TNI, yang salah satu di antarnya
terlihat tulisan “Maung”. Juga, dua truk hitam, satu
mobil patroli, dan satu motor Polisi Militer mengawal
rombongan. Terdengar sirine meraung-raung beberapa
saat hingga akhirnya meninggalkan lokasi. Rombongan
ini sempat berhenti di depan plang SMP tersebut
sehingga tampak pula plang DPP FPI.
4. Media Tempo.co menulis bahwa Komando Operasi
Khusus (Koopsus) TNI merupakan satuan resmi yang
terbentuk setelah Presiden Jokowi menandatangani
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 10 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional
Indonesia. Adapun pertimbangannya adalah dalam
rangka menghadapi ancaman yang memiliki eskalasi
tinggi dan dapat membahayakan ideologi negara,kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan
melindungi segenap bangsa Indonesia. Demikian Tempo.
co mengutip dari situs Sekretariat Kabinet Republik
Indonesia, Senin, (22/7 2019).
5. Media Tempo menulis, Koopsus TNI ini dibentuk dari
gabungan tiga matra. Matra darat, matra laut, dan matra
udara. Koopsus diklaim bercirikan kemampuan khusus
dengan tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi.
Menurut Perpres Nomor 42 ini, Koopsus TNI bertugas
menyelenggarakan operasi khusus dan kegiatan
untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus yang
membutuhkan kecepatan dan keberhasilan tinggi
guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam
maupun luar wilayah NKRI dalam rangka mendukung
tugas pokok TNI.
6. Dalam media detikNews, Jumat, 20 November 2020,
07:41 WIB, dilansir berita bahwa Koopsus TNI
dipimpin oleh DanKoopsus, yang berkedudukan di
bawah serta bertanggung jawab kepada Panglima
TNI. Adapun DanKoopsus TNI dijabat pejabat tinggi
bintang 2. Dalam struktur organisasi TNI, Koopsus TNI
tergabung ke dalam badan pelaksana pusat. Koopsus
TNI mengkoordinasikan 3 pasukan elite dari tiap
matra, yaitu Den-81 Kopassus, Den-Jaka Marinir, dan
Sat-Bravo Paskhas. Koopsus TNI menyatukan 3 satuan
elite tersebut untuk melakukan operasi bersama. Alur komandonya adalah misi khusus ini atas perintah
Presiden kepada Panglima TNI dan Panglima TNI
memerintahkan kepada Komandan Koopsus. Deputi
V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardhani
memastikan tidak ada tumpang-tindih fungsi dan
wewenang Koopsus dengan satuan yang sudah ada di
TNI. “Tidak ada, ini semacam operasi bersama untuk misi
khusus,” katanya.
E. Penurunan Baliho
1. Sejak lama FPI dikenal sebagai organisasi yang sering
mendayagunakan media spanduk, baliho, dan media
publisitas ruang terbuka dalam mensyiarkan kegiatan
dakwahnya, dan atau ketika akan melakukan safari
dakwah di berbagai daerah. Demikian halnya menjelang
peristiwa kepulangannya HRS ke Indonesia, banyak
spanduk, baliho, dan media informasi publisitas di
ruang terbuka yang dibuat oleh masyarakat secara
masif.
2. DPP FPI, HRS, dan sebagian besar aktivis dakwah yang
sering mengikuti kegiatan di lingkungan FPI merasa
terkejut tatkala mengetahui adanya fakta pernyataan
Pangdam V Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurahman
dalam apel di Monas Jakarta Pusat, (20/12 2020), yang
seolah “menantang” FPI untuk bereaksi kepada dirinya
yang menarasikan kata-kata “pembubaran FPI” serta
melakukan aksi pencopotan spanduk, baliho, dan aneka
media publisitas FPI di ruang terbuka. Fakta yang sama
diungkapkan kembali oleh HRS saat menyampaikan
eksepsinya dalam sidang di PN Jakarta Timur, (26/3
2021).
3. Bagi HRS dan DPP FPI khususnya tidak bisa dipahami
ihwal sesuaikah dengan tupoksinya jika TNI mesti
dilibatkan oleh Mayjen TNI Dudung Abdurrahman
untuk “melawan” spanduk, baliho, dan media publisitas
ruang terbuka. Pasalnya, TNI bertugas pokok adalah
menjaga kedaulatan negara sehingga karenanya
memiliki pasukan bersenjata serta punya disiplin
tempur yang istimewa dan atau bagi TNI bukan
“lawannya” yang nir-militer bernama spanduk, baliho,
dan media publisitas ruang terbuka.F. Operasi Media untuk Cipta Kondisi
1. Terjadi peristiwa cipta kondisi yang dilakukan aparat
Badan Intelijen Negara (BIN) bersama jaringannya
Kominda, juga dengan cara memanfaatkan sejumlah
media massa mainstream dan medsos. Beberapa buzzer
dan atau wartawan melakukan aktivitas penulisan di
media massa cetak maupun elektronik yang bersifat
propaganda untuk menjadikan HRS dan FPI sebagai
“musuh bersama”, dengan modus menggelar kegiatan
seperti Aksi Unjuk Rasa (AUR) bayaran sebagaimana
terjadi di kawasan Sentul.
2. Aksi Unjuk Rasa (AUR) bayaran yang diduga rekayasa
intelijen untuk kontra propaganda sehingga tercipta
kondisi masyarakat benci HRS dan anti FPI. Seperti
Aksi Unjuk Rasa (AUR) yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat di Bogor yang menamakan diri Forum
Rakyat Padjajaran menolak keberadaan HRS.
Demonstrasi digelar, pada Senin (30/11/2020) karena
menduga HRS menjalani karantina pasca-pulang dari
Rumah Sakit Ummi Kota Bogor di sekitaran Perumahan
Mutiara Sentul Bogor, Jawa Barat.
Bersatu berunjuk rasa terkait soal tes Covid-19 HRS.
3. Aksi Unjuk Rasa (AUR) bayaran yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat di Bogor yang menamakan diri
Forum Rakyat Padjajaran tersebut diberitakan secara
masif dalam berbagai media massa mainstream dan
medsos, antara lain sebagai berikut:
1) KOMPAS TV, Selasa, 1 Desember 2020, 00:14 WIB,
melansir berita: Perumahan Mutiara Sentul The
Nature yang berada di kawasan Sentul, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat menjadi sasaran aksi demonstrasi
sejumlah warga pada Senin (30/11/2020). Pihak yang
melakukan demonstrasi menamakan diri mereka
Kelompok Forum Rakyat Padjajaran. Aksi demo
itu dilakukan karena mereka menduga pemimpin
Front Pembela Islam (FPI) Muhamad Rizieq Shihab
bersembunyi di salah satu rumah yang ada di kompleks
tersebut. Dalam aksi demonstrasinya, Kelompok Forum
Rakyat Padjajaran meminta Rizieq Shihab untuk
keluar dari perumahan Mutiara Sentul The Nature.
2) OKENEWS, Senin 30 November 2020, 19:19 WIB,