Home » pelanggaran HAM 1 » pelanggaran HAM 1
Rabu, 16 Agustus 2023
Komnas HAM melansir informasi yang menurutnya
merupakan penyelidikan, yang bersumber dari
keterangan resmi Polda Metro Jaya (PMJ) dalam
konferensi pers yang menjelaskan bahwa telah terjadi
insiden antara polisi dan Laskar FPI pada 6-7 Desember
2020 yang menewaskan 6 (enam) anggota Laskar FPI
di sekitar KM 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Hasilnya,
Komnas HAM menyebutkan telah terjadi pelanggaran
HAM dan unlawful killing terhadap tewasnya empat
anggota laskar FPI di tangan polisi. Sedangkan
untuk tewasnya dua anggota laskar FPI lainnya tidak disebutkan secara khusus sebagai unlawful killing oleh
Komnas HAM.
2. Tidak disebutnya pembunuhan terhadap dua anggota
laskar tersebut sebagai unlawful killing adalah juga
menimbulkan pertanyaan. Berarti pembunuhan
tersebut telah dijustifikasi sebagai ‘lawful killing.’. alias
pembunuhan yang beralasan. Hal ini menimbulkan
persoalan terkait dengan due process of law dan fair
criminal justice system. Karena dua korban yang sudah
tewas tak dapat lagi memberikan kesaksian dan
klarifikasi. Maka, yang hadir adalah kesaksian sepihak
ala sang pembunuh yang kemudian diamini oleh
Komnas HAM.
3. Sebenarnya, tanpa adanya laporan dari Komnas HAM
pun, publik dapat menduga telah terjadi pelanggaran
HAM dalam kasus tersebut. Karena, dalam insiden
tersebut, keenam korban yang ditembak mati bukanlah
berstatus sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, atau
pun sebagai target operasi dari kepolisian. Mereka
sedang menjalankan tugas pengawalan terhadap
Habib Rizieq Shihab (HRS). Bisa jadi gaya pengawalan
yang mereka lakukan adalah bersifat khusus, namun,
tindakan polisi (demikian keterangan Polda Metro Jaya)
untuk menembak mati juga adalah suatu tindakan
yang melanggar HAM dan melanggar hukum. Dapat
disebut unlawful killing (pembunuhan yang tidak legal) dan extra judicial killing (pembunuhan secara melawan
hukum). Apalagi, keterangan yang diberikan kepolisian
adalah keterangan sepihak, dan bersumber hanya
dari pihak yang melakukan pembunuhan. Keenam
korban tak dapat dimintai konfirmasi karena mereka
sudah tewas. Maka, pernyataan polisi bahwa tindakan
tersebut adalah “tegas dan terukur” harus dibuktikan
dan dipertanggungjawabkan.
UNLAWFUL KILLING DAN EXTRA-JUDICIAL KILLING
1. Istilah unlawful killing bermakna pembunuhan
terhadap manusia dengan cara yang melawan hukum
(the killing of a human being in a manner contrary to the
law, as murder, manslaughter, etc.-lexico.com). Adapun
istilah extrajudicial killing (atau istilah lain extrajudicial
execution/extralegal killing) adalah pembunuhan
yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang bukan
merupakan bentuk sanksi hukum, bukan bagian dari
proses peradilan yang sah (the killing of a person by
governmental authorities without the sanction of any
judicial proceeding or legal process-VERA Files).
1. Sementara itu, pengertian lain dari extra-judicial killing
adalah:
The literal meaning of Extra-judicial killing or the
extrajudicial executions is the killing of persons by
governmental authorities without the sanction any judicial
proceedings or legal process. It is considered as one of the
most unethical crimes against the humanity. Extra-judicial
killing, just by reading the said sentence one thought bear
in everyone mind that the killing which is outside the scope
of the judicial mandates i.e. which is not sanctioned by the
law, but the mass murder committed at the wake of curbing
the crime by the growing powerful armed forces or any
instituted Authority wherein they always get the hidden
backing of the government lately have become the virulent
virus where it seems that the there is no remedy to curb the
said disease.
(Arti sebenarnya dari pembunuhan ekstra-yudisial atau
eksekusi di luar hukum adalah pembunuhan orang
oleh otoritas pemerintah tanpa sanksi proses peradilan
atau proses hukum. Ini dianggap sebagai salah satu
kejahatan paling tidak etis terhadap kemanusiaan.
Pembunuhan ekstra-yudisial, hanya dengan membaca
kalimat tersebut satu pemikiran perlu diingat setiap
orang bahwa pembunuhan yang berada di luar ruang
lingkup mandat peradilan yaitu yang tidak disetujui
oleh undang-undang, tetapi pembunuhan massal yang
dilakukan setelah penertiban kejahatan. oleh semakin
kuatnya angkatan bersenjata atau Institusi Otoritas dimana mereka selalu mendapatkan dukungan
tersembunyi dari pemerintah akhir-akhir ini telah
menjadi virus yang ganas dimana tampaknya tidak ada
obat untuk mengekang penyakit tersebut).
3. Abhilasha Shrawat selanjutnya mengatakan bahwa
merupakan aturan umum bahwa pembunuhan oleh
orang yang berwenang yaitu eksekutif hanya dapat
dibenarkan dalam kasus perang, asalkan dilakukan
dalam kerangka hak asasi manusia (baca: hukum
humaniter), selain itu disebut pembunuhan. Kita
semua tahu dan itu adalah doktrin dasar, bahwa
bahkan penjahat-pun adalah manusia juga dan mereka
juga memiliki hak asasi manusia yang melekat, yang
tidak hanya disediakan oleh konstitusi semua Negara
tetapi juga pilar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
mapan yang layak untuk semua manusia diperlakukan
sebagai selaras dengan hak asasi manusia dan martabat
kemanusiaan. Maka hak untuk hidup dan bebas dari
penyiksaan (dan pembunuhan) adalah hak dasar yang
harus diakui oleh semua Negara dan juga telah di
rekognisi oleh PBB.
4. Satu kesamaan dari terminologi unlawful killing dan
extra-judicial killing adalah pembunuhan yang terjadi
adalah sama-sama melawan hukum, alias tidak
mendapatkan mandat dan justifikasi dari hukum (dan
juga bukan merupakan keputusan pengadian). Namunpada extra-judicial killing ada penekanan bahwa pelaku
(atau terduga pelaku)-nya adalah aparat negara.
5. Sedangkan, pelanggaran HAM menurut definisi dari
UU HAM No. 39 Tahun 1999 adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
6. Berdasarkan pengertian tersebut, paling tidak hak
yang telah dilanggar oleh pihak kepolisian atau yang
mengaku dari kepolisian adalah hak untuk hidup dan
hak untuk bebas dari penyiksaan yang kejam dan
penghilangan nyawa. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan
oleh siapa pun.
7. Sementara itu Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999
menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk
bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
8. Senada dengan UU No. 39 Tahun 1999, apabila kita
merujuk pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights) yang telah diratifikasi oleh UU No. 12 Tahun
2005, paling tidak ada beberapa hak yang dilanggar
dalam insiden tersebut, antara lain: hak untuk hidup,
hak untuk bebas dari penyiksaan, dan hak atas
keamanan pribadi.
9. Pasal 6 dari ICCPR menyebutkan bahwa: Every human
being has the inherent right to life. This right shall be
protected by law. No. one shall be arbitrarily deprived of his
life.
(Setiap orang yang memiliki hak yang melekat untuk
hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak
seorang-pun dapat diambil nyawanya dengan sewenangwenang).
10. Kemudian Pasal 7 ICCPR menyebutkan bahwa: No. one
shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment or punishment. In particular, no one shall be
subjected without his free consent to medical or scientific
experimentation (Tidak ada seorang pun dapat menjadisubyek penganiayaan, perlakuan dan penghukuman
yang keji dan merendahkan kemanusiaan).
11. Pasal 9 dari ICCPR menyebutkan bahwa Everyone has the
right to liberty and security of person. No. one shall be subjected
to arbitrary arrest or detention. No. one shall be deprived of
his liberty except on such grounds and in accordance with
such procedure as are established by law (Setiap orang
memiliki hak atas kebebasan dan keamanan pribadi.
Tidak ada seorang pun dapat ditangkap dan ditahan
dengan sewenang-wenang. Tidak ada seorang pun yang
dapat dikurangi kemerdekaannya kecuali atas dasar
yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku).
12. Maka, senada dengan temuan Komnas HAM, sudah
pada tempatnya apabila unlawful killing yang
dilakukan oknum aparat negara ini bisa dilanjutkan
dengan proses hukum yang adil, imparsial, dan bebas
dari intervensi kekuasaan terhadap para tersangka
pelakunya. Keadilan harus ditegakkan, sehingga kita
harus menolak untuk diarahkan dugaan kita bahwa
yang melakukan pembunuhan terhadap enam orang
pengawal HRS adalah polisi. Penyelidikan harus
terbuka untuk kemungkinan adanya instansi lain yang
juga terlibat sebagaimana telah diakui oleh Komnas
HAM dalam laporannya. Cita dan citra negara hukum
yang menempatkan rule of law (bukan rule of thumb)
sebagai panglima harus dibuktikan. Para korban dan keluarganya juga mesti mendapatkan hak-haknya
sebagai korban sesuai dengan UU Perlindungan Saksi
dan Korban (Tahun 2006 jo Tahun 2014) yang sudah
berlaku di Indonesia.
PELANGGARAN HAM BERAT
1. Berbeda dengan rekomendasi Komnas HAM, temuan
dan hasil analisis TP3 menyatakan bahwa unlawful
killing yang terjadi pada 7 Desember 2020 pada
enam pengawal HRS tersebut adalah tidak sekadar
“Pelanggaran HAM” namun merupakan “Pelanggaran
HAM berat” seperti yang dimaksud oleh UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran
HAM berat yang berpotensi terjadi pada kasus tersebut
adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against
Humanity).
2. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asasasas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan;
…. dan seterusnya.
3. Penjelasan dari ‘secara langsung terhadap penduduk
sipil’ (attack directed against any civilian population) ini
dapat ditemukan pada pasal 7 dari Rome Statute 1998
(yang menjadi rujukan dari UU No. 26 Tahun 2000):
Attack directed against any civilian population” means a
course of conduct involving the multiple commission of acts
referred to in paragraph 1 against any civilian population,
pursuant to or in furtherance of a State or organizational
policy to commit such attack;
4. Unsur-unsur umum kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah: 2
a. Salah satu perbuatan Setiap tindakan yang disebut
dalam pasal 9 merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengatur jika
lebih dari satu tindak pidana dilakukan misalnya
pembunuhan dan perkosaan atau kombinasi dari
tindak pidana itu (Keputusan kasus Akayesu, Case
No. ICTR (International Criminal Tribunal for
Rwanda) 96-4- T, Trial Chamber, September 2, 1998,
para.676-678 menyebutkan bahwa pelaku didakwa
karena melakukan pemerkosaan saja).b. Yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang unsur- unsur adalah sebagai berikut:
• Serangan adalah tindakan baik secara sistematis
atau meluas yang dilakukan secara berganda
yang dihasilkan atau merupakan bagian dari
kebijakan Penguasa atau Organisasi. Tindakan
berganda berarti bukan tindakan tunggal atau
terisolasi.
• Serangan baik secara meluas atau sistematis
tidaklah semata-mata serangan militer
seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter
Internasional (Pasal 49 para.1 Protokol Tambahan
I Tahun 1977 dari Konvensi Jenewa 1949).
• Syarat terpenuhi jika penduduk sipil adalah objek
utama dari serangan.
5. Meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil- Syarat meluas atau sistematis
adalah syarat yang fundamental untuk membedakan
kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan
merupakan kejahatan internasional. Kata meluas
menunjuk pada (jumlah korban, masif (berulang-ulang),
tindakan dengan skala yang besar dilaksanakan secara
kolektif dan berakibat yang serius (Case No. ICTR-96-4-
T, September 2, 1998, para 580). 6. Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau
metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh
dan menggunakan pola yang tetap. Kata-kata meluas
atau sistematis tidak mensyaratkan bahwa setiap
kejahatan yang dilakukan harus selalu meluas atau
sistematis. Dengan kata lain jika terjadi pembunuhan,
perkosaan dan penyiksaan, maka setiap kejahatan itu
tidak perlu harus meluas atau sistematis, kesatuan
tindakan-tindakan di atas sudah memenuhi unsur
meluas atau sistematis. Unsur meluas (widespread)
atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan
keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja
merupakan bagian dari serangan yang meluas semata
atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan
keduanya.
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM maupun Statuta Roma 1998 tidak
memberikan definisi mengenai arti meluas atau
sistematis. Oleh karena itu, pengertian sistematis atau
meluas tersebut perlu menggunakan yurisprudensi,
antara lain dalam ICTY dan ICTR dan doktrin.
8. Berdasarkan yurisprudensi internasional sebagaimana
tampak dalam putusan ICTR, dalam perkara Akayesu,
yang mengartikan kata “meluas” sebagai “tindakan
masif, berulang-ulang, dan berskala besar, yang
dilakukan secara kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban (multiplicity
of victim)”. Sedangkan sistematis diartikan sebagai:
diorganisasikan secara mendalam dan mengikuti pola
tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan
yang melibatkan sumber daya publik atau privat
yang substansial, meskipun kebijakan tersebut bukan
merupakan kebijakan Negara secara formal. Rencana
tidak harus dinyatakan secara tegas atau terangterangan Indikator untuk menentukan terpenuhinya
unsur “sistematis” dapat dilihat dari perencanaan
operasional dengan membedakan:
• Mencapai tujuan legal dengan cara-cara legal
• Mencapai tujuan legal tapi dengan menggunakan
cara-cara ilegal
• Mencapai tujuan ilegal
• Unsur-unsur setiap perbuatan yang dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
MEMENUHI KRITERIA SISTEMATIS
1. Pembunuhan enam pengawal HRS adalah suatu
kejahatan terhadap kemanusiaan. Disebut sebagai
suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah
terpenuhi pengertian pada pasal 9 UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM: Kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
2. Unsur sistematis dan terstruktur dari peristiwa
pembunuhan enam pengawal HRS ini dapat
dibuktikan dari adanya suatu rangkaian Tindakan yang
terstruktur dan terorganisir yang terjadi sebelum dan
setelah peristiwa pembunuhan tersebut; antara lain
(sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II).
3. Operasi yang sistematis dapat dilihat dari berbagai
bentuk operasi politik yang ditujukan kepada HRS,
adalah berupa upaya kriminalisasi yang terus menerus,
character assassination, dan penghancuran kredibilitas
HRS melalui gaya operasi “memisahkan ikan dari air”,
yaitu menjauhkan HRS dari umat Islam.
4. Secara kronologis, untuk dapat menggambarkan
bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS
tersebut adalah merupakan sebuah rangkaian OPERASI
SISTEMATIS yang berkelanjutan, maka secara kasat
mata operasi tersebut dapat kita bagi-bagi dalam tiga (3)
periode, yaitu:
a. Periode Januari - April 2017;
b. Periode ketika HRS “menetap” sementara di Saudi
Arabia, disebut periode “pengasingan politik, antara
April 2017-November 2020;c. Periode HRS tiba di Tanah Air, yaitu November 2020
hingga saat ini.
5. Sejak bulan November 2020 hingga saat buku ini ditulis,
paling tidak telah terjadi rangkaian tindakan sebagai
berikut:
Kriminalisasi HRS dengan menjadikan acara Maulud
Nabi dan pernikahan putrinya sebagai kejahatan
dengan ancaman pidana yang berat;
• Pembunuhan para pengawal HRS;
• Pembubaran FPI dan kriminalisasi para
pengurusnya;
• Pemblokiran rekening FPI dan para mantan
pengurusnya;
• Upaya pencabutan hak-hak politik HRS;
• Upaya pencabutan hak-hak keperdataan HRS di
antaranya; mencabut hak sebagai bapak dan wali
nasab, mencabut hak untuk menjadi pengurus
organisasi atau yayasan, mencabut hak untuk
menjalankan mata Pencarian tertentu;
• Perampasan barang dalam hal ini aset milik tertentu
milik HRS;
• Operasi surveillance saat kepulangan HRS;
• Penuruan baliho FPI;
• Operasi media untuk cipta kondisi.UNSUR UNLAWFUL KILLING DAN/ ATAU EXTRA JUDICIAL
KILLING
1. Pembunuhan yang terjadi terhadap enam pengawal
HRS adalah sudah jelas merupakan suatu Unlawful
Killing dan/ atau Extra Judicial Killing; karena tidak ada
mandat dan justifikasi apa pun dari para pembunuh
(oknum aparat negara) untuk melakukan pembunuhan
terhadap enam orang pengawal tersebut. Juga, keenam
orang tersebut tidak berstatus sebagai DPO (Daftar
Pencarian Orang), tersangka, terdakwa, buronan atau
pun telah melakukan kejahatan apa pun.
2. Pasal yang dapat dikenakan terhadap para pembunuh
adalah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9 jo
Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000 dan subsider adalah
Pasal 340, 338 dan 351 dari KUHP.
3. Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000 berbunyi:
Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e,
atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 340 KUHP berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.
Pasal 338 KUHP berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 351 KUHP berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.UNSUR COMMAND RESPONSIBILITY (TANGGUNG JAWAB
KOMANDO)
1. Pembunuhan enam pengawal HRS adalah suatu
pelanggaran berat HAM dalam bentuk kejahatan
kepada kemanusiaan karena di samping terdapat unsur
serangan sistematis terhadap penduduk sipil, juga
karena terdapat rantai komando dan tanggung jawab
komando dari organisasi tertentu baik secara aktif
(commission) ataupun pembiaran/pasif (omission).
2. Hal ini melanggar Pasal 42 Ayat (2) dari UU No. 26 Tahun
2000 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42 (2)
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya,
bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut
tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya
secara patut dan benar, yakni:
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar
mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan
b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup ke-wenangannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal
38, Pasal 39, dan Pasal 40.
KOMNAS HAM HANYA MELAKUKAN PEMANTAUAN
BUKAN PENYELIDIKAN
1. Atas pembunuhan terhadap enam pengawal HRS,
Komnas HAM menindak lanjutinya dengan melakukan
serangkaian kegiatan yang oleh Komnas Ham
diistilahkan dengan “pemantauan dan penyelidikan”.
Dasar hukum yang dipilih oleh Komnas HAM atas
kegiatannya tersebut adalah Pasal 89 ayat 3 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Namun ternyata istilah
yang digunakan Komnas HAM tidak sesuai dengan
nomenklatur yang diberikan oleh Pasal 89 ayat 3 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Istilah atau nomenklatur
atas tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana
disebutkan oleh Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999
adalah “pemantauan” bukan penyelidikan.
2. Menurut ketentuan Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun
1999, tugas dan kewenangan Komnas HAM dalam
melakukan “pemantauan “ adalah sebagai berikut:a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa
yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan
sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap
pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban
maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan
didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta
menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya
yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk
memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya dengan persetujuan Ketua
Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,
bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan
Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua
Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia
dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh
pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM
tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada
para pihak.
3. Memang dalam tugas dan wewenang yang ditentukan
dalam pasal 89 ayat 3 di atas terdapat norma yang
berbunyi “penyelidikan dan pemeriksaan “. Norma
ini dirumuskan dengan kalimat “penyelidikan dan
pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya
patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia”.
Sehingga sepertinya Komnas HAM mempunyai
alasan untuk memperbolehkan dirinya menamakan
kegiatannya dengan “pemantauan dan penyelidikan”
karena terdapat kata “penyelidikan” pada pasal tersebut.
Namun sebetulnya makna “penyelidikan” dalam pasal
ini hanyalah dalam konteks melaksanakan pemantauan
atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana
dengan jelas dinyatakan di akhir kalimat pada butir “b”
pasal tersebut. Karena fungsi pemantauan hanyalah
pada masalah pelanggaran HAM, itu pun hanya sebatas
“dugaan”, maka tidak mungkin pemantauan yang
dilakukan Komnas HAM, akan bisa menghasilkan
kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM berat. Sehingga sejak awal memang Komnas HAM tidak
berkehendak untuk menggunakan kewenangannya
melakukan penyelidikan ke arah pelanggaran HAM
berat.
4. Karena Komnas HAM menggunakan dasar Pasal 89
ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999, maka Komnas HAM tidak
mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan
sehingga segala aktivitasnya terbatas dan hanya dapat
dianggap sebagai “pemantau” bukan “penyelidik”.
Karena hanya sebagai pemantau, maka tidak bisa
dibenarkan menamakan tim Komnas HAM sebagai
tim penyelidik karena seharusnya cukup dinamakan
sebagai tim pemantau.
5. Karena hanya sebagai Tim Pemantau, maka tim tersebut
yang diketuai oleh M. Choirul Anam, sebenarnya tidak
mempunyai wewenang untuk menyimpulkan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM, apalagi menyatakan
bahwa telah terjadi “unlawful killing” yang merupakan
ranah hukum pidana, dimana Komnas HAM sama
sekali tidak mempunyai kompetensi absolut untuk
menyatakannya.
6. Rekomendasi Komnas HAM yang mengharuskan
untuk melanjutkan penegakan hukum dengan
mekanisme pengadilan Pidana juga dinilai (oleh TP3)
sebagai rekomendasi yang berlebihan. Karena dengan
adanya rekomendasi tersebut berarti Komnas HAM berpendapat bahwa kejadian pembunuhan terhadap
para pengawal HRS adalah merupakan tindak pidana.
Padahal untuk berpendapat seperti itu harus ada proses
penyelidikan oleh penyelidik, dimana Komnas HAM
adalah bukan penyelidik atas pelanggaran hukum
pidana, sehingga TP3 menilai rekomendasi tersebut
berada di luar kompetensinya.
7. Rekomendasi Komnas HAM yang mengharuskan
penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan
Pidana juga dinilai (oleh TP3) sebagai upaya untuk
mereduksi kejahatan yang bersifat pelanggaran HAM
berat menjadi hanya pidana umum biasa. Lebih lanjut
juga berarti mengandung maksud untuk mengalihkan
atau menjauhkan dari kewajiban Komnas HAM untuk
melakukan penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM.
8. Jika Komnas HAM menggunakan wewenangnya
untuk melakukan penyelidikan atas dasar UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka hasil
penyelidikannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu
“ada” atau “tidak ada” pelanggaran HAM berat. Tidak
boleh ada kemungkinan lain yang bersifat setengahsetengah berupa pelanggaran HAM saja.
9. Kesimpulan Komnas HAM yang menyatakan terdapat
indikasi adanya unlawful killing atas terbunuhnya
Pengawal HRS sebenarnya justru merupakan petunjuk jelas agar Komnas HAM menggunakan wewenang
penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000. Karena
tidak mungkin Komnas HAM dapat berkesimpulan
seperti itu, jika hanya menggunakan wewenangnya
sebagai pemantau atas dasar UU No. 39 Tahun 1999.
TIDAK DIBENARKAN TNI TERLIBAT DALAM PENEGAKAN
HUKUM
TEMPO.CO, Jakarta - Pangdam Jaya Mayor Jenderal Dudung Abdurachman
turut hadir dalam konferensi pers terkait penembakan 6 anggota Front Pembela
Islam (FPI) oleh penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dudung menyatakan
dukungan kepada polisi yang telah mengambil tindakan tegas tersebut. 1. Berita Liputan6.com, tanggal 8 Desember 2020 pada
jam 22.23, tertulis nama (wartawan) Yopi Makdori,
menyampaikan berita dengan judul “Muhammadiyah Sayangkan Keterlibatan Pangdam Jaya di Konpers
Penembakan FPI”. Ketua PP Muhammadiyah Bidang
Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas menyoroti
keterlibatan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung
Abdurachman dalam konferensi pers (konpers)
pengungkapan kasus yang menewaskan enam orang
laskar. Diberitakan bahwa Busyro menyampaikan ;
“Menyayangkan keterlibatan Pangdam Jaya dalam
proses penjelasan peristiwa kematian enam anggota
FPI oleh pihak kepolisian,” Menurut Busyro, sebagaimana dilaporkan oleh wartawan Yopi Makdiri, “hal
itu menguatkan dugaan keterlibatan TNI dalam
penanganan penyidikan tindak pidana. Sedangkan itu
bukan tugas TNI”.
Sebagaimana diketahui, Mayjen TNI Dudung
Abdurachman (Pangdam Jaya) turut hadir saat Kapolda
Metro Jaya Irjen Fadil Imran menggelar jumpa pers
terkait kematian enam pengawal HRS.
2. Atas pernyataan Muhammadiyah di atas, Panglima
Daerah Militer Jakarta (Pangdam Jaya) melalui Kepala
Penerangannya Letnan Kolonel Arh Herwin B.S, memberikan tanggapan , sebagaimana diberitakan oleh
detik.com pada hari Selasa, 08 Desember 2020 20:09
WIB. Secara lengkap tanggapan Pangdam Jaya melalui
Kepala Penerangannya (Kapendam Jaya) adalah sebagai
berikut; Kapendam Jaya mengatakan bahwa pernyataan pers dalam
poin 8, yang disampaikan oleh Bapak Dr. Busyro Muqoddas,
S.H., M.Hum tentang dugaan TNI turut diperankan dalam
penanganan penyidikan tindak kejahatan adalah tidak
benar, TNI dalam hal ini Kodam Jaya memang tidak pernah
diturut sertakan atau dilibatkan dalam proses penyidikan
tindak kejahatan sipil yang terjadi di masyarakat, karena
sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat
Polisi RI dan Pejabat PNS tertentu sesuai UU.
Selanjutnya kehadiran Pangdam Jaya di Polda Metro Jaya,
adalah sesuai dengan Tupok TNI sebagai alat negara di
bidang pertahanan memiliki tugas yang harus diemban,
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004
tentang TNI pasal 7 ayat (1), tugas pokok TNI adalah
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Dan Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf “b” angka “10”,
tugas pokok TNI adalah Operasi Militer Selain Perang,
yakni membantu Kepolisian Negara RI dalam rangka
tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur
dalam Undang-undang, jelasnyaJadi kapasitas Pangdam Jaya saat hadir dalam konferensi
pers yang disampaikan oleh Kapolda Metro Jaya tentang
peristiwa baku tembak personel Polisi dengan Laskar FPI di
Jalan Tol Kerawang KM 50 yang mengakibatkan 6 anggota
Laskar FPI meninggal dunia, yaitu untuk melihat dan
memberikan dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya
dalam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan
hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam
aksinya membawa senjata tajam dan senjata api ilegal
saat melakukan pengawalan dan pengamanan MRS.
Dalam hal ini kehadiran Pangdam Jaya untuk tetap
membantu Polda Metro Jaya, guna mengantisipasi
terjadinya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban di
wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, pungkas Kapendam
Jaya.
3. Bantahan Pangdam Jaya di atas justru makin meneguhkan keterlibatan TNI sebagaimana dapat dibaca
pada kalimat terakhir yang mengatakan kehadiran
“Pangdam Jaya” adalah untuk “tetap membantu
Polda Metro Jaya” mengantisipasi terjadinya eskalasi
gangguan keamanan dan ketertiban. Pangdam Jaya
hanya hadir dalam konferensi pers di halaman Markas
Polda Metro Jaya, yang saat itu jelas sedang tidak
ada gangguan keamanan dan ketertiban yang harus
diantisipasi oleh TNI.4. Pasal 7 ayat (2) huruf “b” angka “10”, Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2004, sebagaimana dikutip oleh
Kapendam Jaya hanya berisi norma yakni membantu
Kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan
dan ketertiban masyarakat. Hal ini tidak berarti harus
hadir dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh
Kepolisian jika konferensi pers tersebut adalah dalam
rangka penegakan hukum.
5. Pernyataan Kapendam Jaya diatas juga menegaskan
keterlibatannya TNI (Pangdam Jaya) ketika menyatakan bahwa kapasitas Pangdam Jaya adalah memberikan; “dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya dalam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan
hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana
dalam aksinya membawa senjata tajam dan senjata api
ilegal saat melakukan pengawalan dan pengamanan
MRS”
Pertanyaan dan pendapat hukum TP3 perihal pernyataan
Kapendam Jaya tersebut adalah sebagai berikut:
a) Apakah berarti Pangdam Jaya selalu harus hadir
pada setiap konferensi pers yang diselenggarakan
oleh Polda Metro Jaya. Kalau tidak selalu, atau kalau
konferensi pers tersebut adalah pertama kalinya
TNI hadir dalam penegakan hukum yang dilakukan
oleh kepolisian maka TNI harus menjelaskan
mengapa untuk kasus pembunuhan ini harus hadir? Jawaban atas pertanyaan ini tidak tersedia dalam
pernyataannya Kapendam Jaya di atas).
b) Dalam pernyataan Kapendam Jaya sudah langsung
menghakimi dengan menyatakan pendapatnya
bahwa telah terjadi “aksi melawan hukum yang
dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam aksinya
membawa senjata tajam dan senjata api ilegal” .
Artinya di sini pihak TNI tidak imparsial karena
sudah menunjukkan keberpihakannya dengan
mengatakan bahwa yang melawan hukum adalah
oknum FPI bukan polisi atau pembunuhnya.
OPERASI PENURUNAN BALIHO HABIB RIZIEQ SHIHAB
OLEH TNI
1. Sebelum peristiwa pembunuhan terhadap Pengawal
HRS sempat terjadi aksi penurunan baliho-baliho
bergambar HRS di Jakarta sebagai bentuk pesan dakwah
atau kampanye tertentu oleh para pendukungnya.
Republika Online pada tanggal 21 November 2020, jam
03.13 menurunkan berita ;
Petugas gabungan, TNI, Polri, dan Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) menertibkan sejumlah baliho dan spanduk
tak berizin di Ibu Kota. Salah satu baliho yang ditertibkan
berada di Petamburan, yakni baliho penyambutan Imam
Besar Front Pembela Islam Muhammad Rizieq Shihab.Video konvoi dan penurunan baliho Rizieq Shihab oleh TNI
sempat viral di media sosial. Dandim 05/01 JP BS Kolonel
Inf Luqman Arief mengakui pihaknya menurunkan
sekitar 500 personel dalam penertiban ini. “Ini bagian dari
kegiatan tiga pilar sebagai patroli pengamanan dan kami
juga melakukan pelepasan baliho-baliho yang terpasang
tidak sesuai aturan,” kata Luqman Arief, Jumat (20/11).
Beberapa kendaraan taktis yang diturunkan dalam pengamanan di wilayah Jakarta Pusat itu adalah empat panser
anoa serta puluhan motor yang dikendarai petugas TNI
dan Brimob Polri. Pembersihan baliho tak berizin itu
didukung Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman.
Bahkan, Dudung mengakui pihaknya memang memerintahkan penurunan baliho Rizieq Shihab di wilayah DKI Jakarta. Perintah diberikan setelah sebelumnya sudah ada
upaya penertiban baliho oleh Satpol PP tapi baliho-baliho
itu kembali dibentangkan.2. Tempo.Co, wartawan Egi Adyatama , pada Minggu, 22
November 2020 16:24 WIB menurunkan berita dengan
judul “ Penurunan Baliho Rizieq Shihab oleh TNI, Sikap
Negara Dinilai Berperan Besar” . Berita selengkapnya
adalah sebagai berikut:
TEMPO.CO, Jakarta - Keterlibatan TNI dalam penurunan
baliho dukungan untuk Imam Besar Front Pembela Islam
(FPI) Rizieq Shihab, dinilai tak mungkin murni inisiatif
dari institusi pertahanan negara tersebut. Kebijakan dan
keputusan politik negara, disebut menjadi faktor yang
menjadi dasar tindakan itu.Co-founder Institute for Security and Strategic Studies
(ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan bahwa satu-satunya
pintu masuk TNI dalam penurunan baliho, adalah melalui
Operasi Militer Selain Perang (OMSP) khususnya pada
Pasal 7 ayat (2) angka 9 dan 10 UU nomor 34 tahun 2004
tentang TNI.
“Tapi lihat ketentuan berikutnya di ayat (3), di situ jelas
disebutkan bahwa OMSP dilaksanakan berdasarkan
kebijakan dan keputusan politik negara. Penekanan
soal politik negara ini juga berulang kali disebutkan
sebelumnya,” kata Khairul saat dihubungi Tempo, Ahad,
22 November 2020.
Meski begitu, Khairul masih mempertanyakan sejauh
mana urusan FPI dan Rizieq Shihab ini sudah memiliki
kebijakan dan keputusan politik negara. Sejauh ini,
pernyataan keberadaan baliho yang berpotensi memecah
bangsa, baru datang dari Panglima Daerah Militer
Jayakarta alias Pangdam Jaya, Mayor Jenderal Dudung
Abdurachman.
Bahkan Dudung mengancam akan membubarkan FPI jika
memang mengganggu persatuan dan kesatuan. Klaim FPI
yang merasa mewakili umat Islam, kata Dudung, bukan
jadi alasan mereka bisa berbuat sewenang-wenang.
Khairul mengatakan pernyataan Pangdam Jaya tersebut
mengesankan nuansa TNI masa lalu, yang aroganmenakut-nakuti, dan menunjukkan lembaga-lembaga lain
lemah. Ia pun mengatakan selalu ada pintu masuk bagi TNI
untuk ikut terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara.
Namun yang harus jadi landasan dalam keterlibatan
tersebut adalah politik negara.
“Sepanjang ada kebijakan dan keputusan politik negara
yang mendasarinya, ya itu aman bagi TNI,” kata Khairul.
Namun, jika belum ada kebijakan dan keputusan politik
negara, Khairul mengatakan dapat disimpulkan bahwa
TNI dalam hal ini telah melampaui mandatnya.
“Dukungan lisan Polri maupun Pemprov DKI sekalipun,
tentu tak bisa digunakan sebagai klaim bahwa TNI telah
bertindak sesuai mandat,” kata dia.
3. Operasi penurunan baliho tersebut, apalagi dilakukan
oleh aparat TNI, jelas merupakan bagian dari rencana
yang sistematis dalam rangka untuk menghabisi HRS.
Sebab tidak mungkin mengerahkan TNI hanya untuk
menurunkan baliho bergambar HRS. Buktinya hanya
baliho bergambar HRS saja yang diturunkan dengan
cara pengerahan pasukan bersenjata, siap tempur, dan
bahkan siap membunuh. Dengan demikian, operasi
penurunan baliho HRS jelas bukan dalam rangka
penegakan hukum namun dalam rangka mengikuti
komando berdasarkan rencana yang sistematis untuk
menghabisi HRS.Sebab, jika dalam rangka penegakan hukum atau dalam
rangka penertiban karena tidak memiliki izin atau
karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku
perihal itu, tentu bukan TNI yang menindak namun
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebab, segala
bentuk spanduk atau umbul-umbul termasuk baliho,
yang dipasang di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
mempunyai aturan tersendiri. Yaitu aturan yang
tertuang dalam Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak
Reklame. Sedangkan untuk penertiban spanduk atau
baliho ditegakkan dengan Perda Nomor 9 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum. Sehingga TP 3 berpendapat
karena masalahnya hanyalah soal pelanggaran atas
Perda, maka yang boleh menindak adalah Satpol PP. Hal
tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor
221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda
Nomor 8 Tahun 2007 dimana ditentukan bahwa Satpol
PP merupakan penanggung jawab utama pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan
ketertiban umum, termasuk pencopotan spanduk dan
baliho yang dipasang menyalahi aturan.
4. Memang betul dalam menjalankan tugasnya Satpol PP
dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, yang
dalam pasal 5 ayat 2 dari Pergub di atas termasuk dapat
dibantu oleh Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Komando
Garnisun Ibu kota, Kejaksaan dan Pengadilan. Namun
kerja sama ini harus diartikan hanya atas permintaan Satpol PP bukan atas inisiatif dan kehendak dari instansi
tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Pangdam Jaya.
Sebab Pasal 5 ayat 1 dari Pergub tersebut berbunyi;
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Sat Pol PP sebagai penanggung
jawab utama pembinaan, pengendalian dan pengawasan
penyelenggaraan ketertiban umum dapat berkoordinasi
atau bekerja sama dengan instansi pemerintah.
Ini artinya kewenangan menertibkan baliho tetap
ada pada Satpol PP, bukan TNI maupun Polda Metro
Jaya. Sekalipun bekerja sama dengan Polda Metro Jaya
maupun dengan TNI penanggung jawab utama tetap
ada pada Satpol PP. Faktanya yang terjadi bukan kerja
sama namun pengambilalihan wewenang Satpol PP.
KETERLIBATAN KOMANDO OPERASI KHUSUS TENTARA
NASIONAL INDONESIA (KOOPSUS TNI)
1. Narasumber TP3 mengatakan telah menyaksikan
kendaraan taktis milik pasukan elite Komando Operasi
Pasukan Khusus (Koopsus) TNI di dekat markas FPI,
Jalan Petamburan, Jakarta Pusat. Narasumber ini
mengatakan bahwa yang melakukan penurunan baliho
adalah Koopsus. Karena dia melihat bahwa pada mobil
patroli terdapat tulisan “Komando Operasi Khusus”.2. Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia
(Koopsus TNI) adalah satuan khusus di TNI yang
dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
42 Tahun 2019 , ditanda tangani Presiden Joko Widodo
pada tanggal 3 Juli 2019. Menurut Perpres ini Koopsus
TNI bertugas menyelenggarakan operasi khusus dan
kegiatan untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus
yang membutuhkan kecepatan dan keberhasilan tinggi
guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam
maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam rangka mendukung tugas pok TNI.
Koopsus TNI dipimpin oleh Komandan Koopsus TNI
bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Koopsus
TNI diresmikan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi
Thahjanto pada tanggal 30 Juli 2019.
3. Koopsus TNI merupakan salah satu unit komando
pasukan elite TNI yang merupakan bagian dari Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) yang secara struktural
komando langsung di bawah Panglima TNI, sehingga
Pasukan khusus dari tiga matra yaitu matra darat,
matra laut dan matra udara stand by di Mabes TNI
dan sewaktu-waktu bisa digunakan oleh Panglima
TNI atas perintah Presiden RI. Sedangkan tugas dari
Koopsus TNI adalah mengatasi aksi terorisme, baik
dalam maupun luar negeri yang mengancam ideologi
kedaulatan, keutuhan dan keselamatan segenap bangsa
Indonesia. Komandan Koopsus saat ini Mayor Jenderal
Richard Horja Taruli Tampubolon, S.H., M.M3
.
4. Dari Tempo.Co 4
, TP3 memperoleh informasi sebagai
berikut tentang Koopsus TNI:
a) “Pemerintah memandang perlu membentuk
Komando Operasi Khusus Tentara Nasional
Indonesia (Koopsus TNI) dari matra darat, laut, dan
udara yang bercirikan kemampuan khusus dengan
tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi,”
b) Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan tujuan pembentukan Koopsus
ini guna meningkatkan efektivitas TNI dalam merespons operasi khusus. Sebelumnya proses pelaksanaan operasi khusus ini, Mabes TNI perlu terlebih
dahulu meminta pasukan kepada masing-masingmatra. Padahal, angkatan tidak selalu siap untuk
tugas ini. Dengan Koopsus, “(Akan) meningkatkan
efektivitas pengendalian khusus gabungan, bukan
per angkatan,”
c) Koopsus merupakan bagian dari badan pelaksana pusat, yang setara dengan unit seperti Pasukan Pemukul
Reaksi Cepat maupun Komando Garnisum Tetap.
d) Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi
mengatakan Koopsus TNI dibentuk setelah beberapa
kali melakukan operasi khusus gabungan kesatuan
khusus tiga matra TNI, seperti operasi di Somalia.
“Dari hasil evaluasi, maka kami perlu semacam
komando pengendali dalam operasi khusus,”
e) Markas komando Koopsus bersifat permanen.
Pasukannya dirotasi dari masing-masing pasukan
elite tiap matra, Kopasus, Koopsus, dan Kopaskhas.
TNI masih menggodok lama masa tugas di Koopsus.
“Pasukan yang akan diambil adalah mereka yang
tengah dalam fase penggunaan.”
f) Tiga siklus pembinaan dilakukan oleh masing-masing satuan adalah penyiapan, penggunaan, dan
konsolidasi. Pasukan dalam Koopsus pada fase penggunaan ini yang akan disertakan dalam Koopsus.
“Kalau ada operasi baru dikerahkan, tapi kalau
nggak ada operasi, siap-siap saja, kerjanya latihan
tempur,” ujar Sisriadi.
5. Mantan Panglima Kodam Jayakarta Tahun 1996
Sutiyoso, juga berpendapat bahwa pengerahan
Koopsus TNI untuk menurunkan baliho-baliho HRS
/FPI adalah tindakan yang berlebihan. Menurut
Sutiyoso5
, pemerintah turut mengerahkan pasukan
serta kendaraan taktis Komando Operasi Khusus atau
Koopsus ke Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat.
6 Dengan memperhatikan alasan pembentukan, komposisi satuan, kompetensi dan fungsi Koopsus TNI,
TP3 memandang bahwa mobilisasi Koopsus TNI pada
peristiwa penurunan baliho HRS/FPI membuktikan
adanya rencana terstruktur dan sistimatis yang melibatkan berbagai aparat pemerintah untuk melakukan
penumpasan pada HRS dan/atau FPI. Adanya bukti keterlibatan Koopsus TNI ini, yang memang merupakan
pasukan perang dengan legitimasi untuk menghilangkan nyawa, maka berarti Pemerintah memandang HRS
dan atau anggota FPI sebagai musuh dalam peperangan
yang boleh dihabisi.
HUKUM PEMBUKTIAN PADA PERISTIWA PEMBUNUHAN
6 (ENAM) PENGAWAL HRS
1. Dari narasumber TP3 memperoleh fotokopi bukti laporan pidana. Pada bukti laporan ini tertulis pelapor ber-
nama Fikri Ramadhan, Pangkat /NRP Briptu / 94030,
dari Kesatuan Unit 5 Subdit 3 Reskrimun PMJ, tanggal
laporan 07 Desember 2020. Pelapor juga menyebutkan
adanya dua saksi bernama Bripka Adi Ismanto dan
Bripka Faisal Khasbi Aleya. Yang tidak lazim adalah pelapor melaporkan bahwa pelaku tindak pidana adalah
semua pengawal HRS yang sudah meninggal dengan
menggunakan nomenklatur “Terlapor”, yaitu Faiz Ahmad Syukur, Andi Oktiawan, M.Reza , Muhammad Suci
Khadavi Poetra, Luthfil Hakim dan Akhmad Sofian.
2. Pada uraian singkat laporannya Fikri Ramadhan di atas,
Fikri menggunakan istilah “petugas”, namun tidak jelas
siapakah yang dimaksud “petugas”. Apakah “pelapor
dan saksi” termasuk dalam pengertian “petugas” ? atau,
adakah yang lain atau pihak lain di luar PMJ (Polda
Metro Jaya). Yang jelas melalui uraian singkat tersebut
pelapor melaporkan bahwa pelaku kejahatan adalah
Terlapor. Sementara itu kita ketahui bahwa semua
nama-nama Terlapor telah meninggal dunia . Dengan
kata lain, menurut Pelapor korban kejahatan adalah
, yang pelapor istilahkan dengan “petugas” (quod non)
sedangkan pelaku kejahatan adalah “Terlapor yang
semuanya sudah meninggal dunia” , yang telah dibunuh
oleh “Petugas” (quod non) . Dengan demikian pendapat
hukum TP3 perihal ini adalah , tidak perlu dibuat laporan
telah terjadi tindak pidana, karena Terlapor sudah
meninggal semuanya, karena tidak mungkin lagi bisa
dijadikan tersangka. Yang justru perlu dilakukan oleh
yang mengaku “petugas” adalah laporan pelaksanaan
tugas atau berita acara pelaksanaan tugas.
3. Jika para penguntit atau yang mengaku petugas telah
melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal
HRS dengan alasan karena terpaksa atau terdesak atau
karena bela diri, maka para pembunuh ini berkewajiban
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu
kepada publik. Jadi beban pembuktian (burden of proof) atau yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan
bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah
karena membela diri ada pada pihak pembunuh.
Menyebarluaskan kesan bahwa pembunuhlah yang
menjadi korban adalah absurd. Sebab yang sudah
meninggal tidak mungkin bisa diberikan beban untuk
membuktikan.
PEMBUKTIAN PENGGUNAAN DAN KEPEMILIKAN SENJATA
API
1. Para pembunuh atas enam pengawal HRS menuduh
bahwa yang lebih dahulu menyerang dan melakukan
penembakan adalah korban. Para pembunuh tersebut
juga menuduh bahwa para pengawal HRS memiliki
senjata api dan senjata tajam, serta di antara mereka
sempat berupaya merebut senjata api yang ada pada
kekuasaannya salah satu di antara pembunuh.
2. Pada dasarnya menurut KUHAP (Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana) di Indonesia, maka
beban pembuktian ada pada pihak yang menuduh. Hal
ini tersirat dalam Pasal 66 KUHAP (Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981) bahwa tersangka atau terdakwa
tidak dibebani kewajiban pembuktian. Atas dasar
pasal ini maka beban pembuktian terletak pada Jaksa
Penuntut Umum. Karena Jaksa Penuntut Umum adalah
pihak yang diberikan kewajiban untuk menuduh atau
membuat surat dakwaan, maka beban pembuktian
berdasarkan KUHAP ada pada pihak yang menuduh.
Karena para pembunuh dan Polda Metro Jaya adalah
pihak yang menyebar luaskan tuduhan bahwa para
pengawal HRS memiliki dan menggunakan senjata api,
dan seterusnya, maka adalah kewajiban mereka untuk
membuktikan tuduhannya itu.
3. Selain asas tersebut dalam KUHAP, juga terdapat
asas lain yang dalam bahasa latin disebut In genere
quicungue aliquid dicit, sive actor sive reus, necesse est ut
probat, yang berarti siapa pun yang membuat tuduhan,
harus membuktikannya. Demikian juga menurut
hukum Islam, bagi yang menuduh wajib membawa
bukti (Hadits Rasulullah SAW): ...bukti itu harus ditegakkan oleh orang yang menuntut
dan sumpah itu wajib diberikan oleh orang yang
mengingkari (tuduhan). (HR. Al-Baihaqi)
4. Untuk membuktikan tuduhannya bahwa para pengawal
HRS telah melakukan serangan dan telah menggunakan
senjata api, maka para pembunuh dan atau Polda Metro
Jaya harus membuktikan dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 184 KUHAP. TP3 berpendapat bahwa
para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya tidak akan
bisa membuktikan, meskipun hanya bukti awal yang
minimalis sekali pun.
5. Untuk bukti saksi yang mereka miliki hanyalah
saksi sesama pembunuh, sehingga sama sekali tidak
memiliki kredibilitas. Mengenai barang bukti, juga
tidak kredibel karena tidak diperoleh secara sah, tidak
ada proses penyitaan, dan tidak ada identifikasi sidik
jari. Sehingga keterangan ahli tidak mungkin bisa
memberikan kepastian bahwa para pengawal HRS
pernah menguasai dan mempergunakan senjata api.
Bukti dari keterangan terdakwa juga tidak mungkin
diperoleh karena semua pengawal HRS sudah tewas
sehingga tidak bisa dijadikan terdakwa. Alhasil,
tuduhan bahwa enam pengawal HRS menggunakan
senjata api, melakukan serangan, berupaya merebut
senjata api hanyalah pernyataan sepihak dari penuduh
(para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya). Dengan
demikian, tidak mungkin mereka (para pembunuh dan/
atau Polda Metro Jaya) bisa membuktikan bahwa enam
almarhum pengawal HRS telah melakukan serangan
dengan menggunakan senjata api maupun senjata
tajam, maupun mereka pernah mencoba merebut
senjatanya pembunuh. Apalagi terdapat fakta bahwa
petugas memerintahkan agar para saksi menghapus
rekaman di handphone dan tindakan lain yang tidak
melakukan pengamanan atas TKP namun malah
melakukan perubahan atas TKP dengan mengangkut
jenazah korban pembunuhan segera setelah korban
tewas serta menghilangkan kios-kios di TKP KM 50.
6. Jika untuk memperoleh bukti awal saja para pembunuh
dan/atau Polda Metro Jaya tidak mungkin bisa
memperolehnya, maka makin tidak mungkin mereka
bisa memperoleh bukti lanjutan. Sebagaimana telah
sama-sama kita ketahui, untuk bisa menuduh atau
membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa enam
almarhum pengawal HRS telah melakukan serangan
dengan menggunakan senjata api, senjata tajam,
maupun tuduhan bahwa salah satu dari almarhum
pernah mencoba merebut senjatanya pembunuh, maka
keenam almarhum tersebut harus disidangkan di sidang
pengadilan pidana, dimana hal itu tidak mungkin bisa dilaksanakan. TP3 berpendapat, bahwa karena penuduh
(pembunuh dan atau Polda Metro jaya) tidak mungkin
dapat membuktikan kesalahan korban maka para
pembunuhlah yang harus disidangkan dengan tuduhan
pembunuhan secara tidak sah (unlawful killing), yang
dilakukannya karena mengikuti perintah dan sistem
yang diberlakukan kepadanya.
TANGGUNG JAWAB HUKUM BAGI PETUGAS
1. Jika yang melakukan pembunuhan terhadap enam
pengawal HRS adalah petugas dan petugas yang dimaksud
adalah polisi dan atau instansi pemerintah yang lain,
dan pembelaannya atas pembunuhan yang dilakukan
adalah karena membela diri atau karena melaksanakan
tugas, maka para petugas dimaksud mempunyai
tanggung jawab hukum untuk menjelaskan kepada
masyarakat tentang alasannya itu. TP 3 berpendapat,
satu-satunya forum untuk mempertanggungjawabkan
secara hukum pembunuhan tersebut adalah Pengadilan
HAM atas dasar Undang-undang No. 26 Tahun 2000.
2. TP3 berpendapat bahwa hal-hal yang harus
dipertanggung jawabkan secara hukum oleh yang
mengaku sebagai petugas (atau para pembunuh) adalah
hal-hal sebagai berikut
A. Jika para Petugas adalah anggota POLRI, harus bisa
membuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan adalah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1
Tahun 2009 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun
2009.
Dengan demikian para petugas ini harus
membuktikan:
a. Apakah pembunuhan yang dilakukan telah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku, apakah
pembunuhan memang perlu dilakukan (asas
Necessitas), apakah pembunuhan memenuhi asas
proporsionalitas (dilaksanakan secara seimbang
antara ancaman yang dihadapi dengan pembunuhan
yang dilakukan), apakah betul pembunuhan
dilakukan untuk menciptakan keamanan dan
ketertiban masyarakat, apakah betul sebelumnya
telah mengutamakan pencegahan (asas Preventif),
dan apakah pembunuhan yang dilakukan masuk
akal (petugas betul-betul dalam posisi hendak
dibunuh maka harus membunuh).
b. Apakah betul terjadi penyerangan dan atau
perlawanan, apakah betul tindakan yang lebih
lunak sudah tidak efektif lagi (misalnya cukup
menodongkan atau diborgol), apakah betul telah
berada pada situasi jika tidak dibunuh maka
Petugas yang akan terbunuh (kill or to be killed
situation)c. Terkait dengan penggunaan Senjata Api oleh
Polisi, maka polisi wajib membuat penjelasan
secara terperinci tentang penggunaan senjata api
(Pasal 49 ayat 2 Perkap No. 8/2009), apakah hal ini
telah dibuat dan diuji kebenarannya?
d. Mengapa sejak keberangkatan untuk tugas
penguntitan dibekali dengan peluru tajam?
Apakah sejak awal telah mengantisipasi akan
terjadi pembunuhan? Siapa yang terlibat dalam
penugasan penguntitan dan bagaimana surat
tugas yang diberikan, siapa yang memberikan
surat tugas tersebut?
B. Jika para Petugas adalah anggota TNI, harus bisa
dibuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukannya
adalah karena menjalankan fungsinya sebagai TNI
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UU No. 34
Tahun 2004.
Dengan demikian para petugas ini harus
membuktikan:
a) Jika tugas yang dilakukannya adalah dalam rangka operasi militer, maka harus dibuktikan bahwa
tugas yang dijalankan adalah dalam rangka perang melawan rombongan HRS dan khususnya
perang melawan 6 (enam) Pengawalnya yang dibunuh karena merupakan ancaman militer dan
ancaman bersenjata terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Juga harus
dibuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan
merupakan tindakan untuk memulihkan keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan
keamanan yang diakibatkan oleh kehadiran rombongan HRS
b) Jika tugas yang dilakukannya adalah dalam
rangka operasi militer selain perang (OMSP)
maka harus dibuktikan bahwa pembunuhan
terpaksa dilakukan karena rombongan HRS dan
khususnya enam Pengawalnya yang dibunuh
memenuhi kriteria dari salah satu atau beberapa
tersebut dari 14 butir keadaan yang ditentukan
dalam pasal 7 ayat 2 huruf “b” UU No. 34 Tahun
2004.
PENYELESAIAN YANG BERKEADILAN MELALUI
PENGADILAN HAM
1. Pengadilan HAM menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 dalam kasus terbunuhnya enam pengawal
HRS berarti melakukan keseluruhan proses penyelesaian perkara pembunuhan tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM ini merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Proses penyelesaiannya terdiri dari proses
sebagai berikut: a. Penyelidikan
b. Penyidikan
c. Penuntutan
d. Pemeriksaan Sidang Pengadilan dan
e. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 dari UU No. 26 Tahun
2000, maka Hukum Acara yang berlaku pada peradilan tersebut adalah UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), kecuali terdapat ketentuan lain dalam UU No. 26 Tahun
2000 tersebut yang mengatur secara berbeda maka
pengecualian itulah yang berlaku. Contoh ketentuan
yang berbeda adalah mengenai orang yang dapat diperiksa dan diadili. Pada umumnya KUHAP hanya
diberlakukan pada tindak pidana yang tersangkanya
adalah warga sipil namun dalam UU No. 26 Tahun
2000 terdapat pengaturan yang berbeda. Sebagaimana ditentukan pada pasal 1.4 , kata setiap orang yang
dimaksud oleh Undang-undang ini adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual.
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU No. 26
Tahun 2000, penyelidikan terhadap pelanggaran hak
asasi manusia yang berat (HAM berat) dilakukan oleh
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Penyelidikan dalam konteks ini adalah tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya
suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran
HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan
penyidikan. TP3 berpendapat bahwa penyelidikan
ini belum pernah dilaksanakan oleh Komnas HAM
karena Komnas HAM belum pernah memberitahukan
dimulainya penyelidikan pelanggaran HAM berat
kepada Jaksa Agung , yang menurut UU No. 26 Tahun
2000 ditentukan sebagai Penyidik.
4. Ketika TP3 bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo,
di Istana Merdeka pada tanggal 9 Maret 2021, yang
dalam pertemuan tersebut presiden didampingi oleh
Menkopulhukam dan Mensesneg Pratikno, presiden
mempersilahkan TP3 untuk memberi masukan kepada
Pemerintah sehubungan penanganan kasus dibunuhnya
enam penduduk sipil oleh aparat pemerintah. Presiden
menjamin bahwa selama ini Pemerintah bersikap
transparan. Atas jaminan sikap Pemerintah yang
menurut Presiden “transparan” itulah, maka TP3
merujuk pada Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000
agar arti “transparan” mempunyai makna praktis.
5. Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan
bahwa Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan
dapat membentuk tim Ad Hoc yang terdiri dari unsur
Komnas HAM dan unsur masyarakat. Jika Komnas HAM
memang serius ingin menangani kasus pembunuhandi KM 50 ini secara adil dan transparan sesuai anjuran
Presiden, maka tentu bersedia membentuk tim Ad Hoc
dengan melibatkan TP3. Tidak harus TP3, siapa saja
yang kita semua bisa menilai secara obyektif sebagai
lembaga yang independen HAM yang terakreditasi
seperti Amnesti Internasional.
6. TP3 berpendapat bahwa, hanya jika Komnas HAM
bersedia membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan sesuai
dengan tersebut pada butir 5 di atas maka kata
“transparan” dapat dimaknai sebagai sikap yang terbuka
dan tidak terkandung maksud untuk menutupi atau
melindungi pelanggar HAM berat. TP3 berpendapat
hanya dengan metode keterlibatan masyarakat sajalah
maka penyelesaian yang transparan dan adil dapat
tercapai.
7. Bahwa kewajiban Komnas HAM adalah menyampaikan
kesimpulan hasil penyelidikan kepada Penyidik (Jaksa
Agung) apabila terdapat bukti permulaan yang cukup.
Bahwa bukti permulaan yang cukup ini diperlukan
untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang
atau sekelompok orang yang karena perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan,
patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM
yang berat. TP3 berpendapat bahwa hanya dengan
menggunakan fasilitas yang tersedia pada Pasal 18
ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000, yaitu membentuk tim Ad Hoc yang melibatkan masyarakat, maka tujuan
untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup dapat
dicapai.
8. Bahwa berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, yang
berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan
adalah Jaksa Agung. Tindakan penyidikan
adalah tindakan Jaksa Agung untuk mencari dan
mengumpulkan bukti-bukti agar bisa membuat
terang pelanggaran HAM berat yang terjadi dan guna
menemukan siapa saja dalam kasus dibunuhnya
enam pengawal HRS di KM 50 yang dapat dijadikan
“tersangka”. Sedangkan tindakan penuntutan adalah
tindakan Jaksa Agung sebagai penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat ke
Pengadilan HAM yang berwenang.
9. Bahwa menurut UU No. 26 Tahun 2000 Jaksa Agung
dapat mengangkat penyidik Ad Hoc (pasal 21 ayat 3)
dan penuntut umum Ad Hoc (pasal 23 ayat 3) yang
terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
Untuk menunjukkan adanya transparansi, maka Jaksa
Agung dapat melibatkan TP3 atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang terakreditasi di bidang HAM
seperti Amnesti Internasional , menjadi penyidik Ad
Hoc maupun penuntut umum Ad Hoc.
10. Bahwa jika dapat terbentuk tim Ad Hoc yang melibatkan
TP3 atau LSM lain dalam penyelidikan, penyidikandan penuntutan, maka jika tanpa intervensi, TP3
berkeyakinan bahwa Pengadilan Ham akan terlaksana
untuk menyidangkan para terdakwa dalam kasus
dibunuhnya enam pengawal HRS di KM 50.
11. Bahwa menurut Pasal 27 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000,
pemeriksaan perkara pelanggaran HAM yang berat
dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang
berjumlah lima orang, terdiri atas dua orang hakim
pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga
orang hakim Ad Hoc. Pada pasal 28 ditentukan Hakim
Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah
Agung. Untuk menunjukkan adanya transparansi,
maka Ketua Mahkamah Agung dapat mengusulkan TP3
atau LSM lain yang terakreditasi dibidang HAM seperti
Amnesti Internasional, kepada Presiden untuk menjadi
Hakim Ad Hoc selanjutnya Presiden dapat menyetujui
usulannya Ketua Mahkamah Agung.
GAMBARAN UMUM LAPORAN KOMNAS HAM
1. Tim Pengawalan Peristiwa Pembunuhan 6 (enam)
pengawal HRS (TP3) menerima resmi dari Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
(Kemenko Polhukam) salinan laporan dari Komnas
HAM yang diberi judul “Laporan Penyelidikan” Peristiwa
6 (enam) Orang laskar FPI di Karawang, 7 Desember
2020. Laporan Komnas HAM terdiri dari 103 halaman
laporan utama yang diakhiri dengan Kesimpulan dan
Rekomendasi. Di bagian lampiran terdapat 20 halaman
lampiran termasuk 7 halaman lampiran berupa
keterangan pers dan 8 halaman berupa transkrip “voice
notes” yang terperinci dalam 203 voice notes.2. Di halaman terakhir dari laporannya Komnas HAM, TP3
bisa mengetahui bahwa laporan yang ditulis dengan
mengatasnamakan Komnas HAM tersebut dibuat oleh
suatu tim yang mereka beri nama; “Tim Penyelidikan
Peristiwa Kematian 6 (enam) orang Laskar FPI di
Karawang, 7 Desember 2020 dengan susunan organisasi,
Ketua Tim M. Choirul Anam dengan Anggota TIM
Ahmad Taufan Damanik, Amirudin, dan Beka Ulung
Hapsara. Selebihnya terdiri dari satu orang sekretaris,
11 orang dalam tim pemeriksa saksi, dan 5 orang berada
pada tim olah TKP dan tempat lainnya.
3. Sejak di halaman pertama dari laporan Komnas
HAM sudah menimbulkan pertanyaan. Pada bagian
Latar Belakang disampaikan bahwa Komnas HAM RI
“menerima informasi” terkait peristiwa penembakan
6 (enam) orang laksus FPI oleh anggota tim dari PMJ
(Polda Metro Jaya). Dari kalimat ini saja sudah kelihatan
Komnas HAM tidak transparan. Tidak dijelaskan dari
mana informasi tersebut diperoleh. Sehingga tidak jelas
dari laporan Komnas HAM ini, dari mana dan dari siapa
informasi perihal terbunuhnya enam pengawal HRS
tersebut pertama kali diketahuinya.
4. Dari segi penggunaan istilah, Komnas Ham juga
menunjukkan keberpihakannya karena mengikuti
iramanya pihak PMJ. Misalnya, istilah “pembunuhan”
dilunakkan dengan istilah “menembak mati”. Komnas HAM juga menggunakan istilah “petugas” untuk konteks
peristiwa di jalan tol. Padahal Komnas HAM mencatat
keterangan FPI yang mengatakan bahwa pihak FPI baru
mengetahui yang melakukan pembuntutan adalah PMJ
setelah kapolda Metro Jaya memberikan konferensi
pers. FPI menggunakan istilah “Orang Tidak Dikenal”
namun istilah ini tidak pernah dijadikan rujukan oleh
Komnas HAM, yang lebih memilih istilah “petugas”
yang berasal dari PMJ. Demikian pula tentang nama
Habib Rizieq Shihab yang disingkat HRS, Komnas HAM
menyingkatnya dengan MRS, mengikuti singkatan
yang dibuat oleh PMJ. Bahkan ketika memberikan
uraian keterangan yang bersumber dari FPI, Komnas
HAM juga tetap menggunakan julukan yang digunakan
PMJ bukan FPI. TP3 memperhatikan seluruh narasinya
Komnas HAM dalam laporannya. Meskipun sedang
mengutip atau menceritakan kembali keterangan dari
FPI, singkatan HRS diganti dengan MRS oleh Komnas
HAM. Sebagai contoh bisa kita lihat kalimat terakhir
dari paragraf 4 di halaman 1. Kalimat terakhir di paragraf
ini mengatakan “Pihak FPI baru mengetahui bahwa pihak
yang melakukan pembuntutan kepada rombongan MRS
adalah anggota Resmob PMJ”. Jika yang menceritakan
pihak FPI tentu mereka akan menyingkatnya dengan
singkatan HRS bukan MRS. Perhatikan juga laporan
Komnas HAM halaman 20 hingga 28 di bawah judul
“Kronologis Peristiwa”. Jelas kronologi ini merupakan kronologi “versi FPI” yang ditulis kembali oleh Komnas
HAM, namun sepanjang 8 halaman catatan kronologi,
semua yang merujuk pada HRS oleh Komnas HAM
diganti menjadi MRS. Hal ini memberi petunjuk jelas
bahwa Komnas HAM merupakan bagian dari kampanye
aparatur negara untuk menurunkan wibawa seorang
habib yang bernama Habib Rizieq Syihab atau HRS.
5. Pelaporan yang dibuat Komnas HAM ini seolaholah mencakup keterangan dua belah pihak, yaitu
pihak PMJ dan pihak FPI, namun kenyataannya yang
terkesan berbeda. Di paragraf yang menceritakan
keterangan PMJ (paragraf 3 halaman 1) dibuat seolaholah PMJ berada pada posisi teraniaya, sedangkan di
paragraf 4 yang merupakan penyampaian fakta versi
FPI dibuat datar. Di paragraf 3, ditulis “rombongan
MRS melaju secara zigzag……. Kemudian terjadi peristiwa
tembak menembak antara anggota FPI …dengan polisi”.
Di paragraf 4 tidak ada keterangan dari FPI yang
membantah atau membenarkan cerita versi polisi yang
diceritakan kembali oleh Komnas HAM.
6. Di paragraf 5 di halaman 1, Komnas HAM menyampaikan
bahwa aktivitas Komnas HAM ini didasarkan pada
Pasal 89 ayat 3 Undang-undang No. 39 Tahun 1999.
Komnas HAM memberikan istilah bahwa kegiatannya
merupakan “pemantauan dan penyelidikan” (baris ke 4
paragraf 5). Istilah ini sangat berbeda dengan judul yang digunakan oleh pasal 89 ayat 3. Judul dari ayat ini adalah
“pemantauan” bukan pemantauan dan penyelidikan.
Sehingga seharusnya Komnas HAM menyatakan bahwa
aktivitas yang dilakukannya adalah “pemantauan”.
Demikian nama yang diberikan kepada tim Komnas
HAM ini, seharusnya bukan Tim Penyelidik namun
hanyalah Tim Pemantau.
7. Terdapat 8 (delapan) butir tugas dan kewenangan yang
dapat dilakukan oleh Komnas HAM menurut ketentuan
pasal 89 ayat 3 yaitu tugas dan kewenangan sebagai
berikut;
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa
yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan
sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap
pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban
maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan
didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta
menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya
yang dianggap perlu;f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya
dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,
bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki
atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan
Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua
Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang
dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia
dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh
pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM
tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada
para pihak.
8. Semua 8 tugas dan kewenangan tersebut dalam pasal 89
ayat 3 di atas adalah merupakan kegiatan “pemantauan”. Sekali lagi, apa yang dilakukan oleh Komnas HAM
adalah kegiatan pemantauan bukan penyelidikan.
Dari membaca laporan Komnas HAM dapat diketahui
bahwa dari 8 tugas dan kewenangan tersebut, Komnas
HAM hanya melaksanakan “c”, “ d”, “e” dan “f” . Itu pun
untuk kegiatan “f” apa yang dilakukan Komnas HAM
tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan telah
melakukan pemanggilan pihak terkait, karena syarat untuk bisa melaksanakan tugas dan wewenang ini
diperlukan adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan.
TP3 tidak menemukan adanya persetujuan dari
Pengadilan dalam laporannya. Alhasil Komnas HAM
hanya melakukan butir “c”, “d” dan “e”.
9. Karena kegiatan Komnas HAM pada hakikatnya hanyalah pemantauan, maka judul laporan seharusnya bukan “Laporan Penyelidikan” namun “Laporan Pemantauan”.
10. Karena UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan defi-
nisi tentang arti pemantauan, maka TP3 merujuk pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI
arti dari pemantauan adalah pengamatan. Dalam konteks HAM berarti melakukan pengamatan tentang terjadinya HAM. Karena merupakan pengamatan, maka
hasil atau produk dari kegiatan pengamatan tidak mungkin menghasilkan adanya kesimpulan telah terjadinya
pelanggaran HAM apalagi pelanggaran HAM berat.
Kegiat an pengamatan hanya maksimal akan menghasilkan perubahan pengetahuan atau pemahaman atas
pelanggaran HAM. Sehingga kegiatan pemanggilan
dan permintaan keterangan dari pihak terkait, seperti
FPI, Polisi, masyarakat dan Jasa Marga sebagaimana dilaporkan di halaman 3 dan 4 hanyalah untuk maksud
pengamatan, bukan dalam rangka penyelidikan untuk
menemukan adanya atau tidak adanya pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
pembunuhan terhadap enam pengawal HRS.
11. Laporan dari Komnas HAM hanyalah sebuah laporan
atas kegiatan Komnas HAM yang bertujuan untuk
memberikan pembenaran atas pernyataan dan
keterangan dari pihak PMJ. Hal ini dapat kita ketahui
dari irama pelaporan Komnas HAM yang menerima
begitu saja cerita yang disampaikan oleh PMJ.
Misalnya, tentang barang bukti senpi dan senjata tajam
yang menurut ceritanya PMJ ditemukan di mobilnya
pengawal HRS, benarkah cerita ini? Bagaimana kita bisa
memastikan bahwa barang bukti tersebut bukan hasil
rekayasa pembunuh yang sengaja ditempatkan di mobil
korban untuk membenarkan tindakan pembunuh.
12. Laporan dari Komnas HAM merupakan hasil
“paraphrasing” dari narasumber yang tidak spesifik.
Keterangan dari polisi yang dilaporkan tidak
spesifik menyebutkan nama polisinya, namun hanya
menyebutkan unit kerja atau satuan kerja seperti Polda
Metro Jaya atau Bareskrim-Mabes Polri. Ihwal siapa dari
mereka yang memberikan keterangan tidak disebutkan
dalam laporannya. Walaupun ada penyebut nama-nama
polisi, namun nama yang disebutkan ini tidak pernah
dilaporkan telah memberikan keterangan. Misalnya,
laporan di halaman 14 yang melaporkan bahwa ada
petugas bernama Faizal mengeluarkan tembakan peringatan. Laporan seperti ini tidak berasal dari
kata-katanya Faizal namun merupakan keterangan,
yang menurut Komnas HAM, berasal dari POLRI
tanpa perincian siapa dari POLRI yang memberikan
keterangan ini. Hal ini dapat dimengerti karena laporan
ini memang bukan laporan penyelidikan, tapi hanyalah
laporan hasil pemantauan.
BERBAGAI CATATAN KHUSUS (ANOTASI) ATAS LAPORAN
KOMNAS HAM
1. Keterangan yang menurut Komnas HAM berasal dari
POLRI, di halaman 8 (huruf “g”) melaporkan sebagai
berikut.
“ Sejak awal di Megamendung dan Sentul ada tim dari
institusi lain yang menempel, termasuk di tol KM 50.
Setelah kejadian, tim yang lain juga banyak berdatangan
. Anggota tidak sempat berkomunikasi namun hanya
mendengar tim lain tersebut berkomunikasi dengan
menggunakan HT. “
2. Membaca laporan ini menimbulkan pertanyaan, siapa
yang dimaksud oleh narasumbernya Komnas HAM
ini dengan “Institusi lain”. Mengapa tidak dijelaskan
nama institusi tersebut. Jika benar narasumbernya
adalah polisi, tentu mereka akan mengenali nama
institusi tersebut. Sebab dari mana narasumber
mengetahui bahwa tim itu adalah dari institusi lain jika tidak kasat mata. Jelaslah bahwa narasumber ini
sengaja ingin melindungi identitas “institusi” tersebut.
Perlindungan oleh narasumber ini makin nyata ketika
kalimat berikutnya mengatakan bahwa narasumber
“tidak sempat berkomunikasi”, seolah ingin berkilah
karena tidak sempat berkomunikasi maka tidak bisa
mengenali. Logikanya, bila bisa memastikan bahwa
ada tim dari institusi lain, maka dengan mudah bisa
diidentifikasi nama institusi tersebut. Semestinya,
Komnas HAM juga bersikap adil, profesional, dan
kredibel dengan memeriksa isi percakapan handphone
semua petugas polisi dan orang institusi lain yang
terkait dalam penguntitan pengawal HRS sehingga bisa
diketahui isi komunikasinya.
3. Keterangan yang menurut Komnas HAM berasal dari
POLRI, di halaman 8 (huruf “j”) melaporkan sebagai
berikut;
“Salah satu mobil pelaku menabrak mobil petugas di
dekat pintu keluar GT Karawang Timur”
4. Dari alur ceritanya narasumber, penguntit (yang oleh
narasumber disebut petugas) sedang menguntit mobil
laskar yang keluar di GT Karawang Timur. Bagaimana
penjelasannya tiba-tiba mobil pengawal HRS yang
keluar tersebut bisa menabrak mobilnya penguntit?
Tidak jelas pula bagaimana posisi penabrakan tersebut.
Apakah mobilnya pengawal HRS menabrak dari depan, dari belakang ataukah dari samping. Bagaimana
ceritanya sehingga mobilnya si penguntit tidak
sempat menghindar dari tabrakan tersebut, bukankah
dalam cerita tersebut target penguntitan selalu dalam
pandangan mata penguntitan?
5. Di halaman 8 akhir, narasumber menyebutkan bahwa
di TKP 3 (tiga) terdapat saksi-saksi yaitu 9 orang POLRI
dan 12 orang masyarakat yang terdiri dari penjaga
warung,penjaga toilet dan sebagainya. Namun, tidak
dijelaskan oleh narasumber para saksi ini menyaksikan
kejadian apa saja di KM 50 (TKP 3). Seharusnya, Komnas
HAM menyelidikinya dengan memperdalam pertanyaan
sehingga narasumber mengungkapkan informasi yang
dilihat dan didengarnya di TKP, KM 50 itu.
6. Di halaman 9 laporan Komnas HAM, di bawah judul
“Penggunaan Mobil”, melaporkan berdasarkan pada
rekonstruksi peristiwa. Menurut rekonstruksi yang
dilaporkan oleh Komnas HAM ini, pada huruf “h” pada
pokoknya dilaporkan bahwa;
“Toyota Avanza warna silver Nopol K 9143 EL milik petugas
(TP3: penguntit) di seberang hotel Novotel dihadang dan
dirusak oleh 4 (empat) orang laskar FPI, menggunakan
senjata tajam samurai dan pedang dan 2 (dua) orang
Laskar FPI melakukan penembakan kepada penguntit.
Kemudian terjadi kejar-kejaran dan saling tembak” 7. Terhadap pelaporan sebagaimana tersebut pada 6 di
atas, menimbulkan pertanyaan yang jawabannya tidak
tersedia dalam laporannya Komnas HAM yaitu; jika
benar terjadi penembakan oleh dua orang pengawal
HRS, akibat apa yang ditimbulkannya? Apakah
tembakan ada yang mengenai sasaran penguntitnya?
Pada laporannya Komnas HAM di halaman 8 huruf “k”
dikatakan penembakan hanya mengenai mobil. Kalau
pun betul situasinya seperti itu belum menggambarkan
keadaan yang mengharuskan penguntit melakukan
tembakan balasan yang mematikan.
8. Pada cerita 6 di atas terdapat urutan cerita yang hilang.
Bagaimana mungkin setelah 2 (dua) pengawal HRS
melakukan penembakan langsung diikuti dengan
penjelasan terjadi kejar-kejaran dan saling menembak.
Kelihatan cerita seperti ini mengada-ada karena
minimnya penjelasan yang masuk akal. Apakah setelah
menembak, ceritanya, para pengawal HRS tersebut
masuk lagi ke mobilnya terus kabur kemudian dikejar
oleh penguntit? Jika demikian ceritanya berarti bukan
kejar-kejaran, namun mobilnya para pengawal HRS
yang dikejar oleh penguntit.
9. Demikian juga cerita soal terjadinya tembak menembak antara penumpang di mobil penguntit dengan
para pengawal HRS. Pertama, tidak ada bukti sama sekali telah terjadi tembak menembak, karena kesaksian hanya berasal dari pihak yang menembak mati (yaitu
pihak penguntit), sedangkan pihak yang ditembak semua mati sehingga tidak dapat bersaksi. Kedua, ceritanya terlalu dramatis (sulit dipercaya). Jika betul terjadi
tembak menembak, mengapa hanya pihak pengawal
HRS yang meninggal? Sedangkan pada pihak penguntit tidak ada yang meninggal karena tembakan, bahkan
sama sekali tidak ada bukti luka-luka. Jika argumennya
pihak pengawal HRS itu tidak mahir menembak dan
pihak penguntit mahir menghindar dari tembakan,
maka justru tidak dapat dibenarkan bila penguntit harus melakukan tembakan yang mematikan, jika betul
penguntit adalah polisi. Demikian juga bila alasannya
pihak penguntit mahir menembak, juga tidak dibenarkan jika harus menembak sampai mati, jika penguntit
adalah aparat negara yang terlatih untuk menembak
dengan tujuan melumpuhkan, tidak mematikan.
10. Selanjutnya pada halaman 9, butir “h”, yang melaporkan
bahwa di area KM 50 (TKP-3) ditemukan berbagai barang
bukti milik para pengawal HRS, antara lain 2 senjata
api rakitan, senjata tajam dan sebagainya, juga hanya
berdasarkan pengakuan dari pihak yang membuat
laporan, tidak didukung oleh adanya kesaksian maupun
berita acara penemuan barang bukti, serta dokumentasi
CCTV saat barang bukti itu diletakkan di depan warung
di KM 50. Apa saja barang buktinya? Samakah barang bukti saat diletakkan di depan warung di KM 50 dengan
barang bukti yang diperlihatkan ketika konferensi pers
oleh Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya?
11. Masih pada halaman 9, butir “h”, tentang cerita
terjadinya pembunuhan 4 orang pengawal HRS yang
sudah berada dalam tahanan penguntit, kemudian
mereka terpaksa dibunuh oleh para penguntit karena
di dalam mobil berusaha merebut senjatanya para
penguntit. Sama dengan di atas, kejadian ini tidak dapat
dibuktikan karena tidak ada saksi yang melihat selain
cerita sepihak dari yang melakukan pembunuhan,
sehingga kebenarannya tidak dapat diterima akal
sehat. Bukti-bukti luka pada mayat tidak menunjukkan
terjadinya penembakan dengan skenario seperti yang
ada dalam laporan.
12. TP3 menjumpai saksi pengemudi mobil towing yang
mengikuti mobil penguntit di TK4 (tol Japek KM 51+200),
yang menurut narasumber, mereka para penguntit
sedang membawa 4 orang laskar yang masih hidup
untuk dibawa ke Mako PMJ. Saksi ini mengatakan
kepada TP3 bahwa selama mengikuti mobilnya
penguntit tersebut dari belakang, sama sekali tidak
pernah menyaksikan mobil berjalan “tidak stabil” atau
tampak “kegaduhan” di dalamnya apalagi mendengar
adanya suara tembakan dari mobil tersebut sehingga
merusak kaca atau body mobil.13. Masih pada halaman 9, tentang Mobil Land Cruiser
yang dikemudikan oleh AKP Widy Irawan dengan
penumpang bernama Rusbana yang berada di KM 50.
Tidak diidentifikasi oleh narasumber nomor polisinya.
Sehingga tidak ada kejelasan tentang apa hubungannya
penumpang dalam mobil Land Cruiser dengan para
penguntit.
14. Ada ketidakjujuran narasumber ketika melaporkan
fakta ini, yaitu dengan kata-kata bahwa Land Cruiser
“menuju KM 50”. Atas dasar kata “menuju” berarti
pengetahuannya diperoleh atas dasar percakapan
bukan atas dasar penglihatan. Lebih lanjut berarti
sebetulnya pengetahuannya narasumber perihal Mobil
Land Cruiser lebih dari yang dilaporkan, namun secara
tidak jujur pengetahuannya tersebut disembunyikan
dan Komnas HAM tampaknya tidak menjalankan
fungsi penyelidikannya dengan bertanya lebih lanjut
untuk memperdalamnya.
15. Masih tentang mobil Land Cruiser, TP3 sempat bertemu
dengan salah satu saksi yang berada di TKP 3 (Km 50)
yang mengatakan bahwa melihat orang keluar dari
mobil Land Cruiser tersebut kemudian orang tersebut
tampak sedang memberikan instruksi kepada para
penguntit, kemudian bersama dengan para penguntit
yang telah melakukan pembunuhan melakukan
semacam selebrasi (tos bersama), yang didahului dengan merekatkan badan dengan membentuk lingkaran
seperti saat tim volley ball yang sedang bertanding.
16. Di halaman 11 butir “L”, dilaporkan bahwa:
“Berdasarkan hasil olah TKP Labfor/balistik ditemukan
1 (satu) tembakan masuk pada kaca depan mobil Avanza
Nopol K 9143 EL … …..dst, kemudian hasil pemeriksaan
Labfor bahwa proyektil peluru yang ditemukan …. tersebut
identik dengan senjata api ….. yang ditemukan di dalam
mobil Chevrolet …… dst”
17. Laporan seperti ini sungguh menyesatkan dan
kelihatannya memang sengaja untuk mengelabui
pembaca atau pihak yang diberi laporan. Mungkin saja
betul ada uji labfor/balistik atas kaca mobil Nopol K
9143 EL dan mungkin saja bekas dan jejak tembakan
pada kaca identik dengan senjata api rakitan yang
diujinya. Namun pertanyaannya adalah “siapakah
yang melakukan tembakan tersebut” dan “milik siapa
senjata rakitan” tersebut. Dengan kata lain, tidak ada
bukti labfor/balistik yang membuktikan siapa pelaku
penembakan maupun siapa pemilik senjata rakitan
yang diuji. Sejauh ini dugaan bahwa tembakan pada
kaca mobil Nopol K 9143 EL dilakukan sendiri oleh para
pembunuh, kemudian senjata rakitan ditanamkan
(planted) juga oleh para pembunuh di mobil Chevrolet,
tidak terdapat bukti yang sebaliknya.
18. Di halaman 11 butir “m”, dilaporkan bahwa:
“Chevrolet Spin: Ditemukan 1 (satu) jaket abak peluru
bukti dari bawah jok sopir mobil, 2 (dua) pucuk senjata api
rakitan jenis Revolver dan senjata tajam 1 samurai …dst”
19. Barang bukti yang tersebut pada 18 di atas adalah
pernyataan sepihak dari penguntit atau pembunuh.
Tidak ada bukti sidik jari pada barang-barang bukti
tersebut sehingga tidak dapat dipastikan bahwa barangbarang tersebut milik atau pernah berada dalam
kekuasaannya pengawal HRS yang dibunuh.
20. Di halaman 12 butir “o”, dilaporkan bahwa:
“Berdasarkan hasil Labfor pemeriksaan Tool Mark,
ditemukan pola kerusakan akibat tekanan/goresan senjata
tajam. …dst”
21. Laporan pada butir di atas, meskipun kelihatannya hanya penyampaian fakta, namun sebenarnya bersifat
insinuatif atau karangan. Ada maksud untuk memberi
kesan telah membuktikan bahwa benar para pengawal
HRS telah melakukan penyerangan dengan pedang.
Padahal fakta tersebut hanya membuktikan pada mobil terdapat goresan senjata tajam, namun tetap tidak
menjawab pertanyaan siapakah yang melakukan penggoresan pada mobil tersebut. Sebagaimana argumen di
atas, bisa jadi dilakukan oleh pembunuh sendiri untuk
mengalihkan tuduhan kepada pengawal HRS. 22. Di halaman 12 butir “p”, dilaporkan terjadinya analisa
uji balistik terhadap peluru yang ditemukan di mobil
penguntit. Dalam hal ini, TP3, tidak akan membantah
hasil uji balistik yang menyatakan bahwa anak peluru
yang diuji identik dengan anak peluru hasil uji balistik
senjata api gagang putih. Uji balistik tersebut tentu
tidak bohong. Adapun yang bohong adalah bahwa anak
peluru dan senjata api bergagang putih adalah milik
atau pernah berada dalam kekuasaannya pengawal
HRS. Tentang hal ini tidak pernah ada pengujian apa
pun.
23. Berdasarkan argumen dan analisis TP3 pada butir 17,
19, 21 dan 22 maka sebetulnya laporan Komnas HAM di
halaman 14 dan 15 di bawah judul “Penggunaan Senjata
Api” menjadi tidak valid. Misalnya, pada halaman
15 butir “c”, Komnas HAM melaporkan; “ Bahwa
berdasarkan hasil pengujian balistik antara barang bukti
yang diserahkan Komnas HAM kepada pihak Puslabfor
Bareskrim Polri dst “ Sepanjang barang bukti yang
diserahkan oleh Komnas HAM adalah barang bukti
yang sama dengan yang telah TP3 analisis di atas, maka
argumen TP3 berlaku secara mutatis mutandis. Dengan
kata lain, TP3 ingin menyatakan bahwa tidak ada bukti
apa pun yang menyatakan bahwa barang bukti tersebut
adalah milik atau pernah berada dalam kekuasaannya
para pengawal HRS. Jika tidak dapat dibuktikan bahwa senjata api adalah milik atau pernah berada dalam
kekuasaannya pengawal HRS, maka tidak dapat juga
dibuktikan ada kejadian tembak menembak.
24. Tentang laporan Komnas HAM di halaman 15 huruf “
d”, tanggapan TP3 adalah sama dengan apa yang telah
disampaikan pada IV. 2.11. dan IV. 2.12 dengan tambahan;
penguntit yang bernama Elwira dan Fikri seharusnya
ditetapkan sebagai tersangka. Sekalipun betul telah
terjadi upaya perebutan senjata dan perlawanan (quod
non), maka berdasarkan cerita ini, tembakan yang
mematikan yang dilakukan oleh Elwira dan Fikri
melebihi ancaman yang dihadapi. Sekali lagi, jika cerita
dianggap benar (yang kita semua ketahui tidak), maka
untuk Elwira, mengapa harus melakukan tembakan
hingga 4 kali, bukankah dengan satu kali sudah bisa
melumpuhkan. Apalagi penguntit yang bernama Fikri.
Diceritakan di sini Fikri berhasil menguasai senjatanya
kembali, berarti Fikri sudah tidak lagi berada dalam
keadaan terancam jiwanya, sehingga cukup bila
ditodongkan saja senjatanya ke arah korban, tidak
perlu harus ditembak, apalagi hingga 3 kali. Kelihatan
bahwa semua cerita ini disesuaikan dengan fakta lukaluka tembak yang terdapat di tubuh korban.
25. Jika betul yang melakukan pembunuhan adalah polisi
(sesuai pengakuan dari pimpinan PMJ, meskipun TP3
tidak sependapat) tidak seharusnya korban dibunuh. Karena. polisi sudah terlatih untuk melumpuhkan bukan
untuk mematikan, betapa pun yang sedang dihadapinya
adalah penjahat dengan rekam jejak sebagai pembunuh
berdarah dingin, sekali pun. Demikianlah yang diajarkan
kepada polisi tentang prinsip penggunaan kekuatan
dan senjata api sebagaimana diatur dalam Perkap No.
1 Tahun 2009, yang juga dikutip secara lengkap oleh
Komnas HAM di halaman 95 dan Perkapolri No. 8
Tahun 2009 yang dikutip di halaman 97. Berdasarkan
prinsip ini, maka dapat disimpulkan bahwa polisi
hanya akan membunuh jika polisi berada dalam
posisi akan terbunuh (in killed or to be killed situation).
Polisi hanya akan melakukan pembunuhan secara
proporsional (seimbang antara tindakan dan ancaman
) dan hanya dalam rangka bela-diri (self defence) untuk
menghindar dari pembunuhan atau luka berat pada
dirinya. Dalam cerita di atas terjadinya pembunuhan
bukan karena pembunuh melakukan bela-diri, juga
tidak ada keseimbangan antara bobot ancaman dan
penembakan yang dilakukan, sehingga TP3 berpendapat
bahwa pelaku pembunuhan bukan polisi, namun
sebuah institusi bersenjata atau yang diberikan izin
untuk mempergunakan senjata api dengan perilaku
pembunuhan secara pre-emptive (bertindak lebih dahulu
tanpa menunggu reaksi korban/lawan). 26. Di halaman 46 paragraf 3, dilaporkan tentang saksi
yang berada di KM 50
“Para pedagang dan pengunjung dilarang mengambil
gambar dan merekam insiden tersebut. Telepon genggam
warga kemudian diperiksa dan dihapus setiap gambar dan
rekaman video.”
27. Kejadian tersebut di atas (26.) adalah merupakan bukti
lain bahwa yang melakukan pembunuhan bukan polisi.
Sebab jika benar polisi yang melakukan pembunuhan
dan pembunuhan yang dilakukannya adalah karena
membela diri, maka polisi tidak akan melarang
pengambilan gambar dan tidak akan memerintahkan
penghapusan gambar dan video dari para pedagang
di TKP KM 50. Karena, justru gambar dan video
seperti itu diperlukan oleh polisi untuk memperkuat
pembuktian bahwa polisi membunuh dalam rangka
“self defence”. Dengan demikian adanya larangan dan
perintah penghapusan tersebut hanya dapat diartikan
dalam rangka untuk menghilang jejak. Fakta upaya
penghilangan jejak pelaku pembunuhan ini makin
nyata, ketika seluruh bangunan warung dan lainnya di
lokasi TKP, KM 50 kini dilenyapkan.
28. Di halaman 48 paragraf 5, dilaporkan tentang adanya
perintah dari Kompol RM untuk membawa korban
pembunuhan ke RS Polri Kramat Jati. Hal ini juga membuktikan bahwa pembunuhan bukan dilakukan
oleh polisi. Jika dilakukan oleh polisi, maka yang
dilakukannya bukan melakukan perubahan atas tempat
kejadian perkara (TKP) namun yang dilakukannya
adalah melaksanakan tindakan untuk mengamankan
TKP untuk dilakukan pengelolaan TKP sesuai dengan
SOP Olah TKP yang ada pada masing-masing POLDA.
Pengamanan TKP biasanya dilakukan dengan cara
diberikan garis polisi (Police Line). Adanya perintah untuk
membawa jenazah korban pembunuhan keluar dari
TKP berarti yang dilakukannya bukan mengamankan
TKP untuk kepentingan penyelidikan berikutnya,
namun yang dilakukannya justru merusak TKP. Semua
ini berarti adalah suatu upaya untuk menghilangkan
jejak pembunuhan supaya yang sebenarnya terjadi
tidak dapat lagi diungkap kebenarannya, karena TKP
tidak lagi meninggalkan jejak. Jika tidak ada jejak yang
ditinggalkan, maka mustahil dapat menemukan barang
bukti di TKP sesuai dengan aslinya.
29. Di halaman 32 Komnas HAM melaporkan tentang
permintaan barang bukti. Membaca laporan di bagian
ini, TP3 melihat adanya ketidaksetaraan sikap pada
Komnas HAM sehingga menimbulkan pertanyaan;
mengapa yang dijadikan barang bukti hanya handphonenya korban yakni pengawal HRS? Mengapa dari Polri,
orang “institusi lain”, dan petugas Jasa Marga, juga tidak diminta Komnas HAM untuk menyerahkan handphonenya lalu diperiksa isi komunikasinya?
30. Di halaman 36, 37 dan 38, Komnas HAM menyampaikan
laporan tentang keterangan ahli, yaitu seorang dokter
ahli forensik, ahli balistik dari PT Pindad dan ahli
psikologi forensik. Selanjutnya TP3 memberi komentar
sebagai berikut;
30 a Ahli forensik ini hanya menyampaikan hal-hal yang
sudah jelas bagi semua (just stating the obvious),
misalnya luka yang terdapat pada 6 jenazah adalah
karena luka tembak, terdapat luka jahitan akibat
tindakan autopsi. Jika hanya penyampaian seperti
ini tidak perlu ahli untuk mengatakan itu.
Soal terjadinya kekerasan dan penyiksaan ahli
menyatakan dengan kata-kata “tidak ditemukan”.
Hal ini tidak berarti tidak terjadi kekerasan atau
penyiksaan, kekerasan dan penyiksaan terjadi hanya
saja ahli ini tidak menemukannya. Lain halnya jika
jenazah dibiarkan berada di TKP dan saat itu segera
dilakukan pemeriksaan (bukan malah dievakuas
dari TKP) maka ahli akan menemukan hal yang
berbeda.
Justru ahli ini tidak memberikan keterangan yang
dibutuhkan oleh keluarga korban atau masyarakat
umum dan terkesan menyampaikan pendapat
sesuai dengan keinginan pemberi permintaan/
perintah.
Adapun yang kami maksud dengan keterangan
yang dibutuhkan dari seorang ahli adalah kejadian
yang dikonstruksikan oleh pembunuh bahwa
di mobil Xenia B 1519 UTI sempat terjadi usaha
perampasan senjata api hingga mengharuskan
terjadi penembakan pada laskar FPI hingga mati.
Mungkinkah perkelahian di dalam mobil akan
menghasilkan luka tembak sebagai mana hasil
autopsi yang telah diberikan oleh dokter forensik RS
Polri? Sepanjang laporan Komnas HAM tidak ada
yang memberi jawaban atas pertanyaan seperti ini.
Di atas adalah foto yang kami (TP3) peroleh dari saksi
yang ikut menyaksikan jenazah di RS Polri. Tidak
perlu ahli forensik untuk mengatakan bahwa pada
jenazah tersebut terdapat bekas siksaan sebelum
meninggal
30 b Laporan tentang keterangan ahli balistik dari Pindad
disampaikan satu halaman penuh oleh Komnas
HAM di halaman 37. Padahal sebetulnya esensinya
hanya satu saja yaitu menentukan bahwa proyektil
yang dikatakan oleh Komnas HAM diketemukannya
itu adalah berasal dari senjata yang mana, senjata
yang rakitan atau senjata pabrikan.
TP3 tidak akan pernah meragukan hasil uji balistik
ini, yang TP3 pertanyakan adalah siapakah
pemilik senjata rakitan itu sebenarnya? Bagaimana
proses ditemukannya barang bukti tersebut?
Jika Komnas HAM bersedia menggunakan
kewenangan penyelidikan “pro yustisia” untuk
menguji kepemilikan senjata rakitan ini, sebetulnya
dengan mudah bisa diketemukan dengan merunut
ke belakang. Dimulai, misalnya dari Kapolda Fadil
Imran sebagai yang terakhir menerima senpi rakitan
tersebut. Dari Fadil Imran ditanyakan siapa yang
menyerahkan senpi rakitannya tersebut kepadanya.
Katakanlah Fadil menyebut yang menyerahkan
kepadanya adalah “si A”. Pada si “si A” kemudian
ditanya hal yang sama, maka akan berakhir pada
sumbernya.
30 c Laporan tentang keterangan ahli psikologi forensik
disampaikan dalam 2/3 halaman oleh Komnas HAM
di halaman 38. Ahli menyampaikan kesimpulannya
bahwa pengawal HRS terkesan ekspresi “heroism atu
glorifikasi”. Laporan ini memperlihatkan dengan jelas
keberpihakannya Komnas HAM pada pembunuh
karena meminta ahli memeriksa rekaman atas orang
yang telah meninggal. Rekaman yang diperiksa itu
pun tidak dijelaskan apakah ahli memeriksa seluruh
rekaman atau hanya potongan atau penggalan dari
rekaman.
Sepengetahuan kami (TP3), pekerjaan psikolog
forensik adalah menganalisis kondisi psikologi
terdakwa/napi dan membantu menyembuhkan
kondisi psikologinya. Bukan menilai sifat orang
yang telah meninggal yang jelas sudah tidak bisa
lagi disembuhkan.
TP3 mempertanyakan, mengapa bukan justru
pembunuhnya yang dianalisis? Mengapa Komnas
HAM tidak menjadikan para pembunuh yang jelas
masih hidup untuk diperiksa oleh ahli forensik, untuk
dinilai apakah betul mereka membunuh karena
membela diri dari karena nyawanya terancam?
Apakah betul telah terjadi keadaan yang seimbang
antara bobot ancaman dengan pembunuhan yang
dilakukan? Apakah mereka jujur?
31. Di halaman 39 dilaporkan oleh Komnas HAM tentang
pengintaian yang terjadi pada tanggal 4 Desember
2020 di Markaz Syariah Mega Mendung dengan
menggunakan drone yang kemudian para pengintai ditangkap oleh laskar FPI. Secara lebih lengkap
penangkapan pengintai di Megamendung versi FPI
dilaporkan di halaman 20 dan 21. TP3 bertemu dengan
para saksi yang menyaksikan penangkapan oleh laskar
FPI di Markaz Syariah Mega Mendung. Selanjutnya TP3
memberi komentar sebagai berikut;
31 a Jika kita bandingkan laporan versi FPI atau
pengawal HRS yang selamat (halaman 20-21)
dengan laporan versi Komnas HAM (halaman 39)
terdapat perbedaan prinsip. Pada versi Komnas
HAM disebutkan tiga orang yang ditangkap yang
masing-masing berinisial AH, II dan DW, terdapat
kartu anggota salah satu “institusi negara”. Padahal
pada versi FPI dengan jelas menyebutkan bahwa
kartu anggota tersebut menyebutkan Kartu Tanda
Anggota BIN atas nama AA.
31 b Pada BAB II Buku ini dengan jelas menyebutkan
dengan disertai foto atas barang bukti (BB) yang
diperoleh pada 3 orang pengintai. Meskipun
terdapat berbagai tanda pengenal, namun namanama para pengintai tersebut identik dengan nama
yang ada pada Kartu Tanda Anggota BIN, Kartu
Tanda Anggota TNI, Kartu SIM A, KTP, dan Sim C
yang ditemukan.31 c Laporan Komnas HAM di halaman 39 mengatakan
bahwa Kartu Tanda Anggota (BIN) yang ditemukan
hanya ada satu dari 3 pengintai. Kita lihat kembali di
Bab II dan Lampiran Buku ini, barang bukti berupa
Kartu Tanda Anggota (KTA) BIN yang ditemukan ada
3 (tiga). Semua KTA BIN terdapat nama jelas yakni
Drs. Bambang Sunarwibowo,M Hum, Komjen Polisi,
sebagai pejabat penerbit KTA tersebut. Dari 3 (tiga)
KTA BIN tersebut diketahui bahwa masing-masing
pengintai mempunyai pangkat/golongan serta unit
keanggotaan sebagai berikut;
- Penata Muda, III/a, Agen Pertama Binda DKI
Jakarta
- Serma, Anggota Binda DKI
- Penata Muda III/a, Anggota Binda Jateng
31 d Dari ketiga pengintai yang ditangkap juga diperoleh
bukti tertulis berupa laporan secara periodik, rutin,
terstruktur kepada Deputi II BIN. Atas dasar laporanlaporan tertulis ini diketahui bahwa nama operasi
intelijen ini adalah DELIMA. Salah satu dari laporan
tersebut berbunyi sebagai berikut;
“ Melakukan penggalangan terhadap Ormas Islam,
Tomas, Toga, dan elemen lainnya dalam rangka
meredusir dukungan terhadap Mohammad Rizieq
Shihab dan pok pendukungnya.”
Dari perangkat mereka juga diketahui adanya grup
Kujang, salah seorang anggota grup yang tercatat
bernama Pak Andre Dosen Analis mengajukan
saran. If possible, a pattern of sabotage of access to logistics
that is not permanent road can be considered ”
“This suggestion needs careful consideration by
brother Hadi “
31 e Sehubungan dengan penangkapan 3 orang pengintai tersebut, Deputi VII Badan Intelijen Negara
(BIN) Wawan Hari Purwanto membantah ada anggota BIN yang ditangkap FPI, dan mengatakannya
sebagai hoaks, serta menambahkan bahwa yang ditangkap FPI tersebut adalah BIN Gadungan dan bahwa KTA (Kartu Tanda Anggota) BIN tersebut palsu.
(Kompas.com.21 Desember 2020, 8:12 WIB)
https://nasional.kompas.com/
image/2020/12/21/08120311/bin-bantahanggotanya-ditangkap-fpi?page=1
Ada dua hal yang perlu ditanggapi oleh TP3
sehubungan dengan bantahan dari Deputi VII BIN.
Pertama; jika betul tiga orang yang ditangkap oleh
FPI tersebut adalah gadungan seharusnya BIN
mengadukannya ke polisi untuk diproses pidana.
Kedua; jika KTA BIN yang diperoleh FPI dari ketiga
pengintai adalah palsu, silakan BIN jelaskan KTA
BIN yang asli yang bagaimana, kapan dibuatnya,
dan siapa yang mengeluarkannya?
31 f Di halaman 39 Komnas HAM sendiri sudah mengakui
bahwa ketiga pengintai tersebut adalah institusi
negara. Pengakuan ini memang seharusnya, karena
Komnas HAM tidak dapat mengelak dari kenyataanbahwa selain KTA BIN, terdapat pula bukti lain
seperti Kartu Tanda Prajurit TNI, KTP dan SIM. Artinya
fakta bahwa mereka bertiga yang ditangkap adalah
petugas negara tidak dapat disangkal oleh Komnas
HAM sebagaimana terbukti dari pernyataannya
di halaman 68 pada butir 3. Pada poin ini Komnas
HAM menggunakan istilah “kesatuan lain” dengan
mengatakan “3 orang melakukan pembuntutan
diduga merupakan anggota dari kesatuan lain” .
Istilah yang berbeda namun maksudnya sama
adalah “pihak lain” di luar kepolisian (halaman 68
butir e).
Dengan demikian, sudah menjadi semakin jelas
terdapat aparat negara dalam pembuntutan
atas rombongan HRS sejak dari Sentul, jalan Toll
Cikampek hingga terbunuhnya enam pengawal
HRS. Tertangkapnya 3 anggota BIN tersebut
merupakan bagian dari rencana besar atau operasi
intelijen berskala besar untuk menghabisi HRS,
yang dalam kasus ini pembunuhan atas enam
orang pengawal HRS sesungguhnya hanyalah
sasaran antara. Semua ini menggambarkan adanya
koordinasi yang terstruktur, garis komando yang
jelas, dan perencanaan yang baik, yang dijalankan
dengan mengikuti suatu sistematika tertentu.
32. Di halaman 47 paragraf 4, berdasarkan cerita ini dapat
kita ketahui bahwa FAS (22) dan AO (33) meninggal
dibunuh oleh penguntit ketika mobil Chevrolet Spin
sedang melaju, FAS ketika itu duduk di sisi kiri (bagian
tengah mobil) dan AO duduk di depan sisi kiri. Hasil
autopsi menyatakan bahwa, antara lain, baik FAS dan
AO