pelanggaran HAM 1

Rabu, 16 Agustus 2023

pelanggaran HAM 1


Komnas HAM melansir informasi yang menurutnya 
merupakan penyelidikan, yang bersumber dari 
keterangan resmi Polda Metro Jaya (PMJ) dalam 
konferensi pers yang menjelaskan bahwa telah terjadi 
insiden antara polisi dan Laskar FPI pada 6-7 Desember 
2020 yang menewaskan 6 (enam) anggota Laskar FPI 
di sekitar KM 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Hasilnya, 
Komnas HAM menyebutkan telah terjadi pelanggaran 
HAM dan unlawful killing terhadap tewasnya empat 
anggota laskar FPI di tangan polisi. Sedangkan 
untuk tewasnya dua anggota laskar FPI lainnya tidak disebutkan secara khusus sebagai unlawful killing oleh 
Komnas HAM.
2. Tidak disebutnya pembunuhan terhadap dua anggota 
laskar tersebut sebagai unlawful killing adalah juga 
menimbulkan pertanyaan. Berarti pembunuhan 
tersebut telah dijustifikasi sebagai ‘lawful killing.’. alias 
pembunuhan yang beralasan. Hal ini menimbulkan 
persoalan terkait dengan due process of law dan fair 
criminal justice system. Karena dua korban yang sudah 
tewas tak dapat lagi memberikan kesaksian dan 
klarifikasi. Maka, yang hadir adalah kesaksian sepihak 
ala sang pembunuh yang kemudian diamini oleh 
Komnas HAM. 
3. Sebenarnya, tanpa adanya laporan dari Komnas HAM 
pun, publik dapat menduga telah terjadi pelanggaran 
HAM dalam kasus tersebut. Karena, dalam insiden 
tersebut, keenam korban yang ditembak mati bukanlah 
berstatus sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, atau 
pun sebagai target operasi dari kepolisian. Mereka 
sedang menjalankan tugas pengawalan terhadap 
Habib Rizieq Shihab (HRS). Bisa jadi gaya pengawalan 
yang mereka lakukan adalah bersifat khusus, namun, 
tindakan polisi (demikian keterangan Polda Metro Jaya) 
untuk menembak mati juga adalah suatu tindakan 
yang melanggar HAM dan melanggar hukum. Dapat 
disebut unlawful killing (pembunuhan yang tidak legal) dan extra judicial killing (pembunuhan secara melawan 
hukum). Apalagi, keterangan yang diberikan kepolisian 
adalah keterangan sepihak, dan bersumber hanya 
dari pihak yang melakukan pembunuhan. Keenam 
korban tak dapat dimintai konfirmasi karena mereka 
sudah tewas. Maka, pernyataan polisi bahwa tindakan 
tersebut adalah “tegas dan terukur” harus dibuktikan 
dan dipertanggungjawabkan.
UNLAWFUL KILLING DAN EXTRA-JUDICIAL KILLING
1. Istilah unlawful killing bermakna pembunuhan 
terhadap manusia dengan cara yang melawan hukum 
(the killing of a human being in a manner contrary to the 
law, as murder, manslaughter, etc.-lexico.com). Adapun 
istilah extrajudicial killing (atau istilah lain extrajudicial 
execution/extralegal killing) adalah pembunuhan 
yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang bukan 
merupakan bentuk sanksi hukum, bukan bagian dari 
proses peradilan yang sah (the killing of a person by 
governmental authorities without the sanction of any 
judicial proceeding or legal process-VERA Files). 
1. Sementara itu, pengertian lain dari extra-judicial killing
adalah:
The literal meaning of Extra-judicial killing or the 
extrajudicial executions is the killing of persons by 
governmental authorities without the sanction any judicial 
proceedings or legal process. It is considered as one of the 
most unethical crimes against the humanity. Extra-judicial 
killing, just by reading the said sentence one thought bear 
in everyone mind that the killing which is outside the scope 
of the judicial mandates i.e. which is not sanctioned by the 
law, but the mass murder committed at the wake of curbing 
the crime by the growing powerful armed forces or any 
instituted Authority wherein they always get the hidden 
backing of the government lately have become the virulent 
virus where it seems that the there is no remedy to curb the 
said disease.
 (Arti sebenarnya dari pembunuhan ekstra-yudisial atau 
eksekusi di luar hukum adalah pembunuhan orang 
oleh otoritas pemerintah tanpa sanksi proses peradilan 
atau proses hukum. Ini dianggap sebagai salah satu 
kejahatan paling tidak etis terhadap kemanusiaan. 
Pembunuhan ekstra-yudisial, hanya dengan membaca 
kalimat tersebut satu pemikiran perlu diingat setiap 
orang bahwa pembunuhan yang berada di luar ruang 
lingkup mandat peradilan yaitu yang tidak disetujui 
oleh undang-undang, tetapi pembunuhan massal yang 
dilakukan setelah penertiban kejahatan. oleh semakin 
kuatnya angkatan bersenjata atau Institusi Otoritas dimana mereka selalu mendapatkan dukungan 
tersembunyi dari pemerintah akhir-akhir ini telah 
menjadi virus yang ganas dimana tampaknya tidak ada 
obat untuk mengekang penyakit tersebut).
3. Abhilasha Shrawat selanjutnya mengatakan bahwa 
merupakan aturan umum bahwa pembunuhan oleh 
orang yang berwenang yaitu eksekutif hanya dapat 
dibenarkan dalam kasus perang, asalkan dilakukan 
dalam kerangka hak asasi manusia (baca: hukum 
humaniter), selain itu disebut pembunuhan. Kita 
semua tahu dan itu adalah doktrin dasar, bahwa 
bahkan penjahat-pun adalah manusia juga dan mereka 
juga memiliki hak asasi manusia yang melekat, yang 
tidak hanya disediakan oleh konstitusi semua Negara 
tetapi juga pilar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang 
mapan yang layak untuk semua manusia diperlakukan 
sebagai selaras dengan hak asasi manusia dan martabat 
kemanusiaan. Maka hak untuk hidup dan bebas dari 
penyiksaan (dan pembunuhan) adalah hak dasar yang 
harus diakui oleh semua Negara dan juga telah di 
rekognisi oleh PBB.
4. Satu kesamaan dari terminologi unlawful killing dan 
extra-judicial killing adalah pembunuhan yang terjadi 
adalah sama-sama melawan hukum, alias tidak 
mendapatkan mandat dan justifikasi dari hukum (dan 
juga bukan merupakan keputusan pengadian). Namunpada extra-judicial killing ada penekanan bahwa pelaku 
(atau terduga pelaku)-nya adalah aparat negara. 
5. Sedangkan, pelanggaran HAM menurut definisi dari 
UU HAM No. 39 Tahun 1999 adalah setiap perbuatan 
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara 
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, 
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia 
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang￾undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan 
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan 
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
6. Berdasarkan pengertian tersebut, paling tidak hak 
yang telah dilanggar oleh pihak kepolisian atau yang 
mengaku dari kepolisian adalah hak untuk hidup dan 
hak untuk bebas dari penyiksaan yang kejam dan 
penghilangan nyawa. Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 
tentang HAM menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak 
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan 
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, 
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di 
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar 
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia 
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan 
oleh siapa pun. 
7. Sementara itu Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999 
menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan 
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan 
martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk 
bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
8. Senada dengan UU No. 39 Tahun 1999, apabila kita 
merujuk pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan 
Politik (International Covenant on Civil and Political 
Rights) yang telah diratifikasi oleh UU No. 12 Tahun 
2005, paling tidak ada beberapa hak yang dilanggar 
dalam insiden tersebut, antara lain: hak untuk hidup, 
hak untuk bebas dari penyiksaan, dan hak atas 
keamanan pribadi.
9. Pasal 6 dari ICCPR menyebutkan bahwa: Every human 
being has the inherent right to life. This right shall be 
protected by law. No. one shall be arbitrarily deprived of his 
life. 
 (Setiap orang yang memiliki hak yang melekat untuk 
hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak 
seorang-pun dapat diambil nyawanya dengan sewenang￾wenang). 
10. Kemudian Pasal 7 ICCPR menyebutkan bahwa: No. one 
shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading 
treatment or punishment. In particular, no one shall be 
subjected without his free consent to medical or scientific 
experimentation (Tidak ada seorang pun dapat menjadisubyek penganiayaan, perlakuan dan penghukuman 
yang keji dan merendahkan kemanusiaan).
11. Pasal 9 dari ICCPR menyebutkan bahwa Everyone has the 
right to liberty and security of person. No. one shall be subjected 
to arbitrary arrest or detention. No. one shall be deprived of 
his liberty except on such grounds and in accordance with 
such procedure as are established by law (Setiap orang 
memiliki hak atas kebebasan dan keamanan pribadi. 
Tidak ada seorang pun dapat ditangkap dan ditahan 
dengan sewenang-wenang. Tidak ada seorang pun yang 
dapat dikurangi kemerdekaannya kecuali atas dasar 
yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku).
12. Maka, senada dengan temuan Komnas HAM, sudah 
pada tempatnya apabila unlawful killing yang 
dilakukan oknum aparat negara ini bisa dilanjutkan 
dengan proses hukum yang adil, imparsial, dan bebas 
dari intervensi kekuasaan terhadap para tersangka 
pelakunya. Keadilan harus ditegakkan, sehingga kita 
harus menolak untuk diarahkan dugaan kita bahwa 
yang melakukan pembunuhan terhadap enam orang 
pengawal HRS adalah polisi. Penyelidikan harus 
terbuka untuk kemungkinan adanya instansi lain yang 
juga terlibat sebagaimana telah diakui oleh Komnas 
HAM dalam laporannya. Cita dan citra negara hukum 
yang menempatkan rule of law (bukan rule of thumb) 
sebagai panglima harus dibuktikan. Para korban dan keluarganya juga mesti mendapatkan hak-haknya 
sebagai korban sesuai dengan UU Perlindungan Saksi 
dan Korban (Tahun 2006 jo Tahun 2014) yang sudah 
berlaku di Indonesia. 
PELANGGARAN HAM BERAT
1. Berbeda dengan rekomendasi Komnas HAM, temuan 
dan hasil analisis TP3 menyatakan bahwa unlawful 
killing yang terjadi pada 7 Desember 2020 pada 
enam pengawal HRS tersebut adalah tidak sekadar 
“Pelanggaran HAM” namun merupakan “Pelanggaran 
HAM berat” seperti yang dimaksud oleh UU No. 26 
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pelanggaran 
HAM berat yang berpotensi terjadi pada kasus tersebut 
adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against 
Humanity). 
2. Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa 
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang 
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau 
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut 
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, 
berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; 
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan 
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas￾asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan;
…. dan seterusnya. 
3. Penjelasan dari ‘secara langsung terhadap penduduk 
sipil’ (attack directed against any civilian population) ini 
dapat ditemukan pada pasal 7 dari Rome Statute 1998 
(yang menjadi rujukan dari UU No. 26 Tahun 2000): 
Attack directed against any civilian population” means a 
course of conduct involving the multiple commission of acts 
referred to in paragraph 1 against any civilian population, 
pursuant to or in furtherance of a State or organizational 
policy to commit such attack; 
4. Unsur-unsur umum kejahatan terhadap kemanusiaan 
adalah: 2
a. Salah satu perbuatan Setiap tindakan yang disebut 
dalam pasal 9 merupakan kejahatan terhadap 
kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengatur jika 
lebih dari satu tindak pidana dilakukan misalnya 
pembunuhan dan perkosaan atau kombinasi dari 
tindak pidana itu (Keputusan kasus Akayesu, Case 
No. ICTR (International Criminal Tribunal for 
Rwanda) 96-4- T, Trial Chamber, September 2, 1998, 
para.676-678 menyebutkan bahwa pelaku didakwa 
karena melakukan pemerkosaan saja).b. Yang dilakukan sebagai bagian dari serangan 
Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari 
serangan yang unsur- unsur adalah sebagai berikut: 
• Serangan adalah tindakan baik secara sistematis 
atau meluas yang dilakukan secara berganda 
yang dihasilkan atau merupakan bagian dari 
kebijakan Penguasa atau Organisasi. Tindakan 
berganda berarti bukan tindakan tunggal atau 
terisolasi. 
• Serangan baik secara meluas atau sistematis 
tidaklah semata-mata serangan militer 
seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter 
Internasional (Pasal 49 para.1 Protokol Tambahan 
I Tahun 1977 dari Konvensi Jenewa 1949).
• Syarat terpenuhi jika penduduk sipil adalah objek 
utama dari serangan. 
5. Meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung 
terhadap penduduk sipil- Syarat meluas atau sistematis 
adalah syarat yang fundamental untuk membedakan 
kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan 
merupakan kejahatan internasional. Kata meluas 
menunjuk pada (jumlah korban, masif (berulang-ulang), 
tindakan dengan skala yang besar dilaksanakan secara 
kolektif dan berakibat yang serius (Case No. ICTR-96-4- 
T, September 2, 1998, para 580). 6. Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau 
metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh 
dan menggunakan pola yang tetap. Kata-kata meluas 
atau sistematis tidak mensyaratkan bahwa setiap 
kejahatan yang dilakukan harus selalu meluas atau 
sistematis. Dengan kata lain jika terjadi pembunuhan, 
perkosaan dan penyiksaan, maka setiap kejahatan itu 
tidak perlu harus meluas atau sistematis, kesatuan 
tindakan-tindakan di atas sudah memenuhi unsur 
meluas atau sistematis. Unsur meluas (widespread) 
atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan 
keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja 
merupakan bagian dari serangan yang meluas semata 
atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan 
keduanya. 
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM maupun Statuta Roma 1998 tidak 
memberikan definisi mengenai arti meluas atau 
sistematis. Oleh karena itu, pengertian sistematis atau 
meluas tersebut perlu menggunakan yurisprudensi, 
antara lain dalam ICTY dan ICTR dan doktrin. 
8. Berdasarkan yurisprudensi internasional sebagaimana 
tampak dalam putusan ICTR, dalam perkara Akayesu, 
yang mengartikan kata “meluas” sebagai “tindakan 
masif, berulang-ulang, dan berskala besar, yang 
dilakukan secara kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban (multiplicity 
of victim)”. Sedangkan sistematis diartikan sebagai: 
diorganisasikan secara mendalam dan mengikuti pola 
tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan 
yang melibatkan sumber daya publik atau privat 
yang substansial, meskipun kebijakan tersebut bukan 
merupakan kebijakan Negara secara formal. Rencana 
tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang￾terangan Indikator untuk menentukan terpenuhinya 
unsur “sistematis” dapat dilihat dari perencanaan 
operasional dengan membedakan: 
• Mencapai tujuan legal dengan cara-cara legal
• Mencapai tujuan legal tapi dengan menggunakan 
cara-cara ilegal
• Mencapai tujuan ilegal
• Unsur-unsur setiap perbuatan yang dikategorikan 
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
MEMENUHI KRITERIA SISTEMATIS 
1. Pembunuhan enam pengawal HRS adalah suatu 
kejahatan terhadap kemanusiaan. Disebut sebagai 
suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah 
terpenuhi pengertian pada pasal 9 UU No. 26 Tahun 
2000 tentang Pengadilan HAM: Kejahatan terhadap 
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 
huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau 
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut 
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
2. Unsur sistematis dan terstruktur dari peristiwa 
pembunuhan enam pengawal HRS ini dapat 
dibuktikan dari adanya suatu rangkaian Tindakan yang 
terstruktur dan terorganisir yang terjadi sebelum dan 
setelah peristiwa pembunuhan tersebut; antara lain 
(sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II).
3. Operasi yang sistematis dapat dilihat dari berbagai 
bentuk operasi politik yang ditujukan kepada HRS, 
adalah berupa upaya kriminalisasi yang terus menerus, 
character assassination, dan penghancuran kredibilitas 
HRS melalui gaya operasi “memisahkan ikan dari air”, 
yaitu menjauhkan HRS dari umat Islam.
4. Secara kronologis, untuk dapat menggambarkan 
bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS 
tersebut adalah merupakan sebuah rangkaian OPERASI 
SISTEMATIS yang berkelanjutan, maka secara kasat 
mata operasi tersebut dapat kita bagi-bagi dalam tiga (3) 
periode, yaitu:
a. Periode Januari - April 2017;
b. Periode ketika HRS “menetap” sementara di Saudi 
Arabia, disebut periode “pengasingan politik, antara 
April 2017-November 2020;c. Periode HRS tiba di Tanah Air, yaitu November 2020 
hingga saat ini.
5. Sejak bulan November 2020 hingga saat buku ini ditulis, 
paling tidak telah terjadi rangkaian tindakan sebagai 
berikut:
Kriminalisasi HRS dengan menjadikan acara Maulud 
Nabi dan pernikahan putrinya sebagai kejahatan 
dengan ancaman pidana yang berat;
• Pembunuhan para pengawal HRS;
• Pembubaran FPI dan kriminalisasi para 
pengurusnya;
• Pemblokiran rekening FPI dan para mantan 
pengurusnya;
• Upaya pencabutan hak-hak politik HRS;
• Upaya pencabutan hak-hak keperdataan HRS di 
antaranya; mencabut hak sebagai bapak dan wali 
nasab, mencabut hak untuk menjadi pengurus 
organisasi atau yayasan, mencabut hak untuk 
menjalankan mata Pencarian tertentu;
• Perampasan barang dalam hal ini aset milik tertentu 
milik HRS;
• Operasi surveillance saat kepulangan HRS;
• Penuruan baliho FPI;
• Operasi media untuk cipta kondisi.UNSUR UNLAWFUL KILLING DAN/ ATAU EXTRA JUDICIAL 
KILLING
1. Pembunuhan yang terjadi terhadap enam pengawal 
HRS adalah sudah jelas merupakan suatu Unlawful 
Killing dan/ atau Extra Judicial Killing; karena tidak ada 
mandat dan justifikasi apa pun dari para pembunuh 
(oknum aparat negara) untuk melakukan pembunuhan 
terhadap enam orang pengawal tersebut. Juga, keenam 
orang tersebut tidak berstatus sebagai DPO (Daftar 
Pencarian Orang), tersangka, terdakwa, buronan atau 
pun telah melakukan kejahatan apa pun.
2. Pasal yang dapat dikenakan terhadap para pembunuh 
adalah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 9 jo
Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000 dan subsider adalah 
Pasal 340, 338 dan 351 dari KUHP.
3. Pasal 37 UU No. 26 Tahun 2000 berbunyi:
Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, 
atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua 
puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 340 KUHP berbunyi: 
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih 
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena 
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, 
paling lama dua puluh tahun.
Pasal 338 KUHP berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang 
lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara 
paling lama lima belas tahun.
Pasal 351 KUHP berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling 
lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda 
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, 
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang 
bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 
lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana 
penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak 
kesehatan. 
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak 
dipidana.UNSUR COMMAND RESPONSIBILITY (TANGGUNG JAWAB 
KOMANDO)
1. Pembunuhan enam pengawal HRS adalah suatu 
pelanggaran berat HAM dalam bentuk kejahatan 
kepada kemanusiaan karena di samping terdapat unsur 
serangan sistematis terhadap penduduk sipil, juga 
karena terdapat rantai komando dan tanggung jawab 
komando dari organisasi tertentu baik secara aktif 
(commission) ataupun pembiaran/pasif (omission).
2. Hal ini melanggar Pasal 42 Ayat (2) dari UU No. 26 Tahun 
2000 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42 (2) 
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, 
bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran 
hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh 
bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan 
pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut 
tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya 
secara patut dan benar, yakni: 
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar 
mengabaikan informasi yang secara jelas 
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan 
atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi 
manusia yang berat; dan
b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang 
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup ke-wenangannya untuk mencegah atau menghentikan 
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya 
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan 
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 
38, Pasal 39, dan Pasal 40.
KOMNAS HAM HANYA MELAKUKAN PEMANTAUAN 
BUKAN PENYELIDIKAN
1. Atas pembunuhan terhadap enam pengawal HRS, 
Komnas HAM menindak lanjutinya dengan melakukan 
serangkaian kegiatan yang oleh Komnas Ham 
diistilahkan dengan “pemantauan dan penyelidikan”. 
Dasar hukum yang dipilih oleh Komnas HAM atas 
kegiatannya tersebut adalah Pasal 89 ayat 3 Undang￾undang No. 39 Tahun 1999. Namun ternyata istilah 
yang digunakan Komnas HAM tidak sesuai dengan 
nomenklatur yang diberikan oleh Pasal 89 ayat 3 Undang￾undang No. 39 Tahun 1999. Istilah atau nomenklatur 
atas tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana 
disebutkan oleh Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999 
adalah “pemantauan” bukan penyelidikan.
2. Menurut ketentuan Pasal 89 ayat 3 UU No. 39 Tahun 
1999, tugas dan kewenangan Komnas HAM dalam 
melakukan “pemantauan “ adalah sebagai berikut:a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan 
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa 
yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan 
sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap 
pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban 
maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan 
didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar 
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta 
menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya 
yang dianggap perlu;
f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk 
memberikan keterangan secara tertulis atau 
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai 
dengan aslinya dengan persetujuan Ketua 
Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, 
bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki 
atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan 
Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua 
Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara 
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia 
dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh 
pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM 
tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada 
para pihak.
3. Memang dalam tugas dan wewenang yang ditentukan 
dalam pasal 89 ayat 3 di atas terdapat norma yang 
berbunyi “penyelidikan dan pemeriksaan “. Norma 
ini dirumuskan dengan kalimat “penyelidikan dan 
pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam 
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya 
patut diduga terhadap pelanggaran hak asasi manusia”. 
Sehingga sepertinya Komnas HAM mempunyai 
alasan untuk memperbolehkan dirinya menamakan 
kegiatannya dengan “pemantauan dan penyelidikan” 
karena terdapat kata “penyelidikan” pada pasal tersebut. 
Namun sebetulnya makna “penyelidikan” dalam pasal 
ini hanyalah dalam konteks melaksanakan pemantauan 
atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana 
dengan jelas dinyatakan di akhir kalimat pada butir “b” 
pasal tersebut. Karena fungsi pemantauan hanyalah 
pada masalah pelanggaran HAM, itu pun hanya sebatas 
“dugaan”, maka tidak mungkin pemantauan yang 
dilakukan Komnas HAM, akan bisa menghasilkan 
kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM berat. Sehingga sejak awal memang Komnas HAM tidak 
berkehendak untuk menggunakan kewenangannya 
melakukan penyelidikan ke arah pelanggaran HAM 
berat. 
4. Karena Komnas HAM menggunakan dasar Pasal 89 
ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999, maka Komnas HAM tidak 
mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan 
sehingga segala aktivitasnya terbatas dan hanya dapat 
dianggap sebagai “pemantau” bukan “penyelidik”. 
Karena hanya sebagai pemantau, maka tidak bisa 
dibenarkan menamakan tim Komnas HAM sebagai 
tim penyelidik karena seharusnya cukup dinamakan 
sebagai tim pemantau.
5. Karena hanya sebagai Tim Pemantau, maka tim tersebut 
yang diketuai oleh M. Choirul Anam, sebenarnya tidak 
mempunyai wewenang untuk menyimpulkan bahwa 
telah terjadi pelanggaran HAM, apalagi menyatakan 
bahwa telah terjadi “unlawful killing” yang merupakan 
ranah hukum pidana, dimana Komnas HAM sama 
sekali tidak mempunyai kompetensi absolut untuk 
menyatakannya. 
6. Rekomendasi Komnas HAM yang mengharuskan 
untuk melanjutkan penegakan hukum dengan 
mekanisme pengadilan Pidana juga dinilai (oleh TP3) 
sebagai rekomendasi yang berlebihan. Karena dengan 
adanya rekomendasi tersebut berarti Komnas HAM berpendapat bahwa kejadian pembunuhan terhadap 
para pengawal HRS adalah merupakan tindak pidana. 
Padahal untuk berpendapat seperti itu harus ada proses 
penyelidikan oleh penyelidik, dimana Komnas HAM 
adalah bukan penyelidik atas pelanggaran hukum 
pidana, sehingga TP3 menilai rekomendasi tersebut 
berada di luar kompetensinya. 
7. Rekomendasi Komnas HAM yang mengharuskan 
penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan 
Pidana juga dinilai (oleh TP3) sebagai upaya untuk 
mereduksi kejahatan yang bersifat pelanggaran HAM 
berat menjadi hanya pidana umum biasa. Lebih lanjut 
juga berarti mengandung maksud untuk mengalihkan 
atau menjauhkan dari kewajiban Komnas HAM untuk 
melakukan penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 
2000 tentang Pengadilan HAM. 
8. Jika Komnas HAM menggunakan wewenangnya 
untuk melakukan penyelidikan atas dasar UU No. 
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka hasil 
penyelidikannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu 
“ada” atau “tidak ada” pelanggaran HAM berat. Tidak 
boleh ada kemungkinan lain yang bersifat setengah￾setengah berupa pelanggaran HAM saja. 
9. Kesimpulan Komnas HAM yang menyatakan terdapat 
indikasi adanya unlawful killing atas terbunuhnya 
Pengawal HRS sebenarnya justru merupakan petunjuk jelas agar Komnas HAM menggunakan wewenang 
penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000. Karena 
tidak mungkin Komnas HAM dapat berkesimpulan 
seperti itu, jika hanya menggunakan wewenangnya 
sebagai pemantau atas dasar UU No. 39 Tahun 1999. 
TIDAK DIBENARKAN TNI TERLIBAT DALAM PENEGAKAN 
HUKUM
TEMPO.CO, Jakarta - Pangdam Jaya Mayor Jenderal Dudung Abdurachman 
turut hadir dalam konferensi pers terkait penembakan 6 anggota Front Pembela 
Islam (FPI) oleh penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dudung menyatakan 
dukungan kepada polisi yang telah mengambil tindakan tegas tersebut. 1. Berita Liputan6.com, tanggal 8 Desember 2020 pada 
jam 22.23, tertulis nama (wartawan) Yopi Makdori, 
menyampaikan berita dengan judul “Muhammadiyah Sayangkan Keterlibatan Pangdam Jaya di Konpers 
Penembakan FPI”. Ketua PP Muhammadiyah Bidang 
Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas menyoroti 
keterlibatan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung 
Abdurachman dalam konferensi pers (konpers) 
pengungkapan kasus yang menewaskan enam orang 
laskar. Diberitakan bahwa Busyro menyampaikan ;
“Menyayangkan keterlibatan Pangdam Jaya dalam 
proses penjelasan peristiwa kematian enam anggota 
FPI oleh pihak kepolisian,” Menurut Busyro, sebagai￾mana dilaporkan oleh wartawan Yopi Makdiri, “hal 
itu menguatkan dugaan keterlibatan TNI dalam 
penanganan penyidikan tindak pidana. Sedangkan itu 
bukan tugas TNI”.
Sebagaimana diketahui, Mayjen TNI Dudung 
Abdurachman (Pangdam Jaya) turut hadir saat Kapolda 
Metro Jaya Irjen Fadil Imran menggelar jumpa pers 
terkait kematian enam pengawal HRS.
2. Atas pernyataan Muhammadiyah di atas, Panglima 
Daerah Militer Jakarta (Pangdam Jaya) melalui Kepala 
Penerangannya Letnan Kolonel Arh Herwin B.S, mem￾berikan tanggapan , sebagaimana diberitakan oleh 
detik.com pada hari Selasa, 08 Desember 2020 20:09 
WIB. Secara lengkap tanggapan Pangdam Jaya melalui 
Kepala Penerangannya (Kapendam Jaya) adalah sebagai 
berikut; Kapendam Jaya mengatakan bahwa pernyataan pers dalam 
poin 8, yang disampaikan oleh Bapak Dr. Busyro Muqoddas, 
S.H., M.Hum tentang dugaan TNI turut diperankan dalam 
penanganan penyidikan tindak kejahatan adalah tidak 
benar, TNI dalam hal ini Kodam Jaya memang tidak pernah 
diturut sertakan atau dilibatkan dalam proses penyidikan 
tindak kejahatan sipil yang terjadi di masyarakat, karena 
sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat 
Polisi RI dan Pejabat PNS tertentu sesuai UU.
Selanjutnya kehadiran Pangdam Jaya di Polda Metro Jaya, 
adalah sesuai dengan Tupok TNI sebagai alat negara di 
bidang pertahanan memiliki tugas yang harus diemban, 
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 
tentang TNI pasal 7 ayat (1), tugas pokok TNI adalah 
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan 
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia 
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap 
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman 
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Dan Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf “b” angka “10”, 
tugas pokok TNI adalah Operasi Militer Selain Perang, 
yakni membantu Kepolisian Negara RI dalam rangka 
tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur 
dalam Undang-undang, jelasnyaJadi kapasitas Pangdam Jaya saat hadir dalam konferensi 
pers yang disampaikan oleh Kapolda Metro Jaya tentang 
peristiwa baku tembak personel Polisi dengan Laskar FPI di 
Jalan Tol Kerawang KM 50 yang mengakibatkan 6 anggota 
Laskar FPI meninggal dunia, yaitu untuk melihat dan 
memberikan dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya 
dalam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan 
hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam 
aksinya membawa senjata tajam dan senjata api ilegal 
saat melakukan pengawalan dan pengamanan MRS.
Dalam hal ini kehadiran Pangdam Jaya untuk tetap 
membantu Polda Metro Jaya, guna mengantisipasi 
terjadinya eskalasi gangguan keamanan dan ketertiban di 
wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, pungkas Kapendam 
Jaya.
3. Bantahan Pangdam Jaya di atas justru makin mene￾guhkan keterlibatan TNI sebagaimana dapat dibaca 
pada kalimat terakhir yang mengatakan kehadiran 
“Pangdam Jaya” adalah untuk “tetap membantu 
Polda Metro Jaya” mengantisipasi terjadinya eskalasi 
gangguan keamanan dan ketertiban. Pangdam Jaya 
hanya hadir dalam konferensi pers di halaman Markas 
Polda Metro Jaya, yang saat itu jelas sedang tidak 
ada gangguan keamanan dan ketertiban yang harus 
diantisipasi oleh TNI.4. Pasal 7 ayat (2) huruf “b” angka “10”, Undang-Undang 
Nomor 34 tahun 2004, sebagaimana dikutip oleh 
Kapendam Jaya hanya berisi norma yakni membantu 
Kepolisian Negara RI dalam rangka tugas keamanan 
dan ketertiban masyarakat. Hal ini tidak berarti harus 
hadir dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh 
Kepolisian jika konferensi pers tersebut adalah dalam 
rangka penegakan hukum.
5. Pernyataan Kapendam Jaya diatas juga menegaskan 
keterlibatannya TNI (Pangdam Jaya) ketika menyata￾kan bahwa kapasitas Pangdam Jaya adalah membe￾rikan; “dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya da￾lam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan 
hukum yang dilakukan oleh oknum FPI yang mana 
dalam aksinya membawa senjata tajam dan senjata api 
ilegal saat melakukan pengawalan dan pengamanan 
MRS”
Pertanyaan dan pendapat hukum TP3 perihal pernyataan 
Kapendam Jaya tersebut adalah sebagai berikut:
a) Apakah berarti Pangdam Jaya selalu harus hadir 
pada setiap konferensi pers yang diselenggarakan 
oleh Polda Metro Jaya. Kalau tidak selalu, atau kalau 
konferensi pers tersebut adalah pertama kalinya 
TNI hadir dalam penegakan hukum yang dilakukan 
oleh kepolisian maka TNI harus menjelaskan 
mengapa untuk kasus pembunuhan ini harus hadir? Jawaban atas pertanyaan ini tidak tersedia dalam 
pernyataannya Kapendam Jaya di atas).
b) Dalam pernyataan Kapendam Jaya sudah langsung 
menghakimi dengan menyatakan pendapatnya 
bahwa telah terjadi “aksi melawan hukum yang 
dilakukan oleh oknum FPI yang mana dalam aksinya 
membawa senjata tajam dan senjata api ilegal” . 
Artinya di sini pihak TNI tidak imparsial karena 
sudah menunjukkan keberpihakannya dengan 
mengatakan bahwa yang melawan hukum adalah 
oknum FPI bukan polisi atau pembunuhnya.
OPERASI PENURUNAN BALIHO HABIB RIZIEQ SHIHAB 
OLEH TNI 
1. Sebelum peristiwa pembunuhan terhadap Pengawal 
HRS sempat terjadi aksi penurunan baliho-baliho 
bergambar HRS di Jakarta sebagai bentuk pesan dakwah 
atau kampanye tertentu oleh para pendukungnya. 
Republika Online pada tanggal 21 November 2020, jam 
03.13 menurunkan berita ;
Petugas gabungan, TNI, Polri, dan Satuan Polisi Pamong 
Praja (Satpol PP) menertibkan sejumlah baliho dan spanduk 
tak berizin di Ibu Kota. Salah satu baliho yang ditertibkan 
berada di Petamburan, yakni baliho penyambutan Imam 
Besar Front Pembela Islam Muhammad Rizieq Shihab.Video konvoi dan penurunan baliho Rizieq Shihab oleh TNI 
sempat viral di media sosial. Dandim 05/01 JP BS Kolonel 
Inf Luqman Arief mengakui pihaknya menurunkan 
sekitar 500 personel dalam penertiban ini. “Ini bagian dari 
kegiatan tiga pilar sebagai patroli pengamanan dan kami 
juga melakukan pelepasan baliho-baliho yang terpasang 
tidak sesuai aturan,” kata Luqman Arief, Jumat (20/11).
Beberapa kendaraan taktis yang diturunkan dalam peng￾amanan di wilayah Jakarta Pusat itu adalah empat panser 
anoa serta puluhan motor yang dikendarai petugas TNI 
dan Brimob Polri. Pembersihan baliho tak berizin itu 
didukung Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman.
Bahkan, Dudung mengakui pihaknya memang memerin￾tahkan penurunan baliho Rizieq Shihab di wilayah DKI Jakarta. Perintah diberikan setelah sebelumnya sudah ada 
upaya penertiban baliho oleh Satpol PP tapi baliho-baliho 
itu kembali dibentangkan.2. Tempo.Co, wartawan Egi Adyatama , pada Minggu, 22 
November 2020 16:24 WIB menurunkan berita dengan 
judul “ Penurunan Baliho Rizieq Shihab oleh TNI, Sikap 
Negara Dinilai Berperan Besar” . Berita selengkapnya 
adalah sebagai berikut:
TEMPO.CO, Jakarta - Keterlibatan TNI dalam penurunan 
baliho dukungan untuk Imam Besar Front Pembela Islam 
(FPI) Rizieq Shihab, dinilai tak mungkin murni inisiatif 
dari institusi pertahanan negara tersebut. Kebijakan dan 
keputusan politik negara, disebut menjadi faktor yang 
menjadi dasar tindakan itu.Co-founder Institute for Security and Strategic Studies 
(ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan bahwa satu-satunya 
pintu masuk TNI dalam penurunan baliho, adalah melalui 
Operasi Militer Selain Perang (OMSP) khususnya pada 
Pasal 7 ayat (2) angka 9 dan 10 UU nomor 34 tahun 2004 
tentang TNI.
“Tapi lihat ketentuan berikutnya di ayat (3), di situ jelas 
disebutkan bahwa OMSP dilaksanakan berdasarkan 
kebijakan dan keputusan politik negara. Penekanan 
soal politik negara ini juga berulang kali disebutkan 
sebelumnya,” kata Khairul saat dihubungi Tempo, Ahad, 
22 November 2020.
Meski begitu, Khairul masih mempertanyakan sejauh 
mana urusan FPI dan Rizieq Shihab ini sudah memiliki 
kebijakan dan keputusan politik negara. Sejauh ini, 
pernyataan keberadaan baliho yang berpotensi memecah 
bangsa, baru datang dari Panglima Daerah Militer 
Jayakarta alias Pangdam Jaya, Mayor Jenderal Dudung 
Abdurachman.
Bahkan Dudung mengancam akan membubarkan FPI jika 
memang mengganggu persatuan dan kesatuan. Klaim FPI 
yang merasa mewakili umat Islam, kata Dudung, bukan 
jadi alasan mereka bisa berbuat sewenang-wenang.
Khairul mengatakan pernyataan Pangdam Jaya tersebut 
mengesankan nuansa TNI masa lalu, yang aroganmenakut-nakuti, dan menunjukkan lembaga-lembaga lain 
lemah. Ia pun mengatakan selalu ada pintu masuk bagi TNI 
untuk ikut terlibat dalam urusan penyelenggaraan negara. 
Namun yang harus jadi landasan dalam keterlibatan 
tersebut adalah politik negara.
“Sepanjang ada kebijakan dan keputusan politik negara 
yang mendasarinya, ya itu aman bagi TNI,” kata Khairul.
Namun, jika belum ada kebijakan dan keputusan politik 
negara, Khairul mengatakan dapat disimpulkan bahwa 
TNI dalam hal ini telah melampaui mandatnya.
“Dukungan lisan Polri maupun Pemprov DKI sekalipun, 
tentu tak bisa digunakan sebagai klaim bahwa TNI telah 
bertindak sesuai mandat,” kata dia.
3. Operasi penurunan baliho tersebut, apalagi dilakukan 
oleh aparat TNI, jelas merupakan bagian dari rencana 
yang sistematis dalam rangka untuk menghabisi HRS. 
Sebab tidak mungkin mengerahkan TNI hanya untuk 
menurunkan baliho bergambar HRS. Buktinya hanya 
baliho bergambar HRS saja yang diturunkan dengan 
cara pengerahan pasukan bersenjata, siap tempur, dan 
bahkan siap membunuh. Dengan demikian, operasi 
penurunan baliho HRS jelas bukan dalam rangka 
penegakan hukum namun dalam rangka mengikuti 
komando berdasarkan rencana yang sistematis untuk 
menghabisi HRS.Sebab, jika dalam rangka penegakan hukum atau dalam 
rangka penertiban karena tidak memiliki izin atau 
karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku 
perihal itu, tentu bukan TNI yang menindak namun 
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebab, segala 
bentuk spanduk atau umbul-umbul termasuk baliho, 
yang dipasang di Daerah Khusus Ibukota Jakarta 
mempunyai aturan tersendiri. Yaitu aturan yang 
tertuang dalam Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak 
Reklame. Sedangkan untuk penertiban spanduk atau 
baliho ditegakkan dengan Perda Nomor 9 Tahun 2007 
tentang Ketertiban Umum. Sehingga TP 3 berpendapat 
karena masalahnya hanyalah soal pelanggaran atas 
Perda, maka yang boleh menindak adalah Satpol PP. Hal 
tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 
221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda 
Nomor 8 Tahun 2007 dimana ditentukan bahwa Satpol 
PP merupakan penanggung jawab utama pembinaan, 
pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan 
ketertiban umum, termasuk pencopotan spanduk dan 
baliho yang dipasang menyalahi aturan.
4. Memang betul dalam menjalankan tugasnya Satpol PP 
dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah, yang 
dalam pasal 5 ayat 2 dari Pergub di atas termasuk dapat 
dibantu oleh Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, Komando 
Garnisun Ibu kota, Kejaksaan dan Pengadilan. Namun 
kerja sama ini harus diartikan hanya atas permintaan Satpol PP bukan atas inisiatif dan kehendak dari instansi 
tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Pangdam Jaya. 
Sebab Pasal 5 ayat 1 dari Pergub tersebut berbunyi; 
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimak￾sud dalam Pasal 4 ayat (1), Sat Pol PP sebagai penanggung 
jawab utama pembinaan, pengendalian dan pengawasan 
penyelenggaraan ketertiban umum dapat berkoordinasi 
atau bekerja sama dengan instansi pemerintah. 
Ini artinya kewenangan menertibkan baliho tetap 
ada pada Satpol PP, bukan TNI maupun Polda Metro 
Jaya. Sekalipun bekerja sama dengan Polda Metro Jaya 
maupun dengan TNI penanggung jawab utama tetap 
ada pada Satpol PP. Faktanya yang terjadi bukan kerja 
sama namun pengambilalihan wewenang Satpol PP.
KETERLIBATAN KOMANDO OPERASI KHUSUS TENTARA 
NASIONAL INDONESIA (KOOPSUS TNI)
1. Narasumber TP3 mengatakan telah menyaksikan 
kendaraan taktis milik pasukan elite Komando Operasi 
Pasukan Khusus (Koopsus) TNI di dekat markas FPI, 
Jalan Petamburan, Jakarta Pusat. Narasumber ini 
mengatakan bahwa yang melakukan penurunan baliho 
adalah Koopsus. Karena dia melihat bahwa pada mobil 
patroli terdapat tulisan “Komando Operasi Khusus”.2. Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia 
(Koopsus TNI) adalah satuan khusus di TNI yang 
dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 
42 Tahun 2019 , ditanda tangani Presiden Joko Widodo 
pada tanggal 3 Juli 2019. Menurut Perpres ini Koopsus 
TNI bertugas menyelenggarakan operasi khusus dan 
kegiatan untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus 
yang membutuhkan kecepatan dan keberhasilan tinggi 
guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam 
maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik 
Indonesia dalam rangka mendukung tugas pok TNI. 
Koopsus TNI dipimpin oleh Komandan Koopsus TNI 
bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Koopsus 
TNI diresmikan oleh Panglima TNI Marsekal Hadi 
Thahjanto pada tanggal 30 Juli 2019. 
3. Koopsus TNI merupakan salah satu unit komando 
pasukan elite TNI yang merupakan bagian dari Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) yang secara struktural 
komando langsung di bawah Panglima TNI, sehingga 
Pasukan khusus dari tiga matra yaitu matra darat, 
matra laut dan matra udara stand by di Mabes TNI 
dan sewaktu-waktu bisa digunakan oleh Panglima 
TNI atas perintah Presiden RI. Sedangkan tugas dari 
Koopsus TNI adalah mengatasi aksi terorisme, baik 
dalam maupun luar negeri yang mengancam ideologi 
kedaulatan, keutuhan dan keselamatan segenap bangsa 
Indonesia. Komandan Koopsus saat ini Mayor Jenderal 
Richard Horja Taruli Tampubolon, S.H., M.M3
4. Dari Tempo.Co 4
, TP3 memperoleh informasi sebagai 
berikut tentang Koopsus TNI:
a) “Pemerintah memandang perlu membentuk 
Komando Operasi Khusus Tentara Nasional 
Indonesia (Koopsus TNI) dari matra darat, laut, dan 
udara yang bercirikan kemampuan khusus dengan 
tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi,”
b) Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sis￾riadi mengatakan tujuan pembentukan Koopsus 
ini guna meningkatkan efektivitas TNI dalam me￾respons operasi khusus. Sebelumnya proses pelak￾sanaan operasi khusus ini, Mabes TNI perlu terlebih 
dahulu meminta pasukan kepada masing-masingmatra. Padahal, angkatan tidak selalu siap untuk 
tugas ini. Dengan Koopsus, “(Akan) meningkatkan 
efektivitas pengendalian khusus gabungan, bukan 
per angkatan,” 
c) Koopsus merupakan bagian dari badan pelaksana pu￾sat, yang setara dengan unit seperti Pasukan Pemukul 
Reaksi Cepat maupun Komando Garnisum Tetap. 
d) Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi 
mengatakan Koopsus TNI dibentuk setelah beberapa 
kali melakukan operasi khusus gabungan kesatuan 
khusus tiga matra TNI, seperti operasi di Somalia. 
“Dari hasil evaluasi, maka kami perlu semacam 
komando pengendali dalam operasi khusus,” 
e) Markas komando Koopsus bersifat permanen. 
Pasukannya dirotasi dari masing-masing pasukan 
elite tiap matra, Kopasus, Koopsus, dan Kopaskhas. 
TNI masih menggodok lama masa tugas di Koopsus. 
“Pasukan yang akan diambil adalah mereka yang 
tengah dalam fase penggunaan.”
f) Tiga siklus pembinaan dilakukan oleh masing-ma￾sing satuan adalah penyiapan, penggunaan, dan 
konsolidasi. Pasukan dalam Koopsus pada fase peng￾gunaan ini yang akan disertakan dalam Koopsus. 
“Kalau ada operasi baru dikerahkan, tapi kalau 
 nggak ada operasi, siap-siap saja, kerjanya latihan 
tempur,” ujar Sisriadi.
5. Mantan Panglima Kodam Jayakarta Tahun 1996 
Sutiyoso, juga berpendapat bahwa pengerahan 
Koopsus TNI untuk menurunkan baliho-baliho HRS 
/FPI adalah tindakan yang berlebihan. Menurut 
Sutiyoso5
, pemerintah turut mengerahkan pasukan 
serta kendaraan taktis Komando Operasi Khusus atau 
Koopsus ke Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat.
6 Dengan memperhatikan alasan pembentukan, kom￾posisi satuan, kompetensi dan fungsi Koopsus TNI, 
TP3 memandang bahwa mobilisasi Koopsus TNI pada 
peristiwa penurunan baliho HRS/FPI membuktikan 
adanya rencana terstruktur dan sistimatis yang meli￾batkan berbagai aparat pemerintah untuk melakukan 
penumpasan pada HRS dan/atau FPI. Adanya bukti ke￾terlibatan Koopsus TNI ini, yang memang merupakan 
pasukan perang dengan legitimasi untuk menghilang￾kan nyawa, maka berarti Pemerintah memandang HRS 
dan atau anggota FPI sebagai musuh dalam peperangan 
yang boleh dihabisi.
HUKUM PEMBUKTIAN PADA PERISTIWA PEMBUNUHAN 
6 (ENAM) PENGAWAL HRS
1. Dari narasumber TP3 memperoleh fotokopi bukti lapo￾ran pidana. Pada bukti laporan ini tertulis pelapor ber-
nama Fikri Ramadhan, Pangkat /NRP Briptu / 94030, 
dari Kesatuan Unit 5 Subdit 3 Reskrimun PMJ, tanggal 
laporan 07 Desember 2020. Pelapor juga menyebutkan 
adanya dua saksi bernama Bripka Adi Ismanto dan 
Bripka Faisal Khasbi Aleya. Yang tidak lazim adalah pel￾apor melaporkan bahwa pelaku tindak pidana adalah 
semua pengawal HRS yang sudah meninggal dengan 
menggunakan nomenklatur “Terlapor”, yaitu Faiz Ah￾mad Syukur, Andi Oktiawan, M.Reza , Muhammad Suci 
Khadavi Poetra, Luthfil Hakim dan Akhmad Sofian.
2. Pada uraian singkat laporannya Fikri Ramadhan di atas, 
Fikri menggunakan istilah “petugas”, namun tidak jelas 
siapakah yang dimaksud “petugas”. Apakah “pelapor 
dan saksi” termasuk dalam pengertian “petugas” ? atau, 
adakah yang lain atau pihak lain di luar PMJ (Polda 
Metro Jaya). Yang jelas melalui uraian singkat tersebut 
pelapor melaporkan bahwa pelaku kejahatan adalah 
Terlapor. Sementara itu kita ketahui bahwa semua 
nama-nama Terlapor telah meninggal dunia . Dengan 
kata lain, menurut Pelapor korban kejahatan adalah 
, yang pelapor istilahkan dengan “petugas” (quod non) 
sedangkan pelaku kejahatan adalah “Terlapor yang 
semuanya sudah meninggal dunia” , yang telah dibunuh 
oleh “Petugas” (quod non) . Dengan demikian pendapat 
hukum TP3 perihal ini adalah , tidak perlu dibuat laporan 
telah terjadi tindak pidana, karena Terlapor sudah 
meninggal semuanya, karena tidak mungkin lagi bisa 
dijadikan tersangka. Yang justru perlu dilakukan oleh 
yang mengaku “petugas” adalah laporan pelaksanaan 
tugas atau berita acara pelaksanaan tugas. 
3. Jika para penguntit atau yang mengaku petugas telah 
melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal 
HRS dengan alasan karena terpaksa atau terdesak atau 
karena bela diri, maka para pembunuh ini berkewajiban 
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu 
kepada publik. Jadi beban pembuktian (burden of proof) atau yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan 
bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah 
karena membela diri ada pada pihak pembunuh. 
Menyebarluaskan kesan bahwa pembunuhlah yang 
menjadi korban adalah absurd. Sebab yang sudah 
meninggal tidak mungkin bisa diberikan beban untuk 
membuktikan.
PEMBUKTIAN PENGGUNAAN DAN KEPEMILIKAN SENJATA 
API 
1. Para pembunuh atas enam pengawal HRS menuduh 
bahwa yang lebih dahulu menyerang dan melakukan 
penembakan adalah korban. Para pembunuh tersebut 
juga menuduh bahwa para pengawal HRS memiliki
senjata api dan senjata tajam, serta di antara mereka 
sempat berupaya merebut senjata api yang ada pada 
kekuasaannya salah satu di antara pembunuh. 
2. Pada dasarnya menurut KUHAP (Kitab Undang￾Undang Hukum Acara Pidana) di Indonesia, maka 
beban pembuktian ada pada pihak yang menuduh. Hal 
ini tersirat dalam Pasal 66 KUHAP (Undang-Undang 
No. 8 Tahun 1981) bahwa tersangka atau terdakwa 
tidak dibebani kewajiban pembuktian. Atas dasar 
pasal ini maka beban pembuktian terletak pada Jaksa 
Penuntut Umum. Karena Jaksa Penuntut Umum adalah 
pihak yang diberikan kewajiban untuk menuduh atau 
membuat surat dakwaan, maka beban pembuktian 
berdasarkan KUHAP ada pada pihak yang menuduh. 
Karena para pembunuh dan Polda Metro Jaya adalah 
pihak yang menyebar luaskan tuduhan bahwa para 
pengawal HRS memiliki dan menggunakan senjata api, 
dan seterusnya, maka adalah kewajiban mereka untuk 
membuktikan tuduhannya itu. 
3. Selain asas tersebut dalam KUHAP, juga terdapat 
asas lain yang dalam bahasa latin disebut In genere 
quicungue aliquid dicit, sive actor sive reus, necesse est ut 
probat, yang berarti siapa pun yang membuat tuduhan, 
harus membuktikannya. Demikian juga menurut 
hukum Islam, bagi yang menuduh wajib membawa 
bukti (Hadits Rasulullah SAW): ...bukti itu harus ditegakkan oleh orang yang menuntut 
dan sumpah itu wajib diberikan oleh orang yang 
mengingkari (tuduhan). (HR. Al-Baihaqi)
4. Untuk membuktikan tuduhannya bahwa para pengawal 
HRS telah melakukan serangan dan telah menggunakan 
senjata api, maka para pembunuh dan atau Polda Metro 
Jaya harus membuktikan dengan mendasarkan pada 
ketentuan Pasal 184 KUHAP. TP3 berpendapat bahwa 
para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya tidak akan 
bisa membuktikan, meskipun hanya bukti awal yang 
minimalis sekali pun. 
5. Untuk bukti saksi yang mereka miliki hanyalah 
saksi sesama pembunuh, sehingga sama sekali tidak 
memiliki kredibilitas. Mengenai barang bukti, juga 
tidak kredibel karena tidak diperoleh secara sah, tidak 
ada proses penyitaan, dan tidak ada identifikasi sidik 
jari. Sehingga keterangan ahli tidak mungkin bisa 
memberikan kepastian bahwa para pengawal HRS 
pernah menguasai dan mempergunakan senjata api. 
Bukti dari keterangan terdakwa juga tidak mungkin 
diperoleh karena semua pengawal HRS sudah tewas 
sehingga tidak bisa dijadikan terdakwa. Alhasil, 
tuduhan bahwa enam pengawal HRS menggunakan 
senjata api, melakukan serangan, berupaya merebut
senjata api hanyalah pernyataan sepihak dari penuduh 
(para pembunuh dan atau Polda Metro Jaya). Dengan 
demikian, tidak mungkin mereka (para pembunuh dan/
atau Polda Metro Jaya) bisa membuktikan bahwa enam 
almarhum pengawal HRS telah melakukan serangan 
dengan menggunakan senjata api maupun senjata 
tajam, maupun mereka pernah mencoba merebut 
senjatanya pembunuh. Apalagi terdapat fakta bahwa 
petugas memerintahkan agar para saksi menghapus 
rekaman di handphone dan tindakan lain yang tidak 
melakukan pengamanan atas TKP namun malah 
melakukan perubahan atas TKP dengan mengangkut 
jenazah korban pembunuhan segera setelah korban 
tewas serta menghilangkan kios-kios di TKP KM 50. 
6. Jika untuk memperoleh bukti awal saja para pembunuh 
dan/atau Polda Metro Jaya tidak mungkin bisa 
memperolehnya, maka makin tidak mungkin mereka 
bisa memperoleh bukti lanjutan. Sebagaimana telah 
sama-sama kita ketahui, untuk bisa menuduh atau 
membuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa enam 
almarhum pengawal HRS telah melakukan serangan 
dengan menggunakan senjata api, senjata tajam, 
maupun tuduhan bahwa salah satu dari almarhum 
pernah mencoba merebut senjatanya pembunuh, maka 
keenam almarhum tersebut harus disidangkan di sidang 
pengadilan pidana, dimana hal itu tidak mungkin bisa dilaksanakan. TP3 berpendapat, bahwa karena penuduh 
(pembunuh dan atau Polda Metro jaya) tidak mungkin 
dapat membuktikan kesalahan korban maka para 
pembunuhlah yang harus disidangkan dengan tuduhan 
pembunuhan secara tidak sah (unlawful killing), yang 
dilakukannya karena mengikuti perintah dan sistem 
yang diberlakukan kepadanya.
TANGGUNG JAWAB HUKUM BAGI PETUGAS
1. Jika yang melakukan pembunuhan terhadap enam 
pengawal HRS adalah petugas dan petugas yang dimaksud 
adalah polisi dan atau instansi pemerintah yang lain, 
dan pembelaannya atas pembunuhan yang dilakukan 
adalah karena membela diri atau karena melaksanakan 
tugas, maka para petugas dimaksud mempunyai 
tanggung jawab hukum untuk menjelaskan kepada 
masyarakat tentang alasannya itu. TP 3 berpendapat, 
satu-satunya forum untuk mempertanggungjawabkan 
secara hukum pembunuhan tersebut adalah Pengadilan 
HAM atas dasar Undang-undang No. 26 Tahun 2000.
2. TP3 berpendapat bahwa hal-hal yang harus 
dipertanggung jawabkan secara hukum oleh yang 
mengaku sebagai petugas (atau para pembunuh) adalah 
hal-hal sebagai berikut
A. Jika para Petugas adalah anggota POLRI, harus bisa 
membuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan adalah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 
Tahun 2009 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 
2009. 
Dengan demikian para petugas ini harus 
membuktikan:
a. Apakah pembunuhan yang dilakukan telah sesuai 
dengan ketentuan hukum yang berlaku, apakah 
pembunuhan memang perlu dilakukan (asas 
Necessitas), apakah pembunuhan memenuhi asas 
proporsionalitas (dilaksanakan secara seimbang 
antara ancaman yang dihadapi dengan pembunuhan 
yang dilakukan), apakah betul pembunuhan 
dilakukan untuk menciptakan keamanan dan 
ketertiban masyarakat, apakah betul sebelumnya 
telah mengutamakan pencegahan (asas Preventif), 
dan apakah pembunuhan yang dilakukan masuk 
akal (petugas betul-betul dalam posisi hendak 
dibunuh maka harus membunuh).
b. Apakah betul terjadi penyerangan dan atau 
perlawanan, apakah betul tindakan yang lebih 
lunak sudah tidak efektif lagi (misalnya cukup 
menodongkan atau diborgol), apakah betul telah 
berada pada situasi jika tidak dibunuh maka 
Petugas yang akan terbunuh (kill or to be killed 
situation)c. Terkait dengan penggunaan Senjata Api oleh 
Polisi, maka polisi wajib membuat penjelasan 
secara terperinci tentang penggunaan senjata api 
(Pasal 49 ayat 2 Perkap No. 8/2009), apakah hal ini 
telah dibuat dan diuji kebenarannya? 
d. Mengapa sejak keberangkatan untuk tugas 
penguntitan dibekali dengan peluru tajam? 
Apakah sejak awal telah mengantisipasi akan 
terjadi pembunuhan? Siapa yang terlibat dalam 
penugasan penguntitan dan bagaimana surat 
tugas yang diberikan, siapa yang memberikan 
surat tugas tersebut?
B. Jika para Petugas adalah anggota TNI, harus bisa 
dibuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukannya 
adalah karena menjalankan fungsinya sebagai TNI 
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UU No. 34 
Tahun 2004.
Dengan demikian para petugas ini harus 
membuktikan:
a) Jika tugas yang dilakukannya adalah dalam rang￾ka operasi militer, maka harus dibuktikan bahwa 
tugas yang dijalankan adalah dalam rangka pe￾rang melawan rombongan HRS dan khususnya 
perang melawan 6 (enam) Pengawalnya yang di￾bunuh karena merupakan ancaman militer dan 
ancaman bersenjata terhadap kedaulatan, keutu￾han wilayah dan keselamatan bangsa. Juga harus 
dibuktikan bahwa pembunuhan yang dilakukan 
merupakan tindakan untuk memulihkan kea￾manan negara yang terganggu akibat kekacauan 
keamanan yang diakibatkan oleh kehadiran rom￾bongan HRS
b) Jika tugas yang dilakukannya adalah dalam 
rangka operasi militer selain perang (OMSP) 
maka harus dibuktikan bahwa pembunuhan 
terpaksa dilakukan karena rombongan HRS dan 
khususnya enam Pengawalnya yang dibunuh 
memenuhi kriteria dari salah satu atau beberapa 
tersebut dari 14 butir keadaan yang ditentukan 
dalam pasal 7 ayat 2 huruf “b” UU No. 34 Tahun 
2004.
PENYELESAIAN YANG BERKEADILAN MELALUI 
PENGADILAN HAM
1. Pengadilan HAM menurut Undang-Undang No. 26 Ta￾hun 2000 dalam kasus terbunuhnya enam pengawal 
HRS berarti melakukan keseluruhan proses penyele￾saian perkara pembunuhan tersebut sebagai pelang￾garan HAM berat. Pengadilan HAM ini merupakan 
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradil￾an Umum. Proses penyelesaiannya terdiri dari proses 
sebagai berikut: a. Penyelidikan
b. Penyidikan 
c. Penuntutan
d. Pemeriksaan Sidang Pengadilan dan
e. Pelaksanaan Putusan Pengadilan 
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 dari UU No. 26 Tahun 
2000, maka Hukum Acara yang berlaku pada peradi￾lan tersebut adalah UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), ke￾cuali terdapat ketentuan lain dalam UU No. 26 Tahun 
2000 tersebut yang mengatur secara berbeda maka 
pengecualian itulah yang berlaku. Contoh ketentuan 
yang berbeda adalah mengenai orang yang dapat di￾periksa dan diadili. Pada umumnya KUHAP hanya 
diberlakukan pada tindak pidana yang tersangkanya 
adalah warga sipil namun dalam UU No. 26 Tahun 
2000 terdapat pengaturan yang berbeda. Sebagaima￾na ditentukan pada pasal 1.4 , kata setiap orang yang 
dimaksud oleh Undang-undang ini adalah orang per￾seorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, mau￾pun polisi yang bertanggung jawab secara individual. 
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU No. 26 
Tahun 2000, penyelidikan terhadap pelanggaran hak 
asasi manusia yang berat (HAM berat) dilakukan oleh 
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 
Penyelidikan dalam konteks ini adalah tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya 
suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran 
HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan 
penyidikan. TP3 berpendapat bahwa penyelidikan 
ini belum pernah dilaksanakan oleh Komnas HAM 
karena Komnas HAM belum pernah memberitahukan 
dimulainya penyelidikan pelanggaran HAM berat 
kepada Jaksa Agung , yang menurut UU No. 26 Tahun 
2000 ditentukan sebagai Penyidik. 
4. Ketika TP3 bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo, 
di Istana Merdeka pada tanggal 9 Maret 2021, yang 
dalam pertemuan tersebut presiden didampingi oleh 
Menkopulhukam dan Mensesneg Pratikno, presiden 
mempersilahkan TP3 untuk memberi masukan kepada 
Pemerintah sehubungan penanganan kasus dibunuhnya 
enam penduduk sipil oleh aparat pemerintah. Presiden 
menjamin bahwa selama ini Pemerintah bersikap 
transparan. Atas jaminan sikap Pemerintah yang 
menurut Presiden “transparan” itulah, maka TP3 
merujuk pada Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 
agar arti “transparan” mempunyai makna praktis. 
5. Pasal 18 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan 
bahwa Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan 
dapat membentuk tim Ad Hoc yang terdiri dari unsur 
Komnas HAM dan unsur masyarakat. Jika Komnas HAM 
memang serius ingin menangani kasus pembunuhandi KM 50 ini secara adil dan transparan sesuai anjuran 
Presiden, maka tentu bersedia membentuk tim Ad Hoc
dengan melibatkan TP3. Tidak harus TP3, siapa saja 
yang kita semua bisa menilai secara obyektif sebagai 
lembaga yang independen HAM yang terakreditasi 
seperti Amnesti Internasional. 
6. TP3 berpendapat bahwa, hanya jika Komnas HAM 
bersedia membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan sesuai 
dengan tersebut pada butir 5 di atas maka kata 
“transparan” dapat dimaknai sebagai sikap yang terbuka 
dan tidak terkandung maksud untuk menutupi atau 
melindungi pelanggar HAM berat. TP3 berpendapat 
hanya dengan metode keterlibatan masyarakat sajalah 
maka penyelesaian yang transparan dan adil dapat 
tercapai.
7. Bahwa kewajiban Komnas HAM adalah menyampaikan 
kesimpulan hasil penyelidikan kepada Penyidik (Jaksa 
Agung) apabila terdapat bukti permulaan yang cukup. 
Bahwa bukti permulaan yang cukup ini diperlukan 
untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang 
atau sekelompok orang yang karena perbuatannya 
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, 
patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM 
yang berat. TP3 berpendapat bahwa hanya dengan 
menggunakan fasilitas yang tersedia pada Pasal 18 
ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000, yaitu membentuk tim Ad Hoc yang melibatkan masyarakat, maka tujuan 
untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup dapat 
dicapai. 
8. Bahwa berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, yang 
berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan 
adalah Jaksa Agung. Tindakan penyidikan 
adalah tindakan Jaksa Agung untuk mencari dan 
mengumpulkan bukti-bukti agar bisa membuat 
terang pelanggaran HAM berat yang terjadi dan guna 
menemukan siapa saja dalam kasus dibunuhnya 
enam pengawal HRS di KM 50 yang dapat dijadikan 
“tersangka”. Sedangkan tindakan penuntutan adalah 
tindakan Jaksa Agung sebagai penuntut umum untuk 
melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat ke 
Pengadilan HAM yang berwenang. 
9. Bahwa menurut UU No. 26 Tahun 2000 Jaksa Agung 
dapat mengangkat penyidik Ad Hoc (pasal 21 ayat 3) 
dan penuntut umum Ad Hoc (pasal 23 ayat 3) yang 
terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. 
Untuk menunjukkan adanya transparansi, maka Jaksa 
Agung dapat melibatkan TP3 atau lembaga swadaya 
masyarakat (LSM) yang terakreditasi di bidang HAM 
seperti Amnesti Internasional , menjadi penyidik Ad 
Hoc maupun penuntut umum Ad Hoc. 
10. Bahwa jika dapat terbentuk tim Ad Hoc yang melibatkan 
TP3 atau LSM lain dalam penyelidikan, penyidikandan penuntutan, maka jika tanpa intervensi, TP3 
berkeyakinan bahwa Pengadilan Ham akan terlaksana 
untuk menyidangkan para terdakwa dalam kasus 
dibunuhnya enam pengawal HRS di KM 50. 
11. Bahwa menurut Pasal 27 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000, 
pemeriksaan perkara pelanggaran HAM yang berat 
dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang 
berjumlah lima orang, terdiri atas dua orang hakim 
pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan tiga 
orang hakim Ad Hoc. Pada pasal 28 ditentukan Hakim 
Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden 
selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah 
Agung. Untuk menunjukkan adanya transparansi, 
maka Ketua Mahkamah Agung dapat mengusulkan TP3 
atau LSM lain yang terakreditasi dibidang HAM seperti 
Amnesti Internasional, kepada Presiden untuk menjadi 
Hakim Ad Hoc selanjutnya Presiden dapat menyetujui 
usulannya Ketua Mahkamah Agung.








GAMBARAN UMUM LAPORAN KOMNAS HAM
1. Tim Pengawalan Peristiwa Pembunuhan 6 (enam) 
pengawal HRS (TP3) menerima resmi dari Kementerian 
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan 
(Kemenko Polhukam) salinan laporan dari Komnas 
HAM yang diberi judul “Laporan Penyelidikan” Peristiwa 
6 (enam) Orang laskar FPI di Karawang, 7 Desember 
2020. Laporan Komnas HAM terdiri dari 103 halaman 
laporan utama yang diakhiri dengan Kesimpulan dan 
Rekomendasi. Di bagian lampiran terdapat 20 halaman 
lampiran termasuk 7 halaman lampiran berupa 
keterangan pers dan 8 halaman berupa transkrip “voice 
notes” yang terperinci dalam 203 voice notes.2. Di halaman terakhir dari laporannya Komnas HAM, TP3 
bisa mengetahui bahwa laporan yang ditulis dengan 
mengatasnamakan Komnas HAM tersebut dibuat oleh 
suatu tim yang mereka beri nama; “Tim Penyelidikan 
Peristiwa Kematian 6 (enam) orang Laskar FPI di 
Karawang, 7 Desember 2020 dengan susunan organisasi, 
Ketua Tim M. Choirul Anam dengan Anggota TIM 
Ahmad Taufan Damanik, Amirudin, dan Beka Ulung 
Hapsara. Selebihnya terdiri dari satu orang sekretaris, 
11 orang dalam tim pemeriksa saksi, dan 5 orang berada 
pada tim olah TKP dan tempat lainnya.
3. Sejak di halaman pertama dari laporan Komnas 
HAM sudah menimbulkan pertanyaan. Pada bagian 
Latar Belakang disampaikan bahwa Komnas HAM RI 
“menerima informasi” terkait peristiwa penembakan 
6 (enam) orang laksus FPI oleh anggota tim dari PMJ 
(Polda Metro Jaya). Dari kalimat ini saja sudah kelihatan 
Komnas HAM tidak transparan. Tidak dijelaskan dari 
mana informasi tersebut diperoleh. Sehingga tidak jelas 
dari laporan Komnas HAM ini, dari mana dan dari siapa 
informasi perihal terbunuhnya enam pengawal HRS 
tersebut pertama kali diketahuinya. 
4. Dari segi penggunaan istilah, Komnas Ham juga 
menunjukkan keberpihakannya karena mengikuti 
iramanya pihak PMJ. Misalnya, istilah “pembunuhan” 
dilunakkan dengan istilah “menembak mati”. Komnas HAM juga menggunakan istilah “petugas” untuk konteks 
peristiwa di jalan tol. Padahal Komnas HAM mencatat 
keterangan FPI yang mengatakan bahwa pihak FPI baru 
mengetahui yang melakukan pembuntutan adalah PMJ 
setelah kapolda Metro Jaya memberikan konferensi 
pers. FPI menggunakan istilah “Orang Tidak Dikenal” 
namun istilah ini tidak pernah dijadikan rujukan oleh 
Komnas HAM, yang lebih memilih istilah “petugas” 
yang berasal dari PMJ. Demikian pula tentang nama 
Habib Rizieq Shihab yang disingkat HRS, Komnas HAM 
menyingkatnya dengan MRS, mengikuti singkatan 
yang dibuat oleh PMJ. Bahkan ketika memberikan 
uraian keterangan yang bersumber dari FPI, Komnas 
HAM juga tetap menggunakan julukan yang digunakan 
PMJ bukan FPI. TP3 memperhatikan seluruh narasinya 
Komnas HAM dalam laporannya. Meskipun sedang 
mengutip atau menceritakan kembali keterangan dari 
FPI, singkatan HRS diganti dengan MRS oleh Komnas 
HAM. Sebagai contoh bisa kita lihat kalimat terakhir 
dari paragraf 4 di halaman 1. Kalimat terakhir di paragraf 
ini mengatakan “Pihak FPI baru mengetahui bahwa pihak 
yang melakukan pembuntutan kepada rombongan MRS 
adalah anggota Resmob PMJ”. Jika yang menceritakan 
pihak FPI tentu mereka akan menyingkatnya dengan 
singkatan HRS bukan MRS. Perhatikan juga laporan 
Komnas HAM halaman 20 hingga 28 di bawah judul 
“Kronologis Peristiwa”. Jelas kronologi ini merupakan kronologi “versi FPI” yang ditulis kembali oleh Komnas 
HAM, namun sepanjang 8 halaman catatan kronologi, 
semua yang merujuk pada HRS oleh Komnas HAM 
diganti menjadi MRS. Hal ini memberi petunjuk jelas 
bahwa Komnas HAM merupakan bagian dari kampanye 
aparatur negara untuk menurunkan wibawa seorang 
habib yang bernama Habib Rizieq Syihab atau HRS.
5. Pelaporan yang dibuat Komnas HAM ini seolah￾olah mencakup keterangan dua belah pihak, yaitu 
pihak PMJ dan pihak FPI, namun kenyataannya yang 
terkesan berbeda. Di paragraf yang menceritakan 
keterangan PMJ (paragraf 3 halaman 1) dibuat seolah￾olah PMJ berada pada posisi teraniaya, sedangkan di 
paragraf 4 yang merupakan penyampaian fakta versi 
FPI dibuat datar. Di paragraf 3, ditulis “rombongan 
MRS melaju secara zigzag……. Kemudian terjadi peristiwa 
tembak menembak antara anggota FPI …dengan polisi”. 
Di paragraf 4 tidak ada keterangan dari FPI yang 
membantah atau membenarkan cerita versi polisi yang 
diceritakan kembali oleh Komnas HAM. 
6. Di paragraf 5 di halaman 1, Komnas HAM menyampaikan 
bahwa aktivitas Komnas HAM ini didasarkan pada 
Pasal 89 ayat 3 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. 
Komnas HAM memberikan istilah bahwa kegiatannya 
merupakan “pemantauan dan penyelidikan” (baris ke 4 
paragraf 5). Istilah ini sangat berbeda dengan judul yang digunakan oleh pasal 89 ayat 3. Judul dari ayat ini adalah 
“pemantauan” bukan pemantauan dan penyelidikan. 
Sehingga seharusnya Komnas HAM menyatakan bahwa 
aktivitas yang dilakukannya adalah “pemantauan”. 
Demikian nama yang diberikan kepada tim Komnas 
HAM ini, seharusnya bukan Tim Penyelidik namun 
hanyalah Tim Pemantau. 
7. Terdapat 8 (delapan) butir tugas dan kewenangan yang 
dapat dilakukan oleh Komnas HAM menurut ketentuan 
pasal 89 ayat 3 yaitu tugas dan kewenangan sebagai 
berikut;
a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan 
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa 
yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan 
sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap 
pelanggaran hak asasi manusia;
c. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban 
maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan 
didengar keterangannya;
d. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar 
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta 
menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya 
yang dianggap perlu;f. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk membe￾rikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan 
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya 
dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, 
bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki 
atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan 
Ketua Pengadilan; dan
h. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua 
Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang 
dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara 
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia 
dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh 
pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM 
tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada 
para pihak.
8. Semua 8 tugas dan kewenangan tersebut dalam pasal 89 
ayat 3 di atas adalah merupakan kegiatan “pemantau￾an”. Sekali lagi, apa yang dilakukan oleh Komnas HAM 
adalah kegiatan pemantauan bukan penyelidikan. 
Dari membaca laporan Komnas HAM dapat diketahui 
bahwa dari 8 tugas dan kewenangan tersebut, Komnas 
HAM hanya melaksanakan “c”, “ d”, “e” dan “f” . Itu pun 
untuk kegiatan “f” apa yang dilakukan Komnas HAM 
tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan telah 
melakukan pemanggilan pihak terkait, karena syarat untuk bisa melaksanakan tugas dan wewenang ini 
diperlukan adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan. 
TP3 tidak menemukan adanya persetujuan dari 
Pengadilan dalam laporannya. Alhasil Komnas HAM 
hanya melakukan butir “c”, “d” dan “e”.
9. Karena kegiatan Komnas HAM pada hakikatnya hanya￾lah pemantauan, maka judul laporan seharusnya bu￾kan “Laporan Penyelidikan” namun “Laporan Peman￾tauan”. 
10. Karena UU No. 39 Tahun 1999 tidak memberikan defi-
nisi tentang arti pemantauan, maka TP3 merujuk pada 
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI 
arti dari pemantauan adalah pengamatan. Dalam kon￾teks HAM berarti melakukan pengamatan tentang ter￾jadinya HAM. Karena merupakan pengamatan, maka 
hasil atau produk dari kegiatan pengamatan tidak mun￾gkin menghasilkan adanya kesimpulan telah terjadinya 
pelanggaran HAM apalagi pelanggaran HAM berat. 
Kegiat an pengamatan hanya maksimal akan mengha￾silkan perubahan pengetahuan atau pemahaman atas 
pelanggaran HAM. Sehingga kegiatan pemanggilan 
dan permintaan keterangan dari pihak terkait, seperti 
FPI, Polisi, masyarakat dan Jasa Marga sebagaimana di￾laporkan di halaman 3 dan 4 hanyalah untuk maksud 
pengamatan, bukan dalam rangka penyelidikan untuk 
menemukan adanya atau tidak adanya pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 
pembunuhan terhadap enam pengawal HRS. 
11. Laporan dari Komnas HAM hanyalah sebuah laporan 
atas kegiatan Komnas HAM yang bertujuan untuk 
memberikan pembenaran atas pernyataan dan 
keterangan dari pihak PMJ. Hal ini dapat kita ketahui 
dari irama pelaporan Komnas HAM yang menerima 
begitu saja cerita yang disampaikan oleh PMJ. 
Misalnya, tentang barang bukti senpi dan senjata tajam 
yang menurut ceritanya PMJ ditemukan di mobilnya 
pengawal HRS, benarkah cerita ini? Bagaimana kita bisa 
memastikan bahwa barang bukti tersebut bukan hasil 
rekayasa pembunuh yang sengaja ditempatkan di mobil 
korban untuk membenarkan tindakan pembunuh. 
12. Laporan dari Komnas HAM merupakan hasil 
“paraphrasing” dari narasumber yang tidak spesifik. 
Keterangan dari polisi yang dilaporkan tidak 
spesifik menyebutkan nama polisinya, namun hanya 
menyebutkan unit kerja atau satuan kerja seperti Polda 
Metro Jaya atau Bareskrim-Mabes Polri. Ihwal siapa dari 
mereka yang memberikan keterangan tidak disebutkan 
dalam laporannya. Walaupun ada penyebut nama-nama 
polisi, namun nama yang disebutkan ini tidak pernah 
dilaporkan telah memberikan keterangan. Misalnya, 
laporan di halaman 14 yang melaporkan bahwa ada 
petugas bernama Faizal mengeluarkan tembakan peringatan. Laporan seperti ini tidak berasal dari 
kata-katanya Faizal namun merupakan keterangan, 
yang menurut Komnas HAM, berasal dari POLRI 
tanpa perincian siapa dari POLRI yang memberikan 
keterangan ini. Hal ini dapat dimengerti karena laporan 
ini memang bukan laporan penyelidikan, tapi hanyalah 
laporan hasil pemantauan.
BERBAGAI CATATAN KHUSUS (ANOTASI) ATAS LAPORAN 
KOMNAS HAM
1. Keterangan yang menurut Komnas HAM berasal dari 
POLRI, di halaman 8 (huruf “g”) melaporkan sebagai 
berikut.
“ Sejak awal di Megamendung dan Sentul ada tim dari 
institusi lain yang menempel, termasuk di tol KM 50. 
Setelah kejadian, tim yang lain juga banyak berdatangan 
. Anggota tidak sempat berkomunikasi namun hanya 
mendengar tim lain tersebut berkomunikasi dengan 
menggunakan HT. “ 
2. Membaca laporan ini menimbulkan pertanyaan, siapa 
yang dimaksud oleh narasumbernya Komnas HAM 
ini dengan “Institusi lain”. Mengapa tidak dijelaskan 
nama institusi tersebut. Jika benar narasumbernya 
adalah polisi, tentu mereka akan mengenali nama 
institusi tersebut. Sebab dari mana narasumber 
mengetahui bahwa tim itu adalah dari institusi lain jika tidak kasat mata. Jelaslah bahwa narasumber ini 
sengaja ingin melindungi identitas “institusi” tersebut. 
Perlindungan oleh narasumber ini makin nyata ketika 
kalimat berikutnya mengatakan bahwa narasumber 
“tidak sempat berkomunikasi”, seolah ingin berkilah 
karena tidak sempat berkomunikasi maka tidak bisa 
mengenali. Logikanya, bila bisa memastikan bahwa 
ada tim dari institusi lain, maka dengan mudah bisa 
diidentifikasi nama institusi tersebut. Semestinya, 
Komnas HAM juga bersikap adil, profesional, dan 
kredibel dengan memeriksa isi percakapan handphone
semua petugas polisi dan orang institusi lain yang 
terkait dalam penguntitan pengawal HRS sehingga bisa 
diketahui isi komunikasinya.
3. Keterangan yang menurut Komnas HAM berasal dari 
POLRI, di halaman 8 (huruf “j”) melaporkan sebagai 
berikut;
 “Salah satu mobil pelaku menabrak mobil petugas di 
dekat pintu keluar GT Karawang Timur” 
4. Dari alur ceritanya narasumber, penguntit (yang oleh 
narasumber disebut petugas) sedang menguntit mobil 
laskar yang keluar di GT Karawang Timur. Bagaimana 
penjelasannya tiba-tiba mobil pengawal HRS yang 
keluar tersebut bisa menabrak mobilnya penguntit? 
Tidak jelas pula bagaimana posisi penabrakan tersebut. 
Apakah mobilnya pengawal HRS menabrak dari depan, dari belakang ataukah dari samping. Bagaimana 
ceritanya sehingga mobilnya si penguntit tidak 
sempat menghindar dari tabrakan tersebut, bukankah 
dalam cerita tersebut target penguntitan selalu dalam 
pandangan mata penguntitan?
5. Di halaman 8 akhir, narasumber menyebutkan bahwa 
di TKP 3 (tiga) terdapat saksi-saksi yaitu 9 orang POLRI 
dan 12 orang masyarakat yang terdiri dari penjaga 
warung,penjaga toilet dan sebagainya. Namun, tidak 
dijelaskan oleh narasumber para saksi ini menyaksikan 
kejadian apa saja di KM 50 (TKP 3). Seharusnya, Komnas 
HAM menyelidikinya dengan memperdalam pertanyaan 
sehingga narasumber mengungkapkan informasi yang 
dilihat dan didengarnya di TKP, KM 50 itu.
6. Di halaman 9 laporan Komnas HAM, di bawah judul 
“Penggunaan Mobil”, melaporkan berdasarkan pada 
rekonstruksi peristiwa. Menurut rekonstruksi yang 
dilaporkan oleh Komnas HAM ini, pada huruf “h” pada 
pokoknya dilaporkan bahwa; 
 “Toyota Avanza warna silver Nopol K 9143 EL milik petugas
(TP3: penguntit) di seberang hotel Novotel dihadang dan 
dirusak oleh 4 (empat) orang laskar FPI, menggunakan 
senjata tajam samurai dan pedang dan 2 (dua) orang 
Laskar FPI melakukan penembakan kepada penguntit. 
Kemudian terjadi kejar-kejaran dan saling tembak” 7. Terhadap pelaporan sebagaimana tersebut pada 6 di 
atas, menimbulkan pertanyaan yang jawabannya tidak 
tersedia dalam laporannya Komnas HAM yaitu; jika 
benar terjadi penembakan oleh dua orang pengawal 
HRS, akibat apa yang ditimbulkannya? Apakah 
tembakan ada yang mengenai sasaran penguntitnya? 
Pada laporannya Komnas HAM di halaman 8 huruf “k” 
dikatakan penembakan hanya mengenai mobil. Kalau 
pun betul situasinya seperti itu belum menggambarkan 
keadaan yang mengharuskan penguntit melakukan 
tembakan balasan yang mematikan. 
8. Pada cerita 6 di atas terdapat urutan cerita yang hilang. 
Bagaimana mungkin setelah 2 (dua) pengawal HRS 
melakukan penembakan langsung diikuti dengan 
penjelasan terjadi kejar-kejaran dan saling menembak. 
Kelihatan cerita seperti ini mengada-ada karena 
minimnya penjelasan yang masuk akal. Apakah setelah 
menembak, ceritanya, para pengawal HRS tersebut 
masuk lagi ke mobilnya terus kabur kemudian dikejar 
oleh penguntit? Jika demikian ceritanya berarti bukan 
kejar-kejaran, namun mobilnya para pengawal HRS 
yang dikejar oleh penguntit. 
9. Demikian juga cerita soal terjadinya tembak menem￾bak antara penumpang di mobil penguntit dengan 
para pengawal HRS. Pertama, tidak ada bukti sama se￾kali telah terjadi tembak menembak, karena kesaksian hanya berasal dari pihak yang menembak mati (yaitu 
pihak penguntit), sedangkan pihak yang ditembak se￾mua mati sehingga tidak dapat bersaksi. Kedua, cerita￾nya terlalu dramatis (sulit dipercaya). Jika betul terjadi 
tembak menembak, mengapa hanya pihak pengawal 
HRS yang meninggal? Sedangkan pada pihak pengun￾tit tidak ada yang meninggal karena tembakan, bahkan 
sama sekali tidak ada bukti luka-luka. Jika argumennya 
pihak pengawal HRS itu tidak mahir menembak dan 
pihak penguntit mahir menghindar dari tembakan, 
maka justru tidak dapat dibenarkan bila penguntit ha￾rus melakukan tembakan yang mematikan, jika betul 
penguntit adalah polisi. Demikian juga bila alasannya 
pihak penguntit mahir menembak, juga tidak dibenar￾kan jika harus menembak sampai mati, jika penguntit 
adalah aparat negara yang terlatih untuk menembak 
dengan tujuan melumpuhkan, tidak mematikan. 
10. Selanjutnya pada halaman 9, butir “h”, yang melaporkan 
bahwa di area KM 50 (TKP-3) ditemukan berbagai barang 
bukti milik para pengawal HRS, antara lain 2 senjata 
api rakitan, senjata tajam dan sebagainya, juga hanya 
berdasarkan pengakuan dari pihak yang membuat 
laporan, tidak didukung oleh adanya kesaksian maupun 
berita acara penemuan barang bukti, serta dokumentasi 
CCTV saat barang bukti itu diletakkan di depan warung 
di KM 50. Apa saja barang buktinya? Samakah barang bukti saat diletakkan di depan warung di KM 50 dengan 
barang bukti yang diperlihatkan ketika konferensi pers 
oleh Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya?
11. Masih pada halaman 9, butir “h”, tentang cerita 
terjadinya pembunuhan 4 orang pengawal HRS yang 
sudah berada dalam tahanan penguntit, kemudian 
mereka terpaksa dibunuh oleh para penguntit karena 
di dalam mobil berusaha merebut senjatanya para 
penguntit. Sama dengan di atas, kejadian ini tidak dapat 
dibuktikan karena tidak ada saksi yang melihat selain 
cerita sepihak dari yang melakukan pembunuhan, 
sehingga kebenarannya tidak dapat diterima akal 
sehat. Bukti-bukti luka pada mayat tidak menunjukkan 
terjadinya penembakan dengan skenario seperti yang 
ada dalam laporan. 
12. TP3 menjumpai saksi pengemudi mobil towing yang 
mengikuti mobil penguntit di TK4 (tol Japek KM 51+200), 
yang menurut narasumber, mereka para penguntit 
sedang membawa 4 orang laskar yang masih hidup 
untuk dibawa ke Mako PMJ. Saksi ini mengatakan 
kepada TP3 bahwa selama mengikuti mobilnya 
penguntit tersebut dari belakang, sama sekali tidak 
pernah menyaksikan mobil berjalan “tidak stabil” atau 
tampak “kegaduhan” di dalamnya apalagi mendengar 
adanya suara tembakan dari mobil tersebut sehingga 
merusak kaca atau body mobil.13. Masih pada halaman 9, tentang Mobil Land Cruiser 
yang dikemudikan oleh AKP Widy Irawan dengan 
penumpang bernama Rusbana yang berada di KM 50. 
Tidak diidentifikasi oleh narasumber nomor polisinya. 
Sehingga tidak ada kejelasan tentang apa hubungannya 
penumpang dalam mobil Land Cruiser dengan para 
penguntit. 
14. Ada ketidakjujuran narasumber ketika melaporkan 
fakta ini, yaitu dengan kata-kata bahwa Land Cruiser 
“menuju KM 50”. Atas dasar kata “menuju” berarti 
pengetahuannya diperoleh atas dasar percakapan 
bukan atas dasar penglihatan. Lebih lanjut berarti 
sebetulnya pengetahuannya narasumber perihal Mobil 
Land Cruiser lebih dari yang dilaporkan, namun secara 
tidak jujur pengetahuannya tersebut disembunyikan 
dan Komnas HAM tampaknya tidak menjalankan 
fungsi penyelidikannya dengan bertanya lebih lanjut 
untuk memperdalamnya. 
15. Masih tentang mobil Land Cruiser, TP3 sempat bertemu 
dengan salah satu saksi yang berada di TKP 3 (Km 50) 
yang mengatakan bahwa melihat orang keluar dari 
mobil Land Cruiser tersebut kemudian orang tersebut 
tampak sedang memberikan instruksi kepada para 
penguntit, kemudian bersama dengan para penguntit 
yang telah melakukan pembunuhan melakukan 
semacam selebrasi (tos bersama), yang didahului dengan merekatkan badan dengan membentuk lingkaran 
seperti saat tim volley ball yang sedang bertanding. 
16. Di halaman 11 butir “L”, dilaporkan bahwa:
 “Berdasarkan hasil olah TKP Labfor/balistik ditemukan 
1 (satu) tembakan masuk pada kaca depan mobil Avanza 
Nopol K 9143 EL … …..dst, kemudian hasil pemeriksaan 
Labfor bahwa proyektil peluru yang ditemukan …. tersebut 
identik dengan senjata api ….. yang ditemukan di dalam 
mobil Chevrolet …… dst”
17. Laporan seperti ini sungguh menyesatkan dan 
kelihatannya memang sengaja untuk mengelabui 
pembaca atau pihak yang diberi laporan. Mungkin saja 
betul ada uji labfor/balistik atas kaca mobil Nopol K 
9143 EL dan mungkin saja bekas dan jejak tembakan 
pada kaca identik dengan senjata api rakitan yang 
diujinya. Namun pertanyaannya adalah “siapakah 
yang melakukan tembakan tersebut” dan “milik siapa 
senjata rakitan” tersebut. Dengan kata lain, tidak ada 
bukti labfor/balistik yang membuktikan siapa pelaku 
penembakan maupun siapa pemilik senjata rakitan 
yang diuji. Sejauh ini dugaan bahwa tembakan pada 
kaca mobil Nopol K 9143 EL dilakukan sendiri oleh para 
pembunuh, kemudian senjata rakitan ditanamkan 
(planted) juga oleh para pembunuh di mobil Chevrolet, 
tidak terdapat bukti yang sebaliknya.
18. Di halaman 11 butir “m”, dilaporkan bahwa:
 “Chevrolet Spin: Ditemukan 1 (satu) jaket abak peluru 
bukti dari bawah jok sopir mobil, 2 (dua) pucuk senjata api 
rakitan jenis Revolver dan senjata tajam 1 samurai …dst”
19. Barang bukti yang tersebut pada 18 di atas adalah 
pernyataan sepihak dari penguntit atau pembunuh. 
Tidak ada bukti sidik jari pada barang-barang bukti 
tersebut sehingga tidak dapat dipastikan bahwa barang￾barang tersebut milik atau pernah berada dalam 
kekuasaannya pengawal HRS yang dibunuh.
20. Di halaman 12 butir “o”, dilaporkan bahwa:
 “Berdasarkan hasil Labfor pemeriksaan Tool Mark, 
ditemukan pola kerusakan akibat tekanan/goresan senjata 
tajam. …dst”
21. Laporan pada butir di atas, meskipun kelihatannya ha￾nya penyampaian fakta, namun sebenarnya bersifat 
insinuatif atau karangan. Ada maksud untuk memberi 
kesan telah membuktikan bahwa benar para pengawal 
HRS telah melakukan penyerangan dengan pedang. 
Padahal fakta tersebut hanya membuktikan pada mo￾bil terdapat goresan senjata tajam, namun tetap tidak 
menjawab pertanyaan siapakah yang melakukan peng￾goresan pada mobil tersebut. Sebagaimana argumen di 
atas, bisa jadi dilakukan oleh pembunuh sendiri untuk 
mengalihkan tuduhan kepada pengawal HRS. 22. Di halaman 12 butir “p”, dilaporkan terjadinya analisa 
uji balistik terhadap peluru yang ditemukan di mobil 
penguntit. Dalam hal ini, TP3, tidak akan membantah 
hasil uji balistik yang menyatakan bahwa anak peluru 
yang diuji identik dengan anak peluru hasil uji balistik 
senjata api gagang putih. Uji balistik tersebut tentu 
tidak bohong. Adapun yang bohong adalah bahwa anak 
peluru dan senjata api bergagang putih adalah milik 
atau pernah berada dalam kekuasaannya pengawal 
HRS. Tentang hal ini tidak pernah ada pengujian apa 
pun.
23. Berdasarkan argumen dan analisis TP3 pada butir 17, 
19, 21 dan 22 maka sebetulnya laporan Komnas HAM di 
halaman 14 dan 15 di bawah judul “Penggunaan Senjata 
Api” menjadi tidak valid. Misalnya, pada halaman 
15 butir “c”, Komnas HAM melaporkan; “ Bahwa 
berdasarkan hasil pengujian balistik antara barang bukti 
yang diserahkan Komnas HAM kepada pihak Puslabfor 
Bareskrim Polri dst “ Sepanjang barang bukti yang 
diserahkan oleh Komnas HAM adalah barang bukti 
yang sama dengan yang telah TP3 analisis di atas, maka 
argumen TP3 berlaku secara mutatis mutandis. Dengan 
kata lain, TP3 ingin menyatakan bahwa tidak ada bukti 
apa pun yang menyatakan bahwa barang bukti tersebut 
adalah milik atau pernah berada dalam kekuasaannya 
para pengawal HRS. Jika tidak dapat dibuktikan bahwa senjata api adalah milik atau pernah berada dalam 
kekuasaannya pengawal HRS, maka tidak dapat juga 
dibuktikan ada kejadian tembak menembak.
24. Tentang laporan Komnas HAM di halaman 15 huruf “ 
d”, tanggapan TP3 adalah sama dengan apa yang telah 
disampaikan pada IV. 2.11. dan IV. 2.12 dengan tambahan; 
penguntit yang bernama Elwira dan Fikri seharusnya 
ditetapkan sebagai tersangka. Sekalipun betul telah 
terjadi upaya perebutan senjata dan perlawanan (quod 
non), maka berdasarkan cerita ini, tembakan yang 
mematikan yang dilakukan oleh Elwira dan Fikri 
melebihi ancaman yang dihadapi. Sekali lagi, jika cerita 
dianggap benar (yang kita semua ketahui tidak), maka 
untuk Elwira, mengapa harus melakukan tembakan 
hingga 4 kali, bukankah dengan satu kali sudah bisa 
melumpuhkan. Apalagi penguntit yang bernama Fikri. 
Diceritakan di sini Fikri berhasil menguasai senjatanya 
kembali, berarti Fikri sudah tidak lagi berada dalam 
keadaan terancam jiwanya, sehingga cukup bila 
ditodongkan saja senjatanya ke arah korban, tidak 
perlu harus ditembak, apalagi hingga 3 kali. Kelihatan 
bahwa semua cerita ini disesuaikan dengan fakta luka￾luka tembak yang terdapat di tubuh korban. 
25. Jika betul yang melakukan pembunuhan adalah polisi 
(sesuai pengakuan dari pimpinan PMJ, meskipun TP3 
tidak sependapat) tidak seharusnya korban dibunuh. Karena. polisi sudah terlatih untuk melumpuhkan bukan 
untuk mematikan, betapa pun yang sedang dihadapinya 
adalah penjahat dengan rekam jejak sebagai pembunuh 
berdarah dingin, sekali pun. Demikianlah yang diajarkan 
kepada polisi tentang prinsip penggunaan kekuatan 
dan senjata api sebagaimana diatur dalam Perkap No. 
1 Tahun 2009, yang juga dikutip secara lengkap oleh 
Komnas HAM di halaman 95 dan Perkapolri No. 8 
Tahun 2009 yang dikutip di halaman 97. Berdasarkan 
prinsip ini, maka dapat disimpulkan bahwa polisi 
hanya akan membunuh jika polisi berada dalam 
posisi akan terbunuh (in killed or to be killed situation). 
Polisi hanya akan melakukan pembunuhan secara 
proporsional (seimbang antara tindakan dan ancaman 
) dan hanya dalam rangka bela-diri (self defence) untuk 
menghindar dari pembunuhan atau luka berat pada 
dirinya. Dalam cerita di atas terjadinya pembunuhan 
bukan karena pembunuh melakukan bela-diri, juga 
tidak ada keseimbangan antara bobot ancaman dan 
penembakan yang dilakukan, sehingga TP3 berpendapat 
bahwa pelaku pembunuhan bukan polisi, namun 
sebuah institusi bersenjata atau yang diberikan izin 
untuk mempergunakan senjata api dengan perilaku 
pembunuhan secara pre-emptive (bertindak lebih dahulu 
tanpa menunggu reaksi korban/lawan). 26. Di halaman 46 paragraf 3, dilaporkan tentang saksi 
yang berada di KM 50
 “Para pedagang dan pengunjung dilarang mengambil 
gambar dan merekam insiden tersebut. Telepon genggam 
warga kemudian diperiksa dan dihapus setiap gambar dan 
rekaman video.” 
27. Kejadian tersebut di atas (26.) adalah merupakan bukti 
lain bahwa yang melakukan pembunuhan bukan polisi. 
Sebab jika benar polisi yang melakukan pembunuhan 
dan pembunuhan yang dilakukannya adalah karena 
membela diri, maka polisi tidak akan melarang 
pengambilan gambar dan tidak akan memerintahkan 
penghapusan gambar dan video dari para pedagang 
di TKP KM 50. Karena, justru gambar dan video 
seperti itu diperlukan oleh polisi untuk memperkuat 
pembuktian bahwa polisi membunuh dalam rangka 
“self defence”. Dengan demikian adanya larangan dan 
perintah penghapusan tersebut hanya dapat diartikan 
dalam rangka untuk menghilang jejak. Fakta upaya 
penghilangan jejak pelaku pembunuhan ini makin 
nyata, ketika seluruh bangunan warung dan lainnya di 
lokasi TKP, KM 50 kini dilenyapkan.
28. Di halaman 48 paragraf 5, dilaporkan tentang adanya 
perintah dari Kompol RM untuk membawa korban 
pembunuhan ke RS Polri Kramat Jati. Hal ini juga membuktikan bahwa pembunuhan bukan dilakukan 
oleh polisi. Jika dilakukan oleh polisi, maka yang 
dilakukannya bukan melakukan perubahan atas tempat 
kejadian perkara (TKP) namun yang dilakukannya 
adalah melaksanakan tindakan untuk mengamankan 
TKP untuk dilakukan pengelolaan TKP sesuai dengan 
SOP Olah TKP yang ada pada masing-masing POLDA. 
Pengamanan TKP biasanya dilakukan dengan cara 
diberikan garis polisi (Police Line). Adanya perintah untuk 
membawa jenazah korban pembunuhan keluar dari 
TKP berarti yang dilakukannya bukan mengamankan 
TKP untuk kepentingan penyelidikan berikutnya, 
namun yang dilakukannya justru merusak TKP. Semua 
ini berarti adalah suatu upaya untuk menghilangkan 
jejak pembunuhan supaya yang sebenarnya terjadi 
tidak dapat lagi diungkap kebenarannya, karena TKP 
tidak lagi meninggalkan jejak. Jika tidak ada jejak yang 
ditinggalkan, maka mustahil dapat menemukan barang 
bukti di TKP sesuai dengan aslinya. 
29. Di halaman 32 Komnas HAM melaporkan tentang 
permintaan barang bukti. Membaca laporan di bagian 
ini, TP3 melihat adanya ketidaksetaraan sikap pada 
Komnas HAM sehingga menimbulkan pertanyaan; 
mengapa yang dijadikan barang bukti hanya handphone￾nya korban yakni pengawal HRS? Mengapa dari Polri, 
orang “institusi lain”, dan petugas Jasa Marga, juga tidak diminta Komnas HAM untuk menyerahkan handphone￾nya lalu diperiksa isi komunikasinya? 
30. Di halaman 36, 37 dan 38, Komnas HAM menyampaikan 
laporan tentang keterangan ahli, yaitu seorang dokter 
ahli forensik, ahli balistik dari PT Pindad dan ahli 
psikologi forensik. Selanjutnya TP3 memberi komentar 
sebagai berikut; 
30 a Ahli forensik ini hanya menyampaikan hal-hal yang 
sudah jelas bagi semua (just stating the obvious), 
misalnya luka yang terdapat pada 6 jenazah adalah 
karena luka tembak, terdapat luka jahitan akibat 
tindakan autopsi. Jika hanya penyampaian seperti 
ini tidak perlu ahli untuk mengatakan itu. 
Soal terjadinya kekerasan dan penyiksaan ahli 
menyatakan dengan kata-kata “tidak ditemukan”. 
Hal ini tidak berarti tidak terjadi kekerasan atau 
penyiksaan, kekerasan dan penyiksaan terjadi hanya 
saja ahli ini tidak menemukannya. Lain halnya jika 
jenazah dibiarkan berada di TKP dan saat itu segera 
dilakukan pemeriksaan (bukan malah dievakuas
dari TKP) maka ahli akan menemukan hal yang 
berbeda. 
Justru ahli ini tidak memberikan keterangan yang 
dibutuhkan oleh keluarga korban atau masyarakat 
umum dan terkesan menyampaikan pendapat 
sesuai dengan keinginan pemberi permintaan/
perintah. 
Adapun yang kami maksud dengan keterangan 
yang dibutuhkan dari seorang ahli adalah kejadian 
yang dikonstruksikan oleh pembunuh bahwa 
di mobil Xenia B 1519 UTI sempat terjadi usaha 
perampasan senjata api hingga mengharuskan 
terjadi penembakan pada laskar FPI hingga mati. 
Mungkinkah perkelahian di dalam mobil akan 
menghasilkan luka tembak sebagai mana hasil 
autopsi yang telah diberikan oleh dokter forensik RS 
Polri? Sepanjang laporan Komnas HAM tidak ada 
yang memberi jawaban atas pertanyaan seperti ini. 
Di atas adalah foto yang kami (TP3) peroleh dari saksi 
yang ikut menyaksikan jenazah di RS Polri. Tidak 
perlu ahli forensik untuk mengatakan bahwa pada 
jenazah tersebut terdapat bekas siksaan sebelum 
meninggal
30 b Laporan tentang keterangan ahli balistik dari Pindad 
disampaikan satu halaman penuh oleh Komnas 
HAM di halaman 37. Padahal sebetulnya esensinya 
hanya satu saja yaitu menentukan bahwa proyektil 
yang dikatakan oleh Komnas HAM diketemukannya 
itu adalah berasal dari senjata yang mana, senjata 
yang rakitan atau senjata pabrikan. 
TP3 tidak akan pernah meragukan hasil uji balistik 
ini, yang TP3 pertanyakan adalah siapakah 
pemilik senjata rakitan itu sebenarnya? Bagaimana 
proses ditemukannya barang bukti tersebut? 
Jika Komnas HAM bersedia menggunakan 
kewenangan penyelidikan “pro yustisia” untuk 
menguji kepemilikan senjata rakitan ini, sebetulnya 
dengan mudah bisa diketemukan dengan merunut 
ke belakang. Dimulai, misalnya dari Kapolda Fadil 
Imran sebagai yang terakhir menerima senpi rakitan 
tersebut. Dari Fadil Imran ditanyakan siapa yang 
menyerahkan senpi rakitannya tersebut kepadanya. 
Katakanlah Fadil menyebut yang menyerahkan 
kepadanya adalah “si A”. Pada si “si A” kemudian 
ditanya hal yang sama, maka akan berakhir pada 
sumbernya.

30 c Laporan tentang keterangan ahli psikologi forensik 
disampaikan dalam 2/3 halaman oleh Komnas HAM 
di halaman 38. Ahli menyampaikan kesimpulannya 
bahwa pengawal HRS terkesan ekspresi “heroism atu 
glorifikasi”. Laporan ini memperlihatkan dengan jelas 
keberpihakannya Komnas HAM pada pembunuh 
karena meminta ahli memeriksa rekaman atas orang 
yang telah meninggal. Rekaman yang diperiksa itu 
pun tidak dijelaskan apakah ahli memeriksa seluruh 
rekaman atau hanya potongan atau penggalan dari 
rekaman. 
Sepengetahuan kami (TP3), pekerjaan psikolog 
forensik adalah menganalisis kondisi psikologi 
terdakwa/napi dan membantu menyembuhkan 
kondisi psikologinya. Bukan menilai sifat orang 
yang telah meninggal yang jelas sudah tidak bisa 
lagi disembuhkan. 
TP3 mempertanyakan, mengapa bukan justru 
pembunuhnya yang dianalisis? Mengapa Komnas 
HAM tidak menjadikan para pembunuh yang jelas 
masih hidup untuk diperiksa oleh ahli forensik, untuk 
dinilai apakah betul mereka membunuh karena 
membela diri dari karena nyawanya terancam? 
Apakah betul telah terjadi keadaan yang seimbang 
antara bobot ancaman dengan pembunuhan yang 
dilakukan? Apakah mereka jujur?
31. Di halaman 39 dilaporkan oleh Komnas HAM tentang 
pengintaian yang terjadi pada tanggal 4 Desember 
2020 di Markaz Syariah Mega Mendung dengan 
menggunakan drone yang kemudian para pengintai ditangkap oleh laskar FPI. Secara lebih lengkap 
penangkapan pengintai di Megamendung versi FPI 
dilaporkan di halaman 20 dan 21. TP3 bertemu dengan 
para saksi yang menyaksikan penangkapan oleh laskar 
FPI di Markaz Syariah Mega Mendung. Selanjutnya TP3 
memberi komentar sebagai berikut; 
31 a Jika kita bandingkan laporan versi FPI atau 
pengawal HRS yang selamat (halaman 20-21) 
dengan laporan versi Komnas HAM (halaman 39) 
terdapat perbedaan prinsip. Pada versi Komnas 
HAM disebutkan tiga orang yang ditangkap yang 
masing-masing berinisial AH, II dan DW, terdapat 
kartu anggota salah satu “institusi negara”. Padahal 
pada versi FPI dengan jelas menyebutkan bahwa 
kartu anggota tersebut menyebutkan Kartu Tanda 
Anggota BIN atas nama AA. 
31 b Pada BAB II Buku ini dengan jelas menyebutkan 
dengan disertai foto atas barang bukti (BB) yang 
diperoleh pada 3 orang pengintai. Meskipun 
terdapat berbagai tanda pengenal, namun nama￾nama para pengintai tersebut identik dengan nama 
yang ada pada Kartu Tanda Anggota BIN, Kartu 
Tanda Anggota TNI, Kartu SIM A, KTP, dan Sim C 
yang ditemukan.31 c Laporan Komnas HAM di halaman 39 mengatakan 
bahwa Kartu Tanda Anggota (BIN) yang ditemukan 
hanya ada satu dari 3 pengintai. Kita lihat kembali di 
Bab II dan Lampiran Buku ini, barang bukti berupa 
Kartu Tanda Anggota (KTA) BIN yang ditemukan ada 
3 (tiga). Semua KTA BIN terdapat nama jelas yakni 
Drs. Bambang Sunarwibowo,M Hum, Komjen Polisi, 
sebagai pejabat penerbit KTA tersebut. Dari 3 (tiga) 
KTA BIN tersebut diketahui bahwa masing-masing 
pengintai mempunyai pangkat/golongan serta unit 
keanggotaan sebagai berikut; 
- Penata Muda, III/a, Agen Pertama Binda DKI 
Jakarta
- Serma, Anggota Binda DKI
- Penata Muda III/a, Anggota Binda Jateng 
31 d Dari ketiga pengintai yang ditangkap juga diperoleh 
bukti tertulis berupa laporan secara periodik, rutin, 
terstruktur kepada Deputi II BIN. Atas dasar laporan￾laporan tertulis ini diketahui bahwa nama operasi 
intelijen ini adalah DELIMA. Salah satu dari laporan 
tersebut berbunyi sebagai berikut;
“ Melakukan penggalangan terhadap Ormas Islam, 
Tomas, Toga, dan elemen lainnya dalam rangka 
meredusir dukungan terhadap Mohammad Rizieq 
Shihab dan pok pendukungnya.”
Dari perangkat mereka juga diketahui adanya grup 
Kujang, salah seorang anggota grup yang tercatat 
bernama Pak Andre Dosen Analis mengajukan 
saran. If possible, a pattern of sabotage of access to logistics 
that is not permanent road can be considered ”
“This suggestion needs careful consideration by 
brother Hadi “
31 e Sehubungan dengan penangkapan 3 orang peng￾intai tersebut, Deputi VII Badan Intelijen Negara 
(BIN) Wawan Hari Purwanto membantah ada ang￾gota BIN yang ditangkap FPI, dan mengatakannya 
sebagai hoaks, serta menambahkan bahwa yang di￾tangkap FPI tersebut adalah BIN Gadungan dan ba￾hwa KTA (Kartu Tanda Anggota) BIN tersebut palsu. 
(Kompas.com.21 Desember 2020, 8:12 WIB)
https://nasional.kompas.com/
image/2020/12/21/08120311/bin-bantah￾anggotanya-ditangkap-fpi?page=1
Ada dua hal yang perlu ditanggapi oleh TP3 
sehubungan dengan bantahan dari Deputi VII BIN. 
Pertama; jika betul tiga orang yang ditangkap oleh 
FPI tersebut adalah gadungan seharusnya BIN 
mengadukannya ke polisi untuk diproses pidana. 
Kedua; jika KTA BIN yang diperoleh FPI dari ketiga 
pengintai adalah palsu, silakan BIN jelaskan KTA 
BIN yang asli yang bagaimana, kapan dibuatnya, 
dan siapa yang mengeluarkannya? 
31 f Di halaman 39 Komnas HAM sendiri sudah mengakui 
bahwa ketiga pengintai tersebut adalah institusi 
negara. Pengakuan ini memang seharusnya, karena 
Komnas HAM tidak dapat mengelak dari kenyataanbahwa selain KTA BIN, terdapat pula bukti lain 
seperti Kartu Tanda Prajurit TNI, KTP dan SIM. Artinya 
fakta bahwa mereka bertiga yang ditangkap adalah 
petugas negara tidak dapat disangkal oleh Komnas 
HAM sebagaimana terbukti dari pernyataannya 
di halaman 68 pada butir 3. Pada poin ini Komnas 
HAM menggunakan istilah “kesatuan lain” dengan 
mengatakan “3 orang melakukan pembuntutan 
diduga merupakan anggota dari kesatuan lain” . 
Istilah yang berbeda namun maksudnya sama 
adalah “pihak lain” di luar kepolisian (halaman 68 
butir e). 
Dengan demikian, sudah menjadi semakin jelas 
terdapat aparat negara dalam pembuntutan 
atas rombongan HRS sejak dari Sentul, jalan Toll 
Cikampek hingga terbunuhnya enam pengawal 
HRS. Tertangkapnya 3 anggota BIN tersebut 
merupakan bagian dari rencana besar atau operasi 
intelijen berskala besar untuk menghabisi HRS, 
yang dalam kasus ini pembunuhan atas enam 
orang pengawal HRS sesungguhnya hanyalah 
sasaran antara. Semua ini menggambarkan adanya 
koordinasi yang terstruktur, garis komando yang 
jelas, dan perencanaan yang baik, yang dijalankan 
dengan mengikuti suatu sistematika tertentu. 
32. Di halaman 47 paragraf 4, berdasarkan cerita ini dapat 
kita ketahui bahwa FAS (22) dan AO (33) meninggal 
dibunuh oleh penguntit ketika mobil Chevrolet Spin 
sedang melaju, FAS ketika itu duduk di sisi kiri (bagian
tengah mobil) dan AO duduk di depan sisi kiri. Hasil 
autopsi menyatakan bahwa, antara lain, baik FAS dan 
AO