Rabu, 14 Juni 2023
di negara kita, yaitu Pemilu Presiden-Wakil Presiden
yang dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu Legislatif
(Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota).
Secara umum Pilpres 2019 relatif berjalan dengan aman
dan damai. Berdasarkan pengumuman KPU (Selasa,
21/5/2019), pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin
memenangi kontestasi dengan perolehan 85.607.362
suara (55,5%). Sedangkan pasangan Prabowo Subianto
– Sandiaga Uno memperoleh 68.650 suara (44,4%).
Politisasi SARA dalam Pilkada Jabar
Paling tidak ada lima politisasi SARA yang masuk
ke wilayah Kampung Sawah, baik dalam Pilgub Jabar maupun
Pilwakot Bekasi. Proses masuknya politisasi SARA melalui
saluran media sosial seperti grup Whatsapp yang diikuti
oleh para tokoh agama di Kampung Sawah dan warga
pada umumnya. Politisasi SARA itu tidak berbentuk spanduk
yang dipasang di pinggir-pinggir jalan atau leaflet-leaflet
yang disebar ke pintu-pintu rumah atau dibagikan ke para
pengendara motor atau mobil. Menurut para narasumber,
politisasi SARA seperti itu tidak akan terjadi di Kampung
Sawah. Warga Kampung Sawah sadar betul bahwa politisasi
SARA hanya akan memecah belah warga yang selama ini
telah hidup rukun, damai dan tenang. sebab itu, semua isu
politisasi SARA yang berkembang di Kampung Sawal terjadi
melalui media sosial.
Berikut ini yaitu beberapa isu SARA yang sempat menyebar
di Kampung Sawah.
a. Pencabutan IMB Gereja
Pendirian bangunan rumah ibadah, khususnya
gereja di Bekasi memicu persoalan. Pembangunan
lima gereja yang sebelumnya ditolak oleh sebagian
warga, yakni Gereja Katolik Santa Clara Bekasi
Utara, Gereja Protestan Galilea, Gereja HKBP Jati
Murni, Gereja Protestan Bekasi Timur, dan Gereja
Stanis Laos di Kranggan telah memperoleh izin
untuk dibangun.
Rahmat Effendi yang juga menjadi calon
walikota untuk periode berikutnya diminta untuk
membatalkan atau mencabut izin pendirian
gereja-gereja ini oleh sebagian warga.
Namun, ia bersikeras tidak akan mencabut IMB
ini kecuali kalau sudah ada ketetapan
hukum. Kondisi ini memunculkan isu bahwa kalau
pasangan calon nomor dua (Nur Supriyanto,
MM dan Adhi Firdaus Saady) menang maka
akan ada pencabutan IMB gereja-gereja Itu. Hal
ini diisukan bahkan telah menjadi kesepakatan
antara pasangan calon nomor urut dua dengan
organisasi konservatif.
Menurut Eko Praptanto, beredar sebuah
notulensi, yang belum diverifikasi apakah itu
hoaks atau tidak dan juga tidak ada klarifikasi
bahwa itu hoaks atau bukan. Isu ini beredar
jauh sebelum isu-isu SARA lainnya beredar.
Isinya ada pertemuan antara calon nomor urut
dua dengan beberapa kelompok konservatif, di
antaranya yaitu FPI. Kalau mereka menang
akan menyelidiki lagi izin-izin gereja yang sudah
diterbitkan oleh petahana. Beredar isu sudah
ada sekian ribu gereja yang sudah mendapat izin
dari petahana. Pihak FKUB membantah, tidak
mungkin hal itu terjadi sebab prosesnya sangat-
sangat tidak mudah. Selama pemerintahan
petahana hanya ada dua gereja Katolik dan tiga
Protestan yang memperoleh izin.
b. Ikrar Perjuangan Santra Klara
Ikrar Perjuangan Santra Klara (catatan:
penulisan yang benar yaitu Santa Clara) ini
mengatasnamakan gereja-gereja di Bekasi. Ikrar
ini sebagai bentuk pernyataan sikap gereja-
gereja di Bekasi dalam menghadapi Pemilihan
Walikota Bekasi. Ikrar ini dikeluarkan pada
Mei 2018 yang berisi lima hal. Salah satu isinya
yaitu menyerukan umat Kristiani untuk memilih
pasangan nomor satu, yaitu Rahmat Efendi dan
Tri Adhianto. Dengan adanya ikrar ini, harapannya
terbangun opini bahwa pasangan nomor satu
didukung oleh umat Kristiani.
Menurut Eko Praptanto, selebaran ini yang
pertama di Pilwalkot Bekasi 2018. Menurutnya,
selebaran ini yaitu satu dari tiga selebaran
yang sangat berbahaya. sebab umat Islam
bisa tidak memilih pasangan nomor satu atau
petahana sebab petahana didukung oleh Gereja.
Menurut Mathius, menyikapi selebaran ini, para
tokoh agama Kristiani tidak bisa memutuskan
bahwa berita itu hoaks atau bukan. Keputusan
itu diserahkan kepada Dekenat. Sementara itu,
FKUB Kota Bekasi berinisitaif mengumpulkan
para pendeta dan pastur se-Kota Bekasi untuk
bermusyawarah mengenai selebaran ini .
Hasilnya yaitu bahwa selebaran itu palsu atau
hoaks.
Pada 25 Mei 2018, Keuskupan Agung Jakarta
melalui akun Fanpage Facebooknya bertindak
cepat dengan mengklarifikasi bahwa selebaran
itu yaitu hoaks dengan mengunggah
selebaran itu dan menuliskannya bahwa itu
hoaks. Cara ini cukup memperoleh respons dari
para pengikut fanpage ini dengan banyaknya
yang membagikan (share) status ini.
c. Perang Salib
Salah satu isu SARA yang cukup
menggemparkan Kota Bekasi dan menjadi viral
di media sosial yaitu isu ajakan Perang Salib.
Ajakan Perang Salib itu berbentuk surat kaleng,
yang ditujukan kepada ulama, ustadz, dan habib
di Kota Bekasi.
Selebaran itu berisi 5 butir dukungan kepada
pasangan calon nomor urut satu, yaitu Rahmat
Effendi dan Tri Adhianto. Kelompok yang
membuat selebaran itu merasa ada gerakan
penyebaran kebencian terhadap pasangan
petahana secara masif yang dilakukan oleh
ulama, ustadz, dan habib. Dukungan kelompok
ini dilakukan sebab selama ini pasangan calon
nomor urut satu dinilai dekat dengan kalangan
Kristiani dan cenderung membela kepentingan
umat Kristen Kota Bekasi. Menurut mereka, bukti
nyata kedekatan petahana dengan kelompok
Kristiani ini yaitu dengan diizinkannya
pembangunan sejumlah gereja di Bekasi, salah
satunya yaitu Gereja Santa Clara.
Dengan dalih itulah, kelompok ini akan
mendukung dan membela mati-matian
pasangan petahana dan bahkan mereka siap
menjadi tameng dari serangan kelompok yang
menyudutkan dan mengucilkan petahana dan
siap menggelorakan Perang Salib.
Seperti yang diungkapkan oleh Eko Praptanto,
salah satu anggota FKUB (Forum Kerukunan
Umat Beragama) Kota Bekasi dari perwakilan
umat Katolik yang tinggal di Kampung Sawah,
informasi itu tidak diterima mentah-mentah tapi
dikomunikasikan dan dimusyawarahkan dengan
para pendeta dan pastur atau para pemuka
agama Nasrani se-Bekasi. Hasilnya yaitu bahwa
selebaran itu palsu atau hoaks. Kemudian mereka
melakukan konferensi pers menyampaikan hasil
musyawarahnya itu kepada media. Seperti itulah
mereka merespons setiap ada selebaran yang
beredar di media sosial.
d. Janji Membangun 500 Gereja
Isu SARA lainnnya yang beredar di Kampung
Sawah yaitu selebaran Perjanjian Bersama
antara pendeta dan Petahana. Perjanjian ini
ditandatangani oleh Walikota Bekasi, Rahmat
Effendi dengan tiga pendeta dan satu romo
(pemuka agama Katolik).
Isi perjanjian ini yaitu kesepakatan saling
menguntungkan antara Walikota Bekasi Rahmat
Effendi juga sebagai pasangan calon walikota
dengan kalangan Kristen-Protestan. Petahana
menjanjikan akan membangun gereja secara
bertahap selama lima tahun sebanyak 500
gereja. Imbalannya, kelompok Kristen-Protestan
akan mendukung dan memberikan suara kepada
pasangan Rahmat Effendi-Tri Adhianto. Surat
perjanjian ini ditandatangani pada 25 Desember
2018.
Setelah ditelusuri, surat ini yaitu palsu atau
hoaks. Menurut Jerry, pengurus PGI, yang
dikonfirmasi CNN (25/6) bahwa surat perjanjian
itu palsu. "Jadi saya konfirmasikan bahwa surat
perjanjian itu palsu. Dan kami tidak tahu siapa
yang membuatnya."
Pernyataan penyangkalan juga disampaikan oleh
Ust. H. Nias Imran. Menurutnya selebaran itu
bentuk provokasi saja dan secara riil tidak ada.
“Ada informasi mengenai masalah adanya
pembangunan gereja. Itu sebuah provokasi
aja. Secara informasi ril tidak mungkin. Untuk
Walikota ada. Isu itu dikembangkan. Masuk
Kampung Sawah Pondok Melati. Bentuk biasa,
SMS, WA, melalui media sosial. Tetapi secara
riil kebenaran itu tidak sesuai, tidak ada. Jadi
informasi itu fiktif. Gak sesuai dengan adanya.”
e. Piagam Al-Azhar
Selain isu-isu di atas, ada juga dukungan kepada
salah satu pasangan calon dengan memakai
isu SARA. Mereka menamakannya dengan
Piagam Al-Azhar. Piagam ini mengklaim didukung
oleh para ulama, habaib, ustadz, dan para dai se-
Bekasi.
Salah satu isinya yaitu himbauan kepada
umat Islam Bekasi untuk memilih pasangan Nur
Supriyanto-Adhy Firdaus sebagai Walikota dan
Wakil untuk Pilkada Kota Bekasi dan Sudrajat-
Ahmad Syaikhu sebagai Gubernur dan Wakil
untuk Pilkada Jawa Barat periode 2018-2023.
Piagam Al-Azhar juga diberi oleh para
penggagasnya kepada pasangan Sudrajat-
Ahmad Syaikhu sebagai calon Gubernur dan
Wakil untuk Pilkada Jawa Barat sebagai bentuk
dukungan. Selebaran Piagam Al-Azhar diakui oleh
narasumber telah masuk ke wilayah Kampung
Sawah melalui grup WA.
Politisasi SARA dalam Pilpres 2019
Politisasi SARA juga terjadi dalam pemilihan presiden 2019.
Beberapa isu yang muncul di Kampung Sawah yaitu :
a. Kriminalisasi Ulama
Isu kriminalisasi ulama juga berhembus cukup
kencang di Kampung Sawah. Namun, berbeda
dengan politisasi SARA dalam Pilkada 2018, isu
ini tidak dibungkus dalam selebaran, namun hanya
muncul dalam grup-grup media sosial yang diikuti
oleh tokoh maupun warga Kampung Sawah.
Isu kriminalisasi ulama mulai bergulir saat Habib
Rizieq Shihab (HRS) ditetapkan sebagai tersangka
29 Mei 2017. Hal ini bermula dari tangkapan layar
(screenshot) chat antara HRS dan Firza yang viral
di media sosial 29 Januari 2017. Dari tangkapan
layar, menurut penelusuran tempo.co, obrolan
berbasis aplikasi WhatsApp itu diduga dilakukan
keduanya itu terjadi pada Agustus 2016.
Tidak hanya muncul pada saat kampanye,
isu kriminalisasi ulama terus dihembuskan
hingga selesai pemilu. Persaudaraan Alumni
(PA) 212 kembali menggelar Ijtima Ulama jilid
IV. Pertemuan ini dilaksanakan di Hotel Lorin,
Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Senin (5/8/2019).
Berbeda dengan pertemuan terdahulu, Ijtima
Ulama IV tidak mengundang tokoh dari partai
koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga
Uno. Ada delapan poin yang diputuskan dalam
pertemuan ini, salah satunya stop kriminalisasi
ulama (https://katadata.co.id/berita/2019/08/06/
beda-tokoh-dan-topik-bahasan-dalam-ijtima-
ulama-jilid-i-hingga-iv).
b. Kampanye Antek Asing dan Aseng
Dalam Pilpres 2019, kampanye antek asing dan
aseng juga bertebaran. Isu ini terutama ditujukan
untuk menggembosi pasangan Jokowi-Ma’ruf
Amin. Isu ini juga muncul di Kampung Sawah.
Sebagaimana isu politisasi SARA lainnya, isu ini
berkembang melalui media sosial yang diikuti
oleh warga Kampung Sawah. Namun
warga Kampung Sawah sepertinya sudah tidak
terlalu terpengaruh.
Kampanye antek asing dan aseng terutama
ditujukan kepada pasangan Joko Widodo – Ma’ruf
Amin dalam pilpres 2019. Kampanye antek
asing dan aseng ini sudah muncul dalam Pilpres
2014, di mana Joko Widodo juga menjaditarget
serangannya. Isu ini terutama muncul dalam
bentuk Tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014.
c. Islam Sedang Dilumpuhkan
Isu lain yang berkembang di Kampung Sawah
yaitu bahwa ada usaha sistematis untuk
melumpuhkan umat Islam dan sebab itu umat
Islam wajib memilih Prabowo sebab Prabowo
didukung oleh para ulama. Sebagaimana isu
lainnya, isu ini berkembang dalam media sosial.
Ada semacam teori konspirasi bahwa kesadaran
kolektif umat Islam ini dianggap sebagai ancaman
yang harus dibendung. Munculnya Prabowo-
Sandi sebagai calon presiden-wakil presiden,
yang diusung oleh gabungan dari beberapa
partai politik, dimanfaatkan sebagai kanal untuk
menyalurkan suara atau aspirasi umat Islam.
Berbagai kegiatan keagamaan pun
diselenggarakan untuk mendukung Prabowo.
Gerakan alumni 212 menjadi motornya untuk
melawan kekuatan yang dianggap mau
melumpuhkan Islam. Isu ini berkembang di
Kampung Sawah dalam Pilpres 2019. Sebagian
lewat pembicaraan bisik-bisik sebab memang
topiknya sensitif, namun sebagian lain melalui
media sosial.
d. Pertarungan antara Partai Setan melawan
Partai Allah
Dalam Pilpres 2019, isu pertarungan antara
Partai Setan dan Partai Allah juga merebak di
Kampung Sawah. Isu ini menyebar melalui grup-
grup media sosial. Namun sebagian menganggap
isu ini sebagai lelucon politik, namun sebagian lain
menganggap serius. Yang menganggap serius
terutama kelompok-kelompok yang menganggap
Islam sedang dikepung oleh kekuatan-kekuatan
sekuler untuk dihancurkan di negara kita.
Istilah ini pertama disampaikan oleh Ketua
Penasihat Persaudaraan Alumni 212 Amien Rais
dalam ceramah Sholat Shubuh di Masjid Masjid
Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,
Jumat (13/4/2018). Amien Rais mendikotomikan
partai-partai politik di negara kita menjadi dua
kutub, yakni partai setan dan partai Allah.
Amien Rais secara eksplisit menyebutkan partai
Allah yang dimaksud itu yaitu PAN, PKS, dan
Gerindra. Partai-partai ini yaitu partai pembela
agama Allah, Hizbullah. Hizbullah diartikan
sebagai golongan Allah. Maka yang dimaksud
partai Allah itu yaitu partai golongan Allah, yang
secara eksplisit disebutkan Amien. Maka secara
tidak langsung, yang tidak disebutkan Amien di
sini masuk dalam partai-partai di luar partai Allah.
Gabungan partai di luar partai Allah ini kemudian
disebut sebagai partai setan.
Pola Penyebaran Politisasi SARA
Dalam Pigub Jabar maupun Pilwalkot Bekasi, pola
penyebaran isu SARA melalui media sosial seperti grup-grup
whatsapp (WA), seperti grup WA tokoh agama, DKM, dan
majelis keagamaan. Pada akhirnya isu ini masuk juga ke
grup WA FKUB sebagai bentuk laporan bahwa ada informasi
seperti ini di warga.
Politisasi SARA juga berkembang dalam Pilpres 2019.
Meskipun tidak semassif Pilgub dan Pilwalkot Bekasi, pola
penyebarannya relatif sama, yakni melalui media sosial berupa
grup-grup whatsapp. Mungkin hal ini dianggap oleh mereka,
penyebar isu SARA, sebagai cara yang paling efektif dan
efesien, bisa langsung mencapai sasaran dengan biaya yang
sangat murah. Sekali pegang HP ratusan bahkan ribuan orang
bisa langsung menerima pesan isu SARA yang dibuat.
warga tentu saja memiliki cara tersendiri dalam
merespons isu politisasi SARA. Namun, yang terjadi di
Kampung Sawah menunjukkan kecenderungan yang agak
berbeda dengan warga secara umum. Secara lebih rinci,
sikap warga terhadap isu politisasi SARA terbagi dalam
empat hal.
1. Berhenti pada dirinya sendiri
Ketika warga Kampung Sawah menerima
informasi mengenai isu-isu SARA terkait pilkada,
mereka sepertinya sadar bahwa itu hanya persoalan
politik. sebab itu informasi mengenai politisasi SARA
hanya berhenti pada dirinya sendiri. warga
tidak merespons hal ini dan tidak menyebarkan
sebab bisa mengancam hubungan persaudaraan dan
kerukunan di warga.
Kampung Sawah memiliki pohon keluarga bahwa
pohon ini diartikan sebagai berbagai macam
agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan
Budha sehingga dalam satu pohon ini menjadi
kesatuan warga di Kampung Sawah. Alhasil isu
SARA yang masuk di wilayah Kampung Sawah, menurut
tokoh agama Katholik Mathius Nalih, tidak mempan di
warga.
Mereka sadar ada isu SARA di Kampung Sawah
dan sebab itu ada usaha -usaha penguatan di
Kampung Sawah sebagai wilayah toleran dan sebagai
ikon kebhinekaan terus dilakukan. Upaya-usaha
ini dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari
warga, pemerintah, dan lembaga-lembaga
swadaya warga. Di antara usaha yang dilakukan
yaitu dengan membangun kesadaran bersama akan
pentingnya kebersamaan antara umat beragama di
Kampung sawah. Selain itu, menurut KH Rahmadin
Afif, membangun kesadaran bersama akan tantangan
perubahan yang sedang terjadi di Kampung Sawah yang
berpotensi menggerus kebersamaan dan toleransi yang
sudah berjalan dengan baik.
2. Klarifikasi
Ketika ada isu SARA, sebagian warga memilih
untuk mencari tahu ke sumber-sumber terkait, terutama
ke tokoh-tokoh agama atau tokoh warga.
Pihak gereja, misalnya, berkomunikasi dengan pihak
Dekanat mendiskusikan terkait isu SARA yang sedang
berkembang di Kampung Sawah. Bahwa ada beberapa
isu SARA yang sedang berkembang di Kampung Sawah,
terutama bagi umat Kristiani.
Pihak Gereja berkomunikasi dan menyerahkan
isu ini kepada Dekanat. Setelah isu ini
disampaikan ke Dekanat, pihak Dekanat kemudian
melakukan klarifikasi ke beberapa pihak terkait untuk
mencari tahu kebenarannya. Hasilnya dilaporkan kepada
Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi bahwa
ada isu hoaks yang berkembang pada saat Pilkada Kota
Bekasi. Untuk mengatasi isu ini Forum Kerukunan
Umat Beragama memfasilitasi pihak Dekanat dan
dihadiri pemuka agama lainnya untuk konferensi press
bahwa Gereja tidak menyebarkan isu SARA dalam
Pilkada Kota Bekasi 2018. Setelah memperoleh hasil
dari konferensi press yang dilakukan Dekanat dan
Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi, pihak
Gereja tidak melakukan tindakan terhadap penyebar
isu ini dan tidak disampaikan kepada warga
agar warga tidak terpengaruh dengan adanya isu
SARA ini . Isu SARA tidak dilaporkan kepada pihak
kepolisian dan Pengawas Pemilu setempat sebab isu
yang berkaitan dengan gereja jika dapat diselesaikan
oleh pengurus Dekanat, maka penyelesaiannya cukup di
tingkat internal. Pimpinan Dekanat (1)pun menghimbau
1 Dekanat yaitu suatu himpunan gereja-gereja dalam Gereja Katolik.
Pimpinan Dekanat yaitu Pastor yang membawahi 9 gereja di Kota Bekasi.
kepada para pemimpin gereja agar tidak merespons
isu ini .
3. Melokalisir isu
Isu-isu SARA yang masuk melalui grup-grup Whatsapp
membuat para pemimpin agama yang ada di Kampung
Sawah berusaha sekuat tenaga jangan sampai isu
ini menyebar dan berkembang di warga.
Salah satu cara yang dilakukan oleh para tokoh agama
yaitu dengan menghentikan laju isu itu hanya di
komunitas mereka masing masing atau istilah Ustadz
Nur Ali melokalisir isu SARA di komunitas masing-
masing. Bahkan menurut H. Nias Imran, Sekretaris
MUI Pondok Melati, saat ada isu masuk, pengurus
MUI akan membicarakan isu ini dan mengecek
kebenarannya. Jika isu itu tidak benar, palsu, atau
hoaks; maka isu itu ditutup, artinya tidak disebarkan dan
dibicarakan lagi.
Hal senada juga dilakukan oleh para pemimpin
umat Kristiani. Ketika mereka memperoleh
informasi yang tidak jelas kebenaranya, mereka akan
menginformasikannya kepada struktur gereja di
atasnya atau seperti disampaikan Matheus Nalih, pihak
pimpinan agama Katolik menyerahkan kepada Dekanat
yang berlokasi di Kota Bekasi. Jika menurut keputusan
Dekanat informasi itu palsu atau hoaks, maka mereka
akan menutupnya, tidak membicarakan isu itu lagi.
Dengan melokalisir isu SARA hanya pada komunitas
tertentu, warga umum terhindar dari berita-berita
yang tidak benar atau palsu.
4. Tokoh warga melakukan edukasi
Menghadapi gelombang isu SARA dan hoaks di
Kampung Sawah, para tokoh agama tidak berpangku
tangan. Mereka sibuk menangkis dan memperkuat
warga Kampung Sawah dengan salah satunya
memberikan pendidikan politik kepada mereka melalui
tempat-tempat ibadah, seperti masjid, gereja, dan
sebagainya.
Seperti yang dilakukan Matheus Nalih di Gereja Servas.
Ia memberikan informasi kepada jamaahnya bahwa
gereja tidak berpolitik praktis dan oleh sebab nya
tidak mendukung salah satu pasangan calon secara
kelembagaan. Yang disampaikannya yaitu silakan
memilih sesuai dengan hati nuraninya masing-masing
dengan mempertimbangkan track record dan visi-misi
dari calon ini .
Proses pendidikan politik juga dilakukan oleh KH.
Rahmaddin, sesepuh Pesantren YASFI dan tokoh
Kampung Sawah, kepada para tokoh agama. Ia mengajak
para tokoh agama agar jangan sampai menyampaikan
dakwahnya menyinggung persoalan SARA. Ia sadar
bahwa Kampung Sawah sejak dari nenek moyangnya
sudah beragam keyakinan dan agamanya. Bahkan
keberagaman itu tidak tidak hanya di warga, namun
juga di dalam keluarga. Maka tidak mengherankan kalau
di Kampung Sawah dalam satu keluarga terdiri atas
beberapa penganut agama. Misalkan, ayah beragama
Kristen, ibu Islam, dan anaknya ada yang Islam dan
ada yang Kristen. Menurut Miharja Rikin, di Kampung
Sawah memang tidak aneh ada perkawinan yang beda
agama.
Dampak politisasi SARA bagi warga secara
umum sangat berbahaya. warga tidak hanya terbelah,
namun juga mudah terjebak dalam politik kebencian,
permusuhan, dan konflik. Hiruk pikuk Pilkada DKI yaitu
salah satu contoh paling menggiriskan. Persaingan yang begitu
panas tidak hanya di tingkat elite. Di tingkat akar rumput
pun terjadi radikalisasi pendukung yang satu sama lain saling
menafikan. Tatanan sosial tidak hanya retak, warga pun
terbelah.
Temuan lapangan menunjukkan gejala yang
berbeda dari warga di tempat-tempat lain. Politisasi
SARA yang berkembang di Kampung Sawah nyaris tidak
punya pengaruh yang menonjol . Bahkan bisa disebutkan
bahwa politisasi SARA tidak mempan di Kampung Sawah. Ini
setidaknya terbukti dari beberapa hal berikut ini.1. Hubungan kekerabatan tidak terganggu
Hubungan kekerabatan di Kampung Sawah tidak terganggu
oleh isu SARA. warga tidak terpengaruh dengan adanya
isu ini sebab warga tampaknya sudah cukup dewasa
dan sudah terbiasa hidup rukun seperti biasanya. warga
Kampung Sawah, menurut Upallananda, tokoh agama Budha,
memiliki rasa persaudaraan yang kuat dan toleransi antara satu
sama lain dan terjalin sejak zaman nenek moyang keturunan
mereka hingga sekarang di dalam warga. Kerukunan
yang terjalin di warga Kampung Sawah dipicu
dengan adanya interaksi sosial antarwarga maupun
peran budaya lokal Kampung Sawah.
warga asli Kampung Sawah ialah warga asli
Betawi. Secara umum, warga Betawi diidentikkan dengan
Muslim Betawi. Akan namun , di Kampung Sawah warga
asli Betawi tidak hanya beragama Islam, melainkan ada juga
orang Betawi yang beragama Katolik. Menurut KH Rahmadin,
adanya warga Kampung Sawah yaitu sebuah
kedamaian yang menciptakan kerukunan antarumat beragama
di Kampung Sawah maupun Kota Bekasi. Dengan demikian
warga tidak mudah terpengaruh dengan adanya isu SARA
yang tersebar di warga Kampung Sawah.2. Tidak ada pembelahan sosial
Interaksi warga berlangsung seperti biasanya
dan tidak terganggu dengan isu SARA. Mereka mengetahui isu
ini namun tidak untuk diperbincangkan pada warga
lainnya. Isu ini hanya sebagai informasi dan diketahui oleh
kelompok-kelompok tertentu sebab jika itu dibicarakan
akan memicu dampak negatif di warga, sehingga
isu ini diselesaikan oleh pihak yang berwenang, yaitu
Forum Umat Beragama dan Majelis Umat Beragama di
Kampung Sawah.
Pihak kelurahan selalu mengantisipasi bukan hanya
dalam rangka pilkada sebab Kampung Sawah dinobatkan
sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Umat Beragama
dari Kementerian Agama. Kerukunan ini dibangun
melalui komunitas Forum Umat Beragama sebagai wadah
berkumpul tokoh-tokoh agama dan warga agama. Forum
ini menjadi wadah persatuan dan dapat menyelesaikan
isu-isu yang mengandung unsur agama baik pada saat pilkada
maupun bukan pada saat pilkada.3. Aktivitas warga berjalan normal
Isu SARA tidak mengubah aktivitas atau keadaan di
lingkungan warga seperti hari-hari biasanya. sebab ,
menurut Jacob Napiun, isu ini didapat tidak untuk
disebar ke warga Kampung Sawah. Tidak ada perubahan
sikap warga dalam menghadapi isu SARA pada pilkada di
Kampung Sawah.
Tokoh agama selalu menyampaikan bahwa untuk dapat
saling menjaga tradisi keagamaan dan sosial kewargaan,
terutama bagi para pendatang yang datang ke Kampung
Sawah agar dapat menyesuaikan diri pada tradisi keagamaan
dan sosial kewargaan yang ada di lingkungan ini
sehingga tidak saling memancing munculnya ketegangan
yang memicu konflik dan perpecahan pada agama maupun
sosial warga.4. Tidak berpengaruh terhadap pilihan politik warga
Politisasi SARA nyaris tidak berpengaruh terhadap pilihan
politik warga Kampung Sawah. Hal ini terbukti dari hasil
pemilihan Pilgub Jabar yang dimenangi oleh pasangan Ridwan
Kamildan Uu Ruzhanul Ulum. Padahal kedua pasangan ini
mendapat serangan politisasi SARA cukup gencar.
Fenomena Kampung Sawah yang cukup kebal terhadap isu
politisasi SARA yaitu fenomena yang unik. Daya tahan
yang begitu kuat membuat politisasi SARA di Kampung
Sawah seperti tidak mempan. Hasil analisis terhadap
temuan lapangan menunjukkan bahwa daya tahan ini
dipicu oleh beberapa hal, antara lain:1. Kedewasaan politik warga
Isu ini tidak mempengaruhi warga dalam
menentukan hak pilih warga. Walaupun pada
saat itu calon Wali Kota Bekasi keduanya berlatar
belakang Muslim, namun warga yang berbeda
agama dapat memilih dan menilai mana pemimpin
yang baik dan berhak memimpin sebagai Wali Kota
Bekasi lima tahun yang akan datang. Menurut
Kardi, Lurah Jatimelati, warga Kampung Sawah
menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani
mereka tanpa adanya paksaan dari oknum tertentu
atau ajakan dari warga Kampung Sawah.2. Rumah ibadah menjadi wadah sosial warga
Bagi umat beragama, rumah ibadah yaitu
tempat yang sakral bagi pemeluk agama dalam
menjalankan kewajiban beribadah kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan menjadi tempat aktivitas sosial
warga setempat. Rumah ibadah di Kampung
Sawah menjadi wadah sosial tidak hanya bagi
warga pemeluk agama yang bersangkutan,
namun warga secara umum.
Itulah sebabnya, menurut Kyai Rahmadin, isu SARA
tidak berkembang di rumah Ibadah, baik di masjid,
gereja, dan rumah ibadah lainnya sebab rumah ibadah
yaitu sarana untuk berdoa dan mendekatkan
diri pada Tuhannya. Kondisi ini , menurut
Muhammad Ali, Lurah Jatimelati Kampung Sawah,
menjadikan kegiatan politik tidak bisa disampaikan
di rumah ibadah ataupun dalam kegiatan-kegiatan
agama di kediaman warga.
Dalam kegiatan agama, menurut Kyai Rahmadin,
agar tidak disampaikan apa yang dapat menyinggung
perasaan warga. Persaudaraan warga
di Kampung Sawah sudah terbangun sejak dahulu
sehingga tidak pantas jika ada persoalan politik
yang disampaikan di mimbar-mimbar rumah
ibadah, baik Islam maupun Kristen, sebab jika
itu disampaikan akan menimbulkan perpecahan di
lingkungan warga Kampung Sawah. 3. Ormas atau komunitas menjadi payung sosial
Di Kampung Sawah ada forum-forum,
organisasi, atau yang anggotanya terdiri atas
berbagai penganut agama. Beberapa kesepakatan
yang dibuat yaitu misalnya “Nyok lestarikan budaya
Kampung Sawah. Nyok jaga Kampung Sawah tetap
rukun.“ Inilah yang dalam sosiologi disebut sebagai
cross-cutting identities yang kemudian melahirkan
cross-cutting identities l oyalities.
Dari kesadaran ini lahir sejumlah forum,
komunitas, ormas, atau apapun namanya, seperti
komunitas ”ngariung bareng”, MUB (Majelis Umat
Beragama), PUB (Paguyuban Umat Beragama), dan
SKS (Suara Kampung Sawah). SKS ini melahirkan
Radio Kampung Sawah dan buletin Kampung Sawah.
Ada juga Forum Bhinneka Tunggal Ika.
Keberadaan forum dan wadah-wadah yang
mempertemukan warga yang beragam dari segi
agama dan suku itu telah berhasil menjadi payung
sosial bagi usaha memperkuat kohesi sosial yang
telah terbangun cukup lama.4. Media menjadi sarana edukasi
Untuk menunjang penyebaran informasi tentang
persaudaraan dan menjaga kerukunan antar umat
beragama, di Kampung Sawah hadir juga sejumlah
media, baik cetak maupun online. Di antaranya yaitu
ada Radio Suara Kampung Sawah, Buletin Suara
Kampung Sawah, dan website.
Radio SKS ini digagas oleh tiga orang, yaitu Pak Yacob
(Katolik), seorang lagi dari GKJ ( Gereja Kristen Jawa),
dan seorang dari Servas pada tahun 2012. Sempat
vakum, pada 2014 Radio SKS mulai menyiapkan
sumberdaya manusia dengan menyelenggarakan
pelatihan menulis, jurnalisme damai dengan
mengundang para pakar dibidangnya. Pada
Desember 2014, SKS terbentuk kepengurusannya
yang disponsori oleh YAKOMA-PGI (Yayasan
Komunikasi warga -Persekutuan Gereja-Gereja
di negara kita). Menurut Pak Yacob, semua peralatan
penyiaran disumbang dari Yakoma dan bahkan SKS
menjadi kelompok kerja dari Yakoma.
Selain membuat Radio, SKS sempat juga menerbitkan
buletin SKS pada tahun 2014. Buletin dicetak
sebanyak 1.500 eksemplar dan distribusikan ke
masjid-masjid dan gereja-gereja secara gratis. Dalam
perkembangannya, buletin ini tidak bisa terbit lagi
sebab alasan pembiayaan.5. Sistem kekerabatan memperkuat ikatan sosial
warga Kampung Sawah antara keluarga yang
satu dengan yang lain terikat hubungan persaudaraan.
Jika dirunut satu dengan yang lainnya, mereka berasal
dari keturunan yang sama, baik dari pihak kakek
maupun nenek. Istilah mereka “berasal dari satu
pu’un” (berasal dari kata: satu pohon). Agar keturunan
ini tidak bercerai berai, menurut Bossin, salah seorang
tokoh Kampung Sawah, mereka mengikatnya dengan
sistem kekerabatan yang hingga saat ini masih tetap
terjaga. Oleh sebab itu, tidaklah aneh di Kampung
Sawah akan dijumpai dalam satu keluarga atau satu
keturunan memiliki ragam pemeluk agama, baik Islam
maupun Kristen. Mereka tetap bersaudara walaupun
berbeda agama.
Hubungan persaudaraan warga Kampung
Sawah, menurut I nengah Dunia, tokoh agama
Hindu, juga disesuaikan kepada warga baru
yang tinggal di wilayah Kampung Sawah. Mereka
menganggap bahwa siapa pun yang tinggal di wilayah
ini maka harus mengikuti tradisi di warga
Kampung Sawah. Hubungan ini menjadikan
suatu keunikan bagi warga Kampung Sawah
untuk dapat saling menghargai dan hidup rukun bagi
siapa pun yang datang ke Kampung Sawah.
Sistem marga mampu mewujudkan kebersamaan,
silaturahmi tetap terjaga, dan keikatan keluarga agar
tidak bercerai berai diantara mereka. Sistem marga
telah menjadikan kehidupan warga Kampung
Sawah sangat plural, toleran, dan saling menghormati
satu dengan yang lainnya
Ikatan persaudaraan yang sudah terbangun sejak
dahulu di warga Kampung Sawah membuat
sulitnya hal-hal yang bersifat negatif untuk masuk di
wilayah Kampung Sawah. Ikatan persaudaraan sudah
kental di warga Kampung Sawah sehingga
mereka tidak mudah terpengaruh dengan adanya isu
SARA. 6. Budaya Menjadi perekat
Kampung Sawah memiliki sejumlah nilai, norma, dan
budayanya, yang tercermin dalam bahasanya (dialek),
kesenian, pakaian, makanan, dan sistem keyakinan
dalam agama dan lainnya.
Menurut Upallananda Suteja, sistem budaya mengikat
warga untuk saling bersatu, bersama, dan menjaga
agar tidak terjadi politisasi SARA di Kampung Sawah.
Budaya ini menjadikan warga saling
berhubungan, berinteraksi, serta berkomunikasi
antara satu dengan yang lainnya tanpa membedakan
kepentingan dan golongan diantara mereka.
Beberapa kegiatan ini , diantaranya gotong
royong dan sistem keamanan lingkungan.
Hal itu diwujudkan dalam sikap, perilaku, dan tingkah
laku sehari-harinya. Misalnya, arus urbanisasi yang
masuk ke Kota Bekasi, dan kebetulan ke Kampung
Sawah tidak sebanyak wilayah lainnya di Kota Bekasi,
telah menimbulkan kultur yang sangat majemuk.
Akan namun diantara kehidupan itu, orang Kampung
Sawah menanggapinya dengan sikap toleransi yang
tinggi. Mereka sangat lentur dalam menanggapi
berbagai pengaruh dari luar dan dari dalam. Toleransi
itu ditunjukkan dengan sikap yang lebih konkret berupa
keramah-tamahan. Nilai ini sudah terbentuk dalam
pribadi-pribadi orang Kampung Sawah. Keramah-
tamahan terarah kepada siapa saja termasuk kepada
orang lain yang belum dikenalnya.
warga Kampung Sawah juga memiliki budaya
yang masih dipegang dan menjadi tradisi dalam
kehidupannya. Tradisi yang dipegang dari budaya-
budaya yang ada, menurut Jacob Napiun, mampu
menyatukan sikap pandang warga Kampung Sawah.
Mereka tidak tersekat dalam kotak-kotak layaknya
organisasi dan golongan. Tetapi tradisi yang dipegang
mampu mengikat mereka dari sekat-sekat yang ada,
baik sekat etnis, agama, atau kepentingan lainnya.
Bahwa tradisi seperti sedekah bumi, lebaran Betawi,
atau tradisi saat panen tiba telah menjadi acara rutin
dan menjadi tradisi turun-temurun, untuk secara
bersama-sama berkumpul dari berbagai golongan.
Kegiatan ini tidak dimiliki oleh wilayah lain yang ada
di Kota Bekasi.
1. Politisasi SARA dalam Pilkada Jawa Barat dan Pilpres 2019
cukup kencang di Kampung Sawah. Dari sejumlah politisasi
SARA yang beredar di Kampung Sawah, pola penyebarannya
rata-rata dilakukan melalui media sosial.
2. warga Kampung Sawah memiliki daya tahan yang
cukup kuat menghadapi politisasi SARA. Faktor paling kuat
dari daya tahan Kampung Sawah yaitu adanya sistem
kekerabatan yang sekaligus menjadi simpul dari cross-
cutting afilliations dan cross-cutting loyalities. Sistem marga
(kekerabatan) yang mengakar kuat di Kampung Sawah
telah mampu mewujudkan kebersamaan, silaturrahmi
tetap terjaga, dan keikatan keluarga agar tidak bercerai
berai diantara mereka. Sistem marga telah menjadikan
kehidupan warga Kampung Sawah sangat plural,
toleran, dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Bahkan dengan sistem marga seperti itu sistem kekerabatan
warga Kampung Sawah menjadi luas dan kuat dengan
pluralitas keagamaan.
3. warga Kampung Sawah merespons politisasi SARA
dengan cara yang sangat cerdas, mulai dari usaha klarifikasi
ke tokoh-tokoh agama maupun tokoh warga,
melokalisir isu hanya di kalangan komunitas, bahkan hanya
berhenti pada dirinya sendiri, hingga peran tokoh yang
secara aktif melakukan edukasi kepada warga.
Rekomendasi
Berkaca dari pengalaman Kampung Sawah dalam menghadapi
politisasi SARA, beberapa rekomendasi berikut penting
ditindaklanjuti:
1. Bawaslu perlu melakukan replikasi pengalaman Kampung
Sawah ke kawasan-kawasan lain dengan pendekatan dan
kerja sama dengan lurah atau kepala desa sebagai unit
pemerintahan terkecil agar mendorong warga dan
desa/kelurahan sebagai kawasan pengawasan partisipatif.
2. Bawaslu perlu bekerja sama dan berjejaring dengan
kalangan ormas, lembaga-lembaga sosial, kelompok-
kelompok hobi, komunitas-komunitas kecil, dan berbagai
pihak untuk membangun pengawasan partisipatif yang
terpadu.
3. Khusus kepada tokoh agama dan tokoh warga,
khususnya di tingkat desa/kelurahan, Bawaslu perlu
memberikan perhatian khusus sebab peran mereka di
warga sangat penting untuk mendorong warga
terlibat dalam pengawasan partisipatif.
Praktik politik uang (money politics) dalam pemilu kita
selama ini seolah telah menjadi praktik yang lazim terjadi.
Apakah itu terjadi dalam bentuk bagi-bagi uang, pemberian
barang atau lainnya, baik diberi kepada individu maupun
secara kolektif kepada kelompok tertentu. Tidak mudah
memberantasnya,meskipun pada setiap pemilu telah ada
usaha yang dilakukan oleh pengawas pemilu dan stakeholder
lainnya untuk mencegah atau menindaknya.
Banyak faktor yang memicu sulitnya
memberantas praktik politik uang. Salah satunya yaitu
sebab praktik politik uang ini telah menjadi budaya, baik dari
warga pemilih maupun kontestan. Banyak warga pemilih yang
permisif dengan menganggap politik uang sebagai hal yang
lumrah terjadi. Kalau tidak ada praktik semacam ini justru
dianggap aneh dalam pesta demokrasi. Sementara kontestan
pemilu juga meyakini praktik itu menjadi hal biasa sebagai
pelicin, pengikat,atau cara yang instan dalam mendulang
suara. Tidakmengherankan jika ada sebagian kalangan
meyakini praktik politik uang ini salah satu penyumbang bagi
angka partisipasi pemilih. Praktik politik uang diduga kuat
tumbuh subur sebab kuatnya patronase pemerintah desa
yang berafiliasi pada politik uang. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh Bambang Eka Cahya :
“Dalam konteks politik uang, caleg dan partai
politik sering kali yaitu kekuatan supra desa yang
mencari pijakan politik melalui aparatur desa dan
organisasi sosial di desa. Organisasi-organisasi itu
justru melanggengkan praktik patronase politik dan
klientelisme, dan menumbuhkan ketergantungan
terus-menerus pada kekuatan supra desa. Kalaupun
ada kekuatan dari internal desa yang berani melawan
dan menentang praktik politik uang dapat dipastikan
mereka bukan bagian dari oligarkhi desa yang
terlibat dalam praktik fasilitasi dan tidak memiliki
ketergantungan ekonomi secara relatif dengan struktur
sosial desa. Mereka yaitu lapisan kelas menengah
terdidik yang secara ekonomi mandiri.” (1)
Selain itu, sistem pemilu juga turut menyumbang bagi
tumbuh suburnya politik uang. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan salah satu calon anggota DPR RI Dapil DIY
(Bambang Praswanto):
“Salah satu penyebab maraknya praktik politik uang
yaitu berubahnya sistem proporsional tertutup
menjadi proporsional terbuka. Dengan sistem ini ,
caleg berlomba-lomba untuk meraih suara dengan
cara politik uang. Di samping itu, caleg incumbent
yang memakai fasilitas dana aspirasi untuk
kampanye dirasakan oleh caleg lainnya kurang fair.
Dengan kondisi begitu, maka mau tidak mau caleg
lainnya juga terdorong untuk melakukan politik uang.
Meski sebenarnya sikap pragmatis warga juga
memiliki porsi besar dalam mendorong terjadinya
politik uang.” (2)
Berkaca dalam setiap lanskap pemilu di mana politik uang
1 Diambil dari catatan-catatan dari lapangan terkait Desa Anti Politik
Uang yang disampaikan pada acara Rapat Koordinasi & Evaluasi Gerakan
Anti Politik Uang Dalam Pemilu Tahun 2019 yang dilaksanakan pada 21-22
September 2019.
2 Hasil wawancara dengan Bambang Praswanto, Caleg DPR RI Dapil DIY
pada tanggal 6 November 2019.
selalu terjadi, hal ini menjadi ancaman yang sangat serius
bagi usaha membangun kualitas pemilu. Seorang pemimpin
atau wakil rakyat dapat terpilih sangat mungkin bukan sebab
trackrecord atau kualitas visi, misi, dan programnya melainkan
sebab seberapa besar dan masif melakukan politik uang. Jika
ini yang terjadi, ujungnya pemimpin atau wakil rakyat yang
menjabat cenderung kurang amanah dan tergoda melakukan
praktik korupsi untuk mengembalikan modal politik uang
ini .
Kehadiran Bawaslu dalam desain UU 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, diantaranya ditugaskan untuk mencegah
politik uang dan mendorong pengawasan partisipatif.
Tantangan mandat ini yang kemudian mendorong Bawaslu
DIY untuk melakukan terobosan untuk mencegah sekaligus
melawan politik uang,tidak hanya dari atas namun dari bawah.
Caranya yaitu dengan model membangun gerakan sosial
berbasiskan desa/kelurahan yang dinamakan desa anti politik
uang (Desa APU). Gerakan ini mengasumsikan akan melibatkan
makin banyak elemen desa dalam pengawasan partisipatif,
khususnya dalam gerakan anti politik uang.
Desa/kelurahan yang dipilih sebagai basis gerakan ini
didasari beberapa alasan. Pertama, sebab desa/kelurahan
yaitu unit pemerintahan terkecil atau terendah yang
bersentuhan dengan warga. Jika pemerintah desa sebagai
unit pemerintahan terkecil berkomitmen atas politik uang,
asumsinya organ Bawaslu dapat membangun kemitraan
dengan pemerintah desa. Melalui kemitraan ini kinerja
Desa APU dapat dikonsolidasikan dan termonitor. Kedua,
warga desa selama ini dianggap sasaran yang empuk dalam
melancarkan politik uang. Ketiga, tidak jarang tokoh desa,
baik tokoh dalam institusi formal maupun nonformal, menjadi
agen paling bawah bagi berjalannya praktik politik uang. Atas
asumsi dasar ini , Bawaslu DIY membangun keyakinan
bahwa desa yaitu episentrum strategis dalam menolak
dan melawan politik uang.
Fase awal yang dilakukan oleh Bawaslu DIY, selain
pertukaran gagasan dengan Bambang Eka Cahya (mantan
Ketua Bawaslu), yaitu dengan membangun komunikasi
dengan Desa Murtigading, Sanden, Bantul sebagai desa
yang telah mempraktikkan Desa APU dalam Pilkades 2016.
Selanjutnya, dalam menginstalasi program Desa APU ini,
Bawaslu DIY dengan kewenangan yang dimiliki kemudian
mewajibkan kepada Bawaslu Kabupaten/Kota di DIY untuk
mencari mitra 1 (satu) desa/kelurahan untuk menjadi Desa
APU selama perhelatan Pemilu 2019. Desa APU yang dipilih
asumsinya akan dijadikan piloting atau percontohan dalam
pengembangan Desa APU.
Bawaslu DIY juga membuat Buku Panduan Desa APU
yang didalamnya diantaranya memuat pembagian peran
pengawas pemilu serta penentuan kualifikasi desa/kelurahan
yang dapat dipilih menjadi Desa APU. Kualifikasi itu bersifat
alternative, namun akan semakin baik jika semakin banyak
terpenuhi kualifikasi itu. Adapun kualifikasi itu antara lain:
a. Adanya komitmen dari struktur pemerintah
di desa/kelurahan setempat yang mendukung
gerakan APU;
b. Adanya organisasi warga sipil atau
kelas menengah di desa/kelurahan setempat
yang sadar dan mendukung gerakan desa/
kelurahan APU;
c. Track record desa/kelurahan yang mendukung
bagi terbentuknya desa/kelurahan APU;
d. Adanya kemauan dari stakeholders di desa/
kelurahan setempat untuk membangun
kemitraan dengan pengawas pemilu dalam
menolak dan melawan praktik politik uang;
e. Adanya kemauan membangun sistem yang
menjadi konsensus bersama untuk menolak
dan melawan praktik politik uang.
Sebagai sebuah ide gerakan sosial, ternyata akhirnya
Desa APU ini melampaui target awal yang dicanangkan,yakni
sebanyak 5 (lima) Desa APU. Hingga menjelang tahapan
kampanye usai,telah ada 40 Desa APU yang terbentuk
Urgensi dari penelitian ini, diantaranya yaitu : pertama,
untuk mendokumentasikan inovasi pencegahan politik uang
dan pengawasan partisipatif melalui gerakan sosial Desa APU
yang dilakukan di DIY. Kedua, sebagai sebuah pembelajaran
untuk pengembangan bagi Desa APU selanjutnya untuk
penyelenggaraan pilkada atau pemilu selanjutnya. Ketiga,
sebagai sumber inspirasi daerah lain untuk mereplikasi atau
memodifikasi gerakan serupa untuk kegiatan pilkada atau
pemilu selanjutnya.
Penelitian ini untuk melihat sejauhmana pola
perorganisasian gerakan sosial Desa APU yang dilakukan di DIY
dalam konteks Pemilu 2019. Cakupan penelitian ini yaitu
seluruh Desa APU di DIY. Kelemahan penelitian ini, tidak akan
sangat mendalam untuk mengeksplorasi semua Desa APU
mengingat jumlahnya cukup banyak.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualititatif. Metode
penelitian ini yaitu deskriptif-eksplanatif, di mana Peneliti
menjelaskan gerakan sosial Desa APU ini. Wawancara
dilakukan terhadap beberapa aktor kunci untuk
mengkonfimasi lebih jauh terkait kinerja Desa APU tertentu
untuk mengkonfirmasi data yang belum jelas atau yang
dianggap menarik untuk kepentingan pembelajaran (
Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana Gerakan Desa Anti Politik Uang dalam
Pemilu 2019 di DIY?
2. Apa hambatan yang dihadapi dalam membangun
gerakan sosial Desa APU di DIY?
C. KAJIAN TEORI
1. Gerakan Sosial (Social Movement)
Perihal diskursus soal gerakan sosial, tidak ada definisi
tunggal mengenai konsep gerakan sosial sebagai suatu gejala
sosial. Giddens (1993: 642) mendefinisikan gerakan sosial
sebagai suatu usaha kolektif untuk mengejar suatu kepentingan
bersama atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan
kolektif di luar lingkup lembaga yang mapan. Senada dengan
definisi ini , Sydney Tarrow (1998: 4) mendefinisikan
gerakan sosial yaitu tayangan kolektif yang didasarkan pada
tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang
berkelanjutan dengan para elite, penentang, dan pemegang
wewenang.
Tarrow (1998) menempatkan gerakan sosial di dalam
kategori yang lebih umum tentang politik perlawanan
(contentius politics). Politik perlawanan bisa mencakup gerakan
sosial, siklus penentangan, dan revolusi. Politik perlawanan
terjadi saat rakyat biasa sering bergabung dengan para
warga yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk
melawan para elite, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan
lainnya. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang
kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-
simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi
yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya
yaitu gerakan sosial. Masih menurut Sydney Tarrow, konsep
gerakan sosial harus memiliki empat properti dasar
mengganggu, menghalangi, atau membuat ketidakpastian
terhadap aktivitas pihak lain.
Kedua, tujuan bersama (common purpose). Ada banyak
alasan yang bisa dikemukakan tentang mengapa orang
bergabung dalam suatu gerakan sosial, dari sekedar keinginan
nakal, mencemooh otoritas, hingga insting gerombolan yang
tidak jelas tujuannya. Tidak semua konflik semacam itu muncul
dari kepentingan kelas, namun nilai dan kepentingan bersama
dan tumpang-tindih yaitu basis dari tindakan-tindakan
bersama.
Ketiga, solidaritas dan identitas kolektif. Sesuatu yang
menggerakkan secara bersama-sama dari gerakan sosial
yaitu pertimbangan partisipan tentang kepentingan bersama
yang kemudian mengantarai perubahan dari sekadar potensi
gerakan menjadi aksi nyata.
Keempat, memelihara politik perlawanan. Dengan
memelihara aksi kolektif melawan pihak musuh, suatu episode
perlawanan bisa menjadi gerakan sosial. Tujuan kolektif,
identitas bersama, dan tantangan yang dapat diidentifikasi
membantu gerakan untuk memelihara politik perlawanan ini.
Sebaliknya, jika mereka tidak mampu memelihara tantangan
bersama, gerakan mereka akan menguap menjadi semacam
kebencian atau kemarahan individual, atau berubah menjadi
sekte religius, atau mungkin menarik diri ke dalam isolasi.
sebab itu, memelihara aksi kolektif dalam interaksi dengan
pihak lawan yang kuat menandai titik pergeseran di mana
suatu penentangan berubah menjadi suatu gerakan sosial. (4)
2. Politik Uang
Pada awal reformasi, istilah politik uang digambarkan
sebagai : (i) praktik suap di kalangan lembaga legislatif –
dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD;
(ii) pembelian suara dalam kongres partai politik; dan (iii)
penggelapan uang proyek pemerintah atau penerimaan suap
dari pengusaha. Namun demikian, saat ini istilah politik uang
dipakai dalam konteks yang lebih sempit. Sebagaimana
kesimpulan yang disampaikan oleh Edward Aspinal dan Mada
Sukmajati, politik uang digambarkan sebagai praktik yang
merujuk pada distribusi uang –tunai maupun bentuk barang-
dari kandidat kepada pemilih pada saat pemilu. (5)
Lebih lanjut, Aspinal & Sukmajati memfokuskan
definisi politik uang pada konsep patronase dan klientelisme.
Pendefinisian istilah ini sebenarnya didasarkan pada
standar yang ada dalam berbagai studi komparasi tentang
politik elektoral di berbagai negara. Menurutnya, patronase
–merujuk pada Martin Shefter- didefinisikan sebagai
sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk
mendistribusikan sesuai secara individual kepada pemilih, para
pekerja, atau pegiat kampanye, dalam rangka memperoleh
dukungan politik dari mereka. Dengan demikian, disimpulkan
bahwa patronase merujuk pada materi atau keuntungan
lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau
pendukung. (6)
Sedangkan, klientelisme diartikan sebagai karakter
relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung. Pendefinisian
ini salah satunya didasarkan pada pendapat Allen Hicken yang
menjelaskan bahwa klientelisme setidaknya mengandung 3
(tiga) hal, yakni: (i) kontingensi atau timbal balik; pemberian
barang atau jasa dari satu pihak, yaitu respons langsung
terhadap pemberian keuntungan dari pihak lain; (ii) hierarkis;
ada penekanan pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang
antara patron dan klien; (iii) aspek pengulangan; pertukaran
klientelistik berlangsung secara terus-menerus. (7)
Ada banyak variasi bentuk patronase. Hasil
5 Edward Aspinal dan Mada Sukmajati, 2015. Politik Uang di negara kita :
Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta :
6 Berdasarkan pendapat Shefter ini , Aspinal dan Sukmajati selanutnya
menyimpulkan bahwa patronase yaitu pemberian uang tunai, barang,
jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya –seperti pekerjaan atau kontrak proyek-
yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan pada
individu (misalnya amplop berisi uang tunai) dan pada kelompok (misalnya
lapangan sepak bola baru untuk pemuda kampung). Ibid.,hlm, 3.
7 Menurut Hicken, tidak semua patronase didistribusikan dalam relasi yang
benar-benar bersifat klientelistik. Misalnya seorang kandidat memberikan
barang untuk pemilih yang belum pernah dia temui dan yang mungkin tidak
akan pernah dia temui lagi. Relasi semacam ini tidak bisa disebut sebagai
relasi yang berulang sebab relasi ini yaitu relasi tunggal.
eksplorasi (8) yang dilakukan oleh Aspinal menyimpulkan
bahwa bentuk politik patronase terdiri atas: (i) pembelian
suara (vote buying); (ii)pemberian pribadi (individual gifts); (iii)
pelayanan dan aktivitas (service and activities); (iv) barang-
barang kelompok (club goods); (v) proyek ‘gentong babi’ (pork
barrel projects).
Lain halnya dengan Aspinal dan Sukmajati, Muhtadi
berpendapat bahwa menurut Stokes, politik uang ditargetkan
oleh partai politik pada kalangan pendukung lawan yang lemah
iman pilihan politiknya (swing voters). Sedangkan Nitcher
berpandangan sebaliknya, partai politik justru menyasar basis
pemilih mereka sendiri untuk meningkatkan partisipasi dalam
memilih. (9)
Masih menurut Muhtadi, patron-klien yaitu
penyebab utama merebaknya praktik politik uang di negara-
negara berkembang. Studi tentang klientelisme dibagi
menjadi tiga aliran. Pertama,aliran determinis yang pararel
dengan teori modernisasi. Menurut aliran ini, klientelisme
digambarkan sebagai warisan zaman pramodern dalam
relasi sosial politik. Asumsi yang dibangun yaitu patron-
klien dapat diatasi jika negara itu sudah modern –baik
ekonomi maupun politik. (10)Kedua, argumen kebudayaan.
Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya di mana
kelompok yang memiliki keistimewaan tertentu (patrons)
memberikan keuntungan (materi) sebagai imbalan atas
loyalitas pengikutnya (clients). (11)Ketiga, aliran institusionalis.
Aliran ini menekankan pada desain institusi politik yang
berjasa menyebarkan praktik patron-klien, misalnya pemilu
yang kompetitif dan sistem multipartai ditengarai menjadi
penyebab maraknya patronase politik dalam sistem pemilu,
desentralisasi, dan proses pengambilan keputusan.
GERAKAN SOSIAL DESA APU
1. Fase Awal Gerakan
a Kesadaran Kolektif Pemuda
Gerakan Desa Anti Politik Uang (Desa APU)
yaitu bentuk kesadaran kolektif warga desa untuk
berkomitmen menolak praktik politik uang dalam setiap
kontestasi demokrasi. Ada ragam alasan mengapa kesadaran
ini dapat tumbuh bersama meski tertatih pelan. Satu alasan
misalnya, praktik jual beli suara dalam pemilu memiliki dampak
yang sangat buruk bagi pembangunan. Alasannya sederhana,
kontestan pemilu yang melakukan praktik jual-beli suara hanya
akan berorientasi pada pengembalian modal melalui cara-cara
koruptif saat sudah menduduki jabatan yang diembannya.
Paradigma semacam ini bukan hanya disadari oleh segelintir
orang saja. Bahkan sebagian kalangan warga sangat
permisif dengan praktik jual-beli suara. Namun yang menjadi
pertanyaan kemudian yaitu kesadaran macam apa yang
terbangun? Apakah kesadaran untuk menolak atau hanya
sekadar menyadari itu perbuatan buruk lalu membiarkan saja?
Memang sebagian warga negara kita, termasuk
di Yogyakarta masih permisif terhadap praktik politik uang.
Namun dibalik itu, masih ada kesadaran kolektif di tingkat
desa (Murtigading (13)) yang secara tegas menolak dan melawan
politik uang dalam Pemilu 2019. Jika merujuk pada Dhurkeim,
kesadaran kolektif (collective conciusness) ini berada di luar
individu, namun memiliki daya paksa terhadap individu-
individu sebagai bagian dari warga ini .
Kesadaran ini sebetulnya sudah muncul sejak
adanya gelaran Pemilihan Kepala Desa Tahun 2016 di Desa
Murtigading. Pada perhelatan pergantian kepemimpinan
kepala desa, warga Desa Murtigading memiliki komitmen
untuk menolak dan melawan politik uang. Terbukti, kepala
desa terpilih yaitu kontenstan yang tidak melakukan jual-
beli suara dalam Pilkades.
Masih terekam dalam memori Kepala Desa
Murtigading, pada Pilkades Tahun 2016 muncul inisiasi dari
kelompok pemuda yang mengatasnamakan diri sebagai Tim
13 Merupakan salah satu Desa di Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
11 (14)yang melakukan komunikasi kepada masing-masing
calon kepala desa untuk tidak melakukan praktik politik
uang. Tindak lanjut dari komunikasi ini selanjutnya
dituangkan dalam komitmen bersama warga warga
dengan mendeklarasikan diri untuk tidak melakukan praktik
politik uang pada Pilkades Desa Murtigading Tahun 2016.
Secara khusus, dalam kacamata Tim 11, tujuan dari gerakan
ini meliputi 3 (tiga) hal, yakni:
1) Memberikan pendidikan politik kepada
warga terkait Pilkades Murtigading Tahun
2016;
2) Melakukan penyadaran kepada warga
terkait bahaya dari politik uang atau jual-beli
suara yang kemungkinan dilakukan saat Pilkades
di Murtigading;
3) Mengkampanyekan kepada warga bahwa
masih ada sebagian warga yang menginginkan
pemilihan secara jujur, bersih, dan adil.
Selain tujuan ini , gerakan warga tolak
politik uang dalam Pilkades dilakukan melalui kegiatan-
kegiatan, diantaranya :
1) Membentuk Tim 11 sebagai forum warga
yang peduli dalam mengawal Pilkades secara
jujur dan adil;
2) Melaksanakan debat kandidat calon kepala desa
dengan mengundang warga umum untuk
hadir;
3) Mengikat komitmen bersama calon kepala desa
dan warga untuk tidak melakukan politik
uang;
4) Kampanye anti politik uang melalui pembuatan
kaos;
5) Memanfaatkan media sosial sebagai media untuk
menjangkau warga secara cepat dan efektif;
6) Melakukan pemantauan melalui Tim Independen
Pemantau Pilkades Murtigading.
14 Dinamakan Tim 11 sebab berjumlah 11 orang yang berasal dari Pimpinan
Ranting Pemuda Muhammadiyah.
Pada perjalanannya, menurut penuturan Kepala
Desa Murtigading (Drs. Sutrisno), setelah adanya deklarasi
ini bukan berarti tidak ada indikasi politik uang.
Berdasarkan temuan warga, ada salah satu calon kepala
desa –bagian dari dinasti politik kepala desa sebelumnya-
ketahuan melakukan politik uang. Dengan adanya kejadian
ini selanjutnya warga warga melaporkan kepada Tim 11.
Setelah dilakukan klarifikasi, ternyata memang benar terjadi
politik uang oleh salah satu peserta Pilkades. Atas dasar itu,
berdasarkan komitmen yang telah dibangun sebelumnya, Tim
11 mengekspos tindakan politik uang ini di jaringan media
sosial Desa Murtigading. Dengan kejadian ini, warga
Murtigading memberikan sanksi dengan tidak memilihnya.
Dengan kata lain, jumlah uang yang dikeluarkan tidak
sebanding lurus perolehan suara, namun berlaku sebaliknya.
Pada akhirnya, kepala desa terpilih yaitu salah satu peserta
yang tidak melakukan politik uang dalam Pilkades 2016.
Meminjam teori konsensus yang dikembangkan
Emil Dhurkeim, solidaritas yang dibangun oleh warga
Murtigading dalam menolak politik uang itu bersifat mendasar
dibandingkan hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan
rasional (Campbel, 1994:179-180). Hal ini sekurang-
kurangnya disebab kan gerakan ini mengandaikan satu
tingkat konsensus terhadap prinsip moral yang menjadi dasar
dari gerakan ini .
Bak gayung bersambut, kesadaran kolektif yang telah
terbangun dalam sebuah gerakan tolak politik uang Pilkades
2016 ini menjadi perhatian khusus bagi Bawaslu DIY.
Sebagai suatu lembaga yang memiliki tugas mencegah politik
uang dalam Pemilu, Bawaslu DIY seakan menemukan angin
segar untuk berinovasi dalam rangka menjalankan ketugasan
ini .
Pada tataran praktis, kesadaran kolektif warga
Desa Murtigading ini kemudian direplikasi melalui sebuah
Deklarasi Desa Anti Politik Uang pada Pemilu 2019. Secara
singkat, perjalanan menuju deklarasi ini dimulai dengan
adanya komitmen bersama antara Bawaslu DIY beserta
jajaran di bawahnya, UMY, dan Tim 11 yang difasilitasi oleh
Pemerintah Desa Murtigading untuk mendeklarasikan APU.
Bermodal komitmen bersama antara Bawaslu DIY,
Bawaslu Kabupaten Bantul, Panwaslu Kecamatan Sanden,
UMY, Tim 11, Pemerintah Desa Murtigading, LSM/NGO,
ormas, dan seluruh lapisan warga, pada 22 April 2018
Deklarasi Desa Anti Politik Uang dalam Pemilu 2019 sukses
ditunaikan. Selain dihadiri oleh kurang lebih dari 3.000 warga
warga, kegiatan deklarasi ini juga diikuti oleh partai
politik peserta Pemilu 2019.
Dalam kacamata Bambang Eka Cahya (Dosen Fisipol
UMY), gerakan Desa Anti Politik Uang ini memiliki tujuan :
1) Mengembalikan sikap kritis warga terhadap
relasi sosial yang tidak seimbang dan hierakis;
2) Memperkuat kemandirian warga dan
menumbuhkan daya tawar (bargaining position)
warga di hadapan penguasa;
3) Mengembalikan kekuasaan menjadi urusan publik
dimana kekuasaan harus dipertanggungjawabkan
secara akuntabel;
4) Mengembalikan kehidupan politik sebagai
hubungan sosial yang didasarkan saling percaya
(trust) bukan manipulasi transaksional;
5) Menumbuhkan tradisi diskusi, dialog, dan debat
dalam merumuskan kebijakan publik;
6) Menghapus budaya koruptif dan budaya suap
dalam warga.
7) Mendidik penguasa untuk responsif dan tanggap
terhadap persoalan warga.
Meski terbilang sukses, bukan berarti gerakan ini
nir-kendala. Masih dalam kacamata Bambang Eka Cahya,
berdasarkan fakta di lapangan, kendala-kendala dalam
gerakan ini setidaknya terbagi ke dalam tiga isu besar, yakni:
Pertama, kuatnya budaya neopatrimonialisme, dalam politik
patrimonialisme, sang klien (warga) dengan sadar
mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, tersubordinasi
oleh kedigdayaan sang patron yang karismatik. Akibatnya,
pola relasi patron-klien berjalan tak berimbang. Bandul
pendulum lebih banyak bergerak ke arah sang patron
ketimbang sang klien.
Kedua, perlawanan terhadap praktik politik uang
tidak semata persoalan menolak pemberian dalam urusan
pemilu, namun juga persoalan mengubah budaya patronase
politik menjadi budaya yang egaliter. Mereka yang menolak
memiliki risiko tidak ringan, yakni bisa menghadapi
pengucilan, dianggap tidak lazim, atau bahkan dituduh
pengacau.
Ketiga, perubahan budaya ini tidak mungkin dilakukan
dalam waktu sebentar, memerlukan usaha terus-menerus
berkelanjutan dan pada saat yang sama menanamkan nilai-
nilai baru dalam demokrasi, yakni kesetaraan dan solidaritas.
Pasca deklarasi dilakukan, gerakan Desa APUdi desa
Murtigading ini memiliki beragam agenda sebagai wujud dari
implementasi gerakan, diantaranya:
1) Pembentukan Tim Relawan hingga tingkat dusun (18
dusun);
2) Sosialiasi masif kepada warga;
3) Sosialiasi melalui radio komunitas Desa Murtigading;
4) Workshop dan penandatanganan dukungan anti
politik uang dari caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten
khususnya Dapil 5;
5) Pemasangan stiker di setiap rumah penduduk;
6) Pembagian kaos Anti Politik Uang;
7) Pengadaan dan pemasangan spanduk “Desa Anti Politik
Uang” sebanyak 20 buah.
8) Pembuatan naskah Kutbah Anti Politik Uang
Selain melalui kegiatan ini , ada kegiatan khusus
yang dilakukan melalui pintu keagamaan, yaitu melalui khutbah
Jumat yang pada intinya mengajak jamaah untuk menolak
politik uang dalam Pemilu 2019. Penyampaian khutbah ini
dilakukan secara serentak seminggu sebelum hari pemungutan
suara di 23 masjid se-Murtigading dengan memakai
naskah kutbah di atas. apa yang terjadi di warga? Menurut
penuturan Kepala Desa Murtigading, level perubahan yang
terjadi di warga terdiri dari 2 (dua) hal.
“Pertama, mental warga berubah, dari yang
sebelumnya terbuka dan terang-terangan permisif
terhadap politik uang kini menjadi tertutup. Pada
pemilu sebelum-sebelumnya, penawaran politik uang
dari Caleg atau Tim Sukses sangat terbuka dengan
metode pendataan penduduk. Kedua, kuantitas politik
uang menurun, meski masih banyak terjadi. Faktanya,
pasca Pemilu baru diketahui praktik politik uang masih
ditemukan berupa pembagian uang tunai sebesar Rp
100 ribu/orang. Bahkan di Dusun Kurahan II ada
pembagian kambing kepada sekitar 40 kepala keluarga,
setiap 2 kepala keluarga memperoleh 1 ekor kambing
dengan kisaran harga Rp 800 ribu. Namun kejadian
ini luput dari perhatian Pengawas dan Tim Relawan
APU sebab tampaknya pemberian itu telah disiapkan
dengan rapi dan tertutup.”
Untuk mengukur apakah dampak ini cukup atau
tidak sebenarnya ada berbagai ukuran. Mengutip Della Porta
dan Diani (1999:233), hal pertama untuk melihat sejauh mana
dampak yang ditimbulkan oleh gerakan sosial yaitu adanya
perubahan kebijakan yang ditimbulkannya. Bambang Eka
Cahya mengaggap bahwa salah satu kendala Desa APU yaitu
sebagai berikut:
“Desa telah terkooptasi budaya patronase. Kepala
desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase
dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan
kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa,
sebab kepala desa yaitu jembatan yang memfasilitasi
semua kepentingan supradesa di desa.Dalam persoalan
politik uang tidak jarang kepala desa dan perangkat desa
menjadi fasilitator berlangsungnya politik uang di desa.”
Namun fakta di Desa Murigading berkata lain.
Pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa sangat mendukung
gerakan Desa APU ini dengan berbagai ragam cara,
seperti: 1) memfasilitasi pertemuan-pertemuan warga; 2)
mengeluarkan anggaran untuk deklarasi; 3) memfasilitasi
publikasi melalui radio komunitas Desa Murtigading. Artinya,
level perubahan yang timbul dari gerakan APU ini telah ada.
b Jaringan Sosial yang Kuat
Serupa dengan Desa Murtigading, gerakan menolak
politik uang tingkat desa juga dilakukan oleh warga
Desa Sardonoharjo. Sebagaimana Murtigading, kesadaran
kolektif untuk menolak dan melawan politik uang telah ada
sejak penyelenggaraan Pilkades Desa Sardonoharjo. Walhasil,
Kepala Desa yang saat ini menjabat pada periode kedua kalinya
ini tidak melakukan politik uang dalam mengikuti kontestasi
Pilkades Desa Sardonoharjo. Berangkat dari kesadaran kolektif
ini, ide untuk membangun gerakan Desa Anti Politik Uang
dalam Pemilu 2019 mulai terbangun.
Sekadar menyegarkan ingatan publik, salah satu
kunci keberhasilan pengorganisasian suatu gerakan yaitu
adanya modal sosial. Meminjam konsep Nan Lin, modal sosial
terdiri dari 3 (tiga) sumber prinsip, yakni: (i) posisi struktur/aktor
di dalam stuktur hierarki; (ii) lokasi jejaring yang sifatnya
erat atau terbuka; (iii) fungsi dari aksi untuk memelihara
kebersamaan dan kelekatan, soliditas, dan kesejahteraan sosial
bersama. (16)
Pada kapasitas ini, keberhasilan gerakan Desa APU
yang dibangun oleh warga Desa Sardonoharjo
setidaknya ditentukan oleh 3 (tiga) hal, yakni:
Pertama, posisi struktur/aktor gerakan. Kesepahaman
yang terbangun antara tokoh warga (Wasingatu
Zakiyah) dengan Kepala Desa (Harjuno Wiwoho) serta Sekretaris
Desa Sardonoharjo untuk memerangi politik uang dalam
Pemilu 2019 menjadi modal awal gerakan. Implementasi
dari kesepahaman ini kemudian dituangkan dalam suatu
rencana aksi untuk mendeklarasikan diri sebagai Desa APU.
Kedua, lokasi jejaring yang sifatnya erat atau terbuka.
Sebagai sebuah gerakan, sangat mustahil jika tidak ada
keterlibatan berbagai pihak. Dalam hal ini, gerakan Desa
APU Sardonoharjo melibatkan 5 (lima) komponen jaringan,
yaitu: lembaga swadaya warga/NGO, perguruan tinggi,
organisasi warga, kelompok warga strategis, dan
lembaga pemerintah.
1. Lembaga swadaya warga terdiri atas: Aliansi
Perempuan Sleman, Persatuan Perangkat Desa Seluruh
negara kita (PPDI), Ide dan Analitika negara kita (IDEA),
dan Institute Research and Empowerment (IRE).
2. Perguruan tinggi terdiri atas Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan
Pandanaran (STAIS Pandanaran), dan Unversitas Sanata
Dharma.
3. Organisasi warga terdiri atas Muslimat, Aisyah,
Fatayat, dan Nasyiatul Aisyah.
4. Kelompok warga strategis: Indro Suprobo (Dusun
Dayakan), Suwardi (Dusun Candi Winangun), Susi
(Dusun Jetis), dan Wasingatu Zakiyah (Dusun Jetis
Baran)
5. Lembaga pemerintah: Pemerintah Desa Sardonoharjo,
Bawaslu Kabupaten Sleman, dan Bawaslu Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Ketiga, tujuan bersama untuk membangun soliditas
dan kesejahteraan sosial. Komitmen membangun sebuah
gerakan memerangi politik uang ini disadari bersama bahwa
praktik jual-beli suara dalam Pemilu memiliki dampak buruk
bagi pembangunan, khususnya di Desa Sardonoharjo.
Dengan gerakan ini pula warga memiliki harapan
bahwa kontestan Pemilu yang terbiasa bermain politik uang
tidak berani masuk untuk melakukan politik uang di Desa
Sardonoharjo.
Dengan modal 3 (tiga) elemen ini , sebuah
gerakan Desa APU secara simbolis dideklarasikan pada
16 Februari 2019 bertempat di Kantor Pemerintah Desa
Sardonoharjo. Deklarasi ini dihadiri oleh Bawaslu RI (Fritz
Edward Siregar), Bawaslu DIY, Bawaslu Kabupaten Sleman,
perwakilan NGO, tokoh warga, perguruan tinggi,
organisasi warga, dan perwakilan dari partai politik
peserta Pemilu 2019.
Deklarasi bukanlah tujuan akhir dari gerakan ini,
melainkan sebagai batu pijakan bagi agenda-agenda besar
memerangi politik uang. Pada praktiknya, deklarasi dilakukan
untuk mengikat komitmen bersama antara peserta pemilu,
warga pemilih, dan berbagai kalangan untuk bersama-
sama melawan politik uang. Tujuan akhir dari deklarasi yaitu
berkurangnya kuantitas politik uang di Desa Sardonoharjo
dalam Pemilu 2019. Tujuan ini kemudian diejawantahkan
melalui program maupun kegiatan yang secara khusus
meminimalisir praktik politik uang, diantaranya:
1. Penerbitan Peraturan Kepala Desa Sardonoharjo
Nomor 1 Tahun 2019 tentang Desa Anti Politik Uang;
2. Penerbitan Keputusan Kepala Desa Sardonoharjo
Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pembentukan Tim Desa
Anti Politik Uang. Tim Desa APU yang dibentuk mulai
tingkat RT, dukuh, dan desa. Tim ini memiliki tugas
untuk melakukan sosialisasi “tolak politik uang” dalam
setiap forum warga;
3. Sosialiasi “Tolak Politik Uang” pada saat Khutbah
Jumat yang dilakukan secara serentak selama 3 minggu
menjelang pemungutan suara. Sosialisasi ini dilakukan
oleh Forum Kerohanian Islam (Rohis) dengan anggota
sebanyak 50 orang.
4. Sosialisasi “Tamu Jamak” dengan mengundang caleg
untuk sosialisasi program;
5. Workshop Sarasehan Hukum Money Politic;
6. Penempelan stiker “tolak politik uang” di setiap rumah;
7. Sosialisasi “tolak politik uang” melalui Buletin Desa.
Dengan adanya deklarasi dan tindakan menolak
politik uang ini , lalu muncul pertanyaan, apakah gerakan
ini cukup efektif menekan praktik politik uang? Atau
dengan bahasa lain, apakah gerakan ini mampu merubah
paradigma warga terhadap politik uang khususnya di
Desa Sardonoharjo?
Dalam catatan Tim Desa APU yang
disampaikan Sekdes setempat, sebanyak 20% warga
yang memakai hak pilihnya secara terang mendukung
penolakan politik uang. Di samping itu, aksi nyata dari gerakan
ini yaitu adanya forum komunikasi melalui grup media sosial
untuk melaporkan adanya indikasi politik uang kepada Bawaslu
Kabupaten Sleman. Artinya, gerakan Desa APU ini memiliki
dampak positif terhadap kehidupan berdemokrasi, khususnya
di Desa Sardonoharjo. Hingga pasca Pemilu belum didengar
adanya politik uang yang terjadi di Desa Sardonoharjo.
Berkaitan dengan level perubahan, Wasingatu Zakiyah
menyatakan :
“Pada awalnya akan ada politik uang
terselubung melalui bazar yang akan
diselenggarakan salah satu relawan
pasangan capres-cawapres. Namun kegiatan
itu kemudian diketahui oleh warga yang
kemudian dilaporkan kepada saya. Setelah
itu, kami beramai-ramai menemui panitia
acara. Akibatnya kegiatan bazar ini tidak
jadi diselenggarakan dan voucher yang telah
diterima kepala dukuh tidak jadi dibagikan
kepada warga.”
Lebih lanjut, Wasingatu Zakiyah menyatakan untuk
Gerakan ini memiliki 7 (tujuh) prasyarat, yakni komitmen,
kebijakan, sumber daya, kelembagaan, data/pemetaan
kelompok strategis, kreativitas bahan ajar, dan partisipasi
warga.
2. Replikasi Gerakan Desa APU
Keberhasilan membangun gerakan Desa APU di kedua
desa ini tentu menjadi cambuk pelecut bagi desa-desa
lainnya. Bukan lantaran latah, melainkan kesadaran individual
dalam menolak politik uang yang selama ini terpendam
pada diri individu bak ‘gayung bersambut’ untuk turut serta
melakukan gerakan serupa.
Merespons kesadaran kolektif warga terhadap
sikap menolak politik uang ini , Bawaslu DIY beserta
jajaran di bawahnya terus berusaha untuk memperluas gerakan
serupa berupa deklarasi Desa Anti Politik Uang di 5 kabupaten/
kota se-DIY. Perluasan gerakan ini tidak serta-merta dilakukan
secara sepihak oleh Bawaslu DIY. Bagaimanapun disadari
bahwa suatu gerakan mustahil berhasil tanpa adanya
dukungan dari berbagai pihak, antara lain pemerintah desa,
tokoh warga, KKN Mahasiswa UMY, dan Pengawas
Pemilu hingga level terbawah.
Pada bagian ini, akan dipetakan karakter gerakan
Desa APU berdasarkan partisipasi pemerintah desa selaku
pemangku kepentingan tingkat desa dalam mensukseskan
gerakan Desa APU.
a. Peran Aktif Pemerintah Desa
Corak dari gerakan Desa APU pada kelompok
ini yaitu keterlibatan aktif pemerintah desa dalam
mensukseskan gerakan. Pada tataran praktis, keterlibatan
Pemerintah Desa tidak hanya selesai pada saat deklarasi,
namun berlanjut pada kegiatan-kegiatan yang mendukung
gerakan. Dalam catatan Penulis, ada 12 (dua belas) desa
yang masuk dalam kelompok ini.
Dari 12 desa yang masuk dalam kategori ini, selanjutnya
Penulis melakukan pendalaman terhadap 4 (empat) desa,
yaitu:
1) Desa Nglanggeran
Dalam sejarahnya, gerakan Desa APU di Desa ini
berawal dari inisiasi Bawaslu Kabupaten Gunungkidul beserta
jajarannya. Pemilihan Desa ini menjadi pilot project Desa APU
yaitu adanya kesadaran warga dalam menolak politik
uang pada saat Pemilihan Kepala Desa Tahun 2016.
Bahkan, Desa ini menjadi tuan rumah bagi pelaksanaan
deklarasi Desa APU serentak oleh 18 desa se-Kabupaten
Gunungkidul. Selain dukungan dari Pemdes, Pemkab
Gunungkidul dalam hal ini Bupati (Badingah) turut memberi
dukungan dengan menghadiri kegiatan deklarasi bersama
pada 23 Februari 2019.
Tidak berhenti pada deklarasi saja, Kepala Desa
membentuk Tim Desa APU –terdiri atas pemerintah Desa,
Pengawas Pemilu, PPS, dan KKN Tematik UMY- yang bertugas
melakukan sosialiasi kepada warga terkait gerakan Anti
Politik Uang. Tim Desa APU ini kemudian dibagi menjadi
5 (lima) kelompok yang bertugas melakukan sosialisasi di 5
(lima) dusun se-Desa Nglanggeran.
Dengan adanya kegiatan pasca deklarasi ini, setidaknya
ada dampak yang cukup mampu menekan politik uang,
diantaranya: (i) tidak ada tim sukses caleg yang melakukan
pendataan penduduk yang akan dipakai sebagai dasar
jual-beli suara; (ii) tingkat pemahaman warga terhadap
aturan Pemilu menjadi meningkat.
2) Desa Ngloro
Gerakan Desa APU di Desa Ngloro sangat dipengaruhi
oleh kesadaran warga, sebab pada dasarnya warga
sangat mudah untuk diarahkan kepada hal yang sifatnya
positif. Selain itu, sikap anti politik uang Kepala Desa Ngloro
yang diwujudkan dengan mendukung gerakan APU yaitu
modal yang tak kalah penting. Bahkan, sikap anti politik uang
Kepala Desa sudah ada sejak mengikuti kontestasi Pemilihan
Kepala Desa Tahun 2013 yang tidak memakai politik
uang. Atas dasar itu, berdasarkan musyawarah di tingkat
Kecamatan Saptosari, Desa Ngloro dipilih menjadi salah satu
pilot project Desa APU yang diinisiasi oleh Pengawas Pemilu.
Pasca deklarasi, Pemdes membentuk Tim Desa APU
yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada warga
tentang APU. Tim Desa APU yang dibentuk terdiri dari
Pemerintah Desa, PPS, Panwaslu Desa, dan KKN UMY yang
akan melakukan sosialisasi terhadap 6 padukuhan se-Desa
Ngloro. Selain itu, Tim Desa APU juga melakukan pendekatan
kepada Tim Sukses Caleg yang pada Pemilu sebelumnya
menjadi operator politik uang di desa. Pendekatan dilakukan
agar Tim Sukses Caleg tidak melakukan politik uang. Hasil
wawancara dengan Kaur Perencanaan Desa Ngloro, (Warsidin)
sebagai berikut:
“Untuk penerapan program APU tidak serta-merta
dapat berlangsung sebab butuh proses panjang. Fokus
penekanan bukan hanya kepada warga, namun juga
kepada peserta pemilu. Adapun dampak dari Desa APU
yaitu membuat peserta politik tidak masuk sama sekali,
tidak ada bendera dan promosi politik sama sekali, pada
intinya Desa APU membuat peserta Pemilu lebih hati-hati
masuk ke Desa Ngloro. Meski demikian, tidak adanya politik
uang tidak mempengaruhi tingkat partisipasi warga
dalam memakai hak pilihnya.”
Di Desa ini, Kepala Desa memiliki pengaruh yang cukup
besar kepada warga. Hal ini disebab kan selain bekerja
dengan baik, Kepala Desa dianggap warga mudah
bergaul. Oleh sebab nya, saat Kepala Desa memiliki program
pasti selalu didukung dan diikuti oleh warga. Hal inilah
yang kemudian menjadi salah satu faktor penting keberhasilan
Desa APU di Desa Ngloro.
3) Desa Candibinangun
Sejarah Desa APU di Desa Candibinangun berawal dari
inisiasi Kepala Desa yang ingin saat ada pemilihan tidak ada
politik uang. Tujuan yang ingin dicapai untuk mengubah cara
pandang warga bahwa pemilu tidak harus memakai
politik uang. Komitmen ini kemudian disambut oleh Pengawas
Pemilu yang kemudian mendorong Pemerintah Desa untuk
menyelenggarakan Deklarasi Desa APU.
Selain melibatkan lembaga pemerintah, gerakan APU
di Desa Candibinangun juga melibatkan tokoh warga,
lembaga desa, dan karang taruna. Pada praktiknya Kepala Desa
sendiri turun langsung secara aktif dalam gerakan ini.Berikut
pandangan Kepala Urusan Perencanaan Desa Candibinangun
terkait gerakan APU:
“Tingkat politik uang berkurang, namun tidak 100%. Ada
yang berpikiran sesaat uang diterima, namun ada juga
yang berpikiran kedepan tidak menerima uang ini .
Kaitannya dengan perubahan paradigma, pelan-pelan
berubah tidak seperti dulu. Mereka berpikiran dari pada
dapat uang namun kedepannya desanya tidak maju,
maka mereka tidak mau menerima uang ini ”.
Perubahan paradigma ini memang belum dikatakan
dapat menghilangkan praktik politik uang di Desa
Candibinangun. Namun demikian, adanya perubahan cara
pandang di kalangan warga yang awalnya menganggap
lazim politik uang dalam Pemilu menjadi sadar untuk menolak
yaitu satu tingkat ukuran keberhasilan bagi gerakan
Desa APU.
4) Desa Hargomulyo
Gerakan Desa APU di Desa Hargomulyo diawali oleh
keprihatinan Kepala Desa tentang maraknya praktik politik
uang. Hal ini kemudian disambut oleh Pengawas Pemilu yang
selanjutnya dilakukan deklarasi Desa APU. Setelah dilakukan
deklarasi, Kepala Desa membentuk Tim Desa APU yang
bertugas melakukan sosialisasi kepada warga. Tim Desa
APU yang dibentuk terdiri atas Pengawas Pemilu, kelompok
warga, relawan pemilu, pemerintah desa, dan KKN
Tematik UMY.
Namun, menurut penuturan Pemerintah Desa, yang
paling berperan dalam gerakan ini yaitu Panwaslu Desa.
Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu sosialisasi tatap
muka serta pemasangan spanduk dan stiker. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Pemerintah Desa Hargomulyo, Desa
APU telah memiliki dampak positif meski belum mampu
menghilangkan politik uang:
“Adanya gerakan Desa APU di Desa Hargomulyo
tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang
selama Pemilu 2019. Namun, dari sisi mental telah ada
perubahan pada warga dari yang dulunya minta
atau terbuka terhadap politik uang sekarang menjadi
tertutup.”
b. Terbatasnya Dukungan Pemerintah Desa
Pemerintah Desa, terutama Kepala Desa, yaitu
patron bagi warga warganya. Oleh sebab nya, apa
yang menjadi komitmen ataupun keinginan dari kepala desa
kecenderungannya akan diikuti oleh warga, termasuk
sikap menolak dan melawan politik uang.
Pada bagian ini, Penulis tidak berusaha untuk
mengatakan bahwa Pemerintah Desa tidak memberi
dukungan terhadap deklarasi gerakan Desa APU. Namun,
Penulis berusaha untuk memetakan terkait desa mana saja
yang Pemerintah Desanya mendukung deklarasi namun
tidak sepenuhnya memberikan dukungan terhadap kegiatan-
kegiatan pasca deklarasi. Pada kelompok ini, ada 26
desa/kelurahan yang telah mendeklarasikan diri menolak
politik uang, namun dalam perjalanannya kurang memperoleh
perhatian serius dari Pemerintah Desa.
1) Desa Panggungharjo
Kesadaran terhadap anti politik uang di Desa Panggungharjo
sudah terbangun sejak Pemilihan Kepala Desa Tahun 2012.
Pada momen ini , Kepala Desa terpilih (Wahyudi
Anggoro Hadi) tidak memakai politik uang. Padahal,
pada Pemilihan Kepala Desa saat itu 5 (lima) calon kepala desa
lainnya melakukan politik uang. Desa ini pernah menerima
penghargaan tingkat nasional sebagai Desa Terbaik I se-
negara kita.Atas dasar itu, Pengawas Pemilu mengajak desa ini
untuk turut serta mendeklarasikan diri sebagai Desa APU.
Namun demikian, pasca deklarasi tidak ada kegiatan yang
dilakukan. Hal ini disebab kan Pemerintah Desa belum begitu
menaruh perhatian serius terhadap gerakan Desa APU. Hal ini
terbukti dari hasil wawancara dengan Sekretaris Desa yang
mengatakan: “Paradigma warga belum terlalu tepengaruh
dengan adanya deklarasi desa APU di Panggungharjo. Hal ini
disebab kan tidak ada tindakan atau agenda yang berkelanjutan
dari Pemerintah Desa tentang gerakan ini.” (20)
2) Kelurahan Kadipaten
Kesadaran untuk mendeklarasikan diri sebagai
Kelurahan Anti Politik Uang ini sebenarnya didasari oleh
komitmen Bawaslu Kota Yogyakarta untuk mereplikasi
gerakan Desa APU sebelum-sebelumnya. Namun lain di
desa, lain pula di kelurahan. Di Kelurahan Kadipaten Kota
Yogyakarta, gerakan yang dibangun bukan hanya menolak
politik uang semata, melainkan juga menolak terkait adanya
ujaran kebencian dan berita hoaks dalam Pemilu. Adapun
nama gerakannya yaitu Kelurahan Anti Money Politic, Ujaran
Kebencian, dan Hoax –yang disingkat dengan Kelurahan
AMPUH.
Berdasarkan penuturan Lurah Kadipaten, pihak
Kelurahan tidak memberikan izin terkait penggunaan tempat
umum untuk kegiatan yang mengandung unsur politik. Oleh
sebab itu, hampir dipastikan bahwa tidak ada kegiatan
sosialiasi gerakan AMPUH yang difasilitasi oleh pihak
kelurahan. Dengan kondisi demikian, kegiatan pasca deklarasi
tidak melibatkan pihak Kelurahan. Kegiatan pasca deklarasi
hanya dilakukan oleh KKN UMY dan Pengawas Pemilu.
Ikhtiar bersama untuk memerangi politik uang ini
bukan berarti tanpa hambatan. Batu sandungan dalam
setiap perjalanannya yaitu suatu keniscayaan bagi
pengorganisasian gerakan. Dalam catatan Penulis, ada
kendala dalam membangun gerakan ini, diantaranya: 1) kultur
warga yang telah membudaya dengan menganggap
politik uang yaitu hal yang lazim tidak mudah untuk diubah,
2) caleg ataupun tim sukses yang biasa melakukan praktik
politik uang, akan mencoba cara baru dan terus menggoda
warga pemilih untuk menerima politik uang. Caleg atau tim
sukses yang terbiasa melakukan politik uang inilah yang paling
resisten terhadap Gerakan Sosial Desa APU.
Keberhasilan gerakan Desa APU tidak bisa dilepaskan
dari beberapa faktor pendukung, diantaranya: Pertama, peran
aktif jejaring aktor lokal; Kedua, adanya kesadaran kolektif di
tingkat warga desa; Ketiga, dukungan Pemerintah Desa;
Keempat, peran Pengawas Pemilu.
Sebagai sebuah gerakan yang secara langsung
bersinggungan dengan proses politik, sudah barang tentu
banyak hambatan dan rintangan dalam mengorganisir
gerakan maupun dalam implementasinya. Hal ini sebagaimana
pernyataan Wasingatu Zakiyah :
“Penolakan jelas ada sebab memang ada dusun-
dusun yang sudah menjadi base-nya peserta pemilu.
Ada pihak-pihak yang memakai kekuatan politik
untuk menghentikan proses sosialisasi yang saya
lakukan. Untuk meminimalisasi penolakan ini maka
memakai kewenangan desa pada saat deklarasi
dengan memilih perwakilan orang yang berpengaruh di
desa ini agar terus melakukan sosialisasi anti politik
uang. Selain kendala itu, aspek pendanaan juga menjadi
hambatan bagi gerakan ini. Untuk mengatasinya,
Tim APU meminta dana CSR kepada toko-toko yang
beroperasi di Sardonoharjo. Setelah gerakan ini, bahkan
saya didekati peserta Pemilu yang menawarkan untuk
menjadi tim sukses salah satu caleg dan dijanjikan untuk
diberi mobil dan gaji bulanan selama lima tahun. Tapi
saya dengan tegas menolak.”
Senada dengan apa yang dinyatakan Zakiyah,
Bambang Eka Cahya melihat kendala gerakan ini dari sudut
pandang pemerintah desa. Menurutnya :
“Kuatnya budaya neopatrimonialisme, dalam
politik patrimonialisme, sang klien dengan sadar
mengimajinasikan posisinya sebagai inferior,
tersubordinasi oleh kedigdayaan sang patron yang
karismatik. Akibatnya, pola relasi patron-klien berjalan
tak berimbang. Bandul pendulum lebih banyak bergerak
ke arah sang patron ketimbang sang klien. Perlawanan
terhadap praktik politik uang tidak semata persoalan
menolak pemberian dalam urusan pemilu, tapi juga
persoalan mengubah budaya patronase politik menjadi
budaya yang egaliter. Mereka yang menolak memiliki
risiko tidak ringan, yakni bisa menghadapi pengucilan,
dianggap tidak lazim atau bahkan dituduh pengacau.
Perubahan budaya ini tidak mungkin dilakukan dalam
waktu sebentar, memerlukan usaha terus-menerus
berkelanjutan dan pada saat yang sama menanamkan
nilai-nilai baru dalam demokrasi, yakni kesetaraan
dan solidaritas. Di sisi yang lain, desa telah terkooptasi
budaya patronage. Kepala desa menjadi figur sentral di
desa, budaya patronase dikukuhkan untuk menguatkan
sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses
terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa
yaitu jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan
supra desa di desa. Dalam persoalan politik uang
tidak jarang kepala desa dan perangkat desa menjadi
fasilitator berlangsungnya politik uang di desa.”
Berbeda dengan pendapat Zakiyah dan Bambang
Eka, salah satu calon anggota DPRD Kabupaten Kulonprogo
(Rie Masginong Pratidina) mengungkapkan bahwa salah
satu penyebab politik uang yaitu adanya permintaan dari
warga. Hal ini ia alami pada saat melakukan sosialisasi
kampanye. Lebih lanjut Masginong mengungkapkan:
“Salah satu motivasi peserta Pemilu melakukan politik
uang sebab mengikuti permintaan warga. Artinya
pola pikir warga yang harus diubah. Sebagai caleg
muda sebenarnya saya berkeinginan untuk berpolitik
bersih tanpa politik uang. Namun sebab ada permintaan
dari warga dan tim sukses dengan bahasa “mengikuti
yang umum saja” itu memotivasi saya untuk melakukan
politik uang. Pada Pemilu 2019 saya menghabiskan uang
kurang lebih Rp 500 juta dengan perolehan suara kurang
lebih 2.200 suara, padahal target saya yaitu 3.000,
sebab lawan saya yang terpilih memperoleh sekitar
2.600 suara. Metode yang saya gunakan yaitu membeli
suara dengan harga 100.000 per pemilih pada H-10
sebelum pemungutan suara. Meski demikian saya tidak
terpilih menjadi anggota Dewan. Ada dua penyebab
mengapa ini bisa terjadi. Pertama, sebab tim sukses
yang membagikan uang ada yang tidak jujur sehingga
saya tidak memperoleh suara sama sekali pada TPS
tertentu. Kedua, sebab basis pemilih yang telah
menerima uang saya kemudian terpengaruh dengan
uang yang lebih besar dan dilakukan pada H-1.” ()
Berbeda dengan Masginong, calon anggota DPRD
Kabupaten Bantul mengungkapkan bahwa
salah satu penyebab utama politik uang sebab adanya
fasilitas dana aspirasi yang dipakai oleh caleg incumbent
untuk melakukan kampanye. Lebih lanjut, Hery Fahamsyah
mengungkapkan:
“Salah satu penyebab maraknya politik uang yaitu
adanya fasilitas negara yang dimiliki oleh caleg incumbent
berupa dana aspirasi. Dalam satu tahun, dana aspirasi
cenderung dipakai untuk kepentingan hajatan politik.
Oleh sebab nya, mau tidak mau sebagai pendatang
baru saya juga melakukan praktik serupa. Namun
metode yang saya gunakan bukanlah membeli suara
setiap pemilih, melainkan dengan memberikan program
misalnya sumbangan kelompok atau pembangunan
sarana umum tertentu. Dalam hajatan Pemilu 2019
saya menghabiskan kurang lebih Rp 300 juta dengan
memperoleh 3.700 suara, sedangkan lawan saya yang
jadi memperoleh suara kurang lebih 4.100. Lawan
saya ini juga memakai politik uang. Namun
mengapa saya kalah yaitu sebab dia senior dan sudah
dua kali menjabat. Dengan segala fasilitas negara berupa
dana aspirasi maka lawan saya ini lebih leluasa
memakai politik uang. Namun dalam praktiknya,
penggunaan dana aspirasi untuk tujuan politik dianggap
bukan yaitu bagian dari politik uang. Oleh sebab
itu, perlu diperjelas pengaturan mengenai definisi
Berkaitan dengan fasilitas dana aspirasi yang
dipakai untuk politik uang, hal ini juga diamini oleh
Calon Anggota DPR RI Dapil DIY (Bambang Praswanto).
Namun di lain sisi, ia menyampaikan bahwa politik uang
juga dipicu oleh sistem pemilu. Lebih lanjut Bambang
Praswanto mengungkapkan :
“Salah satu penyebab maraknya praktik politik uang
yaitu berubahnya sistem proporsional tertutup
menjadi proporsional terbuka. Dengan sistem ini ,
caleg berlomba-lomba untuk meraih suara dengan
cara politik uang. Di samping itu, caleg incumbent yang
memakai fasilitas dana aspirasi untuk kampanye
dirasakan oleh caleg lainnya kurang fair. Dengan kondisi
begitu, maka mau tidak mau caleg lainnya juga terdorong
untuk melakukan politik uang. Meski sebenarnya sikap
pragmatis warga juga memiliki porsi besar dalam
mendorong terjadinya politik uang. Pada perhelatan
Pemilu 2019 kemarin, saya memperoleh 36.000 suara
dengan jumlah pengeluaran kurang lebih Rp 90 juta.
Pengeluaran ini saya gunakan untuk pembelian
bahan kampanye, artinya saya tidak melakukan politik
uang. Saya bisa mengatakan bahwa lawan saya yang
terpilih memperoleh kurang lebih 150.000 suara. Saya
meyakini bahwa perolehan ini didapat dengan cara
melakukan politik uang. Saya mengapresiasi dengan
langkah Bawaslu DIY yang melalukan gerakan Anti Politik
Uang. Meski gerakan ini belum sepenuhnya dapat
menekan angka politik uang, namun gerakan semacam
ini perlu diperluas untuk memberikan penyadaran
kepada warga.”
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa hambatan dalam membangun gerakan
Desa Anti Politik Uang setidaknya dipengaruhi oleh
beberapa hal. Pertama, adanya tekanan politik kepada
aktor penggerak. Tekanan yang dimaksud bisa berupa
ancaman fisik maupun tawaran materi. Kedua, praktik
politik uang marak terjadi dipicu sistem pemilu
proporsional terbuka. Jika diibaratkan, gerakan ini
menutup satu lubang, namun pada saat yang sama
muncul lubang-lubang baru yang sulit dibendung
dengan energi yang terbatas. Ketiga, kepala desa dan
perangkat desa menjadi fasilitator berlangsungnya
politik uang di desa. Keempat, sikap warga yang
pragmatis dan cenderung terbuka dengan politik uang
memiliki pengaruh kepada warga lainnya untuk
bersikap sama, dalam bahasa mereka “ngumumi”.
a. Berdasarkan pola gerakan di atas, Penulis memiliki
kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan Desa APU
dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) strata.
1) Pola gerakan yang paling ideal atau progressive
ditandai dengan adanya kesadaran warga
yang terorganisir (kelompok warga atau
NGO) yang didukung oleh pemangku kepentingan
Pengawas Pemilu, UMY, dan Pemerintah
Desa. Artinya, ketiga elemen ini telah memiliki
pemahaman yang sama dan saling bersinergi
untuk memerangi politik uang. Bagaimanapun,
politik uang yaitu kejahatan terorganisir,
maka melawannya juga harus dengan cara
terorganisir. Hal ini tercermin kuat terjadi di
Desa Murtigading dan Desa Sardonoharjo. Pola
gerakan pada level ini diinisiasi oleh NGO.
2) Gerakan yang termasuk dalam kategori cukup
ideal atau middle class yaitu adanya komitmen
dari pemangku kepentingan untuk menyadarkan
warga agar menolak politik uang. Dengan
bahasa lain, kesadaran warga belum
terorganisir namun pemangku kepentingan
memiliki komitmen untuk mengorganisir
warga. Hal ini terjadi di 12 desa sebagaimana
diuraikan di atas. Pada level ini, gerakan diinisiasi
oleh Pemerintah Desa dan Pengawas Pemilu.
3) Gerakan yang kurang ideal atau stagnan. Pola ini
ditandai dengan adanya komitmen dari pihak
eksternal desa seperti Pengawas Pemilu dan UMY
untuk membangun gerakan bersama warga
namun daya dukung Pemerintah Desa masih
terbatas. Dengan bahasa lain, 26 desa/kelurahan
sebagaimana disebutkan di atas masih sebatas
pilot project dari Pengawas Pemilu dan UMY.
Kelompok ini memang melakukan deklarasi,
namun tidak ada kegiatan yang berkelanjutan.
Pada level ini, inisisasi gerakan berasal dari
Pengawas Pemilu.
b. Gerakan Desa APU belum bisa menghilangkan praktik
politik uang secara keseluruhan, namun tetap memiliki
dampak yang positif. Pertama, munculnya perubahan
di level paradigma warga dari yang sebelumnya
aktif atau terbuka dengan politik uang telah berubah
menjadi warga pasif dan tertutup. Kedua, dari segi
kuantitas, praktik jual-beli suara menjadi berkurang
meski hanya sedikit. Ketiga, warga makin berani
menolak dengan tegas politik uang. Berdasarkan
fakta di lapangan, sebanyak 20% pemilih di Desa
Sardonoharjo menyatakan bahwa mereka tegas
menolak politik uang dalam Pemilu 2019.
c. Secara keseluruhan keberadaan 40 desa/kelurahan
yang mau terlibat dalam gerakan Desa APU tetap perlu
diapresiasi di tengah ratusan desa/kelurahan lainnya
di DIY yang belum terlibat sama sekali dalam gerakan
Desa APU.
2. Saran
a. Perlu menjalin hubungan erat bersama
pemerintah desa, lembaga swadaya warga,
serta elemen warga untuk membangun
gerakan Desa APU.
b. Perlu adanya pendidikan politik bagi warga,
khususnya bagi pemilih pemula yang belum
terkontaminasi dengan politik uang untuk
melawan segala bentuk politik uang.
c. Perlu adanya sosialisasi secara berkelanjutan
untuk memerangi politik uang baik pada agenda
pemilu, pilkada, bahkan pilkades.
ProblematikaPemilu Serentak Tahun 2019
Rezim tata kelola pemilu di negara kita yaitu sebuah model
tata kelola yang diarahkan untuk menyederhanakan waktu
pelaksanaan menjadi satu waktu pada tahun 2029 mendatang.
Hal ini menyumbang kompleksitas yang beragam dalam
electoral governance. Kondisi ‘darurat’ dalam pemilu seperti
masifnya praktik politik uang dan transaksional dianggap
‘normal’ oleh sebagian warga (Muhtadi, 2010). Pada pasca
reformasi, pemilu yaitu salah satu mekanisme pergantian
kekuasaan secara demokratis.Pelaksanaan pemilu di negara kita
menyerupai model bottom up yaitu dimulai dari pemilihan
langsung DPR, DPRD dan DPD lalu dilanjutkan dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai yang memenuhi presidential
threshold. Upaya ‘meringkas’ waktu pelaksanaan pemilu
serentak ini, mengalami berbagai adaptasi baik yang harus
ditempuh oleh penyelenggara maupun oleh kelompok civil
society yang memiliki concern didalam mewujudkan pemilu
yang berkualitas, berintegritas,dan bermartabat.Oleh sebab
itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah merasa perlu menjadi
bagian dari usaha ini .
Banyak peneliti menyatakan bahwa problematika pemilu
serentak di negara kita tahun 2019 sebagai pemilu serentak
terkompleks dan tersulit di dunia sebab disatukannya pemilihan
anggota legislatif baik DPR/D dan DPD dan pemilihan presiden
dan wakil presiden. Identifikasi problem, peluang pelanggaran
secara massif dan tantangan pengawasan partisipatif telah
dilakukan. Secara sederhana persoalan pemilu serentak
berimplikasi pada permasalahan teknis yaitu: 5 kotak yang
harus diisi, kerumitan mencoblos, kelemahan penyelenggara,
terbatasnya sosialisasi kepada warga, kompleksnya
surat suara, permasalahan DPT, permasalahan administratif,
politik uang, hoaks, peluang pelanggaran dan kecurangan
dalam pemilu. Juga, tidak kalah dramatis yaitu banyaknya
penyelenggara pemilu yang meninggal dunia dalam proses
pemilu tahun 2019 ini yang diduga akibat kelelahan. KPU
merilis jumlah terakhir korban meninggal petugas pemilu baik
KPPS maupun Panwas mencapai 554 orang
Kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi sering
tercederai akibat praktik-praktik buruk pemilu yang diwarnai
oleh menguatnya peran uang dan pragmatisme politik. Ada
banyak faktor-faktor yang memicu kondisi tersebebut
yaitu ; melemahnya peran partai politik sebagai Lembaga
Pendidikan politik, liberalisasi politik yang menjadikan politics
as business as usual.Praktek politics as business as usual lebih
memberikan keuntungan ekonomi bagi kaum oligark.Kondisi
lainnya yaitu , semakin absennya kekuatan civil societydalam
mengisi ruang kosong di dalam pembangunan demokrasi.
Hadirnya kekuatan sipil berbasis civitas ecademica yaitu
satu kekuatan “control based knowledge’ yang sangat kuat
dimana kampus menjadi Lembaga yang terhubung kepada
pengembangan ilmu pengetahuan dan juga terhubung secara
kuat kepada warga. Posisi tri darma bahkan catur darma
di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) ini yaitu
modal sosial yang terus memancarkan harapan: bahwa
demokrasi harus punya implikasi kepada kebaikan warga
yaitu suatu visi yang perlu dikawal.
Demokrasi akan bermakna saat institusi sosial bekerja
didalam proses-proses demokrasi elektoral. Dalam hal ini kita
bisa memperlihatkan arti penting kolaborasi antara kelompok
penyelenggara pemilihan umum dengan kelompok warga
sipil termasuk Mahasiswa, Perguruan, dan entitas pegiat sosial
di desa dalam pengawasan pemilu serentak 2019. Bahkan,
secara politik, dukungan desa untuk memproklamirkan desa
anti politik uang sebagai bentuk keberanian yang sangat
heroik, di saat banyak orang psimis akan pemberantasan
praktik politik uang. Pemilu 2014 yang diikuti dengan praktik
meluasnya praktik praktik politik clientalisme dan patronase
dengan britalnya penertasi uang/barang untuk merebut suara
pemilih (Aspinall & Sukmajati, 2015). Praktik demokrasi yang
menekankan pada sentralnya peran uang/barang ini disebut
sebagai fenomena roda lepas menggelinding banyak ahli telah memberikan dukungan
kepada pentingnya keterlibatan sipil dan kelompok intermediary
serta memperkuat popular control (Torquest 2007, Klinken &
Berenchout 2019) di dalam beragam level dan proses politik.
Melihat kompleksitas penyelengaraan pemilu,
kerjasama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan
Bawaslu RI dalam rangka penyelenggaraan KKN Tematik di
Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu salah satu respon
yang sangat bagus untuk menghadapi pemilu serentak tahun
2019. Hal ini diwujudkan dengan adanya KKN Tematik yang
dirancang melalui kerjasama antara UMY dengan Bawaslu
RI yang mengambil tema besar “Model Pengawasan Pemilu
Partisipatif Melalui Desa Anti Money Politic (DAPU).” Tentu
banyak harapan dari gebrakan model KKN tematik ini.
Dari beragam inisiatif, terbentuknya Desa/Kelurahan
Anti Politik Uang (DAPU) ini menjawab beberapa persoalan
dan sekaligus memantikkan harapan. Pertama, Keterbatasan
penyelenggara (Bawaslu) dalam pengawasan yang
memicu tidak semua warga dapat didampingi di
dalam merespon dinamika politik uang. Kedua, ketersediaan
sumber daya di Perguruan Tinggi (PT) ini menunjukkan
adanya keterhubungan agenda demokrasi dengan kekuatan
warga sipil yang tercerahkan; dan ketiga Desa sebagai
ujung tombak pelaksanaan pemilu yaitu satu terobosan
paling mendesak untuk mengusaha kan ‘memutus rantai’ politik
transaksional yang secara kreatif menghancurkan makna
demokrasi secara berkesinambungan (sustainable creative
disaster). DAPU yang dilahirkan menjelang pemilu 2019 di DIY
saja sebanyak 32 DAPU baik yang dilahirkan atas inisiatif
warga, pemerintahan desa, UMY, dan Bawaslu. Keragaman
inisiator ini punya implikasi yang akan dijelaskan dalam bab
selanjutnya sebagai lesson learned untuk memperkuat DAPU
pada pemilu berikutnya.
Perlu dicatat bahwa Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY) telah lama mengusaha kan pendidikan
demokrasi dan kewarganegaraan dalam berbagai level baik
secara teoritis maupun praktik melalui Lembaga Penelitian,
Publikasi dan Pengabdian kepada warga (LP3M). UMY
merumuskan komitmen ini dalam buku yang sangat bagus
berjudul Pendidikan Kewarganegaraan sejak tahun 2000-an
yang dipakai diberbagai perguruan tinggi Muhammadiyah
di berbagai daerah. Juga, ada banyak tema KKN yang telah
dirintis. Dalam hal pendidikan demokrasi bagi mahasiswa dan
civitas akademika. Terselenggaranya KKN Tematik DAPU
sebagai salah satu model pengawasan pemilu partisipatif
(berbasis kesadaran warga sipil) ini memiliki beberapa
makna dan kontribusi yang sangat berarti antara lain:sebagai
ladang praktikum bagi mahasiswa dan dosen di dalam peran
demokratik kontrol, sebagai model Pengabdian warga
untuk pemberdayaan suara rakyat yang dihasilkan dari
kolaborasi antara mahasiswa, dosen dan institusi demokrasi,
menjadi sumbangan terhadap bangsa dan negara di dalam
pembangunan demokrasi berbasis grass-root, dan mengatasi
keterbatasan penyelenggara pemilu dalam mengusaha kan
pengawasan yang maksimal.
ini fokus pada beberapa hal sebagaimana rumusan
masalah berikut ini. Pertama, bagaimana proses kolaborasi
UMY-Bawaslu-Pemerintah Desa dalam merumuskan konsep
KKN tematik pengawasan pemilu serentak tahun 2019 di DIY?,
dan kedua, bagaimana pengelolaaan KKN tematik kolaborasi
UMY-Bawaslu-Pemerintah Desa dalam pengawasan pemilu
serentak tahun 2019 di DIY? Dua pertanyaan utama ini
akan dibahas dalam paper ini secara komprehensif untuk
menemukan model pengawasan partisipatif berbasis program
KKN perguruan tinggi. Untuk menjawab pertanyaan ini,
metode analisis naratif yang
dihasilkan dari Analisa beragam data baik observasi, laporan
KKN, FGD dan kuisioner.
B. Kerangka Teori
B.1. Electoral Integrity
Integritas berasal dari kata integrity dalam bahasa Inggris
yang memiliki makna : the quality of being honest and having
strong moral principles; moral uprightness. Kualitas untuk jujur
dan memiliki prinsip moral yang kuat. Integritas juga bermakna
sebagai keutuhan dan tidak terpisahkan. Integritas yaitu pola
pikir (mindset) dan karakter untuk menyesuaikan diri dengan
norma dan peraturan yang dihasilkan melalui proses yang
panjang. Integritas pemilu secara luas menyangkut komponen
hak pilih universal dan kompetisi yang bebas dan jujur , konsep integritas pemilu
muncul untuk menjawab dua masalah pokok yaitu kekerasan
dalam pemilu (electoral violence) dan pelanggaran administrasi
(administrative violation) yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu. Ada 5 (lima) tantangan utama yang harus diatasi untuk
pemilihan umum yang berintegritas :
1. Membangun kedaulatan hukum untuk mendukung
hak asasi manusia dan keadilan pemilu;
2. Membangun badan penyelenggara yang profesional
dan kompeten dengan kemandirian bertindak yang
penuh dan menyelenggarakan pemilihan dengan
transparan dan mendapat kepercayaan publik;
3. Memperbaiki norma dan institusi kompetisi multi
partai dan pembagian kekuasaan yang mendukung
demokrasi sebagai sistem keamanan bersama di
antara para kompetitor politik;
4. Mengatasi hambatan hukum, administrasi, politik,
ekonomi, dan sosial untuk partisipasi yang universal
dan setara;
5. Mengatur pembiayaan politik yang tidak terkendali,
tidak diungkap dengan jelas dan yang samar-
samar
Paradigma collaborative governance yang dicetuskan
tahun 1990-an salah satunya ditujukan untuk mengurangi
dominasi lembaga pemerintah di dalam menjalani kerja-kerja
partisipasi yang lebih luas. Prinsip mendasar dari collaborative
governance yaitu adanya kesetaraan hubungan diantara
stakeholder di sektor publik (state), swasta (non-state),
dan warga melalui musyawarah bersama Kolaborasi demikian ditujuan untuk pengambilan
keputusan kolektif secara formal
Paradigma ini sangat penting dalam konteks perkembangan
warga yang mengarah pada kompleksitas persoalan
serta peran warga yang semakin independent di da