pemilu 4

Rabu, 14 Juni 2023

pemilu 4


lu 
di negara kita, yaitu Pemilu Presiden-Wakil Presiden 
yang dilaksanakan bersamaan dengan Pemilu Legislatif 
(Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD 
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota). 
 Secara umum Pilpres 2019 relatif berjalan dengan aman 
dan damai. Berdasarkan pengumuman KPU (Selasa, 
21/5/2019), pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin 
memenangi kontestasi dengan perolehan 85.607.362 
suara  (55,5%). Sedangkan pasangan Prabowo Subianto 
– Sandiaga Uno memperoleh  68.650 suara  (44,4%).
Politisasi SARA dalam Pilkada Jabar 
 Paling tidak ada lima politisasi SARA yang masuk 
ke wilayah Kampung Sawah, baik dalam Pilgub Jabar maupun 
Pilwakot Bekasi. Proses masuknya politisasi SARA melalui 
saluran media sosial seperti grup Whatsapp yang diikuti 
oleh para tokoh agama di Kampung Sawah dan warga 
pada umumnya. Politisasi SARA itu tidak berbentuk spanduk 
yang dipasang di pinggir-pinggir jalan atau leaflet-leaflet 
yang disebar ke pintu-pintu rumah atau dibagikan ke para 
pengendara motor atau mobil. Menurut para narasumber, 
politisasi SARA seperti itu tidak akan terjadi di Kampung 
Sawah. Warga Kampung  Sawah  sadar betul bahwa politisasi 
SARA hanya akan memecah belah warga  yang  selama  ini 
telah hidup rukun, damai dan tenang. sebab  itu, semua isu 
politisasi SARA yang berkembang di Kampung Sawal terjadi 
melalui media sosial.
Berikut  ini yaitu  beberapa isu SARA yang sempat menyebar 
di Kampung Sawah.  
a. Pencabutan IMB Gereja
Pendirian bangunan rumah ibadah, khususnya 
gereja di Bekasi memicu persoalan. Pembangunan 
lima gereja yang sebelumnya ditolak oleh sebagian 
warga, yakni Gereja Katolik Santa Clara Bekasi 
Utara, Gereja Protestan Galilea, Gereja HKBP Jati 
Murni, Gereja Protestan Bekasi Timur, dan Gereja 
Stanis Laos di Kranggan telah memperoleh  izin 
untuk dibangun.
Rahmat Effendi yang juga menjadi calon 
walikota untuk periode berikutnya diminta untuk 
membatalkan atau mencabut izin pendirian 
gereja-gereja ini  oleh sebagian warga. 
Namun, ia bersikeras tidak akan mencabut IMB 
ini  kecuali kalau sudah ada ketetapan 
hukum. Kondisi ini memunculkan isu bahwa kalau 
pasangan calon nomor dua (Nur Supriyanto, 
MM dan Adhi Firdaus Saady)  menang maka 
akan ada pencabutan IMB gereja-gereja Itu.  Hal 
ini diisukan bahkan telah menjadi kesepakatan 
antara pasangan calon nomor urut dua dengan 
organisasi konservatif. 
Menurut  Eko Praptanto, beredar sebuah 
notulensi, yang belum diverifikasi apakah itu 
hoaks atau tidak dan juga tidak ada klarifikasi 
bahwa itu hoaks atau bukan. Isu ini beredar 
jauh sebelum isu-isu SARA lainnya beredar. 
Isinya ada pertemuan antara calon nomor urut 
dua dengan beberapa kelompok konservatif, di 
antaranya yaitu  FPI. Kalau mereka menang 
akan menyelidiki lagi izin-izin gereja yang sudah 

  
diterbitkan  oleh petahana.   Beredar   isu sudah 
ada sekian ribu gereja yang  sudah  mendapat izin 
dari petahana. Pihak  FKUB  membantah, tidak 
mungkin hal itu terjadi sebab  prosesnya sangat-
sangat tidak mudah. Selama pemerintahan 
petahana hanya ada dua gereja Katolik dan tiga 
Protestan yang memperoleh  izin. 
b. Ikrar Perjuangan Santra Klara
Ikrar Perjuangan Santra Klara (catatan: 
penulisan yang benar yaitu  Santa Clara)  ini 
mengatasnamakan gereja-gereja di Bekasi. Ikrar 
ini sebagai bentuk pernyataan sikap gereja-
gereja di Bekasi dalam menghadapi Pemilihan 
Walikota Bekasi. Ikrar ini dikeluarkan pada 
Mei 2018 yang berisi lima hal. Salah satu isinya 
yaitu  menyerukan umat Kristiani untuk memilih 
pasangan nomor satu, yaitu  Rahmat Efendi dan 
Tri  Adhianto. Dengan adanya ikrar ini, harapannya 
terbangun opini bahwa pasangan nomor satu 
didukung oleh umat Kristiani. 
Menurut Eko Praptanto, selebaran ini yang 
pertama di Pilwalkot Bekasi 2018. Menurutnya, 
selebaran ini yaitu  satu dari tiga selebaran 
yang sangat berbahaya. sebab  umat Islam 
bisa tidak memilih pasangan nomor satu atau 
petahana sebab  petahana didukung oleh Gereja. 
Menurut Mathius, menyikapi selebaran ini, para 
tokoh agama Kristiani tidak bisa memutuskan 
bahwa berita itu hoaks atau bukan. Keputusan 
itu diserahkan kepada Dekenat. Sementara itu, 
FKUB Kota Bekasi berinisitaif mengumpulkan 
para pendeta dan pastur se-Kota Bekasi untuk 
bermusyawarah mengenai selebaran ini . 
Hasilnya yaitu  bahwa selebaran itu palsu atau 
hoaks.
Pada 25 Mei 2018, Keuskupan Agung Jakarta 
melalui akun Fanpage Facebooknya bertindak 
cepat dengan mengklarifikasi bahwa selebaran 
itu  yaitu   hoaks dengan   mengunggah 
selebaran itu dan  menuliskannya  bahwa itu 
hoaks. Cara ini cukup memperoleh  respons dari 
para pengikut fanpage   ini   dengan  banyaknya 
yang  membagikan   (share)   status ini.  
c. Perang Salib
Salah  satu  isu   SARA   yang   cukup 
menggemparkan Kota Bekasi dan menjadi viral 
di media sosial yaitu  isu ajakan Perang Salib. 
Ajakan Perang Salib itu berbentuk surat kaleng, 
yang ditujukan kepada ulama, ustadz, dan habib 
di Kota Bekasi. 
Selebaran itu berisi 5 butir dukungan kepada 
pasangan calon nomor urut satu, yaitu  Rahmat 

  
Effendi  dan Tri Adhianto. Kelompok yang 
membuat selebaran itu merasa ada gerakan 
penyebaran kebencian terhadap pasangan 
petahana secara masif yang dilakukan oleh 
ulama, ustadz, dan habib. Dukungan kelompok 
ini dilakukan sebab  selama ini pasangan calon 
nomor urut satu dinilai dekat dengan kalangan 
Kristiani dan cenderung membela kepentingan 
umat Kristen Kota Bekasi. Menurut mereka, bukti 
nyata kedekatan petahana dengan kelompok 
Kristiani ini yaitu  dengan diizinkannya 
pembangunan sejumlah gereja di Bekasi, salah 
satunya yaitu  Gereja Santa Clara.   
Dengan  dalih itulah, kelompok ini akan 
mendukung dan membela mati-matian 
pasangan petahana dan bahkan mereka siap 
menjadi tameng dari serangan kelompok yang 
menyudutkan dan mengucilkan petahana dan 
siap  menggelorakan  Perang  Salib. 
Seperti yang diungkapkan oleh Eko Praptanto, 
salah satu anggota FKUB (Forum Kerukunan 
Umat Beragama) Kota Bekasi dari perwakilan 
umat Katolik yang tinggal di Kampung Sawah, 
informasi itu tidak diterima mentah-mentah tapi 
dikomunikasikan dan dimusyawarahkan dengan 
para pendeta dan pastur atau para pemuka 
agama Nasrani se-Bekasi. Hasilnya yaitu  bahwa 
selebaran itu palsu atau hoaks. Kemudian mereka 
melakukan konferensi pers menyampaikan hasil 
musyawarahnya itu kepada media. Seperti itulah 
mereka merespons setiap ada selebaran yang 
beredar di media sosial.   
 
d. Janji Membangun 500 Gereja 
Isu SARA lainnnya yang beredar di Kampung 
Sawah yaitu  selebaran Perjanjian Bersama 
antara pendeta dan Petahana. Perjanjian ini 
ditandatangani oleh Walikota Bekasi, Rahmat 
Effendi dengan tiga pendeta dan satu romo 
(pemuka agama Katolik).     
Isi perjanjian ini yaitu  kesepakatan saling 
menguntungkan  antara Walikota Bekasi Rahmat 
Effendi juga sebagai pasangan calon walikota 
dengan kalangan Kristen-Protestan. Petahana 
menjanjikan akan membangun gereja secara 
bertahap  selama lima tahun sebanyak 500 
gereja. Imbalannya, kelompok Kristen-Protestan 
akan mendukung dan memberikan suara kepada 

  
pasangan Rahmat Effendi-Tri Adhianto. Surat 
perjanjian ini ditandatangani pada 25 Desember 
2018. 
Setelah ditelusuri, surat ini yaitu  palsu atau 
hoaks. Menurut Jerry, pengurus PGI, yang 
dikonfirmasi CNN (25/6) bahwa surat perjanjian 
itu palsu. "Jadi saya konfirmasikan bahwa surat 
perjanjian itu palsu. Dan kami tidak tahu siapa 
yang membuatnya."
Pernyataan penyangkalan juga disampaikan oleh 
Ust. H. Nias Imran. Menurutnya selebaran itu 
bentuk provokasi saja dan secara riil tidak ada. 
“Ada informasi mengenai masalah adanya 
pembangunan gereja. Itu sebuah provokasi 
aja. Secara informasi ril tidak mungkin. Untuk 
Walikota ada. Isu itu dikembangkan. Masuk 
Kampung Sawah Pondok Melati. Bentuk biasa, 
SMS, WA, melalui media sosial. Tetapi secara 
riil kebenaran itu tidak sesuai, tidak ada. Jadi 
informasi  itu fiktif.  Gak sesuai dengan adanya.”

e. Piagam Al-Azhar
Selain isu-isu di atas, ada juga dukungan kepada 
salah satu pasangan calon dengan memakai  
isu SARA. Mereka menamakannya dengan 
Piagam Al-Azhar. Piagam ini mengklaim didukung 
oleh para ulama, habaib, ustadz, dan para dai se-
Bekasi. 
Salah satu isinya yaitu  himbauan kepada 
umat Islam Bekasi untuk memilih pasangan Nur 
Supriyanto-Adhy Firdaus sebagai Walikota dan 
Wakil untuk Pilkada Kota Bekasi dan Sudrajat-
Ahmad Syaikhu sebagai Gubernur dan Wakil 
untuk Pilkada Jawa Barat periode 2018-2023.
Piagam Al-Azhar juga diberi  oleh para 
penggagasnya kepada pasangan Sudrajat-
Ahmad Syaikhu sebagai calon Gubernur dan 
Wakil untuk Pilkada Jawa Barat sebagai bentuk 
dukungan. Selebaran Piagam Al-Azhar diakui oleh 
narasumber telah masuk ke wilayah Kampung 
Sawah melalui grup WA.

  
Politisasi  SARA  dalam  Pilpres  2019 
Politisasi SARA juga terjadi dalam pemilihan presiden 2019. 
Beberapa isu yang muncul di Kampung Sawah yaitu :
a. Kriminalisasi Ulama
Isu kriminalisasi ulama juga berhembus cukup 
kencang di Kampung Sawah. Namun, berbeda 
dengan politisasi SARA dalam Pilkada 2018, isu 
ini tidak dibungkus dalam selebaran, namun  hanya 
muncul dalam grup-grup media sosial yang diikuti 
oleh tokoh maupun warga Kampung Sawah.
Isu kriminalisasi ulama mulai bergulir saat  Habib 
Rizieq Shihab (HRS) ditetapkan sebagai tersangka 
29 Mei 2017. Hal ini bermula dari tangkapan layar 
(screenshot) chat antara HRS dan Firza yang viral 
di media sosial 29 Januari 2017. Dari tangkapan 
layar, menurut penelusuran tempo.co, obrolan 
berbasis aplikasi WhatsApp itu diduga dilakukan 
keduanya itu terjadi pada Agustus 2016.
Tidak hanya muncul pada saat kampanye, 
isu kriminalisasi ulama terus dihembuskan 
hingga selesai pemilu. Persaudaraan Alumni 
(PA) 212 kembali menggelar Ijtima Ulama jilid 
IV. Pertemuan ini  dilaksanakan di Hotel Lorin, 
Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Senin (5/8/2019). 
Berbeda dengan pertemuan terdahulu, Ijtima 
Ulama IV tidak mengundang tokoh dari partai 
koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga 
Uno. Ada delapan poin yang diputuskan dalam 
pertemuan ini, salah satunya stop kriminalisasi 
ulama  (https://katadata.co.id/berita/2019/08/06/
beda-tokoh-dan-topik-bahasan-dalam-ijtima-
ulama-jilid-i-hingga-iv). 
b. Kampanye  Antek  Asing  dan  Aseng
Dalam  Pilpres 2019,  kampanye antek asing dan 
aseng juga bertebaran. Isu ini terutama ditujukan 
untuk menggembosi pasangan Jokowi-Ma’ruf 
Amin. Isu ini juga muncul di Kampung Sawah. 
Sebagaimana isu politisasi SARA lainnya, isu ini 
berkembang melalui media sosial yang diikuti 
oleh  warga Kampung Sawah. Namun 
warga Kampung Sawah sepertinya sudah tidak 
terlalu  terpengaruh.
Kampanye antek asing dan aseng terutama 
ditujukan  kepada pasangan Joko Widodo – Ma’ruf 
Amin  dalam pilpres 2019. Kampanye antek 
asing dan aseng ini sudah muncul dalam Pilpres 
2014, di mana Joko Widodo juga menjaditarget 
serangannya. Isu ini terutama muncul dalam 
bentuk   Tabloid Obor Rakyat pada  Pilpres 2014. 
c. Islam Sedang Dilumpuhkan
Isu lain yang berkembang di Kampung Sawah 
yaitu  bahwa ada usaha  sistematis untuk 
melumpuhkan umat Islam dan sebab  itu umat 
Islam wajib memilih Prabowo sebab  Prabowo 
didukung oleh para ulama. Sebagaimana isu 
lainnya, isu ini berkembang dalam media sosial.
Ada semacam teori konspirasi bahwa kesadaran 
kolektif umat Islam ini dianggap sebagai ancaman 
yang harus dibendung. Munculnya Prabowo-
Sandi sebagai calon presiden-wakil presiden, 
yang diusung oleh gabungan dari beberapa 
partai politik, dimanfaatkan sebagai kanal untuk 
menyalurkan suara atau aspirasi umat Islam. 
Berbagai   kegiatan   keagamaan pun 
diselenggarakan  untuk  mendukung  Prabowo. 
Gerakan alumni 212 menjadi motornya untuk 
melawan kekuatan yang dianggap mau 
melumpuhkan Islam. Isu ini berkembang di 
Kampung Sawah dalam Pilpres 2019. Sebagian 
lewat pembicaraan bisik-bisik sebab  memang 
topiknya sensitif, namun  sebagian lain melalui 
media sosial.
d. Pertarungan antara Partai Setan melawan 
Partai Allah
Dalam Pilpres 2019, isu pertarungan antara 
Partai Setan dan Partai Allah juga merebak di 

  
Kampung Sawah. Isu ini menyebar melalui grup-
grup media sosial. Namun sebagian menganggap 
isu ini sebagai lelucon politik, namun  sebagian lain 
menganggap serius. Yang menganggap serius 
terutama kelompok-kelompok yang menganggap 
Islam sedang dikepung oleh kekuatan-kekuatan 
sekuler untuk dihancurkan di negara kita.
Istilah ini pertama disampaikan oleh Ketua 
Penasihat Persaudaraan Alumni 212 Amien Rais 
dalam ceramah Sholat Shubuh di Masjid Masjid 
Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 
Jumat (13/4/2018). Amien Rais mendikotomikan 
partai-partai politik di negara kita menjadi dua 
kutub, yakni partai setan dan partai Allah.
Amien Rais secara eksplisit menyebutkan partai 
Allah yang dimaksud itu yaitu  PAN, PKS, dan 
Gerindra. Partai-partai ini yaitu  partai pembela 
agama Allah, Hizbullah. Hizbullah diartikan 
sebagai golongan Allah. Maka yang dimaksud 
partai Allah itu yaitu  partai golongan Allah, yang 
secara eksplisit disebutkan Amien. Maka secara 
tidak langsung, yang tidak disebutkan Amien di 
sini masuk dalam partai-partai di luar partai Allah. 
Gabungan partai di luar partai Allah ini kemudian 
disebut sebagai partai setan.
Pola Penyebaran Politisasi SARA
Dalam Pigub Jabar maupun Pilwalkot Bekasi, pola 
penyebaran isu SARA melalui media sosial seperti grup-grup 
whatsapp (WA), seperti grup WA tokoh agama, DKM, dan 
majelis keagamaan. Pada akhirnya isu ini  masuk juga ke 
grup WA FKUB sebagai bentuk laporan bahwa ada informasi 
seperti ini di warga.
Politisasi SARA juga berkembang dalam Pilpres 2019. 
Meskipun tidak semassif Pilgub dan Pilwalkot Bekasi, pola 
penyebarannya relatif sama, yakni melalui media sosial berupa 
grup-grup whatsapp. Mungkin hal ini dianggap oleh mereka, 
penyebar isu SARA, sebagai cara yang paling efektif dan 
efesien, bisa langsung mencapai sasaran dengan biaya yang 
sangat  murah.  Sekali pegang HP ratusan bahkan ribuan orang 
bisa  langsung  menerima  pesan isu SARA yang dibuat. 

warga   tentu  saja memiliki cara tersendiri dalam 
merespons isu politisasi SARA. Namun, yang terjadi di 
Kampung Sawah menunjukkan kecenderungan yang agak 
berbeda  dengan warga secara umum.   Secara lebih rinci, 
sikap warga terhadap isu politisasi SARA terbagi dalam 
empat hal.
1. Berhenti pada dirinya sendiri
Ketika  warga Kampung Sawah menerima 
informasi mengenai isu-isu SARA terkait pilkada, 
mereka sepertinya sadar bahwa itu hanya persoalan 
politik. sebab  itu informasi mengenai politisasi SARA 
hanya berhenti pada dirinya sendiri. warga  
tidak merespons hal ini  dan tidak menyebarkan 
sebab  bisa mengancam  hubungan persaudaraan dan 
kerukunan di warga.
Kampung Sawah memiliki pohon keluarga bahwa 
pohon ini  diartikan sebagai berbagai macam 
agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan 
Budha sehingga dalam satu pohon ini  menjadi 
kesatuan warga di Kampung Sawah. Alhasil isu 
SARA yang masuk di wilayah Kampung Sawah, menurut 
tokoh agama Katholik Mathius Nalih, tidak mempan di 
warga. 
Mereka  sadar   ada  isu  SARA di Kampung  Sawah 
dan sebab    itu  ada usaha -usaha  penguatan di 
Kampung Sawah sebagai wilayah toleran dan sebagai 
ikon kebhinekaan terus dilakukan. Upaya-usaha  
ini  dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari 
warga, pemerintah, dan lembaga-lembaga 
swadaya warga. Di antara  usaha  yang dilakukan 
yaitu  dengan membangun kesadaran bersama akan 
pentingnya kebersamaan antara umat beragama di 

  
Kampung sawah. Selain itu, menurut KH Rahmadin 
Afif, membangun kesadaran bersama akan tantangan 
perubahan yang sedang terjadi di Kampung Sawah yang 
berpotensi menggerus kebersamaan dan toleransi yang 
sudah berjalan dengan baik.
2. Klarifikasi
Ketika ada isu SARA, sebagian warga memilih 
untuk mencari tahu ke sumber-sumber terkait, terutama 
ke tokoh-tokoh agama atau tokoh warga. 
Pihak gereja, misalnya, berkomunikasi dengan pihak 
Dekanat mendiskusikan terkait isu SARA yang sedang 
berkembang di Kampung Sawah. Bahwa ada beberapa 
isu SARA yang sedang berkembang di Kampung Sawah, 
terutama bagi umat Kristiani. 
Pihak Gereja berkomunikasi dan menyerahkan 
isu ini  kepada Dekanat. Setelah isu ini  
disampaikan ke Dekanat, pihak Dekanat kemudian 
melakukan klarifikasi ke beberapa pihak terkait untuk 
mencari tahu kebenarannya. Hasilnya dilaporkan kepada 
Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi bahwa 
ada isu hoaks yang berkembang pada saat Pilkada Kota 
Bekasi. Untuk mengatasi isu ini  Forum Kerukunan 
Umat Beragama memfasilitasi pihak Dekanat dan 
dihadiri pemuka agama lainnya untuk konferensi press 
bahwa Gereja tidak menyebarkan isu SARA dalam 
Pilkada Kota Bekasi 2018. Setelah memperoleh  hasil 
dari konferensi press yang dilakukan Dekanat dan 
Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi,  pihak 
Gereja tidak melakukan tindakan terhadap penyebar 
isu ini  dan tidak disampaikan kepada warga 
agar warga tidak terpengaruh   dengan  adanya  isu 
SARA ini .  Isu SARA tidak dilaporkan kepada pihak 
kepolisian dan Pengawas  Pemilu setempat sebab  isu 
yang berkaitan dengan gereja jika  dapat diselesaikan 
oleh pengurus Dekanat, maka penyelesaiannya cukup di 
tingkat internal. Pimpinan Dekanat (1)pun menghimbau 
1 Dekanat yaitu  suatu himpunan gereja-gereja dalam Gereja Katolik. 
Pimpinan Dekanat yaitu  Pastor yang membawahi 9 gereja di Kota Bekasi.
 
kepada para pemimpin gereja   agar   tidak merespons 
isu ini .
 
3. Melokalisir isu
Isu-isu SARA yang masuk melalui grup-grup Whatsapp 
membuat para pemimpin agama yang ada di Kampung 
Sawah berusaha sekuat tenaga jangan sampai isu 
ini  menyebar dan berkembang di warga. 
Salah satu cara yang dilakukan oleh para tokoh agama 
yaitu  dengan menghentikan laju isu itu hanya di 
komunitas mereka masing masing atau istilah Ustadz 
Nur Ali melokalisir isu SARA di komunitas masing-
masing. Bahkan menurut H. Nias Imran, Sekretaris 
MUI Pondok Melati, saat  ada isu masuk, pengurus 
MUI akan membicarakan isu ini  dan mengecek 
kebenarannya. Jika isu itu tidak benar, palsu, atau 
hoaks; maka isu itu ditutup, artinya tidak disebarkan dan 
dibicarakan lagi.
Hal senada juga dilakukan oleh para pemimpin 
umat Kristiani. Ketika mereka memperoleh  
informasi yang tidak jelas kebenaranya, mereka akan 
menginformasikannya kepada  struktur gereja di 
atasnya atau seperti disampaikan Matheus Nalih, pihak 
pimpinan agama Katolik menyerahkan kepada Dekanat 
yang berlokasi di Kota Bekasi. Jika menurut keputusan 
Dekanat informasi itu palsu atau hoaks, maka mereka 
akan menutupnya, tidak membicarakan isu itu lagi. 
Dengan melokalisir isu SARA hanya pada komunitas 
tertentu, warga umum terhindar dari berita-berita 
yang  tidak  benar  atau palsu.
4. Tokoh warga melakukan edukasi
Menghadapi   gelombang isu SARA dan hoaks di 
Kampung Sawah, para tokoh agama tidak berpangku 
tangan. Mereka sibuk menangkis dan memperkuat 
warga Kampung Sawah dengan salah satunya 
memberikan pendidikan politik kepada mereka melalui 
tempat-tempat ibadah, seperti masjid, gereja,  dan 
sebagainya. 

  
Seperti yang dilakukan  Matheus   Nalih  di Gereja Servas. 
Ia memberikan informasi kepada  jamaahnya bahwa 
gereja tidak berpolitik praktis dan oleh sebab nya 
tidak mendukung salah satu pasangan calon secara 
kelembagaan. Yang disampaikannya yaitu  silakan 
memilih sesuai dengan hati nuraninya masing-masing 
dengan mempertimbangkan track record dan visi-misi 
dari calon ini . 
Proses pendidikan politik juga dilakukan oleh KH. 
Rahmaddin, sesepuh Pesantren YASFI dan tokoh 
Kampung Sawah, kepada   para  tokoh  agama. Ia mengajak 
para tokoh agama agar jangan sampai menyampaikan 
dakwahnya menyinggung persoalan SARA. Ia sadar 
bahwa Kampung Sawah sejak dari nenek moyangnya 
sudah beragam keyakinan dan agamanya. Bahkan 
keberagaman itu tidak tidak hanya di warga, namun  
juga di dalam keluarga. Maka  tidak  mengherankan  kalau 
di Kampung Sawah dalam satu  keluarga terdiri atas 
beberapa penganut agama. Misalkan, ayah beragama 
Kristen, ibu Islam, dan anaknya ada yang Islam dan 
ada yang Kristen. Menurut  Miharja   Rikin, di Kampung 
Sawah memang tidak aneh ada perkawinan yang beda 
agama. 

Dampak politisasi SARA bagi warga secara 
umum sangat berbahaya. warga  tidak hanya terbelah, 
namun  juga mudah terjebak dalam politik kebencian, 
permusuhan, dan konflik. Hiruk pikuk Pilkada DKI yaitu 
salah satu contoh paling menggiriskan. Persaingan yang begitu 
panas tidak hanya di tingkat elite. Di tingkat akar rumput 
pun terjadi radikalisasi pendukung yang satu sama lain saling 
menafikan. Tatanan sosial tidak hanya retak, warga pun 
terbelah. 
Temuan  lapangan   menunjukkan   gejala   yang 
berbeda dari warga di tempat-tempat lain. Politisasi 
SARA yang berkembang di Kampung Sawah nyaris tidak 
punya pengaruh yang menonjol . Bahkan bisa disebutkan 
bahwa politisasi SARA tidak mempan di Kampung Sawah. Ini 
setidaknya   terbukti dari beberapa hal berikut ini.1. Hubungan kekerabatan tidak terganggu
Hubungan  kekerabatan di Kampung Sawah tidak terganggu 
oleh isu SARA.   warga   tidak terpengaruh dengan adanya 
isu ini   sebab   warga tampaknya sudah cukup dewasa 
dan sudah terbiasa hidup rukun seperti biasanya. warga  
Kampung Sawah,  menurut Upallananda, tokoh agama Budha, 
memiliki rasa persaudaraan yang kuat dan toleransi antara satu 
sama lain dan terjalin sejak zaman nenek moyang keturunan 
mereka hingga sekarang di dalam warga. Kerukunan 
yang terjalin di warga Kampung Sawah dipicu 
dengan adanya  interaksi  sosial antarwarga maupun 
peran budaya lokal  Kampung Sawah.
 warga  asli Kampung Sawah ialah warga asli 
Betawi. Secara umum, warga Betawi diidentikkan dengan 
Muslim Betawi. Akan namun , di Kampung Sawah warga 
asli Betawi tidak hanya beragama Islam, melainkan ada juga 
orang Betawi yang beragama Katolik. Menurut KH Rahmadin, 
adanya warga Kampung Sawah yaitu sebuah 
kedamaian yang menciptakan kerukunan antarumat beragama 
di Kampung Sawah maupun Kota Bekasi. Dengan demikian 
warga tidak mudah terpengaruh dengan adanya isu SARA 
yang tersebar di warga Kampung Sawah.2. Tidak ada pembelahan sosial
 Interaksi warga berlangsung seperti biasanya 
dan tidak terganggu dengan isu SARA. Mereka mengetahui isu 
ini  namun  tidak untuk diperbincangkan pada warga 
lainnya. Isu ini  hanya sebagai informasi dan diketahui oleh 
kelompok-kelompok tertentu sebab  jika  itu dibicarakan 
akan memicu  dampak negatif di warga, sehingga 
isu ini  diselesaikan oleh pihak yang berwenang, yaitu 
Forum Umat Beragama dan Majelis Umat Beragama di 
Kampung Sawah.
 Pihak kelurahan selalu mengantisipasi bukan hanya 

  
dalam rangka pilkada sebab  Kampung Sawah dinobatkan 
sebagai Kampung Percontohan Kerukunan Umat Beragama 
dari Kementerian Agama. Kerukunan ini  dibangun 
melalui komunitas Forum Umat Beragama sebagai wadah 
berkumpul tokoh-tokoh agama dan warga agama. Forum 
ini  menjadi wadah persatuan dan dapat menyelesaikan 
isu-isu yang mengandung unsur agama baik pada saat pilkada 
maupun bukan pada saat pilkada.3. Aktivitas  warga berjalan normal
Isu  SARA  tidak  mengubah  aktivitas   atau   keadaan di 
lingkungan warga seperti hari-hari biasanya. sebab , 
menurut Jacob Napiun, isu ini  didapat tidak untuk 
disebar ke warga Kampung Sawah. Tidak ada perubahan 
sikap warga dalam menghadapi isu SARA pada pilkada di 
Kampung Sawah. 
Tokoh  agama selalu menyampaikan bahwa untuk dapat 
saling menjaga tradisi keagamaan dan sosial kewargaan, 
terutama bagi para pendatang yang datang ke Kampung 
Sawah agar dapat menyesuaikan diri pada tradisi keagamaan 
dan sosial kewargaan yang ada di lingkungan ini  
sehingga tidak saling  memancing  munculnya ketegangan 
yang memicu konflik dan perpecahan pada agama maupun 
sosial  warga.4. Tidak berpengaruh terhadap pilihan politik warga
Politisasi  SARA nyaris tidak berpengaruh terhadap pilihan 
politik warga Kampung Sawah. Hal ini terbukti dari hasil 
pemilihan Pilgub Jabar yang dimenangi oleh pasangan Ridwan 
Kamildan Uu Ruzhanul Ulum. Padahal kedua pasangan ini 
mendapat serangan politisasi SARA cukup gencar. 
Fenomena Kampung Sawah yang cukup kebal terhadap isu 
politisasi SARA yaitu fenomena yang unik. Daya tahan 
yang begitu kuat membuat politisasi SARA di Kampung 
Sawah seperti  tidak  mempan. Hasil  analisis  terhadap 
temuan lapangan  menunjukkan  bahwa daya tahan ini  

  
dipicu oleh beberapa hal, antara lain:1. Kedewasaan politik warga 
Isu ini  tidak mempengaruhi warga dalam 
menentukan hak pilih warga. Walaupun pada 
saat itu calon Wali Kota Bekasi keduanya berlatar 
belakang Muslim, namun  warga yang berbeda 
agama dapat memilih dan menilai mana pemimpin 
yang baik dan berhak memimpin sebagai Wali Kota 
Bekasi lima tahun yang akan datang. Menurut 
Kardi, Lurah  Jatimelati, warga   Kampung  Sawah 
menentukan   pilihan sesuai dengan hati nurani 
mereka tanpa adanya paksaan dari oknum tertentu 
atau ajakan dari warga  Kampung  Sawah.2. Rumah  ibadah  menjadi  wadah  sosial warga 
Bagi umat beragama, rumah ibadah yaitu 
tempat yang sakral bagi pemeluk agama dalam 
menjalankan kewajiban beribadah kepada Tuhan 
Yang Maha Esa dan menjadi tempat aktivitas sosial 
warga setempat. Rumah ibadah di Kampung 
Sawah menjadi wadah sosial tidak hanya bagi 
warga pemeluk agama yang bersangkutan, 
namun  warga secara umum.
Itulah sebabnya, menurut Kyai Rahmadin, isu SARA 
tidak berkembang di rumah Ibadah, baik di masjid, 
gereja, dan rumah ibadah lainnya sebab  rumah ibadah 
yaitu  sarana untuk berdoa dan mendekatkan 
diri pada Tuhannya. Kondisi ini , menurut 
Muhammad Ali, Lurah Jatimelati Kampung Sawah, 
menjadikan kegiatan politik tidak bisa disampaikan 
di rumah ibadah ataupun dalam kegiatan-kegiatan 
agama di kediaman warga.
Dalam kegiatan agama, menurut Kyai Rahmadin, 
agar tidak disampaikan apa yang dapat menyinggung 
perasaan warga. Persaudaraan warga 
di Kampung Sawah sudah terbangun sejak dahulu 
sehingga tidak pantas jika  ada persoalan politik 
yang disampaikan di mimbar-mimbar rumah 
ibadah, baik Islam maupun Kristen, sebab  jika  
itu disampaikan akan menimbulkan perpecahan di 
lingkungan warga Kampung Sawah. 3. Ormas atau komunitas  menjadi payung sosial
Di  Kampung  Sawah   ada   forum-forum, 
organisasi, atau yang  anggotanya  terdiri atas 
berbagai penganut agama. Beberapa kesepakatan 
yang dibuat yaitu  misalnya “Nyok  lestarikan budaya 
Kampung Sawah. Nyok jaga Kampung Sawah tetap 
rukun.“ Inilah yang dalam sosiologi disebut sebagai 
cross-cutting identities yang kemudian melahirkan 
cross-cutting  identities l oyalities.
Dari kesadaran ini  lahir sejumlah forum, 
komunitas, ormas, atau apapun namanya, seperti 
komunitas ”ngariung bareng”, MUB (Majelis Umat 
Beragama), PUB (Paguyuban Umat Beragama), dan 
SKS (Suara Kampung Sawah). SKS ini melahirkan 
Radio Kampung Sawah dan buletin Kampung Sawah. 
Ada juga Forum Bhinneka Tunggal Ika.     
Keberadaan forum dan wadah-wadah yang 
mempertemukan warga yang beragam dari segi 
agama dan suku itu telah berhasil menjadi payung 
sosial bagi usaha  memperkuat  kohesi sosial yang 
telah  terbangun  cukup lama.4. Media menjadi sarana edukasi
Untuk menunjang penyebaran informasi tentang 
persaudaraan dan menjaga kerukunan antar umat 
beragama,  di Kampung Sawah hadir juga sejumlah 
media, baik cetak maupun online. Di antaranya yaitu  
ada Radio Suara Kampung Sawah, Buletin Suara 
Kampung Sawah, dan website.    
Radio SKS ini digagas oleh  tiga orang,  yaitu  Pak   Yacob 
(Katolik),  seorang  lagi  dari GKJ ( Gereja  Kristen  Jawa), 
dan seorang dari Servas pada tahun 2012. Sempat 
vakum, pada 2014 Radio SKS mulai menyiapkan 
sumberdaya manusia dengan menyelenggarakan 
pelatihan menulis, jurnalisme damai  dengan 
mengundang  para  pakar dibidangnya.  Pada 

  
Desember 2014,  SKS terbentuk kepengurusannya 
yang disponsori oleh YAKOMA-PGI (Yayasan 
Komunikasi warga -Persekutuan Gereja-Gereja 
di negara kita). Menurut Pak Yacob, semua peralatan 
penyiaran disumbang dari Yakoma dan bahkan  SKS 
menjadi kelompok kerja dari Yakoma.  
Selain  membuat  Radio, SKS sempat juga menerbitkan 
buletin SKS  pada tahun 2014. Buletin dicetak 
sebanyak 1.500 eksemplar dan distribusikan ke 
masjid-masjid  dan gereja-gereja secara gratis. Dalam 
perkembangannya,  buletin ini tidak bisa terbit lagi 
sebab  alasan pembiayaan.5. Sistem  kekerabatan memperkuat  ikatan  sosial
warga  Kampung Sawah antara keluarga yang 
satu dengan yang lain terikat hubungan persaudaraan. 
Jika dirunut satu dengan yang lainnya, mereka berasal 
dari keturunan yang sama, baik dari pihak kakek 
maupun nenek. Istilah mereka “berasal dari satu 
pu’un”  (berasal dari kata: satu pohon).  Agar keturunan 
ini tidak bercerai berai, menurut Bossin, salah seorang 
tokoh Kampung Sawah, mereka mengikatnya dengan 
sistem kekerabatan yang hingga saat ini masih tetap 
terjaga. Oleh sebab  itu, tidaklah aneh di Kampung 
Sawah akan dijumpai dalam satu keluarga atau satu 
keturunan memiliki ragam pemeluk agama, baik Islam 
maupun Kristen. Mereka tetap bersaudara walaupun 
berbeda agama.
Hubungan persaudaraan warga Kampung 
Sawah, menurut I nengah Dunia, tokoh agama 
Hindu, juga disesuaikan kepada warga baru 
yang tinggal di wilayah Kampung Sawah. Mereka 
menganggap bahwa siapa pun yang tinggal di wilayah 
ini  maka harus mengikuti tradisi di warga 
Kampung Sawah. Hubungan ini  menjadikan 
suatu keunikan bagi warga Kampung Sawah 
untuk dapat saling menghargai dan hidup rukun bagi 
siapa pun yang datang ke Kampung  Sawah.
Sistem marga mampu mewujudkan kebersamaan, 
silaturahmi tetap terjaga, dan keikatan keluarga agar 
tidak bercerai berai diantara mereka. Sistem marga 
telah menjadikan kehidupan warga Kampung 
Sawah  sangat   plural,   toleran,   dan saling menghormati 
satu dengan yang lainnya 
Ikatan persaudaraan yang sudah terbangun sejak 
dahulu di warga  Kampung Sawah membuat 
sulitnya hal-hal yang bersifat negatif untuk masuk di 
wilayah Kampung Sawah. Ikatan persaudaraan sudah 
kental di warga Kampung Sawah sehingga 
mereka tidak mudah terpengaruh dengan adanya isu 
SARA. 6. Budaya Menjadi perekat
Kampung Sawah memiliki sejumlah nilai, norma, dan 
budayanya, yang tercermin dalam bahasanya (dialek), 
kesenian, pakaian, makanan, dan sistem keyakinan 
dalam agama dan lainnya.
Menurut Upallananda Suteja, sistem budaya mengikat 
warga untuk saling bersatu, bersama, dan menjaga 
agar tidak terjadi   politisasi SARA di Kampung Sawah. 
Budaya ini  menjadikan warga saling 
berhubungan, berinteraksi, serta berkomunikasi 
antara satu   dengan yang lainnya tanpa membedakan 
kepentingan   dan golongan diantara mereka. 
Beberapa kegiatan ini , diantaranya gotong 
royong dan sistem keamanan lingkungan.
Hal itu diwujudkan dalam sikap, perilaku, dan tingkah 
laku sehari-harinya. Misalnya, arus urbanisasi yang 
masuk ke Kota Bekasi, dan kebetulan ke Kampung 
Sawah tidak sebanyak wilayah lainnya di Kota Bekasi, 
telah menimbulkan kultur yang sangat majemuk. 
Akan namun     diantara   kehidupan itu, orang Kampung 
Sawah menanggapinya dengan sikap toleransi yang 
tinggi. Mereka sangat lentur dalam menanggapi 
berbagai pengaruh dari luar dan dari dalam. Toleransi 
itu ditunjukkan dengan sikap yang lebih konkret berupa 
keramah-tamahan. Nilai ini sudah terbentuk dalam 
pribadi-pribadi orang Kampung Sawah. Keramah-

  
tamahan terarah kepada siapa saja termasuk kepada 
orang lain yang belum dikenalnya.
warga  Kampung Sawah juga memiliki budaya 
yang masih dipegang dan menjadi tradisi dalam 
kehidupannya. Tradisi yang dipegang dari budaya-
budaya yang ada, menurut Jacob Napiun, mampu 
menyatukan sikap pandang warga Kampung Sawah. 
Mereka tidak tersekat dalam kotak-kotak layaknya 
organisasi dan golongan. Tetapi tradisi yang dipegang 
mampu mengikat mereka dari sekat-sekat yang ada, 
baik sekat etnis, agama, atau kepentingan lainnya. 
Bahwa tradisi seperti sedekah bumi, lebaran Betawi, 
atau tradisi saat panen tiba telah menjadi acara rutin 
dan menjadi tradisi turun-temurun, untuk secara 
bersama-sama berkumpul dari berbagai golongan. 
Kegiatan ini tidak dimiliki oleh wilayah lain yang ada 
di Kota Bekasi.

1. Politisasi   SARA  dalam Pilkada Jawa Barat dan Pilpres 2019 
cukup kencang di Kampung Sawah. Dari sejumlah politisasi 
SARA yang beredar di Kampung Sawah, pola penyebarannya 
rata-rata dilakukan melalui media sosial. 
2. warga  Kampung Sawah memiliki daya tahan yang 
cukup kuat menghadapi politisasi SARA. Faktor paling kuat 
dari daya tahan Kampung Sawah yaitu  adanya sistem 
kekerabatan yang sekaligus menjadi simpul dari cross-
cutting  afilliations dan cross-cutting loyalities. Sistem marga 
(kekerabatan) yang mengakar kuat di Kampung Sawah 
telah mampu mewujudkan kebersamaan, silaturrahmi 
tetap terjaga, dan keikatan keluarga agar tidak bercerai 
berai diantara mereka. Sistem marga telah menjadikan 
kehidupan warga Kampung Sawah sangat plural, 
toleran, dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. 
Bahkan dengan sistem marga seperti itu sistem kekerabatan 
warga Kampung Sawah menjadi luas dan kuat dengan 
pluralitas keagamaan.

3. warga  Kampung Sawah merespons politisasi SARA 
dengan cara yang sangat cerdas,  mulai  dari  usaha   klarifikasi 
ke tokoh-tokoh agama maupun tokoh warga, 
melokalisir isu hanya di kalangan komunitas, bahkan hanya 
berhenti pada dirinya sendiri, hingga peran tokoh yang 
secara  aktif  melakukan edukasi kepada warga.
Rekomendasi
Berkaca  dari   pengalaman Kampung Sawah dalam menghadapi 
politisasi SARA, beberapa rekomendasi berikut penting 
ditindaklanjuti:
1. Bawaslu   perlu   melakukan replikasi pengalaman Kampung 
Sawah  ke kawasan-kawasan lain dengan pendekatan dan 
kerja  sama dengan lurah atau kepala desa sebagai unit 
pemerintahan terkecil agar mendorong warga dan 
desa/kelurahan  sebagai   kawasan pengawasan partisipatif. 
2. Bawaslu  perlu bekerja sama dan berjejaring dengan 
kalangan ormas, lembaga-lembaga sosial, kelompok-
kelompok hobi, komunitas-komunitas kecil, dan berbagai 
pihak untuk membangun pengawasan partisipatif yang 
terpadu.
3. Khusus  kepada  tokoh agama dan tokoh warga, 
khususnya di tingkat desa/kelurahan, Bawaslu perlu 
memberikan perhatian khusus sebab  peran mereka di 
warga sangat penting untuk mendorong warga 
terlibat  dalam  pengawasan   partisipatif.

Praktik politik uang (money politics) dalam pemilu kita 
selama ini seolah telah menjadi praktik yang lazim terjadi. 
Apakah itu terjadi dalam bentuk bagi-bagi uang, pemberian 
barang atau lainnya, baik diberi  kepada individu maupun 
secara kolektif kepada kelompok tertentu.  Tidak mudah 
memberantasnya,meskipun pada setiap pemilu telah ada 
usaha  yang dilakukan oleh pengawas pemilu dan stakeholder 
lainnya untuk mencegah atau menindaknya. 
Banyak  faktor   yang  memicu sulitnya 
memberantas praktik politik uang. Salah satunya yaitu  
sebab  praktik politik uang ini telah menjadi budaya, baik dari 
warga pemilih maupun kontestan. Banyak warga pemilih yang 
permisif dengan menganggap politik uang sebagai hal yang 
lumrah terjadi. Kalau tidak ada praktik semacam ini justru 
dianggap aneh dalam pesta demokrasi. Sementara kontestan 
pemilu juga meyakini praktik itu menjadi hal biasa sebagai 
pelicin, pengikat,atau cara yang instan dalam mendulang 
suara. Tidakmengherankan jika ada sebagian kalangan 
meyakini praktik politik uang ini salah satu penyumbang bagi 
angka partisipasi pemilih. Praktik politik uang diduga kuat 
tumbuh subur sebab  kuatnya patronase pemerintah desa 

  
yang  berafiliasi   pada politik uang. Hal ini senada dengan yang 
disampaikan oleh Bambang Eka Cahya :
“Dalam konteks politik uang, caleg dan partai 
politik sering kali yaitu  kekuatan supra desa yang 
mencari pijakan politik melalui aparatur desa dan 
organisasi sosial di desa. Organisasi-organisasi itu 
justru melanggengkan praktik patronase politik dan 
klientelisme, dan menumbuhkan ketergantungan 
terus-menerus pada kekuatan supra desa. Kalaupun 
ada kekuatan dari internal desa yang berani melawan 
dan menentang praktik politik uang dapat dipastikan 
mereka bukan bagian dari oligarkhi desa yang 
terlibat dalam praktik fasilitasi dan tidak memiliki 
ketergantungan ekonomi secara relatif dengan struktur 
sosial desa. Mereka yaitu  lapisan kelas menengah 
terdidik yang secara ekonomi mandiri.” (1)
Selain itu, sistem pemilu juga turut menyumbang bagi 
tumbuh suburnya politik uang. Hal ini sebagaimana yang 
diungkapkan salah satu calon anggota DPR RI Dapil DIY 
(Bambang Praswanto):
“Salah satu penyebab maraknya praktik politik uang 
yaitu  berubahnya sistem proporsional tertutup 
menjadi proporsional terbuka. Dengan sistem ini , 
caleg berlomba-lomba untuk meraih suara dengan 
cara politik uang. Di samping itu, caleg  incumbent 
yang memakai  fasilitas dana aspirasi untuk 
kampanye dirasakan oleh caleg lainnya kurang fair. 
Dengan kondisi begitu, maka mau tidak mau caleg 
lainnya juga terdorong untuk melakukan politik uang. 
Meski sebenarnya sikap pragmatis warga juga 
memiliki porsi besar dalam mendorong terjadinya 
politik uang.” (2)
Berkaca dalam setiap lanskap pemilu di mana politik uang 
1 Diambil dari catatan-catatan dari lapangan terkait Desa Anti Politik 
Uang yang disampaikan pada acara Rapat Koordinasi & Evaluasi Gerakan 
Anti Politik Uang Dalam Pemilu Tahun 2019 yang dilaksanakan pada 21-22 
September 2019.
2 Hasil wawancara dengan Bambang Praswanto, Caleg DPR RI Dapil DIY 
pada tanggal 6 November 2019.
selalu  terjadi, hal ini menjadi   ancaman yang sangat serius 
bagi usaha  membangun kualitas pemilu. Seorang pemimpin 
atau wakil rakyat dapat terpilih sangat mungkin bukan sebab  
trackrecord atau kualitas visi, misi, dan programnya melainkan 
sebab  seberapa besar dan masif melakukan politik uang. Jika 
ini yang terjadi, ujungnya pemimpin atau wakil rakyat yang 
menjabat cenderung kurang amanah dan tergoda melakukan 
praktik korupsi untuk mengembalikan modal politik uang 
ini . 
Kehadiran Bawaslu dalam desain UU 7 Tahun 2017 tentang 
Pemilihan Umum, diantaranya ditugaskan untuk mencegah 
politik uang dan mendorong pengawasan partisipatif. 
Tantangan mandat ini yang kemudian mendorong Bawaslu 
DIY untuk melakukan terobosan untuk mencegah sekaligus 
melawan  politik uang,tidak hanya dari atas namun  dari bawah. 
Caranya yaitu  dengan model membangun gerakan sosial 
berbasiskan desa/kelurahan yang dinamakan desa anti politik 
uang (Desa APU).  Gerakan ini mengasumsikan akan melibatkan 
makin banyak elemen desa dalam pengawasan partisipatif, 
khususnya dalam gerakan anti politik uang.
Desa/kelurahan yang dipilih sebagai basis gerakan ini 
didasari beberapa alasan. Pertama, sebab  desa/kelurahan 
yaitu unit pemerintahan terkecil atau terendah yang 
bersentuhan dengan warga. Jika pemerintah desa sebagai 
unit pemerintahan terkecil berkomitmen atas politik uang, 
asumsinya organ Bawaslu dapat membangun kemitraan 
dengan pemerintah desa. Melalui kemitraan ini kinerja 
Desa APU dapat dikonsolidasikan dan termonitor. Kedua, 
warga desa selama ini dianggap sasaran yang empuk dalam 
melancarkan politik uang. Ketiga, tidak jarang tokoh desa, 
baik tokoh dalam institusi formal maupun nonformal, menjadi 
agen paling bawah bagi berjalannya  praktik politik uang. Atas 
asumsi dasar ini , Bawaslu DIY membangun keyakinan 
bahwa desa yaitu  episentrum  strategis dalam menolak 
dan melawan politik uang. 
Fase awal yang dilakukan oleh Bawaslu DIY, selain 
pertukaran gagasan dengan Bambang Eka Cahya (mantan 
Ketua Bawaslu), yaitu  dengan membangun komunikasi 

  
dengan Desa Murtigading, Sanden, Bantul sebagai desa 
yang telah mempraktikkan Desa APU dalam Pilkades 2016. 
Selanjutnya, dalam menginstalasi program Desa APU ini, 
Bawaslu DIY dengan kewenangan yang dimiliki kemudian 
mewajibkan kepada Bawaslu Kabupaten/Kota di DIY untuk 
mencari mitra 1 (satu) desa/kelurahan untuk menjadi Desa 
APU selama perhelatan Pemilu 2019. Desa APU yang dipilih 
asumsinya akan dijadikan piloting atau percontohan dalam 
pengembangan Desa APU.
Bawaslu DIY juga membuat Buku Panduan Desa APU 
yang didalamnya diantaranya memuat pembagian peran 
pengawas pemilu serta penentuan kualifikasi desa/kelurahan 
yang dapat dipilih menjadi Desa APU. Kualifikasi itu bersifat 
alternative, namun akan semakin baik jika semakin banyak 
terpenuhi kualifikasi itu. Adapun kualifikasi itu antara lain: 
a. Adanya komitmen dari struktur pemerintah 
di desa/kelurahan setempat yang mendukung 
gerakan APU;
b. Adanya  organisasi warga sipil atau 
kelas menengah di desa/kelurahan setempat 
yang sadar dan  mendukung  gerakan desa/
kelurahan APU; 
c. Track record desa/kelurahan yang mendukung 
bagi terbentuknya desa/kelurahan APU;
d. Adanya kemauan dari stakeholders di desa/
kelurahan setempat untuk membangun 
kemitraan dengan pengawas pemilu dalam 
menolak dan  melawan  praktik politik uang;
e. Adanya kemauan membangun sistem yang 
menjadi konsensus bersama untuk menolak 
dan melawan praktik politik uang.
Sebagai sebuah ide gerakan sosial, ternyata akhirnya 
Desa APU ini melampaui target awal yang dicanangkan,yakni 
sebanyak 5 (lima) Desa APU. Hingga menjelang tahapan 
kampanye usai,telah ada 40 Desa APU yang terbentuk 

Urgensi  dari penelitian ini, diantaranya yaitu : pertama, 
untuk mendokumentasikan inovasi pencegahan politik uang 
dan pengawasan partisipatif melalui gerakan sosial  Desa APU 
yang dilakukan di DIY. Kedua, sebagai sebuah pembelajaran 
untuk pengembangan bagi Desa APU selanjutnya untuk 
penyelenggaraan pilkada atau pemilu selanjutnya. Ketiga, 
sebagai  sumber inspirasi daerah lain untuk mereplikasi atau 
memodifikasi  gerakan serupa untuk kegiatan pilkada  atau 
pemilu selanjutnya. 
Penelitian ini untuk melihat sejauhmana pola 
perorganisasian gerakan sosial Desa APU yang dilakukan di DIY 
dalam  konteks  Pemilu 2019. Cakupan  penelitian ini yaitu  
seluruh Desa APU di DIY. Kelemahan penelitian ini, tidak akan 
sangat mendalam untuk mengeksplorasi semua Desa APU 
mengingat  jumlahnya cukup banyak.  
Penelitian ini bersifat deskriptif kualititatif. Metode 
penelitian ini yaitu  deskriptif-eksplanatif, di mana Peneliti 
menjelaskan     gerakan   sosial  Desa  APU ini. Wawancara 
dilakukan   terhadap beberapa  aktor  kunci untuk 
mengkonfimasi lebih jauh terkait kinerja Desa APU tertentu 
untuk mengkonfirmasi data yang belum jelas atau yang 
dianggap menarik untuk kepentingan pembelajaran (
  
Rumusan masalah  dalam penelitian ini antara lain: 
1. Bagaimana Gerakan Desa Anti Politik Uang dalam 
Pemilu 2019 di DIY?
2. Apa hambatan yang dihadapi dalam membangun 
gerakan sosial Desa APU di DIY?
C. KAJIAN   TEORI 
1. Gerakan   Sosial   (Social Movement)
Perihal diskursus soal gerakan sosial, tidak ada definisi 
tunggal mengenai konsep gerakan sosial sebagai suatu gejala 
sosial. Giddens (1993: 642) mendefinisikan gerakan sosial 
sebagai suatu usaha  kolektif untuk mengejar suatu kepentingan 
bersama atau mencapai tujuan bersama melalui tindakan 
kolektif di luar lingkup lembaga yang mapan. Senada dengan 
definisi ini , Sydney Tarrow (1998: 4) mendefinisikan 
gerakan sosial yaitu  tayangan kolektif yang didasarkan pada 
tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang 
berkelanjutan dengan para elite, penentang, dan pemegang 
wewenang.
Tarrow (1998) menempatkan gerakan sosial di dalam 
kategori yang lebih umum tentang politik perlawanan 
(contentius  politics). Politik perlawanan bisa mencakup gerakan 
sosial, siklus penentangan, dan revolusi. Politik perlawanan 
terjadi saat   rakyat  biasa sering bergabung dengan para 
warga yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk 
melawan para elite, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan 
lainnya. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang 
kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-
simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi 
yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya 
yaitu  gerakan sosial. Masih menurut Sydney Tarrow, konsep 
gerakan sosial harus memiliki empat properti dasar 
mengganggu, menghalangi, atau membuat ketidakpastian 
terhadap  aktivitas  pihak lain. 
Kedua, tujuan bersama (common purpose). Ada banyak 
alasan yang bisa dikemukakan tentang mengapa orang 
bergabung dalam suatu gerakan sosial, dari sekedar keinginan 
nakal, mencemooh otoritas, hingga insting gerombolan yang 
tidak jelas tujuannya. Tidak  semua  konflik semacam itu muncul 
dari kepentingan kelas, namun  nilai dan kepentingan bersama 
dan tumpang-tindih yaitu basis dari tindakan-tindakan 
bersama.
Ketiga, solidaritas dan identitas kolektif. Sesuatu yang 
menggerakkan secara bersama-sama dari gerakan sosial 
yaitu  pertimbangan partisipan tentang kepentingan bersama 
yang kemudian mengantarai perubahan dari sekadar potensi 
gerakan menjadi aksi nyata. 
Keempat, memelihara politik perlawanan. Dengan 
memelihara aksi kolektif melawan pihak musuh, suatu episode 
perlawanan bisa menjadi gerakan sosial. Tujuan kolektif, 
identitas bersama, dan tantangan yang dapat diidentifikasi 
membantu gerakan untuk memelihara politik perlawanan ini. 
Sebaliknya, jika mereka tidak mampu memelihara tantangan 
bersama, gerakan mereka akan menguap menjadi semacam 
kebencian atau kemarahan individual, atau berubah menjadi 
sekte religius, atau mungkin menarik diri  ke dalam isolasi. 
sebab  itu, memelihara aksi kolektif dalam interaksi dengan 
pihak lawan yang kuat  menandai titik pergeseran di mana 
suatu penentangan berubah menjadi suatu gerakan sosial. (4)
2. Politik Uang
Pada awal reformasi, istilah politik uang digambarkan 
sebagai : (i) praktik suap di kalangan lembaga legislatif –
dalam pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD; 
(ii) pembelian suara dalam kongres partai politik; dan (iii) 
penggelapan uang proyek pemerintah atau penerimaan suap 
dari pengusaha. Namun demikian, saat ini istilah politik uang 
dipakai  dalam konteks yang lebih sempit. Sebagaimana 
kesimpulan yang disampaikan oleh  Edward  Aspinal  dan  Mada 

Sukmajati, politik uang digambarkan sebagai praktik yang 
merujuk pada distribusi uang –tunai maupun bentuk barang- 
dari kandidat kepada pemilih pada saat pemilu. (5)
Lebih lanjut, Aspinal & Sukmajati memfokuskan 
definisi politik uang pada konsep patronase dan klientelisme. 
Pendefinisian istilah ini  sebenarnya didasarkan pada 
standar yang   ada dalam berbagai  studi komparasi tentang 
politik elektoral di berbagai negara. Menurutnya,  patronase 
–merujuk pada Martin Shefter- didefinisikan sebagai 
sebuah pembagian  keuntungan di antara  politisi untuk 
mendistribusikan   sesuai secara   individual kepada pemilih, para 
pekerja, atau pegiat kampanye, dalam rangka memperoleh  
dukungan politik dari mereka. Dengan demikian, disimpulkan 
bahwa patronase merujuk pada materi atau keuntungan 
lain  yang     didistribusikan  oleh politisi kepada pemilih  atau 
pendukung. (6)
Sedangkan, klientelisme  diartikan sebagai karakter 
relasi   antara   politisi    dan   pemilih atau pendukung. Pendefinisian 
ini salah satunya didasarkan pada pendapat Allen  Hicken  yang 
menjelaskan bahwa klientelisme setidaknya mengandung 3 
(tiga) hal, yakni: (i) kontingensi atau timbal balik; pemberian 
barang atau jasa dari satu pihak, yaitu respons langsung 
terhadap pemberian keuntungan dari pihak lain; (ii) hierarkis; 
ada penekanan pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang 
antara patron dan klien; (iii)  aspek pengulangan; pertukaran 
klientelistik  berlangsung  secara   terus-menerus. (7)
Ada   banyak    variasi   bentuk patronase.   Hasil 
5 Edward Aspinal dan Mada Sukmajati, 2015. Politik Uang di negara kita : 
Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta : 
6 Berdasarkan pendapat Shefter ini , Aspinal dan Sukmajati selanutnya 
menyimpulkan bahwa patronase yaitu pemberian uang tunai, barang, 
jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya –seperti pekerjaan atau kontrak proyek- 
yang didistribusikan oleh politisi, termasuk keuntungan yang ditujukan pada 
individu (misalnya amplop berisi uang tunai) dan pada kelompok (misalnya 
lapangan sepak bola baru untuk pemuda kampung). Ibid.,hlm, 3.
7 Menurut Hicken, tidak semua patronase didistribusikan dalam relasi yang 
benar-benar bersifat klientelistik. Misalnya seorang kandidat memberikan 
barang untuk pemilih yang belum pernah dia temui dan yang mungkin tidak 
akan pernah dia temui lagi. Relasi semacam ini tidak bisa disebut sebagai 
relasi yang berulang sebab  relasi ini yaitu relasi tunggal. 
 
eksplorasi (8)  yang  dilakukan oleh Aspinal menyimpulkan 
bahwa bentuk politik patronase terdiri atas: (i) pembelian 
suara (vote buying); (ii)pemberian pribadi (individual gifts); (iii) 
pelayanan dan aktivitas (service and activities); (iv) barang-
barang kelompok (club goods); (v) proyek  ‘gentong babi’ (pork 
barrel   projects). 
Lain halnya dengan Aspinal dan Sukmajati, Muhtadi 
berpendapat bahwa menurut Stokes, politik uang ditargetkan 
oleh  partai  politik  pada kalangan pendukung lawan yang lemah 
iman pilihan politiknya (swing voters).  Sedangkan Nitcher 
berpandangan sebaliknya, partai politik justru menyasar basis 
pemilih  mereka  sendiri untuk meningkatkan partisipasi  dalam 
memilih. (9)
Masih  menurut Muhtadi, patron-klien yaitu  
penyebab utama merebaknya praktik politik uang di negara-
negara berkembang. Studi tentang klientelisme dibagi 
menjadi tiga aliran. Pertama,aliran determinis yang pararel 
dengan teori modernisasi. Menurut aliran ini, klientelisme 
digambarkan sebagai warisan zaman pramodern dalam 
relasi sosial politik. Asumsi yang dibangun yaitu  patron-
klien dapat diatasi jika negara itu sudah modern –baik 
ekonomi maupun politik. (10)Kedua, argumen kebudayaan. 
Patron-klien dinilai sebagai produk sosial-budaya di mana 
kelompok yang memiliki keistimewaan tertentu (patrons) 
memberikan keuntungan  (materi)  sebagai  imbalan atas 
loyalitas pengikutnya (clients).  (11)Ketiga, aliran institusionalis. 
Aliran ini menekankan pada desain institusi politik yang 
berjasa menyebarkan praktik patron-klien, misalnya pemilu 
yang kompetitif dan sistem multipartai ditengarai menjadi 
penyebab maraknya patronase politik dalam sistem pemilu, 
desentralisasi, dan proses pengambilan keputusan.

 GERAKAN  SOSIAL  DESA  APU
1. Fase  Awal  Gerakan
a Kesadaran  Kolektif  Pemuda
Gerakan Desa Anti Politik Uang (Desa APU) 
yaitu bentuk kesadaran kolektif warga desa untuk 
berkomitmen menolak praktik politik uang dalam setiap 
kontestasi demokrasi. Ada ragam alasan mengapa kesadaran 
ini dapat tumbuh bersama meski tertatih pelan. Satu alasan 
misalnya, praktik jual beli suara dalam pemilu memiliki dampak 
yang sangat buruk bagi pembangunan.  Alasannya   sederhana, 
kontestan pemilu yang melakukan praktik jual-beli suara hanya 
akan berorientasi pada pengembalian modal melalui cara-cara 
koruptif saat  sudah menduduki jabatan yang diembannya. 
Paradigma semacam ini bukan hanya disadari oleh segelintir 
orang saja. Bahkan sebagian kalangan warga sangat 
permisif dengan praktik jual-beli suara. Namun yang menjadi 
pertanyaan kemudian yaitu  kesadaran macam apa yang 
terbangun? Apakah kesadaran untuk menolak atau hanya 
sekadar menyadari itu perbuatan buruk lalu membiarkan saja?
Memang sebagian warga negara kita, termasuk 
di Yogyakarta masih permisif terhadap praktik politik uang. 
Namun dibalik itu, masih ada kesadaran kolektif di tingkat 
desa (Murtigading (13)) yang secara tegas menolak dan melawan 
politik uang dalam Pemilu 2019. Jika merujuk pada Dhurkeim, 
kesadaran kolektif (collective conciusness) ini berada di luar 
individu, namun memiliki daya paksa terhadap individu-
individu  sebagai  bagian dari warga ini .
Kesadaran ini sebetulnya sudah muncul sejak 
adanya gelaran Pemilihan  Kepala Desa Tahun 2016 di Desa 
Murtigading. Pada perhelatan pergantian kepemimpinan 
kepala desa, warga Desa  Murtigading memiliki komitmen 
untuk menolak dan melawan politik uang. Terbukti, kepala 
desa   terpilih  yaitu  kontenstan yang tidak melakukan jual-
beli suara  dalam  Pilkades.
Masih terekam dalam memori Kepala Desa 
Murtigading, pada Pilkades Tahun 2016 muncul inisiasi dari 
kelompok pemuda yang mengatasnamakan diri sebagai Tim 
13 Merupakan salah satu Desa di Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
11 (14)yang  melakukan komunikasi kepada masing-masing 
calon kepala desa untuk tidak melakukan  praktik politik 
uang. Tindak lanjut dari komunikasi  ini   selanjutnya 
dituangkan   dalam  komitmen bersama warga warga 
dengan mendeklarasikan diri untuk tidak melakukan praktik 
politik uang pada Pilkades Desa Murtigading Tahun 2016. 
Secara khusus, dalam kacamata Tim 11, tujuan dari gerakan 
ini   meliputi  3  (tiga) hal,  yakni:
1) Memberikan  pendidikan politik kepada 
warga terkait Pilkades Murtigading Tahun 
2016;
2) Melakukan penyadaran kepada warga 
terkait bahaya  dari politik uang atau jual-beli 
suara yang  kemungkinan dilakukan saat  Pilkades 
di Murtigading;
3) Mengkampanyekan kepada warga bahwa 
masih ada sebagian warga yang menginginkan 
pemilihan secara jujur, bersih, dan adil.
Selain tujuan ini , gerakan warga tolak 
politik uang dalam Pilkades dilakukan melalui kegiatan-
kegiatan, diantaranya :
1) Membentuk Tim 11 sebagai forum warga 
yang  peduli  dalam mengawal Pilkades secara 
jujur dan adil;
2) Melaksanakan debat kandidat calon kepala desa 
dengan mengundang warga umum untuk 
hadir;
3) Mengikat komitmen bersama calon kepala desa 
dan warga untuk tidak melakukan politik 
uang;
4) Kampanye anti politik uang melalui pembuatan 
kaos;
5) Memanfaatkan media sosial sebagai media untuk 
menjangkau warga secara  cepat dan efektif;
6) Melakukan  pemantauan melalui  Tim  Independen 
Pemantau  Pilkades Murtigading.
14 Dinamakan Tim 11 sebab  berjumlah 11 orang yang berasal dari Pimpinan 
Ranting Pemuda Muhammadiyah.

  
Pada perjalanannya, menurut penuturan Kepala 
Desa Murtigading (Drs. Sutrisno), setelah adanya deklarasi 
ini  bukan berarti tidak ada indikasi politik uang. 
Berdasarkan temuan warga, ada salah satu calon kepala 
desa –bagian dari dinasti politik kepala desa sebelumnya- 
ketahuan melakukan politik uang. Dengan adanya kejadian 
ini selanjutnya warga warga melaporkan kepada Tim 11. 
Setelah dilakukan klarifikasi, ternyata memang benar terjadi 
politik uang oleh salah satu peserta Pilkades. Atas dasar itu, 
berdasarkan komitmen yang telah dibangun sebelumnya, Tim 
11  mengekspos  tindakan  politik uang ini  di jaringan media 
sosial Desa Murtigading. Dengan kejadian ini, warga 
Murtigading memberikan sanksi dengan tidak memilihnya. 
Dengan kata lain, jumlah uang yang dikeluarkan tidak 
sebanding lurus perolehan suara, namun berlaku sebaliknya. 
Pada akhirnya, kepala desa terpilih yaitu  salah satu peserta 
yang tidak  melakukan politik  uang dalam Pilkades 2016.
Meminjam teori konsensus yang dikembangkan 
Emil Dhurkeim, solidaritas yang dibangun oleh warga 
Murtigading dalam menolak politik uang itu bersifat mendasar 
dibandingkan  hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan 
rasional (Campbel, 1994:179-180). Hal ini  sekurang-
kurangnya disebab kan gerakan ini  mengandaikan satu 
tingkat konsensus terhadap prinsip moral yang menjadi dasar 
dari gerakan ini .
Bak gayung bersambut, kesadaran kolektif yang telah 
terbangun dalam sebuah gerakan tolak politik uang Pilkades 
2016 ini  menjadi perhatian khusus bagi Bawaslu DIY. 
Sebagai suatu lembaga yang memiliki tugas mencegah politik 
uang dalam Pemilu, Bawaslu DIY seakan menemukan angin 
segar untuk berinovasi dalam rangka menjalankan ketugasan 
ini .
Pada tataran praktis, kesadaran kolektif warga 
Desa Murtigading ini kemudian direplikasi melalui sebuah 
Deklarasi Desa Anti Politik Uang pada Pemilu 2019. Secara 
singkat, perjalanan menuju deklarasi ini  dimulai dengan 
adanya komitmen bersama antara Bawaslu DIY beserta 
jajaran di bawahnya, UMY, dan  Tim 11  yang  difasilitasi  oleh 
Pemerintah Desa  Murtigading  untuk mendeklarasikan  APU. 
Bermodal komitmen bersama antara Bawaslu DIY, 
Bawaslu Kabupaten Bantul, Panwaslu Kecamatan Sanden, 
UMY, Tim 11, Pemerintah    Desa    Murtigading,  LSM/NGO, 
ormas, dan seluruh lapisan warga,   pada 22 April 2018 
Deklarasi  Desa Anti Politik Uang dalam Pemilu 2019 sukses 
ditunaikan. Selain  dihadiri oleh kurang lebih dari 3.000 warga 
warga,  kegiatan deklarasi ini juga diikuti oleh partai 
politik  peserta  Pemilu 2019.
Dalam kacamata Bambang Eka Cahya (Dosen Fisipol 
UMY), gerakan   Desa   Anti   Politik   Uang ini memiliki tujuan :
1) Mengembalikan sikap kritis warga terhadap 
relasi sosial yang tidak seimbang dan hierakis;
2) Memperkuat kemandirian warga dan 
menumbuhkan daya tawar (bargaining position) 
warga di hadapan penguasa;
3) Mengembalikan  kekuasaan menjadi urusan publik 
dimana kekuasaan harus dipertanggungjawabkan 
secara   akuntabel;
4) Mengembalikan kehidupan politik sebagai 
hubungan sosial yang didasarkan saling percaya 
(trust) bukan  manipulasi  transaksional;
5) Menumbuhkan tradisi diskusi, dialog, dan debat 
dalam   merumuskan   kebijakan   publik;
6) Menghapus budaya koruptif dan budaya suap 
dalam   warga.
7) Mendidik  penguasa  untuk  responsif  dan tanggap 
terhadap  persoalan  warga.
Meski terbilang sukses, bukan berarti gerakan ini 
nir-kendala. Masih dalam kacamata Bambang Eka Cahya, 
berdasarkan   fakta di lapangan, kendala-kendala dalam 
gerakan  ini  setidaknya  terbagi  ke dalam tiga isu besar, yakni:
Pertama, kuatnya budaya neopatrimonialisme, dalam politik 
patrimonialisme, sang klien (warga) dengan sadar 
mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, tersubordinasi 
oleh  kedigdayaan  sang  patron  yang  karismatik.  Akibatnya, 
pola relasi patron-klien berjalan tak berimbang. Bandul 
pendulum lebih banyak bergerak ke arah sang patron 

  
ketimbang  sang  klien. 
 Kedua, perlawanan terhadap praktik politik uang 
tidak semata persoalan menolak pemberian dalam urusan 
pemilu, namun  juga persoalan mengubah budaya patronase 
politik menjadi budaya yang egaliter. Mereka yang menolak 
memiliki risiko tidak ringan, yakni bisa menghadapi 
pengucilan, dianggap tidak lazim, atau bahkan dituduh 
pengacau.
 Ketiga,  perubahan budaya ini tidak mungkin dilakukan 
dalam waktu sebentar, memerlukan usaha  terus-menerus 
berkelanjutan dan pada saat yang sama menanamkan nilai-
nilai baru dalam demokrasi, yakni kesetaraan dan solidaritas.
Pasca deklarasi dilakukan, gerakan Desa APUdi desa 
Murtigading ini memiliki beragam agenda sebagai wujud dari 
implementasi gerakan, diantaranya:
1) Pembentukan Tim Relawan hingga tingkat dusun (18 
dusun);
2) Sosialiasi  masif  kepada warga;
3) Sosialiasi  melalui  radio  komunitas  Desa  Murtigading;
4) Workshop dan penandatanganan dukungan anti 
politik uang  dari caleg  DPRD Provinsi dan Kabupaten 
khususnya Dapil 5;
5) Pemasangan stiker di setiap rumah penduduk;
6) Pembagian kaos Anti Politik Uang;
7) Pengadaan dan pemasangan spanduk “Desa Anti Politik 
Uang” sebanyak 20 buah.
8) Pembuatan naskah Kutbah Anti Politik Uang
Selain melalui kegiatan ini , ada kegiatan khusus 
yang dilakukan melalui pintu keagamaan, yaitu melalui khutbah 
Jumat yang pada intinya mengajak jamaah untuk menolak 
politik uang dalam Pemilu 2019. Penyampaian khutbah ini 
dilakukan secara serentak seminggu sebelum hari pemungutan 
suara di 23 masjid se-Murtigading dengan memakai  
naskah kutbah di atas. apa yang terjadi di warga? Menurut 
penuturan Kepala Desa Murtigading, level perubahan yang 
terjadi di warga terdiri dari 2 (dua) hal.
“Pertama, mental warga berubah, dari yang 
sebelumnya terbuka dan terang-terangan permisif 
terhadap politik uang kini menjadi tertutup. Pada 
pemilu sebelum-sebelumnya, penawaran politik uang 
dari Caleg atau Tim Sukses sangat terbuka dengan 
metode pendataan penduduk. Kedua, kuantitas politik 
uang menurun, meski masih banyak terjadi. Faktanya, 
pasca Pemilu baru diketahui praktik politik uang masih 
ditemukan berupa pembagian uang tunai sebesar Rp 
100 ribu/orang. Bahkan di Dusun Kurahan II ada 
pembagian kambing kepada sekitar 40 kepala keluarga, 
setiap 2 kepala keluarga memperoleh  1 ekor kambing 
dengan kisaran harga Rp 800 ribu. Namun kejadian 
ini  luput dari perhatian Pengawas dan Tim Relawan 
APU sebab  tampaknya pemberian itu telah disiapkan 
dengan rapi dan tertutup.”
Untuk mengukur apakah dampak ini  cukup atau 
tidak sebenarnya ada berbagai ukuran. Mengutip Della Porta 
dan Diani (1999:233), hal pertama untuk melihat sejauh mana 
dampak yang ditimbulkan oleh gerakan sosial yaitu  adanya 
perubahan kebijakan yang ditimbulkannya. Bambang Eka 
Cahya mengaggap bahwa salah satu kendala Desa APU yaitu  
sebagai berikut:  
“Desa telah terkooptasi budaya patronase. Kepala 
desa menjadi figur sentral di desa, budaya patronase 
dikukuhkan untuk menguatkan sentralisme kekuasaan 
kepala desa. Semua akses terkumpul melalui kepala desa, 
sebab kepala desa yaitu  jembatan yang memfasilitasi 
semua kepentingan supradesa di desa.Dalam persoalan 
politik uang tidak jarang kepala desa dan perangkat desa 
menjadi fasilitator berlangsungnya  politik uang di desa.”
Namun fakta di Desa Murigading berkata lain. 
Pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa sangat mendukung 
gerakan Desa APU ini  dengan berbagai ragam cara, 
seperti: 1) memfasilitasi pertemuan-pertemuan warga; 2) 

  
mengeluarkan anggaran untuk deklarasi; 3) memfasilitasi 
publikasi melalui radio komunitas Desa Murtigading. Artinya, 
level  perubahan yang timbul dari gerakan APU ini telah ada.
b Jaringan  Sosial  yang  Kuat
Serupa dengan Desa Murtigading, gerakan menolak 
politik uang tingkat desa juga dilakukan oleh warga 
Desa Sardonoharjo. Sebagaimana Murtigading, kesadaran 
kolektif untuk menolak dan melawan politik uang telah ada 
sejak   penyelenggaraan  Pilkades Desa Sardonoharjo. Walhasil, 
Kepala  Desa yang saat ini menjabat pada periode kedua kalinya 
ini tidak melakukan politik uang dalam mengikuti kontestasi 
Pilkades Desa Sardonoharjo. Berangkat dari kesadaran kolektif 
ini, ide untuk membangun gerakan Desa Anti Politik Uang 
dalam Pemilu 2019 mulai terbangun.
Sekadar  menyegarkan  ingatan  publik, salah satu 
kunci keberhasilan  pengorganisasian suatu gerakan yaitu  
adanya modal sosial. Meminjam konsep Nan Lin, modal sosial 
terdiri dari 3 (tiga) sumber prinsip, yakni: (i) posisi struktur/aktor 
di dalam  stuktur   hierarki;   (ii) lokasi jejaring yang sifatnya 
erat atau terbuka; (iii) fungsi dari aksi untuk memelihara 
kebersamaan dan kelekatan, soliditas, dan kesejahteraan sosial 
bersama. (16)
Pada kapasitas ini, keberhasilan gerakan Desa APU 
yang   dibangun   oleh warga Desa  Sardonoharjo 
setidaknya   ditentukan   oleh   3 (tiga)  hal,  yakni:
Pertama, posisi  struktur/aktor gerakan. Kesepahaman 
yang   terbangun   antara tokoh warga  (Wasingatu 
Zakiyah) dengan Kepala Desa (Harjuno Wiwoho) serta Sekretaris 
Desa Sardonoharjo  untuk  memerangi politik uang dalam 
Pemilu  2019   menjadi modal  awal gerakan. Implementasi 
dari kesepahaman ini  kemudian dituangkan dalam suatu 
rencana aksi untuk mendeklarasikan diri sebagai Desa APU.
Kedua, lokasi jejaring yang sifatnya erat atau terbuka. 
Sebagai sebuah gerakan, sangat mustahil jika tidak ada 

keterlibatan berbagai pihak. Dalam hal ini, gerakan Desa 
APU Sardonoharjo melibatkan 5 (lima) komponen jaringan, 
yaitu: lembaga swadaya warga/NGO, perguruan tinggi, 
organisasi warga,  kelompok warga strategis, dan 
lembaga pemerintah. 
1. Lembaga swadaya warga terdiri atas: Aliansi 
Perempuan Sleman, Persatuan Perangkat Desa Seluruh 
negara kita  (PPDI), Ide  dan Analitika negara kita (IDEA), 
dan Institute  Research  and  Empowerment (IRE).
2. Perguruan tinggi terdiri atas Universitas Muhammadiyah 
Yogyakarta (UMY), Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan 
Pandanaran (STAIS Pandanaran), dan  Unversitas Sanata 
Dharma.
3. Organisasi warga terdiri atas Muslimat, Aisyah, 
Fatayat, dan Nasyiatul Aisyah.
4. Kelompok warga strategis: Indro Suprobo (Dusun 
Dayakan), Suwardi  (Dusun  Candi  Winangun), Susi 
(Dusun  Jetis), dan Wasingatu Zakiyah (Dusun  Jetis 
Baran)
5. Lembaga pemerintah: Pemerintah Desa Sardonoharjo, 
Bawaslu Kabupaten Sleman, dan Bawaslu Daerah 
Istimewa Yogyakarta.
Ketiga, tujuan bersama untuk membangun soliditas 
dan kesejahteraan sosial. Komitmen membangun sebuah 
gerakan memerangi politik uang ini disadari bersama bahwa 
praktik jual-beli suara dalam Pemilu memiliki dampak buruk 
bagi pembangunan, khususnya di Desa Sardonoharjo. 
Dengan gerakan  ini  pula  warga  memiliki  harapan 
bahwa kontestan Pemilu yang terbiasa bermain politik uang 
tidak berani masuk untuk melakukan politik uang di Desa 
Sardonoharjo.
Dengan  modal  3  (tiga)  elemen   ini , sebuah 
gerakan Desa APU  secara  simbolis dideklarasikan pada 
16 Februari 2019 bertempat di Kantor Pemerintah Desa 
Sardonoharjo. Deklarasi ini dihadiri oleh Bawaslu RI (Fritz 
Edward Siregar), Bawaslu DIY, Bawaslu Kabupaten Sleman, 
perwakilan NGO, tokoh warga, perguruan tinggi, 
organisasi warga, dan    perwakilan  dari partai politik 

  
peserta Pemilu 2019. 
Deklarasi bukanlah tujuan akhir dari gerakan ini, 
melainkan sebagai batu pijakan bagi agenda-agenda besar 
memerangi politik uang. Pada praktiknya, deklarasi dilakukan 
untuk mengikat komitmen bersama antara peserta pemilu, 
warga pemilih, dan berbagai kalangan untuk bersama-
sama melawan politik uang.   Tujuan akhir dari   deklarasi  yaitu  
berkurangnya kuantitas politik uang di Desa Sardonoharjo 
dalam Pemilu 2019.  Tujuan ini  kemudian diejawantahkan 
melalui program maupun kegiatan yang secara khusus 
meminimalisir praktik politik uang, diantaranya:
1. Penerbitan  Peraturan  Kepala  Desa  Sardonoharjo 
Nomor 1 Tahun 2019 tentang Desa Anti Politik Uang;
2. Penerbitan  Keputusan  Kepala Desa Sardonoharjo 
Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pembentukan Tim Desa 
Anti Politik Uang. Tim Desa APU yang dibentuk mulai 
tingkat RT, dukuh, dan desa. Tim ini  memiliki tugas 
untuk melakukan sosialisasi “tolak politik uang” dalam 
setiap forum warga;
3. Sosialiasi “Tolak Politik Uang” pada saat Khutbah 
Jumat yang dilakukan secara serentak selama 3 minggu 
menjelang pemungutan suara. Sosialisasi ini dilakukan 
oleh Forum Kerohanian Islam (Rohis) dengan anggota 
sebanyak 50 orang.
4. Sosialisasi “Tamu Jamak” dengan mengundang caleg 
untuk  sosialisasi  program;
5. Workshop   Sarasehan  Hukum   Money Politic;
6. Penempelan   stiker “tolak politik uang”  di setiap rumah;
7. Sosialisasi “tolak politik uang” melalui Buletin Desa.
Dengan adanya deklarasi dan tindakan menolak 
politik uang ini , lalu muncul pertanyaan, apakah gerakan 
ini  cukup efektif menekan praktik politik uang? Atau 
dengan bahasa lain, apakah gerakan ini  mampu merubah 
paradigma warga terhadap politik uang khususnya di 
Desa  Sardonoharjo?
Dalam   catatan   Tim   Desa     APU   yang 
disampaikan Sekdes setempat, sebanyak 20% warga 
yang memakai  hak pilihnya secara terang mendukung 
penolakan politik uang. Di samping itu, aksi nyata dari gerakan 
ini yaitu  adanya forum komunikasi melalui grup media sosial 
untuk melaporkan adanya indikasi politik uang kepada Bawaslu 
Kabupaten Sleman. Artinya, gerakan Desa APU ini memiliki 
dampak positif terhadap kehidupan berdemokrasi, khususnya 
di Desa Sardonoharjo. Hingga pasca Pemilu belum didengar 
adanya politik uang yang terjadi di Desa Sardonoharjo. 
Berkaitan dengan level perubahan, Wasingatu Zakiyah 
menyatakan :
“Pada awalnya akan ada politik uang 
terselubung melalui bazar yang akan 
diselenggarakan salah satu relawan 
pasangan capres-cawapres. Namun kegiatan 
itu kemudian diketahui oleh warga yang 
kemudian dilaporkan kepada saya. Setelah 
itu, kami beramai-ramai menemui panitia 
acara. Akibatnya kegiatan bazar ini  tidak 
jadi diselenggarakan dan voucher yang telah 
diterima kepala dukuh tidak jadi dibagikan 
kepada  warga.”
Lebih lanjut, Wasingatu Zakiyah menyatakan untuk 
Gerakan ini memiliki 7 (tujuh) prasyarat, yakni komitmen, 
kebijakan, sumber daya, kelembagaan, data/pemetaan 
kelompok strategis, kreativitas bahan ajar, dan partisipasi 
warga.
2. Replikasi Gerakan Desa APU
Keberhasilan membangun gerakan Desa APU di kedua 
desa ini  tentu menjadi cambuk pelecut bagi desa-desa 
lainnya. Bukan lantaran latah, melainkan kesadaran individual 
dalam menolak politik uang yang selama ini terpendam 
pada diri individu bak ‘gayung bersambut’ untuk turut serta 
melakukan gerakan serupa. 
Merespons kesadaran kolektif warga terhadap 
sikap menolak politik uang ini , Bawaslu DIY beserta 
jajaran di bawahnya terus berusaha untuk memperluas gerakan 
serupa berupa deklarasi Desa Anti Politik Uang di 5 kabupaten/
kota se-DIY.  Perluasan gerakan ini tidak serta-merta dilakukan 
  
secara sepihak  oleh Bawaslu DIY. Bagaimanapun disadari 
bahwa  suatu gerakan mustahil berhasil tanpa adanya 
dukungan dari berbagai pihak, antara lain pemerintah desa, 
tokoh warga, KKN Mahasiswa UMY, dan Pengawas 
Pemilu hingga level terbawah.
Pada bagian ini, akan dipetakan karakter gerakan 
Desa APU berdasarkan partisipasi pemerintah desa selaku 
pemangku kepentingan tingkat desa dalam mensukseskan 
gerakan Desa APU.
a. Peran Aktif Pemerintah Desa
Corak  dari  gerakan  Desa   APU  pada kelompok 
ini yaitu    keterlibatan  aktif pemerintah desa dalam 
mensukseskan gerakan. Pada tataran praktis, keterlibatan 
Pemerintah Desa tidak hanya selesai pada saat deklarasi, 
namun berlanjut pada kegiatan-kegiatan yang mendukung 
gerakan. Dalam catatan Penulis, ada 12 (dua belas) desa 
yang masuk dalam kelompok ini.

Dari 12 desa yang masuk dalam kategori ini, selanjutnya 
Penulis  melakukan pendalaman terhadap 4 (empat) desa, 
yaitu:
1) Desa Nglanggeran
Dalam sejarahnya, gerakan Desa APU di Desa ini 
berawal dari inisiasi Bawaslu Kabupaten Gunungkidul beserta 
jajarannya. Pemilihan Desa ini menjadi pilot project Desa APU 
yaitu  adanya kesadaran warga dalam menolak politik 
uang pada saat Pemilihan Kepala Desa Tahun 2016.
Bahkan, Desa ini menjadi tuan rumah bagi pelaksanaan 
deklarasi Desa APU serentak oleh 18 desa se-Kabupaten 
Gunungkidul. Selain dukungan dari Pemdes, Pemkab 
Gunungkidul dalam hal ini Bupati (Badingah) turut memberi 
dukungan dengan menghadiri kegiatan deklarasi bersama 
pada 23 Februari 2019. 
Tidak berhenti pada deklarasi saja, Kepala Desa 
membentuk Tim Desa APU –terdiri atas pemerintah Desa, 
Pengawas Pemilu, PPS, dan  KKN  Tematik  UMY-  yang bertugas 
melakukan sosialiasi kepada warga terkait gerakan Anti 
Politik Uang. Tim  Desa  APU  ini kemudian dibagi menjadi 
5 (lima) kelompok yang bertugas melakukan sosialisasi di 5 
(lima) dusun se-Desa Nglanggeran.
Dengan   adanya  kegiatan pasca deklarasi ini, setidaknya 
ada dampak yang cukup mampu menekan politik uang, 
diantaranya: (i) tidak ada tim sukses caleg yang melakukan 
pendataan penduduk yang akan dipakai  sebagai dasar 
jual-beli suara; (ii) tingkat pemahaman warga  terhadap 

  
aturan Pemilu menjadi meningkat. 
2) Desa Ngloro
Gerakan Desa APU di Desa Ngloro sangat dipengaruhi 
oleh kesadaran warga, sebab  pada dasarnya warga 
sangat mudah untuk diarahkan kepada hal yang sifatnya 
positif. Selain itu, sikap anti politik uang Kepala Desa Ngloro 
yang diwujudkan dengan mendukung gerakan APU yaitu 
modal yang tak kalah penting. Bahkan, sikap anti politik uang 
Kepala Desa sudah ada sejak mengikuti kontestasi Pemilihan 
Kepala   Desa  Tahun 2013 yang tidak memakai  politik 
uang. Atas   dasar  itu, berdasarkan musyawarah di tingkat 
Kecamatan Saptosari, Desa Ngloro dipilih menjadi salah satu 
pilot  project  Desa   APU  yang diinisiasi oleh Pengawas Pemilu.
Pasca deklarasi, Pemdes membentuk Tim Desa APU 
yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada warga 
tentang APU. Tim Desa APU yang dibentuk terdiri dari 
Pemerintah Desa, PPS, Panwaslu Desa, dan KKN UMY yang 
akan melakukan sosialisasi terhadap 6 padukuhan se-Desa 
Ngloro. Selain itu, Tim Desa APU juga melakukan pendekatan 
kepada Tim Sukses Caleg yang pada Pemilu sebelumnya 
menjadi operator politik uang di desa. Pendekatan dilakukan 
agar Tim Sukses Caleg tidak melakukan politik uang. Hasil 
wawancara  dengan  Kaur Perencanaan Desa Ngloro, (Warsidin) 
sebagai berikut:
“Untuk penerapan program APU tidak serta-merta 
dapat berlangsung sebab  butuh proses panjang. Fokus 
penekanan bukan hanya kepada warga, namun juga 
kepada peserta pemilu. Adapun dampak dari Desa APU 
yaitu membuat peserta politik tidak masuk sama sekali, 
tidak ada bendera dan promosi politik sama sekali, pada 
intinya Desa APU membuat peserta Pemilu lebih hati-hati 
masuk ke Desa Ngloro. Meski demikian, tidak adanya politik 
uang tidak mempengaruhi tingkat partisipasi warga 
dalam memakai  hak pilihnya.”
Di Desa ini, Kepala Desa memiliki pengaruh yang cukup 
besar kepada warga. Hal ini disebab kan selain bekerja 
dengan baik, Kepala Desa dianggap warga mudah 
bergaul. Oleh sebab nya, saat  Kepala Desa memiliki program 
pasti selalu didukung dan diikuti oleh warga. Hal inilah 
yang kemudian menjadi salah satu faktor penting keberhasilan 
Desa APU di Desa Ngloro.
 
3) Desa Candibinangun
Sejarah Desa APU di Desa Candibinangun berawal dari 
inisiasi Kepala Desa yang ingin saat  ada pemilihan tidak ada 
politik uang. Tujuan yang ingin dicapai untuk mengubah cara 
pandang    warga  bahwa pemilu   tidak harus memakai  
politik uang.   Komitmen  ini  kemudian disambut oleh Pengawas 
Pemilu yang kemudian mendorong Pemerintah Desa untuk 
menyelenggarakan   Deklarasi   Desa   APU. 
Selain melibatkan lembaga pemerintah, gerakan APU 
di Desa Candibinangun juga melibatkan tokoh warga, 
lembaga desa, dan karang taruna. Pada praktiknya Kepala Desa 
sendiri turun langsung secara aktif dalam gerakan ini.Berikut 
pandangan Kepala Urusan Perencanaan Desa Candibinangun 
terkait gerakan APU:
“Tingkat politik uang berkurang, namun  tidak 100%. Ada 
yang berpikiran sesaat uang diterima, namun  ada juga 
yang berpikiran kedepan tidak menerima uang ini . 
Kaitannya dengan perubahan paradigma, pelan-pelan 
berubah tidak seperti dulu. Mereka berpikiran dari pada 
dapat uang namun   kedepannya desanya tidak maju, 
maka  mereka tidak mau menerima uang ini ”. 
Perubahan paradigma ini memang belum dikatakan 
dapat menghilangkan praktik politik uang di Desa 
Candibinangun. Namun demikian, adanya perubahan cara 
pandang di kalangan warga yang awalnya menganggap 
lazim politik uang dalam Pemilu menjadi sadar untuk menolak 
yaitu satu tingkat ukuran keberhasilan bagi gerakan 
Desa  APU.

4) Desa Hargomulyo
Gerakan Desa APU di Desa Hargomulyo diawali oleh 
keprihatinan Kepala Desa tentang maraknya praktik politik 
uang. Hal ini kemudian disambut oleh Pengawas Pemilu yang 
selanjutnya dilakukan deklarasi Desa APU. Setelah dilakukan 
deklarasi, Kepala Desa membentuk Tim Desa APU yang 
bertugas melakukan sosialisasi kepada warga. Tim Desa 
APU yang dibentuk terdiri atas Pengawas Pemilu, kelompok 
warga, relawan pemilu, pemerintah desa, dan KKN 
Tematik UMY.
Namun, menurut penuturan Pemerintah Desa, yang 
paling berperan dalam gerakan ini yaitu  Panwaslu Desa. 
Adapun kegiatan yang dilakukan yaitu  sosialisasi tatap 
muka serta pemasangan spanduk dan stiker. Berdasarkan 
hasil wawancara dengan Pemerintah Desa Hargomulyo, Desa 
APU telah memiliki dampak positif meski belum mampu 
menghilangkan politik uang:
“Adanya gerakan Desa APU di Desa Hargomulyo 
tidak serta-merta  menghilangkan praktik politik uang 
selama Pemilu 2019. Namun, dari sisi mental  telah ada 
perubahan pada warga dari yang dulunya minta 
atau terbuka terhadap politik uang sekarang menjadi 
tertutup.” 
b. Terbatasnya Dukungan Pemerintah Desa
Pemerintah Desa, terutama Kepala Desa, yaitu 
patron bagi warga warganya. Oleh sebab nya, apa 
yang menjadi komitmen ataupun keinginan dari kepala desa 
kecenderungannya akan diikuti oleh warga, termasuk 
sikap menolak dan melawan politik uang. 
Pada bagian ini, Penulis tidak berusaha untuk 
mengatakan bahwa Pemerintah Desa tidak memberi 
dukungan terhadap  deklarasi  gerakan Desa APU.  Namun, 
Penulis berusaha untuk memetakan terkait desa mana saja 
yang Pemerintah Desanya mendukung deklarasi namun 
tidak sepenuhnya memberikan dukungan terhadap kegiatan-
kegiatan  pasca  deklarasi.  Pada  kelompok ini, ada 26 
desa/kelurahan yang telah mendeklarasikan diri menolak 
politik uang, namun  dalam perjalanannya kurang memperoleh  
perhatian serius dari Pemerintah Desa.

1) Desa Panggungharjo
Kesadaran terhadap anti politik uang di Desa Panggungharjo 
sudah terbangun sejak Pemilihan Kepala Desa Tahun 2012. 
Pada momen ini , Kepala Desa terpilih (Wahyudi 
Anggoro Hadi) tidak memakai  politik uang. Padahal, 
pada Pemilihan Kepala Desa saat itu 5 (lima) calon kepala desa 
lainnya melakukan politik uang. Desa ini pernah menerima 
penghargaan tingkat nasional sebagai Desa Terbaik I se-
negara kita.Atas dasar itu, Pengawas Pemilu mengajak desa ini 
untuk turut serta mendeklarasikan diri sebagai Desa APU. 
Namun demikian, pasca deklarasi tidak ada kegiatan yang 
dilakukan. Hal ini disebab kan Pemerintah Desa belum begitu 
menaruh perhatian serius terhadap gerakan Desa APU. Hal ini 
terbukti dari hasil wawancara dengan Sekretaris Desa yang 
mengatakan: “Paradigma warga belum terlalu tepengaruh 
dengan adanya deklarasi desa APU di Panggungharjo. Hal ini 
disebab kan tidak ada tindakan atau agenda yang berkelanjutan 
dari Pemerintah Desa tentang gerakan ini.” (20)
2) Kelurahan  Kadipaten
Kesadaran untuk mendeklarasikan diri sebagai 
Kelurahan Anti Politik Uang ini sebenarnya didasari oleh 
komitmen  Bawaslu  Kota   Yogyakarta  untuk mereplikasi 
gerakan Desa APU sebelum-sebelumnya. Namun lain di 
desa, lain pula di kelurahan.  Di  Kelurahan  Kadipaten Kota 
Yogyakarta,  gerakan yang dibangun bukan hanya menolak 
politik uang semata, melainkan juga menolak terkait adanya 
ujaran kebencian dan berita hoaks dalam Pemilu.  Adapun 
nama gerakannya  yaitu Kelurahan Anti Money Politic, Ujaran 
Kebencian, dan Hoax –yang disingkat dengan Kelurahan 
AMPUH.
 Berdasarkan penuturan Lurah Kadipaten, pihak 
Kelurahan tidak memberikan izin terkait penggunaan tempat 
umum untuk kegiatan yang mengandung unsur politik. Oleh 
sebab  itu, hampir dipastikan bahwa tidak ada kegiatan 
sosialiasi gerakan AMPUH yang difasilitasi  oleh pihak 
kelurahan. Dengan kondisi demikian, kegiatan pasca deklarasi 
tidak melibatkan pihak Kelurahan. Kegiatan pasca deklarasi 
hanya dilakukan oleh KKN UMY dan Pengawas Pemilu.
Ikhtiar bersama untuk memerangi politik uang ini 
bukan berarti tanpa hambatan. Batu sandungan dalam 
setiap perjalanannya yaitu suatu keniscayaan bagi 
pengorganisasian gerakan. Dalam catatan Penulis, ada 
kendala dalam membangun gerakan ini, diantaranya: 1) kultur 
warga yang telah membudaya dengan menganggap 
politik uang yaitu  hal yang lazim tidak mudah untuk diubah, 
2) caleg ataupun tim sukses yang biasa melakukan praktik 
politik uang, akan mencoba cara baru dan terus menggoda 
warga pemilih untuk menerima politik uang. Caleg atau tim 
sukses yang terbiasa melakukan politik uang inilah yang paling 
resisten terhadap Gerakan Sosial Desa APU. 
Keberhasilan gerakan Desa APU tidak bisa dilepaskan 
dari beberapa faktor pendukung, diantaranya: Pertama, peran 
aktif jejaring aktor lokal; Kedua, adanya kesadaran kolektif di 
tingkat warga desa; Ketiga, dukungan Pemerintah Desa; 
Keempat, peran Pengawas Pemilu.

Sebagai sebuah gerakan yang secara langsung 
bersinggungan dengan proses politik, sudah barang tentu 
banyak hambatan dan rintangan dalam mengorganisir 
gerakan maupun dalam implementasinya. Hal ini sebagaimana 
pernyataan  Wasingatu  Zakiyah :
“Penolakan jelas ada sebab  memang ada dusun-
dusun yang sudah menjadi base-nya peserta pemilu. 
Ada pihak-pihak yang memakai  kekuatan politik 
untuk menghentikan proses sosialisasi yang saya 
lakukan. Untuk  meminimalisasi  penolakan ini maka 
memakai  kewenangan desa pada saat deklarasi 
dengan memilih perwakilan orang yang berpengaruh di 
desa ini  agar terus melakukan sosialisasi anti politik 
uang. Selain kendala itu, aspek pendanaan juga menjadi 
hambatan bagi gerakan ini. Untuk mengatasinya, 
Tim APU meminta dana CSR kepada toko-toko yang 
beroperasi di Sardonoharjo. Setelah gerakan ini, bahkan 
saya didekati peserta Pemilu yang menawarkan untuk 
menjadi tim sukses salah satu caleg dan dijanjikan untuk 
diberi mobil dan gaji bulanan selama lima tahun. Tapi 
saya dengan tegas menolak.” 
Senada dengan apa yang dinyatakan Zakiyah, 
Bambang Eka Cahya melihat kendala gerakan ini dari sudut 
pandang   pemerintah  desa. Menurutnya :
“Kuatnya budaya neopatrimonialisme, dalam 
politik patrimonialisme, sang klien dengan sadar 
mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, 
tersubordinasi oleh kedigdayaan sang patron yang 
karismatik.  Akibatnya, pola relasi patron-klien berjalan 
tak berimbang.  Bandul pendulum lebih banyak bergerak 
ke arah sang patron ketimbang sang klien. Perlawanan 
terhadap praktik politik uang tidak semata persoalan 
menolak pemberian dalam urusan pemilu, tapi juga 
persoalan mengubah budaya patronase politik menjadi 
budaya yang egaliter. Mereka yang menolak memiliki 
risiko tidak ringan, yakni bisa menghadapi pengucilan, 
dianggap tidak lazim atau bahkan dituduh pengacau.
Perubahan budaya ini tidak mungkin dilakukan dalam 
waktu sebentar, memerlukan usaha  terus-menerus 
berkelanjutan dan pada saat yang sama menanamkan 
nilai-nilai baru dalam demokrasi, yakni kesetaraan 
dan solidaritas. Di sisi yang lain, desa telah terkooptasi 
budaya patronage. Kepala desa menjadi figur sentral di 
desa, budaya patronase  dikukuhkan  untuk menguatkan 
sentralisme kekuasaan kepala desa. Semua akses 
terkumpul melalui kepala desa, sebab kepala desa 
yaitu  jembatan yang memfasilitasi semua kepentingan 
supra desa di desa.     Dalam    persoalan politik uang 
tidak jarang kepala desa dan perangkat desa menjadi 
fasilitator   berlangsungnya   politik   uang   di desa.” 
Berbeda dengan pendapat Zakiyah dan Bambang 
Eka, salah satu calon anggota DPRD Kabupaten Kulonprogo 
(Rie Masginong Pratidina) mengungkapkan bahwa salah 
satu penyebab politik uang yaitu  adanya permintaan dari 
warga. Hal ini ia alami pada saat melakukan sosialisasi 
kampanye. Lebih lanjut Masginong mengungkapkan:
“Salah satu motivasi peserta Pemilu melakukan politik 
uang sebab  mengikuti permintaan warga. Artinya 
pola pikir warga yang harus diubah. Sebagai caleg 
muda sebenarnya saya berkeinginan untuk berpolitik 
bersih tanpa politik uang. Namun sebab  ada permintaan 
dari warga dan tim sukses dengan bahasa “mengikuti 
yang umum saja” itu memotivasi saya untuk melakukan 
politik uang. Pada Pemilu 2019 saya menghabiskan uang 
kurang lebih Rp 500 juta dengan perolehan suara kurang 
lebih 2.200 suara, padahal target saya yaitu  3.000, 
sebab  lawan saya yang terpilih memperoleh sekitar 
2.600 suara. Metode yang saya gunakan yaitu  membeli 

  
suara dengan harga 100.000 per pemilih pada H-10 
sebelum pemungutan suara. Meski demikian saya tidak 
terpilih menjadi anggota Dewan. Ada dua penyebab 
mengapa ini bisa terjadi. Pertama, sebab  tim sukses 
yang membagikan uang ada yang tidak jujur sehingga 
saya tidak memperoleh  suara  sama sekali pada TPS 
tertentu. Kedua, sebab  basis  pemilih yang telah 
menerima uang saya kemudian terpengaruh dengan 
uang yang lebih besar dan dilakukan pada H-1.” ()
Berbeda  dengan Masginong, calon anggota DPRD 
Kabupaten  Bantul mengungkapkan bahwa 
salah satu penyebab utama politik uang sebab  adanya 
fasilitas dana aspirasi yang dipakai  oleh caleg incumbent 
untuk melakukan kampanye. Lebih lanjut, Hery Fahamsyah 
mengungkapkan:
“Salah satu penyebab maraknya politik uang yaitu  
adanya fasilitas negara yang dimiliki oleh caleg incumbent 
berupa dana aspirasi. Dalam satu tahun, dana aspirasi 
cenderung dipakai  untuk kepentingan hajatan politik. 
Oleh sebab nya, mau tidak mau sebagai pendatang 
baru saya juga melakukan praktik serupa. Namun 
metode yang saya gunakan bukanlah membeli suara 
setiap pemilih, melainkan dengan memberikan program 
misalnya sumbangan kelompok atau pembangunan 
sarana umum tertentu. Dalam hajatan Pemilu 2019 
saya menghabiskan kurang lebih Rp 300 juta dengan 
memperoleh  3.700 suara, sedangkan lawan saya yang 
jadi memperoleh  suara kurang lebih 4.100. Lawan 
saya ini  juga memakai  politik uang. Namun 
mengapa saya kalah yaitu  sebab  dia senior dan sudah 
dua kali menjabat. Dengan segala fasilitas negara berupa 
dana aspirasi maka lawan saya ini  lebih leluasa 
memakai  politik uang. Namun dalam praktiknya, 
penggunaan dana aspirasi untuk tujuan politik dianggap 
bukan yaitu bagian dari politik uang. Oleh sebab  
itu,  perlu   diperjelas pengaturan mengenai definisi 
Berkaitan   dengan fasilitas dana aspirasi yang 
dipakai  untuk politik uang, hal ini  juga diamini oleh 
Calon Anggota DPR RI Dapil DIY (Bambang Praswanto). 
Namun di lain sisi, ia menyampaikan bahwa politik uang 
juga dipicu oleh sistem pemilu. Lebih lanjut Bambang 
Praswanto  mengungkapkan :
“Salah satu penyebab maraknya praktik politik uang 
yaitu  berubahnya sistem proporsional tertutup 
menjadi proporsional terbuka. Dengan sistem ini , 
caleg berlomba-lomba untuk meraih suara dengan 
cara politik uang. Di samping itu, caleg incumbent yang 
memakai  fasilitas dana aspirasi untuk kampanye 
dirasakan oleh caleg lainnya kurang fair. Dengan kondisi 
begitu, maka mau tidak mau caleg lainnya juga terdorong 
untuk melakukan politik uang. Meski sebenarnya sikap 
pragmatis warga juga memiliki porsi besar dalam 
mendorong terjadinya politik uang. Pada perhelatan 
Pemilu 2019 kemarin, saya memperoleh 36.000 suara 
dengan jumlah pengeluaran kurang lebih Rp 90 juta.
Pengeluaran ini  saya gunakan untuk pembelian 
bahan kampanye, artinya saya tidak melakukan politik 
uang. Saya bisa mengatakan bahwa lawan saya yang 
terpilih memperoleh kurang lebih 150.000 suara. Saya 
meyakini bahwa perolehan ini  didapat dengan cara 
melakukan politik uang. Saya mengapresiasi dengan 
langkah Bawaslu DIY yang melalukan gerakan Anti Politik 
Uang. Meski gerakan ini  belum sepenuhnya dapat 
menekan angka politik uang, namun gerakan semacam 
ini perlu diperluas untuk memberikan penyadaran 
kepada warga.”
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan 
bahwa hambatan dalam membangun gerakan 
Desa Anti Politik Uang setidaknya dipengaruhi oleh 
beberapa hal. Pertama, adanya tekanan politik kepada 
aktor penggerak. Tekanan yang dimaksud bisa berupa 
ancaman fisik maupun tawaran materi.  Kedua, praktik 
politik uang marak terjadi dipicu sistem pemilu 
proporsional terbuka. Jika diibaratkan, gerakan ini 
menutup satu lubang, namun pada saat yang sama 
muncul lubang-lubang baru yang sulit dibendung 
dengan energi yang terbatas. Ketiga, kepala desa dan 
perangkat desa menjadi fasilitator berlangsungnya 
politik uang di desa. Keempat, sikap warga yang 
pragmatis dan cenderung terbuka dengan politik uang 
memiliki pengaruh kepada warga lainnya untuk 
bersikap sama, dalam bahasa mereka “ngumumi”. 
a. Berdasarkan pola gerakan di atas, Penulis memiliki 
kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan  Desa  APU 
dapat   dikelompokan   dalam   3 (tiga)  strata. 
1) Pola gerakan yang paling ideal atau progressive 
ditandai dengan adanya kesadaran warga 
yang terorganisir (kelompok warga atau 
NGO) yang didukung oleh pemangku  kepentingan 
Pengawas Pemilu, UMY, dan Pemerintah 
Desa. Artinya, ketiga elemen ini telah memiliki 
pemahaman yang sama dan  saling  bersinergi 
untuk memerangi politik uang. Bagaimanapun, 
politik uang yaitu kejahatan terorganisir, 
maka melawannya juga harus dengan cara 
terorganisir. Hal ini tercermin kuat terjadi di 
Desa Murtigading dan  Desa  Sardonoharjo. Pola 
gerakan pada level ini diinisiasi oleh NGO.
2) Gerakan yang termasuk dalam kategori cukup 
ideal atau middle class yaitu  adanya komitmen 
dari pemangku kepentingan untuk menyadarkan 
warga agar menolak politik uang. Dengan 
bahasa lain, kesadaran warga belum 
terorganisir namun pemangku kepentingan 

memiliki komitmen untuk mengorganisir 
warga. Hal ini terjadi di 12 desa sebagaimana 
diuraikan di atas. Pada level ini, gerakan diinisiasi 
oleh Pemerintah Desa dan Pengawas Pemilu.
3) Gerakan yang kurang ideal atau stagnan. Pola ini 
ditandai  dengan adanya komitmen dari pihak 
eksternal desa seperti Pengawas Pemilu dan UMY 
untuk membangun gerakan bersama warga 
namun daya dukung Pemerintah Desa masih 
terbatas. Dengan bahasa lain, 26 desa/kelurahan 
sebagaimana  disebutkan di atas masih sebatas 
pilot project dari Pengawas Pemilu dan UMY. 
Kelompok ini memang melakukan deklarasi, 
namun tidak ada kegiatan yang berkelanjutan. 
Pada level ini, inisisasi gerakan berasal dari 
Pengawas   Pemilu.
b. Gerakan Desa APU belum bisa menghilangkan praktik 
politik uang secara keseluruhan, namun tetap memiliki 
dampak yang positif. Pertama, munculnya perubahan 
di level paradigma warga dari yang sebelumnya 
aktif atau terbuka dengan politik uang telah berubah 
menjadi warga pasif dan tertutup. Kedua, dari segi 
kuantitas, praktik jual-beli suara menjadi berkurang 
meski hanya sedikit. Ketiga, warga makin berani 
menolak dengan  tegas  politik uang.  Berdasarkan 
fakta di lapangan,  sebanyak   20%   pemilih   di Desa 
Sardonoharjo  menyatakan bahwa mereka tegas 
menolak politik uang dalam Pemilu 2019.
c. Secara keseluruhan keberadaan 40 desa/kelurahan 
yang mau terlibat dalam gerakan Desa APU tetap perlu 
diapresiasi di tengah ratusan desa/kelurahan lainnya 
di DIY yang belum terlibat sama   sekali dalam gerakan 
Desa  APU.
2. Saran
a. Perlu   menjalin  hubungan erat bersama 
pemerintah desa, lembaga swadaya warga, 
serta elemen warga untuk membangun 

  
gerakan Desa APU.
b. Perlu adanya pendidikan politik bagi warga, 
khususnya bagi pemilih pemula yang belum 
terkontaminasi dengan politik uang untuk 
melawan segala bentuk politik uang.
c. Perlu adanya sosialisasi secara berkelanjutan 
untuk memerangi politik uang baik pada agenda 
pemilu, pilkada, bahkan pilkades. 
 

 
ProblematikaPemilu Serentak Tahun 2019 
Rezim tata kelola pemilu di negara kita yaitu  sebuah model 
tata kelola yang diarahkan untuk menyederhanakan waktu 
pelaksanaan menjadi satu waktu pada tahun 2029 mendatang. 
Hal ini menyumbang kompleksitas yang beragam dalam 
electoral governance. Kondisi ‘darurat’ dalam pemilu seperti 
masifnya praktik politik uang dan transaksional dianggap 
‘normal’ oleh sebagian warga (Muhtadi, 2010). Pada pasca 
reformasi, pemilu yaitu salah satu mekanisme pergantian 
kekuasaan secara demokratis.Pelaksanaan pemilu di negara kita 
menyerupai model bottom up yaitu dimulai dari pemilihan 
langsung DPR, DPRD dan DPD lalu dilanjutkan dengan pemilihan 
presiden dan wakil presiden secara langsung yang diajukan oleh 
partai politik atau gabungan partai yang memenuhi presidential 
threshold. Upaya ‘meringkas’ waktu pelaksanaan pemilu 
serentak ini, mengalami berbagai adaptasi baik yang harus 

  
ditempuh oleh penyelenggara maupun oleh kelompok civil 
society   yang memiliki concern didalam mewujudkan pemilu 
yang berkualitas, berintegritas,dan bermartabat.Oleh sebab  
itu, Perguruan  Tinggi  Muhammadiyah merasa perlu menjadi 
bagian dari usaha  ini .
Banyak peneliti menyatakan bahwa problematika pemilu 
serentak di negara kita tahun 2019 sebagai pemilu serentak 
terkompleks dan tersulit di dunia sebab  disatukannya pemilihan 
anggota legislatif baik DPR/D dan DPD dan  pemilihan presiden 
dan wakil presiden. Identifikasi problem, peluang pelanggaran 
secara massif dan tantangan pengawasan partisipatif telah 
dilakukan. Secara sederhana persoalan pemilu serentak 
berimplikasi pada permasalahan teknis yaitu: 5 kotak yang 
harus diisi, kerumitan mencoblos, kelemahan penyelenggara, 
terbatasnya sosialisasi kepada warga, kompleksnya 
surat suara, permasalahan DPT, permasalahan administratif, 
politik uang, hoaks, peluang pelanggaran dan kecurangan 
dalam pemilu. Juga, tidak kalah dramatis yaitu  banyaknya 
penyelenggara pemilu yang meninggal dunia dalam proses 
pemilu tahun 2019 ini yang diduga akibat kelelahan. KPU 
merilis jumlah terakhir korban meninggal petugas pemilu baik 
KPPS   maupun   Panwas  mencapai 554 orang 
Kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi sering 
tercederai akibat praktik-praktik buruk pemilu yang diwarnai 
oleh menguatnya peran uang dan pragmatisme politik. Ada 
banyak faktor-faktor yang memicu kondisi tersebebut 
yaitu ; melemahnya peran partai politik sebagai Lembaga 
Pendidikan politik, liberalisasi politik yang menjadikan politics 
as business as usual.Praktek politics as business as usual lebih 
memberikan keuntungan ekonomi bagi kaum oligark.Kondisi 
lainnya yaitu , semakin absennya kekuatan civil societydalam 
mengisi ruang kosong di dalam pembangunan demokrasi. 
Hadirnya kekuatan sipil berbasis civitas ecademica yaitu 
satu kekuatan “control based knowledge’ yang sangat kuat 
dimana kampus menjadi Lembaga yang terhubung kepada 
pengembangan ilmu pengetahuan dan juga terhubung secara 
kuat kepada warga.  Posisi tri darma bahkan catur darma 
di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) ini yaitu 
modal sosial yang terus memancarkan harapan: bahwa 
demokrasi harus punya implikasi kepada kebaikan warga 
yaitu  suatu visi yang perlu dikawal. 
Demokrasi akan bermakna saat  institusi sosial bekerja 
didalam proses-proses demokrasi elektoral. Dalam hal ini kita 
bisa memperlihatkan arti penting kolaborasi  antara kelompok 
penyelenggara pemilihan umum dengan kelompok warga 
sipil termasuk Mahasiswa, Perguruan, dan entitas pegiat sosial 
di desa dalam pengawasan pemilu serentak 2019. Bahkan, 
secara politik, dukungan desa untuk memproklamirkan desa 
anti politik uang sebagai bentuk keberanian yang sangat 
heroik, di saat banyak orang psimis akan pemberantasan 
praktik politik uang. Pemilu 2014 yang diikuti dengan praktik 
meluasnya praktik praktik politik clientalisme dan patronase 
dengan britalnya penertasi uang/barang untuk merebut suara 
pemilih (Aspinall & Sukmajati, 2015). Praktik demokrasi yang 
menekankan pada sentralnya peran uang/barang ini disebut 
sebagai fenomena roda lepas menggelinding banyak ahli telah memberikan dukungan 
kepada pentingnya keterlibatan sipil  dan kelompok intermediary 
serta memperkuat popular control (Torquest 2007, Klinken & 
Berenchout 2019) di dalam beragam level dan proses politik.  
Melihat kompleksitas penyelengaraan pemilu, 
kerjasama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan 
Bawaslu RI dalam rangka penyelenggaraan KKN Tematik di 
Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu salah satu respon 
yang sangat bagus untuk menghadapi pemilu serentak tahun 
2019. Hal ini diwujudkan dengan adanya KKN Tematik yang 
dirancang melalui kerjasama antara UMY dengan Bawaslu 
RI yang mengambil tema besar “Model Pengawasan Pemilu 
Partisipatif Melalui Desa Anti Money Politic (DAPU).” Tentu 
banyak harapan dari gebrakan model KKN tematik ini.
Dari beragam inisiatif, terbentuknya Desa/Kelurahan 
Anti Politik Uang (DAPU) ini menjawab beberapa persoalan 
dan sekaligus memantikkan harapan. Pertama, Keterbatasan 
penyelenggara (Bawaslu) dalam pengawasan yang 
memicu tidak semua warga dapat didampingi di 

  
dalam merespon dinamika politik uang. Kedua, ketersediaan 
sumber daya di Perguruan Tinggi (PT) ini menunjukkan 
adanya keterhubungan agenda demokrasi dengan kekuatan 
warga sipil yang tercerahkan; dan ketiga Desa sebagai 
ujung tombak pelaksanaan pemilu yaitu satu terobosan 
paling mendesak untuk mengusaha kan ‘memutus rantai’ politik 
transaksional yang secara kreatif menghancurkan makna 
demokrasi secara berkesinambungan (sustainable creative 
disaster). DAPU yang dilahirkan menjelang pemilu 2019 di DIY 
saja  sebanyak  32 DAPU baik yang  dilahirkan atas inisiatif 
warga, pemerintahan desa, UMY, dan Bawaslu. Keragaman 
inisiator ini punya implikasi yang akan dijelaskan dalam bab 
selanjutnya sebagai lesson learned untuk memperkuat DAPU 
pada  pemilu  berikutnya.
Perlu dicatat bahwa Universitas Muhammadiyah 
Yogyakarta (UMY) telah lama mengusaha kan pendidikan 
demokrasi dan kewarganegaraan dalam berbagai level baik 
secara teoritis maupun praktik melalui Lembaga Penelitian, 
Publikasi dan Pengabdian kepada warga  (LP3M). UMY 
merumuskan komitmen ini dalam buku yang sangat bagus 
berjudul Pendidikan Kewarganegaraan sejak tahun 2000-an 
yang dipakai diberbagai perguruan tinggi Muhammadiyah 
di berbagai daerah. Juga, ada banyak tema KKN yang telah 
dirintis. Dalam hal pendidikan demokrasi bagi mahasiswa dan 
civitas akademika. Terselenggaranya  KKN Tematik DAPU 
sebagai salah satu model pengawasan pemilu partisipatif 
(berbasis kesadaran warga sipil) ini memiliki beberapa 
makna dan kontribusi yang sangat berarti antara lain:sebagai 
ladang praktikum bagi mahasiswa dan dosen di dalam peran 
demokratik kontrol, sebagai model Pengabdian warga 
untuk pemberdayaan suara rakyat yang dihasilkan dari 
kolaborasi antara mahasiswa, dosen dan institusi demokrasi, 
menjadi sumbangan terhadap bangsa dan negara di dalam 
pembangunan demokrasi berbasis grass-root, dan mengatasi 
keterbatasan penyelenggara pemilu dalam mengusaha kan 
pengawasan  yang  maksimal.
  ini fokus pada beberapa hal sebagaimana rumusan 
masalah  berikut ini. Pertama, bagaimana proses kolaborasi 
UMY-Bawaslu-Pemerintah Desa dalam merumuskan konsep 
KKN tematik pengawasan pemilu serentak tahun 2019 di DIY?, 
dan kedua, bagaimana pengelolaaan KKN tematik kolaborasi 
UMY-Bawaslu-Pemerintah Desa dalam pengawasan pemilu 
serentak tahun 2019 di DIY? Dua pertanyaan utama ini 
akan dibahas dalam paper ini secara komprehensif untuk 
menemukan model pengawasan partisipatif berbasis program 
KKN perguruan tinggi. Untuk menjawab pertanyaan ini, 
metode analisis naratif  yang 
dihasilkan dari Analisa beragam data baik observasi, laporan 
KKN, FGD dan kuisioner. 
B. Kerangka Teori
B.1. Electoral Integrity
Integritas  berasal dari kata integrity dalam bahasa Inggris 
yang memiliki makna : the quality of being honest and having 
strong moral principles; moral uprightness. Kualitas untuk jujur 
dan memiliki prinsip moral yang kuat. Integritas juga bermakna 
sebagai keutuhan dan tidak terpisahkan. Integritas yaitu  pola 
pikir (mindset) dan karakter untuk menyesuaikan diri dengan 
norma dan peraturan yang dihasilkan melalui proses yang 
panjang. Integritas pemilu secara luas menyangkut komponen 
hak pilih universal dan kompetisi yang bebas dan jujur , konsep integritas pemilu 
muncul untuk menjawab dua masalah pokok yaitu kekerasan 
dalam pemilu (electoral violence) dan pelanggaran administrasi 
(administrative violation) yang dilakukan oleh penyelenggara 
pemilu. Ada 5 (lima) tantangan utama yang harus diatasi untuk 
pemilihan umum yang berintegritas :
1. Membangun  kedaulatan hukum untuk mendukung 
hak asasi manusia dan keadilan pemilu;
2. Membangun  badan penyelenggara yang profesional 
dan kompeten dengan kemandirian bertindak yang 
penuh dan menyelenggarakan pemilihan dengan 
transparan  dan mendapat kepercayaan publik;

  
3. Memperbaiki norma dan institusi kompetisi multi 
partai dan pembagian kekuasaan yang mendukung 
demokrasi  sebagai sistem keamanan bersama di 
antara para kompetitor politik;
4. Mengatasi hambatan hukum, administrasi, politik, 
ekonomi, dan sosial untuk partisipasi yang universal 
dan setara;
5. Mengatur pembiayaan politik yang tidak terkendali, 
tidak diungkap dengan jelas dan yang samar-
samar

 Paradigma collaborative governance yang dicetuskan 
tahun 1990-an salah satunya ditujukan untuk mengurangi 
dominasi   lembaga  pemerintah di dalam menjalani kerja-kerja 
partisipasi yang lebih luas. Prinsip mendasar dari collaborative 
governance yaitu  adanya kesetaraan hubungan diantara 
stakeholder di sektor publik (state), swasta (non-state), 
dan warga  melalui musyawarah bersama Kolaborasi demikian ditujuan untuk pengambilan 
keputusan kolektif secara formal 
Paradigma ini sangat penting dalam konteks perkembangan 
warga yang mengarah pada kompleksitas persoalan 
serta peran warga yang semakin independent di da