Rabu, 14 Juni 2023
am
forum pertemuan RT dan Forum Karangtaruna itulah Ade
menyampaikan materi yang diterima dari sosialisasi yang
dilaksanakan oleh Panwascam. Selain itu Ade juga diminta
untuk mensosialisasikan dalam forum warga di dunia maya
yang dia ikuti, melalui group whatsapp, group facebook dan
social media lain yang Ade ikuti. Dalam proses sosialisasi dalam
forum warga ini panwascam, pengawas kelurahan/desa,
dan juga kader juga ditugaskan untuk mendampingi relawan
dalam memberikan sosialisasi dalam forum warga.
Selain melaksanakan sosialisasi dalam forum warga di
dunia nyata, relawan juga diminta untuk menyampaikan hasil
sosialisasi dalam forum warga di dunia maya. Forum warga
di dunia maya dapat berupa group Whatsapp, Facebook,
Twitter, Instagram, dan berbagai bentuk media sosial
lainnya. Sosialisasi dalam forum warga di dunia maya ini juga
yaitu hal yang penting di era digital ini. Bahkan dengan
sosialisasi dalam forum warga di media sosial ini cakupannya
akan lebih luas dibandingkan sosialisasi yang dilakukan di dunia
nyata. Namun demikian model sosialisasi di dunia maya ini
juga perlu dikontrol dan dipantau, khususnya oleh pengawas
pemilu, agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab.
Dengan pola sosialisasi baru ini tentu hasilnya akan lebih
60
masif, lebih banyak warga yang akan memperoleh
materi sosialisasi tahapan pemilu yang disampaikan oleh
Bawaslu. Jika dengan pola lama, dalam 1 kecamatan katakanlah
hanya 30 orang yang menerima sosialisasi; maka dengan pola
baru 30 orang itu akan menyampaikan dalam minimal 30 forum
warga yang berisi 30-an orang juga. Dan jika forum sosialisasi
tahapan pemilu melalui media sosial juga berjalan maka tentu
saja akan lebih banyak lagi warga yang memperoleh
informasi terkait dengan tahapan pemilu ini . sebab
dalam satu group media social bias berisi hingga puluhan
bahkan ratusan warga, jika setiap relawan membagikan dalam
5 group saja dan maka sudah akan lebih banyak warga
yang mendapat informasi terkait kepemiluan.
Dengan cara ini kami berharap akan lebih banyak warga
yang mengetahui hal-hal terkait dengan kepemiluan. Dengan
warga tahu tentang kepemiluan, maka warga juga
secara otomatis akan ikut aktif melakukan pengawasan proses
pemilu di lingkungannya, sebagaimana yang telah berjalan di
kampung pengawasan di Kelurahan Teluk Uma. Dengan begitu
maka tentu saja akan dapat membantu kerja-kerja pengawasan
yang dilakukan oleh Bawaslu beserta jajarannya.
3. Penutup
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu bahwa
pelaksanaan kampung pengawasan sangat membantu dalam
usaha pencegahan praktik politik uang dan pelanggaran
pemilu lainnya dalam proses pelaksanaan pemilu. Program
kampung pengawasan tidak hanya efektif untuk pencegahan
politik uang, namun juga bentuk-bentuk pelanggaran pemilu
lainnya seperti pemasangan APK, kampanye, dan lain-lain.
Pada umumnya warga tidak mengetahui terkait dengan
aturan-aturan dalam kepemiluan, sehingga mereka cenderung
pasif atau bahkan tidak terlalu peduli dengan pemilu. Dengan
adanya program kampung pengawasan ini warga bisa
lebih banyak memperoleh pengetahuan terkait dengan
kepemiluan melalui forum-forum warga yang dilaksanakan
dalam program-program di kampung pengawasan.
61
Dengan pengetahuan tentang kepemiluan, warga
secara otomatisakan ikut mengawasi proses jalannya pemilu.
warga menjadi tahu hal-hal apa saja yang boleh dan tidak
boleh dilakukan dalam kampanye ataupun dalam tahapan-
tahapan lain dalam pemilu. Jika warga melihat ada hal-
hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan pemilu,
maka warga pun sudah tahu kemana mereka harus
melaporkan, yaitu bisa melalui Pengawas Pemilu Kelurahan/
Desa, Pengawas Pemilu Kecamatan, ataupun langsung kepada
Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan terwujudnya warga
yang sadar dan paham tentang pemilu, hal ituakan sangat
membantu kerja-kerja Bawaslu yang secara jumlah personelnya
masih sangat terbatas. Dengan adanya warga yang
aktif dalam memberikan laporan-laporan terkait dengan
pelanggaran pemilu, Bawaslu akan dapat lebih maksimal
dalam menjalankan pengawasan pemilu.
Dalam pelaksanaan Pilkada 2020 Bawaslu Provinsi
Kepulauan Riau akan melaksanakan strategi baru dalam usaha
meningkatkan keterlibatan warga dalam pengawasan
pemilu. Strategi ini menggabungkan dua strategi yang
telah dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau
dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Dengan penggabungan
strategi komunitas relawan pengawas pemilu partisipatif
dan juga pelibatan warga secara langsung dengan
membentuk kampung pengawasan dan desa anti politik uang,
diharapkan pelaksaan pengawasan partisipatif kedepan akan
lebih maksimal.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas kami merekomendasikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Kepada penyelenggara pemilu, agar dapat memakai
hasil penelitian ini sebagai referensi untuk melaksanakan
program pengawasan partisipatif.
2. Kepada para peneliti dan akademisi, kami
merekomendasikan untuk dapat melakukan penelitian
lanjutan terkait dengan strategi pelaksanaan pengawasan
pemilu partisipatif ini sehingga bisa meningkatkan dan
membuat inovasi-inovasi baru dalam usaha pelibatan
62
warga dalam pengawasan pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bawaslu RI. Buku Panduan Pengawasan Partisipatif.
Bawaslu Republik negara kita. Jakarta. 2017.
2. Bernad Dermawan Sutrisno, Arif Budiman. Gunawan
Suswantoro Penjaga Idealisme Pengawas Pemilu. Rajawali
Pers. Depok. 2018.
3. Clandinin, D, J (Ed). Narrative Inquiry: Experience and story
in Qualitative research. San Francisco: Jossey-Bass. 2007.
4. Creswell, J. W.Research Design : Qualitative, Quantitative,
and Mixed Methods Approaches. United Kingdom: SAGE
Publications. 2014.
5. Gunawan Suswantoro. Pengawasan Pemilu Partisipatif.
Penerbit Erlangga. Jakarta.2015.
6. H. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum. Sinar a.
2010.
7. Mohammad Najib, Bagus Sarwono, dkk. Pengawasan
Pemilu Problem dan Tantangan. Bawaslu Provinsi DIY.
2014.
8. Riessman, C.K. Narrative methods for the human sciences.
Thousand Oaks, CA:Sage. 2010.
9 Topo Santoso, Ida Budhiati. Pemilu di negara kita
Kelembagaan, pelaksanaan dan Pengawasan. Sinar
a. Jakarta. 2019.
65
Pendekatan Seni Budaya
untukSosialisasi Pengawasan PemiluSerentak
2019
Oleh: mr.soebandrijo
(Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah)
I. PENDAHULUAN
Pemilu 2019 yaitu gawe besar dalam proses
demokrasi di negara kita. Pemilu kali ini menyuguhkan
berbagai pertarungan elite politik untuk saling merebut kue
kekuasaan. Antar-peserta pemilu saling bersaing untuk meraih
kemenangan. Dalam pemilu, kemenangan yang diperebutkan
yaitu meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih.
Jika meraih suara yang banyak, dengan begitu peserta pemilu
bisa memperoleh kue kekuasaan.
Pelaksanaan Pemilu 2019 sempat mengkhawatirkan
berbagai pihak terkait dengan potensi kerawanan. Persaingan
antarelite politik dalam perebutan kekuasaan lima tahunan
menjadi perhatian secara khusus.
Apalagi, dalam Pemilu 2019 ada pengulangan di Pemilu
2014 terkait dengan kompetisi calon presiden. Pemilu 2014
dengan Pemilu 2019 ada persamaan dari sisi persaingan figur,
yakni Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Dua orang ini
sudah terlibat dalam persaingan di Pemilu 2014, lalu bertarung
lagi dalam kompetisi Pemilu 2019.
Bedanya ada di posisi calon wakil presidennya. Pada
Pemilu 2014, Prabowo didampingi cawapres Hatta Rajasa dan
Joko Widodo didampingi cawapres Jusuf Kalla. Sementara di
Pemilu 2019, Prabowo didampingi cawapres Sandiaga Uno,
sedangkan Joko Widodo didampingi cawapres Ma’ruf Amin.
66
Dua pasangan calon presiden/calon wakil presiden pada Pemilu
2019 ini cenderung memiliki pendukung fanatik masing-
masing.
Pengulangan pertarungan dua figur ini membuat
pelaksanaan Pemilu 2019 dihantui dengan berbagai
potensikonflik. Keberadaan hanya ada dua calon atau dua
kubu yang bertarung secara sengit juga semakin menyumbang
besarnya potensi kerawanan. Keramaian tidak hanya di
lapangan, namun juga merembet ke ranah media sosial.
Berbagai konten negatif terkait dukung mendukung pasangan
calon meyeruak ke berbagai laman media sosial. Tak pelak,
terkadang konten ini menyerempet ke isu hoaks (kabar
bohong) hingga ke isu suku ras agama dan antar golongan
(SARA).
Pemilu 2019 juga diramaikan dengan persaingan antar-
calon legislatif yang memperebutkan kursi wakil rakyat. Caleg
ini ada di tiga level, yakni DPR, DPRDProvinsi, dan
DPRDKabupaten/Kota. Satu lagi surat suara yang disodorkan
kepada pemilih yaitu untuk pemilihan calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
Yang namanya kompetisi pasti jumlah calon lebih
banyak dibandingkan dengan jatah kursi yang ada. Orang yang
berminat menempati posisi di jabatan politik pemerintahan
jelas selalu lebih banyak dibanding dengan jatah kursi yang
tersedia.Misalnya untuk calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
di Jawa Tengah ada sebanyak 20 calon. Mereka memperebutkan
jatah hanya 4 kursi DPD. Disinilah ada istilah pemilu bagian dari
pengelolaan konflik perebutan kekuasaan secara legal. Pemilu
yaitu ajang lima tahunan untuk perebutan kekuasaan secara
sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
sebab pemilu yaitu arena konflik perebutan kekuasaan
secara legal, ada berbagai aturan dan ketentuan yang menjadi
batasan-batasannya. Para peserta pemilu dipersilakan
melakukan kompetisi tapi mereka juga harus melakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada. Misalnya, boleh melakukan
kampanye di tahapan kampanye. Pada saat sudah memasuki
hari tenang, sudah tidak boleh ada lagi kampanye. Contoh lain,
boleh berkompetisi adu visi misi, tapi materinya tidak boleh
67
mempertentangkan isu suku ras agama dan antar golongan.
Peserta pemilu dipersilahkan mendekati bahkan merayu para
pemilih, tapi tidak boleh memberikan politik uang. Banyak
sekali aturan dan ketentuan yang harus ditaati para peserta
pemilu.
Untuk memetakan titik kerawanan Pemilu 2019, Bawaslu
RI telah melakukan pemetaan melalui penyusunan Indeks
Kerawanan Pemilu (IKP) 2019. (1) Beberapa titik kerawanan
dalam pemilu antara lain maraknya politik uang, penyebaran
isu SARA dan hoaks, ketidaknetralan ASN, hingga adanya
praktik kecurangan.
Untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu 2019, ada
Bawaslu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu, Bawaslu memiliki berbagai wewenang,
tugas, dan fungsi. Tugas dan fungsi itu antara lainmencegah,
mengawasi, dan menindak. Dalam berbagai peristiwa, Bawaslu
mengutamakan pencegahan.
Pencegahan yaitu proses tindakan untuk
mengusaha kan agar tidak terjadi pelanggaran. Bentuk-bentuk
pencegahan juga ada berbagaimacam. Misalnya, peserta pemilu
yang hendak melakukan kegiatan tertentu diberi pemahaman
tentangaturan dan ketentuan yang ada sehingga tidak terjadi
pelanggaran. Jikalau tetap terjadi pelanggaran maka peristiwa
pelanggaran itu sejauh mungkin akan dihentikan sehingga
pelangggarannya tidak terus-menerus terjadi. Bentuk
pencegahan lainnya yaitu melakukan sosialisasi partisipatif
kepada berbagai kelompok warga dan stakeholders.
Bawaslu Jawa Tengah melakukan kegiatan-kegiatan
bersama dengan kelompok warga untuk mencegah
terjadinya pelanggaran Pemilu 2019. Agar kegiatan pencegahan
bisa berjalan efektif dan efisien maka harus dilakukan dengan
cara dan metode yang inovatif dan kreatif disesuaikan dengan
situasi dan kondisi di lapangan. Untuk itulah, Bawaslu Jawa
Tengah melakukan sosialisasi pengawasan partisipatif dengan
pendekatan seni dan budaya.
1 IKP 2019: Indeks Kerawanan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, Bawaslu
RI, Jakarta, Desember 2018.
68
II. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Bawaslu di Jawa Tengah memakai
pendekatan seni budaya untuk sosialisasi pengawasan
partisipatif pada Pemiluserentak 2019?
III. METODOLOGI
Penulisan artikel ini memakai pendekatan
kualitatif. (2) Dilakukan dengan cara Penulis melakukan
observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan secara langsung dalam kegiatan-
kegiatan sosialisasi partisipatif yang dilakukan Bawaslu di
Provinsi Jawa Tengah. Adapun wawancara dilakukan dengan
cara menggali data, informasi, dan pendapat terhadap lembaga
atau orang perorangan yang terlibat dalam kegiatan sosialisasi
pengawasan partisipatif yang dihelat Bawaslu Provinsi di Jawa
Tengah.
IV. KERANGKA KONSEPTUAL
Sebelum menjelaskan soal agen sosialisasi, Penulis
ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian
sosialisasi. Haryanto (2018) dalam buku “Sosialisasi Politik”
mengemukakan bahwa sosialisasi yaitu proses yang
melekat dan dialami setiap individu untuk memperoleh
pengetahuan, nilai, ataupun keterampilan agar mampu
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan.
Menurut Haryanto, sebab sosialisasi tidak spesifik
menyebutkan tempat untuk memperoleh pengetahuan,
nilai, atau keterampilan, maka bisa dinyatakan sosialisasi
berlangsung di semua tipe warga, baik itu tradisional,
sedang berkembang, maupun modern. Dalam proses
sosialisasi itu harus ada agen atau aktor yang melakukan
proses sosialisasi. Agen itu tidak hanya sebatas individu. (3)
2 J.R, Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis Karakteristik dan
Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2013.
3 Haryanto, Sosialisasi Politik: Suatu Pemahaman Awal, Yogjakarta: Penerbit
Polgov, 2018.
69
Sedangkan Kenneth P.Langton mengemukakan adanya
tiga elemen penting dalam proses sosialisasi. Pertama, proses
sosialisasi harus ada elemen agen dan aktor sebagai pihak yang
memberikan materi sosialisasi. Kedua, harus ada materi-materi
yang akan diberi kepada pihak yang diberi sosialisasi.
Ketiga, perlu ada saling interaksi antara agen sosialisasi dengan
pihak yang memperoleh sosialisasi. (4)
chucky . A. Almond ), memaparkan adanya enam
jenis agen sosialisasi. Enam jenis ini menjadi sarana bagi
seseorang dalam menerima sosialisasi. Enam agen sosialisasi
ini yaitu : keluarga, kelompok pergaulan, sekolah,
tempat kerja, media massa, dan kontak politik langsung. (5)Selain
enam jenis agen sosialisasi diatas, Penulis menambahkan
satu lagi agen sosialisasi, yakni agen seni dan budaya untuk
sosialisasi yang ditulis dalam karya tulis ini.
Selain konsep agen sosialisasi juga ada konsep civic
engagement ,Keterlibatan
warga mencakup tindakan dimana mereka berpartisipasi
dalam kegiatan yang menjadi perhatian bersama, memperkaya,
dan memberi manfaat kepada publik. Sosialisasi tidak hanya
melibatkan tokoh-tokoh warga, tapi siapapun yang bisa
terlibat dalam proses sosialisasi pengawasan partisipatif.
V. KONSEP PENGAWASAN PARTISIPATIF
Bawaslu RI sudah sering membuat berbagai program
sosialisasi partisipatif. Bawaslu RI sudah menerbitkan berbagai
buku, konsep, petunjuk teknis, hingga SOP mengenai sosialisasi
partisipatif, yakni:
1. Buku “Panduan Pengabdian warga dalam
Pengawasan Pemilu”.
2. Buku ”Panduan Forum Warga”.
3. Buku “Saku Pemantauan Pemilihan Umum 2019”.
4. Buku “Serial Pengawasan Pemilu Partisipatif” Agama
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu.
5. Buku “Panduan Pembentukan Saka Adyasta Pemilu”.
6. Buku “Panduan Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu”.
7. Buku “Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif”.
8. Buku “Panduan Pojok Pengawasan”.
9. Dalam konteks pilkada 2018, Bawaslu RI juga
menerbitkan: "Bahan Sosialisasi Tatap Muka Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota 2018".
Buku dan panduan-panduan ini menjadi salah satu
inspirasi dalam membuat program dan kegiatan sosialisasi
pengawasan di Jateng. Bawaslu Jateng menurunkan ide-
ide Bawaslu RI ini agar lebih teknis dan disesuaikan
dengan situasi, kondisi, dan potensi yang ada di Jawa Tengah.
Maka lahirlah ide dan gagasan untuk melaksanakan kegiatan
sosialisasi pengawasan dengan melibatkan para pekerja seni
dan kelompok warga yang selama ini jarang dilibatkan
dalam urusan kepemiluan.
Konsep kegiatan sosialisasi tidak hanya memakai
metode diskusi, ceramah, ataupun seminar di ruang-ruang
tertutup dan hanya melibatkan tokoh-tokoh atau pimpinan
lembaga/organisasi tertentu. Lebih dari itu, konsep dan metode
sosialisasi bisa dilakukan di ruang-ruang terbuka dengan
melibatkan kelompok warga maupun para pekerja seni
dan budaya. Bawaslu Jawa Tengah mendorong agar bidang seni
bisa ikut terlibat dalam pengawasan pemilu. Karya-karya seni
dan budaya harus dilibatkan untuk melahirkan karya seni yang
spirit dan substansinya mengandung nilai-nilai pengawasan
pemilu.
Seperti yang dijelaskan diatas, Bawaslu Jawa Tengah
bertugas untuk melakukan pencegahan pelanggaran dalam
pemilu dan pilkada. Pencegahan itu bisa dilakukan dengan
berbagai macam. Salah satunya dengan melakukan sosialisasi
kepada warga mengenai pengawasan partisipatif pemilu.
Banyak cara untuk melakukan sosialisasi pengawasan pemilu,
namun metode yang dipilih haruslah unik dan tidak biasa.
Metode sosialisasi yang selama ini sudah biasa dilakukan
yaitu dengan cara mengundang orang kesebuah tempat di
mana telah dihadirkan narasumber/pemateri. Para peserta
sosialisasi yang hadir diberi ceramah atau materi sosialisasi.
Setelah itu ada sesi penyampaian pertanyaan atau tanggapan
dari peserta ke pemateri. Pertanyaan/tanggapan dari peserta
itu dijawab/ditanggapi oleh pemateri. Setelah itu acara selesai.
Metode seperti itu sah dan boleh-boleh saja.Hanyasaja dari sisi
metode sudah menjadi sesuatu yang biasa dan mudah saja.
Untuk itulah Bawaslu Jawa Tengah ingin ada metode-metode
lain dalam melakukan sosialisasi. Harus ada usaha yang unik
dan berbeda dari biasanya.
Beberapa metode sosialisasi pengawasan partisipatif
dalam Pemilu serentak 2019 yang dilakukan Bawaslu Jawa
Tengah antara lain:
- Kartun Kawal Pemilu
Bawaslu Jawa Tengah melibatkan para kartunis untuk ikut
sosialisasi pengawasan pemilu. Para kartunis diberi materi
pengawasan pemilu kemudian mereka membuat karya kartun
pengawasan pemilu.
- Dengan Sajak, Kita Mengawasi Pemilu
Bawaslu Jawa Tengah mengajak para penyair untuk ikut
membuat karya bertema pengawasan pemilu. Publik secara
umum maupun penyair bisa mengirimkan puisi pengawasan
pemilu. Karya-karya itu diseleksi untuk diterbitkan dalam
sebuah buku. Peluncuran buku dilakukan di Gedung RRI
Semarang.
- Sosialiasasi dengan kelompok sasaran/komunitas-
komunitas seni budaya, kelompok marjinal, warga
terpinggirkan, dan lain-lain.
Bawaslu Jawa Tengah melakukan sosialisasi pengawasan
pemilu kepada kelompok warga atau komunitas-
komunitas yang selama ini berada dalam kategori warga
pinggiran/kelompok marjinal. Pemilu bukan saja urusan
para elite politisi, kampus, atau penyelenggara pemilu saja,
namun kelompok warga juga harus dilibatkan dalam
pengawasan pemilu.
- Ketoprak Pengawasan Pemilu
Sosialisasi pengawasan pemilu juga dilakukan melalui
pagelaran ketoprak. Adegan ketoprak diambil dari tema-tema
pengawasan pemilu. Melalui cara ini diharapkan warga
bisa tertarik dengan pengawasan pemilu. Sosialisasi
pengawasan pemilu tak hanya melalui ceramah tapi melalui
pagelaran ketoprak, halmanasesuai dengan budaya lokal di
Jateng.
- Mural Pengawasan Pemilu
Bawaslu mengundang para pekerja seni mural untuk membuat
karya-karya gambar yang isinya yaitu pengawasan pemilu.
Gambar mural itu dipajang untuk umum agar publik bisa
meresapi isinya.
- Sosialisasi melalui gelar budaya
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah dan Bawaslu Kabupaten/Kota
di Jawa Tengah juga menggelar sosialisasi pengawasan pemilu
melalui gelar budaya. Masing-masing kabupaten/kota memilih
gelar budaya sesuai dengan lokalitas masing-masing.
Selain itu masih banyak lagi metode sosialisasi yang
dilakukan Bawaslu Jawa Tengah dalam Pemilu serentak 2019.
sebab keterbasatan penulisan, dalam karya tulis ini Penulis
tidak bisa menulis semua kegiatan sosialisasi yang sudah
dilakukan. Penulis hanya akan fokus menuliskan secara
detail tiga kegiatan, yakniKartun Kawal Pemilu (KAKAP);
Dengan Sajak, Kita Mengawasi Pemilu; dan Sosialisasi dengan
Kelompok Sasaran.
1. Kartun Kawal Pemilu (KAKAP).
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah menggandeng para
kartunis untuk melakukan kegiatan sosialisasi pengawasan
partisipatif. Menurut Kamus Besar Bahasa negara kita (KBBI),
kartun yaitu gambar dengan penampilan yang lucu,
berkaitan dengan keadaan yang sedang berlaku (terutama
mengenai politik). (6)Kartun juga disebut-sebut bagian dari
produk jurnalistik yang selama ini menghiasi halaman media
massa. Kartun bagian dari gambar kreatif, unik, dan nyeleneh.
Biasanya, materi kartun terkait dengan isu-isu aktual yang
sedang menjadi perbincangan publik. Tidak hanya menghibur,
kartun juga berisi kritikan hingga sindiran kepada pihak-pihak
tertentu. Kartun juga bisa berisi candaan yang ujungnya bisa
untuk kritik sosial.
Sebelum pelaksanaan kegiatan, Bawaslu Jawa Tengah
melakukan pendekatan kepada kartunis. Bawaslu Jawa Tengah
bertemu dengan Abdul Arif, kartunis muda di Semarang yang
juga menjadi Ketua Gold Pencil. Gold Pencil yaitu sebuah
organisasi yang menaungi para kartunis di Kota Semarang.
Bawaslu Jawa Tengah perlu meyakinkan Arif dan kawan-
kawannya terkait dengan pentingnya pengawasan pemilu.
Maklum, seringkali urusan pemilu hanya dilekatkan kepada
penggiat pemilu, akademisi, LSM, dan penyelenggara pemilu.
Sementara, para kartunis yang selama ini masuk dalam
kategori pengiat seni, merasa jarang sekali dilibatkan dalam
urusan kepemiluan.
Singkatnya, Bawaslu Jawa Tengah dan Gold Pencil
sepakat menggelar kegiatan bersama. Konsep dan
perencanaan kegiatan dirancang secara bersama-sama. Soal
keterbatasan anggaran tidak jadi masalah. Bawaslu Jawa
Tengah hanya memiliki anggaran untuk kertas dan alat tulis
untuk para kartunis, tempat, dan konsumsi para kartunis serta
uang pengganti bensin untuk para peserta kartunis. Tidak ada
anggaran untuk honor penghargaan karya-karya kartun.
Agar kegiatan bersifat terbuka dan melibatkan
publik, Bawaslu Jawa Tengah bersama dengan Gold Pencil
membuka pendaftaran secara terbuka. Publik, baik kartunis
yang sudah profesional maupun yang masih dalam tahap
belajar,dipersilakan ikut mendaftarkan diri menjadi peserta
kegiatan.
Kesempatan mendaftar berlangsung selama 10 hari,
yakni 1-10 November 2019. Hasilnya, ada 120 orang yang ikut
mendaftarkan diri. sebab kuota peserta hanya 100 orang,
Gold Pencil dan Bawaslu melaksanakan proses seleksi. Peserta
yang lolos kemudian diumumkan melalui situs website. (7)
Hingga akhirnya, acara Kartunis Kawal Pemilu (KAKAP)
bisa terlaksana pada 19 November 2019 pukul 09.00-14.00
WIB di Aula Hotel Semesta Semarang. Rangkaian acaranya
yaitu pemberian materi dan menggambar kartun bersama.
Pemberian materi disampaikan tiga orang, yakni mr.soebandrijo
(Bawaslu Jawa Tengah), Abdul Arif (Ketua Gold Pencil), dan Jitet
Kustana (mantan kartunis Kompas yang meraih rekor MURI
sebagai pemenang terbanyak lomba kartun).
Penyampaian materi dan sesi dialog hanya berlangsung
sekitar 45 menit. Terbilang sebentar sebab penyampaian
materi hanya sebagai prolog untuk para kartunis sebelum
menggambar di atas kertas. Penyampaian materi hanya untuk
memberikan gambaran terkait dengan pelaksanaan Pemilu
2019 dan urgensi pengawasan pemilu.
Setelah penyampaian materi selesai, dilanjutkan
proses menggambar kartun bersama. Sebanyak 100 kartunis
menggelar kertas masing-masing untuk menggambar. Dari
sisi usia, kartunis yang ikut sangat beragam. Ada yang masih
pelajar tingkat SMP, SMA, hingga mahasiswa.
Ada pula kartunis senior yang selama ini sudah
malang melintang sebagai kartunis di media massa umum.
Di antaranyayaitu Agung S W (Salatiga), Agus Eko
Santoso (Demak), Boedy HP, Danny Yustiniadi, Darsono,
Heru Garsita, Imam Syahri, Kustiono, Partono, Sardi A. F.,
Sudarmanto,Suratno, Jitet Kustana (Semarang), dan Djoko
Susilo (Kendal). Di antara 100 kartunis itu, ada dua peserta
kartunis penyandang difabel. Keduanya kakak-beradik yang
hanya bisa duduk di kursi roda sambil menggambar kartun
dengan isu pengawasan pemilu.
Sekitar dua hingga tiga jam berlangsung, 100 kartunis
ini menggambar dengan berbagai isu masing-masing. Ada
yang gambarnya berupa tolak politik uang, bahaya isu SARA
dan hoaks di pemilu, soal tingkah polah wakil rakyat yang
menggemaskan publik, soal pelanggaran kampanye, serta
isu-isu pentingnya pengawasan pemilu. Ketua Bawaslu RI
Abhan yang ada di Semarang ikut datang ke lokasi acara dan
menyampaikan apresias i atas karya-karya para kartunis.
Setelah selesai menggambar, kartun-kartun ini
dikumpulkan panitia. Sesuai dengan rencana, karya kartun akan
dipamerkan di Kantor Bawaslu Provinsi Jawa Tengah. sebab
ada 100 karya kartun sehingga tidak mungkin jika jumlah ini
diikutkan pameran semuanya. Dilakukanlah proses seleksi
yang dilakukan secara bersama-sama oleh Fajar Saka, Anik
Sholihatun, mr.soebandrijo (Bawaslu Jawa Tengah), Abdul Arif, dan
Jitet Kustana. Dari 100 karya itu diambil 50 karya yang terbaik.
Sebanyak 50 karya lainnya sebenarnya juga cukup baik.Hanya
sebab keterbatasan ruang dan instalasi pameran maka hanya
50 karya yang akan dipamerkan.
Pameran kartun tentu butuh etalase atau alat-alat
untuk memajang karya. Bawaslu-Gold Pencil tidak memiliki
anggaran untuk pengadaan/membeli peralatan ini .
Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya Bawaslu-Gold
Pencil mengetahui adanya peralatan pameran yang dimiliki
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. Saat itu juga,
Bawaslu Jawa Tengah berkomunikasi dengan Ketua AJI Kota
Semarang Edi Faisol terkait dengan rencana peminjaman
alat-alat untuk pameran. AJI Kota Semarang membolehkan
peminjaman itu dengan syarat alat-alat ini diambil dan
dikembalikan sendiri oleh Bawaslu Jawa Tengah.
Sampailah pada persiapan pelaksanaan pameran kartun
kawal pemilu. Secara teknis, para staf Bawaslu Jateng dan para
pengurus Gold Pencil menyiapkan pameran ini . Ruangan
Bawaslu Jawa Tengah yang luasnya hanya sekitar 6 meter x
5 meter disulap menjadi ruang pameran. Beberapa etalase
dipasang di ruangan ini .
Hingga akhirnya pada Sabtu malam (24 November 2018),
pameran kartun pengawasan pemilu dibuka Ketua Bawaslu
Jawa Tengah Fajar Saka. Pameran pertama kali yang digelar
di Bawaslu Jawa Tengah ini dibuka di depan ruang pameran
dengan diisi beberapa acara, mulai dari sambutan hingga
hiburan musik. Pameran ini terbuka untuk umum sepanjang
24-30 November 2019. Selama pameran berlangsung, setiap
hari selalu ada pengunjung yang menyaksikan pameran kartun
ini , baik dari warga umum, pelajar, aktivis, maupun
kalangan jurnalis yang meliput pameran ini.
Pada saat Bawaslu menyebarkan poster pengumuman
pameran, ada seorang angggota kepolisian di Kota Magelang
mempersoalkan gambar poster kartun pameran yang
menggambarkan satu mata. Di dalam satu mata ini ada
transaksi politik uang. Anggota polisi ini menilai bahwa
kartun satu mata ini menggambarkan mata Dajjal. Selain
itu juga ada protes dari Temanggung yang menilai bahwa
kartun satu mata ini sebagai simbol ajaran Illuminati.
Pada saat Bawaslu Jawa Tengah mendengar adanya isu
seperti itu, BawasluJawa Tengah segera melakukan tindakan
antisipasi. Yang ditempuh yaitu dengan cara membuat poster
baru untuk disebarkan kepada publik. Jadi, sosialisasi adanya
pameran memakai dua poster. Cara ini mampu
menghentikan tudingan tidak baik terkait dengan acara
pameran kartun kawal pemilu ini.
Dengan berbagai keterbatasan, pameran digelar di
Kantor Bawaslu Jawa Tengah. Dari sisi bentuk gedung, Kantor
Bawaslu Jawa Tengah yang terletak di Jalan Papandayan
Selatan Nomor 1 Semarang, jauh dari harapan sebagai ruang
pameran yang ideal. Kantor menempati sebuah rumah yang
sebelumnya yaitu rumah dinas Ketua DPRD Provinsi Jawa
Tengah. Dari sisi ketersediaan ruang, tentu jauh dari ideal.
Ruang pameran memakai ruang tamu. Beberapa
kursi dan meja disingkirkan untuk ditempati etalase guna
memajang karya-karya kartun kawal pemilu. Jadilah, ruang
tamu Bawaslu Tengah disulap menjadi ruang pameran pada
24-30 November 2018. Pigura dipajang di etalase yang dijejer
di beberapa sudut ruangan.
sebab jumlah pengunjung masih saja ada, pameran
kartun ini diperpanjang selama sepekan. Hal ini untuk
memberikan kesempatan kepada para penikmat seni untuk
datang ke Kantor Bawaslu Jawa Tengah.
Selain pameran, karya-karya kartun bertema
pengawasan pemilu ini juga dijadikan sebagai alat sosialisasi
kepada publik melalui penyebaran di media sosial. Selama
beberapa hari, akun media sosial Bawaslu di Jawa Tengah
menviralkan kartun-kartun ini .
Selain itu, karya-karya kartun ini juga dikumpulkan, di-
scan menjadi PDF, lalu kumpulan kartun ini dijadikan menjadi
sebuah buku. sebab keterbatasan anggaran, buku kartun
pengawasan pemilu itu hanya ada dalam bentuk PDF atau
e-paper. Publik bisa mengunduh secara gratis buku ini
melalui laman: www.ppid.jateng.bawaslu.go.id. Klik menu
Informasi Berkala, lalu klik kolom Buku. Di deretan inilah, ada
buku Kartun Kawal Pemilu.
Ketua Gold Pencil Semarang, Abdul Arif menyatakan,
kegiatan Kartun Kawal Pemilu (KAKAP) menjadi terobosan
Bawaslu Jawa Tengah dalam melaksanakan sosialisasi
pengawasan partisipatif. Bawaslu menggandeng komunitas
kreatif untuk membuat konten menarik berisi materi
pengawasan pemilu. (9)
Dari segi teknis, kata Arif, pelaksanaan kegiatan Kartun
Kawal Pemilu (KAKAP) sudah baik. Hanya saja, kata dia,
durasi waktu pada saat kegiatan masih kurang. "Para kartunis
menerima materi tentang pengawasan Pemilu sudah cukup,
tapi butuh waktu yang cukup untuk menerjemahkannya
dalam bentuk karya," kata Arif. Menurut Arif, ke depan harus
dimaksimalkan lagi waktunya agar karya-karya yang dihasilkan
lebih baik untuk menyuarakan pengawasan pemilu.
Hal lain yang menjadi evaluasi Arif terkait dengan
keberadaan anggaran yang terbatas dan media publikasinya.
Pameran offline membutuhkan banyak biaya. Pengurus Gold
Pencil dan Bawaslu Jateng harus pontang-panting untuk
menyelenggarakan pameran kartun pengawasan pemilu.
"Mungkin media sosial dan website bisa dioptimalkan untuk
menampilkan karya kreatif pengawasan partisipatif," kata
Arif.
Evaluasi pembelajaran lainnya terkait dengan bekal
pengawasan yang dimiliki teman-teman kartunis hanya berhenti
di kegiatan melahirkan karya dan pameran saja. "Seharusnya
mereka ikut aktif dalam pengawasan dengan kreativitas yang
mereka miliki. Perlu sinergi agar bisa berkelanjutan," kata
Arif. Misalnya, para kartunis juga harusnya terlibat dalam
melaporkan jika mengetahui adanya dugaan pelanggaran.
Namun, kata Arif, para kartunis lebih memilih melakukan
pencegahan dibandingkan melaporkan dugaan pelanggaran pemilu.
Kata Arif, melaporkan dugaan pelanggaran pemilu berpotensi
menemui berbagai hambatan dan kerumitan sebab harus
diperiksa, diklarifikasi, dan lain-lain. Arif yang juga berprofesi
sebagai jurnalis ini berharap agar ke depan, Bawaslu di Jawa
Tengah perlu menggandeng komunitas kreatif lainnya agar
pengawasan lebih variatif.Kegiatan pelibatan kartunis dalam
9 Wawancara Ketua Gold Pencil Abdul Arif pada 10 Oktober 2019.
81
mengawasi pemilu ini mendapat banyak sorotan dari media
massa.Suara Merdeka, misalnya, menulis berita berjudul:
"Mengawal Pemilu lewat Gambar Satire". (10)
2. Puisi Pengawasan Pemilu
Bawaslu Jawa Tengah melakukan sosialisasi
pengawasan pemilu partisipatif melalui puisi. Dalam
sejarahnya, puisi sering kali menjadi karya sastra untuk
menghibur, menyuarakan kritik, hingga alat untuk perlawanan
terhadap kezaliman. Banyak karya sastra puisi yang isinya
yaitu untuk perjuangan.
sebab itulah, Bawaslu Jawa Tengah juga ingin
memakai puisi untuk sosialisasi pengawasan pemilu. Untuk
keperluan ini, Bawaslu Jawa Tengah berkolaborasi dengan
Persatuan Wartawan negara kita (PWI) Provinsi JawaTengah
yang diketuai Amir Machmud dan Komunitas Lereng Medini
(KLM) Kendal, Jawa Tengah, yang digawangi Heri Condro
Santoso (penyair dan wartawan di Semarang).
Perencanaan kegiatan ini dilakukan secara singkat.
Dari sisi waktu pelaksanaan berhimpitan dengan adanya
hari raya lebaran Idul Fitri. Untuk mematangkan rencana
kegiatan, Bawaslu Jawa Tengah berdiskusi denganWidiyartono
Radyandan Heri C Santoso. Widi yaitu pengelola rubrik
Budaya Koran Harian Wawasan. Dia juga menggawangi Divisi
Budaya Pengurus PWI Jawa Tengah. sebab Ketua PWI Jawa
Tengah Amir Machmud sibuk maka urusan rencana kegiatan
puisi pengawasan pemilu diserahkan kepada Widi.
Bawaslu yang diwakili mr.soebandrijo berdiskusi dengan Widi
dan Heri C Santoso terkait dengan perencanaan acara ini .
Tiga orang ini sepakat untuk membuat puisi pengawasan
pemilu. Konsepnya yaitu membuka ruang pelibatan kepada
publik untuk ikut pembuatan puisi pengawasan pemilu. Panitia
kegiatan membuka pintu selebar-lebarnya kepada khalayak
umum untuk membuat karya puisi dengan tema pengawasan
pemilu. Panitia akan menerima kiriman puisi dari khalayak.
10 https://www.suaramerdeka.com/index.php/smcetak/baca/150972/
mengawal-pemilu-lewat-gambar-satire.
82
Pembuatan puisi ini tak hanya untuk mereka yang sudah
terbiasa membuat puisi atau para penyair. warga umum,
pelajar, maupun penyelenggara pemilu dipersilakan untuk
membuat sajak-sajak puisi dan mengirimkan ke panitia.
Poster undangan mencipta puisi dengan tema:
“Dengan Sajak, Kita Mengawasi Pemilu” disebarkan kepada
publik.
Meski dibuka untuk umum, pembuatan puisi tidak
dengan sistem lomba. Tidak ada pemenang yang memperoleh
hadiah. Para penulis buku hanya diapresiasi pemuatan karya
puisinya dalam buku yang diterbitkan Bawaslu Jawa Tengah.
Penulis puisi tidak diberi honor. Selain sebab keterbatasan
anggaran juga ingin mengukur seberapa jauh antusiasme
publik atas keterlibatannya dalam isu pengawasan pemilu.
Setelah proses pengumuman berjalan, ternyata
antusiasme publik untuk mengirim puisi pengawasan pemilu
83
terbilang banyak. Ada 110 orang yang mengirimkan puisi
di kegiatan ini. Jumlah puisi yang dikirim mencapai 150
puisisebab satu orang penyair ada yang mengirim dua puisi.
Sesuai dengan ketentuan, setiap satu orang penyair hanya
boleh mengirim maksimal dua karya puisi.
sebab jumlah puisi yang dikirim penyair sangat banyak,
sementara buku yang akan diterbitkan sangat terbatas, maka
dilakukan proses penyeleksian. (11)Proses seleksi puisi dilakukan
tiga orang, yakni Widiyartono Radyan, Heri C Santoso, dan
Hendry TM (Ketua Dewan Kesenian Semarang).
Terpilihlah sebanyak 113 karya puisi yang kemudian
dikumpulkan menjadi antologiyang akan diterbitkan menjadi
buku. Bawaslu meminta tolong ke seorang layouter untuk
mendesain buku antologi ersebut. Waktu desain buku hanya
tiga hari.
Singkat cerita, kumpulan puisi inilah yang kemudian
diluncurkan kepada publik pada Rabu,26 Desember 2018 pukul
18.00 WIB di Gedung RRI, Kota Semarang, Jawa Tengah. Tempat
peluncuran buku puisi sengaja dipilih di RRI sebab : 1). RRI
memiliki sejarah panjang terkait dengan dunia kebudayaan dan
sastra sehingga tempat ini pas jika dipakai untuk launching
buku puisi pengawasan; 2). RRI bisa melakukan siaran langsung
untuk menyiarkan acara peluncuran buku puisi ini .
Rangkaian acara antara lain launching buku puisi,
pembacaan puisi dengan diiringi musikalisasi puisi, dan orasi
kebudayaan dari Ketua Bawaslu Jawa Tengah Fajar Saka, Ketua
PWI Jawa Tengah, dan Ketua Dewan Kesenian Kota Semarang
(Dekase) Handry TM.
Dalam catatan Bawaslu Jawa Tengah, inilah buku puisi
pengawasan pertama kali yang diterbitkan Bawaslu Provinsi
Jawa Tengah. Dari sisi penerbit, buku ini diterbitkan Bawaslu
Jawa Tengah dengan PWI Jawa Tengah.
Buku ini berjudul: “MATA SAJAK; Antologi Puisi
Pengawasan Pemilu”.Kalimat “Mata Sajak” diambil dari puisi
salah satu peserta, Roso Titi Sarkoro. Versi PDF atau e-paper
bukubisa diunduh secara gratis melalui laman: www.ppid.
11 http://jateng.bawaslu.go.id/2018/12/26/daftar-penyair-yang-karyanya-
diterbikan-dalam-antologi-puisi-pengawasan-pemilu/
84
jateng.bawaslu.go.id. (12)
Bawaslu Jateng terkejut sebab pengirim sajak
pengawasan pemilu terbilang banyak. Semula, Bawaslu
Jateng agak pesimis apakah para penyair mau membuat dan
mengirimkan sajak pengawasan pemilu ke Bawaslu Jawa
Tengah. Isu pengawasan pemilu bukanlah sesuatu yang sering
jadi pembahasan para penyair. Selain itu, ajang ini juga bukan
lomba yang menyediakan hadiah. Tak dinyana, pengirim
sajak membludak. Bahkan persebarannya terbilang luas. Tak
hanya dari Jawa Tengah namun juga dari provinsi lain.Para
penyair yang mengirimkanpuisinyaberasaldari Jakarta, Brebes,
Temanggung, Semarang, Wonogiri, Yogjakarta, Salatiga,
Pekanbaru, Rembang,dan lain-lain. Bahkan, ada penulis asal
negara kita yang saat ini berdomisili di Swiss, ikut mengirim
karya,yaitu Sigit Susanto.Beberapa nama penyairbeken lainnya
yang ikut berpartisipasi antara lain Roso Titi Sarkoro,Joshua
Igho, Candra Harjamto, Soekoso DM, Amir Machmud,
danBambang Supranoto.
Secara umum, buku antologi ini sangat kaya warna
sebab diikuti oleh mereka yang penyair dan bukan penyair.
Bawaslu Jawa Tengah sengaja melibatkan publik secara
umum untuk mencipta sajak pengawasan pemilu. Bawaslu
Jawa Tengah menyatakan bahwa pencegahan pelanggaran
pemilu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Tak hanya melalui
sosialisasi di diskusi atau seminar, namun juga bisa melalui
sajak-sajak pengawasan pemilu.Penyadaran orang per orang
tak melulu melalui proses ceramah atau anjuran-anjuran dalam
acara diskusi dan seminar.
Lebih dari itu, pesan-pesan dorongan pemilu bersih
dan bermartabat juga bisa digaungkan melalui karya-karya
puisi. Kampanye menyuarakan kebenaran tidak hanya bisa
melalui ceramah di seminar tapi juga bisa melalui penciptaan
sajak-sajak.Melalui puisi, Bawaslu Jawa Tengah bermaksud
mengingatkan kepada para peserta pemilu dan warga
umum bahwa pemilu harus dilakukan secara jujur, adil, bersih,
dan berintegritas.
12 https://ppid.jateng.bawaslu.go.id/informasi-berkala/#tab-id-3
85
Penyair Heri C Santoso mengapresiasi program puisi
pengawasan pemilu yang dibuat Bawaslu Jateng. “Di tengah
masih minimnya pendidikan politik pada warga, Bawaslu
mampu menjadi semacam ‘suluh’ bagi masih remang-
remangnya iklim demokrasi substansial. Melalui medium
puisi, Bawaslu Jateng menunjukkan bahwa aspek kebudayaan
menjadi satu pilar penting dalam mengawal ‘pesta’ demokrasi,”
kata Heri.
Menurut Heri, "pesta" itu benar-benar dapat dirayakan
seluruh lapisan warga, bukan oleh para petualang politik.
Pengawasan tak semata bisa ditegakkan melalui pasal-pasal
dan aturan perundang-undangan. Aspek pencegahan dan
pengawasan pun bisa tegas meski hanya dalam bentuk bait-
bait puisi yang reflektif. (13)
Heri menyebut beberapa evaluasi terkait dengan
kegiatan sosialisasi puisi. Misalnya; terkait dengan waktu yang
tersedia sangat mepet. Heri dan kawan-kawan penyair hanya
memiliki waktu sekitar dua pekan untuk persiapan. sebab
waktunya sangat mepet maka terlihat tergesa-gesa. Selain
itu, kegiatan seperti ini juga bisa dilakukan secara marak di
kabupaten/kota di Jawa Tengah, tidak hanya di level Kota
Semarang sebagai ibu kota provinsi.
Dalam kata pengantar buku “Mata Sajak”, Ketua
PWI Jawa Tengah Amir Machmud, menyatakan bahwa puisi
pengawasan pemilu ini yaitu jeda hati di tengah musim
verbalitas kritik, serangan oposisional, atau sengitnya cara
bertahan di era media sosial yang banal. Amir Machmud
menambahkan bahwa sesekali kita bicara tanpa lewat
pertarungan struktur kalimat yang menohok dan tak jarang
menyakiti. “Bukankah lewat puisi, kita bisa menghembuskan
napas kritik, sekencang apa pun, dengan lembut? Lewat
adonan kata, bukankah kita bisa mengajak pihak yang kita
kritisi bersenyum, sekecut apa pun? Bawaslu dan PWI Jateng
mencoba formula lain yang tidak normatif dari pengawasan
penyelenggaraan pesta demokrasi tahun depan. Pastilah tak
terhindarkan kita bicara politik, namun lewat puisi”. (14)
13 Wawancara Heri C Santoso di Semarang, 2 Oktober 2019.
14 Dalam kata pengantar buku Mata Sajak. Roso Titi Sarkoro, dkk., Mata
86
Cara Bawaslu Jawa Tengah melakukan sosialisasi
pengawasan melalui puisi memperoleh apresiasi dari media
massa. Rakyat Merdeka Online Jawa Tengah, misalnya,
menulis berita dengan judul: “Antologi Puisi Bawaslu, Cara
Efektif Sentuh Hati warga . (15)
3. Sosilisasi Kelompok Sasaran.
Kegiatan sosialisasi seringkali terjebak pada acara-acara
seremoni dalam bentuk diskusi ataupun seminar. Sosialisasi
seringkali hanya dengan cara mengumpulkan peserta di sebuah
tempat. Panitia menyediakan narasumber/pemateri untuk
menyampaikan materi sosialisasi. Peserta yang diundang
dalam acara sosialisasi terkadang hanya lembaga, organisasi
kewargaan, lembawa swadaya warga, perguruan
tinggi, media, pegiat pemilu, dan lain-lain. Peserta datang
mewakili lembaga/organisasi.
Bawaslu Jawa Tengah ingin agar sosialisasi pengawasan
pemilu dilakukan tidak hanya dengan metode pemberian
materi melalui diskusi/seminar. Lebih dari itu, Bawaslu Jawa
Tengah ingin melibatkan kelompok warga agar terlibat
aktif dalam pengawasan pemilu. Organisasi/kelompok yang
dilibatkan tidak hanya lembaga/organisasi formal yang ada.
Bawaslu Jawa Tengah mengindentifikasi kelompok-
kelompok seni budaya, kelompok marjinal, kelompok pekerja
seni kreatif, kelompok disabilitas, warga terpinggirkan,
warga bawah, dan lain-lain. Harus diakui, kelompok-
kelompok ini jarang dilibatkan dalam urusan kepemiluan.
Dampaknya, selama ini urusan pemilu seperti menjadi
urusan kelompok tertentu saja, yakni kelompok elite
dengan pendidikan tinggi. Padahal, kelompok warga
yang bergelut di seni budaya ini juga layak dilibatkan dalam
pengawasan pemilu. sebab urusan pemilu sebenarnya tak
hanya melulu urusan para elite politik, kampus, organisasi
kewargaan, dan media massa.
Sajak (Antologi Puisi Pengawasan Pemilu, Semarang, kerjasama Bawaslu
Jawa Tengah-PWI Jawa Tengah, 2018.
15 http://www.rmoljateng.com/read/2018/12/26/15379/Antologi-Puisi-
Bawaslu,-Cara-Efektif-Sentuh-Hati-warga -
87
Untuk itulah, dalam melakukan kegiatan sosialisasi,
Bawaslu Jawa Tengah melibatkan kelompok warga yang
selama ini belum banyak disentuh dan dilibatkan dalam urusan-
urusan kepemiluan. Mereka ikut dilibatkan secara langsung
dalam acara sosialisasi. Teknik yang dilakukan yaitu dengan
cara mengajakmerekaberdiskusi. Dari hasil diskusi itulah
nantinya lahir ide-ide kreatif untuk menggelar acara secara
bersama-sama. Jadi, pelibatan kelompok sasaran tidak hanya
dilakukan dengan cara mengundang mereka, lalu Bawaslu
Jawa Tengah memberikan materi.
Lebih dari itu, Bawaslu Jawa Tengah mengajak
kelompok sasaran itu untuk melahirkan ide secara bersama-
sama. Satu sisi mereka masih tetap bisa eksis dan enjoy untuk
melahirkan karya-karya seni. Di sisi lain, Bawaslu Jawa Tengah
juga bisa menghasilkan konsolidasi dengan para pekerja
seni itu. Para pekerja seni juga merasa diberi wahana untuk
menghasilkan karya bersama dengan Bawaslu Jateng. Bagi
Bawaslu Jawa Tengah, yang terpenting karya-karya yang
dihasilkan itu mengandung materi, konten, atau substansi
pengawasan pemilu. Beberapa kelompok sasaran yang
dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi itu antara lainkelompok
tani, kelompok aliran kepercayaan, tukang becak, guru, pegiat
media sosial, nelayan, pemuda, buruh, pelajar, penyandang
disabilitas, mahasiswa, pekerja seni kreatif, danpedagang.
Mereka dilibatkan untuk bersama-sama ikut sosialisasi
pengawasan pemilu. Karya-karya pekerja seni dan budaya diisi
dengan materi pengawasan pemilu. Karya ini bisa disebar ke
publik menjadi bahan sosialisasi pengawasan pemilu.
VII. CATATAN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
Sosialisasi harus membumi
Kegiatan sosialisasi pengawasan pemilu yang melibatkan
bidang seni dan budaya menjadi hal baru bagi Bawaslu di Jawa
Tengah. Jika selama ini pemilu dianggap sebagai urusan yang
serius, urusan kaum terdidik, dan menjadi pembicaraan kaum
elite; maka dengan melibatkan seni dan budaya, Bawaslu Jawa
Tengah ingin agar sosialisasi pengawasan pemilu dilakukan
secara membumi. Kegiatan sosialisasi harus dilakukan
88
sesuai dengan kondisi dan situasi di wilayah masing-masing.
Bahkan sosialisasi haruslah mempertimbangkan potensi dan
keunggulan di wilayah masing-masing. Hal ini penting agar
sosialisasi yang dilakukan Bawaslu Jawa Tengah tidak dilakukan
dengan cara yang melangit dan di awang-awang yang tidak
mendasarkan pada basis sesuai dengan konteks warga
yang ada.Untuk itu, sosialiasi harus dilakukan secara membumi.
Dengan begitu, peluang keberhasilan sosialisasi lebih besar
sebab sudah mempertimbangkan situasi dan kondisi yang
ada di warga.
Pelibatan peserta sejak perencanaan
Bawaslu sebagai lembaga independen negara yang
bersifat badan publik harus membuka diri dengan cara
melibatkan sebanyak-banyaknya kelompok warga
dalam pengawasan pemilu. Termasuk di dalamnya yaitu para
pekerja seni budaya. Sosialisasi harus dilakukan dengan cara
partisipatif. Partisipatif di sini harus dimaknai bahwa sosialisasi
harus melibatkan kelompok warga sedini mungkin.
Dalam tahapan perencanaan program kegiatan, Bawaslu
Jawa Tengah mesti melibatkan kelompok warga yang
hendak memperoleh sosialisasi. Tujuannya agar kegiatan
sesuai dengan yang diharapkan kelompok warga.
Tak hanyaitu, kegiatan yang perencanaannya melibatkan
kelompok warga, lebih berpeluang sesuai dengan
konteks dan potensi warga yang ada. Model sosialisasi
harus disesuaikan apa yang ada di bawah, bukan dengan cara
dari atas dipaksakan ke bawah.
Lahir karya-karya berisi pengawasan pemilu
Metode melakukan sosialisasi sangatlah banyak. Akan
namun bagaimana jika karya itu yang menghasilkan tidak saja dari
Bawaslu Jawa Tengah. Salah satu tujuan pelibatan kelompok
warga seni budaya dalam sosialisasi pengawasan pemilu
yaitu agar mereka juga bisa melahirkan karya-karya seni
yang berisi pengawasan pemilu.
Satu sisi Bawaslu Jawa Tengah memberikan ruang
kepada mereka untuk menghasilkan karya sehingga
keberadaan mereka juga merasa dihargai. Di sisi lain, Bawaslu
Jawa Tengah juga akan memperoleh karya-karya seni dan
89
budaya yang kontennya yaitu pengawasan pemilu.
Harus diakui, jajaran Bawaslu di Jawa Tengah masih
memiliki berbagai keterbatasan untuk menghasilkan karya-
karya alat peraga sosialisasi pengawasan pemilu yang unik dan
kreatif. Sumber daya manusia yang ada belum memadai dan
adanya keterbatasan anggaran.
Dengan melibatkan pelaku seni dan budaya, secara
tidak langsung akan lahir karya-karya seni budaya yang isinya
yaitu pengawasan pemilu. Pada saat ini, di Kantor Bawaslu
Jawa Tengah dan Kantor Bawaslu Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah banyak sekali konten-konten alat peraga kampanye
sosialisasi pemilu. Karya itu ada yang dikumpulkan dan
diterbitkan menjadi buku. Ada yang dipajang di kantor Bawaslu.
Ada juga yang menjadi bahan sosialisasi untuk diviralkan di
media sosial.
Pekerja seni belum sampai terlibat aktif melapor
Kegiatan Bawaslu Jawa Tengah melibatkan bidang seni
budaya untuk sosialisasi pengawasan pemilu 2019 yaitu
pengalaman yang pertama. Sebelumnya, pekerja seni dan
budaya jarang dilibatkan dalam sosialisasi pengawasan pemilu.
Dari sisi keterlibatan berbagai kegiatan dalam Pemilu 2019,
para pekerja itu cukup aktif. Ketersediaan anggaran yang
belum memadai tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk
menggelar kegiatan bersama dengan Bawaslu Jawa Tengah.
Dalam prosesnya, lahir berbagai karya seni sebagai alat
sosialisasi. Namun, keterlibatan mereka baru sebatas untuk
sosialisasi bersama-sama. Belum sampai pada level untuk
terlibat aktif dalam melakukan laporan jika mereka mengetahui
adanya dugaan pelanggaran pemilu.
Sesuai dengan aturan, Bawaslu bisa menangani dugaan
pelanggaran dari dua jalur, yakni temuan (dugaan pelanggaran
yang ditemukan jajaran pengawas pemilu) dan laporan dari
warga yang memiliki hak pilih, peserta pemilu, dan pemantau
pemilu.
Dalam konteks Pemilu 2019, tidak banyak pekerja
seni dan budaya yang mau melaporkan jika ada dugaan
pelanggaran pemilu. Para pekerja seni itu mengaku lebih
memilih melakukan pencegahan agar pelanggaran itu terhenti
90
dibandingkan melaporkan dugaan pelanggaran pemilu itu ke Kantor
Bawaslu. Alasannya, mereka tidak mau ribet terlibat dalam
pengusutan kasus dugaan pelanggaran pemilu.
Postur anggaran sosialisasi Bawaslu harus “membumi”
Kegiatan dengan melibatkan pekerja seni dan budaya
membutuhkan dukungan anggaran, baik anggaran untuk
pelaksanaan kegiatan, mengumpulkan orang, maupun
anggaran untuk pembelian berbagai perangkat untuk bahan
sosialisasi. Selama ini, anggaran sosialisasi pengawasan pemilu
di Bawaslu Jawa Tengah yang postur anggarannya masih
hanya berupa paket pertemuan yang digelar di hotel atau ruang
sewa. Untuk anggaran-anggaran lain tidaklah tersedia. Untuk
membeli peralatan terkadang tidak ada di postur anggaran.
Untuk itu, ke depan, postur anggaran sosialisasi pengawasan
pemilu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Agar anggaran yang ada benar-benar bisa untuk memenuhi
kebutuhan sosialisasi.
VIII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Sosialisasi melalui seni budaya yaitu cara baru
untuk melibatkan warga dalam pengawasan pemilu.
Sosialisasi dialkukan dengan melibatkan warga sebagai
subyek. Sosialisasi tidak hanya dengan cara diskusi dan ceramah
yang cenderung memposisikan warga sekedar menjadi
obyek. Di sisi lain, sosialisasi seni dan budaya berpotensi
menjadi cara yang unik dan kreatif. Melalui seni dan budaya
inilah akan lahir karya-karya seni yang berkonten pengawasan
pemilu. Sosialisasi yang unik dan kreatif perlu dilakukan agar
sosialisasi bisa berhasil sebab bisa memperoleh perhatian
publik.
Bawaslu Jawa Tengah sebagai badan publik juga wajib
melibatkan publik untuk sosialsisasi. Bahkan, kelompok
warga itu harus dilibatkan sejak perencanaan kegiatan
sosialisasi. warga tidak hanya sekadar diundang pada
saat hari-H acara sosialisasi. Dengan begitu maka keberadaan
kelompok warga itu bisa diakui dan eksistensinya bisa
mencuat sebab diberi ruang dan ajang oleh Bawaslu Jawa
Tengah.
91
Pada saat yang sama, Bawaslu Jawa Tengah juga akan
dimudahkan dalam melakukan sosialisasi kepada warga.
Sebab, sosialisasi tidak hanya dilakukan Bawaslu Jawa Tengah
sendirian. Lebih dari itu, kelompok pekerja seni juga akan ikut
terlibat aktif dalam sosialisasi pengawasan pemilu.
Adapun beberapa rekomendasi dalam artikel ini yaitu :
- Pelibatan pekerja seni dan kelompok warga dalam
sosialisasi pengawasan pemilu perlu terus dilebarkan.
Masih banyak kelompok warga/pekerja seni tingkat
lokal yang belum disentuh untuk ikut terlibat aktif
dalam sosialisasi pengawasan pemilu. Sosialisasi perlu
melibatkan seni dan budaya lokal danagar kegiatan ini bisa
membumiperlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lokal masing-masing.
- Khusus untuk postur anggaran, sosialisasi pengawasan
pemilu di Bawaslu Jawa Tengah harus dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan konteks di lapangan. Pekerja seni dan
budaya membutuhkan alat-alat tertentu yang harus dibeli.
Sementara postur anggaran sosialisasi di Bawaslu masih
terpaku pada model sosialisasi diskusi/ceramah di hotel.
Untuk itu, Bawaslu Jawa Tengah sudah mengalokasikan
anggaran sosialisasi di kabupaten/kota kepada kelompok
sasaran dengan model postur anggaran berupa paket.
Meski anggaran paket, namun Bawaslu kabupaten/kota di
Jawa Tengah perlu untuk menyusun rincian penggunaan
anggaran untuk kemudian di-review secara bersama-sama
di Bawaslu Provinsi Jawa Tengah.
- Waktu yang tersedia untuk melakukan sosialisasi haruslah
lebih panjang. Dalam Pemilu 2019 lalu, waktu untuk
melakukan sosialisasi terbilang singkat sebab pemilu
digelar pada April 2019. Anggaran di 2018 terpatok harus
selesai digelar pada akhir Desember 2018. Sedangkan
anggaran sosialisasi untuk tahun anggaran 2019 harus
digelar sebelum April 2019. Sebab, April 2019 itu sudah
pelaksanaan pemungutan suara. Padahal, anggaran 2019
baru bisa cair sekitar akhir Pabruari atau awal Maret 2019.
92
DAFTAR PUSTAKA
Buku
- IKP 2019: Indeks Kerawanan Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden, Bawaslu RI, Jakarta, Desember 2018.
- J.R, Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis
Karakteristik dan Keunggulannya, Jakarta: Grasindo,
2013.
- Jacoby, B. & Associates. (2009). Civic Engagement
in HigerEducation: Concepts and Practices. United
States:Jossey-Bass A Wiley Imprint.
- Haryanto, Sosialisasi Politik: Suatu Pemahaman Awal,
Yogjakarta: Penerbit Polgov, 2018.
- Kenneth P. Langton, Political Socialization (London:
Oxford University Press, Inc., 1969).
- Efriza, Political Ekplore: Sebuah Kajian Ilmu Politik,
Alfabeta.CV, Bandung, 2012.
Website:
- https://kbbi.web.id/kartun
- http://jateng.bawaslu.go.id
- https://ppid.jateng.bawaslu.go.id/informasi-
berkala/#tab-id-3
Wawancara:
- Wawancara Ketua Gold Pencil Abdul Arif pada 10
Oktober 2019.
- Wawancara Heri C Santoso di Semarang, 2 Oktober
2019.
95
Desa Massamaturu,
Desa Model Pengawasan Partisipatif
di Sulawesi Selatan
oleh: Saiful Jihad
I. PENDAHULUAN
Secara empirik, demokrasi yaitu sebuah
system politik yang dipercaya dapat memberi ruang bagi
keadilan dan persamaan bagi semua warga negara.Joseph
Schumpeter memaknai demokrasi sebagai sebuah sistem
untuk membuat keputusan-keputusan politik di mana individu-
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan melalui
pertarungan kompetitif merebut suara rakyat (Schumpeter,
2003: 09).
Ciri paling mendasar dari sebuah negara demokrasi
yaitu keberadaan pemilihan umum (pemilu). Sekalipun pemilu
bukan satu-satunya aspek dalam demokrasi, namun pemilu
yaitu satu bagian yang sangat penting sebab pemilu
berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola
dan arah kebijaka npublik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara
periodik dan tertib (Surbakti dkk,2008).
negara kita, sebagai sebuah negara yang memilih
demokrasi sebagai sistem dan patron dari tatakelola negara dan
pemerintahan tentu saja dituntut untuk menghadirkan proses
demokrasi itu sendiri tidak hanya sebatas prosedural dengan
menghelat pemilu setiap 5 tahun. Hakikat dan subtansi dari
demokrasi itu sendiri mesti hadir dan dihadirkan sehingga negara
dan warga warga merasakan manfaat dari pilihan sistem
ini .
96
Menghadirkan proses pemilu yang demokratis,
salah satunya ditandai dengan adanya jaminan integritas
penyelenggara pemilu, baik penyelenggara teknis (KPU),
pengawasan (Bawaslu), dan penjaga etika penyelenggara
agar tetap berada dalam koridor etika yang benar sebagai
penyelenggara, yakni DKPP. Jaminan integritas ini, tidak hanya
sebuah slogan verbalistik namun mesti mewujud dalam setiap
tindakan dan kebijakan yang dilahirkan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai salah
satu institusi yang dibentuk dan diberi amanah oleh negara
untuk melakukan pengawasan di setiap tahapan proses
pelaksanaan pemilu agar tetap sesuai dengan prosedur dan
ketentuan yang diatur dalam UU dan peraturan lainnya,
Bawaslu juga diberi mandat untuk melakukan berbagai usaha
dan ikhtiar untuk mencegah terjadinya tindak pelanggaran
atas norma dan regulasi pelaksanaaan pemilu, serta diberi
kewenangan dan tugas untuk menyelesaikan sengketa proses
dan memeriksa serta mengadili tindakan atau perbuatan yang
dianggap melanggar ketentuan dalam peraturan (regulasi)
yang ada.
Kewenangan Bawaslu serta Bawaslu Provinsi dan
Kabupaten/Kota dijelaskan secara rinci dalam UU No. 7
Tahun 2017, yang pada intinya meliputi: (1) kewenangan
menerima dan menindaklanjuti temuan atau laporan yang
berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu; (2)
memeriksa dan mengkaji pelanggaran pemilu di wilayahnya
dan merekomendasikan hasil pemeriksaan dan kajiannya
kepada pihak-pihak yang diatur dalam perundang-undangan;
(3) menerima, memeriksa, memediasi, atau mengajudikasi dan
memutus atas permohonan dan penyelesaian sengketa proses
pemilu dalam wilayahnya; (4) merekomendasikan kepada
instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan di
wilayahnya terkait netralitas semua pihak yang dilarang ikut
serta dalam kegiatan kampanye atau keberpihakan pada salah
satu kontestan, sebagaimana yang diatur dalam perundang-
undangan pemilu.
97
Besarnya tugas dan kewenangan yang diberi
kepada Bawaslu dan jajarannya, dibanding dengan
luasnya wilayah teritorial, kesadaran warga untuk
memahami aturan dan regulasi kepemiluan yang terbatas,
tingkat kompleksitas proses pemilu dan tahapannya, serta
kecenderungan beberapa pihak yang berkontestasi untuk
berusaha memenangkan suara pemilih dengan berbagai cara,
yang kadang secara sengaja melanggar aturan dan norma,
tentu tidak bisa dan tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri
oleh Bawaslu dan jajarannya. Oleh sebab itu, Bawaslu mesti
mampu mengajak dan melibatkan berbagai pihak stakeholder
pemangku kepentingan dan warga secara lebih luas
untuk bersama-sama mengawal dan menjadi pengawas pemilu
di setiap tingkatan dan di setiap tahapan.
Pelibatan warga dan stakeholder lainnya, tentu
tidak bisa serta-merta hadir dan ada begitu saja, dibutuhkan
strategi dan langkah-langkah nyata yang dilaksanakan dan
diinisiasi oleh Bawaslu dan jajarannya di semua tingkatan.
Pelibatan warga pada hakikatnya yaitu satu kewajiban
Bawaslu sebagai fungsi yang terlembaga dalam pengawasan
pemilu,sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2017,
pasal 448 ayat (1) “Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi
warga”, dan pada ayat berikutnya (2) dijelaskan bahwa
partisipasi warga ini dapat dilakukan dalam bentuk:
(a) sosialisasi; (b) pendidikan politik; (c) survei atau jajak pendapat
tentang pemilu; (d) penghitungan cepat hasil pemilu. Ketentuan
tentang bagaimana warga melakukan partisipasi,
dijelaskan di ayat (3) di pasal ini. Demikian pula penjelasan lebih
lanjut disebutkan dalam pasal 449 dan pasal 450 dalam Undang-
Undang.
keikutsertaan warga, sebenarnya lebih pada
penggunaan hak warga negara untuk mengawal hak pilihnya,
yang sudah barang tentu berangkat dari setiaptahapan
proses pemilu. Jadi, mesti ditegaskan, bahwa pelembagaan
pengawasan pemilu dengan adanya Bawaslu,tidak serta-merta
mengambil hak warga negara untuk melakukan fungsi kontrolnya
dalam menjaga suara atau kedaulatan rakyat.
98
Pada dua perspektif inilah usaha pelibatan warga
yang dilakukan oleh Bawaslu, yakni adanya kewajiban Bawaslu
untuk melibatkan warga dan stakeholder lain dalam
mengawal dan mengawasi proses pemilu serta hak rakyat untuk
melakukan fungsi kontrol dalam menjaga suara dan kedaulatannya,
dan pada dua perspektif inilah mesti dibangun dan dijadikan alas
dalam program mendorong partisipasi warga mengawasi
setiap tahapan dalam proses pemilu.
Di negara kita, berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2018, ada 83.931 wilayah administratif
setingkat desa, yang terdiri atas 75.4436 desa, 8.444 kelurahan,
serta 51 Unit Pemukiman Transmigrasi. Hal ini berarti jumlah
penduduk terbesar di negara kita ada di wilayah pedesaan. Oleh
sebab itu, posisi desa sebagai wilayah yang memiliki populasi
sebaran penduduk yang besar menjadi penting artinya dalam
mendorong sebuah proses demokrasi yang benar-benar baik
secara prosedur maupun subtansi. Hadirnya desa-desa yang
merefleksikan proses demokrasi yang sehat dan baik, sudah
barang tentu akan mempengaruhi kualitas demokrasi dalam
warga bangsa secara keseluruhan.
Berangkat dari pemahaman ini, mendorong dan
melakukan penguatan proses demokrasi di tingkat desa dalam
perhelatan Pemilu 2019 menjadi sebuah ide dan sekaligus
harapan yang dicoba diimplementasikan dan dikembangkan
di salah satu desa di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi
Selatan. Desa ini yaitu Desa Massamaturu, Kecamatan
Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, sebagai salah
satu desa model pengawasan yang berbasis pada partisipasi.
Bagaimana usaha dan strategi Bawaslu Takalar
bersama Bawaslu Sulawesi Selatan mewujudkan harapan
ini ? Apa respons dari pemerintah daerah dan pemerintah
desa yang dijadikan pilot (percontohan), kegiatan-kegiatan
apa saja yang dilakukan bersama untuk mewujudkan sebuah
Desa Model Pengawasan dimaksud? Serta apakah dampaknya
menonjol dalam menciptakan proses pemilu yang bersih dan
berkualitas?
Penelitian ini mencoba menemukan data dan
fakta untuk menjawab pertanyaan di atas, serta mencoba
99
merumuskannya dalam bentuk tulisan sederhana, dengan
harapan dapat menginspirasi daerah atau desa lain agar dapat
melakukan hal serupa, bahkan boleh jadi lebih baik dari apa
yang dihadirkan oleh Desa Massamaturu.
Untuk memudahkan mengklasifikasi aktivitas
partisipasi warga dalam melakukan usaha pencagahan
dan pengawasan dalam setiap tahapan pemilu, Peneliti
cenderung memakai teori yang dikemukakan oleh
Almaond, yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed (2011: 57-58)
yang mengklasifikasi model dan bentuk partisipasi politik
dalam dua bentuk, yaitu partisipasi dalam bentuk konvensional
dan partisipasi dalam bentuk nonkonvensional. Namun dari
aktivitas dan fakta yang terjadi di lapangan, partisipasi dalam
bentuk nonkonvensional ini tidak diitemukan, lebih
banyak dalam bentuk partisipasi konvensional.
Adapun bentuk partisipasi politik konvensional
meliputi:
a) Pemberian suara atau voting
b) Diskusi politik
c) Kegiatan kampanye
d) Membentuk dan bergabung dalam kelompok
kepentingan
e) Komunikasi individual dengan pejabat politik
atau administratif
Sedangkan partisipasi politik nonkonvensional
yaitu :
a) Pengajuan petisi
b) Berdemonstrasi
c) Konfrontasi
d) Mogok
e) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda
pengerusakan, pengeboman, pembakaran
f) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia
Oleh sebab ini, usaha mendorong partisipasi
warga di Desa Massamaturu, lebih difokuskan pada
membangun dan meningkatkan kesadaran warga untuk
berpartisipasi aktif dalam memberikan pilihan (suara) pada
pemilu, sebagai perwujudan dari hak dan kedaulatan rakyat.
100
Oleh sebab itu, hal-hal yang dianggap dapat menghalangi dan
menghambat mereka memberikan suara (pilihannya) dalam
pemilu menjadi salah satu agenda yang diprogramkan.
Demikian halnya dengan bagaimana mengedukasi
warga agar memahami dengan baik tentang hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, hal-hal yang boleh dan
tidak boleh (dilarang) dilakukan oleh setiap orang warga
negara, atau yang terlibat sebagai tim sukses atau tim
pelaksana kampanye, sehingga warga tidak melakukan
tindakan yang dikategorikan dilarang, hanya sebab
ketidakpahaman mereka, bahkan tidak hanya sebatas mereka
diberi pemahaman, namun sekaligus mereka diajak untuk
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kaitannya dengan
usaha pencegahan dan pengawasan setiap tahapan dalam
pelaksanaan pemilu.
MEMBANGUN DEMOKRASI DARI DESA, SEBUAH
PILIHAN STRATEGI
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa membagi desa menjadi dua macam, desa dan desa
adat.Desa melaksanakan pemerintahannya sesuai dengan
ketentuan di dalam Undang-Undang. Sementara itu, desa
adat melaksanakan kewenangannya dalam berbagai bidang
pemerintahan desa berdasarkan hak asal-usul dan adat
istiadat yang hidup diwarga. Penetapan suatu desa
yaitu desa adat ditentukan oleh peraturan daerah provinsi.
Desa,baik desa berdasarkan Undang-Undang tentang
Desa dan desa adat, yaitu kesatuan warga
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
warga setempat berdasarkan prakarsa warga,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik negara kita.
Rumusan tentang desa ini diatas dapat dirinci
sebagai berikut: ( 1 ) Desa yaitu kesatuan warga
hukum; (2) Desa memiliki batas-batas wilayah; (3)
Desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
101
warga setempat; (4) Kewenangan desa didasarkan
pada asal usul dan adat istiadat setempat; (5) Adat istiadat
setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Republik negara kita.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa mengartikan pemerintahan desa sebagai
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
warga setempat dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik negara kita. Penyelenggaraan
pemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa meliputi penyelenggaraan urusan bidang
eksekutif, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah desa melalui kepala desa dan perangkat desa
sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana pemerintahan
desa. Penyelenggaraan urusan bidang legislatif, yaitu fungsi
pembentukan kebijakan melalui pembentukan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD).
Selain itu, penerapan pemerintahan desa
dilaksanakan berdasarkan otonomi asli memiliki makna
kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan
mengurus warga setempat didasarkan padahal
asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada
warga setempat namun harus diselenggarakan dalam
perspektif administrasi pemerintahan negara yang selalu
mengikuti perkembangan zaman.
Desa memiliki kewenangan untuk membuat
peraturan yang mengatur sendi-sendi kehidupan dalam
rangka kepentingan bersama. Peraturan desa (Perdes)
yaitu perundang-undangan yang ditetapkan oleh
kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama
Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan desa sebelum
diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa,wajib
dikonsultasikan kepada warga dalam rangka
mewujudkan kepentingan umum.
Tugas utama kepala desa yaitu : (1)
Menyelenggarakan pemerintahan desa, (2) Melaksanakan
pembangunan desa, (3) Melaksanakan pembinaan
warga desa, (4) Memberdayakan warga desa.
102
Dengan tugas ini, kepala desa diharapkan dapat membawa
warganya menjadi warga yang sejahtera, tatakelola
pemerintahan desa menjadi baik, warganya memiliki
kepedulian dan berdaya, baik secara ekonomi, sosial, budaya,
dan politik. Selain tugas di atas, kepala desa juga memiliki
wewenang bersama BPD untuk menetapkan peraturan desa
(Perdes). Peraturan desa ini menjadi ruang penting yang
dimiliki kepala desa Bersama BPD untuk membuat beberapa
ketentuan yang akan dilakukan dan dikembangkan di desa
masing-masing, sesuai arah, karakteristik, dan tujuan yang
ingin dicapai oleh desa ini .
Pada umumnya desa memiliki pemerintahan
sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hierarkis
struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Nagari di
Sumatera Barat yaitu sebuah republik kecil yang
memiliki pemerintahan sendiri secara otonom yang
berbasis warga (self governing community). Salah satu
ciri self governing community dalam desa yaitu adanya
hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan,
pengelolaan sumber daya, hubungan sosial, dan lainnya
Kedudukan desa sebagai daerah otonom akan
membawa beberapa dampak terhadap pengembangan
warga dan desa itu sendiri, diantaranya, pertama,
pembangunan berorientasi pada community development,
dimana pendidikan warga menempati posisi
utama dengan tujuan untuk membuka wawasan dan
kesadaran warga komunitas mengenai cita-cita dan
segala permasalahannya, serta memberikan wawasan
berbasis komunitas yang dapat mengembangkan potensi
komunitas terhadap pembangunan. Kedua,membangun
dan mengembangkan forum komunikasi warga dan
menumbuhkan tradisi berkumpul serta bertukar pikiran antar
warga komunitas (community spirit). Ketiga,pembangunan
melalui pengembangan kegiatan atau usaha berbasis
komunitas untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bidang
ekonomi, sosial, dan budaya. Keempat, pembangunan yang
bertujuan menciptakan atau mengembangkan fasilitas untuk
menampung kegiatan-kegiatan warga dalam berorganisasi
103
maupun pengembangan sosial-budaya warga dalam
rangka menuju community based development. Kelima,
memperkuat organisasi-organisasi yang telah ada secara
alamiah di dalam warga seperti organisasi pemuda,
dasawisma,dan lain sebagainya untuk menumbuhkan
minat beroroganisasi warga. Pada akhirnya dapat
mengembangkankomunitasmelaluiketerampilandan
kemampuanwarganya sendiri.
Peluang dan ruang-ruang yang digambarkan di
atas, tentu bisa dipahami sebagai sebuah peluang dalam
mendorong sebuah proses perbaikan dan penataan nilai-
nilai demokrasi yang berkembang di desa.Meski demikian,
disadari pula, bahwa kondisi demokrasi desa dan demokrasi
yang berkembang di desa selama ini dipandang memiliki sisi
yang justru menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan
demokrasi yang lebih baik. Praktik demokrasi desa yang
dimulai dari sistem Pemilihan Kepala Desa (Pilkades)
secara langsung, keterikatan antara kepala desa dengan
pemerintahan daerah, baik secara personal maupun sebab
struktural, praktik politik uang, intimidasi dan mobilisasi
massa, sering menjadi hambatan dalam mengembangkan
nilai-nilai demokrasi.
Membangun demokrasi di desa, yaitu sebuah
usaha yang kompleks, sebab tidak hanya sebatas berjalannya
prosedur teknis demokrasi, seperti pemilihan kepala desa
secara langsung, akan namun bagaimana membangun dan
mengembangkan nilai-nilai demokrasi.
Pemilihan Kepala Desa secara langsung oleh
warga, sudah barang tentu menjadi issu yang paling
menarik dalam membangun demokrasi di desa, kontestasi
kepemimpinan lokal antartokoh warga tentu tidak bisa
dihindari, apalagi dengan kewenangan dan support negara
yang diberi kepada kepala desa. Kepala desa yang terpilih
diberi kewenangan untuk mengelola anggaran miliaran
rupiah, menjadikan posisi kepala desa menjadi sesuatu yang
menarik. Mereka yang melihat kewenangan ini sebagai
peluang membangun dan mengembangkan potensi desa,
agar menjadi desa yang mandiri, desa yang bisa memberi
104
kesejahteraan bagi warganya, akan memberi angin segar
bagi pengembangan nilai-nilai demokrasi desa yang lebih
sehat. Akan namun bagi mereka yang melihat kewenangan
ini hanya dari perspektif besarnya dana desa yang dapat
dikelola, maka otomatis akan menjadi tantangan yang serius
bagi pengembangan nilai-nilai demokrasi di desa. Ini baru
dari aspek motivasi para tokoh desa yang akan berkontestasi
dalam pemilihan kepala desa secara langsung.
Dalam praktik pemilihan kepala desa secara
langsung, sangat banyak cerita yang bisadidapatkan, tentang
bagaimana kontestasi itu berlangsung dan bersentuhan
langsung dengan warga desa. Berbagai pihak pun
merasa memiliki kepentingan terhadap pelaksanaan
pemilihan kepala desa secara langsung. Berita tentang
politik uang, para tokoh berpengaruh mengarahkan
dan memobilisasi pemilih, bahkan intimidasi terhadap
warga yang memiliki aspirasi lain, sering didengar.
Bahkan aroma politik uang di pemilihan kepala desa secara
langsung, kadang lebih menyengat dari aroma politik uang
di pemilihan Bupati, Gubernur, anggota DPR/DPRD, dan
Pilpres.
Keberpihakan tokoh-tokoh tertentu di luar desa,
dengan tujuan dan orientasi masing-masing, juga kadang
tidak bisa dihindari. Deal-deal antara calon kepala desa dengan
pengusaha, tokoh politik, dan pejabat di daerah, juga bukan
informasi baru dalam proses pemilihan kepala desa secara
langsung. Semua ini menyisakan konflik antarpendukung
dalam warga desa di ruang yang lebih “sempit”, sering
tidak terhindarkan, bahkan banyak yang berakhir dengan
saling melaporkan kecurangan kepada pihak berwajib.
Pascapemilihan, saat kepala desa terpilih
menjalankan tugasnya, UU No. 6 Tahun 2014 cukup membuat
sistem dan mekanisme yang diharapkan dapat mendorong
proses penyelenggaraan pemerintahan desa berjalan secara
demokratis. Perlunya dilaksanakan Musyawarah Desa (Pasal
54) yang dilaksanakan melalui Badan Permusyaratan Desa
(BPD). BPD yaitu perwakilan dari warga desa
yang dipilih secara demokratis. BPD bersama Kepala Desa
105
merumuskan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM)
Desa, RKP Desa, APB-Desa, Peraturan Desa, dan kebijakan
desa lainnya.
Akan namun , jika proses pemilihan anggota BPD dan
pelaksanaan Musyawarah Desa hanya dilaksanakan dalam
kerangka formalitas, maka ruang lahirnya dokumen RPJM-
Desa, APB-Desa, Peraturan Desa dan yang lainnya, juga
bisa sebatas pemenuhan administrasi prosedural dan tidak
memberikan dampak pada usaha perbaikan sistem yang
lebih demokratis.
Ruang-ruang pengembangan demokratisasi di desa
inilah yang bisa menjadi ruang strategis mendorong proses
demokratisasi dalam arti luas di warga desa bisa
diwujudkan. Di sisi lain, tantangan yang berangkat dari fakta-
fakta yang masih terjadi dalam proses-proses demokrasi di
atas, tentu juga menjadi tantangan nyata dalam membangun
sistem demokratisasi di desa yang lebih baik.
Dalam konteks Pemilu serentak 2019, tentu yang
ingin dihadirkan tidak hanya sebatas proses demokrasi yang
prosedural, dengan warga berpartisipasi dan hadir
di Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan
suara, namun bagaimana proses demokrasi yang subtansial
bisa diwujudkan, di mana warga ikut serta dalam
mengawal dan mengawasi proses demokrasi di perhelatan
Pemilu 2019 di setiap tahapan. Kehadiran warga untuk
mengawasi langsung setiap tahapan proses pemilu, mulai
dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye,
pemungutan dan penghitungan suara, menjadi sangat
bermakna bagi usaha mewujudkan proses demokrasi secara
subtansial.
Kesempatan untuk mendorong partisipasi nyata
warga dalam mengawal proses demokrasi di Pemilu
2019, tentu tidak bisa hadir dengan sendirinya. Dibutuhkan
sosok-sosok yang dapat menginisiasi dan menginspirasi
warga desa untuk turut serta mewujudkan harapan
ini . Di sisi lain, disadari juga sepenuhnya bahwa pada
dasarnya nilai-nilai demokrasi itu ada dan menjadi milik
warga desa. warga yang guyub, warga yang
106
selalu mengutamakan musyawarah dalam memutuskan
setiap masalah, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,
persamaan, dan saling menghargai. warga desa secara
tegas menolak kecurangan, ketidakjujuran, suap (sogok)
dan semua tindakan yang diapndang merusak nilai-nilai
kebersamaan, nilai-nilai kepatutan, dan kepantasan --nilai-
nilai yang juga yaitu nilai demokrasi yang mesti
dihadirkan.
Problemnya, nilai-nilai demokrasi ini menjadi
“tertutup” oleh hal-hal yang dipicu semakin
mengerasnya nilai-nilai pragmatisme yang berkembang
seiring dengan derasnya arus kepentingan kelompok elite
yang ingin berkuasa tanpa memakai prosedur yang
legal dan sah, tanpa didukung oleh kapasitas dan kualitas
yang memadai, dengan sikap pragmatisme warga.
Tentu persoalan ini bisa dilihat dari beberapa aspek.
Misalnya, warga tidak merasakan dampak menonjol
dari proses demokrasi yang melahirkan pemimpin-pemimpin
daerah yang dipilih secara langsung. Mereka merasakan
pemimpin daerah yang dipilih oleh warga secara
langsung, setelah berkuasa justru melupakan warga
yang memilih mereka, mereka banyak yang asyik menikmati
kekuasaan yang diperoleh dari hasil pilihan rakyat.
warga merasakan bahwa mereka dalam proses pemilu
dan demokrasi, hanya sebatas obyek, bahkan kadang hanya
dibutuhkan saat agenda lima tahunan dalam proses pemilu.
Dari sini, sebagian warga lalu mengambil sikap untuk
memanfaatkan momentum pemilu untuk memperoleh
sesuatu yang lebih konkret dari kontestan yang berkompetisi
memperebutkan suara mereka. Inilah ruang yang terbuka
terjadinya politik uang dalam warga. Ada tokoh yang
ingin terpilih namun kualitas terbatas dan warga sudah
kadung tidak percaya pada harapan dan janji-janji dari para
politisi.
Aspek lain yang dapat dianggap menjadi tantangan
demokratisasi di desa, yaitu warga yang masih
menganut “patronase politik”. Keputusan dan arahan tokoh-
tokoh lokal, dianggap sebagai sebuah jalan terbaik bagi
107
warga desa. Apa yang menjadi putusan dan arahan
pemimpin lokal mereka, itulah yang menjadi arah putusan
mereka dalam menentukan sosok pemimpin formal.
warga yang seperti ini tentu telah dipetakan oleh para
politisi, bahwa untuk memperoleh dukungan suara dari
warga desa tertentu, mereka mesti mendekati tokoh
lokal yang ada. Pada sisi inilah sering terjadi deal-deal tertentu
dari tokoh politik dan tokoh lokal, bahkan kadang salah satu
deal-nya yaitu kompensasi dalam bentuk materi. Jadilah
tokoh-tokoh lokal sebagai agen politisi untuk memenangkan
kontestasi dan sekaligus pihak yang memobilisasi warga
dengan iming-iming materi (politik uang).
Ada juga kepala desa yang yaitu kader partai
politik tertentu, pada perhelatan kontestasi pemilu tidak
jarang menjadi tim sukses untuk kontestan tertentu. Hal
ini bisa dilihat dari banyaknya kepala desa, perangkat
desa yang terbukti secara nyata dan sah memihak dan
mengkampanyekan calon dan kontestan tertentu yang
diputus di pengadilan. Ini belum dilihat dari mereka yang
melakukan dukungan dan mobilisasi, bahkan intimidasi
untuk memenangkan sosok atau kelompok tertentu secara
diam-diam, dan tidak dapat tersentuh norma.
Para kontestan dan tokoh-tokoh politik lain, kadang
menafsir ulang praktik politik uang, dengan membagi-
bagi uang atau materilainnya sebagai bagian dari sikap
kedermawanan dirinya, dan menyebut pemberian mereka
sebagai “shadaqah politik”. warga yang menerima
mereka sebut “rezeki”. Pengaburan makna politik uang
sebagai bagian dari kejahatan demokrasi, sebagai praktik
yang dilarang dan diharamkan oleh ajaran agama dan budaya
manapun di negeri ini, akhirnya dianggap sesuatu yang biasa
dan legal, sebab disebut shadaqah atau rezeki.
Tantangan lain dalam membangun demokrasi dalam
warga desa, yaitu berkaitan dengan lemahnya literasi
di media sosial. Banyak warga yang mudah terprovokasi
dan termakan isu yang disebarkan lewat media sosial.
Ini tentu menjadi fenomena umum, semua warga,
termasuk warga perkotaan. Namun jika tidak menjadi
108
perhatian bersama, bisa saja isu yang berkembang di media
social, khususnya yang bernada rasial, bernada hujatan dan
provokasi, akan membuat warga terpilah dan terbelah.
DESA MASSAMATURU, MODEL DESA SADAR
PENGAWASAN
Berangkat dari ruang-ruang pengembangan
demokrasi dari desa yang digambarkan di atas, baik sebagai
sesuatu yang ada dan tumbuh dalam warga desa,
maupun ruang yang difasilitasi lewat UU Desa, demikian
pula tantangan-tantangan yang nyata dan dapat dilihat
dalam praktik-praktik demokrasi yang berkembang di desa
menjadikan posisi desa menjadi penting untuk mendapat
perhatian dari seluruh pemangku kebijakan, termasuk Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang diamanahi tugas melakukan
pencegahan, pengawasan, dan penindakan atas segala tindakan
yang dianggap melanggar norma dan aturan kepemiluan,
sebagai sarana mengimplementasikan proses demokrasi
secara prosedural dan subtansial secara berbarengan.
Perspektif untuk mengedepankan tindakan
pencegahan dibandingkan tindakan penindakan, menjadi salah
satu konsep yang dikembangkan oleh Bawaslu di periode
ini. Berbagai usaha yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu dari
tingkat nasional sampai ke daerah pun diorientasikan sebagai
usaha pencegahan.
Salah satu pilihan dari gerakan pencegahan yang
dikembangkan di Sulawesi Selatan yaitu mendorong setiap
kabupaten/kota mengembangkan satu desa model pengawasan,
untuk menyebut desa yang menjadi dampingan Bawaslu dalam
melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan secara mandiri dan
atau secara bersama-sama. Hampir semua kabupaten/kota
akhirnya membuat deklarasi Desa Model Pengawasan, bahkan
ada kabupaten di mana di setiap kecamatan dibuat deklarasi
Desa Pengawasan, yang didalamnya dilakukan kampanye
anti-politik uang, pencegahan politisasi SARA, dan menolak
informasi hoaks dan provokasi.
Akan namun , dengan selesainya perhelatan Pemilu,
tidak semua desa punya komitmen untuk memelihara dan
109
mengembangkan program-program pendidikan demokrasi
secara berkelanjutan. Dari sekian banyak desa yang telah
dideklarasikan sebagai Desa Model Pengawasan, hanya Desa
Massamaturu, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten
Takalar dengan bekerjasama dan bermitra dengan Bawaslu
Takalar yang mampu bertahan dan tetap mendorong nilai-nilai
demokrasi.
Bagamana bisa bertahan, apa strateginya, tentu
menjadi sesuatu yang menarik untuk disampaikan, dengan
harapan dapat menjadi inspirasi bagi warga dan
pemerintahan desa lainnya, dalam mendorong proses
demokrasi dari desa untuk membangun demokrasi bangsa.
I. Profil Singkat Desa Massamaturu
Desa Massamaturu yaitu sebuah desa yang
berada di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa ini yaitu
desa hasil pemekaran Desa Pa’rappunganta, Kecamatan
Polongbangkeng Utara pada tahun 1987. Pemekaran berawal
dari keinginan warga untuk memperoleh pelayanan
pemerintah yang lebih dekat, lebih efektif, dan lebih efisien.
Pada awal tahun 1987 di bentuklah Panitia Pemekaran Desa
dan pada waktu itu juga langsung diajukan permohonan
pemekaran desa kepada pemerintah kabupaten. Dengan
melewati berbagai hal/proses pemekaran yang sesuai dengan
aturan hukum yang belaku dari mulai penentuan nama desa,
pembagiaan wilayah, pembagian kekayaan desa; akhirnya
empat dusun, yaitu Dusun Bulu’bumbung, Dusun Bontorannu,
Maccini Baji, dan Panaikang Lompo menjadi Desa Persiapan
Massamaturu.
Pada akhir tahun 2013 Desa Massamaturu kembali
dimekarkan menjadi dua desa dengan tujuan yang sama
seperti saat dimekarkan dari Desa Pa’rappunganta. Adapun
desa hasil pemekaran yaitu Dusun Bulu’bumbung dan
Bontorannu menjadi Desa Massamaturu dan Dusun
Maccinibaji, Je’nedinging, dan Panaikang Lompo menjadi
Desa Balangtanaya yang terletak di sebalah selatan Desa
Massamaturu.
110
Desa Massamaturu yaitu salah satu desa dari 18
desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Polongbangkeng
Utara, Kabupaten Takalar dan memiliki luas wilayah 0,5,36
km2, dengan batas wilayah administrasi sebagai berikut: (1)
sebelah utara, berbatasan Desa Parangba’do, (2)sebelah
timur, berbatasan dengan Desa Timbuseng, (3)sebelah selatan,
berbatasan dengan Desa Balang Tanaya, dan (4) sebelah barat,
berbatasan dengan Desa Pa’rappunganta. Secara administrasi
Pemerintahan Desa Massamaturu terdiri atas 4 (empat) dusun,
yaitu: Dusun Bulu’bumbung I, Dusun Bulu’bumbung II, Dusun
Bontorannu I, dan Dusun Bontorannu II.
(Peta Desa Massamaturu)
Penduduk Desa Massamaturu berdasarkan hasil data
profil desa tahun 2015 berjumlah 1.878 jiwa.Jumlah penduduk
berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang
berjenis kelamin laki-laki dengan perbandingan 922 jiwa laki-
laki dan 956 jiwa perempuan. Berdasarkan kelompok umur
pada tahun 2016, sekitar 68% penduduk Desa Massamaturu
yaitu kelompok usia kerja, dimana dari kelompok usia
ini sekitar 88% lebih yaitu kelompok usia produktif.
Sementara itu, kelompok 0-4 tahun pada periode yang sama
hanya bejumlah sekitar 31% lebih dari total penduduk yang ada
di Desa Massamaturu.
111
Pendidikan yaitu satu hal penting dalam memajukan
tingkat kesejahteraan pada umumnya dan tingkat
perekonomian pada khususnya. Tingkat pendidikan yang tinggi
akan mendongkrak tingkat kecakapan penduduk. Tingkat
kecakapan juga akan mendorong tumbuhnya keterampilan
kewirausahaan dan pada gilirannya mendorong munculnya
lapangan pekerjaan baru, yang dengan sendirinya akan
membantu program pemerintah untuk pembukaan lapangan
kerja baru guna mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya
akan dapat mempertajam sistematika pikir atau pola pikir
individu, selain itu memudahkan penerimaan informasi yang
lebih maju. Dibawah ini tabel yang menunjukkan tingkat rata-
rata pendidikan warga Desa Massamaturu.
(Tingkat Pendidikan Terakhir warga )
II. Pengembangan Program Desa Model Pengawasan
Pengambangan Desa Model Pengawasan sebagai
sesuatu yang sifatnya piloting dalam usaha memaksimalkan
tugas dan usaha pencegahan yang dilakukan oleh Bawaslu
yang melibatkan partisipasi nyata dari warga warga, tentu
sesuatu yang menarik sekaligus menantang. Menjadi menarik,
sebab jika program ini bisa dilakukan dan dikelola dengan
baik, akan menghasilkan sesuatu yang tentu tidak dapat
dinlai dengan materi. Terpampang gambaran dalam angan,
sebuah komunitas warga yang mengetahui, menyadari
112
hak-haknya, serta memiliki kemauan dan kesadaran untuk
memperjuangkan dan mengawal hak-hak yang mereka
miliki itu. Gambaran tentang sebuah kehidupan warga
yang damai, rukun, dan bekerjasama dalam mewujudkan
sebuah proses demokrasi yang bermartabat, berkualitas, dan
berintegritas. Gambaran sebuah warga yang konsisten
secara bersama-sama menghidupkan praktik politik dan
demokrasi yang sehat, yang jauh dari tindakan dan perbuatan
yang dianggap merusak tatanan dan nilai-nilai demokrasi,
seperti politik uang, politisasi SARA, penyebaran berita hoaks,
provokasi, dan yang lain-lain. Gambaran sebuah warga
yang saling menghargai pilihan-pilihan politik yang mereka
anggap dapat mewakili aspirasi dan cita-citanya.
Akan namun menjadi sesuatu yang menantang,
sebab senyatanya kehidupan warga desa sejak diberi
hak untuk menentukan masadepan sebuah kepemimpinan
bangsa, daerah, dan juga di tingkat desa, dengan menyerahkan
kewenangan melakukan pilihan pada setiap perhelatan politik
elektoral yang dilaksanakan, namun tidak dibarengi dengan
pendidikan politik dan demokrasi yang memadai. Bahkan
tidak jarang para elite “membeli” kedaulatan yang dimiliki
oleh warga dengan hal-hal yang sifatnya materi, janji,
dan iming-iming kedudukan atau pekerjaan, membuat
warga banyak terjebak dalam pragmatisme politik.
Belum lagi melihat sikap para politisi yang pada akhirnya dipilih
oleh warga desa dengan tidak menjadikan kualitas personal,
kapabilitas, jejaring, track record yang bersangkutan sebagai
indikator dalam menentukan pilihan, justru abai dan lupa pada
konstituen dan warga yang memilihnya. Mereka baru
disambangi dan diingat saat agenda pemilihan sudah dekat.
Hal seperti inilah yang membuat warga memilih bersikap
pragmatis.
Di sinilah tantangan yang mesti dihadapi dalam
mendorong kesadaran warga desa dalam mewujudkan
sebuah komunitas yang peduli pada pengembangan nilai-
nilai demokrasi. Tantangan yang boleh saja bersumber dari
pemahaman yang keliru dalam warga dalam memaknai
sebuah perhelatan demokrasi di daerahnya, juga bisa datang
113
dari pihak-pihak yang selama ini merasa diuntungkan dengan
sikap pragmatis yang tumbuh dalam warga.
Untuk itu, dalam mewujudkan sebuah model
komunitas warga desa yang sadar akan hak-haknya dan
mau mengawal dan memperjuangkan hak-hak politik dan
demokrasi yang diberi oleh negara, Bawaslu melakukan
beberapa usaha , yang dimulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan dari apa yang direncanakan, serta mengevaluasi
hasil yang diperoleh sebagai bagian dari usaha perbaikan dan
perencanaan untuk kegiatan yang berkelanjutan.
A. Perencanaan dan Pelaksanaan
Langkah-langkah strategis Bawaslu dalam
membangun kepedulian bersama dengan pemerintah
kabupaten, dinasterkait, dan pemerintah desa untuk
mendorong proses demokrasi yang sehat dan berkualitas
dalam warga. Untuk itu, beberapa pertemuan diinisiasi
guna menyatukan persepsi, khususnya diinternal Bawaslu.
Ide ini sebenarnya telah mulai ada sejak tahapan Pemilukada
2017 di Kabupaten Takalar mulai berjalan. Adu strategi
dan persaingan antar-pasangan calon dan pendukungnya
untuk memperoleh simpati dan dukungan warga
mulai menguat. Panwaslu Takalar (waktu itu masih bernama
Panitia Pengawas Pemilu) kemudian melakukan diskusi untuk
merumuskan model partisipasi warga yang lebih luas
dalam mengawal proses Pemilukada di Kabupaten Takalar.
Pertama-tama, setelah ide dan ini muncul dan
menjadi sebuah program yang akan dilaksanakan oleh jajaran
Panwaslu Takalar, diinisiasi sebuah pertemuan dalam agenda
sosialisasi yang menghadirkan pejabat kepala desa dan lurah
di Kabupaten Takalar. Dalam pertemuan ini disampaikan
peran penting warga untuk bersama-sama mengawal
proses demokrasi di Pilkada 2017, agar benar-benar dapat
menghasilkan proses dan hasil Pilkada yang berkualitas dan
berintegritas. Peran kepala desa dan lurah menjadi sangat
strategis. Sebagai langkah awal, Panwaslu Kabupaten Takalar
menawarkan konsep Desa Sadar Pengawasan sebagai sebuah
model kebijakan untuk mendorong partisipasi warga
114
lebih luas dan nyata.
Tawaran ini mendapat respons positif dari kepala
desa dan lurah yang hadir. Ada 11 (sebelas) kepala desa/lurah
yang menyatakan siap menjadi piloting tentang gagasan
baik ini untuk mengembangkan program Desa Sadar
Pengawasan. Berangkat dari kesiapan dan keinginan bersama
untuk mendorong terwujudnya sebuah desa yang disebut
dengan Desa Sadar Pengawasan, diskusi dan komunikasi yang
lebih intens terus dilakukan oleh Panwaslu. Bahkan ide ini
juga disampaikan dan dikomunikasikan kepada Pemerimtah
Daerah Kabupaten Takalar.
Sebagai panduan bersama dalam mengembangkan
Desa Model Pengawasan ini, beberapa catatan dasar yang
yaitu hasil diskusi bersama dengan berbagai pihak
antara lainbahwa sebuah desa yang akan menjadi Desa Sadar
Pengawasan, sebagai model desa pengawasan partisipatif,
yaitu desa yang tergambar dalam tatakelola dan program
yang dikembangkan dapat menjadi acuan desa-desa lain,
yang meliputi:
a. Aspek administratif, yakni desa pengawasan yang
secara administratif dapat menjamin keterpenuhan
hak-hak warga untuk terdaftar dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT), serta memenuhi syarat
untuk dapat ikut memberikan suara (pilihan) pada
perhelatan pemilu. Sehingga menjadi penting
kepala desa proaktif berkoordinasi dengan
pihak Dinas Dukcapil untuk menfasilitasi warga
warga yang telah memenuhi syarat namun
belum melakukan perekaman e-KTP agar segera
dilakukan perekaman.Oleh sebab itu, desa
ini mesti memiliki tatakelola administrasi
kependudukan yang lebih baik, disamping aspek
administrasi tatakelola pemerintahan desa lainnya.
b. Aspek sarana dan prasarana, yakni tersedianya
beberapa sarana yang dibutuhkan oleh warga
desa dan dapat memfasilitasi warga warga
untuk ikut serta melakukan pengawasan proses
pemilu di setiap tahapan.
115
c. Aspek regulasi. Harapannya, pemerintahan desa
yang akan menjadi dampingan Bawaslu, sebagai
desa model pengawasan, dapat menyiapkan regulasi
yang memungkinkan kegiatan dan program yang
dikembangkan di desa ini dapat didukung
oleh dana dan anggaran yang tersedia di desa.
d. Aspek subtantif dari pengembangan Desa Model
Pengawasan ini yaitu terwujudnya pemerintahan
desa dan warga desa memiliki pengetahuan
yang cukup tentang hak-hak dan kewajiban sebagai
warga negara dalam setiap perhelatan pemilu dan
pemilihan, serta memiliki kesadaran dan kemauan
untuk bersama-sama Bawaslu mengawal setiap
proses dalam tahapan pemilu dan pemilihan secara
bertanggungjawab.
Dengan berbekal panduan yang dirumuskan dalam
bentuk kesepakatan bersama di atas, Panwaslu Takalar
melakukan pendekatan dan komunikasi kepada stakeholder
yang dianggap dapat mendukung agenda ini . Akan namun ,
kuatnya tarik-menarik kepentingan antar-calon petahana
yang didukung oleh mayoritas partai politik, melawan sang
penantang yang hanya mendapat dukungan minimal dari
partai politik yang memiliki hak untuk mengusung calon,
namun mendapat dukungan dari tokoh berpengaruh di Sulawesi
Selatan pada waktu itu;membuat persaingan berlangsung
dalam tensi yang sangat tinggi, dan pada akhirnya dimenangi
oleh sang penantang dengan selisih suara yang tipis, bahkan
mesti diputus lewat sidang Sengketa Hasil Pemilihan di
Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu membuat gagasan dan ide
ini belum bisa berjalan dengan baik.
Dari semula 11 kepala desa dan lurah yang
menyatakan siap mengembangan konsep ini , hanya
1 kepala desa yang bisa bertahan untuk bermitra dengan
Bawaslu mendorong tumbuh kembangnya partisipasi
warga dalam melakukan pengawasan di tahapan
Pemilihan Kepala Daerah. Kepala desa itu yaitu Kepala Desa
Massamaturu. Sementara kepala desa dan lurah yang lain,
dengan berbagai alasan dan kendala belum bisa melanjutkan
116
ide dan gagasan ini . Kondisi ini masih berlanjut sampai
pada agenda Pilgub tahun 2018.
Berangkat dari kenyataan ini, Bawaslu Sulawesi
Selatan melihat ide dasar dan gagasan untuk mengembangkan
kehidupan demokrasi yang lebih sehat dari desa/kelurahan
yaitu sebuah ide dan gagasan yang mesti didukung dan
dikembangkan. Apa yang dilakukan oleh Panwaslu Takalar
sebelumnya perlu dikaji dan dianalisis, untuk menemukan
simpul-simpul masalah serta kemungkinan pemecahannya.
Meski belum dirumuskan dalam sebuah desain perencanaan
yang lebih matang, masih lebih banyak sebagai letupan ide dan
gagasan mengembangkan desa model pengawasan menjadi
program yang juga digagas lebih luas di tingkat provinsi.
Desa Massamaturu dijadikan ikon dan model pengembangan
Desa Pengawasan. Untuk itu, Bawaslu Takalar bersama
Bawaslu Sulsel mencoba melakukan pemetaan masalah dan
mengidentifikasi gagasan-gagasan yang mungkin dapat
menjadi pola dan sstrategi pengembangannya. Sebagai
usaha menguatkan komitmen kepala desa dan warga di
Desa Massamaturu, untuk menjadi desa model pengawasan,
dilakukan deklarasi bersama dan pengesahan Forum Awas
yang akan menjadi garda terdepan warga Desa
Massamaturu dalam melakukan pencegahan dan pengawasan
dalam menghadapi tahapan Pemilu 2019. Deklarasi ini dihadiri
oleh anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, serta Bupati
Takalar dan jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar
lainnya.
Pasca-Deklarasi Desa Sadar Pengawasan di Desa
Massamaturu, Kabupaten Takalar;diskusi dengan berbagai
pihak lebih diintensifkan, khususnya antara Bawaslu Provinsi
Sulawesi Selatan, Bawaslu Kabupaten Takalar, dan Kepala Desa
Massamaturu, dengan mengevaluasi hasil dan capaian yang
telah dilaksanakan sebelumnya. Bersama Bawaslu Takalar,
Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan menemui Bupati Takalar
dan pihak terkait, termasuk mendiskusikan dengan pihak
pendamping desa dan konsultan pendamping desa di tingkat
provinsi, serta Dinas Pemerintahan Desa tingkat provinsi untuk
lebih menguatkan dukungan dan semangat mengembangkan
117
ide ini .
Salah satu informasi penting yang didapatkan dari
koordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah, dalam hal ini
Bupati Takalar, yaitu adanya program pengembangan nilai-
nilai demokrasi yang termaktub dalam visi-misi Bupati dan
Wakil Bupati yang disampaikan dalam kampanye mereka di
Pimilukada tahun 2017. Visi dan misi ini juga tertuang
dalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Takalar.Pengembangan nilai-nilai demokrasi yang
ada dalam RPJMD ini menjadi payung dan cantolan
program yang mesti dikembangkan dalam daerah/wilayah
pemerintahan Kabupaten Takalar. Program inilah yang
kemudian menjadi bahan diskusi lebih lanjut dengan Kepala
Desa Massamaturu untuk merumuskan kegiatan dan program
yang dapat dilakukan dalam mengawal proses demokrasi,
khususnya dalam menghadapi Pemilu 2019, sehingga wujud
dan bentuk dari partisipasi nyata warga dalam mengawal
proses dan tahapan Pemilu lebih nyata dan didukung oleh
program dan agenda kegiatan desa yang terencana.
Dari beberapa kali pertemuan dan diskusi dihasilkan
beberapa rumusan dasar sebagai model dan arah dari
pengembangan Desa Pengawasan yang akan dikembangkan
di desa yang akan menjadi target dampingan Bawaslu.Desa
Massamaturusebagai piloting dalam membuat perencanaan
diharapkan dapat menggambarkan usaha yang terencana dan
sistematis dalam menjamin keterpenuhan hak dan kewajiban
politik warga warga desa, meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan politik warga desa, menguatkan kesadaran
warga untuk bersama-sama mengawasi proses Pemilu
di setiap tahapan, serta melakukan kegiatan pencegahan
terhadap kemungkinan tindak pelanggaran norma dan aturan
pemilu di setiap tingkatan, dengan merumuskan kebijakan dan
program yang jelas dan konkret sehingga warga semakin
memahami bahwa mereka bukanlah obyek dari berjalannya
proses demokrasi dan politik, namun mereka yaitu subyek
dari terwujudnya proses dan subtansi demokrasi yang dicita-
citakan.
118
Sebagai output dari rumusan yang digagas bersama di
atas, Pemerintah Desa Massamaturu, melalui Kepala Desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang didampingi oleh
Bawaslu melakukan kegiatan-kegiatan, yang diterjemahkan
dari kebijakan yang dirumuskan dan disepakati Bersama
sebagai berikut:
1. Pemerintah Desa Massamaturu membentuk
Forum Awas (Forum Aliansi warga Kawal
Demokrasi) tingkat Desa Massamaturu, yang
pengurusnya terdiri atas unsur-unsur yang ada
dalam masyatrakat, seperti unsur pemuda, tokoh
warga, tokoh agama, dan unsur perempuan,
yang bertujuan untuk mendorong partsipasi
warga secara konkret dalam melakukan
pendidikan politik dan pendidikan bagi pemilih,
dan usaha pencegahan terhadap kemungkinan
terjadi prakktik politik uang, penyebaran kebencian
dan informasi hoaks, serta politisasi SARA.
Lewat Forum Awas ini, beberapa kegiatan
dilaksanakan dan mendapat dukungan anggaran
dari pemerintah desa, sebagai kelanjutan dari
program pengembangan nilai-nilai demokrasi
yang ada dalam RPJMD Kabupaten, sebab
dituangkan dalam rencana Program Jangka
Menengah (RPJM) Desa.
Kegiatan yang dimaksud seperti:
(1) melakukan sosialisasi tentang bahaya politik
uang kepada warga dengan mendatangi
rumah-rumah warga. Kegiatan ini dilakukan
oleh Forum Awas.kepada warga yang telah
didatangi dan diberi pemahaman tentang
bahaya politik uang bagi tumbuhnya nilai-
nilai demokrasi dalam warga, juga
bisa berdampak bagi individu warga
itu sendiri, serta bahaya politisasi SARA dan
pentingnya menyaring informasi yang ada,
khususnya yang berasal dari media sosial,
diberi stiker untuk mereka tempel di pintu
119
rumah mereka sendiri, sebagai bukti bahwa
mereka paham, setuju, dan mendukung hal
ini .
Pesan-pesan yang tertulis dalam stiker
ini , seperti “Rumah dan Keluarga Ini
Menolak Politik Uang”, “Gerakan Tutup Pintu
Politik Uang”, “Tolak Politik Uang, Politisasi
SARA dan Ujaran Kebencian”, serta beberapa
bentuk stiker yang berisi pesan-pesan senada
yang semuanya diadakan dan didanai oleh
pemerintah Desa Massamaturu.
(2) Dalam nomenklatur program pemberdayaan
yang didanai dari Anggaran Dana Desa (ADD)
Desa Massamaturu, dicantumkan salah satu
program yang disebut dengan “sosialisasi
dan perlindungan hukum bagi warga”.
Program ini yang diserahkan kepada Forum
Awas untuk dikelola lebih lanjut dan fokus
pada sosialisasi dan perlindungan terhadap
warga yang berkaitan dengan aturan dan
UU kepemiluan.
2. Pemerintah Desa Massamaturu mendirikan
Pojok Pengawasan di beberapa titik strategis dan
biasa didatangi warga, seperti Rumah Ronda dan
tempat-tempat duduk warga. Pojok Pengawasan
ini menjadi salah satu tempat komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) bagi warga
desa. Di Pojok Pengawasan ini disiapkan informasi
tentang Daftar Pemilih yang telah terdaftar di DPS
kemudian DPT. warga yang namanya belum
terdaftar dapat segera menyampaikan kepada
pemerintah desa atau Pengawas Desa agar dapat
difasilitasi untuk segera dimasukkan ke DPS/DPT
dan atau segera dilakukan perekaman e-KTP, jika
mereka belum melakukan perekaman.
Di Pojok Pengawasan ini pula, informasi tentang
tindakan atau perbuatan yang dilarang bagi
warga, bagi perangkat desa dalam
120
kaitannya dengan pelaksanaan tahapan Pemilu
juga dicetak dan dipasang. Demikian pula
prosedur yang dapat dilakukan oleh warga
jika mengetahui dan melihat suatu tindak
pelanggaran aturan pemilu.
3. Pemerintah Desa Massamaturu mengintegrasikan
kegiatan dan program Padat Karya yang dilakukan
warga desa dengan kegiatan sosialisasi
tentang informasi kepemiluan dan hal-hal yang
berkaitan dengan