pemilu 2

Rabu, 14 Juni 2023

pemilu 2


am 
forum pertemuan RT dan Forum Karangtaruna itulah Ade 
menyampaikan materi yang diterima dari sosialisasi yang 
dilaksanakan oleh Panwascam. Selain itu Ade juga diminta 
untuk mensosialisasikan dalam forum warga di dunia maya 
yang dia ikuti, melalui group whatsapp, group facebook dan 
social media lain yang Ade ikuti. Dalam proses sosialisasi dalam 
forum warga ini  panwascam, pengawas kelurahan/desa, 
dan juga kader juga ditugaskan untuk mendampingi relawan 
dalam memberikan sosialisasi dalam forum warga.  
Selain melaksanakan sosialisasi dalam forum warga di 
dunia nyata, relawan juga diminta untuk menyampaikan hasil 
sosialisasi dalam forum warga di dunia maya. Forum warga 
di dunia maya dapat berupa group Whatsapp, Facebook, 
Twitter, Instagram, dan berbagai bentuk media sosial 
lainnya. Sosialisasi dalam forum warga di dunia maya ini juga 
yaitu hal yang penting di era digital ini. Bahkan dengan 
sosialisasi dalam forum warga di media sosial ini cakupannya 
akan lebih luas dibandingkan  sosialisasi yang dilakukan di dunia 
nyata. Namun demikian model sosialisasi di dunia maya ini 
juga perlu dikontrol dan dipantau, khususnya oleh pengawas 
pemilu, agar  tidak  disalahgunakan  oleh pihak-pihak yang 
tidak  bertanggungjawab.
Dengan pola sosialisasi baru ini tentu hasilnya akan lebih 
60
  
masif, lebih   banyak  warga yang akan memperoleh  
materi sosialisasi tahapan pemilu yang disampaikan oleh 
Bawaslu. Jika dengan pola lama, dalam 1 kecamatan katakanlah 
hanya 30 orang yang menerima sosialisasi; maka dengan pola 
baru 30 orang itu akan menyampaikan dalam minimal 30 forum 
warga yang berisi 30-an orang juga. Dan jika forum sosialisasi 
tahapan pemilu melalui media sosial juga berjalan maka tentu 
saja akan lebih banyak lagi warga yang memperoleh  
informasi terkait dengan tahapan pemilu ini . sebab  
dalam satu group media social bias berisi hingga puluhan 
bahkan ratusan warga, jika setiap relawan membagikan dalam 
5 group saja dan maka sudah akan lebih banyak warga 
yang mendapat informasi terkait kepemiluan. 
Dengan cara ini kami berharap akan lebih banyak warga 
yang mengetahui hal-hal terkait dengan kepemiluan. Dengan 
warga tahu tentang kepemiluan, maka warga juga 
secara otomatis akan ikut aktif melakukan pengawasan proses 
pemilu di lingkungannya, sebagaimana yang telah berjalan di 
kampung pengawasan di Kelurahan Teluk Uma. Dengan begitu 
maka tentu saja akan dapat membantu kerja-kerja pengawasan 
yang dilakukan oleh Bawaslu beserta jajarannya.
3.  Penutup
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu  bahwa 
pelaksanaan kampung pengawasan sangat membantu dalam 
usaha  pencegahan praktik politik uang dan pelanggaran 
pemilu lainnya dalam proses pelaksanaan pemilu. Program 
kampung pengawasan tidak hanya efektif untuk pencegahan 
politik uang, namun  juga bentuk-bentuk pelanggaran pemilu 
lainnya seperti pemasangan APK, kampanye, dan lain-lain.
Pada umumnya warga tidak mengetahui terkait dengan 
aturan-aturan dalam kepemiluan, sehingga mereka cenderung 
pasif atau bahkan tidak terlalu peduli dengan pemilu. Dengan 
adanya program kampung pengawasan ini warga bisa 
lebih banyak memperoleh  pengetahuan terkait dengan 
kepemiluan melalui forum-forum warga yang dilaksanakan 
dalam program-program di kampung pengawasan.
 
61
Dengan pengetahuan tentang kepemiluan, warga 
secara otomatisakan ikut mengawasi proses jalannya pemilu. 
warga  menjadi tahu hal-hal apa saja yang boleh dan tidak 
boleh dilakukan dalam kampanye ataupun dalam tahapan-
tahapan lain dalam pemilu. Jika warga melihat ada hal-
hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan pemilu, 
maka warga pun sudah tahu kemana mereka harus 
melaporkan, yaitu bisa melalui Pengawas Pemilu Kelurahan/
Desa, Pengawas Pemilu Kecamatan, ataupun langsung kepada 
Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan terwujudnya warga 
yang sadar dan paham tentang pemilu, hal ituakan sangat 
membantu kerja-kerja Bawaslu yang secara jumlah personelnya 
masih sangat terbatas. Dengan adanya warga yang 
aktif dalam memberikan laporan-laporan terkait dengan 
pelanggaran pemilu, Bawaslu akan dapat  lebih  maksimal 
dalam  menjalankan  pengawasan  pemilu.
Dalam pelaksanaan Pilkada 2020 Bawaslu Provinsi 
Kepulauan Riau akan melaksanakan strategi baru dalam usaha  
meningkatkan keterlibatan warga dalam pengawasan 
pemilu. Strategi ini  menggabungkan dua strategi yang 
telah dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau 
dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Dengan penggabungan 
strategi komunitas relawan pengawas pemilu partisipatif 
dan juga pelibatan warga secara langsung dengan 
membentuk  kampung pengawasan dan desa anti politik uang, 
diharapkan pelaksaan pengawasan partisipatif kedepan akan 
lebih maksimal.  
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas kami merekomendasikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Kepada     penyelenggara pemilu, agar  dapat  memakai  
hasil penelitian ini sebagai referensi untuk melaksanakan 
program pengawasan partisipatif. 
2. Kepada para peneliti dan akademisi, kami 
merekomendasikan untuk dapat melakukan penelitian 
lanjutan terkait dengan strategi pelaksanaan pengawasan 
pemilu partisipatif ini sehingga bisa meningkatkan dan 
membuat inovasi-inovasi baru dalam usaha  pelibatan 
62
  
warga dalam pengawasan pemilu.      
DAFTAR PUSTAKA
1. Bawaslu RI. Buku Panduan Pengawasan Partisipatif. 
Bawaslu Republik negara kita. Jakarta. 2017.
2. Bernad Dermawan Sutrisno, Arif Budiman. Gunawan 
Suswantoro Penjaga Idealisme Pengawas Pemilu. Rajawali 
Pers. Depok. 2018.
3. Clandinin, D, J (Ed). Narrative Inquiry: Experience and story 
in Qualitative research. San Francisco: Jossey-Bass. 2007.
4. Creswell, J. W.Research Design : Qualitative, Quantitative, 
and Mixed Methods Approaches. United Kingdom: SAGE 
Publications. 2014.
5. Gunawan Suswantoro. Pengawasan Pemilu Partisipatif. 
Penerbit Erlangga. Jakarta.2015.
 
6. H. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum. Sinar  a. 
2010.
 
7. Mohammad Najib, Bagus Sarwono, dkk. Pengawasan 
Pemilu Problem dan Tantangan. Bawaslu Provinsi DIY. 
2014.
8. Riessman, C.K. Narrative methods for the human sciences. 
Thousand Oaks, CA:Sage. 2010.
9 Topo Santoso, Ida Budhiati. Pemilu di negara kita 
Kelembagaan, pelaksanaan dan Pengawasan. Sinar 
 a. Jakarta. 2019. 


 
65
Pendekatan Seni Budaya 
untukSosialisasi Pengawasan PemiluSerentak 
2019
Oleh: mr.soebandrijo  
(Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah)
I. PENDAHULUAN
 Pemilu 2019 yaitu gawe besar dalam proses 
demokrasi di negara kita. Pemilu kali ini menyuguhkan 
berbagai pertarungan elite politik untuk saling merebut kue 
kekuasaan. Antar-peserta pemilu saling bersaing untuk meraih 
kemenangan. Dalam pemilu, kemenangan yang diperebutkan 
yaitu  meraih suara sebanyak-banyaknya dari para pemilih. 
Jika meraih suara yang banyak, dengan begitu peserta pemilu 
bisa memperoleh kue kekuasaan. 
 Pelaksanaan Pemilu 2019 sempat mengkhawatirkan 
berbagai pihak terkait dengan potensi kerawanan. Persaingan 
antarelite politik dalam perebutan kekuasaan lima tahunan 
menjadi perhatian secara khusus. 
 Apalagi, dalam Pemilu 2019 ada pengulangan di Pemilu 
2014 terkait dengan kompetisi calon presiden. Pemilu 2014 
dengan Pemilu 2019 ada persamaan dari sisi persaingan figur, 
yakni Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Dua orang ini 
sudah terlibat dalam persaingan di Pemilu 2014, lalu bertarung 
lagi dalam kompetisi Pemilu 2019. 
 Bedanya ada di posisi calon wakil presidennya. Pada 
Pemilu 2014, Prabowo didampingi cawapres Hatta Rajasa dan 
Joko Widodo didampingi cawapres Jusuf Kalla. Sementara di 
Pemilu 2019, Prabowo didampingi cawapres Sandiaga Uno, 
sedangkan Joko Widodo didampingi cawapres Ma’ruf Amin. 
66
  
Dua pasangan calon presiden/calon wakil presiden pada Pemilu 
2019 ini cenderung memiliki pendukung fanatik masing-
masing. 
Pengulangan pertarungan dua figur ini membuat 
pelaksanaan Pemilu 2019 dihantui dengan berbagai 
potensikonflik. Keberadaan hanya ada dua calon atau dua 
kubu yang bertarung secara sengit juga semakin menyumbang 
besarnya potensi kerawanan. Keramaian tidak hanya di 
lapangan, namun  juga merembet ke ranah media sosial. 
Berbagai konten negatif terkait dukung mendukung pasangan 
calon meyeruak ke berbagai laman media sosial. Tak pelak, 
terkadang konten ini  menyerempet ke isu hoaks (kabar 
bohong) hingga ke isu suku ras agama dan antar golongan 
(SARA).
Pemilu 2019 juga diramaikan dengan persaingan antar-
calon legislatif yang memperebutkan kursi wakil rakyat. Caleg 
ini  ada di tiga level, yakni DPR, DPRDProvinsi, dan 
DPRDKabupaten/Kota. Satu lagi surat suara yang disodorkan 
kepada pemilih yaitu  untuk pemilihan calon anggota Dewan 
Perwakilan Daerah (DPD). 
Yang namanya kompetisi pasti jumlah calon lebih 
banyak dibandingkan dengan jatah kursi yang ada. Orang yang 
berminat menempati posisi di jabatan politik pemerintahan 
jelas selalu lebih banyak dibanding dengan jatah kursi yang 
tersedia.Misalnya untuk calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 
di Jawa Tengah ada sebanyak 20 calon. Mereka memperebutkan 
jatah hanya 4 kursi DPD. Disinilah ada istilah pemilu bagian dari 
pengelolaan konflik perebutan kekuasaan secara legal. Pemilu 
yaitu  ajang lima tahunan untuk perebutan kekuasaan secara 
sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
sebab   pemilu yaitu   arena konflik perebutan kekuasaan 
secara legal, ada berbagai aturan dan ketentuan yang menjadi 
batasan-batasannya. Para peserta pemilu dipersilakan 
melakukan kompetisi tapi mereka juga harus melakukan sesuai 
dengan aturan-aturan yang ada. Misalnya, boleh melakukan 
kampanye di tahapan kampanye. Pada saat sudah memasuki 
hari tenang, sudah tidak boleh ada lagi kampanye. Contoh lain, 
boleh berkompetisi adu visi misi, tapi materinya tidak boleh 
 
67
mempertentangkan isu suku ras agama dan antar golongan. 
Peserta pemilu dipersilahkan mendekati bahkan merayu para 
pemilih, tapi tidak boleh memberikan politik uang. Banyak 
sekali aturan dan ketentuan yang harus ditaati para peserta 
pemilu. 
Untuk memetakan  titik kerawanan Pemilu 2019, Bawaslu 
RI telah melakukan pemetaan melalui penyusunan Indeks 
Kerawanan Pemilu (IKP) 2019. (1) Beberapa titik kerawanan 
dalam pemilu antara lain maraknya politik uang, penyebaran 
isu SARA dan hoaks, ketidaknetralan ASN, hingga adanya 
praktik kecurangan. 
Untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu 2019, ada 
Bawaslu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 
2017 tentang Pemilu, Bawaslu memiliki berbagai wewenang, 
tugas, dan fungsi. Tugas dan fungsi itu antara lainmencegah, 
mengawasi, dan menindak. Dalam berbagai peristiwa, Bawaslu 
mengutamakan pencegahan. 
Pencegahan  yaitu  proses tindakan untuk 
mengusaha kan agar tidak terjadi pelanggaran. Bentuk-bentuk 
pencegahan juga ada berbagaimacam. Misalnya, peserta pemilu 
yang hendak melakukan kegiatan tertentu diberi pemahaman 
tentangaturan dan ketentuan yang ada sehingga tidak terjadi 
pelanggaran. Jikalau tetap terjadi pelanggaran maka peristiwa 
pelanggaran itu sejauh mungkin akan dihentikan sehingga 
pelangggarannya tidak terus-menerus terjadi. Bentuk 
pencegahan lainnya yaitu  melakukan sosialisasi partisipatif 
kepada berbagai kelompok warga dan stakeholders.
Bawaslu Jawa Tengah melakukan kegiatan-kegiatan 
bersama dengan kelompok warga untuk mencegah 
terjadinya pelanggaran Pemilu 2019. Agar kegiatan pencegahan 
bisa berjalan efektif dan efisien maka harus dilakukan dengan 
cara dan metode yang inovatif dan kreatif disesuaikan dengan 
situasi dan kondisi di lapangan. Untuk itulah, Bawaslu Jawa 
Tengah melakukan sosialisasi pengawasan partisipatif dengan 
pendekatan seni dan budaya. 
1 IKP 2019: Indeks Kerawanan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, Bawaslu 
RI, Jakarta, Desember 2018.
68
  
II. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Bawaslu di Jawa Tengah memakai  
pendekatan seni budaya untuk sosialisasi pengawasan 
partisipatif pada Pemiluserentak 2019?
III. METODOLOGI 
Penulisan artikel ini memakai  pendekatan 
kualitatif. (2) Dilakukan dengan cara Penulis melakukan 
observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan cara 
melakukan pengamatan secara langsung dalam kegiatan-
kegiatan sosialisasi partisipatif yang dilakukan Bawaslu di 
Provinsi Jawa Tengah. Adapun wawancara dilakukan dengan 
cara menggali data, informasi, dan pendapat terhadap lembaga 
atau orang perorangan yang terlibat dalam kegiatan sosialisasi 
pengawasan partisipatif yang dihelat Bawaslu Provinsi di Jawa 
Tengah.  
IV. KERANGKA KONSEPTUAL
Sebelum menjelaskan soal agen sosialisasi, Penulis 
ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian 
sosialisasi. Haryanto (2018)  dalam buku “Sosialisasi Politik” 
mengemukakan bahwa sosialisasi yaitu proses yang 
melekat dan dialami setiap individu untuk memperoleh 
pengetahuan, nilai, ataupun keterampilan agar mampu 
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan. 
Menurut Haryanto, sebab  sosialisasi tidak spesifik 
menyebutkan tempat untuk memperoleh  pengetahuan, 
nilai, atau keterampilan, maka bisa dinyatakan sosialisasi 
berlangsung di semua tipe warga, baik itu tradisional, 
sedang berkembang, maupun modern.  Dalam proses 
sosialisasi itu harus ada agen atau  aktor yang melakukan 
proses sosialisasi. Agen itu tidak hanya sebatas individu. (3)
2 J.R, Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis Karakteristik dan 
Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 2013.
3 Haryanto, Sosialisasi Politik: Suatu Pemahaman Awal, Yogjakarta: Penerbit 
Polgov, 2018.
 
69
Sedangkan Kenneth P.Langton mengemukakan adanya 
tiga elemen penting dalam proses sosialisasi. Pertama, proses 
sosialisasi harus ada elemen agen dan aktor sebagai pihak yang 
memberikan materi sosialisasi. Kedua, harus ada materi-materi 
yang akan diberi  kepada pihak yang diberi sosialisasi. 
Ketiga, perlu ada saling interaksi antara agen sosialisasi dengan 
pihak yang memperoleh  sosialisasi. (4)
chucky . A. Almond ), memaparkan adanya enam 
jenis agen sosialisasi. Enam jenis ini menjadi sarana bagi 
seseorang dalam menerima sosialisasi. Enam agen sosialisasi 
ini  yaitu : keluarga, kelompok pergaulan, sekolah, 
tempat kerja, media massa, dan kontak politik langsung. (5)Selain 
enam jenis agen sosialisasi diatas, Penulis menambahkan 
satu lagi agen sosialisasi, yakni agen seni dan budaya untuk 
sosialisasi yang ditulis dalam karya tulis ini. 
Selain konsep agen sosialisasi juga ada konsep civic 
engagement ,Keterlibatan 
warga mencakup tindakan dimana mereka berpartisipasi 
dalam kegiatan yang menjadi perhatian bersama, memperkaya, 
dan memberi manfaat kepada publik. Sosialisasi tidak hanya 
melibatkan tokoh-tokoh warga, tapi siapapun yang bisa 
terlibat dalam proses  sosialisasi  pengawasan partisipatif. 
V. KONSEP PENGAWASAN PARTISIPATIF
Bawaslu RI sudah sering membuat berbagai program 
sosialisasi partisipatif. Bawaslu RI sudah menerbitkan berbagai 
buku, konsep, petunjuk teknis, hingga SOP mengenai sosialisasi 
partisipatif, yakni: 
1. Buku “Panduan Pengabdian warga  dalam 
Pengawasan Pemilu”. 
2. Buku ”Panduan Forum Warga”. 
3. Buku “Saku Pemantauan Pemilihan Umum 2019”. 
4. Buku “Serial Pengawasan Pemilu Partisipatif” Agama 
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. 
5. Buku “Panduan Pembentukan Saka Adyasta Pemilu”. 
6. Buku “Panduan Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu”. 
7. Buku “Panduan Pusat Pengawasan Partisipatif”. 
8. Buku “Panduan Pojok Pengawasan”.
9. Dalam konteks pilkada 2018, Bawaslu RI juga 
menerbitkan: "Bahan Sosialisasi Tatap Muka Pemilihan 
Gubernur, Bupati, dan Walikota 2018". 
Buku dan panduan-panduan ini  menjadi salah satu 
inspirasi dalam membuat program dan kegiatan sosialisasi 
pengawasan di Jateng. Bawaslu Jateng menurunkan ide-
ide Bawaslu RI ini  agar lebih teknis dan disesuaikan 
dengan situasi, kondisi, dan potensi yang ada di Jawa Tengah. 
Maka lahirlah ide dan gagasan untuk melaksanakan kegiatan 
sosialisasi pengawasan dengan melibatkan para pekerja seni 
dan kelompok warga yang selama ini jarang dilibatkan 
dalam urusan kepemiluan.
Konsep kegiatan sosialisasi tidak hanya memakai  
metode diskusi, ceramah, ataupun seminar di ruang-ruang 
tertutup dan hanya melibatkan tokoh-tokoh atau pimpinan 
lembaga/organisasi tertentu. Lebih dari itu, konsep dan metode 
sosialisasi bisa dilakukan di ruang-ruang terbuka dengan 
melibatkan kelompok warga maupun para pekerja seni 
dan budaya. Bawaslu Jawa Tengah mendorong agar bidang seni 
bisa ikut terlibat dalam pengawasan pemilu. Karya-karya seni 
dan budaya harus dilibatkan untuk melahirkan karya seni yang 
spirit dan substansinya mengandung nilai-nilai pengawasan 
pemilu.  

Seperti yang dijelaskan diatas, Bawaslu Jawa Tengah 
bertugas untuk melakukan pencegahan pelanggaran dalam 
pemilu dan pilkada. Pencegahan itu bisa dilakukan dengan 
berbagai macam. Salah satunya dengan melakukan sosialisasi 
kepada warga mengenai pengawasan partisipatif pemilu. 
Banyak cara untuk melakukan sosialisasi pengawasan pemilu, 
namun  metode yang dipilih haruslah unik dan tidak biasa. 
Metode sosialisasi yang selama ini sudah biasa dilakukan 
yaitu  dengan cara mengundang orang kesebuah tempat di 
mana telah dihadirkan narasumber/pemateri. Para peserta 
sosialisasi yang hadir diberi ceramah atau materi sosialisasi. 
Setelah itu ada sesi penyampaian pertanyaan atau tanggapan 
dari peserta ke pemateri. Pertanyaan/tanggapan dari peserta 
itu dijawab/ditanggapi oleh pemateri. Setelah itu acara selesai. 
Metode seperti itu sah dan boleh-boleh saja.Hanyasaja dari sisi 
metode sudah menjadi sesuatu yang biasa dan mudah saja.
Untuk itulah Bawaslu Jawa Tengah ingin ada metode-metode 
lain dalam melakukan sosialisasi. Harus ada usaha  yang unik 
dan berbeda dari biasanya. 
Beberapa metode sosialisasi pengawasan partisipatif 
dalam Pemilu serentak 2019 yang dilakukan Bawaslu Jawa 
Tengah antara lain: 
- Kartun Kawal Pemilu 
Bawaslu Jawa Tengah melibatkan para kartunis untuk ikut 
sosialisasi pengawasan pemilu. Para kartunis diberi materi 
pengawasan pemilu kemudian mereka membuat karya kartun 
pengawasan pemilu. 
- Dengan  Sajak, Kita Mengawasi Pemilu
Bawaslu Jawa Tengah mengajak para penyair untuk ikut 
membuat karya bertema pengawasan pemilu. Publik secara 
umum maupun penyair bisa mengirimkan puisi pengawasan 
pemilu. Karya-karya itu diseleksi untuk diterbitkan dalam 
sebuah buku. Peluncuran buku dilakukan di Gedung RRI 
Semarang.
- Sosialiasasi dengan kelompok sasaran/komunitas-
komunitas seni budaya, kelompok marjinal, warga 
terpinggirkan, dan lain-lain. 
Bawaslu Jawa Tengah melakukan sosialisasi pengawasan 
pemilu kepada kelompok warga atau komunitas-
komunitas yang selama ini  berada  dalam kategori warga 
pinggiran/kelompok marjinal. Pemilu bukan saja urusan 
para elite politisi, kampus, atau penyelenggara pemilu saja, 
namun  kelompok  warga  juga harus dilibatkan dalam 
pengawasan pemilu. 
- Ketoprak Pengawasan Pemilu
Sosialisasi pengawasan pemilu juga dilakukan melalui 
pagelaran ketoprak. Adegan ketoprak diambil dari tema-tema 

  
pengawasan pemilu. Melalui cara ini diharapkan warga 
bisa tertarik dengan pengawasan pemilu. Sosialisasi 
pengawasan pemilu tak hanya melalui ceramah tapi melalui 
pagelaran ketoprak, halmanasesuai dengan budaya lokal di 
Jateng. 
- Mural Pengawasan Pemilu
Bawaslu mengundang para pekerja seni mural untuk membuat 
karya-karya gambar yang isinya yaitu  pengawasan pemilu. 
Gambar mural itu dipajang untuk umum agar publik bisa 
meresapi isinya.
- Sosialisasi melalui gelar budaya 
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah dan Bawaslu Kabupaten/Kota 
di Jawa Tengah juga menggelar sosialisasi pengawasan pemilu 
melalui gelar budaya. Masing-masing kabupaten/kota memilih 
gelar budaya sesuai dengan lokalitas masing-masing.
Selain itu masih banyak lagi metode sosialisasi yang 
dilakukan Bawaslu Jawa Tengah dalam Pemilu serentak 2019.
sebab  keterbasatan penulisan, dalam karya tulis ini Penulis 
tidak bisa menulis semua kegiatan sosialisasi yang sudah 
dilakukan. Penulis hanya akan fokus menuliskan secara 
detail tiga kegiatan, yakniKartun Kawal Pemilu (KAKAP); 
Dengan Sajak, Kita Mengawasi Pemilu; dan Sosialisasi dengan 
Kelompok Sasaran. 
1. Kartun Kawal Pemilu (KAKAP). 
Bawaslu Provinsi Jawa Tengah menggandeng para 
kartunis untuk melakukan kegiatan sosialisasi pengawasan 
partisipatif. Menurut Kamus Besar Bahasa negara kita (KBBI), 
kartun yaitu  gambar dengan penampilan yang lucu, 
berkaitan dengan keadaan yang sedang berlaku (terutama 
mengenai politik). (6)Kartun juga disebut-sebut bagian dari 
produk jurnalistik yang selama ini menghiasi halaman media 
massa. Kartun bagian dari gambar kreatif, unik, dan nyeleneh. 
Biasanya, materi kartun terkait dengan isu-isu aktual yang 
sedang  menjadi perbincangan publik.  Tidak hanya menghibur, 
kartun juga berisi kritikan hingga sindiran kepada pihak-pihak 
tertentu. Kartun juga bisa berisi candaan yang ujungnya bisa 
untuk kritik sosial.
Sebelum pelaksanaan kegiatan, Bawaslu Jawa Tengah 
melakukan pendekatan kepada kartunis. Bawaslu Jawa Tengah 
bertemu dengan Abdul Arif, kartunis muda di Semarang yang 
juga menjadi Ketua Gold Pencil. Gold Pencil yaitu  sebuah 
organisasi yang menaungi para kartunis di Kota Semarang. 
Bawaslu Jawa Tengah perlu meyakinkan Arif dan kawan-
kawannya terkait dengan pentingnya pengawasan pemilu. 
Maklum, seringkali urusan pemilu hanya dilekatkan kepada 
penggiat pemilu, akademisi, LSM, dan penyelenggara pemilu. 
Sementara, para kartunis yang selama ini masuk dalam 
kategori pengiat seni, merasa jarang sekali dilibatkan dalam 
urusan kepemiluan. 
Singkatnya, Bawaslu Jawa Tengah dan Gold Pencil 
sepakat menggelar kegiatan bersama. Konsep dan 
perencanaan kegiatan dirancang secara bersama-sama. Soal 
keterbatasan anggaran tidak jadi masalah. Bawaslu Jawa 
Tengah hanya memiliki anggaran untuk kertas dan alat tulis 
untuk para kartunis, tempat, dan konsumsi para kartunis serta 
uang pengganti bensin untuk para peserta kartunis. Tidak ada 
anggaran untuk honor penghargaan karya-karya kartun.  
Agar kegiatan bersifat terbuka dan melibatkan 
publik, Bawaslu Jawa Tengah bersama dengan Gold Pencil 
membuka pendaftaran secara terbuka. Publik, baik kartunis 
yang sudah profesional maupun yang masih dalam tahap 
belajar,dipersilakan ikut mendaftarkan diri menjadi peserta 
kegiatan. 

  
Kesempatan mendaftar berlangsung selama 10 hari, 
yakni 1-10 November 2019. Hasilnya, ada 120 orang yang ikut 
mendaftarkan diri. sebab  kuota peserta hanya 100 orang, 
Gold Pencil dan Bawaslu melaksanakan proses seleksi. Peserta 
yang lolos kemudian diumumkan melalui situs website. (7)
Hingga akhirnya, acara Kartunis Kawal Pemilu (KAKAP) 
bisa terlaksana pada 19 November 2019 pukul 09.00-14.00 
WIB di Aula Hotel Semesta Semarang.  Rangkaian acaranya 
yaitu  pemberian materi dan menggambar kartun bersama. 
Pemberian materi disampaikan tiga orang, yakni mr.soebandrijo  
(Bawaslu Jawa Tengah), Abdul Arif (Ketua Gold Pencil), dan Jitet 
Kustana (mantan kartunis Kompas yang meraih rekor MURI 
sebagai pemenang terbanyak lomba kartun). 
Penyampaian materi dan sesi dialog hanya berlangsung 
sekitar 45 menit. Terbilang sebentar sebab  penyampaian 

materi hanya sebagai prolog untuk para kartunis sebelum 
menggambar di atas kertas. Penyampaian materi hanya untuk 
memberikan gambaran terkait dengan pelaksanaan Pemilu 
2019 dan urgensi pengawasan pemilu.
Setelah penyampaian materi selesai, dilanjutkan 
proses menggambar kartun bersama. Sebanyak 100 kartunis 
menggelar kertas masing-masing untuk menggambar. Dari 
sisi usia, kartunis yang ikut sangat beragam. Ada yang masih 
pelajar tingkat SMP, SMA, hingga mahasiswa. 
Ada pula kartunis senior yang selama ini sudah 
malang melintang sebagai kartunis di media massa umum. 
Di antaranyayaitu  Agung S W (Salatiga), Agus Eko 
Santoso (Demak), Boedy HP, Danny Yustiniadi, Darsono, 
Heru Garsita, Imam Syahri, Kustiono, Partono, Sardi A. F., 
Sudarmanto,Suratno, Jitet Kustana (Semarang), dan Djoko 
Susilo (Kendal). Di antara 100 kartunis itu, ada dua peserta 
kartunis penyandang difabel. Keduanya kakak-beradik yang 
hanya bisa duduk di kursi roda sambil menggambar kartun 
dengan isu  pengawasan pemilu. 
Sekitar dua hingga tiga jam berlangsung, 100 kartunis 
ini menggambar dengan berbagai isu masing-masing. Ada 
yang gambarnya berupa tolak politik uang, bahaya isu SARA 
dan hoaks di pemilu, soal tingkah polah wakil rakyat yang 
menggemaskan publik, soal pelanggaran kampanye, serta 
isu-isu pentingnya pengawasan pemilu. Ketua Bawaslu RI 
Abhan yang ada  di Semarang ikut datang ke lokasi acara dan 
menyampaikan  apresias i atas karya-karya  para  kartunis. 
Setelah selesai menggambar, kartun-kartun ini 
dikumpulkan panitia. Sesuai dengan rencana, karya kartun akan 
dipamerkan di Kantor Bawaslu Provinsi Jawa Tengah. sebab  
ada 100 karya kartun sehingga tidak mungkin jika jumlah ini 
diikutkan pameran semuanya. Dilakukanlah proses seleksi 
yang dilakukan secara bersama-sama oleh Fajar Saka, Anik 
Sholihatun, mr.soebandrijo  (Bawaslu Jawa Tengah), Abdul Arif, dan 
Jitet Kustana. Dari 100 karya itu diambil 50 karya yang terbaik. 
Sebanyak 50 karya lainnya sebenarnya juga cukup baik.Hanya 
sebab  keterbatasan ruang dan instalasi pameran maka hanya 
50 karya yang akan dipamerkan. 

  
Pameran kartun tentu butuh etalase atau alat-alat 
untuk memajang karya. Bawaslu-Gold Pencil tidak memiliki 
anggaran untuk pengadaan/membeli peralatan ini . 
Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya Bawaslu-Gold 
Pencil mengetahui adanya peralatan pameran yang dimiliki 
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang. Saat itu juga, 
Bawaslu Jawa Tengah berkomunikasi dengan Ketua AJI Kota 
Semarang Edi Faisol terkait dengan rencana peminjaman 
alat-alat untuk pameran. AJI Kota Semarang membolehkan 
peminjaman itu dengan syarat alat-alat ini  diambil dan 
dikembalikan sendiri oleh Bawaslu Jawa Tengah. 
Sampailah  pada persiapan pelaksanaan pameran kartun 
kawal pemilu. Secara teknis, para staf Bawaslu Jateng dan para 
pengurus Gold Pencil menyiapkan pameran ini . Ruangan 
Bawaslu Jawa Tengah yang luasnya hanya sekitar 6 meter x 
5 meter disulap menjadi ruang pameran. Beberapa etalase 
dipasang di ruangan ini . 
Hingga akhirnya pada Sabtu malam  (24 November 2018), 
pameran kartun pengawasan pemilu dibuka Ketua Bawaslu 
Jawa Tengah Fajar Saka. Pameran pertama kali yang digelar 
di Bawaslu Jawa Tengah ini dibuka di depan ruang pameran 
dengan diisi beberapa acara, mulai dari sambutan hingga 
hiburan musik. Pameran ini terbuka untuk umum sepanjang 
24-30 November 2019. Selama pameran berlangsung, setiap 
hari selalu ada pengunjung yang menyaksikan pameran kartun 
ini , baik dari warga umum, pelajar, aktivis, maupun 
kalangan jurnalis yang meliput pameran ini. 
Pada saat Bawaslu menyebarkan poster pengumuman 
pameran, ada seorang angggota kepolisian di Kota Magelang 
mempersoalkan gambar poster kartun pameran yang 
menggambarkan satu mata. Di dalam satu mata ini  ada 
transaksi politik uang. Anggota polisi ini  menilai bahwa 
kartun satu mata ini  menggambarkan mata Dajjal. Selain 
itu juga ada protes dari Temanggung yang menilai bahwa 
kartun satu mata ini  sebagai simbol ajaran Illuminati. 
Pada saat Bawaslu Jawa Tengah mendengar adanya isu 
seperti itu, BawasluJawa Tengah segera melakukan tindakan 
antisipasi. Yang ditempuh yaitu  dengan cara membuat poster 
baru untuk disebarkan kepada publik. Jadi, sosialisasi adanya 
pameran memakai  dua poster. Cara ini  mampu 
menghentikan tudingan tidak baik terkait dengan acara 
pameran kartun kawal pemilu ini. 
Dengan berbagai keterbatasan, pameran digelar di 
Kantor Bawaslu Jawa Tengah. Dari sisi bentuk gedung, Kantor 
Bawaslu Jawa Tengah yang terletak di Jalan Papandayan 
Selatan Nomor 1 Semarang, jauh dari harapan sebagai ruang 
pameran yang ideal. Kantor menempati sebuah rumah yang 
sebelumnya yaitu  rumah dinas Ketua DPRD Provinsi Jawa 
Tengah. Dari sisi ketersediaan ruang, tentu jauh dari ideal. 
Ruang pameran memakai  ruang tamu. Beberapa 
kursi dan meja disingkirkan untuk ditempati etalase guna 

  
memajang karya-karya kartun kawal pemilu. Jadilah, ruang 
tamu Bawaslu Tengah disulap menjadi ruang pameran pada 
24-30 November 2018. Pigura dipajang di etalase yang dijejer 
di beberapa sudut ruangan.
sebab  jumlah pengunjung masih saja ada, pameran 
kartun ini diperpanjang selama sepekan. Hal ini untuk 
memberikan kesempatan kepada para penikmat seni untuk 
datang ke Kantor Bawaslu Jawa Tengah. 
Selain  pameran, karya-karya kartun bertema 
pengawasan pemilu ini juga dijadikan sebagai alat sosialisasi 
kepada publik melalui penyebaran di media sosial. Selama 
beberapa hari, akun media sosial Bawaslu di Jawa Tengah 
menviralkan  kartun-kartun ini . 
Selain itu, karya-karya kartun ini juga dikumpulkan, di-
scan menjadi PDF, lalu kumpulan kartun ini dijadikan menjadi 
sebuah buku. sebab  keterbatasan anggaran, buku kartun 
pengawasan pemilu itu hanya ada dalam bentuk PDF atau 
e-paper. Publik bisa mengunduh secara gratis buku ini  
melalui laman: www.ppid.jateng.bawaslu.go.id. Klik menu 
Informasi Berkala, lalu klik kolom Buku. Di deretan inilah, ada 
buku Kartun Kawal Pemilu.
Ketua Gold Pencil Semarang, Abdul Arif menyatakan, 
kegiatan Kartun Kawal Pemilu (KAKAP) menjadi terobosan 
Bawaslu Jawa Tengah dalam melaksanakan sosialisasi 
pengawasan partisipatif. Bawaslu menggandeng komunitas 
kreatif untuk membuat konten menarik berisi materi 
pengawasan pemilu. (9)
Dari segi teknis, kata Arif, pelaksanaan kegiatan Kartun 
Kawal Pemilu (KAKAP) sudah baik. Hanya saja, kata dia, 
durasi waktu pada saat kegiatan masih kurang. "Para kartunis 
menerima materi tentang pengawasan Pemilu sudah cukup, 
tapi butuh waktu yang cukup untuk menerjemahkannya 
dalam bentuk karya," kata Arif. Menurut Arif, ke depan harus 
dimaksimalkan  lagi  waktunya agar karya-karya yang dihasilkan 
lebih  baik  untuk  menyuarakan  pengawasan pemilu. 
Hal lain yang menjadi evaluasi Arif terkait dengan 
keberadaan anggaran yang terbatas dan media publikasinya. 
Pameran offline membutuhkan banyak biaya. Pengurus Gold 
Pencil dan Bawaslu Jateng harus pontang-panting untuk 
menyelenggarakan pameran kartun pengawasan pemilu. 
"Mungkin media sosial dan website bisa dioptimalkan untuk 
menampilkan  karya  kreatif  pengawasan partisipatif,"  kata 
Arif. 
Evaluasi pembelajaran lainnya terkait dengan bekal 
pengawasan yang dimiliki teman-teman kartunis hanya berhenti 
di kegiatan melahirkan karya dan pameran saja. "Seharusnya 
mereka ikut aktif dalam pengawasan dengan kreativitas yang 
mereka miliki. Perlu sinergi agar bisa berkelanjutan," kata 
Arif.  Misalnya, para kartunis juga harusnya terlibat dalam 
melaporkan jika mengetahui adanya dugaan pelanggaran. 
Namun, kata Arif, para kartunis lebih memilih melakukan 
pencegahan dibandingkan  melaporkan dugaan pelanggaran pemilu. 
Kata Arif, melaporkan dugaan pelanggaran pemilu berpotensi 
menemui berbagai hambatan dan kerumitan sebab  harus 
diperiksa, diklarifikasi, dan lain-lain. Arif yang juga berprofesi 
sebagai jurnalis ini berharap agar ke depan, Bawaslu di Jawa 
Tengah perlu menggandeng komunitas kreatif lainnya agar 
pengawasan lebih variatif.Kegiatan pelibatan kartunis dalam 
9 Wawancara Ketua Gold Pencil Abdul Arif pada 10 Oktober 2019. 
 
81
mengawasi pemilu ini mendapat banyak sorotan dari media 
massa.Suara Merdeka, misalnya, menulis berita berjudul: 
"Mengawal Pemilu lewat Gambar Satire". (10)
2. Puisi Pengawasan Pemilu 
Bawaslu   Jawa  Tengah  melakukan   sosialisasi 
pengawasan pemilu  partisipatif  melalui puisi. Dalam 
sejarahnya, puisi sering kali menjadi karya sastra untuk 
menghibur, menyuarakan kritik, hingga alat untuk perlawanan 
terhadap kezaliman. Banyak karya sastra puisi yang isinya 
yaitu  untuk perjuangan. 
sebab  itulah, Bawaslu Jawa Tengah juga ingin 
memakai  puisi untuk sosialisasi pengawasan pemilu. Untuk 
keperluan ini, Bawaslu Jawa Tengah berkolaborasi dengan 
Persatuan Wartawan negara kita (PWI) Provinsi JawaTengah 
yang diketuai Amir Machmud dan Komunitas Lereng Medini 
(KLM) Kendal, Jawa Tengah, yang digawangi Heri  Condro 
Santoso (penyair dan wartawan di Semarang). 
Perencanaan kegiatan ini dilakukan secara singkat. 
Dari sisi waktu pelaksanaan berhimpitan dengan adanya 
hari raya lebaran Idul Fitri. Untuk mematangkan rencana 
kegiatan, Bawaslu Jawa Tengah berdiskusi denganWidiyartono 
Radyandan Heri C Santoso. Widi yaitu  pengelola rubrik 
Budaya Koran Harian Wawasan. Dia juga menggawangi Divisi 
Budaya Pengurus PWI Jawa Tengah. sebab  Ketua PWI Jawa 
Tengah Amir Machmud sibuk maka urusan rencana kegiatan 
puisi pengawasan  pemilu diserahkan kepada Widi.
Bawaslu yang diwakili mr.soebandrijo  berdiskusi dengan Widi 
dan Heri C Santoso terkait dengan perencanaan acara ini . 
Tiga orang ini sepakat untuk membuat puisi pengawasan 
pemilu. Konsepnya yaitu  membuka ruang pelibatan kepada 
publik untuk ikut pembuatan puisi pengawasan pemilu. Panitia 
kegiatan membuka pintu selebar-lebarnya kepada khalayak 
umum untuk membuat karya puisi dengan tema pengawasan 
pemilu. Panitia akan menerima kiriman puisi dari khalayak. 
10 https://www.suaramerdeka.com/index.php/smcetak/baca/150972/
mengawal-pemilu-lewat-gambar-satire. 
82
  
Pembuatan puisi ini tak hanya untuk mereka yang sudah 
terbiasa membuat puisi atau para penyair. warga  umum, 
pelajar, maupun penyelenggara pemilu dipersilakan untuk 
membuat sajak-sajak puisi dan mengirimkan ke panitia. 
Poster  undangan  mencipta  puisi  dengan   tema: 
“Dengan Sajak, Kita Mengawasi Pemilu” disebarkan kepada 
publik. 
Meski  dibuka untuk umum, pembuatan puisi tidak 
dengan sistem lomba. Tidak ada pemenang yang memperoleh  
hadiah. Para penulis buku hanya diapresiasi pemuatan karya 
puisinya dalam buku yang diterbitkan Bawaslu Jawa Tengah. 
Penulis puisi tidak diberi honor. Selain sebab  keterbatasan 
anggaran juga ingin mengukur seberapa jauh antusiasme 
publik atas keterlibatannya  dalam isu  pengawasan pemilu. 
Setelah proses pengumuman berjalan, ternyata 
antusiasme publik untuk mengirim puisi pengawasan pemilu 
 
83
terbilang banyak. Ada 110 orang yang mengirimkan puisi 
di kegiatan ini. Jumlah  puisi yang dikirim mencapai 150 
puisisebab  satu orang penyair ada yang mengirim dua puisi. 
Sesuai dengan ketentuan, setiap satu orang penyair hanya 
boleh mengirim maksimal dua karya puisi. 
sebab   jumlah puisi  yang dikirim penyair  sangat banyak, 
sementara buku yang akan diterbitkan sangat terbatas, maka 
dilakukan proses penyeleksian. (11)Proses seleksi puisi dilakukan 
tiga orang, yakni Widiyartono Radyan, Heri C Santoso, dan 
Hendry TM (Ketua Dewan Kesenian Semarang). 
Terpilihlah sebanyak 113 karya puisi yang kemudian 
dikumpulkan menjadi antologiyang akan diterbitkan menjadi 
buku. Bawaslu meminta tolong ke seorang layouter untuk 
mendesain buku antologi ersebut. Waktu desain buku hanya 
tiga hari. 
Singkat cerita, kumpulan puisi inilah yang kemudian 
diluncurkan  kepada publik pada Rabu,26 Desember 2018 pukul 
18.00 WIB di Gedung RRI, Kota Semarang, Jawa Tengah. Tempat 
peluncuran buku puisi sengaja dipilih di RRI sebab : 1). RRI 
memiliki sejarah panjang terkait dengan dunia kebudayaan dan 
sastra sehingga tempat ini pas jika dipakai  untuk launching 
buku puisi pengawasan; 2). RRI bisa melakukan siaran langsung 
untuk menyiarkan acara peluncuran buku puisi ini . 
Rangkaian acara antara lain launching buku puisi, 
pembacaan puisi dengan diiringi musikalisasi puisi, dan orasi 
kebudayaan dari Ketua Bawaslu Jawa Tengah Fajar Saka, Ketua 
PWI Jawa Tengah, dan Ketua Dewan Kesenian Kota Semarang 
(Dekase) Handry TM.
Dalam catatan Bawaslu Jawa Tengah, inilah buku puisi 
pengawasan pertama kali yang diterbitkan Bawaslu Provinsi 
Jawa Tengah. Dari sisi penerbit, buku ini diterbitkan Bawaslu 
Jawa Tengah dengan PWI Jawa Tengah. 
Buku ini berjudul: “MATA SAJAK; Antologi Puisi 
Pengawasan Pemilu”.Kalimat “Mata Sajak” diambil dari puisi 
salah satu peserta, Roso Titi Sarkoro. Versi PDF atau e-paper 
bukubisa diunduh secara gratis melalui laman: www.ppid.
11 http://jateng.bawaslu.go.id/2018/12/26/daftar-penyair-yang-karyanya-
diterbikan-dalam-antologi-puisi-pengawasan-pemilu/
84
  
jateng.bawaslu.go.id. (12)
Bawaslu Jateng terkejut sebab  pengirim sajak 
pengawasan pemilu terbilang banyak. Semula, Bawaslu 
Jateng agak pesimis apakah para penyair mau membuat dan 
mengirimkan sajak pengawasan pemilu ke Bawaslu Jawa 
Tengah. Isu pengawasan pemilu bukanlah sesuatu yang sering 
jadi pembahasan para penyair. Selain itu, ajang ini juga bukan 
lomba yang menyediakan hadiah. Tak dinyana, pengirim 
sajak membludak. Bahkan persebarannya terbilang luas. Tak 
hanya dari Jawa Tengah namun  juga dari provinsi lain.Para 
penyair yang mengirimkanpuisinyaberasaldari Jakarta, Brebes, 
Temanggung, Semarang, Wonogiri, Yogjakarta, Salatiga, 
Pekanbaru, Rembang,dan lain-lain. Bahkan, ada penulis asal 
negara kita yang saat ini berdomisili di Swiss, ikut mengirim 
karya,yaitu Sigit Susanto.Beberapa nama penyairbeken lainnya 
yang ikut berpartisipasi antara lain Roso Titi Sarkoro,Joshua 
Igho, Candra Harjamto, Soekoso DM, Amir Machmud, 
danBambang Supranoto. 
Secara umum, buku antologi ini sangat kaya warna 
sebab  diikuti oleh mereka yang penyair dan bukan penyair. 
Bawaslu Jawa Tengah sengaja melibatkan publik secara 
umum untuk mencipta sajak pengawasan pemilu. Bawaslu 
Jawa Tengah menyatakan bahwa pencegahan pelanggaran 
pemilu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Tak hanya melalui 
sosialisasi di diskusi atau seminar, namun  juga bisa melalui 
sajak-sajak pengawasan pemilu.Penyadaran orang per orang 
tak melulu melalui proses ceramah atau anjuran-anjuran dalam 
acara diskusi dan seminar. 
Lebih dari itu, pesan-pesan dorongan pemilu bersih 
dan bermartabat juga bisa digaungkan melalui karya-karya 
puisi. Kampanye menyuarakan kebenaran tidak hanya bisa 
melalui ceramah di seminar tapi juga bisa melalui penciptaan 
sajak-sajak.Melalui puisi, Bawaslu Jawa Tengah bermaksud 
mengingatkan kepada para peserta pemilu dan warga 
umum bahwa pemilu harus dilakukan secara jujur, adil, bersih, 
dan berintegritas.
12 https://ppid.jateng.bawaslu.go.id/informasi-berkala/#tab-id-3
 
85
Penyair Heri C Santoso mengapresiasi program puisi 
pengawasan pemilu yang dibuat Bawaslu Jateng. “Di tengah 
masih minimnya pendidikan politik pada warga, Bawaslu 
mampu menjadi semacam ‘suluh’ bagi masih remang-
remangnya iklim demokrasi substansial. Melalui medium 
puisi, Bawaslu Jateng menunjukkan bahwa aspek kebudayaan 
menjadi satu pilar penting dalam mengawal ‘pesta’ demokrasi,” 
kata Heri. 
Menurut Heri, "pesta" itu benar-benar dapat dirayakan 
seluruh lapisan warga, bukan oleh para petualang politik. 
Pengawasan tak semata bisa ditegakkan melalui pasal-pasal 
dan aturan perundang-undangan. Aspek pencegahan dan 
pengawasan pun bisa tegas meski hanya dalam bentuk bait-
bait puisi yang reflektif. (13)
Heri  menyebut beberapa evaluasi terkait dengan 
kegiatan sosialisasi puisi. Misalnya; terkait dengan waktu yang 
tersedia sangat mepet. Heri dan kawan-kawan penyair hanya 
memiliki waktu sekitar dua pekan untuk persiapan. sebab  
waktunya sangat mepet maka terlihat tergesa-gesa. Selain 
itu, kegiatan seperti ini juga bisa dilakukan secara marak di 
kabupaten/kota di Jawa Tengah, tidak hanya di level Kota 
Semarang  sebagai ibu  kota provinsi. 
Dalam  kata  pengantar  buku “Mata Sajak”, Ketua 
PWI Jawa Tengah Amir Machmud, menyatakan bahwa puisi 
pengawasan pemilu ini yaitu  jeda hati di tengah musim 
verbalitas kritik, serangan oposisional, atau sengitnya cara 
bertahan di era media sosial yang banal. Amir Machmud 
menambahkan bahwa sesekali kita bicara tanpa lewat 
pertarungan struktur kalimat yang menohok dan tak jarang 
menyakiti. “Bukankah lewat puisi, kita bisa menghembuskan 
napas kritik, sekencang apa pun, dengan lembut? Lewat 
adonan kata, bukankah kita bisa mengajak pihak yang kita 
kritisi bersenyum, sekecut apa pun? Bawaslu dan PWI Jateng 
mencoba formula lain yang tidak normatif dari pengawasan 
penyelenggaraan pesta demokrasi tahun depan. Pastilah tak 
terhindarkan kita bicara politik, namun  lewat puisi”. (14)
13 Wawancara Heri C Santoso di Semarang, 2 Oktober 2019.
14 Dalam kata pengantar buku Mata Sajak. Roso Titi Sarkoro, dkk., Mata 
86
  
Cara Bawaslu Jawa Tengah melakukan sosialisasi 
pengawasan melalui puisi memperoleh  apresiasi dari media 
massa. Rakyat Merdeka  Online Jawa Tengah, misalnya, 
menulis berita dengan judul: “Antologi Puisi Bawaslu, Cara 
Efektif Sentuh Hati warga . (15)
3. Sosilisasi Kelompok Sasaran. 
Kegiatan sosialisasi seringkali terjebak pada acara-acara 
seremoni dalam bentuk diskusi ataupun seminar. Sosialisasi 
seringkali hanya dengan cara mengumpulkan peserta di sebuah 
tempat. Panitia menyediakan narasumber/pemateri untuk 
menyampaikan materi sosialisasi. Peserta yang diundang 
dalam acara sosialisasi terkadang hanya lembaga, organisasi 
kewargaan, lembawa swadaya warga, perguruan 
tinggi, media, pegiat pemilu, dan lain-lain. Peserta datang 
mewakili lembaga/organisasi. 
Bawaslu Jawa Tengah ingin agar sosialisasi pengawasan 
pemilu dilakukan tidak hanya dengan metode pemberian 
materi melalui diskusi/seminar. Lebih dari itu, Bawaslu Jawa 
Tengah ingin melibatkan kelompok warga agar terlibat 
aktif dalam pengawasan pemilu. Organisasi/kelompok yang 
dilibatkan tidak hanya lembaga/organisasi formal yang ada. 
Bawaslu Jawa Tengah mengindentifikasi kelompok-
kelompok seni budaya, kelompok marjinal, kelompok pekerja 
seni kreatif, kelompok disabilitas, warga terpinggirkan, 
warga bawah, dan lain-lain. Harus diakui, kelompok-
kelompok ini jarang dilibatkan dalam urusan kepemiluan. 
Dampaknya, selama ini urusan pemilu seperti menjadi 
urusan kelompok tertentu saja,  yakni kelompok elite 
dengan pendidikan tinggi. Padahal, kelompok warga 
yang bergelut di seni budaya ini juga layak dilibatkan dalam 
pengawasan pemilu.  sebab  urusan pemilu sebenarnya tak 
hanya melulu urusan para elite politik, kampus, organisasi 
kewargaan, dan media massa.
Sajak (Antologi Puisi Pengawasan Pemilu, Semarang, kerjasama Bawaslu 
Jawa Tengah-PWI Jawa Tengah, 2018.
15 http://www.rmoljateng.com/read/2018/12/26/15379/Antologi-Puisi-
Bawaslu,-Cara-Efektif-Sentuh-Hati-warga -
 
87
Untuk itulah, dalam melakukan kegiatan sosialisasi, 
Bawaslu Jawa Tengah melibatkan kelompok warga yang 
selama ini belum banyak disentuh dan dilibatkan dalam urusan-
urusan kepemiluan. Mereka ikut dilibatkan secara langsung 
dalam acara sosialisasi. Teknik yang dilakukan yaitu  dengan 
cara mengajakmerekaberdiskusi. Dari hasil diskusi itulah 
nantinya lahir ide-ide kreatif untuk menggelar acara secara 
bersama-sama. Jadi, pelibatan kelompok sasaran tidak hanya 
dilakukan dengan cara mengundang mereka, lalu Bawaslu 
Jawa Tengah memberikan materi. 
Lebih dari itu, Bawaslu  Jawa  Tengah  mengajak 
kelompok sasaran itu untuk melahirkan ide secara bersama-
sama. Satu sisi mereka masih tetap bisa eksis dan enjoy untuk 
melahirkan karya-karya seni. Di sisi lain, Bawaslu Jawa Tengah 
juga bisa menghasilkan konsolidasi dengan para pekerja 
seni itu. Para pekerja seni juga merasa diberi wahana untuk 
menghasilkan karya bersama dengan Bawaslu Jateng. Bagi 
Bawaslu Jawa Tengah, yang terpenting karya-karya yang 
dihasilkan itu mengandung materi, konten, atau substansi 
pengawasan pemilu. Beberapa kelompok sasaran yang 
dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi itu antara lainkelompok 
tani, kelompok aliran kepercayaan, tukang becak, guru, pegiat 
media sosial, nelayan, pemuda, buruh, pelajar, penyandang 
disabilitas, mahasiswa, pekerja seni kreatif, danpedagang. 
Mereka dilibatkan untuk bersama-sama ikut sosialisasi 
pengawasan pemilu. Karya-karya pekerja seni dan budaya diisi 
dengan materi pengawasan pemilu. Karya ini bisa disebar ke 
publik  menjadi  bahan  sosialisasi  pengawasan  pemilu. 
VII. CATATAN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN 
Sosialisasi harus membumi 
Kegiatan sosialisasi pengawasan  pemilu  yang  melibatkan 
bidang seni dan budaya menjadi hal baru bagi Bawaslu di Jawa 
Tengah. Jika selama ini pemilu dianggap sebagai urusan yang 
serius, urusan kaum terdidik, dan menjadi pembicaraan kaum 
elite; maka dengan melibatkan seni dan budaya,  Bawaslu Jawa 
Tengah ingin agar sosialisasi pengawasan pemilu dilakukan 
secara membumi. Kegiatan sosialisasi harus dilakukan 
88
  
sesuai dengan kondisi dan situasi di wilayah masing-masing. 
Bahkan sosialisasi haruslah mempertimbangkan potensi dan 
keunggulan di wilayah masing-masing. Hal ini penting agar 
sosialisasi yang dilakukan Bawaslu Jawa Tengah tidak dilakukan 
dengan cara yang melangit dan di awang-awang yang tidak 
mendasarkan pada basis sesuai dengan konteks warga 
yang ada.Untuk itu, sosialiasi harus  dilakukan secara membumi. 
Dengan begitu, peluang keberhasilan sosialisasi lebih besar 
sebab   sudah  mempertimbangkan situasi dan kondisi yang 
ada di warga.
Pelibatan peserta sejak perencanaan
Bawaslu sebagai lembaga independen negara yang 
bersifat badan publik harus membuka diri dengan cara 
melibatkan sebanyak-banyaknya kelompok warga 
dalam pengawasan pemilu. Termasuk di dalamnya yaitu  para 
pekerja seni budaya. Sosialisasi harus dilakukan dengan cara 
partisipatif. Partisipatif di sini harus dimaknai bahwa sosialisasi 
harus melibatkan kelompok warga sedini mungkin. 
Dalam tahapan perencanaan program kegiatan, Bawaslu 
Jawa Tengah mesti melibatkan kelompok warga yang 
hendak memperoleh  sosialisasi. Tujuannya agar kegiatan 
sesuai dengan yang  diharapkan kelompok warga. 
Tak hanyaitu, kegiatan yang  perencanaannya melibatkan 
kelompok warga, lebih berpeluang sesuai dengan 
konteks dan potensi warga yang ada. Model sosialisasi 
harus disesuaikan apa yang ada di bawah, bukan dengan cara 
dari atas dipaksakan ke bawah. 
Lahir karya-karya berisi pengawasan pemilu 
Metode melakukan sosialisasi sangatlah banyak. Akan 
namun  bagaimana jika karya itu yang menghasilkan tidak saja dari 
Bawaslu Jawa Tengah. Salah  satu tujuan pelibatan kelompok 
warga seni budaya dalam sosialisasi pengawasan pemilu 
yaitu   agar  mereka juga bisa melahirkan karya-karya seni 
yang berisi pengawasan pemilu. 
Satu  sisi  Bawaslu Jawa Tengah memberikan ruang 
kepada mereka untuk menghasilkan  karya sehingga 
keberadaan mereka juga merasa dihargai. Di sisi lain, Bawaslu 
Jawa Tengah juga akan memperoleh  karya-karya seni dan 
 
89
budaya  yang  kontennya yaitu  pengawasan pemilu. 
Harus diakui, jajaran Bawaslu di Jawa Tengah masih 
memiliki berbagai keterbatasan untuk menghasilkan karya-
karya alat peraga sosialisasi pengawasan pemilu yang unik dan 
kreatif. Sumber daya manusia yang ada belum memadai dan 
adanya keterbatasan anggaran.
Dengan  melibatkan    pelaku  seni  dan budaya, secara 
tidak langsung akan lahir karya-karya seni budaya yang isinya 
yaitu  pengawasan pemilu. Pada saat ini, di Kantor Bawaslu 
Jawa Tengah dan Kantor Bawaslu Kabupaten/Kota di Jawa 
Tengah banyak sekali konten-konten alat peraga kampanye 
sosialisasi pemilu. Karya itu ada yang dikumpulkan dan 
diterbitkan menjadi buku. Ada yang dipajang di kantor Bawaslu. 
Ada juga yang  menjadi  bahan  sosialisasi untuk diviralkan di 
media sosial.  
Pekerja seni belum sampai terlibat aktif melapor
Kegiatan Bawaslu Jawa Tengah melibatkan bidang seni 
budaya untuk sosialisasi pengawasan pemilu 2019 yaitu 
pengalaman yang pertama. Sebelumnya, pekerja seni dan 
budaya jarang dilibatkan dalam sosialisasi pengawasan pemilu. 
Dari sisi keterlibatan berbagai kegiatan dalam Pemilu 2019, 
para pekerja itu cukup aktif. Ketersediaan anggaran yang 
belum memadai tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk 
menggelar kegiatan bersama dengan Bawaslu Jawa Tengah. 
Dalam prosesnya, lahir berbagai karya seni sebagai alat 
sosialisasi. Namun, keterlibatan mereka baru sebatas untuk 
sosialisasi bersama-sama. Belum sampai pada level untuk 
terlibat aktif dalam melakukan laporan jika mereka mengetahui 
adanya dugaan pelanggaran pemilu.
Sesuai dengan aturan, Bawaslu bisa menangani dugaan 
pelanggaran dari dua jalur, yakni temuan (dugaan pelanggaran 
yang ditemukan jajaran pengawas pemilu) dan laporan dari 
warga yang memiliki hak pilih, peserta pemilu, dan pemantau 
pemilu. 
Dalam konteks Pemilu 2019, tidak banyak pekerja 
seni dan budaya yang mau melaporkan jika ada dugaan 
pelanggaran pemilu. Para pekerja seni itu mengaku lebih 
memilih melakukan pencegahan agar pelanggaran itu terhenti 
90
  
dibandingkan  melaporkan dugaan pelanggaran pemilu itu ke Kantor 
Bawaslu. Alasannya, mereka tidak mau ribet terlibat dalam 
pengusutan kasus dugaan pelanggaran pemilu.   
Postur anggaran sosialisasi Bawaslu harus “membumi”
Kegiatan dengan melibatkan pekerja seni dan budaya 
membutuhkan dukungan anggaran, baik anggaran untuk 
pelaksanaan kegiatan, mengumpulkan orang, maupun 
anggaran untuk pembelian berbagai perangkat untuk bahan 
sosialisasi. Selama ini, anggaran sosialisasi pengawasan pemilu 
di Bawaslu Jawa  Tengah yang postur anggarannya masih 
hanya berupa paket pertemuan yang digelar di hotel atau ruang 
sewa. Untuk anggaran-anggaran lain tidaklah tersedia. Untuk 
membeli peralatan terkadang tidak ada di postur anggaran. 
Untuk itu, ke depan, postur anggaran sosialisasi pengawasan 
pemilu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. 
Agar anggaran yang ada benar-benar bisa untuk memenuhi 
kebutuhan sosialisasi.
VIII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 
Sosialisasi melalui seni budaya yaitu cara baru 
untuk melibatkan warga dalam pengawasan pemilu. 
Sosialisasi dialkukan dengan melibatkan warga sebagai 
subyek. Sosialisasi tidak hanya dengan cara diskusi dan ceramah 
yang cenderung memposisikan warga sekedar menjadi 
obyek. Di sisi lain, sosialisasi seni dan budaya berpotensi 
menjadi cara yang unik dan kreatif. Melalui seni dan budaya 
inilah akan lahir karya-karya seni yang berkonten pengawasan 
pemilu. Sosialisasi yang unik dan kreatif perlu dilakukan agar 
sosialisasi bisa berhasil sebab  bisa memperoleh  perhatian 
publik. 
Bawaslu Jawa Tengah sebagai badan publik juga wajib 
melibatkan publik untuk sosialsisasi. Bahkan, kelompok 
warga itu harus dilibatkan sejak perencanaan kegiatan 
sosialisasi. warga  tidak hanya sekadar diundang pada 
saat hari-H acara sosialisasi. Dengan begitu maka keberadaan 
kelompok warga itu bisa diakui dan eksistensinya bisa 
mencuat sebab  diberi ruang dan ajang oleh Bawaslu Jawa 
Tengah.
 
91
Pada saat yang sama, Bawaslu Jawa Tengah juga akan 
dimudahkan dalam melakukan sosialisasi kepada warga. 
Sebab, sosialisasi tidak hanya dilakukan Bawaslu Jawa Tengah 
sendirian. Lebih dari itu, kelompok pekerja seni juga akan ikut 
terlibat aktif dalam sosialisasi pengawasan pemilu. 
Adapun beberapa rekomendasi dalam artikel ini yaitu : 
- Pelibatan pekerja seni dan kelompok warga dalam 
sosialisasi pengawasan pemilu perlu terus dilebarkan. 
Masih banyak kelompok warga/pekerja seni tingkat 
lokal yang belum disentuh untuk ikut terlibat aktif 
dalam sosialisasi pengawasan pemilu. Sosialisasi perlu 
melibatkan seni dan budaya lokal danagar kegiatan ini bisa 
membumiperlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi 
lokal masing-masing. 
- Khusus untuk postur anggaran, sosialisasi pengawasan 
pemilu di Bawaslu Jawa Tengah harus dibuat sesuai dengan 
kebutuhan dan konteks di lapangan. Pekerja seni dan 
budaya membutuhkan alat-alat tertentu yang harus dibeli. 
Sementara postur anggaran sosialisasi di Bawaslu masih 
terpaku pada model sosialisasi diskusi/ceramah di hotel. 
Untuk itu, Bawaslu Jawa Tengah sudah mengalokasikan 
anggaran sosialisasi di kabupaten/kota kepada kelompok 
sasaran dengan model postur anggaran berupa paket. 
Meski anggaran paket, namun  Bawaslu kabupaten/kota di 
Jawa Tengah perlu untuk menyusun rincian penggunaan 
anggaran untuk kemudian di-review secara bersama-sama 
di Bawaslu Provinsi Jawa Tengah. 
- Waktu yang tersedia untuk melakukan sosialisasi haruslah 
lebih panjang. Dalam Pemilu 2019 lalu, waktu untuk 
melakukan sosialisasi terbilang singkat sebab  pemilu 
digelar pada April 2019. Anggaran di 2018 terpatok harus 
selesai digelar pada akhir Desember 2018. Sedangkan 
anggaran sosialisasi untuk tahun anggaran 2019 harus 
digelar sebelum April 2019. Sebab, April 2019 itu sudah 
pelaksanaan pemungutan suara. Padahal, anggaran 2019 
baru bisa cair sekitar akhir Pabruari atau awal Maret 2019. 
92
  
DAFTAR PUSTAKA 
Buku 
- IKP 2019: Indeks Kerawanan Pemilu Legislatif dan 
Pemilu Presiden, Bawaslu RI, Jakarta, Desember 2018.
- J.R, Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis 
Karakteristik dan Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, 
2013.
- Jacoby, B. & Associates. (2009). Civic Engagement 
in HigerEducation:  Concepts and  Practices. United 
States:Jossey-Bass A Wiley Imprint.
- Haryanto, Sosialisasi Politik: Suatu Pemahaman Awal, 
Yogjakarta: Penerbit Polgov, 2018.
- Kenneth P. Langton, Political Socialization (London: 
Oxford University Press, Inc., 1969). 
- Efriza, Political Ekplore: Sebuah Kajian Ilmu Politik, 
Alfabeta.CV, Bandung, 2012. 
Website: 
- https://kbbi.web.id/kartun
- http://jateng.bawaslu.go.id
- https://ppid.jateng.bawaslu.go.id/informasi-
berkala/#tab-id-3
Wawancara: 
- Wawancara Ketua Gold Pencil Abdul Arif pada 10 
Oktober 2019. 
- Wawancara Heri C Santoso di Semarang, 2 Oktober 
2019.


 
95
Desa  Massamaturu, 
Desa  Model  Pengawasan Partisipatif 
di Sulawesi  Selatan
oleh:  Saiful Jihad
I. PENDAHULUAN
Secara empirik, demokrasi yaitu sebuah 
system politik yang dipercaya dapat memberi ruang bagi 
keadilan dan persamaan bagi semua warga negara.Joseph 
Schumpeter memaknai demokrasi sebagai sebuah sistem 
untuk membuat keputusan-keputusan politik di mana individu-
individu memperoleh  kekuasaan untuk memutuskan melalui 
pertarungan kompetitif merebut suara rakyat (Schumpeter, 
2003: 09).
Ciri paling mendasar dari sebuah negara demokrasi 
yaitu  keberadaan pemilihan umum (pemilu).  Sekalipun pemilu 
bukan satu-satunya aspek dalam demokrasi, namun pemilu 
yaitu satu bagian yang sangat penting sebab  pemilu 
berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola 
dan arah kebijaka npublik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara 
periodik dan tertib (Surbakti dkk,2008).
negara kita, sebagai sebuah negara yang memilih 
demokrasi sebagai sistem dan patron dari tatakelola negara dan 
pemerintahan tentu saja dituntut untuk menghadirkan proses 
demokrasi itu sendiri tidak hanya sebatas prosedural dengan 
menghelat pemilu setiap 5 tahun. Hakikat dan subtansi dari 
demokrasi itu sendiri mesti hadir dan dihadirkan sehingga negara 
dan warga warga merasakan manfaat dari pilihan sistem 
ini .
96
  
Menghadirkan proses pemilu yang demokratis, 
salah satunya ditandai dengan adanya jaminan integritas 
penyelenggara pemilu, baik penyelenggara teknis (KPU), 
pengawasan (Bawaslu), dan penjaga etika penyelenggara 
agar tetap berada dalam koridor etika yang benar sebagai 
penyelenggara, yakni DKPP. Jaminan integritas ini, tidak hanya 
sebuah slogan verbalistik namun  mesti mewujud dalam setiap 
tindakan dan kebijakan yang dilahirkan.
Badan  Pengawas  Pemilu (Bawaslu)  sebagai   salah 
satu institusi yang dibentuk dan diberi amanah oleh negara 
untuk melakukan pengawasan di setiap tahapan proses 
pelaksanaan pemilu agar tetap sesuai dengan prosedur dan 
ketentuan yang diatur dalam UU dan peraturan lainnya, 
Bawaslu juga diberi mandat untuk melakukan berbagai usaha  
dan ikhtiar untuk mencegah terjadinya tindak pelanggaran 
atas norma dan regulasi pelaksanaaan pemilu, serta diberi 
kewenangan dan tugas untuk menyelesaikan sengketa proses 
dan memeriksa serta mengadili tindakan atau perbuatan yang 
dianggap melanggar ketentuan dalam peraturan (regulasi) 
yang ada.
Kewenangan Bawaslu serta Bawaslu Provinsi dan 
Kabupaten/Kota dijelaskan secara rinci dalam UU No. 7 
Tahun 2017, yang pada intinya meliputi: (1) kewenangan 
menerima dan menindaklanjuti temuan atau laporan yang 
berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan 
perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu; (2) 
memeriksa dan mengkaji pelanggaran pemilu di wilayahnya 
dan merekomendasikan hasil pemeriksaan dan kajiannya 
kepada pihak-pihak yang diatur dalam perundang-undangan; 
(3) menerima, memeriksa, memediasi, atau mengajudikasi dan 
memutus atas permohonan dan penyelesaian sengketa proses 
pemilu dalam wilayahnya; (4) merekomendasikan kepada 
instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan di 
wilayahnya terkait netralitas semua pihak yang dilarang ikut 
serta dalam kegiatan kampanye atau keberpihakan pada salah 
satu kontestan, sebagaimana yang diatur dalam perundang-
undangan pemilu.
 
97
Besarnya tugas dan kewenangan yang diberi  
kepada Bawaslu dan jajarannya, dibanding dengan 
luasnya wilayah teritorial, kesadaran warga untuk 
memahami aturan dan regulasi kepemiluan yang terbatas, 
tingkat kompleksitas proses pemilu dan tahapannya, serta 
kecenderungan beberapa pihak yang berkontestasi untuk 
berusaha memenangkan suara pemilih dengan berbagai cara, 
yang kadang secara sengaja melanggar aturan dan norma, 
tentu tidak bisa dan tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri 
oleh Bawaslu dan jajarannya. Oleh sebab  itu, Bawaslu mesti 
mampu  mengajak dan melibatkan berbagai pihak stakeholder 
pemangku kepentingan dan warga secara lebih luas 
untuk bersama-sama mengawal dan menjadi pengawas pemilu 
di setiap tingkatan dan di setiap tahapan.
Pelibatan warga dan stakeholder lainnya, tentu 
tidak bisa serta-merta hadir dan ada begitu saja, dibutuhkan 
strategi dan langkah-langkah nyata yang dilaksanakan dan 
diinisiasi oleh Bawaslu dan jajarannya di semua tingkatan. 
Pelibatan warga pada hakikatnya yaitu satu kewajiban 
Bawaslu sebagai fungsi yang terlembaga dalam pengawasan 
pemilu,sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 2017, 
pasal 448 ayat (1) “Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi 
warga”, dan pada ayat berikutnya (2) dijelaskan bahwa 
partisipasi warga ini  dapat dilakukan dalam bentuk: 
(a) sosialisasi; (b) pendidikan politik; (c) survei atau jajak pendapat 
tentang pemilu; (d) penghitungan  cepat hasil pemilu. Ketentuan 
tentang  bagaimana   warga  melakukan  partisipasi, 
dijelaskan di ayat (3) di pasal ini. Demikian pula penjelasan lebih 
lanjut  disebutkan  dalam   pasal 449 dan pasal 450 dalam Undang-
Undang.
keikutsertaan  warga, sebenarnya lebih pada 
penggunaan hak warga negara untuk mengawal hak pilihnya, 
yang sudah barang tentu berangkat dari setiaptahapan 
proses pemilu. Jadi, mesti ditegaskan, bahwa pelembagaan 
pengawasan pemilu dengan adanya Bawaslu,tidak serta-merta 
mengambil hak warga negara untuk melakukan fungsi kontrolnya 
dalam menjaga suara atau kedaulatan rakyat.
98
  
Pada dua perspektif inilah usaha  pelibatan warga 
yang dilakukan oleh Bawaslu, yakni adanya kewajiban Bawaslu 
untuk   melibatkan warga dan stakeholder lain dalam 
mengawal dan mengawasi proses pemilu serta hak rakyat untuk 
melakukan fungsi kontrol dalam menjaga suara dan kedaulatannya, 
dan pada dua perspektif inilah mesti dibangun dan dijadikan alas 
dalam program mendorong partisipasi warga mengawasi 
setiap tahapan dalam proses pemilu.
Di negara kita, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 
(BPS) tahun 2018, ada 83.931 wilayah administratif 
setingkat desa, yang terdiri atas 75.4436 desa, 8.444 kelurahan, 
serta 51 Unit Pemukiman Transmigrasi. Hal ini berarti jumlah 
penduduk terbesar di negara kita ada di wilayah pedesaan. Oleh 
sebab  itu, posisi desa sebagai wilayah yang memiliki populasi 
sebaran penduduk yang besar menjadi penting artinya dalam 
mendorong sebuah proses demokrasi yang benar-benar baik 
secara prosedur maupun subtansi. Hadirnya desa-desa yang 
merefleksikan proses demokrasi yang sehat dan baik, sudah 
barang tentu akan mempengaruhi kualitas demokrasi dalam 
warga bangsa secara keseluruhan.
Berangkat dari pemahaman ini, mendorong dan 
melakukan penguatan proses demokrasi di tingkat desa dalam 
perhelatan Pemilu 2019 menjadi sebuah ide dan sekaligus 
harapan yang dicoba diimplementasikan dan dikembangkan 
di salah satu desa di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi 
Selatan. Desa ini  yaitu  Desa Massamaturu, Kecamatan 
Polongbangkeng Utara,  Kabupaten  Takalar, sebagai  salah 
satu  desa model pengawasan  yang  berbasis  pada  partisipasi.
Bagaimana usaha dan strategi Bawaslu Takalar 
bersama Bawaslu Sulawesi Selatan mewujudkan harapan 
ini ? Apa respons dari pemerintah daerah dan pemerintah 
desa yang dijadikan pilot (percontohan), kegiatan-kegiatan 
apa saja yang dilakukan bersama untuk mewujudkan sebuah 
Desa Model Pengawasan dimaksud? Serta apakah dampaknya 
menonjol  dalam menciptakan proses pemilu yang bersih dan 
berkualitas? 
Penelitian ini mencoba menemukan data dan 
fakta untuk menjawab pertanyaan di atas, serta mencoba 
 
99
merumuskannya dalam bentuk tulisan sederhana, dengan 
harapan  dapat menginspirasi daerah atau desa lain agar dapat 
melakukan hal serupa, bahkan boleh jadi lebih baik dari apa 
yang dihadirkan oleh Desa Massamaturu.
Untuk memudahkan mengklasifikasi aktivitas 
partisipasi warga dalam melakukan usaha  pencagahan 
dan pengawasan dalam setiap tahapan pemilu, Peneliti 
cenderung memakai  teori yang dikemukakan oleh 
Almaond, yang dikutip  oleh  Mohtar  Mas’oed (2011: 57-58) 
yang    mengklasifikasi model dan bentuk partisipasi politik 
dalam dua bentuk, yaitu partisipasi dalam bentuk konvensional 
dan partisipasi dalam bentuk nonkonvensional. Namun dari 
aktivitas dan fakta yang terjadi di lapangan, partisipasi dalam 
bentuk nonkonvensional ini  tidak diitemukan, lebih 
banyak dalam bentuk partisipasi konvensional.
Adapun bentuk partisipasi politik konvensional 
meliputi: 
a) Pemberian suara atau voting
b) Diskusi politik
c) Kegiatan kampanye
d) Membentuk dan  bergabung dalam kelompok 
kepentingan
e) Komunikasi  individual  dengan  pejabat politik 
atau administratif
Sedangkan partisipasi politik nonkonvensional 
yaitu :
a) Pengajuan petisi
b) Berdemonstrasi
c) Konfrontasi
d) Mogok
e) Tindak  kekerasan  politik terhadap harta benda 
pengerusakan, pengeboman, pembakaran
f) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia
Oleh sebab  ini, usaha  mendorong partisipasi 
warga di Desa Massamaturu, lebih difokuskan pada 
membangun dan meningkatkan kesadaran warga untuk 
berpartisipasi aktif dalam memberikan pilihan (suara) pada 
pemilu, sebagai perwujudan dari hak dan kedaulatan rakyat. 
100
  
Oleh sebab  itu, hal-hal yang dianggap dapat menghalangi dan 
menghambat mereka memberikan suara (pilihannya) dalam 
pemilu menjadi salah satu agenda yang diprogramkan.
Demikian halnya dengan bagaimana mengedukasi 
warga agar memahami dengan baik tentang hak dan 
kewajibannya sebagai warga negara, hal-hal yang boleh dan 
tidak boleh (dilarang) dilakukan oleh setiap orang warga 
negara, atau yang terlibat sebagai tim sukses atau tim 
pelaksana kampanye, sehingga warga tidak melakukan 
tindakan yang dikategorikan dilarang, hanya sebab  
ketidakpahaman mereka, bahkan tidak  hanya sebatas mereka 
diberi pemahaman, namun  sekaligus mereka diajak untuk 
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kaitannya dengan 
usaha  pencegahan dan pengawasan setiap tahapan dalam 
pelaksanaan pemilu. 
MEMBANGUN DEMOKRASI DARI DESA, SEBUAH 
PILIHAN STRATEGI
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang 
Desa membagi desa menjadi dua macam, desa dan desa 
adat.Desa melaksanakan pemerintahannya sesuai dengan 
ketentuan di dalam Undang-Undang. Sementara itu, desa 
adat melaksanakan kewenangannya dalam berbagai bidang 
pemerintahan desa berdasarkan hak  asal-usul dan adat 
istiadat yang  hidup diwarga. Penetapan suatu desa 
yaitu  desa adat ditentukan oleh peraturan daerah provinsi.
Desa,baik desa berdasarkan Undang-Undang  tentang  
Desa dan desa adat, yaitu  kesatuan  warga 
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk 
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan 
warga setempat  berdasarkan prakarsa warga, 
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan 
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan 
Republik negara kita.
Rumusan tentang desa ini  diatas dapat dirinci 
sebagai berikut: ( 1 ) Desa yaitu kesatuan warga 
hukum; (2) Desa memiliki batas-batas wilayah; (3) 
Desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan 
 
101
warga setempat; (4) Kewenangan desa didasarkan 
pada asal usul  dan adat istiadat setempat; (5) Adat istiadat 
setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan 
Republik negara kita.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 
2014 tentang Desa mengartikan pemerintahan desa sebagai 
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan 
warga setempat dalam sistem pemerintahan 
Negara Kesatuan Republik negara kita. Penyelenggaraan 
pemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 
2014 tentang Desa meliputi penyelenggaraan urusan bidang 
eksekutif, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh 
pemerintah desa melalui kepala desa dan perangkat desa 
sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana pemerintahan 
desa. Penyelenggaraan urusan bidang legislatif, yaitu fungsi 
pembentukan kebijakan melalui pembentukan Badan 
Permusyawaratan Desa (BPD).
Selain itu, penerapan pemerintahan desa 
dilaksanakan berdasarkan otonomi asli memiliki makna 
kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan 
mengurus warga setempat didasarkan padahal 
asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada 
warga setempat namun harus diselenggarakan dalam 
perspektif administrasi pemerintahan negara yang selalu 
mengikuti perkembangan zaman.
Desa memiliki kewenangan untuk membuat  
peraturan yang mengatur sendi-sendi kehidupan dalam 
rangka kepentingan bersama. Peraturan desa (Perdes) 
yaitu perundang-undangan yang ditetapkan oleh 
kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama 
Badan Permusyawaratan Desa. Peraturan desa sebelum 
diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa,wajib 
dikonsultasikan kepada warga dalam rangka 
mewujudkan kepentingan umum.
Tugas utama kepala desa yaitu : (1) 
Menyelenggarakan pemerintahan desa, (2) Melaksanakan 
pembangunan desa, (3) Melaksanakan pembinaan 
warga desa, (4) Memberdayakan warga desa. 
102
  
Dengan tugas ini, kepala desa diharapkan dapat membawa 
warganya menjadi warga yang sejahtera, tatakelola 
pemerintahan desa menjadi baik, warganya memiliki 
kepedulian dan berdaya, baik secara ekonomi, sosial, budaya, 
dan politik. Selain tugas di atas, kepala desa juga memiliki 
wewenang bersama BPD untuk menetapkan peraturan desa 
(Perdes). Peraturan desa ini menjadi ruang penting yang 
dimiliki kepala desa Bersama BPD untuk membuat beberapa 
ketentuan yang akan dilakukan dan dikembangkan di desa 
masing-masing, sesuai arah, karakteristik, dan tujuan yang 
ingin dicapai oleh desa ini .
Pada umumnya desa memiliki pemerintahan 
sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan hierarkis 
struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Nagari di 
Sumatera  Barat yaitu sebuah republik  kecil yang 
memiliki pemerintahan sendiri secara otonom yang 
berbasis warga (self governing community). Salah satu 
ciri self governing community dalam desa yaitu  adanya 
hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan, 
pengelolaan sumber daya, hubungan sosial, dan lainnya
Kedudukan desa sebagai daerah otonom akan 
membawa beberapa dampak terhadap pengembangan 
warga dan desa itu sendiri, diantaranya, pertama, 
pembangunan  berorientasi pada community development, 
dimana pendidikan warga menempati posisi 
utama dengan tujuan untuk membuka wawasan dan 
kesadaran warga komunitas mengenai cita-cita dan 
segala permasalahannya, serta memberikan wawasan 
berbasis komunitas yang dapat mengembangkan potensi 
komunitas terhadap pembangunan. Kedua,membangun 
dan mengembangkan forum komunikasi warga dan 
menumbuhkan tradisi berkumpul serta bertukar pikiran antar 
warga komunitas (community  spirit). Ketiga,pembangunan 
melalui pengembangan kegiatan atau usaha berbasis 
komunitas untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bidang 
ekonomi, sosial,  dan budaya. Keempat, pembangunan yang 
bertujuan menciptakan atau mengembangkan fasilitas untuk 
menampung kegiatan-kegiatan warga dalam berorganisasi   
 
103
maupun pengembangan sosial-budaya warga dalam 
rangka menuju community based development. Kelima, 
memperkuat organisasi-organisasi yang telah ada secara 
alamiah di dalam warga seperti organisasi pemuda, 
dasawisma,dan lain sebagainya untuk menumbuhkan 
minat beroroganisasi warga. Pada akhirnya dapat 
mengembangkankomunitasmelaluiketerampilandan 
kemampuanwarganya sendiri.
Peluang dan ruang-ruang yang digambarkan di 
atas, tentu bisa dipahami sebagai sebuah peluang dalam 
mendorong sebuah proses perbaikan dan penataan nilai-
nilai demokrasi yang berkembang di desa.Meski demikian, 
disadari pula, bahwa kondisi demokrasi desa dan demokrasi 
yang berkembang di desa selama ini dipandang memiliki sisi 
yang justru menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan 
demokrasi yang lebih baik. Praktik demokrasi desa yang 
dimulai dari sistem Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) 
secara langsung, keterikatan antara kepala desa dengan 
pemerintahan daerah, baik secara personal maupun sebab  
struktural, praktik politik uang, intimidasi dan mobilisasi 
massa, sering menjadi hambatan dalam mengembangkan 
nilai-nilai demokrasi. 
Membangun demokrasi di desa, yaitu sebuah 
usaha  yang kompleks, sebab  tidak hanya sebatas berjalannya 
prosedur teknis demokrasi, seperti pemilihan kepala desa 
secara langsung, akan namun  bagaimana membangun dan 
mengembangkan nilai-nilai demokrasi. 
Pemilihan Kepala Desa secara langsung oleh 
warga, sudah barang tentu menjadi issu yang paling 
menarik dalam membangun demokrasi di desa, kontestasi 
kepemimpinan lokal antartokoh warga tentu tidak bisa 
dihindari, apalagi dengan kewenangan dan support negara 
yang diberi  kepada kepala desa. Kepala desa yang terpilih 
diberi kewenangan untuk mengelola anggaran miliaran 
rupiah, menjadikan posisi kepala desa menjadi sesuatu yang 
menarik. Mereka yang melihat kewenangan ini  sebagai 
peluang membangun dan mengembangkan potensi desa, 
agar menjadi desa yang mandiri, desa yang bisa memberi 
104
  
kesejahteraan bagi warganya, akan memberi angin segar 
bagi pengembangan nilai-nilai demokrasi desa yang lebih 
sehat. Akan namun  bagi mereka yang melihat kewenangan 
ini  hanya dari perspektif besarnya dana desa yang dapat 
dikelola, maka otomatis akan menjadi tantangan yang serius 
bagi pengembangan nilai-nilai demokrasi di desa. Ini baru 
dari aspek motivasi para tokoh desa yang akan berkontestasi 
dalam pemilihan kepala desa secara langsung. 
Dalam praktik pemilihan kepala desa secara 
langsung, sangat banyak cerita yang bisadidapatkan, tentang 
bagaimana kontestasi itu berlangsung dan bersentuhan 
langsung dengan warga desa. Berbagai pihak pun 
merasa memiliki kepentingan terhadap pelaksanaan 
pemilihan kepala desa secara langsung. Berita tentang 
politik uang, para tokoh berpengaruh mengarahkan 
dan memobilisasi pemilih, bahkan intimidasi terhadap 
warga yang memiliki aspirasi lain, sering didengar. 
Bahkan aroma politik uang di pemilihan kepala desa secara 
langsung, kadang lebih menyengat dari aroma politik uang 
di pemilihan Bupati, Gubernur, anggota DPR/DPRD, dan 
Pilpres.
Keberpihakan tokoh-tokoh tertentu di luar desa, 
dengan tujuan dan orientasi masing-masing, juga kadang 
tidak bisa dihindari. Deal-deal antara calon kepala desa dengan 
pengusaha, tokoh politik, dan pejabat di daerah, juga bukan 
informasi baru dalam proses pemilihan kepala desa secara 
langsung. Semua ini menyisakan konflik antarpendukung 
dalam warga desa di ruang yang lebih “sempit”, sering 
tidak terhindarkan, bahkan banyak yang berakhir dengan 
saling melaporkan kecurangan kepada pihak berwajib.
Pascapemilihan, saat kepala desa terpilih 
menjalankan tugasnya, UU No. 6 Tahun 2014 cukup membuat 
sistem dan mekanisme yang diharapkan dapat mendorong 
proses penyelenggaraan pemerintahan desa berjalan secara 
demokratis. Perlunya dilaksanakan Musyawarah Desa (Pasal 
54) yang dilaksanakan melalui Badan Permusyaratan Desa 
(BPD). BPD yaitu perwakilan dari warga desa 
yang dipilih secara demokratis. BPD bersama Kepala Desa 
 
105
merumuskan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) 
Desa, RKP Desa, APB-Desa, Peraturan Desa, dan kebijakan 
desa lainnya.
Akan namun , jika proses pemilihan anggota BPD dan 
pelaksanaan Musyawarah Desa hanya dilaksanakan dalam 
kerangka formalitas, maka ruang lahirnya dokumen RPJM-
Desa, APB-Desa, Peraturan Desa dan yang lainnya, juga 
bisa sebatas pemenuhan administrasi prosedural dan tidak 
memberikan dampak pada usaha  perbaikan sistem yang 
lebih demokratis.
Ruang-ruang pengembangan demokratisasi di desa 
inilah yang bisa menjadi ruang strategis mendorong proses 
demokratisasi dalam arti luas di warga desa bisa 
diwujudkan. Di sisi lain, tantangan yang berangkat dari fakta-
fakta yang masih terjadi dalam proses-proses demokrasi di 
atas, tentu juga menjadi tantangan nyata dalam membangun 
sistem demokratisasi di desa yang lebih baik. 
Dalam konteks Pemilu serentak 2019, tentu yang 
ingin dihadirkan tidak hanya sebatas proses demokrasi yang 
prosedural, dengan warga berpartisipasi dan hadir 
di Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan 
suara, namun  bagaimana proses demokrasi yang subtansial 
bisa diwujudkan, di mana warga ikut serta dalam 
mengawal dan mengawasi proses demokrasi di perhelatan 
Pemilu 2019 di setiap tahapan. Kehadiran warga untuk 
mengawasi langsung setiap tahapan proses pemilu, mulai 
dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, 
pemungutan dan penghitungan suara, menjadi sangat 
bermakna bagi usaha  mewujudkan proses demokrasi secara 
subtansial.
Kesempatan untuk mendorong partisipasi nyata 
warga dalam mengawal proses demokrasi di Pemilu 
2019, tentu tidak bisa hadir dengan sendirinya. Dibutuhkan 
sosok-sosok yang dapat menginisiasi dan menginspirasi 
warga desa untuk turut serta mewujudkan harapan 
ini . Di sisi lain, disadari juga sepenuhnya bahwa pada 
dasarnya nilai-nilai demokrasi itu ada dan menjadi milik 
warga desa. warga  yang guyub, warga yang 
106
  
selalu mengutamakan musyawarah dalam memutuskan 
setiap masalah, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, 
persamaan, dan saling menghargai. warga  desa secara 
tegas menolak kecurangan, ketidakjujuran, suap (sogok) 
dan semua tindakan yang diapndang merusak nilai-nilai 
kebersamaan, nilai-nilai kepatutan, dan kepantasan --nilai-
nilai yang juga yaitu nilai demokrasi yang mesti 
dihadirkan.
Problemnya, nilai-nilai demokrasi ini menjadi 
“tertutup” oleh hal-hal yang dipicu  semakin 
mengerasnya nilai-nilai pragmatisme yang berkembang 
seiring dengan derasnya arus kepentingan kelompok elite 
yang ingin berkuasa tanpa memakai  prosedur yang 
legal dan sah, tanpa didukung oleh kapasitas dan kualitas 
yang memadai, dengan sikap pragmatisme warga.
Tentu persoalan ini bisa dilihat dari beberapa aspek. 
Misalnya, warga tidak merasakan dampak menonjol  
dari proses demokrasi yang melahirkan pemimpin-pemimpin 
daerah yang dipilih secara langsung. Mereka merasakan 
pemimpin daerah yang dipilih oleh warga secara 
langsung, setelah berkuasa justru melupakan warga 
yang memilih mereka, mereka banyak yang asyik menikmati 
kekuasaan yang diperoleh dari hasil pilihan rakyat. 
warga  merasakan bahwa mereka dalam proses pemilu 
dan demokrasi, hanya sebatas obyek, bahkan kadang hanya 
dibutuhkan saat agenda lima tahunan dalam proses pemilu. 
Dari sini, sebagian warga lalu mengambil sikap untuk 
memanfaatkan momentum pemilu untuk memperoleh  
sesuatu yang lebih konkret dari kontestan yang berkompetisi 
memperebutkan suara mereka. Inilah ruang yang terbuka 
terjadinya politik uang dalam warga. Ada tokoh yang 
ingin terpilih namun  kualitas terbatas dan warga sudah 
kadung tidak percaya pada harapan dan janji-janji dari para 
politisi.
Aspek lain yang dapat dianggap menjadi tantangan 
demokratisasi di desa, yaitu  warga yang masih 
menganut “patronase politik”. Keputusan dan arahan tokoh-
tokoh lokal, dianggap sebagai sebuah jalan terbaik bagi 
 
107
warga desa. Apa yang menjadi putusan dan arahan 
pemimpin lokal mereka, itulah yang menjadi arah putusan 
mereka dalam menentukan sosok pemimpin formal. 
warga  yang seperti ini tentu telah dipetakan oleh para 
politisi, bahwa untuk memperoleh  dukungan suara dari 
warga desa tertentu, mereka mesti mendekati tokoh 
lokal yang ada. Pada sisi inilah sering terjadi deal-deal tertentu 
dari tokoh politik dan tokoh lokal, bahkan kadang salah satu 
deal-nya yaitu  kompensasi dalam bentuk materi. Jadilah 
tokoh-tokoh lokal sebagai agen politisi untuk memenangkan 
kontestasi dan sekaligus pihak yang memobilisasi warga 
dengan iming-iming materi (politik uang).
Ada juga kepala desa yang yaitu kader partai 
politik tertentu, pada perhelatan kontestasi pemilu tidak 
jarang menjadi tim sukses untuk kontestan tertentu. Hal 
ini bisa dilihat dari banyaknya kepala desa, perangkat 
desa yang terbukti secara nyata dan sah memihak dan 
mengkampanyekan calon dan kontestan tertentu yang 
diputus di pengadilan. Ini belum dilihat dari mereka yang 
melakukan dukungan dan mobilisasi, bahkan intimidasi 
untuk memenangkan sosok atau kelompok tertentu secara 
diam-diam, dan tidak dapat tersentuh norma.
Para kontestan dan tokoh-tokoh politik lain, kadang 
menafsir ulang praktik politik uang, dengan membagi-
bagi uang atau materilainnya sebagai bagian dari sikap 
kedermawanan dirinya, dan menyebut pemberian mereka 
sebagai “shadaqah politik”. warga  yang menerima 
mereka sebut “rezeki”. Pengaburan makna politik uang 
sebagai bagian dari kejahatan demokrasi, sebagai praktik 
yang dilarang dan diharamkan oleh ajaran agama dan budaya 
manapun di negeri ini, akhirnya dianggap sesuatu yang biasa 
dan legal, sebab  disebut shadaqah atau rezeki.
Tantangan lain dalam membangun demokrasi dalam 
warga desa, yaitu  berkaitan dengan lemahnya literasi 
di media sosial. Banyak warga yang mudah terprovokasi 
dan termakan isu yang disebarkan lewat media sosial. 
Ini tentu menjadi fenomena umum, semua warga, 
termasuk warga perkotaan. Namun jika tidak menjadi 
108
  
perhatian bersama, bisa saja isu yang berkembang di media 
social, khususnya yang bernada rasial, bernada hujatan dan 
provokasi, akan membuat warga terpilah dan terbelah.
DESA MASSAMATURU, MODEL DESA SADAR 
PENGAWASAN
Berangkat dari ruang-ruang pengembangan 
demokrasi dari desa yang digambarkan  di atas, baik sebagai 
sesuatu yang ada dan tumbuh dalam warga desa, 
maupun ruang  yang  difasilitasi  lewat  UU Desa, demikian 
pula tantangan-tantangan yang nyata dan dapat dilihat 
dalam praktik-praktik demokrasi yang berkembang di desa 
menjadikan posisi desa menjadi penting untuk mendapat 
perhatian dari seluruh pemangku kebijakan, termasuk Badan 
Pengawas Pemilu (Bawaslu)  yang   diamanahi tugas melakukan 
pencegahan, pengawasan, dan penindakan atas segala tindakan 
yang dianggap melanggar norma dan aturan kepemiluan, 
sebagai sarana mengimplementasikan proses demokrasi 
secara   prosedural dan subtansial secara berbarengan.
Perspektif untuk mengedepankan tindakan 
pencegahan dibandingkan  tindakan penindakan, menjadi salah 
satu konsep yang dikembangkan oleh Bawaslu di periode 
ini. Berbagai usaha  yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu dari 
tingkat nasional sampai ke daerah pun diorientasikan sebagai 
usaha  pencegahan.
Salah satu pilihan dari gerakan pencegahan yang 
dikembangkan di Sulawesi Selatan yaitu  mendorong setiap 
kabupaten/kota mengembangkan satu desa model pengawasan, 
untuk menyebut desa yang menjadi dampingan Bawaslu dalam 
melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan secara mandiri dan 
atau secara bersama-sama. Hampir semua kabupaten/kota 
akhirnya membuat deklarasi Desa Model Pengawasan, bahkan 
ada kabupaten di mana di setiap kecamatan dibuat deklarasi 
Desa Pengawasan, yang didalamnya dilakukan kampanye 
anti-politik uang, pencegahan politisasi  SARA, dan menolak 
informasi hoaks dan provokasi.
Akan namun , dengan selesainya perhelatan Pemilu, 
tidak semua desa punya komitmen untuk memelihara dan 
 
109
mengembangkan program-program pendidikan demokrasi 
secara berkelanjutan. Dari sekian banyak desa yang telah 
dideklarasikan sebagai Desa Model Pengawasan, hanya Desa 
Massamaturu, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten 
Takalar dengan bekerjasama dan bermitra dengan Bawaslu 
Takalar yang mampu bertahan dan tetap mendorong nilai-nilai 
demokrasi.
Bagamana bisa bertahan, apa strateginya, tentu 
menjadi sesuatu yang menarik untuk disampaikan, dengan 
harapan dapat menjadi inspirasi bagi warga dan 
pemerintahan desa lainnya, dalam mendorong proses 
demokrasi dari desa untuk membangun demokrasi bangsa.
I. Profil Singkat Desa Massamaturu
Desa Massamaturu yaitu  sebuah desa yang 
berada di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten 
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa ini yaitu 
desa hasil pemekaran    Desa  Pa’rappunganta, Kecamatan 
Polongbangkeng Utara pada tahun 1987. Pemekaran berawal 
dari keinginan warga untuk memperoleh  pelayanan 
pemerintah yang lebih dekat, lebih efektif, dan lebih efisien. 
Pada awal tahun 1987 di bentuklah Panitia Pemekaran Desa 
dan pada waktu itu juga langsung diajukan permohonan 
pemekaran desa kepada pemerintah kabupaten. Dengan 
melewati berbagai hal/proses pemekaran yang sesuai dengan 
aturan hukum yang belaku dari mulai penentuan nama desa, 
pembagiaan wilayah, pembagian kekayaan desa; akhirnya 
empat dusun, yaitu Dusun Bulu’bumbung, Dusun Bontorannu, 
Maccini Baji, dan Panaikang Lompo menjadi Desa Persiapan 
Massamaturu.
Pada akhir tahun 2013 Desa Massamaturu kembali 
dimekarkan menjadi dua desa dengan tujuan yang sama 
seperti saat dimekarkan dari Desa Pa’rappunganta. Adapun 
desa hasil pemekaran yaitu  Dusun Bulu’bumbung dan 
Bontorannu menjadi Desa Massamaturu dan Dusun 
Maccinibaji, Je’nedinging, dan Panaikang Lompo menjadi 
Desa Balangtanaya yang terletak di sebalah selatan Desa 
Massamaturu.
110
  
Desa Massamaturu yaitu  salah satu desa dari 18 
desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Polongbangkeng 
Utara, Kabupaten Takalar dan memiliki luas wilayah 0,5,36 
km2, dengan batas wilayah administrasi sebagai berikut: (1) 
sebelah utara, berbatasan Desa Parangba’do, (2)sebelah 
timur, berbatasan dengan Desa Timbuseng, (3)sebelah selatan, 
berbatasan dengan Desa Balang Tanaya, dan (4) sebelah barat, 
berbatasan dengan Desa Pa’rappunganta. Secara administrasi 
Pemerintahan Desa Massamaturu terdiri atas 4 (empat) dusun, 
yaitu: Dusun Bulu’bumbung I, Dusun Bulu’bumbung II, Dusun 
Bontorannu I, dan Dusun Bontorannu II.
(Peta Desa Massamaturu)
Penduduk Desa Massamaturu berdasarkan hasil data 
profil desa tahun 2015 berjumlah 1.878  jiwa.Jumlah penduduk 
berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang 
berjenis kelamin laki-laki dengan perbandingan 922 jiwa laki-
laki dan 956 jiwa perempuan. Berdasarkan kelompok umur 
pada tahun 2016, sekitar 68% penduduk Desa Massamaturu 
yaitu kelompok usia kerja, dimana dari kelompok usia 
ini  sekitar 88% lebih yaitu kelompok usia produktif. 
Sementara itu, kelompok  0-4 tahun pada periode yang sama 
hanya bejumlah sekitar 31% lebih dari total penduduk yang ada 
di Desa Massamaturu.
 
111
Pendidikan  yaitu  satu  hal penting dalam memajukan 
tingkat  kesejahteraan  pada umumnya dan tingkat 
perekonomian  pada khususnya. Tingkat pendidikan yang tinggi 
akan mendongkrak tingkat kecakapan penduduk. Tingkat 
kecakapan juga akan mendorong tumbuhnya keterampilan 
kewirausahaan dan pada gilirannya mendorong munculnya 
lapangan pekerjaan baru, yang dengan sendirinya akan 
membantu program pemerintah untuk pembukaan lapangan 
kerja baru guna mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya 
akan dapat mempertajam sistematika pikir atau pola pikir 
individu, selain itu memudahkan penerimaan informasi yang 
lebih maju. Dibawah ini tabel yang menunjukkan tingkat rata-
rata pendidikan warga Desa Massamaturu. 
     
 (Tingkat Pendidikan Terakhir warga )
II. Pengembangan Program Desa Model Pengawasan
Pengambangan Desa Model Pengawasan sebagai 
sesuatu yang sifatnya piloting dalam usaha  memaksimalkan 
tugas dan usaha  pencegahan yang dilakukan oleh Bawaslu 
yang melibatkan partisipasi nyata dari warga warga, tentu 
sesuatu yang menarik sekaligus menantang. Menjadi menarik, 
sebab  jika program ini bisa dilakukan dan dikelola dengan 
baik, akan menghasilkan sesuatu yang tentu tidak dapat 
dinlai dengan materi. Terpampang gambaran dalam angan, 
sebuah komunitas warga yang mengetahui, menyadari 
112
  
hak-haknya,  serta memiliki  kemauan dan kesadaran untuk 
memperjuangkan dan mengawal hak-hak yang mereka 
miliki itu. Gambaran tentang sebuah kehidupan warga 
yang damai, rukun, dan bekerjasama dalam mewujudkan 
sebuah proses demokrasi yang bermartabat, berkualitas, dan 
berintegritas. Gambaran sebuah warga yang konsisten 
secara bersama-sama menghidupkan praktik politik dan 
demokrasi yang sehat, yang jauh dari tindakan dan perbuatan 
yang dianggap merusak tatanan dan nilai-nilai demokrasi, 
seperti politik uang, politisasi SARA, penyebaran berita hoaks, 
provokasi, dan yang lain-lain. Gambaran sebuah warga 
yang saling menghargai pilihan-pilihan politik yang mereka 
anggap dapat mewakili aspirasi dan cita-citanya. 
Akan namun  menjadi sesuatu yang menantang, 
sebab  senyatanya kehidupan warga desa sejak diberi  
hak untuk menentukan masadepan sebuah kepemimpinan 
bangsa, daerah, dan juga di tingkat desa, dengan menyerahkan 
kewenangan melakukan pilihan pada setiap perhelatan politik 
elektoral yang dilaksanakan, namun  tidak dibarengi dengan 
pendidikan politik dan demokrasi yang memadai. Bahkan 
tidak jarang para elite “membeli” kedaulatan yang dimiliki 
oleh warga dengan hal-hal yang sifatnya materi, janji, 
dan iming-iming kedudukan atau pekerjaan, membuat 
warga banyak terjebak dalam pragmatisme politik. 
Belum lagi melihat sikap para politisi yang pada akhirnya dipilih 
oleh warga desa dengan tidak menjadikan kualitas personal, 
kapabilitas, jejaring, track record yang bersangkutan sebagai 
indikator dalam menentukan pilihan, justru abai dan lupa pada 
konstituen dan warga yang memilihnya. Mereka baru 
disambangi dan diingat saat agenda pemilihan sudah dekat. 
Hal seperti  inilah yang  membuat warga memilih bersikap 
pragmatis. 
Di sinilah tantangan yang mesti dihadapi dalam 
mendorong kesadaran warga desa dalam mewujudkan 
sebuah komunitas yang peduli pada pengembangan nilai-
nilai demokrasi. Tantangan yang boleh saja bersumber dari 
pemahaman yang keliru dalam warga dalam memaknai 
sebuah perhelatan demokrasi di daerahnya, juga bisa datang 
 
113
dari pihak-pihak yang selama ini merasa diuntungkan dengan 
sikap pragmatis yang tumbuh dalam warga.
Untuk itu, dalam mewujudkan sebuah model 
komunitas warga desa yang sadar akan hak-haknya dan 
mau mengawal dan memperjuangkan hak-hak politik dan 
demokrasi yang diberi  oleh negara, Bawaslu melakukan 
beberapa usaha , yang dimulai dari tahap perencanaan, 
pelaksanaan dari apa yang direncanakan, serta mengevaluasi 
hasil yang diperoleh sebagai bagian dari usaha  perbaikan dan 
perencanaan untuk kegiatan yang berkelanjutan. 
A. Perencanaan dan Pelaksanaan
Langkah-langkah strategis Bawaslu dalam 
membangun kepedulian bersama dengan pemerintah 
kabupaten, dinasterkait, dan pemerintah desa untuk 
mendorong proses demokrasi  yang  sehat dan berkualitas 
dalam warga. Untuk itu, beberapa pertemuan diinisiasi 
guna menyatukan persepsi, khususnya diinternal Bawaslu. 
Ide ini sebenarnya telah mulai ada sejak tahapan Pemilukada 
2017 di Kabupaten Takalar   mulai   berjalan.  Adu strategi 
dan persaingan antar-pasangan calon dan pendukungnya 
untuk memperoleh  simpati dan dukungan warga 
mulai menguat. Panwaslu Takalar (waktu itu masih bernama 
Panitia Pengawas Pemilu) kemudian melakukan diskusi untuk 
merumuskan model partisipasi warga yang lebih luas 
dalam mengawal proses Pemilukada di Kabupaten Takalar.
Pertama-tama, setelah ide dan ini muncul dan 
menjadi sebuah program yang akan dilaksanakan oleh jajaran 
Panwaslu Takalar, diinisiasi sebuah pertemuan dalam agenda 
sosialisasi yang menghadirkan pejabat kepala desa dan lurah 
di Kabupaten Takalar. Dalam pertemuan ini  disampaikan 
peran penting warga untuk bersama-sama mengawal 
proses demokrasi di Pilkada 2017, agar benar-benar dapat 
menghasilkan proses dan hasil Pilkada yang berkualitas dan 
berintegritas. Peran kepala desa dan lurah menjadi sangat 
strategis. Sebagai langkah awal, Panwaslu Kabupaten Takalar 
menawarkan konsep Desa Sadar Pengawasan sebagai sebuah 
model kebijakan untuk mendorong partisipasi warga 
114
  
lebih luas dan nyata.
Tawaran ini mendapat respons positif dari kepala 
desa dan lurah yang hadir. Ada 11 (sebelas) kepala desa/lurah 
yang menyatakan siap menjadi piloting tentang gagasan 
baik ini  untuk mengembangkan program Desa Sadar 
Pengawasan. Berangkat dari kesiapan dan keinginan bersama 
untuk mendorong terwujudnya sebuah desa yang disebut 
dengan Desa Sadar Pengawasan, diskusi dan komunikasi yang 
lebih intens terus dilakukan oleh Panwaslu. Bahkan ide ini 
juga disampaikan dan  dikomunikasikan kepada Pemerimtah 
Daerah Kabupaten Takalar.
Sebagai panduan bersama dalam mengembangkan 
Desa Model Pengawasan ini, beberapa catatan dasar yang 
yaitu hasil diskusi bersama dengan berbagai pihak 
antara lainbahwa sebuah desa yang akan menjadi Desa Sadar 
Pengawasan, sebagai model desa pengawasan partisipatif, 
yaitu  desa yang tergambar dalam tatakelola dan program 
yang dikembangkan  dapat  menjadi acuan desa-desa lain, 
yang meliputi:
a. Aspek administratif, yakni desa pengawasan yang 
secara administratif dapat menjamin keterpenuhan 
hak-hak warga untuk terdaftar dalam Daftar 
Pemilih Tetap (DPT), serta memenuhi syarat 
untuk dapat ikut memberikan suara (pilihan) pada 
perhelatan pemilu. Sehingga menjadi penting 
kepala desa proaktif berkoordinasi dengan 
pihak Dinas Dukcapil untuk menfasilitasi warga 
warga yang telah memenuhi syarat namun  
belum melakukan perekaman e-KTP agar segera 
dilakukan perekaman.Oleh sebab  itu, desa 
ini  mesti memiliki tatakelola administrasi 
kependudukan yang lebih baik, disamping aspek 
administrasi  tatakelola  pemerintahan desa lainnya.
b. Aspek sarana dan prasarana, yakni tersedianya 
beberapa sarana yang dibutuhkan oleh warga 
desa dan dapat memfasilitasi warga warga 
untuk ikut serta melakukan pengawasan proses 
pemilu di setiap tahapan.
 
115
c. Aspek regulasi. Harapannya, pemerintahan desa 
yang akan menjadi dampingan Bawaslu, sebagai 
desa model pengawasan, dapat menyiapkan regulasi 
yang memungkinkan kegiatan dan program yang 
dikembangkan di desa ini  dapat didukung 
oleh dana dan anggaran yang tersedia di desa.
d. Aspek subtantif dari pengembangan Desa Model 
Pengawasan ini yaitu  terwujudnya pemerintahan 
desa dan warga desa memiliki pengetahuan 
yang cukup tentang hak-hak dan kewajiban sebagai 
warga negara dalam setiap perhelatan pemilu dan 
pemilihan, serta memiliki kesadaran dan kemauan 
untuk bersama-sama Bawaslu mengawal setiap 
proses dalam tahapan pemilu dan pemilihan secara 
bertanggungjawab.
Dengan berbekal panduan yang dirumuskan dalam 
bentuk kesepakatan bersama di atas, Panwaslu Takalar 
melakukan pendekatan dan komunikasi kepada stakeholder 
yang dianggap dapat mendukung agenda ini . Akan namun , 
kuatnya tarik-menarik kepentingan antar-calon petahana 
yang didukung oleh mayoritas partai politik, melawan sang 
penantang yang hanya mendapat dukungan minimal dari 
partai politik yang memiliki hak untuk mengusung calon, 
namun  mendapat dukungan dari tokoh berpengaruh di Sulawesi 
Selatan pada waktu itu;membuat persaingan berlangsung 
dalam tensi yang sangat tinggi, dan pada akhirnya dimenangi 
oleh sang penantang dengan selisih suara yang tipis, bahkan 
mesti diputus lewat sidang Sengketa Hasil Pemilihan di 
Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu membuat gagasan dan ide 
ini belum bisa berjalan dengan baik. 
Dari    semula  11 kepala desa dan lurah yang 
menyatakan siap mengembangan konsep ini , hanya 
1 kepala  desa  yang  bisa bertahan untuk   bermitra dengan 
Bawaslu mendorong tumbuh kembangnya partisipasi 
warga dalam melakukan pengawasan di tahapan 
Pemilihan Kepala Daerah. Kepala desa itu yaitu  Kepala Desa 
Massamaturu. Sementara kepala desa dan lurah yang lain, 
dengan berbagai alasan dan kendala belum bisa melanjutkan 
116
  
ide dan gagasan ini . Kondisi ini masih berlanjut sampai 
pada agenda Pilgub tahun 2018.
Berangkat dari kenyataan ini, Bawaslu Sulawesi 
Selatan melihat ide dasar dan gagasan untuk mengembangkan 
kehidupan demokrasi yang lebih sehat dari desa/kelurahan 
yaitu  sebuah ide dan gagasan yang mesti didukung dan 
dikembangkan. Apa yang dilakukan oleh Panwaslu Takalar 
sebelumnya perlu dikaji dan dianalisis, untuk menemukan 
simpul-simpul masalah serta kemungkinan pemecahannya. 
Meski belum dirumuskan dalam sebuah desain perencanaan 
yang lebih matang, masih lebih banyak sebagai letupan ide dan 
gagasan mengembangkan desa model pengawasan menjadi 
program yang juga digagas lebih luas di tingkat provinsi. 
Desa Massamaturu dijadikan ikon dan model pengembangan 
Desa Pengawasan. Untuk itu, Bawaslu Takalar bersama 
Bawaslu Sulsel mencoba melakukan pemetaan masalah dan 
mengidentifikasi gagasan-gagasan yang mungkin dapat 
menjadi pola dan sstrategi pengembangannya. Sebagai 
usaha  menguatkan komitmen kepala desa dan warga di 
Desa Massamaturu, untuk menjadi desa model pengawasan, 
dilakukan deklarasi bersama dan pengesahan Forum Awas 
yang akan menjadi garda terdepan warga Desa 
Massamaturu dalam melakukan pencegahan dan pengawasan 
dalam menghadapi tahapan Pemilu 2019. Deklarasi ini dihadiri 
oleh anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, serta Bupati 
Takalar dan jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar 
lainnya. 
Pasca-Deklarasi Desa Sadar Pengawasan di Desa 
Massamaturu, Kabupaten Takalar;diskusi dengan berbagai 
pihak lebih diintensifkan, khususnya antara Bawaslu Provinsi 
Sulawesi Selatan, Bawaslu Kabupaten Takalar, dan Kepala Desa 
Massamaturu, dengan mengevaluasi hasil dan capaian yang 
telah dilaksanakan sebelumnya. Bersama Bawaslu Takalar, 
Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan menemui Bupati Takalar 
dan pihak terkait, termasuk mendiskusikan dengan pihak 
pendamping desa dan konsultan pendamping desa di tingkat 
provinsi, serta Dinas Pemerintahan Desa tingkat provinsi untuk 
lebih menguatkan dukungan dan semangat mengembangkan 
 
117
ide ini .
Salah satu informasi penting yang didapatkan dari 
koordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah, dalam hal ini 
Bupati Takalar, yaitu  adanya program pengembangan nilai-
nilai demokrasi yang termaktub dalam visi-misi Bupati dan 
Wakil Bupati yang disampaikan dalam kampanye mereka di 
Pimilukada tahun 2017. Visi dan misi ini  juga tertuang 
dalam Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 
Kabupaten Takalar.Pengembangan nilai-nilai demokrasi yang 
ada dalam RPJMD ini  menjadi payung dan cantolan 
program yang mesti dikembangkan dalam daerah/wilayah 
pemerintahan Kabupaten Takalar. Program inilah yang 
kemudian menjadi bahan diskusi lebih lanjut dengan Kepala 
Desa Massamaturu untuk merumuskan kegiatan dan program 
yang dapat dilakukan dalam mengawal proses demokrasi, 
khususnya dalam menghadapi Pemilu 2019, sehingga wujud 
dan bentuk dari partisipasi nyata warga dalam mengawal 
proses dan tahapan Pemilu lebih nyata dan didukung oleh 
program dan agenda kegiatan desa yang terencana.
Dari beberapa kali pertemuan dan diskusi dihasilkan 
beberapa rumusan dasar sebagai model dan arah dari 
pengembangan Desa Pengawasan yang akan dikembangkan 
di desa yang akan menjadi target dampingan Bawaslu.Desa 
Massamaturusebagai piloting dalam membuat perencanaan 
diharapkan dapat menggambarkan usaha  yang terencana dan 
sistematis dalam menjamin keterpenuhan hak dan kewajiban 
politik warga warga desa, meningkatkan kesadaran dan 
pengetahuan politik warga desa, menguatkan kesadaran 
warga untuk bersama-sama mengawasi proses Pemilu 
di setiap tahapan, serta melakukan kegiatan pencegahan 
terhadap kemungkinan tindak pelanggaran norma dan aturan 
pemilu di setiap tingkatan, dengan merumuskan kebijakan dan 
program yang jelas dan konkret sehingga warga semakin 
memahami bahwa mereka bukanlah obyek dari berjalannya 
proses demokrasi dan politik, namun  mereka yaitu  subyek 
dari terwujudnya proses dan subtansi demokrasi yang dicita-
citakan.
118
  
Sebagai output dari rumusan yang digagas bersama di 
atas, Pemerintah Desa Massamaturu, melalui Kepala Desa dan 
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang didampingi oleh 
Bawaslu melakukan kegiatan-kegiatan, yang diterjemahkan 
dari kebijakan yang dirumuskan dan disepakati Bersama 
sebagai berikut:
1. Pemerintah Desa Massamaturu membentuk 
Forum Awas (Forum Aliansi warga  Kawal 
Demokrasi) tingkat Desa Massamaturu, yang 
pengurusnya terdiri atas unsur-unsur yang ada 
dalam masyatrakat, seperti unsur pemuda, tokoh 
warga, tokoh agama, dan unsur perempuan, 
yang bertujuan untuk mendorong partsipasi 
warga secara konkret dalam melakukan 
pendidikan politik dan  pendidikan bagi pemilih, 
dan usaha  pencegahan terhadap kemungkinan 
terjadi prakktik politik uang, penyebaran kebencian 
dan informasi hoaks, serta politisasi SARA. 
Lewat Forum Awas ini, beberapa kegiatan 
dilaksanakan dan mendapat dukungan anggaran 
dari pemerintah desa, sebagai kelanjutan dari 
program pengembangan nilai-nilai demokrasi 
yang ada dalam RPJMD Kabupaten, sebab  
dituangkan dalam rencana Program Jangka 
Menengah (RPJM) Desa. 
Kegiatan yang dimaksud seperti:
(1) melakukan sosialisasi tentang bahaya politik 
uang kepada warga dengan mendatangi 
rumah-rumah warga. Kegiatan ini dilakukan 
oleh Forum Awas.kepada warga yang telah 
didatangi dan diberi pemahaman tentang 
bahaya politik uang bagi tumbuhnya nilai-
nilai demokrasi dalam warga, juga 
bisa berdampak bagi individu warga 
itu sendiri, serta bahaya politisasi SARA dan 
pentingnya menyaring informasi yang ada, 
khususnya yang berasal dari media sosial, 
diberi stiker untuk mereka tempel di pintu 
 
119
rumah mereka sendiri, sebagai bukti bahwa 
mereka paham, setuju, dan mendukung hal 
ini .
Pesan-pesan yang tertulis dalam stiker 
ini , seperti “Rumah dan Keluarga Ini 
Menolak Politik Uang”, “Gerakan Tutup Pintu 
Politik Uang”, “Tolak Politik Uang, Politisasi 
SARA dan Ujaran Kebencian”, serta beberapa 
bentuk stiker yang berisi pesan-pesan senada 
yang semuanya diadakan dan didanai oleh 
pemerintah Desa Massamaturu.
(2) Dalam nomenklatur program pemberdayaan 
yang didanai dari Anggaran Dana Desa (ADD) 
Desa Massamaturu, dicantumkan salah satu 
program yang disebut dengan “sosialisasi 
dan perlindungan hukum bagi warga”. 
Program ini yang diserahkan kepada Forum 
Awas untuk dikelola lebih lanjut dan fokus 
pada sosialisasi dan perlindungan terhadap 
warga yang berkaitan dengan aturan dan 
UU kepemiluan. 
2. Pemerintah Desa Massamaturu mendirikan 
Pojok Pengawasan di beberapa titik strategis dan 
biasa didatangi warga, seperti Rumah Ronda dan 
tempat-tempat duduk warga. Pojok Pengawasan 
ini menjadi salah satu tempat komunikasi, 
informasi, dan edukasi (KIE) bagi warga 
desa. Di Pojok Pengawasan ini disiapkan informasi 
tentang Daftar Pemilih yang telah terdaftar di DPS 
kemudian DPT. warga  yang namanya belum 
terdaftar dapat segera menyampaikan kepada 
pemerintah desa atau Pengawas Desa agar dapat 
difasilitasi untuk segera dimasukkan ke DPS/DPT 
dan atau segera dilakukan perekaman e-KTP, jika 
mereka belum melakukan perekaman.
Di Pojok Pengawasan ini pula, informasi tentang 
tindakan atau perbuatan yang dilarang bagi 
warga, bagi  perangkat   desa   dalam 
120
  
kaitannya dengan pelaksanaan tahapan Pemilu 
juga dicetak dan dipasang.  Demikian  pula 
prosedur yang dapat dilakukan oleh warga 
jika mengetahui dan melihat suatu tindak 
pelanggaran  aturan  pemilu.
3. Pemerintah Desa  Massamaturu    mengintegrasikan 
kegiatan dan program Padat Karya yang dilakukan 
warga desa dengan kegiatan sosialisasi 
tentang informasi kepemiluan dan hal-hal yang 
berkaitan dengan