Rabu, 14 Juni 2023
tindakan yang dilarang dan
yang boleh dilakukan oleh warga warga.
Larangan tentang politik uang, model dan
bentuknya juga banyak menjadi materi sosialisasi
yang disampaikan oleh jajaran Pengawas Pemilu
tingkat Desa, Kecamatan, bahkan melibatkan
Bawaslu Kabupaten.
4. Pemerintah Desa Massamaturu melaksanakan
Musrembang Desa secara terintegrasi dan
melibatkan jajaran Pengawas Pemilu tingkat
Desa, sehingga diharapkan melahirkan langkah-
langkah strategis dari pihak pemerintah desa dan
warga desa untuk mendukung langkah-langkah
pengawasan Pemilu di Desa Massamaturu.
5. Pemerintah desa, setelah mendapat informasi ada
beberapa warga dan warganya yang belum
terdaftar di DPS/DPT sebab belum memiliki
e-KTP, segera berkoordinasi dengan Dinas
Dukcapil dan Bawaslu Takalar, untuk membuka
proses perekaman e-KTP di kantor desa, yang
waktu itu pihak Dukcapil memusatkan proses
perekaman di kantor Dinas Dukcapil Kabupaten.
Kegiatan perekaman data e-KTP bagi warga
desa yang belum memiliki e-KTP dilaksanakan
di kantorDesa Massamaturu dan dihadiri oleh
warga Desa Massamaturu yang memang
belum sempat melakukan perekaman dan telah
memenuhi syarat untuk ber-KTP elektronik.
Pasca Pemilu 2019, agenda kemkitraan dalam
program pengembangan desa model pengawasan partisipatif
di Desa Massamaturu, tidak berhenti atau selesai seiring
berakhirnyatahapan pemilu. Kegiatan-kegiatan yang sifatnya
penguatan terhadap nilai-nilai demokrasi dalam warga
tetap dilanjutkan. Kepala desa selalu berkoordinasi dan
meminta petunjuk dari Bawaslu agar agenda pengambangan
pendidikan politik dan penguatan nilai-nilai demokrasi di
desanya tetap terus berjalan. Bahkan pihak pemerintah daerah
juga tetap mendukung dan mendorong agar praktik baik yang
dikembangkan di Desa Massamaturu terus dikembangkan
di desa lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari beberapa
kalangan, apa strategi yang dilakukan oleh Bawaslu bersama
pemerintah Desa Massamaturu sehingga program ini bisa
dilakukan secara berkelanjutan?
Bawaslu dalam mendorong terwujudnya sebuah
desa model pengawasan di Desa Massamaturu ini, diawali
dengan membangun komunikasi dan koordinasi dengan
pemerintah daerah sampai pada pemerintah tingkat desa. Dari
hasil komunikasi dan koordinasi ini disepakati beberapa
kegiatan yang dilakukan berbasis kemitraan, seperti:
1. Melibatkan Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Desa dalam kegiatan pencegahan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu
dan jajarannya di semua tingkatan. Hadirnya
Pemerintah Daerah, minimal menimbulkan
pesan bahwa kepentingan untuk mendorong
proses demokrasi dan Pemilu bersih (clean
election), bukan hanya tugas Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), namun menjadi tugas bersama,
termasuk pemerintah sebagai pemangku
kebijakan.
2. Melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah
daerah terkait Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) untuk mengetahui
program pokok daerah yang akan menjadi
cantolan dari program yang akan dikembangkan
di tingkat desa (RPJM-Des). Dari hasil koordinasi,
Bupati Takalar secara tegas menyampaikan
bahwa salah satu program andalannya yaitu
pengembangan nilai-nilai demokrasi. Program
pokok inilah yang selanjutnya di-breakdowndan
dijadikan cantolan program pengembangan
demokrasi di tingkat desa masuk dalam RPJM-
Desa Massamaturu.
3. Pengorganisasi Forum warga Kawal
Demokrasi (Forum-Awas) secara formal dimulai
dari tingkat Kabupaten dan kecamatan, yang
mendapat persetujuan dari pemerintah daerah.
Forum Awas tingkat Kabupaten lalu mendorong
pembentukan Forum Awas di tingkat kecamatan,
instansi, dan tingkat desa. Agar Forum Awas ini
dapat mengakses anggaran (dana) yang dikelola
pemerintah desa, Forum Awas di tingkat desa
dibentuk dan di-SK-kan langsung oleh Kepala
Desa sehingga menjadi salah satu lembaga dan
organisasi yang resmi di tingkat desa. Organisasi
yang diakui sebagai lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah desa, memiliki ruang untuk mendapat
dukungan anggaran dan program yang didanai
oleh anggaran dana desa.
(Struktur Pengurus Forum Awas)
Strategi di atas, menjadi hal yang penting
digarisbawahi, sebagai usaha mensinkronkan program
pemberdayaan warga desa yang memiliki alokasi
anggaran dari dana desa sesuai dengan ketentuan UU
Desa serta petunjuk teknis pengalokasian dana desa
dengan pelaksanaan pendidikan politik dan demokrasi di
Desa Massamaturu.
B. Hasil Yang Dicapai
Kegiatan-kegiatan yang digagas dan
dilaksanakan di atas, memiliki dampak yang sangat
menonjol positif, tidak ada tindak pelanggaran yang
ditemui, “Zero Pelanggaran Pemilu.” keikutsertaan
warga untuk ikut menyalurkan hak pilihnya, ikut
mengawasi setiap proses tahapan Pemilu, ikut kegiatan
sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah desa bersama
Pengawas Pemilu juga sangat dapat dilihat. Tidak adanya
tindak pelangaran, khususnya yang dianggap mencederai
nilai-nilai demokrasi secara subtansial, seperti politik
uang, kecurangan dalam proses pungut-hitung suara,
politisasi SARA, ujaran kebencian dan hoaks di wilayah
desa ini diakui oleh warga desa, pemerintah desa,
Pemerintah Daerah, juga oleh caleg yang berkontestasi
di Pemilu 2019.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Desa
Massamaturu, sebagai usaha mengoptimalkan peran dan
partisipasi warga desa dalam melakukan tanggungjawab
pencegahan serta pengawasan, khususnya pada
pelaksanaan Pemilu 2019, dapat dirinci sebagai berikut:
1. Terkait dengan partisipasi warga untuk
menyalurkan hak-hak politiknya, tidak
lagi terkendala persoalan administrasi
kependudukan, sebab semua warga
yang telah memiliki hak pilih telah melakukan
perekaman e-KTP.
keikutsertaan warga tidak hanya diukur dari
meningkatnya persentase warga yang memiliki
hak pilih hadir di TPS untuk menyalurkan aspirasi
dan pilihan mereka. keikutsertaan warga dapat
dilihat dari intensifnya warga mengikuti
agenda dan kegiatan sosialisasi yang dilakukan
oleh jajaran pemerintah desa agar mereka tahu
dan paham apa yang boleh dan mesti mereka
lakukan, demikian pula hal-hal yang dilarang
dan tidak boleh dilakukan dalam setiap tahapan
pemilu.
Beberapa pernyataan yang disampaikan oleh
warga yang menyebutkan bahwa dengan
adanya kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
desa yang didukukung oleh Bawaslu menjadikan
mereka paham bahaya dan akibat dari politik
uang. (Sumber: Wawancara dengan beberapa
tokoh dan warga desa)
2. Kepala Desa, perangkat desa, tokoh warga,
tokoh agama, pemuda, wanita bersatu dan
bersinergi dengan Bawaslu dalam melakukan
agenda sosialisasi pencegahan dan pengawasan.
Untuk menformalkan tugas ini, pihak Kepala Desa
membentuk dan mengesahkan kepengurusan
Forum Awas di tingkat desa.
Kegiatan Pencegahan yang dilakukan secara
masif di tingkat desa oleh Forum Awas, didanai
dari dana yang dialokasikan oleh pemerintah
desa, seperti untuk mencetak sticker dan
melakukan kegiatan sosialisasi yang melibatkan
Bawaslu Kabupaten Takalar.
Semua ini berdampak pada kuatnya kesadaran
warga, perangkat desa, dan tokoh
warga untuk mencegah, baik untuk diri
mereka maupun keluarga dan warga mereka dari
tindakan yang dianggap melanggar norma dan
aturan kepemiluan.
Isu tentang politik uang yang kadang dianggap
marak terjadi dapat dicegah. Tidak ditemukan
kasus politik uang selama pelaksanaan Pemilu
2019 di Desa Massamaturu.
3. Informasi kepemiluan, baik terkait dengan hak-
hak warga dalam pemilu maupun regulasi yang
berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu di setiap
tahapan, dengan mudah diakses oleh warga. Hal
itu terjadi sebab beberapa titik yang selama ini
menjadi tempat berkumpul warga, seperti pos
ronda, tenpat penimbangan balita yang sering
diakses oleh warga, dijadikan sebagai pusat
komunikasi, informasi,dan edukasi (KIE) tentang
pengawasan kepemiluan. Praktik baik ini masih
dapat ditemui hingga saat ini.
4. Anggota DPRD Takalar, dinas terkait, serta
Bupati Takalar, dalam beberapa kesempatan
menyampaikan testimoni dan harapan mereka
agar kegiatan yang dikembangkan di Desa
Massamaturu dapat di kembangkan di desa-
desa lain sebab benar-benar manfaatnya
dapat dirasakan oleh warga desa serta
pemerintah daerah sendiri. Pemahaman dan
kesadaran politik warga yang terbangun dari hasil
kerjasama antara Bawaslu dan Pemerintah Desa
Massamaturu, kata Bupati Samsari Kitta, telah
mampu menghadirkan sebuah proses demokrasi
yang sehat, jauh dari politik uang, dan hal-hal
yang merusak nilai-nilai demokrasi. Bupati
Takalar ini juga mengharapkan semoga hal
seperti ini dapat dikembangkan di desa-desa lain
di wilayah Kabupaten Takalar.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa poin
sebagai kesimpulan dari tulisan ini, yaitu:
1. keikutsertaan warga, khususnya dalam bidang
penguatan demokrasi dan lebih spesifik pada
aspek politik bernegara, yaitu sesuatu yang
mesti terus didorong dan dikembangkan. Hal ini
tentu tidak mudah, sebab beberapa kondisi nyata
dalam warga, baik secara internal maupun
eksternal warga desa, terjangkiti sikap dan
pandangan pragmatisme politik. Kesadaran akan
hak-hak dan tanggungjawab untuk menciptakan
kehidupan demokrasi masih perlu terus didorong,
Pendidikan politik, bahkan pendidikan pemilih
pun masih belum dilakukan secara terencana
dan tersistematisasikan dengan baik. Sosialisasi-
sosialisasi mengajak warga untuk hadir memilih,
menjadi tidak bermakna jika warga
sendiri tidak paham untuk apa mereka memilih,
warga tidak dapat merasakan dampak baik
dari hasil-hasil pilihan mereka selama ini jika
dilakukan dengan benar dan baik.
2. Posisi desa dalam mendorong partisipasi
warga menjadi sangat penting dan strategis.
Pemerintahan di tingkat desa memiliki
kewenangan yang diatur dalam undang-
undang yang sangat bisa untuk mendorong dan
meningkatkan kesadaran politik, pemahaman
tentang hakikat demokrasi yang baik dan
benar. Kepala desa besama perangkat desa
dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dapat
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang didanai
dari dana alokasi desa yang cantolannya pada
pemberdayaan warga untuk meningkatkan
pemahaman dan kesadaran politik warganya.
Akan namun hal ini tentu membutuhkan
desain kegiatan yang lebih baik danlebih
terencana.
3. Desa Massamaturu di Kabupaten Takalar yaitu
salah satu desa yang mencoba berinovasi
menjawab harapan-harapan besar dari warga
warga. Tentu belum sempurna, masih
banyak hal yang perlu pembenahan, namun
keinginan untuk malakukan kegiatan-kegiatan
yang bermuara pada usaha meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran politik warga di
desanya patut untuk diapresiasi. Respons Kepala
Desa, BPD, dan perangkat desa untuk membuat
kegiatan-kegiatan yang didukung kas dana desa,
yang alokasi pelaksanaannya dilakukan melalui
Forum Awas tentu dapat menjadi salah satu best
practices.
Rekomendasi
Dari uraian di atas, hal yang perlu disampaikan
sebagai rekomendasi, baik untuk pengembangan Desa Model
Pengawasan Partsipatif yang dilakukan di Desa Massamaturu
Kabuupaten Takalar, maupun desa-desa lain yang ingin
melakukan atau telah melakukan hal yang sama, yaitu :
1. Dibutuhkan panduan yang disusun secara baik
oleh Bawaslu untuk mengembangkan desa/
kelurahan/kampung/lorong model pengawasan
atau sebutan lain-lainnya yang menggambarkan
sebuah komunitas yang akandidampingi.
Panduan ini penting agar kegiatan yang dilakukan
benar-benar terencana dengan desain kegiatan
yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan
(goal) yang hendak dicapai. Dengan adanya
panduan ini , maka dimungkinkan untuk
bisa mengukur dan mengevaluasi capaian dari
indikator keberhasilan yang telah dibuat.
Semangat jajaran Bawaslu untuk membentuk
desa model pengawasan, desa anti politik uang,
desa sadar pengawasan, desa sadar pemilu,
dan nama lain sudah banyak mendapat respons
dari pemerintah desa. Namun saat ditanya
bagaimana bentuk dan desainnya,pada sisi ini
yang belum bisa direspon dengan baik,
Bahwa sebaiknya bentuk, model dan inovasi itu
lahir dari desa yaitu benar, namun bagaimana
muncul ide, inovasi, dan kreativitas itu
membutuhkan strategi pendampingan. Pada
posisi inilah Bawaslu di tingkat kabupaten dapat
melakukan usaha -usaha yang melibatkan pihak-
pihak lain untuk mendorong keinginan ini. Pada
aspek inilah panduan dan pedoman itu menjadi
penting dirumuskan.
2. Dalam alokasi penggunaan dana desa,
pada kegiatan pemberdayaan warga
memungkinkan untuk menitipkan agenda
pendidikan politik, namun memang mesti memiliki
cantolan dalam RPJMD daerah. Oleh sebab itu,
akan lebih baik kalau advokasi yang dilakukan,
berangkat dari usaha memasukkan program
pokok yang dirumuskan dalam Musrembang
secara berjenjang, dan diharapkan isu demokrasi
dapat masuk sehingga dapat menjadi cantolan
kegiatan yang akan dirumuskan sampai di tingkat
desa.
Pemilihan Umum (pemilu) yaitu salah satu pilar
demokrasi sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan
yang dihasilkan dari pemilu diharapkan menjadi pemerintahan
yang mendapat legitimasi yang kuat dan amanah. Pemilu
pun menjadi tonggak tegaknya demokrasi, di mana rakyat
secara langsung terlibat aktif dalam menentukan arah dan
kebijakan politik negara untuk satu periode pemerintahan ke
depan. Keberhasilan pemilu tentunya sangat dipengaruhi oleh
seberapa besar tingkat kesadaran politik warganegara yang
1 Mangente Kampung yaitu istilah bahasa Ambon yang di gunakan dalam
bentuk acara resmi maupun tidak resmi oleh instansi maupun perseorangan,
yang bermakna gerakan peduli dalam setiap kehidupan soaial, dinmana
kita datang untuk menyapa dan berbincang dengan warga untuk
memabahas berbagai persoalan, gerakan ini juga dapat dilakukan melalui
Forum Warga atau pembentukan kelompok sebagai salah satu metode Inovasi
Bawaslu Maluku dalam meningkatkan pengawasan partisipasi warga
untuk mengawal penyelenggaraan Pemilu sebagai wujud pelaksanaan
peraturan perundang-undangan melalui pendidikan pengawasan partisipatif
dalam Pemilu.
bersangkutan. Kesadaran politik ini terefleksi dari seberapa
besar partisipasi dan peran warga dalam proses pemilu,
dengan memberikan kesempatan kepada setiap warganegara
untuk memberikan suara dukungannya dalam proses
penetapan pemerintah, baik di eksekutif maupun legislatif
selaku pemangku kebijakan.
Pada dasarnya partisipasi politik warga dalam
pemilu dapat menjadi sarana bagi warga dalam
mengontrol jalannya pemerintah yang akan terpilih. warga
berhak untuk menentukan dan menyerahkan amanahnya
kepada mereka yang layak dan dipercaya untuk menjalankan
roda pemerintahan kedepan. Selain itu partisipasi politik
warga juga dapat menjadi alat untuk mengekspresikan
eksistensi individu atau kelompok sosial di warga dengan
mempengaruhi pemerintah melalui mekanisme politik.
Rendahnya partisipasi politik umumnya muncul sebab sikap
apatis dan sikap apriori terhadap aktivitas dan kegiatan politik,
di mana warga lebih memilih untuk menjalankan aktivitas
harian mereka seperti bekerja, berkebun, mencari ikan di
laut, membuat kerajinan, dan sebagainya, yang dirasa dapat
memberikan suatu manfaat yang lebih nyata dibandingkan
dengan harus berpartisipasi dalam politik. Faktor lain yang
juga erat kaitannya dengan partisipasi politik yaitu tingkat
pendidikan warga rendah, keadaan geografis, maupun
kurangnya sosialisasi dari penyelenggara pemilu. Inilah yang
menjadi ironi di banyak daerah terpencil di Provinsi Maluku, di
mana tingkat literasi warga yang masih rendah berimbas
pada tingkat partisipasi warga pada agenda politik yang
umumnya tergolong rendah.
Keberadaan Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) Provinsi Maluku yang dibentuk melalui UU Nomor 15
Tahun 2011 jo UU Nomor 7 Tahun 2017, sebagai lembaga negara
yang berwewenang mengawasi seluruh tahapan pemilihan
umum serta dituntut menjadi wasit yang profesional, akuntabel,
dan berintegritas tinggi, sebab memiliki nilai strategis yang
sangat penting. Dalam melakukan pencegahan pelanggaran
pemilu dan pencegahan sengketa proses pemilu, Bawaslu
Provinsi bertugas meningkatkan partisipasi warga dalam
pengawasan pemilu di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pemilu di Provinsi Maluku selalu
mengalami kendala tak terkecuali pada Kabupaten Buru
Selatan. Buru Selatan yaitu sebuah kabupaten di Provinsi
Maluku dèngan ibukotaNamrole. Kabupaten ini dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008, sebagai
pemekaran dari Kabupaten Buru yang yaitu kabupaten
induk. Kabupaten Buru Selatan dengan jumlah kecamatan
sebanyak 5 (lima), yaitu Kecamatan Kepala Madan dengan
ibukota Biloro, Kecamatan Leksula dengan ibukota Leksula,
Kecamatan Namrole dengan ibukota Namrole, Kecamatan
Waesama dengan ibukota Wamsisi, dan Kecamatan Pulau
Ambalau dengan ibukota Wailua. Komposisi warga Buru
Selatan terdiri atas orang-orang asli penghuni Pulau Buru,
kemudian warga yang berasal dari Pulau Ambalau dan
warga pendatang yang kebanyakan berasal dari etnis
Buton dan Bugis.
Desa Wamsisi, Kecamatan Waesama memiliki 5 (lima)
dusun, yakni Dusun Lehoni, Dusun Kusu-Kusu, Dusun Kabuti,
Dusun Mangga Dua, dan Dusun Wasalai. Dusun Wasalai
yaitu salah satu dusun yang dimekarkan pada tahun 2016.
Dusun ini terletak di ujung timur Desa Wamsisi, Kecamatan
Waesama, Kabupaten Buru Selatan. Dusun ini didiami oleh
warga adat dari 2 (dua) soa, yakni Soa Wanhedan (Soa
Latuwael) dan Soa Wailua (Soa Latbual).
warga dusun setempat masih memiliki gaya
hidup bersifat tradisional, baik dari segi berpakaian maupun
tempat tinggal atau rumah. warga Dusun Wasalai dalam
pola kehidupannya masih memakai pola hidup dengan
pendekatan filosofi budaya/adat setempat, yakni pendekatan
kehidupan “Kakat Wait” yang artinya hidup orang adik kakak.
warga adat di Dusun ini memakai cara berpikir
mereka dengan pendekatan ini sebagai bagian yang selalu
memberikan mereka motivasi dari segala hal, yakni cara pikir,
bekerja, dan membangun hubungan sosial antara warga
adat setempat dengan warga pendatang lain yang
membuka usaha kecilnya di Dusun Wasalai .
Kehidupan warga Dusun Wasalai selain dengan
budaya hidup Kakatwait (hidup orang adik kakak),mereka
juga memakai cara hidup saling mengerti dan memahami
hidup toleransi antar-umat beragama. Masayarakat Dusun
Wasalai dalam kehidupan kesehariannya lebih pada hubungan
kekerabatan dan kekeluargaan yang sakral, di mana menurut
mereka sulit untuk diucapkan walaupun dalam berkomunikasi
maupun gerakan atau tindakan. Sebut saja saat dalam satu
keluarga ada saudara perempuannya (nona) yang menikah
dengan laki-laki lain (nyong), maka saudara laki-laki dari
perempuan itu tidak bisa memanggil atau menyebut nama
dari laki-laki (nyong) yang mengawini saudara perempuannya.
Menurut mereka hal itu tidak diperbolehkan atau “pemali” yang
artinya dilarang untuk menyebut nama dari suami saudara
perempuannya. Mereka hanya bisa menyebut nama “dawe”
yang artinya ipar.
Dengan pendekatan kehidupan sosial mereka yang
masih kental dengan nilai budayanya, mereka dalam pola
hidup warga di Dusun Wasalai selalu menjunjung tinggi
hidup toleransinya. warga Dusun Wasalai dalam pola
berpakaian selalu identik dengan ciri khas mereka, yakni
pengikat kepala (lenso/lestari) dan pengikat pinggang (kain
beran). Pakaian ini sering dipakai untuk acara adat, baik
di dalam Dusun Wasalai maupun di luar dusun. Pakaian ini
yaitu pakaian kebesaran mereka yang ada sejak dahulu
kala tete nenek moyang mereka.
warga Dusun Wasalai memiliki senjata tradisional,
yakni Parank, Salawaku, dan tombak. Tombak yang mereka
miliki pun terdiri atas beberapa jenis, yakni: tombak lapang
wangan, tombak bajinet, dan tombak babi. Ketiga jenis tombak
ini memiliki tipe atau bentuknya berbeda-beda dan memiliki
kegunaan masing-masing, yakni:
1. Tombak lapang wangan yaitu tombak yang dipakai
untuk menghadang musuh atau lawan yang jumlah besar
yang menyerang mereka. Tombak ini saat terkena musuh
sulit untuk terlepas sebab ada 8 cabang runcingnya yang
berlawanan arah.
2. Tombak bajinet yaitu tombak yang dipakai untuk
menyerang musuh yang jumlahnya kecil, sebab tombak ini
saat terkena musuh bisa dicabut dan dipakai kembali.
Tipe tombak ini runcing dan alus memanjang.
3. Tombak babi yaitu tombak yang dipakai untuk berburu
binatang yang berkeliaran di hutan. Tipe tombak ini isinya
lebar memanjang.
Masayarakat adat Dusun Wasalai dalam
menyelesaikan sebuah persoalan atau permasalahan dengan
memakai pendekatan dalam bahasa Buru, yaitu smake
(bacarita). warga setempat memandangnya sebagai
sebuah bagian adat budaya yang mampu menyelesaikan
semua persoalan yang sering terjadi di Dusun Wasalai.
Dalam menyelesaikan persoalan apapun mereka selalu
mengedepankan smake(bacarita) sebagai bagian penting
dariadat budaya dalam menyelesaikan persoalan sosial
warga di Dusun Wasalai. warga setempat menilai
langkah ini lebih tepat sebab tanpa memerlukan anggaran,
ketimbang penyelesaiannya lewat jalur hukum atau
pemerintahan yang juga menimbulkan adanya biaya yang harus
mereka keluarkan. Oleh sebab itu, semua persoalan yang
terjadi di Dusun Wasalai bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Keseharian warga Dusun Wasalai aktivitasnya yaitu
dengan berkebun atau pergi ke hutan dari pagi sampai dengan
sore hari untuk mencari nafkah dan dapat menafkahi keluarga
mereka. Sedangkan dari tingkat pendidikan, mereka sebagian
besar pendidikannya tidak tamat sekolah dasar. Jadi dapat
dikatakan mereka sangat terbelakang dalam segala bidang.
Kabupaten Buru Selatan belum terlalu mengalami
kemajuan di bidang segala bidang, terlebih dalam
telekomunikasi dan infrastruktur. Mereka masih terbelakang
dalam banyak hal oleh sebab warga Dusun Wasalai, Desa
Wamsisi, Kecamatan Waesama belum tersentuh oleh proses
pembangunan, sulitnya akses telekomunikasi/internet, akses
transportasi,rendahnya sumberdaya manusia,dan warga
di sana masih memiliki adat yang kental sehingga dikategorikan
sebagai daerah atau desa terpencil. Bila dikaitkan dengan
persoalan-persoalan kepemiluan, pemahaman mereka masih
jauh dari ideal. Dari hasil wawancara singkat saat pelaksanaan
Kegiatan Forum, warga warga tidak pernah mengetahui
tentang apa itu pemilu, tahapan pemilu, bahkan penyelenggara
pemilupun warga tidak mengetahui sama sekali.
Sebagai daerah terpencil, Dusun Wasalai,Desa Wamsisi,
Kecamatan Waesama, sangatlah membutukan perhatian
Pemerintah Daerah setempat, baik dalam pembangunan
infrastuktur maupun pembangunan manusianya. Pembangunan
infrastruktur misalnya, sebab untuk transportasi menuju
ke Dusun Wasalai dari ibukota Kecamatan Waesama harus
menempuh perjalanan darat dengan kendaran mobil selama
kurang lebih 2 (dua) jam. Selain itu di Dusun ini akses
telekomunikasi/internet belum ada sama sekali sehingga jauh
dari berbagai informasi. Demikian juga untuk pembangunan
manusia, misalnya sebagian besar warga ini yaitu
warga adat yang tingkat pendidikan masih rendah.
Masih banyak warga yang belum bisa membaca, menulis,
maupun berbahasa negara kita dengan baik.
Merujuk pada persoalan ini maka Bawaslu
Provinsi Maluku berinisiatif untuk dapat meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan tentang pemilu. Persoalan
menyangkut penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang
dihadapi oleh warga Dusun Wasalai yang masih terbatas
yaitu :
1. Kelembagaan penyelenggara teknis pemilu dan pengawas
pemilu yang setiap saat mengawasi tahap pemilu.
2. Jenis-jenis pemilu yang dilaksanakan pada tahun 2019.
3. Syarat sebagai pemilih DPT, DPK, dan DPTB.
4. Larangan-larangan bagi pemilih dan peserta dalam Pemilu.
5. Mekanisme melaporkan/membuat laporan warga
saat menemukan pelanggaran pemilu.
6. Tempat pemungutan suara, di mana lokasinya yang jauh
dari dusun ini sehingga menyulitkan pemilih untuk
menyalurkan suara secara baik dan lancar sesuai asas
penyelenggaraan pemilu.
7. Sebagian besar warga Dusun ini sudah
mengenal huruf dan tulisan, namun masih ada yang belum
mengerti membaca dan menulis secara baik dan benar.
Uraian persoalan di atas menunjukkan bahwa salah
satu peran strategis Bawaslu yaitu meningkatkan kesadaran
politik warga untuk berpartisipasi aktif dalam setiap
proses pengawasan pemilu. Dengan demikian diperlukan
suatu usaha yang sistematis dari Bawaslu untuk melakukan
model komunikasi yang tepat kepada warga dalam
rangka membangun kesadaran politik warga sehingga
dapat menciptakan proses demokratisasi di negara kita pada
umumnya dan Provinsi Maluku pada khususnya.
Untuk itu salah satu usaha Bawaslu Provinsi
Maluku dalam memaksimalkan tugas-tugas pencegahan
dan pengawasan yaitu dengan pendidikanpolitik melalui
Mangente Kampung dalam meningkatkan kualitas pemilu
di desa terpencil, dengan metode membentuk komunitas
forumwarga, tabaos, dan bacarita, yang yaitu bentuk
strategi ditingkat kampung atau desa untuk bagaimana kita
dapat meningkatkan pemahaman warga,khususnya
warga terpencil yang berkaitan dengan pengetahuan
kepemiluan. Kegiatan yang dilaksanakan ditingkat kampung
atau desa bahkan dusun dalam skala yang sangat kecil
diharapkan dapat membantu mengurangi beban pengawas
pemilu dalam usaha mendorong partisipasi warga
dalam pengawasan pemilu yang dikenal dengan pengawas
partisipatif, pengawas tanpa identitas yang akan membantu
Bawaslu dalam melaksanakan tugas pencegahan dan
pengawasan pada semua tahapan pemilu.
Kehadiran pengawas partisipatif ini sangat penting
dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, Bawaslu telah
diberi mandat undang-undang untuk menjalankan fungsi
pengawasan. Bawaslu juga dibekali struktur kelembagaan
yang kuat, bahkan hingga tingkat paling bawah. Demikian
juga dengan anggaran pengawasan yang diberi negara
untuk kontrol secara berkala, artinya beban kontrol terhadap
penyelenggaraan pemilu lebih besar diberi kepada
Bawaslu. Kedua, Bawaslu sebagai struktur terlembaga memiliki
keterbatasan, khususnya personel dan struktur yang bertugas
mengawasi. Pada tingkat pusat Bawaslu hanya diisi oleh 5
(lima) personel, lima sampai tujuh orang disetiap provinsi, dan
tiga sampai lima orang di setiap kabupaten/kota, tiga orang
disetiap kecamatan, satu orang disetiap desa/kelurahan, dan
satu orang disetiap TPS. Oleh sebab itu sebagai lembaga
yang bertugas melakukan pengawasan perlu mendorong
usaha partisipasi untuk menguatkan fungsi kontrol tahapan
penyelenggara pemilu. Ketiga, tantangan penyelenggaraan
pemilu kedepan yang sangat kompleks, di mana kecenderungan
hadirnya pelanggaran pemilu, mengabaikan hak politik warga,
manipulasi suara pemilih yang tidak bisa dihindarkan. Semua
ini dapat diatasi dengan mencerdaskan warga untuk ikut
dalam mengawasi dan mengontrol tahapan pemilu.
Kabupaten Buru Selatan telah beberapa kali
melaksanakan pemilihan umum secara langsung, mulai dari
Pemilu Presiden-Wakil Presiden maupun Pemilu Legislatif
Tahun 2014, Pemilihan Bupati Tahun 2015 dan Pemilihan
Gubernur Tahun 2018. Dari pengalaman panjang pelaksanaan
pemilihan umum ini , banyak pelanggaran pemiluterjadi
sebab ketidaktahuan warga. Hal ini terjadihampir
pada semua tahapan, baik sebelum pemilihan, pada saat
hari pemilihan/pemberian suara di TPS, maupun setelah hari
pemilihan yang tahapannya masih panjang, sampai pada
akhirnya pengumuman hasil pemilu secara resmi. Kecurangan
ataupun pelanggaran ini tidak lepas dari fungsi
pengawasan pengawas pemilu yang masih membutuhkan
mekanisme pengawasan ketat. Salah satu yang dapat dilakukan
yaitu melibatkan partisipasi aktif warga dalam
melakukan pengawasan. Dalam konteks ini, Pengawas Pemilu
harus menerapkan sistem pengawasan partisipatif untuk
maksimalnya pengawasan pemilu. Pengawasan partisipatif
yang dimaksud ialah melibatkan warga untuk menjadi
manusia aktif memantau sekaligus mengawasi setiap tahapan
pemilu yang berlangsung pada lingkungannya.
Oleh sebab itu, Bawaslu Provinsi Maluku harus
melakukan program partisipatif. Program ini yaitu
serangkaian kegiatan yang mengikutsertakan warga dan
lembaga lain dalam menjaga kesehatan demokrasi melalui
pengawasan bersama. Artinya, seluruh warga negara termasuk
penyelenggara berperan aktif dalam mengawasi jalannya
pesta demokrasi dan mencegah setiap potensi-potensi
pelanggaran dan kecurangan yang akan terjadi. Dengan
berbagai studi penelitian terdahulu dan fenomena empiris di
lapangan menginspirasi Penulis untuk melakukan penelitian
terkait dengan persoalan ini , yakni “Pendidikan Politik
Melalui Mangente Kampung dalam Peningkatan Kualitas
Pemilu di Desa Terpencil (Studi Pada Dusun Wasalai,Desa
Wamsisi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan).”
keikutsertaan yaitu kunci sukses dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebab partisipasi menyangkut aspek
pengawasan dan aspirasi Aspek
pengawasan partisipatif ini pun harus menyentuh semua
segmentasi partisipatif yang dinilai mampu dan cakap
dalam menyehatkan demokrasi melalui pemilu dan pilkada.
Kerjasama ini dilakukan bersama perguruan tinggi,
organisasi warga sipil, media massa (jurnalistik), dan
organisasi bersifat budaya atau adat dan lain-lain.
Kelompok-kelompok ini berperan aktif dan
memiliki relawan berjumlah jelas untuk menjalankan program
pengawasan. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No.
10 Tahun 2016 pasal 131 ayat (1), “Untuk mendukung kelancaran
penyelenggaraan Pemilihan dapat melibatkan partisipasi
warga.” Berikutnya pada ayat (2), “keikutsertaan warga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam
bentuk pengawasan pada setiap tahapan Pemilihan, sosialisasi
Pemilihan, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak
pendapat tentang Pemilihan, dan penghitungan cepat hasil
Pemilihan.”
Pengaturan berikutnya dalam Perbawaslu No. 13 Tahun
2012 tentang Tata Cara Pengawasan Pemilu, Pasal 22 ayat (1)
bahwa “keikutsertaan warga dalam pengawasan Pemilu dapat
dilakukan dengan cara, pemantauan, penyampaian laporan
awal dan/atau informasi awal temuan dugaan pelanggaran,
melakukan kajian, pengawasan kampanye, serta bentuk lainnya
yang tidak melanggar perundang-undangan.”
Dengan gerakan partisipatif warga untuk ikut
melakukan pengawasan sejak dini yaitu wujud dari
pendidikan dan partisipasi politik. warga dalam hal ini
diajak menjadi bagian dari sukses penyelenggaraan pilkada
dan bukan hanya sebagai penonton. sebab hakikat demokrasi
lokal yaitu bagaimana mendorong partisipasi warga di
dalamnya. Untuk dapat memaksimalkan pengawasan maka
Pengawas Pemilu harus menerapkan sistem pengawasan
partisipatif dalam hal pencegahan dan pengawasan pemilu.
Perlu adanya sinkronisasi pemahaman bersama warga
tentang pengawasan pemilu.
keikutsertaan warga dalam tahapan Pilkada
2018 maupun tahapan Pemilu 2019 di Kabupaten Buru
Selatan dengan mengandalkan semboyan/prinsip “Lolin
Lelan Fedak” (satukan hati membangun negeri) sehingga
penyelenggaraan pemilu bisa sukses dan berkualitas. Menurut
Alin, seorang tokoh warga,prinsip Lolin Lelan Fedak
dapatmengantarkanPilgub2018 Kabupaten Buru Selatan tidak
perlu sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Cukup rakyat
menentukan siapa kepala daerah dan wakil kepala daerah
nantinya, prinsip ini harus sesuai dengan Undang-Undang (2).
Namun dari hasil diskusi bersama warga, hal ini
hanya pada skala elite dan warga sipil terus menjadi
korban sebab minim serta terbatasnya pemahaman tentang
persoalan pemilu. warga jarang memperoleh informasi,
bahkan bisa disebut ketinggalan jauh terhadap persoalan
pemilu. Jangankan hak untuk memilih,warga tidak pernah
mengetahui bagaimana untuk bisa menjadi seorang pemilih
yang sah menurut undang-undang.
Dari pandangan di atas, regulasi Pilkada 2017 lebih
baik dibanding Pilkada 2015. Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan
pilkada. Pada kasus money politic, misalnya, regulasi Pilkada
2015 menyatakan dilarang namun tidak sanksinya. Pada
Pilkada 2017, larangan dan sanksi hukumnya jelas. Terdapat
satu rumusan pasal 73 ayat (1) ayat (2) dan pasal 135A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur norma
pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif terkait dengan
money politic dan saksinya serta pelanggaran lainnya.
Meski regulasinya sudah lebih baik, Pilgub serentak
2018 masih diwarnai sejumlah pelanggaran. Sejumlah kasus
yang menonjol di antaranya money politic, kampanye hitam,
penggunaan fasilitas negara, mobilisasi aparatur sipil negara,
dan penyalahgunaan kekuasaan oleh calon petahana, desain
regulasi pemilu/pilkada makin menempatkan Bawaslu pada
porsi dan posisi penegakan hukum pemilu seiring dengan
pemberian kewenangan penyelesaian beberapa jenis sengketa
dengan putusan yang bersifat final dan mengikat. Sekarang
ini Bawaslu sudah menjadi semacam kuasi peradilan. sebab
itu ke depan peran warga sipil dalam pengawasan harus
diperkuat.
Dengan adanya partisipasi semua pemangku
kepentingan, penguatan pengawasan yang dilakukan
Bawaslu dan jajarannya akan lebih efektif. Logikanya, bila
tahapan-tahapan Pemilu tidak terawasi dengan baik, sudah
pasti tujuan untuk menghasilkan kepemimpinan berkualitas
dan berintegritas di tingkat lokal juga tidak akan tercapai.
Harapannya pilkada serentak akan lebih berkualitas dari
pilkada-pilkada sebelumnya.
Dengan demikian untuk menghasikan pemilu
berkualitas dan berintegritas di Kabupaten Maluku Tengah,
prinsip “Lolin Fefan Fedan” (mari bersama membangun
negeri) dapat memaksimalkan pengawasan pemilu dengan
harapan penyelenggaraan pemilu bisa sukses dan berkualitas.
Pengawas pemilu dapat melakukan kerja sama dengan
institusi lain atau kelompok strategis warga untuk dapat
menjawab hal ini .
Mengingat hal yang selalu luput dari pengawasan
di manaterjadi kecurangan yang terstruktur sesuai dengan
penjelasan UU No. 10 Tahun 2016 pasal 135A Ayat (1). Yang
dimaksud dengan “terstruktur” yaitu kecurangan yang
dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah
maupun penyelenggara Pemilu secara kolektif atau secara
bersama-sama. Yang dimaksud dengan “sistematis” yaitu
pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun,
bahkan sangat rapi. Yang dimaksud dengan “masif” yaitu
dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap
hasil pemilihan, bukan hanya sebagian-sebagian. Gerakan inilah
yang harus menjadi perhatian penuh untuk bagaimana kita
menyatukan kekuatan dengan melibatkan seluruh stakeholder
dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu.
keikutsertaan warga dalam Politik.
Peran serta atau partisipasi warga dalam politik
yaitu kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan
jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public
policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan
seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, ‘voting’;
menghadiri rapat umum, ‘campaign’; menjadi anggota suatu
partai atau kelompok kepentingan; mengadakan pendekatan
atau hubungan, ‘contacting’ dengan pejabat pemerintah,
anggota parlemen, dan sebagainya. keikutsertaan politik yaitu
kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi
yang dimaksud mempengaruhi pembutan keputusan oleh
pemerintah. keikutsertaan bisa bersifat individual atau kolektif,
terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara
damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif. Fungsi utama partai politik yaitu mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-
programnya berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang
dipakai partai politik dalam sistem politik demokratis
untuk memperoleh dan/atau mempertahankan kekuasaan itu
yaitu dengan melalui mekanisme pemilihan umum. Terkait
dengan tugas ini maka menjadi tugas partai politik
untuk mencari dukungan seluas-luasnya dari warga agar
tujuan itu dapat tercapai.
Cara lain dalam mendorong partisipasi warga
terhadap pemilu melalui penguatan partai politik.
Argumentasinya bahwa partai politik diwajibkan melakukan
pendidikan politik; bukan malahan partai politik mengarahkan
pemilih dengan metode politik instan, yaitu pemberian uang.
Ketika pola atau cara ini masih direproduksi terus-menerus,
bisa dipastikan nilai dan pemahaman warga terhadap
partisipasi menjadi mengecil hanya dihargai dengan uang,
bukan sebab kesadaran sendiri untuk memilih partai sebab
kinerja serta keberpihakannya dalam momentum pemilu.
Seseorang mau terlibat aktif dalam kegiatan partisipasi politik,
menurut Davis Keth (1987:145), sebab ada tiga unsur,
yaitu:
a. Adanya penyertaan pikiran dan perasaan
b. Adanya motivasi untuk berkontribusi
c. Adanya tanggung jawab bersama.
keikutsertaan berasal dari dalam atau dari diri sendiri
warga ini . Artinya meskipun diberi kesempatan
oleh pemerintah atau negara; namun kalau kemauan ataupun
kemampuan tidak ada, maka partisipasi tidak akan terwujud.
Di samping itu, ada bentuk-bentuk partisipasi politik
sebagaimana dikemukakan syam kamaruzaman
bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik yaitu sebagai berikut:
1) keikutsertaan dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap
muka
2) keikutsertaan dalam bentuk iuran uang, barang, dan
prasarana
3) keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan
4) keikutsertaan dalam bentuk dukungan.
Analisis politik modern partisispasi politik
yaitu suatu masalah yang penting dan akhir-akhir ini
banyak dipelajari, terutama hubungannya dengan negara
berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa
partisipasi politik yaitu kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara secara
langsung atau tidak langsung, memengaruhi kehidupan
kebijakan (public policy). Setiap perhelatan demokrasi atau
pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik
negara kita memiliki dampak terhadap perkembangan kemajuan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Para elite politik
sejatinya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada
warga agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari
berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi ini akan
tinggi jika partisipasi warga dalam memberikan haknya
juga tinggi. Kesadaran warga untuk berpartisipasi secara
positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang ini
merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan di mana
dia berada. jika kondisi yang terjadi yaitu sebaliknya,
maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak
janggal atau negative. Misalnya jika seseorang sudah terbiasa
berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, namun
dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan warga yang
feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami
kesulitan dalam proses beradaptasi.
Meningkatnya keterlibatan warga dalam
penyelenggaraan pemilu menunjukkan semakin kuatnya
tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi
menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap
penyelenggaraan yang dilakukan negara. Rakyat diposisikan
sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, sebab pada
hakikatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan
dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan
dari yang diperintah. Keterlibatan warga menjadi unsur
dasar dalam demokrasi. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu
sebagai sarana dalam melaksanakan demokrasi, tentu saja
tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan warga.
Menurut Ikhsan Darmawan (2015: 55), partisipasi politik akan
berjalan selaras manakala proses politik berjalan secara stabil.
Seringkali ada hambatan partisipasi politik saat stabilitas
politik belum bisa diwujudkan, sebab itu penting untuk
dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan
proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya
melakukan usaha pelembagaan politik sebagai bentuk dari
usaha untuk memberikan kasempatan kepada warga
untuk mengaktualisasikan cita citanya.
Cara partisipasi politik dapat didefinisikan sebagai
cara partisipasi politik di mana warga negara melakukan
berbagai usaha untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Adatiga jenis cara partisipasi. yaitu: Interest Articulation,
partisipasi jenis ini artinya individu menyuarakan kepentingan
melalui hubungan personal, organisasi formal atau informal
serta berbagai macam proses; Interest Aggregation, partisipasi
politik jenis ini artinya seorang individu menyatukan aspirasi
yang banyak beraneka ragam; dan Policy Making, partisipasi
politik jenis ini artinya seseorang individu terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan.
A. Mangente Kampung
Kota Ambon dikenal dengan sebutan “Ambon Manise”,
disebab kan pemandangan alam yang dimiliki oleh Kota
Ambon sangatlah indah dan manis. Selain itu, kebudayaan
yang terkenal dimiliki oleh Kota Ambon dikenal dengan
sebutan Pela dan Gandong. Pela Gandong yaitu suatu
sistem hubungan sosial yang dikenal dalam warga
Maluku, berupa suatu perjanjian hubungan antara suatu negeri
(sebutan untukkampung atau desa) dengan negeri lainnya,
yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut
agama lain di Maluku. Biasanya satu negeri memiliki paling
tidak satu atau dua pela yang berbeda jenisnya.
Cikal bakal tumbuh suburnya multikulturalisme di
wilayah Kepulauan Maluku,antara lain sebab : pertama, dari
segi geolinguistik dianggap sebagai bagian dari tanahasal
suku-suku bangsa pemakai bahasa-bahasa Austronesia (Andili,
1980);kedua, darisegi geokultural yaitu lintasan strategis
migrasi-migrasi manusia dan budaya dariAsia Tenggara ke
wilayah Melanesia dan Mikronesia, Oceania. dan ke arah timur
yangdiikuti oleh perkembangan budaya wilayah timur sejak
ribuan tahun lalu (Solheim,1966; Duff, 1970; Shutler; 1975:
8-10);ketiga,dari segi ekonomi yaitu wilayahpenghasil
rempah-rempah paling utama, yang antara lain memicu
wilayahini menjadi ajang potensial persaingan
kepentingan hegemoni ekonomi, danakhirnya bermuara pada
pertarungan politik dan militer
Mangente yaitu sebuah istilah bahasa Ambon yang
maknanya sangat dalam,yakni mengunjungi, menyapa-
datangi suatu tempat yang sudah lama ditinggal atau jarang
didatang. Mangente kampung yaitu kegiatan di mana kita
datang ke suatu desa atau dusun untuk melihat apa yang terjadi
atau apa yang akan kita perbuat guna membangun desa atau
dusun tertentu.Mangente bisa dilaksanakan oleh kelompok,
orang perorang, organisasi atau kelembagaan apa saja. Proses
mangente kampung tidak diatur secara adat istiadat oleh kita
yang melaksanakan kegiatan mangente kampung, namun
kegiatanmangente kampung diatur secara adat istiadat oleh
kampung, desa,atau dusun adat di mana kita melaksanakan
kunjungan. Biasanya desa yang kita kunjungi yang akan
melaksanakan ritual adat untuk menerima tamu yang akan
berkunjung dengan cara tarian lenso, makan pinang, tarian
parang dan salawaku, sesuai dengan kearifan lokal desa atau
dusun di mana kita berkunjung.
Pada pelaksanaan Mangente Kampung ada proses
penerimaan secara adat oleh warga setempat di mana
kita melaksanakan kunjungan (mangente). Caranya yaitu
tarian adat atau prosesi adat dengan bersilat memakai
parang dan salawaku, pengalungan kain adat atau bunga
ke orang yang melakukan kunjungan. Dapat juga dilakukan
dengan cara memberi makan pinang dan sirih ke mereka yang
melakukan kunjungan, sesuai kearifan lokal di Kabupaten Buru
Selatan bahkan Maluku secara umum.
B. Pendidikan Politik Melalui Mangente Kampung
dalam Peningkatan Kualitas Pemilu di Dusun Wasalai,Desa
Wamsisi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan
Waesama yaitu sebuah kecamatan di Kabupaten
Buru Selatan, Maluku.Adapun Kabupaten Buru Selatan terdiri
atas 5 kecamatan, yaitu:(1) Kecamatan Namrole, terdiri atas
10 desa/kelurahan; (2) Kecamatan Waesama, terdiri atas
8 desa/kelurahan; (3) Kecamatan Leksula, terdiri atas 20
desa/kelurahan; (4) Kecamatan Kepala Madan, terdiri atas
10 desa/kelurahan; (5) Kecamatan Ambalau,terdiri atas 7
desa/kelurahan. Dusun Wasalai yaitu Desa Wamsisi,
Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan.
Bawaslu Provinsi Maluku melakukan konsep mangente
kampung menjadi usaha pencegahan dan peningkatan
kapasitas warga dalam Pemilu 2019. Mangente
Kampung yaitu gerakan peduli dalam setiap kehidupan
soaial, di mana kita datang untuk menyapa dan berbincang
dengan warga untuk membahas berbagai persoalan.
Gerakan ini juga dapat dilakukan melalui forum warga atau
pembentukan kelompok sebagai salah satu metode inovasi
Bawaslu Maluku dalam meningkatkan pengawasan partisipasi
warga untuk mengawal penyelenggaraan Pemilu sebagai
wujud pelaksanaan peraturan perundang-undangan melalui
pendidikan pengawasan partisipatif dalam Pemilu.
Peran warga negara dalam pengawasan pemilu demi
terwujudnya penyelenggaraan pemilu yaitu penting dan
menjadi tanggungjawab bersama. Penyelenggaraan pemilu
akan berjalan dengan baik dalam setiap tahapan jika
mendapat pengawasan serta dukungan dari warga negara itu
sendiri dan seluruh stakeholder. Program Mangente Kampung
dalam metode forum warga dilatarbelakangi dengan masih
banyaknya warga yang belum memahami hak dan
kewajiban dalam partisipasinya sebagai warga negara pada
setiap tahapan pemilu. Masih minimnya pemahaman ini
didapatkan pada desa bahkan dusun oleh sebab minimnya
kesadaran hak dan kewajiban politik ini memicu
respons warga dalam proses politik masih belum
maksimal.
Untuk itu, penting bagi Bawaslu Maluku melakukan
identifikasi terhadap banyaknya forum warga yang eksis di
warga. Identifikasi itu kemudian ditindaklanjuti dengan
menjalin kerja sama dalam pengawasan pemilu. Fungsi
kerja sama ini tidak hanya dapat memperkuat kapasitas
pengawasan, namun juga mendorong pelibatan warga yang
lebih luas dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu.
Prinsipnya program ini yaitu usaha untuk
mendekatkan warga dengan persoalan-persoalan
pencegahan dan pengawasan pemilu. Upaya peningkatan
partisipasi dan pemberian pemahaman bahwa keputusan
politik untuk mengawal pemilu berakibat pada kehidupan
dasar warga. Dengan program ini diharapkan tumbuh
kesadaran partisipasi warga terhadap proses politik yang
berkualitas.
Individu pengawas pemilu kerap menjadi anggota dan
terlibat dalam organisasi keagamaan dan kewargaan
yang dapat dipakai untuk melakukan sosialisasi
pengawasan pilkada atau pemilu. Forum warga menjadi
solusi atas keterbatasan sumber daya dan infrastruktur dalam
pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan oleh pengawas.
Mangente Kampung yaitu bentuk kegiatan yang
dilaksanakan dalam pengawasan pemilu oleh Bawaslu Provinsi
Maluku dalam rangka usaha melakukan bentuk pencegahan
dan meningkatkan pengawasan partisipasi warga dalam
mengawal penyelenggaraan Pemilu 2019 melalui tiga metode,
yaitu: (1) Gerakan Forum Warga dalam pengawasan Pemilu;
(2) Gerakan pencegahan dan peningkatan pengawasan
partisipatif melalui Metode Tabaos; dan (3) Metode Bacarita
Orang Basudara dalam meningkatkan pemahaman warga
terhadap pemilu.
Gerakan Forum dalam Pengawasan Pemilu
Gerakan Forum Warga dalam Pengawasan Pemilu.
Prinsipnya Forum Warga yaitu usaha untuk mendekatkan
warga dengan persoalan-persoalan pencegahan dan
pengawasan pemilu, peningkatan partisipasi, dan pemberian
pemahaman bahwa keputusan politik untuk mengawal pemilu
berakibat pada kehidupan dasar rakyat. Dengan program ini
diharapkan tumbuh kesadaran partisipasi warga terhadap
proses politik yang berkualitas. Individu pengawas pemilu kerap
menjadi anggota dan terlibat dalam organisasi keagamaan
dan kewargaan yang dapat dipakai untuk melakukan
sosialisasi pengawasan pilkada atau pemilu. Metode Forum
Warga menjadi solusi atas keterbatasan sumber daya dan
infrastruktur dalam pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan
oleh pengawas.
Metode Forum Warga yang dipakai yaitu
pertemuan dialogis, tatap muka,dan partisipatoris. Caranya
dengan mengumpulkan warga berbasis komunitas adat
atau memanfaatkan perkumpulan yang sudah ada dalam
warga di suatu desa/negeri atau dusun. Selain itu juga
materi yang akan disampaikan pada Forum Warga pada
dasarnya yaitu materi pengawasan partisipatif pemilu
yang terdiri dari atas pengenalan kelembagaan Bawaslu dan
jajarannya, pentingnya pengawasan pemilu sebagai ruang
partisipasi warga untuk mengawal penyelenggaraan
Pemilu, katerlibatan warga dalam pencegahan pemilu,
tata cara pelaporan dugaan pelanggaran pemilu, dan
penyelesaian sengketa proeses pemilu, dan peran warga
sebagai agen partisipasi dalam pemilu.
Selain metode Forum Warga dalam bentuk dialogis
dan partisipatoris, ada juga cara yangdapat dilakukan dengan
mengumpulkan warga berbasis komunitas dalam rangka
memanfaatkan perkumpulan yang sudah ada pada warga
dalam bentuk arisan, pengajian, majelis taklim, perempuan
gereja, dan lain-lain. Selain pertemuan tatap muka (offline),
metode Forum Warga dapat juga dilakukan dengan metode
dalam jaringan (daring/online) melalui grup messenger seperti
grup whatsapp, facebook, dan media sosial dan messenger
lainnya, di mana Pengawas Pemilu membagikan informasi
mengenai pengawasan melalui Forum Warga online ini .
Desain Forum Warga dalam bentuk Bawaslu
Mangente Kampung dilakukan oleh Bawaslu Propinsi Maluku
dalam rangka meningkatkan bentuk pencegahan dan
pengawasan partisipasi warga pada daerah terpencil
untuk mengawal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah
Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku 2018 dan Pemilu Tahun
2019 pada 11 kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Ikhtiar ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk dapat mengubah pola pikir
warga dari tidak tahu menjadi tahu sehingga telah terjadi
perubahan yang dapat kita lihat bersama dari Pemilu tahun
2014 ke Pemilu 2019. Pada Pemilu 2014 warga tidak
tahu tentang apa saja tahapan dalam pemilu, apa saja syarat
menjadi seorang pemilih, apakah warga bisa ikut awasi
pada pelaksanàn pemilu, dan masih banyak persoalan lain
yang tabu di mata warga. Bawaslu Mangente Kampung
mengubah semua hal ini dan telah berhasil pada Pemilu
2019 yang baru saja selesai dilaksanakan.
Kedinamisan Forum Warga membuat pengertiannya
dikenali melalui ciri-ciri umumnya. Beberapa ciri ini
diantaranya yaitu Forum Warga yaitu sekumpulan
representasi warga yang memajukan klaim kelompoknya
secara territorial, baik berbasis kota/kabupaten, kecamatan,
dan desa atau kelurahan.
Forum Warga terdiri atas perwakilan yang heterogen,
tidak menganut secara afiliatif atas ideologi, asas politik,
atau kelompok aliran tertentu sebagai nilai kolektif. Forum
Warga akan selalu menempatkan kepentingan umum
atau kepentingan bersama sebagai orientasi gerakan.
Saat berkumpul, Forum Warga akan membahas dan/atau
mempedulikan masalah-masalah kewarga secara luas,
baik secara general maupun tematik sebagai fokus kepedulian.
Sebagai kelompok warga, Forum Warga bersifat inklusif
terbuka dan tidak berorientasi sektoral serta menyatakan
diri secara terbuka untuk mengembangkan segala bentuk
mekanisme menyampaikan pendapat dan aspirasi secara
berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Forum Warga, kalau bisa disebut sebagai lembaga,
bukanlah lembaga formal bentukan pemerintah/penyelenggara
negara, namun harus murni inisiatif dari warga. Meski
bukan bentukan pemerintah/penyelenggara negara, namun
Forum Warga harus mengembangkan hubungan kemitraan-
kritis dengan pemerintah/penyelenggara negara. Dengan posisi
seperti itu, Forum Warga tidak berada dalam posisi diametral
atau berhadap-hadapan dengan pemerintah/penyelenggara
negara. Namun, Forum Warga harus selalu melakukan kontrol
terhadap pemerintah/penyelenggara negara, terutama
berkaitan dengan kewajibannya memenuhi hak dasar.
Kontrol ini dilakukan dengan cara menjalankan peran-
peran partisipasi sebagai warga yang sadar hak-haknya.
Dari ciri-ciri ini , Forum Warga memiliki beberapa
model “kelembagaan” dalam mengoperasionalkan diri untuk
mewujudkan tujuannya. Model yang berlaku selama ini
“lembaga” Forum Warga selalu berasaskan kerelawanan dan
bersifat kolegial partisipatif. “Lembaga” Forum Warga dapat
bersifat permanen, namun juga dapat pula yang bersifat ad
hoc. Forum Warga yaitu pencitraan seluas-luasnya dari
representasi lapisan warganya. Forum Warga hanya akan
diakui sebagai Forum Warga jika memperoleh legitimasi
faktual secara luas, artinya dipercaya warganya.
Ada sejumlah peran yang bisa dilakukan Forum
Warga, seperti peran kontrol atau pengawasan. Forum
Warga, bagi lembaga pemerintah/penyelenggara negara yang
memiliki tugas untuk melakukan pengawasan, sebenarnya
dapat “dimanfaatkan” untuk mengawasi aturan dan perilaku
aparatur pemerintah/penyelenggara negara dengan
pengawasan yang berbasis warga. Di samping itu Forum
Warga juga dapat turut serta dalam proses-proses penegakan
hukum secara proporsional dalam kasus-kasus yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Keterlibatan warga dalam proses
penegakan hukum bukan berarti Forum Warga melakukan
tugas polisional, melainkan membantu aparat penegakan
hukum, seperti melaporkan terjadinya penyimpangan
pelayanan publik dan semacamnya.
Forum Warga sebagai salah satu model dalam
meningkatan pengawasan partisipasi warga dan
pendidikan politik kepada warga dalam rangka mengawal
penyelenggaraan pemilu yaitu wujud pelaksanaan peraturan
undang-undangan. Melalui pendidikan pengawasan pemilu,
diharapkan Forum Warga memiliki karakter sebagai pengawas
pemilu. Peran warga negara dalam pengawasan pemilu
demi terwujudnya penyelenggaraan pemilu yaitu penting.
Penyelenggaraan pemilu akan berjalan dengan baik dalam
setiap tahapan jika mendapat pengawasan serta dukungan
dari warga negara itu sendiri.
Program Forum Warga dilatarbelakangi masih
banyaknya warga yang belum memahami hak dan
kewajiban dalam partisipasinya sebagai warga negara.
Minimnya kesadaran hak dan kewajiban politik itu
memicu respons warga dalam proses politik masih
belum maksimal. Untuk itu, penting bagi Bawaslu Provinsi
Maluku melakukan identifikasi terhadap banyaknya forum
warga yang eksis di warga. Identifikasi itu kemudian
ditindaklanjuti dengan menjalin kerja sama dengaan kelompok
warga di desa atau dusun dalam pengawasan Pemilu
setempat. Fungsi kerja sama ini tidak hanya dapat memperkuat
kapasitas pengawasan, namun juga mendorong perlibatan
warga yang lebih luas dalam pengawasan penyelenggaraan
pemilu.
Gerakan Pencegahan dan Peningkatan Pengawasan
Partisipatif Melalui Metode Tabaos
Gerakan Pencegahan dan peningkatan Pengawasan
Partisipatif melalui Metode Tabaos. Kata tabos berasal dari
dialek Maluku, yang memiliki arti menyampaikan sesuatu
kepada orang lain. Dalam kaitan dengan usaha pencegahan
sebagai salah satu strategi pengawasan pemilu, kegiatan
Tabaos mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang selalu ingin
disampaikan dari Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu kepada
warga yang berada diperkotaan, desa/kampung, daerah
terpencil, secara person to person, komunitas dengan identitas
tertentu dalam bentuk informasi/himbauan tertulis/lisan yang
meliputi informasi pelaksanaan tahapan, hak dan kewajiban
perserta pemilu/pilkada, larangan dalam kampanye, netralitas
ASN, ketentuan pidana, serta himbauan untuk mendorong
pengawasan partisipatif dalam setiap pelaksanaan tahapan
pemilu, teristimewa mengawasi hak konstitusional warga
negara yang terdaftar sebagai pemilih.
Penyampaian informasi atau himbauan kepada
warga dikemas dalam bentuk:
1. Penyebaran brosur/leaflet/poster; dilaksanakan
diruang-ruang publik, dari rumah ke rumah, orang per
orang, mendatangi pasar, kampus, terminal, kantor
pemerintah/swasta, atau pun disebarkan dalam
kegiatan sosialisasi bersama ASN, Latupati, OMS,
OKP, pemilih pemula, tim kampanye peserta pemilih,
parpol, dan lain-lain.
2. Pemasangan baliho dan spanduk; ditempatkan pada
tempat-tempat strategis yang mudah dijangkau
publik yang tentunya informasi/himbauan sampai ke
warga dan warga dapat memahami isi dari
himbauan ini . Biasanya isi himbuan dengan
memakai bahasa lokal yang mudah dipahami oleh
warga, seperti contoh “mari rame rame katong
tolak politik uang.”
3. Penyiaran melalui radio/TV lokal;video dengan narasi
berdurasi singkat tentang cegah politik uang, politisasi
SARA, hoaks, serta memanfaatkan info publik di radio
lokal menyampaikan himbauan dan informasi Penting
tentang prosedur pelaporan dugaan pelanggaran
kepada pengawas pemilu yang diketahui oleh
warga.
4. Pengumuman; bekerjasama dengan pengurus
masjid/gereja sebagai lembaga keagamaan utk
mengumumkan melalui mimbar masjid dan gereja,
sebab himbauan untuk ajakan melalui gereja, mesjid,
langgar, sekolah minggu, ibu-ibu majelis taklim dalam
pengajian, yakni bagaimana mengajak warga
untuk memahami apa itu pemilu, membuka cakrawala
pemahaman warga dalam memahami tugas
warga sebagai bagian terpenting dalam
pelaksanaan pemilu, di mana warga sebagai
pemilih yang memiliki hak untuk memperoleh
berbagai informasi terkait dengan pemilu.
5. Konvoi Keliling Kampong; memakai kenderaan
roda 2 dan roda 4 dalam wilayah pengawasan desa/
negeri/kampong menyampaikan informasi/himbauan
dengan pengeras suara, mengenakan penanda
identitas pengawas pemilu, sekaligus memperkenalkan
Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu kepada
warga pedesaan/perkampungan. Dalam metode
Tabaos gerakan yang dilakukan yaitu melalui
penyebaran selebaran yag mengajak warga
untuk ikut mengawal dan melakukan berbagai bentuk
pencegahan, misalnya dengan himbauan jangan bodohi
kami; suara kami mahal jangan beli suara kami; tolak
poltik uang dan politisasi SARA; pemilu bersih rakyat
sejahtera. Gerakan door to door dari rumah kerumah,
jalan kaki keliling desa dan/atau dusun dilaksanakan
sambil membagikan stiker serta mengajak warga
untuk ikut bersama mengajak warga lain dengan
gerakan yang sama.
Metode Bacarita Orang Basudara dalam Meningkatkan
Pemahaman warga pada Pemilu
Metode Bacarita Orang Basudara Meningkatkan
Pemahaman warga dalam Pemilu. Barita atau bercerita
yaitu sebuah bentuk komunikasi lisan yang disampaikan
penutur kepada para pendengarnya. Umumnya yang suka
bacarita yaitu sang ibu (mama) kepada anak-anaknya saat
mereka hendak tidur. Carita bisa berisi dongeng, fabel, atau
fantasi, namun bisa juga berisi kesaksian hidup yang dialami
sang ibu atau orang lain. Selain “sekadar” pengantar tidur, carita
bisa juga mengandung pesan-pesan yang mendalam, meski
disampaikan dengan bahasa yang ringan, penuh metafora,
kiasan, dan umpama. Orang basudara yaitu sebuah frasa
kaya makna. Frasa itu tak sekadar penunjuk teknis tentang
keterhubungan seseorang dengan saudara sedarahnya.
Lebih dari itu, ia mengandung makna cinta kasih, solidaritas,
perasaan sehidup semati, kesediaan untuk saling tolong, di
antara mereka. sebab itu, frasa orang basudara tidak dapat
dipisahkan dari frasa atau metafora khas Maluku lainnya
seperti: “sagu (3) salempeng dipata dua” (satu lempeng sagu
dibagi merata oleh setiap orang), “ale rasa beta rasa” (kamu rasa
saya juga rasa), “potong di kuku rasa di daging” (bila suudara
kira, “katong samua satu gandong”.
Konsep bacarita orang basudara terbingkai utuh
dalam sebuah konsep diri yang jelas dan tegas, sebagaimana
dapat dilacak dalam falsafah kemanusiaan orang basudara.
3 Sagu yaitu makanan khas warga Maluku yang bearasal dari pohon
sagu, dioleh mencari sagu salam bentuk lempengan-lempengan.
Ia bukan khayalan atau fantasi buta, namun dapat dipahami,
ditunjukkan, dinalar, diteliti, dan dirumuskan secara definitif
dalam representasi pemikiran dengan rasio dan nalar murninya
serta nalar logisnya yang khas. Dengannya, ia dapat dipegang
sebagai bukti dan rujukan kebenaran (argumen teoretik),
baik untuk sebuah pengetahuan harian (pengetahuan umum)
maupun pengetahuan ilmiah (keilmuan). Semua itu dapat
disingkap dalam sebuah falsafah kemanusiaan orang basudara.
Katong samua orang basudara, menjadi sebuah term falsafah
kemanusiaan dalam sebuah konsep diri yang standar. Standar
sebagai sebuah ambang kepuasan petualangan intelektual
untuk mencari hakikat dan makna hidup yang hakiki.
Bacarita orang basudara. Pada titik episentrum; katong
samua orang basudara (kita semua bersaudara), kutemukan
dasar dan hakikat hidupku yang hakiki dan fundamental.
Itulah titik puncak sebuah samudera petualangan dengan
misi pencahariannya yang begitu ambisius, hanya untuk
menemukan sebuah standar kebenaran dan kepatutan dalam
mengabadikan hidup bersama secara hakiki. Jadi, katong
samua orang basudara memiliki kedalaman pemikiran yang
tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan rasio yang
terbatas, namun dengan hati yang luas dan lapang. Falsafah
kemanusiaan orang basudara menegaskan sebuah faham
“humanisme kolektif” yang membimbing pada kearifan hidup
bersama, sebagaimana nyata dalam perilaku kolektif mereka;
sama rata-sama rasa, potong di kuku rasa di daging, sagu
salempeng di pata dua, hiti hiti hala hala (ringan sama-sama
tanggung, berat sama-sama pikul), Ain ni Ain (kita sama dari
telur yang satu), Ita rua Kai-Wai (kita dua adikkaka), Sita kena
sita Eka, Etu (kita sama dan satu semua), Kalwedo 378 Epilog
(salam damai sejahtera untuk semua).
Faham “humanisme kolektif” orang basudara itu
bukanlah perilaku emotif-temporer, sebab terstruktur dengan
berbagai muatan kode pemikiran (rasio alami) yang cerdas serta
kaidah logis (struktur nalar) yang teratur. Sebuah “humanisme
kolektif” yang terkonstruksi dalam sebuah bangunan “sangkar
realitas” (basis ontologis) yang terbuka untuk menghimbau
rasa kekaguman, keingintahuan, serta ujian-ujian kritis
atasnya. Bangunan ontologis “humanisme kolektif” orang
basudara itu mengandung sebuah kesadaran batin, keindahan
budi, dan sinar kejiwaan yang sarat, padu, padat, dan utuh.
Jadi, orang harus menalarnya dengan totalitas budi, batin,
dan hidup. Setiap orang yang menghadapinya harus segera
menyadari bahwa ia sementara berhadapan dengan sebuah
dunia pengertian atau pemahaman (konotasi) dan dunia
pemaknaan (denotasi) yang sarat argumen rasio. Ia begitu
sarat dengan argumen sosial-budaya, argumen kejiwaan atau
penjiwaan, dan argumen keyakinan hidup yang padat, padu,
utuh, dan total dalam suatu sinergitas terminologi. Sebagai
sebuah terma rasio, humanisme kolektif orang basudara
hendak menampilkan kode-kode pemikiran dan pemaknaan
hidup. sebab itu, ia begitu menarik untuk diteliti, dikritik,
diuji, dibedah, dan disingkap dengan akal sehat manusia untuk
menghasilkan rumusan-rumusan pemikiran dan gagasan-
gagasan yang sehat dan lurus atasnya.
Dengannya, orang memiliki sebuah
pertanggungjawaban epistemologi (dasar pengetahuan dan
keilmuan yang hakiki dan obyektif) atasnya dalam menjalani
arus keilmuan dan pemikiran yang terus berubah dan
berkembang. Bagi orang basudara, klaim-klaim kebenaran
yang dimiliki di dalam “humanisme kolektif’-nya itu bersifat sah,
valid, obyektif, dan tidak terbantahkan. Kebenaran-kebenaran
itu tiada duanya, diyakini, dipegang, dan dipertahankan sebagai
sebuah nilai obyektif dalam sebuah ajaran filsafat kemanusiaan.
Klaim-klaim kebenaran itu bukan sekadar opini belaka sebab
telah terbukti secara sahih dalam sejarah hidupnya bersama
sepanjang zaman. Ketika mereka membangun masjid dan
gereja, saat mereka dalam konflik, saat mereka tertimpa
musibah, saat acara adat perkawinan dan sebagainya,
semua dihadapi secara bersama-sama dan diselesaikan secara
bersama-sama. Itulah adat orang basudara.
Kebenaran dan keyakinan itu kemudian menjadi
sebuah sistem nilai budaya, sistim Bacarita Sejuta Rasa 379 di
mana keyakinan, sistim moral, sistim sosial dan terlembaga
dalam berbagai pranata serta lembaga sosial yang dimiliki. Ia
menyatu jiwa dan raga mereka, bahkan diyakini membawa
kebahagiaan, ketenteraman hidup, dan keselamatan bagi
mereka. sebab itu, fakta dirinya sebagai orang basudara
dan tabiat hidupnya sebagai hidup orang basudara terus
dipertahankan dalam genggaman kemanusiaannya bersama
sebagai warisan pusaka kemanusiaan orang Maluku. Setiap
proses dan hasil pengkajian dan penyingkapan atau rumusan
rasio yang sifatnya hipotesis ini berkorelasi dengan
dinamika zaman dan budaya yang terus memaknai asa orang
basudara, dalam konteks percaturan pemikiran dan keilmuan
yang terbuka. Sebagai sebuah term sosial-budaya, kebenaran
hakiki orang basudara terpancar dari sinar batin orang basudara
bagaikan pancaran kalbu yang bersinar dengan keindahan.
“Katong samua orang basudara” bukan hanya menampilkan
sebuah keindahan cara berpikir, namun keindahan sistem nalar
yang sulit terbantahkan dalam konsep sosial budaya orang
Maluku. Menjadi sebuah sebuah pesona diri yang terpijar
dalam pijaran-pijaran kata, bahasa, pikiran, dan tindakan orang
basudara. Semuanya terbangun dalam sistem kewargaan
yang beradab (eksistensi sosial) dengan kepenuhan nilai
kehidupan yang diyakini dan dipegang teguh sebagai warisan
keindahan dan keabadiannya bersama. Keindahan jiwa orang
basudara itu bukan hanya “meng-otak-i” ruang pengetahuan
atau ruang pemikiran generasinya, namun lebih dibandingkan itu,
“me-watak-i” karakter hidup mereka secara utuh dan abadi,
sebagai sebuah falsafah dan kesakralan hidup yang hakiki.
Sehingga, ia bukan hanya mewariskan bagi generasinya
sebuah arus pemikiran (mainstreaming), namun lebih dibandingkan
itu, sebuah arus kehidupan (live streaming) yang khas.
Pemilu dalam konsep bacarita Orang Basudara kini
telah menjadi konsep Pemilu Maluku 2019. Konsep ini
dipandang memiliki keterkaitan kuat dengan kehidupan sosial
orang Maluku, yang memiliki hubungan kekerabatan melalui
ikatan Pela Gandong dan hidup orang basorada.
Konsep ini juga dipakai oleh Polda Maluku dalam
melaksanakan pengamanan dalam Pemilu, Kapolda Maluku
Bapak Gatot mengakui, dengan adanya konsep ini
Polda Maluku kemudian menyesuaikan pola pengamanan
saat menjelang pemilihan dan Pemilu yang akan berlangsung.
“Artinya pengamanan akan diusaha kan dengan penciptaan
kondisi, agar Pemilu berjalan dengan aman dan damai,” ujar
Gatot.
Bawaslu memakai metode ini dalam
melaksanakan usaha pencegahan dan pengawasan
Pemilu 2019. Terdapat tiga kegiatan yang dilakukan saat
pencegahan dan pengawasan. Kegiatan itu meliputi
keterlibatan warga, yakni:pertama; “pemetaan potensi
konflik kepentinganyang artinya Bawaslu akan melakukan
pemetaan potensi konfliksehingga akan ada penempatan
sejumlah personel, termasuk keterlibatan warga dan
pihak kepolisian untuk mengantisipasi terpicunya konflik;
kedua, membangun kemitraan yang akan ditangani tokoh
adat, agama, dan perempuan yang nantinya akan melakukan
pendekatan dengan para pihak yang berkepentingan sehingga
diharapkan akan melahirkan pemilu yang berkualitas dan
bermartabat. Dilakukannya pendekatan ini agar susaha
nantinya Bawaslu dan pihak terkait dapat dengan mudah
bisa menyampaikan kepada warga untuk bekerjasama
dalam menyikapi jika terjadi konflik pelanggaran pemilu; dan
ketiga, kegiatan pencegahan dan pengawasan yang terakhir
meliputi hubungan antarwarga di mana nantinya akan
mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berpendapat jika
Pemilu akan berlangsung ricuh atau provokator bahwa
pemikiran ini yaitu salah. Hubungan orang basudara
ini yang harus memberikan pemahaman bahwa Pemilu 2019
akan berjalan aman dan damai.
Bacarita dalam bentuk pencegahan yaitu untuk
mengajak seluruh elemen warga bagaimana keikutsertaan
dalam mengawal pemilu yang bermartabat. Implementasi
pelaksanaan sosialisasi melalui Bawaslu Mangente Kampung
yang dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi Maluku di Kabupaten
Buru Selatan, Kecamatan Waesama, Desa Wamsisi,Dusun
Wasalai dapat dilaksanakan melalui sarana pertemuan sebagai
berikut:
1. warga adat Suku Pulau Buru
2. Komunitas pengendara ojek
3. Kelompok perempuan,
4. Pemilih pemula,
5. Pengajian,
6. Kelompok agama
7. Aparat pemerintah negeri/desa
8. Organisasi kewargaan.
Pada pelaksanaan melalui sarana ini , telah
dilaksanakan wawancara kepada warga untuk
memperoleh informasi terkait dengan persoalan pemilu.
Beberapa informan yang ditemui diantaranya tokoh adat/
warga Dusun Wasalai, Desa Wamsisi, Hengky Latuwael
(2019)yang mengungkapkan bahwa “Dengan adanya sosialisasi
yang dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Maluku sangatlah
bermanfaat bagi kami dan juga untuk warga Dusun
Wasalai. Kami dapat mengetahui banyak ilmu tentang pemilu.
Kami juga sangatlah berterima kasih serta berharap adanya
kegiatan seperti ini untuk Pilkada di Tahun 2020”
Sementara informan berikutnya, yaitu Kapala Dusun
Wasalai (2019) La Unti Latuwael (2019), mengungkapkan
bahwa “baru pertama kalinya penyelenggara pemilu
melaksanakan kegiatan sosialisasi di dusun kami dan dengan
adanya sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu
dalam hal ini Bawaslu Provinsi Maluku diharapkan warga
kami dapat terlibat dalam Pemilu sehingga pesta demokrasi ini
dapat berjalan tertib, lancar, dan sukses.”
Selanjutnya informan dari salah satu pemilih Erni
Latuwael (2019), mengungkapkan bahwa “Selama pilkada
Bupati Tahun 2015, kami warga mencoblos di Desa Wamsisi
dan Pilkada Gubernur Tahun 2018 kami mencoblos di dusun
tetangga yang jaraknya cukup jauh. Tapi dengan kegiatan dari
Bawaslu waktu itu kami sudah bisa mencoblos di Dusun kami.”
Berikutnya informan yang berasal dari Kepala Desa
Wamsisi Abdulhaji Umamity (2019), mengungkapkan bahwa
“Pemilu Tahun 2019 yaitu Pemilu yang dianggap lebih baik
dari Pemilu-Pemilu sebelumnya.”
Dari apa yang telah diungkapkan, Bawaslu Provinsi
Maluku sendiri mengharapkan pesta demokrasi lima tahunan
ini dapat diikuti oleh seluruh warga yang memiliki hak
pilih, sehingga perwujudan demokrasi yang disalurkan melalui
pemilu benar-benar dapat terlaksana. Namun demikian proses
sosialisasi yang dilakukan tentunya tidak sebatas mengajak
warga untuk mengawasi proses pemilu serta datang
ke tempat pemungutan suara (TPS), namun juga mengajak
warga untuk menjaga ketertiban dan kelancaran Pemilu
2019.
Mangente Kampung yaitu sebuah bentuk terobosan
yang digagas oleh Bawaslu Maluku bertujuan untuk lebih
mendekatkan Bawàslu dengan warga. Dengan hal ini
diharapkan warga dapat menjadi bagian terpenting untuk
mengawasi tahapan pemilu yang dikenal dengan pengawas
partisipatif. Dalam Mangente Kampung ada beberapa kegiatan
yang dilaksanakan oleh Bawaslu dengan metode Forum Warga,
tabaos, dan bacarita yang yaitu suatu proses yang terus-
menerus bergerak atau dinamis yang akan ditumbuhkan dan
dikembangkan oleh warga, serta menjadi program utama
Bawaslu Maluku dalam konteks Mangente Kampung.
Dalam konteks Pemilu Serentak 2019, warga disana
yang sebagian besar yaitu warga adat pada Dusun
ini sangatlah membutuhkan perhatian yang serius dari
penyelenggara teknis dalam melakukan sosialisasi dalam
menyelenggarakan Pemilu maupun dari Pengawas Pemilu
untuk mengawasi tahapan Pemilu di dusun ini . Dilihat
dari letak geografis dan sumberdaya manusia di sana,
kondisinya sangatlah rawan dan berpotensi terjadi kecurangan-
kecurangan pemilu yang dilaksanakan oleh peserta pemilu
maupun oknum penyelenggara pemilu. Kurangnya sosialisasi
maupun pindidikan politik tentang kepemiluan pada
Dusun Wasalai dari penyelenggara pemilu, memicu
ketidaktahuan bagi warga setempat terhadap pemilu itu
sendiri, baik tentang hak, kewajiban, dan larangan-larangan
kepada pemilih, peserta, maupun penyelenggara pemilu
sehingga terjadinya pelanggaran pemilu.
Pertama kali Bawaslu Mangente Kampung yang
dilaksanakan dalam metode forum warga ini digagas oleh
Bawaslu Provinsi Maluku dengan tujuan untuk menyapa
seluruh elemen warga, menggali ketidaktahuan
warga tentang isu pemilu, memberikan pemahaman
tentang informasi tetang kepemiluan dan pengawasannya.
Banyak hal positif yang didapatkan dari kegiatan forum warga
ini, antara lain Bawaslu Provinsi Maluku banyak memperoleh
informasi dari warga setempat terkait teknis penyelenggaraan
pemilu di desa/negeri terpencil, sehingga Bawaslu Maluku
dapat melakukan langka-langka pecegahan dan pengawasan
yang akan dilaksanakan pada daerah ini .
Kegiatan Mangente Kampung yaitu program edukasi
dari Bawaslu Provinsi Maluku dalam memberikan pemahaman
tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga
negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika
dikaitkan dengan pemilu, mangente kampung bisa diartikan
sebagai usaha sadar pemahaman pemilu dan tersistem dalam
mentransformasikan segala informasi tentang pengetahuan
pemilu dan pengawasannya kepada warga agar mereka
sadar akan peran dan fungsi serta hak dan kewajibannya
sebagai pemilih atau warga negara. Pemahaman warga
hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa pemilu
itu bukan urusan mereka, melainkan urusan pemerintah dan
penyelenggara pemilu (Bawaslu/KPU) sehingga warga
sebagai pemilih sering dibodoh-bodohi dan dicurangi demi
kepentingan peserta pemilu.
Untuk mencegah kecurangan pemilu kembali terulang
pada Pemilu 2019, diberi lah pendidikan kepemiluan
kepada warga terpencil oleh Bawaslu Provinsi Maluku
pada Dusun Wasalai,Desa Wamsisi, Kecamatan Waesama,
Kabupaten Buru Selatan. Sudah saatnya pendidikan politik
tentang kepemiluan dan pengawasan kepada warga
terpencil dapat diwujudkan dalam kegiatan yang nyata, bukan
hanya program-program sosialisasi yang dilakukan di daerah-
daerah perkotaan.
Terkait dengan pentingnya sosialisasi Pemilu, ada
beberapa informan yang menyampaikan pendapatnya pada
kegiatan Bawaslu Mangente Kampung.
Hengky Latuwael (2019), salah satu tokoh adat/
warga Dusun Wasalai, Desa Wamsisi, mengungkapkan,
“Adanya Bawaslu Mangente Kampung yang dilakukan oleh
Bawaslu Provinsi Maluku sangatlah bermanfaat bagi kami.
warga Dusun Wasalai sangatlah berterima kasih serta
berharap adanya kegiatan seperti ini untuk Pilkada Tahun
2020.”
Sementara informan berikutnya, yaitu La Unti
Latuwael (2019), Kepala Dusun Wasalai mengungkapkan
bahwa “Baru pertama kalinya penyelenggara pemilu
menyelenggarakan sosialisasi di dusun kami dan dengan adanya
sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dalam
hal ini Bawaslu Provinsi Maluku diharapkan warga kami
dapat terlibat dalam pemilu sehingga pesta demokrasi ini dapat
berjalan tertib, lancar, dan sukses”.
Selanjutnya informan dari Erni Latuwael (2019),
salah satu pemilih di Dusun Wasalai, dalam wawancara singkat
mengatakan bahwa “Selama Pilkada Bupati Tahun 2015 kami
warga mencoblos di Desa Wamsisi dan Pilkada Gubernur
Tahun 2018 kami mencoblos di dusun tetangga yang jaraknya
cukup jauh. Tapi dengan kegiatan dari Bawaslu waktu itu kami
sudah bisa mencoblos di dusun kami.”
Berikutnya informasi yang berasal dari Abdulhaji
Umamity (2019). Kepala Desa Wamsisi ini
mengungkapkan bahwa “Pemilu Tahun 2019 yaitu pemilu
yang dianggap lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya.”
Dari apa yang telah diungkapkan, Bawaslu Provinsi
Maluku sendiri mengharapkan pesta demokrasi lima tahunan
ini dapat diikuti oleh seluruh warga yang memiliki hak
pilih sehingga perwujudan demokrasi yang disalurkan melalui
Pemilu benar-benar dapat terlaksana. Namun demikian proses
sosialisasi yang dilakukan tentunya tidak sebatas mengajak
warga untuk mengawasi proses pemilu serta datang
ke tempat pemungutan suara (TPS), namun juga mengajak
warga untuk menjaga ketertiban dan kelancaran Pemilu
2019.
Selanjutnya pengembangan pendidikan politik tetang
kepemiluan kepada warga terpencil dalam bentuk
kegiatan Forum Warga sebagai bagian pendidikan politik
yang yaitu rangkaian usaha untuk meningkatkan
dan memantapkan kesadaran politik warga untuk
terlibat secara langsung dan aktif dalam pengawasan pemilu
partisipatif, guna membantu Bawaslu Provinsi Maluku dan
jajarannya untuk mengawasi seluruh tahapan pemilu dan
wewujudkan penyelenggaraan pemilu yang bersih dan
bermartabat di Provinsi Maluku. Kegiatan Forum Warga ini
juga yaitu bagian dari konsep untuk mengubah pola
berpikir yang tidak tahu menjadi tahu tentang kepemiluan dan
pengawasannya dalam rangka usaha menciptakan suatu pemilu
yang benar-benar demokratis, berkualitas, dan berintegritas
serta partisipatif di Provinsi Maluku umumnya dan khususnya
pada Dusun Wasalai, Desa Wamsisi, Kecamatan Waesama,
Kabupaten Buru Selatan. Untuk itu, kegiatan Forum Warga
sebagai usaha dari Bawaslu Provinsi Maluku dalam memberikan
pendidikan politik tentang kepemiluan kepada warga
yaitu langkah pencegahan pada setiap basis warga, di
mana setiap desa atau negeri terpencil yang akan melakukan
pengawasan pemilu partisipatif berbasiskan TPS. Selain itu juga
dalam penyelenggaraan pemilu sebelum pada Dusun Wasalai,
Desa Wamsisi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan
tidak terdapatnya TPS pada dusun ini , namun setelah
kegiatan Mangente Kampong dilaksanakan baru terbentuk TPS
sehingga membantu dan memudahkan warga dalam
menyalurkan suaranya pada Pemilu 2019.
Dampak lainnya yang didapat oleh warga
pada Dusun Wasalai,Desa Wamsisi, Kecamatan Waesama,
Kabupaten Buru Selatanantara lain adanya partisipasi pemilih
yang meningkat saat pemilu, warga mulai sadar akan
hak dan kewajiban saat pemilu, serta adanya hasil pemilu
yang dapat didapatkan oleh warga pada saat itu, dan
penyelenggara pemilu yang dapat dipercaya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
ada peningkatan kualitas Pemilu pada Dusun Wasalai,
Desa Wamsisi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan.
Pasca Bawaslu Provinsi Maluku melaksanakan kegiatan
Mangente Kampung dan diperoleh peningkatan kualitas
pemilu, yakni meningkatnya partisipasi warga datang ke
TPS, rendahnya kecurangan yang terjadi pada setiap tahapan
pemilu, serta akan meningkatnya kualitas pemilu itu sendiri,
yakni pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat dapat terwujud.
Semakin tinggi tingkat partisipasi warga, semakin
meningkat kualitas pemilu pada Dusun Wasalai,Desa Wamsisi.
Oleh sebab itu pentingnya pengawasan partisipatif
dalam mengawal pemilu yang demokratis, yang dapat tercapai
jika :
1. Badan Pengawas Pemilu, pemantau pemilu, dan
warga yang dilibatkan dalam pengawasan
tahapan penyelenggaraan pemilu harus bersifat
independen dan tidak memihak (imparsial) kepada
salah satu satu calon/partai politik peserta pemilu
sehingga tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun;
2. Adanya sosialisasi secara masif yang dilakukan oleh
Bawaslu Maluku untuk membangun kesadaran
warga bahwa mereka memiliki kewajiban
untuk mengawal hak pilihnya dalam pemilu dengan
cara berpartisipasi dalam pengawasan tahapan
penyelenggaraan pemilu dan juga terhadap lembaga-
lembaga terkait pemantauan pemilu agar mereka ikut
mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu bukan
hanya pada hari pemungutan suara saja;
3. Adanya peranan aktif dari Bawaslu, lembaga-lembaga
pemantau pemilu, dan juga warga dalam
mengawasi pemilu, akan memberikan kesadaran
bagi para pelaku politik, penyelenggara pemilu, dan
stakeholder terkait untuk menjaga diri, menjaga
marwah partainya sehingga akan tetap berada pada
relnya sesuai dengan porsinya masing-masing, yang
pada akhirnya akan melahirkan suatu pemilu yang
demokratis.
4. Adanya partisipasi seluruh pemangku kepentingan
dalam pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu
diharapkan akan dapat menghasilkan pemilu yang
demokratis, baik dari prosesnya maupun hasilnya.
Pengawasan yang ideal yaitu pengawasan yang
berbasis warga yang melibatkan partisipasi luas dari
berbagai macam bentuk lapisan pengawasan dan lapisan
warga. Bawaslu Maluku Tengah akan terus menjadi
bagian dari warga Maluku menjadi bagian dari pengawas
Pemilu dalam rangka menegakkan keadilan pemilu
Dengan demikian paling tidak ada 4 (empat)
usaha strategis yang berpotensi untuk meningkatkan dan
memperkuat pengawasan partisipatif oleh warga, yaitu:
1. Membentuk kelas-kelas pengawasan melalui forum
warga, melakukan ”tabaos” dan bacarita terkait
dengan aturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan
memperdalam pengetahuan terkait aturan hingga
memahami celah-celah potensi pelanggaran agar
dapat mencegah serta mengawasi kecurangan dalam
pemilu dan pilkada.
2. Upaya penegakan berbagai regulasi pemilukada
secara efektif dan efisien akan meningkatkan
optimisme warga bahwa output pengawasannya
akan direspons dan ditindaklanjuti oleh instansi terkait
3. Daya kerja pengawasan partisipatif oleh warga
harus diakui memerlukan dukungan anggaran yang
memadai untuk efektivitas dan keberlanjutan aktivitas
Pilkada 2020, khususnya kepada para pengawas yang
terakreditasi untuk menjamin pengelolaan keuangan
yang efektif dan akuntabel.
4. Bawaslu Maluku akan melakukan terobosan
inovatif untuk mendorong meningkatnya partisipasi
warga dalam pencegahan dan pengawasan
pemilu melalui pencanangan Desa Pengawas Pemilu
dengan “Zona Bebas Pelanggaran”.
Politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA) yaitu eksploitasi sentimen-sentimen identitas
untuk memenangkan kelompok tertentu sambil menyerang,
menghina, dan atau merendahkan kelompok lain yang menjadi
lawan politiknya. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum, istilah politisasi SARA disebut
secara implisit dalam Pasal 280 di mana dalam kampanye
dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan,
calon, dan/atau peserta pemilu yang lain; juga dilarang
menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun
warga.
Meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU
Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berusaha mencegah
politisasi SARA dengan membuat kebijakan yang tertuang
dalam PKPU 4/2017 dan PKPU 8/2017. Pasal 17 PKPU 4/2017
menyebutkan, materi kampanye harus menghormati
perbedaan suku, agama, ras, dan golongan warga. Pada
Pasal 68 (1) disebutkan bahwa dalam kampanye dilarang
menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati
dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota,
dan/atau partai politik. Sementara, dalam PKPU 8/2017 pasal
28 disebutkan, pelaksanaan sosialisasi pemilihan dengan satu
pasangan calon dilarang menyebarkan isu perbedaan suku,
agama, ras, dan golongan dalam warga.
Adanya PKPU 4/2017 dan PKPU 8/2017 tentu
diharapkan dapat mencegah politisasi SARA, baik dalam
Pilkada Serentak 2018 maupun Pemilu Serentak 2019. Namun
usaha ini sepertinya tidak selalu berhasil sebab masih banyak
media yang memberitakan politisasi SARA, termasuk yang
beredar di media sosial. Persaingan yang begitu panas tidak
hanya di tingkat elite, di tingkat akar rumput pun terjadi
radikalisasi pendukung yang satu sama lain saling menafikan.
Tatanan sosial tidak hanya retak, warga pun terbelah.
Hal ini terutama sebab sentimen agama menjadi
bagian dari persaingan politik. Akibatnya, logika agama
lebih dominan dibandingkan logika politik. Begitu seseorang
teridentifikasi memiliki pilihan politik yang berbeda, maka dia
akan dianggap berbeda tidak hanya secara politis, namun juga
secara teologis meskipun berada dalam satu agama. Inilah
yang membuat warga terbelah.
Situasi ini tentu berbahaya sebab keterbelahan
ini biasanya diikuti oleh stereotipe yang makin
mempertegas segregasi sosial. Stereotipe ini terasa sangat
menyesakkan di media sosial. Di dunia nyata pun stereotipe ini
bertebaran di mana-mana.
Kerasnya kontestasi politik hingga melibatkan
politisasi SARA tentu memiliki dampak yang begitu nyata.
Dari data Badan Peradilan Agama yang diperoleh BBC News
negara kita (16 April 2019), tingkat perceraian yang dipicu
persoalan politik bersifat fluktuatif. Pada 2009, tingkat
perceraian sebab persoalan politik mencapai 402 kasus. Lalu,
pada 2010, berkurang menjadi 334 kasus. Pada 2011, kasus
perceraian yang dilatarbelakangi persoalan politik mencapai
650 kasus. Namun, angka perceraian cukup tinggi sebab
persoalan politik terjadi pada tahun 2015 atau setahun setelah
Pemilu 2014. Angkanya mencapai 21.193 kasus.
Fenomena ini tentu menarik jika dilihat dalam kasus
Kampung Sawah, sebuah kawasan kultural yang memiliki
karakter khas dengan tingkat kohesi sosial yang sangat kuat.
Sejak puluhan bahkan ratusan tahun, Kampung Sawah menjadi
ikon komunitas warga majemuk dengan tingkat toleransi
yang sangat tinggi. sebab itu, menarik untuk diketahui apakah
politisasi SARA beredar di Kampung Sawah dalam Pilkada Jawa
Barat 2018 dan Pilpres 2019? Bagaimana daya tahan Kampung
Sawah menghadapi politisasi SARA?
Tulisan ini dikembangkan dari hasil penelitian
politisasi SARA di Kampung Sawah, baik dampak maupun
respons warga dalam menjaga keutuhan warga dari
ancaman politisasi SARA dalam Pilkada Jawa Barat 2018 dan
Pilpres 2019.
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif.
Data yang dikumpulkan lebih banyak yaitu data kualitatif,
yakni data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan
dalam bentuk angka . Di samping
itu sebab sifatnya yang bersentuhan dengan pemaknaan atas
simbol-simbol sebagai salah satu identitas dari komunitas
Kampung Sawah, pendekatan interaksi simbolik menjadi
pilihan peneliti untuk mencari jawaban dari permasalahan
dalam penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan melalui: (1) kajian
dokumen tertulis; (2) wawancara mendalam dengan tokoh-
tokoh kunci dan warga; dan (3) observasi terhadap
keseharian warga Kampung Sawah. Khusus untuk
wawancara, dipakai snowball sample. Pada awalnya sudah
ada sejumlah nama yang akan diwawancarai, namun kemudian
muncul beberapa informan lain yang memiliki informasi
berharga mengenai Kampung Sawah.
Analisis data dilakukan melalui teknik deskriptif
naratif dengan memakai metode kualitatif. Fenomenologi
menjadi pilihan pendekatan yang dipakai sebagai tool of
analysis, mengingat pendekatan ini memungkinkan analisis
didasarkan pada penghayatan intuitif atau versi subyektif
sebagaimana didapatkan dari pengamatan partisipatoris dan
wawancara mendalam. Fenomenologi yang dimaksudkan di
sini yaitu suatu penarikan kesimpulan dengan memakai
setidaknya tiga langkah, yaitu: interpretasi, ekstrapolasi, dan
meaning
Penelitian ini memakai kerangka teori ‘integrasi
sosial’-nya Emile Durkheim (1984) yang antara lain membahas
mengenai solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Durkheim membagi integrasi sosial atas dua hal, yakni:
pertama, integrasi normatif yang menekankan solidaritas
mekanik yang terbentuk melalui nilai-nilai dan kepercayaan.
Kedua, integrasi fungsional yang menekankan pada solidaritas
organik, suatu solidaritas yang terbentuk melalaui relasi saling
tergantung antara bagian atau unsur dalam warga
Menurut Durkheim, solidaritas sosial yaitu
“kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan
antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”.
Dalam konteks warga Kampung Sawah, tidak
cukup memakai kerangka solidaritas mekanik dan
solidaritas organik untuk menjelaskan karakter Kampung
Sawah yang sangat khas. Solidaritas mekanik mengacu pada
warga tradisional yang secara etnis dan budaya homogen;
sementara solidaritas organik mengacu pada warga
urban yang beragam latar belakang namun diikat oleh pola
ketergantungan satu sama lain yang bersifat impersonal dan
aspek etnis dan budaya dianggap tidak menonjol . Kampung
Sawah, di samping penduduknya beragam, juga diikat oleh
budaya Kampung Sawah yang sangat kental.
Teori cross-cutting affiliations membantu
menjelaskan fenomena Kampung Sawah. Cross-cutting
affiliation memungkinkan elemen-elemen sosial yang saling
bertentangan tetap dipertahankan dalam suatu posisi
yang relatif seimbang. Kelompok-kelompok sosial yang ada
menjadi saling mengawasi aspek-aspek sosial yang potensial
menciptakan permusuhan. Dengan mekanisme ini, konflik
yang terjadi (baik yang nampak/kasus konflik maupun yang
laten/potensialitas konflik) teredam oleh loyalitas ganda
(cross-cutting loyalities)
Nasikun menjelaskan bahwa sebenarnya perbedaan-
perbedaan etnis, agama, maupun pelapisan sosial saling
silang menyilang satu sama lain dan menghasilkan suatu
keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang pula.
Hal ini yang kemudian banyak dikenal sebagai cross-cutting
affiliations. Adanya cross-cutting affiliations ini kemudian
menghasilkan cross-cutting loyalities sehingga pada tingkatan
tertentu warga negara kita juga terintegrasi atas dasar
tumbuhnya perbedaan etnis, agama, dan pelapisan sosial yang
bersifat silang-menyilang
Gambaran Umum Kampung Sawah
Kampung Sawah bukanlah nama kelurahan maupun
kabupaten/kota. Kampung Sawah yaitu kawasan kultural
yang berada di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Jatimurni,
Jatimelati, dan Jatiwarna. Ketiga kelurahan ini berada di
Kecamatan Pondok Melati Kota Bekasi.
Sejak zaman kolonial Belanda, Bekasi yaitu
wilayah kabupaten yang berkedudukan di Jatinegara. Setelah
kemerdekaan, status ini dikukuhkan dengan UU Nomor 14
Tahun 1950 mengenai pembentukan Kabupaten Bekasi,
dengan wilayah yang terdiri atas kewedanan (Sri Margana M.
Nursam, 2010: 1).
Kota Bekasi sebelumnya yaitu dari Kabupaten
Bekasi. Pada 20 April 1982 secara administratif Bekasi dipecah
menjadi dua wilayah, yaitu Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi.
Pemkot Bekasi terus mengembangkan fasilitas-fasilitas yang
mendukung aktivitas warga, seperti pasar tradisional dan
modern, perumahan, tempat ibadah, serta sarana pendidikan
dan kesehatan (Haidlor Ali Ahmad, 2010: 529).
Pemekaran wilayah ini sejalan dengan pertumbuhan
pembangunan, terutama di bidang permukiman. Di seluruh
sudut kecamatan se-Kota Bekasi menjamur permukiman baru
dan dibarengi dengan bertambahnya jumlah penduduk yang
naik secara drastis (Ahmad Syafi’i Mufid, 2014: 391-392).
Perkembangan pembangunan pemukiman
berlangsung pesat dan banyak warga memiliki rumah
kontrakan. sebab Kelurahan Jatimelati yaitu daerah
yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta seiring dengan
dibukanya jalan bebas hambatan (tol JORR), makin banyak
warga yang tinggal di wilayah Jatimelati ,
Sejak zaman penduduk Belanda, warga Kampung
Sawah yaitu warga yang heterogen. Penduduk
Kampung Sawah dan Ujung Aspal beberapa di antaranya
yaitu keturunan Belanda, China, dan dari kawasan timur
Nusantara (Wilayah negara kita Timur) yang beranak pinak
dan kawin campur, ditambah lagi dengan warga Etnis
Nusantara lainnya (Sunda, Jawa, Melayu, dan lain-lain) yang
kemudian melahirkan warga Betawi Kampung Sawah
dan Ujung Aspal yang sekarang. Tidak mengherankan kalau
kemudian agama yang dianut warga Kampung Sawah
pun unik, agak berbeda dari warga Betawi lainnya yang
mayoritas beragama Islam
Kampung Sawah yaitu perkampungan dengan
gejala yang sangat unik dalam konteks budaya Betawi.
Berbeda dengan kampung Betawi pada umumnya yang rata-
rata beragama Islam, Kampung Sawah yaitu kampung
Betawi pertama yang agama warganya beraneka ragam. Sejak
berabad-abad lalu, warga setempat ada yang beragama Islam,
Protestan, maupun Katolik. Gejala ini sedikit “menyimpang”
dari kelaziman warga Betawi yang identik dengan ajaran Islam
. Meski agama berbeda-beda, kunci
kerukunan di Kampung Sawah, ternyata yaitu kekerabatan
yang tetap dijaga. Hubungan kerabat itu tak saja berupa
hubungan darah, tapi juga melalui jalur perkawinan. Banyak
terjadi kawin silang antar-pemeluk agama berbeda. Ada yang
kemudian melebur ke agama pasangannya. Ada juga yang
bertahan pada agama masing-masing.
Agama Kristen masuk ke Kampung Sawah 1886,
ditandai munculnya Jemaat Meester F.L. Anthing di bawah
Perhimpunan Pekhabaran Injil Belanda. Pada akhir 1880-an
perkembangan Protestan kian pesat, akibat banyaknya jemaat
dari Mojowarno, Jawa Timur, dan lereng Gunung Muria, Jawa
Tengah, yang hijrah ke Kampung Sawah ,Pemeluk Kristen yang mulai multietnis itu, tahun 1895,
pecah menjadi tiga kelompok. Satu di antaranya memilih
Katolik Roma, meski saat itu tak sadar bahwa Katolik bukan
bagian Protestan. Perkembangan Katolik di Kampung Sawah
itu ditandai dengan pembaptisan 18 putra setempat pada 6
Oktober 1896 oleh Pater Bernardus Scwheitz, dari Katedral
Batavia. Penganut Kristen di Kampung Sawah kemudian
membentuk sistem marga, tradisi yang tak ditemukan di
Betawi lainnya. Misalnya, marga Baiin, Saiman, Bicin, Napiun,
Kadiman, Dani, Rikin, dan Kelip. Marga-marga yang khas
Kampung Sawah ini terus dipakai hingga sekarang
Letak Geografis
Kampung Sawah terletak di Kecamatan Pondok
Melati, Kota Bekasi yang berbatasan dengan Jakarta Timur.
Kampung Sawah lebih yaitu “komunitas sosial”
ketimbang sebagai kampung dalam arti teritori. Pada awalnya
Kampung Sawah berada di Kelurahan Jatiranggon. Namun,
setelah ada pemekaran (tahun 1980-an), Kampung Sawah
tersebar di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Jatimurni (RW 01,
RW 02, dan RW 03), Jatimelati (RW 02, RW 03, dan RW 04), dan
Jatiwarna (RW 02, RW 03, dan RW 04).
Di bagian utara, Kampung Sawah berbatasan dengan
Pasar Kecapi. Di bagian barat berbatasan dengan Jalan Raya
Ujung Aspal dan Jakarta Timur. Bagian selatan berbatasan
dengan Kampung Raden. Pada bagian timur berbatasan
dengan Kampung Pedurenan dan Cakung Payangan.
Kerukunan Kampung Sawah
warga Kampung Sawah sangat kental dengan
tradisi dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Itulah sebabnya, warga banyak menyebutnya sebagai
Komunitas Kampung Sawah. Komunitas Kampung Sawah
memiliki beragam keunikan. Walaupun menganut agama
yang beraneka ragam, warga di Kampung Sawah tidak
pernah memiliki masalah dengan toleransi antar umat
beragama. Mereka hidup saling menghormati dan selalu
menjaga kerukunan antar sesama. Hal ini dapat dilihat dengan
berdirinya tiga tempat ibadah yang hampir berdampingan
yaitu Gereja Kristen Pasundan (berdiri 1886), Gereja Khatolik
Servatius (berdiri 1896), dan Masjid Agung Al-Jauhar (berdiri
tahun 1965). Jarak ketiga tempat ibadah ini cukup berdekatan
membentuk segitiga emas seolah melambangkan simbol
kerukunan.
Kegiatan keagamaan dilakukan warga kampung
Sawah dengan penuh kebersamaan. Di saat salah satu warga
membutuhkan bantuan, warga yang lain aktif memberikan
tanpa diminta. Hal ini telah terjadi sejak bertahun-tahun
yang lalu, secara turun-temurun. Perbedaan agama yang
ada di dalam komunitas Kampung Sawah, disatukan dengan
tradisi-tradisi yang dilakukan warga di sana, dari mulai tradisi
berpakaian sampai kegiatan-kegiatan adat yang menjadi warna
dalam komunitas ini. Kegiatan-kegiatan adat dilakukan tanpa
melihat agama yang dianut oleh komunitas Kampung Sawah.
Kerukunan antarkomunitas agama di Kampung
Sawah terus dipertahankan sampai saat ini. Masing-masing
komunitas kecil dipimpin oleh seorang tokoh komunitas
ini . warga Muslim dipimpin oleh seorang ustadz/
kiai, komunitas Kristen/Katolik dipimpin oleh pastor, begitu
juga dengan etnis Tionghoa, serta umat Hindu dan lain
sebagainya juga dipimpin atau dikendalikan oleh tokoh
komunitasnya masing-masing. Dalam melestarikan kerukunan
beragama ini, para tokoh ini bersatu bersama-sama
membentuk paguyuban umat beragama. Persatuan antara
tokoh-tokoh yang mewakili masing-masing umat beragama
ini membuat kerukunan antarumat beragama semakin erat.
Hal ini terjadi sebab masih kuatnya pengaruh tokoh-tokoh
ini terhadap anggota komunitasnya masing-masing.
Tradisi dan Kebudayaan
Kampung Sawah yaitu kampung yang terdiri
atas berbagai etnis yang ada di negara kita. Di Kampung Sawah
ini telah dijunjung nilai-nilai kerukunan serta kebersamaan
antara warga yang berbeda-beda agama. Selain itu
nilai-nilai keagamaan/kepercayaan masih sangat dijunjung
tanpa mengurangi nilai-nilai kebersamaan. Nilai-nilai yang ada
ini diwujudkan dalam ritual-ritual yang sampai saat ini
masih tetap dilaksanakan meskipun sudah disesuaikan dengan
perubahan zaman. Pada zaman dahulu ada ritual Rojeng
yang yaitu upacara singkat sebelum dilaksanakan panen
padi. Upacara ini dilakukan dengan cara pemberian
sesajen berupa ubi, tebu, kentang, telur, lisong (cerutu), dan
kelapa muda sambil diiringi doa-doa. Setelah upacara ini
selesai, padi segera dipotong dengan ani-ani sambil diiringi
tembang yang dinyanyikan oleh para pemotong padi ,
Setelah semua ritual panen selesai maka panen raya
ditutup dengan acara selametan. Petani di Kampung Sawah
sangat berhati-hati memperlakukan padi, beras, dan nasi.
Banyak pantangan ataupun larangan terkait dengan padi,
beras, dan nasi ini. Misalnya yaitu nasi atau beras tidak boleh
ada yang jatuh atau terbuang. Hal-hal ini mencerminkan
kuatnya nilai atau rasa syukur yang tinggi terhadap Tuhan
yang telah memberikan hasil panen kepada warga di
Kampung Sawah. Nilai- nilai ini masih dilaksanakan
sampai sekarang dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Nilai-nilai ini
dituangkan dalam ritual sedekah bumi yang dilaksanakan
setiap setahun sekali di Kampung Sawah. Sedekah bumi ini
yaitu acara syukuran/selametan dengan menggelar
pesta yang berisi makanan atau hidangan-hidangan tradisional
sampai dengan yang modern. Pesta rakyat ini terbuka untuk
warga umum. Semua warga dari berbagai kalangan
dapat menikmatinya tanpa memandang perbedaan agama
ataupun perbedaan etnis.
Sekilas Tentang Pilkada Jabar dan Pilpres 2019
a. Pilgub Jawa Barat
Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018 (selanjutnya disebut
Pilgub Jabar 2018) telah dilaksanakan pada 27 Juni 2018.
Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2018–
2023 terpilih, yakni Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum,
telah dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Terdapat
empat pasangan calon pada Pilgub Jabar, yaitu Deddy
Mizwar-Dedi Mulyadi (didukung oleh dua partai politik,
yaitu Partai Demokrat dan Golkar); Ridwan Kamil-Uu
Ruzhanul Ulum (NasDem, PKB, PPP, dan Hanura);
Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Gerinda, PKS, dan PAN); dan
Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan (didukung PDI-P).
Pilkada Jabar dimenangi oleh pasangan Ridwan Kamil
dan Uu Ruzhanul Ulum. Meskipun demikian ada
kejutan-kejutan yang menarik untuk dicermati, seperti
meningkatnya suara Sudrajat dan Ahmad Syaikhu serta
tergerusnya suara Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi.
Yang menarik yaitu perolehan suara di Kecamatan
Pondok Melati di mana Kampung Sawah berada.
Pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum menang
dengan selisih suara cukup besar. Berikut ini yaitu
perolehan Suara Pilgub Jawa Barat 2018 di Kecamatan
Pondok Melati. (sumber: KPU Jawa Barat)
Pemilihan Walikota Bekasi 2018 diikuti oleh dua pasangan
calon, yakniRahmat Efendi - Tri Adhianto (didukung
oleh Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat, PPP, Partai
Hanura, PKB, dan PDI-P) dan Nur Supriyanto - Adhy
Firdaus Saady (didukung oleh dua partai, yaitu PKS dan
Partai Gerindra).
Berdasarkan hasil rapat pleno KPU bernomor: 120/
PL.03.6-ktp/3275/KPU-Kota/VII/2018, KPU Kota Bekasi
memutuskan pasangan calon nomor satu Rahmat
Effendi-Tri Adhianto memenangi pemilihan (697.630
suara), dengan selisih cukup besar dibanding pasangan
calon Nur Supriyanto-Adhi Firdaus (335.900 suara).
Berikut ini yaitu perolehan suara kedua pasangan di di
kecamatan Pondok Melati.
No Pasangan Calon
Perolehan
Suara
Persentase
A.
Dr. Rahmat Effendi
dan Dr. Tri Adhianto
Tjahyono, SE., MM
37.333 66,62%
B.
Dr. Nur Supriyanto, MM
dan Dr. H. Adhi Firdaus
Saady, MM
18.423 33,38%
c. Pilres 2019
Pemilihan Presiden (pilpres) 2019 yaitu salah
satu rangkaian dari Pemilu Serentak 2019 yang
diselenggarakan pada 17 April 2019. Inilah pemilu
serentak untuk pertama kalinya dalam sejarah pemi