filsafat hukum 6

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 6


terwujud keadilan di dalam 
warga .
b. Faktor Eksternal
Berikutnya, moralitas tidak hanya ditentukan oleh adanya tujuan yang 
baik dalam diri manusia, ia juga dipengaruhi faktor eksternal. Konsep 
ini digambarkan dengan baik oleh Thomas Hobbes dalam bukunya 
“Leviathan”. Dalam bukunya, Hobbes, menggambarkan manusia 
sebagai makhluk yang secara alamiah bebas, artinya manusia itu 
bebas. Selanjutnya, Hobbes juga menyatakan bahwa pada hakikatnya 
manusia yaitu makhluk yang mencari kebahagiaannya masing-masing 
(individu), karenanya manusia dapat menjadi serigala bagi manusia lain. 
Kemudian untuk mengatasi hal ini , manusia bersepakat untuk 
menyerahkan sebagian kebebasannya untuk membentuk suatu tataran 
sosial yang menjadi pedoman mengenai baik dan buruk dan apa yang 
boleh dilakukan atau tidak, inilah yang disebut sebagai kontrak sosial. 
Kontrak sosial ini lalu  menjadi landasan suatu warga  sosial 
tadi dalam menjalankan kehidupan. Mereka yang tidak berperilaku 
sesuai kesepakatan (kontrak sosial) akan dianggap berperilaku buruk. 
Sebaliknya mereka yang memegang prinsip-prinsip yang dituangkan 
dalam kontrak sosial akan dianggap baik. Hal ini berlanjut hingga nilai-
nilai kontrak sosial tadi menjadi sebuah kebiasaan, lalu  berlanjut 
hingga menjadi sebuah standar moral, hingga menjadi sebuah moralitas.
Faktor eksternal yang mempengaruhi  moralitas, dalam skala besar 
bisa kita lihat dalam konsep yang dibawakan Jermy Bentham mengenai 
   
mala in se dan mala in prohibita. Bentham mengatakan bahwa suatu 
tindakan yang dinyatakan sebagai tindakan jahat sebab pada dasarnya 
tindakan itu memang jahat dan bertentangan dengan nilai-nilai moral 
secara universal, disebut sebagai mala in se. Sedang mala in prohibita ialah 
suatu tindakan yang dinyatakan sebagai tindakan jahat sebab Negara 
memutuskan untuk mengkriminalisasi hal ini . Misalnya, mula-
mula suatu tindakan bukanlah yaitu perbuatan yang bertentangan 
dengan moralitas, lalu  dinyatakan sebaliknya oleh Negara, maka 
tindakan ini  akan menjadi tindakan yang jauh dari kata moralitas.
Singkatnya, lingkungan yaitu salah satu faktor penting penentu 
moralitas. Lingkungan ini tidak hanya berpengaruh pada, bagaimana 
diterapkannya suatu moralitas yang telah dibentuk secara internal pada 
masing-masing individu, melainkan ia juga bisa membentuk standar 
moral baru selain yang telah dibentuk sebelumnya. 
1. Unsur Moralitas
Bagaimana kita dapat memutuskan bahwa suatu nilai yang ada di 
pikiran kita, atau suatu nilai yang ditentukan bagi kita yaitu nilai-nilai 
yang merefleksikan moralitas? Dalam subbab sebelumnya, kita telah 
berbicara mengenai faktor-faktor yang menentukan moralitas, namun 
kita masih belum memutuskan bagaimana sebetulnya yang dikatakan 
moralitas itu. Dalam subbab ini, kita akan mencoba untuk mencari apa 
unsur-unsur yang membentuk moralitas dengan menganalisis peristiwa 
yang cukup menuai perdebatan pada masa kejadiannya. 
masalah  Theresa Ann Campo Pearson.
Theresa Ann Campo Pearson atau di publik dikenal sebagai bayi Theresa 
yaitu seorang bayi baru lahir yang mengidap anencephalic. Bayi Theresa 
lahir pada tahun 1992 di Florida. Anenchepalic kadang disebut juga 
sebagai bayi tanpa otak, sebutan ini  cukup untuk menggambarkan 
kondisi pengidap anencephalic walaupun tidak seratus persen akurat. Pada 
anencephalic, beberapa bagian penting yang ada di otak, yaitu cerebrum dan 
cerebellum, dan juga bagian atas dari tengkoraknya. Tapi, bagaimanapun 
juga masih ada  fungsi batang otak dan fungsi-fungsi lain yang 
tidak berkaitan dengan cerebrum dan cerebellum, seperti bernapas dan 
berdetaknya jantung yang masih mungkin untuk berfungsi. 
Di Amerika, sebagian besar masalah  anenchephaly dideteksi sejak 
masa kehamilan. Sebagian besar akan menggugurkan kandungannya 
saat mengetahui bahwa ada  anenchephaly pada janinnya. Hanya 
sebanyak 300 per tahun di Amerika, janin yang tidak digugurkan (sebab 
anenchephaly) yang memiliki kemungkinan dapat lahir dengan selamat. 
Dan yang selamat biasanya akan meninggal hanya berselang beberapa 
hari setelah dilahirkan.
masalah  bayi Theresa sekalipun menghebohkan, tidak akan menjadi 
sangat diingat jika  tidak ada permintaan khusus yang dibuat oleh 
orang tuanya. Permintaan ini  ialah, untuk mendonorkan organ 
yang dimiliki bayi Theresa untuk bayi-bayi lain yang memerlukan . 
Keputusan yang dibuat orang tua bayi Theresa bukan tanpa pertimbangan 
yang matang. Orang tua bayi Theresa mengetahui fakta bahwa, sekalipun 
bayi Theresa dibiarkan untuk hidup, ia hanya akan meninggal dalam 
beberapa hari lalu . Dalam pikiran mereka, sebaiknya organ-organ 
yang dimiliki bayi Theresa lebih baik ditransplantasikan kepada bayi-bayi 
yang lain, sebab akan lebih memberikan manfaat untuk mereka (bayi-
bayi yang lain). Hal ini  juga didukung dengan fakta bahwa setiap 
tahun di Amerika, paling tidak ada  2000 bayi yang memerlukan  
transplantasi organ, dan sayangnya, tidak pernah ada  organ yang 
cukup untuk memenuhi itu. Tapi toh, organ-organ yang dimiliki oleh 
bayi Theresa pada akhirnya tidak jadi diambil. Kala itu hukum di Florida 
tidak memperbolehkan adanya donor organ saat  si pendonor masih 
belum dinyatakan meninggal. Beberapa hari setelah itu, bayi Theresa 
lalu  meninggal, dapat bayi-bayi lain yang memerlukan  pada 
akhirnya tidak sempat untuk menerima transplantasi organ. Selain 
itu juga, sebab dibiarkan terlalu lama, organ yang dimiliki oleh bayi 
Theresa lalu  terlalu buruk untuk dipergunakan kepada bayi lain 
yang memerlukan  transplantasi organ.
masalah  bayi Theresa lalu  mencuat di media-media cetak. 
Akibatnya diskursus dari diskusi-diskusi publik, fokus untuk 
memperdebatkan masalah  ini. Pendapat mereka terpisah, ada yang setuju 
dengan ide yang dibawakan oleh orang tua bayi Theresa, ada juga 
yang menentang mereka. Fakta bahwa orang tua bayi Theresa dan 
dokter yang menangani bayi Theresa sepakat bahwa sebaiknya organ 
tadi dipakai  untuk transplantasi sebelum bayi Theresa meninggal 
diabaikan oleh publik. Alih-alih memperhatikan hal ini , publik 
   
lebih mempertimbangkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan 
oleh para ahli. Beberapa ahli menyatakan bahwa, “yaitu sangat jahat 
untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan orang lain”. Ahli yang 
lain, “apa yang ingin dilakukan oleh orang tua ini yaitu membunuh bayi 
yang sedang sekarat ini, agar organnya dapat dipergunakan untuk bayi 
yang lain, bagi saya itu yaitu proposisi yang sangat menghebohkan”, 
ahli yang lain mengatakan, “sangatlah tidak etis untuk membunuh 
demi menyelamatkan”.
Apakah benar mengorbankan bayi Theresa yaitu hal yang 
tidak etis? Dalam pembelaannya, orang tua Theresa menyatakan 
bahwa, “jika kita bisa memberikan manfaat bagi orang lain tanpa 
menyakiti orang lain, kami akan melakukannya seperti seharusnya. 
Mentransplantasikan organ tidak akan menyakiti Theresa, karenanya, 
kami akan melakukannya”. Menanggapi gagasan yang dibawakan oleh 
orang tua bayi Theresa mungkin kita akan bertanya-tanya apakah dalam 
prosesnya (transplantasi organ) hal itu akan menyakiti Theresa atau 
tidak. Sekalipun demikian, nyatanya dia juga akan meninggal sesegera 
mungkin. Namun, apa pun itu, paling tidak orang tua Theresa benar 
akan suatu hal, dalam keadaan yang tragis ini, tetap hidup tidak akan 
memberikan manfaat yang baik bagi bayi Theresa. Kehidupan hanya 
akan dinikmati jika kita bisa secara biologis aktif. Misalnya, berjalan, 
berinteraksi dengan orang lain, dan sebagainya. Mau tidak mau kita bisa 
membenarkan bahwa hidup yang hanya bernapas dan jantung berdetak 
yaitu hal yang sia-sia. sebab nya, membiarkan Theresa hidup hanya 
untuk meninggal beberapa hari lalu , tidak akan memberikan 
kebaikan kepadanya, melainkan hanya menambah deritanya. 
Berikutnya, bagaimana dengan salah satu pendapat ahli yang 
menyatakan bahwa, “yaitu sangat kejam untuk memanfaatkan 
seseorang demi keuntungan orang lain”. Gagasan seperti ini yaitu 
gagasan yang bagus, namun apakah benar bahwa, bayi Theresa 
dimanfaatkan? Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa tolak 
ukur dari memanfaatkan orang lain atau tidak ialah berkaitan dengan 
apakah kita telah melecehkan otonomi diri mereka, kemampuan 
mempengaruhi mereka untuk memutuskan apa yang akan mereka lakukan 
terhadap hidup mereka berdasarkan apa yang mereka inginkan atau 
mereka nilai. Biasanya memanfaatkan orang lain melibatkan sikap 
manipulatif, misalnya, saat  kita berteman dengan seseorang, hanya 
untuk mendapatkan manfaat dari dirinya. Memanfaatkan orang lain 
juga terjadi saat  kita memaksa mereka melakukan sesuatu yang tidak 
mereka kehendaki. sebab nya, sebetulnya notion ini benar, sebab pada 
dasarnya memanfaatkan orang lain yaitu perbuatan yang salah. Namun 
pertanyaannya yaitu apakah kita memanfaatkan Theresa?
Kita bisa menilai bahwa, mengambil organ milik Theresa tidak 
melibatkan sebuah trik, kebohongan, ataupun sikap manipulasi 
terhadapnya. Apakah bisa kita gambarkan jika “memanfaatkan” dalam 
gagasan ini yaitu sebuah perkembangan moral yang cukup signifikan 
dari standar moral yang ada. Kita bisa berargumentasi bahwa, pada 
hakikatnya kita tetap memanfaatkan Theresa untuk kepentingan 
orang lain. Tapi logika ini sama saja dengan saat  dokter melakukan 
transplantasi organ dari satu orang ke orang lain. Apakah hakikat ini 
sama dengan “memanfaatkan” dalam sense yang dibawakan oleh pakar 
tadi? Hal ini akan sama, jika dan hanya jika kita melakukan hal yang 
bertentangan dengan keinginan Theresa, notion ini dapat menjadi 
alasan untuk menyatakan bahwa kita telah melecehkan hak otonom 
dari Theresa. Tapi kenyataannya yaitu Theresa bukanlah manusia 
yang otonom. Dia tidak memiliki keinginan dan tidak bisa mengambil 
keputusan untuk dirinya sendiri.
saat  seseorang tidak bisa membuat keputusan untuk dirinya 
sendiri, orang lain (walinya) yang akan memutuskan sesuatu untuk 
mereka. Normalnya, ada dua standar yang dipakai  untuk mengambil 
keputusan ini. Pertama, jika dia bisa mengatakan apa yang dia inginkan, 
apa kira-kira hal yang paling dia inginkan? Jika kita bertanya seperti ini 
pun, ini tidak akan berpengaruh terhadap baik atau buruknya saat  
kita memutuskan untuk mengambil organ Theresa untuk didonorkan. 
sebab , tidak peduli apa pun keinginannya, Theresa juga akan meninggal 
sesegera mungkin. 
Berikutnya ialah, jika dia bisa mengatakan apa yang dia inginkan, apa 
yang akan dia katakan? Notion seperti ini akan sangat membantu jika yang 
kita hadapi ialah seseorang yang memiliki preferensi atas keinginannya 
namun kekurangan atau tidak bisa untuk mengekspresikannya. Namun, 
tragisnya, Theresa tidak punya preferensi atas apa pun, dan tidak akan 
memilikinya. Jadi kita tidak bisa mendapatkan petunjuk darinya, bahkan 
di dalam imajinasi kita. Sisanya yaitu tinggal kita memikirkan apa yang 
terbaik yang bisa kita lakukan untuk semuanya. 
   
Argumen berikutnya yang dikatakan pakar dalam menanggapi 
masalah  Theresa adalah, “Adalah suatu hal yang salah jika kita membunuh 
untuk menyelamatkan”. Mereka yang sependapat dengan pakar 
ini  mengatakan bahwa, mengambil organ Theresa demi untuk 
mentransplantasikannya ke bayi yang lain sama dengan membunuh 
Theresa, karenanya hal itu yaitu perbuatan yang salah. Namun apakah 
benar kondisinya demikian? 
Larangan untuk membunuh yaitu larangan yang ada dalam setiap 
standar moralitas yang ada di seluruh dunia, namun beberapa orang 
meyakini jika ada beberapa pengecualian yang dapat dijustifikasi sebagai 
dasar untuk membunuh. Saya akan terkejut, jika ada suatu tradisi yang 
mengizinkan orang membunuh tanpa sebab yang dapat dibenarkan. 
Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar terhadap situasi 
ini, yaitu, apakah mengambil nyawa Theresa dengan cara mengambil 
organnya untuk kepentingan bayi yang lain, dapat dijustifikasi sebagai 
sebuah pengecualian terhadap larangan untuk membunuh? Biasanya 
membunuh orang lain yaitu hal yang salah, namun tidak selalu salah.
Mungkin cara terbaik untuk menghentikan perdebatan ini yaitu 
dengan mengasumsikan bahwa Theresa telah meninggal. Gagasan 
ini mungkin terdengar gila dan kejam, tapi apakah kita lupa bahwa 
sekarang ada  kondisi yang disebut sebagai “brain death”, bahkan 
di banyak negara, kondisi demikian dapat dijadikan sebagai dasar 
untuk menyatakan bahwa seseorang secara resmi telah meninggal 
dunia. Dalam sejarah, saat  ide mengenai brain death disampaikan, 
banyak penolakan dari berbagai pihak terhadap gagasan itu. Sebagian 
besar dari mereka berpendapat bahwa, bisa saja seseorang mengalami 
brain death, namun masih banyak organ yang berfungsi di dalamnya, 
dengan bantuan teknologi canggih, seseorang yang mengalami kondisi 
ini  masih dapat bernapas, jantungnya masih dapat berdetak, dan 
seterusnya. Tapi pada akhirnya ide tentang brain death pun disetujui. 
Alasan diterimanya ide ini  pun sangat masuk akal, yaitu saat  
seseorang mengalami kerusakan di otak hingga otaknya tidak dapat 
berfungsi, tidak ada harapan lagi baginya untuk menjalani kehidupan 
dengan sebuah kesadaran, bahkan sedikitpun. Hal itu sama saja dengan 
mati.
Kondisi yang dialami Theresa belum bisa dikatakan termasuk 
dalam kondisi brain death. Namun, kita bisa saja di lalu  hari 
mereformulasi terhadap bagaimana sebetulnya yang dimaksud 
kondisi brain death itu. Mengingat Anencephalics yaitu kondisi di 
mana seseorang tidak memiliki cerebrum atau cerebellum. Mereka yang 
mengalami hal ini  hanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil 
untuk dapat hidup dengan kesadaran.
Pada akhirnya, jika kita perhatikan masalah  ini, baik itu situasi 
ataupun pendapat para pakar tentang benar atau salah untuk 
mentransplantasikan organ milik Theresa untuk bayi lain, sepertinya, 
argumen yang mendukung transplantasi jauh lebih beralasan dibandingkan  
argumen yang bertentangan dengannya.
Sebuah Alasan 
Apa yang dapat kita pelajari dari masalah  tentang Bayi Theresa tentang 
apa unsur natural yang ada  dalam moralitas itu sendiri? Pertama 
kita bisa menandai bahwa dalam masalah  ini, poin pertama ialah bahwa 
sebuah keputusan yang bermoral yaitu sebuah keputusan yang didasari 
oleh alasan yang baik. masalah  bayi Theresa seperti halnya dengan masalah  
yang mungkin sering didiskusikan saat  kita berbicara soal moralitas, 
ialah masalah  yang dapat menggerakkan perasaan kita. Perasaan itu 
mungkin yaitu salah satu dari tanda keseriusan moral dan mungkin 
keseriusan itu yaitu hal yang dapat kita kagumi. Tapi di sisi yang lain, 
bisa saja perasaan itu yaitu pagar yang dapat menghalangi kita 
untuk menemukan alasan yang sebenarnya. Biasanya, dalam masalah -
masalah  seperti ini, kita akan memiliki semacam pemikiran bahwa “we 
just know the truth”, akibatnya ialah kita tidak mempertimbangkan 
argumen yang berseberangan dengan kita yang bisa jadi yaitu 
hal yang benar. Dalam banyak hal, kita tidak bisa bergantung pada 
perasaan kita. Perasaan kita bisa saja yaitu hal yang sangat 
tidak rasional. Perasaan kita bisa jadi tidak lebih dari sebuah hal yang 
terbentuk dari prejudis, stigma, keegoisan, ataupun budaya kita. Lebih 
jauh, perasaan setiap orang seringnya mengatakan hal yang sebaliknya. 
sebab nya, jika kita ingin menemukan kebenaran dari suatu peristiwa, 
kita harus mengizinkan perasaan kita untuk lebih terbuka, kita harus 
mengizinkan perasaan kita sejauh mungkin hingga dapat menjadi 
sebuah pertimbangan bahkan terhadap pandangan yang berseberangan 
dengan kita. Moralitas pertama, dan terutama yaitu tentang sebuah 
alasan. Hal yang secara moralitas dikatakan benar yaitu sebuah hal 
   
yang dilakukan, baik dalam kondisi apa pun, yang memiliki alasan 
terbaik untuk dilakukan.
Sebuah Pertimbangan yang Impartial
Sebuah alasan yang baik selalu didukung oleh sebuah pertimbangan 
yang impartial. Apa yang dibutuhkan untuk memiliki pertimbangan 
yang impartial tidak lebih dari sebuah proskripsi untuk menentang 
kesewenang-wenangan dalam memperlakukan orang lain. Impartialitas 
yaitu sebuah aturan yang melarang kita untuk memperlakukan 
seseorang berbeda dengan orang yang lainnya. Itu yaitu sebuah 
pertimbangan yang mementingkan setiap kepentingan orang lain secara 
proporsional. 
Alasan yang baik dan pertimbangan yang impartial yaitu 
unsur utama dari moralitas. Moralitas yaitu sebuah usaha untuk 
membimbing seseorang dengan sebuah alasan yang terbaik untuk 
melakukan sesuatu yang memiliki berat yang adil untuk kepentingan 
setiap orang di dalamnya.
2. Moralitas dan Legalitas
“Lon L. Fuller Invented a case, which he set in the year 4300, in which the 
nature o law had a direct and perspicuous impact upon the reasoning of the 
judges and the conclusion they reached. He was inspired by a real case that 
had come up in the nineteenth century involving sailors marooned on a raft 
at a sea. But Proffesor Fuller modified the facts considerably, because he 
wanted to present the jurisprudential issues in their clearest and starkest 
form” (Anthony D’ Amato 1996: 1).
masalah  yang dibuat oleh Lon L Fuller bercerita tentang Roger 
Whetmore dan kelompoknya saat  mereka sedang melakukan 
penambangan di sebuah gua batu kapur. Pada tahun 4299 mereka 
berangkat ke gua itu untuk melakukan penambangan batu kapur. 
Sesampainya di sana, mereka mulai melakukan kegiatan penambangan 
di gua itu. Celakanya, saat  mereka makin masuk ke dalam, tiba-
tiba terjadi longsor, akibatnya jalan keluar mereka menjadi tertutup 
seluruhnya. Mereka terjebak di sana. Beruntungnya Roger Whetmore 
saat melakukan perjalanan ke gua itu, meninggalkan jejak di sepanjang 
perjalanan. Oleh sebab itu saat  orang-orang sadar bahwa Roger dan 
kelompoknya tidak kunjung kembali, mereka mencari dan sebab jejak 
yang ditinggalkan Roger, pada akhirnya menemukan lokasi Roger dan 
kelompoknya.
Mulanya, penguasa setempat mengutus seorang insinyur untuk 
meneliti, kira-kira apa yang menghalangi Roger dan kelompoknya 
untuk keluar dari gua itu. Kemudian diketahui bahwa ada  sebuah 
kumpulan reruntuhan yang sangat besar yang memblokade jalur keluar 
dari gua tempat Roger dan kelompoknya berada. Mengetahui hal 
ini , insinyur tadi akhirnya dengan bantuan penguasa setempat 
membentuk sebuah tim khusus untuk menyelamatkan Roger dan 
kelompoknya. Tim ini  terdiri dari para pekerja, ahli geologi, dan 
juga insinyur. Dalam rangka penyelamatan itu, mereka membangun 
kema-kema di sekitar lokasi tempat Roger dan kelompoknya terjebak. 
Namun, tidaklah mudah untuk membebaskan Roger dan kelompoknya, 
dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membebaskan mereka. 
Terlebih lagi, usaha penyelamatan ini  juga diwarnai dengan 
beberapa kali longsor. Salah satu longsor bahkan menewaskan sepuluh 
orang pekerja yang ikut sebagai tim penyelamatan. 
Penyelamatan itu bahkan belum berhasil hingga pada hari ke dua 
puluh. Namun, pada hari itu, berhasil dibuat alat komunikasi, untuk 
membantu komunikasi antara tim penyelamat serta Roger Whetmore 
dan kelompoknya. Saat berkomunikasi, Roger bertanya, kira-kira 
berapa lama lagi perkiraan mereka dapat dikeluarkan dari gua ini , 
lalu  insinyur tadi menjawab paling tidak diperlukan waktu 
sekitar sepuluh hari lagi. Kemudian Roger mengatakan bahwa dengan 
kekurangan nutrisi sebab tidak ada yang bisa dimakan di dalam gua 
itu, Roger mengatakan bahwa dia dan kelompoknya tidak bisa bertahan 
hidup selama itu. Kemudian komunikasi ini  terputus selama 
delapan jam, hingga pada akhirnya terhubung kembali. Saat terhubung 
itu lalu  Roger Whetenmore bertanya kepada insinyur tadi tentang 
apakah mereka bisa selamat dengan memakan daging salah satu dari 
kelompok mereka. Kemudian insinyur tadi mengiyakan dan tiba-tiba 
komunikasi terputus kembali.
Beberapa hari lalu , akhirnya tim penyelamat tadi berhasil 
menghilangkan seluruh reruntuhan. Kemudian diketemukan bahwa 
mereka yang selamat tadi sebelumnya telah membunuh dan memakan 
daging Roger Whetmore saat  masih terjebak di dalam gua. Mereka 
yang selamat tadi lalu  dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan 
   
pertolongan pertama, perbaikan nutrisi, dan penanganan pascatrauma. 
Beberapa hari lalu  setelah mereka pulih, lalu  mereka 
dibawa ke pengadilan, untuk menghadapi persidangan atas tuntutan 
pembunuhan terhadap Roger Whetmore.
Dalam persidangan, para tersangka lalu  menceritakan 
kejadian yang terjadi saat komunikasi sempat terputus. Mereka berkata 
bahwa Whetmore lah yang memiliki ide untuk memakan salah satu 
dari mereka ini , mereka juga berkata bahwa Whetmore juga 
yang menentukan metode yang dipakai  untuk memilih siapa yang 
akan dibunuh dan dimakan. Namun lalu , Roger Whetmore 
mengatakan pada mereka untuk menunggu seminggu lagi sebelum 
mereka melakukan hal ini . Kelompok Roger Whetmore menolak 
perkataan Whetmore dan akhirnya memakai  metode Whetmore 
untuk memutuskan siapa yang akan dibunuh dan dimakan, yaitu Roger 
Whetmore sendiri. Setelah persidangan itu, pada akhirnya kelompok 
tadi dijatuhi vonis hukuman mati dan lalu  digantung. Ironisnya 
yaitu mereka diselamatkan untuk pada akhirnya dibunuh di lalu  
hari. Berdasarkan masalah  ini muncul sebuah pertanyaan, apakah yang 
secara moral benar untuk diputuskan dalam perkara ini? Lalu bagaimana 
dengan aspek legalitasnya jika keputusan yang dianggap bermoral tadi 
ternyata tidak sejalan dengan hukum positif yang berlaku? 
Sebelumnya kita belajar bahwa moralitas yaitu tentang alasan yang 
terbaik dan juga pertimbangan yang impartial dalam mengambil suatu 
keputusan. Sedangkan legalitas yaitu sebuah prinsip untuk menjaga 
dan menjamin adanya kepastian dari ditegakkannya hukum. Dari masalah  
Whetmore misalnya, apa yang secara moralitas benar untuk diputus, 
apa yang secara legalitas benar untuk diambil, dan bagaimana sebuah 
jika kedua variable itu digabungkan? Keputusan apa yang mungkin 
diambil oleh hakim? 
Pada sisi moralitas, kita dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, 
yaitu apakah kita akan membebaskan rekan-rekan Roger Whetmore 
dari tuntutan pembunuhan hanya sebab mereka melakukan itu 
untuk bertahan hidup atau kita akan mengamini putusan hakim yang 
memutuskan mereka digantung dengan pertimbangan, sekalipun 
mereka memiliki justifikasi untuk membunuh dan memakan Roger 
Whetmore, perbuatan mereka tetaplah perbuatan yang salah di mata 
hukum. Dengan notion seperti itu, kita akan mengakhiri perdebatan 
dengan menyatakan bahwa putusan yang diberikan hakim selain sesuai 
dengan aturan hukum yang ada (legality) juga memiliki nilai moralitas, 
sebab diambil berdasarkan alasan yang baik dan pertimbangan yang 
impartial. Lantas bagaimana hukum yang mengandung nilai legalitas 
dan moralitas itu?
Profesor Ronald Dworkin yaitu seorang filsuf yang sangat 
mempengaruhi  pemikiran para ahli hukum tentang legalitas dan 
moralitas. Dworkin yaitu murid dari H.L.A Hart yang terkenal 
dengan konsepnya yaitu core and pneumbra. Hart mengatakan bahwa, jika 
suatu aturan itu core, maka hakim berfungsi menjadi corong undang-
undang, sedang jika aturan itu berupa pneumbra, maka hakim diberikan 
diskresi apakah dia ingin menerapkan aturan itu secara langsung dengan 
mengasumsikan bahwa itu yaitu core atau menginterpretasi aturan 
ini  sebab baginya itu yaitu sebuah pneumbra. Pandangan itu 
jelas mendapatkan kritik dari Ronald Dworkin. Bagi Dworkin, dalam 
memutuskan suatu perkara, hakim harus memutuskannya berdasarkan 
yang terbaik untuk menyelesaikan masalah  itu, terlepas dari apa yang 
diatur dalam peraturan atau apa efeknya untuk sosial. sebab nya, 
Dworkin membuat sebuah pembagian yang jelas dengan apa yang 
disebut sebagai legal rules dan legal principle. Misalnya, pendapatnya 
dalam masalah  di New York tahun 1889 antara Riggs vs Palmer. Dalam 
masalah  ini  terjadi perselisihan tentang apakah seseorang masih 
berhak mendapatkan warisan dari kakeknya, jika  dia kedapatan 
membunuh kakeknya dalam rangka mendapatkan warisan itu. Hakim 
kala itu mengatakan bahwa:
 “it is quite true that statutes regulating the making, proof and effects of 
wills, and the devolution of property I literally construed and I their force and 
effect can in now way and under no circumstances be controlled or modified, 
give this property to the murderer. But all laws, as well as all contracts may 
be controlled in their operation and effect by general, fundamental maxims 
by common law. No one shall be permitted to profit by his own fraud, or 
to take advantage by his own wtong, or to found any claim upon his own 
iniquity, or to acquire property by his own crime”
Pendapat hakim ini , jelas menunjukkan bahwa ada perbedaan 
yang sangat mendasar pada sifat  legal rules dan legal principle. 
Karakternya legal rules yaitu untuk diterapkan secara langsung, dan 
memiliki sebuah kepastian. Sedangkan legal principle yaitu sebuah 
   
prinsip yang beroperasi di bawah permukaan dari legal rules. Ia berfungsi 
sebagai poros penyanggah untuk membentuk legal rules dan sebagai 
penggerak bahkan jika legal rules tidak lagi bisa berjalan, seperti dua 
contoh masalah  di atas.
Secara singkat, melalui penjelasan ini kita dapat mengatakan bahwa 
legalitas dan moralitas memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. 
Moralitas ada untuk membentuk suatu aturan dan menjadi suatu prinsip 
dasar agar suatu aturan dapat bekerja dengan baik. Sedangkan legalitas 
yaitu penjaga agar moralitas itu selalu ditegakkan melalui sebuah 
aturan yang memiliki kekuatan mengikat. Bisa dikatakan, legalitas 
yaitu bagian dari legal rules, sedangkan moralitas yaitu bagian 
dari legal principle. 
D. Hukum Moral
Hukum moral dalam artinya yang paling umum yaitu pedoman 
yang menertibkan kegiatan manusia mencapai cita-citanya, yaitu 
kebahagiaan. Dalam hukum ini termuat tuntutan ketaatan yang sama 
dengan tuntutan di dalam pembinaan, rekomendasi, serta izin. Hukum 
ini meliputi hukum-hukum yang berlaku umum bagi setiap orang atau 
kelompok orang, serta perintah mempengaruhi yang diberikan pada satu orang 
tertentu. Hukum ini memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan 
yang bersifat permanen, seperti misalnya: kewajiban menghormati 
kontrak atau ikrar: juga memuat ketentuan yang sifatnya sementara, 
seperti misalnya: larangan untuk berkumpul pada saat terjadi wabah 
penyakit menular, kewajiban menengok orang/teman yang sedang 
sakit, dan sebagainya. . Hukum moral dalam 
arti sempit yaitu pedoman tingkah laku yang wajib ditaati, bersifat 
umum dan ‘mantap’, sehingga dapat mengarahkan aktivitas manusia 
pada pencapaian kebahagiaan hidup 
A. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos dengan bentuk jamaknya yakni (ta 
etha), yang berarti kebiasaan. Etika sering dipadankan dan dikenal 
dengan kata “moral” atau “moralitas” yang berasal dari bahasa Latin, 
yaitu mos dengan bentuk jamaknya yakni (mores), di mana artinya juga 
sama yakni kebiasaan. Sumaryono (1995) mengemukakan makna dari 
etika, menurut beliau etika berasal dari bahasa Yunani yakni Ethos yang 
memiliki arti yakni adat istiadat yang baik.
Pemadanan makna antara etika dengan moral bukanlah hal yang 
salah, namun kurang tepat. Hal ini dikarenakan etika memiliki makna 
yang lebih luas dibandingkan  moral. Etika memiliki arti tidak hanya terbatas 
pada suatu sikap tindak dari seseorang namun juga mencakup motif-
motif seseorang melakukan sikap ini . Berbeda halnya dengan moral 
yang terbatas pada sikap tindak lahiriah seseorang saja.
warga  negara kita  memiliki kebiasaan tersendiri dalam hal 
penyebutan etika, yakni “susila” atau “kesusilaan”. Kesusilaan berasal 
dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua suku kata yakni su dan 
sila. Kata su berarti bagus, indah, cantik. Sedangkan sila memiliki arti 
adab, kelakuan, perbuatan adab (sopan santun dan sebagainya), akhlak, 
moral. Dari dua arti suku kata ini  maka dapat disimpulkan bahwa 
“susila” yaitu suatu kelakuan atau perbuatan yang baik dan 
sesuai dengan norma-norma maupun kaidah yang ada dalam kehidupan 
berwarga .
Dalam agama Islam, etika yaitu bagian dari akhlak. Hal ini 
dikarenakan tidak hanya berkaitan dengan perbuatan manusia secara 
lahiriah namun juga keterkaitannya dengan akidah, ibadah, dan syariat 
oleh karenanya memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan 
pengertian etika yang dikemukakan sebelumnya. Abdullah Salim 
berpendapat bahwa dalam Islam ada  akhlak Islami mencakup 
hal-hal sebagai berikut:
1. Etos, yang mengatur hubungan seseorang dengan Khaliknya, al 
ma’bud bi haq serta kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah, seperti 
terhadap rasul-rasul Allah, Kitab-nya, dan sebagainya;
2. Etis, yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap 
sesamanya dalam kehidupan sehari-harinya;
3. Moral, yang mengatur hubungan dengan sesamanya, namun  
berlainan jenis dan/atau menyangkut kehormatan tiap pribadi;
4. Estetika, rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk 
meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya, agar lebih 
indah dan menuju kesempurnaan.
Dengan mengikuti penjelasan dari Kamus Besar Bahasa negara kita  
yang dirasa belum mampu menjelaskan secara komprehensif maka K. 
Bertens berusaha menjelaskan kembali makna dari etika dengan 
menyatakan bahwa etika dapat dibedakan dalam tiga arti yakni:
1. Etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi 
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur 
perilakunya. Contohnya etika suku Indian, etika agama Buddha, 
dan etika Protestan.
2. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Contohnya yaitu 
kode etik suatu profesi. 
3. Etika sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Apa yang 
disebutkan terakhir ini sama artinya dengan etika sebagai cabang 
filsafat.
Pengertian etika yang pertama dan kedua dalam penjelasan K. 
Bertens sebetulnya mengacu pada pengertian etika yang sama, yaitu 
etika sebagai sistem nilai. Jika kita berbicara tentang etika profesi 
hukum, berarti kita juga bicara tentang sistem nilai yang menjadi 
pegangan suatu kelompok profesi, mengenai apa yang baik dan yang 
buruk menurut nilai-nilai profesi itu. Biasanya nilai-nilai itu dirumuskan 
dalam suatu norma tertulis, yang lalu  disebut kode etik. Jadi, 
kiranya cukup jelas jika  etika diartikan dalam dua hal, yaitu: etika 
sebagai sistem nilai dan etika sebagai ilmu, atau lebih tegas lagi sebagai 
cabang filsafat.
B. Alasan, Tujuan, dan Manfaat dalam Mempelajari Etika
Setiap subjek hukum wajib tunduk pada hukum. jika  yang 
bersangkutan dinyatakan telah melanggar hukum, maka seluruh proses 
hukum harus dilakukan di bawah yurisdiksi sistem hukum yang berlaku. 
maka , konsekuensi etis dari ketiadaan pilihan bagi para 
pesakitan hukum ini  yaitu suatu tuntutan ketaatan etika profesi 
yang sangat tinggi bagi para penyandang profesi hukum.  Intensitas 
ketaatan ini bahkan lebih tinggi dibandingkan  profesi manapun di dunia 
ini, termasuk jika dibandingkan dengan profesi dokter yang sama tua 
usianya dengan profesi hukum. Penyandang profesi hukum yang berani 
melanggar etika profesinya tidak saja melukai rasa keadilan individu 
dan warga , melainkan juga mencederai sistem hukum negaranya 
secara keseluruhan.
Berangkat dari latar belakang ini , etika profesi hukum menjadi 
sangat penting untuk dipelajari, terlepas bahwa di luar etika profesi pun 
sudah tersedia ajaran-ajaran moral (contoh ajaran agama) yang juga 
mengajarkan kebaikan. Kehadiran etika, termasuk etika profesi tetap 
diperlukan sebab beberapa alasan berikut:
1. Kita hidup dalam warga  yang semakin pluralistik, juga dalam 
bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti moralitas 
yang mana.
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan 
dan nilai warga  yang akibatnya menantang pandangan-
pandangan moral tradisional.
3. Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun 
hidup, yang masing-masing dengan ajarannya sendiri mengajarkan 
bagaimana manusia harus hidup.
   
4. Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak 
diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman 
kepercayaan mereka, di lain pihak mau berpartisipasi  tanpa 
takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi 
kehidupan warga  yang sedang berubah itu.
Catatan nomor terakhir yang disampaikan oleh Magnis-Suseno dari 
uraian ini  memberi penekanan bahwa kendati ajaran moral dalam 
agama sudah eksis, namun etika dan etika profesi tetap memegang 
peranan yang tidak kalah pentingnya. Hal ini terjadi sebab agama sendiri 
memerlukan keterampilan beretika agar dapat memberikan orientasi 
dan bukan sekadar indoktrinasi. Empat hal yang melatarbelakangi etika 
dalam beragama yaitu sebagai berikut:
1. Etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dari moralitas 
agama sebagai contoh dalam pertanyaan, “mengapa Tuhan 
memerintahkan ini, bukan itu?”.
2. Etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang 
saling bertentangan.
3. Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap 
masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia.
4. Etika dapat membantu mengadakan dialog antaragama sebab etika 
mendasarkan diri pada argumentasi rasional belaka, bukan pada 
wahyu.
Oleh sebab perjalanan profesi hukum yaitu perjalanan yang 
sangat dinamis, maka jelas bahwa dalam praktik akan ditemukan hal-
hal baru yang tidak sepenuhnya teratasi hanya melalui pendekatan 
ajaran-ajaran moral agama. Etika profesi hukum, dengan segala dasar-
dasar rasionalitas yang melatarbelakanginya akan sangat membantu 
membuka jalan pemecahan yang dapat diterima semua pihak dari 
berbagai kalangan.
Sedangkan tujuan dari mempelajari etika ini  yaitu untuk 
mendapatkan konsep mengenai penilaian baik buruk manusia sesuai 
dengan norma-norma yang berlaku. Pengertian baik yaitu segala 
perbuatan yang baik, sedangkan pengertian buruk yaitu segala perbuatan 
yang tercela. Tolak ukur yang menjadikan norma-norma yang berlaku 
sebagai pedoman tidak terlepas dari hakikat dari keberadaan norma-
norma itu sendiri, yakni untuk menciptakan suatu ketertiban dan 
keteraturan dalam berpolah tindak laku seseorang dalam berwarga . 
warga  dengan tingkat ketertiban dan keteraturan yang 
tinggi dapat tercipta jika  tiap individu yang yaitu bagian dari 
warga  dapat melaksanakan etika sebagaimana telah disepakati 
dalam kelompok ini  mengenai etika atau perbuatan baik maupun 
buruk yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan. Hal ini dapat 
dicontohkan dengan etika umum yang secara universal diakui sebagai 
suatu hal yang buruk, yakni perbuatan mencuri. Mencuri yaitu 
suatu perbuatan buruk dan tidak sesuai dengan etika. jika  seseorang 
melakukan perbuatan mencuri maka akan merusak ketertiban dan 
keteraturan yang ada dalam suatu warga , di mana hak seseorang 
(korban) yang seharusnya dapat dinikmati oleh dirinya namun direnggut 
oleh orang lain (pelaku). Dalam hal ini tujuan dari adanya etika ini  
telah diabaikan oleh si pelaku sehingga menimbulkan ketidakteraturan.
Selain suatu etika yang dianut secara umum pada seluruh umat 
manusia di dunia, ada  pula etika yang hanya berlaku pada suatu 
kelompok tertentu. Yang artinya nilai baik dan buruk ini  terbatas 
pada kelompok yang mengakui dan menyepakatinya. Dapat dicontohkan 
misalnya bagi orang Jawa dikatakan beretika (memiliki etika) jika  
makan dilakukan dengan duduk, jika  dilanggar maka akan dianggap 
tidak memiliki etika dan dianggap buruk. Namun hal ini tidak belum 
tentu berlaku bagi kelompok warga  di luar warga  Jawa. 
Contoh lain terkait etika yang dipadankan dengan moralitas misalnya 
yaitu bagi warga  negara kita  jika  seorang laki-laki dan wanita 
yang tidak memiliki hubungan keluarga bahkan pernikahan tinggal 
dalam satu rumah yang sama maka akan dikatakan melakukan perbuatan 
tidak beretika atau tidak bermoral (di negara kita  dikenal dengan istilah 
kumpul kebo). Yang menjadi alasan adanya label demikian yaitu budaya 
yang telah disepakati baik secara langsung atau berkembang sebagai 
kebiasaan sejak nenek moyang warga  negara kita  menyatakan 
bahwa perbuatan yang demikian itu dilarang adat dan dianggap tidak 
beretika. Namun hal ini dianggap perbuatan biasa bagi budaya barat 
dengan era modernisasinya. Laki-laki dan wanita bisa tinggal dalam 
rumah yang sama meskipun tidak ada hubungan pernikahan yang sah, 
bahkan ada  Negara tertentu yang mengizinkan warga negaranya 
memiliki anak tanpa adanya pernikahan yang sah di bawah hukum yang 
   
berlaku. Hal yang demikian berpegang pada pedoman bahwa tiap-tiap 
individu ada merdeka dan bebas melakukan hal apa pun untuk dirinya 
selama tidak menyinggung hak orang lain.
Dari pemaparan alasan yang melatarbelakangi serta tujuan 
mempelajari etika, sampailah kita pada fungsi dari mempelajari 
etika itu sendiri. Etika berfungsi untuk dijadikan pedoman dalam 
melakukan tingkah laku, menjadi batasan-batasan atas suatu perbuatan 
yang fungsinya yaitu menciptakan suatu ketenteraman bagi para 
individu selaku unsur terkecil dalam warga . Ketenteraman 
dapat tercipta jika  dalam suatu kelompok terlebih dahulu berhasil 
mencapai tujuan dari mempelajari etika itu sendiri sebagaimana telah 
dijelaskan sebelumnya yakni agar individu dapat semaksimal mungkin 
mengusahakan terciptanya keadilan. jika  keadilan dapat tercapai 
maka tiap-tiap individu tidak akan merasakan suatu hal yang dapat 
mengganggu kehidupannya, hal ini lalu lah yang diartikan sebagai 
ketenteraman. Suasana kehidupan yang harmonis, damai, teratur, tertib, 
dan sejahtera akan tercipta pula.
C. Objek Pembahasan Etika
Telah diuraikan, bahwa bahan kajian etika yaitu moralitas manusia. 
Sebelumnya telah disinggung pula, bahwa satuan dari moralitas itu 
yaitu moral. Moral sendiri yaitu salah satu norma sosial (social 
norms), atau meminjam istilah Hens Kelsen, moral yaitu regulation 
of internal behavior. Jika moral yaitu suatu norma, maka dapat 
dipastikan moral mengandung nilai-nilai sebab norma yaitu 
konkretisasi dari nilai.
Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia yang pasti berkaitan 
dengan norma atau nilai etis yang berlaku di warga , sehingga dapat 
dikatakan bahwasanya tingkah laku manusia itu, baik yang dapat diamati 
secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan, 
tempat penilaian terhadap norma yang berlaku di warga . Perbuatan 
menjadi objek saat  etika mencoba atau menerapkan teori nilai.
Perpaduan antara nilai dengan perbuatan sebagai pelaksanaannya 
menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan 
yang dapat dihubungkan dengan nilai etis adalah:
1. Perbuatan oleh diri sendiri baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
2. Perbuatan oleh pengaruh orang lain bisa berupa saran, anjuran, 
nasihat, tekanan, paksaan, peringatan, ataupun ancaman.
Menurut pendapat Achmad Amin yang mengemukakan bahwa 
perbuatan yang dimaksud sebagai objek etika ialah perbuatan sadar baik 
oleh diri sendiri atau pengaruh orang lain yang dilandasi oleh kehendak 
bebas dan disertai niat dalam batin.
D. Sejarah Etika
Manusia sebagai individu yang menjadi salah satu unsur dengan peran 
yang sangat penting dalam kehidupan selain memiliki kelebihan yakni 
akal pikiran dari buah hasil kecerdasannya, namun realitanya seorang 
manusia pada hakikatnya tidak dapat hidup sendiri. Sebagaimana 
pendapat yang dikemukakan oleh salah satu filsuf asal Yunani yakni 
Aristoteles, menurutnya manusia itu zoon politicon yang selalu hidup 
berwarga  dan memerlukan  satu sama lain.
Implikasi yang muncul sebab saling memerlukan  satu sama 
lain yaitu adakalanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak 
lain ini  tidak sesuai atau menyimpang dari yang seharusnya. 
Permasalahan yang sangat sering muncul di tengah-tengah warga  
negara kita  yaitu terkait permasalahan keluarga. Yang mana dalam suatu 
keluarga tidak hanya terdiri dari satu individu saja namun ada  ayah 
selaku kepala keluarga, dan ibu, serta anak-anak sebagai anggotanya 
(contoh keluarga secara sederhana). Dalam menjalin hidup berkeluarga 
sering muncul permasalahan-permasalahan keluarga. Dapat dimisalkan, 
A yaitu warga di desa Sendang Biru dengan kemampuan ekonomi 
kurang mampu. A yaitu istri dari B, A dan B telah menikah 
sejak tahun 2000 dan telah dikaruniai anak 2. Dalam 3 tahun awal 
pernikahan mereka harmonis, sampai akhirnya A menemukan fakta 
bahwa suaminya telah memiliki wanita lain dan sering melakukan 
kekerasan pada A. A akhirnya mengajukan gugatan pada pengadilan, 
namun A tidak memiliki uang untuk memakai  jasa advokat. C 
yaitu Advokat yang memegang teguh kode etik Advokat, maka 
C membantu A untuk menyelesaikan masalah hukumnya dengan biaya 
perkara cuma-cuma tanpa membedakan perlakuan kepada klien lain 
dari C yang membayar dengan biaya.
   
Dari salah satu alasan ini  maka muncullah peran dari etika 
suatu profesi. Etika profesi muncul pertama kali di Inggris pada abad 
ke 18, dalam bidang kedokteran (medical ethic). Seorang physician Inggris 
bernama Thomas Percival merancang sebuah naskah kode etik “code 
of medical ethics”. Dalam rancangannya ini  dia memperkenalkan 
istilah medical ethics dan medical jurisprudence, yang di beberapa tahun 
lalu  untuk pertama kalinya Pemerintah Inggris mengesahkan 
Undang-undang tentang Apoteker yang lebih tepatnya pada tahun 1815. 
Semenjak saat itu Negara mulai memperhatikan dan membuat peraturan 
mengenai kedokteran dan kesehatan yang mana di dalamnya diatur pula 
mengenai etika profesinya. Kemudian pada tahun 1846 Amerika Serikat 
mulai mengembangkan dan membuat susunan naskah tentang kode etik 
organisasi yang di dalamnya mengatur mengenai kewajiban-kewajiban 
maupun hak-hak dari seorang physician oleh karenanya dibentuklah 
American Medical Association (AMA). Kemudian pada tahun 1847 naskah 
ini  disahkan menjadi Code of Medical Ethics.
Profesi akuntan menjadi profesi kedua yang memiliki sistem etika 
profesi. Pada tahun 1494, Luca Pacioli yang disebut sebagai “the father 
of accounting” menulis buku tentang etika akuntansi untuk pertama 
kali (Summa de Arthmetica, Geometri, Proportione, et Proportionalita). Pada 
tahun 1887 didirikan organisasi American Association of Public Accountant 
(AAPA) yang sekaligus memperkenalkan kode etik akuntan secara 
modern. AAPA sekarang berubah nama menjadi American Institute of 
Certified Public Accountants (AICPA). Sedangkan pada tahun 1905 kode 
etik yang disahkan dan lalu  dijadikan pedoman untuk mendidik 
para anggotanya. Dua tahun lalu  dalam anggaran dasar (bylaws) 
kode etik ini  mengalami perbaikan dan menjadi lebih efektif. 
Profesi hukum menduduki posisi ketiga dalam perkembangan kode 
etik. Seorang Hakim di Amerika Serikat bernama George Sharswood 
membuat tulisan berbentuk esai dengan judul “legal ethics”. Dari tulisan 
Hakim George Sharswood ini  lahirlah ide untuk membuat suatu 
susunan kode etik yang diterapkan di Negara bagian Amerika, Alabama 
pada tahun 1887 menjadi Negara bagian pertama di Amerika yang 
mengesahkan kode etik ini . Pada tahun 1908 kode etik profesional 
disahkan dan dikenal sebagai “Conons of Professional Ethics”.
E. Etika sebagai Ilmu Pengetahuan
Etika dapat dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana 
manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi 
khusus tertentu. Etika yaitu filsafat moral, atau ilmu yang membahas 
dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, 
tentang bagaimana harus bertindak dan situasi konkret 
Etika memiliki  keterkaitan yang sangat erat dari filsafat. sebab  
secara umum etika yaitu bagian dari pembahasan filsafat, bahkan 
yaitu salah satu cabang dari filsafat. Berbicara tentang filsafat, 
pertama-tama yang harus dibedakan yaitu bahwa filsafat tidak selalu 
diartikan sebagai ilmu. Filsafat juga dapat berarti pandangan hidup. 
Sebagai ilmu, filsafat yaitu proses yang harus bergulir dan tidak 
pernah mengenal kata selesai. Sebaliknya filsafat sebagai pandangan 
hidup yaitu suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang 
diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman berperilaku oleh 
suatu individu atau warga . Etika sering juga dikatakan sebagai 
pemikiran filosofis tentang apa yang dianggap baik atau buruk dalam 
perilaku manusia yang mengandung suatu tanggung jawab. Disebut 
sebagai pemikiran filosofis sebab secara historis etika berkembang 
sejalan dengan perkembangan filsafat.
Etika pun dapat dilihat dari pembedaan demikian. Jadi, ada etika 
dalam arti ilmu (filsafat), namun  ada pula etika sebagai sistem nilai. 
Etika profesi hukum sebetulnya dapat dipandang dari kedua pengertian 
ini . Jika yang dimaksud dengan etika profesi itu yaitu sebatas 
kode etik yang diberlakukan oleh masing-masing organisasi profesi 
hukum, hal ini  berada dalam konteks etika sebagai sistem nilai. 
Namun jika  etika profesi itu dikaji secara sistematis, metodis, dan 
objektif untuk mencari rasionalitas di balik alasan-alasan moral dari 
sistem nilai yang dipilih itu, berarti etika profesi di sini yaitu 
bagian atau cabang dari ilmu (filsafat).
Cabang filsafat sendiri sangat banyak ragamnya. Demikian 
banyaknya, sehingga para ahli filsafat sendiri memiliki  sistematika 
sendiri-sendiri mengenai cabang-cabang filsafat itu. Walaupun 
demikian, seberapa banyak pun cabang itu pada prinsipnya filsafat dapat    
dikembalikan pada tiga kelompok cabang filsafat yang utama yaitu: (1) 
ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi.
Jadi, etika yaitu salah satu cabang dari filsafat, tepatnya 
filsafat tentang nilai atau aksiologi. Nilai-nilai yang dimaksud di sini 
berkenaan dengan sikap dan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika 
membicarakan tentang nilai-nilai yang baik bagi manusia sebagai 
“manusia”. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan moral.
Secara sistematis etika dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu etika 
umum dan etika khusus. Jika kita berbicara tentang prinsip-prinsip 
moral, pengertian dan fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung 
jawab, dan suara hati, berarti kita berbicara tentang etika secara umum. 
jika  prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai sudah dikaitkan dengan 
konteks bidang tertentu, baik bidang kehidupan maupun antarpribadi, 
maka kita sudah berbicara tentang etika secara khusus. Pertanyaan dasar 
etika secara khusus adalah, “bagaimana saya harus bertindak dalam 
suatu bidang tertentu?” atau “Bagaimana bidang itu harus ditata agar 
dapat mendukung pencapaian kebaikan bagi umat manusia?”.
Jadi, filsafat yaitu bagian dari ilmu pengetahuan yang berfungsi 
sebagai interpretasi tentang hidup manusia. Etika yaitu bagian 
dari filsafat, yaitu filsafat moral. Filsafat moral yaitu cabang dari 
filsafat tentang tindakan manusia. Kesimpulannya yaitu suatu ilmu yang 
mempelajari perbuatan baik dan buruk manusia berdasarkan kehendak 
dalam mengambil keputusan yang mendasari hubungan antarsesama 
manusia.
F. Hubungan Etika dengan Profesi Hukum
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi yaitu 
sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan 
pelayanan profesional di bidang hukum terhadap warga  dengan 
keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka 
melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap warga  yang 
memerlukan  pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang saksama, 
sebab itulah di dalam melaksanakan profesi ada  kaidah-kaidah 
pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut 
1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan, 
maka sifat tanpa pamrih (disintrestednes) menjadi ciri khas dalam 
mengembangkan profesi. Yang dimaksud dengan tanpa pamrih 
di sini yaitu bahwa pertimbangan yang menentukan dalam 
pengambilan keputusan yaitu kepentingan pasien atau klien dan 
kepentingan umum, dan bukan kepentingan sendiri (pengembangan 
profesi). Jika sifat tanpa pamrih diabaikan, maka pengembangan 
profesi akan mengarah pada pemanfaatan (yang dapat menjurus 
kepada penyalahgunaan) sesama manusia yang sedang mengalami 
kesulitan atau kesusahan.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pasien 
atau klien mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur 
sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan.
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada warga  
sebagai keseluruhan. 
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat 
sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban 
profesi, maka pengembangan profesi harus bersemangat solidaritas 
antarsesama rekan seprofesi.
Selain itu dalam pelaksanaan tugas profesi hukum itu selain bersifat 
kepercayaan yang berupa habl min-annas (hubungan horizontal) juga 
harus disandarkan kepada habl min Allah (hubungan vertikal), yang 
mana habl min Allah itu terwujud dengan cinta kasih. Perwujudan cinta 
kasih kepada-Nya tentunya kita harus melaksanakan sepenuhnya atau 
mengabdi kepada perintah-Nya yang antara lain cinta kasih kepada-Nya 
itu direalisasikan dengan cinta kasih antarsesama manusia, dengan 
menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka 
otomatis akan melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi 
hukum sebagai realisasi sikap hidup dalam mengemban tugas (yang 
pada hakikatnya yaitu amanah) profesi hukum. Dan dengan 
itu pengembang profesi hukum memperoleh landasan keagamaan, 
maka ia (pengemban profesi) akan melihat profesinya sebagai tugas 
kewarga an dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaan 
kepada Allah Swt. dengan tindakan nyata.
   
Hubungan etika dengan profesi hukum lalu  dipakai  dalam 
pendefinisian tentang  etika profesi hukum. Etika profesi hukum yaitu 
dasar atau acuan yang dijadikan pedoman oleh para penegak hukum 
dalam menegakkan keadilan yang dituangkan dalam bentuk kode etik 
profesi hukum. Dihubungkan dengan etika suatu profesi dapat dikatakan 
bahwa kode etik mencakup usaha untuk menegakkan dan menjamin 
etika, namun  dimaksudkan pula untuk melampauinya, misalnya dengan 
adanya suatu standar profesional. Kode etik menimba kekuatan dari 
etika, namun  juga memperkuatnya. Kode etik yang tertulis dapat 
menyumbang bagi pertumbuhan etika dan keyakinan etis bersama. Kode 
etik menuntut usaha bersama untuk semakin mengerti dan semakin 
melindungi nilai-nilai manusiawi  dan moral profesi 
Etika dan profesi hukum memiliki hubungan satu sama lain, bahwa 
etika profesi yaitu sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan 
untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap 
warga  dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan 
dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap 
warga  yang memerlukan  pelayanan hukum disertai refleksi 
saksama, dan oleh sebab itulah di dalam melaksanakan profesi ada  
kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi.
Etika profesi sendiri yaitu suatu ilmu mengenai hak dan 
kewajiban yang dilandasi dengan pendidikan keahlian tertentu. Dasar 
ini yaitu hal yang diperlukan dalam beretika profesi. Sehingga 
tidak terjadi penyimpangan - penyimpangan yang memicu 
ketidaksesuaian. Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan, 
bukan hanya loyalitas namun  etika profesilah yang sangat penting. Etika 
sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga bila suatu 
profesi tanpa etika akan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang 
memicu terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan 
oleh orang lain akan memicu kehilangan kepercayaan yang 
berdampak sangat buruk, sebab kepercayaan yaitu suatu dasar 
atau landasan yang dipakai dalam suatu pekerjaan. Kode etik profesi 
berfungsi sebagai pelindung dan pengembangan profesi. Dengan adanya 
kode etik profesi, masih banyak kita temui pelanggaran-pelanggaran 
ataupun penyalahgunaan profesi. Apalagi jika kode etik profesi tidak 
ada, maka akan semakin banyak terjadi pelanggaran. Akan semakin 
banyak terjadi penyalahgunaan profesi. Oleh karenanya ada  
batasan-batasan dalam beretika profesi di bidang hukum yang dapat 
dijadikan pedoman agar penyimpangan-penyimpangan dalam profesi 
hukum dapat terhindarkan, yakni sebagai berikut:
1. Orientasi yang dimiliki haruslah berupa pelayanan yang mengarah 
pada pengabdian seseorang dalam berprofesi hukum. jika  hal 
ini diterapkan maka dalam menjalankan profesinya akan dilakukan 
dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. 
2. Tidak membeda-bedakan pelayanan terhadap individu yang satu 
dengan yang lainnya. Sehingga para pelaku profesi hukum akan 
berusaha memperlakukan tiap orang dengan sama.
3. Bersama-sama dengan teman sejawat untuk selalu bekerja sama 
dan tolong menolong dalam hal kebaikan agar dapat saling bertukar 
pikiran dan meringankan beban.
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa keberadaan etika, 
kode etik untuk para pengemban tugas di bidang profesi hukum selain 
untuk menjadi seorang profesional harus dipagari dengan kode etik 
yang harus ditaatinya. jika  tidak demikian akan menimbulkan 
ketidakselarasan harmoni dalam kehidupan warga .
A. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan 
antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan 
hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Menurut 
Surajiyo, pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara 
etimologi dan terminologi, (Surajiyo: 2010).
1.  Arti Secara Etimologi
 Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti 
ilmu atau hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap 
ilmu dan hikmah. Dalam hubungan ini al-Syabani berpendapat, 
bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap 
hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian 
padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk itu 
ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, 
berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan 
pengalaman-pengalaman manusia.
2.  Arti Secara Terminologi
 Menurut istilah (terminologi) filsafat yaitu cinta terhadap hikmah 
dan berusaha mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian 
pada falsafah Islam dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah 
Islam. Filsafah Islam yaitu medan pemikiran yang terus 
berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan 
historis terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada 
studi tokoh, namun  yang lebih penting lagi yaitu memahami proses 
dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik 
atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Istilah 
filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1.  Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. 
Dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yaitu pengetahuan 
hikmah (wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta pengetahuan, 
kebijaksanaan, dan kebenaran. Maksudnya ialah orang 
menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan 
mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.
2.  Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu 
berpikir. Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof, 
yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan 
sungguh-sungguh di dalam tugasnya. Filsafat yaitu hasil 
akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran 
dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat yaitu ilmu yang 
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran 
segala sesuatu 
Dalam pengertian lain Burhanuddin Salam (2009) dalam pengantar 
filsafatnya mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan 
dalam arti yang luas. Dalam arti yang sempit, filsafat diartikan suatu 
ilmu yang berhubungan dengan metode logis atau analisis logika 
bahasa dan makna-makna, filsafat diartikan sebagai “Science of science”, 
di mana tugas utamanya memberikan analisis kritis terhadap asumsi-
asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan mengadakan sistematisasi atau 
pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, 
filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai 
lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan 
suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, 
dan makna hidup.
Selanjutnya beliau secara singkat mengemukakan makna dibandingkan  
filsafat, yaitu:
1.  Filsafat yaitu suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta;
2.  Filsafat ialah suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian 
penalaran;
3.  Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah;
4.  Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berpikir. (Burhanuddin 
Salam: 2009).
Dalam bahasa Yunani kata philosophia yaitu gabungan dari 
dua kata, yakni “philo” yang berarti “cinta” dan “sophos” yang berarti 
“kebijaksanaan”. maka , secara etimologi filsafat memiliki  
arti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom), (Muhamad Mufid: 2009). 
Jadi, menurut namanya, filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, 
cinta kepada kebijaksanaan, (M. Ahmad Syadalim: 1999). Kata filsafat 
petama kali dipakai  oleh pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada 
saat itu belum jelas, lalu  pengertian filsafat itu diperjelas seperti 
halnya yang banyak dipakai sekarang ini oleh para kaum sophist dan juga 
oleh Socrates (470-399 SM), (Surajiyo: 2010). Dari berbagai pengertian 
di atas Yatimin Abdullah (2006) melihat pengertian filsafat dari segi 
istilah, berarti juga melihat filsafat dari segi definisinya. Adapun definisi 
ilmu filsafat yang diberikan oleh para ahli filsafat yaitu sebagai berikut:
1.  Plato (427 SM-347 SM) mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan 
tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai 
kebenaran yang asli).
2.  Aristoteles (384 SM-322 SM) mengatakan filsafat ialah ilmu 
pengetahuan yang mengikuti kebenaran, yang di dalamnya 
terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, 
politik, dan etistika.
3.  Al-Farabi (889-950 M) mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan 
tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang 
sebenarnya.
4.  Immanuel Kant (1724-1804 M) mengatakan filsafat ialah ilmu 
pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya 
empat persoalan, yaitu Tuhan, alam, pikiran, dan manusia.
5.  Prancis Bacon mengatakan filsafat yaitu induk agung dari 
ilmu-ilmu dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai 
bidangnya.
   
6.  John Dewey mengatakan filsafat harus dipandang sebagai suatu 
pengungkapan mengenai perjuangan manusia secara terus-
menerus.
Perbedaan definisi itu menurut Ahmad Tafsir (1992) disebabkan 
oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu sebab perbedaan 
keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul 
sebab perkembangan filsafat itu sendiri yang memicu beberapa 
pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat 
diambil kesimpulan bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh 
dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada 
mereka masing-masing.
Berfilsafat yaitu berpikir, namun tidak semua berpikir yaitu 
berfilsafat. Berpikir dikatakan berfilsafat, jika  berpikir ini  
memiliki tiga ciri utama, yaitu: radikal, sistematik, dan universal.
Berpikir radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan, 
berpikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, 
sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berpikir sistematik, 
artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah (step by 
step) dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab. 
Berpikir universal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas 
pada bagian-bagian tertentu, namun  mencakup keseluruhan aspek yang 
konkret dan abstrak atau yang fisik dan metafisik 
B. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu 
yang ada dan yang mungkin ada dengan memakai  pikiran. Bagian-
bagiannya meliputi:
1.   Metafisika yaitu kajian di balik alam yang nyata;
2.   Kosmologia yaitu kajian tentang alam;
3.   Logika yaitu pembahasan tentang cara berpikir cepat dan tepat;
4.   Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia;
5.   Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan;
6.   Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
maka , jelaslah bahwa etika termasuk salah satu 
komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya yaitu 
bagian dari filsafat, namun  sebab ilmu ini  kian meluas dan 
berkembang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas 
dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya 
sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia 
yaitu ilmu yang memiliki  identitas sendiri 
Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti 
indra bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia 
untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. 
Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah 
dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika 
ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu 
dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk 
untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina 
memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan 
atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep 
ilmu etika.
Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-
asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia 
peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai makhluk berpikir. Oleh 
sebab itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 
Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. 
Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat 
kehidupannya, namun  juga menaruh perhatian pada berbagai cara guna 
memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan 
peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa manusia 
yaitu makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud 
manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukkan 
tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika. 
Gambaran tentang manusia yang ada  dalam pemikiran filosofis itu 
akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan 
merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, 
dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola 
hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang 
aman dan damai ,
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang 
dipakai  untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia 
dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama 
dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. 
Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-
dalamnya berdasarkan pikiran. Jika ia memikirkan 
pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat 
etika ,
C. Etika sebagai Ciri Khas Filsafat
Etika filsafat yaitu ilmu penyelidikan bidang tingkah laku 
manusia yaitu mengenai kewajiban manusia, perbuatan baik dan buruk 
yaitu ilmu filsafat tentang perbuatan manusia. Banyak perbuatan 
manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, namun  tidak semua 
perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari 
saya mengenakan lebih dulu sepatu kanan dan lalu  sepatu kiri, 
perbuatan itu tidak memiliki  hubungan baik atau buruk. Boleh saja 
sebaliknya, sepatu kiri dulu baru lalu  sepatu kanan. Cara itu baik 
dari sudut efisiensi atau lebih baik sebab cocok dengan motorik saya, 
namun  cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari 
sudut etika. Perbuatan itu boleh disebut tidak memiliki  relevansi 
etika.
Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia 
memiliki  perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati 
sanubarinya. Orang merasa bahwa ia memiliki  kewajiban untuk 
menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika 
filsafat yaitu suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, 
yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika 
sebagai cabang filsafat sebetulnya yang membedakan manusia dibandingkan  
makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi tertib 
pada derajat di atas mereka 
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 
bahwa etika sering disebut filsafat moral. Etika yaitu cabang 
filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya 
dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-
tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti 
kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana 
manusia seharusnya berbuat atau bertindak. 
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika 
menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma 
dari luar dan dari dalam, susaha  manusia mencapai kesadaran moral 
yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya 
dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
1.  Etika Deskriptif
 Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran 
dan pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan 
bertitik pangkal pada kenyataan bahwa ada  beragam fenomena 
moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika 
deskriptif berusaha  menemukan dan menjelaskan kesadaran, 
keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. 
Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.  Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan, dan 
norma-norma moral yang pernah berlaku dalam kehidupan 
manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b. Fenomenologi moral, yang berusaha  menemukan arti dan makna 
moralitas dari beragam fenomena yang ada. Fenomenologi moral 
berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi 
di warga . Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak 
mempersalahkan apa yang salah.
2.  Etika Normatif
 Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan 
ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai 
perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-nilai yang 
seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk 
mengukur tentang apa yang terjadi.
 Etika normatif mengandung dua bagian besar, yaitu: pertama 
membahas tentang teori nilai (theory of value) dan teori keharusan 
(theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan 
etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, 
sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Sedangkan 
etika teolog berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan 
   
ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat 
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang 
menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat 
hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu 
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan 
baik-buruk, benar-salah, namun  di antara cabang-cabang ilmu filsafat 
memiliki  suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak cabang filsafat, 
seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum, 
dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki 
suatu bidang tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat 
yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, 
sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. sebab  itu 
etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis sebab cabang ini langsung 
berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak 
boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, memiliki  
batasan-batasan juga. Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai 
gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum tentu dalam perilakunya 
akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika, 
malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, 
jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak baik 
D. Hakikat Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan 
seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan 
unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara spontan. 
Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain sebab pendapat etik 
tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis, 
dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma 
susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, 
etika filsafat yaitu wacana yang khas bagi perilaku kehidupan 
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah 
laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah 
dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam 
konteks filsafat Yunani kuno etika filsafat sudah terbentuk dengan 
kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat yaitu ilmu, namun  
sebagai filsafat ia tidak yaitu suatu ilmu empiris, artinya ilmu 
yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah 
meninggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat empiris, sebab seluruhnya 
berlangsung dalam rangka empiris (pengalaman indrawi) yaitu apa yang 
dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu empiris berasal 
dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan 
hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji 
lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-
ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu 
saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah 
tentang hal-hal yang amat konkret, namun  ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, ada  pandangan bahwa 
pengetahuan benar tentang bidang etika secara otomatis akan disusun 
oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang 
disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang memiliki  
pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang 
yang berbuat jahat, dilakukan sebab tidak ada pengetahuan mendalam 
mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk 
dipertahankan. Bila orang memiliki  pengetahuan mendalam 
mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Di sini berbeda 
dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir tidak mendapat 
pendidikan di sekolah, namun  selalu hidup dengan perilaku baik dengan 
sangat mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam 
pendapat sokrates tadi, pengetahuan tentang etika yaitu suatu 
unsur penting, susaha  orang dapat mencapai kematangan perilaku 
yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat 
memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri 
belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan 
resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang 
dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang 
dihadapi. Etika filsafat yaitu suatu refleksi tentang teman-teman 
   
yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semua orang 
dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, 
tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak 
memiliki  nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang 
saja, sebab membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven untuk 
hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap tidak jauh dari 
kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Di 
sini tidak perlu diselidiki sampai di mana prasangka itu mengandung 
kebenaran. namun  setidak-tidaknya tentang etika sebagai cabang filsafat 
dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya bagi banyak 
persoalan yang dihadapi umat manusia 
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. 
Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, 
nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika 
menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan 
(kekacauan). Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral 
yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk 
menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu 
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral 
yaitu bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai 
manusia. Norma-norma moral yaitu tolak ukur untuk menentukan 
betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik 
buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu 
dan terbatas
Kemunculan filsafat pada abad ke 5 SM yaitu pendobrakan 
terhadap zaman mitos pada masa itu. Terjadi revolusi pemikiran terhadap 
dominasi zaman mitos atas klaim kebenaran. Masa ini yaitu 
masa penting di mana akal mulai dipakai  dalam usaha  mencari 
kebenaran, akal sebagai sarana mencari kebenaran, akal sebagai sumber 
kebenaran. Sejarah pemikiran memasuki zaman baru yaitu zaman Logos. 
Filsafat dikatakan sebagai mother of science. Dalam perkembangannya 
filsafat melahirkan cabang-cabang ilmu, yang berkembang menjadi 
ranting-ranting ilmu, sub-ranting ilmu. Dalam perkembangannya ilmu 
menjadi semakin spesifik dan teknis yang bergerak sendiri-sendiri 
yang tidak saling menyapa. Dalam perkembangannya banyak sekali 
permasalahan mendasar muncul yang memicu ilmu semakin 
jauh dari hakikatnya. Filsafat memiliki  dua pengertian: Pertama 
filsafat sebagai produk: mengandung arti filsafat sebagai jenis ilmu 
pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang yaitu 
hasil proses berfilsafat. Kedua filsafat sebagai suatu proses, dalam hal 
ini filsafat diartikan sebagai bentuk aktivitas berfilsafat sebagai proses 
pemecahan masalah dengan memakai  cara dan metode tertentu.
(Kaelan: 6-7). Sebagai sebuah ilmu, filsafat yaitu ilmu pengetahuan 
dengan objek materiil adalah: yang “Ada” mencakup manusia, alam, 
Tuhan (anthropos, cosmos, Theos) beserta problematika di dalamnya, 
sedangkan objek formal filsafat yaitu menelaah objek materiilnya 
secara mendalam sampai ditemukan hakikat/intisari permasalahan. 
Tidak semua kegiatan berpikir itu yaitu suatu aktivitas berfilsafat. 
Kegiatan berpikir secara kefilsafatan (dalam arti sebagai) ilmu memiliki 
ciri-ciri sebagai berikut: Kritis-Radikal-Konseptual-Koheren-Rasional-
Spekulatif-Sistematis-Komprehensif-Bebas-Universal. Di samping 
filsafat telah berkembang menjadi ilmu-ilmu khusus, di dalam filsafat 
sendiri memiliki  cabang-cabang yang terus berkembang sesuai 
dengan perkembangan permasalahan yang dihadapi. Cabang filsafat 
yang pokok adalah: Ontologi-Epistemologi-Metodologi-Logika-Etika-
Estetika. Cabang-cabang filsafat ini yaitu lingkaran pertama, 
selanjutnya masih ada lingkaran ke dua seperti: filsafat sosial, filsafat 
politik, filsafat hukum, filsafat ekonomi, filsafat agama, dan lingkaran 
ke tiga seperti: filsafat ilmu, filsafat kebudayaan, filsafat bahasa, filsafat 
lingkungan. 
E. Etika (Filsafat Moral) 
Etika yaitu cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-
buruk. Etika disebut juga Filsafat Moral. Etika membicarakan tentang 
pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan-tindakan baik buruk, 
susila-tidak susila dalam hubungan antarmanusia. Etika dari bahasa 
Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan moral 
dari kata mores yang berarti cara hidup atau adat. Ada perbedaan antara 
etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau perbuatan 
yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik 
buruk. Sedangkan etika yaitu pengkajian secara mendalam tentang 
sistem nilai yang ada. Jadi etika sebagai suatu ilmu yaitu cabang dari 
filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang berlaku. Moral itu 
   
yaitu ajaran sistem nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana adanya, 
namun  etika yaitu kajian tentang moral yang bersifat kritis dan rasional. 
Dalam perspektif ilmu, istilah ajaran moral Jawa berbeda dengan Etika 
Jawa dalam hal cakupan pembahasannya.
F. Etika sebagai Ilmu Pengetahuan
Etika itu yaitu filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik 
dan buruk. Selain etika mempelajari nilai-nilai, juga yaitu 
pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Ada juga yang menyebutkan 
bahwa etika yaitu bagian dari filsafat yang mengajarkan keseluruhan 
budi (baik dan buruk). Etika ialah tentang filsafat moral, tidak 
mengenai fakta, namun  tentang nilai-nilai, tidak mengenai tindakan 
manusia, namun  tentang idenya. Etika ialah studi tentang tingkah 
laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana 
adanya, namun  juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh 
tingkah laku manusia. 
Dari beberapa pendapat tentang etika yang disebutkan di atas, 
jelas bahwa etika itu yaitu sebagian ilmu pengetahuan. Ragam 
ilmu pengetahuan salah satunya yaitu filsafat ilmu pengetahuan yang 
yaitu cabang filsafat yang secara khusus diminati semenjak abad 
ke-17, namun semenjak pertengahan abad-20 ini telah mengalami 
perkembangan sedemikian sehingga tidak seorang sanggup mengikuti 
langkah-langkah perkembangannya yang begitu beragam ke arah 
berbagai jurusan. Hal ini disebabkan oleh jumlah ilmu pengetahuan 
yang masing-masing cabangnya selalu tumbuh terus. Perkembangan 
itu sendiri meningkatkan implikasi-implikasi ilmu pengetahuan yang 
sangat beragam dan meresapi segala bidang kehidupan manusia secara 
mendalam. Salah satunya yaitu mempelajari etika dalam kehidupan 
manusia secara individual maupun berwarga  dan bernegara.
Konsep etika sebagai bidang kajian filsafat, khususnya filsafat 
moral, etika sudah sangat lama menjadi wacana intelektual para filsuf. 
Etika telah menjadi pusat perhatian sejak zaman Yunani kuno. Sampai 
saat ini pun etika masih tetap menjadi bidang kajian menarik dan aktual. 
Bahkan dianggap semakin penting untuk tidak sekadar dibicarakan 
di kalangan akademik melainkan juga dipraktikkan dalam interaksi 
kehidupan sehari-hari setiap manusia beradab.
Berangkat dari perilaku manusia dalam kehidupannya baik secara 
individual maupun berwarga  bahkan bernegara, maka perlu nilai 
moral (etiket) di dalam kehidupan ini . Dengan demikian etika 
dilihat dari ilmu pengetahuan yaitu nilai-nilai (values) sebagai 
norma-norma moralitas manusia dalam penelaahan filafat ilmu yang 
dirumuskan dengan mempelajari secara pendekatan ilmiah tentang 
tingkah laku moral. Etika sebagai filsafat ilmu yaitu seni untuk 
membentuk, menemukan, dan membuat, serta menciptakan konsep 
dalam kehidupan manusia. 
Dalam ensiklopedia pendidikan dijelaskan bahwa etika yaitu 
filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk, kecuali etika 
mempelajari nilai-nilai itu sendiri. Sedangkan di dalam kamus istilah 
Pendidikan Umum diungkapkan bahwa etika yaitu bagian dari filsafat 
yang mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk). Pengertian ini 
memberikan pandangan terhadap etika yang menunjukkan sikap nilai-
nilai pengetahuan di dalam perilaku baik dan buruk yaitu akal budi. 
Dalam bahasa negara kita  perkataan etika ini kurang begitu populer dan 
lazimnya istilah ini sering dipergunakan dalam kalangan terpelajar. Kata 
yang sepadan dengan itu serta lazim dipergunakan di tengah-tengah 
warga  yaitu perkataan “susila” atau “kesusilaan”. Kesusilaan 
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu terdiri dari kata su dan sila. Su 
berarti bagus, indah, cantik. Sedangkan sila berarti adab, kelakuan, 
perbuatan adab (sopan santun dan sebagainya), ahlak, moral. Dengan 
demikian perkataan “Susila” atau Kesusilaan dapat berarti: Adab yang 
baik, kelakuan yang bagus, yaitu sepadan dengan kaidah-kaidah, norma-
norma, atau peraturan-peraturan hidup yang ada.
Menurut K. Bertens, etika itu berarti ilmu tentang apa yang biasa 
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum 
bahasa negara kita  yang lama oleh Poerwadarminta, etika dijelaskan 
sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan 
dalam Kamus Besar Bahasa negara kita  yang baru terbitan Departemen 
Pendidikan & Kebudayaan Republik negara kita , etika dijelaskan dengan 
membedakan tiga arti: 1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk 
dan tentang hak dan kewajiban moral (Akhlak); 2. Kumpulan asas atau 
nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar dan salah 
yang dianut suatu golongan atau warga . Dari pengertian di atas, 
jelas memberikan arti etika itu yaitu yaitu ilmu. Etika dimengerti 
   
sebagai ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, namun  
tentang nilai-nilai, tidak mengenai tindakan manusia, namun  tentang 
idenya. Adanya asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik 
dan buruk yang begitu saja diterima dalam suatu warga . Dalam 
perkembangannya etika menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian 
sistematis dan metodis. 
Hubungan antara etika dan ilmu, di mana berawal dari perilaku 
manusia yang pada hakikatnya etika dan moral itu memiliki pengertian 
atau pemahaman yang sama. Kedua istilah ini mengandung arti perilaku 
yang baik dari seseorang atau sekelompok orang sebagai pedoman dari 
tuntutan hati nurani orang yang bersangkutan dan warga  demi 
untuk terciptanya rasa kemanusiaan, kejujuran, dan keadilan dalam 
kehidupan antarindividu dan warga . Para ilmuwan menggali 
nilai-nilai etika dalam kehidupan praktis baik antarindividu maupun 
warga , dari nilai-nilai itulah etika menjadi pedoman perilaku 
manusia (etiket), lalu  didalami sebagai ilmu (pengetahuan), 
namun juga etika dapat menjadi aturan bagi sekelompok dalam suatu 
pekerjaan (profesi) atau dikenal dengan Kode Etik (ethic of Conduct). 
G. Etika dalam Pandangan Ilmu 
Etika yang menjunjung tinggi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, 
kejujuran, dan keadilan, sehingga menjadi sumber pijakan berperilaku 
yang benar. Etika (akhlak) berujung pada masalah perilaku ini , 
maka saat  ia melakukan sesuatu aktivitas dalam kehidupannya 
akan menunjukkan sikap sebagai cermin etika yang diberlakukannya. 
Menurut Imam Ghazali, akhlak (etika) yaitu keadaan yang bersifat 
batin di mana dari sana lahir perbuatan dengan tanpa berpikir dan tanpa 
dihitung risikonya haitun rasikhotun tashduru’antha al afal bi suhulatin wa 
yusrin min ghoiri hajatin fikrin wa ruwaiyyatin). Sedangkan ilmu akhlak 
yaitu ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. 
saat  berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan 
tentang konsep baik buruk. 
Etika juga berbicara tentang baik buruk, namun  konsep baik buruk 
dalam etika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik 
buruk dalam ilmu akhlak bertumpu pada konsep wahyu, meskipun 
akal juga memiliki  kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini 
maka dalam etika dikenal ada etika barat, etika timur, dan sebagainya, 
sementara al akhlaq al kaqimah tidak mengenal konsep regional, meskipun 
hal ini menimbulkan perbedaan pendapat, sebab etika pun diartikan 
sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa dalam bahasa Arab 
disebut atau karma. Sedangkan kata moral meski sering dipakai  
juga untuk menyebut akhlak, atau etika namun  tekanannya pada sikap 
seseorang terhadap nilai, sehingga moral sering dihubungkan dengan 
kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu masih ada dalam tataran 
konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan. Melihat akhlak, 
etika, atau moral seseorang harus dibedakan antara perbuatan yang 
bersifat temperamental dengan perbuatan yang bersumber dari karakter 
kepribadiannya. Karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya 
tingkah laku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolak ukur yang 
dianut warga . Karakter seseorang terbentuk melalui perjalanan 
hidupnya, oleh sebab itu ia bisa berubah. 
Moral dan etika berbeda dengan akhlak. Dalam Kamus Besar 
Bahasa negara kita , kata akhlak diartikan budi pekerti atau kelakuan. 
Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab yang biasa diartikan 
tabiat, perangai, kebiasaan, namun kata seperti itu tidak diketemukan 
dalam Al-Qur'an. Akhlak yaitu hal ihwal yang melekat dalam jiwa, 
dari timbulnya perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh 
manusia. Jika hal ihwal atau tingkah laku itu menimbulkan perbuatan 
yang baik lagi terpuji oleh akal dan syarak, dinamakan akhlak yang baik. 
Sebaiknya, bila perbuatan yang buruk maka tingkah laku itu dinamakan 
akhlak yang buruk. Akhlak yang baik atau akhlakul karimah, yaitu sistem 
nilai yang menjadi asas-asas perilaku yang bersumber dari Al-Qur'an, 
As-Sunnah, dan nilai-nilai alamiah (sunatullah) dan juga dapat berarti 
sistem nilai yang bersumber dari kesepakatan manusia pada waktu dan 
ruang tertentu sehingga dapat berubah-ubah. Lain halnya etika yang 
yaitu persetujuan sementara dari kelompok yang memakai  
pranata perilaku. Oleh sebab itu, nilai moral yang yaitu nilai 
etika dapat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dan perumusan 
deskripsi dari nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah 
(universal). Hal ini menunjukkan bahwa warga  yang memakai  
sistem etika, pada  suatu waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan 
suatu nilai tata cara hidup tertentu, sementara pada waktu dan tempat 
lain nilai-nilai ini  tidak dibenarkan oleh warga . Lain halnya 
   
dengan ajaran moral yang bersumber dari ajaran agama, baik dari Al-
Qur'an, Al-hadist, maupun dari pemikiran tokoh agama dan tokoh adat, 
kumpulan peraturan dan ketetapan baik yang tertulis maupun yang 
tidak tertulis (lisan), tentang bagaimana manusia harus hidup dan 
bertindak agar menjadi manusia yang baik. Baik buruknya tindakan 
manusia ditentukan oleh tolak ukur penilaian moral sebagai manusia. 
Hal ini, biasa diungkapkan bahwa kalau binatang yang dipegang yaitu 
talinya dan kalau manusia yang dipegang yaitu kata-katanya. Ungkapan 
ini bermakna kalau manusia tidak mampu lagi dipegang kata-katanya, 
maka ia hilang identitasnya sebagai manusia yang dapat dipercaya oleh 
manusia lain. Oleh sebab itu, sistem etika dalam hal ini sama sekali 
tidak ada hubungannya dengan hamblumminallah. Ukuran baik dan 
buruk dalam sistem etika ini, subjektif, yaitu bergantung pada pengaruh 
yang kuat dari pemikir sistem nilai dan etika. 
Dalam bahasa agama Islam istilah etika ini yaitu yaitu 
bagian dari akhlak. Dikatakan yaitu bagian dari akhlak, sebab 
akhlak bukanlah sekadar menyangkut perilaku manusia yang bersifat 
perbuatan lahiriah saja, akan namun  mencakup hal-hal yang lebih 
luas, yaitu meliputi bidang akidah, ibadah, dan syariat, sebab akhlak 
Islami cakupannya sangat luas, yaitu menyangkut etos, etis, moral, dan 
estetika, karena: 
1.  Etos, yang mengatur hubungan seseorang dengan Khaliknya, 
alma’bud bi haq serta kelengkapan ulihiyah dan rubbubiyah, seperti 
terhadap Rasul-rasul Allah, Kitab-Nya, dan sebagainya. 
2.  Etis, yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap 
sesamanya dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari. 
3.  Moral, mengatur hubungan dengan sesamanya, namun  berlainan 
jenis dan/atau yang menyangkut kehormatan tiap pribadi. 
4.  Estetika, rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk 
meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya, agar lebih 
indah dan menuju kesempurnaan. 
Dari uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa akhlak yaitu 
ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan 
baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari 
dalam hubungan dengan Allah Swt., manusia, dan alam sekitar dalam 
kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral. 
H. Hubungan Etika dengan Ilmu 
Paham yang menyatakan bahwa ilmu itu bebas nilai, memakai  
pertimbangan yang didasarkan atas nilai dari yang diwakili oleh ilmu 
yang bersangkutan. Begitu pula etika sebagai bagian dari filsafat 
yaitu ilmu pengetahuan tentang nilai-nilai moral manusia. Ilmu 
sebagai daya tarik bagi hasrat ingin tahu manusia yang tanpa henti dan 
kebenaran, sehingga perlu diperhatikan etika sebagai efek tambahan 
dari ilmu setelah diterapkan dalam warga . Manusia pada dasarnya 
ditabiati oleh akal, maka manusia memiliki ilmu (logos). Dengan 
ilmunya itu segala aktivitas kehidupannya dilandasi dengan ilmu yang 
didasari oleh akal. Kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, 
menyimak, mengumpulkan makna, menyimpan dalam batin, berhenti 
untuk menyadari. Di sini bertemu antara logos dengan ethos (etika), 
berarti adanya penghentian, rumah, tempat, tanggal, endapan sikap. 
Maksudnya yaitu sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang 
mengutamakan tutup mulut untuk berusaha mendengar, dengan 
mengorbankan berbicara lebih. Sehubungan dengan ini Karl Jespers 
menulis bahwa ilmu yaitu usaha manusia untuk mendengarkan 
jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah 
lengketnya etika dengan ilmu.
Apa hubungan maksud ini  di atas? Manusia dengan ilmu 
tidak akan terpuaskan baik dalam mendengarkan maupun mencari 
jawabannya. Perspektif baru akan selalu ditemukannya dalam pencapaian 
mencari ilmu. Dalam pencariannya itu, tidak ada pertentangan antara 
masalah dan rahasia, antara pengertian dan keajaiban, antara ilmu dan 
agama. Namun ada pembatasan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia 
dalam pencarian nilai-nilai hakiki yang ini , seperti pencarian 
alkhalik, pencipta manusia itu sendiri. Kebenaran intelektual yang ada 
pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-
bidang kehidupan. Kebenaran memang ciri asli dari ilmu itu sendiri. 
Dengan demikian pengabdian ilmu secara netral, tidak bewarna, dapat 
meluncurkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi 
bebas nilai. Uraian keilmuan tentang manusia sudah semestinya harus 
diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran. 
Ilmu bukanlah tujuan namun  sarana untuk mencapai hasrat akan 
kebenaran itu berimpit dengan etika bagi sesama manusia dan tanggung 
   
jawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya 
tidak perlu memperhitungkan adanya dua faktor, yaitu ilmu dan 
tanggung jawab. sebab  yang kedua itu melekat dengan yang pertama. 
Dengan tanggung jawab itu berarti ilmuwan memiliki  etika dalam 
keilmuannya itu. Ilmu yang melekat dengan keberadaban manusia 
yang terbatas, maka dengan ilmu hasrat keingintahuan manusia yang 
ada  di dalam dirinya yaitu petunjuk mengenai kebenaran 
yang transeden di luar jangkauan manusia. 
Etika selain dari pada bagian dari ilmu pengetahuan atau bagian 
dari filsafat ilmu, juga yaitu panduan dari nilai-nilai terhadap 
tata cara individu, warga , maupun bernegara. Setiap kehidupan 
itu perlu suatu etika (etiket) agar nilai-nilai moralitas dapat terjaga di 
dalam kehidupan itu sendiri. Selain itu, etika dalam pandangan agama 
Islam yaitu akhlak. Akhlak yang harus dijaga oleh setiap individu 
agar hubungan baik antarindividu maupun dengan Penciptanya (Al-
khalik) terjalin dalam keharmonisan (hamblumminanas hamblumminallah). 
Hubungan etika dengan ilmu yaitu yaitu pembatasan agar 
pemikiran manusia yang haus akan kebenaran dapat terjaga tidak keluar 
dari norma-norma yang seharusnya tetap dipertahankan sebab itulah 
akal yang dibebaskan akan mengarah kepada kesesatan. 
Banyak pendapat tentang etika, dalam tulisan ini sengaja hanya 
dikutip sedikit pendapat yang memadai. “Ethic (from Greek Ethos 
“character” is the systematic study of the nature of value concept, “good”, “bad”, 
“ought”, “right”, wrong, etc. and of the general principles which justify us in 
applaying them to anything; also called “moral philosophy”.” (Encyclopedia 
Britanica: 752) “The term “Ethics is used in three different but related ways, 
signifying 1) a general pattern or way of life, 2) a set rules of conduct or moral 
code, 3) inquiry about way of life of rules of conduct” (Edwards, Encyclopedia 
of Philosophy: 81). 
Secara umum etika diklasifikasikan menjadi dua jenis; pertama 
etika deskriptif yang menekan pada pengkajian ajaran moral yang 
berlaku, membicarakan masalah baik-buruk tindakan manusia dalam 
hidup bersama. Yang ke dua etika normatif, suatu kajian terhadap 
ajaran norma baik buruk sebagai suatu fakta, tidak perlu mengajukan 
alasan rasional terhadap ajaran itu, cukup merefleksikan mengapa hal 
itu sebagai suatu keharusan. 
Etika normatif terbagi menjadi dua: etika umum yang membicarakan 
tentang kebaikan secara umum, dan etika khusus yang membicarakan 
pertimbangan baik buruk dalam bidang tertentu. Dalam kehidupan 
sehari-hari pengertian etika sering disamakan dengan moral, bahkan 
lebih jauh direduksi sekadar etiket. Moral berkaitan dengan penilaian 
baik-buruk mengenai hal-hal yang mendasar yang berhubungan dengan 
nilai kemanusiaan, sedang etika/etiket berkaitan dengan sikap dalam 
pergaulan, sopan santun, tolak ukur penilaiannya yaitu pantas-tidak 
pantas. Di samping itu ada istilah lain yang berkaitan dengan moral, 
yaitu norma. Norma berarti ukuran, garis pengarah, aturan, kaidah 
pertimbangan, dan penilaian. Norma yaitu nilai yang menjadi milik 
bersama dalam suatu warga  yang telah tertanam dalam emosi 
yang mendalam sebagai suatu kesepakatan bersama (Charis Zubair: 
20). Norma ada beberapa macam: norma sopan santun, norma hukum, 
norma kesusilaan (moral), norma agama. Masing-masing norma 
ini memiliki  sangsi. Fenomena yang terjadi dalam warga  
negara kita  dewasa ini yaitu bahwa warga  hanya takut pada 
norma hukum yang memiliki  sangsi yang jelas dan tegas yang 
pelaksanaannya berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral 
yang pelaksanaannya berdasarkan kesadaran sebagai manusia, tidak 
ada sangsi yang nyata mulai ditinggalkan. Esensi pembeda antara 
manusia dan makhluk lain yaitu pada aspek moralnya. Pada morallah 
manusia menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral 
seharusnya menjadi landasan tingkah laku manusia dengan segala 
kesadarannya. saat  norma moral (moralitas) tidak ditakuti/dihargai 
maka warga  akan kacau. Moralitas memiliki  nilai yang universal, 
di mana seharusnya menjadi spirit landasan tindakan manusia. Norma 
moral muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia. 
Norma moral lebih besar pengaruhnya dibandingkan  norma sopan santun 
(pendapat warga  pada umumnya), bahkan dengan norma hukum 
yang yaitu produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah 
orang mengambil sikap dan menilai norma lain. Norma lain seharusnya 
mengalah terhadap norma moral (Magnis Suseno: 21). Thomas Aquinas 
berpendapat bahwa suatu hukum yang bertentangan dengan hukum 
moral akan kehilangan kekuatannya. Mengapa manusia harus beretika/
bermoral? 
   
Dalam tulisan ini selanjutnya istilah etika dan moral mempuyai arti 
yang sama untuk merujuk pada penilaian perbuatan baik-buruk dengan 
alasan rasional. Kenapa manusia dalam kehidupannya harus beretika. 
Kenapa segala tindakan manusia tidak lepas dari penilaian, sementara 
makhluk lain tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kita 
telusuri beberapa anggapan dasar tentang hakikat manusia. Menurut 
ahli biologi Inggris Charles Robert Darwin yang juga senada dengan 
Aristoteles bahwa ada perkembangan dari taraf-taraf kehidupan yaitu, 
benda mati-tumbuh-tumbuhan-binatang-manusia (Sunoto, 63-65). 
Benda mati = tidak hidup (berkembang) hanya mengalami perubahan 
sebab proses tertentu. Tumbuh-tumbuhan = benda mati+hidup 
(berkembang). Binatang = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu.
Manusia = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu+akal. 
Secara umum yang membedakan manusia dengan binatang yaitu 
pada akalnya. Akal yaitu unsur pembeda, bukan unsur yang 
membuat manusia lebih unggul dengan makhluk lain. Akal memiliki  
dua aspek dalam penggunaannya jika dipakai  secara benar akan 
meningkatkan taraf kemanusiaannya, namun  jika dipakai  secara tidak 
benar akan menurunkan derajat manusia menjadi binatang bahkan lebih 
rendah dari binatang. Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin 
ini  lebih didasarkan pada pertimbangan biologi. Akan lebih baik 
jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan pertimbangan 
humanis-filosofis. Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini 
akan menggambarkan sebagai manusia baik yang terdiri dari unsur: 
benda mati+hidup (berkembang)+nafsu+akal+moral. Kekuatan 
moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga 
kehidupan manusia menjadi lebih bermakna. Mengapa manusia harus 
bermoral/beretika? Jawabannya yaitu sebab manusia makhluk yang 
berakal, segala perbuatan, tindakan, dan perkataan manusia harus 
dipertanggungjawabkan. Perbuatan makhluk berakal senantiasa dinilai. 
Perbuatan yang bernilai itulah yang menjadikan kehidupan manusia 
menjadi bermakna. Hidup manusia tidak hanya sekadar melangsungkan 
spesies, namun  bagaimana ia dapat bertanggung jawab terhadap diri 
sendiri, keluarga, warga  bangsa/Negara, dan kemanusiaan secara 
umum. Tuntutan tanggung jawab ini menyangkut kegiatan manusia 
dalam segala bidang. 
Kenapa hanya manusia yang harus bermoral? Norma moral itu 
berlaku mutlak, namun  tidak memaksa. Norma moral berlaku bagi 
semua manusia, tidak berlaku bagi hewan, sebab hanya manusia yang 
berakal. Semua tindakan manusia dalam segala bidang itu senantiasa 
menghadapi penilaian. Tindakan manusia selalu dinilai, dan setiap saat 
iapun selalu menilai. Apakah semua manusia sebagai makhluk yang 
berakal dikenai norma moral/etika? Jawabnya yaitu tidak. Moral dan 
etika hanya dikenakan pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia 
yang memiliki  kesadaran (kesadaran dalam hal ini tidak dalam arti 
medis, namun  psikologis-filosofis). 
Penilaian hanya ditujukan bagi manusia yang memiliki  akal dan 
sudah memiliki  kesadaran. Penilaian moral tidak dikenakan pada orang 
yang hilang ingatan, gila, sehingga tidak memiliki  kesadaran atau 
anak kecil yang kesadarannya belum tumbuh. Manusia dengan kriteria 
ini tidak dikenai tanggung jawab terhadap atas segala tindakannya, kalau 
dikenai tindakan maka harus disesuaikan dengan taraf kesadarannya. 
Alasan dasar dan rasional mengapa manusia harus memakai  moral/
etika sebagai landasan segala tindakannya yaitu sebab dia berakal 
dan memiliki  kesadaran. Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang 
lapar, di depannya ada makanan yang biasa dimakannya, tanpa banyak 
pertimbangan dia tentu akan segera menyantapnya. Berbeda dengan 
manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan lezat ia tidak 
akan langsung menyantapnya. Berbagai macam pertimbangan akan 
menjadi dasar apakah ia akan menyantap makanan di depannya, apakah 
ia berhak menyantapnya, apakah makannya harus sekarang, bagaimana 
cara menyantapnya, dan lain-lain. Manusia bermoral tidak akan memakan 
apa yang bukan haknya, manusia bermoral akan mampu mengendalikan 
nafsu untuk makan, manusia juga akan memakai  kaidah kepantasan 
dalam hal cara melakukan sesuatu. Mungkin hal ini dianggap sepele, 
justru inilah harus disadari bahwa untuk hal yang kecil dan aktivitas 
sehari-hari saja banyak sekali pertimbangan, apalagi untuk masalah yang 
lebih besar dan mendasar. Sebagai contoh koruptor secara hakiki bisa 
dikatakan bukan manusia, namun  seperti binatang, sebab ada beberapa 
spesies binatang yang memiliki  otak memadai sehingga memiliki  
kecerdasan, bahkan lebih rendah dari binatang. Binatang tidak bisa 
membedakan yang mana yang menjadi haknya dan yang mana bukan, 
namun koruptor bisa membedakan hanya saja ia tidak mau tahu. 
   
Moral mutlak berlaku bagi manusia dalam hidup bersama. Manusia 
yaitu makhluk yang berbudaya. Kebudayaan ini hanya bisa tumbuh 
dalam hidup bersama. Manusia yaitu Animal Sociale/Zoon Politicon. 
Manusia yaitu makhluk yang hidup bersama-sama dengan manusia 
lain, ia memerlukan  manusia lain. Makhluk berbudaya yaitu 
resultante dari hakikat manusia sebagai Animal Sociale, Animal Rasionale 
dan makhluk yang bermoral.
I. Ilmu Pengetahuan dan Etika 
Sekilas tentang Ilmu Pengetahuan, ilmu pengetahuan yang dalam 
bahasa Inggris science, bahasa Latin scientia berarti mempelajari atau 
mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). 
Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan namun  tidak semua 
pengetahuan itu yaitu ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan 
dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan 
memiliki beberapa syarat (Abbas Hamami: 4): 1. Berobjek: objek materiil 
sasaran/bahan kajian, objek formal yaitu sudut pandang pendekatan 
suatu ilmu terhadap objeknya; 2. Bermetode, yaitu p