Home » filsafat hukum 6 » filsafat hukum 6
Rabu, 31 Mei 2023
terwujud keadilan di dalam
warga .
b. Faktor Eksternal
Berikutnya, moralitas tidak hanya ditentukan oleh adanya tujuan yang
baik dalam diri manusia, ia juga dipengaruhi faktor eksternal. Konsep
ini digambarkan dengan baik oleh Thomas Hobbes dalam bukunya
“Leviathan”. Dalam bukunya, Hobbes, menggambarkan manusia
sebagai makhluk yang secara alamiah bebas, artinya manusia itu
bebas. Selanjutnya, Hobbes juga menyatakan bahwa pada hakikatnya
manusia yaitu makhluk yang mencari kebahagiaannya masing-masing
(individu), karenanya manusia dapat menjadi serigala bagi manusia lain.
Kemudian untuk mengatasi hal ini , manusia bersepakat untuk
menyerahkan sebagian kebebasannya untuk membentuk suatu tataran
sosial yang menjadi pedoman mengenai baik dan buruk dan apa yang
boleh dilakukan atau tidak, inilah yang disebut sebagai kontrak sosial.
Kontrak sosial ini lalu menjadi landasan suatu warga sosial
tadi dalam menjalankan kehidupan. Mereka yang tidak berperilaku
sesuai kesepakatan (kontrak sosial) akan dianggap berperilaku buruk.
Sebaliknya mereka yang memegang prinsip-prinsip yang dituangkan
dalam kontrak sosial akan dianggap baik. Hal ini berlanjut hingga nilai-
nilai kontrak sosial tadi menjadi sebuah kebiasaan, lalu berlanjut
hingga menjadi sebuah standar moral, hingga menjadi sebuah moralitas.
Faktor eksternal yang mempengaruhi moralitas, dalam skala besar
bisa kita lihat dalam konsep yang dibawakan Jermy Bentham mengenai
mala in se dan mala in prohibita. Bentham mengatakan bahwa suatu
tindakan yang dinyatakan sebagai tindakan jahat sebab pada dasarnya
tindakan itu memang jahat dan bertentangan dengan nilai-nilai moral
secara universal, disebut sebagai mala in se. Sedang mala in prohibita ialah
suatu tindakan yang dinyatakan sebagai tindakan jahat sebab Negara
memutuskan untuk mengkriminalisasi hal ini . Misalnya, mula-
mula suatu tindakan bukanlah yaitu perbuatan yang bertentangan
dengan moralitas, lalu dinyatakan sebaliknya oleh Negara, maka
tindakan ini akan menjadi tindakan yang jauh dari kata moralitas.
Singkatnya, lingkungan yaitu salah satu faktor penting penentu
moralitas. Lingkungan ini tidak hanya berpengaruh pada, bagaimana
diterapkannya suatu moralitas yang telah dibentuk secara internal pada
masing-masing individu, melainkan ia juga bisa membentuk standar
moral baru selain yang telah dibentuk sebelumnya.
1. Unsur Moralitas
Bagaimana kita dapat memutuskan bahwa suatu nilai yang ada di
pikiran kita, atau suatu nilai yang ditentukan bagi kita yaitu nilai-nilai
yang merefleksikan moralitas? Dalam subbab sebelumnya, kita telah
berbicara mengenai faktor-faktor yang menentukan moralitas, namun
kita masih belum memutuskan bagaimana sebetulnya yang dikatakan
moralitas itu. Dalam subbab ini, kita akan mencoba untuk mencari apa
unsur-unsur yang membentuk moralitas dengan menganalisis peristiwa
yang cukup menuai perdebatan pada masa kejadiannya.
masalah Theresa Ann Campo Pearson.
Theresa Ann Campo Pearson atau di publik dikenal sebagai bayi Theresa
yaitu seorang bayi baru lahir yang mengidap anencephalic. Bayi Theresa
lahir pada tahun 1992 di Florida. Anenchepalic kadang disebut juga
sebagai bayi tanpa otak, sebutan ini cukup untuk menggambarkan
kondisi pengidap anencephalic walaupun tidak seratus persen akurat. Pada
anencephalic, beberapa bagian penting yang ada di otak, yaitu cerebrum dan
cerebellum, dan juga bagian atas dari tengkoraknya. Tapi, bagaimanapun
juga masih ada fungsi batang otak dan fungsi-fungsi lain yang
tidak berkaitan dengan cerebrum dan cerebellum, seperti bernapas dan
berdetaknya jantung yang masih mungkin untuk berfungsi.
Di Amerika, sebagian besar masalah anenchephaly dideteksi sejak
masa kehamilan. Sebagian besar akan menggugurkan kandungannya
saat mengetahui bahwa ada anenchephaly pada janinnya. Hanya
sebanyak 300 per tahun di Amerika, janin yang tidak digugurkan (sebab
anenchephaly) yang memiliki kemungkinan dapat lahir dengan selamat.
Dan yang selamat biasanya akan meninggal hanya berselang beberapa
hari setelah dilahirkan.
masalah bayi Theresa sekalipun menghebohkan, tidak akan menjadi
sangat diingat jika tidak ada permintaan khusus yang dibuat oleh
orang tuanya. Permintaan ini ialah, untuk mendonorkan organ
yang dimiliki bayi Theresa untuk bayi-bayi lain yang memerlukan .
Keputusan yang dibuat orang tua bayi Theresa bukan tanpa pertimbangan
yang matang. Orang tua bayi Theresa mengetahui fakta bahwa, sekalipun
bayi Theresa dibiarkan untuk hidup, ia hanya akan meninggal dalam
beberapa hari lalu . Dalam pikiran mereka, sebaiknya organ-organ
yang dimiliki bayi Theresa lebih baik ditransplantasikan kepada bayi-bayi
yang lain, sebab akan lebih memberikan manfaat untuk mereka (bayi-
bayi yang lain). Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa setiap
tahun di Amerika, paling tidak ada 2000 bayi yang memerlukan
transplantasi organ, dan sayangnya, tidak pernah ada organ yang
cukup untuk memenuhi itu. Tapi toh, organ-organ yang dimiliki oleh
bayi Theresa pada akhirnya tidak jadi diambil. Kala itu hukum di Florida
tidak memperbolehkan adanya donor organ saat si pendonor masih
belum dinyatakan meninggal. Beberapa hari setelah itu, bayi Theresa
lalu meninggal, dapat bayi-bayi lain yang memerlukan pada
akhirnya tidak sempat untuk menerima transplantasi organ. Selain
itu juga, sebab dibiarkan terlalu lama, organ yang dimiliki oleh bayi
Theresa lalu terlalu buruk untuk dipergunakan kepada bayi lain
yang memerlukan transplantasi organ.
masalah bayi Theresa lalu mencuat di media-media cetak.
Akibatnya diskursus dari diskusi-diskusi publik, fokus untuk
memperdebatkan masalah ini. Pendapat mereka terpisah, ada yang setuju
dengan ide yang dibawakan oleh orang tua bayi Theresa, ada juga
yang menentang mereka. Fakta bahwa orang tua bayi Theresa dan
dokter yang menangani bayi Theresa sepakat bahwa sebaiknya organ
tadi dipakai untuk transplantasi sebelum bayi Theresa meninggal
diabaikan oleh publik. Alih-alih memperhatikan hal ini , publik
lebih mempertimbangkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan
oleh para ahli. Beberapa ahli menyatakan bahwa, “yaitu sangat jahat
untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan orang lain”. Ahli yang
lain, “apa yang ingin dilakukan oleh orang tua ini yaitu membunuh bayi
yang sedang sekarat ini, agar organnya dapat dipergunakan untuk bayi
yang lain, bagi saya itu yaitu proposisi yang sangat menghebohkan”,
ahli yang lain mengatakan, “sangatlah tidak etis untuk membunuh
demi menyelamatkan”.
Apakah benar mengorbankan bayi Theresa yaitu hal yang
tidak etis? Dalam pembelaannya, orang tua Theresa menyatakan
bahwa, “jika kita bisa memberikan manfaat bagi orang lain tanpa
menyakiti orang lain, kami akan melakukannya seperti seharusnya.
Mentransplantasikan organ tidak akan menyakiti Theresa, karenanya,
kami akan melakukannya”. Menanggapi gagasan yang dibawakan oleh
orang tua bayi Theresa mungkin kita akan bertanya-tanya apakah dalam
prosesnya (transplantasi organ) hal itu akan menyakiti Theresa atau
tidak. Sekalipun demikian, nyatanya dia juga akan meninggal sesegera
mungkin. Namun, apa pun itu, paling tidak orang tua Theresa benar
akan suatu hal, dalam keadaan yang tragis ini, tetap hidup tidak akan
memberikan manfaat yang baik bagi bayi Theresa. Kehidupan hanya
akan dinikmati jika kita bisa secara biologis aktif. Misalnya, berjalan,
berinteraksi dengan orang lain, dan sebagainya. Mau tidak mau kita bisa
membenarkan bahwa hidup yang hanya bernapas dan jantung berdetak
yaitu hal yang sia-sia. sebab nya, membiarkan Theresa hidup hanya
untuk meninggal beberapa hari lalu , tidak akan memberikan
kebaikan kepadanya, melainkan hanya menambah deritanya.
Berikutnya, bagaimana dengan salah satu pendapat ahli yang
menyatakan bahwa, “yaitu sangat kejam untuk memanfaatkan
seseorang demi keuntungan orang lain”. Gagasan seperti ini yaitu
gagasan yang bagus, namun apakah benar bahwa, bayi Theresa
dimanfaatkan? Pertama-tama, kita harus mengetahui bahwa tolak
ukur dari memanfaatkan orang lain atau tidak ialah berkaitan dengan
apakah kita telah melecehkan otonomi diri mereka, kemampuan
mempengaruhi mereka untuk memutuskan apa yang akan mereka lakukan
terhadap hidup mereka berdasarkan apa yang mereka inginkan atau
mereka nilai. Biasanya memanfaatkan orang lain melibatkan sikap
manipulatif, misalnya, saat kita berteman dengan seseorang, hanya
untuk mendapatkan manfaat dari dirinya. Memanfaatkan orang lain
juga terjadi saat kita memaksa mereka melakukan sesuatu yang tidak
mereka kehendaki. sebab nya, sebetulnya notion ini benar, sebab pada
dasarnya memanfaatkan orang lain yaitu perbuatan yang salah. Namun
pertanyaannya yaitu apakah kita memanfaatkan Theresa?
Kita bisa menilai bahwa, mengambil organ milik Theresa tidak
melibatkan sebuah trik, kebohongan, ataupun sikap manipulasi
terhadapnya. Apakah bisa kita gambarkan jika “memanfaatkan” dalam
gagasan ini yaitu sebuah perkembangan moral yang cukup signifikan
dari standar moral yang ada. Kita bisa berargumentasi bahwa, pada
hakikatnya kita tetap memanfaatkan Theresa untuk kepentingan
orang lain. Tapi logika ini sama saja dengan saat dokter melakukan
transplantasi organ dari satu orang ke orang lain. Apakah hakikat ini
sama dengan “memanfaatkan” dalam sense yang dibawakan oleh pakar
tadi? Hal ini akan sama, jika dan hanya jika kita melakukan hal yang
bertentangan dengan keinginan Theresa, notion ini dapat menjadi
alasan untuk menyatakan bahwa kita telah melecehkan hak otonom
dari Theresa. Tapi kenyataannya yaitu Theresa bukanlah manusia
yang otonom. Dia tidak memiliki keinginan dan tidak bisa mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri.
saat seseorang tidak bisa membuat keputusan untuk dirinya
sendiri, orang lain (walinya) yang akan memutuskan sesuatu untuk
mereka. Normalnya, ada dua standar yang dipakai untuk mengambil
keputusan ini. Pertama, jika dia bisa mengatakan apa yang dia inginkan,
apa kira-kira hal yang paling dia inginkan? Jika kita bertanya seperti ini
pun, ini tidak akan berpengaruh terhadap baik atau buruknya saat
kita memutuskan untuk mengambil organ Theresa untuk didonorkan.
sebab , tidak peduli apa pun keinginannya, Theresa juga akan meninggal
sesegera mungkin.
Berikutnya ialah, jika dia bisa mengatakan apa yang dia inginkan, apa
yang akan dia katakan? Notion seperti ini akan sangat membantu jika yang
kita hadapi ialah seseorang yang memiliki preferensi atas keinginannya
namun kekurangan atau tidak bisa untuk mengekspresikannya. Namun,
tragisnya, Theresa tidak punya preferensi atas apa pun, dan tidak akan
memilikinya. Jadi kita tidak bisa mendapatkan petunjuk darinya, bahkan
di dalam imajinasi kita. Sisanya yaitu tinggal kita memikirkan apa yang
terbaik yang bisa kita lakukan untuk semuanya.
Argumen berikutnya yang dikatakan pakar dalam menanggapi
masalah Theresa adalah, “Adalah suatu hal yang salah jika kita membunuh
untuk menyelamatkan”. Mereka yang sependapat dengan pakar
ini mengatakan bahwa, mengambil organ Theresa demi untuk
mentransplantasikannya ke bayi yang lain sama dengan membunuh
Theresa, karenanya hal itu yaitu perbuatan yang salah. Namun apakah
benar kondisinya demikian?
Larangan untuk membunuh yaitu larangan yang ada dalam setiap
standar moralitas yang ada di seluruh dunia, namun beberapa orang
meyakini jika ada beberapa pengecualian yang dapat dijustifikasi sebagai
dasar untuk membunuh. Saya akan terkejut, jika ada suatu tradisi yang
mengizinkan orang membunuh tanpa sebab yang dapat dibenarkan.
Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar terhadap situasi
ini, yaitu, apakah mengambil nyawa Theresa dengan cara mengambil
organnya untuk kepentingan bayi yang lain, dapat dijustifikasi sebagai
sebuah pengecualian terhadap larangan untuk membunuh? Biasanya
membunuh orang lain yaitu hal yang salah, namun tidak selalu salah.
Mungkin cara terbaik untuk menghentikan perdebatan ini yaitu
dengan mengasumsikan bahwa Theresa telah meninggal. Gagasan
ini mungkin terdengar gila dan kejam, tapi apakah kita lupa bahwa
sekarang ada kondisi yang disebut sebagai “brain death”, bahkan
di banyak negara, kondisi demikian dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menyatakan bahwa seseorang secara resmi telah meninggal
dunia. Dalam sejarah, saat ide mengenai brain death disampaikan,
banyak penolakan dari berbagai pihak terhadap gagasan itu. Sebagian
besar dari mereka berpendapat bahwa, bisa saja seseorang mengalami
brain death, namun masih banyak organ yang berfungsi di dalamnya,
dengan bantuan teknologi canggih, seseorang yang mengalami kondisi
ini masih dapat bernapas, jantungnya masih dapat berdetak, dan
seterusnya. Tapi pada akhirnya ide tentang brain death pun disetujui.
Alasan diterimanya ide ini pun sangat masuk akal, yaitu saat
seseorang mengalami kerusakan di otak hingga otaknya tidak dapat
berfungsi, tidak ada harapan lagi baginya untuk menjalani kehidupan
dengan sebuah kesadaran, bahkan sedikitpun. Hal itu sama saja dengan
mati.
Kondisi yang dialami Theresa belum bisa dikatakan termasuk
dalam kondisi brain death. Namun, kita bisa saja di lalu hari
mereformulasi terhadap bagaimana sebetulnya yang dimaksud
kondisi brain death itu. Mengingat Anencephalics yaitu kondisi di
mana seseorang tidak memiliki cerebrum atau cerebellum. Mereka yang
mengalami hal ini hanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil
untuk dapat hidup dengan kesadaran.
Pada akhirnya, jika kita perhatikan masalah ini, baik itu situasi
ataupun pendapat para pakar tentang benar atau salah untuk
mentransplantasikan organ milik Theresa untuk bayi lain, sepertinya,
argumen yang mendukung transplantasi jauh lebih beralasan dibandingkan
argumen yang bertentangan dengannya.
Sebuah Alasan
Apa yang dapat kita pelajari dari masalah tentang Bayi Theresa tentang
apa unsur natural yang ada dalam moralitas itu sendiri? Pertama
kita bisa menandai bahwa dalam masalah ini, poin pertama ialah bahwa
sebuah keputusan yang bermoral yaitu sebuah keputusan yang didasari
oleh alasan yang baik. masalah bayi Theresa seperti halnya dengan masalah
yang mungkin sering didiskusikan saat kita berbicara soal moralitas,
ialah masalah yang dapat menggerakkan perasaan kita. Perasaan itu
mungkin yaitu salah satu dari tanda keseriusan moral dan mungkin
keseriusan itu yaitu hal yang dapat kita kagumi. Tapi di sisi yang lain,
bisa saja perasaan itu yaitu pagar yang dapat menghalangi kita
untuk menemukan alasan yang sebenarnya. Biasanya, dalam masalah -
masalah seperti ini, kita akan memiliki semacam pemikiran bahwa “we
just know the truth”, akibatnya ialah kita tidak mempertimbangkan
argumen yang berseberangan dengan kita yang bisa jadi yaitu
hal yang benar. Dalam banyak hal, kita tidak bisa bergantung pada
perasaan kita. Perasaan kita bisa saja yaitu hal yang sangat
tidak rasional. Perasaan kita bisa jadi tidak lebih dari sebuah hal yang
terbentuk dari prejudis, stigma, keegoisan, ataupun budaya kita. Lebih
jauh, perasaan setiap orang seringnya mengatakan hal yang sebaliknya.
sebab nya, jika kita ingin menemukan kebenaran dari suatu peristiwa,
kita harus mengizinkan perasaan kita untuk lebih terbuka, kita harus
mengizinkan perasaan kita sejauh mungkin hingga dapat menjadi
sebuah pertimbangan bahkan terhadap pandangan yang berseberangan
dengan kita. Moralitas pertama, dan terutama yaitu tentang sebuah
alasan. Hal yang secara moralitas dikatakan benar yaitu sebuah hal
yang dilakukan, baik dalam kondisi apa pun, yang memiliki alasan
terbaik untuk dilakukan.
Sebuah Pertimbangan yang Impartial
Sebuah alasan yang baik selalu didukung oleh sebuah pertimbangan
yang impartial. Apa yang dibutuhkan untuk memiliki pertimbangan
yang impartial tidak lebih dari sebuah proskripsi untuk menentang
kesewenang-wenangan dalam memperlakukan orang lain. Impartialitas
yaitu sebuah aturan yang melarang kita untuk memperlakukan
seseorang berbeda dengan orang yang lainnya. Itu yaitu sebuah
pertimbangan yang mementingkan setiap kepentingan orang lain secara
proporsional.
Alasan yang baik dan pertimbangan yang impartial yaitu
unsur utama dari moralitas. Moralitas yaitu sebuah usaha untuk
membimbing seseorang dengan sebuah alasan yang terbaik untuk
melakukan sesuatu yang memiliki berat yang adil untuk kepentingan
setiap orang di dalamnya.
2. Moralitas dan Legalitas
“Lon L. Fuller Invented a case, which he set in the year 4300, in which the
nature o law had a direct and perspicuous impact upon the reasoning of the
judges and the conclusion they reached. He was inspired by a real case that
had come up in the nineteenth century involving sailors marooned on a raft
at a sea. But Proffesor Fuller modified the facts considerably, because he
wanted to present the jurisprudential issues in their clearest and starkest
form” (Anthony D’ Amato 1996: 1).
masalah yang dibuat oleh Lon L Fuller bercerita tentang Roger
Whetmore dan kelompoknya saat mereka sedang melakukan
penambangan di sebuah gua batu kapur. Pada tahun 4299 mereka
berangkat ke gua itu untuk melakukan penambangan batu kapur.
Sesampainya di sana, mereka mulai melakukan kegiatan penambangan
di gua itu. Celakanya, saat mereka makin masuk ke dalam, tiba-
tiba terjadi longsor, akibatnya jalan keluar mereka menjadi tertutup
seluruhnya. Mereka terjebak di sana. Beruntungnya Roger Whetmore
saat melakukan perjalanan ke gua itu, meninggalkan jejak di sepanjang
perjalanan. Oleh sebab itu saat orang-orang sadar bahwa Roger dan
kelompoknya tidak kunjung kembali, mereka mencari dan sebab jejak
yang ditinggalkan Roger, pada akhirnya menemukan lokasi Roger dan
kelompoknya.
Mulanya, penguasa setempat mengutus seorang insinyur untuk
meneliti, kira-kira apa yang menghalangi Roger dan kelompoknya
untuk keluar dari gua itu. Kemudian diketahui bahwa ada sebuah
kumpulan reruntuhan yang sangat besar yang memblokade jalur keluar
dari gua tempat Roger dan kelompoknya berada. Mengetahui hal
ini , insinyur tadi akhirnya dengan bantuan penguasa setempat
membentuk sebuah tim khusus untuk menyelamatkan Roger dan
kelompoknya. Tim ini terdiri dari para pekerja, ahli geologi, dan
juga insinyur. Dalam rangka penyelamatan itu, mereka membangun
kema-kema di sekitar lokasi tempat Roger dan kelompoknya terjebak.
Namun, tidaklah mudah untuk membebaskan Roger dan kelompoknya,
dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membebaskan mereka.
Terlebih lagi, usaha penyelamatan ini juga diwarnai dengan
beberapa kali longsor. Salah satu longsor bahkan menewaskan sepuluh
orang pekerja yang ikut sebagai tim penyelamatan.
Penyelamatan itu bahkan belum berhasil hingga pada hari ke dua
puluh. Namun, pada hari itu, berhasil dibuat alat komunikasi, untuk
membantu komunikasi antara tim penyelamat serta Roger Whetmore
dan kelompoknya. Saat berkomunikasi, Roger bertanya, kira-kira
berapa lama lagi perkiraan mereka dapat dikeluarkan dari gua ini ,
lalu insinyur tadi menjawab paling tidak diperlukan waktu
sekitar sepuluh hari lagi. Kemudian Roger mengatakan bahwa dengan
kekurangan nutrisi sebab tidak ada yang bisa dimakan di dalam gua
itu, Roger mengatakan bahwa dia dan kelompoknya tidak bisa bertahan
hidup selama itu. Kemudian komunikasi ini terputus selama
delapan jam, hingga pada akhirnya terhubung kembali. Saat terhubung
itu lalu Roger Whetenmore bertanya kepada insinyur tadi tentang
apakah mereka bisa selamat dengan memakan daging salah satu dari
kelompok mereka. Kemudian insinyur tadi mengiyakan dan tiba-tiba
komunikasi terputus kembali.
Beberapa hari lalu , akhirnya tim penyelamat tadi berhasil
menghilangkan seluruh reruntuhan. Kemudian diketemukan bahwa
mereka yang selamat tadi sebelumnya telah membunuh dan memakan
daging Roger Whetmore saat masih terjebak di dalam gua. Mereka
yang selamat tadi lalu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan pertama, perbaikan nutrisi, dan penanganan pascatrauma.
Beberapa hari lalu setelah mereka pulih, lalu mereka
dibawa ke pengadilan, untuk menghadapi persidangan atas tuntutan
pembunuhan terhadap Roger Whetmore.
Dalam persidangan, para tersangka lalu menceritakan
kejadian yang terjadi saat komunikasi sempat terputus. Mereka berkata
bahwa Whetmore lah yang memiliki ide untuk memakan salah satu
dari mereka ini , mereka juga berkata bahwa Whetmore juga
yang menentukan metode yang dipakai untuk memilih siapa yang
akan dibunuh dan dimakan. Namun lalu , Roger Whetmore
mengatakan pada mereka untuk menunggu seminggu lagi sebelum
mereka melakukan hal ini . Kelompok Roger Whetmore menolak
perkataan Whetmore dan akhirnya memakai metode Whetmore
untuk memutuskan siapa yang akan dibunuh dan dimakan, yaitu Roger
Whetmore sendiri. Setelah persidangan itu, pada akhirnya kelompok
tadi dijatuhi vonis hukuman mati dan lalu digantung. Ironisnya
yaitu mereka diselamatkan untuk pada akhirnya dibunuh di lalu
hari. Berdasarkan masalah ini muncul sebuah pertanyaan, apakah yang
secara moral benar untuk diputuskan dalam perkara ini? Lalu bagaimana
dengan aspek legalitasnya jika keputusan yang dianggap bermoral tadi
ternyata tidak sejalan dengan hukum positif yang berlaku?
Sebelumnya kita belajar bahwa moralitas yaitu tentang alasan yang
terbaik dan juga pertimbangan yang impartial dalam mengambil suatu
keputusan. Sedangkan legalitas yaitu sebuah prinsip untuk menjaga
dan menjamin adanya kepastian dari ditegakkannya hukum. Dari masalah
Whetmore misalnya, apa yang secara moralitas benar untuk diputus,
apa yang secara legalitas benar untuk diambil, dan bagaimana sebuah
jika kedua variable itu digabungkan? Keputusan apa yang mungkin
diambil oleh hakim?
Pada sisi moralitas, kita dihadapkan pada dua pilihan yang sulit,
yaitu apakah kita akan membebaskan rekan-rekan Roger Whetmore
dari tuntutan pembunuhan hanya sebab mereka melakukan itu
untuk bertahan hidup atau kita akan mengamini putusan hakim yang
memutuskan mereka digantung dengan pertimbangan, sekalipun
mereka memiliki justifikasi untuk membunuh dan memakan Roger
Whetmore, perbuatan mereka tetaplah perbuatan yang salah di mata
hukum. Dengan notion seperti itu, kita akan mengakhiri perdebatan
dengan menyatakan bahwa putusan yang diberikan hakim selain sesuai
dengan aturan hukum yang ada (legality) juga memiliki nilai moralitas,
sebab diambil berdasarkan alasan yang baik dan pertimbangan yang
impartial. Lantas bagaimana hukum yang mengandung nilai legalitas
dan moralitas itu?
Profesor Ronald Dworkin yaitu seorang filsuf yang sangat
mempengaruhi pemikiran para ahli hukum tentang legalitas dan
moralitas. Dworkin yaitu murid dari H.L.A Hart yang terkenal
dengan konsepnya yaitu core and pneumbra. Hart mengatakan bahwa, jika
suatu aturan itu core, maka hakim berfungsi menjadi corong undang-
undang, sedang jika aturan itu berupa pneumbra, maka hakim diberikan
diskresi apakah dia ingin menerapkan aturan itu secara langsung dengan
mengasumsikan bahwa itu yaitu core atau menginterpretasi aturan
ini sebab baginya itu yaitu sebuah pneumbra. Pandangan itu
jelas mendapatkan kritik dari Ronald Dworkin. Bagi Dworkin, dalam
memutuskan suatu perkara, hakim harus memutuskannya berdasarkan
yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu, terlepas dari apa yang
diatur dalam peraturan atau apa efeknya untuk sosial. sebab nya,
Dworkin membuat sebuah pembagian yang jelas dengan apa yang
disebut sebagai legal rules dan legal principle. Misalnya, pendapatnya
dalam masalah di New York tahun 1889 antara Riggs vs Palmer. Dalam
masalah ini terjadi perselisihan tentang apakah seseorang masih
berhak mendapatkan warisan dari kakeknya, jika dia kedapatan
membunuh kakeknya dalam rangka mendapatkan warisan itu. Hakim
kala itu mengatakan bahwa:
“it is quite true that statutes regulating the making, proof and effects of
wills, and the devolution of property I literally construed and I their force and
effect can in now way and under no circumstances be controlled or modified,
give this property to the murderer. But all laws, as well as all contracts may
be controlled in their operation and effect by general, fundamental maxims
by common law. No one shall be permitted to profit by his own fraud, or
to take advantage by his own wtong, or to found any claim upon his own
iniquity, or to acquire property by his own crime”
Pendapat hakim ini , jelas menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang sangat mendasar pada sifat legal rules dan legal principle.
Karakternya legal rules yaitu untuk diterapkan secara langsung, dan
memiliki sebuah kepastian. Sedangkan legal principle yaitu sebuah
prinsip yang beroperasi di bawah permukaan dari legal rules. Ia berfungsi
sebagai poros penyanggah untuk membentuk legal rules dan sebagai
penggerak bahkan jika legal rules tidak lagi bisa berjalan, seperti dua
contoh masalah di atas.
Secara singkat, melalui penjelasan ini kita dapat mengatakan bahwa
legalitas dan moralitas memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Moralitas ada untuk membentuk suatu aturan dan menjadi suatu prinsip
dasar agar suatu aturan dapat bekerja dengan baik. Sedangkan legalitas
yaitu penjaga agar moralitas itu selalu ditegakkan melalui sebuah
aturan yang memiliki kekuatan mengikat. Bisa dikatakan, legalitas
yaitu bagian dari legal rules, sedangkan moralitas yaitu bagian
dari legal principle.
D. Hukum Moral
Hukum moral dalam artinya yang paling umum yaitu pedoman
yang menertibkan kegiatan manusia mencapai cita-citanya, yaitu
kebahagiaan. Dalam hukum ini termuat tuntutan ketaatan yang sama
dengan tuntutan di dalam pembinaan, rekomendasi, serta izin. Hukum
ini meliputi hukum-hukum yang berlaku umum bagi setiap orang atau
kelompok orang, serta perintah mempengaruhi yang diberikan pada satu orang
tertentu. Hukum ini memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
yang bersifat permanen, seperti misalnya: kewajiban menghormati
kontrak atau ikrar: juga memuat ketentuan yang sifatnya sementara,
seperti misalnya: larangan untuk berkumpul pada saat terjadi wabah
penyakit menular, kewajiban menengok orang/teman yang sedang
sakit, dan sebagainya. . Hukum moral dalam
arti sempit yaitu pedoman tingkah laku yang wajib ditaati, bersifat
umum dan ‘mantap’, sehingga dapat mengarahkan aktivitas manusia
pada pencapaian kebahagiaan hidup
A. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos dengan bentuk jamaknya yakni (ta
etha), yang berarti kebiasaan. Etika sering dipadankan dan dikenal
dengan kata “moral” atau “moralitas” yang berasal dari bahasa Latin,
yaitu mos dengan bentuk jamaknya yakni (mores), di mana artinya juga
sama yakni kebiasaan. Sumaryono (1995) mengemukakan makna dari
etika, menurut beliau etika berasal dari bahasa Yunani yakni Ethos yang
memiliki arti yakni adat istiadat yang baik.
Pemadanan makna antara etika dengan moral bukanlah hal yang
salah, namun kurang tepat. Hal ini dikarenakan etika memiliki makna
yang lebih luas dibandingkan moral. Etika memiliki arti tidak hanya terbatas
pada suatu sikap tindak dari seseorang namun juga mencakup motif-
motif seseorang melakukan sikap ini . Berbeda halnya dengan moral
yang terbatas pada sikap tindak lahiriah seseorang saja.
warga negara kita memiliki kebiasaan tersendiri dalam hal
penyebutan etika, yakni “susila” atau “kesusilaan”. Kesusilaan berasal
dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua suku kata yakni su dan
sila. Kata su berarti bagus, indah, cantik. Sedangkan sila memiliki arti
adab, kelakuan, perbuatan adab (sopan santun dan sebagainya), akhlak,
moral. Dari dua arti suku kata ini maka dapat disimpulkan bahwa
“susila” yaitu suatu kelakuan atau perbuatan yang baik dan
sesuai dengan norma-norma maupun kaidah yang ada dalam kehidupan
berwarga .
Dalam agama Islam, etika yaitu bagian dari akhlak. Hal ini
dikarenakan tidak hanya berkaitan dengan perbuatan manusia secara
lahiriah namun juga keterkaitannya dengan akidah, ibadah, dan syariat
oleh karenanya memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan
pengertian etika yang dikemukakan sebelumnya. Abdullah Salim
berpendapat bahwa dalam Islam ada akhlak Islami mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1. Etos, yang mengatur hubungan seseorang dengan Khaliknya, al
ma’bud bi haq serta kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah, seperti
terhadap rasul-rasul Allah, Kitab-nya, dan sebagainya;
2. Etis, yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap
sesamanya dalam kehidupan sehari-harinya;
3. Moral, yang mengatur hubungan dengan sesamanya, namun
berlainan jenis dan/atau menyangkut kehormatan tiap pribadi;
4. Estetika, rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk
meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya, agar lebih
indah dan menuju kesempurnaan.
Dengan mengikuti penjelasan dari Kamus Besar Bahasa negara kita
yang dirasa belum mampu menjelaskan secara komprehensif maka K.
Bertens berusaha menjelaskan kembali makna dari etika dengan
menyatakan bahwa etika dapat dibedakan dalam tiga arti yakni:
1. Etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
perilakunya. Contohnya etika suku Indian, etika agama Buddha,
dan etika Protestan.
2. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Contohnya yaitu
kode etik suatu profesi.
3. Etika sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Apa yang
disebutkan terakhir ini sama artinya dengan etika sebagai cabang
filsafat.
Pengertian etika yang pertama dan kedua dalam penjelasan K.
Bertens sebetulnya mengacu pada pengertian etika yang sama, yaitu
etika sebagai sistem nilai. Jika kita berbicara tentang etika profesi
hukum, berarti kita juga bicara tentang sistem nilai yang menjadi
pegangan suatu kelompok profesi, mengenai apa yang baik dan yang
buruk menurut nilai-nilai profesi itu. Biasanya nilai-nilai itu dirumuskan
dalam suatu norma tertulis, yang lalu disebut kode etik. Jadi,
kiranya cukup jelas jika etika diartikan dalam dua hal, yaitu: etika
sebagai sistem nilai dan etika sebagai ilmu, atau lebih tegas lagi sebagai
cabang filsafat.
B. Alasan, Tujuan, dan Manfaat dalam Mempelajari Etika
Setiap subjek hukum wajib tunduk pada hukum. jika yang
bersangkutan dinyatakan telah melanggar hukum, maka seluruh proses
hukum harus dilakukan di bawah yurisdiksi sistem hukum yang berlaku.
maka , konsekuensi etis dari ketiadaan pilihan bagi para
pesakitan hukum ini yaitu suatu tuntutan ketaatan etika profesi
yang sangat tinggi bagi para penyandang profesi hukum. Intensitas
ketaatan ini bahkan lebih tinggi dibandingkan profesi manapun di dunia
ini, termasuk jika dibandingkan dengan profesi dokter yang sama tua
usianya dengan profesi hukum. Penyandang profesi hukum yang berani
melanggar etika profesinya tidak saja melukai rasa keadilan individu
dan warga , melainkan juga mencederai sistem hukum negaranya
secara keseluruhan.
Berangkat dari latar belakang ini , etika profesi hukum menjadi
sangat penting untuk dipelajari, terlepas bahwa di luar etika profesi pun
sudah tersedia ajaran-ajaran moral (contoh ajaran agama) yang juga
mengajarkan kebaikan. Kehadiran etika, termasuk etika profesi tetap
diperlukan sebab beberapa alasan berikut:
1. Kita hidup dalam warga yang semakin pluralistik, juga dalam
bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti moralitas
yang mana.
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan
dan nilai warga yang akibatnya menantang pandangan-
pandangan moral tradisional.
3. Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun
hidup, yang masing-masing dengan ajarannya sendiri mengajarkan
bagaimana manusia harus hidup.
4. Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak
diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman
kepercayaan mereka, di lain pihak mau berpartisipasi tanpa
takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi
kehidupan warga yang sedang berubah itu.
Catatan nomor terakhir yang disampaikan oleh Magnis-Suseno dari
uraian ini memberi penekanan bahwa kendati ajaran moral dalam
agama sudah eksis, namun etika dan etika profesi tetap memegang
peranan yang tidak kalah pentingnya. Hal ini terjadi sebab agama sendiri
memerlukan keterampilan beretika agar dapat memberikan orientasi
dan bukan sekadar indoktrinasi. Empat hal yang melatarbelakangi etika
dalam beragama yaitu sebagai berikut:
1. Etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dari moralitas
agama sebagai contoh dalam pertanyaan, “mengapa Tuhan
memerintahkan ini, bukan itu?”.
2. Etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang
saling bertentangan.
3. Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap
masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia.
4. Etika dapat membantu mengadakan dialog antaragama sebab etika
mendasarkan diri pada argumentasi rasional belaka, bukan pada
wahyu.
Oleh sebab perjalanan profesi hukum yaitu perjalanan yang
sangat dinamis, maka jelas bahwa dalam praktik akan ditemukan hal-
hal baru yang tidak sepenuhnya teratasi hanya melalui pendekatan
ajaran-ajaran moral agama. Etika profesi hukum, dengan segala dasar-
dasar rasionalitas yang melatarbelakanginya akan sangat membantu
membuka jalan pemecahan yang dapat diterima semua pihak dari
berbagai kalangan.
Sedangkan tujuan dari mempelajari etika ini yaitu untuk
mendapatkan konsep mengenai penilaian baik buruk manusia sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Pengertian baik yaitu segala
perbuatan yang baik, sedangkan pengertian buruk yaitu segala perbuatan
yang tercela. Tolak ukur yang menjadikan norma-norma yang berlaku
sebagai pedoman tidak terlepas dari hakikat dari keberadaan norma-
norma itu sendiri, yakni untuk menciptakan suatu ketertiban dan
keteraturan dalam berpolah tindak laku seseorang dalam berwarga .
warga dengan tingkat ketertiban dan keteraturan yang
tinggi dapat tercipta jika tiap individu yang yaitu bagian dari
warga dapat melaksanakan etika sebagaimana telah disepakati
dalam kelompok ini mengenai etika atau perbuatan baik maupun
buruk yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan. Hal ini dapat
dicontohkan dengan etika umum yang secara universal diakui sebagai
suatu hal yang buruk, yakni perbuatan mencuri. Mencuri yaitu
suatu perbuatan buruk dan tidak sesuai dengan etika. jika seseorang
melakukan perbuatan mencuri maka akan merusak ketertiban dan
keteraturan yang ada dalam suatu warga , di mana hak seseorang
(korban) yang seharusnya dapat dinikmati oleh dirinya namun direnggut
oleh orang lain (pelaku). Dalam hal ini tujuan dari adanya etika ini
telah diabaikan oleh si pelaku sehingga menimbulkan ketidakteraturan.
Selain suatu etika yang dianut secara umum pada seluruh umat
manusia di dunia, ada pula etika yang hanya berlaku pada suatu
kelompok tertentu. Yang artinya nilai baik dan buruk ini terbatas
pada kelompok yang mengakui dan menyepakatinya. Dapat dicontohkan
misalnya bagi orang Jawa dikatakan beretika (memiliki etika) jika
makan dilakukan dengan duduk, jika dilanggar maka akan dianggap
tidak memiliki etika dan dianggap buruk. Namun hal ini tidak belum
tentu berlaku bagi kelompok warga di luar warga Jawa.
Contoh lain terkait etika yang dipadankan dengan moralitas misalnya
yaitu bagi warga negara kita jika seorang laki-laki dan wanita
yang tidak memiliki hubungan keluarga bahkan pernikahan tinggal
dalam satu rumah yang sama maka akan dikatakan melakukan perbuatan
tidak beretika atau tidak bermoral (di negara kita dikenal dengan istilah
kumpul kebo). Yang menjadi alasan adanya label demikian yaitu budaya
yang telah disepakati baik secara langsung atau berkembang sebagai
kebiasaan sejak nenek moyang warga negara kita menyatakan
bahwa perbuatan yang demikian itu dilarang adat dan dianggap tidak
beretika. Namun hal ini dianggap perbuatan biasa bagi budaya barat
dengan era modernisasinya. Laki-laki dan wanita bisa tinggal dalam
rumah yang sama meskipun tidak ada hubungan pernikahan yang sah,
bahkan ada Negara tertentu yang mengizinkan warga negaranya
memiliki anak tanpa adanya pernikahan yang sah di bawah hukum yang
berlaku. Hal yang demikian berpegang pada pedoman bahwa tiap-tiap
individu ada merdeka dan bebas melakukan hal apa pun untuk dirinya
selama tidak menyinggung hak orang lain.
Dari pemaparan alasan yang melatarbelakangi serta tujuan
mempelajari etika, sampailah kita pada fungsi dari mempelajari
etika itu sendiri. Etika berfungsi untuk dijadikan pedoman dalam
melakukan tingkah laku, menjadi batasan-batasan atas suatu perbuatan
yang fungsinya yaitu menciptakan suatu ketenteraman bagi para
individu selaku unsur terkecil dalam warga . Ketenteraman
dapat tercipta jika dalam suatu kelompok terlebih dahulu berhasil
mencapai tujuan dari mempelajari etika itu sendiri sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya yakni agar individu dapat semaksimal mungkin
mengusahakan terciptanya keadilan. jika keadilan dapat tercapai
maka tiap-tiap individu tidak akan merasakan suatu hal yang dapat
mengganggu kehidupannya, hal ini lalu lah yang diartikan sebagai
ketenteraman. Suasana kehidupan yang harmonis, damai, teratur, tertib,
dan sejahtera akan tercipta pula.
C. Objek Pembahasan Etika
Telah diuraikan, bahwa bahan kajian etika yaitu moralitas manusia.
Sebelumnya telah disinggung pula, bahwa satuan dari moralitas itu
yaitu moral. Moral sendiri yaitu salah satu norma sosial (social
norms), atau meminjam istilah Hens Kelsen, moral yaitu regulation
of internal behavior. Jika moral yaitu suatu norma, maka dapat
dipastikan moral mengandung nilai-nilai sebab norma yaitu
konkretisasi dari nilai.
Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia yang pasti berkaitan
dengan norma atau nilai etis yang berlaku di warga , sehingga dapat
dikatakan bahwasanya tingkah laku manusia itu, baik yang dapat diamati
secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan,
tempat penilaian terhadap norma yang berlaku di warga . Perbuatan
menjadi objek saat etika mencoba atau menerapkan teori nilai.
Perpaduan antara nilai dengan perbuatan sebagai pelaksanaannya
menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan
yang dapat dihubungkan dengan nilai etis adalah:
1. Perbuatan oleh diri sendiri baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
2. Perbuatan oleh pengaruh orang lain bisa berupa saran, anjuran,
nasihat, tekanan, paksaan, peringatan, ataupun ancaman.
Menurut pendapat Achmad Amin yang mengemukakan bahwa
perbuatan yang dimaksud sebagai objek etika ialah perbuatan sadar baik
oleh diri sendiri atau pengaruh orang lain yang dilandasi oleh kehendak
bebas dan disertai niat dalam batin.
D. Sejarah Etika
Manusia sebagai individu yang menjadi salah satu unsur dengan peran
yang sangat penting dalam kehidupan selain memiliki kelebihan yakni
akal pikiran dari buah hasil kecerdasannya, namun realitanya seorang
manusia pada hakikatnya tidak dapat hidup sendiri. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh salah satu filsuf asal Yunani yakni
Aristoteles, menurutnya manusia itu zoon politicon yang selalu hidup
berwarga dan memerlukan satu sama lain.
Implikasi yang muncul sebab saling memerlukan satu sama
lain yaitu adakalanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak
lain ini tidak sesuai atau menyimpang dari yang seharusnya.
Permasalahan yang sangat sering muncul di tengah-tengah warga
negara kita yaitu terkait permasalahan keluarga. Yang mana dalam suatu
keluarga tidak hanya terdiri dari satu individu saja namun ada ayah
selaku kepala keluarga, dan ibu, serta anak-anak sebagai anggotanya
(contoh keluarga secara sederhana). Dalam menjalin hidup berkeluarga
sering muncul permasalahan-permasalahan keluarga. Dapat dimisalkan,
A yaitu warga di desa Sendang Biru dengan kemampuan ekonomi
kurang mampu. A yaitu istri dari B, A dan B telah menikah
sejak tahun 2000 dan telah dikaruniai anak 2. Dalam 3 tahun awal
pernikahan mereka harmonis, sampai akhirnya A menemukan fakta
bahwa suaminya telah memiliki wanita lain dan sering melakukan
kekerasan pada A. A akhirnya mengajukan gugatan pada pengadilan,
namun A tidak memiliki uang untuk memakai jasa advokat. C
yaitu Advokat yang memegang teguh kode etik Advokat, maka
C membantu A untuk menyelesaikan masalah hukumnya dengan biaya
perkara cuma-cuma tanpa membedakan perlakuan kepada klien lain
dari C yang membayar dengan biaya.
Dari salah satu alasan ini maka muncullah peran dari etika
suatu profesi. Etika profesi muncul pertama kali di Inggris pada abad
ke 18, dalam bidang kedokteran (medical ethic). Seorang physician Inggris
bernama Thomas Percival merancang sebuah naskah kode etik “code
of medical ethics”. Dalam rancangannya ini dia memperkenalkan
istilah medical ethics dan medical jurisprudence, yang di beberapa tahun
lalu untuk pertama kalinya Pemerintah Inggris mengesahkan
Undang-undang tentang Apoteker yang lebih tepatnya pada tahun 1815.
Semenjak saat itu Negara mulai memperhatikan dan membuat peraturan
mengenai kedokteran dan kesehatan yang mana di dalamnya diatur pula
mengenai etika profesinya. Kemudian pada tahun 1846 Amerika Serikat
mulai mengembangkan dan membuat susunan naskah tentang kode etik
organisasi yang di dalamnya mengatur mengenai kewajiban-kewajiban
maupun hak-hak dari seorang physician oleh karenanya dibentuklah
American Medical Association (AMA). Kemudian pada tahun 1847 naskah
ini disahkan menjadi Code of Medical Ethics.
Profesi akuntan menjadi profesi kedua yang memiliki sistem etika
profesi. Pada tahun 1494, Luca Pacioli yang disebut sebagai “the father
of accounting” menulis buku tentang etika akuntansi untuk pertama
kali (Summa de Arthmetica, Geometri, Proportione, et Proportionalita). Pada
tahun 1887 didirikan organisasi American Association of Public Accountant
(AAPA) yang sekaligus memperkenalkan kode etik akuntan secara
modern. AAPA sekarang berubah nama menjadi American Institute of
Certified Public Accountants (AICPA). Sedangkan pada tahun 1905 kode
etik yang disahkan dan lalu dijadikan pedoman untuk mendidik
para anggotanya. Dua tahun lalu dalam anggaran dasar (bylaws)
kode etik ini mengalami perbaikan dan menjadi lebih efektif.
Profesi hukum menduduki posisi ketiga dalam perkembangan kode
etik. Seorang Hakim di Amerika Serikat bernama George Sharswood
membuat tulisan berbentuk esai dengan judul “legal ethics”. Dari tulisan
Hakim George Sharswood ini lahirlah ide untuk membuat suatu
susunan kode etik yang diterapkan di Negara bagian Amerika, Alabama
pada tahun 1887 menjadi Negara bagian pertama di Amerika yang
mengesahkan kode etik ini . Pada tahun 1908 kode etik profesional
disahkan dan dikenal sebagai “Conons of Professional Ethics”.
E. Etika sebagai Ilmu Pengetahuan
Etika dapat dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi
khusus tertentu. Etika yaitu filsafat moral, atau ilmu yang membahas
dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral,
tentang bagaimana harus bertindak dan situasi konkret
Etika memiliki keterkaitan yang sangat erat dari filsafat. sebab
secara umum etika yaitu bagian dari pembahasan filsafat, bahkan
yaitu salah satu cabang dari filsafat. Berbicara tentang filsafat,
pertama-tama yang harus dibedakan yaitu bahwa filsafat tidak selalu
diartikan sebagai ilmu. Filsafat juga dapat berarti pandangan hidup.
Sebagai ilmu, filsafat yaitu proses yang harus bergulir dan tidak
pernah mengenal kata selesai. Sebaliknya filsafat sebagai pandangan
hidup yaitu suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang
diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman berperilaku oleh
suatu individu atau warga . Etika sering juga dikatakan sebagai
pemikiran filosofis tentang apa yang dianggap baik atau buruk dalam
perilaku manusia yang mengandung suatu tanggung jawab. Disebut
sebagai pemikiran filosofis sebab secara historis etika berkembang
sejalan dengan perkembangan filsafat.
Etika pun dapat dilihat dari pembedaan demikian. Jadi, ada etika
dalam arti ilmu (filsafat), namun ada pula etika sebagai sistem nilai.
Etika profesi hukum sebetulnya dapat dipandang dari kedua pengertian
ini . Jika yang dimaksud dengan etika profesi itu yaitu sebatas
kode etik yang diberlakukan oleh masing-masing organisasi profesi
hukum, hal ini berada dalam konteks etika sebagai sistem nilai.
Namun jika etika profesi itu dikaji secara sistematis, metodis, dan
objektif untuk mencari rasionalitas di balik alasan-alasan moral dari
sistem nilai yang dipilih itu, berarti etika profesi di sini yaitu
bagian atau cabang dari ilmu (filsafat).
Cabang filsafat sendiri sangat banyak ragamnya. Demikian
banyaknya, sehingga para ahli filsafat sendiri memiliki sistematika
sendiri-sendiri mengenai cabang-cabang filsafat itu. Walaupun
demikian, seberapa banyak pun cabang itu pada prinsipnya filsafat dapat
dikembalikan pada tiga kelompok cabang filsafat yang utama yaitu: (1)
ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi.
Jadi, etika yaitu salah satu cabang dari filsafat, tepatnya
filsafat tentang nilai atau aksiologi. Nilai-nilai yang dimaksud di sini
berkenaan dengan sikap dan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika
membicarakan tentang nilai-nilai yang baik bagi manusia sebagai
“manusia”. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan moral.
Secara sistematis etika dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu etika
umum dan etika khusus. Jika kita berbicara tentang prinsip-prinsip
moral, pengertian dan fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung
jawab, dan suara hati, berarti kita berbicara tentang etika secara umum.
jika prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai sudah dikaitkan dengan
konteks bidang tertentu, baik bidang kehidupan maupun antarpribadi,
maka kita sudah berbicara tentang etika secara khusus. Pertanyaan dasar
etika secara khusus adalah, “bagaimana saya harus bertindak dalam
suatu bidang tertentu?” atau “Bagaimana bidang itu harus ditata agar
dapat mendukung pencapaian kebaikan bagi umat manusia?”.
Jadi, filsafat yaitu bagian dari ilmu pengetahuan yang berfungsi
sebagai interpretasi tentang hidup manusia. Etika yaitu bagian
dari filsafat, yaitu filsafat moral. Filsafat moral yaitu cabang dari
filsafat tentang tindakan manusia. Kesimpulannya yaitu suatu ilmu yang
mempelajari perbuatan baik dan buruk manusia berdasarkan kehendak
dalam mengambil keputusan yang mendasari hubungan antarsesama
manusia.
F. Hubungan Etika dengan Profesi Hukum
Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi yaitu
sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan
pelayanan profesional di bidang hukum terhadap warga dengan
keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka
melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap warga yang
memerlukan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang saksama,
sebab itulah di dalam melaksanakan profesi ada kaidah-kaidah
pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut
1. Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan,
maka sifat tanpa pamrih (disintrestednes) menjadi ciri khas dalam
mengembangkan profesi. Yang dimaksud dengan tanpa pamrih
di sini yaitu bahwa pertimbangan yang menentukan dalam
pengambilan keputusan yaitu kepentingan pasien atau klien dan
kepentingan umum, dan bukan kepentingan sendiri (pengembangan
profesi). Jika sifat tanpa pamrih diabaikan, maka pengembangan
profesi akan mengarah pada pemanfaatan (yang dapat menjurus
kepada penyalahgunaan) sesama manusia yang sedang mengalami
kesulitan atau kesusahan.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pasien
atau klien mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur
sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan.
3. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada warga
sebagai keseluruhan.
4. Agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat
sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban
profesi, maka pengembangan profesi harus bersemangat solidaritas
antarsesama rekan seprofesi.
Selain itu dalam pelaksanaan tugas profesi hukum itu selain bersifat
kepercayaan yang berupa habl min-annas (hubungan horizontal) juga
harus disandarkan kepada habl min Allah (hubungan vertikal), yang
mana habl min Allah itu terwujud dengan cinta kasih. Perwujudan cinta
kasih kepada-Nya tentunya kita harus melaksanakan sepenuhnya atau
mengabdi kepada perintah-Nya yang antara lain cinta kasih kepada-Nya
itu direalisasikan dengan cinta kasih antarsesama manusia, dengan
menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka
otomatis akan melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi
hukum sebagai realisasi sikap hidup dalam mengemban tugas (yang
pada hakikatnya yaitu amanah) profesi hukum. Dan dengan
itu pengembang profesi hukum memperoleh landasan keagamaan,
maka ia (pengemban profesi) akan melihat profesinya sebagai tugas
kewarga an dan sekaligus sebagai sarana mewujudkan kecintaan
kepada Allah Swt. dengan tindakan nyata.
Hubungan etika dengan profesi hukum lalu dipakai dalam
pendefinisian tentang etika profesi hukum. Etika profesi hukum yaitu
dasar atau acuan yang dijadikan pedoman oleh para penegak hukum
dalam menegakkan keadilan yang dituangkan dalam bentuk kode etik
profesi hukum. Dihubungkan dengan etika suatu profesi dapat dikatakan
bahwa kode etik mencakup usaha untuk menegakkan dan menjamin
etika, namun dimaksudkan pula untuk melampauinya, misalnya dengan
adanya suatu standar profesional. Kode etik menimba kekuatan dari
etika, namun juga memperkuatnya. Kode etik yang tertulis dapat
menyumbang bagi pertumbuhan etika dan keyakinan etis bersama. Kode
etik menuntut usaha bersama untuk semakin mengerti dan semakin
melindungi nilai-nilai manusiawi dan moral profesi
Etika dan profesi hukum memiliki hubungan satu sama lain, bahwa
etika profesi yaitu sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan
untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap
warga dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan
dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap
warga yang memerlukan pelayanan hukum disertai refleksi
saksama, dan oleh sebab itulah di dalam melaksanakan profesi ada
kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi.
Etika profesi sendiri yaitu suatu ilmu mengenai hak dan
kewajiban yang dilandasi dengan pendidikan keahlian tertentu. Dasar
ini yaitu hal yang diperlukan dalam beretika profesi. Sehingga
tidak terjadi penyimpangan - penyimpangan yang memicu
ketidaksesuaian. Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan,
bukan hanya loyalitas namun etika profesilah yang sangat penting. Etika
sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga bila suatu
profesi tanpa etika akan terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
memicu terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan
oleh orang lain akan memicu kehilangan kepercayaan yang
berdampak sangat buruk, sebab kepercayaan yaitu suatu dasar
atau landasan yang dipakai dalam suatu pekerjaan. Kode etik profesi
berfungsi sebagai pelindung dan pengembangan profesi. Dengan adanya
kode etik profesi, masih banyak kita temui pelanggaran-pelanggaran
ataupun penyalahgunaan profesi. Apalagi jika kode etik profesi tidak
ada, maka akan semakin banyak terjadi pelanggaran. Akan semakin
banyak terjadi penyalahgunaan profesi. Oleh karenanya ada
batasan-batasan dalam beretika profesi di bidang hukum yang dapat
dijadikan pedoman agar penyimpangan-penyimpangan dalam profesi
hukum dapat terhindarkan, yakni sebagai berikut:
1. Orientasi yang dimiliki haruslah berupa pelayanan yang mengarah
pada pengabdian seseorang dalam berprofesi hukum. jika hal
ini diterapkan maka dalam menjalankan profesinya akan dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih.
2. Tidak membeda-bedakan pelayanan terhadap individu yang satu
dengan yang lainnya. Sehingga para pelaku profesi hukum akan
berusaha memperlakukan tiap orang dengan sama.
3. Bersama-sama dengan teman sejawat untuk selalu bekerja sama
dan tolong menolong dalam hal kebaikan agar dapat saling bertukar
pikiran dan meringankan beban.
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa keberadaan etika,
kode etik untuk para pengemban tugas di bidang profesi hukum selain
untuk menjadi seorang profesional harus dipagari dengan kode etik
yang harus ditaatinya. jika tidak demikian akan menimbulkan
ketidakselarasan harmoni dalam kehidupan warga .
A. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan
antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan
hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Menurut
Surajiyo, pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara
etimologi dan terminologi, (Surajiyo: 2010).
1. Arti Secara Etimologi
Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti
ilmu atau hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap
ilmu dan hikmah. Dalam hubungan ini al-Syabani berpendapat,
bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap
hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian
padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk itu
ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.
2. Arti Secara Terminologi
Menurut istilah (terminologi) filsafat yaitu cinta terhadap hikmah
dan berusaha mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian
pada falsafah Islam dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah
Islam. Filsafah Islam yaitu medan pemikiran yang terus
berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan
historis terhadap filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada
studi tokoh, namun yang lebih penting lagi yaitu memahami proses
dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik
atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Istilah
filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1. Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah.
Dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yaitu pengetahuan
hikmah (wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta pengetahuan,
kebijaksanaan, dan kebenaran. Maksudnya ialah orang
menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan
mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.
2. Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu
berpikir. Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof,
yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan
sungguh-sungguh di dalam tugasnya. Filsafat yaitu hasil
akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat yaitu ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran
segala sesuatu
Dalam pengertian lain Burhanuddin Salam (2009) dalam pengantar
filsafatnya mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan
dalam arti yang luas. Dalam arti yang sempit, filsafat diartikan suatu
ilmu yang berhubungan dengan metode logis atau analisis logika
bahasa dan makna-makna, filsafat diartikan sebagai “Science of science”,
di mana tugas utamanya memberikan analisis kritis terhadap asumsi-
asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan mengadakan sistematisasi atau
pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas,
filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai
lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan
suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup,
dan makna hidup.
Selanjutnya beliau secara singkat mengemukakan makna dibandingkan
filsafat, yaitu:
1. Filsafat yaitu suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta;
2. Filsafat ialah suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian
penalaran;
3. Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah;
4. Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berpikir. (Burhanuddin
Salam: 2009).
Dalam bahasa Yunani kata philosophia yaitu gabungan dari
dua kata, yakni “philo” yang berarti “cinta” dan “sophos” yang berarti
“kebijaksanaan”. maka , secara etimologi filsafat memiliki
arti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom), (Muhamad Mufid: 2009).
Jadi, menurut namanya, filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai,
cinta kepada kebijaksanaan, (M. Ahmad Syadalim: 1999). Kata filsafat
petama kali dipakai oleh pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada
saat itu belum jelas, lalu pengertian filsafat itu diperjelas seperti
halnya yang banyak dipakai sekarang ini oleh para kaum sophist dan juga
oleh Socrates (470-399 SM), (Surajiyo: 2010). Dari berbagai pengertian
di atas Yatimin Abdullah (2006) melihat pengertian filsafat dari segi
istilah, berarti juga melihat filsafat dari segi definisinya. Adapun definisi
ilmu filsafat yang diberikan oleh para ahli filsafat yaitu sebagai berikut:
1. Plato (427 SM-347 SM) mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan
tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli).
2. Aristoteles (384 SM-322 SM) mengatakan filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang mengikuti kebenaran, yang di dalamnya
terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan etistika.
3. Al-Farabi (889-950 M) mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan
tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.
4. Immanuel Kant (1724-1804 M) mengatakan filsafat ialah ilmu
pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya
empat persoalan, yaitu Tuhan, alam, pikiran, dan manusia.
5. Prancis Bacon mengatakan filsafat yaitu induk agung dari
ilmu-ilmu dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai
bidangnya.
6. John Dewey mengatakan filsafat harus dipandang sebagai suatu
pengungkapan mengenai perjuangan manusia secara terus-
menerus.
Perbedaan definisi itu menurut Ahmad Tafsir (1992) disebabkan
oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu sebab perbedaan
keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul
sebab perkembangan filsafat itu sendiri yang memicu beberapa
pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat
diambil kesimpulan bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada
mereka masing-masing.
Berfilsafat yaitu berpikir, namun tidak semua berpikir yaitu
berfilsafat. Berpikir dikatakan berfilsafat, jika berpikir ini
memiliki tiga ciri utama, yaitu: radikal, sistematik, dan universal.
Berpikir radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan,
berpikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung,
sampai kepada konsekuensinya yang terakhir. Berpikir sistematik,
artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah (step by
step) dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab.
Berpikir universal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas
pada bagian-bagian tertentu, namun mencakup keseluruhan aspek yang
konkret dan abstrak atau yang fisik dan metafisik
B. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu
yang ada dan yang mungkin ada dengan memakai pikiran. Bagian-
bagiannya meliputi:
1. Metafisika yaitu kajian di balik alam yang nyata;
2. Kosmologia yaitu kajian tentang alam;
3. Logika yaitu pembahasan tentang cara berpikir cepat dan tepat;
4. Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia;
5. Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan;
6. Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
maka , jelaslah bahwa etika termasuk salah satu
komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya yaitu
bagian dari filsafat, namun sebab ilmu ini kian meluas dan
berkembang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas
dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya
sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia
yaitu ilmu yang memiliki identitas sendiri
Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti
indra bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia
untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya.
Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah
dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika
ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu
dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk
untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina
memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan
atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep
ilmu etika.
Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-
asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia
peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai makhluk berpikir. Oleh
sebab itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.
Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat
kehidupannya, namun juga menaruh perhatian pada berbagai cara guna
memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan
peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa manusia
yaitu makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud
manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukkan
tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika.
Gambaran tentang manusia yang ada dalam pemikiran filosofis itu
akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan
merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya,
dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola
hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang
aman dan damai ,
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang
dipakai untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia
dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama
dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia.
Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-
dalamnya berdasarkan pikiran. Jika ia memikirkan
pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat
etika ,
C. Etika sebagai Ciri Khas Filsafat
Etika filsafat yaitu ilmu penyelidikan bidang tingkah laku
manusia yaitu mengenai kewajiban manusia, perbuatan baik dan buruk
yaitu ilmu filsafat tentang perbuatan manusia. Banyak perbuatan
manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, namun tidak semua
perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari
saya mengenakan lebih dulu sepatu kanan dan lalu sepatu kiri,
perbuatan itu tidak memiliki hubungan baik atau buruk. Boleh saja
sebaliknya, sepatu kiri dulu baru lalu sepatu kanan. Cara itu baik
dari sudut efisiensi atau lebih baik sebab cocok dengan motorik saya,
namun cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari
sudut etika. Perbuatan itu boleh disebut tidak memiliki relevansi
etika.
Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia
memiliki perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati
sanubarinya. Orang merasa bahwa ia memiliki kewajiban untuk
menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika
filsafat yaitu suatu tindakan manusia yang bercorak khusus,
yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika
sebagai cabang filsafat sebetulnya yang membedakan manusia dibandingkan
makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi tertib
pada derajat di atas mereka
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009
bahwa etika sering disebut filsafat moral. Etika yaitu cabang
filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya
dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-
tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti
kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana
manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika
menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma
dari luar dan dari dalam, susaha manusia mencapai kesadaran moral
yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya
dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran
dan pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan
bertitik pangkal pada kenyataan bahwa ada beragam fenomena
moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika
deskriptif berusaha menemukan dan menjelaskan kesadaran,
keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.
Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan, dan
norma-norma moral yang pernah berlaku dalam kehidupan
manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b. Fenomenologi moral, yang berusaha menemukan arti dan makna
moralitas dari beragam fenomena yang ada. Fenomenologi moral
berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi
di warga . Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak
mempersalahkan apa yang salah.
2. Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan
ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai
perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-nilai yang
seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk
mengukur tentang apa yang terjadi.
Etika normatif mengandung dua bagian besar, yaitu: pertama
membahas tentang teori nilai (theory of value) dan teori keharusan
(theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan
etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan,
sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Sedangkan
etika teolog berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan
ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang
menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditentukan oleh sifat-sifat
hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan
baik-buruk, benar-salah, namun di antara cabang-cabang ilmu filsafat
memiliki suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak cabang filsafat,
seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum,
dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki
suatu bidang tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat
yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada,
sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. sebab itu
etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis sebab cabang ini langsung
berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak
boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, memiliki
batasan-batasan juga. Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai
gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum tentu dalam perilakunya
akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika,
malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek,
jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak baik
D. Hakikat Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan
seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan
unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara spontan.
Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain sebab pendapat etik
tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis,
dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma
susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif,
etika filsafat yaitu wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah
laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah
dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam
konteks filsafat Yunani kuno etika filsafat sudah terbentuk dengan
kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat yaitu ilmu, namun
sebagai filsafat ia tidak yaitu suatu ilmu empiris, artinya ilmu
yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah
meninggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat empiris, sebab seluruhnya
berlangsung dalam rangka empiris (pengalaman indrawi) yaitu apa yang
dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu empiris berasal
dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan
hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji
lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-
ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu
saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah
tentang hal-hal yang amat konkret, namun ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, ada pandangan bahwa
pengetahuan benar tentang bidang etika secara otomatis akan disusun
oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari sokrates yang
disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang memiliki
pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang
yang berbuat jahat, dilakukan sebab tidak ada pengetahuan mendalam
mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk
dipertahankan. Bila orang memiliki pengetahuan mendalam
mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Di sini berbeda
dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir tidak mendapat
pendidikan di sekolah, namun selalu hidup dengan perilaku baik dengan
sangat mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam
pendapat sokrates tadi, pengetahuan tentang etika yaitu suatu
unsur penting, susaha orang dapat mencapai kematangan perilaku
yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat
memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri
belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan
resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang
dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang
dihadapi. Etika filsafat yaitu suatu refleksi tentang teman-teman
yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semua orang
dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan,
tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak
memiliki nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang
saja, sebab membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven untuk
hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap tidak jauh dari
kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Di
sini tidak perlu diselidiki sampai di mana prasangka itu mengandung
kebenaran. namun setidak-tidaknya tentang etika sebagai cabang filsafat
dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya bagi banyak
persoalan yang dihadapi umat manusia
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis.
Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan,
nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika
menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan
(kekacauan). Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral
yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk
menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu
mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
yaitu bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai
manusia. Norma-norma moral yaitu tolak ukur untuk menentukan
betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik
buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu
dan terbatas
Kemunculan filsafat pada abad ke 5 SM yaitu pendobrakan
terhadap zaman mitos pada masa itu. Terjadi revolusi pemikiran terhadap
dominasi zaman mitos atas klaim kebenaran. Masa ini yaitu
masa penting di mana akal mulai dipakai dalam usaha mencari
kebenaran, akal sebagai sarana mencari kebenaran, akal sebagai sumber
kebenaran. Sejarah pemikiran memasuki zaman baru yaitu zaman Logos.
Filsafat dikatakan sebagai mother of science. Dalam perkembangannya
filsafat melahirkan cabang-cabang ilmu, yang berkembang menjadi
ranting-ranting ilmu, sub-ranting ilmu. Dalam perkembangannya ilmu
menjadi semakin spesifik dan teknis yang bergerak sendiri-sendiri
yang tidak saling menyapa. Dalam perkembangannya banyak sekali
permasalahan mendasar muncul yang memicu ilmu semakin
jauh dari hakikatnya. Filsafat memiliki dua pengertian: Pertama
filsafat sebagai produk: mengandung arti filsafat sebagai jenis ilmu
pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang yaitu
hasil proses berfilsafat. Kedua filsafat sebagai suatu proses, dalam hal
ini filsafat diartikan sebagai bentuk aktivitas berfilsafat sebagai proses
pemecahan masalah dengan memakai cara dan metode tertentu.
(Kaelan: 6-7). Sebagai sebuah ilmu, filsafat yaitu ilmu pengetahuan
dengan objek materiil adalah: yang “Ada” mencakup manusia, alam,
Tuhan (anthropos, cosmos, Theos) beserta problematika di dalamnya,
sedangkan objek formal filsafat yaitu menelaah objek materiilnya
secara mendalam sampai ditemukan hakikat/intisari permasalahan.
Tidak semua kegiatan berpikir itu yaitu suatu aktivitas berfilsafat.
Kegiatan berpikir secara kefilsafatan (dalam arti sebagai) ilmu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: Kritis-Radikal-Konseptual-Koheren-Rasional-
Spekulatif-Sistematis-Komprehensif-Bebas-Universal. Di samping
filsafat telah berkembang menjadi ilmu-ilmu khusus, di dalam filsafat
sendiri memiliki cabang-cabang yang terus berkembang sesuai
dengan perkembangan permasalahan yang dihadapi. Cabang filsafat
yang pokok adalah: Ontologi-Epistemologi-Metodologi-Logika-Etika-
Estetika. Cabang-cabang filsafat ini yaitu lingkaran pertama,
selanjutnya masih ada lingkaran ke dua seperti: filsafat sosial, filsafat
politik, filsafat hukum, filsafat ekonomi, filsafat agama, dan lingkaran
ke tiga seperti: filsafat ilmu, filsafat kebudayaan, filsafat bahasa, filsafat
lingkungan.
E. Etika (Filsafat Moral)
Etika yaitu cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baik-
buruk. Etika disebut juga Filsafat Moral. Etika membicarakan tentang
pertimbangan-pertimbangan tentang tindakan-tindakan baik buruk,
susila-tidak susila dalam hubungan antarmanusia. Etika dari bahasa
Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan moral
dari kata mores yang berarti cara hidup atau adat. Ada perbedaan antara
etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau perbuatan
yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik
buruk. Sedangkan etika yaitu pengkajian secara mendalam tentang
sistem nilai yang ada. Jadi etika sebagai suatu ilmu yaitu cabang dari
filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang berlaku. Moral itu
yaitu ajaran sistem nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana adanya,
namun etika yaitu kajian tentang moral yang bersifat kritis dan rasional.
Dalam perspektif ilmu, istilah ajaran moral Jawa berbeda dengan Etika
Jawa dalam hal cakupan pembahasannya.
F. Etika sebagai Ilmu Pengetahuan
Etika itu yaitu filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik
dan buruk. Selain etika mempelajari nilai-nilai, juga yaitu
pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Ada juga yang menyebutkan
bahwa etika yaitu bagian dari filsafat yang mengajarkan keseluruhan
budi (baik dan buruk). Etika ialah tentang filsafat moral, tidak
mengenai fakta, namun tentang nilai-nilai, tidak mengenai tindakan
manusia, namun tentang idenya. Etika ialah studi tentang tingkah
laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana
adanya, namun juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh
tingkah laku manusia.
Dari beberapa pendapat tentang etika yang disebutkan di atas,
jelas bahwa etika itu yaitu sebagian ilmu pengetahuan. Ragam
ilmu pengetahuan salah satunya yaitu filsafat ilmu pengetahuan yang
yaitu cabang filsafat yang secara khusus diminati semenjak abad
ke-17, namun semenjak pertengahan abad-20 ini telah mengalami
perkembangan sedemikian sehingga tidak seorang sanggup mengikuti
langkah-langkah perkembangannya yang begitu beragam ke arah
berbagai jurusan. Hal ini disebabkan oleh jumlah ilmu pengetahuan
yang masing-masing cabangnya selalu tumbuh terus. Perkembangan
itu sendiri meningkatkan implikasi-implikasi ilmu pengetahuan yang
sangat beragam dan meresapi segala bidang kehidupan manusia secara
mendalam. Salah satunya yaitu mempelajari etika dalam kehidupan
manusia secara individual maupun berwarga dan bernegara.
Konsep etika sebagai bidang kajian filsafat, khususnya filsafat
moral, etika sudah sangat lama menjadi wacana intelektual para filsuf.
Etika telah menjadi pusat perhatian sejak zaman Yunani kuno. Sampai
saat ini pun etika masih tetap menjadi bidang kajian menarik dan aktual.
Bahkan dianggap semakin penting untuk tidak sekadar dibicarakan
di kalangan akademik melainkan juga dipraktikkan dalam interaksi
kehidupan sehari-hari setiap manusia beradab.
Berangkat dari perilaku manusia dalam kehidupannya baik secara
individual maupun berwarga bahkan bernegara, maka perlu nilai
moral (etiket) di dalam kehidupan ini . Dengan demikian etika
dilihat dari ilmu pengetahuan yaitu nilai-nilai (values) sebagai
norma-norma moralitas manusia dalam penelaahan filafat ilmu yang
dirumuskan dengan mempelajari secara pendekatan ilmiah tentang
tingkah laku moral. Etika sebagai filsafat ilmu yaitu seni untuk
membentuk, menemukan, dan membuat, serta menciptakan konsep
dalam kehidupan manusia.
Dalam ensiklopedia pendidikan dijelaskan bahwa etika yaitu
filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk, kecuali etika
mempelajari nilai-nilai itu sendiri. Sedangkan di dalam kamus istilah
Pendidikan Umum diungkapkan bahwa etika yaitu bagian dari filsafat
yang mengajarkan keseluruhan budi (baik dan buruk). Pengertian ini
memberikan pandangan terhadap etika yang menunjukkan sikap nilai-
nilai pengetahuan di dalam perilaku baik dan buruk yaitu akal budi.
Dalam bahasa negara kita perkataan etika ini kurang begitu populer dan
lazimnya istilah ini sering dipergunakan dalam kalangan terpelajar. Kata
yang sepadan dengan itu serta lazim dipergunakan di tengah-tengah
warga yaitu perkataan “susila” atau “kesusilaan”. Kesusilaan
berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu terdiri dari kata su dan sila. Su
berarti bagus, indah, cantik. Sedangkan sila berarti adab, kelakuan,
perbuatan adab (sopan santun dan sebagainya), ahlak, moral. Dengan
demikian perkataan “Susila” atau Kesusilaan dapat berarti: Adab yang
baik, kelakuan yang bagus, yaitu sepadan dengan kaidah-kaidah, norma-
norma, atau peraturan-peraturan hidup yang ada.
Menurut K. Bertens, etika itu berarti ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum
bahasa negara kita yang lama oleh Poerwadarminta, etika dijelaskan
sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa negara kita yang baru terbitan Departemen
Pendidikan & Kebudayaan Republik negara kita , etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti: 1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (Akhlak); 2. Kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. Nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau warga . Dari pengertian di atas,
jelas memberikan arti etika itu yaitu yaitu ilmu. Etika dimengerti
sebagai ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, namun
tentang nilai-nilai, tidak mengenai tindakan manusia, namun tentang
idenya. Adanya asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik
dan buruk yang begitu saja diterima dalam suatu warga . Dalam
perkembangannya etika menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis.
Hubungan antara etika dan ilmu, di mana berawal dari perilaku
manusia yang pada hakikatnya etika dan moral itu memiliki pengertian
atau pemahaman yang sama. Kedua istilah ini mengandung arti perilaku
yang baik dari seseorang atau sekelompok orang sebagai pedoman dari
tuntutan hati nurani orang yang bersangkutan dan warga demi
untuk terciptanya rasa kemanusiaan, kejujuran, dan keadilan dalam
kehidupan antarindividu dan warga . Para ilmuwan menggali
nilai-nilai etika dalam kehidupan praktis baik antarindividu maupun
warga , dari nilai-nilai itulah etika menjadi pedoman perilaku
manusia (etiket), lalu didalami sebagai ilmu (pengetahuan),
namun juga etika dapat menjadi aturan bagi sekelompok dalam suatu
pekerjaan (profesi) atau dikenal dengan Kode Etik (ethic of Conduct).
G. Etika dalam Pandangan Ilmu
Etika yang menjunjung tinggi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan,
kejujuran, dan keadilan, sehingga menjadi sumber pijakan berperilaku
yang benar. Etika (akhlak) berujung pada masalah perilaku ini ,
maka saat ia melakukan sesuatu aktivitas dalam kehidupannya
akan menunjukkan sikap sebagai cermin etika yang diberlakukannya.
Menurut Imam Ghazali, akhlak (etika) yaitu keadaan yang bersifat
batin di mana dari sana lahir perbuatan dengan tanpa berpikir dan tanpa
dihitung risikonya haitun rasikhotun tashduru’antha al afal bi suhulatin wa
yusrin min ghoiri hajatin fikrin wa ruwaiyyatin). Sedangkan ilmu akhlak
yaitu ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan.
saat berbicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan
tentang konsep baik buruk.
Etika juga berbicara tentang baik buruk, namun konsep baik buruk
dalam etika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik
buruk dalam ilmu akhlak bertumpu pada konsep wahyu, meskipun
akal juga memiliki kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini
maka dalam etika dikenal ada etika barat, etika timur, dan sebagainya,
sementara al akhlaq al kaqimah tidak mengenal konsep regional, meskipun
hal ini menimbulkan perbedaan pendapat, sebab etika pun diartikan
sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa dalam bahasa Arab
disebut atau karma. Sedangkan kata moral meski sering dipakai
juga untuk menyebut akhlak, atau etika namun tekanannya pada sikap
seseorang terhadap nilai, sehingga moral sering dihubungkan dengan
kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika itu masih ada dalam tataran
konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan. Melihat akhlak,
etika, atau moral seseorang harus dibedakan antara perbuatan yang
bersifat temperamental dengan perbuatan yang bersumber dari karakter
kepribadiannya. Karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya
tingkah laku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolak ukur yang
dianut warga . Karakter seseorang terbentuk melalui perjalanan
hidupnya, oleh sebab itu ia bisa berubah.
Moral dan etika berbeda dengan akhlak. Dalam Kamus Besar
Bahasa negara kita , kata akhlak diartikan budi pekerti atau kelakuan.
Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab yang biasa diartikan
tabiat, perangai, kebiasaan, namun kata seperti itu tidak diketemukan
dalam Al-Qur'an. Akhlak yaitu hal ihwal yang melekat dalam jiwa,
dari timbulnya perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh
manusia. Jika hal ihwal atau tingkah laku itu menimbulkan perbuatan
yang baik lagi terpuji oleh akal dan syarak, dinamakan akhlak yang baik.
Sebaiknya, bila perbuatan yang buruk maka tingkah laku itu dinamakan
akhlak yang buruk. Akhlak yang baik atau akhlakul karimah, yaitu sistem
nilai yang menjadi asas-asas perilaku yang bersumber dari Al-Qur'an,
As-Sunnah, dan nilai-nilai alamiah (sunatullah) dan juga dapat berarti
sistem nilai yang bersumber dari kesepakatan manusia pada waktu dan
ruang tertentu sehingga dapat berubah-ubah. Lain halnya etika yang
yaitu persetujuan sementara dari kelompok yang memakai
pranata perilaku. Oleh sebab itu, nilai moral yang yaitu nilai
etika dapat berubah-ubah sesuai dengan persetujuan dan perumusan
deskripsi dari nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah
(universal). Hal ini menunjukkan bahwa warga yang memakai
sistem etika, pada suatu waktu tertentu akan membenarkan pelaksanaan
suatu nilai tata cara hidup tertentu, sementara pada waktu dan tempat
lain nilai-nilai ini tidak dibenarkan oleh warga . Lain halnya
dengan ajaran moral yang bersumber dari ajaran agama, baik dari Al-
Qur'an, Al-hadist, maupun dari pemikiran tokoh agama dan tokoh adat,
kumpulan peraturan dan ketetapan baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis (lisan), tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar menjadi manusia yang baik. Baik buruknya tindakan
manusia ditentukan oleh tolak ukur penilaian moral sebagai manusia.
Hal ini, biasa diungkapkan bahwa kalau binatang yang dipegang yaitu
talinya dan kalau manusia yang dipegang yaitu kata-katanya. Ungkapan
ini bermakna kalau manusia tidak mampu lagi dipegang kata-katanya,
maka ia hilang identitasnya sebagai manusia yang dapat dipercaya oleh
manusia lain. Oleh sebab itu, sistem etika dalam hal ini sama sekali
tidak ada hubungannya dengan hamblumminallah. Ukuran baik dan
buruk dalam sistem etika ini, subjektif, yaitu bergantung pada pengaruh
yang kuat dari pemikir sistem nilai dan etika.
Dalam bahasa agama Islam istilah etika ini yaitu yaitu
bagian dari akhlak. Dikatakan yaitu bagian dari akhlak, sebab
akhlak bukanlah sekadar menyangkut perilaku manusia yang bersifat
perbuatan lahiriah saja, akan namun mencakup hal-hal yang lebih
luas, yaitu meliputi bidang akidah, ibadah, dan syariat, sebab akhlak
Islami cakupannya sangat luas, yaitu menyangkut etos, etis, moral, dan
estetika, karena:
1. Etos, yang mengatur hubungan seseorang dengan Khaliknya,
alma’bud bi haq serta kelengkapan ulihiyah dan rubbubiyah, seperti
terhadap Rasul-rasul Allah, Kitab-Nya, dan sebagainya.
2. Etis, yang mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap
sesamanya dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari.
3. Moral, mengatur hubungan dengan sesamanya, namun berlainan
jenis dan/atau yang menyangkut kehormatan tiap pribadi.
4. Estetika, rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk
meningkatkan keadaan dirinya serta lingkungannya, agar lebih
indah dan menuju kesempurnaan.
Dari uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa akhlak yaitu
ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan
baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari
dalam hubungan dengan Allah Swt., manusia, dan alam sekitar dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral.
H. Hubungan Etika dengan Ilmu
Paham yang menyatakan bahwa ilmu itu bebas nilai, memakai
pertimbangan yang didasarkan atas nilai dari yang diwakili oleh ilmu
yang bersangkutan. Begitu pula etika sebagai bagian dari filsafat
yaitu ilmu pengetahuan tentang nilai-nilai moral manusia. Ilmu
sebagai daya tarik bagi hasrat ingin tahu manusia yang tanpa henti dan
kebenaran, sehingga perlu diperhatikan etika sebagai efek tambahan
dari ilmu setelah diterapkan dalam warga . Manusia pada dasarnya
ditabiati oleh akal, maka manusia memiliki ilmu (logos). Dengan
ilmunya itu segala aktivitas kehidupannya dilandasi dengan ilmu yang
didasari oleh akal. Kemudian diluaskan menjadi memperhatikan,
menyimak, mengumpulkan makna, menyimpan dalam batin, berhenti
untuk menyadari. Di sini bertemu antara logos dengan ethos (etika),
berarti adanya penghentian, rumah, tempat, tanggal, endapan sikap.
Maksudnya yaitu sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang
mengutamakan tutup mulut untuk berusaha mendengar, dengan
mengorbankan berbicara lebih. Sehubungan dengan ini Karl Jespers
menulis bahwa ilmu yaitu usaha manusia untuk mendengarkan
jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah
lengketnya etika dengan ilmu.
Apa hubungan maksud ini di atas? Manusia dengan ilmu
tidak akan terpuaskan baik dalam mendengarkan maupun mencari
jawabannya. Perspektif baru akan selalu ditemukannya dalam pencapaian
mencari ilmu. Dalam pencariannya itu, tidak ada pertentangan antara
masalah dan rahasia, antara pengertian dan keajaiban, antara ilmu dan
agama. Namun ada pembatasan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia
dalam pencarian nilai-nilai hakiki yang ini , seperti pencarian
alkhalik, pencipta manusia itu sendiri. Kebenaran intelektual yang ada
pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-
bidang kehidupan. Kebenaran memang ciri asli dari ilmu itu sendiri.
Dengan demikian pengabdian ilmu secara netral, tidak bewarna, dapat
meluncurkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi
bebas nilai. Uraian keilmuan tentang manusia sudah semestinya harus
diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Ilmu bukanlah tujuan namun sarana untuk mencapai hasrat akan
kebenaran itu berimpit dengan etika bagi sesama manusia dan tanggung
jawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya
tidak perlu memperhitungkan adanya dua faktor, yaitu ilmu dan
tanggung jawab. sebab yang kedua itu melekat dengan yang pertama.
Dengan tanggung jawab itu berarti ilmuwan memiliki etika dalam
keilmuannya itu. Ilmu yang melekat dengan keberadaban manusia
yang terbatas, maka dengan ilmu hasrat keingintahuan manusia yang
ada di dalam dirinya yaitu petunjuk mengenai kebenaran
yang transeden di luar jangkauan manusia.
Etika selain dari pada bagian dari ilmu pengetahuan atau bagian
dari filsafat ilmu, juga yaitu panduan dari nilai-nilai terhadap
tata cara individu, warga , maupun bernegara. Setiap kehidupan
itu perlu suatu etika (etiket) agar nilai-nilai moralitas dapat terjaga di
dalam kehidupan itu sendiri. Selain itu, etika dalam pandangan agama
Islam yaitu akhlak. Akhlak yang harus dijaga oleh setiap individu
agar hubungan baik antarindividu maupun dengan Penciptanya (Al-
khalik) terjalin dalam keharmonisan (hamblumminanas hamblumminallah).
Hubungan etika dengan ilmu yaitu yaitu pembatasan agar
pemikiran manusia yang haus akan kebenaran dapat terjaga tidak keluar
dari norma-norma yang seharusnya tetap dipertahankan sebab itulah
akal yang dibebaskan akan mengarah kepada kesesatan.
Banyak pendapat tentang etika, dalam tulisan ini sengaja hanya
dikutip sedikit pendapat yang memadai. “Ethic (from Greek Ethos
“character” is the systematic study of the nature of value concept, “good”, “bad”,
“ought”, “right”, wrong, etc. and of the general principles which justify us in
applaying them to anything; also called “moral philosophy”.” (Encyclopedia
Britanica: 752) “The term “Ethics is used in three different but related ways,
signifying 1) a general pattern or way of life, 2) a set rules of conduct or moral
code, 3) inquiry about way of life of rules of conduct” (Edwards, Encyclopedia
of Philosophy: 81).
Secara umum etika diklasifikasikan menjadi dua jenis; pertama
etika deskriptif yang menekan pada pengkajian ajaran moral yang
berlaku, membicarakan masalah baik-buruk tindakan manusia dalam
hidup bersama. Yang ke dua etika normatif, suatu kajian terhadap
ajaran norma baik buruk sebagai suatu fakta, tidak perlu mengajukan
alasan rasional terhadap ajaran itu, cukup merefleksikan mengapa hal
itu sebagai suatu keharusan.
Etika normatif terbagi menjadi dua: etika umum yang membicarakan
tentang kebaikan secara umum, dan etika khusus yang membicarakan
pertimbangan baik buruk dalam bidang tertentu. Dalam kehidupan
sehari-hari pengertian etika sering disamakan dengan moral, bahkan
lebih jauh direduksi sekadar etiket. Moral berkaitan dengan penilaian
baik-buruk mengenai hal-hal yang mendasar yang berhubungan dengan
nilai kemanusiaan, sedang etika/etiket berkaitan dengan sikap dalam
pergaulan, sopan santun, tolak ukur penilaiannya yaitu pantas-tidak
pantas. Di samping itu ada istilah lain yang berkaitan dengan moral,
yaitu norma. Norma berarti ukuran, garis pengarah, aturan, kaidah
pertimbangan, dan penilaian. Norma yaitu nilai yang menjadi milik
bersama dalam suatu warga yang telah tertanam dalam emosi
yang mendalam sebagai suatu kesepakatan bersama (Charis Zubair:
20). Norma ada beberapa macam: norma sopan santun, norma hukum,
norma kesusilaan (moral), norma agama. Masing-masing norma
ini memiliki sangsi. Fenomena yang terjadi dalam warga
negara kita dewasa ini yaitu bahwa warga hanya takut pada
norma hukum yang memiliki sangsi yang jelas dan tegas yang
pelaksanaannya berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral
yang pelaksanaannya berdasarkan kesadaran sebagai manusia, tidak
ada sangsi yang nyata mulai ditinggalkan. Esensi pembeda antara
manusia dan makhluk lain yaitu pada aspek moralnya. Pada morallah
manusia menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral
seharusnya menjadi landasan tingkah laku manusia dengan segala
kesadarannya. saat norma moral (moralitas) tidak ditakuti/dihargai
maka warga akan kacau. Moralitas memiliki nilai yang universal,
di mana seharusnya menjadi spirit landasan tindakan manusia. Norma
moral muncul sebagai kekuatan yang amat besar dalam hidup manusia.
Norma moral lebih besar pengaruhnya dibandingkan norma sopan santun
(pendapat warga pada umumnya), bahkan dengan norma hukum
yang yaitu produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah
orang mengambil sikap dan menilai norma lain. Norma lain seharusnya
mengalah terhadap norma moral (Magnis Suseno: 21). Thomas Aquinas
berpendapat bahwa suatu hukum yang bertentangan dengan hukum
moral akan kehilangan kekuatannya. Mengapa manusia harus beretika/
bermoral?
Dalam tulisan ini selanjutnya istilah etika dan moral mempuyai arti
yang sama untuk merujuk pada penilaian perbuatan baik-buruk dengan
alasan rasional. Kenapa manusia dalam kehidupannya harus beretika.
Kenapa segala tindakan manusia tidak lepas dari penilaian, sementara
makhluk lain tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya kita
telusuri beberapa anggapan dasar tentang hakikat manusia. Menurut
ahli biologi Inggris Charles Robert Darwin yang juga senada dengan
Aristoteles bahwa ada perkembangan dari taraf-taraf kehidupan yaitu,
benda mati-tumbuh-tumbuhan-binatang-manusia (Sunoto, 63-65).
Benda mati = tidak hidup (berkembang) hanya mengalami perubahan
sebab proses tertentu. Tumbuh-tumbuhan = benda mati+hidup
(berkembang). Binatang = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu.
Manusia = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu+akal.
Secara umum yang membedakan manusia dengan binatang yaitu
pada akalnya. Akal yaitu unsur pembeda, bukan unsur yang
membuat manusia lebih unggul dengan makhluk lain. Akal memiliki
dua aspek dalam penggunaannya jika dipakai secara benar akan
meningkatkan taraf kemanusiaannya, namun jika dipakai secara tidak
benar akan menurunkan derajat manusia menjadi binatang bahkan lebih
rendah dari binatang. Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin
ini lebih didasarkan pada pertimbangan biologi. Akan lebih baik
jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan pertimbangan
humanis-filosofis. Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini
akan menggambarkan sebagai manusia baik yang terdiri dari unsur:
benda mati+hidup (berkembang)+nafsu+akal+moral. Kekuatan
moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga
kehidupan manusia menjadi lebih bermakna. Mengapa manusia harus
bermoral/beretika? Jawabannya yaitu sebab manusia makhluk yang
berakal, segala perbuatan, tindakan, dan perkataan manusia harus
dipertanggungjawabkan. Perbuatan makhluk berakal senantiasa dinilai.
Perbuatan yang bernilai itulah yang menjadikan kehidupan manusia
menjadi bermakna. Hidup manusia tidak hanya sekadar melangsungkan
spesies, namun bagaimana ia dapat bertanggung jawab terhadap diri
sendiri, keluarga, warga bangsa/Negara, dan kemanusiaan secara
umum. Tuntutan tanggung jawab ini menyangkut kegiatan manusia
dalam segala bidang.
Kenapa hanya manusia yang harus bermoral? Norma moral itu
berlaku mutlak, namun tidak memaksa. Norma moral berlaku bagi
semua manusia, tidak berlaku bagi hewan, sebab hanya manusia yang
berakal. Semua tindakan manusia dalam segala bidang itu senantiasa
menghadapi penilaian. Tindakan manusia selalu dinilai, dan setiap saat
iapun selalu menilai. Apakah semua manusia sebagai makhluk yang
berakal dikenai norma moral/etika? Jawabnya yaitu tidak. Moral dan
etika hanya dikenakan pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia
yang memiliki kesadaran (kesadaran dalam hal ini tidak dalam arti
medis, namun psikologis-filosofis).
Penilaian hanya ditujukan bagi manusia yang memiliki akal dan
sudah memiliki kesadaran. Penilaian moral tidak dikenakan pada orang
yang hilang ingatan, gila, sehingga tidak memiliki kesadaran atau
anak kecil yang kesadarannya belum tumbuh. Manusia dengan kriteria
ini tidak dikenai tanggung jawab terhadap atas segala tindakannya, kalau
dikenai tindakan maka harus disesuaikan dengan taraf kesadarannya.
Alasan dasar dan rasional mengapa manusia harus memakai moral/
etika sebagai landasan segala tindakannya yaitu sebab dia berakal
dan memiliki kesadaran. Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang
lapar, di depannya ada makanan yang biasa dimakannya, tanpa banyak
pertimbangan dia tentu akan segera menyantapnya. Berbeda dengan
manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan lezat ia tidak
akan langsung menyantapnya. Berbagai macam pertimbangan akan
menjadi dasar apakah ia akan menyantap makanan di depannya, apakah
ia berhak menyantapnya, apakah makannya harus sekarang, bagaimana
cara menyantapnya, dan lain-lain. Manusia bermoral tidak akan memakan
apa yang bukan haknya, manusia bermoral akan mampu mengendalikan
nafsu untuk makan, manusia juga akan memakai kaidah kepantasan
dalam hal cara melakukan sesuatu. Mungkin hal ini dianggap sepele,
justru inilah harus disadari bahwa untuk hal yang kecil dan aktivitas
sehari-hari saja banyak sekali pertimbangan, apalagi untuk masalah yang
lebih besar dan mendasar. Sebagai contoh koruptor secara hakiki bisa
dikatakan bukan manusia, namun seperti binatang, sebab ada beberapa
spesies binatang yang memiliki otak memadai sehingga memiliki
kecerdasan, bahkan lebih rendah dari binatang. Binatang tidak bisa
membedakan yang mana yang menjadi haknya dan yang mana bukan,
namun koruptor bisa membedakan hanya saja ia tidak mau tahu.
Moral mutlak berlaku bagi manusia dalam hidup bersama. Manusia
yaitu makhluk yang berbudaya. Kebudayaan ini hanya bisa tumbuh
dalam hidup bersama. Manusia yaitu Animal Sociale/Zoon Politicon.
Manusia yaitu makhluk yang hidup bersama-sama dengan manusia
lain, ia memerlukan manusia lain. Makhluk berbudaya yaitu
resultante dari hakikat manusia sebagai Animal Sociale, Animal Rasionale
dan makhluk yang bermoral.
I. Ilmu Pengetahuan dan Etika
Sekilas tentang Ilmu Pengetahuan, ilmu pengetahuan yang dalam
bahasa Inggris science, bahasa Latin scientia berarti mempelajari atau
mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme).
Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan namun tidak semua
pengetahuan itu yaitu ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan
dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan
memiliki beberapa syarat (Abbas Hamami: 4): 1. Berobjek: objek materiil
sasaran/bahan kajian, objek formal yaitu sudut pandang pendekatan
suatu ilmu terhadap objeknya; 2. Bermetode, yaitu p