Home » filsafat hukum 5 » filsafat hukum 5
Rabu, 31 Mei 2023
keadilan sosial yaitu istilah modern dari solidaritas.
Pengakuan terhadap solidaritas atau kesetiakawanan ini meng-
haruskan tatanan hukum untuk menunjang sikap sesama anggota
warga sebagai senasib dan sepenanggungan. Oleh sebab itu,
tatanan hukum mewajibkan kita untuk bertanggung jawab atas kita
semua, tidak boleh ada di antaranya dibiarkan menderita, apalagi
dikorbankan demi kepentingan orang lain.
Atas dasar itu, warga melalui negara merasa wajib untuk
menjamin bahwa tidak ada anggotanya yang harus hidup menderita
sebab syarat-syarat objektif tidak terpenuhi. Negara wajib membantu
golongan-golongan lemah dan kurang mampu seperti buruh, wanita,
anak-anak, korban perang, cacat veteran, dan korban bencana alam.
Usaha negara memberikan fasilitas bagi golongan-golongan ini di
atas termasuk kesejahteraan sosial yaitu sebagai wujud nilai solidaritas
antarsesama.
Dalam pandangan hukum, ada satu adagium yang sangat
terkenal, hukum seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Hal ini mensyaratkan bahwa hukum akan terus berjalan
dalam dualismenya, seperti juga yang ada pada antinomi nilai:
kepastian hukum-kesebandingan hukum, konservatif-inovatif, dan
beragam antinomi nilai lainnya. Keberlakuan adagium ini akan
berlangsung secara infinit (tidak terbatas). Artinya, selama masih ada
hukum, maka kedua sisi yang tampak pada sudut pandang keduanya
akan lekang sampai musnahnya manusia yang dalam kajian moral
disebut kiamat.
Dalam pandangan Franz Magnis-Suseno, tidak mungkin keutuhan
manusia negara kita terjamin atas ketidakadilan. Oleh sebab itu, dapat
dikatakan bahwa prasyarat utama pembangunan yang mau menunjang
keutuhan manusia yaitu agar struktur-struktur yang menghasilkan
ketidakadilan dibongkar. Tak mungkin seorang manusia dihormati
dengan sekaligus memperlakukannya dengan tidak adil.
Namun realita menyatakan sebaliknya, dualisme selalu membayangi
kehidupan manusia, individu pada kuantitas subjek, baik-buruk
dalam kajian moral, benar-salah dalam kajian peraturan. Ikatan ini
tampak dilekatkan pada pola hidup ajeg dari seorang individu dalam
berwarga dan bernegara. Rangkaian norma yang selalu (bukan
sesekali), namun hampir pada setiap saat dan tempat, “think in box”,
dipandang aneh bila tidak demikian.
Cerminan ini tampak sekali dalam fakta hidup dalam dunia
positivisme yang melanda hampir setiap organisasi yang dinamakan
“negara”. Ada penyangkalan yang menyatakan bahwa positivisme tidak
memiliki istilah sepadan (alias antinomi), namun jika ditelisik pada
kerangka dasar pembentukan positivisme, sebetulnya hal ini bukan
tergolong “tidak ada”, atau sampai pada suatu karantina peminjaman
istilah tunggal dalam matematika “positif” tanpa lawan dasar yakni
“negatif”. Albert Einsten berkata “matematika yang lengkap tidak akan
memiliki kepastian, dan sebaliknya”.
Tak dapat dipungkiri jika kita melihatnya dengan kasat mata,
jika hanya diperdebatkan visualisasi ini akan terabaikan, apalagi
ikut terjerumus dalam perhitungan mayor-minor dalam positivisme,
namun Einstein yang memakai Odesimal dalam sisa angka berhasil
memajukan konstruksi yang telah dibangun pendahulunya Sir Isaac
Newton, untuk akurasi yang akhirnya memformulakan EMC2, teori
relativitas cahaya dalam fisika modern. Mungkin akan ada lagi inovasi
berikutnya.
Dalam hukum sisi tegak ini yaitu asas, pedoman
bagi keberlakuan norma, pembuktian kualifikasi “benar” dalam
logika, bangunan argumentasi hukum yang harus dimiliki dan
dikuasai seorang penegak hukum, hakim utamanya, sebagai “ultimum
remidium” dalam persidangan atau sebagai wakil Tuhan di dunia
dalam urusan hukum.
Pembuktian bukan hanya berlaku bagi mereka yang memiliki legal
standing, namun putusan hakim pun wajib memilikinya. Tidak ada strata
bagi keduanya, hakim yang dihakimi, sebab itu “equality before the law”
akan menjadi tampak tegak lurus dipandang dari kedua sisi mata uang.
Tidak ada yang tersembunyi, transparansi yang memperlihatkan hal
ini pada kita yang menjadi subjek dan objek pada saat yang sama
ataupun tidak.
sebab itu, A = A, Tan Malaka katakan demikian dalam “Madilog”,
seorang ilmuwan harus memiliki pernyataan yang mengandung makna
sama dari awal hingga akhir argumentasinya, proposisi tampak jelas dan
tegas, tidak memaksakan adanya anomali yang menggiring kita pada
makna sesat nalar, untuk suatu realita logika A = non A.
Sejalan dengan hadirnya penilaian subjektif ataupun objektif dari
setiap orang yang melakukan penilaian, maka faktor utama yang dapat
membantu penilaian agar diterima khalayak yaitu dengan “mengerti”.
Dengan mengerti secara aktif ataupun pasif, maka terbukalah
kesempatan untuk menjembatani sifat subjektif atau objektif sebuah
penilaian.
D. Antinomi Nilai dalam Hukum
Hukum yang pada hakikatnya yaitu sistem kehidupan manusia
berwarga dan bernegara yaitu juga bertolak dari masalah-masalah
konflik. Kehadiran hukum dalam warga di antaranya ialah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan
orang dalam warga atau setidak-tidaknya menekan benturan-
benturan kepentingan ini menjadi sekecil mungkin.
Pengejawantahan (kemampuan) hukum itu didukung terutama
oleh kenyataan bahwa hukum yaitu pencerminan dari kehendak
manusia tentang bagaimana seharusnya warga itu dibina dan ke
mana harus diarahkan dari tatanan yang tidak terarah.
Seperti dijelaskan Satjipto Rahardjo (1930-2010), bahwa norma
hukum pada hakikatnya meramu dua dunia yang secara diametral
berbeda, yakni dunia ideal dan dunia kenyataan. Sebab, pada akhirnya
norma hukum harus mempertanggungjawabkan berlakunya dari
kedua sudut itu pula. sebab harus memenuhi tuntutan keberlakuan
filosofis, maka norma hukum memasukkan unsur ideal, dan untuk
memenuhi tuntutan keberlakuan sosiologis perlu memperhitungkan
unsur kenyataan.
Norma hukum berarti mengandung rekaman ide-ide yang tidak lain
dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh warga tempat hukum
itu diciptakan dan harus pula menjejakkan kakinya ke bumi dalam
makna mengindahkan kenyataan hidup sehari-hari. maka ,
norma hukum tertarik ke dua arah yang berbeda, yakni dunia nilai-nilai
dan dunia kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, yaitu menjadi
ciri kemandirian hukum bahwa ia menempati posisi yang mampu
mengambil jarak yang serasi antara ideal dan dalam memenuhi tuntutan
ideal dan kenyataan ini , nilai-nilai berubah fungsinya menjadi
kekuatan pengontrol.
Keserasian nilai-nilai yang ada dalam hukum yang pada
dasarnya bersifat antinomik (berpasangan dan bertegangan) itu, yang
terbentuk dalam satu jalinan yang bulat, mewujudkan hukum yang
efektif dan efisien.
Nilai antinomi yaitu nilai-nilai yang berpasang-pasangan akan namun
ia saling membatasi dan keduanya bisa berada dalam keadaan yang harmonis.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukakan tujuh
pasangan nilai pokok yang ada dalam eksistensi hukum untuk
dicapai atau diwujudkan keserasiannya melalui manifestasi hukum
seperti berikut:
• pasangan antara kesadaran penguasa dan warga warga
akan makna dan hakikat hukum dapat menjadi sumber keadilan,
kedamaian, kesejahteraan, rohaniah, dan jasmaniah, sebagai tujuan
akhir hukum;
• pasangan antara kejasmanian (aspek lahir) dan kerohanian
(aspek batin), keserasiannya pada dasarnya menghasilkan atau
mewujudkan kesejahteraan materiil dan spiritual;
• pasangan antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum,
keserasiannya menghasilkan keadilan;
• pasangan antara keketatan hukum dan keluwesan hukum,
keserasiannya menghasilkan kewibawaan hukum;
• pasangan antara kebebasan dan ketertiban, keserasiannya meng-
hasilkan kedamaian;
• pasangan antara proteksi hukum dan restriksi hukum, keserasiannya
menghasilkan kemantapan;
• pasangan antara kebaruan dan kelestarian, keserasiannya meng-
hasilkan kemantapan: perkembangan kualitatif dan kuantitatif.
1. Antinomi Nilai Kepastian dengan Nilai Keadilan
a. Arti Kepastian
Kepastian yaitu konstanta yang berarti standar yang telah
ditetapkan untuk itu. Kata “itu” ditujukan pada standar universal yang
dapat bersifat alami dan tampak alami dengan cara dibuat/ditentukan
dengan pengandaian lewat suatu kesepakatan. Contohnya, 1+1=2, dua
angka yang bernilai satu jika dijumlahkan dengan akan berelaborasi
menjadi angka 2, ini bersifat universal namun yaitu nilai kesepakatan
manusia.
Sedangkan dalam kondisi alamiah, maka satu orang manusia pada
kodratnya memiliki satu nyawa untuk dapat dikatakan hidup dalam
dimensi yang disebut hidup di dunia, seandainya satu nyawa hilang
sebab berkurang (dengan berbagai sebab) tentulah nilainya dalam
bahasa matematis; 1-1 = 0. Dalam pengetahuan sosial, artinya mati;
tidak hidup atau tidak berada dalam dimensi yang disebut hidup di
dunia, sekalipun kosong namun tetaplah memiliki nilai “ada” dalam
dimensi lain (hidup di lain dunia) nilai dan keduanya yaitu
konstanta yang bersifat alamiah.
Sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum
sehingga menjadi kepastian hukum, maka ia memiliki arti tersendiri.
Menurut Soedikno Mertokusumo (1999), kepastian hukum yaitu
“Perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang,
yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu”.
Kepastian hukum yang pertama berarti kepastian dalam pelak-
sanaannya, yang dimaksud yaitu bahwa hukum yang resmi
diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian
hukum bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat
dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi dan bahwa setiap
pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut
hukum juga.
Kepastian pelaksanaan hukum mengandaikan kepastian orientasi.
Hukum harus jelas sehingga warga dan hakim dapat berpedoman
padanya. Ini berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus dirumuskan
dengan jelas dan tegas sehingga tidak ada keragu-raguan tentang apa
yang dimaksud.
Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, yaitu tema
yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan dinyatakan
oleh Montesquie, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka
tugas penciptaan undang-undang itu di tangan pembentuk undang-
undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan isi
undang-undang saja. Pendapat Montesquie, yang ditulis dalam bukunya
“ De l’esprit de lois (The Spirit of Law)” pada tahun 1748, yaitu
reaksi terhadap kesewenang-wenangan hukum kaum monarki, di mana
kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum. Peradilan pada saat
itu secara nyata menjadi pelayan monarki.
Persoalan kepastian sebab selalu dikaitkan dengan hukum,
memberikan konsekuensi bahwa kepastian (hukum) di sini selalu
mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara.
Padahal sebagai sebuah nilai, kepastian hukum tidak semata-mata selalu
berkaitan dengan negara, sebab esensi dari kepastian hukum yaitu
masalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Maka itu,
aktor-aktor yang mungkin melakukan kesewenang-wenangan, tidak
terbatas pada negara saja, namun juga pada sekelompok pihak lain di
luar negara.
Dalam memahami kepastian hukum, yang harus diperhatikan
yaitu nilai itu memiliki relasi yang erat dengan instrumen hukum
yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam
hukum positif. Bahkan peranan negara tidak saja terbatas pada tataran
itu saja, negara pun memiliki tanggung jawab untuk menjalankan dan
menegakkannya. Namun dalam era sekarang, saat konsep “rechtstaat”
yang telah dianggap klasik itu diperkaya dengan gagasan-gagasan
lainnya, maka persoalan kepastian hukum bukan lagi semata-mata
menjadi tanggung jawab negara seorang. Kepastian hukum itu harus
menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi kehidupan, di luar
peranan negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi maupun
yudikasi. Setiap orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap
tidak semena-mena.
b. Arti Keadilan
Keadilan menuntut agar semua orang dalam situasi yang sama
diperlakukan dengan sama. Dalam arti materiil hukum dituntut agar
hukum sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan dalam warga .
Jadi, di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang
berhak atas perlindungan dan tidak ada yang kebal terhadap hukum.
Maksud untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil
termasuk hakikat hukum. Suatu hukum yang tidak mau adil bukanlah
hukum namanya.
Keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan
manfaat ditambah bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi
hukum itu berwujud lahiriah, tanpa mempertanyakan terlebih dahulu
iktikad moralnya, maka nilai keadilan di sini memiliki aspek empiris
juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya yaitu apa yang dinilai
adil, dalam konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara konkret
menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai
keadilan ini pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks
yang empiris juga.
Seorang terdakwa misalnya, dapat merasakan suatu nilai keadilan
jika apa yang dilakukan sebagai tindak pidana menurut hukumnya,
dihukum sesuai dengan berat dari kesalahannya. maka ,
si terdakwa merasakan bahwa hukumannya yaitu sebanding atau
setimpal dengan kesalahan yang telah diperbuat, dan apa yang
dianggapnya sebagai hal yang setimpal atau sebanding itu, yaitu
pencerminan dari nilai keadilan yang ideal. Jika hukumannya dirasakan
tidak sebanding atau setimpal, maka hukuman itu dapat dinyatakan
sebagai perwujudan yang melawan nilai-nilai ideal dalam keadilan,
di sinilah nilai keadilan berfungsi menentukan secara nyata, apa
yang pantas (sebanding/setimpal) diterima oleh seseorang sebagai
konsekuensi lanjutan dari norma hukum yang mengaturnya.
Dalam wilayah keadilan hal yang serupa pun dapat terjadi,
bermakna gagasan awal yang sedianya terjadi, jika hidup maka
gagasan awalnya yaitu hidup yang berhukum, artinya memenuhi
apa pun yang tujuannya yaitu untuk hidup dan juga merujuk pada
fase akhir hidup yakni mati untuk dapat dikatakan “selesai hidup”
dan menuju kembali pada fase lain dunia/dimensi. Demikian, berarti
dalam wilayah keadilan yang tidak adil maka gagasan yang ada
di dalamnya berarti pemulihan yang berarti kembali menjadi sama
dengan awalnya, yakni tidak ada penganiayaan dan tidak pula ada
ganjaran yang dirasakan negatif bagi pelaku, bila penganiayaan tidak
terjadi. Hal itu tidaklah dapat terjadi sedemikian rupa seperti gagasan
awal bilamana penganiayaan terjadi, karenanya hukum waktu (saat
ini) bagi kedua pihak yang bertikai tidaklah dapat kembali, maka
merujuk kepada nilai kepastian hukum agar pada masa sesudahnya
(masa depan) keadilan dapat terwujud seperti yang diharapkan (sama
seperti yang lampau), yang berarti keduanya disandingkan untuk
menjadi standar yang ditetapkan untuk itu.
c. Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Sebuah keadilan tidak dapat digapai, jika kepastian tidak dipenuhi,
sebab subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memperhatikan
terlebih dahulu apakah tindakan yang dianggap sebagai suatu
pelanggaran atau kejahatan memang yaitu suatu delik. Dengan
kata lain, apakah sebelumnya sudah dipastikan terlebih dahulu bahwa
tindakan pelanggaran atau kejahatan itu yaitu rumusan delik?
Jika hal ini belum dirumuskan, maka penghukuman terhadap
tindak pidana pelanggaran atau kejahatan dapat dikategorikan sebagai
kesewenang-wenangan, yang pada prinsipnya, menghasilkan nilai
keadilan.
Jadi apa yang pasti dalam hukum, belum tentu memberikan
keadilan. Begitupula sebaliknya, jika keadilan saja yang dipenuhi,
tanpa memperhatikan apakah hal itu memberikan kepastian hukum,
juga dapat menghancurkan nilai keadilan itu sendiri. Hakim dapat
menyatakan bahwa keputusannya adil, namun jika putusannya
itu diambil tanpa dasar hukum yang pasti, apakah hal itu dapat
diterima, sehingga yang diputuskan sungguh-sungguh dapat
dipertanggungjawabkan. Apa yang adil, jika tidak berdasarkan pada
suatu kepastian hukum, pada akhirnya juga bernilai tidak adil.
Jadi mengedapankan nilai keadilan saja, belum tentu akan secara
otomatis memberikan kepastian hukum. Oleh sebab itu, hukum
yang pasti, seharusnya juga adil, hukum yang adil, juga seharusnya
memberikan kepastian. Di sinilah kedua nilai itu mengalami situasi yang
antinomies, sebab menurut derajat tertentu, nilai-nilai kepastian dan
keadilan harus mampu memberikan kepastian terhadap hak tiap orang
secara adil, namun juga harus memberi manfaat dibandingkan nya.
2. Antinomi Nilai Individualisme dengan Nilai Kolektivisme
a. Arti Individualisme
Sejarah pemikiran tentang individualisme telah tumbuh berkembang
sejak lama, khususnya dalam pemikiran Barat. Frotagoras (500 SM)
yaitu seorang filosof, yang pernah menyatakan bahwa “manusia
yaitu ukuran segalanya”. Di samping usaha yang telah diberikan oleh
pemikir Yunani tentang persoalan individualisme manusia, pengaruh
ajaran Kristen dan pemikiran Romawi turut memberikan pengertian-
pengertian yang luas tentang hal ini. warga Yunani menerima bahwa
rasio dapat membebaskan individu manusia hingga manusia merdeka
terhadap dirinya sendiri. Pengaruh ajaran Kristen, yang menekankan
bahwa adanya manusia yaitu suatu pencitraan “sewajah” dengan
Tuhan, turut mempengaruhi bahwa adanya pengakuan atas eksistensi
individual manusia. Begitu pula dengan warga Romawi, yang
turut menyumbangkan perbendaharaan kata “warga negara” sebagai
bentuk pengakuan bahwa manusia yaitu gambaran mempengaruhi yang
terbentuk dalam warga nya.
Pemujaan terhadap individu ini diperkaya juga oleh pengaruh
pemikiran humanis dan nilai-nilai yang berasal dari penghargaan
terhadap martabat manusia, seperti demokrasi dan hak asasi. Revolusi
Prancis dan Amerika yaitu peristiwa bersejarah di Barat yang
membuktikan pengakuan nilai individualisme. Pengalaman Amerika
misalnya, telah menunjukkan bahwa persoalan individualisme menjadi
hak yang asasi, saat hak-hak yang individual sifatnya dirumuskan
dalam teks proklamasinya, yang pada dasarnya mengakui individualisme
dari tiap-tiap manusia di atas segalanya.
b. Arti Kolektivisme
Pengertian kolektivisme di sini tidak saja dipandang secara materiil
sebab adanya kepentingan ekonomis, namun juga sebab faktor-
faktor nonekonomis pun dapat menjadi motif bagi nilai ini .
Soepomo (1903-1958) misalnya, juga turut memberikan pendapatnya
tentang nilai kolektivisme, yang setidak-tidaknya menolak pengertian
kolektivisme yang bernuansa ekonomis saja, yakni saat Soepomo
mengenalkan adanya konsep persekutuan hukum di dalam warga
adat di negara kita yang menjunjung sifat-sifat kekeluargaan dan kesatuan
208
hidup bersama. Lebih lanjut Soepomo menegaskan “persekutuan
itu di dalam aliran pikiran tradisional negara kita , yaitu dianggap
(tidak “geobjectiveerd”) sebagai badan perseorangan tersendiri dengan
lingkungan sendiri, terlepas dari kepentingannya orang-orang yang
menjadi warga persekutuan, melainkan persekutuan itu yaitu seluruh
warganya sebagai suatu collectivitet di mana tiap warga merasa dirinya
satu golongan seluruhnya”.
Oleh sebab itu, pengertian nilai kolektivisme yang tepat dalam
konteks ini sekali lagi, tidak saja dipandang sebagai pengertian kolektif
yang lahiriah saja sifatnya (hanya kepentingan ekonomis), namun juga
bersifat batiniah, oleh sebab-sebab yang irasional (seperti sentimen
kelompok).
c. Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Yang menjadi soal penting di sini, dalam konteks hukum yang
ideal, bukan mana yang lebih berat (besar) eksistensinya terhadap
lainnya? Bukanlah soal yang penting, apakah nilai individualisme
ataukah kolektivisme? sebab dalam konteks hukum yang ideal,
ada satu keseimbangan antara nilai-nilai ini , sehingga tercapai
nilai harmoni nilai yang sempurna bagi setiap manusia maupun
warga nya. Hal ini dapat dilihat berikut ini, saat perbedaan
derajat antinomisnya dapat diperhatikan dalam lingkup sederhana yakni
pada tataran peraturan perundang-undangan, di mana dalam undang-
undang tertentu ada nilai individualisme yang lebih dominan
atau sebaliknya, nilai kolektivisme justru lebih dominan dibanding
nilai individualisme. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai
individualisme dan kolektivisme secara bersama-sama dibutuhkan,
dengan alasan yang rasional, bahwa keduanya diharapkan eksis untuk
menyempurnakan nilai-nilai itu menjadi “baik” dan “buruk” menurut
konteksnya.
3. Antinomi Nilai Materialisme dengan Nilai Spiritualisme
a. Arti Materialisme
Pengertian materialisme di sini yaitu pandangan hidup yang mencari
dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam
kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang
mengatasi alam indra. Dengan pengertian demikian, maka materialisme
pada intinya hanyalah berupa benda atau materi yang menjadi dasar
seluruh kehidupan manusia, dan karenanya di luar itu, tidak jadi dasar
dari eksistensi manusia. Apa saja yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindra manusia, bukan yaitu dasar dari kehidupan manusia.
Dasar itu harus dapat dirasakan, dilihat, dan disentuh. Sementara yang
tidak dapat dirasakan, dilihat, dan disentuh, bukan dasar dari kehidupan
manusia. Oleh sebab itu, mitos, kepercayaan, atau apa pun yang sejenis
dengannya, tidak menjadi pokok hidup manusia, sebab itu semua tidak
dapat ditangkap oleh indra manusia.
b. Arti Spiritualisme
Spiritualisme yang ada dalam Kamus Besar Bahasa negara kita , yang
artinya yaitu “aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian”.
Spiritualisme merupakan: “Paham yang meyakini bahwa realitas
yang ada di alam ini yaitu cermin dari kesadaran immaterial yang
dibentuk oleh subjek absolut”.
c. Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Nilai materialisme yang semakin menguat, apalagi semenjak kapitalisme
berjaya dalam setiap sendi kehidupan manusia, sesungguhnya juga
mempengaruhi hukum-hukum yang mengatur lembaga-lembaga
perkawinan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
yaitu kitab hukum warisan Belanda menempatkan nilai
materialisme sebagai dasar perkawinan. Nilai-nilai spiritualisme pada
dasarnya memang tidak pernah hilang mutlak, sepanjang nilai-nilai
materialisme masih eksis dalam refleksi hidup. Suatu nilai materialisme
akan menjadi “baik” jika ia berpasangan dengan nilai spiritualisme.
Nilai materialisme inipun akan menjadi “buruk” jika tidak menerima
pasangan nilainya. Begitupun sebaliknya, nilai spiritualisme akan
menjadi “buruk” jika pasangan nilainya ditiadakan. Setiap individu
yang berakal, tidak akan hidup hanya dengan bertumpu dengan aspek
rohaniahnya. Manusia memerlukan makan, memerlukan tempat
berlindung, dan sebagainya, sehingga keinginan akan materi yaitu
hal yang lumrah. Jika nilai materialismenya dapat mengimbangi nilai
spiritualisme, maka nilai spiritualisme pun akan menjadi nilai yang
“baik” pula.
4. Antinomi Nilai Kebebasan dengan Nilai Ketertiban
a. Arti Kebebasan
Namun pada prinsipnya, bebas atau kebebasan itu memiliki pengertian
“tiadanya penghalang atau pembatas, paksaan atau halangan, beban
atau kewajiban”. namun arti umum kebebasan di sini tidak dapat
dipersamakan dengan sewenang-wenang sebab pada dasarnya,
kebebasan ini berarti tidak liar (tersalurkan), tidak terkekang (lepas dari
tekanan), tidak terpaksa (ada pilihan), tidak sewenang-wenang (sebab
ada patokannya), dan tidak khawatir (tanpa hambatan mental apa pun).
maka , kebebasan menjadi hakikat fundamental
dari setiap hidup manusia. Sebagai hakikat yang fundamental,
kebebasan itu memberikan ruang kepada manusia untuk menentukan
pilihannya, dengan syarat adanya faktor-faktor objektif yang menjamin
berlangsungnya mekanisme kebebasan ini .
b. Arti Ketertiban
Oleh sebab itu ketertiban yaitu nilai yang menghendaki keadaan yang
berdasarkan ciri-cirinya tadi di atas. Ketertiban yaitu nilai yang
mengarahkan pada tiap-tiap individu untuk bersikap dan bertindak
yang seharusnya agar keadaan yang teratur ini dapat dicapai
dengan baik.
c. Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Nilai kebebasan tanpa ketertiban, sama saja dengan kebebasan yang
dengan tidak rasional, atau kebebasan yang dimiliki oleh makhluk
tidak berakal seperti hewan. Lain halnya dengan individu yang berasio.
Kebebasan itu bukan dibatasi oleh alamnya semesta, namun sebab secara
fundamental, ide kebebasan itu bergandengan dengan ketegangan yang
relatif bersama ketertiban. Nilai ketertiban menjadi alat pembatas yang
“inheren” dalam kebebasan dan diri manusia itu sendiri. Begitupula
sebaliknya, ketertiban yang amat ketat, tanpa unsur nilai kebebasan
sama sekali, juga bukan suatu nilai orientasi hidup manusia. sebab
ketertiban dalam relasi sosial, tanpa memberikan kebebasan berarti
menolak eksistensi manusia sebagai individu, di mana manusia
memiliki otonomi terhadap dirinya sendiri, yakni kehendak moral
yang bebas, yang dapat diekspresikan secara bebas.
5. Antinomi Nilal Inovasi dengan Nilai Konservasi
a. Arti Inovasi
Inovasi memiliki pengertian sebagai berikut;
(1) pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru pembaruan, (2)
Penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah
dikenal sebelumnya (opasan, metode ataupun alat).
maka , berdasarkan nilai inovasi, setiap individu
memiliki sikap atau semangat untuk melakukan pembaruan-
pembaruan dalam hidupnya, yang secara historis telah dibuktikan
dalam sejarah peradaban manusia, baik itu dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain
sebagainya. Hapusnya perbudakan di dunia, yaitu salah satu hasil
dari pembaruan (inovasi) dalam hidup manusia, begitu juga dengan
kemerdekaan negara, juga yaitu suatu contoh-contoh konkret
dari nilai Inovasi.
b. Arti Konservasi
Dalam Kamus Besar Bahasa negara kita saja, pengertian konservasi pun
memiliki pemahaman yang demikian:
“Pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan;
pengawetan”.
Nilai konservasi ini pada prinsipnya, hendak melestarikan apa yang
sudah ada secara teratur sebab hal itu dipandang sebagai hal yang baik
sehingga keteraturan ini tidak hancur atau musnah.
c. Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Nilai konservasi dianggap “baik” jika eksistensinya disempurnakan
oleh nilai antinomisnya, yakni nilai inovasi. Begitupula sebaliknya.
Dengan adanya nilai-nilai yang bersifat memperbarui dan melestarikan
sekaligus, di mana relasinya bersifat antinomies, manusia dapat
menyikapi hidupnya secara bijak dan beradab. Hidup manusia tidak
selalu berubah secara historis, sebab terputus dengan nilai-nilai
mapan masa lalu, begitu juga seterusnya, tidak ada mungkin nilai yang
mapan dan lestari mengalami perubahan jika bukan berdasarkan nilai
yang sudah mapan dan lestari dan hubungan itu bersifat antinomies,
senantiasa dalam ketegangan di mana dalam konteks tertentu, nilai
inovasi lebih dikedepankan dibanding nilai konservasi atau sebaliknya,
nilai konservasi malahan lebih dikedepankan dibanding nilai inovasi.
F. Penegakan Nilai Hukum
Penegakan hukum yang dilakukan dengan nilai-nilai filosofis, pada
hakikatnya yang yaitu penegakan hukum yang menerapkan nilai-
nilai sebagai berikut:
- nilai kesamaan yang berarti kesamaan itu hanya sama dengan sama;
- nilai kebenaran yang berarti bahwa kebenaran itu benar dengan
benar;
- nilai kemerdekaan yang berarti bahwa kemerdekaan itu benar hanya
merdeka dengan merdeka.
Refleksi keadilan pada penegakan hukum ini senantiasa pula
dititikberatkan mengejar kebenaran. Dan semuanya itu berpulang pada
setiap yang berada pada struktur hukum. Oleh sebab itu, dibutuhkan
aparatur penegak hukum yang dapat bertanggung jawab, baik kepada
suara hatinya maupun kepada warga dan Tuhan. Dengan sikap
yang bertanggung jawab tidak sulit bagi hukum untuk memberikan
keadilan, kepantasan, dan kemanfaatan.
Dari materi di atas dapat disimpulkan bahwa aksiologi yaitu
hal-hal yang tak dapat dipisahkan dari seorang subjek hukum, sebab
berkaitan langsung dengan tindakan dan perilaku sehari-hari baik
secara individual, publik, dan Negara. Orang yang telah memahami
aksiologi tentu tidak akan kesulitan dalam bersosialisasi beradaptasi
dengan lingkungan sebab dia telah memahami nilai-nilai dari aksiologi
ini yaitu nilai-nilai berfilsafat yang baik dan benar seperti yang
telah disebutkan pada materi-materi sebelumnya. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa aksiologi yaitu filsafat nilai. Nilai yang
dimaksudkan yaitu nilai kegunaan. Apa kegunaan ilmu itu dalam
kehidupan manusia? Tentu kita semua setuju dan sepakat bahwa ilmu
telah banyak memberikan manfaat dalam kehidupan dan kesejahteraan
umat manusia di dunia. Ilmu telah mampu mengubah dan memberantas
bahaya bencana kelaparan, kemiskinan, mewabahnya berbagai penyakit,
buta aksara, dan lain-lain, bencana yang melanda wajah duka kehidupan
manusia. Ilmu telah mampu membuat kehidupan manusia lebih
mudah dan membantu melakukan pekerjaan dengan efektif dan efisien.
Namun demikian, ilmu juga dapat dipakai untuk merusak sendi-
sendi kehidupan manusia dan bahkan membinasakan manusia. Ingat
peristiwa PD I dan II, pemboman kota Nagasaki dan Hirosima, perang
Irak dan Iran, peristiwa bom Bali, dan masih banyak peristiwa lainnya
yang barang kali terlupakan dalam memori kita. Kata mutiara yang
disampaikan Einstein bahwa ilmu tanpa agama yaitu buta dan agama
tanpa ilmu yaitu lumpuh memiliki makna yang teramat mendalam
bila kita renungkan dan pahami. Tanpa dilembari dengan agama, ilmu
akan dipakai manusia untuk berbagai macam kepentingan baik
yang bersifat merusak ataupun untuk membangun dan meningkatkan
kesejahteraan kehidupan manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu
tidak mengenal sifat baik dan buruk.
Manusialah sebagai pemilik ilmu pengetahuan harus memiliki
sikap. Untuk apa sebetulnya ilmu itu akan dipakai oleh manusia.
Dengan kata lain, netralitas ilmu terletak pada dasar epistemologinya
saja (Suriasumantri, 1987). Jika hitam, katakan hitam; jika ternyata putih,
katakan putih. Ilmu tidak berpihak kepada siapa pun. Ia hanya berpihak
kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan aksiologis, manusialah
yang harus memberikan penilaian tentang baik dan buruk. Manusialah
yang menentukan sikap dan mengategorikan nilai- nilai.
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi, aksiologi,
yaitu cabang filsafat yang mempelajari nilai. Dengan kata lain,
aksiologi yaitu teori nilai. Suriasumantri (1990) mendefinisikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi dalam Kamus Bahasa negara kita
(1995) yaitu kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono seperti
yang dikutip Surajiyo (2007), aksiologi yaitu nilai-nilai sebagai tolak
ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy
dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation. Bramel
seperti yang dikutip Amsal (2009) membagi aksiologi dalam tiga bagian,
yakni moral conduct, estetic expression, dan socio-political life. Moral Conduct,
yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan yang mana bidang ini
melahirkan keindahan. Dan terakhir yang membidani lahirnya filsafat
kehidupan sosial politik.
Memperbincangkan aksiologi tentu membahas dan membedah
masalah nilai. Apa sebetulnya nilai itu? Bertens (2007) menjelaskan
nilai sebagai sesuatu yang menarik bagi seseorang, sesuatu yang
menyenangkan, sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai dan
diinginkan. Pendeknya, nilai yaitu sesuatu yang baik. Lawan dari nilai
yaitu nonnilai atau disvalue. Ada yang mengatakan disvalue sebagai nilai
negatif. Sedangkan sesuatu yang baik yaitu nilai positif. Hans Jonas,
seorang filsuf Jerman-Amerika, mengatakan nilai sebagai the addresse of
a yes. Sesuatu yang ditujukan dengan ya. Nilai yaitu sesuatu yang kita
iya-kan atau yang kita aminkan. Nilai selalu memiliki konotasi yang
positif
Ada tiga ciri yang dapat kita kenali dengan nilai, yaitu nilai yang
berkaitan subjektif, praktis, dan sesuatu yang ditambahkan pada objek
(ibid, 141). Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu
berkaitan dengan kehadiran manusia sebagai subjek. Kalau tidak ada
manusia yang memberi nilai, nilai itu tidak akan pernah ada. Tanpa
kehadiran manusia pun, kalau Gunung Merapi meletus ya tetap meletus.
Pasalnya sekarang, saat Gunung Merapi meletus misalnya, apakah
itu sesuatu yang “indah” ataukah “membahayakan” bagi kehidupan
manusia. Kesemuanya itu tetap memerlukan kehadiran manusia untuk
memberikan penilaian. Dalam hal ini nilai subjektivitas memang
bergantung semata-mata pada pengalaman manusia. Kedua, nilai
dalam konteks praktis. Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu seperti
lukisan, gerabah, dan lain-lain. Ketiga, berkaitan dengan nilai tambah
pada objek. Nilai tambah itu dapat berupa budaya, estetis, kewajiban,
kesucian, kebenaran, maupun yang lainnya. Bisa jadi objek yang sama
akan memiliki nilai yang berbeda-beda bagi pelbagai subjek.
Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri.
Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta
yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau
sesuatu yang memiliki nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra
sebab ia bukan fakta yang nyata. Jika kembali kepada ilmu pengetahuan,
kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran yaitu
persoalan logika di mana persoalan nilai yaitu persoalan penghayatan,
perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas
kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan namun masalahnya
ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran
memang tidak terlepas dari nilai, namun nilai yaitu menurut nilai logika.
Tugas teori nilai yaitu menyelesaikan masalah etika dan estetika. Teori
nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika memiliki dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat
objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif (Amsal, 2009). Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan
pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung
pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas
fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, jika subjek berperan dalam
memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.
Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang
akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Tentang nilai, beberapa golongan memiliki pandangan yang tidak
sama. Nilai dalam pandangan agama tentu berbeda dengan positivisme,
pragmatisme, fatalisme, hinduisme, dan sebagainya. Sekarang,
bagaimana pandangan Anda tentang kawin sirih yang penuh pro dan
kontra. Atau poligami? Tentu, masing-masing orang akan memberikan
penilaian yang berbeda sesuai dengan kepentingannya sendiri-sendiri.
Sinclair seperti dikutip Suseno (1993), mengemukakan bahwa
nilai itu merujuk pada sistem, seperti sosial, politik, dan agama.
Sistem memiliki rancangan bagaimana tatanan, rancangan, dan
aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi yang
dapat terwujud. Runes (1963) mengemukakan beberapa persoalan
dengan nilai yang mencakup: hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan
status metafisika nilai. Suseno (2007) mengemukakan bahwa hakikat
nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya terdiri dari kehendak
(voluntarisme), kesenangan (hedonisme), kepentingan, hal yang lebih
disukai (preference), dan terakhir berasal dari kehendak rasio murni.
Jenis-jenis nilai dapat dikategorikan pada perubahannya, seperti: baik
dan buruk, sarana dan tujuan, penampakan dan riil, subjektif dan
objektif, murni dan campuran, dan aktual dan potensial. Kriteria nilai
yaitu standar pengujian yang lebih banyak dipengaruhi aspek
psikologis dan logis. Kaum hedonis menemukan standar nilai dalam
kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau warga .
Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolak ukur.
Status metafisik nilai banyak ditentukan oleh subjektivitas, objektivisme
logis, dan objektivisme metafisik. Subjektivisme yaitu nilai semata-
mata tergantung pengalaman manusia. Objektivisme logis yaitu nilai
yaitu hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya
yang dikenal. Objektivisme metafisik yaitu nilai yaitu sesuatu
yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan
metafisik (mis: theisme). Nilai juga memiliki sifat yang bersifat
abstrak (yaitu kualitas), inheren pada objek, bipolaritas yaitu
baik/buruk, indah/jelek, benar/salah; dan bersifat hierarkis; nilai
kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian.
Sampailah pembahasan kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah
kegunaan ilmu itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah
banyak mengubah dunia dalam memberantas berbagai penyakit termasuk
penyakit kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang
duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu yaitu
berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom kita bisa
memanfaatkan wujud ini sebagai sumber energi bagi keselamatan
manusia, namun di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni
membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi
yaitu untuk apa pengetahuan itu dipakai ? Bagaimana hubungan
penggunaan ilmiah dengan moral etika? Bagaimana penentuan objek
yang diteliti secara moral? Bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan
metode ilmiah dengan kaidah moral?
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan
nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat
mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain, penemuan
cara-cara licik ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatu
bangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi
terancamnya peradaban perkawinan. Berkaitan dengan etika, moral, dan
estetika maka ilmu itu dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1. Ilmu Bebas Nilai
Berbicara tentang ilmu akan membicarakan pula tentang etika, sebab
sesungguhnya etika erat hubungannya dengan ilmu. Bebas nilai atau
tidaknya ilmu yaitu masalah rumit, jawabannya bukan sekadar
ya atau tidak. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah
terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang
berbeda. saat Copernicus (1473-1543 M) mengajukan teorinya
tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar
mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan
oleh agama (gereja) maka timbullah reaksi antara ilmu dan moral
(yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sedangkan di pihak lain
ada keinginan agar ilmu mendasarkan pada pernyataan-pernyataan
nilai berasal dari agama sehingga timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik yang berakumulasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo pada tahun 1633 M.
Vonis inkuisisi Galileo mempengaruhi perkembangan berpikir di
Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertentangan antara ilmu
yang ingin bebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-
ajaran (agama). Pada kurun waktu itu para ilmuwan berjuang untuk
menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan
“ilmu yang bebas nilai”. Latar belakang otonomi ilmu bebas dari
ajaran agama (gereja) dan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya.
Pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif lalu
disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada masalah-
masalah praktis. Sehingga Berthand Russell menyebut perkembangan
ini sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dengan
tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan sebab
pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu
kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan
hidup manusia. Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakikatnya
mempelajari alam dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya,
untuk apa sebetulnya ilmu itu dipergunakan, di mana batas wewenang
penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini
diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuwan seperti
Copernicus, Galileo, dan ilmuwan seangkatannya, namun ilmuwan yang
hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang
dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat
dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling
kepada hakikat moral.
Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat destruktif para ilmuwan terbagi dalam dua pendapat. Golongan
pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat
bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun
dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral. Einstein pada
akhir hayatnya tak dapat menemukan agama mana yang sanggup
menyembuhkan ilmu dari kelumpuhannya dan begitu pula moral
universal manakah yang dapat mengendalikan ilmu, namun Einstein
saat sampai pada puncak pemikirannya dan penelaahannya terhadap
alam semesta ia berkesimpulan bahwa keutuhan ilmu yaitu
integrasi rasionalisme, empirisme, dan mistis intuitif.
Perlunya penyatuan ideologi tentang ketidaknetralan ilmu ada
beberapa alasan, namun yang penting dicamkan yaitu pesan Einstein
pada masa akhir hayatnya “Mengapa ilmu yang begitu indah, yang menghemat
kerja, membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit
sekali pada kita”. Adapun permasalahan dari keluhan Einstein yaitu
pemahaman dari pemikiran Francis Bacon yang telah berabad-abad
mengekang dan mereduksi nilai kemanusiaan dengan ide.
“Pengetahuan yaitu kekuasaan”. Dari pernyataan di atas, dapat
dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi,
dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas
nilai.
2. Teori tentang Nilai
Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai
perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai.
Pemandangan yang indah, akhlak tuanya dengan sopan santun, suasana
lingkungan dengan menyenangkan, dan kondisi badan dengan nilai
sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan
fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan panca
indra, sedang nilai hanya dapat dihayati. Walaupun para filosof berbeda
pandangan tentang definisi nilai, namun biasanya menganggap
bahwa nilai yaitu pertimbangan tentang penghargaan.
Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan,
antara keduanya sebab saling mempengaruhi . Sifat-sifat benda yang
dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka
penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh
fakta. Fakta itu sebetulnya netral, namun manusialah yang memberikan
nilai kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. sebab nilai itu maka
benda itu memiliki nilai. Namun bagaimanakah kriteria benda atau
fakta itu memiliki nilai. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua
yaitu nilai etika dan nilai estetika.
Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan
manusia dan memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun
cakupan dari nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik
yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar
yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal
ini , apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk
dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban,
dan apakah implikasi suatu perbuatan baik dan buruk. Nilai etika
diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda,
alam) tidak mengandung nilai etika, sebab itu tidak mungkin dihukum
baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakan ia mencuri,
mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum
bersalah. namun kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin
tidak dihukum bersalah. Yang bersalah yaitu kita yang tidak hati-hati,
tidak menutup atau mengunci pintu lemari.
Adapun estetika yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan
kreasi seni, dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan
seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan
kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan
dengan keindahan. Syarat estetika terbatas pada lingkungannya, di
samping juga terikat dengan ukuran-ukuran etika. Etika menuntut
susaha yang bagus itu baik. Lukisan porno dapat mengandung nilai
estetika, namun akal sehat menolaknya, sebab tidak etika. Sehingga
kadang orang mementingkan nilai panca indra dan mengabaikan nilai
rohani. Orang hanya mencari nilai nikmat tanpa mempersoalkan apakah
ia baik atau buruk.
Nilai estetika tanpa diikat oleh ukuran etika dapat berakibat
mudarat kepada estetika, dan dapat merusak. Menurut Randal, ada tiga
interpretasi tentang hakikat seni, yaitu:
1. Seni sebagai penembusan (penetrasi) terhadap realisasi di samping
pengalaman.
2. Seni sebagai alat untuk kesenangan, seni tidak berhubungan dengan
pengetahuan tentang alam dan memprediksinya, namun manipulasi
alam untuk kepentingan kesenangan.
3. Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman.
Uraian ini di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik
dan buruk terletak pada manusia itu sendiri. Namun dalam Islam
penilaian baik dan buruknya sesuatu memiliki nilai yang universal
yaitu Al-Qur’an dan hadis.
A. Hukum dan Moral
Hukum memiliki banyak dimensi dan segi, sehingga tidak mungkin
memberikan definisi hukum yang sungguh-sungguh dapat memadai
kenyataan. Walaupun tidak ada definisi yang sempurna mengenai
pengertian hukum, definisi dari beberapa sarjana tetap dipakai
yakni sebagai pedoman dan batasan melakukan kajian terhadap hukum.
Meskipun tidak mungkin diadakan suatu batasan yang lengkap tentang
apa itu hukum, namun Utrecht telah mencoba membuat suatu batasan
yang dimaksud sebagai pegangan bagi orang yang hendak mempelajari
ilmu hukum.
Menurut Utrecht hukum yaitu himpunan peraturan-peraturan
(perintah-perintah dan larangan -larangan) yang mengurus tata tertib
suatu warga dan oleh sebab itu harus ditaati oleh warga
itu. Hans Kelsen mengartikan hukum yaitu tata aturan (rule)
sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia.
Dengan demikian hukum tidak menumpuk pada satu aturan tunggal
(rule) namun seperangkat aturan (rules) yang memiliki satu kesatuan
sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem, konsekuensinya
yaitu tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan
satu aturan saja. Pengertian lain mengenai hukum, disampaikan oleh
Sudikno Mertokusumo, yang mengartikan hukum sebagai kumpulan
peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan
bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
dengan suatu sanksi. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah
memiliki isi yang bersifat umum dan normatif, umum sebab berlaku
bagi setiap orang dan normatif sebab menentukan apa yang seyogianya
dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta
bagaimana cara melaksanakan kepatuhan kepada kaidah-kaidah.
1. Konsep Moral
Kesantunan mempengaruhi seseorang ditentukan oleh baik atau tidaknya moral
dalam dirinya. Seseorang yang menjadikan moral sebagai salah satu ciri
khas dalam kepribadiannya akan lebih dihargai dan dihormati oleh orang
lain atau warga di sekitar tempat tinggalnya. Selain itu, hubungan
sosial seseorang yang bermoralkan lebih baik dibandingkan seseorang yang
tidak menjunjung moral dalam hidupnya. Kata moral yaitu kata
yang berasal dari bahasa latin “mores”, mores sendiri berarti adat
kebiasaan atau suatu cara hidup. Menurut Gunarsa (1986) dalam Asri
Budiningsih (2004: 24), “moral pada dasarnya yaitu suatu rangkaian
nilai dari berbagai macam perilaku yang wajib dipatuhi”. Sedangkan
menurut Shafferdalamoleh Asri Budiningsih (2004: 24),“moral dapat
diartikan sebagai kaidah norma dan pranata yang mampu mengatur
perilaku individu dalam menjalani suatu hubungan dengan warga ”.
Dikemukakan oleh Suseno dalam Sigit Muryono (2011: 69), bahwa
“kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
manusia, sehingga bidang moral yaitu bidang kehidupan manusia
dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia”. Sedangkan menurut
Haricahyono dalam Sigit Muryono (2011: 69), bahwa “moral diartikan
dengan adanya kesesuaian dengan ukuran baik buruknya suatu tingkah
laku atau karakter yang telah diterima oleh warga ”. Berdasarkan
pendapat-pendapat ahli ini dapat dikatakan bahwa moral yaitu
suatu keyakinan tentang aturan-aturan atau ajaran-ajaran yang baik dan
buruk, benar dan salah, layak atau tidak layak, patut atau tidak patut
yang bersumber dari agama, nasihat orang tua atau orang bijak, maupun
lingkungan sosial dan mempengaruhi manusia dalam bertingkah laku
sehari-hari yang juga yaitu rangkaian nilai dan pranata norma yang
mampu mengatur perilaku individu dalam menjalani suatu hubungan
dengan warga dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia sesuai
dengan ukuran baik buruknya suatu tingkah laku yang telah diterima
oleh warga .
2. Perkembangan Penalaran Moral
Kohlberg dalam Sigit Muryono merumuskan proses
perkembangan penalaran moral sebagai sebuah proses alih peran,
yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah struktur yang lebih
komprehensif, lebih terdeferensiasi dan lebih seimbang dibandingkan
dengan struktur sebelumnya. Kohlberg menguraikan proses per-
kembangan penalaran moral sebagai berikut:
a. Perkembangan penalaran moral terjadi secara bertahap, setiap tahap
yaitu kemampuan alih peran orang lain dalam situasi sosial.
b. Dalam proses perkembangan penalaran moral lingkungan sekolah
memiliki peran, yaitu memberi kesempatan alih peran.
c. Dalam proses ini individu bersifat aktif, yaitu aktif menyusun
struktur persepsinya tentang lingkungannya.
d. Tahap-tahap penalaran moral dan perkembangannya yaitu hasil
interaksi antara struktur persepsi individu dengan struktur gejala
lingkungan yang ada.
e. Dalam interaksi itu terjadi bentuk-bentuk keseimbangan yang
berurutan.
f. Keseimbangan itu disebut sebagai tingkat keadilan.
g. Jika ada perubahan struktur gejala-gejala baik dalam diri individu
maupun dalam lingkungan, maka terjadi ketidakseimbangan.
h. Situasi ketidakseimbangan ini memerlukan perubahan struktur
keadilan yang baru ke tingkat penyesuaian yang optimal atau tingkat
penalaran moral yang lebih tinggi.
3. Unsur-Unsur Moralitas
Kualitas norma moral telah ditentukan oleh beberapa unsur pokok,
yaitu kebebasan, tanggung jawab, dan suara hati. Semakin tinggi derajat
kebebasan,tanggung jawab, dan kemurnian suara hatinya, semakin baik
kualitas moral yang bersangkutan.
a. Kebebasan
Kebebasan yaitu unsur penting dalam norma moral. Hal ini sangat
esensial mengingat norma moral itu yaitu yang otonom. Jadi selalu
ada pilihan (alternatif) bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku
berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Adapun kebebasan manusia
itu dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: a. Kebebasan Sosial;
dan b. Kebebasan Eksistensial. Kebebasan sosial yaitu kebebasan
yang diterima dari orang lain (sesama manusia), yang berarti
bersifat heteronom. Kebebasan eksistensial yaitu adanya suatu
kemampuan manusia untuk menentukan sikap dan perilaku dirinya
sendiri yang berarti bersifat otonom. Kebebasan sosial dapat dibatasi
oleh keterbatasan fisik, keterbatasan psikis, dan adanya pemerintah/
larangan (normatif).
b. Tanggung Jawab
Kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan
berperilaku. Pertimbangan moral, baru akan memiliki arti jika
manusia ini mampu dan mau bertanggung jawab atas pilihan
yang dibuatnya. Pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin
ditujukan bagi orang yang dapat dan mau bertanggung jawab. Itulah
sebabnya kita tidak pernah meminta pertanggungjawaban atas sikap dan
perilaku orang gila atau anak di bawah umur, sekalipun kita mengetahui
menurut moralitas kita yang wajar, sikap dan perilaku orang itu tidak
dapat diterima. Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan
sebagai kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi
kewajibannya. Kewajiban yaitu beban yang harus dilaksanakan.
Pengertian beban di sini tentu dalam arti luas, tidak selalu berkonotasi
tidak menyenangkan. Setiap bentuk tanggung jawab senantiasa
menuntut pertanggungjawaban jika perbuatan itu sudah selesai
dilakukan. Pertanggungjawaban ini yaitu suatu tindakan memberikan
penjelasan yang dapat dibenarkan baik secara moral maupun secara
hukum. Hal inilah yang disebut dengan akuntabilitas.
c. Suara Hati
Suara hati sering kali disebut dengan hati nurani yaitu pengetahuan
intuitif tentang prinsip-prinsip moral. Hati nurani berasal langsung
dari Tuhan dan oleh sebab itu tidak mungkin keliru. jika manusia
menghadapi situasi konkret yang mengharuskannya memilih sikap-
sikap moral tertentu, maka yang hadir pada saat itu yaitu suara
hati. Suara hati memang suara kejujuran, namun tidak identik dengan
hakikat kebenaran itu sendiri. Artinya suara hati mungkin saja salah,
namun kesalahan suara hati itu sebab ketidaktahuan si pemilik suara
hati itu, bukan sebab ia sengaja berbuat salah. Tiga lembaga normatif
yang mengajukan norma-norma (dalam arti yang lebih abstrak berupa
nilai-nilai) mereka kepada kita. Pertama, yaitu warga , termasuk
pemerintah, guru, orang tua, teman sebaya, dan pemuka agama.
Lembaga normatif ini baik secara implisit maupun eksplisit,
akan menyatakan apa yang baik dan tidak baik menurut mereka.
Kedua, yaitu ideologi termasuk agama di dalamnya. Kode etik profesi
juga ada dalam kategori lembaga normatif kedua ini. Ketiga, yaitu
superego pribadi. Seperti perasaan malu pada diri seseorang jika
yang bersangkutan melakukan suatu perilaku tidak terpuji.
Dalam moral, selain ada unsur-unsur pokok ada pula dalam
menilai apakah suatu perbuatan baik atau buruk, benar atau salah, ada
standar tertentu, yang kita kenal dengan norma moral. Norma yaitu
aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolak ukur untuk menilai
sesuatu. Norma moral yaitu aturan atau kaidah yang menentukan
apakah perilaku kita baik atau buruk dari sudut etnis.
Empat alasan yang kuat, mengapa mempelajari norma moral dan
etika sangat penting, yaitu:
1. Umat manusia dalam mengambil berbagai keputusan, di situ ada
cara yang benar atau salah dalam berbuat sesuatu.
2. Agar bisa menikmati kehidupan sosial yang teratur, manusia
memerlukan kesepakatan pemahaman, prinsip dan berbagai
ketentuan prosedur yang menyangkut pola perilaku.
3. sebab dinamika kehidupan manusia dengan segala konsekuensinya,
maka perlu berperilaku berdasarkan norma-norma yang ada dalam
sistem etika yang berlaku, yang diwarisi, maupun yang berlaku
sekarang, perlu dianalisis, ditinjau.
4. Konsep Degradasi Moral
Degradasi dimaknai sebagai penurunan derajat, pangkat, kedudukan.
Degradasi yaitu perubahan yang mengarah kepada kerusakan di
muka bumi. “Degradasi yaitu penurunan mutu atau kemerosotan
kedudukan”. (Daryanto). Degradasi ini dimaksudkan sebagai penurunan
kualitas maupun perusakan moral (demoralisasi). Immanuel Kant
berpendapat, “moralitas yaitu hal keyakinan dan sikap batin dan bukan
hal sekadar penyesuaian aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara,
agama, atau adat istiadat”. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu
moral seseorang yaitu hal kesetiaannya pada hatinya sendiri. Moralitas
yaitu pelaksanaan kewajiban sebab hormat terhadap hukum, sedang
hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Dengan kata lain,
moralitas yaitu tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati didasari
sebagai kewajiban mutlak. Robert J. Havighurst dalam Sholeh (2005:
104), moral yang bersumber dari adanya suatu tata nilai yakni suatu
objek rohani atas suatu keadaan yang diinginkan. Maka kondisi atau
potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang
baik, sesuai dengan nilai-nilai value yang diinginkan itu. Berdasarkan
beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
degradasi moral yaitu turunnya kesadaran bertingkah laku sesuai
dengan aturan yang berlaku sebagai akibat dari kurangnya kesadaran
taat kepada hukum, sedang hukum itu sendiri tertulis di dalam hati
manusia.
Pengertian hukum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hukum
yang berupa undang-undang dan hukum dalam arti pelaksanaan
penegakkan hukum oleh aparatur penegak hukum. Hukum yang berupa
produk hukum yang dibuat oleh negara dibuat dalam rangka menjalankan
roda pemerintahan untuk melaksanakan tujuan dari didirikannya suatu
negara. Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. jika memulai
berbicara tentang nilai-nilai, maka telah masuk pula kegiatan menilai
dan memilih. Keadaan ini memberikan arah-arah tertentu kepada
jalannya hukum di suatu negara. Sejak kedudukan negara dalam artian
modern, seperti telah dibicarakan di muka menjadi semakin kokoh,
maka peranan hukum menjadi penting, yaitu sebagai sarana untuk
mengimplementasikan keputusan-keputusan negara. Legitimasi tidak
dicari lagi melalui jalur kharisma atau tradisi (lihat Weber di muka),
melainkan melalui apa yang disebut oleh Weber sebagai legal rational.
Salah satu segi dari rasionalitas hukum yaitu hukum yang menjadi
semakin formal dan prosedural dengan segala akibat dan perlengkapan
yang mendukungnya. Singkatnya, hukum menjadi sarana yang makin
diterima dan dipakai.
Hukum pada zaman sekarang yaitu hukum yang modern dengan
ciri-ciri formal, rasional, sistematis, berlaku secara sama bagi orang,
prosedural, dijalankan oleh birokrasi negara, tertulis, otonom. Dengan
demikian hukum dijalankan oleh penegak hukum yang memang dibentuk
untuk melakukan tugasnya sesuai dengan profesinya. Oleh sebab itu
maka penegakkan hukum di negara kita dijalankan oleh para lawyer yang
memang dididik secara khusus agar ahli dalam melaksanakan fungsinya
bagi penegakkan hukum yang berkualitas dan bersendikan moral.
Abdul Manan mengemukakan: Meskipun seorang profesi hukum
memiliki keahlian, keterampilan, dan cerdas serta memiliki intelektual
yang tinggi dalam bidang hukum, namun jika hal ini tidak didukung
oleh integritas moral yang solid, maka kesemuanya yang dimiliki itu
tidak akan memiliki arti sama sekali. Oleh sebab itu, intelektualitas
dan profesionalisme yang dimiliki oleh profesi hukum itu hendaknya
harus didukung oleh integritas moral yang prima, sebab hal ini
yaitu hal yang menentukan berhasil atau tidaknya seorang profesi
hukum yang menjalankan tugasnya.
Hukum dan moral ada kaitannya, hukum yang baik yaitu hukum
yang bersendikan moral, sehingga suatu hukum ada rohnya, baik dari
produk hukum ini maupun roh dari penegak hukum, sehingga
hukum dapat ditegakkan agar diperoleh keadilan, kepastian hukum,
dan kemanfaatan. Hukum memberikan batasan bagaimana moral bisa
dilaksanakan dengan berbagai usaha penegakkan hukum bukan semata
dengan ancaman/sanksi bagi yang melanggar.
Kaitannya antara hukum dan moral maka K. Bertens menge-
mukakan:
Sebagaimana ada hubungan erat antara moral dan agama,
demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan
memandang hubungan ini dari segi hukum: hukum memerlukan
moral. Untuk itu terutama ada dua alasan. Pertama, dalam kekaisaran
Roma sudah ada pepatah Quid leges sine moribus? Apa artinya
undang-undang, kalau tidak disertai moralitas? Hukum tidak berarti
banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum
akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu
moralnya. sebab itu hukum selalu harus diukur dengan moral.
Undang-Undang immoral tidak boleh tidak harus diganti, bila dalam
suatu warga kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Socrates yaitu penganut moral absolut, yang meyakini bahwa
menegakkan moral yaitu tugas filsuf yang berdasarkan ide-ide
rasional dan keahlian dalam pengetahuan. Filsafat yaitu kebenaran
objektif, dan untuk membuktikan adanya kebenaran objektif,
Socrates memakai metode yang bersifat praktis. Socrates
dikenang sebab pemikirannya bahwa penguasa yang ideal harus
melibatkan orang-orang yang bijak yang dipersiapkan dengan baik,
serta mengatur kebaikan-kebaikan untuk warga .
Selain itu hukum ditegakkan oleh birokrasi penguasa yang
memang dibentuk untuk melakukan tugasnya dengan dukungan
sarana dan prasarana yang ada. Di samping itu didukung pula
dengan prosedur baku yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan, sehingga prosedur penegakkan hukum belum tentu
selalu dimengerti oleh warga . Hukum menjadi rasional,
hukum dijalankan secara formal, prosedural, dan didukung oleh
perlengkapan pendukungnya. Dengan demikian warga masih
sering menganggap hukum tidak selalu berpihak pada warga
atau ada pandangan yang mengatakan tidak adanya kesatuan antara
hukum dan moral.
Kaitannya dengan moral maka Murdoch mengemukakan:
Pengertian kita terjadi dalam cahaya “Yang Baik”. sebab itu, di
satu sisi, pengertian yang sungguh-sungguh, yang sudah bebas
dari belenggu fantasi-fantasi egois, dengan sendiri membuat kita
menyadari tarikan “Yang Baik” yang “harus kita taati”, dan di
sisi lainnya tarikan “Yang Baik” mendorong kita untuk melihat
dengan lebih benar, dengan “pandangan adil dan penuh kasih yang
diarahkan kepada sebuah realitas individual”.
Penegak hukum yang menjalankan penegakan hukum telah dibekali
pendidikan yang cukup, pendidikan khusus profesi dan sebelum
menjalankan tugasnya telah bersumpah/berjanji sesuai dengan agamanya
masing-masing. Dengan demikian maka dalam melakukan penegakan
hukum, penegak hukum harus bermoral. Dalam melengkapi penegakan
hukum yang bermoral ini maka di dalam aturan hukum dibutuhkan
pula nilai-nilai moralitas yang tinggi agar hukum menjadi humanis.
warga di zaman modern ini telah mengalami perubahan
sosial, disebabkan oleh berbagai hal antara lain perpindahan penduduk
dari desa ke kota, lapangan pekerjaan yang semakin beraneka ragam,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
Sebagian besar warga sekarang sudah individualistik sehingga akar
budaya yang dulu dihormati dan dijunjung tinggi sudah semakin luntur,
akhirnya membawa pengaruh pada perilaku. Ditambah lagi pemukiman
warga sudah berubah, dari kehidupan saling bertetangga menjadi
tinggal di rumah bertingkat, dan seterusnya. Perubahan warga
demikian berpengaruh pada tingkat kesadaran hukum warga .
Untuk itu diperlukan wawasan yang luas dari aparatur hukum dan
pemangku kepentingan untuk memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam warga agar hukum praksis mencapai tujuannya.
Seperti sudah diuraikan di atas esensi hukum menurut Hart
yaitu kombinasi dua tipe aturan yakni aturan primer dan aturan
sekunder. Pandangan ini selain ditujukan untuk mengoreksi konsep
hukum Austin juga ditujukan untuk mengkritik teori hukum kodrat yang
menganggap adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas.
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa di antara hukum dan moralitas
ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam
pemahaman yang penting namun tidak semua hubungan itu terlihat
jelas. Berangkat dari ketidakjelasan ini Hart berusaha menunjukkan
dan mengevaluasi alasan-alasan yang mendasari pandangan ini .
Menurutnya, tak satu pun alasan yang diajukan untuk menunjukkan
hubungan mutlak itu memadai meskipun ia mengakui beberapa segi
dari argumen yang dikemukakan memiliki kebenaran, sesuai dengan
beberapa fakta yang dapat dijumpai dalam sistem hukum.
Hart mengakui bahwa hukum, keadilan, dan moral memiliki
hubungan yang sangat dekat. Bahkan salah satu aspek keadilan, yaitu
keadilan administratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan
moralitas berhubungan secara ‘mutlak’. Keadilan administratif yang
dimaksud di sini tidak lain keadilan dalam penerapan hukum. Penerapan
hukuman terhadap seseorang hanya didasarkan pada sifat yang
disebutkan dalam hukum. Hukum tentang pembunuhan, misalnya,
menyebutkan bahwa seseorang yang secara sengaja menghilangkan
nyawa orang lain dihukum lima belas tahun, maka dari ketentuan ini
kita akan tahu mana sifat yang relevan dan tidak relevan untuk
menghukum pelaku pembunuhan. Warna kulit dan jenis rambut pelaku
tidak relevan; sementara keputusan atau niat orang ini relevan. Jika
dalam memutuskan masalah tertentu sifat yang disebutkan dalam
hukum itu diabaikan, maka penerapan hukuman dianggap tidak adil.
Keadilan dalam penerapan hukum ini menurut Hart memiliki hubungan
yang mutlak dengan hukum. Namun, hubungan mutlak ini hanya
menyangkut administrasi hukum dan keadilan jenis ini bisa juga dapat
terjadi dalam sebuah sistem hukum yang di dalamnya penuh dengan
hukum yang tidak adil. Selain dalam administrasi hukum Hart juga
mengakui hubungan penting antara hukum dan moralitas dalam hukum
kodrat minimum. Hukum kodrat minimum tidak lain pandangan Hart
sendiri mengenai kodrat manusia yang berbeda dengan hukum kodrat
klasik. Menurutnya kodrat manusia yang paling dasar yaitu bertahan
hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia dapat memenuhi tujuan
hidup lainnya. Untuk dapat bertahan hidup, di samping memerlukan
ketersediaan bahan konsumsi, manusia juga memerlukan aturan yang
dapat menjaga kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan
hukum bertemu; kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama menuntut
hal yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan bersama manusia.
Namun, hubungan mutlak antara hukum dan moralitas dalam hukum
kodrat minimum ini menurutnya bukan kemutlakan logis, melainkan
“kemutlakan alamiah”. Disebut mutlak alamiah sebab kemutlakan
hubungan itu didasarkan pada kondisi alamiah kehidupan manusia itu
sendiri. Artinya, selama kondisi kehidupan manusia tidak mengalami
perubahan, maka hukum dan moralitas akan berhubungan mutlak.
Hart hanya mengakui hubungan mutlak hukum dan moralitas dalam
hukum kodrat minimum dan administrasi hukum, dan hal itu seperti
telah disebutkan, bukan mutlak logis seperti yang dianggap selama ini.
Dalam The Concept of Law, Hart menguji enam alasan lain yang
dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan mutlak antara
hukum dan moralitas.
Pertama, kekuasaan dan otoritas. Poin pertama mengenai adanya
hubungan mutlak antara hukum dan moralitas berhubungan dengan
isu kekuasaan dan otoritas. Sering kali dikatakan bahwa sebuah sistem
hukum harus bertumpu pada pemahaman akan kewajiban moral atau
bertumpu pada keyakinan moral atas sistem ini . Sebuah sistem
hukum, dalam pandangan ini, tidak bisa disandarkan semata pada
kekuasaan manusia atas manusia lain. Dalam sebuah sistem hukum
orang yang patuh hukum (membayar pajak, misalnya) semestinya tahu
bahwa apa yang dilakukannya sejalan dengan keyakinan moralnya.
Dengan kata lain, harus ada kesesuaian antara kewajiban hukum dan
kewajiban moral.
Dalam pandangan Hart pendapat yang menekankan adanya
kesesuaian antara kewajiban hukum dan moralitas yaitu pandangan
yang tidak memadai. Hart setuju bahwa sebuah sistem hukum tidak
bisa berdiri hanya berlandaskan pada kekuasaan orang atas orang lain.
Sebab itu Hart menolak teori Austin yang memahami esensi hukum
sebagai perintah yang disertai ancaman. Untuk bisa berjalan secara wajar
sebuah sistem hukum tidak hanya berdasarkan kekuasaan tapi juga
penerimaan sukarela dari orang yang ada dalam sistem ini . Namun
menurut Hart dikotomi antara hukum yang berdasarkan hanya pada
kekuasaan dan hukum yang diterima sebagai hal yang mengikat secara
moral bukanlah dikotomi yang lengkap (exhaustive). Hart berpendapat,
Bukan hanya ada kemungkinan bahwa sebagian besar pihak yang
tunduk pada hukum tidak memandangnya mengikat secara moral,
melainkan juga tidak benar bahwa mereka yang memang menerima
sistem ini secara sukarela pasti yakin bahwa mereka terikat
secara moral untuk melakukan hal itu. Dengan kata lain, kepatuhan
seseorang terhadap hukum tidak otomatis berasal dari pandangan moral.
Penerimaan warga negara terhadap hukum dapat berasal dari kebiasaan
atau keinginan untuk melakukan tindakan sebagaimana dilakukan orang
lain, meskipun Hart juga mengakui bahwa sebuah sistem hukum akan
lebih stabil jika orang-orang yang ada dalam sistem ini menerima
aturan berdasarkan dorongan moral. maka , dalam arti ini
pun tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moralitas.
Kedua, pengaruh moralitas terhadap hukum. Hukum dan moralitas
memiliki hubungan yang mutlak sebab keduanya memiliki hubungan
timbal balik. Moralitas suatu warga mempengaruhi produk hukum
dan hukum mempengaruhi pandangan baik dan buruk warga
ini . Jika ini yang dimaksud dengan hubungan mutlak antara
hukum dan moralitas maka Hart dengan sepenuh hati menerimanya.
Bahkan lebih jauh Hart berpendapat bahwa tak seorang positivis pun
menolak adanya fakta bahwa pandangan moral dapat masuk ke dalam
hukum.
Ketiga, interpretasi. Hart mengakui penerapan hukum pada
masalah yang samar-samar akan melibatkan pertimbangan tertentu,
pertimbangan yang menunjukkan bagaimana hukum seharusnya.
Keputusan yang diberikan hakim pada masalah tertentu, menurut Hart,
tidak semata berdasarkan pada kesewenang-wenangan, melainkan
dibimbing oleh prinsip-prinsip, kebijakan sosial, dan kepercayaan
moral; hukum yang ada dan hukum yang seharusnya berkelindan
dalam penafsiran hukum. saat menginterpretasi undang-undang dan
preseden, para hakim tidak dibatasi oleh alternatif-alternatif yang ada
dan kehendak pribadi, atau deduksi mekanis dari peraturan-peraturan
yang maknanya telah tertentukan secara definitif. Sering sekali pilihan
mereka dituntun oleh asumsi bahwa tujuan dari peraturan yang
tengah mereka interpretasi yaitu tujuan yang masuk akal, sehingga
peraturan itu tidak dimaksudkan untuk menghasilkan ketidakadilan
atau melanggar prinsip-prinsip moral yang mapan.
Meskipun demikian, Hart menolak kesimpulan bahwa sebab
pandangan moral turut berpengaruh dalam penafsiran hukum maka
keduanya berhubungan mutlak. Untuk sanggahan ini Hart mengajukan
tiga alasan. Pertama, standar-standar yang menjadi acuan bagaimana
hukum seharusnya, kenyataannya tidak semua diikuti. Kedua, hukum
yang seharusnya tidak mutlak mengacu pada moralitas. Menurut Hart,
kata harus merefleksikan adanya beberapa standar dan standar moral
hanya salah satu dari beberapa standar ini . Misalnya, sangat
mungkin terjadi seorang hakim mengeluarkan putusan berdasarkan
pada tujuan-tujuan sosial. Ketiga, pendapat mengenai kemutlakan
hubungan hukum dan moralitas juga berisi usulan untuk memperluas
arti hukum hingga mencakup standar, prinsip-prinsip, dan kebijakan
sosial yang juga menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan
sebuah perkara.
Terhadap perluasan makna hukum ini Hart mengajukan dua
sanggahan. Pertama, semua yang terlibat dalam proses pemutusan
hukum dapat diungkapkan dengan cara lain. Kita dapat mengatakan
bahwa hukum yang ada belum sempurna dan kita harus memutuskan
masalah -masalah penumbra secara rasional dengan mempertimbangkan
tujuan-tujuan sosial. Kedua, meletakkan hubungan antara hukum
dan moralitas seperti diusulkan Dworkin menyiratkan bahwa semua
persoalan hukum yaitu persoalan ketidakpastian seperti saat
menghadapi masalah penumbra. Pandangan ini menegaskan bahwa
hukum aktual tidak memiliki elemen utama yang dapat dilihat sebagai
makna yang paling mungkin saat mengartikan hukum. usaha untuk
memperluas arti hukum hingga mencakup prinsip-prinsip dan kebijakan
sosial menurut Hart lebih banyak menghinggapi orang-orang berpikiran
bahwa keputusan hukum berjalan secara mekanis dan formal. Padahal
dalam kenyataannya masalah ini sangat sedikit.
Keempat, kritik hukum. Pengertian lain yang mungkin muncul dari
pernyataan hukum memiliki hubungan mutlak dengan moralitas
yaitu bahwa sebuah sistem hukum yang baik harus sejalan dengan
moralitas. Hart juga menerima pengertian ini dengan beberapa catatan.
Hart berpendapat jika yang dimaksud moralitas di sini yaitu moralitas
yang berlaku dalam sebuah warga maka sistem hukum tidak perlu
menyesuaikan sepenuhnya dengan moralitas ini . Kemudian jika
moralitas yang dimaksud yaitu sistem moralitas yang umum dan
tercerahkan, maka banyak sistem hukum berjalan tanpa unsur-unsur
ini. maka , Hart tidak menolak sebuah sistem hukum sejalan
dengan moralitas, tapi ia berpandangan bahwa tidak semua sistem
hukum harus sesuai dengan moralitas. sebab itu hubungan keduanya
tidak mutlak.
Kelima, prinsip legalitas dan keadilan. Agar hukum bisa diterapkan
secara efektif, hukum harus dipahami oleh semua orang, diketahui
sebelum diundangkan, prospektif, diterapkan secara sama terhadap
semua orang, diterapkan secara imparsial, dan seterusnya. Bagi sebagian
orang adanya elemen-elemen ini menunjukkan kemutlakan
hubungan hukum dan moralitas atau, seperti disebut Lon Fuller,
elemen-elemen ini yaitu moralitas dalam (inner morality)
hukum. Namun bagi Hart, elemen-elemen ini juga ada dalam
sebuah sistem hukum yang secara moral jahat. Dengan kata lain,
elemen-elemen keadilan seperti hukum harus dapat dipahami semua
orang, diketahui sebelum diberlakukan, memiliki kemungkinan untuk
dilaksanakan, dan prospektif, bukanlah moralitas hukum melainkan
cara agar hukum bisa diterapkan secara efektif. Bahkan menurut Hart
pembedaan antara sistem hukum yang baik, yang sejalan dengan
moralitas dan keadilan, dan sistem yang buruk yaitu pembedaan yang
keliru, sebab menurutnya satu kadar minimum keadilan jelas terwujud
setiap kali perilaku manusia dikontrol oleh peraturan yang diumumkan
secara publik dan diterapkan secara yudisial. Namun apa yang dianggap
sebagai moralitas dan keadilan dalam hukum menurut Hart tidak lebih
dari standar prosedural yang diterapkan kebanyakan sistem hukum.
sebab itu, fakta adanya elemen-elemen keadilan dalam hukum tidak
dapat disimpulkan bahwa hukum memiliki hubungan mutlak dengan
moralitas.
Keenam, validitas hukum dan resistensi. Argumentasi terakhir untuk
mendukung tesis kesatuan hukum dan moralitas berkaitan dengan
pembangkangan terhadap hukum yang jahat. Menurut para pendukung
teori hukum kodrat, positivisme hukum akan menghalangi orang
untuk menentang hukum yang ditetapkan secara valid tapi berlawanan
dengan moral dan keadilan. Salah satu pemikir hukum kontemporer
yang disebut Hart yaitu Gustav Radbruch, salah satu teoretikus
hukum dari Jerman yang gencar mewartakan keterkaitan hukum dan
moralitas. Hukum yang valid, menurut Radbruch hanyalah hukum yang
sejalan dengan moralitas. Sebaliknya, hukum yang berlawanan dengan
moralitas dengan sendirinya tidak bisa disebut hukum. masalah yang
disitir Radbruch yaitu hukum yang diterapkan oleh rezim Nazi. Setelah
Perang Dunia II berakhir yang diikuti oleh kekalahan Nazi, di Jerman
diadakan serangkaian pengadilan terhadap para pejabat Nazi dan para
pengikutnya. Pertanyaan yang mengemuka saat itu adalah, bagaimana
menentukan status para simpatisan Nazi yang sebab alasan mematuhi
hukum telah mengorbankan banyak orang sebab laporan-laporannya
pada pihak Nazi. Bagi Radbruch status orang ini jelas bersalah
sebab telah mematuhi hukum yang berlawanan dengan moralitas.
sebab itu, dia harus dihukum. Jadi, jika mengikuti pendapat bahwa
hukum dan moralitas itu identik maka tindakan untuk menghukum
orang-orang yang mematuhi hukum yang jahat sangat mungkin
dilakukan. Sementara orang yang memegang pendapat bahwa hukum
dan moralitas itu terpisah, atau setidaknya tidak perlu berhubungan,
tindakan menghukum para simpatisan Nazi dan kritik terhadap hukum
yang jahat berdasarkan moralitas tidak bisa dilakukan. Bagaimana Hart
menanggapi argumen ini?
Menurut Hart usaha mengkritik hukum yang jahat dengan cara
mengidentikkan hukum dengan moralitas, dengan menyatakan bahwa
hukum yang jahat sebagai bukan hukum, yaitu usaha mengaburkan
isu yang sedang dihadapi, yaitu masalah hakikat hukum dan moralitas.
Menurutnya, untuk mengkritik hukum yang jahat, hukum yang
diundangkan Hitler misalnya, kita cukup mengatakan bahwa hukum
ini tetaplah hukum meskipun terlalu jahat untuk dipatuhi.
Pernyataan ini, tegas Hart, yaitu kutukan moral yang dapat
dipahami semua orang dan langsung berhubungan dengan masalah
moral. Sebaliknya, jika merumuskan penolakan kita pada hukum yang
jahat itu dengan menyatakan hukum yang jahat ini sebagai bukan
hukum, maka pernyataan ini tidak akan dipercayai orang. Maksud Hart
dengan pernyataan ini yaitu bahwa kritik moral terhadap hukum dapat
dirumuskan secara sederhana dan jelas tanpa harus merumuskannya
dalam proposisi filosofis yang kabur dan debatable. Menyatakan bahwa
hukum yang jahat sebagai bukan hukum tidak sesuai dengan fakta
yang ada dalam sebuah sistem hukum. Hukum, faktanya, ada yang
sejalan dan ada yang berlawanan dengan moralitas. Memberi status
hukum hanya pada hukum yang sejalan dengan moralitas berarti
menghilangkan aturan-aturan lain yang memiliki ciri-ciri kuat sebagai
hukum namun berlawanan dengan moralitas. Menurut Hart hal ini
akan menjadikan usaha mengenali hukum menjadi tidak lengkap.
Selain itu, Hart juga ingin menunjukkan bahwa memegang pendapat
mengenai adanya keterpisahan hukum dan moralitas sama sekali tidak
menghalangi komitmen untuk mempertimbangkan hukum berdasarkan
moralitas. Dalam The Concept of Law Hart menjelaskan lebih jauh
kekurangan pandangan yang mengidentikkan hukum dengan moralitas
dan menunjukkan keunggulan dari konsep hukumnya sendiri yang
memasukkan semua hukum, termasuk hukum yang berlawanan dengan
moralitas. Hart menyebut pandangan yang hanya menerima hukum
yang sejalan dengan moralitas sebagai konsep hukum yang lebih sempit
sementara konsep hukum Hart dan positivis lainnya ia sebut sebagai
konsep hukum yang lebih luas. Argumentasi Hart mengenai pemisahan
hukum dan moralitas, salah satunya, didasarkan pada uraiannya
mengenai kekurangan penggunaan konsep hukum yang lebih sempit ini.
Konsep hukum yang lebih sempit memiliki kelemahan baik secara
teoretis maupun praktis. Secara teoretis, konsep hukum yang lebih
sempit hanya menerima hukum yang sejalan dengan moralitas dan
dengan sendirinya menyingkirkan aturan-aturan yang secara formal
valid namun berlawanan dengan moralitas. Konsep hukum yang lebih
sempit, lanjut Hart, tidak lain usulan keliru untuk meninggalkan studi
atas peraturan-peraturan demikian (aturan-aturan yang secara moral
menyimpang) untuk dikaji oleh disiplin lainnya. Sebaliknya, jika kita
memakai konsep hukum yang lebih luas kita dapat menampung
studi mengenai ciri-ciri hukum yang secara moral jahat, dan reaksi
warga terhadapnya. Lalu apa kegunaan praktis dari penggunaan
konsep hukum yang lebih luas? menurut Hart penggunaan konsep
hukum yang lebih luas, yang di dalamnya mencakup pengakuan adanya
hukum yang valid tapi jahat, akan membimbing orang untuk memahami
bahwa sebaik apa pun sebuah sistem hukum dijalankan tetap memliki
peluang untuk disalahgunakan dan sebab itu ketentuan-ketentuannya
pada akhirnya harus tunduk pada pengawasan moral.
Bagi Hart isu paling penting terkait pemisahan hukum dan moralitas
barangkali yaitu soal kritik terhadap hukum itu sendiri. Mengikuti
pandangan Bentham dan Austin, Hart berpandangan identifikasi
antara moral dan hukum akan mengarah pada dua kemungkinan yaitu
konservatisme dan anarkisme. Di satu sisi, jika orang menyamakan
hukum dan moralitas maka ia akan berpandangan bahwa hukum,
bagaimanapun bentuknya, akan ia anggap sebagai pandangan moral.
Akibatnya, ia tidak bisa lagi untuk menentang atau mengubahnya. Pada
sisi lain, ia mungkin akan mengabaikan semua hukum yang bertentangan
dengan pandangan moral pribadinya meskipun ongkos untuk itu sangat
mahal seperti menentang hukum yang melindungi kepentingan umum
misalnya. Dari uraian mengenai hubungan hukum dan moralitas di
atas kiranya kita dapat meringkas beberapa hal penting. Pertama, Hart
tidak menolak adanya hubungan hukum dan moralitas. Kedua, bahwa
yang ditegaskan Hart mengenai keterpisahan hukum dan moralitas
sebetulnya yaitu usaha menunjukkan hubungan keduanya tidak
bersifat mutlak atau perlu; definisi hukum tidak perlu mengacu pada
moralitas. Ketiga, mengidentikkan hukum dengan moralitas menurut
Hart akan memicu kekaburan usaha memecahkan masalah
hukum dan moralitas itu sendiri. Selain itu, menyamakan hukum
dengan moralitas secara praktis pada dua sikap yang membahayakan,
yaitu konservatisme dan anarkisme. Para konservatif akan memahami
perintah hukum, apa pun isi perintah itu, yaitu perintah moral. sebab
itu, hukum menjadi tertutup, tidak bisa dikritik. Sementara para anarkis
akan berbuat sekehendak hatinya pada hukum. Jika hukum itu tidak
sejalan dengan pandangan moralnya maka ia akan menentang meskipun
untuk itu ia harus mengorbankan kepentingan warga umum.
Ringkasnya, desakan Hart untuk memisahkan hukum dan moralitas
justru dimaksudkan untuk membuat hukum itu sendiri terbuka pada
kritik moral.
Istilah moral berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores) yang
berarti adat, kebiasaan. Moral secara istilah yaitu nilai-nilai atau norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas yaitu sifat moral atau
keseluruhan asas/pilar dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
K. Bertens mengatakan moralitas yaitu ciri khas manusia yang
tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi.
sebab norma moral yaitu standar perilaku yang disepakati,
maka moral bisa dipakai untuk mengukur perilaku orang lain. Oleh
sebab itu, norma moral yaitu tolak ukur yang dipakai warga
untuk mengukur kebaikan seseorang. Lawrence Kohlberg mengatakan
bahwa orientasi moral seseorang yang dijadikan dasar pertimbangan
nuraninya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada 4 orientasi moral yang
Kohlberg kemukakan, yaitu:
1. Orientasi normatif yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan
taat pada aturan yang telah baku.
2. Orientasi kejujuran yaitu menekankan pada keadilan dengan fokus
pada:
a) kebebasan;
b) kesamaan;
c) pertukaran hak;
d) kesepakatan.
3. Orientasi utilitarianisme menekankan konsekuensi kesejahteraan
dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain.
4. Orientasi perfeksionisme menekankan pencapaian:
a) martabat dan otonomi;
b) kesadaran dan motif yang baik;
c) keharmonisan dengan orang lain.
Oleh sebab itu orientasi moral akan sangat berpengaruh terhadap
moralitas dan pertimbangan moral seseorang, sebab pertimbangan
moral yaitu hasil proses penalaran yang dalam proses penalaran
ini ada usaha memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan
orientasi moral serta pertimbangan konsekuensinya.
Mochtar Kususmaatmadja mengatakan “Hukum yang baik yaitu
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam
warga , yang tentunya sesuai pula atau yaitu pencerminan
dari nilai-nilai yang berlaku dalam warga ini ”. Hubungan
manusia dengan hukum yaitu bahwa setiap saat manusia dikuasai oleh
hukum. Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan
masih mencampurinya sesudah manusia meninggal. Hukum melindungi
benih di kandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang yang sudah
mati. Hukum berlaku pada seorang individu saat baru dilahirkan,
memberikan hak-hak terhadap orang tua, dan meletakkan kewajiban
atas orang tua terhadap anak-anaknya.
Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti
meniadakan kaidah-kaidah lain ini , bahkan antara kaidah hukum
dengan kaidah lain ini saling berhubungan yang satu memperkuat
lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau serasi
dengan kaidah-kaidah ini . Hukum tidak lain hanyalah yaitu
sarana bagi penyelenggara hukum untuk mengerahkan cara berpikir
dan bertindak dalam rangka kebijakan (policy) tujuan nasional. Dalam
kediriannya, secara inheren, tidak ada sangkut pautnya dengan
“keadilan” dan “kebenaran” dalam makna yang hakiki.
B. Fungsi dari Moral dan Hukum dalam Kehidupan Manusia
Moral dan hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat sekali.
Pemahaman akan nilai dan kebernilaian diri akan membawa implikasi
pada permasalahan moralitas. Moralitas diidentikkan dengan perbuatan
baik dan perbuatan buruk (etika), yang mana cara mengukurnya
yaitu melalui nilai-nilai yang terkandung dalam perbuatan ini .
Sedangkan perbuatan-perbuatan manusia agar tidak merugikan orang
lain atau warga dan dapat menciptakan ketertiban serta dapat
menjaga keutuhan warga , maka dibuatlah hukum yang mengatur
tentang hubungan sosial warga .
Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum memiliki fungsi
yaitu untuk melayani manusia. Setidaknya dapat dikemukakan tiga
fungsi eksplisitnya dalam kehidupan manusia. Pertama, berfungsi
mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan
sesama sebagai bagian dari warga . Hal ini mengingatkan manusia
agar memperhatikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup.
Kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral
yang kurang ditanggapi manusia. Hal ini menunjuk dimensi moral dari
permasalahan yang sedang dihadapi warga . Terjadinya kekacauan
atau ketidakberesan dalam warga selalu berhubungan dengan
longgarnya penerapan moralitas dan hukum. Ketiga, dapat menjadi
penarik perhatian manusia kepada gejala “pembiasaan emosional”.
Maksudnya, dapat menggiring manusia kepada faktor-faktor emosional
sehingga manusia dapat saja salah atau keliru pada saat memilih sesuatu.
Selain itu fungsi dari moral dan hukum yaitu dalam rangka
untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan
dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum
ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah
dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan.
Meskipun kaidah-kaidah ini ikut berusaha menyelenggarakan
dan melindungi serta menjamin kepentingan orang dalam warga ,
namun belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat
ada kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi
lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi
maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan
warga dan nyata berlaku dalam warga , disebut hukum positif.
Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai “diferensi”
(perbedaan) dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam warga
tampil lebih jelas, tegas, dan didukung oleh perlengkapan yang
cukup agar diikuti oleh anggota warga . Sifat dan peraturan
hukum ini yaitu memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih
dalam. Pengertian memaksa bukanlah senantiasa dipaksakan, apalagi
dengan tindakan sewenang-wenang. Sebab hukum itu yaitu
konkretisasi dari sistem nilai yang berlaku dalam warga , yang perlu
mempertimbangkan tiga hal penting yaitu sebagai sistem norma, sebagai
sistem kontrol sosial, dan sebagai social engineering(pemegang kekuasaan
memelopori proses pengkaidahannya). Bahkan tatkala terjadi dilema
di dalam hukum itu sendiri, yang dapat disebabkan sebab adanya
konflik, baik dari lembaga-lembaga hukum, sarana prasarana hukum,
bahkan rendahnya budaya hukum dalam warga , maka setiap
orang (warga dan aparatur hukum) harus mengembalikannnya
pada rasa keadilan hukum warga , artinya harus mengutamakan
moralitas warga .
C. Moral, Moralitas, dan Etika
1. Perbedaan Antara Etika dan Moral
Etika dan moral sama artinya namun dalam pemakaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai
yang ada.
Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani
yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten,
dan bahasa Arab disebut dengan qalb, fu’a d. Dalam kesadaran moral
mencakup tiga hal, yaitu:
a. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang
bermoral.
b. Kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu
suatu perbuatan yang secara umum dapat diterima oleh warga ,
sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal,
artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi
setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
c. Kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat sampai pada suatu
kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau
sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh warga .
Nilai atau sistem hidup ini diyakini oleh warga sebagai
yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan
ketenteraman. Nilai-nilai ini ada yang berkaitan dengan
perasaan wajib, rasional, berlaku umum, dan kebebasan. Jika
nilai-nilai ini telah mendarah daging dalam diri seseorang,
maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang
demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan
tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada
pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan
moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat,
etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal
(umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran,
etika menjelaskan ukuran itu. Namun demikian, dalam beberapa hal
antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam
pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk memakai tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan
dalam pembicaraan moral tolak ukur yang dipakai yaitu norma-
norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di warga .
Dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan.
Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk memakai tolak ukur akal
pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang dipakai
yaitu norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung
di warga . Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis
dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan moral berada dalam
dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di
warga .
Etika dan moral sama artinya namun dalam pemakaian sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai yang ada. Namun, etika, moral, susila, dan akhlak tetap saling
berhubungan dan memerlukan . Uraian ini di atas menunjukkan
dengan jelas bahwa etika, moral, dan susila berasal dari produk rasio dan
budaya warga yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat
dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal
dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur’an
dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral, dan susila berasal dari
manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
2. Hubungan Etika dan Moral
Pandangan filsafat terhadap tujuan etika ialah mendapatkan ide yang
sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran
tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran manusia. Akan namun dalam usaha mencapai tujuan itu,
etika mengalami kesulitan, sebab pandangan masing-masing golongan
dunia ini tentang baik dan buruk memiliki ukuran (kriteria) yang
berlainan. Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan
dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek
pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan
oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber
pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak
bersifat mutlak, absolut, dan tidak pula universal. Ketiga, dilihat dari
segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap
terhadap suatu perbuatan ini akan dinilai baik, buruk, mulia,
terhormat, terhina, dan sebagainya. Dan keempat, dilihat dari segi
sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai tuntutan
zaman. Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih yaitu
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan usaha menentukan
perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk.
Dengan kata lain etika yaitu aturan atau pola tingkah laku yang
dihasilkan oleh akal manusia. Moral sesuai dengan ide-ide yang umum
diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang
wajar. Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada
pula perbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan
moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat,
etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal
(umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran,
etika menjelaskan ukuran itu. Namun demikian, dalam beberapa hal
antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam
pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk memakai tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan
dalam pembicaraan moral tolak ukur yang dipakai yaitu norma-
norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di warga .
Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada
dalam konsep-konsep, sedangkan moral berada dalam dataran realitas
dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di warga .
Etika dan moral sama artinya namun dalam pemakaian sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai yang ada. Namun, etika, moral, susila, dan akhlak tetap saling
berhubungan dan memerlukan . Uraian ini di atas menunjukkan
dengan jelas bahwa etika, moral, dan susila berasal dari produk rasio dan
budaya warga yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat
dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal
dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur’an
dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral, dan susila berasal dari
manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
De Vos menyatakan bahwa moral yaitu keseluruhan aturan,
kaidah, atau hukum yang berbentuk perintah dan larangan, yang
mengatur perilaku manusia dan warga di mana manusia itu berada.
Bertens sebagaimana dijabarkan dalam bab sebelumnya mengatakan
bahwa moral dekat dengan kata “etika”. Kata moral berasal dari bahasa
latin mos, dengan bentuk jamaknya yaitu mores yang dapat diartikan
sebagai adat kebiasaan.
Sering dikatakan bahwa moral yaitu bagian dari moralitas.
Moralitas sendiri berasal dari bahasa latin “moralis” yang dapat diartikan
sebagai suatu sikap, watak, atau sebuah perilaku yang pantas. Long
dan Sedley, dalam bukunya “The Hellenistic Philosophers Translations of the
Principal Sources with Philosophical Commentary” mendefinisikan moralitas
sebagai:
“differentiation of intentions, decisions and actions between those that are
distinguished as proper and those that are improper.”
Beranjak dari pengertian tentang moral dan moralitas yang
dikemukakan oleh para ahli di atas, penulis mendefinisikan moralitas
sebagai suatu sikap batin atau kondisi yang sadar penuh akan moral.
Sikap batin, yang dipenuhi dengan ide-ide tentang moral akan
menciptakan manusia yang memiliki moralitas. Dapat diibaratkan,
moral yaitu kedelai dan moralitas yaitu sebuah tahu. Moral dan
moralitas tidaklah sama, akan namun morallah yang menciptakan
moralitas.
3. Faktor Penentu Moralitas
Tidak ada suatu hal pun di dunia ini yang tidak memiliki sebab. Misalnya
saja saat terbentuknya negara hukum rechstaat. Tidak seperti negara
hukum rule of law yang dimulai dari evolusioner, rechstaat dimulai dari
pemikiran untuk menelikung absolutisme negara, sehingga terjadinya
revolusi. Sama halnya dengan moralitas, ia dimulai dari sesuatu, dan
ia juga ditentukan oleh suatu kondisi tertentu. Seperti halnya rechtstaat
yang ditentukan dari adanya sikap dan tujuan tertentu yaitu untuk
melepaskan diri dari absolutisme negara, moralitas juga ditentukan
oleh beberapa faktor penentu timbulnya moralitas. Menurut penulis
ada beberapa faktor penentu moralitas, yang secara garis besar
dibedakan menjadi faktor internal dan juga faktor eksternal.
a. Faktor Internal
Faktor internal penentu moralitas berarti bahwa moralitas itu
mulanya beranjak dari mempengaruhi masing-masing manusia. Ide dasar ini
mirip dengan konsep hukum kodrati (natural law) yang dibawakan
oleh Thomas Aquinas. Menurutnya, hukum kodrati yaitu hukum
yang bersumber dari nilai-nilai alamiah yang sudah tertanam dalam
diri manusia. sebab Aquinas yaitu seorang teolog, maka ia
menyatakan bahwa nilai-nilai ini berasal dari Tuhan. Singkatnya,
Aquinas menyatakan bahwa hukum kodrati ialah hukum yang berasal
dari Tuhan dan nilai-nilai ketuhanan ini telah ditanamkan dalam
pikiran manusia untuk ditemukan sendiri, bukan diciptakan sendiri.
Namun berbeda dengan moralitas, ia terbentuk dari adanya nilai-nilai
moral yang ditanamkan Tuhan pada pikiran manusia.
Nilai-nilai moral itu lalu ditentukan oleh apa dan bagaimana
manusia dalam menjalankan hidupnya. Tuhan memang menanamkan
nilai-nilai moral pada pikiran manusia, namun manusia harus
menemukan itu sendiri dalam prosesnya. Untuk menemukan itu
menurut penulis, faktor penentunya berkaitan dengan apa tujuan
manusia itu hidup.
Segala sesuatu pasti bermula dari satu titik tertentu, sebuah
kesimpulan pun sama, ia bermula dari suatu konsep. sebab nya acap
kali dalam mempelajari ilmu hukum, kita sering menemukan istilah
ex falso quodlibet yang memiliki arti kesalahan suatu konsep akan
menimbulkan suatu kesimpulan yang salah. Konsep itu sendiri berisi
hakikat dari konsep itu (Ontologi), tujuan dari konsep itu (Aksiologi),
dan terakhir dari mana konsep itu berasal (epistemologi). Moralitas juga
yaitu sebuah konsep, karenanya ia harus memenuhi unsur-unsur
ini . Secara epistemologis misalnya, ia berasal dari Tuhan, secara
Ontologis ia berisi nilai-nilai moral yang ditanamkan Tuhan kepada
manusia, karenanya ia sudah pasti baik. Terakhir secara aksiologis ia
harus memiliki tujuan yang baik. Singkat kata, faktor internal penentu
moralitas ialah suatu tujuan yang ada pada batin dan perbuatan manusia.
Tujuan sendiri terbagi dalam dua, yaitu tujuan mengenai apa yang
diinginkan seorang manusia. Manusia yang memiliki keinginan yang
baik akan menghasilkan moralitas yang baik. Misalnya, seseorang
yang menjadi hakim dengan keinginan untuk memberikan keadilan
bagi semua pihak yang berperkara akan memutuskan segala perkara
persidangan dengan seadil-adilnya. Tujuan yang kedua ialah apa yang
ingin dicapai. Misalnya, seorang hakim yang memiliki keinginan untuk
memberikan keadilan bagi semua orang, memiliki tujuan akhir untuk
menjaga ketertiban kehidupan berwarga dan berbangsa. sebab
saat keadilan telah tercapai, maka akan t