filsafat hukum 4

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 4


kan, menginterpretasi, mensistematisasi 
bahan-bahan hukum yang terdiri asas-asas, aturan-aturan, dan putusan-
putusan hukum untuk menetapkan hukumnya yang berlaku atas 
masalah hukum yang timbul. Penyelesaian masalah  tidak dimulai dengan 
aturan-aturan hukum, melainkan dimulai dengan masalah, yang berupa 
memaparkan sejumlah fakta, hubungan-hubungan, dan kejadian-
kejadian yang di dalamnya tersembunyi satu atau lebih masalah yuridis. 
   
G. Van Der Burght dan J.D.C. Winkelman menjelaskan bahwa ada 
7 (tujuh) langkah penyelesaian masalah , yaitu: 
1.  Pemaparan singkat duduk perkara (skematisasi) 
 Langkah ini berkenaan dengan penataan sekelompok fakta-fakta 
dan kejadian-kejadian hingga mewujudkan suatu keseluruhan yang 
jelas dan berkerangka umum (berwujud sebuah ikhtisar) atau suatu 
gambaran umum menyeluruh (overzichtelijk). 
2.  Penerjemahan masalah  ke dalam peristilahan yuridis (kualifikasi) 
 Fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang telah tertata itu selanjutnya 
harus diterjemahkan ke dalam peristilahan yuridis berdasarkan 
aturan hukum yang mungkin terpilih untuk diterapkan. Langkah 
ini disebut tindakan mengkualifikasi. Pada fase ini, yang dilakukan 
yaitu meletakkan hubungan antara fakta-fakta dan aturan-aturan 
hukum. 
3.  Seleksi aturan-aturan hukum yang relevan 
 Pada fase ini orang dikonfrontasikan (dihadapkan) pada pertanyaan: 
di mana dan dengan cara apa saya temukan aturan-aturan hukum 
yang dapat diterapkan pada masalah  itu. Tempat menentukan dari 
sumber-sumber pengenalan (hukum) atau sumber hukum formal 
yang penting dari hukum kita yaitu perundang-undangan, putusan 
hakim (peradilan), dan kepustakaan hukum dalam majalah-majalah 
dan buku-buku. 
4.  Analisis dan interpretasi aturan-aturan hukum 
 Tentang aturan-aturan hukum, hendaknya jangan hanya terfokus 
pada aturan-aturan hukum yang tercantum dalam pasal-pasal 
undang-undang saja. Banyak aturan hukum (yang dinamakan 
hukum tidak tertulis) yang tidak secara harfiah dapat ditemukan 
kembali dalam undang-undang, namun  dalam perjalanan waktu 
dibentuk dan dikembangkan oleh peradilan. Segera setelah aturan-
aturan hukum yang dapat diterapkan ditemukan dan diseleksi, 
maka isi (dari teks) dari aturan hukum itu harus ditetapkan dan 
diuraikan (dijelaskan, ditafsirkan). 
 Dalam penerapan hukum, seorang hakim dituntut untuk selalu 
memperhatikan perasaan keadilan dalam warga , sebab semakin 
dinamisnya kehidupan warga  akan memicu kaidah hukum 
selalu tertinggal, sehingga hakim harus menghidupkannya seiring 
dengan perubahan dan rasa keadilan warga . 
 Secara teknis metode-metode interpretasi dapat dibagi ke dalam 
metode penafsiran, yakni penafsiran gramatikal, sistematis, 
sejarah, teleologis, autentik, dan metode konstruksi, yakni analogi, 
penghalusan hukum (rechtsvefijning), dan argumentum a contrario. 
5.  Penerapan aturan-aturan hukum pada masalah  
 Jika arti dari suatu aturan hukum dan akibat-akibat hukum yang 
terkait pada aturan hukum itu melalui penelaahan, analisis, dan 
interpretasi telah ditetapkan, maka apa yang ditemukan itu harus 
diterapkan pada masalah  yang tengah dihadapi. 
6.  Mengevaluasi dan menimbang argumentasi dan penyelesaian 
 Sering terjadi bahwa terhadap satu aturan hukum dapat diberikan 
lebih dari satu interpretasi. Untuk masing-masing interpretasi itu 
diajukan argumen-argumen untuk mendukungnya. Pada umumnya 
dimungkinkan bahwa interpretasi yang bersangkutan telah turut 
diberikan oleh konsekuensi-konsekuensi yang terkait padanya bagi 
(pihak-pihak dalam) masalah  ini . 
 Hal menimbang berbagai argumen yang berbeda dapat ditentukan 
(dipengaruhi) oleh sikap dari para yuris terhadap gejala-gejala dan 
masalah-masalah individual dan kewarga an. 
7.  Formulasi penyelesaian 
 Jika setelah menjalani berbagai fase, akhirnya penyelesaian untuk 
masalah  itu ditemukan, maka penyelesaian itu harus dipaparkan dalam 
bahasa yang jelas dan dapat dipahami. Hal demikian itu disertai 
dengan suatu susunan yang berkerangka umum dan pembagian 
serta penanganan butir demi butir dari masalah  itu. 
Ketujuh langkah ini, yaitu landasan dasar epistemologis yang 
perlu ditempuh oleh seorang hakim untuk menyelesaikan suatu perkara 
yang dihadapinya. Melalui langkah demikian, penerapan aturan-aturan 
hukum tertulis yang ada  dalam peraturan perundang-undangan 
(law in book) akan dapat memenuhi perasaan keadilan yang berkembang 
dalam warga , sebab memang dalam menerapkan hukum seorang 
hakim harus memperhatikan hukum yang hidup dalam warga  
(living law).
   
1. Epistemologi Penelitian Hukum
a.  Positivisme Logikal
Beberapa Tokoh:
• GE More (1873-1958).
• Bertrand Russel (1872-1970).
• LWittgenstein.
• Rudolf Carnap (1891-1970).
Inti Pemikiran:
“Ilmu yaitu pengetahuan ilmiah yang telah teruji secara benar 
menurut prosedur sains tentang sesuatu kejadian di alam empiris.”
Metode Berpikir: Metode empiris dengan memakai  penalaran 
logika induktif.
Medan Uji: Verifikasi fakta yang dapat diobservasi secara empiris.
Teori Kebenaran: Teori kebenaran korespondensi (kebenaran yaitu 
kesesuaian antara proposisi dengan fakta).
Keterbatasan Positivisme Logikal:
1) Suatu teori pada dasarnya yaitu pendekatan yang dipakai  untuk 
telah dilakukan wajib menjawab dari permasalahan yang dihadapinya. 
Menjawab permasalahan pokok tertentu, artinya pembuktian yang 
telah dilakukan wajib menjawab dari permasalahan yang dihadapinya. 
Namun pada aplikasinya, suatu teori memiliki kecenderungan yang 
senyatanya mendominasi alternatif yang diberikan oleh solusi teori 
lainnya, alhasil maka teori awal yang dipilih seolah menjadi doktrin 
religius yang tidak dan tak boleh dibantah. Contoh: Galileo Galilei 
harus mati untuk memberikan teori bahwa “bumi bulat”. Hegemoni 
atas prestise gelar “profesor” memutuskan pendapat orang lain yang 
mungkin bernilai benar, namun senyatanya sebab hal ini sudah 
distandardisasi dan digeneralisasikan melalui UU dan juga dengan 
rendah pendidikan formal, maka menyempitkan “duduk sama tinggi, 
berdiri sama rendah”.
2) Lalu, kejanggalan teori yang sudah terakreditasi, padahal masih 
wajib untuk diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang 
dapat menunjukkan ketidakbenarannya, artinya terjadi proses 
pembalikan nilai. Pada awalnya teori wajib didukung fakta umum, 
namun lalu  akan teruji dengan fakta yang muncul lalu  
mengiringi permasalahan awalnya. maka , pembenahan 
terhadap kekurangan atau kelemahan suatu teori wajib diberi ruang 
untuk itu. Kalau sedemikian, maka dapatlah terjadi regenerasi teori 
untuk suatu permasalahan yang sama. Oleh karenanya, proses 
pembuktian wajib menjadi media logika baku bagi mereka yang 
prada di jenjang formal ataupun nonformal. Contoh: tidak setiap 
putusan hakim akan selalu bernilai “benar”, sekalipun fakta, saksi 
dan bukti telah diperiksa.
3) Positivisme logis beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada 
dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman 
atau fakta nyata dengan memakai  ilmu pasti dan logika, 
menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan yaitu 
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan. Artinya, positivisme 
sendiri menyerang keberadaannya dengan dalil-dalil yang ada, 
sebab lingkup observasi yang cenderung menyempit, saat  terjadi 
perluasan arena penelitian maka berkemungkinan menjadi # (tidak 
sama dengan). Hal ini menandakan bahwa positivisme logis, tidak 
bisa diberlakukan secara umum, akan namun  hanyalah untuk lex 
specialis. Contoh: beras menjadi makanan pokok bagi WNI yang 
berada di bagian barat, namun hal ini termentahkan oleh WNI di 
bagian timur yang menjadikan sagu atau gandum sebagai makanan 
pokoknya. sebab  itulah “lain padang-lain belalang” sehingga dapat 
mementahkan teori positivisme logis.
 Teori positivisme logis, lambat, dan bahkan tidak dapat menerima 
probability yang akan terjadi pada masa yang akan datang sekalipun 
hal itu telah diprediksi oleh sebagian kecil, sebab metode induktif 
menghendaki fakta dan data terlebih dahulu, sebagai bahan 
observasi.
b. Rasionalisme Kritis
Tokoh: Karl Raymund Poper (1902-1994)
 Inti Pemikiran:
“Ilmu bersumber dari akal budi manusia yang memahami kebenaran 
realitas, tidak tergantung kepada pengamatan, pengalaman, dan 
penggunaan metode empiris”.
   
Metode Berpikir: Metode deduktif dengan memakai  penalaran 
atau logika deduktif.
Medan Uji: Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi 
indrawi, namun  dengan kriteria konsistensi logis.
Teori Kebenaran: teori kebenaran koherensi (kebenaran yaitu 
kesesuaian antara proposisi dengan ide-ide proposisi terdahulu). 
Keterbatasan Rasionalisme Kritis:
1) Teori ini terbentur dengan kenyataan yang mendasarkan bahwa, 
pemikiran yang dinyatakan oleh seorang manusia pun masih 
terikat pada apa yang disebut indrawi. Secara harfiah, maka ada 
fase yang akan dilewati seorang bayi yang baru lahir untuk tidak 
dapat bertanya pada siapa atau apa pun tentang “who am i?”. Artinya 
proses badaniah manusia juga memerlukan tahapan untuk sampai 
pada apa yang disebut sebagai berpikir.
2) Pemikiran awal seseorang tidak lantas akan dapat langsung 
mengkritisi pendapat orang lain atau menegakkan argumentasi 
untuk suatu pembelaan terhadap pemikirannya sendiri, sebelum ia 
mengetahui hukum tahu. Artinya, pengalaman yaitu proses 
yang wajib dijalani setiap makhluk, tanpa disertai perintah atau 
keharusan.
3) Rasionalisme, menganjurkan agar pengetahuan itu diukur 
dengan kriteria konsistensi logis. Sementara rasionalisme sendiri 
yaitu bagian dari pengetahuan. Jadi sampai kapankah proses 
uji antinomi ini  akan berlangsung jika tidak dikomparasikan 
dengan “empirisme”. Jikalau tidak, apakah yang menjadi ukurannya. 
Sedangkan rasionalisme sendiri “mewajibkan” agar pengetahuan 
yang ada diuji dengan ketidakbenarannya artinya empirisme bisa 
juga menjadi batu uji bagi rasionalisme, namun dalil yang telah 
dikeluarkan rasionalisme telah terbantah dengan sendirinya. 
Artinya rasionalisme pun telah “menutup” diri atau mendogmakan 
diri dari suatu pembuktian yang tentunya akan menghambat 
kemajuan ilmu dan pengetahuan yang menjadi tujuannya pula.
4) Rasionalisme mendalilkan “diri” sebagai “aksioma” (yang tidak 
perlu lagi untuk dibuktikan). Masalahnya adalah, apakah segala 
sesuatu yang secara umum diakui kebenarannya tidak perlu lagi 
dipertentangkan.

5) Rasionalitas tidak bisa menghadirkan atau memproduksi nyawa, 
namun mungkin cloning dimungkinkan. Artinya, rasio itu hidup 
dalam dunia murni atau dunia ide, bukan terapan dengan demikian 
hanya ide yang dapat menyerapnya, rasio berada pada dimensi yang 
berbeda dari dimensi indrawi.
6) Multidisipliner hukum akan terbawa pada matematika murni, 
yang berarti sebab semua pengertian dinyatakan dalam dalil-dalil 
atau rumus-rumus artinya setiap anak yang memasuki jenjang 
pendidikan akan bertemu angka sebagai pedoman kata untuk 
berkalimat, bukan huruf agar mempermudah sinkronisasi ilmu 
yang satu dengan yang lain dengan tujuan agar setiap kata dapat 
terbukti kebenarannya dalam dunia keseharian.
7) Dengan medan uji teori rasionalisme kritis yang memproses 
kebenaran dengan tidak diuji melalui prosedur verifikasi indrawi, 
namun  dengan kriteria konsistensi logis termasuk pada ranah 
hukum, maka tidak pernah ada yang namanya pluralisme hukum, 
agama dan keyakinan, sebab ketentuan umum yang harus ditaati 
bagaimana cara mereka beribadah, apalagi tentang adat istiadat. 
Semua permasalahan sosial wajib telah disediakan solusinya, 
bahkan sebelum permasalahan itu nyata terjadi. Artinya, tidak 
ada tempat bagi hakim untuk menemukan hukum baru, apalagi 
melakukan penilaian sehingga hanya akan menjadi corong undang-
undang semata. Namun apakah mungkin demikian?
8) Pengetahuan yang dibangun oleh rasionalisme hanyalah ide. 
Jadi, hanya ide jua pula yang akan mengetahuinya, indrawi akan 
dikesampingkan. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun 
yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua 
orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kebanyakan 
orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep rasionalisme 
ke dalam kehidupan keseharian yang praktis, oleh karenanya 
ada  kegagalan dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan 
pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu 
waktu lalu  berubah pada waktu yang lain.
Adalah benar, ada bagian dari rasionalisme kritis dalam dunia hukum 
di negara kita , namun harusnya, ada pengkualifikasian antara rasio terapan 
dan rasio murni, agar tidak terjadi sesat logika untuk sampai dialektika.
   
c. Hermeneutik
Beberapa Tokoh:
• F Schleiermacher (1768-1834).
• Wilhelm Dilthey (1833-1911).
• Martin Heidegger (1889-1976).
• Hans George Gadamer(1900-2002).
Inti Pemikiran:
“Ilmu yaitu pengetahuan ilmiah yang diperoleh dengan cara 
interpretasi, dan eksplanasi terhadap teks, peristiwa, dan 
pemikiran”.
Metode Berpikir: Metode hermeneutik, interpretasi makna teks, 
peristiwa pemikiran (secara deduktif) sesuai konteks (secara 
induktif) dan mengkontekstualisasikannya sehingga direproduksi 
makna baru (terkini). 
Medan Uji: Interpretasi dan eksplanasi teks secara kontekstual 
untuk menemukan makna teks yang baru.
Teori Kebenaran: Teori kebenaran pragmatis (kebenaran yaitu 
kesesuaian antara proposisi dengan kepentingan praktis).
Keterbatasan Hermeneutik:
1) Pendefinisian terhadap satu “kata” oleh hermeneutik, mengalami 
pembakuan makna yang belum tentu ada  padanan maknanya 
pada daerah lainnya, mengalami pendeduktifan, namun 
pendeduktifan makna membuat “kata” mengalami makna bias yang 
tidak wajar, seolah dipaksakan. Hal ini memicu “kata” itu 
sendiri menjadi makna yang inkonsisten. Contoh: kata “konstruksi” 
bisa diartikan melaksanakan, membangun. Dalam kajian bidang 
hukum kata “konstruksi” cenderung dimaknai “membangun”, 
namun terkadang juga bisa dimaknai keduanya, bergonta-ganti, 
sehingga bisa mengalami penyerapan arti kata yang berbeda.
2) Pendefinisian kata pada hermeneutik dapat memberikan batasan 
formal yang keliru bahkan menyesatkan. Raihan gelar pada jenjang 
strata dalam dunia pendidikan contohnya, gelar “Doktor” belum 
tentu menjadi dan terbukti terpredikat secara nyata, namun untuk 
suatu kepentingan kata “Doktor” dapat dibeli demi prestise. 

Namun yang memperparah hal ini tentunya, kita tidak pernah tahu 
“ranking” berapa ia di kelasnya, apakah gelar “kata”ini  dapat 
dengan benar untuk dipertanggungjawabkan.
3) Tidak adanya aturan baku dalam penggunaan kata tertentu pada 
setiap bidang kajian ilmu juga dapat memberikan pemikiran yang 
keliru (contoh: penggunaan istilah ius atau lex), namun kesan yang 
hendak ditampilkan dalam penggunaan kata ini lah sebetulnya 
yang menjadi tujuan sesaat, hanya sebagai “trend”.
4) Bagi seorang ilmuwan bidang sains, yang dapat menjadi objek 
penelitian objektif dan ilmiahnya yaitu benda-benda yang berada 
di dalam dunia fisik, sedangkan hal-hal atau peristiwa-peristiwa 
yang bertalian dengan individu hanya dapat dipahami dan 
diinterpretasikan pada dunia benda, kita bisa mengetahui makna 
kata ini  dengan melihat bendanya, namun untuk manusia, 
pemahamanlah yang diperlukan untuk memaknainya, terlebih 
pendekatan yang dilakukan secara psikologis.
5) “Kata atau kalimat” belum tentu memiliki ruang lingkup makna 
yang jelas dan terbatas, sebab hanya bisa diinterpretasikan semisal 
kata “listrik” yang sempat menjadi permasalahan di dunia hukum. 
Alhasil, perluasan maknalah yang lalu  dipakai  sebagai 
pendekatan kualifikasinya.
6) Tidak ada penilaian “benar” atau “salah” (makna baru) dalam 
memaknai lagu atau puisi, tidak ada  kebakuan melainkan 
berdasar interpretasi masing-masing subjek.
7) Tanpa penjelasan waktu tertentu (pada hermeneutika), makna kata 
bisa menjadi bias dan tidak jelas. Contoh: kata “saat”, kata “saat” 
bisa diartikan sekarang, permasalahannya, sekarang pada waktu 
yang mana? sebab  bila tidak demikian, akan dimaksud. Alhasil, 
pendekatan yang dipakai  sebagai gantinya yaitu “kira-kira”.
Pada dasarnya, saat  memilih satu dari ragam pilihan, bukan 
konsekuensi akibat pilihan yang kita terima, melainkan itu sudah 
yaitu wujud keintegralan dalam makna yang disebut sebagai satu 
untuk menjadi kesatuan. Ini yaitu landasan dasar yang mementahkan 
faktor “kausalitas”. Kausalitas tampil sebagai komparasi dari dua 
kenyataan yang berdasarkan rentangan waktu, historikal secara umum. 
Bukan sebab “aku” memilih “aku” aku menjadi “aku”, melainkan engkau 
   
yang berkata tentang “aku”, sehingga kausalitas menjadi muncul tentang 
“aku”. Demikian halnya dengan pilihan untuk satu teori yang hendak 
diberlakukan, dan dipakai oleh “bangsa negara kita ”, jika pilihan sudah 
diputuskan yang tampak hanyalah penilaian, korespondensi atasnya 
dianggap sebagai observasi perwakilan untuk pilihan itu sendiri. Walhasil, 
teori akan terlihat dominan di antara teori-teori lainnya. Dan ini bukanlah 
suatu determinasi, namun bisa menjadi wujud rekayasa harapan.
2. Epistemologi Sistem Hukum
Membicarakan kehadiran hukum sebagai suatu sistem, tidak terlepas 
dari pendekatan atas pengertian sistem sebagai suatu kesatuan yang 
bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan 
satu sama lain. jika  menempatkan sistem pada pusat pengamatan 
sedemikian, menurut Schrode dan Voich yang dikutip Satjipto Rahardjo, 
bahwa maka pengertian di dalamnya yaitu sebagai berikut:
• sistem itu berorientasi kepada tujuan;
• keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya
(wholim): suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, 
yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem);
• masing-masing bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang
berharga (transformasi);
• masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (terhubung);
• ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme
kontrol).
Adapun untuk pendekatan filosofis terhadap sistem hukum dalam 
ilmu hukum ini senantiasa bersifat sirkuler (melingkar) sesuai dengan 
hakikat hermeneutika filosofis. Hukum bergerak seakan melingkar, 
berdialektika dengan dan tanpa legitimasi yang harus didapatkan 
dibandingkan  yang hidup, akan namun  diakui. Hukum berjalan otomatis 
serentak dengan apa pun yang ada dalam hidup. Perbandingan jumlah 
ataupun persentase jumlah yang ada di dalamnya berada pada porsi 
yang ada dalam hidup. Perbandingan jumlah ataupun persentase jumlah 
yang ada di dalamnya berada pada porsi yang utuh dan penuh, seperti 
kepenuhan hukum yang ada dalam setiap gerak kehidupan. Pembicaraan 
mengenai awal, proses “ada” dan puncak perjalanan hukum yang seiring 

ruang dan waktu akan terus bergulir seperti hukum bersama ruang dan 
waktu yaitu tetap. Hadir pertama dengan hakikat pertanyaan apa dan 
siapa, di mana, kapankah, atau bagaimanakah? Demikian pula dengan 
tujuan yang ditanyakan “dapatkah aku” manakala hadir dalam ide 
dan realitas. Sistem yang utuh akan dapat dimengerti secara bertahap 
dengan beragam tingkatannya artinya terbagi lagi menjadi kelas sistem. 
Demikian halnya sistem yang utuh dan me-universal terbagi dalam 
sistem-sistem parsial. Hukum pun demikian, terbagi dengan sebutan 
hukum ekonomi, hukum tata negara, hukum negara. Semuanya diberi 
label hukum sebab bagiannya, namun tetap disebut hukum.
E. Epistemologi Asas Hukum 
Menurut Theo Huijbers, asas hukum yaitu prinsip-prinsip yang 
dianggap dasar atau fundamen hukum dan yaitu pengertian-
pengertian yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, termasuk 
titik tolak bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi 
terhadap undang-undang itu sendiri. Dalam pandangannya, Huijbers 
mengklasifikasikan asas hukum menjadi tiga macam, yaitu:
• asas hukum objektif yang bersifat moral;
• asas hukum objektif yang bersifat rasional;
• asas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional.
Asas hukum objektif yang bersifat moral atau asas moral hukum 
lebih dipandang sebagai sesuatu yang idiil, yang belum tentu dapat 
diwujudkan dalam tata hukum yang direncanakan. Dalam lingkup asas 
moral hukum ditekankan bahwa pada asasnya hukum harus memiliki 
hubungan yang hakiki dengan prinsip-prinsip moral. H.LA Hart (1907-
1992) seorang penganut positivisme hukum, berpandangan bahwa 
undang-undang harus dibuat dengan berpedoman pada prinsip moral. 
Akan namun , prinsip ini hanya sebagai regulatif saja, artinya walaupun 
pada kenyataannya undang-undang itu melawan prinsip-prinsip moral, 
undang-undang itu tetap hukum. Dalam nuansa yang sama. Gustav 
Radbruch memberikan pandangan bahwa diperlukan sedikit sentuhan 
natural law yang berfungsi sebagai prinsip konstitutif hukum. Begitu 
pun dengan Emil Brunner yang menyatakan bahwa negara harus tunduk 
pada suatu norma kritis, yaitu hukum kodrat. Sebagaimana kita pahami 
bahwa hukum kodrat begitu memandang tinggi keberadaan nilai-nilai 
   
moral dalam hukum. Dalam pandangan Brunner, hukum kodrat itu 
bukan hukum, bila dipandang secara tersendiri, akan namun  berfungsi 
sebagai prinsip konstitutif bagi undang-undang. Sehingga undang-
undang yang tidak menurut hukum kodrat, tidak dapat diakui sebagai 
hukum. Hukum kodrat diterjemahkan oleh Brunner sebagai buah usaha 
manusia untuk bertindak secara adil, di mana hukum kodrat itu sendiri 
mengandaikan adil sebagai kerelaan hati orang-orang untuk mengakui 
suatu aturan hidup yang melebihi kesukaan individu.
Asas hukum objektif yang bersifat rasional atau sering disebut 
dengan sebutan asas rasional hukum yaitu prinsip-prinsip yang 
termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. 
Asas rasional hukum ini bertalian dengan sesuatu aturan hidup bersama 
yang masuk akal, dan karenanya diterima sebagai titik tolak bagi 
pembentukan suatu tata hukum yang baik. 
Asas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional, pada 
hakikatnya yaitu hak-hak yang ada pada manusia dan menjadi 
titik tolak bagi pembentukan hukum.
F. Epistemologi Pengalihan Hukum
“Hari ini makan apa? Makan nasi putih aja sih sudah cukup. Kalau nggak 
ada makan ubi juga tak mengapa. Kalau nggak ada juga ya makan apa 
yang ada. Yang pentingkan perut ada isinya, gitu aja kok repot!”, sekilas 
perbincangan satu keluarga memulai pagi menjelang siang. Makanan 
yang tersaji pada awalnya yaitu kebutuhan, namun menjadi topik 
bahasan penting yang aktual dalam keseharian, bahkan hidup.
Peristiwa di atas menjadi suatu ilustrasi betapa kebutuhan 
akan makanan pun menjadi satu persoalan bila hendak dicerminkan 
demikian. Kebutuhan dikaitkan dengan keinginan. Keinginan kerap 
diselaraskan dengan kebutuhan oleh sebagian orang. Keinginan masa 
kini dianggap menjadi kebutuhan, yang pada waktu sebelumnya tidak. 
Di situ telah terjadi peralihan antara prioritas yang penting dan yang 
utama. Manakah yang penting dan manakah yang terutama? “Penting 
makan nasi atau makan ubi? Ataukah kandungan yang ada  dalam 
makanan yang hendak dimakan yang tentunya dibutuhkan oleh tubuh? 
atau pokoknya makan. Bilamana suka, makan ubi atau bila tidak, makan 
nasi!”.
Perbandingan dalam bentuk persamaan, di mana keberadaan 
hukum disejajarkan, manakala manusia berdampingan dengan 
manusia lainnya untuk menyelaraskan kebutuhan yang menurutnya 
harus dapat tercukupi, untuk hari ini dan beberapa waktu lamanya. 
Bagaimana caranya ia dapat mencukupi kebutuhannya! Tentu hal 
serupa dapat pula kulakukan terhadap pemenuhan diriku. Bila perlu 
kuperlakukan ia seturut kehendakku menurut keinginanku. Tentu 
jika hal itu aku sanggup dan mau serta menjadi hal yang kuanggap 
sebagai kebutuhan.
“Manusia yaitu makhluk yang terbatas”, paradigma sepenggal 
yang membuat manusia negara kita  menjadi takluk atau buta sebab 
tak mau disebut takabur berhadapan dengan pandangan ciri budaya 
ketimuran. Namun karenanya dibuat seolah lupa atau memang lupa, 
bahwasanya ia juga memiliki kesempurnaan sebab keterbatasannya, 
pula manusia disebut unik.
Manusia memiliki kemampuan untuk mengkaji dunia hukum 
melalui dunia luar diri yang disebut lingkungan atau secara holistik 
dikatakan semesta (atau mengkaji dunia hukum dengan mengkacakan 
dirinya). Apa yang ada dalam diri dapat pula ditemui di luar diri, 
berdampingan dan selaras. Kupu-kupu dapat terbang sebab hukumnya. 
Pun manusia dapat pula merasakan terbang dengan mengkacakan 
kupu-kupu dalam pikirannya. Namun sebab ketimuran yang melekat, 
apa pun alasannya manusia dalam teritorial negara kita  sampai saat 
ini hanya mampu menyaksikan kupu-kupu super itu meluar angkasa, 
kritik ataukah kenyataan, setiap orang negara kita  yang ada mampu 
mengutarakan bahkan membuktikannya kepada negara kita .
Hukum sebab dieksiskan atau sebab dapat dimanfaatkan oleh 
manusia bila didayagunakan. Bila tidak, itu yaitu prinsip hukum. 
Bila disamakan, manusia yaitu makhluk yang terbatas sekaligus juga 
sebagai makhluk yang sempurna. Manusia memiliki potensi keduanya, 
dalam cerminan demikian manusia dapat hidup sebab hidup, manusia 
dapat mati sebab mati. Lantas apa pula yang memicu timbulnya 
stigma “manusia yaitu terbatas”, dalam jumlah, manusia yaitu 
lebih dibandingkan  jumlah. Bahkan jika  dieksaka manusia pangkat….., 
sehingga belum dapat ternormakan berapa banyakkah jumlah manusia, 
sekalipun program Keluarga Berencana (KB) disosialisasikan? namun , 
   
dalam spesies manusia yaitu berjumlah satu, bila dipersamakan dengan 
bilangan, bilangan berapapun yang dipangkatkan dengan 0(nol) nilainya 
tetaplah 1 (satu), yakni manusia.
Pertanyaan mengenai keterbatasan dalam keseluruhan dengan 
apa yang disebut sebagai “kebutuhan”. Tidaklah memiliki nilai 
bahwasanya kata “aku” yang merujuk kepada eksistensi diri dapat 
disepadankan ataupun dijadikan patokan dan standar bahwasanya 
“aku” yaitu manusia sama seperti manusia lainnya. Oleh sebab 
itu, maka “aku”memerlukan  “aku-aku” lainnya di luar diri untuk 
dapat mengatakan bahwa “aku ada”. Bahkan untuk mengidentikkan 
diri dengan “aku-aku” yang telah ada sehingga dikatakan memiliki 
keterbatasan sebab terikat norma, jika hal itu yang dipandang oleh 
Hans Kelsen tentang norma. “Tidak”, bila itu yaitu kata yang tepat 
untuk mengutarakannya. Jika norma memberikan patokan atau dengan 
sindiran yang halus, bahkan menghegemoni akal manusia, bahwasanya 
semua ada patokan, standar, batas, jenjang, strata dengan alasan demi 
kepentingan umum.
G. Epistemologi Kesadaran Hukum
Driyarkara telah merumuskan bahwa kesadaran itu yaitu seperti “ein 
ruf aus mir und doch uber mich”, seperti panggilan yang timbul dari aku, 
namun  mengatasi diriku. Bila terjelma dalam wujud kesadaran hukum, 
maka ia akan berupa kesadaran tentang diri kita sendiri, di dalam mana 
kita melihat diri kita berarti orang ini  yakin akan cita-cita kebaikan 
yang setinggi-tingginya. Keyakinan itulah yang menjadi tempat bagi 
jalinan nilai-nilai bergerumul dalam benak dan sanubari manusia.
Orang yang mengalami dan merasakan keyakinan bahwa suatu 
perbuatan yang konkret harus dilakukan atau sama sekali tidak boleh 
dilakukan. Syahdan, kesadaran hukum pada hakikatnya yaitu 
keyakinan akan nilai-nilai yang ada  di dalam diri manusia tentang 
hukum yang pernah ada, yang ada, dan yang akan ada. Selain itu, jalinan 
nilai-nilai dalam diri manusia itu yaitu aksi terhadap akibat dari 
proses interaksi sosial yang kontinu dan dinamis, dalam rangka memilih 
arah pada kehidupan sosial.
Dalam situasi yang konkret, kesadaran hukum akan menjelma 
dalam bentuk kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum. Kepatuhan 
terhadap hukum begitu bergantung pada pertumbuhan akal, kemauan, 
dan rasa seseorang. Ada orang yang patuh terhadap hukum sebab 
takut dengan hukuman, ada patuh terhadap hukum demi kesedapan 
hidup bersama, ada yang sebab sesuai dengan cita hukumnya, ada 
pula yang sebab kepentingan. Namun pada akhirnya, jika kesadaran 
hukum itu datang, orang hanya memiliki  dua pilihan, mau menerima 
atau menolak.
Konsekuensi psikologis dari adanya kesadaran moral atas hukum 
ini. Bahwa kesadaran itu menggugah timbulnya rasa wajib, yaitu:
• Wajib berbuat baik
 Pengertian wajib di sini, timbulnya dari dalam jiwa yang sadar, 
untuk memenuhi atau memikulnya dengan penuh tanggung jawab. 
Jadi, bukan sebab adanya faktor paksaan atau mengharapkan 
sanjungan dari orang lain. Contoh, adanya narapidana yang tidak 
mau lari pada saat teman-temannya pada kabur melalui ventilasi 
ruang penjara yang dapat dijebol oleh teman-temannya yang kabur 
itu. Dari situ kita dapat melihat, bahwa kesadaran moral atas 
hukum memicu timbulnya kewajiban moral, suatu kewajiban 
yang mengharuskan berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
• Bahwa kesadaran moral atas hukum itu, menggugah rasa
kemanusiaan. Timbulnya kejahatan antara seseorang dengan 
yang lainnya, itu disebabkan oleh bukan rasa berkemanusiaan itu 
yang ditonjolkan, namun  nafsu hewani. Nafsu hewani ini biasanya 
tidak kenal kompromi. Lawan dari nafsu hewani ini ialah rasa 
kemanusiaan yang mendorong untuk tidak melakukan pelanggaran 
ataupun kejahatan terhadap orang lain. 
• Rasa introspeksi
 Yakni sebagai kesadaran untuk melihat ke dalam jiwa sendiri. 
Kesadaran ini akan membuat orang untuk berbuat baik terhadap 
hukum.
H. Apa yang Bisa Diketahui Manusia
Immanuel Kant (lahir di Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di 
Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun) yaitu seorang filsuf 
Jerman. Karya Kant yang terpenting yaitu Kritik der Reinen Vernunft, 
   
1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau 
dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia”. Ia menyatakan ini 
dengan memberikan tiga pertanyaan:
• Apakah yang bisa kuketahui?
• Apakah yang harus kulakukan?
• Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
• Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi
dengan panca indra. Lain dibandingkan  itu yaitu “ilusi” saja, 
hanyalah ide.
• Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi
sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif 
kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab jika  
hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka jika  semua 
orang mencuri, warga  tidak akan jalan.
• Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah
yang memutuskan pengharapan manusia.
I. Sumber-Sumber Pengetahuan
Sebelum kita memasuki pembahasan inti dari makalah ini, maka 
perlu kiranya kita mengetahui pengertian dari ilmu pengetahuan. 
Dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ini LIPI yang 
berlangsung di Jakarta pada tanggal 15-19 September 1981 didasarkan 
agar dipergunakan terminologi ilmu untuk science dan pengetahuan 
untuk knowledge adapun alasannya yaitu:
1. Ilmu (Spesies) yaitu sebagian dari pengetahuan (Genus).
2. Dengan demikian maka ilmu yaitu pengetahuan yang memiliki  
ciri-ciri tertentu yaitu ciri-ciri ilmiah atau ilmu yaitu sinonim 
dengan pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge).
3. Dalam buku bahasa negara kita  berdasarkan hukum D (diterangkan) 
dan M (menerangkan) maka ilmu pengetahuan yaitu ilmu (D) 
yang bersifat pengetahuan (M) dan penyatuan ini pada hakikatnya 
yaitu salah sebab ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang 
bersifat ilmiah.
4. Kata ganda dari dua kata benda yang termasuk kategori  yang sama 
biasanya menunjukkan dua objek yang berbeda seperti laki bini 
(laki dan bini) dan emas perak (emas dan perak) penafsiran yang 
sama, maka ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu dan 
pengetahuan.
Ternyata ada juga yang berpendapat bahwa:
1. Ilmu termasuk genus di mana ada  banyak spesies seperti ilmu 
kebathinan, ilmu agama, ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan.
2. Terminologi ilmu pengetahuan sinomia dengan scientific knowledge.
3. Ilmu yaitu sinomia dengan knowledge dan pengetahuan tentang 
science di mana  berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan 
yaitu ilmu (Knowledge) yang bersifat pengetahuan (scientific).
Jika demikian, ilmu pengetahuan hanya yaitu istilah yang 
lazim dibahasakan orang-orang namun  tidak mampu memberikan 
definisi yang jelas, namun  orang pasti sudah mengerti maksud ilmu 
pengetahuan bila mendengarnya. Kata “Ilmu” yaitu terjemahan 
dari kata (Science) yang secara etimologi berasal dari bahasa latin (scinre) 
artinya “to Know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk 
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan 
objektif.
Dari pengungkapan para ahli kita dapat menarik kesimpulan 
sebagai berikut:
1. Tidak semua permasalahan yang dipersoalkan manusia dalam 
hidup dan kehidupannya dapat dijawab dengan tuntas oleh ilmu 
pengetahuan itu.
2. Nilai kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat positif dalam arti 
sampai saat sekarang ini dan juga bersifat relatif atau nisbi dalam 
arti tidaklah mutlak kebenarannya.
3. Batas dan realitivitas ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat, 
dalam arti bahwa semua permasalahan yang berada di luar atau di 
atas jangkauan dari ilmu pengetahuan itu diserahkanlah kepada 
filsafat untuk menjawabnya.
   
Dengan kita memasuki lapangan  filsafat dengan mencoba 
merenungkan semua permasalahan manusia yang belum tuntas dijawab 
oleh ilmu pengetahuan itu. Dalam kajian filsafat ilmu sumber-sumber 
pengetahuan yang diperoleh manusia melalui: Pengalaman, intuisi, 
agama (wahyu), filsafat, dan ilmu.
J. Cara-Cara Memperoleh dan Mengembangkan Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan 
yaitu melalui sebuah rangkaian prosedur atau metode/teknik tertentu 
yang lazimnya disebut metode ilmiah.
1. Pengertian Metode Ilmiah
Menurut Soerjono Soemargono (1993: 17), istilah metode berasal dari 
bahasa Latin methodos, yang secara umum artinya cara atau jalan untuk 
memperoleh pengetahuan sedangkan metode ilmiah yaitu cara atau 
jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
The Liang Gie (1991: 110), menyatakan bahwa metode ilmiah 
yaitu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, 
tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau 
memperkembangkan pengetahuan yang telah ada.
Dalam beberapa literatur seringkali metode dipersamakan atau 
dicampuradukkan dengan pendekatan maupun teknik. Metode, 
(methode), pendekatan (approach), dan teknik (technique) yaitu tiga 
hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama lain (The Liang Gie, 
1991:116). Dengan mengutip pendapat beberapa pakar, The Liang Gie 
menjelaskan perbedaan ketiga hal ini  sebagai berikut. Pendekatan 
pada pokoknya yaitu ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah 
dan data yang bertalian, sedangkan metode yaitu prosedur untuk 
mendapatkan dan memakai  data. Pendekatan dalam menelaah 
suatu masalah dapat dilakukan berdasarkan atau dengan memakai 
sudut tinjauan dari ilmu-ilmu tertentu, misalnya psikologi, sosiologi, 
politik,  dan seterusnya. Dengan pendekatan berdasarkan psikologi, 
maka masalah ini  dianalisis dan dipecahkan berdasarkan konsep-
konsep psikologi. Sedangkan bila masalah ini  ditinjau berdasarkan 
pendekatan sosiologis, maka konsep-konsep sosiologi yang dipakai 
untuk menganalisis dan memecahkan masalah ini .
Pengertian metode juga tidak sama dengan teknik. Metode ilmiah 
yaitu berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata langkah 
dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Pola dan tata langkah prosedural 
ini  dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan teknis yang 
lebih rinci. Cara-cara itulah yang mewujudkan teknik. Jadi, teknik 
yaitu suatu cara operasional teknis yang seringkali bercorak rutin, 
mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh dan menangani data 
dalam penelitian (The Liang Gie (1991: 117)).
2. Unsur-Unsur Metode Ilmiah
Metode ilmiah yang yaitu suatu prosedur sebagaimana 
digambarkan oleh The Liang Gie, memuat berbagai unsur atau 
komponen yang saling berhubungan. Unsur-unsur utama metode 
ilmiah menurut The Liang Gie (1991: 118) yaitu pola prosedural, tata 
langkah, teknik, dan instrumen.
Pola prosedural, antara lain terdiri dari: pengamatan, percobaan, 
pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah, 
mencakup: penentuan  masalah, perumusan  hipotesis  (bila  perlu), 
pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik, 
antara lain terdiri dari: wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Aneka 
instrumen yang dipakai dalam metode ilmiah antara lain: pedoman 
wawancara, kuesioner, timbangan, meteran, komputer.
3. Macam-Macam Metode Ilmiah
Johson (2005) dalam artikelnya yang berjudul “Educational Research: 
Quantitative and Qualitative”, yang termuat dalam situs internet 
membedakan metode ilmiah menjadi dua metode deduktif dan metode 
induktif. Menurut Johnson, metode deduktif terdiri tiga langkah utama, 
yaitu: first, state the hypothesis (based on theory or research literature); nex, 
collect data to test hypothesis; finally, make decision to accept or reject the 
hypothesis. Sedangkan, tahapan utama  metode  induktif menurut 
Johnson adalah: first, observe the world; next, search for a pattern in what 
is observed; and finally, make a generalization about what is occuring. Kedua 
metode ini  selanjutnya oleh Johnson divisualisasikan sebagai 
berikut.
   
Metode deduktif yaitu metode ilmiah yang diterapkan dalam 
penelitian kuantitatif. Dalam metode ini teori ilmiah yang telah diterima 
kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya. 
Sedangkan  metode induktif yaitu  metode yang  diterapkan dalam 
penelitian kualitatif.  Penelitian ini dimulai dengan pengamatan dan 
diakhiri dengan penemuan teori.
a. Metode Deduktif
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, 
Sosial, dan Politik (1996: 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metode 
ilmiah yaitu cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh 
pengetahuannya berdasarkan: a) kerangka pemikiran yang bersifat 
logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan 
sebelumnya yang telah berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang 
yaitu deduksi dari kerangka pemikiran ini ; dan c) melakukan 
verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran 
pernyataannya secara faktual. Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa 
kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-
verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut 

1) Perumusan masalah, yang yaitu pertanyaan mengenai objek 
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan 
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis 
yang yaitu argumentasi yang menjelaskan hubungan yang 
mungkin ada  antara berbagai faktor yang saling mengait 
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini 
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang 
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor 
empiris yang relevan dengan permasalahan.
3) Perumusan hipotesis yang yaitu jawaban sementara atau 
dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya yaitu 
kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang di kembangkan.
4) Pengujian  hipotesis yang  yaitu pengumpulan fakta- fakta 
yang relevan dengan hipotesis, yang diajukan untuk memperlihatkan 
apakah ada  fakta-fakta yang mendukung hipotesis ini  
atau tidak.
5) Penarikan kesimpulan yang yaitu penilaian apakah hipotesis 
yang diajukan itu ditolak atau diterima.
b. Metode Induktif
Metode induktif yaitu metode ilmiah yang diterapkan dalam 
penelitian kualitatif. Metode ini memiliki dua macam tahapan: tahapan 
penelitian secara umum dan secara siklikal 
1) Tahapan penelitian secara umum
 Tahapan penelitian secara umum secara garis besar terdiri dari 
tiga tahap utama, yaitu (1) tahap pralapangan, (2) tahap pekerjaan 
lapangan, dan (3) tahap analisis data. Masing-masing tahap ini  
terdiri dari beberapa langkah.
2) Tahapan penelitian secara siklikal
 Menurut Spradley (Moleong, 2005: 148), tahap penelitian kualitatif, 
khususnya dalam etnografi yaitu proses yang berbentuk 
lingkaran yang lebih dikenal dengan proses penelitian siklikal, 
yang terdiri dari langkah-langkah: (1) pengamatan deskriptif, (2) 
analisis demein, (3) pengamatan terfokus, (4) analisis taksonomi, 
(5) pengamatan terpilih, (6) analisis komponen, dan (7) analisis 
tema.
K. Metode untuk Memperoleh Pengetahuan
1. Metode Empirisme 
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu “empiris” yang berarti 
pengalaman indrawi. Oleh sebab itu empirisme dinisbatkan kepada 
paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan 
dan yang dimaksudkan dengannya yaitu baik pengalaman lahiriah 
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang 
menyangkut mempengaruhi manusia. Asal kata empirisme yaitu empiria 
yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh 
dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang yaitu 
sumber pengetahuan yaitu pengalaman sebab pengalamanlah yang 
memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme 
berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui 
pengalaman yaitu tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji 
   
melalui pengalaman. maka , kebenaran yang diperoleh 
bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience).
Tokoh-tokoh empirisme antara lain Francis Bacon (1561-1626), 
Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Francis 
Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar 
penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya 
ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta 
menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. sebab  yaitu 
bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya 
dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang memicu Thomas Hobbes 
dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya 
manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang 
lain. Hal ini memicu adanya ungkapan homo homini lupus yang 
berarti bahwa manusia yaitu serigala bagi manusia lain.
Menurut aliran ini bahwa manusia memperoleh pengetahuan 
melalui pengalaman indranya. Bapak aliran ini yaitu John Lock (1632-
1704) dengan teorinya “tabula rasa” yang artinya secara bahasa yaitu 
meja lilin.  Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh 
pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris, 
yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui 
pengamalan indra manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana 
orang tahu es membeku? Jawab kaum empiris yaitu sebab saya 
melihatnya (secara indrawi/panca indra), maka pengetahuan diperoleh 
melalui perantaraan indra. Proses terjadinya pengetahuan menurut 
penganut empirisme berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek 
yang merangsang alat inderawi, lalu  menumbuhkan rangsangan 
saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan 
sebagaimana adanya dan dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai 
objek yang telah merangsang alat indrawi ini. Kesimpulannya yaitu 
metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme 
yaitu berdasarkan pengalaman indrawi atau pengalaman yang bisa 
ditangkap oleh panca indra manusia.
Kelemahan aliran ini yaitu sangat banyak:
a. Indra terbatas; Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indra menipu; Orang yang sedang sakit malaria, gula rasanya pahit.
c. Terkadang objek yang menipu, seperti ilusi dan fatamorgana.
d. Kekurangan ada  pada indra dan objek sekaligus; indra (dalam 
hal ini mata) tidak bisa melihat kerbau secara keseluruhan, begitu 
juga kerbau tidak bisa dilihat secara keseluruhan.
Pada dasarnya empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. 
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal 
dari rasio, sehingga pengenalan indrawi yaitu suatu bentuk 
pengenalan yang kabur. Sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa 
pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan indrawi 
yaitu pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa 
pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasif menerima 
hasil-hasil pengindraan ini . Ini berarti semua pengetahuan 
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat 
bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa 
semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman indrawi 
dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut 
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat 
suatu objek yang merangsang alat-alat indrawi, lalu  di dalam otak 
dipahami dan akibat dari rangsangan ini  dibentuklah tanggapan-
tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat indrawi 
ini .
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, 
malah barangkali yaitu satu-satunya sumber dan dasar ilmu 
pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman indrawi sering 
dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Tokoh-Tokohnya:
a.  Francis Bacon (1210 -1292).
b.  Thomas Hobbes (1588 -1679).
c.  John Locke (1632 -1704).
d.  George Berkeley (1665 -1753).
e.  David Hume (1711 -1776).
f.  Roger Bacon (1214 -1294).
   
2. Metode Rasionalisme
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber 
pengetahuan yang dapat dipercaya yaitu rasio (akal) seseorang. 
Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang 
dianggap sebagai bapak rasionalisme yaitu Rene Descartez (1596-
1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya 
yang terkenal yaitu cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada). Berbeda 
dengan penganut empirisme, sebab rasionalisme memandang bahwa 
metode untuk memperoleh pengetahuan yaitu melalui akal pikiran. 
Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan 
pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk 
memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak 
Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode 
deduktif melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi 
dipahamkan sebagai:
a. Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal 
kebenaran.
b. Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik ini  
dapat ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan 
penalaran.
Fungsi pengalaman indrawi bagi penganut rasionalisme sebagai 
bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu 
memperoleh kebenaran.
Rasionalisme yaitu yaitu paham atau aliran atau ajaran 
yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada 
sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari 
pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini 
hal yang khas bagi ilmu pengetahuan yaitu penggunaan yang eksklusif 
daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat 
tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan 
yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada 
abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar makin percaya pada akal 
budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal 
ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih 
lagi selama abad XVIII antara lain sebab pandangan baru terhadap 
dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana 
geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya fisika itu terdiri dari bagian-
bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum 
sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. 
Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang 
mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui 
ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan 
kekuasaan akal budi lama-kelamaan orang-orang abad itu berpandangan 
dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang 
menciptakan manusia dan warga  modern yang telah dirindukan, 
sebab kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung 
(pencerahan).
Tokoh-tokohnya:
a.  Rene Descartes (1596 -1650).
b.  Nicholas Malerbranche (1638 -1775).
c.  B. De Spinoza (1632 -1677 M).
d.  G.W.Leibniz (1946-1716).
e.  Christian Wolff (1679 -1754).
f.  Blaise Pascal (1623 -1662 M).

A. Pengertian Ontologi
Menurut  bahasa, Ontologi  berasal dari  bahasa  Yunani  yaitu: On/
Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi yaitu ilmu tentang yang 
ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi yaitu ilmu yang membahas 
tentang hakikat yang ada, yang yaitu ultimate reality baik yang 
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara 
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah 
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur 
hierarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat 
dipakai  sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan 
demikian, ontologi yaitu suatu teori tentang makna dari suatu 
objek, property dari suatu objek, serta relasi objek ini  yang 
mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada 
tinjauan filsafat, Ontologi yaitu salah satu kajian filsafat. Studi 
ini  membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi 
membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan 
mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk 
mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana 
realitas ini  dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses ini  
memerlukan dasar pola berpikir, dan pola berpikir didasarkan pada 
bagaimana ilmu pengetahuan dipakai  sebagai dasar pembahasan 
realitas.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh 
satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis 
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara 
ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada 
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas 
pada hal yang sesuai dengan akal manusia. Ontologi membahas tentang 
yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berusaha  mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Dalam rumusan Lorens Bagus; ontologi menjelaskan yang ada yang 
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Pengetahuan yaitu persepsi subjek (manusia) terhadap objek (riil 
dan gaib) atau fakta. Ilmu pengetahuan yaitu kumpulan pengetahuan 
yang benar disusun dengan sistem dan metode untuk mencapai tujuan 
yang berlaku universal dan dapat diuji/diverifikasi kebenarannya. Ilmu 
pengetahuan tidak hanya satu, melainkan banyak (plural) bersifat 
terbuka (dapat dikritik) berkaitan dalam memecahkan masalah.
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu 
pengetahuan tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu yaitu cabang filsafat 
yang mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang dipakai  dalam 
ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan 
dengan kebenaran ilmu tertentu. Filsafat ilmu pengetahuan disebut juga 
Kritik Ilmu, sebab historis kelahirannya disebabkan oleh rasionalisasi 
dan otonomisasi dalam mengeritik dogma-dogma dan takhayul.
Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. 
Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. jika  
ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif, dan ilmiah, maka 
filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di 
samping membuka dan memperdalam pengetahuan. jika  ilmu 
pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi 
pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu 
bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif 
rasional, sebab filsafat mencari apa yang hakikat.
jika  ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara 
rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari 
hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. jika  ilmu 
pengetahuan datanya mendetail dan akurat namun  tidak mendalam, maka 
filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, sebab yang dicari 
yaitu hakikatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Ontologi yaitu studi tentang sesuatu yang ada. Ontologi hukum 
(ajaran hal ada, zijnsleer) yaitu penelitian tentang “hakikat” dari 
hukum. Mencari tahu apa hakikat hukum itu, sama artinya dengan 
mencari tahu apakah hukum itu? Hakikat sama artinya dengan sebab 
terdalam dari adanya sesuatu. Hakikat juga dapat berarti eksistensi 
(keberadaan) dari segala sesuatu yang mana di dalamnya ada  
substansi dan aksidensi. Substansi yaitu sesuatu yang mendasari 
kualitas, sedangkan aksidensi yaitu sifat tertentu dari substansi. Secara 
mudah hakikat dapat diartikan sebagai apakah sesuatu itu?
Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang yaitu 
tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen 
ini  satu di antaranya adalah: ontologi. Ontologi menjelaskan 
mengenai pertanyaan apa. Ontologi yaitu salah satu di antara 
lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak 
dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan 
ontologis, sebagaimana Thales saat  ia merenungkan dan mencari 
apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya 
ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) 
itu yaitu air. Ontologi yaitu asas dalam menetapkan batas 
ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran 
tentang hakikat realitas (metafisika) (Jujun, 1986:2). Ontologi 
meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran 
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak 
terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) 
itu. Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme 
dan seterusnya yaitu paham ontologis yang akan menentukan 
pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan 
bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu 
(Koento Wibisono, 1988:7). Louis O. Kattsoff (1987: 192) membagi 
ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif, dan 
   
kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab 
segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. 
Dikatakan ontologi kuantitatif sebab dipertanyakannya mengenai 
tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat 
dari pertanyaan: apakah yang yaitu jenis kenyataan itu. Sedangkan 
ontologi monistik yaitu jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal 
adanya; keanekaragaman, perbedaan, dan perubahan dianggap semu 
belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau 
idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18). Ada beberapa pertanyaan 
ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya 
pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang 
ada itu (how  is being?), dan di manakah yang ada itu? (where is being?). 
1.  Apakah yang ada itu (what is being?) Dalam memberikan jawaban 
masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, 
idealisme, dan agnotisme.
a.  Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada 
itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu 
serba spirit, ideal, serba roh, maka dikelompokkan dalam 
aliran monisme-idealisme. Plato yaitu tokoh filsuf yang bisa 
dikelompokkan dalam aliran ini, sebab ia menyatakan bahwa 
alam ide yaitu kenyataan yang sebetulnya 
b. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme 
dan materialisme dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini 
terdiri dari dua hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi 
dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan dalam aliran 
ini 
c. Aliran pluralisme.  Menurut aliran ini, manusia yaitu makhluk 
yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani, namun  juga 
tersusun dari api, tanah, dan udara yang yaitu unsur 
substansial dari segala wujud. 
d. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan 
manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun hakikat 
rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak 
yang bersifat transenden 
2. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) Apakah yang ada itu 
sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal 
ini Zeno (490-430 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebetulnya 
khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh 
Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa 
alam ini dinamis, terus bergerak, dan yaitu struktur peristiwa 
yang mengalir terus secara kreatif 
3.  Di manakah yang ada itu? (where is being?). Aliran ini berpendapat, 
bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, 
tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat 
sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, 
berubah-ubah, dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak 
term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), 
kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal 
(one), dan jamak (many). Semua istilah ini  dijabarkan secara 
rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, 
ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada 
daerah-daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia. 
Objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti 
penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti penciptaan surga 
dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). 
Ilmu hanya yaitu salah satu pengetahuan dari sekian banyak 
pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas 
ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan 
yang bersifat empiris ini yaitu yaitu konsistensi pada 
asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi 
secara empiris dalam proses penyusunan pernyataan yang benar 
secara ilmiah  Ontologi keilmuan juga yaitu 
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, 
sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan 
harus didasarkan kepada sifat  objek ontologis sebagaimana 
adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi 
secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari 
nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam 
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian 
berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran 
   
pernyataan ini  maka langkah pertama adalah, melakukan 
penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, 
sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan 
fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun juga teori yang 
disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang 
berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein) memicu 
ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen). 
Ilmu justru yaitu pengetahuan yang bisa dijadikan alat 
untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das sein agar 
dapat menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol fenomena alam. 
Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik 
ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong 
ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan 
mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo pada zaman modern.
Sementara bagi Aristoteles dalam mencari hakikat mengajarkan 
kepada kita untuk memisahkan substansi (yang hakikat itu) dengan 
aksisdensinya (kuantitas, kualitas, relasi, status, waktu, tempat, 
situasi, aktivitas, dan positivitas). Jika yang ditanyakan “apakah hakikat 
hukum?”, jawabannya tentu apa yang menjadi substansi dari hukum 
itu, dan jawabannya telah pula diberikan yakni norma.
Hakikat hukum masih terus dicari untuk menyelidiki kenyataan 
hukum menurut dasarnya yang paling mendalam (ex ultimus causis), 
atau hakikat tentang yang ada di balik hukum? Sebagaimana telah 
disinggung, bahwa persoalan hakikat hukum akan bersinggungan 
dengan persoalan substansi dan aksidensi. Apa substansi hukum?, 
misalnya: perintah, larangan, peraturan, dan lain-lain. Apa aksidensi 
hukum? misalnya: adil, pasti, bermanfaat, dan lain-lain. 
Ada pula yang memandang bahwa hakikat hukum sebagai yang 
ada sebagaimana adanya, ada hukum pidana, ada hukum perdata, ada 
hukum lingkungan, dan lain-lain. Di situ yang tidak berubah yaitu 
kata “ada”, jadi apa hakikat hukum itu yaitu “adanya hukum”. Oleh 
sebab itu, bagi penulis, hakikat hukum yaitu “ada”. Keberadaan 
“ada” berasal dari ajaran moral yang merujuk kepada akal dan hati.
Dalam akal dihuni oleh pikiran, kemauan, dan rasa. Keberadaan akal 
dan hati ini  sifatnya terbatas. Dari pengayaan akal dan hatilah yang 
lalu  menghasilkan pedoman bagi sikap tindak untuk keperluan 
hidup dan kehidupan.
B. Hakikat Hukum dari Sudut Pandang Teori
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para filsuf mengenai hakikat 
hukum. Pada kesempatan ini, penulis hanya sebatas memetiknya dari 
pendapat Aristoteles, J.J.H. Bruggink, dan Kattsoff.
1. Aristoteles 
 Berpendapat bahwa hakikat hukum itu ada sebab kausalitas, yakni 
dari sebab yang berupa bahan (causa materialis), dari sebab yang 
berupa bentuk (causa formalis), dari sebab yang berupa pembuat 
(causa efisien), dan dari sebab yang berupa tujuan (causa finalis).
2. J.J.H. Bruggink 
 Memiliki pandangan bahwa hakikat hukum itu yaitu bahasa. 
Bruggink memandang sedemikian oleh sebab yang memungkinkan 
hukum itu ada dan dapat dipahami dengan beberapa definisi yaitu 
dari bahasa.
a. Definisi kausal, yaitu hukum itu ada oleh penguasa. Definisi 
fungsional, yaitu hakikat hukum yaitu fungsi. Definisi 
fenomenologis, yaitu hakikat hukum yaitu kesepakatan.
b. Definisi sinonim, yaitu hakikat hukum yaitu peraturan. 
Definisi etimologis, yaitu hukum berasal dari kata bahasa Arab 
“al hukmu” yang berarti peraturan.
c. Definisi konotatif, yaitu hakikat hukum terletak pada sifatnya.
3. Kattsoff 
 Berpendapat bahwa hakikat hukum tergantung dari orang yang 
membunyikannya, “jika sebuah pohon tumbang di hutan dan tidak 
ada mendengarkannya, adakah bunyinya?”. Syahdan, harus ada 
yang membunyikannya dengan makna. Apakah makna ini  
dalam wujud makna asosiasi, yang artinya hukum sama dengan 
undang-undang, apakah dalam bentuk makna matter (esensi), 
yang artinya hukum sama dengan warga , apakah dalam 
makna operasi, yang artinya hukum memiliki  makna bila dapat 
dioperasionalkan, ataupun dalam bentuk makna pengalaman, yang 
artinya hukum terbentuk sebab pengalaman dan akal.
   
Bagi penulis, saat  terlahir ke dunia, manusia langsung diikat 
oleh adanya hukum. Hukum yang berlaku yaitu hukum kasih 
sayang. Seorang ibu yang rela menderita selama sembilan bulan 
untuk mengandung anaknya. Setelah melahirkan akan menyusui 
dan seterusnya merawat dan menjaga. Itu bukanlah urusan rasio 
atau logika. Itu yaitu urusan rasa cinta kasih. Jika orang yang dapat 
diwakilkan tentu seorang wanita karier akan mementingkan kariernya 
dan menyerahkan urusan melahirkan itu dengan membayar orang lain.
Artinya, pengertian ikatan antara rasa dan rasio, antara jiwa dan raga 
memicu munculnya hukum yang berlaku bagi manusia. sebab  
terlahir dari hubungan kasih sayang pernikahan atau di luar pernikahan, 
ada hukum yang mengaturnya. Catatan kelahiran menentukan apa yang 
dimiliki si anak, ada hukum yang mengaturnya. Pendek kata, setiap 
kejadian atau fenomena yang berlaku terhadap diri manusia ada hukum 
yang mengaturnya.
Ada beberapa pengertian ontologi menurut para tokoh-tokoh 
filsafat di antaranya:
1. Menurut Suriasumantri (1985)
 Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa 
jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian 
mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab 
pertanyaan-pertanyaan:
a. apakah objek ilmu yang akan ditelaah;
b. bagaimana wujud yang hakiki dari objek ini ; dan
c. bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap 
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang 
membuahkan pengetahuan.
2. Menurut Soetriono & Hanafie (2007)
 Ontologi yaitu yaitu asas dalam menerapkan batas atau ruang 
lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan (objek ontologis 
atau objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang 
hakikat realita (metafisika) dari objek ontologi atau objek formal 
ini  dan dapat yaitu landasan ilmu yang menanyakan 
apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan 
alam kenyataan dan keberadaan.
3. Menurut Pandangan The Liang Gie
 Ontologi yaitu bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna 
dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-
persoalan:
a. Apakah artinya ada, hal ada? 
b. Apakah golongan-golongan dari hal yang ada? 
c. Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d. Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari 
kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek 
fisis, pengertian universal, abstraksi, dan bilangan) dapat 
dikatakan ada?
4. Menurut Ensiklopedi Britannica yang juga diangkat dari Konsepsi 
Aristoteles
 Ontologi yaitu teori atau studi tentang being/wujud seperti 
sifat  dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan 
metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata 
yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti, 
struktur, dan prinsip benda ini . (Filosofi ini didefinisikan 
oleh Aristoteles abad ke-4 SM).
5. Menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina
 Ontologi yaitu objek pemikiran menjadi objek sesuatu yang 
mungkin ada sebab yang lain, dan ada sebab dirinya sendiri.
C. Hakikat Hukum dari Sudut Pandang Ideologi Hukum
Beberapa ideologi hukum juga mengemukakan pendapatnya tentang 
hakikat hukum di antaranya sebagai berikut:
1. aliran hukum alam berpendapat bahwa hakikat hukum terletak 
pada moral, baik yang berasal dari Tuhan maupun akal manusia;
2. aliran positivisme memiliki keyakinan bahwa hakikat hukum yaitu 
perintah, kewajiban, kedaulatan, penguasa, dan sanksi;
3. mazhab utilitarianisme berkeyakinan bahwa hakikat hukum yaitu 
kemanfaatan (kegunaan);
4. mazhab sejarah memaknai hakikat hukum sebagai ekspresi jiwa 
bangsa (volkgeist);
   
5. aliran sociological jurisprudence menyatakan bahwa hakikat hukum 
yaitu terletak pada kenyataan sosial berupa nilai-nilai yang hidup 
dalam warga ;
6. aliran idealisme memandang bahwa hakikat hukum yaitu rasio, 
kewajiban, kelembagaan, moralitas, dan negara;
7. aliran realisme hukum berpendapat bahwa hakikat hukum yaitu 
ramalan, pengadilan, pengalaman, perwujudan dari keputusan 
sosial, ekonomi, dan budaya;
8. gerakan studi hukum kritis berpendapat hakikat hukum yaitu 
politik, aliran marxisme berpandangan bahwa hakikat hukum 
yaitu perjuangan bagi posisi kelas, di mana hukum yaitu alat 
untuk melayani kepentingan kelas atas;
9. teori chaos dan dekonstruksi Derrida menganggap hakikat hukum 
yaitu chaos atau kekacauan; dan
10. antropologi metafisika (filsafat manusia) berpandangan bahwa 
hakikat hukum yaitu bagian kecil dari misteri tentang manusia 
dan dunianya, yang berarti hukum yaitu misteri.
Dari bermacam ideologi hukum yang menyatakan pendapatnya 
akan hakikat hukum, tetap saja arti dari hakikat yaitu “ada”nya hukum. 
Untuk menyatakan adanya hukum, maka harus ada yang namanya 
“kesempatan”. Meninggalkan kesan dalam sejarah negara kita . Itulah 
yang penulis sebut sebagai kesempatan.
D. Aliran-Aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang 
lalu  melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-
masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai 
ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, 
“Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Di manakah yang 
ada itu? (Where is being?)”.
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu 
sebagai berikut:
1. Aliran Monoisme
 Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak 
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, 
baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin 
ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah 
salah satunya yaitu sumber yang pokok dan dominan 
menentukan perkembangan yang lainnya. Plato yaitu tokoh filsuf 
yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, sebab ia menyatakan 
bahwa alam ide yaitu kenyataan yang sebenarnya. Istilah 
monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.
 Paham ini lalu  terbagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme
 Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu yaitu materi, 
bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. 
Menurutnya bahwa zat mati yaitu kenyataan dan satu-
satunya fakta. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat 
yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal 
yaitu air, sebab pentingnya bagi kehidupan. Anaximander 
(585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu yaitu udara, 
dengan alasan bahwa udara yaitu sumber dari segala 
kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa 
hakikat alam ini yaitu atom-atom yang banyak jumlahnya, 
tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang 
yaitu asal kejadian alam.
b. Idealisme
 Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir 
dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa di balik realitas fisik 
pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya 
sesuatu justru terletak di balik yang fisik. Ia berada dalam 
ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya yaitu 
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. 
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah 
membawa orang pada kebenaran sejati.
2. Aliran Dualisme
 Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat 
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, 
benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-
masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
   
 Tokoh paham ini yaitu Descartes (1596-1650 M) yang 
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua 
hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia 
ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la 
Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam 
bukunya ini pula, ia menerangkan metodenya yang terkenal 
dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian 
Doubt). Di samping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza 
(1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 
M.
3. Aliran Pluralisme
 Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk yaitu 
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui 
bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme 
dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham 
yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak 
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
 Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno yaitu Anaxagoras dan 
Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu 
terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan 
udara. Tokoh modern aliran ini yaitu William James (1842-1910 
M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, 
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan 
lepas dari akal yang mengenal.
4. Aliran Nihilisme
 Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau 
tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif 
yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev 
pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebetulnya 
sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan 
Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang 
realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila 
sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas 
itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada 
orang lain. Tokoh lain aliran ini yaitu Friedrich Nietzche (1844-
1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan 
dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada 
suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
5. Aliran Agnostisisme
 Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui 
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani.
Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang 
berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran 
ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu 
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri 
sendiri dan dapat kita kenal.
 Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan 
tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang 
terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, 
yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai 
suatu aku umum, namun  sebagai aku individual yang sama sekali 
unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. 
Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang 
mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, sebab 
hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh 
lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan 
bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia 
bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, 
agnostisisme yaitu paham pengingkaran/penyangkalan terhadap 
kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi 
maupun rohani.
 Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
 Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau 
berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan 
bahwa sesuatu itu sebetulnya khayalan belaka. Pendapat ini 
dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh 
Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan yaitu 
struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
 Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, 
adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran 
materialisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat 
fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.
   
E. Aspek-Aspek Ontologi
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu 
perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis 
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara 
ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada 
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas 
pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan 
pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha  mencari inti yang 
termuat dalam setiap kenyataan. Dalam rumusan Lorens Bagus; 
ontologi menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam 
semua bentuknya.
Ada beberapa aspek ontologis  yang perlu diperhatikan dalam ilmu 
pengetahuan. Aspek-aspek ontologis ini  adalah:
1. Metodis
 memakai  cara ilmiah, berarti dalam proses menemukan dan 
mengolah pengetahuan memakai  metode tertentu, tidak 
serampangan.
2. Sistematis
 Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu 
keseluruhan. Berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan 
menjabarkan pengetahuan yang diperoleh, memakai  langkah-
langkah tertentu yang teratur dan terarah sehingga menjadi suatu 
keseluruhan yang terpadu.
3. Koheren
 Unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung 
uraian yang bertentangan. Berarti setiap bagian dari jabaran ilmu 
pengetahuan itu yaitu rangkaian yang saling terkait dan 
berkesesuaian (konsisten).
4. Rasional
 Harus berdasar pada kaidah berpikir yang benar (logis).
5. Komprehensif
 Melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan 
secara multidimensional – atau secara keseluruhan (holistik).
6. Radikal
 Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya.
7. Universal
 Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana 
saja.
F. Isi Hukum
Yang menjadi pokok dalam hakikat hukum yaitu untuk mengetahui 
apa yang menjadi isi dari hukum itu. Sebagaimana yang melandasi 
permasalahan hakikat hukum yaitu adanya hukum, maka adanya 
hukum itu dapat dilihat melalui sarana optikan yang berada dalam 
hukum itu, yaitu yang menjadi isi dari hukum. Secara sederhana, bila 
ditilik dari keberadaan hukum, maka isi hukum itu dapat dilingkarkan 
dalam adanya empat isi, yaitu aksi, reaksi, aturan, dan konsekuensi, 
yang keempatnya hadir secara bersamaan dalam hukum walaupun akan 
terpisah ataupun dipilah satu-persatu. Aksi, adanya hukum sebab 
adanya aksi, yaitu perbuatan. Tentu saja yang dimaksud di sini yaitu 
perbuatan hukum.
Setiap aksi manusia di dalam hidupnya sedari ia lahir hingga 
meninggal yaitu aksi hukum atau perbuatan hukum. Perbuatan 
didahului oleh kehendak, kehendak yang didahului oleh pikir (ide) dari 
manusia. Ide pada dasarnya dilandasi oleh rasa ingin tahu, sementara 
tahu yaitu titik tolak dari adanya perbuatan yang sekaligus 
yaitu puncak aksi atau perbuatan hukum. sebab  tidak ada aksi 
yang tidak mengandung hukum, aksi yaitu hukumnya sendiri.
Bisakah anda membayangkan ada sesuatu perbuatan yang tanpa didasari 
oleh suatu ide dan kehendak? Atau mungkinkah, ada perbuatan yang 
dilakukan tanpa tahu? Semua yaitu suatu keniscayaan sebab 
setiap aksi dalam hidup manusia digerakkan melalui pikiran dan 
keinginan yang berasal dari akal dan hatinya.
Reaksi yaitu aksi setelah aksi. Setiap aksi menggiring 
aksi lanjutan yang menjadi reaksi. Dapat dikatakan bahwa reaksi 
yaitu jawaban dari adanya aksi. Aksi tidak mungkin berdiri 
sendiri bila tanpa reaksi, maka aksi akan terlihat seperti pernyataan 
tanpa pengertian. Di mana setiap pernyataan menuntut penjelasan bagi 
siapa yang mengeluarkannya dan dituntut oleh siapa yang mendengar 
   
atau menerimanya. namun  di sini reaksi lebih yaitu akibat, bukan 
sebab dari suatu aksi dan reaksi selalu menjadi jawab dari aksi.Perihal 
aksi menimbulkan persoalan yang baru, maka reaksi ini  akan 
bertransformasi menjadi aksi yang baru alias dapat dianggap sebagai aksi 
awal dari permasalahan baru yang ditimbulkannya, dan aksi pertama 
dianggap telah mendapat jawaban dari reaksi pertama. Kemudian 
aksi yang baru hasil bentukan dari reaksi terhadap aksi pertama akan 
menuntut reaksi pula dan menciptakan reaksi-reaksi berikutnya 
demikian seterusnya perputaran dalam lingkaran aksi reaksi hukum.
Aturan, kehidupan yang berjalan dengan segala aksi dan reaksinya, 
makna tercipta pertentangan dan terkadang ada  pula kolaborasi 
yang apik antara keduanya. Namun, tak jarang antara aksi dan reaksi 
saling bertentangan dengan pikiran dan keinginan manusia.
A. Pengertian Aksiologi Hukum
Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer) berperan dalam penentuan 
isi nilai-nilai dalam hukum, seperti persamaan, kebebasan. Aksiologi 
sebagai nilai yang berlaku dalam setiap akta perbuatan manusia, seperti 
telah dijelaskan pada bab filsafat umum sebelumnya yaitu bagian 
tak terpisahkan dalam filsafat.
Pembahasan nilai-nilai yang berlaku dalam setiap perbuatan hukum 
akan selalu dikaitkan dengan terbentuknya hukum dan pelaksanaan 
hukum. Aplikasi dari nilai yang terkandung itu akan menurutkan 
kehendak yang ingin dicapai dalam hukum. Dalam kehidupan sehari-hari 
misalnya, di mana kita melakukan tindakan akan bernilai dan mampu 
dinilai baik buruknya. Seperti urutan jalannya filsafat yang mengaitkan 
nilai baik dan buruk dalam kenyataan tindakan dengan ajaran moral 
yang berlaku dalam warga  saat ini. Saat ini, hukum telah gagal 
memberikan penjelasan mengenai realitas yang terjadi sesungguhnya. 
Kehidupan praktik hukum dipenuhi dan sangat ditentukan oleh logika 
aturan di dunia profesional hukum. Titik terjauh yang dapat dicapai 
aturan itu pada akhirnya hanyalah kepastian hukum. Kegiatan atau 
praktik hukum sekarang ini yaitu kegiatan formal yang lebih 
mementingkan proses administrasi dalam usaha  penyelesaian perkara, 
dibandingkan  memberikan keadilan. Akibatnya, warga  digiring untuk 
berpikir formal dalam segala hal tentang hukum dan hal yang nonformal 
disisihkan atau dibuang sebab dipandang tidak bernilai. Akibatnya, 
praktik hukum ini  hanya akan mematikan peran kearifan lokal, 
daya nalar, daya kritis, daya analitis, daya interpretatif, daya kreativitas, 
serta imajinasi dari penegak hukum dan warga . Pada akhirnya, 
kearifan lokal terdegradasi kepada konsep-konsep formal, pola pikir 
itu tidak terlepas dari apa yang kita sebut sebagai sebuah proses 
kolonialisme pengetahuan.
Kearifan lokal lebih sering digambarkan sebagai bentuk, atau 
wadah untuk tindakan atau perilaku tertentu, atau kegiatan rutin yang 
dilakukan oleh kelompok atau warga  tertentu, bahkan kearifan 
lokal lebih sering diartikan sebagai tindakan atau perilaku tertentu 
dari warga  tradisional, warga  konvensional, atau warga  
pedesaan yang kuno, kaku, bahkan tidak berkembang. Kearifan lokal 
hendaknya dipahami sebagai sebuah pencapaian cara berpikir manusia 
dalam mencapai derajat tertentu. Kearifan lokal meliputi dan mencakup 
pilihan-pilihan warga  tentang apa yang dipandang baik dari aspek 
ideal, materiil, dan hiperreal.
Ajaran moral mengenai yang baik dan buruk membuat aksiologi 
hukum penuh dengan penilaian akan sesuatu yang baik. Berangkat 
dari pemahaman ini , maka hukum pula memiliki nilai untuk 
diwujudkan dalam bentuk peraturan ketetapan dan lain sebagainya. 
Aksiologi menentukan misalnya nilai apa yang ingin dicapai dalam 
suatu peraturan atau sebaliknya nilai apa yang mendasari terbitnya 
suatu ketetapan hukum. Dalam hukum ada nilai yang ingin diwujudkan 
di antaranya nilai kebebasan, nilai keadilan, nilai kemanfaatan, nilai 
persatuan, ketertiban, dan lain sebagainya. Lalu, ada antinomi atau 
lawan dari nilai ini  yang tentu saja selalu berdiri sejajar dan 
tarik menarik. Layaknya lambang hukum itu sendiri, yaitu timbangan, 
maka manusia sebagai pemilik serta pembuat hukum harus menjaga 
timbangan itu pada titik keseimbangan.
Nilai persatuan umpamanya melandasi negara untuk mem-
perbolehkan rakyatnya bersekutu dan berserikat dan membuat per-
kumpulan-perkumpulan. sebab  bila dilarang tentu akan menimbulkan 
perlawanan rakyat yang mengancam keamanan negara yang pada akhirnya 
membahayakan persatuan, lagi pula keinginan berkumpul yaitu salah 
satu hak asasi. Namun di sisi lain, kebijakan ini bukannya tidak berbahaya 
bagi negara. Banyaknya perkumpulan atau organisasi kewarga an 
menuntut kejelian pengawasan dari pemerintah, meskipun bukan 
berarti mengekang. Sejarah membuktikan perkumpulan yang memicu 
pemberontakan, ataupun terjadi konflik horizontal di antara sesama ormas 
yang kerap terjadi dewasa ini dikarenakan perbedaan ideologi.
Di sini tampak adanya pertentangan nilai antara nilai persatuan 
dengan nilai kebebasan. Untuk itu diperlukan adanya nilai lain yang 
dianggap jalan tengah, misalnya nilai kemanfaatan. Apa manfaatnya 
bila kebebasan diberikan tapi malah mengandung mudharat yang 
mengancam persatuan. Namun tidak bisa serta merta memutuskan 
untuk mengekang kebebasan demi mencapai persatuan, sebab 
pengekangan justru memicu perlawanan dan pemberontakan yang 
akhirnya juga perpecahan. Artinya, ada skala prioritas dalam pencapaian 
nilai-nilai dalam hukum.
Nilai keadilan misalnya, apakah memiliki prioritas untuk dicapai 
terlebih dahulu, atau nilai kemanfaatan terlebih dahulu. Namun 
pencapaian kedua nilai itu harus bersumber dari nilai kepatuhan, 
ketaatan, dan ketertiban. Dalam hal ini teringat salah satu perintah 
Tuhan dalam QS. An-Nisa (4): 59 “Hai orang-orang yang beriman, 
taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri (pemimpin) di antara 
kamu. Kemudian kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka 
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (hadis) jika kamu 
benar-benar beriman kepada Allah dan hari lalu . Yang demikian 
itu lebih baik dan lebih baik pula akibatnya”.
Dari ayat di atas dapat dipetik hikmah bahwa nilai ketaatan dapat 
mewujudkan nilai keadilan dan kemanfaatan, pun secara bersamaan 
bisa berakibat perlawanan dan perpecahan. Hierarki ketaatan dalam 
ayat ini  yaitu, Tuhan, Nabi, dan Pemerintah. Dalam tragedi banjir 
di Jakarta saat ini misalnya, di manakah hukum akan menempatkan diri 
untuk dapat menanggulangi pada masa kini serta membuat antisipasi ke 
masa depan demi mengurangi kemungkinan bahaya banjir terjadi lagi? 
Kita dapat memulai misalnya dengan nilai ketaatan, bahwa musibah itu 
tidak dapat dicegah sebab hakikatnya ujian dari Tuhan. Menghadapinya 
dengan nilai tabah, pasrah, tawakal, ikhlas, atau dengan introspeksi 
diri dengan memohon ampunan pada Tuhan serta berdoa agar musibah 
cepat berlalu dan tidak terulang.
   
Namun, ini tidak cukup sebab hidup terus berjalan, hidup bukan 
hanya ide, jauh setelah itu harus diwujudkan dengan tindakan nyata. 
Lalu kita ke nilai berikutnya yaitu kebersamaan. Apa yang dapat 
dilakukan? Saat ini penguasa dapat memakai  segenap perangkat 
hukum yang ada untuk menanggulangi bencana dengan mengerahkan 
semua pihak yang dapat terlibat di dalamnya. Penanganan bencana 
sudah ada undang-undang Kementerian Sosial, PMI, bahkan TNI dan 
Polri pun telah bersinergi dengan dasar hukum masing-masing.
Setelah itu untuk mengantisipasi kemungkinan ke depan 
penguasa perlu menegakkan semua peraturan yang berhubungan 
dengan konservasi alam. Pemberian izin terhadap pengembang mall dan 
perkantoran harus segera dihentikan. Perusahaan dan perkantoran yang 
tidak memenuhi standar AMDAL harus segera dicabut izinnya. Tata 
ruang terbuka hijau, pengaturan pemukiman, serta normalisasi sungai 
dan anak sungai. Hingga penerapan peraturan daerah tentang sampah 
secara maksimal. Di sini nilai kemanfaatan hukum menjadi prioritas.
Permasalahan nilai yaitu permasalahan abstrak, sebab nilai itu 
abstrak. Yang nyata yaitu fenomena atau fakta perbuatannya. Sama 
abstraknya dengan hakikat hukum itu sendiri, yang nyata yaitu 
tindakan hukumnya. Di mana setiap tindakan dapat dikategorikan 
sebagai tindakan hukum, baik itu yang bersifat privat maupun publik. 
Apakah suatu tindakan hanya berdampak pada diri si pelaku sendiri 
ataupun berdampak secara hukum terhadap orang lain. Oleh sebab 
itu, sejatinya nilai kebebasan, kemanfaatan, keadilan, persatuan, dan 
lain sebagainya akan nyata bila telah dilakukan dalam suatu tindakan, 
dalam hal ini tindakan hukum.
Untuk lebih mengkonkretkan suatu nilai, maka perlu diurutkan 
atau diturunkan kepada sesuatu yang lebih konkret seperti asas, 
kaidah, dan sikap tindak. Seperti yang ada  dalam piramida hukum. 
Akan halnya piramida makanan, maka piramida hukum pun memiliki 
penampang terbawah yang lebih besar dan semakin mengecil ke atasnya. 
Nilai yaitu puncaknya, atau predator terakhir dalam piramida 
makanan. Di bawahnya ada  asas diikuti kaidah serta sikap tindak 
yang yaitu dasar dari piramida itu.
Hukum seharusnya menjunjung tinggi, menjamin atau “menciptakan” 
nilai-nilai seperti keadilan, kebenaran, kepatuhan, kejujuran (terutama 
bagi penegak hukum), kepastian hukum, dan kemanfaatan atau daya 
guna. Nilai kepastian hukum misalnya, hukum harus dapat membuktikan 
kepastiannya dengan pencapaian tujuan hukum itu sendiri. Bila tidak, 
kepastian hukum hanya menjadi isapan jempol belaka. Nilai kepastian 
harus melingkupi semua proses penegakkan hukum, mulai dari tindakan 
hingga proses putusan pengadilan.
Paradigma yang beredar dewasa ini meragukan adanya nilai 
kepastian hukum. Kepastian hanya dianggap milik ilmu-ilmu science 
seperti matematika dan teman-temannya. Mengapa demikian? sebab  
matematika berisi proposisi yang memiliki dasar dengan alasannya sendiri. 
Alasannya, meliputi logika deduktif dengan definisi yang dipakai nya, 
serta dihubungkan dengan asumsi aksioma atau postulat matematis, 
sebagai basis pernyataannya. Landasan ini membuat matematika memiliki 
kekuatan pembuktian deduktif dalam proposisinya.
Di sisi lain, agama juga memiliki kepastian yang mutlak. Bukan 
sebab harus diyakini semata, namun  juga memiliki pernyataan yang 
logis, dapat dipikirkan dan dibuktikan. Sebagai contoh pernyataan dalam 
QS. Al-Insyiraah (94): 5-7 berikut. “sebab  sesungguhnya sesudah 
kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu 
ada kemudahan. Maka jika  kamu telah selesai (dari suatu urusan) 
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.
Nilai yang terkandung dalam ayat di atas, yaitu nilai kepastian, 
mengapa? sebab  hal yang pasti setelah kesulitan ada kemudahan. 
Seorang pendaki gunung yang dengan susah payah berpeluh keringat 
merangkak demi mencapai kenikmatan berada di puncak. Begitu sampai 
di puncak semua kesusahan serta merta hilang tak berbekas. saat  
turun gunung tentu saja medan yang dilalui akan sangat mudah. Namun 
demikian, setelah selesai urusan di puncak, maka harus kembali ke 
urusan lainnya dengan sungguh-sungguh, tidak boleh berlama-lama 
dan bermalas-malasan. Seperti pepatah bule “Do not until tomorrow what 
you can do today”. Demikian pula bila dikaitkan dengan ilmu ekonomi 
misalnya, merintis usaha dari nol terasa sangat sulit, penuh dengan 
beragam rintangan, namun seiring waktu serta banyaknya pelanggan 
dan tenaga penjual yang andal tak lama usaha itu akan mencapai puncak 
dan semua menjadi lebih mudah sebab banyak relasi. Sejalan dengan 
prinsip ekonomi di mana banyak permintaan akan menaikkan harga 
penjualan, maka produksi akan ditambah, karyawan akan ditambah, 
gaji karyawan dapat dinaikkan pula. Itu kepastiannya. Lalu di mana 
   
letak nilai kepastian hukum? Nilai kepastian hukum terjadi pada saat 
tujuan hukum tercapai.
B. Korelasi Nilai, Asas Hukum, Norma Hukum, dan Sikap 
Tindak
Nilai itu yaitu suatu keadaan yang dapat kita ketahui, namun 
sifatnya abstrak. Dalam situasi hukum, nilai ini  diturunkan 
lagi dalam bentuk pilihan yang diberi nama asas hukum, sehingga 
nilai ini menjadi landasan dari keberadaan asas hukum. Asas hukum 
pada dasarnya berbentuk prinsip-prinsip umum, sehingga belum pula 
bisa langsung dioperasionalkan. Untuk dapat dikonkretkan dalam 
warga , maka asas hukum (proses menjadi) dijelmakanlah ke dalam 
norma yang dikenal dengan nama peraturan hukum. Dari sana dapat 
kita lihat bahwa asas hukum ini menjadi fondasi bagi keberadaan norma 
yang berupa peraturan-peraturan hukum ini . Dari pandangan itu 
bisa kita renungkan bahwa konkretisasi peraturan-peraturan hukum itu 
pada dasarnya mulai dari proses awal sampai kepada akhirnya dapat 
dikembalikan kepada asas-asas hukumnya.
Asas hukum inilah yang memberi makna hukum dari nilai-nilai 
etis yang dijunjung tinggi. Dengan kata lain, asas hukum yaitu 
jembatan antara peraturan hukum dan pandangan etis warga nya. 
Kalau nilai-nilai etis ini  yaitu hasil pertimbangan, dalam 
arti cerminan kehendak warga  yang menjunjungnya, maka asas 
yaitu konsepsi abstrak bagaimana seharusnya.
Asas hukum tidak akan habis kekuatannya sebab telah melahirkan 
suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap ada dan akan melahirkan 
peraturan-peraturan hukum selanjutnya. Dengan kata lain, dari suatu 
asas hukum dapat diturunkan berbagai peraturan hukum. Oleh sebab 
itu, Paton menyebut asas hukum sebagai suatu sarana yang membuat 
hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang sehingga hukum bukan 
sekadar kumpulan peraturan, melainkan dengan mengandung nilai-nilai 
dan tuntutan-tuntutan etis telah mengubah sifatnya menjadi bagian 
dari suatu tatanan etis.
Peraturan hukum hanya yaitu lambang-lambang saja 
yang dipakai untuk menyampaikan norma-norma hukum. Menurut 
Zevenbergen, norma hukum mengandung dua hal:
1. patokan penilaian, yaitu menilai kehidupan warga  dengan 
menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik; 
2. patokan tingkah laku, yaitu berdasarkan suatu penilaian tertentu 
maka dibuatlah petunjuk-petunjuk tentang tingkah laku atau 
perbuatan. 
maka , norma hukum mengandung makna di satu 
pihak sebagai patokan yang memuat penilaian mengenai perbuatan 
tertentu untuk berperikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup 
menurut peraturan perbuatan mana yang harus dijalankan dan yang 
harus ditinggalkan, atau ukuran ataupun pedoman hukum dan di lain 
pihak yaitu patokan. 
Asas hukum membentuk isi norma hukum yang dirumuskan 
dalam peraturan hukum. Tanpa asas hukum, maka norma hukum akan 
kehilangan kekuatan mengikatnya. Di lain pihak, tanpa mengetahui 
asas-asas hukum tak mungkin dapat memahami hakikat hukum. Oleh 
sebab itu, untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-
baiknya tidak bisa melihat peraturan-peraturan hukumnya saja, namun  
juga harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya.
Pembentukan norma hukum yang tidak didasarkan pada asas-asas 
hukum konstitutif menghasilkan norma-norma yang secara materiil 
bukan yaitu norma hukum. Dan jika  asas-asas hukum regulatif 
tidak diperhatikan, maka yang dihasilkan yaitu norma-norma hukum 
yang tidak adil. 
Setelah asas hukum dijelmakan ke dalam bentuk norma hukum 
yang berupa pedoman atau patokan, selanjutnya patokan ini  
baru dapat dioperasionalkan untuk mengarahkan sikap tindak manusia 
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. sebab  tujuan yang diinginkan 
ini  niscaya sesuatu yang bernilai, sedangkan nilai yaitu hasil 
pertimbangan yang tercermin dalam kehendak manusia itu sendiri, 
maka hal yang mewajibkan manusia bersikap tindak menurut patokan 
yang telah ditentukan ini  sesungguhnya bukan dipaksakan dari 
luar, namun  yaitu keyakinan dalam diri manusia itu sendiri. 
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya hubungan antara nilai, 
asas, norma, dan sikap tindak dalam hidup menurut hukum secara 
linier sangat erat berkaitan. Nilai yang yaitu “hasil pertimbangan 
manusia” itu menjadi patokan pokok terwujudnya asas-asas hukum. 
   
Asas-asas hukum yang yaitu “konsepsi abstrak tentang bagaimana 
seharusnya” itu menjadi unsur pokok pembentukan isi norma hukum. 
Norma hukum yang yaitu konkretisasi “patokan yang menjadi 
pilihan” dan yang terumus dalam peraturan hukum itu menjadi 
pedoman dalam bersikap tindak dan berperilaku dalam hidup menurut 
hukum.
C. Nilai-Nilai Dasar dalam Hukum 
Magnis-Suseno dengan mengutip para ahli Jerman antara lain Reinhold 
Zippelius, mengemukakan bahwa ada  tiga nilai dasar yang harus 
direalisir di dalam hukum, yaitu nilai kesamaan, kebebasan, dan 
solidaritas. 
1. Nilai Kesamaan 
Zippelius memandang bahwa eksistensi hukum hanya masuk akal 
jika  hukum dapat menjamin nilai kesamaan. Penyelesaian konflik 
dalam warga  modern tidak lagi didasarkan kepada siapa yang 
kuat atau siapa yang lemah, melainkan didasarkan pada kriteria 
objektif yang berlaku bagi pihak kuat dan pihak yang lemah. Ini 
memperlihatkan setiap pihak yang dipandang sama di hadapan hukum. 
Hukum berlaku umum, tidak hanya berlaku untuk pihak tertentu. 
maka , hukum menjamin kedudukan yang sama bagi setiap 
anggota warga .
Berdasarkan kesamaan semua anggota warga  sebagai manusia 
dan warga negara, maka tidak ada orang atau sekelompok orang yang 
begitu saja dapat memerintah kecuali ia mendapat penugasan atau 
persetujuan dari warga warga  itu sendiri. Keyakinan ini terungkap 
dalam istilah kedaulatan rakyat. Setiap wewenang untuk memerintah 
haruslah mendapatkan persetujuan warga . maka , 
wewenang penguasa untuk memerintah telah mendapatkan keabsahan 
(legitimasi) secara demokratis.
Kedaulatan rakyat tidak berarti segala keputusan harus diambil 
langsung oleh rakyat melainkan pemerintahan itu tetap berada di bawah 
kontrol warga . Kontrol itu dapat dilaksanakan melalui dua cara 
yaitu pertama, melalui pemilihan wakil-wakil rakyat. Kedua, melalui 
keterbukaan (publicity) pemerintahan. Oleh sebab itulah, di dalam 
negara demokrasi seperti negara kita  pemilihan umum yang jujur untuk 
mendapatkan wakil rakyat yang betul-betul memiliki legitimasi dan 
kebebasan pers untuk mendukung keterbukaan pemerintahan yaitu 
hal esensial. 
Nilai kesamaan dalam etika politik disebut “keadilan”, Keadilan 
yaitu keadaan antarmanusia di mana manusia diperlakukan sama 
dalam situasi yang sama. Nilai pertama yang harus dijamin oleh hukum 
yaitu keadilan. Pembukaan UUD 1945 menjamin bahwa dalam 
mencapai tujuan negara haruslah antara lain berdasarkan keadilan sosial. 
Keadilan sosial yaitu keadilan yang pelaksanaannya tergantung 
dari struktur ekonomis, politis, budaya, ideologis. Struktur-struktur 
ini  yaitu struktur kekuasaan yang memicu segolongan 
orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau 
tidak dapat bagian yang wajar dari harta kekayaan dan hasil pekerjaan 
warga  secara keseluruhan. 
Melaksanakan keadilan sosial berarti membongkar seperlunya 
struktur-struktur kekuasaan yang ada dan dengan sendirinya akan 
berhadapan dengan pihak-pihak yang sedang berkuasa. Pihak yang 
disebut terakhir ini tidak akan tinggal diam. Mereka tetap berusaha 
mempertahankan status quo, sehingga keuntungan yang didapat dari 
struktur yang timpang itu tetap berlangsung. sebab  itu tidak masuk akal 
mengusahakan keadilan sosial hanya datang dari mereka yang berkuasa. 
Usaha itu harus datang dari golongan yang menderita ketidakadilan 
serta kesediaan elite yang berkuasa untuk membuka monopolinya atas 
kekuasaan ini . Sebagai contoh dapat dilihat bahwa UUD 1945 
yaitu sarana bangsa negara kita  untuk membongkar struktur sosial, 
ekonomi, ideologi, dan budaya penjajah yang memicu rakyat 
negara kita  berada dalam ketidakadilan. 
2. Nilai Kebebasan 
Hukum mencegah pihak yang kuat mendominasi atau mencampuri 
pihak lemah, ia langsung memperlihatkan bahwa hukum melindungi 
kebebasan manusia. Fungsi hukum sebagai penjamin kebebasan 
manusia menjadi pokok filsafat hukum Hegel. Sepintas kelihatannya 
hukum itu membatasi kebebasan manusia. Pembatasan kebebasan 
oleh hukum itu mendapat persetujuan dan pengakuan warga , 
   
sebaliknya pembatasan kebebasan oleh pihak yang kuat tidak didasarkan 
pada persetujuan bebas dari rakyat. 
Inti kebebasan ialah bahwa baik setiap orang atau kelompok orang 
berhak untuk mengurus dirinya sendiri lepas dari dominasi pihak lain. 
Kebebasan tidak berarti orang berhak hidup menurut kemauannya 
sendiri. Secara hakiki manusia itu yaitu individu yang bersifat sosial, 
di mana ia hidup dalam suatu jaringan dengan manusia lain dan dengan 
demikian ia harus memperhatikan serta tergantung pada orang lain. 
maka , kebebasannya dibatasi oleh kebebasan pihak lain. 
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebebasan itu yaitu kebebasan 
untuk mengurus diri sendiri lepas dari campur tangan si kuat yang 
dipaksakan secara sewenang-wenang. Kebebasan mengurus diri sendiri 
yaitu hak asasi universal. Kebebasan ini pertama kali diperjuangkan 
oleh kaum liberal yang pada mulanya berusaha untuk melindungi 
kehidupan mempengaruhi dari campur tangan yang dipaksakan oleh pihak 
lain. Nilai kebebasan mencakup hak untuk hidup, kebutuhan jasmani, 
kebebasan mencakup hak untuk hidup, kebutuhan jasmani, kebebasan 
bergerak, mengurus rumah tangga sendiri, hak memilih pekerjaan dan 
tempat tinggal, kebebasan berpikir, berkumpul, dan berserikat. 
Nilai kebebasan yang harus direalisasikan oleh hukum ini 
memicu adanya pembatasan terhadap tugas-tugas negara 
yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum, sehingga dalam 
melaksanakan tugas tidak melanggar nilai kebebasan. Kesejahteraan 
umum yaitu syarat-syarat atau kondisi-kondisi yang perlu disediakan 
oleh negara untuk warga , sehingga individu- individu, keluarga-
keluarga, dan kelompok-kelompok dapat memanfaatkannya untuk 
mencapai kesejahteraan masing-masing. Negara sendiri tidak boleh 
secara langsung menyejahterakan rakyatnya, melainkan membantu 
orang untuk mencapai sejahtera. Yang dapat merasa kesejahteraan 
masing-masing itu hanya yang bersangkutan. Negara tidak memiliki 
kemampuan untuk melaksanakan kesejahteraan masing-masing itu.
3. Nilai Kebersamaan
Hukum yaitu institusional dari kebersamaan manusia. Sebagai 
makhluk sosial, manusia secara hakiki harus hidup bersama. Untuk itu 
ia memerlukan tatanan hukum untuk mengatur hubungannya dengan 
sesama manusia. Pembatasan kebebasannya untuk memberikan ruang 
gerak kepada pihak lain yaitu pengakuan institusional terhadap 
solidaritas sesama manusia. Ungkapan franternite, pe