Home » filsafat hukum 4 » filsafat hukum 4
Rabu, 31 Mei 2023
kan, menginterpretasi, mensistematisasi
bahan-bahan hukum yang terdiri asas-asas, aturan-aturan, dan putusan-
putusan hukum untuk menetapkan hukumnya yang berlaku atas
masalah hukum yang timbul. Penyelesaian masalah tidak dimulai dengan
aturan-aturan hukum, melainkan dimulai dengan masalah, yang berupa
memaparkan sejumlah fakta, hubungan-hubungan, dan kejadian-
kejadian yang di dalamnya tersembunyi satu atau lebih masalah yuridis.
G. Van Der Burght dan J.D.C. Winkelman menjelaskan bahwa ada
7 (tujuh) langkah penyelesaian masalah , yaitu:
1. Pemaparan singkat duduk perkara (skematisasi)
Langkah ini berkenaan dengan penataan sekelompok fakta-fakta
dan kejadian-kejadian hingga mewujudkan suatu keseluruhan yang
jelas dan berkerangka umum (berwujud sebuah ikhtisar) atau suatu
gambaran umum menyeluruh (overzichtelijk).
2. Penerjemahan masalah ke dalam peristilahan yuridis (kualifikasi)
Fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang telah tertata itu selanjutnya
harus diterjemahkan ke dalam peristilahan yuridis berdasarkan
aturan hukum yang mungkin terpilih untuk diterapkan. Langkah
ini disebut tindakan mengkualifikasi. Pada fase ini, yang dilakukan
yaitu meletakkan hubungan antara fakta-fakta dan aturan-aturan
hukum.
3. Seleksi aturan-aturan hukum yang relevan
Pada fase ini orang dikonfrontasikan (dihadapkan) pada pertanyaan:
di mana dan dengan cara apa saya temukan aturan-aturan hukum
yang dapat diterapkan pada masalah itu. Tempat menentukan dari
sumber-sumber pengenalan (hukum) atau sumber hukum formal
yang penting dari hukum kita yaitu perundang-undangan, putusan
hakim (peradilan), dan kepustakaan hukum dalam majalah-majalah
dan buku-buku.
4. Analisis dan interpretasi aturan-aturan hukum
Tentang aturan-aturan hukum, hendaknya jangan hanya terfokus
pada aturan-aturan hukum yang tercantum dalam pasal-pasal
undang-undang saja. Banyak aturan hukum (yang dinamakan
hukum tidak tertulis) yang tidak secara harfiah dapat ditemukan
kembali dalam undang-undang, namun dalam perjalanan waktu
dibentuk dan dikembangkan oleh peradilan. Segera setelah aturan-
aturan hukum yang dapat diterapkan ditemukan dan diseleksi,
maka isi (dari teks) dari aturan hukum itu harus ditetapkan dan
diuraikan (dijelaskan, ditafsirkan).
Dalam penerapan hukum, seorang hakim dituntut untuk selalu
memperhatikan perasaan keadilan dalam warga , sebab semakin
dinamisnya kehidupan warga akan memicu kaidah hukum
selalu tertinggal, sehingga hakim harus menghidupkannya seiring
dengan perubahan dan rasa keadilan warga .
Secara teknis metode-metode interpretasi dapat dibagi ke dalam
metode penafsiran, yakni penafsiran gramatikal, sistematis,
sejarah, teleologis, autentik, dan metode konstruksi, yakni analogi,
penghalusan hukum (rechtsvefijning), dan argumentum a contrario.
5. Penerapan aturan-aturan hukum pada masalah
Jika arti dari suatu aturan hukum dan akibat-akibat hukum yang
terkait pada aturan hukum itu melalui penelaahan, analisis, dan
interpretasi telah ditetapkan, maka apa yang ditemukan itu harus
diterapkan pada masalah yang tengah dihadapi.
6. Mengevaluasi dan menimbang argumentasi dan penyelesaian
Sering terjadi bahwa terhadap satu aturan hukum dapat diberikan
lebih dari satu interpretasi. Untuk masing-masing interpretasi itu
diajukan argumen-argumen untuk mendukungnya. Pada umumnya
dimungkinkan bahwa interpretasi yang bersangkutan telah turut
diberikan oleh konsekuensi-konsekuensi yang terkait padanya bagi
(pihak-pihak dalam) masalah ini .
Hal menimbang berbagai argumen yang berbeda dapat ditentukan
(dipengaruhi) oleh sikap dari para yuris terhadap gejala-gejala dan
masalah-masalah individual dan kewarga an.
7. Formulasi penyelesaian
Jika setelah menjalani berbagai fase, akhirnya penyelesaian untuk
masalah itu ditemukan, maka penyelesaian itu harus dipaparkan dalam
bahasa yang jelas dan dapat dipahami. Hal demikian itu disertai
dengan suatu susunan yang berkerangka umum dan pembagian
serta penanganan butir demi butir dari masalah itu.
Ketujuh langkah ini, yaitu landasan dasar epistemologis yang
perlu ditempuh oleh seorang hakim untuk menyelesaikan suatu perkara
yang dihadapinya. Melalui langkah demikian, penerapan aturan-aturan
hukum tertulis yang ada dalam peraturan perundang-undangan
(law in book) akan dapat memenuhi perasaan keadilan yang berkembang
dalam warga , sebab memang dalam menerapkan hukum seorang
hakim harus memperhatikan hukum yang hidup dalam warga
(living law).
1. Epistemologi Penelitian Hukum
a. Positivisme Logikal
Beberapa Tokoh:
• GE More (1873-1958).
• Bertrand Russel (1872-1970).
• LWittgenstein.
• Rudolf Carnap (1891-1970).
Inti Pemikiran:
“Ilmu yaitu pengetahuan ilmiah yang telah teruji secara benar
menurut prosedur sains tentang sesuatu kejadian di alam empiris.”
Metode Berpikir: Metode empiris dengan memakai penalaran
logika induktif.
Medan Uji: Verifikasi fakta yang dapat diobservasi secara empiris.
Teori Kebenaran: Teori kebenaran korespondensi (kebenaran yaitu
kesesuaian antara proposisi dengan fakta).
Keterbatasan Positivisme Logikal:
1) Suatu teori pada dasarnya yaitu pendekatan yang dipakai untuk
telah dilakukan wajib menjawab dari permasalahan yang dihadapinya.
Menjawab permasalahan pokok tertentu, artinya pembuktian yang
telah dilakukan wajib menjawab dari permasalahan yang dihadapinya.
Namun pada aplikasinya, suatu teori memiliki kecenderungan yang
senyatanya mendominasi alternatif yang diberikan oleh solusi teori
lainnya, alhasil maka teori awal yang dipilih seolah menjadi doktrin
religius yang tidak dan tak boleh dibantah. Contoh: Galileo Galilei
harus mati untuk memberikan teori bahwa “bumi bulat”. Hegemoni
atas prestise gelar “profesor” memutuskan pendapat orang lain yang
mungkin bernilai benar, namun senyatanya sebab hal ini sudah
distandardisasi dan digeneralisasikan melalui UU dan juga dengan
rendah pendidikan formal, maka menyempitkan “duduk sama tinggi,
berdiri sama rendah”.
2) Lalu, kejanggalan teori yang sudah terakreditasi, padahal masih
wajib untuk diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidakbenarannya, artinya terjadi proses
pembalikan nilai. Pada awalnya teori wajib didukung fakta umum,
namun lalu akan teruji dengan fakta yang muncul lalu
mengiringi permasalahan awalnya. maka , pembenahan
terhadap kekurangan atau kelemahan suatu teori wajib diberi ruang
untuk itu. Kalau sedemikian, maka dapatlah terjadi regenerasi teori
untuk suatu permasalahan yang sama. Oleh karenanya, proses
pembuktian wajib menjadi media logika baku bagi mereka yang
prada di jenjang formal ataupun nonformal. Contoh: tidak setiap
putusan hakim akan selalu bernilai “benar”, sekalipun fakta, saksi
dan bukti telah diperiksa.
3) Positivisme logis beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada
dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman
atau fakta nyata dengan memakai ilmu pasti dan logika,
menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan yaitu
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan. Artinya, positivisme
sendiri menyerang keberadaannya dengan dalil-dalil yang ada,
sebab lingkup observasi yang cenderung menyempit, saat terjadi
perluasan arena penelitian maka berkemungkinan menjadi # (tidak
sama dengan). Hal ini menandakan bahwa positivisme logis, tidak
bisa diberlakukan secara umum, akan namun hanyalah untuk lex
specialis. Contoh: beras menjadi makanan pokok bagi WNI yang
berada di bagian barat, namun hal ini termentahkan oleh WNI di
bagian timur yang menjadikan sagu atau gandum sebagai makanan
pokoknya. sebab itulah “lain padang-lain belalang” sehingga dapat
mementahkan teori positivisme logis.
Teori positivisme logis, lambat, dan bahkan tidak dapat menerima
probability yang akan terjadi pada masa yang akan datang sekalipun
hal itu telah diprediksi oleh sebagian kecil, sebab metode induktif
menghendaki fakta dan data terlebih dahulu, sebagai bahan
observasi.
b. Rasionalisme Kritis
Tokoh: Karl Raymund Poper (1902-1994)
Inti Pemikiran:
“Ilmu bersumber dari akal budi manusia yang memahami kebenaran
realitas, tidak tergantung kepada pengamatan, pengalaman, dan
penggunaan metode empiris”.
Metode Berpikir: Metode deduktif dengan memakai penalaran
atau logika deduktif.
Medan Uji: Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi
indrawi, namun dengan kriteria konsistensi logis.
Teori Kebenaran: teori kebenaran koherensi (kebenaran yaitu
kesesuaian antara proposisi dengan ide-ide proposisi terdahulu).
Keterbatasan Rasionalisme Kritis:
1) Teori ini terbentur dengan kenyataan yang mendasarkan bahwa,
pemikiran yang dinyatakan oleh seorang manusia pun masih
terikat pada apa yang disebut indrawi. Secara harfiah, maka ada
fase yang akan dilewati seorang bayi yang baru lahir untuk tidak
dapat bertanya pada siapa atau apa pun tentang “who am i?”. Artinya
proses badaniah manusia juga memerlukan tahapan untuk sampai
pada apa yang disebut sebagai berpikir.
2) Pemikiran awal seseorang tidak lantas akan dapat langsung
mengkritisi pendapat orang lain atau menegakkan argumentasi
untuk suatu pembelaan terhadap pemikirannya sendiri, sebelum ia
mengetahui hukum tahu. Artinya, pengalaman yaitu proses
yang wajib dijalani setiap makhluk, tanpa disertai perintah atau
keharusan.
3) Rasionalisme, menganjurkan agar pengetahuan itu diukur
dengan kriteria konsistensi logis. Sementara rasionalisme sendiri
yaitu bagian dari pengetahuan. Jadi sampai kapankah proses
uji antinomi ini akan berlangsung jika tidak dikomparasikan
dengan “empirisme”. Jikalau tidak, apakah yang menjadi ukurannya.
Sedangkan rasionalisme sendiri “mewajibkan” agar pengetahuan
yang ada diuji dengan ketidakbenarannya artinya empirisme bisa
juga menjadi batu uji bagi rasionalisme, namun dalil yang telah
dikeluarkan rasionalisme telah terbantah dengan sendirinya.
Artinya rasionalisme pun telah “menutup” diri atau mendogmakan
diri dari suatu pembuktian yang tentunya akan menghambat
kemajuan ilmu dan pengetahuan yang menjadi tujuannya pula.
4) Rasionalisme mendalilkan “diri” sebagai “aksioma” (yang tidak
perlu lagi untuk dibuktikan). Masalahnya adalah, apakah segala
sesuatu yang secara umum diakui kebenarannya tidak perlu lagi
dipertentangkan.
5) Rasionalitas tidak bisa menghadirkan atau memproduksi nyawa,
namun mungkin cloning dimungkinkan. Artinya, rasio itu hidup
dalam dunia murni atau dunia ide, bukan terapan dengan demikian
hanya ide yang dapat menyerapnya, rasio berada pada dimensi yang
berbeda dari dimensi indrawi.
6) Multidisipliner hukum akan terbawa pada matematika murni,
yang berarti sebab semua pengertian dinyatakan dalam dalil-dalil
atau rumus-rumus artinya setiap anak yang memasuki jenjang
pendidikan akan bertemu angka sebagai pedoman kata untuk
berkalimat, bukan huruf agar mempermudah sinkronisasi ilmu
yang satu dengan yang lain dengan tujuan agar setiap kata dapat
terbukti kebenarannya dalam dunia keseharian.
7) Dengan medan uji teori rasionalisme kritis yang memproses
kebenaran dengan tidak diuji melalui prosedur verifikasi indrawi,
namun dengan kriteria konsistensi logis termasuk pada ranah
hukum, maka tidak pernah ada yang namanya pluralisme hukum,
agama dan keyakinan, sebab ketentuan umum yang harus ditaati
bagaimana cara mereka beribadah, apalagi tentang adat istiadat.
Semua permasalahan sosial wajib telah disediakan solusinya,
bahkan sebelum permasalahan itu nyata terjadi. Artinya, tidak
ada tempat bagi hakim untuk menemukan hukum baru, apalagi
melakukan penilaian sehingga hanya akan menjadi corong undang-
undang semata. Namun apakah mungkin demikian?
8) Pengetahuan yang dibangun oleh rasionalisme hanyalah ide.
Jadi, hanya ide jua pula yang akan mengetahuinya, indrawi akan
dikesampingkan. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun
yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua
orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kebanyakan
orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep rasionalisme
ke dalam kehidupan keseharian yang praktis, oleh karenanya
ada kegagalan dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan
pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu
waktu lalu berubah pada waktu yang lain.
Adalah benar, ada bagian dari rasionalisme kritis dalam dunia hukum
di negara kita , namun harusnya, ada pengkualifikasian antara rasio terapan
dan rasio murni, agar tidak terjadi sesat logika untuk sampai dialektika.
c. Hermeneutik
Beberapa Tokoh:
• F Schleiermacher (1768-1834).
• Wilhelm Dilthey (1833-1911).
• Martin Heidegger (1889-1976).
• Hans George Gadamer(1900-2002).
Inti Pemikiran:
“Ilmu yaitu pengetahuan ilmiah yang diperoleh dengan cara
interpretasi, dan eksplanasi terhadap teks, peristiwa, dan
pemikiran”.
Metode Berpikir: Metode hermeneutik, interpretasi makna teks,
peristiwa pemikiran (secara deduktif) sesuai konteks (secara
induktif) dan mengkontekstualisasikannya sehingga direproduksi
makna baru (terkini).
Medan Uji: Interpretasi dan eksplanasi teks secara kontekstual
untuk menemukan makna teks yang baru.
Teori Kebenaran: Teori kebenaran pragmatis (kebenaran yaitu
kesesuaian antara proposisi dengan kepentingan praktis).
Keterbatasan Hermeneutik:
1) Pendefinisian terhadap satu “kata” oleh hermeneutik, mengalami
pembakuan makna yang belum tentu ada padanan maknanya
pada daerah lainnya, mengalami pendeduktifan, namun
pendeduktifan makna membuat “kata” mengalami makna bias yang
tidak wajar, seolah dipaksakan. Hal ini memicu “kata” itu
sendiri menjadi makna yang inkonsisten. Contoh: kata “konstruksi”
bisa diartikan melaksanakan, membangun. Dalam kajian bidang
hukum kata “konstruksi” cenderung dimaknai “membangun”,
namun terkadang juga bisa dimaknai keduanya, bergonta-ganti,
sehingga bisa mengalami penyerapan arti kata yang berbeda.
2) Pendefinisian kata pada hermeneutik dapat memberikan batasan
formal yang keliru bahkan menyesatkan. Raihan gelar pada jenjang
strata dalam dunia pendidikan contohnya, gelar “Doktor” belum
tentu menjadi dan terbukti terpredikat secara nyata, namun untuk
suatu kepentingan kata “Doktor” dapat dibeli demi prestise.
Namun yang memperparah hal ini tentunya, kita tidak pernah tahu
“ranking” berapa ia di kelasnya, apakah gelar “kata”ini dapat
dengan benar untuk dipertanggungjawabkan.
3) Tidak adanya aturan baku dalam penggunaan kata tertentu pada
setiap bidang kajian ilmu juga dapat memberikan pemikiran yang
keliru (contoh: penggunaan istilah ius atau lex), namun kesan yang
hendak ditampilkan dalam penggunaan kata ini lah sebetulnya
yang menjadi tujuan sesaat, hanya sebagai “trend”.
4) Bagi seorang ilmuwan bidang sains, yang dapat menjadi objek
penelitian objektif dan ilmiahnya yaitu benda-benda yang berada
di dalam dunia fisik, sedangkan hal-hal atau peristiwa-peristiwa
yang bertalian dengan individu hanya dapat dipahami dan
diinterpretasikan pada dunia benda, kita bisa mengetahui makna
kata ini dengan melihat bendanya, namun untuk manusia,
pemahamanlah yang diperlukan untuk memaknainya, terlebih
pendekatan yang dilakukan secara psikologis.
5) “Kata atau kalimat” belum tentu memiliki ruang lingkup makna
yang jelas dan terbatas, sebab hanya bisa diinterpretasikan semisal
kata “listrik” yang sempat menjadi permasalahan di dunia hukum.
Alhasil, perluasan maknalah yang lalu dipakai sebagai
pendekatan kualifikasinya.
6) Tidak ada penilaian “benar” atau “salah” (makna baru) dalam
memaknai lagu atau puisi, tidak ada kebakuan melainkan
berdasar interpretasi masing-masing subjek.
7) Tanpa penjelasan waktu tertentu (pada hermeneutika), makna kata
bisa menjadi bias dan tidak jelas. Contoh: kata “saat”, kata “saat”
bisa diartikan sekarang, permasalahannya, sekarang pada waktu
yang mana? sebab bila tidak demikian, akan dimaksud. Alhasil,
pendekatan yang dipakai sebagai gantinya yaitu “kira-kira”.
Pada dasarnya, saat memilih satu dari ragam pilihan, bukan
konsekuensi akibat pilihan yang kita terima, melainkan itu sudah
yaitu wujud keintegralan dalam makna yang disebut sebagai satu
untuk menjadi kesatuan. Ini yaitu landasan dasar yang mementahkan
faktor “kausalitas”. Kausalitas tampil sebagai komparasi dari dua
kenyataan yang berdasarkan rentangan waktu, historikal secara umum.
Bukan sebab “aku” memilih “aku” aku menjadi “aku”, melainkan engkau
yang berkata tentang “aku”, sehingga kausalitas menjadi muncul tentang
“aku”. Demikian halnya dengan pilihan untuk satu teori yang hendak
diberlakukan, dan dipakai oleh “bangsa negara kita ”, jika pilihan sudah
diputuskan yang tampak hanyalah penilaian, korespondensi atasnya
dianggap sebagai observasi perwakilan untuk pilihan itu sendiri. Walhasil,
teori akan terlihat dominan di antara teori-teori lainnya. Dan ini bukanlah
suatu determinasi, namun bisa menjadi wujud rekayasa harapan.
2. Epistemologi Sistem Hukum
Membicarakan kehadiran hukum sebagai suatu sistem, tidak terlepas
dari pendekatan atas pengertian sistem sebagai suatu kesatuan yang
bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan
satu sama lain. jika menempatkan sistem pada pusat pengamatan
sedemikian, menurut Schrode dan Voich yang dikutip Satjipto Rahardjo,
bahwa maka pengertian di dalamnya yaitu sebagai berikut:
• sistem itu berorientasi kepada tujuan;
• keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya
(wholim): suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,
yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem);
• masing-masing bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang
berharga (transformasi);
• masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (terhubung);
• ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme
kontrol).
Adapun untuk pendekatan filosofis terhadap sistem hukum dalam
ilmu hukum ini senantiasa bersifat sirkuler (melingkar) sesuai dengan
hakikat hermeneutika filosofis. Hukum bergerak seakan melingkar,
berdialektika dengan dan tanpa legitimasi yang harus didapatkan
dibandingkan yang hidup, akan namun diakui. Hukum berjalan otomatis
serentak dengan apa pun yang ada dalam hidup. Perbandingan jumlah
ataupun persentase jumlah yang ada di dalamnya berada pada porsi
yang ada dalam hidup. Perbandingan jumlah ataupun persentase jumlah
yang ada di dalamnya berada pada porsi yang utuh dan penuh, seperti
kepenuhan hukum yang ada dalam setiap gerak kehidupan. Pembicaraan
mengenai awal, proses “ada” dan puncak perjalanan hukum yang seiring
ruang dan waktu akan terus bergulir seperti hukum bersama ruang dan
waktu yaitu tetap. Hadir pertama dengan hakikat pertanyaan apa dan
siapa, di mana, kapankah, atau bagaimanakah? Demikian pula dengan
tujuan yang ditanyakan “dapatkah aku” manakala hadir dalam ide
dan realitas. Sistem yang utuh akan dapat dimengerti secara bertahap
dengan beragam tingkatannya artinya terbagi lagi menjadi kelas sistem.
Demikian halnya sistem yang utuh dan me-universal terbagi dalam
sistem-sistem parsial. Hukum pun demikian, terbagi dengan sebutan
hukum ekonomi, hukum tata negara, hukum negara. Semuanya diberi
label hukum sebab bagiannya, namun tetap disebut hukum.
E. Epistemologi Asas Hukum
Menurut Theo Huijbers, asas hukum yaitu prinsip-prinsip yang
dianggap dasar atau fundamen hukum dan yaitu pengertian-
pengertian yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, termasuk
titik tolak bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi
terhadap undang-undang itu sendiri. Dalam pandangannya, Huijbers
mengklasifikasikan asas hukum menjadi tiga macam, yaitu:
• asas hukum objektif yang bersifat moral;
• asas hukum objektif yang bersifat rasional;
• asas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional.
Asas hukum objektif yang bersifat moral atau asas moral hukum
lebih dipandang sebagai sesuatu yang idiil, yang belum tentu dapat
diwujudkan dalam tata hukum yang direncanakan. Dalam lingkup asas
moral hukum ditekankan bahwa pada asasnya hukum harus memiliki
hubungan yang hakiki dengan prinsip-prinsip moral. H.LA Hart (1907-
1992) seorang penganut positivisme hukum, berpandangan bahwa
undang-undang harus dibuat dengan berpedoman pada prinsip moral.
Akan namun , prinsip ini hanya sebagai regulatif saja, artinya walaupun
pada kenyataannya undang-undang itu melawan prinsip-prinsip moral,
undang-undang itu tetap hukum. Dalam nuansa yang sama. Gustav
Radbruch memberikan pandangan bahwa diperlukan sedikit sentuhan
natural law yang berfungsi sebagai prinsip konstitutif hukum. Begitu
pun dengan Emil Brunner yang menyatakan bahwa negara harus tunduk
pada suatu norma kritis, yaitu hukum kodrat. Sebagaimana kita pahami
bahwa hukum kodrat begitu memandang tinggi keberadaan nilai-nilai
moral dalam hukum. Dalam pandangan Brunner, hukum kodrat itu
bukan hukum, bila dipandang secara tersendiri, akan namun berfungsi
sebagai prinsip konstitutif bagi undang-undang. Sehingga undang-
undang yang tidak menurut hukum kodrat, tidak dapat diakui sebagai
hukum. Hukum kodrat diterjemahkan oleh Brunner sebagai buah usaha
manusia untuk bertindak secara adil, di mana hukum kodrat itu sendiri
mengandaikan adil sebagai kerelaan hati orang-orang untuk mengakui
suatu aturan hidup yang melebihi kesukaan individu.
Asas hukum objektif yang bersifat rasional atau sering disebut
dengan sebutan asas rasional hukum yaitu prinsip-prinsip yang
termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional.
Asas rasional hukum ini bertalian dengan sesuatu aturan hidup bersama
yang masuk akal, dan karenanya diterima sebagai titik tolak bagi
pembentukan suatu tata hukum yang baik.
Asas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional, pada
hakikatnya yaitu hak-hak yang ada pada manusia dan menjadi
titik tolak bagi pembentukan hukum.
F. Epistemologi Pengalihan Hukum
“Hari ini makan apa? Makan nasi putih aja sih sudah cukup. Kalau nggak
ada makan ubi juga tak mengapa. Kalau nggak ada juga ya makan apa
yang ada. Yang pentingkan perut ada isinya, gitu aja kok repot!”, sekilas
perbincangan satu keluarga memulai pagi menjelang siang. Makanan
yang tersaji pada awalnya yaitu kebutuhan, namun menjadi topik
bahasan penting yang aktual dalam keseharian, bahkan hidup.
Peristiwa di atas menjadi suatu ilustrasi betapa kebutuhan
akan makanan pun menjadi satu persoalan bila hendak dicerminkan
demikian. Kebutuhan dikaitkan dengan keinginan. Keinginan kerap
diselaraskan dengan kebutuhan oleh sebagian orang. Keinginan masa
kini dianggap menjadi kebutuhan, yang pada waktu sebelumnya tidak.
Di situ telah terjadi peralihan antara prioritas yang penting dan yang
utama. Manakah yang penting dan manakah yang terutama? “Penting
makan nasi atau makan ubi? Ataukah kandungan yang ada dalam
makanan yang hendak dimakan yang tentunya dibutuhkan oleh tubuh?
atau pokoknya makan. Bilamana suka, makan ubi atau bila tidak, makan
nasi!”.
Perbandingan dalam bentuk persamaan, di mana keberadaan
hukum disejajarkan, manakala manusia berdampingan dengan
manusia lainnya untuk menyelaraskan kebutuhan yang menurutnya
harus dapat tercukupi, untuk hari ini dan beberapa waktu lamanya.
Bagaimana caranya ia dapat mencukupi kebutuhannya! Tentu hal
serupa dapat pula kulakukan terhadap pemenuhan diriku. Bila perlu
kuperlakukan ia seturut kehendakku menurut keinginanku. Tentu
jika hal itu aku sanggup dan mau serta menjadi hal yang kuanggap
sebagai kebutuhan.
“Manusia yaitu makhluk yang terbatas”, paradigma sepenggal
yang membuat manusia negara kita menjadi takluk atau buta sebab
tak mau disebut takabur berhadapan dengan pandangan ciri budaya
ketimuran. Namun karenanya dibuat seolah lupa atau memang lupa,
bahwasanya ia juga memiliki kesempurnaan sebab keterbatasannya,
pula manusia disebut unik.
Manusia memiliki kemampuan untuk mengkaji dunia hukum
melalui dunia luar diri yang disebut lingkungan atau secara holistik
dikatakan semesta (atau mengkaji dunia hukum dengan mengkacakan
dirinya). Apa yang ada dalam diri dapat pula ditemui di luar diri,
berdampingan dan selaras. Kupu-kupu dapat terbang sebab hukumnya.
Pun manusia dapat pula merasakan terbang dengan mengkacakan
kupu-kupu dalam pikirannya. Namun sebab ketimuran yang melekat,
apa pun alasannya manusia dalam teritorial negara kita sampai saat
ini hanya mampu menyaksikan kupu-kupu super itu meluar angkasa,
kritik ataukah kenyataan, setiap orang negara kita yang ada mampu
mengutarakan bahkan membuktikannya kepada negara kita .
Hukum sebab dieksiskan atau sebab dapat dimanfaatkan oleh
manusia bila didayagunakan. Bila tidak, itu yaitu prinsip hukum.
Bila disamakan, manusia yaitu makhluk yang terbatas sekaligus juga
sebagai makhluk yang sempurna. Manusia memiliki potensi keduanya,
dalam cerminan demikian manusia dapat hidup sebab hidup, manusia
dapat mati sebab mati. Lantas apa pula yang memicu timbulnya
stigma “manusia yaitu terbatas”, dalam jumlah, manusia yaitu
lebih dibandingkan jumlah. Bahkan jika dieksaka manusia pangkat…..,
sehingga belum dapat ternormakan berapa banyakkah jumlah manusia,
sekalipun program Keluarga Berencana (KB) disosialisasikan? namun ,
dalam spesies manusia yaitu berjumlah satu, bila dipersamakan dengan
bilangan, bilangan berapapun yang dipangkatkan dengan 0(nol) nilainya
tetaplah 1 (satu), yakni manusia.
Pertanyaan mengenai keterbatasan dalam keseluruhan dengan
apa yang disebut sebagai “kebutuhan”. Tidaklah memiliki nilai
bahwasanya kata “aku” yang merujuk kepada eksistensi diri dapat
disepadankan ataupun dijadikan patokan dan standar bahwasanya
“aku” yaitu manusia sama seperti manusia lainnya. Oleh sebab
itu, maka “aku”memerlukan “aku-aku” lainnya di luar diri untuk
dapat mengatakan bahwa “aku ada”. Bahkan untuk mengidentikkan
diri dengan “aku-aku” yang telah ada sehingga dikatakan memiliki
keterbatasan sebab terikat norma, jika hal itu yang dipandang oleh
Hans Kelsen tentang norma. “Tidak”, bila itu yaitu kata yang tepat
untuk mengutarakannya. Jika norma memberikan patokan atau dengan
sindiran yang halus, bahkan menghegemoni akal manusia, bahwasanya
semua ada patokan, standar, batas, jenjang, strata dengan alasan demi
kepentingan umum.
G. Epistemologi Kesadaran Hukum
Driyarkara telah merumuskan bahwa kesadaran itu yaitu seperti “ein
ruf aus mir und doch uber mich”, seperti panggilan yang timbul dari aku,
namun mengatasi diriku. Bila terjelma dalam wujud kesadaran hukum,
maka ia akan berupa kesadaran tentang diri kita sendiri, di dalam mana
kita melihat diri kita berarti orang ini yakin akan cita-cita kebaikan
yang setinggi-tingginya. Keyakinan itulah yang menjadi tempat bagi
jalinan nilai-nilai bergerumul dalam benak dan sanubari manusia.
Orang yang mengalami dan merasakan keyakinan bahwa suatu
perbuatan yang konkret harus dilakukan atau sama sekali tidak boleh
dilakukan. Syahdan, kesadaran hukum pada hakikatnya yaitu
keyakinan akan nilai-nilai yang ada di dalam diri manusia tentang
hukum yang pernah ada, yang ada, dan yang akan ada. Selain itu, jalinan
nilai-nilai dalam diri manusia itu yaitu aksi terhadap akibat dari
proses interaksi sosial yang kontinu dan dinamis, dalam rangka memilih
arah pada kehidupan sosial.
Dalam situasi yang konkret, kesadaran hukum akan menjelma
dalam bentuk kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum. Kepatuhan
terhadap hukum begitu bergantung pada pertumbuhan akal, kemauan,
dan rasa seseorang. Ada orang yang patuh terhadap hukum sebab
takut dengan hukuman, ada patuh terhadap hukum demi kesedapan
hidup bersama, ada yang sebab sesuai dengan cita hukumnya, ada
pula yang sebab kepentingan. Namun pada akhirnya, jika kesadaran
hukum itu datang, orang hanya memiliki dua pilihan, mau menerima
atau menolak.
Konsekuensi psikologis dari adanya kesadaran moral atas hukum
ini. Bahwa kesadaran itu menggugah timbulnya rasa wajib, yaitu:
• Wajib berbuat baik
Pengertian wajib di sini, timbulnya dari dalam jiwa yang sadar,
untuk memenuhi atau memikulnya dengan penuh tanggung jawab.
Jadi, bukan sebab adanya faktor paksaan atau mengharapkan
sanjungan dari orang lain. Contoh, adanya narapidana yang tidak
mau lari pada saat teman-temannya pada kabur melalui ventilasi
ruang penjara yang dapat dijebol oleh teman-temannya yang kabur
itu. Dari situ kita dapat melihat, bahwa kesadaran moral atas
hukum memicu timbulnya kewajiban moral, suatu kewajiban
yang mengharuskan berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
• Bahwa kesadaran moral atas hukum itu, menggugah rasa
kemanusiaan. Timbulnya kejahatan antara seseorang dengan
yang lainnya, itu disebabkan oleh bukan rasa berkemanusiaan itu
yang ditonjolkan, namun nafsu hewani. Nafsu hewani ini biasanya
tidak kenal kompromi. Lawan dari nafsu hewani ini ialah rasa
kemanusiaan yang mendorong untuk tidak melakukan pelanggaran
ataupun kejahatan terhadap orang lain.
• Rasa introspeksi
Yakni sebagai kesadaran untuk melihat ke dalam jiwa sendiri.
Kesadaran ini akan membuat orang untuk berbuat baik terhadap
hukum.
H. Apa yang Bisa Diketahui Manusia
Immanuel Kant (lahir di Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di
Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun) yaitu seorang filsuf
Jerman. Karya Kant yang terpenting yaitu Kritik der Reinen Vernunft,
1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau
dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia”. Ia menyatakan ini
dengan memberikan tiga pertanyaan:
• Apakah yang bisa kuketahui?
• Apakah yang harus kulakukan?
• Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
• Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi
dengan panca indra. Lain dibandingkan itu yaitu “ilusi” saja,
hanyalah ide.
• Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi
sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif
kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab jika
hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka jika semua
orang mencuri, warga tidak akan jalan.
• Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah
yang memutuskan pengharapan manusia.
I. Sumber-Sumber Pengetahuan
Sebelum kita memasuki pembahasan inti dari makalah ini, maka
perlu kiranya kita mengetahui pengertian dari ilmu pengetahuan.
Dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ini LIPI yang
berlangsung di Jakarta pada tanggal 15-19 September 1981 didasarkan
agar dipergunakan terminologi ilmu untuk science dan pengetahuan
untuk knowledge adapun alasannya yaitu:
1. Ilmu (Spesies) yaitu sebagian dari pengetahuan (Genus).
2. Dengan demikian maka ilmu yaitu pengetahuan yang memiliki
ciri-ciri tertentu yaitu ciri-ciri ilmiah atau ilmu yaitu sinonim
dengan pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge).
3. Dalam buku bahasa negara kita berdasarkan hukum D (diterangkan)
dan M (menerangkan) maka ilmu pengetahuan yaitu ilmu (D)
yang bersifat pengetahuan (M) dan penyatuan ini pada hakikatnya
yaitu salah sebab ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang
bersifat ilmiah.
4. Kata ganda dari dua kata benda yang termasuk kategori yang sama
biasanya menunjukkan dua objek yang berbeda seperti laki bini
(laki dan bini) dan emas perak (emas dan perak) penafsiran yang
sama, maka ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu dan
pengetahuan.
Ternyata ada juga yang berpendapat bahwa:
1. Ilmu termasuk genus di mana ada banyak spesies seperti ilmu
kebathinan, ilmu agama, ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan.
2. Terminologi ilmu pengetahuan sinomia dengan scientific knowledge.
3. Ilmu yaitu sinomia dengan knowledge dan pengetahuan tentang
science di mana berdasarkan hukum DM maka ilmu pengetahuan
yaitu ilmu (Knowledge) yang bersifat pengetahuan (scientific).
Jika demikian, ilmu pengetahuan hanya yaitu istilah yang
lazim dibahasakan orang-orang namun tidak mampu memberikan
definisi yang jelas, namun orang pasti sudah mengerti maksud ilmu
pengetahuan bila mendengarnya. Kata “Ilmu” yaitu terjemahan
dari kata (Science) yang secara etimologi berasal dari bahasa latin (scinre)
artinya “to Know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan
objektif.
Dari pengungkapan para ahli kita dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Tidak semua permasalahan yang dipersoalkan manusia dalam
hidup dan kehidupannya dapat dijawab dengan tuntas oleh ilmu
pengetahuan itu.
2. Nilai kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat positif dalam arti
sampai saat sekarang ini dan juga bersifat relatif atau nisbi dalam
arti tidaklah mutlak kebenarannya.
3. Batas dan realitivitas ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat,
dalam arti bahwa semua permasalahan yang berada di luar atau di
atas jangkauan dari ilmu pengetahuan itu diserahkanlah kepada
filsafat untuk menjawabnya.
Dengan kita memasuki lapangan filsafat dengan mencoba
merenungkan semua permasalahan manusia yang belum tuntas dijawab
oleh ilmu pengetahuan itu. Dalam kajian filsafat ilmu sumber-sumber
pengetahuan yang diperoleh manusia melalui: Pengalaman, intuisi,
agama (wahyu), filsafat, dan ilmu.
J. Cara-Cara Memperoleh dan Mengembangkan Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan
yaitu melalui sebuah rangkaian prosedur atau metode/teknik tertentu
yang lazimnya disebut metode ilmiah.
1. Pengertian Metode Ilmiah
Menurut Soerjono Soemargono (1993: 17), istilah metode berasal dari
bahasa Latin methodos, yang secara umum artinya cara atau jalan untuk
memperoleh pengetahuan sedangkan metode ilmiah yaitu cara atau
jalan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
The Liang Gie (1991: 110), menyatakan bahwa metode ilmiah
yaitu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja,
tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memperkembangkan pengetahuan yang telah ada.
Dalam beberapa literatur seringkali metode dipersamakan atau
dicampuradukkan dengan pendekatan maupun teknik. Metode,
(methode), pendekatan (approach), dan teknik (technique) yaitu tiga
hal yang berbeda walaupun bertalian satu sama lain (The Liang Gie,
1991:116). Dengan mengutip pendapat beberapa pakar, The Liang Gie
menjelaskan perbedaan ketiga hal ini sebagai berikut. Pendekatan
pada pokoknya yaitu ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah
dan data yang bertalian, sedangkan metode yaitu prosedur untuk
mendapatkan dan memakai data. Pendekatan dalam menelaah
suatu masalah dapat dilakukan berdasarkan atau dengan memakai
sudut tinjauan dari ilmu-ilmu tertentu, misalnya psikologi, sosiologi,
politik, dan seterusnya. Dengan pendekatan berdasarkan psikologi,
maka masalah ini dianalisis dan dipecahkan berdasarkan konsep-
konsep psikologi. Sedangkan bila masalah ini ditinjau berdasarkan
pendekatan sosiologis, maka konsep-konsep sosiologi yang dipakai
untuk menganalisis dan memecahkan masalah ini .
Pengertian metode juga tidak sama dengan teknik. Metode ilmiah
yaitu berbagai prosedur yang mewujudkan pola-pola dan tata langkah
dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Pola dan tata langkah prosedural
ini dilaksanakan dengan cara-cara operasional dan teknis yang
lebih rinci. Cara-cara itulah yang mewujudkan teknik. Jadi, teknik
yaitu suatu cara operasional teknis yang seringkali bercorak rutin,
mekanis, atau spesialistis untuk memperoleh dan menangani data
dalam penelitian (The Liang Gie (1991: 117)).
2. Unsur-Unsur Metode Ilmiah
Metode ilmiah yang yaitu suatu prosedur sebagaimana
digambarkan oleh The Liang Gie, memuat berbagai unsur atau
komponen yang saling berhubungan. Unsur-unsur utama metode
ilmiah menurut The Liang Gie (1991: 118) yaitu pola prosedural, tata
langkah, teknik, dan instrumen.
Pola prosedural, antara lain terdiri dari: pengamatan, percobaan,
pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah,
mencakup: penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu),
pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik,
antara lain terdiri dari: wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Aneka
instrumen yang dipakai dalam metode ilmiah antara lain: pedoman
wawancara, kuesioner, timbangan, meteran, komputer.
3. Macam-Macam Metode Ilmiah
Johson (2005) dalam artikelnya yang berjudul “Educational Research:
Quantitative and Qualitative”, yang termuat dalam situs internet
membedakan metode ilmiah menjadi dua metode deduktif dan metode
induktif. Menurut Johnson, metode deduktif terdiri tiga langkah utama,
yaitu: first, state the hypothesis (based on theory or research literature); nex,
collect data to test hypothesis; finally, make decision to accept or reject the
hypothesis. Sedangkan, tahapan utama metode induktif menurut
Johnson adalah: first, observe the world; next, search for a pattern in what
is observed; and finally, make a generalization about what is occuring. Kedua
metode ini selanjutnya oleh Johnson divisualisasikan sebagai
berikut.
Metode deduktif yaitu metode ilmiah yang diterapkan dalam
penelitian kuantitatif. Dalam metode ini teori ilmiah yang telah diterima
kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya.
Sedangkan metode induktif yaitu metode yang diterapkan dalam
penelitian kualitatif. Penelitian ini dimulai dengan pengamatan dan
diakhiri dengan penemuan teori.
a. Metode Deduktif
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral,
Sosial, dan Politik (1996: 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metode
ilmiah yaitu cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuannya berdasarkan: a) kerangka pemikiran yang bersifat
logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang
yaitu deduksi dari kerangka pemikiran ini ; dan c) melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual. Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa
kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-
verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut
1) Perumusan masalah, yang yaitu pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis
yang yaitu argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin ada antara berbagai faktor yang saling mengait
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
3) Perumusan hipotesis yang yaitu jawaban sementara atau
dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya yaitu
kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang di kembangkan.
4) Pengujian hipotesis yang yaitu pengumpulan fakta- fakta
yang relevan dengan hipotesis, yang diajukan untuk memperlihatkan
apakah ada fakta-fakta yang mendukung hipotesis ini
atau tidak.
5) Penarikan kesimpulan yang yaitu penilaian apakah hipotesis
yang diajukan itu ditolak atau diterima.
b. Metode Induktif
Metode induktif yaitu metode ilmiah yang diterapkan dalam
penelitian kualitatif. Metode ini memiliki dua macam tahapan: tahapan
penelitian secara umum dan secara siklikal
1) Tahapan penelitian secara umum
Tahapan penelitian secara umum secara garis besar terdiri dari
tiga tahap utama, yaitu (1) tahap pralapangan, (2) tahap pekerjaan
lapangan, dan (3) tahap analisis data. Masing-masing tahap ini
terdiri dari beberapa langkah.
2) Tahapan penelitian secara siklikal
Menurut Spradley (Moleong, 2005: 148), tahap penelitian kualitatif,
khususnya dalam etnografi yaitu proses yang berbentuk
lingkaran yang lebih dikenal dengan proses penelitian siklikal,
yang terdiri dari langkah-langkah: (1) pengamatan deskriptif, (2)
analisis demein, (3) pengamatan terfokus, (4) analisis taksonomi,
(5) pengamatan terpilih, (6) analisis komponen, dan (7) analisis
tema.
K. Metode untuk Memperoleh Pengetahuan
1. Metode Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu “empiris” yang berarti
pengalaman indrawi. Oleh sebab itu empirisme dinisbatkan kepada
paham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan
dan yang dimaksudkan dengannya yaitu baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang
menyangkut mempengaruhi manusia. Asal kata empirisme yaitu empiria
yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Bahan yang diperoleh
dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang yaitu
sumber pengetahuan yaitu pengalaman sebab pengalamanlah yang
memberikan kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme
berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui
pengalaman yaitu tidak berarti atau tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji
melalui pengalaman. maka , kebenaran yang diperoleh
bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience).
Tokoh-tokoh empirisme antara lain Francis Bacon (1561-1626),
Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Francis
Bacon telah meletakkan dasar-dasar empirisme dan menyarankan agar
penemuan-penemuan dilakukan dengan metode induksi. Menurutnya
ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta
menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. sebab yaitu
bagian dari dunia, apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya
dapat diterangkan secara mekanik. Ini yang memicu Thomas Hobbes
dipandang sebagai penganjur materialisme. Sesuai dengan kodratnya
manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang
lain. Hal ini memicu adanya ungkapan homo homini lupus yang
berarti bahwa manusia yaitu serigala bagi manusia lain.
Menurut aliran ini bahwa manusia memperoleh pengetahuan
melalui pengalaman indranya. Bapak aliran ini yaitu John Lock (1632-
1704) dengan teorinya “tabula rasa” yang artinya secara bahasa yaitu
meja lilin. Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh
pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris,
yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui
pengamalan indra manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana
orang tahu es membeku? Jawab kaum empiris yaitu sebab saya
melihatnya (secara indrawi/panca indra), maka pengetahuan diperoleh
melalui perantaraan indra. Proses terjadinya pengetahuan menurut
penganut empirisme berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek
yang merangsang alat inderawi, lalu menumbuhkan rangsangan
saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan
sebagaimana adanya dan dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai
objek yang telah merangsang alat indrawi ini. Kesimpulannya yaitu
metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme
yaitu berdasarkan pengalaman indrawi atau pengalaman yang bisa
ditangkap oleh panca indra manusia.
Kelemahan aliran ini yaitu sangat banyak:
a. Indra terbatas; Benda yang jauh kelihatan kecil.
b. Indra menipu; Orang yang sedang sakit malaria, gula rasanya pahit.
c. Terkadang objek yang menipu, seperti ilusi dan fatamorgana.
d. Kekurangan ada pada indra dan objek sekaligus; indra (dalam
hal ini mata) tidak bisa melihat kerbau secara keseluruhan, begitu
juga kerbau tidak bisa dilihat secara keseluruhan.
Pada dasarnya empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme.
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal
dari rasio, sehingga pengenalan indrawi yaitu suatu bentuk
pengenalan yang kabur. Sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan indrawi
yaitu pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa
pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasif menerima
hasil-hasil pengindraan ini . Ini berarti semua pengetahuan
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat
bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa
semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman indrawi
dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat
suatu objek yang merangsang alat-alat indrawi, lalu di dalam otak
dipahami dan akibat dari rangsangan ini dibentuklah tanggapan-
tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat indrawi
ini .
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan,
malah barangkali yaitu satu-satunya sumber dan dasar ilmu
pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman indrawi sering
dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Tokoh-Tokohnya:
a. Francis Bacon (1210 -1292).
b. Thomas Hobbes (1588 -1679).
c. John Locke (1632 -1704).
d. George Berkeley (1665 -1753).
e. David Hume (1711 -1776).
f. Roger Bacon (1214 -1294).
2. Metode Rasionalisme
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya yaitu rasio (akal) seseorang.
Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang
dianggap sebagai bapak rasionalisme yaitu Rene Descartez (1596-
1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya
yang terkenal yaitu cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada). Berbeda
dengan penganut empirisme, sebab rasionalisme memandang bahwa
metode untuk memperoleh pengetahuan yaitu melalui akal pikiran.
Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan
pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk
memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak
Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode
deduktif melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi
dipahamkan sebagai:
a. Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal
kebenaran.
b. Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik ini
dapat ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan
penalaran.
Fungsi pengalaman indrawi bagi penganut rasionalisme sebagai
bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu
memperoleh kebenaran.
Rasionalisme yaitu yaitu paham atau aliran atau ajaran
yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada
sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari
pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini
hal yang khas bagi ilmu pengetahuan yaitu penggunaan yang eksklusif
daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat
tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan
yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada
abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar makin percaya pada akal
budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal
ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih
lagi selama abad XVIII antara lain sebab pandangan baru terhadap
dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana
geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya fisika itu terdiri dari bagian-
bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum
sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini.
Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang
mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui
ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan
kekuasaan akal budi lama-kelamaan orang-orang abad itu berpandangan
dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang
menciptakan manusia dan warga modern yang telah dirindukan,
sebab kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung
(pencerahan).
Tokoh-tokohnya:
a. Rene Descartes (1596 -1650).
b. Nicholas Malerbranche (1638 -1775).
c. B. De Spinoza (1632 -1677 M).
d. G.W.Leibniz (1946-1716).
e. Christian Wolff (1679 -1754).
f. Blaise Pascal (1623 -1662 M).
A. Pengertian Ontologi
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: On/
Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi yaitu ilmu tentang yang
ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi yaitu ilmu yang membahas
tentang hakikat yang ada, yang yaitu ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur
hierarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat
dipakai sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan
demikian, ontologi yaitu suatu teori tentang makna dari suatu
objek, property dari suatu objek, serta relasi objek ini yang
mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada
tinjauan filsafat, Ontologi yaitu salah satu kajian filsafat. Studi
ini membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi
membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan
mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk
mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana
realitas ini dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses ini
memerlukan dasar pola berpikir, dan pola berpikir didasarkan pada
bagaimana ilmu pengetahuan dipakai sebagai dasar pembahasan
realitas.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh
satu perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara
ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas
pada hal yang sesuai dengan akal manusia. Ontologi membahas tentang
yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Dalam rumusan Lorens Bagus; ontologi menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Pengetahuan yaitu persepsi subjek (manusia) terhadap objek (riil
dan gaib) atau fakta. Ilmu pengetahuan yaitu kumpulan pengetahuan
yang benar disusun dengan sistem dan metode untuk mencapai tujuan
yang berlaku universal dan dapat diuji/diverifikasi kebenarannya. Ilmu
pengetahuan tidak hanya satu, melainkan banyak (plural) bersifat
terbuka (dapat dikritik) berkaitan dalam memecahkan masalah.
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu
pengetahuan tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu yaitu cabang filsafat
yang mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang dipakai dalam
ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan
dengan kebenaran ilmu tertentu. Filsafat ilmu pengetahuan disebut juga
Kritik Ilmu, sebab historis kelahirannya disebabkan oleh rasionalisasi
dan otonomisasi dalam mengeritik dogma-dogma dan takhayul.
Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.
Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. jika
ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif, dan ilmiah, maka
filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di
samping membuka dan memperdalam pengetahuan. jika ilmu
pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi
pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu
bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif
rasional, sebab filsafat mencari apa yang hakikat.
jika ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara
rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari
hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. jika ilmu
pengetahuan datanya mendetail dan akurat namun tidak mendalam, maka
filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, sebab yang dicari
yaitu hakikatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Ontologi yaitu studi tentang sesuatu yang ada. Ontologi hukum
(ajaran hal ada, zijnsleer) yaitu penelitian tentang “hakikat” dari
hukum. Mencari tahu apa hakikat hukum itu, sama artinya dengan
mencari tahu apakah hukum itu? Hakikat sama artinya dengan sebab
terdalam dari adanya sesuatu. Hakikat juga dapat berarti eksistensi
(keberadaan) dari segala sesuatu yang mana di dalamnya ada
substansi dan aksidensi. Substansi yaitu sesuatu yang mendasari
kualitas, sedangkan aksidensi yaitu sifat tertentu dari substansi. Secara
mudah hakikat dapat diartikan sebagai apakah sesuatu itu?
Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang yaitu
tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen
ini satu di antaranya adalah: ontologi. Ontologi menjelaskan
mengenai pertanyaan apa. Ontologi yaitu salah satu di antara
lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak
dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan
ontologis, sebagaimana Thales saat ia merenungkan dan mencari
apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya
ia berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada)
itu yaitu air. Ontologi yaitu asas dalam menetapkan batas
ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran
tentang hakikat realitas (metafisika) (Jujun, 1986:2). Ontologi
meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak
terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being)
itu. Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme
dan seterusnya yaitu paham ontologis yang akan menentukan
pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan
bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu
(Koento Wibisono, 1988:7). Louis O. Kattsoff (1987: 192) membagi
ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif, dan
kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab
segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya.
Dikatakan ontologi kuantitatif sebab dipertanyakannya mengenai
tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat
dari pertanyaan: apakah yang yaitu jenis kenyataan itu. Sedangkan
ontologi monistik yaitu jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal
adanya; keanekaragaman, perbedaan, dan perubahan dianggap semu
belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau
idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18). Ada beberapa pertanyaan
ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya
pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang
ada itu (how is being?), dan di manakah yang ada itu? (where is being?).
1. Apakah yang ada itu (what is being?) Dalam memberikan jawaban
masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme,
idealisme, dan agnotisme.
a. Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada
itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa yang ada itu
serba spirit, ideal, serba roh, maka dikelompokkan dalam
aliran monisme-idealisme. Plato yaitu tokoh filsuf yang bisa
dikelompokkan dalam aliran ini, sebab ia menyatakan bahwa
alam ide yaitu kenyataan yang sebetulnya
b. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme
dan materialisme dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini
terdiri dari dua hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi
dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan dalam aliran
ini
c. Aliran pluralisme. Menurut aliran ini, manusia yaitu makhluk
yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani, namun juga
tersusun dari api, tanah, dan udara yang yaitu unsur
substansial dari segala wujud.
d. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun hakikat
rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak
yang bersifat transenden
2. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) Apakah yang ada itu
sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal
ini Zeno (490-430 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebetulnya
khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh
Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa
alam ini dinamis, terus bergerak, dan yaitu struktur peristiwa
yang mengalir terus secara kreatif
3. Di manakah yang ada itu? (where is being?). Aliran ini berpendapat,
bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal,
tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat
sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual,
berubah-ubah, dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak
term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being),
kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal
(one), dan jamak (many). Semua istilah ini dijabarkan secara
rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis,
ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah-daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia.
Objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti
penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti penciptaan surga
dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama).
Ilmu hanya yaitu salah satu pengetahuan dari sekian banyak
pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas
ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan
yang bersifat empiris ini yaitu yaitu konsistensi pada
asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi
secara empiris dalam proses penyusunan pernyataan yang benar
secara ilmiah Ontologi keilmuan juga yaitu
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan,
sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan
harus didasarkan kepada sifat objek ontologis sebagaimana
adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi
secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari
nilai-nilai dogmatis. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian
berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran
pernyataan ini maka langkah pertama adalah, melakukan
penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris,
sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan
fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun juga teori yang
disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang
berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein) memicu
ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen).
Ilmu justru yaitu pengetahuan yang bisa dijadikan alat
untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das sein agar
dapat menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol fenomena alam.
Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik
ke dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong
ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan
mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo pada zaman modern.
Sementara bagi Aristoteles dalam mencari hakikat mengajarkan
kepada kita untuk memisahkan substansi (yang hakikat itu) dengan
aksisdensinya (kuantitas, kualitas, relasi, status, waktu, tempat,
situasi, aktivitas, dan positivitas). Jika yang ditanyakan “apakah hakikat
hukum?”, jawabannya tentu apa yang menjadi substansi dari hukum
itu, dan jawabannya telah pula diberikan yakni norma.
Hakikat hukum masih terus dicari untuk menyelidiki kenyataan
hukum menurut dasarnya yang paling mendalam (ex ultimus causis),
atau hakikat tentang yang ada di balik hukum? Sebagaimana telah
disinggung, bahwa persoalan hakikat hukum akan bersinggungan
dengan persoalan substansi dan aksidensi. Apa substansi hukum?,
misalnya: perintah, larangan, peraturan, dan lain-lain. Apa aksidensi
hukum? misalnya: adil, pasti, bermanfaat, dan lain-lain.
Ada pula yang memandang bahwa hakikat hukum sebagai yang
ada sebagaimana adanya, ada hukum pidana, ada hukum perdata, ada
hukum lingkungan, dan lain-lain. Di situ yang tidak berubah yaitu
kata “ada”, jadi apa hakikat hukum itu yaitu “adanya hukum”. Oleh
sebab itu, bagi penulis, hakikat hukum yaitu “ada”. Keberadaan
“ada” berasal dari ajaran moral yang merujuk kepada akal dan hati.
Dalam akal dihuni oleh pikiran, kemauan, dan rasa. Keberadaan akal
dan hati ini sifatnya terbatas. Dari pengayaan akal dan hatilah yang
lalu menghasilkan pedoman bagi sikap tindak untuk keperluan
hidup dan kehidupan.
B. Hakikat Hukum dari Sudut Pandang Teori
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para filsuf mengenai hakikat
hukum. Pada kesempatan ini, penulis hanya sebatas memetiknya dari
pendapat Aristoteles, J.J.H. Bruggink, dan Kattsoff.
1. Aristoteles
Berpendapat bahwa hakikat hukum itu ada sebab kausalitas, yakni
dari sebab yang berupa bahan (causa materialis), dari sebab yang
berupa bentuk (causa formalis), dari sebab yang berupa pembuat
(causa efisien), dan dari sebab yang berupa tujuan (causa finalis).
2. J.J.H. Bruggink
Memiliki pandangan bahwa hakikat hukum itu yaitu bahasa.
Bruggink memandang sedemikian oleh sebab yang memungkinkan
hukum itu ada dan dapat dipahami dengan beberapa definisi yaitu
dari bahasa.
a. Definisi kausal, yaitu hukum itu ada oleh penguasa. Definisi
fungsional, yaitu hakikat hukum yaitu fungsi. Definisi
fenomenologis, yaitu hakikat hukum yaitu kesepakatan.
b. Definisi sinonim, yaitu hakikat hukum yaitu peraturan.
Definisi etimologis, yaitu hukum berasal dari kata bahasa Arab
“al hukmu” yang berarti peraturan.
c. Definisi konotatif, yaitu hakikat hukum terletak pada sifatnya.
3. Kattsoff
Berpendapat bahwa hakikat hukum tergantung dari orang yang
membunyikannya, “jika sebuah pohon tumbang di hutan dan tidak
ada mendengarkannya, adakah bunyinya?”. Syahdan, harus ada
yang membunyikannya dengan makna. Apakah makna ini
dalam wujud makna asosiasi, yang artinya hukum sama dengan
undang-undang, apakah dalam bentuk makna matter (esensi),
yang artinya hukum sama dengan warga , apakah dalam
makna operasi, yang artinya hukum memiliki makna bila dapat
dioperasionalkan, ataupun dalam bentuk makna pengalaman, yang
artinya hukum terbentuk sebab pengalaman dan akal.
Bagi penulis, saat terlahir ke dunia, manusia langsung diikat
oleh adanya hukum. Hukum yang berlaku yaitu hukum kasih
sayang. Seorang ibu yang rela menderita selama sembilan bulan
untuk mengandung anaknya. Setelah melahirkan akan menyusui
dan seterusnya merawat dan menjaga. Itu bukanlah urusan rasio
atau logika. Itu yaitu urusan rasa cinta kasih. Jika orang yang dapat
diwakilkan tentu seorang wanita karier akan mementingkan kariernya
dan menyerahkan urusan melahirkan itu dengan membayar orang lain.
Artinya, pengertian ikatan antara rasa dan rasio, antara jiwa dan raga
memicu munculnya hukum yang berlaku bagi manusia. sebab
terlahir dari hubungan kasih sayang pernikahan atau di luar pernikahan,
ada hukum yang mengaturnya. Catatan kelahiran menentukan apa yang
dimiliki si anak, ada hukum yang mengaturnya. Pendek kata, setiap
kejadian atau fenomena yang berlaku terhadap diri manusia ada hukum
yang mengaturnya.
Ada beberapa pengertian ontologi menurut para tokoh-tokoh
filsafat di antaranya:
1. Menurut Suriasumantri (1985)
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian
mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan:
a. apakah objek ilmu yang akan ditelaah;
b. bagaimana wujud yang hakiki dari objek ini ; dan
c. bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang
membuahkan pengetahuan.
2. Menurut Soetriono & Hanafie (2007)
Ontologi yaitu yaitu asas dalam menerapkan batas atau ruang
lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan (objek ontologis
atau objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang
hakikat realita (metafisika) dari objek ontologi atau objek formal
ini dan dapat yaitu landasan ilmu yang menanyakan
apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan
alam kenyataan dan keberadaan.
3. Menurut Pandangan The Liang Gie
Ontologi yaitu bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna
dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-
persoalan:
a. Apakah artinya ada, hal ada?
b. Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
c. Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
d. Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari
kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek
fisis, pengertian universal, abstraksi, dan bilangan) dapat
dikatakan ada?
4. Menurut Ensiklopedi Britannica yang juga diangkat dari Konsepsi
Aristoteles
Ontologi yaitu teori atau studi tentang being/wujud seperti
sifat dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan
metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata
yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti,
struktur, dan prinsip benda ini . (Filosofi ini didefinisikan
oleh Aristoteles abad ke-4 SM).
5. Menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina
Ontologi yaitu objek pemikiran menjadi objek sesuatu yang
mungkin ada sebab yang lain, dan ada sebab dirinya sendiri.
C. Hakikat Hukum dari Sudut Pandang Ideologi Hukum
Beberapa ideologi hukum juga mengemukakan pendapatnya tentang
hakikat hukum di antaranya sebagai berikut:
1. aliran hukum alam berpendapat bahwa hakikat hukum terletak
pada moral, baik yang berasal dari Tuhan maupun akal manusia;
2. aliran positivisme memiliki keyakinan bahwa hakikat hukum yaitu
perintah, kewajiban, kedaulatan, penguasa, dan sanksi;
3. mazhab utilitarianisme berkeyakinan bahwa hakikat hukum yaitu
kemanfaatan (kegunaan);
4. mazhab sejarah memaknai hakikat hukum sebagai ekspresi jiwa
bangsa (volkgeist);
5. aliran sociological jurisprudence menyatakan bahwa hakikat hukum
yaitu terletak pada kenyataan sosial berupa nilai-nilai yang hidup
dalam warga ;
6. aliran idealisme memandang bahwa hakikat hukum yaitu rasio,
kewajiban, kelembagaan, moralitas, dan negara;
7. aliran realisme hukum berpendapat bahwa hakikat hukum yaitu
ramalan, pengadilan, pengalaman, perwujudan dari keputusan
sosial, ekonomi, dan budaya;
8. gerakan studi hukum kritis berpendapat hakikat hukum yaitu
politik, aliran marxisme berpandangan bahwa hakikat hukum
yaitu perjuangan bagi posisi kelas, di mana hukum yaitu alat
untuk melayani kepentingan kelas atas;
9. teori chaos dan dekonstruksi Derrida menganggap hakikat hukum
yaitu chaos atau kekacauan; dan
10. antropologi metafisika (filsafat manusia) berpandangan bahwa
hakikat hukum yaitu bagian kecil dari misteri tentang manusia
dan dunianya, yang berarti hukum yaitu misteri.
Dari bermacam ideologi hukum yang menyatakan pendapatnya
akan hakikat hukum, tetap saja arti dari hakikat yaitu “ada”nya hukum.
Untuk menyatakan adanya hukum, maka harus ada yang namanya
“kesempatan”. Meninggalkan kesan dalam sejarah negara kita . Itulah
yang penulis sebut sebagai kesempatan.
D. Aliran-Aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang
lalu melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-
masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai
ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”,
“Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Di manakah yang
ada itu? (Where is being?)”.
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu
sebagai berikut:
1. Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal,
baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin
ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah
salah satunya yaitu sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Plato yaitu tokoh filsuf
yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, sebab ia menyatakan
bahwa alam ide yaitu kenyataan yang sebenarnya. Istilah
monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.
Paham ini lalu terbagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu yaitu materi,
bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati yaitu kenyataan dan satu-
satunya fakta. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat
yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal
yaitu air, sebab pentingnya bagi kehidupan. Anaximander
(585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu yaitu udara,
dengan alasan bahwa udara yaitu sumber dari segala
kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa
hakikat alam ini yaitu atom-atom yang banyak jumlahnya,
tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang
yaitu asal kejadian alam.
b. Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa di balik realitas fisik
pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya
sesuatu justru terletak di balik yang fisik. Ia berada dalam
ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya yaitu
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah
membawa orang pada kebenaran sejati.
2. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani,
benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-
masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini yaitu Descartes (1596-1650 M) yang
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua
hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia
ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la
Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam
bukunya ini pula, ia menerangkan metodenya yang terkenal
dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian
Doubt). Di samping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza
(1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716
M.
3. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk yaitu
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui
bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme
dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham
yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno yaitu Anaxagoras dan
Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara. Tokoh modern aliran ini yaitu William James (1842-1910
M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan
lepas dari akal yang mengenal.
4. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau
tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev
pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebetulnya
sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan
Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang
realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila
sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas
itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain. Tokoh lain aliran ini yaitu Friedrich Nietzche (1844-
1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan
dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada
suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
5. Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani.
Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang
berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran
ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri
sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan
tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang
terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme,
yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai
suatu aku umum, namun sebagai aku individual yang sama sekali
unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain.
Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang
mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, sebab
hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh
lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan
bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia
bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi,
agnostisisme yaitu paham pengingkaran/penyangkalan terhadap
kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi
maupun rohani.
Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau
berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan
bahwa sesuatu itu sebetulnya khayalan belaka. Pendapat ini
dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh
Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan yaitu
struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide,
adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran
materialisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat
fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.
E. Aspek-Aspek Ontologi
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara
ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas
pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan. Dalam rumusan Lorens Bagus;
ontologi menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam
semua bentuknya.
Ada beberapa aspek ontologis yang perlu diperhatikan dalam ilmu
pengetahuan. Aspek-aspek ontologis ini adalah:
1. Metodis
memakai cara ilmiah, berarti dalam proses menemukan dan
mengolah pengetahuan memakai metode tertentu, tidak
serampangan.
2. Sistematis
Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu
keseluruhan. Berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan
menjabarkan pengetahuan yang diperoleh, memakai langkah-
langkah tertentu yang teratur dan terarah sehingga menjadi suatu
keseluruhan yang terpadu.
3. Koheren
Unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung
uraian yang bertentangan. Berarti setiap bagian dari jabaran ilmu
pengetahuan itu yaitu rangkaian yang saling terkait dan
berkesesuaian (konsisten).
4. Rasional
Harus berdasar pada kaidah berpikir yang benar (logis).
5. Komprehensif
Melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan
secara multidimensional – atau secara keseluruhan (holistik).
6. Radikal
Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya.
7. Universal
Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana
saja.
F. Isi Hukum
Yang menjadi pokok dalam hakikat hukum yaitu untuk mengetahui
apa yang menjadi isi dari hukum itu. Sebagaimana yang melandasi
permasalahan hakikat hukum yaitu adanya hukum, maka adanya
hukum itu dapat dilihat melalui sarana optikan yang berada dalam
hukum itu, yaitu yang menjadi isi dari hukum. Secara sederhana, bila
ditilik dari keberadaan hukum, maka isi hukum itu dapat dilingkarkan
dalam adanya empat isi, yaitu aksi, reaksi, aturan, dan konsekuensi,
yang keempatnya hadir secara bersamaan dalam hukum walaupun akan
terpisah ataupun dipilah satu-persatu. Aksi, adanya hukum sebab
adanya aksi, yaitu perbuatan. Tentu saja yang dimaksud di sini yaitu
perbuatan hukum.
Setiap aksi manusia di dalam hidupnya sedari ia lahir hingga
meninggal yaitu aksi hukum atau perbuatan hukum. Perbuatan
didahului oleh kehendak, kehendak yang didahului oleh pikir (ide) dari
manusia. Ide pada dasarnya dilandasi oleh rasa ingin tahu, sementara
tahu yaitu titik tolak dari adanya perbuatan yang sekaligus
yaitu puncak aksi atau perbuatan hukum. sebab tidak ada aksi
yang tidak mengandung hukum, aksi yaitu hukumnya sendiri.
Bisakah anda membayangkan ada sesuatu perbuatan yang tanpa didasari
oleh suatu ide dan kehendak? Atau mungkinkah, ada perbuatan yang
dilakukan tanpa tahu? Semua yaitu suatu keniscayaan sebab
setiap aksi dalam hidup manusia digerakkan melalui pikiran dan
keinginan yang berasal dari akal dan hatinya.
Reaksi yaitu aksi setelah aksi. Setiap aksi menggiring
aksi lanjutan yang menjadi reaksi. Dapat dikatakan bahwa reaksi
yaitu jawaban dari adanya aksi. Aksi tidak mungkin berdiri
sendiri bila tanpa reaksi, maka aksi akan terlihat seperti pernyataan
tanpa pengertian. Di mana setiap pernyataan menuntut penjelasan bagi
siapa yang mengeluarkannya dan dituntut oleh siapa yang mendengar
atau menerimanya. namun di sini reaksi lebih yaitu akibat, bukan
sebab dari suatu aksi dan reaksi selalu menjadi jawab dari aksi.Perihal
aksi menimbulkan persoalan yang baru, maka reaksi ini akan
bertransformasi menjadi aksi yang baru alias dapat dianggap sebagai aksi
awal dari permasalahan baru yang ditimbulkannya, dan aksi pertama
dianggap telah mendapat jawaban dari reaksi pertama. Kemudian
aksi yang baru hasil bentukan dari reaksi terhadap aksi pertama akan
menuntut reaksi pula dan menciptakan reaksi-reaksi berikutnya
demikian seterusnya perputaran dalam lingkaran aksi reaksi hukum.
Aturan, kehidupan yang berjalan dengan segala aksi dan reaksinya,
makna tercipta pertentangan dan terkadang ada pula kolaborasi
yang apik antara keduanya. Namun, tak jarang antara aksi dan reaksi
saling bertentangan dengan pikiran dan keinginan manusia.
A. Pengertian Aksiologi Hukum
Aksiologi hukum (ajaran nilai, waardenleer) berperan dalam penentuan
isi nilai-nilai dalam hukum, seperti persamaan, kebebasan. Aksiologi
sebagai nilai yang berlaku dalam setiap akta perbuatan manusia, seperti
telah dijelaskan pada bab filsafat umum sebelumnya yaitu bagian
tak terpisahkan dalam filsafat.
Pembahasan nilai-nilai yang berlaku dalam setiap perbuatan hukum
akan selalu dikaitkan dengan terbentuknya hukum dan pelaksanaan
hukum. Aplikasi dari nilai yang terkandung itu akan menurutkan
kehendak yang ingin dicapai dalam hukum. Dalam kehidupan sehari-hari
misalnya, di mana kita melakukan tindakan akan bernilai dan mampu
dinilai baik buruknya. Seperti urutan jalannya filsafat yang mengaitkan
nilai baik dan buruk dalam kenyataan tindakan dengan ajaran moral
yang berlaku dalam warga saat ini. Saat ini, hukum telah gagal
memberikan penjelasan mengenai realitas yang terjadi sesungguhnya.
Kehidupan praktik hukum dipenuhi dan sangat ditentukan oleh logika
aturan di dunia profesional hukum. Titik terjauh yang dapat dicapai
aturan itu pada akhirnya hanyalah kepastian hukum. Kegiatan atau
praktik hukum sekarang ini yaitu kegiatan formal yang lebih
mementingkan proses administrasi dalam usaha penyelesaian perkara,
dibandingkan memberikan keadilan. Akibatnya, warga digiring untuk
berpikir formal dalam segala hal tentang hukum dan hal yang nonformal
disisihkan atau dibuang sebab dipandang tidak bernilai. Akibatnya,
praktik hukum ini hanya akan mematikan peran kearifan lokal,
daya nalar, daya kritis, daya analitis, daya interpretatif, daya kreativitas,
serta imajinasi dari penegak hukum dan warga . Pada akhirnya,
kearifan lokal terdegradasi kepada konsep-konsep formal, pola pikir
itu tidak terlepas dari apa yang kita sebut sebagai sebuah proses
kolonialisme pengetahuan.
Kearifan lokal lebih sering digambarkan sebagai bentuk, atau
wadah untuk tindakan atau perilaku tertentu, atau kegiatan rutin yang
dilakukan oleh kelompok atau warga tertentu, bahkan kearifan
lokal lebih sering diartikan sebagai tindakan atau perilaku tertentu
dari warga tradisional, warga konvensional, atau warga
pedesaan yang kuno, kaku, bahkan tidak berkembang. Kearifan lokal
hendaknya dipahami sebagai sebuah pencapaian cara berpikir manusia
dalam mencapai derajat tertentu. Kearifan lokal meliputi dan mencakup
pilihan-pilihan warga tentang apa yang dipandang baik dari aspek
ideal, materiil, dan hiperreal.
Ajaran moral mengenai yang baik dan buruk membuat aksiologi
hukum penuh dengan penilaian akan sesuatu yang baik. Berangkat
dari pemahaman ini , maka hukum pula memiliki nilai untuk
diwujudkan dalam bentuk peraturan ketetapan dan lain sebagainya.
Aksiologi menentukan misalnya nilai apa yang ingin dicapai dalam
suatu peraturan atau sebaliknya nilai apa yang mendasari terbitnya
suatu ketetapan hukum. Dalam hukum ada nilai yang ingin diwujudkan
di antaranya nilai kebebasan, nilai keadilan, nilai kemanfaatan, nilai
persatuan, ketertiban, dan lain sebagainya. Lalu, ada antinomi atau
lawan dari nilai ini yang tentu saja selalu berdiri sejajar dan
tarik menarik. Layaknya lambang hukum itu sendiri, yaitu timbangan,
maka manusia sebagai pemilik serta pembuat hukum harus menjaga
timbangan itu pada titik keseimbangan.
Nilai persatuan umpamanya melandasi negara untuk mem-
perbolehkan rakyatnya bersekutu dan berserikat dan membuat per-
kumpulan-perkumpulan. sebab bila dilarang tentu akan menimbulkan
perlawanan rakyat yang mengancam keamanan negara yang pada akhirnya
membahayakan persatuan, lagi pula keinginan berkumpul yaitu salah
satu hak asasi. Namun di sisi lain, kebijakan ini bukannya tidak berbahaya
bagi negara. Banyaknya perkumpulan atau organisasi kewarga an
menuntut kejelian pengawasan dari pemerintah, meskipun bukan
berarti mengekang. Sejarah membuktikan perkumpulan yang memicu
pemberontakan, ataupun terjadi konflik horizontal di antara sesama ormas
yang kerap terjadi dewasa ini dikarenakan perbedaan ideologi.
Di sini tampak adanya pertentangan nilai antara nilai persatuan
dengan nilai kebebasan. Untuk itu diperlukan adanya nilai lain yang
dianggap jalan tengah, misalnya nilai kemanfaatan. Apa manfaatnya
bila kebebasan diberikan tapi malah mengandung mudharat yang
mengancam persatuan. Namun tidak bisa serta merta memutuskan
untuk mengekang kebebasan demi mencapai persatuan, sebab
pengekangan justru memicu perlawanan dan pemberontakan yang
akhirnya juga perpecahan. Artinya, ada skala prioritas dalam pencapaian
nilai-nilai dalam hukum.
Nilai keadilan misalnya, apakah memiliki prioritas untuk dicapai
terlebih dahulu, atau nilai kemanfaatan terlebih dahulu. Namun
pencapaian kedua nilai itu harus bersumber dari nilai kepatuhan,
ketaatan, dan ketertiban. Dalam hal ini teringat salah satu perintah
Tuhan dalam QS. An-Nisa (4): 59 “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri (pemimpin) di antara
kamu. Kemudian kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (hadis) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari lalu . Yang demikian
itu lebih baik dan lebih baik pula akibatnya”.
Dari ayat di atas dapat dipetik hikmah bahwa nilai ketaatan dapat
mewujudkan nilai keadilan dan kemanfaatan, pun secara bersamaan
bisa berakibat perlawanan dan perpecahan. Hierarki ketaatan dalam
ayat ini yaitu, Tuhan, Nabi, dan Pemerintah. Dalam tragedi banjir
di Jakarta saat ini misalnya, di manakah hukum akan menempatkan diri
untuk dapat menanggulangi pada masa kini serta membuat antisipasi ke
masa depan demi mengurangi kemungkinan bahaya banjir terjadi lagi?
Kita dapat memulai misalnya dengan nilai ketaatan, bahwa musibah itu
tidak dapat dicegah sebab hakikatnya ujian dari Tuhan. Menghadapinya
dengan nilai tabah, pasrah, tawakal, ikhlas, atau dengan introspeksi
diri dengan memohon ampunan pada Tuhan serta berdoa agar musibah
cepat berlalu dan tidak terulang.
Namun, ini tidak cukup sebab hidup terus berjalan, hidup bukan
hanya ide, jauh setelah itu harus diwujudkan dengan tindakan nyata.
Lalu kita ke nilai berikutnya yaitu kebersamaan. Apa yang dapat
dilakukan? Saat ini penguasa dapat memakai segenap perangkat
hukum yang ada untuk menanggulangi bencana dengan mengerahkan
semua pihak yang dapat terlibat di dalamnya. Penanganan bencana
sudah ada undang-undang Kementerian Sosial, PMI, bahkan TNI dan
Polri pun telah bersinergi dengan dasar hukum masing-masing.
Setelah itu untuk mengantisipasi kemungkinan ke depan
penguasa perlu menegakkan semua peraturan yang berhubungan
dengan konservasi alam. Pemberian izin terhadap pengembang mall dan
perkantoran harus segera dihentikan. Perusahaan dan perkantoran yang
tidak memenuhi standar AMDAL harus segera dicabut izinnya. Tata
ruang terbuka hijau, pengaturan pemukiman, serta normalisasi sungai
dan anak sungai. Hingga penerapan peraturan daerah tentang sampah
secara maksimal. Di sini nilai kemanfaatan hukum menjadi prioritas.
Permasalahan nilai yaitu permasalahan abstrak, sebab nilai itu
abstrak. Yang nyata yaitu fenomena atau fakta perbuatannya. Sama
abstraknya dengan hakikat hukum itu sendiri, yang nyata yaitu
tindakan hukumnya. Di mana setiap tindakan dapat dikategorikan
sebagai tindakan hukum, baik itu yang bersifat privat maupun publik.
Apakah suatu tindakan hanya berdampak pada diri si pelaku sendiri
ataupun berdampak secara hukum terhadap orang lain. Oleh sebab
itu, sejatinya nilai kebebasan, kemanfaatan, keadilan, persatuan, dan
lain sebagainya akan nyata bila telah dilakukan dalam suatu tindakan,
dalam hal ini tindakan hukum.
Untuk lebih mengkonkretkan suatu nilai, maka perlu diurutkan
atau diturunkan kepada sesuatu yang lebih konkret seperti asas,
kaidah, dan sikap tindak. Seperti yang ada dalam piramida hukum.
Akan halnya piramida makanan, maka piramida hukum pun memiliki
penampang terbawah yang lebih besar dan semakin mengecil ke atasnya.
Nilai yaitu puncaknya, atau predator terakhir dalam piramida
makanan. Di bawahnya ada asas diikuti kaidah serta sikap tindak
yang yaitu dasar dari piramida itu.
Hukum seharusnya menjunjung tinggi, menjamin atau “menciptakan”
nilai-nilai seperti keadilan, kebenaran, kepatuhan, kejujuran (terutama
bagi penegak hukum), kepastian hukum, dan kemanfaatan atau daya
guna. Nilai kepastian hukum misalnya, hukum harus dapat membuktikan
kepastiannya dengan pencapaian tujuan hukum itu sendiri. Bila tidak,
kepastian hukum hanya menjadi isapan jempol belaka. Nilai kepastian
harus melingkupi semua proses penegakkan hukum, mulai dari tindakan
hingga proses putusan pengadilan.
Paradigma yang beredar dewasa ini meragukan adanya nilai
kepastian hukum. Kepastian hanya dianggap milik ilmu-ilmu science
seperti matematika dan teman-temannya. Mengapa demikian? sebab
matematika berisi proposisi yang memiliki dasar dengan alasannya sendiri.
Alasannya, meliputi logika deduktif dengan definisi yang dipakai nya,
serta dihubungkan dengan asumsi aksioma atau postulat matematis,
sebagai basis pernyataannya. Landasan ini membuat matematika memiliki
kekuatan pembuktian deduktif dalam proposisinya.
Di sisi lain, agama juga memiliki kepastian yang mutlak. Bukan
sebab harus diyakini semata, namun juga memiliki pernyataan yang
logis, dapat dipikirkan dan dibuktikan. Sebagai contoh pernyataan dalam
QS. Al-Insyiraah (94): 5-7 berikut. “sebab sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Maka jika kamu telah selesai (dari suatu urusan)
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”.
Nilai yang terkandung dalam ayat di atas, yaitu nilai kepastian,
mengapa? sebab hal yang pasti setelah kesulitan ada kemudahan.
Seorang pendaki gunung yang dengan susah payah berpeluh keringat
merangkak demi mencapai kenikmatan berada di puncak. Begitu sampai
di puncak semua kesusahan serta merta hilang tak berbekas. saat
turun gunung tentu saja medan yang dilalui akan sangat mudah. Namun
demikian, setelah selesai urusan di puncak, maka harus kembali ke
urusan lainnya dengan sungguh-sungguh, tidak boleh berlama-lama
dan bermalas-malasan. Seperti pepatah bule “Do not until tomorrow what
you can do today”. Demikian pula bila dikaitkan dengan ilmu ekonomi
misalnya, merintis usaha dari nol terasa sangat sulit, penuh dengan
beragam rintangan, namun seiring waktu serta banyaknya pelanggan
dan tenaga penjual yang andal tak lama usaha itu akan mencapai puncak
dan semua menjadi lebih mudah sebab banyak relasi. Sejalan dengan
prinsip ekonomi di mana banyak permintaan akan menaikkan harga
penjualan, maka produksi akan ditambah, karyawan akan ditambah,
gaji karyawan dapat dinaikkan pula. Itu kepastiannya. Lalu di mana
letak nilai kepastian hukum? Nilai kepastian hukum terjadi pada saat
tujuan hukum tercapai.
B. Korelasi Nilai, Asas Hukum, Norma Hukum, dan Sikap
Tindak
Nilai itu yaitu suatu keadaan yang dapat kita ketahui, namun
sifatnya abstrak. Dalam situasi hukum, nilai ini diturunkan
lagi dalam bentuk pilihan yang diberi nama asas hukum, sehingga
nilai ini menjadi landasan dari keberadaan asas hukum. Asas hukum
pada dasarnya berbentuk prinsip-prinsip umum, sehingga belum pula
bisa langsung dioperasionalkan. Untuk dapat dikonkretkan dalam
warga , maka asas hukum (proses menjadi) dijelmakanlah ke dalam
norma yang dikenal dengan nama peraturan hukum. Dari sana dapat
kita lihat bahwa asas hukum ini menjadi fondasi bagi keberadaan norma
yang berupa peraturan-peraturan hukum ini . Dari pandangan itu
bisa kita renungkan bahwa konkretisasi peraturan-peraturan hukum itu
pada dasarnya mulai dari proses awal sampai kepada akhirnya dapat
dikembalikan kepada asas-asas hukumnya.
Asas hukum inilah yang memberi makna hukum dari nilai-nilai
etis yang dijunjung tinggi. Dengan kata lain, asas hukum yaitu
jembatan antara peraturan hukum dan pandangan etis warga nya.
Kalau nilai-nilai etis ini yaitu hasil pertimbangan, dalam
arti cerminan kehendak warga yang menjunjungnya, maka asas
yaitu konsepsi abstrak bagaimana seharusnya.
Asas hukum tidak akan habis kekuatannya sebab telah melahirkan
suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap ada dan akan melahirkan
peraturan-peraturan hukum selanjutnya. Dengan kata lain, dari suatu
asas hukum dapat diturunkan berbagai peraturan hukum. Oleh sebab
itu, Paton menyebut asas hukum sebagai suatu sarana yang membuat
hukum itu hidup, tumbuh, dan berkembang sehingga hukum bukan
sekadar kumpulan peraturan, melainkan dengan mengandung nilai-nilai
dan tuntutan-tuntutan etis telah mengubah sifatnya menjadi bagian
dari suatu tatanan etis.
Peraturan hukum hanya yaitu lambang-lambang saja
yang dipakai untuk menyampaikan norma-norma hukum. Menurut
Zevenbergen, norma hukum mengandung dua hal:
1. patokan penilaian, yaitu menilai kehidupan warga dengan
menyatakan apa yang dianggap baik dan tidak baik;
2. patokan tingkah laku, yaitu berdasarkan suatu penilaian tertentu
maka dibuatlah petunjuk-petunjuk tentang tingkah laku atau
perbuatan.
maka , norma hukum mengandung makna di satu
pihak sebagai patokan yang memuat penilaian mengenai perbuatan
tertentu untuk berperikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup
menurut peraturan perbuatan mana yang harus dijalankan dan yang
harus ditinggalkan, atau ukuran ataupun pedoman hukum dan di lain
pihak yaitu patokan.
Asas hukum membentuk isi norma hukum yang dirumuskan
dalam peraturan hukum. Tanpa asas hukum, maka norma hukum akan
kehilangan kekuatan mengikatnya. Di lain pihak, tanpa mengetahui
asas-asas hukum tak mungkin dapat memahami hakikat hukum. Oleh
sebab itu, untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-
baiknya tidak bisa melihat peraturan-peraturan hukumnya saja, namun
juga harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya.
Pembentukan norma hukum yang tidak didasarkan pada asas-asas
hukum konstitutif menghasilkan norma-norma yang secara materiil
bukan yaitu norma hukum. Dan jika asas-asas hukum regulatif
tidak diperhatikan, maka yang dihasilkan yaitu norma-norma hukum
yang tidak adil.
Setelah asas hukum dijelmakan ke dalam bentuk norma hukum
yang berupa pedoman atau patokan, selanjutnya patokan ini
baru dapat dioperasionalkan untuk mengarahkan sikap tindak manusia
dalam mencapai tujuan yang diinginkan. sebab tujuan yang diinginkan
ini niscaya sesuatu yang bernilai, sedangkan nilai yaitu hasil
pertimbangan yang tercermin dalam kehendak manusia itu sendiri,
maka hal yang mewajibkan manusia bersikap tindak menurut patokan
yang telah ditentukan ini sesungguhnya bukan dipaksakan dari
luar, namun yaitu keyakinan dalam diri manusia itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya hubungan antara nilai,
asas, norma, dan sikap tindak dalam hidup menurut hukum secara
linier sangat erat berkaitan. Nilai yang yaitu “hasil pertimbangan
manusia” itu menjadi patokan pokok terwujudnya asas-asas hukum.
Asas-asas hukum yang yaitu “konsepsi abstrak tentang bagaimana
seharusnya” itu menjadi unsur pokok pembentukan isi norma hukum.
Norma hukum yang yaitu konkretisasi “patokan yang menjadi
pilihan” dan yang terumus dalam peraturan hukum itu menjadi
pedoman dalam bersikap tindak dan berperilaku dalam hidup menurut
hukum.
C. Nilai-Nilai Dasar dalam Hukum
Magnis-Suseno dengan mengutip para ahli Jerman antara lain Reinhold
Zippelius, mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus
direalisir di dalam hukum, yaitu nilai kesamaan, kebebasan, dan
solidaritas.
1. Nilai Kesamaan
Zippelius memandang bahwa eksistensi hukum hanya masuk akal
jika hukum dapat menjamin nilai kesamaan. Penyelesaian konflik
dalam warga modern tidak lagi didasarkan kepada siapa yang
kuat atau siapa yang lemah, melainkan didasarkan pada kriteria
objektif yang berlaku bagi pihak kuat dan pihak yang lemah. Ini
memperlihatkan setiap pihak yang dipandang sama di hadapan hukum.
Hukum berlaku umum, tidak hanya berlaku untuk pihak tertentu.
maka , hukum menjamin kedudukan yang sama bagi setiap
anggota warga .
Berdasarkan kesamaan semua anggota warga sebagai manusia
dan warga negara, maka tidak ada orang atau sekelompok orang yang
begitu saja dapat memerintah kecuali ia mendapat penugasan atau
persetujuan dari warga warga itu sendiri. Keyakinan ini terungkap
dalam istilah kedaulatan rakyat. Setiap wewenang untuk memerintah
haruslah mendapatkan persetujuan warga . maka ,
wewenang penguasa untuk memerintah telah mendapatkan keabsahan
(legitimasi) secara demokratis.
Kedaulatan rakyat tidak berarti segala keputusan harus diambil
langsung oleh rakyat melainkan pemerintahan itu tetap berada di bawah
kontrol warga . Kontrol itu dapat dilaksanakan melalui dua cara
yaitu pertama, melalui pemilihan wakil-wakil rakyat. Kedua, melalui
keterbukaan (publicity) pemerintahan. Oleh sebab itulah, di dalam
negara demokrasi seperti negara kita pemilihan umum yang jujur untuk
mendapatkan wakil rakyat yang betul-betul memiliki legitimasi dan
kebebasan pers untuk mendukung keterbukaan pemerintahan yaitu
hal esensial.
Nilai kesamaan dalam etika politik disebut “keadilan”, Keadilan
yaitu keadaan antarmanusia di mana manusia diperlakukan sama
dalam situasi yang sama. Nilai pertama yang harus dijamin oleh hukum
yaitu keadilan. Pembukaan UUD 1945 menjamin bahwa dalam
mencapai tujuan negara haruslah antara lain berdasarkan keadilan sosial.
Keadilan sosial yaitu keadilan yang pelaksanaannya tergantung
dari struktur ekonomis, politis, budaya, ideologis. Struktur-struktur
ini yaitu struktur kekuasaan yang memicu segolongan
orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau
tidak dapat bagian yang wajar dari harta kekayaan dan hasil pekerjaan
warga secara keseluruhan.
Melaksanakan keadilan sosial berarti membongkar seperlunya
struktur-struktur kekuasaan yang ada dan dengan sendirinya akan
berhadapan dengan pihak-pihak yang sedang berkuasa. Pihak yang
disebut terakhir ini tidak akan tinggal diam. Mereka tetap berusaha
mempertahankan status quo, sehingga keuntungan yang didapat dari
struktur yang timpang itu tetap berlangsung. sebab itu tidak masuk akal
mengusahakan keadilan sosial hanya datang dari mereka yang berkuasa.
Usaha itu harus datang dari golongan yang menderita ketidakadilan
serta kesediaan elite yang berkuasa untuk membuka monopolinya atas
kekuasaan ini . Sebagai contoh dapat dilihat bahwa UUD 1945
yaitu sarana bangsa negara kita untuk membongkar struktur sosial,
ekonomi, ideologi, dan budaya penjajah yang memicu rakyat
negara kita berada dalam ketidakadilan.
2. Nilai Kebebasan
Hukum mencegah pihak yang kuat mendominasi atau mencampuri
pihak lemah, ia langsung memperlihatkan bahwa hukum melindungi
kebebasan manusia. Fungsi hukum sebagai penjamin kebebasan
manusia menjadi pokok filsafat hukum Hegel. Sepintas kelihatannya
hukum itu membatasi kebebasan manusia. Pembatasan kebebasan
oleh hukum itu mendapat persetujuan dan pengakuan warga ,
sebaliknya pembatasan kebebasan oleh pihak yang kuat tidak didasarkan
pada persetujuan bebas dari rakyat.
Inti kebebasan ialah bahwa baik setiap orang atau kelompok orang
berhak untuk mengurus dirinya sendiri lepas dari dominasi pihak lain.
Kebebasan tidak berarti orang berhak hidup menurut kemauannya
sendiri. Secara hakiki manusia itu yaitu individu yang bersifat sosial,
di mana ia hidup dalam suatu jaringan dengan manusia lain dan dengan
demikian ia harus memperhatikan serta tergantung pada orang lain.
maka , kebebasannya dibatasi oleh kebebasan pihak lain.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebebasan itu yaitu kebebasan
untuk mengurus diri sendiri lepas dari campur tangan si kuat yang
dipaksakan secara sewenang-wenang. Kebebasan mengurus diri sendiri
yaitu hak asasi universal. Kebebasan ini pertama kali diperjuangkan
oleh kaum liberal yang pada mulanya berusaha untuk melindungi
kehidupan mempengaruhi dari campur tangan yang dipaksakan oleh pihak
lain. Nilai kebebasan mencakup hak untuk hidup, kebutuhan jasmani,
kebebasan mencakup hak untuk hidup, kebutuhan jasmani, kebebasan
bergerak, mengurus rumah tangga sendiri, hak memilih pekerjaan dan
tempat tinggal, kebebasan berpikir, berkumpul, dan berserikat.
Nilai kebebasan yang harus direalisasikan oleh hukum ini
memicu adanya pembatasan terhadap tugas-tugas negara
yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum, sehingga dalam
melaksanakan tugas tidak melanggar nilai kebebasan. Kesejahteraan
umum yaitu syarat-syarat atau kondisi-kondisi yang perlu disediakan
oleh negara untuk warga , sehingga individu- individu, keluarga-
keluarga, dan kelompok-kelompok dapat memanfaatkannya untuk
mencapai kesejahteraan masing-masing. Negara sendiri tidak boleh
secara langsung menyejahterakan rakyatnya, melainkan membantu
orang untuk mencapai sejahtera. Yang dapat merasa kesejahteraan
masing-masing itu hanya yang bersangkutan. Negara tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan kesejahteraan masing-masing itu.
3. Nilai Kebersamaan
Hukum yaitu institusional dari kebersamaan manusia. Sebagai
makhluk sosial, manusia secara hakiki harus hidup bersama. Untuk itu
ia memerlukan tatanan hukum untuk mengatur hubungannya dengan
sesama manusia. Pembatasan kebebasannya untuk memberikan ruang
gerak kepada pihak lain yaitu pengakuan institusional terhadap
solidaritas sesama manusia. Ungkapan franternite, pe