Home » filsafat hukum 3 » filsafat hukum 3
Rabu, 31 Mei 2023
undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah
kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang.
Pendapat Padua ini sangat menarik perhatian, sebab termasuk
progresif untuk ukuran abad pertengahan. Dalam banyak hal,
pemikiran ini mirip dengan Rousseau. Di sisi lain, filsafat Occam
sering disebut Nominalisme, sebagai lawan dari pemikiran Thomas
Aquinas (yang sesungguhnya sama-sama aliran Hukum Alam
Irasional). Jika Thomas meyakini kemampuan rasio manusia untuk
mengungkapkan kebenaran, Occam berpendapat sebaliknya. Rasio
manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan
(ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama (nomen,
nominal) yang dipakai manusia dalam kehidupannya. Karangan
Padua yang terpenting berjudul Defensor Pacis, sedangkan salah
satu karya Occam (sering pula ditulis Ockham) berjudul De
Iperatorum et Pontificum Potestate.
e. John Wycliffe (1320-1384) dan Johnannes Huss (1369-1415)
Jika Marsilius Padua sering dibicarakan bersama dengan Occam,
John Wycliffe acapkali disebut-sebut bersama dengan Johannes
Huss. Sebagaimana umumnya para filsuf abad pertengahan,
Wycliffe – seorang filsuf Inggris – juga menyoroti masalah kekuasaan
Gereja. Ia menolak adanya hak-hak Paus untuk menerima upeti dari
raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan
Ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara
pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bidangnya
sendiri, sehingga tidak boleh saling mencampuri. Urusan negara
seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan, sebab corak
pemerintahan para rohaniawan itu yaitu corak kepemimpinan
yang paling buruk. Pemerintahan yang baik yaitu pemerintahan
yang dipimpin para bangsawan. Menurutnya, kekuasaan Ketuhanan
tidak perlu melalui perantara (rohaniawan Gereja), sehingga baik
para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata
Tuhan. Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Ia mengatakan, bahwa
gereja tidak perlu memiliki hak milik. sebab itu, penguasa boleh
merampas milik itu jika Gereja salah memakai haknya.
Menurutnya, Paus dan hierarki Gereja tidak diadakan menurut
perintah Tuhan. Gereja yang sebetulnya dibentuk oleh orang yang
beriman
2. Hukum Alam Rasional
Setelah menyinggung sekilas beberapa pemikir aliran hukum alam
irasional, kiranya perlu diuraikan pula pendukung-pendukung aliran
hukum alam rasional. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain:
a. Hugo de Groot alias Grotius (1583-1643)
Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum
Internasional sebab dialah yang mempopulerkan konsep-konsep
hukum dalam hubungan antarnegara, seperti hukum perang
dan damai serta hukum laut. Menurut Grotius, sumber hukum
yaitu rasio manusia. sebab sifat yang membedakan
manusia dengan makhluk lain yaitu kemampuan akalnya,
seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan
akal (rasio) itu. Hukum alam, menurutnya yaitu hukum yang
muncul sesuai kodrat manusia. Hukum alam ini tidak mungkin
dapat diubah, (secara ekstrem) Grotius mengatakan bahwa oleh
Tuhan sekalipun. Hukum alam itu diperoleh manusia dari akalnya,
namun Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya. Karya
Grotius yang termasyhur berjudul De Jura Belli ac Pacis dan Mare
Liberium.
b. Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Cristian Thomasius (1655-
1728) Pufendorf yaitu penganjur pertama hukum alam di Jerman.
Pekerjaannya dilanjutkan oleh Christian Thomasius. Ia berpendapat
bahwa hukum alam yaitu aturan yang berasal dari akal pikiran
yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia yang lebih
berperan. Akibatnya, saat manusia mulai hidup berwarga ,
timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Agar tidak
terjadi pertentangan terus-menerus, dibuatlah perjanjian secara
sukarela di antara rakyat. Baru setelah itu, diadakan perjanjian
berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya
perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua
kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan
tujuan dari negara yang didirikan. Karangan Pufendorf tentang
dasar-dasar hukum alam dan hukum antarnegara memberikan
pembedaan yang tegas antara hukum dan moral (pendapat ini
jelas lebih dekat ke aliran positivisme hukum dibandingkan hukum
alam). Schumid (1965:188-189) menyatakan, karya Pufendorf
justru penting sebab pembedaan ini . Hukum alam lahir dari
faktor-faktor yang bersifat takdir dan berdasarkan sifat manusia
yang fitri, seperti naluri, akan terdesak ke belakang.
c. Imanuel Kant (1724-1804)
Imanuel Kant melakukan penyelidikan unsur-unsur mana dalam
pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih
dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan yang murni berasal dari
empiris.
B. Positivisme Hukum
Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara
tegas memisahkan antara hukum dan moral (antara hukum yang
berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen).
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu:
1. Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence):
Hukum yaitu perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum
sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum
dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup.
Dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined, Austin
menyatakan, “A law is a command which obliges a person or persons…
law and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or
oblige inferiors”.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang
menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu
memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan
cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke
arah yang diinginkannya. Hukum yaitu perintah yang memaksa,
yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis:
a. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws).
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, dibedakan dalam:
1) Hukum yang sebetulnya (hukum positif), meliputi:
a) Hukum yang dibuat oleh penguasa.
b) Hukum yang dibuat oleh manusia secara individu untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
2) Hukum yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang dibuat
oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai
hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga.
Hukum yang sebetulnya memiliki empat unsur yaitu:
a) Perintah (command);
b) Sanksi (sanction);
c) Kewajiban (duty);
d) Kedaulatan (sovereignty).
2. Aliran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang
nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.
Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine
Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum yaitu suatu sollenskagorie
(kategori keharusan/ideal), bukan seins-kategori (kategori faktual).
Baginya, hukum yaitu suatu keharusan yang mengatur tingkah laku
manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan
oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what
the law thought to be), namun “apa hukumnya” (what the law
is). maka , walaupun itu sollenskagorie, yang dipakai
yaitu hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan
(ius constituendum). Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat
dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan bahwa
waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama sekali
tidak mengetahui karya Austin (Friedmann, 1990:169). Walaupun
demikian, asal-usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan Austin
berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme,
sedangkan Austin pada Utilitarianisme. Kelsen dimasukkan sebagai
kaum Neokantian sebab ia memakai pemikiran Kant tentang
pemisahan antara bent dan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan
dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai
isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian
dapat saja tidak adil, namun ia tetaplah hukum sebab dikeluarkan
oleh penguasa. Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum
positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi.
Ini biasanya terjadi sebab kepentingan warga yang diatur
sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa
pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana,
misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan
istilah dekriminalisasi dan depenalisasi, sehingga suatu ketentuan
dalam hukum positif menjadi tidak memiliki daya berlaku lagi,
terutama secara sosiologis. Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus
Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa mengembangkan Teori
Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl
(1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang
terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang
lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang
lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak
sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan
semakin konkret norma ini . Norma yang paling tinggi, yang
menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama
grundnorm (norma dasar) atau Upsprungnorm. Teori jenjang dari
Kelsen ini lalu dikembangkan lagi oleh muridnya bernama
Hans Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan
pembahasannya pada norma hukum saja. Sebagai penganut
aliran hukum positif, hukum di sini pun diartikan identik dengan
perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa).
Teori dari Naswiasky disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der
Rechtsodnung. Karya penting Hans Kelsen antara lain berjudul The
Pure Theory of Law dan General Theory of and State. Ajaran
yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali disebut Mazhab Wina.
Sistem hukum negara kita pada dasarnya menganut teori yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Nawiasky ini .
C. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme yaitu aliran yang meletakkan keman faatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum,
tergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada
Bab 7 --- Aliran-Aliran 105
manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh
setiap individu. namun jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak
mungkin), diusaha kan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak
mungkin individu dalam warga (bangsa) ini (the greatest
happiness for greatest number of people). Aliran ini sesungguhnya dapat
pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat paham
ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujuan hukum yaitu
menciptakan ketertiban warga , di samping untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak.
Ini berarti hukum yaitu pencerminan perintah penguasa juga,
bukan pencerminan dari rasio semata.
Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah:
1. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan
kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan
dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan yaitu kebahagiaan,
dan kejahatan yaitu kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara
kebaikan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan kesusahan. Tugas
hukum yaitu memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.
Tegasnya, memelihara kegunaan. Pandangan Bentham sebetulnya
beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia
menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan
jaminan kebahagiaan individu-individu, bukan langsung ke
warga secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham
tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu,
kepentingan warga pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi
bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa
yang disebut homo homini lupus(manusia menjadi serigala
bagi manusia lain). Untuk menyeimbangkan antarkepentingan
(individu dan warga ), Bentham menyarankan agar ada
“simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat
perhatian harus tetap pada individu itu, sebab jika setiap
individu telah memperoleh kebahagiaannya, dengan sendirinya
kebahagiaan (kesejahteraan) warga akan dapat diwujudkan
secara simultan.
2. Jhon Stuar Mill (1806-1873)
Ia menyatakan bahwa tujuan manusia yaitu kebahagiaan. Manusia
berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang
membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia
bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan
yang dapat ditimbulkannya.
3. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Baginya tujuan hukum yaitu untuk melindungi kepentingan-
kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti
Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan
dan menghindari penderitaan.
D. Mazhab Sejarah
Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny
(1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur
Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada Zaman
Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya L’
esprit des Lois dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul
pada awal abad ke-19. Di samping itu, munculnya aliran ini juga
yaitu reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki
adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum
Prancis (Code Napoleon).
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah
yaitu reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan
aliran hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab
sejarah yaitu pemikiran Montesqueu dalam bukunya L’ esprit des
Lois yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu
bangsa dengan hukumnya.
Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting
dari L’esprit des Lois yaitu tesis bahwa hukum walaupun secara samar
didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh
lingkungan dan keadaan seperti iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan,
perdagangan, dan lain sebagainya. Berangkat dari ide ini
Montesqueu lalu melakukan studi perbandingan mengenai
undang-undang dan pemerintahan. Gagasan Montesquieu tentang
sistem hukum yaitu hasil dari kompleksitas berbagai faktor
empiris dalam kehidupan manusia. saat Montesquieu membahas
penyebab suatu negara memiliki perangkat hukum atau struktur
sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh
dua faktor penyebab utama yang membentuk watak warga yaitu
faktor fisik dan faktor moral. Montesquiue melihat adanya dua kekuatan
yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang
mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral
yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat
pada berbagai kewajiban di samping adanya hak-hak.
Dengan memanfaatkan momen (semangat nasionalisme), Savigny
menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi
hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit
Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland”
(Keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata negara Jerman).
Dalam suasana demikian, Savigny mendapatkan “lahan subur”
untuk membumikan ajarannya yang mengatakan bahwa ‘hukum
itu tumbuh dan berkembang bersama warga . Dan oleh
karenanya setiap bangsa memiliki “volgeist” (jiwa rakyat) yang
berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi
negara lain, meskipun negara lain itu yaitu bekas jajahannya.
Dalam kaitan inilah lalu Savigny mengatakan, yaitu tidak
masuk akal jika ada hukum yang berlaku universal pada semua
waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa
rakyat ini dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan
oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
Inti ajaran Mazhab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini ada
dalam bukunya ‘von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und
Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk
Undang-undang dan Ilmu Hukum) antara lain dikatakan:
1. ‘Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke (Hukum itu
tidak dibuat, namun tumbuh dan berkembang bersama warga ).
2. Ajaran Savigny ini dilatarbelakangi oleh pandangannya yang
mengatakan bahwa di dunia ini ada banyak bangsa dan pada
tiap bangsa memiliki Volkgeist/jiwa rakyat. Perbedaan ini juga
sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang
disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung
atau bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh
pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.
3. Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu
masya rakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam
tingkah laku semua individu kepada warga yang modern dan
kompleks di mana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa
yang diucapkan oleh para ahli hukumnya.
Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny dan
beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada
dasarnya yaitu proses yang tidak disadari dan organis; oleh sebab
itu perundang-undangan yaitu kurang penting dibandingkan
dengan adat kebiasaan.
2. sebab hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum
yang mudah dipahami dalam warga primitif ke hukum yang
lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak
dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, namun
disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip
hukum secara teknis. namun ahli hukum tetap yaitu suatu
organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi
bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran
umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran
hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh
sebab ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih
penting dibandingkan pembuat undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara
universal. Setiap warga mengembangkan kebiasaannya sendiri
sebab memiliki bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas.
Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum yaitu sejajar juga
tidak dapat diterapkan pada warga lain dan daerah-daerah
lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh sebab itu
sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian
hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi
oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan
bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan
perkembangan warga dari sederhana ke warga kompleks
dan modern. Pada warga modern hubungan antara para anggota
warga dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang
dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh
pihak-pihak yang berkenaan. maka , Maine sebetulnya tidak
menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu
konsep yang diselubungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu
tesis yang mengatakan bahwa perjalanan warga menjadi progresif
di situ terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status
kepada pengguna kontrak.
E. Sociological Jurisprudence
Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak
mengatakan bahwa hukum yang baik yaitu hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam warga . Kata “sesuai” diartikan
sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam
warga . Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang
abik haruslah hukum yang sesuai dengan yang hidup di warga .
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive
law) dan hukum yang hidup (the living law).
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum.
Dengan rasio demikian, sosiologi hukum yaitu cabang sosiologi
yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedangkan Sociological
Jurisprudence yaitu suatu mazhab dalam filsafat hukum yang
mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan warga dan
sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari
pengaruh warga kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang
ada dalam warga dapat mempengaruhi hukum di samping juga
diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
warga . Dari 2 (dua) hal ini di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada
warga , sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari
warga kepada hukum.
Tokoh utama aliran Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound
menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial dan alat kontrol
warga (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan
menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam warga . Keadilan yaitu
lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam
mengusaha kan kepentingan anggota warga yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh
penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak
persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam
hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap
kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara
konkretnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan
(balancing of interest, private as well as public interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law yaitu
synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah.
Maksudnya, kedua aliran ini ada kebenarannya. Hanya hukum yang
sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi
unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan
akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman.
Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman.
Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum.
Hukum yaitu pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal,
yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat
undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam warga
yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan warga itu.
Tokoh lain aliran Sociological Jurisprudence yaitu Eugen Ehrlich (1862-
1922), ia beranggapan bahwa hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan
sosial tertentu. Hukum tidak mungkin efektif, oleh sebab ketertiban
dalam warga didasarkan pengakuan sosial terhadap hukum, dan
bukan sebab penerapannya secara resmi oleh Negara.
F. Realisme Hukum
1. Sejarah Kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari
adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan
yaitu pernyataan bahwa kalau positivisme hukum yaitu teori
hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum,
termasuk menangani masalah -masalah berat (hard cases). Ternyata masalah -
masalah berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan
pertanyaan “apakah legal positivisme menyediakan teori yang benar
mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan masalah -
masalah berat?” ternyata pertanyaan ini yaitu problem yang sukar
dipecahkan bagi pengikut positivisme.
Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa
hukum yaitu perintah penguasa yang berdaulat, sedangkan Hans Kelsen
menyatakan bahwa hukum yaitu kehendak dari negara. Atau dengan
kata lain, menyatakan bahwa hukum yaitu sesuatu yang positif yakni
undang-undang (positive law) dan hukum kebiasaan (positive morality).
namun positive morality bisa menjadi hukum jika telah dikukuhkan
menjadi undang-undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari
kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank
(1859-1957), dan seorang ahli ilmu sosial, Karl Nickerson Llewellyn
(1893-1962), melihat kenyataan bahwa tidak semua masalah yang ada
di pengadilan, khususnya masalah -masalah berat diatur dalam undang-
undang. Sehingga pada kenyataannya hakim memiliki peranan yang
lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif dalam
penerapan hukum dibandingkan sekadar mengambil aturan-aturan yang
dibuat oleh penguasa (undang-undang). Dalam praktiknya ternyata
faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial, dan nilai-nilai
yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan
hukum dibandingkan aturan-aturan yang tertulis.
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa
menjelang abad ke-19 terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang
mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik. Idealisme
hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis dan sebagian sosiologis,
membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai
menyelidiki realitas dalam warga modern dalam hubungannya
dengan hukum modern. Pragmatisme yaitu rumusan baru dari
filsafat yang sangat tua, yang mendorong ke arah pendekatan baru pada
hukum yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil,
dan akibat-akibat.
Gerakan realis mulai melihat apa sebetulnya yang dikehendaki
hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta
dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat
menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan
mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku
hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan). Jadi, hal yang pokok
dalam ilmu hukum realis yaitu “gerakan dalam pemikiran dan kerja
tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa
hal, yang terpenting di antaranya:
a. Tidak ada mazhab realis, realisme yaitu gerakan dalam pemikiran
dan kerja tentang hukum.
b. Realisme yaitu konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk
tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan
akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang warga
yang berubah lebih cepat dibandingkan hukum.
c. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum
yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi.
Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap
penyelidikan ada sasarannya, namun selama penyelidikan, gambaran
harus tetap sebersih mungkin, sebab keinginan-keinginan
pengamatan atau tujuan-tujuan etis.
d. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-
konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu
menggambarkan apa yang sebetulnya dilakukan oleh pengadilan-
pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-
peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
e. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan
mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, meng-
analisis perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara
pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan perubahan keadaan
warga . Hukum yaitu bagian dari kebudayaan yang antara lain
mencakup kebiasaan, sikap-sikap, maupun cita-cita yang ditransmisikan
dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain,
hukum yaitu bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-
lembaga ini telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam
aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.
Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam undang-
undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar
ditentukan oleh hakim di pengadilan yang biasanya didasarkan
pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan
hukum saat menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun
putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa
yang tertulis dalam undang-undang atau aturan lainnya. Sehubungan
dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang
yaitu hasil putusan pengadilan itu. maka , tidak ada
alasan untuk mengatakan bahwa suatu masalah tidak dapat diadili sebab
belum ada hukum tertulis yang mengaturnya.
2. American Legal Realism
Realisme Amerika Serikat yaitu yaitu pendekatan secara
pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para
ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan ini dengan
meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-
tindakan hukum.
Sumber hukum utama aliran ini yaitu putusan hakim,
hakim lebih sebagai penemu hukum dibandingkan pembuat hukum
yang meng andalkan peraturan perundang-undangan, jika
dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme sangat
bertentangan sebab memang aliran realisme ini yaitu reaksi
dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai
segala sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran
realisme ini berusaha untuk mengubah cara pandang para ahli
hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa
hukum itu sebagai praktik (law in action) hukum itu yaitu suatu
pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum
harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum
dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk menginterpretasi
hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes
berpendapat yang dimaksud dengan hukum yaitu tindakan dari
pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi, pandangan hukum
sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang
menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey tujuan dari realisme di Amerika ini
dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan
bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan
cara mengaitkan hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam
warga . Aliran realisme di Amerika ini menuntut pemenuhan
kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam
warga jadi jika hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan
yang tetap maka seakan-akan yaitu prinsip-prinsip logika,
dengan prinsip ini hakim menjatuhkan putusan. Jerome Frank
dalam tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu
ditemukan, sebab jika hakim dalam memutuskan suatu perkara
hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya
menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara
berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang
berbeda-beda pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil
keputusan hakim dipengaruhi faktor politik, ekonomi, moral, simpati,
dan antipati namun itu semua hanya sekadar dijadikan pertimbangan.
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat
besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law
Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap
institusi hukum (hakim, jaksa, pengacara, dan pemerintah) harus
memiliki keterampilan dalam menafsirkan hukum dan di sini Llewellyn
menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya ini Llewellyn
membagi dua konsep pemikiran yang dapat dipraktikkan di pengadilan
Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat pengadilan
tingkat banding di mana hakim di Amerika dalam membuat suatu
keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan di sekitarnya,
dan hakim pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu
dan mempelajari kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam
menjatuhkan putusan. “Formal Style” sebaliknya tipe ini lebih bersifat
otoriter, formal, dan logika, hakim dalam membuat suatu keputusan
diberikan ruang untuk memakai logika namun hanya sebatas
sebagaimana yang ada dalam undang-undang, Formal Style tidak
peduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini
sangat mempengaruhi situasi perkembangan hukum di Amerika, pada
abad ke-19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan
berkembang ke bentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar
dari Llewellyn yang mengharapkan pengadilan di Amerika kembali
kepada Grand Style sebab hakim dalam memutuskan perkara perlu
melihat situasi yang ada di dalam suatu warga . Namun sayangnya
dari pemikiran Llewellyn ini memunculkan suatu tanggapan bahwa
dengan hakim diberikan kesempatan untuk memakai logika dan
mempertimbangkan kondisi yang ada di warga dalam menjatuhkan
keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap
satu perkara sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti
apa sehingga warga dapat menerimanya.
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New
Jurisprudence apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan
bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak
harus sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan lebih
dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol
menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan
dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan
jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas untuk
latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran
dalam menerjemahkan satu masalah . Kedua fakta ini harus dilihat dan
keduanya harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan
untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem
hukum kita, sebab ada dua jenis kebebasan pejabat pengadilan atau
lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang sangat
berbeda itu yaitu fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak
berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital
kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang
telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum
dan bukan laki-laki dan tentang aturan menentukan masalah namun juga
kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan masalah
individu dan perubahan kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta
itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas untuk beberapa
derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita memiliki
kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus
menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana
dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah
alasan yang sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun hal
yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita,
ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai
hasil pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llewellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law”
menjelaskan ada waktu saat hukum menjadi perhatian para filsuf dan
dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini
antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara
menganggap hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan
telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari warga
sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing
hal-hal yang telah disebutkan yaitu hal yang lebih pada bagian besar
dari perselisihan antara jurisprudensi kehilangan banyak makna dan jika
fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan
dengan hukum secara keseluruhan.
3. Scandinavian Legal Realism
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, di mana hal
ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak
pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi.
Hagerstorm dipandang sebagai bapak dari aliran ini, meskipun masih
ada beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal
yakni Olivecrona, Lundstet, dan Ross.
G. Sociology of Law
Pemikiran Sosiologi ditandai oleh karakter seperti, pertama bahwa
pandangan hukum sebagai suatu metode kontrol sosial. Kedua, di
samping itu para ahli hukum sosiologis sangat skeptis dengan aturan-
aturan yang ada dalam buku teks hukum yang terkodifikasi, sebab
yang utama yaitu hukum dalam kenyataan aktualnya. Ketiga yaitu
para ahli hukum sosiologis biasanya sepakat bahwa pentingnya
memanfaatkan ilmu sosial, termasuk sosiologi.
Pada tataran teoretik ada istilah Sociology of Law sedangkan pada
tataran filsafat dipergunakan istilah Sociological Jurisprudence. Meskipun
secara sepintas ada kesamaan antara Sociology of Law dengan Sociological
Jurisprudence, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan, namun
keduanya harus dibedakan. Sociology of Law yaitu bagian atau
cabang Ilmu Sosiologi (Ilmu-Ilmu Manusia) dengan objek studinya
tentang hukum, sedangkan Sociological Jurisprudence termasuk cabang
ilmu filsafat hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara
pengaruh hukum dan warga . Kesamaan antara Sociology of
Law dan Sociological Jurisprudence terletak pada optik yang dipakai yaitu
sama-sama memakai perspektif sosial dalam memahami hukum.
Sociological Jurisprudence sebagai salah satu aliran pemikiran
filsafat hukum menitikberatkan pada hukum dalam kaitannya dengan
warga . Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara warga . Aliran
ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive
law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-
1964) yaitu salah satu eksponen dari aliran ini. Sociology of
law yaitu bagian dari disiplin ilmu sosiologi yang pada dasarnya
yaitu salah satu ilmu deskriptif dan tekniknya bersifat empiris
tidak yuridis, jadi melihat hukum dari luar tatanan ilmu hukum.
Erlich dalam bukunya yang berjudul Grundlegung der Sociological
Rechts mengatakan bahwa warga yaitu ide umum yang dipakai
untuk menandakan semua hubungan sosial seperti keluarga, desa,
lembaga-lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi, maupun
sistem hukum, dan sebagainya. Erlich memandang semua hukum
sebagai hukum sosial, namun dalam arti bahwa semua hubungan
hukum ditandai oleh faktor–faktor sosial ekonomis. Sistem ekonomis
yang dipakai dalam produksi, distribusi, dan konsumsi bersifat
menentukan bagi pembentukan hukum.
Dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law, Pound
menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak
warga yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian
yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam
kaitannya dengan penerapan hukum, Pound menjelaskan tiga langkah
yang harus dilakukan:
1. menemukan hukum;
2. menafsirkan hukum; dan
3. menerapkan hukum.
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-
aspek yang ada di tengah-tengah warga untuk diangkat dan
diterapkan ke dalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprudence
titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang,
putusan hakim, atau ilmu hukum, namun terletak pada warga
itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus memiliki
hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam warga
bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum yaitu
alat untuk memperbarui (merekayasa) warga (law as a tool of
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya ini Pound
mengedepankan rasa keadilan yang ada di warga . Pandangan
aliran Sociological Jurisprudence, dapat dirumuskan sebagai berikut
“…. Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk
memuaskan kebutuhan warga , tuntutan, permintaan, dan
pengharapan yang terlibat dalam kehidupan warga ….”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup di
warga termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus
dikedepankan demi terwujudnya tatanan hukum.
Dilihat dari pengertian mengenai Sociological Jurisprudence &
The Sociology of Law, meskipun dalam penerapannya, Sociological
Jurisprudence memiliki kelebihan yaitu berkembangnya penafsiran
ilmu hukum sesuai dengan pemikiran warga sosial, namun juga
memiliki kekurangan sebab pada dasarnya, tidak ada acuan
mengenai hukum itu sendiri sebab pengertian warga terhadap
ilmu hukum terus berubah seiring dengan perkembangan pemikiran
warga dan perbedaan pendapat di dalam warga itu sendiri,
sehingga terjadi suatu ketidakpastian hukum.
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) yaitu penentang paling
keras Positivisme Hukum. Dalam penentangan terhadap positivisme
hukum, freirechtslehre sejalan dengan kaum Realis Amerika Serikat.
Hanya saja jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisisan
hukum sebagai kenyataan dalam warga , maka freirechtslehre tidak
berhenti sampai di situ. Aliran Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim
memiliki tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, namun menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-
peristiwa berikutnya dapat dipecahkan oleh norma yang diciptakan oleh
hakim. Menurut ajaran ini dalam penyelesaian masalah bukan terletak
pada undang-undang akan namun penyelesaian yang tepat dan konkret.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah
peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-
undang bukan yaitu pemegang peranan utama, namun sebagai
alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum,
dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim memiliki tugas
menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah
menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa yang konkret, sehingga peristiwa-peristiwa
berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan
oleh hakim.
A. Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila yaitu dasar negara dan secara yuridis konstitusional
dipakai sebagai landasan yang dibagikan terkait dengan negara.
Secara objektif ilmiah, Pancasila yaitu suatu paham filsafat, cara
berpikir filosofis atau sistem filosofis. Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat dapat diimplementasikan dan dibicarakan secara mendalam,
sebab berpikir filosofis yaitu sifat atau kodrat manusia.
Manusia yang normal memiliki sifat “ingin tahu” bukan ingin tahu
“ingin tahu” ingin tahu “ingin tahu” yang benar. Manakala harus tahu
yang benar, maka ia bisa membantu orang lain atau warga nya.
Setelah mengetahui sesuatu yang benar-benar akan menarik perhatian
pada kebutuhan untuk mempertahankan sesuatu agar tetap baik dan
bermanfaat serta dapat diamalkan dalam kehidupan dan kehidupan
selama ia berada. Namun, manusia yang menyadari kebenaran yang
dicapainya yaitu kebenaran yang relatif, suatu kebenaran yang
diselesaikan pada waktu, tempat, situasi, dan kondisi dan yang
disebut kebenaran yang tidak disetujui. Kenapa tidak disetujui? Alasan
menganggap manusia itu sendiri tidak disetujui. Manusia itu buah
atau hasil ciptaan yang ada kumpulan. Jelaslah kebenaran yang setuju
pada sang pencipta manusia yang disebut Tuhan (Allah) pencipta
alam semesta dan seisinya di mana ciptaan itu memiliki ukuran atau
kadarnya.
Dalam hal Pancasila sebagai sistem filsafat harus diawali dengan
pengertian sila pertama dalam sangkut pautnya dengan sila-sila yang
berada di bawahnya. Sebagai sistem filosofis Pancasila harus memakai
perhitungan yang universal, yaitu 1, 2, 3, 4, 5 yang berarti angka 1 (satu)
tidak dapat ditempatkan di bawah, angka 2 (dua) di atas, dan angka 3
(tiga) di tengah, atau dapat angka 1 (satu) di tengah angka 2 (dua) di
bawah angka 3 (tiga) di atas yang akan menghilangkan urutan berhitung
yang membahas universal itu. Dengan meminta uraian ini jelaslah
Pancasila sebagai sistem filsafat harus memiliki urutan yang harus
diselesaikan penuh atau bulat. Memahami Pancasila sebagai Pancasila
sebagai kebulatan yaitu alat hidup untuk setiap bangsa negara kita dan
pemerintahan negara negara kita dan ke berikutnya dalam tata nilainya
ditentukan pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4 (empat).
Pancasila dapat dimisalkan sebagai Pancaindra yang lima yang harus
dibatasi dan dipakai untuk setiap manusia yang lengkap, termasuk
juga alat yang terdiri dari tinju tidak akan sempurna jika tidak dilengkapi
dengan lima jari. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai sistem filsafat
harus diuraikan dan tidak boleh dilepaskan dari komposisinya, atau
dengan kata lain Pancasila yang yaitu kebulatan alat yang tidak
boleh diartikan sebagai lima sila yang dapat dipakai satu demi satu
secara lengkap. Memahami Pancasila secara lengkap dapat diuraikan
sebagai berikut:
• Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengalirkan pemahaman
tentang yang adil dan beradab yang selengkap-lengkapnya, dan dari
sila:
• Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab yang lengkap saya
barulah mulai kegunaan sila yang:
• Ketiga: Persatuan negara kita , dalam hubungan ke dalam dan di antara
yang mewakili hubungan internasional dalam kerangka perwakilan
sedunia dan dari sini timbul pengertian sila yang:
• Keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah yang terkait dengan
ketiga dalam permusyawaratan, atau melibatkan tugas-tugas terkait
di dalam negeri, sehingga menginsafi kebebasan di dalam perikatan
yang dianggap ditimbulkan oleh pengertian Ketuhanan Yang Maha
Esa yang menghasilkan dan membendungi perikemanusiaan yang
menghasilkan demokrasi yang berkenaan dengan kebebasan,
bukan sebab ikatan paksaan akan namun sebab keinsafan terkait
Ketuhanan Yang Maha Esa dan berperikemanusiaan. Diakui tentang
kebersihan keinsafan untuk mengikat diri sendiri memerlukan
pengawasan, meminta jangan keluar dari batas yang murni yang
bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa melalui hubungan yang
adil dan beradab dalam istilah Islam, ikut tauhid melalui amal yang
saleh;
• Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita , sebagai faset
yang terakhir yang harus memperoleh warga adil dan makmur
yaitu pagar yang terdiri 4 (empat), yaitu 4 (empat) faset Pancasila
ini , yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan negara kita , dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah aduan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jika
buah yang disetujui itu diusahakan di luar 4 (empat) lapis pagar
yang ini, umpamanya dengan tiada ada pagar Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka pagar yang mengandung kekayaan yang adil dan
beradab pagar yang jumlah yang akan ditentukan oleh manusia
dengan kodrat-kodrat yang bersumber kepada hawa nafsu sendiri,
sehingga pagar yang terdiri dari yang adil dan beradab itu (tanpa
diikutsertakan Ketuhanan Yang Maha Esa) memiliki bagian-bagian
yang dapat dipakai angkara murka dan akan dapat membantu
memastikan yang tidak adil dan tidak beradab. Jika di dalam negara
kita ini ada pihak yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, maka
tidak boleh menyalurkan amalnya dari pemahaman Ketuhanan
Yang Maha Esa itu sebagai pimpinan yang hidup dan hanya mau
mendasarkan amalnya pada saat pengarahan saja, lalu terbelahlah
kembali ke kesahihan yang berbantuan yang ditujukan bagi orang
yang hidup kewarga an yang sempurna. Dari lima macam sila
itu ada satu sila yang memiliki kedudukan yang istimewa, yaitu sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebab sila itu berada di luar ciptaan
akal budi manusia. Keempat sila yang lain itu bersumber dari hidup
bersama di antara manusia yang lain tentang hidup pergaulan
manusia dalam perkembangan sejarah warga manusia itu
sendiri yang memunculkan satu tata kehidupan yang normatif,
yaitu hidup yang dituntun dengan kaidah kesusilaan dan hidup
yang dikungkung dengan kaidah hukum. Kedudukan atau posisi sila
pertama dan utama itu yaitu tenaga pendorong (motif dinamis)
atau tenaga penggerak untuk apa yang dikenal oleh kita:
1. Kemanusiaan;
2. Keadilan;
3. Moralitas;
4. Kebajikan;
5. Cinta dan Belas Kasihan; dan
6. Kecantikan (Kecantikan).
• Keenam: Elemen ini tertanam dalam diri manusia, sebab mereka
yaitu satu spesies (Semua manusia dan bukan juga semua
manusia memiliki hak dan derajat yang sama antara laki-laki dan
perempuan (memiliki martabat manusia yang sama dan harus
mempertahankan kasih sayang yang sama). Dan harus ada ketaatan
kepada Tuhan yang yaitu pelestarian praktik sosial dalam
hubungan manusia.
Enam elemen di atas yaitu elemen ilahi yang ada dalam setiap
manusia. Dalam bahasa Belanda disebut HetGoddelijke in demene.
Sementara elemen-elemen itu diabaikan oleh setiap manusia yang
mengaku sebagai Tuhan, kemanusiaannya akan berantakan, untuk
membangun elemen-elemen itu, para penguasa, pemimpin rakyat, para
pendidik/guru, sehingga jiwa dan nilai-nilai UUD 1945 bisa terjamin
diturunkan oleh generasi muda.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya yaitu
suatu sistem filsafat. Pengertian sistem yaitu suatu kesatuan bagian-
bagian yaitu saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu
tujuan tertentu dan secara keseluruhan yaitu suatu kesatuan yang
utuh, Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suatu kesatuan bagian-bagian;
2. Bagian-bagian ini memiliki fungsi sendiri-sendiri;
3. Saling berhubungan dan saling ketergantungan;
4. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu;
5. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila
setiap sila pada hakikatnya yaitu suatu asas sendiri, fungsi
sendiri-sendiri namun secara keseluruhan yaitu suatu kesatuan
yang sistematis.
• Susunan sila-sila Pancasila yang bersifat organis
Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya yaitu suatu kesatuan
dasar filsafat negara berdasarkan lima sila yang masing-masing
yaitu suatu asas kehidupan. Kesatuan sila-sila Pancasila yang
bersifat organis ini pada hakikatnya secara filosofis bersumber
pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti,
isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia “monopluralis”
yang memiliki unsur-unsur, susunan kodrat jasmani dan rohani,
“sifat kodrat” individu-makhluk sosial, dan “kedudukan kodrat”
sebagai mempengaruhi berdiri sendiri-makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
• Dasar epistemologi sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga
yaitu suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu ideologi maka
Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas
dari pendukungnya, yaitu:
1) Logos yaitu rasionalitas atau penalaran;
2) Pathos yaitu penghayatanl; dan
3) Ethos yaitu kesusilaan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai ideologi
bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila. Oleh
sebab itu dasar epistemologi tidak dapat dipisahkan dengan
konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia
yaitu basis ontologis dari Pancasila maka dengan demikian
memiliki implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu
bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat
manusia.
• Dasar aksiologis sila-sila Pancasila
Sila-sila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan
dasar aksiologisnya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila pada hakikatnya juga yaitu suatu kesatuan. ada
berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung
pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam
menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkinya.
Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang
tertinggi yaitu nilai materiil, kalangan hedonis berpandangan
bahwa nilai tertinggi yaitu nilai kenikmatan. Namun dari berbagai
macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada
kedua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai
sebab berkaitan dengan subjek pemberian nilai yaitu manusia.
Hal ini bersifat subjektif namun juga ada pandangan bahwa
pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang
bernilai, ini yaitu pandangan dari paham objektivisme.
• Nilai-nilai Pancasila sebagai suatu sistem
Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan
atas hakikat Pancasila yang umum universal yang yaitu
substansi sila-sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yang bersifat
umum kolektif serta realisasi pengalaman Pancasila yang bersifat
khusus dan konkret. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila satu
sampai dengan lingkungan yaitu cita-cita harapan dan
dambaan bangsa negara kita yang akan diwujudkannya. Sejak
dahulu cita-cita ini telah didambakan oleh bangsa negara kita
agar terwujud dalam suatu warga yang gemah ripah loh
junawi, tenteram karta raharja. Dengan penuh harapan diusaha kan
terealisasi dalam sikap tingkah laku dan perbuatan setiap manusia.
B. Pancasila sebagai Dasar negara
Dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 sebuah naskah dan
amendemennya, deklarasi Pancasila yang kelima, yaitu dari sila
Ketuhanan yang Maha Esa hingga sila Keadilan Sosial Rakyat negara kita
telah menjadi landasan (ideologis) untuk pembentukan negara kesatuan
Republik negara kita (NKRI). Hal ini sejalan dengan pandangan Bung
Hatta dalam penerimaannya gelar doktor kehormatan bidang Studi
Hukum untuk Bung Hatta pada tanggal 30 Agustus 1975 di Universitas
negara kita , yang menyatakan bahwa negara kita yaitu negara hukum
berdasarkan Pancasila.
Jadi, terlepas dari hierarki hukum, Pancasila tidak secara eksplisit
disebut sebagai payung Hukum Positif negara kita , sebagaimana UU No.
12 tahun 2011 mengacu pada pembentukan undang-undang, namun
yaitu persyaratan yang tidak dapat dibatalkan bahwa setiap
perumusan atau perubahan mulai dari Hukum Dasar, Hukum, Peraturan
Pemerintah, Hukum, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah harus
selalu mengacu pada Pancasila.
Ini yaitu dasar bahwa dalam politik hukum pembentukan Undang-
Undang dan Peraturan Ordonansi, Pancasila selalu dianggap sebagai
satu-satunya dasar, di samping keberadaan UUD 1945 beserta semua
amendemen konstitusionalnya. sebab itu, setiap badan di negara kita
baik legal maupun tidak, dalam pengoperasian roda organisasinya
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar dalam
hukum nasional.
maka , sejalan dengan penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf
c, pemahaman tentang ajaran Ateisme, Komunisme, Marxisme, dan
Leninisme, serta semua pemahaman lainnya termasuk kekhalifahan
yang berlawanan dan dimaksudkan untuk menggantikan Pancasila
sebagai ideologi NKRI, tentu tidak bisa menjadi dasar dan pedoman
bagi semua agama dalam menjalankan roda organisasinya di negara kita .
Ketentuan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai bertentangan dengan
ajaran agama tertentu sebab bahkan, ide pertama Pancasila, Dewa
Tertinggi, sebagai “kata sifat” telah mengadopsi ajaran agama dan aliran
kepercayaan yang telah diakui di seluruh negara kita .
Dengan berbagai perspektif dan argumen saat ini beberapa
banding telah diajukan terhadap Ormas di Mahkamah Konstitusi. Salah
satunya juga yaitu konstitusionalitas prinsip contrariusactus untuk
mempengaruhi pencabutan status hukum suatu entitas, bukanlah hal
baru di negara kita .
Wawasan tentang penerapan fundamental contrariusactus dalam
pencabutan status hukum dari sebuah perusahaan disampaikan oleh
salah satu pakar hukum terkemuka dan mantan ketua Mahkamah Agung
Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Law and Society of negara kita in
negara kita (Dian Rakyat) pada tahun 1985.
Wirjono berpendapat bahwa ada dua hal yang akan memicu
anak yatim kehilangan badan hukum, baik dengan pengangkatan
menteri kehakiman sebab bertentangan dengan ketertiban umum, atau
oleh putusan pengadilan tentang penyimpangan dari anggaran/hukum.
Oleh sebab itu, penerapan prinsip contrariusactus saat ini yaitu
cara paling efektif untuk memerintahkan organisasi yang bertentangan
dengan Pancasila sebagai prinsip tunggal, tanpa mengurangi hak wali/
anggota untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Bisnis Negara untuk
menguji validitas putusan. usaha negara (beschikking) tidak dapat
mencabut status hukum perusahaan.
Terakhir namun tidak kalah pentingnya, perlu ada tingkat
kesadaran yang tinggi dari seluruh warga negara kita , yaitu bahwa
sesuai dengan Pasal 28 I Konstitusi 1945, kemerdekaan dan hak
untuk berorganisasi di negara kita tetap ada jangkar pembatasan yang
ditetapkan oleh hukum Jan dengan kewajiban untuk menghormati hak-
hak orang lain dalam hal ras, agama, dan ras dalam tatanan warga ,
nasional, dan kehidupan nasional.
Menggarisbawahi kesimpulan di atas, Pancasila yaitu bagian
integral dari nilai-nilai negara kita . Massa dasar kehidupan nasional.
Dan sementara kehidupan nasional dan nasional belakangan ini telah
terguncang oleh masalah rasionalisasi dan kesalahpahaman lainnya,
Pancasila semakin relevan. Bahkan, sebagai filosofi dan sudut pandang
ganda, kita memerlukan lebih dari sebelumnya.
Namun di sisi lain, timbul pertanyaan di dalam diri kita, mengapa
kebijakan negara yang kita simpulkan sebagai bagian integral dari
nilai-nilai negara tidak larut dalam hati setiap warga negara? Mungkin
yang kita butuhkan sekarang yaitu penggunaan Pancasila yang tidak
diindoktrinasi sehingga Pancasila yaitu ideologi lintas generasi bagi
warga negara kita .
Kita menyadari bahwa di era globalisasi dan keterbukaan, Pancasila
juga diharapkan dapat bersaing dengan ideologi lain. Untuk beberapa
alasan, ada ideologi lain yang sesuai dengan kepercayaan budaya dan
agama mereka. Namun, kami tegaskan bahwa sebagai ideologi formal,
Pancasila yaitu final, lengkap. Dengan kata lain, kebijakan negara telah
difinalisasi sejak diberlakukan sebagai bagian dari konstitusi 18 Agustus
1945. maka , setiap usaha untuk mengubah kebijakan negara
yaitu pelanggaran mendasar terhadap perjanjian nasional berusia 73
tahun silam.
A. Pengertian Epistemologi Hukum
Manusia pada dasarnya yaitu makhluk pencari kebenaran. Manusia
tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, namun selalu mencari
dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya
untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban ini
juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode
tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud di sini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, namun kebenaran yang bersifat ilmiah
yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini,
tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran.
Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari
dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan
teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. sebab itu bersifat statis, tidak
kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus
berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa
keingintahuannya terhadap dunianya.
Epistemologi (filsafat ilmu) yaitu pengetahuan sistematik
mengenai pengetahuan. Epistemologi yaitu salah satu objek
kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa
epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam)
dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan
sangat menonjol bila dikaitkan dengan pembahasan mengenai hakikat
epistemologi itu sendiri. Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal
dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan
dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat
diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris
dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara
etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam
bahasa negara kita lazim disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi
epistemologi yaitu teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau
ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi yaitu bagaimana cara mem-
peroleh pengetahuan, sebetulnya seseorang baru dapat dikatakan
berpengetahuan jika telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan
manusia mencintai pengetahuan. Hal ini memicu eksistensi
epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan
yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam
epistemologi yaitu nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia
dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Epistemologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik
memicu perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih
dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi,
pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, yaitu
sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik,
sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme,
empirisme. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan
dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolak ukurnya bagi
pengetahuan (ilmiah). Pengetahuan yaitu daerah persinggungan
antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal
sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat
sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan
pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya
yaitu pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan
(sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang
sistematis (metode ilmiah) memakai nalar yang logis. Sarana
berpikir ilmiah yaitu bahasa, matematika, dan statistika. Metode
ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga
menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoretis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan
secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan
fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan
teoretis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan
empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian
artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah
diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori
ini bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan
kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang
dipakai untuk membangun pengetahuan ini harus benar. Apa
yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar sebab
ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang
kita yakini sebab kita amati belum tentu benar sebab penglihatan
kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu
pengetahuan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Dalam percaturan filsafat, epistemologi dikenal memiliki diva
jelajah dalam lingkup mengenai bagaimana pengetahuan pada dasarnya
dapat diperoleh dan diuji kebenarannya sentra bila dispesifikasikan
atas ranah epistemologi hukum, maka lingkup kajiannya berada pada
usaha untuk menyibak tentang bagaimana pengetahuan hukum itu
dapat diperoleh dan bagaimana pula tingkat kebenarannya sehingga
dapat menjadi penentu dari metodologi hukum. Dengan pemahaman
sedemikian, maka epistemologi hukum berkelana pada pencarian pada
apakah pengetahuan hukum itu, apakah arti mengetahui dan di mana
pengetahuan itu ditemukan: akal budi ataukah pengalaman indrawi, serta
apakah pengetahuan kita tentang hukum dapat dipertanggungjawabkan.
Pengetahuan manusia pertama kali yaitu saat Nabi Adam
diberitahukan oleh Tuhan tentang nama segala sesuatu yang tidak
diketahui oleh malaikat yang menentang penciptaan manusia, seperti
tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2): 31 bahwa: “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”. Setelah peristiwa
itu Adam sebagai makhluk baru, dibanggakan oleh Tuhan di hadapan
makhluknya yang lain, sebab Nabi Adam as. yaitu khalifah.
sebab kedudukannya itu, Nabi Adam as. dibenci oleh Iblis yang
sebab kedudukannya itu, maka Nabi Adam as. dibenci oleh Iblis
bersumpah untuk menyesatkannya. Peluang itu didapat Iblis saat
turun “perintah” pertama Tuhan untuk tidak mendekati buah khuldi
diberitakan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35 bahwa: “Dan Kami berfirman:
Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah
makanan yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu suka, dan
janganlah kamu dekati pohon ini.”
Oleh Iblis peluang ini dimanfaatkan sebaik-baiknya,
dengan mengatakan pada Nabi Adam as, bahwa buah khuldi yaitu
buah pengetahuan, di mana jika Adam memakannya, maka ia dan
keturunannya akan memilki pengetahuan yang lebih dibandingkan apa yang
diajarkan oleh Tuhannya.
Di sinilah letak kekhasan manusia, yaitu “rasa ingin tahu” yang
sangat besar diikuti dengan rasa ingin memiliki apa-apa yang belum
atau bukan menjadi miliknya. Dituntun oleh Iblis pada saat menawarkan
ide untuk memakan buah khuldi kepada Adam as. dan Hawa. Dalam
konteks ini, ruang dan waktunya yaitu surga tempat Adam as.
diciptakan sebagai dunianya. Setelah ide itu lalu diwujudkan
dengan makan buah khuldi, maka ide itu menjadi master dalam bentuk
perbuatan hukum.
Tuhan pun murka dan menghukum Adam as. turun ke dunia untuk
menjalani hidup yang sesungguhnya, yaitu bumi sebagai ruang dan
waktunya. Ini yaitu “hukuman pertama” akibat “pelanggaran pertama”
oleh “manusia pertama.”
Pada saat dihadapkan dengan pilihan antara makan atau tidak itulah
muncul asas pertama kali bagi manusia yang berupa “asas berkehendak
untuk”, yaitu kehendak untuk “tahu” dan kehendak untuk “memiliki”
tahu. Isi dari hukum yaitu tahu, yaitu tahu apa yang boleh dan apa
yang tidak tahu apa yang dilarang dan apa yang tidak. Tindakan Adam
as. memakan buah khuldi yaitu akibat sesat akan tahu yang dibisikkan
Iblis. Adam as. lupa apa yang diberitahu (diperintahkan) Tuhan tentang
pohon khuldi itu, lalu Adam as. disesatkan oleh “tahu” versi Iblis
yang menyebut khuldi yaitu “tahu”.
Apa yang diketahui manusia dari hasil makan buah khuldi itu?
Pertama, Adam as. dan Hawa mendapat pengetahuan akan halnya
mereka berbeda secara lahiriah. Kedua, sebab sudah menjadi makhluk
materi, maka muncul aku di antara keduanya. Hingga akhirnya
“dihukum” Tuhan turun ke bumi untuk menjalankan tugasnya
menghuni bumi. Bukankah itu yaitu ide awal Tuhan menciptakan
manusia, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.
Tuhan memberikan pengetahuan pada manusia, ada yang
memetiknya dari ide atau rasio dan ada yang memetiknya dari matter
atau realitas, di sinilah terjadi chaos. Ide atau rasio yang berupa
noumena direkayasa untuk kepentingan sosial sehingga ide dihukumkan
yang dapat berupa ketetapan. Sementara matter atau realitas yang
berupa fenomena, fenomena itu dapat direkayasa untuk kepentingan
sosial melalui peraturan yang berupa ketetapan pula.
Dalam diri manusia ada dua sisi, yaitu sisi luar sebagai yang
bisa diamati lahiriah oleh diri dan orang lain. Apa yang kita lakukan,
katakan biasanya merujuk pada kemampuan fisikal dan kebiasaan
verbal (bahasa). Sementara sisi dalam yang hanya diketahui oleh diri
pribadi, yakni pemikiran, emosi, dan sensasi yang merujuk pada dunia
kejiwaan setiap orang. Kedua sisi ini dibawa secara alamiah atas dasar
kehendak (radat) dan ketetapan (Kodrat) dari Sang Pencipta. Kemudian
kemampuan itu berkembang, secara fisik dilatih dengan olahraga
dan secara kejiwaan dilatih oleh pengamatan dan pengalaman hidup
manusia. Di mana kedua sisi ini memiliki thin red line (garis pemisah yang
sangat tipis). Garis pemisah inilah memunculkan sisi ketiga dalam diri
manusia, yang akan berfungsi mengambil keputusan dalam bertindak
sedangkan kedua sisi lainnya akan menerima akibat dari keputusan
yang diambilnya.
Seorang pencuri memutuskan mencuri melalui sisi ketiga, setelah
berhasil sisi fisik yang menikmati hasilnya dan sisi jiwa memperoleh
kepuasannya. Bila tertangkap dan terhukum sisi fisik yang dipenjara
dan sisi jiwa yang menderita. Demikian pula jalan terbentuknya hukum
yang dibuat manusia. Sisi luar yaitu fenomena yang terjadi dalam
hubungan sesama manusia, sementara sisi dalam setiap manusia
menghendaki kebebasan melakukan apa saja. Syahdan, sisi ketiga
menetapkan aturan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Pemilik
sisi ketiga ini yaitu penguasa yang ditunjuk oleh kesepakatan bersama
seluruh warga .
Sebelum ide pada rasio belum dijadikan noumena telah ada
persitegangan antara ide dengan ide. Di sinilah terjadi antinomi yang
menghasilkan nilai untuk membuat keputusan. Begitupun antara matter
dengan matter terjadi antinomi yang menghasilkan kompromi dalam
membuat keputusan, peraturan itu dibuat oleh sebab adanya dua
nilai yang saling bersitegang (nilai antinomi) untuk diproses melalui
pembentukan (proses menjadi). Bila terbentuk (jadi), maka tidak bebas
nilai lagi.
Bila ada dua kepentingan yang tidak nyambung, maka dapat
direkayasa melalui wilayah “pengecualian”. Sebagai contoh, 2 x 2 =
4 (di mana dua dikalikan dua menjadi empat akan terasa nyambung).
Akan namun , bila dinyatakan dalam urutan bilangan 1, 2, 3, 4, maka akan
terlihat tidak nyambung bila akan dibuat 2 x 2 = 4, sebab angka dua
hanya muncul satu kali dalam urutan bilangan. Oleh sebab itu, maka
angka 2 yang kedua akan direkayasa dengan diberi pangkat menjadi 2
pangkat 2 sama dengan 4.
Contoh lain, 2 topi + 2 pena akan terasa tidak nyambung sebab
angka 2 yang pertama terlihat dalam ruang dan waktu sebagai topi,
sedangkan angka dua yang kedua dalam ruang dan waktu sebagai
pena. Oleh karenanya terasa tidak nyambung, kecuali direkayasa dan
diletakkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di dalam ruang dan
waktu ada isi. Sementara isi dalam fenomena yaitu “realitas”.
Peran untuk “kecuali” dapat dimanfaatkan oleh fenomena.
Contohnya, seorang dosen di dalam benaknya telah ada ketetapan di
akal (noumena) untuk kecuali dapat dimanfaatkan oleh fenomena.
Contohnya, bila menetapkan nilai “kesamaan”, maka kalaupun ada
mahasiswa yang salam sujud dengan dosen itu di luar (tidak dapat
diketahui apakah salam sujudnya itu memang ikhlas atau untuk
mengadakan fenomena), dosen itu akan tetap saja memberikan
nilai sebagaimana adanya, maka artinya fenomena itu tidak dapat
mengalahkan noumena. Akan namun , bila dosen itu telah memberikan
“simpati”, maka mau sebodoh apa pun mahasiswa itu bisa saja diberi
nilai, dan jika bertemu dengan mahasiswa yang membuat dosen itu
“antipati”, maka nilainya dapat menjadi E.
Begitu pula fungsi manusia dalam menjabarkan apa yang diajarkan
Tuhannya, apakah akan menilai berdasar keinginan atau ketaatan,
berdasarkan logika atau rasa. sebab sejatinya antara manfaat dan
mudharat akan berdebat. Ibarat ayat yang tersirat dalam QS Al-Baqarah
(2): 219 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar minuman keras
dan judi, katakanlah: keduanya itu ada dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, namun dosanya lebih besar dari manfaatnya”.
Maka sisi ketiga dalam diri akan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Minuman keras beralkohol baik yang legal ataupun yang dijual
ilegal, yang bermerek ataupun oplosan memang sekilas memiliki
manfaat bagi tubuh, untuk penghangat, penyemangat, atau obat kuat.
Di sisi lain juga membawa mudharat, selain dosa tentunya, juga akan
merusak organ vital tubuh jantung, paru-paru, otak, dan bahkan
mengancam nyawa peminumnya. Demikian pula judi yang sekilas
membawa senang bila menang, namun membuat marah jika kalah.
Untuk itu pembuat regulasi di dalam negeri hendaknya belajar
membaca fenomena dalam warga . Jangan hanya sekadar
mengejar manfaat dari pajak yang diberi produsen minuman keras, lalu
melegalkannya, namun lupa menghitung akibat buruk dari peredarannya
yang dapat memicu berbagai penyakit warga seperti perampokan,
pemerkosaan, pembunuhan, dan lain sebagainya akibat meminum
minuman keras.
Asas kemanfaatan ini seharusnya bisa diukur dengan mudah,
sebab semuanya telah terjadi dalam fenomena yang bisa diamati bukan
lagi dalam tataran ide. Fenomena itu bisa diukur penyebabnya dan
apa akibatnya bila terus-menerus terjadi. Dari situ, maka sisi ketiga
harus segera membuat keputusan, yang harus dipertahankan apakah
pendapatan dari pajak atau ketertiban dalam warga .
Seperti halnya dalam kebijakan mobil murah, di mana kaum matter
realistis akan berkata: “tidak cocok untuk Jakarta dan kota-kota besar
lainnya di mana tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur secara
memadai”. Sementara kaum ide berkata: ”memandangnya ke depan
dulu, masalah jalan, seiring dengan berjalannya keputusan mobil murah
itu, infrastruktur jalan nanti dibangun”.
Dalam hal kampanye berobat gratis pada pemilukada, kaum ide
berkata “penyelenggaraan berobat gratis”. Kemudian dijawab oleh
kaum matter, “prasarana rumah sakit tidak memadai, tenaga rumah
sakit kurang”. Berikutnya lagi akan dijawab kembali oleh kaum ide
dengan ungkapan, “Buat kelas-kelas dalam rumah sakit seperti kelas
I, II, dan III”.
Perekayasa pada wilayah pengetahuan tadi diperankan oleh manusia
memiliki pengetahuan. Seharusnya posisi pengetahuan yang nyata
dengan ide itu hendaknya diberlakukan sama, namun senyatanya sering
tidak. Oleh sebab itulah, lalu orang pintar selalu menghukum
orang yang tidak pintar.
B. Landasan Epistemologi dalam Ilmu Pengetahuan
Bagaimanapun pengetahuan manusia selalu mengalami pergerakan,
yang oleh van Peursen dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap mistis,
tahap ontologis, dan tahap fungsionil. Yang dimaksud dengan tahap
mistis yaitu sikap manusia dalam memahami gejala-gejala alam
memposisikan dirinya sebagai makhluk yang terkepung oleh kekuatan-
kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau
kekuasaan kesuburan, seperti terwujud dalam mitos-mitos. Pada tahap
ini manusia memahami peristiwa alam seperti bencana alam atau
panen sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan mistis di mana manusia
tidak dapat menghindarinya. Manusia mencoba memahaminya dengan
mempersonifikasikan pada dewa-dewa sebagai penyebab terjadinya
peristiwa alam. Upacara keagamaan menjadi penting guna memberikan
persembahan pada dewa-dewa agar tetap memberikan perlindungan
kepada manusia dan menjauhkannya dari bencana. Oleh sebab
itu, menurut Peursen, salah satu fungsi mitos yaitu memberikan
pengetahuan tentang dunia, selain sebagai pedoman tertentu bagi
sekelompok orang dan untuk memberikan jaminan bagi masa kini.
Pada tahap ontologis, manusia dalam memahami gejala-gejala alam
tidak lagi dalam posisi terkepung oleh kekuasaan mistis, melainkan
secara bebas mampu meneliti segala sesuatu hal. Yang yaitu ciri
pada tahap ini yaitu manusia mulai mengambil jarak terhadap objek, ia
mengamat-amati dan mengkotak-kotakkan. Dalam melukiskan dunia,
yang semula dihubungkan dengan kekuasaan para dewa, lalu
digantikannya dengan sebuah ajaran atau teori mengenai dasar hakikat
segala sesuatu (ontologi), termasuk dalam melukiskan alam semesta.
Ajaran-ajaran mitologis mengenai terjadinya dewa-dewa diubah menjadi
filsafat atau ilmu mengenai dunia yang tidak tampak (metafisika),
gambaran-gambaran mitologis mengenai terjadinya dunia ini dialihkan
menjadi ajaran filosofis mengenai alam raya (filsafat fisika), pembersihan
batin yang berhadapan dengan kesalahan tragis (katharsis) harus minggir
bagi filsafat etika. Dengan demikian tata tertib alam semesta dapat
diterima manusia lewat jalan pengertian dan pengetahuan. Terakhir
dalam tahap fungsional, ialah sikap dan alam pikiran yang tidak
terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mistis), tidak lagi dengan
kepala dingin ambil jarak terhadap objek penelitiannya. Sebaliknya
manusia mengadakan relasi-relasi baru, suatu ketertautan yang baru
terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Menurut Peursen yang
yaitu satu sikap dasar dalam sikap fungsional yaitu bahwa orang
mencari hubungan-hubungan antara semua bidang, arti sebuah kata,
atau sebuah perbuatan maupun barang dipandang menurut peran atau
fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan itu yang saling bertautan.
Sebagai contoh, bahwa norma yang mewajibkan kita harus patuh pada
orang tua tidak lagi dipahami dengan menerimanya begitu saja sebab
berabad-abad lamanya sudah berlaku, yang seolah-olah yaitu
hukum-hukum abadi. Norma-norma dipahami dengan mencari apa
arti atau pesan norma-norma ini bagi manusia. Proses pencarian
arti atau makna ini bukannya dengan mengambil jarak terhadap
norma-norma itu yang lalu dirumuskan dalam pengertian umum
dan abstrak seperti dalam alam pikiran ontologis, melainkan berkaitan
dengan meleburkan diri pada situasi-situasi konkret melalui tindakan-
tindakan nyata.
Pada awalnya manusia terkepung oleh kekuatan mistis, namun dalam
perkembangan berikutnya ia berusaha melepaskan diri dari kekuatan
ini . Hal ini dimungkinkan sebab sebagai makhluk yang mulia,
manusia diberikan akal oleh Tuhan dan dengan akalnya itu manusia
selalu terus berusaha menemukan jawaban atas fenomena sekelilingnya.
Dengan adanya akal, manusia memiliki kemampuan untuk menalar.
Kemampuan ini memicu manusia mampu mengembangkan
pengetahuan secara sungguh-sungguh dan dia akan memikirkan hal-hal
yang baru demi kelangsungan hidupnya.
Kemampuan mengembangkan pengetahuannya dengan cepat,
sebab kemampuan berpikir manusia yang mengikuti suatu alur
kerangka tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti disebut
penalaran. Penalaran yaitu proses berpikir dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dalam melakukan penalaran
ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai pedoman,
seperti cara/teknik dan sarana yang dipakai , sehingga diperoleh
pengetahuan yang disebut ilmu. Untuk menemukan pengetahuan inilah
dipakai salah satu cabang filsafat yang disebut epistemologi. Dengan
demikian, untuk mendapatkan pengetahuan secara benar, maka sebagai
landasan epistemologi, ada 5 (lima) pertanyaan mendasar yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Bagaimana prosedurnya.
2. Hal apa yang diperhatikan agar memperoleh pengetahuan yang
benar.
3. Apa yang disebut kebenaran.
4. Apa kriteria kebenaran itu.
5. Cara, teknik, sarana apa yang membantu memperoleh pengetahuan
yang disebut ilmu itu.
Epistemologi yaitu cabang filsafat, yang sebetulnya
mengkaji hakikat pengetahuan yang khusus untuk 4 (empat) pokok
persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas, dan sumber
pengetahuan. Secara etimologi, penguraian berdasarkan pada asal
katanya, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
dan logos. Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk
menunjukkan adanya pengetahuan sistematis. Secara sederhana
epistemologi diartikan sebagai pengetahuan mengenai pengetahuan.
Episteme berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukan,
menempatkan, atau meletakkan. Secara harfiah episteme berarti
pengetahuan sebagai usaha intelektual untuk menempatkan sesuatu
dalam kedudukan setepatnya.
Anthony Flew dalam A Dictionary of Philosophy menjelaskan bahwa
epistemologi sebagai: “The branch of philosophy concerned with the theory
of knowledge. Traditionally, central issues in epistemology are the nature and
derivation of knowledge, the scope of knowledge and the reliability of claims to
knowledge”
Selain kata episteme, untuk kata pengetahuan dalam bahasa Yunani
juga dipakai kata gnosis, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah
juga disebut gnoseologi sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis
dan analitis tentang dasar-dasar teoretis pengetahuan. Dalam bahasa
Jerman, epistemologi diterjemahkan antara lain menjadi erkentnistheorie
dan dalam bahasa Belanda dikenal istilah kennisleer atau kentheorien (teori
pengetahuan). Berdasarkan asal kata dan pengertiannya, singkatnya
dapat disebutkan bahwa epistemologi yaitu salah satu cabang filsafat
untuk membantu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu.
C. Aspek Epistemologis dalam Ilmu Hukum
Hukum sebagai gejala sosial yang menampakkan aspek, fase, ciri,
dimensi ruang dan waktu, serta tataran analisis yang majemuk
yaitu objek studi dengan melakukan kegiatan ilmiah dari berbagai
sudut pandang dan pendekatan. Misalnya telaah tentang hukum dengan
melihat bagaimana hukum ini tampak dalam sikap dan perilaku
warga warga dalam aktivitas berlalu lintas dan angkutan jalan,
artinya studi ini terarah pada kegiatan ilmiah dengan objek telaah
hukum dari sudut pandang dan pendekatan sosiologis.
Kegiatan ilmiah di bidang hukum yang dilakukan dengan
memakai berbagai sudut pandang dan pendekatan ini
selanjutnya melahirkan berbagai disiplin ilmiah yang mandiri yang
masing-masing objek telaahnya hukum. Disiplin ilmiah yang dimaksud
yaitu kegiatan intelektual untuk secara rasional memperoleh
pengetahuan dalam bidang hukum secara sistematis dan terikat pada
aturan prosedur (metode) tertentu. Dengan demikian ada beberapa
disiplin hukum yang masing-masing dari sudut pandang tertentu
berusaha memperoleh pemahaman teoretis atau penguasaan intelektual
terhadap atau berkenaan dengan hukum. Misalnya penelaahan terhadap
hukum yang dilakukan berdasarkan pada sudut pandang dan pendekatan
serta metode dan pengertian-pengertian yang khas dipakai dalam
sosiologi sebagai disiplin induknya, yang akan melahirkan sosiologi
hukum sebagai disiplin ilmiah mandiri.
Keseluruhan disiplin ilmiah ini dapat disebut dalam satu
istilah, yaitu disiplin ilmiah tentang hukum (science concerned with law),
ilmu hukum (juris-prudence) atau pengembanan hukum teoretikal
(theoritische rechtsbeoefening). Sekali lagi istilah-istilah ini semuanya
menunjuk pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional-
sistematikal-metodikal, terargumentasi dan terus-menerus) berusaha
memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual
atas hukum.
Ilmu hukum memiliki tujuan memberi suatu pengetahuan dan
kemampuan penguasaan intelektual tentang hukum baik terhadap
pembentuk undang-undang, terhadap hakim maupun para ilmuwan
hukum. Pengetahuan yang dimaksud yaitu pengetahuan hukum yang
dimiliki dalam mempersiapkan pengambilan putusan hukum konkret
yang akan dibuatnya, yakni menetapkan hak dan kewajiban orang dalam
situasi kewarga an konkret tertentu berdasarkan kaidah hukum
yang tercantum dalam suatu aturan hukum, yang kepatuhannya tidak
diserahkan pada kehendak bebas orang yang bersangkutan, melainkan
dapat dipaksakan oleh otoritas publik. Dengan demikian ilmu hukum
memiliki pretensi untuk memberikan solusi atau penyelesaian hukum
konkret, artinya memberi jawaban atas pertanyaan apa hukumnya
yang berlaku bagi kenyataan-kenyataan kewarga an tertentu yang
menimbulkan masalah hukum.
Tujuan ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum positif
yaitu untuk memahami dan menguasai pengetahuan tentang kaidah
dan asas-asas untuk lalu dapat mengambil keputusan berdasarkan
hal ini . Ilmu pengetahuan hukum dalam aplikasinya dapat
dikelompokkan pada tiga kegiatan, yang antara lain terdiri dari:
1. Pembentukan hukum, kegiatan ini mencakup pembentukan
peraturan perundang-undangan oleh lembaga tertentu yang
berwenang melalui prosedur tertentu yang sebelumnya telah
ditetapkan. Perundang-undangan yaitu bentuk pembentukan
hukum yang paling penting yang di dalamnya diciptakan suatu
model perilaku abstrak yang di lalu hari dapat dipergunakan
untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah kewarga an
konkret. Selain itu pembentukan hukum dapat dilakukan oleh
hakim dalam sebuah proses peradilan di mana terhadap masalah yang
dihadapinya tidak ada suatu aturan hukum yang mengaturnya.
Sering kali hal ini dilakukan hakim melalui suatu metode
konstruksi hukum yang terdiri dari metode argumentum peranalogian
(analogi), argumentum a contrario, dan metode penghalusan hukum
(rechtsvervijnings).
2. Penerapan hukum, kegiatan ini untuk menentukan hukum apa
yang diterapkan bagi peristiwa hukum tertentu berdasarkan kaidah-
kaidah hukum yang berlaku. Dalam penerapan hukum kegiatan
penemuan hukum memegang peranan penting, sebab dengannya
kaidah hukum dan jangkauan keberlakuan dari suatu aturan hukum
diperoleh dan lalu diterapkan pada peristiwa hukum yang
dihadapi untuk lalu ditetapkan apa akibat hukumnya bagi
peristiwa hukum ini . Penerapan hukum ini dapat berbentuk
putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris,
dan lain sebagainya.
3. Perkembangan hukum. Hukum mengembangkan diri dengan suatu
kerja sama yang kompleks antara pembentuk undang-undang,
hakim, dan ilmu hukum. Ilmu hukum sering mempelajari hukum
dengan mengambil pengertian-pengertian dalam hukum yang sudah
tersedia dalam undang-undang, namun di lain pihak para pembentuk
undang-undang sering mengambil pengertian-pengertian ini
sebagai hasil kerja ilmu hukum dan memasukkannya dalam
rumusan undang-undang. Perkembangan hukum diperoleh melalui
kerja sama antara ilmu hukum dengan hakim. Putusan hakim
yang telah memperoleh anotasi (pandangan dan penilaian hukum)
dari ilmuwan hukum sering menjadi celah untuk perkembangan
hukum yang di lalu hari dapat diletakkan sebagai landasan
dari putusannya.
Melakukan analisis hukum terhadap fakta akan menarik perhatian,
mengingat hal ini tidak sesederhana yang dibayangkan orang
biasanya yang hanya mengandalkan pada kegiatan seorang
hakim dalam menerapkan aturan-aturan hukum yang ada pada setiap
peristiwa konkret yang terjadi, meskipun hingga derajat tertentu hakim
memang melakukannya demi menjaga konsistensi yuridikal, dan harus
pula dipahami bahwa jika dikaitkan dengan sistem hukum, maka tidak
hanya berbicara mengenai hubungan antara peraturan yang satu dengan
yang lainnya, namun termasuk juga di dalamnya lembaga atau organisasi
yang memiliki otorisasi untuk membentuk dan menjalankan sistem
hukum ini .
Hukum bukanlah barang yang tersedia begitu saja yang setiap
saat oleh hakim dapat diterapkan terhadap fakta. Begitu juga terhadap
berbagai peristiwa yang terjadi tidak dapat begitu saja hakim langsung
dapat menderivasi aturan-aturan hukum yang ada tanpa memperhatikan
situasi problematikal yang melingkupi peristiwa ini . Seperti halnya
berpikir silogisme dalam metode penalaran hukum, ketidaksederhanaan
tampak di mana aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor
selalu memerlukan kualifikasi atau interpretasi dalam konteks kenyataan
faktual yang konkret. Premis minornya berupa fakta yuridis, yakni fakta-
fakta dari sebuah masalah dalam masalah hukum juga tidak begitu saja
dapat ditetapkan, melainkan harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam
konteks aturan hukum yang relevan untuk lalu diseleksi dan
dikualifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum.
Van Peursen menyatakan bahwa fakta itu tidak ditemukan seperti
objek atau benda tertentu yang dipungut dari tanah, melainkan fakta
yaitu hasil pengamatan, penjelasan teoretis, usaha yang bersifat
membatasi dari disiplin ilmiah tertentu. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa fakta tidak ditemukan, melainkan dijadikan, sehingga setiap
pengetahuan manusia tentang kenyataan apa pun yaitu pengetahuan
hasil interpretasi, dalam arti sudah bermuatan teori dan pengandaian-
pengandaian dan sebab itu sesungguhnya tidak pernah murni objektif
dan netral.
Seperti yang dikatakan Gadamer bahwa interpretasi memiliki pra-
struktur di dalam pemahaman, yakni vorhabe (apa yang sudah dimiliki
sebelumnya), vorsicht (apa yang sudah dilihat sebelumnya), vorgriff (apa
yang ditangkap sebelumnya). Jika seseorang mengetahui sesuatu, maka
bagaimanapun objek pengetahuan ini pasti mendapat pengaruh
dari subjek yang mengetahui, sebab itu sesungguhnya fakta yang bebas
nilai, bebas prasangka, dan bebas kepentingan itu tidak pernah ada.
Dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum, usaha memperoleh
pengetahuan tentang hukum yang di dalamnya mencakup kegiatan
mengkualifikasi fakta dan menetapkan hukum dan seorang ilmuwan
hukum tidak pernah bertolak dari suatu pengetahuan yang kosong.
Pengetahuan yang hendak diperoleh seorang ilmuwan hukum mustahil
akan diperoleh tanpa ia sebelumnya memiliki pra-pengetahuan.
Misalnya jika hendak memperoleh pengetahuan dari sebuah putusan
Mahkamah Agung yang dipelajari, paling tidak harus mengetahui
kedudukan putusan ini dalam tatanan hukum positif negara
yang bersangkutan, selain sebelumnya harus sudah terbiasa dengan
pemakaian bahasa hukum, pengertian hukum dan berbagai pengertian
yang berkaitan dengan hukum. Selain itu juga dituntut harus memiliki
pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya, misalnya apa yang
dimaksud dengan pemeriksaan tingkat banding, pemeriksaan tingkat
kasasi, dan sebagainya.
Beerling mengatakan bahwa sebetulnya tujuan dari suatu pertanyaan
yaitu tidak lain dari penjelasan tentang sesuatu yang sebetulnya telah
diketahui dengan samar-samar, sekurang-kurangnya mau atau yakin
akan menemukannya. Kegiatan memperoleh pengetahuan hukum yang
lebih jelas dari pengetahuan yang sebelumnya masih samar-samar dan
kurang jelas diperoleh melalui kegiatan interpretasi, yakni menemukan
makna dari suatu aturan hukum.
Ilmu hukum sebagai disiplin ilmu yang mempelajari,
memaparkan, dan mensistematisasi satu sistem hukum tertentu dalam
pengembanannya terkandung muatan interpretasi yang mengacu pada
suatu sistem hukum yang berlaku dalam warga tertentu. Oleh
sebab itu, kegiatan interpretasi dalam ilmu hukum menempati posisi
sentral. Tujuan interpretasi dalam ilmu hukum selalu memaparkan
aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh otoritas yang berwenang,
menentukan makna dan jangkauan yang terkandung di dalamnya
dan menempatkannya dalam suatu sistem tatanan hukum, dengan
menganalisis kata-kata yang dipakai sedemikian rupa sehingga ia
siap untuk diterapkan pada peristiwa konkret baik yang aktual maupun
potensial untuk terjadi.
D. Landasan Epistemologis dalam Penerapan Hukum
Pada dasarnya kegiatan ilmu hukum itu yaitu kegiatan
menawarkan penyelesaian masalah hukum konkret yang timbul atau
mungkin timbul dan harus dihadapi dalam warga berdasarkan
kerangka tatanan hukum yang ada. Artinya pengembanan ilmu hukum
ini memiliki fungsi praktis, yakni terarah untuk menyelesaikan masalah
hukum tertentu berdasarkan hukum positif tertentu, atau seperti
pendapat Meuwissen yang menyebut bahwa ilmu hukum ini sebagai
bentuk pengembanan hukum teoretis yang benar-benar praktis, artinya
relevan untuk pembentukan dan penemuan hukum. Berdasarkan
pengetahuan hukum yang dimiliki diharapkan setiap putusan yang
dibuat para pengambil keputusan dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional-yuridis. Dengan kata lain, terhadap putusan ini
diharapkan dapat ditempatkan dalam kerangka tatanan hukum yang
berlaku sehingga memiliki landasan legitimasi dan terlaksananya
penerapan hukum yang memiliki tingkat akseptabilitas tinggi. Untuk
dapat menghimpun, menata, memaparkan, dan mensistematisasi teks
hukum, sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan,
maka dilakukan analisis, pembentukan pengertian-pengertian dan
penggolongan (kategorisasi), serta klasifikasi dalam hukum dan untuk
itu harus diinterpretasi.
Selanjutnya dalam mengkaji objek ilmu hukum tentunya
diharapkan jawaban yang benar dan bukan jawaban yang bersifat
sembarangan. Masalah inilah yang dalam kajian filsafati termasuk
wilayah kajian epistemologi, yang mengkaji persoalan sumber, asal mula,
dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan,
serta validitas dan reliabilitas (reability) dari berbagai klaim tentang
pengetahuan. Pengetahuan pada hakikatnya yaitu segenap apa
yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, dari mulai pengetahuan
sehari-hari sampai pada pengetahuan yang disebut ilmu. Pengetahuan
dapat diibaratkan sebagai sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan
yang muncul dalam kehidupan manusia.
Dalam hukum ada teks hukum dan fakta dengan memakai
model berpikir closed logical system bertumpu sangat kuat pada penalaran
silogistik. Penetapan premis-premisnya, yakni baik dalam menetapkan
fakta, juga yang yuridis relevan, maupun dalam menetapkan kaidah
hukum yang terangkum dalam perundang-undangan sama-sama
memandang keduanya sebagai objek yang dapat diamati dan ditangkap
melalui pengamatan indrawi. Istilah closed logical system ini
mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu,
yaitu positivisme yang berasumsi bahwa bagaimana realitas sosial
(warga dan manusia) dipahami yaitu sama dengan bagaimana
ilmu alam memperlakukan benda dan fenomena alam.
Pandangan bahwa penemuan hukum dapat dicirikan dengan model
penalaran silogistik sangat kuat bertumpu pada pemikiran bahwa
penyusunan premis-premis sungguh tidak perlu bersifat problematikal
dan bahwa soal penetapan fakta-fakta dan juga teks hukum yang
terangkum dalam peraturan perundang-undangan yaitu perkara
yang mudah. Pandangan ini mengimplikasikan pengandaian tertentu
tentang pengetahuan dan cara-cara memperoleh pengetahuan itu,
yakni dengan hanya bertumpu pada kebenaran-kebenaran formal yang
diproses melalui hukum logika deduksi. Model berpikir closed logical
system tampak dalam kegiatan interpretasi yang dilakukan dengan
menempatkan aturan-aturan hukum positif sebagai premis mayor
dan masalah -masalah konkretnya sebagai premis minor. Berbeda dengan
aliran hukum alam yang memiliki kekuatan argumen pada wacana
validitas (legitimasi) hukum buatan manusia, maka kekuatan argumen
positivistis hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke
dalam struktur masalah -masalah konkret.
Masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, namun
standar regulasi yang dijadikan acuannya yaitu juga norma-norma
hukum. Logikanya, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma
hukum pula, bukan dengan norma nonhukum, dan sebab itu logika
berpikirnya dikenal dengan penalaran silogisme deduktif. Aturan-aturan
hukum positif yang berfungsi sebagai premis mayor akan diterima
sebagai doktrin yang aksiomatis, sepanjang ia mengikuti “the rule
systematizing logic of legal science” yang memuat asas eksklusi, subsumsi,
derogasi, dan nonkontradiksi.
Asas eksklusi, yaitu asas yang dengannya ilmu hukum mengandaikan
sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem, yang dengan itu
mengidentifikasi sistem hukum ini . Subsumsi, yaitu asas yang
dengannya ilmu hukum menetapkan hubungan hierarkis di antara
aturan-aturan hukum berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi
dan yang lebih rendah. Derogasi, yaitu asas yang berdasarkannya
ilmu hukum menolak sebuah aturan atau bagian dari sebuah aturan,
sebab berkonflik dengan aturan lain yang berasal dari sumber legislatif
yang lebih tinggi. Nonkontradiksi, yaitu asas yang berdasarkannya
ilmu hukum menolak kemungkinan pemaparan sistem hukum yang
di dalamnya orang dapat mengafirmasi eksistensi sebuah kewajiban
dan pada saat yang sama juga noneksistensi sebuah kewajiban yang
mengkover situasi tindakan yang sama pada kejadian yang sama.
Selanjutnya premis minor, yaitu fakta-fakta berupa masalah -masalah perilaku
yang hendak dipertanyakan nilai normatifnya atau sering disebut
peristiwa hukum.
Kata-kata dan peristilahan yang ada dalam teks hukum
memiliki makna sebab menyatakan isi dari pengertian yang dapat
dinalar, yang dapat ditemukan melalui atau di dalam rasio, yang tersedia
tuntas di dalam pemikiran, tanpa harus terlebih dahulu melewati
tahapan pembentukan gambaran kenyataan. Penerapan istilah terjadi
sebab dalam suatu konteks fakta tertentu, dikenali ciri-ciri tertentu
yang menunjukkan kesesuaian dengan ciri-ciri umum yang dimiliki
pengertian-pengertian ini secara a priori. jika hakim sewaktu
berhadapan dengan suatu situasi faktual berhasil mengenali kembali
ciri-ciri khusus dari suatu pengertian yuridis tertentu, maka diandaikan
bahwa selanjutnya pengertian-pengertian itu dapat diterapkan secara
mekanistik.
Fakta (duduk perkara) yang ditempatkan sebagai premis minor
dan melalui suatu penarikan kesimpulan, akan mempermudah dalam
menemukan mengenai apakah bunyi hukumnya in concreto dalam suatu
peristiwa hukum tertentu. Peragaannya dalam sidang-sidang pengadilan
yang menaati ajaran hukum kaum positivis (yang dalam bahasa Hans
Kelsen disebut reine rechtslehre) yaitu sebagai berikut: jika hakim
menemukan bunyi hukumnya in abstracto, seperti misalnya pada rumusan
Pasal 362 KUHP, bahwa premis mayor: “barang siapa mengambil
barang milik orang lain, sebagian atau seluruhnya, dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, maka ia akan dihukum sebab pencurian sebanyak-banyaknya
X tahun”. Dalam pemeriksaan perkara sang hakim ini menerima bukti
mengenai terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu, dengan premis
minor: “si A mengambil sebagian dari milik orang lain dengan maksud
untuk menguntungkan anaknya”. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam
penalaran ini bahwa “si A harus dihukum sebab mencuri”.
Arief Sidharta menyebut prinsip ini sebagai asas imputasi
(menautkan tanggung jawab/kewajiban), yaitu asas yang berdasarkannya
berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih untuk
menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subjek tertentu
dalam situasi konkret tertentu, sehubungan dengan terjadinya
perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namun dalam kenyataan
apa yang seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan sendirinya terjadi,
dan sebab itu rumus logikanya berbunyi: “Jika A (terjadi atau ada),
maka seyogianya B (terjadi)” (when A is, B ouht to be, even though B perhaps
actually is not).
Dalam perkembangan ilmu hukum selanjutnya, bahwa untuk
menemukan jawaban atas persoalan-persoalan hukum, yang jika dilihat
dari aspek epistemologis, maka ada 2 (dua) pandangan besar, yaitu
pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empirik dan pandangan
normatif yang melahirkan ilmu normatif. Sehubungan hal ini, maka
ilmu hukum memiliki dua sisi yang dimaksud. Pada satu sisi ilmu
hukum menampilkan karakter khas sebagai ilmu normatif, sedangkan
pada sisi lain ilmu hukum menunjukkan ciri-ciri empiris.
Sebagaimana ilmu pada umumnya, baik yang eksakta maupun
yang sosial tujuannya yaitu untuk memecahkan masalah (problem
solving), untuk mencari jawaban apa, mengapa, dan bagaimana. Dalam
ilmu hukum yang harus dipecahkan yaitu masalah-masalah hukum,
konflik hukum, atau masalah hukum. Oleh sebab itu, menurut Sudikno
Mertokusumo, setiap sarjana hukum harus menguasai kemampuan
untuk memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal
problem). Kemampuan ini mencakup kemampuan merumuskan
masalah (legal problem identification), kemampuan memecahkan masalah
(legal problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decicion
making).
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa seorang sarjana hukum
juga harus jeli dan tanggap terhadap perkembangan warga .
Janganlah bersikap konservatif formalistis dan a priori menutup mata
terhadap perkembangan dalam warga , melainkan berusaha
mencari penyelesaian yuridis baru untuk mengatasi perkembangan-
perkembangan yang terjadi dalam warga .
Aspek epistemologis ilmu hukum di sini tampak dalam proses
penyelesaian masalah yang terbagi-bagi ke dalam beberapa langkah. Proses
ini mencakup memapar