filsafat hukum 3

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 3


ng melanggar undang-
undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah 
kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang. 
   
Pendapat Padua ini sangat menarik perhatian, sebab termasuk 
progresif untuk ukuran abad pertengahan. Dalam banyak hal, 
pemikiran ini mirip dengan Rousseau. Di sisi lain, filsafat Occam 
sering disebut Nominalisme, sebagai lawan dari pemikiran Thomas 
Aquinas (yang sesungguhnya sama-sama aliran Hukum Alam 
Irasional). Jika Thomas meyakini kemampuan rasio manusia untuk 
mengungkapkan kebenaran, Occam berpendapat sebaliknya. Rasio 
manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan 
(ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama (nomen, 
nominal) yang dipakai  manusia dalam kehidupannya. Karangan 
Padua yang terpenting berjudul Defensor Pacis, sedangkan salah 
satu karya Occam (sering pula ditulis Ockham) berjudul De 
Iperatorum et Pontificum Potestate.
e. John Wycliffe (1320-1384) dan Johnannes Huss (1369-1415) 
 Jika Marsilius Padua sering dibicarakan bersama dengan Occam, 
John Wycliffe acapkali disebut-sebut bersama dengan Johannes 
Huss. Sebagaimana umumnya para filsuf abad pertengahan, 
Wycliffe – seorang filsuf Inggris – juga menyoroti masalah kekuasaan 
Gereja. Ia menolak adanya hak-hak Paus untuk menerima upeti dari 
raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan 
Ketuhanan dan kekuasaan duniawi seperti hubungan antara 
pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bidangnya 
sendiri, sehingga tidak boleh saling mencampuri. Urusan negara 
seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan, sebab corak 
pemerintahan para rohaniawan itu yaitu corak kepemimpinan 
yang paling buruk. Pemerintahan yang baik yaitu pemerintahan 
yang dipimpin para bangsawan. Menurutnya, kekuasaan Ketuhanan 
tidak perlu melalui perantara (rohaniawan Gereja), sehingga baik 
para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata 
Tuhan. Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Ia mengatakan, bahwa 
gereja tidak perlu memiliki hak milik. sebab  itu, penguasa boleh 
merampas milik itu jika  Gereja salah memakai  haknya. 
Menurutnya, Paus dan hierarki Gereja tidak diadakan menurut 
perintah Tuhan. Gereja yang sebetulnya dibentuk oleh orang yang 
beriman 
2. Hukum Alam Rasional
Setelah menyinggung sekilas beberapa pemikir aliran hukum alam 
irasional, kiranya perlu diuraikan pula pendukung-pendukung aliran 
hukum alam rasional. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain:
a. Hugo de Groot alias Grotius (1583-1643)
 Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum 
Internasional sebab dialah yang mempopulerkan konsep-konsep 
hukum dalam hubungan antarnegara, seperti hukum perang 
dan damai serta hukum laut. Menurut Grotius, sumber hukum 
yaitu rasio manusia. sebab  sifat  yang membedakan 
manusia dengan makhluk lain yaitu kemampuan akalnya, 
seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan 
akal (rasio) itu. Hukum alam, menurutnya yaitu hukum yang 
muncul sesuai kodrat manusia. Hukum alam ini tidak mungkin 
dapat diubah, (secara ekstrem) Grotius mengatakan bahwa oleh 
Tuhan sekalipun. Hukum alam itu diperoleh manusia dari akalnya, 
namun  Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya. Karya 
Grotius yang termasyhur berjudul De Jura Belli ac Pacis dan Mare 
Liberium.
b. Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Cristian Thomasius (1655-
1728) Pufendorf yaitu penganjur pertama hukum alam di Jerman. 
Pekerjaannya dilanjutkan oleh Christian Thomasius. Ia berpendapat 
bahwa hukum alam yaitu aturan yang berasal dari akal pikiran 
yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia yang lebih 
berperan. Akibatnya, saat  manusia mulai hidup berwarga , 
timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Agar tidak 
terjadi pertentangan terus-menerus, dibuatlah perjanjian secara 
sukarela di antara rakyat. Baru setelah itu, diadakan perjanjian 
berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya 
perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua 
kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan 
tujuan dari negara yang didirikan. Karangan Pufendorf tentang 
dasar-dasar hukum alam dan hukum antarnegara memberikan 
pembedaan yang tegas antara hukum dan moral (pendapat ini 
   
jelas lebih dekat ke aliran positivisme hukum dibandingkan  hukum 
alam). Schumid (1965:188-189) menyatakan, karya Pufendorf 
justru penting sebab pembedaan ini . Hukum alam lahir dari 
faktor-faktor yang bersifat takdir dan berdasarkan sifat manusia 
yang fitri, seperti naluri, akan terdesak ke belakang.
c. Imanuel Kant (1724-1804) 
 Imanuel Kant melakukan penyelidikan unsur-unsur mana dalam 
pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih 
dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan yang murni berasal dari 
empiris.
B. Positivisme Hukum
Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara 
tegas memisahkan antara hukum dan moral (antara hukum yang 
berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). 
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu:
1. Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence):
 Hukum yaitu perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum 
sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum 
dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. 
Dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined, Austin 
menyatakan, “A law is a command which obliges a person or persons… 
law and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or 
oblige inferiors”.
 Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang 
menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu 
memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan 
cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke 
arah yang diinginkannya. Hukum yaitu perintah yang memaksa, 
yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya 
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis:
a. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws).
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, dibedakan dalam:
1) Hukum yang sebetulnya (hukum positif), meliputi:
a) Hukum yang dibuat oleh penguasa.
b) Hukum yang dibuat oleh manusia secara individu untuk 
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
2)  Hukum yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang dibuat 
oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai 
hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga. 
Hukum yang sebetulnya memiliki empat unsur yaitu:
a) Perintah (command);
b) Sanksi (sanction);
c) Kewajiban (duty);
d) Kedaulatan (sovereignty).
2.  Aliran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973)
 Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang 
nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. 
Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine 
Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum yaitu suatu sollenskagorie 
(kategori keharusan/ideal), bukan seins-kategori (kategori faktual). 
Baginya, hukum yaitu suatu keharusan yang mengatur tingkah laku 
manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan 
oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what 
the law thought to be), namun  “apa hukumnya” (what the law 
is). maka , walaupun itu sollenskagorie, yang dipakai 
yaitu hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan 
(ius constituendum). Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat 
dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan bahwa 
waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama sekali 
tidak mengetahui karya Austin (Friedmann, 1990:169). Walaupun 
demikian, asal-usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan Austin 
berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, 
sedangkan Austin pada Utilitarianisme. Kelsen dimasukkan sebagai 
kaum Neokantian sebab ia memakai  pemikiran Kant tentang 
pemisahan antara bent dan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan 
dengan bentuk (forma), bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai 
isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian 
dapat saja tidak adil, namun  ia tetaplah hukum sebab dikeluarkan 
   
oleh penguasa. Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum 
positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. 
Ini biasanya terjadi sebab kepentingan warga  yang diatur 
sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa 
pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana, 
misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan 
istilah dekriminalisasi dan depenalisasi, sehingga suatu ketentuan 
dalam hukum positif menjadi tidak memiliki  daya berlaku lagi, 
terutama secara sosiologis. Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus 
Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa mengembangkan Teori 
Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl 
(1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang 
terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang 
lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang 
lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak 
sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan 
semakin konkret norma ini . Norma yang paling tinggi, yang 
menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama 
grundnorm (norma dasar) atau Upsprungnorm. Teori jenjang dari 
Kelsen ini lalu  dikembangkan lagi oleh muridnya bernama 
Hans Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan 
pembahasannya pada norma hukum saja. Sebagai penganut 
aliran hukum positif, hukum di sini pun diartikan identik dengan 
perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa). 
Teori dari Naswiasky disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der 
Rechtsodnung. Karya penting Hans Kelsen antara lain berjudul The 
Pure Theory of Law dan General Theory of and State. Ajaran 
yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali disebut Mazhab Wina. 
Sistem hukum negara kita  pada dasarnya menganut teori yang 
dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Nawiasky ini .
C. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme yaitu aliran yang meletakkan keman faatan 
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai 
kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, 
tergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada 
Bab 7 ---  Aliran-Aliran     105
manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh 
setiap individu. namun  jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak 
mungkin), diusaha kan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak 
mungkin individu dalam warga  (bangsa) ini  (the greatest 
happiness for greatest number of people). Aliran ini sesungguhnya dapat 
pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat paham 
ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujuan hukum yaitu 
menciptakan ketertiban warga , di samping untuk memberikan 
manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. 
Ini berarti hukum yaitu pencerminan perintah penguasa juga, 
bukan pencerminan dari rasio semata.
Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah:
1.  Jeremy Bentham (1748-1832)
 Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan 
kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan 
dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan yaitu kebahagiaan, 
dan kejahatan yaitu kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara 
kebaikan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan kesusahan. Tugas 
hukum yaitu memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. 
Tegasnya, memelihara kegunaan. Pandangan Bentham sebetulnya 
beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia 
menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan 
jaminan kebahagiaan individu-individu, bukan langsung ke 
warga  secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham 
tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, 
kepentingan warga  pun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi 
bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan 
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa 
yang disebut homo homini lupus(manusia menjadi serigala 
bagi manusia lain). Untuk menyeimbangkan antarkepentingan 
(individu dan warga ), Bentham menyarankan agar ada 
“simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat 
perhatian harus tetap pada individu itu, sebab jika  setiap 
individu telah memperoleh kebahagiaannya, dengan sendirinya 
kebahagiaan (kesejahteraan) warga  akan dapat diwujudkan 
secara simultan.
   
2.  Jhon Stuar Mill (1806-1873)
 Ia menyatakan bahwa tujuan manusia yaitu kebahagiaan. Manusia 
berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang 
membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia 
bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan 
yang dapat ditimbulkannya. 
3. Rudolf von Jhering (1818-1892) 
 Baginya tujuan hukum yaitu untuk melindungi kepentingan-
kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti 
Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan 
dan menghindari penderitaan.
D. Mazhab Sejarah
Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny 
(1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur 
Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada Zaman 
Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), dipengaruhi 
oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya L’ 
esprit des Lois dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul 
pada awal abad ke-19. Di samping itu, munculnya aliran ini juga 
yaitu reaksi langsung dari pendapat Thibaut yang menghendaki 
adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada hukum 
Prancis (Code Napoleon).
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah 
yaitu reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan 
aliran hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi  lahirnya mazhab 
sejarah yaitu pemikiran Montesqueu dalam bukunya L’ esprit des 
Lois yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu 
bangsa dengan hukumnya.
Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting 
dari L’esprit des Lois yaitu tesis bahwa hukum walaupun secara samar 
didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh 
lingkungan dan keadaan seperti iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, 
perdagangan, dan lain sebagainya. Berangkat dari ide ini  
Montesqueu lalu  melakukan studi perbandingan mengenai 
undang-undang dan pemerintahan. Gagasan Montesquieu tentang 
sistem hukum yaitu hasil dari kompleksitas berbagai faktor 
empiris dalam kehidupan manusia. saat  Montesquieu membahas 
penyebab suatu negara memiliki  perangkat hukum atau struktur 
sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 
dua faktor penyebab utama yang membentuk watak warga  yaitu 
faktor fisik dan faktor moral. Montesquiue melihat adanya dua kekuatan 
yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang 
mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral 
yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat 
pada berbagai kewajiban di samping adanya hak-hak.
Dengan memanfaatkan momen (semangat nasionalisme), Savigny 
menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi 
hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit 
Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” 
(Keperluan akan adanya kodifikasi hukum perdata negara Jerman). 
Dalam suasana demikian, Savigny mendapatkan “lahan subur” 
untuk membumikan ajarannya yang mengatakan bahwa ‘hukum 
itu tumbuh dan berkembang bersama warga . Dan oleh 
karenanya setiap bangsa memiliki “volgeist” (jiwa rakyat) yang 
berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi 
negara lain, meskipun negara lain itu yaitu bekas jajahannya. 
Dalam kaitan inilah lalu  Savigny mengatakan, yaitu tidak 
masuk akal jika ada  hukum yang berlaku universal pada semua 
waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa 
rakyat ini  dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan 
oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). 
Inti ajaran Mazhab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini ada  
dalam bukunya ‘von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und 
Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk 
Undang-undang dan Ilmu Hukum) antara lain dikatakan:
1. ‘Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke (Hukum itu 
tidak dibuat, namun  tumbuh dan berkembang bersama warga ).
2. Ajaran Savigny ini  dilatarbelakangi oleh pandangannya yang 
mengatakan bahwa di dunia ini ada  banyak bangsa dan pada 
tiap bangsa memiliki  Volkgeist/jiwa rakyat. Perbedaan ini juga 
sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang 
disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung 
   
atau bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh 
pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.
3.  Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu 
masya rakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam 
tingkah laku semua individu kepada warga  yang modern dan 
kompleks di mana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa 
yang diucapkan oleh para ahli hukumnya.
Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny dan 
beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada 
dasarnya yaitu proses yang tidak disadari dan organis; oleh sebab 
itu perundang-undangan yaitu kurang penting dibandingkan 
dengan adat kebiasaan.
2.  sebab  hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum 
yang mudah dipahami dalam warga  primitif ke hukum yang 
lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak 
dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, namun  
disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip 
hukum secara teknis. namun  ahli hukum tetap yaitu suatu 
organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi 
bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran 
umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran 
hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh 
sebab ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih 
penting dibandingkan  pembuat undang-undang.
3.  Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara 
universal. Setiap warga  mengembangkan kebiasaannya sendiri 
sebab memiliki  bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. 
Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum yaitu sejajar juga 
tidak dapat diterapkan pada warga  lain dan daerah-daerah 
lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh sebab itu 
sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian 
hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi 
oleh pengikutnya Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan 
bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan 
perkembangan warga  dari sederhana ke warga  kompleks 
dan modern. Pada warga  modern hubungan antara para anggota 
warga  dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang 
dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh 
pihak-pihak yang berkenaan. maka , Maine sebetulnya tidak 
menerima konsep Volkgeist Savigny yang dianggapnya sebagai suatu 
konsep yang diselubungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu 
tesis yang mengatakan bahwa perjalanan warga  menjadi progresif 
di situ terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status 
kepada pengguna kontrak.
E. Sociological Jurisprudence
Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak 
mengatakan bahwa hukum yang baik yaitu hukum yang sesuai 
dengan hukum yang hidup dalam warga . Kata “sesuai” diartikan 
sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam 
warga . Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang 
abik haruslah hukum yang sesuai dengan yang hidup di warga . 
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive 
law) dan hukum yang hidup (the living law).
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. 
Dengan rasio demikian, sosiologi hukum yaitu cabang sosiologi 
yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedangkan Sociological 
Jurisprudence yaitu suatu mazhab dalam filsafat hukum yang 
mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan warga  dan 
sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari 
pengaruh warga  kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang 
ada dalam warga  dapat mempengaruhi  hukum di samping juga 
diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap 
warga . Dari 2 (dua) hal ini  di atas (sociological jurisprudence dan 
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological 
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada 
warga , sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari 
warga  kepada hukum.   
Tokoh utama aliran Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound 
menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial dan alat kontrol 
warga  (Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan 
menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi 
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam warga . Keadilan yaitu 
lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam 
mengusaha kan kepentingan anggota warga  yang bersangkutan. Untuk 
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh 
penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak 
persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam 
hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap 
kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara 
konkretnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan 
(balancing of interest, private as well as public interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law yaitu 
synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. 
Maksudnya, kedua aliran ini  ada kebenarannya. Hanya hukum yang 
sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi 
unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan 
akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. 
Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. 
Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. 
Hukum yaitu pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, 
yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat 
undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam warga  
yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan warga  itu. 
Tokoh lain aliran Sociological Jurisprudence yaitu Eugen Ehrlich (1862-
1922), ia beranggapan bahwa hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan 
sosial tertentu. Hukum tidak mungkin efektif, oleh sebab ketertiban 
dalam warga  didasarkan pengakuan sosial terhadap hukum, dan 
bukan sebab penerapannya secara resmi oleh Negara.
F. Realisme Hukum
1.  Sejarah Kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari 
adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan 
yaitu pernyataan bahwa kalau positivisme hukum yaitu teori 
hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, 
termasuk menangani masalah -masalah  berat (hard cases). Ternyata masalah -
masalah  berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan 
pertanyaan “apakah legal positivisme menyediakan teori yang benar 
mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan masalah -
masalah  berat?” ternyata pertanyaan ini yaitu problem yang sukar 
dipecahkan bagi pengikut positivisme.
Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa 
hukum yaitu perintah penguasa yang berdaulat, sedangkan Hans Kelsen 
menyatakan bahwa hukum yaitu kehendak dari negara. Atau dengan 
kata lain, menyatakan bahwa hukum yaitu sesuatu yang positif yakni 
undang-undang (positive law) dan hukum kebiasaan (positive morality). 
namun  positive morality bisa menjadi hukum jika  telah dikukuhkan 
menjadi undang-undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari 
kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank 
(1859-1957), dan seorang ahli ilmu sosial, Karl Nickerson Llewellyn 
(1893-1962), melihat kenyataan bahwa tidak semua masalah  yang ada 
di pengadilan, khususnya masalah -masalah  berat diatur dalam undang-
undang. Sehingga pada kenyataannya hakim memiliki  peranan yang 
lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif dalam 
penerapan hukum dibandingkan  sekadar mengambil aturan-aturan yang 
dibuat oleh penguasa (undang-undang). Dalam praktiknya ternyata 
faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial, dan nilai-nilai 
yang ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan 
hukum dibandingkan  aturan-aturan yang tertulis.
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa 
menjelang abad ke-19 terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang 
mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik. Idealisme 
hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis dan sebagian sosiologis, 
membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai 
menyelidiki realitas dalam warga  modern dalam hubungannya 
dengan hukum modern. Pragmatisme yaitu rumusan baru dari 
filsafat yang sangat tua, yang mendorong ke arah pendekatan baru pada 
hukum yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil, 
dan akibat-akibat.   
Gerakan realis mulai melihat apa sebetulnya yang dikehendaki 
hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta 
dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat 
menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan 
mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku 
hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan). Jadi, hal yang pokok 
dalam ilmu hukum realis yaitu “gerakan dalam pemikiran dan kerja 
tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa 
hal, yang terpenting di antaranya:
a. Tidak ada mazhab realis, realisme yaitu gerakan dalam pemikiran 
dan kerja tentang hukum.
b. Realisme yaitu konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk 
tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan 
akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang warga  
yang berubah lebih cepat dibandingkan  hukum.
c. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum 
yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. 
Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap 
penyelidikan ada sasarannya, namun  selama penyelidikan, gambaran 
harus tetap sebersih mungkin, sebab keinginan-keinginan 
pengamatan atau tujuan-tujuan etis.
d. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-
konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu 
menggambarkan apa yang sebetulnya dilakukan oleh pengadilan-
pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-
peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan 
dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
e. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan 
mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, meng-
analisis perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara 
pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan perubahan keadaan 
warga . Hukum yaitu bagian dari kebudayaan yang antara lain 
mencakup kebiasaan, sikap-sikap, maupun cita-cita yang ditransmisikan 
dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, 
hukum yaitu bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-
lembaga ini  telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam 
aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli. 
Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam undang-
undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar 
ditentukan oleh hakim di pengadilan yang biasanya didasarkan 
pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan 
hukum saat  menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun 
putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa 
yang tertulis dalam undang-undang atau aturan lainnya. Sehubungan 
dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang 
yaitu hasil putusan pengadilan itu. maka , tidak ada 
alasan untuk mengatakan bahwa suatu masalah  tidak dapat diadili sebab 
belum ada hukum tertulis yang mengaturnya.
2. American Legal Realism
Realisme Amerika Serikat yaitu yaitu pendekatan secara 
pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para 
ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan ini  dengan 
meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-
tindakan hukum.
Sumber hukum utama aliran ini yaitu putusan hakim, 
hakim lebih sebagai penemu hukum dibandingkan  pembuat hukum 
yang meng andalkan peraturan perundang-undangan, jika  
dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme sangat 
bertentangan sebab memang aliran realisme ini yaitu reaksi 
dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai 
segala sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran 
realisme ini berusaha untuk mengubah cara pandang para ahli 
hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa 
hukum itu sebagai praktik (law in action) hukum itu yaitu suatu 
pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai. 
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum 
harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum 
dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk menginterpretasi 
hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes 
berpendapat yang dimaksud dengan hukum yaitu tindakan dari 
pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi, pandangan hukum 
sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang 
menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey tujuan dari realisme di Amerika ini 
dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan 
bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan 
cara mengaitkan hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam 
warga . Aliran realisme di Amerika ini menuntut pemenuhan 
kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam 
warga  jadi jika  hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan 
yang tetap maka seakan-akan yaitu prinsip-prinsip logika, 
dengan prinsip ini  hakim menjatuhkan putusan. Jerome Frank 
dalam tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu 
ditemukan, sebab jika  hakim dalam memutuskan suatu perkara 
hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya 
menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara 
berbeda-beda jenis fakta hukumnya dan menuntut suatu putusan yang 
berbeda-beda pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam mengambil 
keputusan hakim dipengaruhi faktor politik, ekonomi, moral, simpati, 
dan antipati namun itu semua hanya sekadar dijadikan pertimbangan.
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat 
besar dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law 
Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap 
institusi hukum (hakim, jaksa, pengacara, dan pemerintah) harus 
memiliki keterampilan dalam menafsirkan hukum dan di sini Llewellyn 
menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya ini  Llewellyn 
membagi dua konsep pemikiran yang dapat dipraktikkan di pengadilan 
Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat pengadilan 
tingkat banding di mana hakim di Amerika dalam membuat suatu 
keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan di sekitarnya, 
dan hakim pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu 
dan mempelajari kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam 
menjatuhkan putusan. “Formal Style” sebaliknya tipe ini lebih bersifat 
otoriter, formal, dan logika, hakim dalam membuat suatu keputusan 
diberikan ruang untuk memakai  logika namun hanya sebatas 
sebagaimana yang ada  dalam undang-undang, Formal Style tidak 
peduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini 
sangat mempengaruhi  situasi perkembangan hukum di Amerika, pada 
abad ke-19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan 
berkembang ke bentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar 
dari Llewellyn yang mengharapkan pengadilan di Amerika kembali 
kepada Grand Style sebab hakim dalam memutuskan perkara perlu 
melihat situasi yang ada di dalam suatu warga . Namun sayangnya 
dari pemikiran Llewellyn ini memunculkan suatu tanggapan bahwa 
dengan hakim diberikan kesempatan untuk memakai  logika dan 
mempertimbangkan kondisi yang ada di warga  dalam menjatuhkan 
keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap 
satu perkara sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti 
apa sehingga warga  dapat menerimanya.
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New 
Jurisprudence apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan 
bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak 
harus sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan lebih 
dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang berkaitan dengan kontrol 
menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan 
dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan 
jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas untuk 
latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran 
dalam menerjemahkan satu masalah . Kedua fakta ini harus dilihat dan 
keduanya harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan 
untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem 
hukum kita, sebab ada dua jenis kebebasan pejabat pengadilan atau 
lainnya yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang sangat 
berbeda itu yaitu fakta dalam sistem hukum kita bahwa hakim tidak 
berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital 
kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang 
telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum 
dan bukan laki-laki dan tentang aturan menentukan masalah  namun  juga 
kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan masalah  
individu dan perubahan kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta 
itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas untuk beberapa 
derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita memiliki 
kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya akan terus    
menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana 
dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah 
alasan yang sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun hal 
yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita, 
ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai 
hasil pemikiran keras untuk menemukan hukum.
Llewellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law” 
menjelaskan ada waktu saat  hukum menjadi perhatian para filsuf dan 
dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini 
antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara 
menganggap hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan 
telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari warga  
sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing 
hal-hal yang telah disebutkan yaitu hal yang lebih pada bagian besar 
dari perselisihan antara jurisprudensi kehilangan banyak makna dan jika 
fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan 
dengan hukum secara keseluruhan.
3. Scandinavian Legal Realism
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, di mana hal 
ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak 
pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. 
Hagerstorm dipandang sebagai bapak dari aliran ini, meskipun masih 
ada  beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal 
yakni Olivecrona, Lundstet, dan Ross.
G. Sociology of Law
Pemikiran Sosiologi ditandai oleh karakter seperti, pertama bahwa 
pandangan hukum sebagai suatu metode kontrol sosial. Kedua, di 
samping itu para ahli hukum sosiologis sangat skeptis dengan aturan-
aturan yang ada dalam buku teks hukum yang terkodifikasi, sebab 
yang utama yaitu hukum dalam kenyataan aktualnya. Ketiga yaitu 
para ahli hukum sosiologis biasanya sepakat bahwa pentingnya 
memanfaatkan ilmu sosial, termasuk sosiologi.
Pada tataran teoretik ada  istilah Sociology of Law sedangkan pada 
tataran filsafat dipergunakan istilah Sociological Jurisprudence. Meskipun 
secara sepintas ada kesamaan antara Sociology of Law dengan Sociological 
Jurisprudence, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan, namun  
keduanya harus dibedakan. Sociology of Law yaitu bagian atau 
cabang Ilmu Sosiologi (Ilmu-Ilmu Manusia) dengan objek studinya 
tentang hukum, sedangkan Sociological Jurisprudence termasuk cabang 
ilmu filsafat hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara 
pengaruh hukum dan warga . Kesamaan antara Sociology of 
Law dan Sociological Jurisprudence terletak pada optik yang dipakai yaitu 
sama-sama memakai  perspektif sosial dalam memahami hukum.
Sociological Jurisprudence sebagai salah satu aliran pemikiran 
filsafat hukum menitikberatkan pada hukum dalam kaitannya dengan 
warga . Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum 
yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara warga . Aliran 
ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive 
law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-
1964) yaitu salah satu eksponen dari aliran ini. Sociology of 
law yaitu bagian dari disiplin ilmu sosiologi yang pada dasarnya 
yaitu salah satu ilmu deskriptif dan tekniknya bersifat empiris 
tidak yuridis, jadi melihat hukum dari luar tatanan ilmu hukum. 
Erlich dalam bukunya yang berjudul Grundlegung der Sociological 
Rechts mengatakan bahwa warga  yaitu ide umum yang dipakai  
untuk menandakan semua hubungan sosial seperti keluarga, desa, 
lembaga-lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi, maupun 
sistem hukum, dan sebagainya. Erlich memandang semua hukum 
sebagai hukum sosial, namun  dalam arti bahwa semua hubungan 
hukum ditandai oleh faktor–faktor sosial ekonomis. Sistem ekonomis 
yang dipakai  dalam produksi, distribusi, dan konsumsi bersifat 
menentukan bagi pembentukan hukum.
Dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law, Pound 
menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak 
warga  yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian 
yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam 
kaitannya dengan penerapan hukum, Pound menjelaskan tiga langkah 
yang harus dilakukan:
1.  menemukan hukum;
2.  menafsirkan hukum; dan
3.  menerapkan hukum.   
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-
aspek yang ada di tengah-tengah warga  untuk diangkat dan 
diterapkan ke dalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprudence 
titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, 
putusan hakim, atau ilmu hukum, namun  terletak pada warga  
itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus memiliki  
hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam warga  
bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum yaitu 
alat untuk memperbarui (merekayasa) warga  (law as a tool of 
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya ini  Pound 
mengedepankan rasa keadilan yang ada di warga . Pandangan 
aliran Sociological Jurisprudence, dapat dirumuskan sebagai berikut
“…. Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk 
memuaskan kebutuhan warga , tuntutan, permintaan, dan 
pengharapan yang terlibat dalam kehidupan warga ….”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup di 
warga  termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus 
dikedepankan demi terwujudnya tatanan hukum.
Dilihat dari pengertian mengenai Sociological Jurisprudence & 
The Sociology of Law, meskipun dalam penerapannya, Sociological 
Jurisprudence memiliki kelebihan yaitu berkembangnya penafsiran 
ilmu hukum sesuai dengan pemikiran warga  sosial, namun juga 
memiliki kekurangan sebab pada dasarnya, tidak ada  acuan 
mengenai hukum itu sendiri sebab pengertian warga  terhadap 
ilmu hukum terus berubah seiring dengan perkembangan pemikiran 
warga  dan perbedaan pendapat di dalam warga  itu sendiri, 
sehingga terjadi suatu ketidakpastian hukum.
H. Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) yaitu penentang paling 
keras Positivisme Hukum. Dalam penentangan terhadap positivisme 
hukum, freirechtslehre sejalan dengan kaum Realis Amerika Serikat. 
Hanya saja jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisisan 
hukum sebagai kenyataan dalam warga , maka freirechtslehre tidak 
berhenti sampai di situ. Aliran Hukum Bebas berpendapat bahwa hakim 
memiliki  tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas 
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, namun  menciptakan 
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-
peristiwa berikutnya dapat dipecahkan oleh norma yang diciptakan oleh 
hakim. Menurut ajaran ini dalam penyelesaian masalah bukan terletak 
pada undang-undang akan namun  penyelesaian yang tepat dan konkret. 
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah 
peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-
undang bukan yaitu pemegang peranan utama, namun  sebagai 
alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, 
dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang. 
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim memiliki  tugas 
menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah 
menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan penyelesaian 
yang tepat untuk peristiwa yang konkret, sehingga peristiwa-peristiwa 
berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan 
oleh hakim.
A. Pancasila sebagai Sistem Filsafat 
Pancasila yaitu dasar negara dan secara yuridis konstitusional 
dipakai  sebagai landasan yang dibagikan terkait dengan negara. 
Secara objektif ilmiah, Pancasila yaitu suatu paham filsafat, cara 
berpikir filosofis atau sistem filosofis. Pancasila sebagai suatu sistem 
filsafat dapat diimplementasikan dan dibicarakan secara mendalam, 
sebab berpikir filosofis yaitu sifat atau kodrat manusia. 
Manusia yang normal memiliki sifat “ingin tahu” bukan ingin tahu 
“ingin tahu” ingin tahu “ingin tahu” yang benar. Manakala harus tahu 
yang benar, maka ia bisa membantu orang lain atau warga nya. 
Setelah mengetahui sesuatu yang benar-benar akan menarik perhatian 
pada kebutuhan untuk mempertahankan sesuatu agar tetap baik dan 
bermanfaat serta dapat diamalkan dalam kehidupan dan kehidupan 
selama ia berada. Namun, manusia yang menyadari kebenaran yang 
dicapainya yaitu kebenaran yang relatif, suatu kebenaran yang 
diselesaikan pada waktu, tempat, situasi, dan kondisi dan yang 
disebut kebenaran yang tidak disetujui. Kenapa tidak disetujui? Alasan 
menganggap manusia itu sendiri tidak disetujui. Manusia itu buah 
atau hasil ciptaan yang ada kumpulan. Jelaslah kebenaran yang setuju 
pada sang pencipta manusia yang disebut Tuhan (Allah) pencipta 
alam semesta dan seisinya di mana ciptaan itu memiliki ukuran atau 
kadarnya. 
Dalam hal Pancasila sebagai sistem filsafat harus diawali dengan 
pengertian sila pertama dalam sangkut pautnya dengan sila-sila yang 
berada di bawahnya. Sebagai sistem filosofis Pancasila harus memakai 
perhitungan yang universal, yaitu 1, 2, 3, 4, 5 yang berarti angka 1 (satu) 
tidak dapat ditempatkan di bawah, angka 2 (dua) di atas, dan angka 3 
(tiga) di tengah, atau dapat angka 1 (satu) di tengah angka 2 (dua) di 
bawah angka 3 (tiga) di atas yang akan menghilangkan urutan berhitung 
yang membahas universal itu. Dengan meminta uraian ini  jelaslah 
Pancasila sebagai sistem filsafat harus memiliki urutan yang harus 
diselesaikan penuh atau bulat. Memahami Pancasila sebagai Pancasila 
sebagai kebulatan yaitu alat hidup untuk setiap bangsa negara kita  dan 
pemerintahan negara negara kita  dan ke berikutnya dalam tata nilainya 
ditentukan pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4 (empat). 
Pancasila dapat dimisalkan sebagai Pancaindra yang lima yang harus 
dibatasi dan dipakai  untuk setiap manusia yang lengkap, termasuk 
juga alat yang terdiri dari tinju tidak akan sempurna jika tidak dilengkapi 
dengan lima jari. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai sistem filsafat 
harus diuraikan dan tidak boleh dilepaskan dari komposisinya, atau 
dengan kata lain Pancasila yang yaitu kebulatan alat yang tidak 
boleh diartikan sebagai lima sila yang dapat dipakai  satu demi satu 
secara lengkap. Memahami Pancasila secara lengkap dapat diuraikan 
sebagai berikut:
• Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengalirkan pemahaman 
tentang yang adil dan beradab yang selengkap-lengkapnya, dan dari 
sila:
• Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab yang lengkap saya 
barulah mulai kegunaan sila yang:
• Ketiga: Persatuan negara kita , dalam hubungan ke dalam dan di antara 
yang mewakili hubungan internasional dalam kerangka perwakilan 
sedunia dan dari sini timbul pengertian sila yang: 
• Keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah yang terkait dengan 
ketiga dalam permusyawaratan, atau melibatkan tugas-tugas terkait 
di dalam negeri, sehingga menginsafi kebebasan di dalam perikatan 
yang dianggap ditimbulkan oleh pengertian Ketuhanan Yang Maha 
Esa yang menghasilkan dan membendungi perikemanusiaan yang 
menghasilkan demokrasi yang berkenaan dengan kebebasan, 
bukan sebab ikatan paksaan akan namun  sebab keinsafan terkait 
Ketuhanan Yang Maha Esa dan berperikemanusiaan. Diakui tentang 
kebersihan keinsafan untuk mengikat diri sendiri memerlukan  
pengawasan, meminta jangan keluar dari batas yang murni yang 
bersumber pada Ketuhanan Yang Maha Esa melalui hubungan yang 
adil dan beradab dalam istilah Islam, ikut tauhid melalui amal yang 
saleh;
• Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita , sebagai faset 
yang terakhir yang harus memperoleh warga  adil dan makmur 
yaitu pagar yang terdiri 4 (empat), yaitu 4 (empat) faset Pancasila 
ini , yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil 
dan beradab, Persatuan negara kita , dan Kerakyatan yang dipimpin 
oleh hikmah aduan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jika 
buah yang disetujui itu diusahakan di luar 4 (empat) lapis pagar 
yang ini, umpamanya dengan tiada ada pagar Ketuhanan Yang 
Maha Esa, maka pagar yang mengandung kekayaan yang adil dan 
beradab pagar yang jumlah yang akan ditentukan oleh manusia 
dengan kodrat-kodrat yang bersumber kepada hawa nafsu sendiri, 
sehingga pagar yang terdiri dari yang adil dan beradab itu (tanpa 
diikutsertakan Ketuhanan Yang Maha Esa) memiliki bagian-bagian 
yang dapat dipakai  angkara murka dan akan dapat membantu 
memastikan yang tidak adil dan tidak beradab. Jika di dalam negara 
kita ini ada pihak yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, maka 
tidak boleh menyalurkan amalnya dari pemahaman Ketuhanan 
Yang Maha Esa itu sebagai pimpinan yang hidup dan hanya mau 
mendasarkan amalnya pada saat pengarahan saja, lalu terbelahlah 
kembali ke kesahihan yang berbantuan yang ditujukan bagi orang 
yang hidup kewarga an yang sempurna. Dari lima macam sila 
itu ada satu sila yang memiliki kedudukan yang istimewa, yaitu sila 
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebab sila itu berada di luar ciptaan 
akal budi manusia. Keempat sila yang lain itu bersumber dari hidup 
bersama di antara manusia yang lain tentang hidup pergaulan 
manusia dalam perkembangan sejarah warga  manusia itu 
sendiri yang memunculkan satu tata kehidupan yang normatif, 
yaitu hidup yang dituntun dengan kaidah kesusilaan dan hidup   
yang dikungkung dengan kaidah hukum. Kedudukan atau posisi sila 
pertama dan utama itu yaitu tenaga pendorong (motif dinamis) 
atau tenaga penggerak untuk apa yang dikenal oleh kita:
1. Kemanusiaan; 
2. Keadilan; 
3. Moralitas; 
4. Kebajikan; 
5. Cinta dan Belas Kasihan; dan 
6. Kecantikan (Kecantikan). 
• Keenam: Elemen ini tertanam dalam diri manusia, sebab mereka 
yaitu satu spesies (Semua manusia dan bukan juga semua 
manusia memiliki hak dan derajat yang sama antara laki-laki dan 
perempuan (memiliki martabat manusia yang sama dan harus 
mempertahankan kasih sayang yang sama). Dan harus ada ketaatan 
kepada Tuhan yang yaitu pelestarian praktik sosial dalam 
hubungan manusia. 
Enam elemen di atas yaitu elemen ilahi yang ada dalam setiap 
manusia. Dalam bahasa Belanda disebut HetGoddelijke in demene. 
Sementara elemen-elemen itu diabaikan oleh setiap manusia yang 
mengaku sebagai Tuhan, kemanusiaannya akan berantakan, untuk 
membangun elemen-elemen itu, para penguasa, pemimpin rakyat, para 
pendidik/guru, sehingga jiwa dan nilai-nilai UUD 1945 bisa terjamin 
diturunkan oleh generasi muda. 
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya yaitu 
suatu sistem filsafat. Pengertian sistem yaitu suatu kesatuan bagian-
bagian yaitu saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu 
tujuan tertentu dan secara keseluruhan yaitu suatu kesatuan yang 
utuh, Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suatu kesatuan bagian-bagian;
2. Bagian-bagian ini  memiliki  fungsi sendiri-sendiri;
3. Saling berhubungan dan saling ketergantungan;
4. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan 
tertentu;
5. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila 
setiap sila pada hakikatnya yaitu suatu asas sendiri, fungsi 
sendiri-sendiri namun secara keseluruhan yaitu suatu kesatuan 
yang sistematis.
• Susunan sila-sila Pancasila yang bersifat organis
 Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya yaitu suatu kesatuan 
dasar filsafat negara berdasarkan lima sila yang masing-masing 
yaitu suatu asas kehidupan. Kesatuan sila-sila Pancasila yang 
bersifat organis ini  pada hakikatnya secara filosofis bersumber 
pada hakikat dasar antologis manusia sebagai pendukung dari inti, 
isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia “monopluralis” 
yang memiliki unsur-unsur, susunan kodrat jasmani dan rohani, 
“sifat kodrat” individu-makhluk sosial, dan “kedudukan kodrat” 
sebagai mempengaruhi berdiri sendiri-makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
• Dasar epistemologi sila-sila Pancasila
 Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga 
yaitu suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu ideologi maka 
Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas 
dari pendukungnya, yaitu: 
1) Logos yaitu rasionalitas atau penalaran; 
2) Pathos yaitu penghayatanl; dan 
3) Ethos yaitu kesusilaan. 
 Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat 
dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai ideologi 
bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila. Oleh 
sebab itu dasar epistemologi tidak dapat dipisahkan dengan 
konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia 
yaitu basis ontologis dari Pancasila maka dengan demikian 
memiliki  implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu 
bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat 
manusia.
• Dasar aksiologis sila-sila Pancasila
 Sila-sila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan 
dasar aksiologisnya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam 
Pancasila pada hakikatnya juga yaitu suatu kesatuan. ada  
   
berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung 
pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam 
menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkinya.
 Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang 
tertinggi yaitu nilai materiil, kalangan hedonis berpandangan 
bahwa nilai tertinggi yaitu nilai kenikmatan. Namun dari berbagai 
macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada 
kedua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai 
sebab berkaitan dengan subjek pemberian nilai yaitu manusia. 
Hal ini bersifat subjektif namun juga ada  pandangan bahwa 
pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang 
bernilai, ini yaitu pandangan dari paham objektivisme.
• Nilai-nilai Pancasila sebagai suatu sistem
 Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan 
atas hakikat Pancasila yang umum universal yang yaitu 
substansi sila-sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan 
penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yang bersifat 
umum kolektif serta realisasi pengalaman Pancasila yang bersifat 
khusus dan konkret. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila satu 
sampai dengan lingkungan yaitu cita-cita harapan dan 
dambaan bangsa negara kita  yang akan diwujudkannya. Sejak 
dahulu cita-cita ini  telah didambakan oleh bangsa negara kita  
agar terwujud dalam suatu warga  yang gemah ripah loh 
junawi, tenteram karta raharja. Dengan penuh harapan diusaha kan 
terealisasi dalam sikap tingkah laku dan perbuatan setiap manusia.
B. Pancasila sebagai Dasar negara 
Dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 sebuah naskah dan 
amendemennya, deklarasi Pancasila yang kelima, yaitu dari sila 
Ketuhanan yang Maha Esa hingga sila Keadilan Sosial Rakyat negara kita  
telah menjadi landasan (ideologis) untuk pembentukan negara kesatuan 
Republik negara kita  (NKRI). Hal ini sejalan dengan pandangan Bung 
Hatta dalam penerimaannya gelar doktor kehormatan bidang Studi 
Hukum untuk Bung Hatta pada tanggal 30 Agustus 1975 di Universitas 
negara kita , yang menyatakan bahwa negara kita  yaitu negara hukum 
berdasarkan Pancasila. 
Jadi, terlepas dari hierarki hukum, Pancasila tidak secara eksplisit 
disebut sebagai payung Hukum Positif negara kita , sebagaimana UU No. 
12 tahun 2011 mengacu pada pembentukan undang-undang, namun  
yaitu persyaratan yang tidak dapat dibatalkan bahwa setiap 
perumusan atau perubahan mulai dari Hukum Dasar, Hukum, Peraturan 
Pemerintah, Hukum, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah harus 
selalu mengacu pada Pancasila. 
Ini yaitu dasar bahwa dalam politik hukum pembentukan Undang-
Undang dan Peraturan Ordonansi, Pancasila selalu dianggap sebagai 
satu-satunya dasar, di samping keberadaan UUD 1945 beserta semua 
amendemen konstitusionalnya. sebab  itu, setiap badan di negara kita  
baik legal maupun tidak, dalam pengoperasian roda organisasinya 
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar dalam 
hukum nasional. 
maka , sejalan dengan penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf 
c, pemahaman tentang ajaran Ateisme, Komunisme, Marxisme, dan 
Leninisme, serta semua pemahaman lainnya termasuk kekhalifahan 
yang berlawanan dan dimaksudkan untuk menggantikan Pancasila 
sebagai ideologi NKRI, tentu tidak bisa menjadi dasar dan pedoman 
bagi semua agama dalam menjalankan roda organisasinya di negara kita . 
Ketentuan ini tidak boleh ditafsirkan sebagai bertentangan dengan 
ajaran agama tertentu sebab bahkan, ide pertama Pancasila, Dewa 
Tertinggi, sebagai “kata sifat” telah mengadopsi ajaran agama dan aliran 
kepercayaan yang telah diakui di seluruh negara kita . 
Dengan berbagai perspektif dan argumen saat ini beberapa 
banding telah diajukan terhadap Ormas di Mahkamah Konstitusi. Salah 
satunya juga yaitu konstitusionalitas prinsip contrariusactus untuk 
mempengaruhi  pencabutan status hukum suatu entitas, bukanlah hal 
baru di negara kita . 
Wawasan tentang penerapan fundamental contrariusactus dalam 
pencabutan status hukum dari sebuah perusahaan disampaikan oleh 
salah satu pakar hukum terkemuka dan mantan ketua Mahkamah Agung 
Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Law and Society of negara kita  in 
negara kita  (Dian Rakyat) pada tahun 1985. 
Wirjono berpendapat bahwa ada dua hal yang akan memicu 
anak yatim kehilangan badan hukum, baik dengan pengangkatan    
menteri kehakiman sebab bertentangan dengan ketertiban umum, atau 
oleh putusan pengadilan tentang penyimpangan dari anggaran/hukum. 
Oleh sebab itu, penerapan prinsip contrariusactus saat ini yaitu 
cara paling efektif untuk memerintahkan organisasi yang bertentangan 
dengan Pancasila sebagai prinsip tunggal, tanpa mengurangi hak wali/
anggota untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Bisnis Negara untuk 
menguji validitas putusan. usaha  negara (beschikking) tidak dapat 
mencabut status hukum perusahaan. 
Terakhir namun tidak kalah pentingnya, perlu ada tingkat 
kesadaran yang tinggi dari seluruh warga  negara kita , yaitu bahwa 
sesuai dengan Pasal 28 I Konstitusi 1945, kemerdekaan dan hak 
untuk berorganisasi di negara kita  tetap ada jangkar pembatasan yang 
ditetapkan oleh hukum Jan dengan kewajiban untuk menghormati hak-
hak orang lain dalam hal ras, agama, dan ras dalam tatanan warga , 
nasional, dan kehidupan nasional. 
Menggarisbawahi kesimpulan di atas, Pancasila yaitu bagian 
integral dari nilai-nilai negara kita . Massa dasar kehidupan nasional. 
Dan sementara kehidupan nasional dan nasional belakangan ini telah 
terguncang oleh masalah rasionalisasi dan kesalahpahaman lainnya, 
Pancasila semakin relevan. Bahkan, sebagai filosofi dan sudut pandang 
ganda, kita memerlukan  lebih dari sebelumnya. 
Namun di sisi lain, timbul pertanyaan di dalam diri kita, mengapa 
kebijakan negara yang kita simpulkan sebagai bagian integral dari 
nilai-nilai negara tidak larut dalam hati setiap warga negara? Mungkin 
yang kita butuhkan sekarang yaitu penggunaan Pancasila yang tidak 
diindoktrinasi sehingga Pancasila yaitu ideologi lintas generasi bagi 
warga  negara kita . 
Kita menyadari bahwa di era globalisasi dan keterbukaan, Pancasila 
juga diharapkan dapat bersaing dengan ideologi lain. Untuk beberapa 
alasan, ada ideologi lain yang sesuai dengan kepercayaan budaya dan 
agama mereka. Namun, kami tegaskan bahwa sebagai ideologi formal, 
Pancasila yaitu final, lengkap. Dengan kata lain, kebijakan negara telah 
difinalisasi sejak diberlakukan sebagai bagian dari konstitusi 18 Agustus 
1945. maka , setiap usaha  untuk mengubah kebijakan negara 
yaitu pelanggaran mendasar terhadap perjanjian nasional berusia 73 
tahun silam.
A. Pengertian Epistemologi Hukum 
Manusia pada dasarnya yaitu makhluk pencari kebenaran. Manusia 
tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, namun  selalu mencari 
dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya 
untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban ini  
juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode 
tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud di sini bukanlah 
kebenaran yang bersifat semu, namun  kebenaran yang bersifat ilmiah 
yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, 
tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. 
Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari 
dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada 
sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan 
teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan 
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari 
setiap permasalahan yang dihadapinya. sebab  itu bersifat statis, tidak 
kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus 
berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa 
keingintahuannya terhadap dunianya.
Epistemologi (filsafat ilmu) yaitu pengetahuan sistematik 
mengenai pengetahuan. Epistemologi yaitu salah satu objek 
kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa 
epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) 
dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan 
sangat menonjol bila dikaitkan dengan pembahasan mengenai hakikat 
epistemologi itu sendiri. Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal 
dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan 
dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat 
diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris 
dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara 
etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam 
bahasa negara kita  lazim disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi 
epistemologi yaitu teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau 
ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi yaitu bagaimana cara mem-
peroleh pengetahuan, sebetulnya seseorang baru dapat dikatakan 
berpengetahuan jika  telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan 
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan 
manusia mencintai pengetahuan. Hal ini memicu eksistensi 
epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan 
yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah 
yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam 
epistemologi yaitu nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia 
dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Epistemologi yaitu cabang filsafat yang membahas tentang 
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, 
sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan 
kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik 
memicu perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih 
dalam usaha  memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, 
pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, yaitu 
sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, 
sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, 
empirisme. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan 
dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolak ukurnya bagi 
pengetahuan (ilmiah). Pengetahuan yaitu daerah persinggungan 
antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal 
sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat 
sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan 
pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya 
yaitu pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan 
(sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang 
sistematis (metode ilmiah) memakai  nalar yang logis. Sarana 
berpikir ilmiah yaitu bahasa, matematika, dan statistika. Metode 
ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga 
menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoretis dengan 
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu 
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan 
secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan 
fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan 
teoretis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan 
empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian 
artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah 
diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori 
ini  bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan 
kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang 
dipakai  untuk membangun pengetahuan ini  harus benar. Apa 
yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar sebab 
ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang 
kita yakini sebab kita amati belum tentu benar sebab penglihatan 
kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu 
pengetahuan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Dalam percaturan filsafat, epistemologi dikenal memiliki diva 
jelajah dalam lingkup mengenai bagaimana pengetahuan pada dasarnya 
dapat diperoleh dan diuji kebenarannya sentra bila dispesifikasikan 
atas ranah epistemologi hukum, maka lingkup kajiannya berada pada 
usaha  untuk menyibak tentang bagaimana pengetahuan hukum itu 
dapat diperoleh dan bagaimana pula tingkat kebenarannya sehingga 
dapat menjadi penentu dari metodologi hukum. Dengan pemahaman 
sedemikian, maka epistemologi hukum berkelana pada pencarian pada 
apakah pengetahuan hukum itu, apakah arti mengetahui dan di mana 
pengetahuan itu ditemukan: akal budi ataukah pengalaman indrawi, serta 
apakah pengetahuan kita tentang hukum dapat dipertanggungjawabkan.   
Pengetahuan manusia pertama kali yaitu saat  Nabi Adam 
diberitahukan oleh Tuhan tentang nama segala sesuatu yang tidak 
diketahui oleh malaikat yang menentang penciptaan manusia, seperti 
tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2): 31 bahwa: “Dan Dia mengajarkan 
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”. Setelah peristiwa 
itu Adam sebagai makhluk baru, dibanggakan oleh Tuhan di hadapan 
makhluknya yang lain, sebab Nabi Adam as. yaitu khalifah.
sebab  kedudukannya itu, Nabi Adam as. dibenci oleh Iblis yang 
sebab kedudukannya itu, maka Nabi Adam as. dibenci oleh Iblis 
bersumpah untuk menyesatkannya. Peluang itu didapat Iblis saat  
turun “perintah” pertama Tuhan untuk tidak mendekati buah khuldi 
diberitakan dalam QS. Al-Baqarah (2): 35 bahwa: “Dan Kami berfirman: 
Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah 
makanan yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu suka, dan 
janganlah kamu dekati pohon ini.” 
Oleh Iblis peluang ini  dimanfaatkan sebaik-baiknya, 
dengan mengatakan pada Nabi Adam as, bahwa buah khuldi yaitu 
buah pengetahuan, di mana jika Adam memakannya, maka ia dan 
keturunannya akan memilki pengetahuan yang lebih dibandingkan  apa yang 
diajarkan oleh Tuhannya.
Di sinilah letak kekhasan manusia, yaitu “rasa ingin tahu” yang 
sangat besar diikuti dengan rasa ingin memiliki apa-apa yang belum 
atau bukan menjadi miliknya. Dituntun oleh Iblis pada saat menawarkan 
ide untuk memakan buah khuldi kepada Adam as. dan Hawa. Dalam 
konteks ini, ruang dan waktunya yaitu surga tempat Adam as. 
diciptakan sebagai dunianya. Setelah ide itu lalu  diwujudkan 
dengan makan buah khuldi, maka ide itu menjadi master dalam bentuk 
perbuatan hukum.
Tuhan pun murka dan menghukum Adam as. turun ke dunia untuk 
menjalani hidup yang sesungguhnya, yaitu bumi sebagai ruang dan 
waktunya. Ini yaitu “hukuman pertama” akibat “pelanggaran pertama” 
oleh “manusia pertama.”
Pada saat dihadapkan dengan pilihan antara makan atau tidak itulah 
muncul asas pertama kali bagi manusia yang berupa “asas berkehendak 
untuk”, yaitu kehendak untuk “tahu” dan kehendak untuk “memiliki” 
tahu. Isi dari hukum yaitu tahu, yaitu tahu apa yang boleh dan apa 
yang tidak tahu apa yang dilarang dan apa yang tidak. Tindakan Adam 
as. memakan buah khuldi yaitu akibat sesat akan tahu yang dibisikkan 
Iblis. Adam as. lupa apa yang diberitahu (diperintahkan) Tuhan tentang 
pohon khuldi itu, lalu  Adam as. disesatkan oleh “tahu” versi Iblis 
yang menyebut khuldi yaitu “tahu”.
Apa yang diketahui manusia dari hasil makan buah khuldi itu? 
Pertama, Adam as. dan Hawa mendapat pengetahuan akan halnya 
mereka berbeda secara lahiriah. Kedua, sebab sudah menjadi makhluk 
materi, maka muncul aku di antara keduanya. Hingga akhirnya 
“dihukum” Tuhan turun ke bumi untuk menjalankan tugasnya 
menghuni bumi. Bukankah itu yaitu ide awal Tuhan menciptakan 
manusia, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.
Tuhan memberikan pengetahuan pada manusia, ada yang 
memetiknya dari ide atau rasio dan ada yang memetiknya dari matter 
atau realitas, di sinilah terjadi chaos. Ide atau rasio yang berupa 
noumena direkayasa untuk kepentingan sosial sehingga ide dihukumkan 
yang dapat berupa ketetapan. Sementara matter atau realitas yang 
berupa fenomena, fenomena itu dapat direkayasa untuk kepentingan 
sosial melalui peraturan yang berupa ketetapan pula.
Dalam diri manusia ada  dua sisi, yaitu sisi luar sebagai yang 
bisa diamati lahiriah oleh diri dan orang lain. Apa yang kita lakukan, 
katakan biasanya merujuk pada kemampuan fisikal dan kebiasaan 
verbal (bahasa). Sementara sisi dalam yang hanya diketahui oleh diri 
pribadi, yakni pemikiran, emosi, dan sensasi yang merujuk pada dunia 
kejiwaan setiap orang. Kedua sisi ini dibawa secara alamiah atas dasar 
kehendak (radat) dan ketetapan (Kodrat) dari Sang Pencipta. Kemudian 
kemampuan itu berkembang, secara fisik dilatih dengan olahraga 
dan secara kejiwaan dilatih oleh pengamatan dan pengalaman hidup 
manusia. Di mana kedua sisi ini memiliki thin red line (garis pemisah yang 
sangat tipis). Garis pemisah inilah memunculkan sisi ketiga dalam diri 
manusia, yang akan berfungsi mengambil keputusan dalam bertindak 
sedangkan kedua sisi lainnya akan menerima akibat dari keputusan 
yang diambilnya.
Seorang pencuri memutuskan mencuri melalui sisi ketiga, setelah 
berhasil sisi fisik yang menikmati hasilnya dan sisi jiwa memperoleh 
kepuasannya. Bila tertangkap dan terhukum sisi fisik yang dipenjara 
dan sisi jiwa yang menderita. Demikian pula jalan terbentuknya hukum    
yang dibuat manusia. Sisi luar yaitu fenomena yang terjadi dalam 
hubungan sesama manusia, sementara sisi dalam setiap manusia 
menghendaki kebebasan melakukan apa saja. Syahdan, sisi ketiga 
menetapkan aturan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Pemilik 
sisi ketiga ini yaitu penguasa yang ditunjuk oleh kesepakatan bersama 
seluruh warga .
Sebelum ide pada rasio belum dijadikan noumena telah ada  
persitegangan antara ide dengan ide. Di sinilah terjadi antinomi yang 
menghasilkan nilai untuk membuat keputusan. Begitupun antara matter 
dengan matter terjadi antinomi yang menghasilkan kompromi dalam 
membuat keputusan, peraturan itu dibuat oleh sebab adanya dua 
nilai yang saling bersitegang (nilai antinomi) untuk diproses melalui 
pembentukan (proses menjadi). Bila terbentuk (jadi), maka tidak bebas 
nilai lagi.
Bila ada  dua kepentingan yang tidak nyambung, maka dapat 
direkayasa melalui wilayah “pengecualian”. Sebagai contoh, 2 x 2 = 
4 (di mana dua dikalikan dua menjadi empat akan terasa nyambung). 
Akan namun , bila dinyatakan dalam urutan bilangan 1, 2, 3, 4, maka akan 
terlihat tidak nyambung bila akan dibuat 2 x 2 = 4, sebab angka dua 
hanya muncul satu kali dalam urutan bilangan. Oleh sebab itu, maka 
angka 2 yang kedua akan direkayasa dengan diberi pangkat menjadi 2 
pangkat 2 sama dengan 4.
Contoh lain, 2 topi + 2 pena akan terasa tidak nyambung sebab 
angka 2 yang pertama terlihat dalam ruang dan waktu sebagai topi, 
sedangkan angka dua yang kedua dalam ruang dan waktu sebagai 
pena. Oleh karenanya terasa tidak nyambung, kecuali direkayasa dan 
diletakkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di dalam ruang dan 
waktu ada  isi. Sementara isi dalam fenomena yaitu “realitas”.
Peran untuk “kecuali” dapat dimanfaatkan oleh fenomena. 
Contohnya, seorang dosen di dalam benaknya telah ada ketetapan di 
akal (noumena) untuk kecuali dapat dimanfaatkan oleh fenomena. 
Contohnya, bila menetapkan nilai “kesamaan”, maka kalaupun ada 
mahasiswa yang salam sujud dengan dosen itu di luar (tidak dapat 
diketahui apakah salam sujudnya itu memang ikhlas atau untuk 
mengadakan fenomena), dosen itu akan tetap saja memberikan 
nilai sebagaimana adanya, maka artinya fenomena itu tidak dapat 
mengalahkan noumena. Akan namun , bila dosen itu telah memberikan 
“simpati”, maka mau sebodoh apa pun mahasiswa itu bisa saja diberi 
nilai, dan jika  bertemu dengan mahasiswa yang membuat dosen itu 
“antipati”, maka nilainya dapat menjadi E.
Begitu pula fungsi manusia dalam menjabarkan apa yang diajarkan 
Tuhannya, apakah akan menilai berdasar keinginan atau ketaatan, 
berdasarkan logika atau rasa. sebab  sejatinya antara manfaat dan 
mudharat akan berdebat. Ibarat ayat yang tersirat dalam QS Al-Baqarah 
(2): 219 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar minuman keras 
dan judi, katakanlah: keduanya itu ada  dosa besar dan beberapa 
manfaat bagi manusia, namun  dosanya lebih besar dari manfaatnya”. 
Maka sisi ketiga dalam diri akan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Minuman keras beralkohol baik yang legal ataupun yang dijual 
ilegal, yang bermerek ataupun oplosan memang sekilas memiliki  
manfaat bagi tubuh, untuk penghangat, penyemangat, atau obat kuat. 
Di sisi lain juga membawa mudharat, selain dosa tentunya, juga akan 
merusak organ vital tubuh jantung, paru-paru, otak, dan bahkan 
mengancam nyawa peminumnya. Demikian pula judi yang sekilas 
membawa senang bila menang, namun membuat marah jika kalah.
Untuk itu pembuat regulasi di dalam negeri hendaknya belajar 
membaca fenomena dalam warga . Jangan hanya sekadar 
mengejar manfaat dari pajak yang diberi produsen minuman keras, lalu 
melegalkannya, namun lupa menghitung akibat buruk dari peredarannya 
yang dapat memicu berbagai penyakit warga  seperti perampokan, 
pemerkosaan, pembunuhan, dan lain sebagainya akibat meminum 
minuman keras.
Asas kemanfaatan ini seharusnya bisa diukur dengan mudah, 
sebab semuanya telah terjadi dalam fenomena yang bisa diamati bukan 
lagi dalam tataran ide. Fenomena itu bisa diukur penyebabnya dan 
apa akibatnya bila terus-menerus terjadi. Dari situ, maka sisi ketiga 
harus segera membuat keputusan, yang harus dipertahankan apakah 
pendapatan dari pajak atau ketertiban dalam warga .
Seperti halnya dalam kebijakan mobil murah, di mana kaum matter 
realistis akan berkata: “tidak cocok untuk Jakarta dan kota-kota besar 
lainnya di mana tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur secara 
memadai”. Sementara kaum ide berkata: ”memandangnya ke depan 
   
dulu, masalah jalan, seiring dengan berjalannya keputusan mobil murah 
itu, infrastruktur jalan nanti dibangun”.
Dalam hal kampanye berobat gratis pada pemilukada, kaum ide 
berkata “penyelenggaraan berobat gratis”. Kemudian dijawab oleh 
kaum matter, “prasarana rumah sakit tidak memadai, tenaga rumah 
sakit kurang”. Berikutnya lagi akan dijawab kembali oleh kaum ide 
dengan ungkapan, “Buat kelas-kelas dalam rumah sakit seperti kelas 
I, II, dan III”.
Perekayasa pada wilayah pengetahuan tadi diperankan oleh manusia 
memiliki pengetahuan. Seharusnya posisi pengetahuan yang nyata 
dengan ide itu hendaknya diberlakukan sama, namun senyatanya sering 
tidak. Oleh sebab itulah, lalu  orang pintar selalu menghukum 
orang yang tidak pintar.
B. Landasan Epistemologi dalam Ilmu Pengetahuan 
Bagaimanapun pengetahuan manusia selalu mengalami pergerakan, 
yang oleh van Peursen dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap mistis, 
tahap ontologis, dan tahap fungsionil. Yang dimaksud dengan tahap 
mistis yaitu sikap manusia dalam memahami gejala-gejala alam 
memposisikan dirinya sebagai makhluk yang terkepung oleh kekuatan-
kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau 
kekuasaan kesuburan, seperti terwujud dalam mitos-mitos. Pada tahap 
ini manusia memahami peristiwa alam seperti bencana alam atau 
panen sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan mistis di mana manusia 
tidak dapat menghindarinya. Manusia mencoba memahaminya dengan 
mempersonifikasikan pada dewa-dewa sebagai penyebab terjadinya 
peristiwa alam. Upacara keagamaan menjadi penting guna memberikan 
persembahan pada dewa-dewa agar tetap memberikan perlindungan 
kepada manusia dan menjauhkannya dari bencana. Oleh sebab 
itu, menurut Peursen, salah satu fungsi mitos yaitu memberikan 
pengetahuan tentang dunia, selain sebagai pedoman tertentu bagi 
sekelompok orang dan untuk memberikan jaminan bagi masa kini. 
Pada tahap ontologis, manusia dalam memahami gejala-gejala alam 
tidak lagi dalam posisi terkepung oleh kekuasaan mistis, melainkan 
secara bebas mampu meneliti segala sesuatu hal. Yang yaitu ciri 
pada tahap ini yaitu manusia mulai mengambil jarak terhadap objek, ia 
mengamat-amati dan mengkotak-kotakkan. Dalam melukiskan dunia, 
yang semula dihubungkan dengan kekuasaan para dewa, lalu  
digantikannya dengan sebuah ajaran atau teori mengenai dasar hakikat 
segala sesuatu (ontologi), termasuk dalam melukiskan alam semesta. 
Ajaran-ajaran mitologis mengenai terjadinya dewa-dewa diubah menjadi 
filsafat atau ilmu mengenai dunia yang tidak tampak (metafisika), 
gambaran-gambaran mitologis mengenai terjadinya dunia ini dialihkan 
menjadi ajaran filosofis mengenai alam raya (filsafat fisika), pembersihan 
batin yang berhadapan dengan kesalahan tragis (katharsis) harus minggir 
bagi filsafat etika. Dengan demikian tata tertib alam semesta dapat 
diterima manusia lewat jalan pengertian dan pengetahuan. Terakhir 
dalam tahap fungsional, ialah sikap dan alam pikiran yang tidak 
terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mistis), tidak lagi dengan 
kepala dingin ambil jarak terhadap objek penelitiannya. Sebaliknya 
manusia mengadakan relasi-relasi baru, suatu ketertautan yang baru 
terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Menurut Peursen yang 
yaitu satu sikap dasar dalam sikap fungsional yaitu bahwa orang 
mencari hubungan-hubungan antara semua bidang, arti sebuah kata, 
atau sebuah perbuatan maupun barang dipandang menurut peran atau 
fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan itu yang saling bertautan. 
Sebagai contoh, bahwa norma yang mewajibkan kita harus patuh pada 
orang tua tidak lagi dipahami dengan menerimanya begitu saja sebab 
berabad-abad lamanya sudah berlaku, yang seolah-olah yaitu 
hukum-hukum abadi. Norma-norma dipahami dengan mencari apa 
arti atau pesan norma-norma ini  bagi manusia. Proses pencarian 
arti atau makna ini  bukannya dengan mengambil jarak terhadap 
norma-norma itu yang lalu  dirumuskan dalam pengertian umum 
dan abstrak seperti dalam alam pikiran ontologis, melainkan berkaitan 
dengan meleburkan diri pada situasi-situasi konkret melalui tindakan-
tindakan nyata. 
Pada awalnya manusia terkepung oleh kekuatan mistis, namun  dalam 
perkembangan berikutnya ia berusaha melepaskan diri dari kekuatan 
ini . Hal ini dimungkinkan sebab sebagai makhluk yang mulia, 
manusia diberikan akal oleh Tuhan dan dengan akalnya itu manusia 
selalu terus berusaha menemukan jawaban atas fenomena sekelilingnya. 
Dengan adanya akal, manusia memiliki  kemampuan untuk menalar. 
Kemampuan ini memicu manusia mampu mengembangkan 
  
pengetahuan secara sungguh-sungguh dan dia akan memikirkan hal-hal 
yang baru demi kelangsungan hidupnya. 
Kemampuan mengembangkan pengetahuannya dengan cepat, 
sebab kemampuan berpikir manusia yang mengikuti suatu alur 
kerangka tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti disebut 
penalaran. Penalaran yaitu proses berpikir dalam menarik sesuatu 
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Dalam melakukan penalaran 
ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai pedoman, 
seperti cara/teknik dan sarana yang dipakai , sehingga diperoleh 
pengetahuan yang disebut ilmu. Untuk menemukan pengetahuan inilah 
dipakai  salah satu cabang filsafat yang disebut epistemologi. Dengan 
demikian, untuk mendapatkan pengetahuan secara benar, maka sebagai 
landasan epistemologi, ada 5 (lima) pertanyaan mendasar yang perlu 
diperhatikan, yaitu:
1.  Bagaimana prosedurnya. 
2.  Hal apa yang diperhatikan agar memperoleh pengetahuan yang 
benar. 
3.  Apa yang disebut kebenaran. 
4.  Apa kriteria kebenaran itu. 
5.  Cara, teknik, sarana apa yang membantu memperoleh pengetahuan 
yang disebut ilmu itu. 
Epistemologi yaitu cabang filsafat, yang sebetulnya 
mengkaji hakikat pengetahuan yang khusus untuk 4 (empat) pokok 
persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas, dan sumber 
pengetahuan. Secara etimologi, penguraian berdasarkan pada asal 
katanya, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme 
dan logos. Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk 
menunjukkan adanya pengetahuan sistematis. Secara sederhana 
epistemologi diartikan sebagai pengetahuan mengenai pengetahuan. 
Episteme berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukan, 
menempatkan, atau meletakkan. Secara harfiah episteme berarti 
pengetahuan sebagai usaha  intelektual untuk menempatkan sesuatu 
dalam kedudukan setepatnya. 
Anthony Flew dalam A Dictionary of Philosophy menjelaskan bahwa 
epistemologi sebagai: “The branch of philosophy concerned with the theory 
of knowledge. Traditionally, central issues in epistemology are the nature and 
derivation of knowledge, the scope of knowledge and the reliability of claims to 
knowledge” 
Selain kata episteme, untuk kata pengetahuan dalam bahasa Yunani 
juga dipakai kata gnosis, maka istilah epistemologi dalam sejarah pernah 
juga disebut gnoseologi sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis 
dan analitis tentang dasar-dasar teoretis pengetahuan. Dalam bahasa 
Jerman, epistemologi diterjemahkan antara lain menjadi erkentnistheorie 
dan dalam bahasa Belanda dikenal istilah kennisleer atau kentheorien (teori 
pengetahuan). Berdasarkan asal kata dan pengertiannya, singkatnya 
dapat disebutkan bahwa epistemologi yaitu salah satu cabang filsafat 
untuk membantu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang 
disebut ilmu. 
C. Aspek Epistemologis dalam Ilmu Hukum 
Hukum sebagai gejala sosial yang menampakkan aspek, fase, ciri, 
dimensi ruang dan waktu, serta tataran analisis yang majemuk 
yaitu objek studi dengan melakukan kegiatan ilmiah dari berbagai 
sudut pandang dan pendekatan. Misalnya telaah tentang hukum dengan 
melihat bagaimana hukum ini  tampak dalam sikap dan perilaku 
warga warga  dalam aktivitas berlalu lintas dan angkutan jalan, 
artinya studi ini  terarah pada kegiatan ilmiah dengan objek telaah 
hukum dari sudut pandang dan pendekatan sosiologis. 
Kegiatan ilmiah di bidang hukum yang dilakukan dengan 
memakai  berbagai sudut pandang dan pendekatan ini  
selanjutnya melahirkan berbagai disiplin ilmiah yang mandiri yang 
masing-masing objek telaahnya hukum. Disiplin ilmiah yang dimaksud 
yaitu kegiatan intelektual untuk secara rasional memperoleh 
pengetahuan dalam bidang hukum secara sistematis dan terikat pada 
aturan prosedur (metode) tertentu. Dengan demikian ada  beberapa 
disiplin hukum yang masing-masing dari sudut pandang tertentu 
berusaha memperoleh pemahaman teoretis atau penguasaan intelektual 
terhadap atau berkenaan dengan hukum. Misalnya penelaahan terhadap 
hukum yang dilakukan berdasarkan pada sudut pandang dan pendekatan 
serta metode dan pengertian-pengertian yang khas dipakai  dalam 
sosiologi sebagai disiplin induknya, yang akan melahirkan sosiologi 
hukum sebagai disiplin ilmiah mandiri. 
   
Keseluruhan disiplin ilmiah ini  dapat disebut dalam satu 
istilah, yaitu disiplin ilmiah tentang hukum (science concerned with law), 
ilmu hukum (juris-prudence) atau pengembanan hukum teoretikal 
(theoritische rechtsbeoefening). Sekali lagi istilah-istilah ini  semuanya 
menunjuk pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional-
sistematikal-metodikal, terargumentasi dan terus-menerus) berusaha  
memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual 
atas hukum. 
Ilmu hukum memiliki  tujuan memberi suatu pengetahuan dan 
kemampuan penguasaan intelektual tentang hukum baik terhadap 
pembentuk undang-undang, terhadap hakim maupun para ilmuwan 
hukum. Pengetahuan yang dimaksud yaitu pengetahuan hukum yang 
dimiliki dalam mempersiapkan pengambilan putusan hukum konkret 
yang akan dibuatnya, yakni menetapkan hak dan kewajiban orang dalam 
situasi kewarga an konkret tertentu berdasarkan kaidah hukum 
yang tercantum dalam suatu aturan hukum, yang kepatuhannya tidak 
diserahkan pada kehendak bebas orang yang bersangkutan, melainkan 
dapat dipaksakan oleh otoritas publik. Dengan demikian ilmu hukum 
memiliki pretensi untuk memberikan solusi atau penyelesaian hukum 
konkret, artinya memberi jawaban atas pertanyaan apa hukumnya 
yang berlaku bagi kenyataan-kenyataan kewarga an tertentu yang 
menimbulkan masalah hukum. 
Tujuan ilmu pengetahuan hukum termasuk ilmu hukum positif 
yaitu untuk memahami dan menguasai pengetahuan tentang kaidah 
dan asas-asas untuk lalu  dapat mengambil keputusan berdasarkan 
hal ini . Ilmu pengetahuan hukum dalam aplikasinya dapat 
dikelompokkan pada tiga kegiatan, yang antara lain terdiri dari: 
1.  Pembentukan hukum, kegiatan ini mencakup pembentukan 
peraturan perundang-undangan oleh lembaga tertentu yang 
berwenang melalui prosedur tertentu yang sebelumnya telah 
ditetapkan. Perundang-undangan yaitu bentuk pembentukan 
hukum yang paling penting yang di dalamnya diciptakan suatu 
model perilaku abstrak yang di lalu  hari dapat dipergunakan 
untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah kewarga an 
konkret. Selain itu pembentukan hukum dapat dilakukan oleh 
hakim dalam sebuah proses peradilan di mana terhadap masalah  yang 
dihadapinya tidak ada  suatu aturan hukum yang mengaturnya. 

Sering kali hal ini  dilakukan hakim melalui suatu metode 
konstruksi hukum yang terdiri dari metode argumentum peranalogian 
(analogi), argumentum a contrario, dan metode penghalusan hukum 
(rechtsvervijnings).
2.  Penerapan hukum, kegiatan ini untuk menentukan hukum apa 
yang diterapkan bagi peristiwa hukum tertentu berdasarkan kaidah-
kaidah hukum yang berlaku. Dalam penerapan hukum kegiatan 
penemuan hukum memegang peranan penting, sebab dengannya 
kaidah hukum dan jangkauan keberlakuan dari suatu aturan hukum 
diperoleh dan lalu  diterapkan pada peristiwa hukum yang 
dihadapi untuk lalu  ditetapkan apa akibat hukumnya bagi 
peristiwa hukum ini . Penerapan hukum ini dapat berbentuk 
putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, 
dan lain sebagainya. 
3.  Perkembangan hukum. Hukum mengembangkan diri dengan suatu 
kerja sama yang kompleks antara pembentuk undang-undang, 
hakim, dan ilmu hukum. Ilmu hukum sering mempelajari hukum 
dengan mengambil pengertian-pengertian dalam hukum yang sudah 
tersedia dalam undang-undang, namun  di lain pihak para pembentuk 
undang-undang sering mengambil pengertian-pengertian ini  
sebagai hasil kerja ilmu hukum dan memasukkannya dalam 
rumusan undang-undang. Perkembangan hukum diperoleh melalui 
kerja sama antara ilmu hukum dengan hakim. Putusan hakim 
yang telah memperoleh anotasi (pandangan dan penilaian hukum) 
dari ilmuwan hukum sering menjadi celah untuk perkembangan 
hukum yang di lalu  hari dapat diletakkan sebagai landasan 
dari putusannya. 
Melakukan analisis hukum terhadap fakta akan menarik perhatian, 
mengingat hal ini  tidak sesederhana yang dibayangkan orang 
biasanya yang hanya mengandalkan pada kegiatan seorang 
hakim dalam menerapkan aturan-aturan hukum yang ada pada setiap 
peristiwa konkret yang terjadi, meskipun hingga derajat tertentu hakim 
memang melakukannya demi menjaga konsistensi yuridikal, dan harus 
pula dipahami bahwa jika dikaitkan dengan sistem hukum, maka tidak 
hanya berbicara mengenai hubungan antara peraturan yang satu dengan 
yang lainnya, namun  termasuk juga di dalamnya lembaga atau organisasi 
   
yang memiliki  otorisasi untuk membentuk dan menjalankan sistem 
hukum ini .
Hukum bukanlah barang yang tersedia begitu saja yang setiap 
saat oleh hakim dapat diterapkan terhadap fakta. Begitu juga terhadap 
berbagai peristiwa yang terjadi tidak dapat begitu saja hakim langsung 
dapat menderivasi aturan-aturan hukum yang ada tanpa memperhatikan 
situasi problematikal yang melingkupi peristiwa ini . Seperti halnya 
berpikir silogisme dalam metode penalaran hukum, ketidaksederhanaan 
tampak di mana aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor 
selalu memerlukan kualifikasi atau interpretasi dalam konteks kenyataan 
faktual yang konkret. Premis minornya berupa fakta yuridis, yakni fakta-
fakta dari sebuah masalah  dalam masalah hukum juga tidak begitu saja 
dapat ditetapkan, melainkan harus dipersepsi dan dikualifikasi dalam 
konteks aturan hukum yang relevan untuk lalu  diseleksi dan 
dikualifikasi berdasarkan kategori-kategori hukum. 
Van Peursen menyatakan bahwa fakta itu tidak ditemukan seperti 
objek atau benda tertentu yang dipungut dari tanah, melainkan fakta 
yaitu hasil pengamatan, penjelasan teoretis, usaha yang bersifat 
membatasi dari disiplin ilmiah tertentu. Selanjutnya ia mengatakan 
bahwa fakta tidak ditemukan, melainkan dijadikan, sehingga setiap 
pengetahuan manusia tentang kenyataan apa pun yaitu pengetahuan 
hasil interpretasi, dalam arti sudah bermuatan teori dan pengandaian-
pengandaian dan sebab itu sesungguhnya tidak pernah murni objektif 
dan netral. 
Seperti yang dikatakan Gadamer bahwa interpretasi memiliki pra-
struktur di dalam pemahaman, yakni vorhabe (apa yang sudah dimiliki 
sebelumnya), vorsicht (apa yang sudah dilihat sebelumnya), vorgriff (apa 
yang ditangkap sebelumnya). Jika seseorang mengetahui sesuatu, maka 
bagaimanapun objek pengetahuan ini  pasti mendapat pengaruh 
dari subjek yang mengetahui, sebab itu sesungguhnya fakta yang bebas 
nilai, bebas prasangka, dan bebas kepentingan itu tidak pernah ada. 
Dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum, usaha memperoleh 
pengetahuan tentang hukum yang di dalamnya mencakup kegiatan 
mengkualifikasi fakta dan menetapkan hukum dan seorang ilmuwan 
hukum tidak pernah bertolak dari suatu pengetahuan yang kosong. 
Pengetahuan yang hendak diperoleh seorang ilmuwan hukum mustahil 
akan diperoleh tanpa ia sebelumnya memiliki  pra-pengetahuan. 
Misalnya jika hendak memperoleh pengetahuan dari sebuah putusan 
Mahkamah Agung yang dipelajari, paling tidak harus mengetahui 
kedudukan putusan ini  dalam tatanan hukum positif negara 
yang bersangkutan, selain sebelumnya harus sudah terbiasa dengan 
pemakaian bahasa hukum, pengertian hukum dan berbagai pengertian 
yang berkaitan dengan hukum. Selain itu juga dituntut harus memiliki  
pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya, misalnya apa yang 
dimaksud dengan pemeriksaan tingkat banding, pemeriksaan tingkat 
kasasi, dan sebagainya.
Beerling mengatakan bahwa sebetulnya tujuan dari suatu pertanyaan 
yaitu tidak lain dari penjelasan tentang sesuatu yang sebetulnya telah 
diketahui dengan samar-samar, sekurang-kurangnya mau atau yakin 
akan menemukannya. Kegiatan memperoleh pengetahuan hukum yang 
lebih jelas dari pengetahuan yang sebelumnya masih samar-samar dan 
kurang jelas diperoleh melalui kegiatan interpretasi, yakni menemukan 
makna dari suatu aturan hukum. 
Ilmu hukum sebagai disiplin ilmu yang mempelajari, 
memaparkan, dan mensistematisasi satu sistem hukum tertentu dalam 
pengembanannya terkandung muatan interpretasi yang mengacu pada 
suatu sistem hukum yang berlaku dalam warga  tertentu. Oleh 
sebab itu, kegiatan interpretasi dalam ilmu hukum menempati posisi 
sentral. Tujuan interpretasi dalam ilmu hukum selalu memaparkan 
aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh otoritas yang berwenang, 
menentukan makna dan jangkauan yang terkandung di dalamnya 
dan menempatkannya dalam suatu sistem tatanan hukum, dengan 
menganalisis kata-kata yang dipakai  sedemikian rupa sehingga ia 
siap untuk diterapkan pada peristiwa konkret baik yang aktual maupun 
potensial untuk terjadi. 
D. Landasan Epistemologis dalam Penerapan Hukum 
Pada dasarnya kegiatan ilmu hukum itu yaitu kegiatan 
menawarkan penyelesaian masalah hukum konkret yang timbul atau 
mungkin timbul dan harus dihadapi dalam warga  berdasarkan 
kerangka tatanan hukum yang ada. Artinya pengembanan ilmu hukum 
ini memiliki fungsi praktis, yakni terarah untuk menyelesaikan masalah 
hukum tertentu berdasarkan hukum positif tertentu, atau seperti 
pendapat Meuwissen yang menyebut bahwa ilmu hukum ini sebagai 
   
bentuk pengembanan hukum teoretis yang benar-benar praktis, artinya 
relevan untuk pembentukan dan penemuan hukum. Berdasarkan 
pengetahuan hukum yang dimiliki diharapkan setiap putusan yang 
dibuat para pengambil keputusan dapat dipertanggungjawabkan 
secara rasional-yuridis. Dengan kata lain, terhadap putusan ini  
diharapkan dapat ditempatkan dalam kerangka tatanan hukum yang 
berlaku sehingga memiliki landasan legitimasi dan terlaksananya 
penerapan hukum yang memiliki  tingkat akseptabilitas tinggi. Untuk 
dapat menghimpun, menata, memaparkan, dan mensistematisasi teks 
hukum, sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan, 
maka dilakukan analisis, pembentukan pengertian-pengertian dan 
penggolongan (kategorisasi), serta klasifikasi dalam hukum dan untuk 
itu harus diinterpretasi.
Selanjutnya dalam mengkaji objek ilmu hukum tentunya 
diharapkan jawaban yang benar dan bukan jawaban yang bersifat 
sembarangan. Masalah inilah yang dalam kajian filsafati termasuk 
wilayah kajian epistemologi, yang mengkaji persoalan sumber, asal mula, 
dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas, dan jangkauan pengetahuan, 
serta validitas dan reliabilitas (reability) dari berbagai klaim tentang 
pengetahuan. Pengetahuan pada hakikatnya yaitu segenap apa 
yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, dari mulai pengetahuan 
sehari-hari sampai pada pengetahuan yang disebut ilmu. Pengetahuan 
dapat diibaratkan sebagai sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan 
yang muncul dalam kehidupan manusia. 
Dalam hukum ada  teks hukum dan fakta dengan memakai  
model berpikir closed logical system bertumpu sangat kuat pada penalaran 
silogistik. Penetapan premis-premisnya, yakni baik dalam menetapkan 
fakta, juga yang yuridis relevan, maupun dalam menetapkan kaidah 
hukum yang terangkum dalam perundang-undangan sama-sama 
memandang keduanya sebagai objek yang dapat diamati dan ditangkap 
melalui pengamatan indrawi. Istilah closed logical system ini  
mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu, 
yaitu positivisme yang berasumsi bahwa bagaimana realitas sosial 
(warga  dan manusia) dipahami yaitu sama dengan bagaimana 
ilmu alam memperlakukan benda dan fenomena alam. 
Pandangan bahwa penemuan hukum dapat dicirikan dengan model 
penalaran silogistik sangat kuat bertumpu pada pemikiran bahwa 
penyusunan premis-premis sungguh tidak perlu bersifat problematikal 
dan bahwa soal penetapan fakta-fakta dan juga teks hukum yang 
terangkum dalam peraturan perundang-undangan yaitu perkara 
yang mudah. Pandangan ini mengimplikasikan pengandaian tertentu 
tentang pengetahuan dan cara-cara memperoleh pengetahuan itu, 
yakni dengan hanya bertumpu pada kebenaran-kebenaran formal yang 
diproses melalui hukum logika deduksi. Model berpikir closed logical 
system tampak dalam kegiatan interpretasi yang dilakukan dengan 
menempatkan aturan-aturan hukum positif sebagai premis mayor 
dan masalah -masalah  konkretnya sebagai premis minor. Berbeda dengan 
aliran hukum alam yang memiliki kekuatan argumen pada wacana 
validitas (legitimasi) hukum buatan manusia, maka kekuatan argumen 
positivistis hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke 
dalam struktur masalah -masalah  konkret. 
Masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, namun  
standar regulasi yang dijadikan acuannya yaitu juga norma-norma 
hukum. Logikanya, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma 
hukum pula, bukan dengan norma nonhukum, dan sebab itu logika 
berpikirnya dikenal dengan penalaran silogisme deduktif. Aturan-aturan 
hukum positif yang berfungsi sebagai premis mayor akan diterima 
sebagai doktrin yang aksiomatis, sepanjang ia mengikuti “the rule 
systematizing logic of legal science” yang memuat asas eksklusi, subsumsi, 
derogasi, dan nonkontradiksi. 
Asas eksklusi, yaitu asas yang dengannya ilmu hukum mengandaikan 
sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem, yang dengan itu 
mengidentifikasi sistem hukum ini . Subsumsi, yaitu asas yang 
dengannya ilmu hukum menetapkan hubungan hierarkis di antara 
aturan-aturan hukum berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi 
dan yang lebih rendah. Derogasi, yaitu asas yang berdasarkannya 
ilmu hukum menolak sebuah aturan atau bagian dari sebuah aturan, 
sebab berkonflik dengan aturan lain yang berasal dari sumber legislatif 
yang lebih tinggi. Nonkontradiksi, yaitu asas yang berdasarkannya 
ilmu hukum menolak kemungkinan pemaparan sistem hukum yang 
di dalamnya orang dapat mengafirmasi eksistensi sebuah kewajiban 
dan pada saat yang sama juga noneksistensi sebuah kewajiban yang 
mengkover situasi tindakan yang sama pada kejadian yang sama. 
Selanjutnya premis minor, yaitu fakta-fakta berupa masalah -masalah  perilaku 
   
yang hendak dipertanyakan nilai normatifnya atau sering disebut 
peristiwa hukum. 
Kata-kata dan peristilahan yang ada  dalam teks hukum 
memiliki makna sebab menyatakan isi dari pengertian yang dapat 
dinalar, yang dapat ditemukan melalui atau di dalam rasio, yang tersedia 
tuntas di dalam pemikiran, tanpa harus terlebih dahulu melewati 
tahapan pembentukan gambaran kenyataan. Penerapan istilah terjadi 
sebab dalam suatu konteks fakta tertentu, dikenali ciri-ciri tertentu 
yang menunjukkan kesesuaian dengan ciri-ciri umum yang dimiliki 
pengertian-pengertian ini  secara a priori. jika  hakim sewaktu 
berhadapan dengan suatu situasi faktual berhasil mengenali kembali 
ciri-ciri khusus dari suatu pengertian yuridis tertentu, maka diandaikan 
bahwa selanjutnya pengertian-pengertian itu dapat diterapkan secara 
mekanistik. 
Fakta (duduk perkara) yang ditempatkan sebagai premis minor 
dan melalui suatu penarikan kesimpulan, akan mempermudah dalam 
menemukan mengenai apakah bunyi hukumnya in concreto dalam suatu 
peristiwa hukum tertentu. Peragaannya dalam sidang-sidang pengadilan 
yang menaati ajaran hukum kaum positivis (yang dalam bahasa Hans 
Kelsen disebut reine rechtslehre) yaitu sebagai berikut: jika  hakim 
menemukan bunyi hukumnya in abstracto, seperti misalnya pada rumusan 
Pasal 362 KUHP, bahwa premis mayor: “barang siapa mengambil 
barang milik orang lain, sebagian atau seluruhnya, dengan maksud 
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan 
hukum, maka ia akan dihukum sebab pencurian sebanyak-banyaknya 
X tahun”. Dalam pemeriksaan perkara sang hakim ini menerima bukti 
mengenai terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu, dengan premis 
minor: “si A mengambil sebagian dari milik orang lain dengan maksud 
untuk menguntungkan anaknya”. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam 
penalaran ini bahwa “si A harus dihukum sebab mencuri”. 
Arief Sidharta menyebut prinsip ini sebagai asas imputasi 
(menautkan tanggung jawab/kewajiban), yaitu asas yang berdasarkannya 
berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih untuk 
menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subjek tertentu 
dalam situasi konkret tertentu, sehubungan dengan terjadinya 
perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namun dalam kenyataan 
apa yang seharusnya terjadi itu tidak niscaya dengan sendirinya terjadi, 
dan sebab itu rumus logikanya berbunyi: “Jika A (terjadi atau ada), 
maka seyogianya B (terjadi)” (when A is, B ouht to be, even though B perhaps 
actually is not). 
Dalam perkembangan ilmu hukum selanjutnya, bahwa untuk 
menemukan jawaban atas persoalan-persoalan hukum, yang jika dilihat 
dari aspek epistemologis, maka ada 2 (dua) pandangan besar, yaitu 
pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empirik dan pandangan 
normatif yang melahirkan ilmu normatif. Sehubungan hal ini, maka 
ilmu hukum memiliki  dua sisi yang dimaksud. Pada satu sisi ilmu 
hukum menampilkan karakter khas sebagai ilmu normatif, sedangkan 
pada sisi lain ilmu hukum menunjukkan ciri-ciri empiris. 
Sebagaimana ilmu pada umumnya, baik yang eksakta maupun 
yang sosial tujuannya yaitu untuk memecahkan masalah (problem 
solving), untuk mencari jawaban apa, mengapa, dan bagaimana. Dalam 
ilmu hukum yang harus dipecahkan yaitu masalah-masalah hukum, 
konflik hukum, atau masalah  hukum. Oleh sebab itu, menurut Sudikno 
Mertokusumo, setiap sarjana hukum harus menguasai kemampuan 
untuk memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal 
problem). Kemampuan ini  mencakup kemampuan merumuskan 
masalah (legal problem identification), kemampuan memecahkan masalah 
(legal problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decicion 
making).
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa seorang sarjana hukum 
juga harus jeli dan tanggap terhadap perkembangan warga . 
Janganlah bersikap konservatif formalistis dan a priori menutup mata 
terhadap perkembangan dalam warga , melainkan berusaha 
mencari penyelesaian yuridis baru untuk mengatasi perkembangan-
perkembangan yang terjadi dalam warga .
Aspek epistemologis ilmu hukum di sini tampak dalam proses 
penyelesaian masalah  yang terbagi-bagi ke dalam beberapa langkah. Proses 
ini  mencakup memapar