filsafat hukum 2

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 2


kan pernah 
damai, kecuali dengan mengingat Tuhan. Keinginan manusia pada 
hakikatnya tidak terbatas, di mana mereka tidak pernah puaskan apa 
yang telah diperolehnya. Sementara di pihak lain, manusia sangat 
berhasrat agar posisinya ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan 
yang Maha Abadi. Oleh sebab itu, sinergitas otonomi dan dependensi 
manusia pada Tuhan yang secara kasat mata kontradiktif, haruslah 
berada dalam kesatuan yang seimbang
Pertanyaan yang lalu  muncul terkait otoritas Tuhan dan 
otonomi manusia yaitu sejauh mana otoritas Tuhan pada manusia 
dan sejauh mana delegasi Tuhan kepada manusia? Untuk menjawab 
pertanyaan otoritas Tuhan, pada dasarnya ada dua pendekatan 
(approach). Pertama, manusia digambarkan sebagai makhluk yang hanya 
mengikuti seluruh ketentuan Tuhan yang telah digariskan. Dalam hal 
ini, manusia dipandang seperti “robot” yang dikendalikan dengan 
sebuah remote control. Kedua, manusia digambarkan sebagai makhluk 
otonom penuh, di mana otoritas Tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan 
dan keterbatasan.
Kedua pendekatan di atas, dalam ranah filsafat agama dapat diurai 
ke dalam dua konsep yang menyatakan hubungan Tuhan dengan 
manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan 
manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa, 
manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat. Perbuatan manusia 
sebetulnya yaitu perbuatan Tuhan. Konsep ini dalam literatur Arab 
disebut dengan Jabariah, yang berasal dari bahasa Arab yang artinya 
Jabara kata ini lalu  menjadi paham jabariah. Dalam bahasa Inggris 
disebut predestination (fatalisme).
Manusia dalam aliran ini dapat dianalogikan seperti mobil balap 
yang bergerak jika digerakkan dengan remote control yang dikendalikan 
oleh seseorang yang memegang remote control ini . Ditinjau dari 
kekuasaan mutlak Tuhan, aliran jabariah tidak bertentangan dengan 
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun, dari segi 
kebebasan manusia paham ini menimbulkan persoalan yang cukup 
rumit, seperti apa arti dosa dan pahala dalam agama kalau perbuatan 
Bab 3 ---  Manusia dan Pengetahuan 49
manusia tidak hakiki, sedangkan yang hakiki yaitu perbuatan Tuhan 
lagi dia tidak bebas berkehendak dan bebuat?
Konsep kedua, perbuatan manusia yaitu hakiki bukan kiasan. 
Manusia memiliki  kebebasan dalam berbuat, sedangkan Tuhan 
hanya berperan menciptakan sifat daya kebebasan itu pada manusia. 
Penggunaan daya kebebasan itu sendiri diserahkan kepada manusia. 
Paham ini yang dalam bahasa Arab disebut Qadariah. Konsep kedua 
ini, dalam bahasa Inggris biasa dikenal free will. saat  dihadapkan pada 
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Paham ini seakan-akan 
membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tuhan tidak bebas lagi berbuat 
bebas sebab Dia terikat dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan 
kepada manusia, seperti Tuhan tidak bisa mencabut sifat kebebasan 
yang telah diberikan kepada manusia atau mengubah pemberian pahala 
kepada orang jahat dan menyiksa orang baik.
3. Manusia sebagai Makhluk Berpikir
Aristoteles mengatakan bahwa manusia yaitu binatang yang memiliki 
rasional (animal rationale), yang membedakannya dengan binatang. 
Manusia dipandang sebagai satu-satunya binatang yang sepenuhnya 
hidup, sementara binatang yang lain tak memiliki perasaan dan tak tahu 
suka dan duka. Sehingga, binatang-binatang lain dipandang hanyalah 
mesin-mesin setengah hidup.
Animal rationale manusia telah menempatkan manusia dengan ciri 
yang istimewa. Keistimewaan ini  terwujud dalam kemampuan 
manusia untuk memakai  rasio (akal pikirannya) yang mengantarkan 
manusia pada level atau strata yang lebih dari ciptaan-ciptaan 
Tuhan lainnya. Keistimewaan ini  semakin lengkap dengan 
ditempatkannya wujud kemampuan berpikir pada satu struktur yang 
padu dengan perasaan dan kehendak manusia itu sendiri. Dalam konteks 
ini, maka berpikir dapat dipandang sebagai suatu fitrah kodrati manusia 
yang selalu melekat pada manusia di mana dan dalam kondisi apa pun.
Tuhan sebagai penetap fitrah kodrati manusia, telah memerintahkan 
manusia untuk memakai  potensi berpikirnya sebagaimana 
firman Allah dengan kata-kata “afalatatafakarun” (apakah kamu tidak 
berpikir), “afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal). “tandzur” 
(maka perhatikanlah), dan sebagainya. Firman-firman Allah ini  
   50
yang ditemukan dalam Al-Qur’an, pada hakikatnya dipandang sebagai 
stimulus yang memicu manusia berpikir.
Ajakan berpikir yang dibumikan Allah dalam firman-Nya dapat 
dilihat seperti: ”Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap 
ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-
Qur’an itu yaitu benar”. Dalam surah lain, Allah berfirman bahwa “Dan 
Kami turunkan dari langit, air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan 
dengan air itu pohon-pohon dan biji tanaman yang diketam”. Selanjutnya, 
“Maka hendaklah manusia memerhatikan dari apakah ia diciptakan dari air 
yang terpancar. Yang keluar antara tulang sulbi laki-laki dan dada perempuan”.
Ketiga surat ini  yaitu bukti autentik betapa berpikir 
yaitu bagian langsung dari proses transformasi yang Tuhan 
inginkan kepada manusia. Surat Fushshilat ayat 53 memberi petunjuk 
tentang makna berpikir induktif yang melibatkan penalaran dalam 
memperoleh kesimpulan yang bersifat umum (mayor) dari kenyataan 
yang bersifat individual (minor). Ayat 9 surat Qaaf memberi stimulus 
agar manusia berpikir tentang hidrologi, energi, sumber daya air, 
hubungan air, dan unsur hara sebagai unsur vital tanaman untuk 
tumbuh dan berkembang. Sementara stimulus dan acuan pengetahuan 
tentang kejadian manusia yang dipikirkan dapat ditemukan dalam surat 
at-Thariq ayat 5-7.
Untaian stimulus-stimulus Tuhan dalam firman-Nya sebagaimana 
diuraikan di atas, pada hakikatnya memberi ruang yang cukup kepada 
manusia untuk melakukan proses pengolahan diri yang dimulai dengan 
suatu pertanyaan mendasar yaitu apa yang dipikirkan? Pertanyaan ini 
berpusat pada proses dialog dengan diri manusia itu sendiri. Pertanyaan-
pertanyaan terasa “sepele” dan mungkin terabaikan. Akan namun , 
lalu  terjelmakan menjadi pertanyaan-pertanyaan “sepele” yang 
penting. Siapa saya? Saya mau ke mana? dan pertanyaan-pertanyaan 
pengenalan diri lainnya menjadi menu pokok dalam proses dialogis ini.
Pertanyaan tentang pengenalan diri yaitu proses yang akan 
mengantarkan manusia pada fase di mana manusia memahami hakikat 
manusia sebagai manusia. Proses berpikir yang terjadi di dalamnya 
menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi pada diri, lingkungan, 
dan apa saja yang menjadi dan bias pada diri manusia sebagai sebuah 
ekosistem. Proses ini diharapkan melahirkan manusia dengan kerangka 
Bab 3 ---  Manusia dan Pengetahuan 51
pikir yang kritis dan kreatif, di mana pada saat yang bersamaan seorang 
manusia memuji dan mengkritisi dirinya sendiri.
Dalam proses pengenalan diri manusia, kadang kala diketemukan 
manusia-manusia yang stag pada pertanyaan sebagaimana di atas 
dengan argumentasi Tuhan telah meletakkan ketetapannya atas diri 
saya dan saya tak ingin bertanya tentang siapa saya. Pada tahapan 
perkembangan manusia berpikir, manusia-manusia yang terlena akan 
hidup dan kehidupannya lalu  lebih berpikir pragmatis dan 
praktis yang berdasar pada tingkat keperluan minimal. Sehingga dalam 
praktiknya, tingkat ketergantungan manusia akan manusia dan bahkan 
benda-benda lainnya (baca: makhluk) menjadi sangat dominan melebihi 
ketergantungannya pada Tuhan.
B. Pengetahuan
Pada hakikatnya menyoal tentang pengetahuan akan dimulai (commenced) 
dengan pertanyaan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh 
pengetahuan ini . Pengetahuan pada dasarnya dipandang sebagai 
mental state yang terproses melalui interaksi untuk dapat mengenali 
dan mengetahui tentang suatu objek. Dalam proses lahir (embrio) 
pengetahuan ini , maka pengetahuan dapat di
peroleh melalui media, sebagai berikut:
1. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Indra 
Indra yaitu salah satu media untuk memperoleh pengetahuan. 
Dalam proses ini media indra lebih bersifat subjektif. Subjektif dalam 
pemaknaan bahwa ia terletak pada pengetahuan yang diperoleh melalui 
respons indra terhadap apa yang dilihat dan dirasakannya. Contohnya, 
kalau tertabrak atau terinjak mobil pasti sakit. Proses pengetahuan 
dari contoh ini yaitu sakit yang dirasakan diketahui setelah terinjak, 
yang sebelumnya tidak diketahui. Gambaran konkret ini menunjukkan 
proses subjektivitas indra untuk memperoleh pengetahuan. Tentunya 
proses mendapatkan pengetahuan melalui indra disadari tidak 
memiliki struktur dan metode, sebab tidak jelasnya indikator yang 
dapat dipakai  untuk mengujinya. Indra mendapatkan kesan-kesan 
dari apa yang ada di alam semesta yang diproses dan dikumpulkan 
   52
(diasimilasi) pada diri manusia dan lalu  direfleksikan dalam 
bentuk pengetahuan. Proses asimilasi yang dilakukan indra haruslah 
didukung oleh instrumen biologis yang ada dalam tubuh manusia yang 
lalu  akan ditransformasikan ke dalam bentuk kesadaran yang aktif.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra melibatkan organ-
organ tubuh yang akan menerjemahkan respons indra dalam bentuk 
pengetahuan. Tentunya, respons indra ini tidak akan sama dengan 
esensi dan eksistensi dari benda. Pada beberapa literatur, pengetahuan 
yang diperoleh melalui indra dapat dibedakan pada pengetahuan yang 
bersifat internal dan eksternal. Dikotomi ini lahir sebagai bentuk impuls 
indra yang mempengaruhi  organ-organ eksternal atau ia disebabkan 
oleh sikap mental atau stimulasi otak tanpa pengaruh tambahan pada 
organ-organ eksternal.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang bersifat eksternal 
berhubungan dengan respons organ-organ tubuh dalam menerima 
kesan yang ada yang sangat terbatas. Dalam hal ini, berimplikasi pada 
rangsangan yang ditransformasikan ke otak menimbulkan determinasi 
daya indra dan aktualisasi yang lalu  menghasilkan suatu citra 
indriawi.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang bersifat internal 
pada dasarnya berperan pada proses penciptaan persepsi. Panca indra 
internal bekerja untuk menstimulasi ingatan, imajinasi, dan akal 
sehat sehingga akan berfungsi dalam menyempurnakan kerja panca 
indra ekstern yang merespons benda di sekelilingnya secara sepotong-
sepotong. Oleh sebab itu, pengetahuan yang diperoleh melalui 
indra tidaklah dapat dikesampingkan dalam proses mendapatkan 
pengetahuan. sebab , pengetahuan yang diperoleh melalui indra yaitu 
yaitu tahap awal dalam proses untuk mendapatkan pengetahuan 
dalam proses pencarian dan pemaknaan yang dilakukan baik pada alam 
semesta (makrokosmos) maupun manusia itu sendiri (mikrokosmos).
2. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Science
Hakikat pengetahuan yang diperoleh melalui science yaitu pengetahuan 
rasional empiris. Sehingga hipotesis yang dihasilkannya pun harus 
berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus rasional. Misalnya, 
untuk sehat diperlukan gizi, telur banyak mengandng gizi, sebab itu, 
Bab 3 ---  Manusia dan Pengetahuan 53
logis bila semakin banyak makan telur akan semakin sehat. Hipotesis 
ini belumlah diuji kebenarannya. Kebenarannya bak rumah dugaan. 
namun  hipotesis itu telah mencukupi dari kerasionalannya. Dengan 
kata lain, hipotesis do was. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya 
hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Selanjutnya masalah empiris. Untuk menguji hipotesis di atas, 
maka (kebenarannya) harus mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk 
menguji hal itu, haruslah dipakai  metode eksperimen dengan cara 
mengambil satu atau dua sampel kampung yang disuruh makan telur 
secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan 
mengambil satu atau dua kampung yang lain yang tidak boleh makan 
telur, juga selama setahun itu, sebagai kelompok kontrol. Pada akhir 
tahun, kesehatan kedua kelompok itu diamati. Hasilnya, kelompok 
kampung yang makan telur rata-rata lebih sehat. Dengan eksperimen 
ini , dapatlah dibuat sebuah kesimpulan awal bahwa semakin 
banyak telur dimakan akan semakin sehat, dengan demikian telur 
berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah mengikuti alur 
pembuktian terhadap hipotesis yang dilakukan secara berulang-ulang, 
maka hipotesis tadi dapat berubah menjadi teori.
Teori yang dimaksudkan bahwa semakin banyak makan telur 
semakin sehat atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan, 
yaitu teori yang rasional-empiris. Teori seperti inilah yang disebut 
teori ilmiah (scientific-theory). maka , dapatlah dikatakan 
bahwa alur pikir yang rasional-empiris sebagaimana diuraikan di atas 
juga berlaku dalam teori science.
Jika kerangka alur pikir dalam perolehan pengetahuan melalui 
science dengan metode ilmiah, maka dapat dirumuskan dalam bentuk 
baku metode ilmiah yaitu rasionale hypothetico verificatif (buktikan bahwa 
itu rasional tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Pada dasarnya, cara 
kerja science yaitu kerja mencari hubungan sebab akibat atau mencari 
pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Science tidak memberikan nilai 
baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau 
tidak indah, science hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan 
inilah yang memicu ada orang menyangka bahwa science itu netral. 
Dalam konteks seperti itu memang ya, namun  dalam konteks lain belum 
tentu ya.
   54
saat  science menitikberatkan hubungan sebab akibat, maka 
science tentulah memiliki objek (yaitu, objek yang diteliti sains). Dalam 
pandangan Jujun, yang dimaksud dengan objek science yaitu semua 
objek yang empiris. Dalam ini, objek kajian science hanyalah objek yang 
berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Oleh sebab ini objek 
kajian science haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti 
yang empiris yang harus ditemukan yaitu bukti-bukti yang empiris. 
Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah 
dirumuskan dalam hipotesis.
Pertanyaan yang menarik lalu  untuk diajukan sehubungan 
dengan objek yaitu apakah objek yang boleh diteliti oleh science itu 
bebas atau tidak? Hal ini dapat diartikan apakah science boleh meneliti 
apa saja asal empiris? Objek-objek yang dapat diteliti oleh science 
banyak sekali seperti alam, tumbuhan, hewan, dan manusia, serta 
kejadian-kejadian di sekitar alam. Dari penelitian itulah muncul teori-
teori science. Teori-teori itu dapat berkelompok atau dikelompokkan 
dalam masing-masing cabang science.
Menjawab pertanyaan di atas, tentunya akan menimbulkan 
kontroversi tersendiri. Hal ini dikarenakan dalam kebebasan yang 
melekat pada science mengenai apa yang dapat diteliti sepanjang empiris, 
maka menurut filsafat agama, mungkin hal ini  bertentangan. Hal 
ini dikarenakan science memiliki keterbatasan dalam membuktikan 
apakah segala sesuatu itu rasional atau tidak. Dalam hal terjadi masalah 
yang dihadapi oleh manusia, maka science juga menyelesaikannya 
dengan pendekatan science. 
Ilmu memudahkan kehidupan sejak kampung itu berdiri ratusan 
tahun yang lalu, sampai tahun-tahun belakangan ini penduduknya hidup 
dengan tenang. Tidak ada kenakalan. Anak-anak dan remaja begitu 
baiknya, tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, tidak mencuri, tidak 
membohongi orang tuanya. Senang sekali bermukim di kampung itu. 
Tiba-tiba jalan raya melintasi kampung itu. Listrik dipasang penduduk 
mendapat listrik dengan harga murah dan penduduk pun senang.
Beberapa tahun lalu , anak mereka nakal. Anak mereka sering 
berkelahi, mabuk, mencuri, membohongi orang tuanya. Penduduk sering 
bertanya “Mengapa keadaan begini?” Mereka menghadapi masalah. 
Mereka memanggil ilmuwan, meminta bantuannya untuk menyelesaikan 
Bab 3 ---  Manusia dan Pengetahuan 55
masalah yang mereka hadapi. Apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan 
itu? Ternyata ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, ia mengidentifikasi masalah. Ia ingin tahu seperti apa kenakalan 
remaja yang ada di kampung itu. Ia ingin tahu lebih dahulu, secara 
persis, misalnya beberapa orang, siapa yang nakal, malam atau hari 
apa saja kenakalan itu dilakukan, penyebab mabuk, berkelahi dengan 
siapa, dan apa penyebabnya. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya atau 
selengkap-lengkapnya tentang kenakalan yang diceritakan oleh orang 
kampung kepadanya, ia seolah-olah tidak percaya begitu saja pada 
laporan orang kampung ini , ia mengidentifikasi masalah itu. 
Identifikasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian, 
hasil penelitian itu ia analisis untuk mengetahui secara persis segala 
sesuatu di seputar kenakalan itu tadi.
Kedua, ia kembali mencari teori tentang sebab-sebab kenakalan remaja. 
Biasanya ia cari dalam literatur. Ia menemukan ada beberapa teori yang 
menjelaskan sebab-sebab kenakalan remaja. Di antara teori itu ia pilih 
teori yang diperkirakan paling tepat untuk menyelesaikan masalah 
kenakalan remaja di kampung itu. Sekarang ia tahu penyebab kenakalan 
remaja di kampung itu.
Ketiga, ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori yang 
menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa 
memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia 
sudah tahu penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus 
dilakukan oleh pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua 
remaja, dan polisi, serta penegak hukum.
Demikian biasanya cara ilmuwan menyelesaikan masalah yang 
dihadapi. Itu yaitu cerita tentang cara science menyelesaikan 
masalah. Cara filsafat dan mistik tentu lain lagi. Langkah baku science 
dalam menyelesaikan masalah: identifikasi masalah, mencari teori, 
menetapkan tindakan penyelesaian.
3. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Filsafat
Menurut arti kata, filsafat terdiri atas kata philein yang berarti cinta 
dan hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-
sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang 
   
sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh 
akan kebenaran sejati.
Menurut pengertian umum, filsafat yaitu ilmu pengetahuan yang 
menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. 
Filsafat yaitu ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan 
tentang hakikat menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi 
segala sesuatu. Dengan cara ini, maka jawaban yang akan diberikan 
berupa kebenaran yang hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut 
kata-katanya.
Dengan pengertian khusus, sebab filsafat telah mengalami 
perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor 
yang kompleks, maka timbul berbagai pendapat tentang arti filsafat 
dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang 
filsafat, seperti:
a. Rasionalisme yang mengagungkan akal.
b. Materialisme yang mengagungkan materi.
c. Idealisme yang mengagungkan ide.
d. Hedonisme yang mengagungkan kesenangan.
e. Stoikisme yang mengagungkan tabiat saleh.
Perbedaan pandangan dalam filsafat yaitu sesuatu yang lumrah. 
Hal ini dikarenakan setiap orang mencoba mengonstruksi bangunan 
filsafat yang diketahuinya berdasarkan proses yang dilaluinya, baik 
dalam konteks makrokosmos maupun mikrokosmos. Perbedaan ini juga 
dipengaruhi oleh kebebasan berpikir yang melingkupi para penggiat 
filsafat sejak dahulu hingga sekarang untuk menemukan kebenaran 
dan kebijaksanaan.
Perbedaan ini  juga telah bermuara pada lahirnya aliran-aliran 
yang memiliki  kekhususan masing-masing, yang menekankan kepada 
sesuatu yang dianggap dan harus diberi tempat yang tinggi. Oleh sebab 
itu, berangkat pada deskripsi di atas, maka filsafat dapat dirumuskan 
sebagai berikut:
a. Filsafat yaitu hasil pikiran manusia yang kritis dan dinyatakan 
dalam bentuk yang sistematis.
b. Filsafat yaitu hasil pikiran manusia yang paling dalam.
Bab 3 ---  Manusia dan Pengetahuan 57
c. Filsafat yaitu refleksi lebih lanjut dibandingkan  ilmu pengetahuan atau 
pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan.
d. Filsafat yaitu hasil analisis dan abstraksi.
e. Filsafat yaitu pandangan hidup.
f. Filsafat yaitu hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, 
mendasar, dan menyeluruh.
Dari rangkuman ini  dapat dikemukakan bahwa ciri-ciri 
bersifat yaitu sebagai berikut: deskripsi, kritis atau analisis, evaluatif 
atau normatif, spekulatif, mendalam, mendasar, dan menyeluruh. 
Seorang yang berfilsafat biasanya yaitu seorang yang monolog. 
Monolog dalam artian bahwa proses dialog yang dilakukannya. Sehingga 
dalam beberapa kesempatan dapat diumpamakan sebagai seseorang 
yang berpijak di bumi sedang mengadah ke bintang-bintang. Atau 
seseorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan 
lembah di bawahnya. Masing-masing ingin mengetahui hak dirinya 
atau menyimak kehadirannya dalam kesemestaan alam (makrokosmos) 
yang ditatapnya.
Seorang ilmuwan yang filsafati tidak akan pernah puas mengenal 
ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat 
ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan 
moral, dengan agama, apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada 
dirinya. Filsafat dalam konteks ini akan menjelajahi dan menelaah segala 
kejadian sampai lalu  proses interaksi pemikiran ini  akan 
membangun sebuah konstalasi yang jelas dan pasti menurut penemuan 
pemikiran. Sehingga seorang yang berpikir filsafat, tidak hanya 
menengadah diri menatap dan memaknai bintang-bintang akan namun  
secara perlahan orang yang berpikir filsafat juga akan membongkar 
tempat berpijaknya secara fundamental.
Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa 
ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan 
kriteria ini  dilakukan? Lalu benar itu apa? Pertanyaan itu melingkar 
sebagai sebuah lingkaran, yang untuk menyusunnya, harus dimulai 
dari sebuah titik, sebagai awal sekaligus sebagai akhir. Lalu bagaimana 
menentukan titik awal yang benar?
   58
Tidaklah mungkin manusia mengangguk pengetahuan secara 
keseluruhan, bahkan manusia tidak yakin pada titik awal yang 
menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Ini hanya sebuah spekulasi. 
Menyusun sebuah lingkaran memang harus dimulai dari sebuah 
titik, bagaimanapun spekulatifnya. Yang penting dalam prosesnya 
nanti, dalam analisis maupun pembuktiannya, manusia harus dapat 
memisahkan spekulasi mana yang paling dapat diandalkan. Tugas 
utama filsafat yaitu menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. 
Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang 
disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini 
ada tujuannya?
Semua pengetahuan yang ada, dimulai dari spekulasi. Dari 
serangkaian spekulasi dapat dipilih buah pikiran yang paling dapat 
diandalkan yang yaitu titik awal dari penjelajahan pengetahuan. 
Tanpa menerapkan kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak 
mungkin pengetahuan lain berkembang atas dasar kebenaran. Tanpa 
menetapkan apa yang disebut baik dan buruk, tidak mungkin bicara 
tentang moral. Tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek, tidak 
mungkin berbicara tentang kesenian. Oleh sebab itu, dengan berfilsafat 
maka akan melahirkan proses dialogis dalam menemukan makna 
kebenaran dan kebijaksanaan yang hakiki. Hakikat dasar inilah yang 
lalu  akan diwujudkan dalam bentuk-bentuk lain (cabang filsafat), 
seperti filsafat agama, filsafat hukum, filsafat nilai, dan lain sebagainya.
4. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Mistik
Mistik yaitu pengetahuan yang tidak rasional; pengertian yang 
yaitu pandangan warga  awam (umum). Adapun pengertian 
mistik bila dikaitkan dengan agama yaitu pengetahuan (ajaran atau 
keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan 
spiritual, bebas dari ketergantungan pada indra dan rasio.
Pengetahuan mistik yaitu pengetahuan yang tidak dapat 
dipahami oleh rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi 
tidak dapat dijelaskan secara rasional. Pengetahuan ini kadang-kadang 
memiliki bukti empiris namun  kebanyakan tidak dapat dibuktikan 
secara empiris.
Bab 3 ---  Manusia dan Pengetahuan 59
Di dalam Islam, yang termasuk pengetahuan mistik ialah 
pengetahuan yang diperoleh melalui jalan tasawuf. Pengetahuan yang 
diperoleh misalnya tercakup dalam istilah marifah, al-ittihad, atau 
hulul. Pengetahuan mukasyafah, juga yaitu pengetahuan mistik dalam 
tasawuf yang diperoleh memang bukan melalui jalan indra atau jalan 
rasio.
Dalam kehidupan sehari-hari di warga , ditemukan berbagai 
contoh mistik, misalnya kekebalan. Kekebalan dipandang sebagai 
pengetahuan mistik sebab tidak dapat dijelaskan melalui logika sebab 
akibat. Orang dapat kebal sebab latihan-latihan tertentu dan bekerjanya 
hasil pelatihan tidak dapat dipahami oleh rasio. Yang tidak dapat 
dipahami oleh rasio yaitu hubungan sebab akibatnya atau mengapa.
namun  pengetahuan ini (kekebalan) dapat dibuktikan secara empiris.
Sufi besar ternyata tidak kagum terhadap kekebalan atau yang 
sejenis dengan itu. Pada suatu hari saat  ada orang yang menyampaikan 
berita kepada Abu Yazid. Bahwa si fulan dapat pergi ke Mekkah hanya 
dalam satu malam saja. Abu Yazid menjawab, apa yang harus diherankan, 
setan juga dalam tempo sekejap dapat pergi dari barat ke timur, padahal 
ia dilaknat Allah. Pada waktu yang lain ada orang yang menyampaikan 
berita lain kepada Abu Yazid bahwa si fulan dapat berjalan di atas air. 
Abu Yazid menjawab, ular pun dapat berjalan di atas air dan bahkan 
dapat berada di dalam air dan burung dapat terbang di angkasa.
Pengetahuan mistik (sebetulnya pengetahuan yang bersifat mistik) 
yaitu pengetahuan yang suprarasional namun  kadang-kadang memiliki 
bukti empiris. Dalam bahasa lain dapat disebutkan sebagai metarasional. 
Metarasional ini yaitu suatu tahapan yang menunjukkan keterbatasan 
alam pikir manusia, akan namun  objek keterbatasan ini  tetaplah 
sesuatu yang rasional. Dalam konteks objek pengetahuan mistik, maka 
sifat objek ini  juga merujuk pada sifat metarasional. Objek dalam 
pandangan metarasional yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh 
rasio manusia, namun  empiris sifatnya. Adapun hasil yang dicapai pun 
metarasional.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 4 ---  Filsafat Nilai Sebagai Leluhur dari     61
A. Hakikat Nilai
Manusia itu yaitu makhluk yang dengan perbuatannya berhasrat untuk 
mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai sama dengan harga. Hidup 
itu memiliki  harga atau nilai. Berapa harganya, kita sendiri yang 
menentukan melalui tindakan kita. Apa yang memicu hidup itu 
memiliki  nilai? Aristoteles memulainya dengan mengatakan bahwa 
dalam semua perbuatannya senantiasa ada kehendak mengejar sesuatu 
yang baik. Oleh sebab itu, “baik” yaitu sesuatu yang dikejar atau 
yang dituju. Jika kita meninjau segala sesuatu yang dituju manusia 
dalam perbuatannya, maka nilai itu ada dua macam, yakni nilai yang 
dikejar sebab nilai itu sendiri, misalnya orang tidak mengejar uang 
untuk uang, melainkan uang untuk gunanya dalam jual beli. Orang 
tidak mengejar hiburan untuk hiburan, melainkan agar sesudah hiburan 
dapat bekerja lagi. Dan nilai yang kedua yaitu nilai yang dikejar 
sebagai tujuan. Nilai yang satu ini yaitu dorongan yang khusus 
bagi manusia sebagai makhluk yang berbudi. Jadi, nilai tujuan ini ialah 
kesempurnaan mempengaruhi manusia.
Tujuan nilai yang dituju dalam setiap perbuatan itu memiliki  
arti yang diharapkan. Dalam mengharapkan nilai dari perbuatannya, 
melakukan persangkaan-persangkaan sebelum melakukan pun setelah 

melakukan persangkaan tadi ditinjau ulang oleh si pelaku untuk 
mengetahui apakah tujuannya itu telah tercapai. Nilai itu disadari dan 
diakui oleh si pelaku sebagai nilai yang sah, sehingga ditetapkan nilai 
perbuatan itu, perbuatan berikutnya memiliki kepastian nilai sebab 
telah ditetapkan tadi.
Hidup itu bermakna gerak. Bersamaan dengan hadirnya ruang dan 
waktu untuk mengeksiskan keduanya tentulah memiliki isi, yakni hidup 
itu sendiri. Manusia dalam hal ini berperan sebagai pelaku dan yang 
diperlukan lewat tindakan. Dalam tiap tindakan selalu ada motif yang 
mengiringi. Motif yaitu alasan yang melandasi setiap tindakan 
manusia. Secara sadar manusia akan bereaksi terhadap lingkungan 
dan sesamanya. Tindakan manusia itu bernilai, bila dia sadar akan 
tindakannya. Bila tidak dilandasi kesadaran tindakan itu tidak bernilai, 
atau dapat dikatakan sebagai tindakan insting (naluriah). Misalnya, 
tanpa sadar orang menggaruk kepala bila kebingungan atau orang yang 
berlari ke sana ke mari tanpa membawa apa-apa sebab panik saat 
terjadi kebakaran.
Dasar awal manusia bertindak bisa jadi sebab ada sesuatu yang 
ingin dicapainya. Kalau yang ditujunya itu tercapai, puaslah dia, sebab 
terpenuhi tujuannya itu. Kepuasan terjadi tentunya bila sesuatu yang 
dipandangnya ini  berharga dan tercapai. Tiap yang berharga 
itu tentulah mengandung nilai sebagai tuntunannya, dan karenanya 
manusia dalam setiap tindakannya digerakkan oleh nilai-nilai. Dua 
tindakan yang sama, namun  belumlah tentu memiliki nilai yang sama, 
artinya berbeda nilai yang dikandungnya, berbeda pula penghargaan 
terhadap tindakan-tindakan itu. Membunuh seseorang dengan tujuan 
untuk mendapatkan harta atau kedudukannya yaitu kejahatan. 
Membunuh orang dengan tujuan membela diri, bukanlah dipandang 
jahat. Seperti mana halnya membunuh orang yang menjadi lawan 
dengan tujuan menang di medan perang, digolongkan sebagai tindakan 
yang bernilai baik dan bahkan menuai pujian, sebagai standar kelayakan 
umum. Pembunuh pada peristiwa pertama, mendapat ganjaran berupa 
sanksi pidana atau mungkin dihukum mati dan tentunya hujatan. 
Pembunuh pada peristiwa kedua dihukum ringan atau mungkin 
dibebaskan, pembunuh pada peristiwa ketiga bahkan layak dihadiahi 
bintang pahlawan sebab jasanya.
Dari peristiwa-peristiwa ini  seolah-olah terjadi kontradiksi 
terhadap porsi nilai dan penilaian. Lantas, apakah yang menjadi dasar 
timbulnya nilai pada manusia atas kemanusiaannya? Nilai hadir 
manakala pikiran dan rasa manusia bertaut satu sama lain. Dari situ 
lalu  memutuskan sisi dominan dari keduanya yang nantinya 
akan merujuk pada suatu pilihan, yang di antaranya terjelma dalam 
berbagai bentuk rupa keputusan, seperti dalam bentuk kata, gerak, 
ataupun diam. Manusia dengan sekilas dapat memberikan penilaian 
dengan pikirannya tanpa harus mengalami objek yang dinilainya dan ini 
kerap terjadi secara spontanitas namun, pada saat bersamaan manakala 
penilaian itu tercetus, manusia tadi bisa saja tidak dapat merasakan apa 
yang telah menjadi penilaiannya. Demikian pula sebaliknya, dominasi 
rasa terhadap pikiran dapat membuat seseorang menilai berdasarkan 
rasa, dengan sadar atau tidak sadar manakala dominasi rasa mengekang 
pemikirannya.
Berkaca pada contoh ini , dengan pikirannya tanpa harus 
merasakannya, manusia dapat memberikan pujian bagi seorang 
pahlawan perang, namun dapat juga mencemooh seseorang yang 
melakukan pembunuhan demi harta yang bukan menjadi haknya. Pujian 
terhadap seorang pahlawan dapat dilontarkan oleh setiap orang atas 
kegigihan dan perjuangannya dengan seluruh cara yang dipergunakannya 
demi mempertahankan kehormatan tanah airnya. Namun, bagi pihak 
lain (musuh) yaitu dilematis, mereka berpikir bahwasanya perjuangan 
pahlawan tadi telah mencoreng korps atau nama baik perjuangannya 
yang gagal melaksanakan tugas bahkan harus kehilangan nyawa atas 
kegagalan ini . Terlebih bilamana tujuan pejuang tadi yaitu 
tujuan bersama yang menjadi tumpuan harapan atas kehidupan mereka. 
Demikian pula halnya terhadap seorang pembunuh, ia dihujat dari pihak 
keluarga korban, lebih lagi cercaan dari warga  yang menyaksikan 
atau mengetahui perbuatannya ini , namun mendapat pujian 
bahkan penghormatan dari kelompoknya atau simpati dari orang-orang 
yang mengenalnya.
Atas contoh ini  akan timbul ragam penilaian dari manusia 
ada yang memberikan penilaian dalam bentuk ide, bahwa bila harus 
membunuh lakukanlah berdasarkan sifat kepahlawanan yang dianggap 
memiliki nilai luhur atau dalam penilaian lain bahwa cara pintas untuk 
   
menjadi kaya yaitu dengan membunuh dan dengan pembunuhan 
ini , maka ia yang melakukan pembunuhan ini  akan disegani 
bahkan ditakuti orang lain sebab si brutal dan sadisnya. Dari contoh 
ini, pembunuhan akan bernilai baik atau buruk tergantung si penilai. 
Bila dilihat lebih dalam tentunya harus ditelaah dahulu sebab, motif 
dan akibat yang ditimbulkan pembunuhan itu. Dalam perang sekalipun 
tentu ada aturan-aturan dan strategi-strategi tertentu, inilah yang 
menjadi patokan atau standar ukur bagi si penilai. Semua tergantung 
di pihak mana si penilai berdiri.
Standar umum yang dapat dikatakan tentang arti nilai, bahwa nilai 
yaitu sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, 
sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. 
Singkatnya sesuatu yang baik. Baik itu yaitu nilai, maka nilai senantiasa 
mengarah pada konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, 
sesuatu yang membuat kita melarikan diri, seperti penderitaan, 
penyakit, atau kematian yaitu lawan dari nilai, yaitu nonnilai.
maka , nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas 
dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir 
maupun batin. Max Scheler 1874-1928 mengelompokkan nilai menjadi 
empat macam, yaitu nilai kenikmatan (rasa enak, nikmat, senang), nilai 
kehidupan (kesehatan, kesegaran, jasmani), nilai kejiwaan (kebenaran, 
keindahan), dan nilai kerohanian (kesucian). Bertolak dari pandangan 
ini  dapat dirumuskan bahwa nilai erat kaitannya dengan kegiatan 
menimbang, yakni menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain 
yang lalu  dilanjutkan dengan memberikan keputusan, yang mana 
orientasi dari keputusan ini  dapat diarahkan pada nilai materiil 
atau nilai kerohanian.
Dalam melakukan penilaian itu, manusia dipengaruhi oleh 
kesadaran diri, kesadaran sosial, dan kesadaran spiritual. Kesadaran 
diri didapat dari pengalaman dan pemahaman akan tindakan yang 
sama yang pernah dilakukannya dengan perbuatan yang dinilainya. 
Kesadaran sosial didapat dari pengamatan dan pengaruh lingkungan 
orang itu, dengan siapa ia bergaul, orang-orang yang dianggapnya 
idola dan respek terhadap orang lain. Hal inilah yang menjadi sebab 
dasar timbulnya ungkapan bahkan menghegemoni bahwa “nilai itu 
subjektif” selalu memiliki dasar pertimbangan yang dianggap layak 
untuk dijadikan pilihan bagi yang melakukan pilihan yang disebut nilai 
yang berpenilaian standardisasi (prinsipisasi) oleh seorang mempengaruhi 
dan lembaga inilah yang kerap membenturkan mereka dengan orang 
dan lembaga lain yang juga memiliki hal yang berupa standar dan 
prinsip serupa pada kebakuannya. Oleh sebab itu, maka mereka dapat 
melakukan kekeliruan bahkan kesalahan saat  mempertentangkan nilai 
yang berpenilaian atas keberadaan nilai itu sendiri.
Untuk pertentangan itu sendiri dan apa pun hasilnya, mau tidak 
mau nilai kembali berpenilaian setelah pertentangan itu terjadi. sebab  
nilai yaitu abstraksi dalam suatu keberadaan. Inilah saat mana nilai 
berdiri dengan keobjektifan saat  lepas bebas dari keeksisannya. 
Bagaimana saat  nilai dianggap menjadi milik seseorang atau lembaga 
yang acap terucapkan.
B. Sifat Nilai
Nilai itu ideal, atau berbentuk ide, abstrak namun hadir sebab 
diobjekan dan dihadirkan sebab subjek. sebab  itu nilai dikatakan 
bersifat abstrak, tidak dapat disentuh oleh panca indra. Misalnya, 
seorang pahlawan yang melakukan pembunuhan akan mendapat pujian 
bagi yang mengaguminya, atau cercaan menjadi objek nilai melakukan 
pembunuhan demi harta. Dalam contoh ini yang objek nilai yaitu 
perilaku pembunuhan yang berarti menghilangkan orang, fokus utama 
timbulnya penilaian tidak hanya sebab alasan nyawa orang lain, motif 
atas sikap pahlawan atau pembunuh, namun  juga sebab hilangnya nyawa 
orang yang terbunuh.
Nilai memiliki dualisme saat  diturunkan pada penilaian, apakah 
dalam sifat objektif ataupun subjektif. Dualisme berarti nilai tidak dapat 
berdiri sendiri tanpa penyandingan. Jika diturunkan misalnya nilai 
senang akan selalu bersanding dengan nilai ketidaksenangan. Pada saat 
kapan nilai memiliki sifat objektif dan pada saat kapan nilai bersifat 
subjektif? Pembunuhan secara ringkas dapat diartikan sebagai perbuatan 
menghilangkan nyawa makhluk hidup yang memicu kematian. 
Pembunuhan tetaplah pembunuhan, yang berarti menghilangkan nyawa 
manusia. Peristiwa ini yaitu nilai objektif yang tidak dapat disangkal 
dengan alasan pembenar, bahwa perilaku apa pun yang ditujukan untuk 
membunuh pada kondisi standardisasi ataupun normal, tidak disukai 
setiap makhluk. Sekalipun itu dapat terjadi dalam kondisi alamiah 
   
dalam hal terwujudnya rantai makanan, namun latar belakang alasan 
atau motif pembunuh (standardisasi) dengan beragam alasan yaitu 
sifat subjektif. Demikian pula ragam penilaian yang menyusul tentang 
peristiwa pembunuhan yang terjadi dan sebab alasan inilah, maka kerap 
kali nilai atau tiap hal yang menjadi objek penilaian selalu dianggap 
subjektif. Hal ini yaitu suatu kekeliruan.
Fakta itu diketahui dan nilai untuk menyelimutinya sebagai makna 
untuk menunjuk bahwa nilai dapat hadir dengan adanya fakta yang 
mendahului. Membicarakan pengetahuan yaitu membicarakan soal 
kebenaran. Masalah kebenaran yaitu soal budi. Soal penghargaan akan 
mengarah pada persoalan kepuasan. Masalah kepuasan yaitu soal hati. 
sebab  itu soal nilai tidak soal benar atau salah. Akan namun , tentang 
gagasan yang dinyatakan sebab dikehendaki atau tidak, disenangi atau 
tidak, namun nilai pada hakikatnya bersifat tetap dan utuh.
Nilai berdiri tetap, tetap indah dan tetap kalaupun tidak indah. 
sebab nya nilai juga utuh atas keduanya. Suatu fakta kita akui 
kebenarannya, sekalipun hati tak menghendakinya. Kita tidak senang 
akan kejadian itu, maka dipandang sebagai kenyataan yang pahit, itulah 
nilai berpenilaian subjektif. Nilai berbeda dengan wujud sesuatu yang 
tetap ada, bilamana tidak ada manusia yang memberikan penilaian, 
sebab nilai tidak berada dengan sendirinya tanpa manusia, maka ada 
manusia ada nilai, keberadaan nilai yang terkandung dalam suatu fakta 
(realitas) ditentukan adanya manusia yang menilai. Setelah terjadi 
kontak antara manusia fakta, maka dengan serta merta nilai akan hadir. 
Dengan kata lain, yang dinilai serta manusia sebagai objek 
sekaligus subjek yang menilai, terbentuk sebab adanya hubungan 
interdependensi antara fakta sebagai objek yang dinilai serta manusia 
sebagai objek sekaligus subjek yang menilai. Tanpa hubungan yang 
bersifat ketergantungan seperti itu, nilai tidak mungkin ada. Sebagai 
contoh, apakah poligami itu baik atau buruk? Islam apakah boleh dan 
jika  dilakukan dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Filsafat sebagai produk akal manusia yaitu nisbi, nisbi akal itu 
pula nilai-nilai yang terbentuk terikat oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai 
itu serasi untuk ruang dan waktu tertentu, tapi tidak sesuai bagi ruang 
lain dan waktu lain. Nilai-nilai itulah yang memberi bentuk kebudayaan 
yang sama bentuknya. Ada kebudayaan yang memberi nilai yang tinggi 
kepada ekonomi, misalnya kebudayaan Barat, ada yang memberi 
nilai yang tinggi kepada ilmu dan teknologi, misalnya kebudayaan 
Amerika Serikat, kepada amami kebudayaan Bali, kepada seni misalnya 
kebudayaan Jawa, kepada vapada pole misalnya kebudayaan Israel, 
kepada sosial misalnya kebudayaan di Waand campus desa, gampong, 
kampung kita. Perbedaan nilai pada salah satu universal ini  telah 
memicu bentuk yang berbeda, sekalipun nilai-nilai yang lain, 
nilai itu tidak dengan sendirinya berdiri sendiri, seperti wujud barang. 
Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, ataupun ada 
manusia yang melihatnya. Bunga di hutan itu tetap bunga, sekalipun 
ada mata manusia yang memandangnya. Akan namun  untuk nilai, nilai 
itu ada, kalau manusia tidak ada atau tidak melihatnya. Bunga-bunga itu 
memiliki nilai untuk disebut indah, kalau tidak ada pandangan manusia 
mengaguminya. sebab  nilai barulah timbul, saat  terjadi hubungan 
manusia sebagai subjek ataupun objek.
Nilai itu bersifat ide, namun tampil dalam bentuk materi, dengan 
hubungan subjek dan objek. Ide itu dimasukkan ke dalam objek, sehingga 
objek itu bernilai. Bermacam-macam faktor yang membentuk ide itu, 
yaitu naluri, pendidikan, pengalaman, lingkungan, suasana, cita-cita, 
dan lain-lain. Nilai yaitu soal apresiasi. Positif dan negatifnya (ada atau 
tidaknya) nilai bergantung pada disposisi subjek dan hubungan subjek 
dan objek. Disposisi itu ditentukan lagi oleh banyak faktor ilmu pun hadir 
yaitu sebab kebebasan nilai ilmu bicara tentang fakta yang ada, tidak 
mempersoalkan baik atau buruknya suatu fakta, indah jeleknya, berguna 
atau tidaknya. Fakta itu sesungguhnya netral, sebab manusialah yang 
memasukkan nilai ke dalamnya, maka fakta ini  mengandung nilai.
Nilai tidak melekat dengan sendirinya pada fakta, namun  terhubung 
dengan substansinya, maka suatu fakta memiliki  kepribadian sendiri 
yang akan mengarahkan pertimbangan manusia dalam menilai. Hal 
ini  pula yang memicu nilai memiliki  aspek objektif jika  
ditinjau dari segi objek nilai, dan aspek subjektif jika dilihat dari sudut 
subjek yang menilai.
Aspek subjektif memungkinkan aksidensi nilai berbeda-beda. 
Disposisi subjek yang memberikan nilai-nilai subjektif inilah yang 
menjadi penyebab perbedaan atau benturan nilai. Aspek objektif 
memungkinkan esensi nilai bertahan tetap. Esensi nilai yang yaitu 
nilai-nilai objektif inilah yang ditanamkan melalui cara edukatif dan 
imitasi sehingga membentuk jalinan.
   
Menurut Achmad Fauzi, faktor subjektif yang mempengaruhi  
pandangan menilai meliputi aspek:
1. Umur (belum dewasa, dewasa, matang);
2. Tingkatan inteligensi (rendah, menengah/normal, superior, dan 
jenius);
3. Latar belakang mempengaruhi (jenis dan tingkat pendidikannya);
4. Agama;
5. Latar belakang sosial-budaya (kebudayaan daerah, kebudayaan 
nasional).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi  terwujudnya penilaian yang 
bersifat objektif ataupun subjektif, yakni faktor pokok, faktor pelengkap 
serta faktor penuaan. Sudah menjadi kodrat manusia untuk mencapai 
hidup yang kadar makna kehidupan itu sendiri ditentukan oleh jalinan 
nilai yang telah mengendap dalam diri manusia yang bersangkutan. 
maka , jalin nilai itu yaitu pula kriteria bagi manusia 
untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupannya. Dalam pencapaian 
hidup yang bermakna, manusia berbuat, bertindak, dan berperilaku. 
Di belakang perbuatan tindakan dan perilaku itu ada  nilai yang 
menjadi motifnya. Dengan demikian jalinan nilai-nilai juga yaitu 
sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat 
hidupnya.
Nilai yaitu soal apresiasi. Positif atau negatif, ada atau tidak 
adanya nilai itu tergantung pada disposisi subjek dan hubungan subjek 
dan objek. Berbeda subjek yang menilai akan membawa perbedaan 
dalam penghargaan dan berbeda pula nilainya.
C. Manfaat Nilai
Dengan mempelajari dan menghayati arti setiap sikap tindak dan 
perilaku manusia guna mencapai pemahaman akan hakikat nilai, maka 
penerapan nilai itu akan banyak mempengaruhi  dan menjadi penting bagi 
manusia. Nilai yang dicapai dan ingin dituju oleh manusia, sejatinya 
memberi manfaat dan nilai tambah dalam kehidupannya. Hidup bukan 
sekadar perkara makan, minum, berkembang biak, dan mencapai 
kesenangan dan kebahagiaan, namun  faktor manfaat juga yaitu 
hal penting.
Dalam menjalani hidup manusia sebagai makhluk sosial akan 
saling tergantung dengan sesama manusia dan dengan alamnya. Oleh 
sebab itu, sikap tindak yang dilakukan menuntut reaksi dari sekitarnya. 
Jika nilai yang baik yang dihasilkan manusia, niscaya akan baik pula 
konsekuensi yang didapatnya sebagaimana telah disebutkan pada 
QS. An-Najm (53): 39 bahwa: “Dan bahwasanya manusia tidaklah 
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Nilai yang baik 
tentulah memiliki  manfaat. Pemilik atau pelaksana tindakan yang 
bernilai itu akan dinilai baik pula oleh sesamanya. Dengan sikap tindak 
yang baik, manusia akan merasakan nilai ikatan psikologis antara 
sesamanya.
Seorang sahabat tentu memiliki ikatan persahabatan yang memiliki 
nilai kebersamaan dan keselarasan dalam hubungan pertemanan. 
Akan berbeda nilai kebersamaan dan hasrat yang ada  dalam 
ikatan percintaan antar sepasang kekasih. Memang baik kekasih 
dijadikan sahabat alias teman hidup namun belum tentu sang kekasih 
akan bersahabat dengan pasangannya. Demikian pula sebaliknya 
persahabatan sering dihancurkan atau dengan adanya perasaan cinta 
di antara keduanya atau ketiga. Bagi penulis, manfaat nilai dalam 
kehidupan manusia dapat ditulis sebagai wujud eksistensi diri, analisis 
diri dan antarpribadi, eksom di ekspresi pilihan atas perbandingan, 
peluntur ruang dan waktu, evaluasi.
Sebagai wujud eksistensi diri, berarti dengan adanya penilaian 
timbul dari seseorang terhadap objek penilaiannya, maka secara 
otomatis penilaian yang dilontarkannya menjadi ganti dirinya di 
hadapan subjek lainnya. Seorang manusia akan merasa puas bila dapat 
menilai merasa dinilai baik oleh orang lain yang dianggapnya memiliki 
kepentingan akan dirinya. Pada satu sisi, seorang yang penuh harap 
akan penilaian lain akan mengurangi nilai ketulusan dari tindakannya 
itu. Bahkan dalam bentuk ekstrem nilai yang dikejar akan menjadi 
bumerang dan ia akan dicap sebagai penjilat.
Seseorang yang menilai pembunuhan hanya sebatas pragmatisme 
akan kebenaran atau alasan pembenar dari tindakan ini , sedangkan 
idealis akan menilai berdasarkan alasan yang memicu pembunuhan 
itu. Apakah hubungan pelaku dan korban memiliki kedekatan emosional 
atau hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan atau tidak saling 
mengenal sama sekali. Seorang materialis akan memberi nilai tindakan 
   
itu atas pembunuhan itu tetap yaitu pembunuhan apa pun 
alasannya, tapi untuknya yang menguntungkan atau merugikan siapa 
dan untuk kepentingan siapa tindakan itu.
Perbuatan yang dilakukan dengan sadar, dipikir dan ditimbang 
dahulu sebelum dilakukan akan memiliki nilai yang diyakini saat 
dilakukan. Sementara perbuatan yang dilakukan dengan tidak sadar 
yaitu tindakan reflektif sebab endapan dan jalinan nilai yang 
telah terpatri di dalam diri yang mendorongnya. Misalkan, saat melihat 
penyeberang jalan yang agak teledor, sesaat  kita akan berteriak “stop” 
guna mencegahnya, atau menjauhkannya dari marabahaya kecelakaan. 
Jika kita menimbang dahulu sebelum berteriak, maka kemungkinan 
besar si penyeberang itu akan ditabrak, atau akan terjadi kecelakaan 
beruntun akibat ada kendaraan yang ngerem mendadak. Di sini terjadi 
analisis yang sangat cepat saat kita memutuskan untuk berteriak atau 
tidak dengan keselamatan diri dari suatu peristiwa yang kemungkinan 
terjadi. Kita tidak akan sempat menilai kecerobohan si penyeberang 
jalan atau pengendara sebelum bertindak. Setelah peristiwa terjadi, 
barulah kita dapat menilai hubungan kecerobohan atau keselamatan 
di antara keduanya.
Sebagai wujud “ekspresi diri”, yang berarti bahwa seseorang yang 
memberikan satu penilaian, maka secara mempengaruhi dan merdeka telah 
menunjukkan kebebasan berpendapat menurut nalurinya yang berarti 
jujur dan bebas dari tekanan atau penilai lainnya. Dengan memberi 
penilaian, maka terjadi ekspresi atau pernyataan diri akan sesuatu yang 
akan dinilai.
Pilihan itu nyata dan sah setelah diambil dan dibuat sebagai 
keputusan. Contoh, dalam pemilihan umum. Kita memiliki  hak 
pilih. Kita harus memutuskan terlebih dahulu apakah kita mau memilih 
atau tidak. Setelah kita memutuskan untuk memilih, maka kita 
diwajibkan untuk memilih salah satu calon yang tersedia. Kita tidak 
bisa memilih lebih dari satu atau tidak memilih satu pun. sebab  kita 
sudah memutuskan untuk memilih. Jika anda pergi ke TPS tapi anda 
tidak memilih atau memilih lebih dari satu, maka suara anda tidak sah.
Nilai sebagai sarana untuk “evaluasi”, bermakna bahwasanya setiap 
penilaian dari siapa pun atau pihak mana pun akan dipandang subjektif 
Bab 4 ---  Filsafat Nilai Sebagai Leluhur dari     71
oleh penilai lainnya. Namun, fakta atau peristiwa yang melatarbelakangi 
akan tetap objektif sekalipun objek atau peristiwa yang ada ini  
yaitu hasil rekayasa. Oleh sebab itu, nilai hadir menyelaraskan 
perpaduan penilaian sementara demi terwujudnya pengertian.
D. Keseimbangan Nilai
Pergeseran nilai yang terjadi dapat dikatakan sebagai suatu 
keniscayaan, sebab meningkatnya kebutuhan dan keinginan manusia 
sehingga memicu level kepuasan akan nilai yang dituju menuntut 
level yang lebih tinggi pula. Di zaman banyak orang jujur, maka 
nilai kejujuran akan menjadi biasa dan yang tak jujur sangat rendah. 
Namun di zaman orang jujur langka seperti sekarang, maka seorang 
yang jujur akan dianggap malaikat. Sebaliknya, orang yang tidak jujur 
dianggap biasa. Artinya, nilainya bergeser dan penghargaan terhadap 
nilai pun bergeser pula. Di sini kita lihat bahwa keseimbangan tetap 
menyertai nilai.
Akibatnya, nilai-nilai kebaikan yang disampaikan sang ulama akan 
terbang hilang tak berbekas, bahkan tak jarang setelah pembacaan 
ayat suci, ceramah hikmah perkawinan, acara berlanjut ke hiburan 
dangdutan dengan “saweran” lengkap dengan goyangan biduan yang 
merangsang disertai pesta minuman keras dan sebagainya. Ingatlah 
pada QS. Al Maidah (5): 2 bahwa “Dan tolong menolonglah dalam 
kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan 
dosa dan pelanggaran”.
Pada dasarnya hakikat hukum yang ideal sebagai objek filsafat 
hukum tentunya mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat 
dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, 
tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, yaitu 
contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang 
demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum 
positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, namun  masing-
masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu 
hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan 
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, 
bidang-bidang, serta sistem hukumnya sendiri.
   
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan 
sebagaimana yang dikemukakan oleh Pound yaitu sebagai berikut:
1. Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
a.  kepentingan negara sebagai badan hukum;
b.   kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan warga .
2. Kepentingan warga  (Social Interest):
a. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c.  pencegahan kemerosotan akhlak;
d.   pencegahan pelanggaran hak;
e.  kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a.  kepentingan individu;
b.   kepentingan keluarga;
c.  kepentingan hak milik.

Riwayat kata “filsafat” berasal dari Yunani kuno dengan pengertian 
orang-orang Yunani kuno sudah lama memiliki  tradisi filsafat. Hal itu 
tidak berarti hanya di Yunani kuno saja orang-orang berfilsafat. Di Mesir 
kuno, India kuno, dan Tiongkok (Cina) kuno, orang-orang sudah pula 
berfilsafat, dengan cara, corak, dan kepribadian mereka sendiri-sendiri.
Sejarah dilihat dari perspektif filsafat, dikemukakan oleh Prof. Dr. 
R.F. Beerling: “sejarah yaitu cerita tentang manusia, yaitu tentang 
pengetahuan yang makin bertambah atau peranan yang makin penting 
yang dipegang oleh tenaga-tenaga akal-pikiran pada manusia atau 
seperti dikatakan Prof. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831): 
tentang makin bertambahnya akan kebebasan. Dikatakan: “..., sejarah 
yaitu cerita tentang kemajuan manusia. Ilmu yaitu lambang utama 
dari kemajuan itu. Ilmu makin lama makin banyak mengumpulkan 
pengetahuan”. Selanjutnya, Prof. Dr. R.F. Beerling mengemukakan: 
“sejarah pikiran filsafat menyatakan... filsafat selalu mengulangi 
penegasannya kembali mengenai hal dirinya dan kemauannya terhadap 
diri sendiri”.
Sejarah menunjukkan pada awalnya ilmu-ilmu pengetahuan 
cabang berinduk pada filsafat. Dengan lepasnya ikatan dari filsafat ini, 
spesialisme menjadi semakin intensif di satu pihak, namun  di lain pihak 
menjadikan kita kehilangan akan sumber pemikiran filsafatnya, sehingga 
munculnya ilmuwan-ilmuwan yang kehilangan visi dan orientasi 
filsafatnya. Kemungkinan muncul ilmuwan-ilmuwan kehilangan visi 
dan orientasi filsafatnya itu harus dicegah, dihindari, dan disadari agar 
hal itu tidak terjadi.
Pembahasan mengenai sejarah filsafat hukum, Prof. Dr. Drs. Lili 
Rasjidi, S.H., LLM. mengemukakan di dalam kepustakaan filsafat hukum 
ada  berbagai periodisasi atau pembabakan sejarah filsafat hukum 
dari dahulu hingga saat ini. Pada umumnya pembabakan itu: (1) zaman 
purbakala, meliputi: (a) masa Yunani kuno, mencakup: (i) masa pra-
socrates, (ii) masa socrates, Plato/Aristokles, dan Aristoteles/Aristotle, 
dan (iii) masa Stoa, serta (b) masa Romawi; (2) abad pertengahan, 
meliputi: (a) masa gelap dan (b) masa skolastik; (3) zaman renaissance 
dan zaman baru; serta (4) zaman modern.
Salah satu pembagian sederhana dalam mempelajari sejarah filsafat 
Barat dari Harry Hemersma, yaitu: (1) zaman kuno (600-400 SM); (2) 
zaman Patristik dan Skolastik (400 SM-1500 M); (3) zaman modern 
(1500-1800); dan (4) zaman sekarang (setelah tahun 1800). Prof.Darji 
Darmodihadjo,S.H. dan Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. mengemukakan 
sebutan zaman Patristik dan Skolastik dipecah menjadi dua, yaitu 
zaman Patristik dimasukkan sebagai periode terakhir dari zaman 
kuno, sedangkan zaman Skolastik yaitu penjelasan periode 
Abad Pertengahan. Masa setelah tahun 1800 dibedakan ke dalam dua 
kelompok besar, yaitu: (1) Filsafat abad ke-19 dan filsafat abad ke-20. 
Pada tiap-tiap bagian diuraikan secara singkat beberapa aliran filsafat 
yang menonjol. Sejarah filsafat Barat dibedakan ke dalam periode-
periode sebagai berikut: 1. Zaman kuno (600 SM-400 M): a. Zaman 
pra-Socrates, b. Zaman keemasan Yunani, c. Zaman Hellenisme, dan d. 
Zaman Patristik; 2. Abad Pertengahan (400-1500); 3. Zaman modern 
(1500-1800): a. Zaman Ranaissance, b. Zaman Barok, c. Zaman Fajar 
Budi, dan d. Zaman Romantik; 4. Zaman Sekarang (setelah 1800); a. 
Filsafat abad ke-19; 1) Positivisme, 2) Marxisme, dan 3) Pragmatisme, 
b. Filsafat abad ke-20: 1) Neokantianisme, 2) Fenomenologi, 3) 
Eksistensialisme, dan 4) Strukturalisme.
Di samping itu, pada zaman purbakala, sejarah filsafat hukum 
dapat ditelusuri dari berbagai belahan bumi lainnya seperti Mesir 
Bab 5 ---  Sejarah     75
kuno, Babilonia, Asiria, India kuno, dan Tiongkok (Cina) kuno. Prof.
Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H. membagi sejarah filsafat 
hukum ke dalam empat kurun zaman, yaitu: (1) zaman klasik, (2) 
abad pertengahan, (3) zaman modern, dan (4) zaman sekarang. Dalam 
buku ini secara garis besar penulis memakai  pembabakan sejarah 
filsafat hukum ke dalam tiga kurun zaman, yaitu: (1) zaman kuno, 
(2) zaman pertengahan, dan (3) zaman modern.
1. Zaman Kuno
Sejarah filsafat hukum pada zaman kuno meliputi masa Mesir kuno, 
Babilonia, Asiria, dan India kuno; masa Tiongkok (Cina) kuno; masa 
Yunani kuno; serta masa Romawi. Masa Yunani kuno mencakup submasa 
pra-Socrates; submasa Socrates, Plato/Aristikles, dan Aristoteles; serta 
submasa Stoa.
a. Masa Mesir Kuno, Babilonia, Asiria, dan India Kuno
Catatan sejarah filsafat yang tertua sejarah tahun 4.000 Sebelum Masehi 
(bC = before Christ), diungkapkan oleh Prof. Dr. Mohammad Noor 
Syam, S.H. Bahwa catatan sejarah yang tertua tentang ide-ide filosofis 
terutama berasal dari Mesir (lembah sungai Nil), di sekitar Euphrates 
dan Tigris atau Timur Tengah umumnya sejak 4000 SM sudah tumbuh 
ide-ide filsafat, terutama yang tersimpul di dalam Vedas (2500 SM). Di 
Babilonia 2400 SM, dilengkapi pula oleh catatan-catatan ajaran ethica 
Yahudi sekitar 800 SM. Sumber ide-ide filsafat dari Timur Tengah ini 
dapat dimengerti, arena wilayah ini yaitu pusat atas agama-
agama tertua yang diwahyukan Tuhan. Oleh sebab itu, bangsa-bangsa 
di wilayah ini relatif lebih awal berkebudayaan dibandingkan dengan 
wilayah lainnya. Catatan sejarah yang tertua tentang ide-ide filsafat (di 
Barat), dimulai di Yunani sekitar 760 SM. Pemikiran tentang filsafat ini 
jauh mendahului pemikiran manusia tentang ilmu (science).
Menurut Drs. Mohammad Alim Zaman, M.Pd., akar peradaban 
berasal dari peradaban Timur, yaitu dari daerah-daerah sekitar 
Mediterania yang mencakup daerah Mesir kuno, lembah Mesopotania, 
dan kawasan di luar lembah itu pada masa sekurang-kurangnya tahun 
4.000 SM. Beliau mengemukakan akar peradaban Barat ini terletak di 
Timur, ialah di suatu kawasan peradaban yang dikenal sebagai Dunia 
   
kuno. Yang dimaksud dengan Dunia Kuno yaitu peradaban yang 
terjadi di daerah-daerah sekitar Mediterania di masa Sebelum Masehi. 
Daerah-daerah yang dimaksud di antaranya Mesir kuno, Lembah 
Mesopotania mengesankan dengan monumen yang megah sejarahnya 
yang melengkapi paling sedikit 4.000 tahun dan ketenarannya sebagai 
warga  yang berpengetahuan luas dan terampil. Warisan Mesir 
dan Babilonia serupa ini telah bertahan lama lebih dari 5.000 tahun.
Berkenaan dengan peradaban-peradaban kuno Babilonia, Mesir, dan 
Asiria dalam sekitar abad ke-20 SM hingga abad ke-8 SM, Prof. Dr. JJ. 
von Schmid menuturkan berabad-abad telah lampau sebelum manusia 
mulai berpikir tentang negara dan hukum, selama itu peradaban-
peradaban yang tinggi lahir dan musnah dengan tidak diinsyafi orang 
dasar-dasar apa yang memicu warga  boleh mengadakan 
peraturan-peraturan yang mengikat penduduk, menetapkan suruhan-
suruhan dan larangan-larangan untuk perbuatan-perbuatan mereka.
Raja-raja yang maha kuasa dengan kekuasaan secara Timur dan 
sewenang-wenang, telah menindas dan membinasakan bangsa-bangsa 
dengan cara yang tak ada bandingannya di lalu  hari dan bangsa-
bangsa itu telah dikuasai dengan tidak bisa melawan, sedangkan alam 
pikiran mereka tidak memberontak dan daya berpikir tidak beradu 
dengan daya perbuatan. Kita teringat pada peradaban-peradaban 
kuno Babilonia, Mesir, dan Asiria, pada kekejaman luar biasa dalam 
paruh kedua abad ke-8 SM dari Raja Asiria Tigladpilesar III terhadap 
bangsa-bangsa yang ditaklukkannya dengan mencampuradukkan 
bangsa-bangsa itu satu sama lain dan memusnahkan mereka untuk 
selama-lamanya. Di samping itu, zaman “kebangunan manusia” itu 
juga mengenal raja-raja yang baik budi seperti pembuat undang-undang 
tertua yang dikenal, Raja Babilonia Hamurabi (± 1.800 SM) yang setelah 
menguasai Babilonia Selatan dan menjadi raja pertama dari seluruh 
Babilonia, menghapuskan pertentangan-pertentangan antara kedua 
bangsa itu dengan satu perundang-undangan sehingga dengan demikian 
ia menegakkan persatuan baru, yaitu Babilonia yang tidak terbagi-
bagi, dengan Babilon sebagai ibu kotanya. Tentang undang-undang 
Hamurabi di Babilonia sebagai undang-undang tertua yang paling 
penting dalam sejarah, dikemukakan oleh Dr. Subhi Rajab Mahmassani 
bahwa undang-undang Hammurabi (1792-1750 SM di bawah wangsa 
Hammurabi 18301530 SM) yaitu Raja Babilonia abad ke-18 SM. la 
terkenal dengan undang-undangnya yang ditemukan oleh ekspedisi 
arkeologi Prancis pada abad ke-20 Mini di Kota Susa, wilayah kerajaan 
Babilonia (yang terletak di lembah antara sungai Efrat dan sungai 
Tigris semasa sejarah dunia kuno, penulis) sebelah utara sungai Efrat. 
Undang-undang Hammurabi yang berbentuk tulisan prasasti pada batu 
ini dianggap sebagai undang-undang tertua yang tertulis dan dikenal 
orang, dan undang-undang yang dibuat orang sesudah itu dipengaruhi 
oleh undang-undang ini .Undang-undang ini  berisi hukum 
pidana, hak-hak undang Hamurabi yaitu kodifikasi hukum adat 
yang berlaku pada sewa binatang ternak, eksploitasi barang, masalah 
perkawinan, utang-istimewa pegawai pemerintah, hukum dagang, sewa-
menyewa, upah. Namun demikian, dalam undang-undang ini masih 
tampak hukum yang frutang dan soal penahanan. Juga masalah keluarga 
dan perbudakan. Terhadap budak, seperti halnya undang-undang lainnya 
di masa bersifat keras dalam menangani kejahatan, utang-piutang, dan 
perlakuan. Misalnya, hukuman mati bagi pelaku pencurian, perzinaan, 
atau perampokan, pelaku kebakaran, penculikan, penipuan, dan saksi 
palsu dalam hal yang menyangkut hukuman mati. maka , 
undang-lampau, undang ini berpegang pada hukum qisas (lex talionis) 
yaitu mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, dan seterusnya. Di samping 
kerasnya hukuman terhadap sebagian hak-hak asasi dalam undang-
undang Hammurabi ini, ia mengandung unsur penghargaan manusia. 
Khususnya dalam menghormati hak milik individu.
Menurut Dr. Theo Huijbers, sejak munculnya hukum (Undang-
Undang Hammurabi/1792-1750 SM) di Babilonia (abad ke SM) dan 
di Yunani kuno (600 SM), peraturan-peraturan yang berlaku dianggap 
berhubungan dengan kehendak Tuhan. Dalam cakrawala religius zaman 
dahulu, hukum yang dibentuk oleh seorang raja, dianggap langsung 
berasal dari Tuhan sendiri. Apa yang dikehendaki raja dianggap 
dikehendaki Tuhan. Akan namun , biasanya orang sudah yakin 
pengertian hukum yang sebetulnya tidak seluas aturan Tuhan. Pada 
zaman sekarang pengertian hukum sebagai aturan yuridis dibatasi pada 
hukum negara. Negara yaitu sumber hukum yang unggul, telah 
diakui sejak awal zaman modern.
   
b. Masa Tiongkok (Cina) Kuno
Di Cina dapat dikenali dalam kekaisaran Tiongkok telah dibutuhkan 
peraturan yang nyata guna memerintahkan ketertiban dalam warga  
luas. Titik tolak pemikiran hukum yaitu kebiasaan ritual dan sakral 
yang sejak lama menjamin kelangsungan kehidupan warga .
1) Submasa Pra-Socrates
Catatan sejarah yang tertua tentang ide-ide filsafat Barat, dimulai 
di Yunani kuno sekitar 700 SM. Pemikiran tentang filsafat ini jauh 
mendahului pemikiran manusia tentang ilmu. Berkenaan dengan sejarah 
filsafat pada zaman Yunani kuno Pra-Scrates, H. Endang Saifuddin 
Anshari, M.A. memaparkan yang pertama-tama menarik perhatian para 
filosofis Yunani kuno yaitu masalah alam. Ditandai dengan munculnya 
kelompok filsafat alam yang ditokohi oleh Thales, Anaximandros/
Anaximander, Anaximanes.
2) Submasa Socrates, Plato, dan Aristoteles
Gagasan filsafat socrates berarti kesadaran akan kemanusiaannya yang 
lalu  filsafat sebelumnya hanya sebagai pusat gagasan mengenai 
mite-mite dan alam dialihkan pada pusat gagasan mengenai manusia 
dan kenyataan kehidupan yang dialami dalam keseharian.
Menurut Plato/Aristokles filsafat tidak lain yaitu ilmu pengetahuan 
yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Dalam pandangan Plato/
Aristokles, tujuan hidup ialah mencapai kesenangan hidup.
Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, socrates dianggap sebagai bapak 
dari filsafat Barat. Filsafat masa pra socrates yaitu awal kebangkitan 
filsafat, tidak hanya di belahan dunia Barat, namun  juga kebangkitan 
filsafat secara umum. Tokoh utama yang mempersoalkan Thales, 
Anaximandros/Anaximander, dan Anaximenes. Thales berpendapat asal 
muasal alam ini yaitu air, bagi Anaximander/Anaximandros yaitu 
to apeiron (suatu zat yang tidak tentu/tidak terbatas sifat-sifatnya). 
Anaximanes berpendapat alam berasal dari udara.
Persoalan yang dipertanyakan oleh socrates tidak lagi tentang inti 
alam atau keberadaan manusia di alam seperti di zaman filosofis di alam, 
namun  sudah bergeser kepada pertanyaan tentang bagaimana manusia 
dapat hidup dengan baik dalam warga , agar tercapai keadilan dan 
kemakmuran. Menurut Drs. Mohammad Hatta, socrates sesungguhnya 
bukanlah seorang filosof, namun  pemikir. Ia tidak pernah mengajarkan 
filsafat, namun  bagaimana hidup berfilsafat.
Aristoteles/Arisstotle yaitu mahasiswa Plato di Akademi Athena. 
Sebagai filosof modern berpendapat bahwa Aristoteles/Aristotle yaitu 
titik banding bagi pola pikir Plato/Aristokles yang satu saat dia diikuti, 
namun  terkadang disempurnakannya. Oleh sebab itu, filsafatnya yaitu 
ajaran tentang kenyataan atau antologi suatu cara berpikir realistis, yang 
menjadi lawannya cara berpikir idealistis.
3) Neoplatonisme
Tokoh utama aliran Neoplatonisme yaitu Platinus (203-269), seorang 
filosof dari Mesir. Aliran ini pertama kali dirintis oleh Ammonius Sakkas 
(175-242). Ajaran ini yaitu sintetis dari berbagai aliran yang 
pernah muncul sampai saat itu, namun  Platinus memberikan tempat 
khusus kepada pemikiran-pemikiran Plato. Oleh sebab itu aliran 
ini disebut Neoplatonim, yaitu mengajak kembali kepada pemikiran 
Plato. Neoplatonisme yaitu aliran terakhir yang muncul pada 
puncak keemasan filsafat Yunani kuno. Setelah Plotinus wafat, aliran 
ini sempat dikembangkan oleh muridnya bernama Porphyrios yang 
berhasil menuliskan kembali pemikiran gurunya.
Inti Neoplatonisme berpangkal pada konsep kesatuan. Segala 
sesuatunya berasal dari Yang Satu dan kembali ke Yang Satu itu pula. 
Tampak ada dua proses, yaitu proses dari atas ke bawah dan proses 
dari bawah ke atas. Dalam proses emanasi, sesuatu yang bertaraf 
tinggi tidak mengalami perubahan dan kesempurnaannya tidak pula 
berkurang. Neoplatonisme tidak hanya dianut di Eropa, namun  juga 
mempengaruhi  pemikir-pemikir Islam terkemuka seperti Abu Yusuf ibn 
Ishaq bin Sabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash ats bin Qaissal-Kindi/Al-
Kindi (801-873). Beliau dipandang sebagai filosof Arab yang berusaha 
mendamaikan antara warisan-warisan Hellenisme dan Islam.
4) Masa Patristik
Masa patristik dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu patristik 
Yunani kuno dan patristik latin. Patristik Yunani berpusat di Athena 
dan Patristik latin berpusat di Kota Roma (Italia). Dalam memandang 
filsafat Yunani kuno, sejak semula ada  perbedaan sikap dari pemuka 
   
agama Kristen. Sikap pertama bersifat menolak sebab beranggapan 
filsafat Yunani itu bertentangan dengan wahyu dari ilahi. Sikap kedua 
bersifat kompromi, dengan menyatakan terlepas dari pertentangan yang 
ada antara filsafat Yunani dengan agama Kristen, filsafat Yunani tetap 
diperlukan sebagai pembuka jalan kepada penerima Injil.
5) Submasa Epikurisme
Ajaran epikurisme dirintis oleh Epicurus (341-270 SM). Epikurisme 
menonjol dalam pandangannya tentang etika. Filsafat epikurisme 
bertujuan mencapai kenikmatan hidup manusia. Kenikmatan hidup 
baru tercapai jika  baru tercapai ketenangan batin. Ketenangan batin 
sering kali gagal diperoleh manusia, sebab selalu diancam oleh rasa 
takut kepada para dewa, yang sesungguhnya tidak masuk akal. Manusia 
harus memiliki ketenangan hidup, bukan sebaliknya, kenikmatan yang 
memiliki manusia. Agar dapat mencapai itu, manusia harus membatasi 
keinginan-keinginan hidupnya.
6) Submasa Stoa
Masa ini ditandai dengan adanya mazhab Stoa, yaitu suatu mazhab yang 
memiliki  kebiasaan memberi pelajaran di gang-gang atau lorong-
lorong tonggak (Stoa). Pemikir utamanya bertindak sebagai pemimpin 
mazhab yaitu filosof Zeno (336-264 SM). Stoisisme dirintis oleh Zeno 
(336-264 SM), Stoisisme berasal dari kata “Stoa” (berarti gang-gang 
atau lorong-lorong tonggak) memiliki tiga tahapan, yaitu:
a) Ajaran Stoa berkembang pada zaman Yunani kuno dengan tokoh 
antisthenes;
b) Muncul pada masa Hellenisme (150-100 SM); 
c) Ajaran Stoa yang pragmatis bangkit kembali pada masa Romawi.
Menurut ajaran ini, manusia yaitu bagian dari alam, sehingga ia 
wajib untuk hidup selaras dengan alam. Alam berjalan menurut rasio 
sendiri, sehingga sama kejadian sudah ditentukan oleh alam.
c. Masa Romawi
Puncak kejayaan Romawi berlangsung selama sekitar tujuh abad (abad 
ke-2 SM - abad ke-5 SM). Dr. Subhi Rajab Mahmassani menerangkan 
Bab 5 ---  Sejarah     81
Hukum Romawi berkembang selama 14 abad, sejak didirikannya kota 
Roma abad ke-8 SM sampai wafatnya Kaisar Romawi Justinianus 
abad ke-6 Masehi. Dalam rentang sejarah yang panjang ada  
bermacam-macam sumber hukum. Di antaranya, di samping tradisi 
yaitu hukum yang lahir dari negara, ijtihad para hakim dan hasil studi 
para ahli hukum. Hukum perundang-undangan pada zaman Romawi 
lahir dari para raja, majelis pertimbangan agama, majelis rakyat, atau 
dari para kaisar.
2. Zaman Pertengahan
Zaman pertengahan lazim disebut abad pertengahan (476-1453) dimulai 
setelah keruntuhan kerajaan Romawi abad ke-5 M. Dikatakan abad 
pertengahan sebab zaman ini berada di tengah-tengah dua zaman, 
yaitu zaman kuno dan zaman modern. Tokoh filsafat abad pertengahan 
Santo Aurelius Augustinus (354-430) dan Santo Thomas van Aquinas/
Santo Thomas van Aquino (1225-1274).
Menurut B. Delfgaauw, terhadap pemikiran Yunani kuno, filsafat 
abad pertengahan skolastik mewakili aliran pikiran lain yang terlihat 
jelas, baik sebab menyangkut waktunya yang berbeda maupun sebab 
menyangkut kelompok bangsa lain, yaitu kelompok bangsa Eropa Barat. 
Zaman pertengahan atau abad pertengahan ini berlangsung 10 abad 
hingga abad ke 15 M. Sejarah filsafat hukum pada abad pertengahan 
meliputi dua masa, yaitu:
a. Masa Kegelapan
Masa kegelapan atau masa tidur panjang selama 10 abad di dunia Barat 
dimulai dengan runtuhnya kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa 
lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara, yaitu disebut 
suku-suku Gemania. Oleh sebab itu, tiadanya peninggalan apa pun 
dari suku bangsa yang berkuasa, para ahli masa kini sukar untuk secara 
pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini. Yang pasti dapat 
diketahui ialah agama Kristen mulai berkembang pesat disebabkan 
oleh suasana kehidupan suku-suku. Manusia dalam keadaan serupa 
perlu adanya ketenteraman dan kedamaian, memerlukan adanya suatu 
pegangan hidup yang akan mengakhiri tidak tenteraman, agama Kristen 
memenuhi tuntutan ini .
   
b. Masa Skolastik
Corak pemikiran hukum pada masa Skolastik didasari oleh ajaran 
Kristen. Ajaran ini mulai setelah lahirnya mazhab baru yang disebut 
Neo-Platois, dengan Platinus sebagai tokohnya yang utama. Menurut 
pendapatnya, Tuhan itu yaitu hakikat satu-satunya yang paling 
utama dan paling luhur, yang yaitu sumber dari segala-galanya. 
Tokoh lain yang sangat terkenal di masa ini antara lain Santo Thomas 
van Aquinas/Santo Thomas van Aquino (1225-1274), Marsilius van 
Padua/Marsilius dari Padua/Marsiglio dari padua (1270-1340), dan 
william Occam(1280-1317).
3. Zaman Modern
a. Masa Awal Modern
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin pada akhir abad ke-5 yaitu 
modernus yang dipakai  untuk membedakan orang Kristen dan orang 
Romawi dari zaman Pagan. Setelah itu, menurut Turner (2003), istilah itu 
dipakai  untuk menunjukkan “masa kini” yang berbeda dari masa lalu.
1) Akar Kebudayaan Barat
 Menurut Drs. Mohammad Alim Zaman, M.Pd., kebudayaan Barat 
tumbuh dari tiga akar, yaitu:
a) Hellas, ialah kebudayaan Yunani kuno;
b) Roma, negara dunia berpendidikan;
c) Dunia Nasrani, ialah kehadiran sintesis baru.
2) Masa Renaissance, Aufklarung, Rationalism, Enlightenment, 
dan Positivism
 Masa ini secara umum dapat dibagi ke dalam lima sub masa, yaitu:
a) Submasa Renaissance, cirinya ialah manusia menemukan 
kembali kepribadiannya. Artinya, alam pikiran manusia tidak 
terikat lagi oleh ikatan-ikatan keagamaan.
b) Submasa Aufklarung, disebut juga sebagai periode pematangan 
rasio manusia.
c) Submasa rasionalism, dasar rasionalisme diletakkan oleh Rene 
Descartes, khususnya dalam bukunya Discours d ela Methode 
(Risalah tentang metode).

d) Submasa Enlightenment, Prof. Dr. Ir. Herman Soewardi men-
jelaskan abad ke-18 bagi eropa yaitu abad pencerahan 
(Enlightenment). Artinya keyakinan pada kemampuan otak 
manusia yang tidak terbatas, kepada manusia menggantungkan 
dirinya untuk kemajuannya.
e) Submasa positivism, dengan Prof. Immanuel Kant hukum 
alam akan diakhiri. Tahun 1795 terbit karangannya ”Menuju 
Perdamaian Abadi”.
b. Masa Modern
1) Teori Hukum Menggarap Persoalan pada warga 
2) Pandangan     Idealisme Transendental
a) Pandangan Immanuel Kant, mewujudkan dan mengem-
bangkan hasil pemikiran filsafat selama berabad-abad dalam 
suatu sistem yang luas dan mendalam, telah memberikan 
landasan yang baru kepada pemikiran modern, yang tidak 
dapat diabaikan oleh filsafat yang muncul sesudahnya.
b) Pandangan J.F. Fichte, disimpulkan dari kesadaran makhluk 
yang berakal. Tidak ada makhluk yang berakal yang dapat 
membayangkan dirinya tanpa aktivitas yang bebas dari dirinya 
dan orang lain.
c) Pandangan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seluruh 
tugas filsafat yaitu mempertahankan pendirian dan secara 
konsekuen ia dengan tegas menolak tiap antinomi atau konflik, 
dualisme antara ide dan pengalaman atau antara akal dan 
kenyataan.
3) Kritik Terhadap Pandangan     Idealisme Transendental
 Prof. Dr. Wolfgang Friedmann, LLD., LLM. mengajukan kritik 
terhadap pandangan-pandangan ketiga filosofis besar. Pengaruh 
Prof. Immanuel Kant, Prof. J.F. Fichte, dan Prof. Georg Wilhelm 
Friedrich Hegel sebagai eksponen yang terkemuka dari idealisme 
Jerman atas filsafat hukum Eropa sangat besar.
4) Pemikiran Baru Hukum Ditandai Persoalan Kebutuhan
 Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 hukum yang ditandai 
dengan tumbuh pemikiran baru mengenai persoalan kebutuhan, 
   
keinginan, dan pengharapan manusia, diungkapkan Prof. Dr. Roscos 
Pound, M.A. Bahwa pada akhir abad yang lalu dan pada awal abad 
ini, cara pemikiran baru tumbuh. Sarjana hukum mulai berpikir 
dalam istilah kebutuhan, keinginan, dan pengharapan manusia, 
dan tidak lagi berbicara tentang kemauan. Mereka mulai berpikir, 
yang harus mereka lakukan bukanlah semata-mata menyamakan 
dan menyelaraskan kemauan, namun  jika tidak akan menyamakan, 
sekurang-kurangnya menyelaraskan pemuasan kebutuhan.
5) Penentangan dari Paham Romantisisme
 Pada abad ke-19 selain tampil Prof. John Austin dengan positivisme 
hukum yang analitisnya, lahir pula ajaran sejarah yang didasarkan 
atas paham romantisme yang dipelopori Prof. Dr. Driedrich Carl 
von Savigny dan Georg Friedrich Puchta. Ajaran ini yaitu 
penentangan dari teori positivisme hukum analitis dan berusaha 
meyakinkan dunia ilmu hukum bahwa das Recht es nicht gemancht, 
aberist und wird mil dem volke. Buah pikiran Prof. Dr. Driedrich Carl 
von Savigny, walaupun tidak sepenuhnya berhasil melumpuhkan 
pikiran positivisme hukum, pengaruhnya sangat luas dan dasar-
dasar pikirannya banyak menjadi landasan hukum positif beberapa 
negara (negara kita , misalnya yang ada pada zaman Hindia Belanda 
memberlakukan hukum adat bagi golongan negara kita  asli).
6) Kebangkitan Idealisme Hukum
 Pemikiran hukum dewasa ini mirip dengan pemikiran dalam 
abad ke-17 dan ke-18 sebagai kebangkitan idealisme hukum 
menunjukkan adanya gejala pertumbuhan dan perbaikan hukum. 
Prof.Dr. Roscoe Pound, M.A. menulis dalam hubungan ini pemikiran 
orang pada dewasa ini lebih mirip dengan pemikiran abad ke-17 
dan ke-18 dibandingkan  pemikiran abad ke-19. Pengarang-pengarang 
Prancis melukiskan gejala ini sebagai “kebangkitan idealisme 
hukum”. Akan namun , pada hakikatnya aliran yang dipercaya yang 
baik dan bagi warga  harus diukur dengan kegunaan tindakan 
dalam membantu tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi 
sebagian besar anggota warga , yang dianut orang pada waktu 
ini, dan filsafat hukum alam dari abad ke-17 dan ke-18, memiliki  
kesamaan dalam satu hal saja, yakni masing-masing menghadapkan 
perhatiannya kepada gejala pertumbuhan masing-masing berusaha 
membimbing dan melanjutkan perbaikan hukum secara sadar.

7) Polizei Staat, Rechtsstaat, dan Rule of Law
 F. Isjwara, S.H., LLM. menuturkan dalam abad ke-18, dengan 
timbulnya aliran liberalisme di Eropa Barat atau dalam sistem 
hukum/tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law system), seperti 
Prancis, Jerman, Belanda, ditariklah suatu garis tajam yang 
memisahkan suasana yang dikuasai negara dan kehidupan sosial 
individu, atau dengan perkataan lain, antara kekuasaan dan suasana 
kebebasan.
8) Masa Sekarang
 Prof. Dr. Darji Darmodiharjo, S.H., dan Dr. Shidarta, S.H., 
M.Hum. menyebutkan dengan filsafat zaman sekarang. Mereka 
mengemukakan filsafat zaman sekarang yaitu pematangan 
lebih lanjut dari filsafat pada zaman modern. Filsafat zaman 
sekarang ditandai beberapa gerakan pemikiran yang dapat dibagi 
ke dalam:
a) Filsafat Abad Ke-19, mencakup: positivisme, marxisme, dan 
pragmatisme.
b) Filsafat Abad Ke-20, meliputi: neokantianisme, eksisten-
sialisme, fenomenologi, dan strukturalisme.
c. Masa Posmodern
Istilah “posmodern”, menurut Hassan dan Charles Jencks dalam I. 
Bambang Sugiharto (1996), muncul pertama kalinya dalam bidang 
seni. Istilah itu dipakai  oleh Federico de Onis pada 1930-an dalam 
tulisannya “Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamerica” untuk 
menunjukkan reaksi dari dalam terhadap modernisme.
Menurut Featherstone, istilah “posmodern” yaitu istilah 
generik (turunan). Awalan pos berarti “sesuatu yang datang sesudah, 
pecahkan dari atau pemutusan hubungan dengan”. Istilah “posmodern” 
lebih cenderung sebagai “bentuk penegasan terhadap modern, suatu 
perpecahan atau pergeseran dari gambaran definitif modern”. Menurut 
Prof.Jean Francois Lyotard, awalan pos menekankan sesuatu “setelah 
bukan sebelum modernisme, dan memiliki tujuan mendasar “hybrid”, 
yaitu mengibarkan yang modern dan budaya lokal (Charles Jencks, 
1992). Dalam membahas posmodern ada  lima hal di dalamnya 
yang perlu memperoleh penjelasan seperlunya, yaitu:
   86
1) Modernitas, menurut Prof. Dr. Max Weber Jr. (1864-1924), 
Ferdinand Tonnies (1885-1936), dan Simmel, modernitas yaitu 
proses-proses yang melahirkan negara industri kapitalis modern.
2) Posmodernitas, menurut Madan Sarup posmodernitas menekankan 
berbagai bentuk identitas individu dan sosial yang berbeda-beda.
a) Modernitas awal, tahap ini yaitu periode renaissance (1455-
1690) sampai dengan permulaan revolusi industri.
b) Modernitas, kebangkitan revolusi industri membawa masuk 
ke tahap simulacrum yang kedua. Modernitas yaitu zaman 
kaum borjuis, zaman kemenangan produksi industri.
c) Posmodernitas, kita sekarang berada pada tahap simulacrum 
yang ketiga, tahap model. Dalam sistem sekarang, yang 
terbentuk setelah Perang Dunia II (1 September 1939-8 Mei 
1945), landasan teoretis sistem kekuasaan telah bergeser dari 
ekonomi politik marxis ke semiologi strukturalis. Apa yang 
dipandang Karl Max sebagai bagian model yang nonesensial, 
seperti iklan, media, informasi, dan jaringan komunikasi, 
berubah menjadi bagian esensial.
3) Modernisasi, istilah modernisasi sering dipakai  untuk merujuk 
pada tahap-tahap perkembangan sosial yang didasarkan pada 
industrialisasi.
4) Modernisme, berkaitan dengan rangkaian gaya kultural atau estetik 
tertentu yang diasosiasikan dengan gerakan seni yang dimulai 
kurang lebih pada abad yang lalu (abad ke-19) dan mendominasi 
berbagai bentuk seni sampai sekarang.
5) Posmodernisme, yaitu nama gerakan di kebudayaan kapitalis 
lanjut, secara khusus dalam seni. ada  pengertian bila 
orang melihat modernisme sebagai kebudayaan modernitas, 
maka posmodernisme akan dipandang sebagai kebudayaan 
posmodernitas. Istilah “posmodernitas” muncul pertama kali 
di kalangan para seniman dan kritikus di New York pada 1960 
dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah 
seorang di antaranya Prof. Jean Francois L, dalam bukunya yang 
sangat terkenal berjudul The Postmodern Condition: A Report of 
Knowledge (1984), menyerang mitos yang melegitimasi zaman 
modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui 

ilmu, dan gagasan filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk 
proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara 
universal valid untuk seluruh umat manusia.
B. Perbedaan Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat 
di Dunia Islam
H. Priyono (1993) menyebutkan empat bidang besar yang menjadi 
titik pembeda antara filsafat Barat dan Filsafat Timur, yang secara khas 
dihayati oleh masing-masing budaya, yaitu tentang:
1. Pengetahuan
2. Sikap terhadap alam
3. Ideal atau cita-cita hidup
4. Status persona
I. Tentang pengetahuan, dalam filsafat Barat, rasio (akal budi) 
memegang peranan utama. Sedangkan dalam filsafat Timur 
menekankan pada unsur intuisi. Jika dalam budaya Barat, 
belajar ditunjukkan untuk mampu menjawab tantangan alam, 
sedangkan dalam budaya Timur sebaliknya, belajar ditunjukkan 
untuk mendidik manusia menjadi bijaksana.
II. Tentang sikap terhadap alam, tampak Filsafat Barat bersifat 
eksploitatif. Dengan ilmu dan teknologi yang dikuasainya, alam 
ditaklukkan dan dikuras untuk kepentingan manusia. Dalam 
hal itu, Filsafat Timur memandang alam memiliki jiwa.
Secara umum perbedaan Filsafat Barat dan Filsafat Timur itu dapat 
dilihat berikut ini: 
1. Buatan - asli
2. Suka konflik - suka hidup damai
3. Aktif - pasif
4. Mandiri - bergantung pada pihak lain
5. Cepat – lamban
6. Bersifat menciptakan – bersifat meneruskan
7. Progresif - konservatif
8. Rasional – intuitif
   88
9. Eksperimental – teoretis
10. Ilmiah – artistik
11. Materialistis – kerohanian
12. Fisik – psikis
13. Mengutamakan duniawi – mengutamakan ukhrowi
14. Alam dikuasai manusia – manusia dan alam sejajar
15. Individualistis – kolektivistis
C. Negara Menjadi Pemain Utama 
Dengan merujuk kepada pendapat Giorgio de Santillana dalam 
tulisannya The Age of Adventure dalam seri The Mentor Philosophers, 
1959, halaman 9, F. Isjwara, S.H., LLM., memaparkan memang benar jika 
dikatakan, bahwa setiap zaman sedikit banyaknya mengalami transisi. 
Akan namun , ada beberapa zaman yang bersifat lebih transitoir dibandingkan  
zaman lainnya, umpannya saja, zaman Renaissance (1455-1690) dari 
abad ke-16 dan ke-17 dan abad ke-20. Dewasa ini kita mengalami suatu 
peralihan besar-besaran, di mana negara menjadi pemain utama dan 
menjadi faktor positif dalam pembinaan keadilan dan kemakmuran 
warga  dan individu.
D. Lintasan Sejarah    
1. Zaman Klasik
 Dalam kurun zaman klasik dibagi dalam dua zaman yakni zaman 
Yunani kuno dan zaman Romawi. Zaman Yunani kuno berlangsung 
600-200 SM, peristiwanya polis (city state, stad staat, negara kota), 
Iskandar Zulkarnain/Iskandar Agung/Alexander Agung (356-323 
SM). Zaman Romawi berlangsung 200 SM – 400 M, peristiwanya 
hukum Romawi, agama Kristiani, akhir kekaisaran, dengan 
tokohnya Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dan Seneca (2-65 M).
2. Abad Pertengahan
 Dalam kurun zaman pertengahan atau abad pertengahan (hukum 
dan agama) berlangsung 500-1400 M, peristiwanya Roma Barat 
(476 M), Codex Justinianus (534 M), agama Islam (622 M), 
hukum Islam, Eropa Kristiani akhir kekaisaran Byzantium (1453 
Bab 5 ---  Sejarah     89
M), ada  aliran skolastik, nominalisme, dengan tokohnya 
Santo Aurelius Augustinus, William Occam/William Ockham, dan 
Marsilius van Padua/Marsilius dari Padua/Marsiglio dari Padua.
3. Zaman Modern
 Dalam kurun waktu modern dibagi menjadi tiga zaman yakni zaman 
renaissance (manusia menemukan kembali kepribadiannya), zaman 
aufklarung (paham pencerahan), dan pada abad ke-19. 
4. Zaman Sekarang
 Berlangsung 1900 M sampai sekarang, peristiwanya revolusi Rusia 
(1917), deklarasi universal hak-hak manusia (1948), akhir zaman 
kolonialisme, ada  aliran neokantianisme, neohegelianisme, 
neomarxisme, neopositivisme, sosiologi hukum fenomenologi, 
eksistensialisme, teori-teori hukum alam.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 6 ---  Karakteristik     91
A. Pengertian Karakteristik Filsafat
Membahas tentang Karakteristik bisa diartikan juga dengan membahas 
tentang kekhususan atau ciri-ciri dari suatu hal yang akan menjadi 
keidentikan atau simbol dari hal ini . Filsafat dapat diidentikan 
dengan berpikir atau merenungkan segala sesuatu demi mendapat 
kepastian sebagai jawaban akhir dan filsafat cenderung dengan 
pemikirannya yang rasional agar nantinya dapat diterima oleh akal. Perlu 
digarisbawahi, apakah segala bentuk pemikiran ataupun perenungan 
yang dilakukan oleh manusia dapat dianggap sebagai aktivitas berfilsafat, 
tentunya tidak. sebab  di dalam filsafat sendiri ada standar-standar yang 
dipakai  sebagai acuan orang dianggap berfilsafat. Dapat disimpulkan 
bahwa segala aktivitas berpikir tidak selalu merujuk pada aktivitas 
berfilsafat, namun setiap aktivitas berfilsafat sudah tentu berpikir.
B. Karakteristik Filsafat
Karakteristik yang menjadi tolak ukur dalam berfilsafat ada  tiga 
komponen utama di antaranya:
1.  Radikal
 Dari segi bahasa radikal berasal dari kata radix yang berarti akar 
atau disebut juga dengan arche. Berpikir radikal, artinya berpikir 
sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada 
konsekuensinya yang terakhir, berpikir itu tidak separo-separo, 
tidak berhenti di jalan, namun  terus sampai ke ujungnya. Hal ini 
pula yang menjadikan ciri khas yang dimiliki filsafat berbeda 
dengan ilmu pengetahuan biasanya yang hanya terpacu 
dari penggunaan asumsi, sedangkan dalam filsafat asumsi pun 
dibicarakan dan diciptakan.
2.  Sangat Umum atau Universal
 Berpikir universal tidak berpikir khusus, terbatas pada bagian-
bagian tertentu, namun mencakup secara keseluruhan. Yang 
lalu  dideskripsikan bahwa filsafat cenderung mengkaji segala 
hal yang menyangkut keseluruhan, baik masalah ada dan tidaknya 
pun juga termasuk dalam pembahasannya, tanpa ada konsep suatu 
ilmu tertentu yang menjadi pembatasannya.
3.  Sistematis
 Berpikir sistematis, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah 
demi selangkah dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang 
bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Yang berarti 
di mana perbincangan mengenai segala sesuatu itu dilakukan secara 
teratur, bersistem, tersusun, sehingga urutan dan tahapannya 
mengikuti aturan tertentu, dengan akibat mudah atau dapat diikuti 
siapa saja. Yang nantinya hasil dari hal ini  dapat diuji ulang 
oleh orang lain dengan tanda kutip hal ini  dikembalikan lagi 
bahwa harus hanya ada satu pengertian saja di antara berbagai 
asumsi yang berkembang.
Selain ketiga komponen utama yang menjadi sifat  dari 
filsafat itu sendiri masih ada beberapa komponen-komponen pendukung 
yang juga masih memiliki kaitan, di antaranya:
1.  Faktual
 Dideskripsikan bahwa hasil dari pemikiran filsafat cenderung 
sebagai praduga atau anggapan-anggapan rasional tanpa 
kungkungan dari adanya dasaran ilmu ilmiah seperti masalah  yang 
ada pada ilmu lain. Hal ini dikarenakan filsafat membentuk asumsi, 
tidak seperti ilmu pengetahuan kebanyakan yang berdiri di atas 
dasar adanya asumsi.

2.  Bersangkutan dengan Nilai
 C.J. Ducasse mengatakan bahwa Filsafat yaitu usaha untuk 
mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian. 
Yang dibicarakan dalam penilaian yaitu tentang yang baik dan 
buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu 
usaha untuk mempertahankan nilai. Nilai-nilai ini  nanti 
akan memunculkan terbentuknya tatanan nilai dalam segala aspek 
kehidupan.
3.  Berkaitan dengan Arti
 Segala yang berharga dan dianggap perlu dipertahankan 
keberadaannya dapat disimpulkan mengandung hal yang berarti. 
Bagi para filosof-filosof demi mengungkapkan gagasan yang 
mengandung kepadatan makna, perlu adanya penciptaan kalimat-
kalimat dengan bahasa yang logis dan tepat (ilmiah). Hal ini  
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari adanya keambiguan 
atau kesalahpahaman pemaknaan.
4.  Implikatif
 Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung 
implikasi (akibat logis). Dari implikasi ini  diharapkan akan 
mampu melahirkan pemikiran baru sehingga akan terjadi proses 
pemikiran yang dinamis: dari tesis ke antitesis lalu  sintesis, 
dan seterusnya.... sehingga tidak habis-habisnya. Pola pemikiran 
yang implikatif (dialektis) akan dapat menyuburkan intelektual. 
Sehingga dari hasil pemikiran –pemikiran ini  masih memiliki 
kemungkinan akan adanya rencana tindak lanjut dari segala gagasan 
yang telah ada.
Sedangkan Menurut Wirodiningrat (1981: 113), filsafat memiliki  
sifat  sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Yang 
dapat diartikan bahwa:
1. Menyeluruh dalam arti segala yang dijadikan pemikiran ataupun 
pengkajian di dalam filsafat tidak terbatas sekat-sekat aturan yang 
ada pada ilmu-ilmu lain. Hal ini membuktikan bahwa pembahasan 
dalam filsafat itu luas dan tidak terpaut dengan satu pemahaman 
dalam sudut pandang tertentu, yang di mana hasil dari pengkajian 
filsafat dapat dipakai  untuk mengetahui hubungan cabang-
cabang ilmu yang beragam. 
   
2.  Mendasar dalam arti kajian yang dilakukan di dalam filsafat bersifat 
menghakikat yang diartikan bahwa ulasan yang dibahas di dalam 
filsafat telah melalui tahapan detail dan pemikiran yang mendalam. 
Hal ini, membuat hasil dari pemikiran filsafat dapat dijadikan 
pedoman bagi cabang-cabang ilmu yang lain.
3.  Spekulatif dalam artian segala hasil pemikiran filsafat yang dijadikan 
pedoman oleh ilmu-ilmu lain, telah membuka celah sebagai cikal 
bakal terbentuk dan ditemukannya ilmu-ilmu baru.
Menurut Mohammad Noor Syam, filsafat memiliki  sifat 
atau ciri komprehensif, relatif, dan subjektif. Filsafat yaitu satu 
lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang sangat luas 
(komprehensif). Filsafat menjangkau semua persoalan dalam daya 
kemampuan pikir manusia. Filsafat mencoba mengerti, menganalisis, 
menilai, dan menyimpulkan semua persoalan dalam jangkauan rasio 
manusia secara kritis, rasional, dan mendalam. Dengan perkataan 
lain, kesimpulan-kesimpulan filsafat bersifat hakiki, meskipun masih 
relatif dan subjektif. Kedua sifat terakhir ini tidak dapat dihindarkan 
sebab adanya sifat alamiah kodrati pada subjek yang melakukan 
aktivitas berfilsafat itu sendiri. Yaitu manusia sebagai subjek selalu 
dalam proses perkembangan, baik rohani maupun jasmani. Terutama 
sifat subjek yang selalu cenderung memiliki watak subjektivitas, akan 
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang subjektif pula. Faktor-faktor 
inilah yang melahirkan aliran-aliran filsafat, perbedaan-perbedaan dalam 
filsafat. Bahkan dapat pula berupa pertentangan-pertentangan asasi, 
kontradiksi-kontradiksi ajaran dan sebagainya.
Mohammad Noor Syam menampilkan pula sifat  filsafat, 
yaitu kontemplatif (contemplative), spekulatif (speculative), dan deduktif 
(deductive). Beliau menjelaskan filsafat sebagai bidang penyelidikan, 
sebagai disiplin atau ilmu, memiliki  metode tertentu. Umumnya 
diketahui filsafat terutama memakai  metode kontemplatif, 
spekulatif, dan deduktif. Pada filsafat hukum sebagai suatu bidang 
penyelidikan dan suatu disiplin atau ilmu, memiliki  cara bekerja 
melalui kontemplatif, spekulatif, dan deduktif. Hal ini berarti 
kontemplatif, spekulatif, dan deduktif berlaku dalam filsafat hukum.
Bab 6 ---  Karakteristik     95
1. Kontemplatif dalam filsafat hukum
 Merenung yaitu suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, 
yaitu memikirkan segala sesuatu sedalam-dalamnya. Kita dapat 
membayangkan proses perenungan (contemplative) itu berlangsung 
lama, dalam keadaan tenang dan hening sungguh-sungguh, dalam 
kesendirian atau kapan dan di manapun. Pada filsafat hukum 
berlaku pula metode kontemplatif.
2. Spekulatif dalam filsafat hukum
 Filsafat sangat wajar memakai  metode spekulatif (speculative) 
yang juga berarti perenungan atau merenung itu. Oleh sebab bukan 
saja objeknya yang tidak terbatas, melainkan juga tujuannya ialah 
untuk mengerti hakikat sesuatu. Mengerti hakikat sesuatu berarti 
kita harus menyelami melalui sesuatu secara lebih mendalam. 
Wajar melalui perenungan dengan pikiran yang tenang, kritis, pikir 
murni. Cenderung menganalisis, menghubungkan antarmasalah, 
berulang-ulang sampai mantap. Pada filsafat hukum berlaku pula 
metode spekulatif. 
3. Deduktif dalam filsafat hukum
 Filsafat, sesuai dengan scope dan objeknya yang tidak terbatas itu, 
maka metode yang dipakainya bersifat deduktif. Berpikir dengan 
metode deduktif ini dimulai dari realita yang bersifat umum, guna 
mendapat kesimpulan tertentu yang khusus. Dalam batas-batas 
tertentu, filsafat memakai  metode ilmiah termasuk induktif, 
untuk mendapatkan kebenaran yang valid, melalui checking, re-
checking, dan cross-checking. Pada filsafat hukum berlaku pula metode 
deduktif. 
Theo Huijbers berpendapat bahwa sifat  filsafat yaitu 
reflektif, juga universal, metodis, dan sistematis. Hal itu ada  
dalam uraiannya: “Metode yang khas bagi suatu pemikiran filsafat ialah 
refleksi yang atas pengalaman-pengalaman dan pengertian-pengertian 
tentang sesuatu hal dalam cakrawala yang universal;…..diminta untuk 
pengolahan pikiran secara ilmiah, yakni metodis dan sistematis. 
maka , filsafat hukum sebagai suatu bidang penyidikan dan 
suatu disiplin atau ilmu yang memiliki  sifat  kontemplatif, 
spekulatif, deduktif, metafisis, reflektif, universal, metodis, dan 
sistematis.
   
Keterkaitan cabang-cabang ilmu yang satu dengan ilmu yang lain 
dapat dititiktemukan dengan adanya pengkajian dari filsafat. Filsafat 
dengan sifat nya dapat melahirkan dugaan-dugaan baru yang 
nantinya dapat ditindaklanjuti sebagai cikal bakal terbentuknya cabang-
cabang ilmu pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu, pentingnya akan 
pemahaman dan mengetahui, menyadarkan besar pentingnya peran 
dari sifat  filsafat. 
Karakteristik filsafat hukum itu mencakup: (1) filsafat hukum 
membahas masalah-masalah hukum yang sifatnya umum; (2) filsafat 
hukum yaitu subspesies dari spesies etika dan genus filsafat; 
(3) filsafat hukum yaitu kegiatan dan hasil pemikiran tinggi, 
luas, dan mendalam secara kontemplatif, spekulatif, deduktif, reflektif, 
komprehensif, sinoptis, metafisis, kritis, rasional, transendental, 
integral, dan universal mengenai hakikat hukum; (4) filsafat hukum 
memandang hukum sebagai perwujudan nilai, sistem norma, dan alat 
untuk mengatur warga ; (5) filsafat hukum mengkaji segala sesuatu 
secara mendasar/mendalam/fundamental/radikal (radix, berarti akar); 
(6) filsafat hukum menjadi induk dari semua refleksi teoretis tentang 
hukum; (7) filsafat hukum berperan meneratas jalan bagi pertumbuhan 
dan pengembangan ilmu-ilmu hukum baik ilmu hukum normatif 
maupun ilmu hukum sosiologis; (8) variasi pemikiran dalam filsafat 
hukum menimbulkan bermacam-macam aliran atau ajaran filsafat 
hukum yang mengandung konsepsi-konsepsi atau teori hukum di 
dalamnya serta; (9) telaah filsafat hukum atas kehidupan kenegaraan/
ketatanegaraan dapat melahirkan fondamen filsafat/filsafat dasar, 
pandangan/pendirian hidup nasional, cita-cita hukum, norma dasar, 
norma asal/norma sumber, norma fundamental negara, jiwa bangsa, 
asas kerohanian negara, dan adi cita atau ideologi nasional, serta cara 
hidup bangsa suatu negara.

A. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun 
yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari 
sejarahnya, menurut Friedmann (1990: 47), aliran ini timbul sebab 
kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum 
alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi. 
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui 
penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan 
ini  mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum 
eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum 
yang sengaja dibentuk oleh manusia (Soerjono Soekanto, 1985:5-6). 
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat 
dibedakan dalam dua macam, yaitu:
1. Aliran Hukum Alam Irasional
Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku 
universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. 
Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber 
hukum yang universal dan abadi itu yaitu rasio manusia. Pandangan 
yang muncul setelah zaman Renesanse (era saat  rasio manusia 
dipandang terlepas dari tertib ketuhanan) berpendapat bahwa hukum 

alam ini  muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang 
baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) 
alam. Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain:
a. John Salisbury (1115-1180)
 Menurutnya jika masing-masing penduduk bekerja untuk 
kepentingan sendiri, kepentingan warga  akan terpenuhi 
dengan sebaik-baiknya (Schmid, 1965: 91). Salibury juga 
melukiskan kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam 
sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua 
unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis. 
Pemikiran Salisbury dituangkannya dalam suatu kumpulan buku 
yang diberi judul Policraticus sive de Nubis Curialtum et Vestigiis 
Pholosophorum Libri VIII. Selain itu, ada  bukunya yang 
berjudul Metalogicus.
b. Dante Alighieri (1265-1321) 
 Seperti halnya dengan filsuf-filsuf abad pertengahan, filsafat Dante 
sebagian besar yaitu tanggapan terhadap situasi yang kacau 
balau pada masa itu. Baik Jerman maupun Prancis pada abad 
pertengahan menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus 
di Roma. Dante, dalam hal ini berada pada kubu penguasa. Ia 
amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja. 
Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan jika  pelaksanaan 
hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa pemerintahan 
yang absolut. Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap 
kekuasaan monarki yang bersifat mondial. Monarki dunia inilah 
yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara 
penguasa yang satu dengan lainnya. Dasarnya hukum yang dijadikan 
pegangan yaitu hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum 
Tuhan. Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi 
dari Tuhan sebagai monarki dunia ini yaitu Kekaisaran Romawi. 
Hanya saja, pada abad pertengahan ternyata Kekaisaran Romawi 
itu sudah digantikan oleh kekuasaan Jerman dan lalu  Prancis 
di Eropa. Karangan Dante yang penting berjudul De Monarchia.
c. Piere Dubois (lahir 1255)
 Dubois yaitu salah satu filsuf terkemuka Prancis. Kedudukannya 
sebagai pengacara Raja Prancis pada masa itu selaras dengan 
Bab 7 ---  Aliran-Aliran     99
pandangan-pandangannya yang pro penguasa. Ia mencita-
citakan suatu kerajaan Prancis yang mahaluas, yang menjadi 
penguasa tunggal dunia. Di sini tampak, bahwa Dubois 
sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal. 
Sama seperti filsuf Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa 
(raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa 
perlu melewati pemimpin Gereja. Bahkan, Dubois ingin agar 
kekuasaan duniawi Gereja (Paus) dicabut dan diserahkan 
sepenuhnya kepada raja. Menurut Schmid (1965:108-109), dalam 
beberapa hal pemikiran-pemikiran Dubois telah mampu menjawab 
kebutuhan hukum pada abad-abad lalu . Misalnya saja, ia 
mengusulkan agar hubungan negara-negara (di bawah kekuasaan 
Prancis) itu diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita 
pada badan PBB sekarang. Ia juga menyatakan, bahwa raja pun 
memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, namun  raja tidak 
terikat untuk mematuhinya. Bukunya yang terpenting yaitu De 
Rescuperatione Terre Sance (Tentang Penaklukan Kembali Tanah 
Suci).
d. Marsilius Padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317)
 Pemikiran Marsilius Padua sering kali diuraikan bersama-sama 
dengan pemikiran William Occam, mengingat keduanya banyak 
persamaannya. J.J. von Schumid (1965:109) menyebutkan, kedua 
orang ini termasuk tokoh penting abad ke-14, sama-sama dari 
ordo Franciscan, dan pernah memberi kuliah di universitas di 
kota Paris. sebab  pertentangannya terhadap pemikiran Gereja, 
kedua orang ini juga sama-sama dikeluarkan dari Gereja oleh 
Paus. Padua berpendapat bahwa negara berada di atas kekuasaan 
Paus. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pendapatnya 
tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Padua 
juga berpendapat bahwa tujuan negara yaitu untuk memajukan 
kemakmuran dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada 
warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. 
maka , hukum harus mengabdi kepada rakyat. Bahkan, 
rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahnya. Rakyat 
boleh menghukum penguasa (raja) ya