Home » filsafat hukum 2 » filsafat hukum 2
Rabu, 31 Mei 2023
kan pernah
damai, kecuali dengan mengingat Tuhan. Keinginan manusia pada
hakikatnya tidak terbatas, di mana mereka tidak pernah puaskan apa
yang telah diperolehnya. Sementara di pihak lain, manusia sangat
berhasrat agar posisinya ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan
yang Maha Abadi. Oleh sebab itu, sinergitas otonomi dan dependensi
manusia pada Tuhan yang secara kasat mata kontradiktif, haruslah
berada dalam kesatuan yang seimbang
Pertanyaan yang lalu muncul terkait otoritas Tuhan dan
otonomi manusia yaitu sejauh mana otoritas Tuhan pada manusia
dan sejauh mana delegasi Tuhan kepada manusia? Untuk menjawab
pertanyaan otoritas Tuhan, pada dasarnya ada dua pendekatan
(approach). Pertama, manusia digambarkan sebagai makhluk yang hanya
mengikuti seluruh ketentuan Tuhan yang telah digariskan. Dalam hal
ini, manusia dipandang seperti “robot” yang dikendalikan dengan
sebuah remote control. Kedua, manusia digambarkan sebagai makhluk
otonom penuh, di mana otoritas Tuhan sepenuhnya ada tanpa batasan
dan keterbatasan.
Kedua pendekatan di atas, dalam ranah filsafat agama dapat diurai
ke dalam dua konsep yang menyatakan hubungan Tuhan dengan
manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan
manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa,
manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat. Perbuatan manusia
sebetulnya yaitu perbuatan Tuhan. Konsep ini dalam literatur Arab
disebut dengan Jabariah, yang berasal dari bahasa Arab yang artinya
Jabara kata ini lalu menjadi paham jabariah. Dalam bahasa Inggris
disebut predestination (fatalisme).
Manusia dalam aliran ini dapat dianalogikan seperti mobil balap
yang bergerak jika digerakkan dengan remote control yang dikendalikan
oleh seseorang yang memegang remote control ini . Ditinjau dari
kekuasaan mutlak Tuhan, aliran jabariah tidak bertentangan dengan
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Namun, dari segi
kebebasan manusia paham ini menimbulkan persoalan yang cukup
rumit, seperti apa arti dosa dan pahala dalam agama kalau perbuatan
Bab 3 --- Manusia dan Pengetahuan 49
manusia tidak hakiki, sedangkan yang hakiki yaitu perbuatan Tuhan
lagi dia tidak bebas berkehendak dan bebuat?
Konsep kedua, perbuatan manusia yaitu hakiki bukan kiasan.
Manusia memiliki kebebasan dalam berbuat, sedangkan Tuhan
hanya berperan menciptakan sifat daya kebebasan itu pada manusia.
Penggunaan daya kebebasan itu sendiri diserahkan kepada manusia.
Paham ini yang dalam bahasa Arab disebut Qadariah. Konsep kedua
ini, dalam bahasa Inggris biasa dikenal free will. saat dihadapkan pada
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Paham ini seakan-akan
membatasi kekuasaan mutlak Tuhan. Tuhan tidak bebas lagi berbuat
bebas sebab Dia terikat dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan
kepada manusia, seperti Tuhan tidak bisa mencabut sifat kebebasan
yang telah diberikan kepada manusia atau mengubah pemberian pahala
kepada orang jahat dan menyiksa orang baik.
3. Manusia sebagai Makhluk Berpikir
Aristoteles mengatakan bahwa manusia yaitu binatang yang memiliki
rasional (animal rationale), yang membedakannya dengan binatang.
Manusia dipandang sebagai satu-satunya binatang yang sepenuhnya
hidup, sementara binatang yang lain tak memiliki perasaan dan tak tahu
suka dan duka. Sehingga, binatang-binatang lain dipandang hanyalah
mesin-mesin setengah hidup.
Animal rationale manusia telah menempatkan manusia dengan ciri
yang istimewa. Keistimewaan ini terwujud dalam kemampuan
manusia untuk memakai rasio (akal pikirannya) yang mengantarkan
manusia pada level atau strata yang lebih dari ciptaan-ciptaan
Tuhan lainnya. Keistimewaan ini semakin lengkap dengan
ditempatkannya wujud kemampuan berpikir pada satu struktur yang
padu dengan perasaan dan kehendak manusia itu sendiri. Dalam konteks
ini, maka berpikir dapat dipandang sebagai suatu fitrah kodrati manusia
yang selalu melekat pada manusia di mana dan dalam kondisi apa pun.
Tuhan sebagai penetap fitrah kodrati manusia, telah memerintahkan
manusia untuk memakai potensi berpikirnya sebagaimana
firman Allah dengan kata-kata “afalatatafakarun” (apakah kamu tidak
berpikir), “afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal). “tandzur”
(maka perhatikanlah), dan sebagainya. Firman-firman Allah ini
50
yang ditemukan dalam Al-Qur’an, pada hakikatnya dipandang sebagai
stimulus yang memicu manusia berpikir.
Ajakan berpikir yang dibumikan Allah dalam firman-Nya dapat
dilihat seperti: ”Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap
ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-
Qur’an itu yaitu benar”. Dalam surah lain, Allah berfirman bahwa “Dan
Kami turunkan dari langit, air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan
dengan air itu pohon-pohon dan biji tanaman yang diketam”. Selanjutnya,
“Maka hendaklah manusia memerhatikan dari apakah ia diciptakan dari air
yang terpancar. Yang keluar antara tulang sulbi laki-laki dan dada perempuan”.
Ketiga surat ini yaitu bukti autentik betapa berpikir
yaitu bagian langsung dari proses transformasi yang Tuhan
inginkan kepada manusia. Surat Fushshilat ayat 53 memberi petunjuk
tentang makna berpikir induktif yang melibatkan penalaran dalam
memperoleh kesimpulan yang bersifat umum (mayor) dari kenyataan
yang bersifat individual (minor). Ayat 9 surat Qaaf memberi stimulus
agar manusia berpikir tentang hidrologi, energi, sumber daya air,
hubungan air, dan unsur hara sebagai unsur vital tanaman untuk
tumbuh dan berkembang. Sementara stimulus dan acuan pengetahuan
tentang kejadian manusia yang dipikirkan dapat ditemukan dalam surat
at-Thariq ayat 5-7.
Untaian stimulus-stimulus Tuhan dalam firman-Nya sebagaimana
diuraikan di atas, pada hakikatnya memberi ruang yang cukup kepada
manusia untuk melakukan proses pengolahan diri yang dimulai dengan
suatu pertanyaan mendasar yaitu apa yang dipikirkan? Pertanyaan ini
berpusat pada proses dialog dengan diri manusia itu sendiri. Pertanyaan-
pertanyaan terasa “sepele” dan mungkin terabaikan. Akan namun ,
lalu terjelmakan menjadi pertanyaan-pertanyaan “sepele” yang
penting. Siapa saya? Saya mau ke mana? dan pertanyaan-pertanyaan
pengenalan diri lainnya menjadi menu pokok dalam proses dialogis ini.
Pertanyaan tentang pengenalan diri yaitu proses yang akan
mengantarkan manusia pada fase di mana manusia memahami hakikat
manusia sebagai manusia. Proses berpikir yang terjadi di dalamnya
menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi pada diri, lingkungan,
dan apa saja yang menjadi dan bias pada diri manusia sebagai sebuah
ekosistem. Proses ini diharapkan melahirkan manusia dengan kerangka
Bab 3 --- Manusia dan Pengetahuan 51
pikir yang kritis dan kreatif, di mana pada saat yang bersamaan seorang
manusia memuji dan mengkritisi dirinya sendiri.
Dalam proses pengenalan diri manusia, kadang kala diketemukan
manusia-manusia yang stag pada pertanyaan sebagaimana di atas
dengan argumentasi Tuhan telah meletakkan ketetapannya atas diri
saya dan saya tak ingin bertanya tentang siapa saya. Pada tahapan
perkembangan manusia berpikir, manusia-manusia yang terlena akan
hidup dan kehidupannya lalu lebih berpikir pragmatis dan
praktis yang berdasar pada tingkat keperluan minimal. Sehingga dalam
praktiknya, tingkat ketergantungan manusia akan manusia dan bahkan
benda-benda lainnya (baca: makhluk) menjadi sangat dominan melebihi
ketergantungannya pada Tuhan.
B. Pengetahuan
Pada hakikatnya menyoal tentang pengetahuan akan dimulai (commenced)
dengan pertanyaan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh
pengetahuan ini . Pengetahuan pada dasarnya dipandang sebagai
mental state yang terproses melalui interaksi untuk dapat mengenali
dan mengetahui tentang suatu objek. Dalam proses lahir (embrio)
pengetahuan ini , maka pengetahuan dapat di
peroleh melalui media, sebagai berikut:
1. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Indra
Indra yaitu salah satu media untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam proses ini media indra lebih bersifat subjektif. Subjektif dalam
pemaknaan bahwa ia terletak pada pengetahuan yang diperoleh melalui
respons indra terhadap apa yang dilihat dan dirasakannya. Contohnya,
kalau tertabrak atau terinjak mobil pasti sakit. Proses pengetahuan
dari contoh ini yaitu sakit yang dirasakan diketahui setelah terinjak,
yang sebelumnya tidak diketahui. Gambaran konkret ini menunjukkan
proses subjektivitas indra untuk memperoleh pengetahuan. Tentunya
proses mendapatkan pengetahuan melalui indra disadari tidak
memiliki struktur dan metode, sebab tidak jelasnya indikator yang
dapat dipakai untuk mengujinya. Indra mendapatkan kesan-kesan
dari apa yang ada di alam semesta yang diproses dan dikumpulkan
52
(diasimilasi) pada diri manusia dan lalu direfleksikan dalam
bentuk pengetahuan. Proses asimilasi yang dilakukan indra haruslah
didukung oleh instrumen biologis yang ada dalam tubuh manusia yang
lalu akan ditransformasikan ke dalam bentuk kesadaran yang aktif.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra melibatkan organ-
organ tubuh yang akan menerjemahkan respons indra dalam bentuk
pengetahuan. Tentunya, respons indra ini tidak akan sama dengan
esensi dan eksistensi dari benda. Pada beberapa literatur, pengetahuan
yang diperoleh melalui indra dapat dibedakan pada pengetahuan yang
bersifat internal dan eksternal. Dikotomi ini lahir sebagai bentuk impuls
indra yang mempengaruhi organ-organ eksternal atau ia disebabkan
oleh sikap mental atau stimulasi otak tanpa pengaruh tambahan pada
organ-organ eksternal.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang bersifat eksternal
berhubungan dengan respons organ-organ tubuh dalam menerima
kesan yang ada yang sangat terbatas. Dalam hal ini, berimplikasi pada
rangsangan yang ditransformasikan ke otak menimbulkan determinasi
daya indra dan aktualisasi yang lalu menghasilkan suatu citra
indriawi.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang bersifat internal
pada dasarnya berperan pada proses penciptaan persepsi. Panca indra
internal bekerja untuk menstimulasi ingatan, imajinasi, dan akal
sehat sehingga akan berfungsi dalam menyempurnakan kerja panca
indra ekstern yang merespons benda di sekelilingnya secara sepotong-
sepotong. Oleh sebab itu, pengetahuan yang diperoleh melalui
indra tidaklah dapat dikesampingkan dalam proses mendapatkan
pengetahuan. sebab , pengetahuan yang diperoleh melalui indra yaitu
yaitu tahap awal dalam proses untuk mendapatkan pengetahuan
dalam proses pencarian dan pemaknaan yang dilakukan baik pada alam
semesta (makrokosmos) maupun manusia itu sendiri (mikrokosmos).
2. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Science
Hakikat pengetahuan yang diperoleh melalui science yaitu pengetahuan
rasional empiris. Sehingga hipotesis yang dihasilkannya pun harus
berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus rasional. Misalnya,
untuk sehat diperlukan gizi, telur banyak mengandng gizi, sebab itu,
Bab 3 --- Manusia dan Pengetahuan 53
logis bila semakin banyak makan telur akan semakin sehat. Hipotesis
ini belumlah diuji kebenarannya. Kebenarannya bak rumah dugaan.
namun hipotesis itu telah mencukupi dari kerasionalannya. Dengan
kata lain, hipotesis do was. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya
hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Selanjutnya masalah empiris. Untuk menguji hipotesis di atas,
maka (kebenarannya) harus mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk
menguji hal itu, haruslah dipakai metode eksperimen dengan cara
mengambil satu atau dua sampel kampung yang disuruh makan telur
secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan
mengambil satu atau dua kampung yang lain yang tidak boleh makan
telur, juga selama setahun itu, sebagai kelompok kontrol. Pada akhir
tahun, kesehatan kedua kelompok itu diamati. Hasilnya, kelompok
kampung yang makan telur rata-rata lebih sehat. Dengan eksperimen
ini , dapatlah dibuat sebuah kesimpulan awal bahwa semakin
banyak telur dimakan akan semakin sehat, dengan demikian telur
berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah mengikuti alur
pembuktian terhadap hipotesis yang dilakukan secara berulang-ulang,
maka hipotesis tadi dapat berubah menjadi teori.
Teori yang dimaksudkan bahwa semakin banyak makan telur
semakin sehat atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan,
yaitu teori yang rasional-empiris. Teori seperti inilah yang disebut
teori ilmiah (scientific-theory). maka , dapatlah dikatakan
bahwa alur pikir yang rasional-empiris sebagaimana diuraikan di atas
juga berlaku dalam teori science.
Jika kerangka alur pikir dalam perolehan pengetahuan melalui
science dengan metode ilmiah, maka dapat dirumuskan dalam bentuk
baku metode ilmiah yaitu rasionale hypothetico verificatif (buktikan bahwa
itu rasional tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Pada dasarnya, cara
kerja science yaitu kerja mencari hubungan sebab akibat atau mencari
pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Science tidak memberikan nilai
baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau
tidak indah, science hanya memberikan nilai benar atau salah. Kenyataan
inilah yang memicu ada orang menyangka bahwa science itu netral.
Dalam konteks seperti itu memang ya, namun dalam konteks lain belum
tentu ya.
54
saat science menitikberatkan hubungan sebab akibat, maka
science tentulah memiliki objek (yaitu, objek yang diteliti sains). Dalam
pandangan Jujun, yang dimaksud dengan objek science yaitu semua
objek yang empiris. Dalam ini, objek kajian science hanyalah objek yang
berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Oleh sebab ini objek
kajian science haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti
yang empiris yang harus ditemukan yaitu bukti-bukti yang empiris.
Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah
dirumuskan dalam hipotesis.
Pertanyaan yang menarik lalu untuk diajukan sehubungan
dengan objek yaitu apakah objek yang boleh diteliti oleh science itu
bebas atau tidak? Hal ini dapat diartikan apakah science boleh meneliti
apa saja asal empiris? Objek-objek yang dapat diteliti oleh science
banyak sekali seperti alam, tumbuhan, hewan, dan manusia, serta
kejadian-kejadian di sekitar alam. Dari penelitian itulah muncul teori-
teori science. Teori-teori itu dapat berkelompok atau dikelompokkan
dalam masing-masing cabang science.
Menjawab pertanyaan di atas, tentunya akan menimbulkan
kontroversi tersendiri. Hal ini dikarenakan dalam kebebasan yang
melekat pada science mengenai apa yang dapat diteliti sepanjang empiris,
maka menurut filsafat agama, mungkin hal ini bertentangan. Hal
ini dikarenakan science memiliki keterbatasan dalam membuktikan
apakah segala sesuatu itu rasional atau tidak. Dalam hal terjadi masalah
yang dihadapi oleh manusia, maka science juga menyelesaikannya
dengan pendekatan science.
Ilmu memudahkan kehidupan sejak kampung itu berdiri ratusan
tahun yang lalu, sampai tahun-tahun belakangan ini penduduknya hidup
dengan tenang. Tidak ada kenakalan. Anak-anak dan remaja begitu
baiknya, tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, tidak mencuri, tidak
membohongi orang tuanya. Senang sekali bermukim di kampung itu.
Tiba-tiba jalan raya melintasi kampung itu. Listrik dipasang penduduk
mendapat listrik dengan harga murah dan penduduk pun senang.
Beberapa tahun lalu , anak mereka nakal. Anak mereka sering
berkelahi, mabuk, mencuri, membohongi orang tuanya. Penduduk sering
bertanya “Mengapa keadaan begini?” Mereka menghadapi masalah.
Mereka memanggil ilmuwan, meminta bantuannya untuk menyelesaikan
Bab 3 --- Manusia dan Pengetahuan 55
masalah yang mereka hadapi. Apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan
itu? Ternyata ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, ia mengidentifikasi masalah. Ia ingin tahu seperti apa kenakalan
remaja yang ada di kampung itu. Ia ingin tahu lebih dahulu, secara
persis, misalnya beberapa orang, siapa yang nakal, malam atau hari
apa saja kenakalan itu dilakukan, penyebab mabuk, berkelahi dengan
siapa, dan apa penyebabnya. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya atau
selengkap-lengkapnya tentang kenakalan yang diceritakan oleh orang
kampung kepadanya, ia seolah-olah tidak percaya begitu saja pada
laporan orang kampung ini , ia mengidentifikasi masalah itu.
Identifikasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian,
hasil penelitian itu ia analisis untuk mengetahui secara persis segala
sesuatu di seputar kenakalan itu tadi.
Kedua, ia kembali mencari teori tentang sebab-sebab kenakalan remaja.
Biasanya ia cari dalam literatur. Ia menemukan ada beberapa teori yang
menjelaskan sebab-sebab kenakalan remaja. Di antara teori itu ia pilih
teori yang diperkirakan paling tepat untuk menyelesaikan masalah
kenakalan remaja di kampung itu. Sekarang ia tahu penyebab kenakalan
remaja di kampung itu.
Ketiga, ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori yang
menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa
memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia
sudah tahu penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus
dilakukan oleh pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua
remaja, dan polisi, serta penegak hukum.
Demikian biasanya cara ilmuwan menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Itu yaitu cerita tentang cara science menyelesaikan
masalah. Cara filsafat dan mistik tentu lain lagi. Langkah baku science
dalam menyelesaikan masalah: identifikasi masalah, mencari teori,
menetapkan tindakan penyelesaian.
3. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Filsafat
Menurut arti kata, filsafat terdiri atas kata philein yang berarti cinta
dan hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-
sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh
akan kebenaran sejati.
Menurut pengertian umum, filsafat yaitu ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Filsafat yaitu ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan
tentang hakikat menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi
segala sesuatu. Dengan cara ini, maka jawaban yang akan diberikan
berupa kebenaran yang hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut
kata-katanya.
Dengan pengertian khusus, sebab filsafat telah mengalami
perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang kompleks, maka timbul berbagai pendapat tentang arti filsafat
dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang
filsafat, seperti:
a. Rasionalisme yang mengagungkan akal.
b. Materialisme yang mengagungkan materi.
c. Idealisme yang mengagungkan ide.
d. Hedonisme yang mengagungkan kesenangan.
e. Stoikisme yang mengagungkan tabiat saleh.
Perbedaan pandangan dalam filsafat yaitu sesuatu yang lumrah.
Hal ini dikarenakan setiap orang mencoba mengonstruksi bangunan
filsafat yang diketahuinya berdasarkan proses yang dilaluinya, baik
dalam konteks makrokosmos maupun mikrokosmos. Perbedaan ini juga
dipengaruhi oleh kebebasan berpikir yang melingkupi para penggiat
filsafat sejak dahulu hingga sekarang untuk menemukan kebenaran
dan kebijaksanaan.
Perbedaan ini juga telah bermuara pada lahirnya aliran-aliran
yang memiliki kekhususan masing-masing, yang menekankan kepada
sesuatu yang dianggap dan harus diberi tempat yang tinggi. Oleh sebab
itu, berangkat pada deskripsi di atas, maka filsafat dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. Filsafat yaitu hasil pikiran manusia yang kritis dan dinyatakan
dalam bentuk yang sistematis.
b. Filsafat yaitu hasil pikiran manusia yang paling dalam.
Bab 3 --- Manusia dan Pengetahuan 57
c. Filsafat yaitu refleksi lebih lanjut dibandingkan ilmu pengetahuan atau
pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan.
d. Filsafat yaitu hasil analisis dan abstraksi.
e. Filsafat yaitu pandangan hidup.
f. Filsafat yaitu hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam,
mendasar, dan menyeluruh.
Dari rangkuman ini dapat dikemukakan bahwa ciri-ciri
bersifat yaitu sebagai berikut: deskripsi, kritis atau analisis, evaluatif
atau normatif, spekulatif, mendalam, mendasar, dan menyeluruh.
Seorang yang berfilsafat biasanya yaitu seorang yang monolog.
Monolog dalam artian bahwa proses dialog yang dilakukannya. Sehingga
dalam beberapa kesempatan dapat diumpamakan sebagai seseorang
yang berpijak di bumi sedang mengadah ke bintang-bintang. Atau
seseorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan
lembah di bawahnya. Masing-masing ingin mengetahui hak dirinya
atau menyimak kehadirannya dalam kesemestaan alam (makrokosmos)
yang ditatapnya.
Seorang ilmuwan yang filsafati tidak akan pernah puas mengenal
ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat
ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan
moral, dengan agama, apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada
dirinya. Filsafat dalam konteks ini akan menjelajahi dan menelaah segala
kejadian sampai lalu proses interaksi pemikiran ini akan
membangun sebuah konstalasi yang jelas dan pasti menurut penemuan
pemikiran. Sehingga seorang yang berpikir filsafat, tidak hanya
menengadah diri menatap dan memaknai bintang-bintang akan namun
secara perlahan orang yang berpikir filsafat juga akan membongkar
tempat berpijaknya secara fundamental.
Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa
ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan
kriteria ini dilakukan? Lalu benar itu apa? Pertanyaan itu melingkar
sebagai sebuah lingkaran, yang untuk menyusunnya, harus dimulai
dari sebuah titik, sebagai awal sekaligus sebagai akhir. Lalu bagaimana
menentukan titik awal yang benar?
58
Tidaklah mungkin manusia mengangguk pengetahuan secara
keseluruhan, bahkan manusia tidak yakin pada titik awal yang
menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Ini hanya sebuah spekulasi.
Menyusun sebuah lingkaran memang harus dimulai dari sebuah
titik, bagaimanapun spekulatifnya. Yang penting dalam prosesnya
nanti, dalam analisis maupun pembuktiannya, manusia harus dapat
memisahkan spekulasi mana yang paling dapat diandalkan. Tugas
utama filsafat yaitu menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang
disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini
ada tujuannya?
Semua pengetahuan yang ada, dimulai dari spekulasi. Dari
serangkaian spekulasi dapat dipilih buah pikiran yang paling dapat
diandalkan yang yaitu titik awal dari penjelajahan pengetahuan.
Tanpa menerapkan kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak
mungkin pengetahuan lain berkembang atas dasar kebenaran. Tanpa
menetapkan apa yang disebut baik dan buruk, tidak mungkin bicara
tentang moral. Tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek, tidak
mungkin berbicara tentang kesenian. Oleh sebab itu, dengan berfilsafat
maka akan melahirkan proses dialogis dalam menemukan makna
kebenaran dan kebijaksanaan yang hakiki. Hakikat dasar inilah yang
lalu akan diwujudkan dalam bentuk-bentuk lain (cabang filsafat),
seperti filsafat agama, filsafat hukum, filsafat nilai, dan lain sebagainya.
4. Pengetahuan yang Diperoleh Melalui Mistik
Mistik yaitu pengetahuan yang tidak rasional; pengertian yang
yaitu pandangan warga awam (umum). Adapun pengertian
mistik bila dikaitkan dengan agama yaitu pengetahuan (ajaran atau
keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan
spiritual, bebas dari ketergantungan pada indra dan rasio.
Pengetahuan mistik yaitu pengetahuan yang tidak dapat
dipahami oleh rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi
tidak dapat dijelaskan secara rasional. Pengetahuan ini kadang-kadang
memiliki bukti empiris namun kebanyakan tidak dapat dibuktikan
secara empiris.
Bab 3 --- Manusia dan Pengetahuan 59
Di dalam Islam, yang termasuk pengetahuan mistik ialah
pengetahuan yang diperoleh melalui jalan tasawuf. Pengetahuan yang
diperoleh misalnya tercakup dalam istilah marifah, al-ittihad, atau
hulul. Pengetahuan mukasyafah, juga yaitu pengetahuan mistik dalam
tasawuf yang diperoleh memang bukan melalui jalan indra atau jalan
rasio.
Dalam kehidupan sehari-hari di warga , ditemukan berbagai
contoh mistik, misalnya kekebalan. Kekebalan dipandang sebagai
pengetahuan mistik sebab tidak dapat dijelaskan melalui logika sebab
akibat. Orang dapat kebal sebab latihan-latihan tertentu dan bekerjanya
hasil pelatihan tidak dapat dipahami oleh rasio. Yang tidak dapat
dipahami oleh rasio yaitu hubungan sebab akibatnya atau mengapa.
namun pengetahuan ini (kekebalan) dapat dibuktikan secara empiris.
Sufi besar ternyata tidak kagum terhadap kekebalan atau yang
sejenis dengan itu. Pada suatu hari saat ada orang yang menyampaikan
berita kepada Abu Yazid. Bahwa si fulan dapat pergi ke Mekkah hanya
dalam satu malam saja. Abu Yazid menjawab, apa yang harus diherankan,
setan juga dalam tempo sekejap dapat pergi dari barat ke timur, padahal
ia dilaknat Allah. Pada waktu yang lain ada orang yang menyampaikan
berita lain kepada Abu Yazid bahwa si fulan dapat berjalan di atas air.
Abu Yazid menjawab, ular pun dapat berjalan di atas air dan bahkan
dapat berada di dalam air dan burung dapat terbang di angkasa.
Pengetahuan mistik (sebetulnya pengetahuan yang bersifat mistik)
yaitu pengetahuan yang suprarasional namun kadang-kadang memiliki
bukti empiris. Dalam bahasa lain dapat disebutkan sebagai metarasional.
Metarasional ini yaitu suatu tahapan yang menunjukkan keterbatasan
alam pikir manusia, akan namun objek keterbatasan ini tetaplah
sesuatu yang rasional. Dalam konteks objek pengetahuan mistik, maka
sifat objek ini juga merujuk pada sifat metarasional. Objek dalam
pandangan metarasional yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh
rasio manusia, namun empiris sifatnya. Adapun hasil yang dicapai pun
metarasional.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 4 --- Filsafat Nilai Sebagai Leluhur dari 61
A. Hakikat Nilai
Manusia itu yaitu makhluk yang dengan perbuatannya berhasrat untuk
mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai sama dengan harga. Hidup
itu memiliki harga atau nilai. Berapa harganya, kita sendiri yang
menentukan melalui tindakan kita. Apa yang memicu hidup itu
memiliki nilai? Aristoteles memulainya dengan mengatakan bahwa
dalam semua perbuatannya senantiasa ada kehendak mengejar sesuatu
yang baik. Oleh sebab itu, “baik” yaitu sesuatu yang dikejar atau
yang dituju. Jika kita meninjau segala sesuatu yang dituju manusia
dalam perbuatannya, maka nilai itu ada dua macam, yakni nilai yang
dikejar sebab nilai itu sendiri, misalnya orang tidak mengejar uang
untuk uang, melainkan uang untuk gunanya dalam jual beli. Orang
tidak mengejar hiburan untuk hiburan, melainkan agar sesudah hiburan
dapat bekerja lagi. Dan nilai yang kedua yaitu nilai yang dikejar
sebagai tujuan. Nilai yang satu ini yaitu dorongan yang khusus
bagi manusia sebagai makhluk yang berbudi. Jadi, nilai tujuan ini ialah
kesempurnaan mempengaruhi manusia.
Tujuan nilai yang dituju dalam setiap perbuatan itu memiliki
arti yang diharapkan. Dalam mengharapkan nilai dari perbuatannya,
melakukan persangkaan-persangkaan sebelum melakukan pun setelah
melakukan persangkaan tadi ditinjau ulang oleh si pelaku untuk
mengetahui apakah tujuannya itu telah tercapai. Nilai itu disadari dan
diakui oleh si pelaku sebagai nilai yang sah, sehingga ditetapkan nilai
perbuatan itu, perbuatan berikutnya memiliki kepastian nilai sebab
telah ditetapkan tadi.
Hidup itu bermakna gerak. Bersamaan dengan hadirnya ruang dan
waktu untuk mengeksiskan keduanya tentulah memiliki isi, yakni hidup
itu sendiri. Manusia dalam hal ini berperan sebagai pelaku dan yang
diperlukan lewat tindakan. Dalam tiap tindakan selalu ada motif yang
mengiringi. Motif yaitu alasan yang melandasi setiap tindakan
manusia. Secara sadar manusia akan bereaksi terhadap lingkungan
dan sesamanya. Tindakan manusia itu bernilai, bila dia sadar akan
tindakannya. Bila tidak dilandasi kesadaran tindakan itu tidak bernilai,
atau dapat dikatakan sebagai tindakan insting (naluriah). Misalnya,
tanpa sadar orang menggaruk kepala bila kebingungan atau orang yang
berlari ke sana ke mari tanpa membawa apa-apa sebab panik saat
terjadi kebakaran.
Dasar awal manusia bertindak bisa jadi sebab ada sesuatu yang
ingin dicapainya. Kalau yang ditujunya itu tercapai, puaslah dia, sebab
terpenuhi tujuannya itu. Kepuasan terjadi tentunya bila sesuatu yang
dipandangnya ini berharga dan tercapai. Tiap yang berharga
itu tentulah mengandung nilai sebagai tuntunannya, dan karenanya
manusia dalam setiap tindakannya digerakkan oleh nilai-nilai. Dua
tindakan yang sama, namun belumlah tentu memiliki nilai yang sama,
artinya berbeda nilai yang dikandungnya, berbeda pula penghargaan
terhadap tindakan-tindakan itu. Membunuh seseorang dengan tujuan
untuk mendapatkan harta atau kedudukannya yaitu kejahatan.
Membunuh orang dengan tujuan membela diri, bukanlah dipandang
jahat. Seperti mana halnya membunuh orang yang menjadi lawan
dengan tujuan menang di medan perang, digolongkan sebagai tindakan
yang bernilai baik dan bahkan menuai pujian, sebagai standar kelayakan
umum. Pembunuh pada peristiwa pertama, mendapat ganjaran berupa
sanksi pidana atau mungkin dihukum mati dan tentunya hujatan.
Pembunuh pada peristiwa kedua dihukum ringan atau mungkin
dibebaskan, pembunuh pada peristiwa ketiga bahkan layak dihadiahi
bintang pahlawan sebab jasanya.
Dari peristiwa-peristiwa ini seolah-olah terjadi kontradiksi
terhadap porsi nilai dan penilaian. Lantas, apakah yang menjadi dasar
timbulnya nilai pada manusia atas kemanusiaannya? Nilai hadir
manakala pikiran dan rasa manusia bertaut satu sama lain. Dari situ
lalu memutuskan sisi dominan dari keduanya yang nantinya
akan merujuk pada suatu pilihan, yang di antaranya terjelma dalam
berbagai bentuk rupa keputusan, seperti dalam bentuk kata, gerak,
ataupun diam. Manusia dengan sekilas dapat memberikan penilaian
dengan pikirannya tanpa harus mengalami objek yang dinilainya dan ini
kerap terjadi secara spontanitas namun, pada saat bersamaan manakala
penilaian itu tercetus, manusia tadi bisa saja tidak dapat merasakan apa
yang telah menjadi penilaiannya. Demikian pula sebaliknya, dominasi
rasa terhadap pikiran dapat membuat seseorang menilai berdasarkan
rasa, dengan sadar atau tidak sadar manakala dominasi rasa mengekang
pemikirannya.
Berkaca pada contoh ini , dengan pikirannya tanpa harus
merasakannya, manusia dapat memberikan pujian bagi seorang
pahlawan perang, namun dapat juga mencemooh seseorang yang
melakukan pembunuhan demi harta yang bukan menjadi haknya. Pujian
terhadap seorang pahlawan dapat dilontarkan oleh setiap orang atas
kegigihan dan perjuangannya dengan seluruh cara yang dipergunakannya
demi mempertahankan kehormatan tanah airnya. Namun, bagi pihak
lain (musuh) yaitu dilematis, mereka berpikir bahwasanya perjuangan
pahlawan tadi telah mencoreng korps atau nama baik perjuangannya
yang gagal melaksanakan tugas bahkan harus kehilangan nyawa atas
kegagalan ini . Terlebih bilamana tujuan pejuang tadi yaitu
tujuan bersama yang menjadi tumpuan harapan atas kehidupan mereka.
Demikian pula halnya terhadap seorang pembunuh, ia dihujat dari pihak
keluarga korban, lebih lagi cercaan dari warga yang menyaksikan
atau mengetahui perbuatannya ini , namun mendapat pujian
bahkan penghormatan dari kelompoknya atau simpati dari orang-orang
yang mengenalnya.
Atas contoh ini akan timbul ragam penilaian dari manusia
ada yang memberikan penilaian dalam bentuk ide, bahwa bila harus
membunuh lakukanlah berdasarkan sifat kepahlawanan yang dianggap
memiliki nilai luhur atau dalam penilaian lain bahwa cara pintas untuk
menjadi kaya yaitu dengan membunuh dan dengan pembunuhan
ini , maka ia yang melakukan pembunuhan ini akan disegani
bahkan ditakuti orang lain sebab si brutal dan sadisnya. Dari contoh
ini, pembunuhan akan bernilai baik atau buruk tergantung si penilai.
Bila dilihat lebih dalam tentunya harus ditelaah dahulu sebab, motif
dan akibat yang ditimbulkan pembunuhan itu. Dalam perang sekalipun
tentu ada aturan-aturan dan strategi-strategi tertentu, inilah yang
menjadi patokan atau standar ukur bagi si penilai. Semua tergantung
di pihak mana si penilai berdiri.
Standar umum yang dapat dikatakan tentang arti nilai, bahwa nilai
yaitu sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari,
sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan.
Singkatnya sesuatu yang baik. Baik itu yaitu nilai, maka nilai senantiasa
mengarah pada konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi,
sesuatu yang membuat kita melarikan diri, seperti penderitaan,
penyakit, atau kematian yaitu lawan dari nilai, yaitu nonnilai.
maka , nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas
dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir
maupun batin. Max Scheler 1874-1928 mengelompokkan nilai menjadi
empat macam, yaitu nilai kenikmatan (rasa enak, nikmat, senang), nilai
kehidupan (kesehatan, kesegaran, jasmani), nilai kejiwaan (kebenaran,
keindahan), dan nilai kerohanian (kesucian). Bertolak dari pandangan
ini dapat dirumuskan bahwa nilai erat kaitannya dengan kegiatan
menimbang, yakni menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain
yang lalu dilanjutkan dengan memberikan keputusan, yang mana
orientasi dari keputusan ini dapat diarahkan pada nilai materiil
atau nilai kerohanian.
Dalam melakukan penilaian itu, manusia dipengaruhi oleh
kesadaran diri, kesadaran sosial, dan kesadaran spiritual. Kesadaran
diri didapat dari pengalaman dan pemahaman akan tindakan yang
sama yang pernah dilakukannya dengan perbuatan yang dinilainya.
Kesadaran sosial didapat dari pengamatan dan pengaruh lingkungan
orang itu, dengan siapa ia bergaul, orang-orang yang dianggapnya
idola dan respek terhadap orang lain. Hal inilah yang menjadi sebab
dasar timbulnya ungkapan bahkan menghegemoni bahwa “nilai itu
subjektif” selalu memiliki dasar pertimbangan yang dianggap layak
untuk dijadikan pilihan bagi yang melakukan pilihan yang disebut nilai
yang berpenilaian standardisasi (prinsipisasi) oleh seorang mempengaruhi
dan lembaga inilah yang kerap membenturkan mereka dengan orang
dan lembaga lain yang juga memiliki hal yang berupa standar dan
prinsip serupa pada kebakuannya. Oleh sebab itu, maka mereka dapat
melakukan kekeliruan bahkan kesalahan saat mempertentangkan nilai
yang berpenilaian atas keberadaan nilai itu sendiri.
Untuk pertentangan itu sendiri dan apa pun hasilnya, mau tidak
mau nilai kembali berpenilaian setelah pertentangan itu terjadi. sebab
nilai yaitu abstraksi dalam suatu keberadaan. Inilah saat mana nilai
berdiri dengan keobjektifan saat lepas bebas dari keeksisannya.
Bagaimana saat nilai dianggap menjadi milik seseorang atau lembaga
yang acap terucapkan.
B. Sifat Nilai
Nilai itu ideal, atau berbentuk ide, abstrak namun hadir sebab
diobjekan dan dihadirkan sebab subjek. sebab itu nilai dikatakan
bersifat abstrak, tidak dapat disentuh oleh panca indra. Misalnya,
seorang pahlawan yang melakukan pembunuhan akan mendapat pujian
bagi yang mengaguminya, atau cercaan menjadi objek nilai melakukan
pembunuhan demi harta. Dalam contoh ini yang objek nilai yaitu
perilaku pembunuhan yang berarti menghilangkan orang, fokus utama
timbulnya penilaian tidak hanya sebab alasan nyawa orang lain, motif
atas sikap pahlawan atau pembunuh, namun juga sebab hilangnya nyawa
orang yang terbunuh.
Nilai memiliki dualisme saat diturunkan pada penilaian, apakah
dalam sifat objektif ataupun subjektif. Dualisme berarti nilai tidak dapat
berdiri sendiri tanpa penyandingan. Jika diturunkan misalnya nilai
senang akan selalu bersanding dengan nilai ketidaksenangan. Pada saat
kapan nilai memiliki sifat objektif dan pada saat kapan nilai bersifat
subjektif? Pembunuhan secara ringkas dapat diartikan sebagai perbuatan
menghilangkan nyawa makhluk hidup yang memicu kematian.
Pembunuhan tetaplah pembunuhan, yang berarti menghilangkan nyawa
manusia. Peristiwa ini yaitu nilai objektif yang tidak dapat disangkal
dengan alasan pembenar, bahwa perilaku apa pun yang ditujukan untuk
membunuh pada kondisi standardisasi ataupun normal, tidak disukai
setiap makhluk. Sekalipun itu dapat terjadi dalam kondisi alamiah
dalam hal terwujudnya rantai makanan, namun latar belakang alasan
atau motif pembunuh (standardisasi) dengan beragam alasan yaitu
sifat subjektif. Demikian pula ragam penilaian yang menyusul tentang
peristiwa pembunuhan yang terjadi dan sebab alasan inilah, maka kerap
kali nilai atau tiap hal yang menjadi objek penilaian selalu dianggap
subjektif. Hal ini yaitu suatu kekeliruan.
Fakta itu diketahui dan nilai untuk menyelimutinya sebagai makna
untuk menunjuk bahwa nilai dapat hadir dengan adanya fakta yang
mendahului. Membicarakan pengetahuan yaitu membicarakan soal
kebenaran. Masalah kebenaran yaitu soal budi. Soal penghargaan akan
mengarah pada persoalan kepuasan. Masalah kepuasan yaitu soal hati.
sebab itu soal nilai tidak soal benar atau salah. Akan namun , tentang
gagasan yang dinyatakan sebab dikehendaki atau tidak, disenangi atau
tidak, namun nilai pada hakikatnya bersifat tetap dan utuh.
Nilai berdiri tetap, tetap indah dan tetap kalaupun tidak indah.
sebab nya nilai juga utuh atas keduanya. Suatu fakta kita akui
kebenarannya, sekalipun hati tak menghendakinya. Kita tidak senang
akan kejadian itu, maka dipandang sebagai kenyataan yang pahit, itulah
nilai berpenilaian subjektif. Nilai berbeda dengan wujud sesuatu yang
tetap ada, bilamana tidak ada manusia yang memberikan penilaian,
sebab nilai tidak berada dengan sendirinya tanpa manusia, maka ada
manusia ada nilai, keberadaan nilai yang terkandung dalam suatu fakta
(realitas) ditentukan adanya manusia yang menilai. Setelah terjadi
kontak antara manusia fakta, maka dengan serta merta nilai akan hadir.
Dengan kata lain, yang dinilai serta manusia sebagai objek
sekaligus subjek yang menilai, terbentuk sebab adanya hubungan
interdependensi antara fakta sebagai objek yang dinilai serta manusia
sebagai objek sekaligus subjek yang menilai. Tanpa hubungan yang
bersifat ketergantungan seperti itu, nilai tidak mungkin ada. Sebagai
contoh, apakah poligami itu baik atau buruk? Islam apakah boleh dan
jika dilakukan dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Filsafat sebagai produk akal manusia yaitu nisbi, nisbi akal itu
pula nilai-nilai yang terbentuk terikat oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai
itu serasi untuk ruang dan waktu tertentu, tapi tidak sesuai bagi ruang
lain dan waktu lain. Nilai-nilai itulah yang memberi bentuk kebudayaan
yang sama bentuknya. Ada kebudayaan yang memberi nilai yang tinggi
kepada ekonomi, misalnya kebudayaan Barat, ada yang memberi
nilai yang tinggi kepada ilmu dan teknologi, misalnya kebudayaan
Amerika Serikat, kepada amami kebudayaan Bali, kepada seni misalnya
kebudayaan Jawa, kepada vapada pole misalnya kebudayaan Israel,
kepada sosial misalnya kebudayaan di Waand campus desa, gampong,
kampung kita. Perbedaan nilai pada salah satu universal ini telah
memicu bentuk yang berbeda, sekalipun nilai-nilai yang lain,
nilai itu tidak dengan sendirinya berdiri sendiri, seperti wujud barang.
Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, ataupun ada
manusia yang melihatnya. Bunga di hutan itu tetap bunga, sekalipun
ada mata manusia yang memandangnya. Akan namun untuk nilai, nilai
itu ada, kalau manusia tidak ada atau tidak melihatnya. Bunga-bunga itu
memiliki nilai untuk disebut indah, kalau tidak ada pandangan manusia
mengaguminya. sebab nilai barulah timbul, saat terjadi hubungan
manusia sebagai subjek ataupun objek.
Nilai itu bersifat ide, namun tampil dalam bentuk materi, dengan
hubungan subjek dan objek. Ide itu dimasukkan ke dalam objek, sehingga
objek itu bernilai. Bermacam-macam faktor yang membentuk ide itu,
yaitu naluri, pendidikan, pengalaman, lingkungan, suasana, cita-cita,
dan lain-lain. Nilai yaitu soal apresiasi. Positif dan negatifnya (ada atau
tidaknya) nilai bergantung pada disposisi subjek dan hubungan subjek
dan objek. Disposisi itu ditentukan lagi oleh banyak faktor ilmu pun hadir
yaitu sebab kebebasan nilai ilmu bicara tentang fakta yang ada, tidak
mempersoalkan baik atau buruknya suatu fakta, indah jeleknya, berguna
atau tidaknya. Fakta itu sesungguhnya netral, sebab manusialah yang
memasukkan nilai ke dalamnya, maka fakta ini mengandung nilai.
Nilai tidak melekat dengan sendirinya pada fakta, namun terhubung
dengan substansinya, maka suatu fakta memiliki kepribadian sendiri
yang akan mengarahkan pertimbangan manusia dalam menilai. Hal
ini pula yang memicu nilai memiliki aspek objektif jika
ditinjau dari segi objek nilai, dan aspek subjektif jika dilihat dari sudut
subjek yang menilai.
Aspek subjektif memungkinkan aksidensi nilai berbeda-beda.
Disposisi subjek yang memberikan nilai-nilai subjektif inilah yang
menjadi penyebab perbedaan atau benturan nilai. Aspek objektif
memungkinkan esensi nilai bertahan tetap. Esensi nilai yang yaitu
nilai-nilai objektif inilah yang ditanamkan melalui cara edukatif dan
imitasi sehingga membentuk jalinan.
Menurut Achmad Fauzi, faktor subjektif yang mempengaruhi
pandangan menilai meliputi aspek:
1. Umur (belum dewasa, dewasa, matang);
2. Tingkatan inteligensi (rendah, menengah/normal, superior, dan
jenius);
3. Latar belakang mempengaruhi (jenis dan tingkat pendidikannya);
4. Agama;
5. Latar belakang sosial-budaya (kebudayaan daerah, kebudayaan
nasional).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi terwujudnya penilaian yang
bersifat objektif ataupun subjektif, yakni faktor pokok, faktor pelengkap
serta faktor penuaan. Sudah menjadi kodrat manusia untuk mencapai
hidup yang kadar makna kehidupan itu sendiri ditentukan oleh jalinan
nilai yang telah mengendap dalam diri manusia yang bersangkutan.
maka , jalin nilai itu yaitu pula kriteria bagi manusia
untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupannya. Dalam pencapaian
hidup yang bermakna, manusia berbuat, bertindak, dan berperilaku.
Di belakang perbuatan tindakan dan perilaku itu ada nilai yang
menjadi motifnya. Dengan demikian jalinan nilai-nilai juga yaitu
sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat
hidupnya.
Nilai yaitu soal apresiasi. Positif atau negatif, ada atau tidak
adanya nilai itu tergantung pada disposisi subjek dan hubungan subjek
dan objek. Berbeda subjek yang menilai akan membawa perbedaan
dalam penghargaan dan berbeda pula nilainya.
C. Manfaat Nilai
Dengan mempelajari dan menghayati arti setiap sikap tindak dan
perilaku manusia guna mencapai pemahaman akan hakikat nilai, maka
penerapan nilai itu akan banyak mempengaruhi dan menjadi penting bagi
manusia. Nilai yang dicapai dan ingin dituju oleh manusia, sejatinya
memberi manfaat dan nilai tambah dalam kehidupannya. Hidup bukan
sekadar perkara makan, minum, berkembang biak, dan mencapai
kesenangan dan kebahagiaan, namun faktor manfaat juga yaitu
hal penting.
Dalam menjalani hidup manusia sebagai makhluk sosial akan
saling tergantung dengan sesama manusia dan dengan alamnya. Oleh
sebab itu, sikap tindak yang dilakukan menuntut reaksi dari sekitarnya.
Jika nilai yang baik yang dihasilkan manusia, niscaya akan baik pula
konsekuensi yang didapatnya sebagaimana telah disebutkan pada
QS. An-Najm (53): 39 bahwa: “Dan bahwasanya manusia tidaklah
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Nilai yang baik
tentulah memiliki manfaat. Pemilik atau pelaksana tindakan yang
bernilai itu akan dinilai baik pula oleh sesamanya. Dengan sikap tindak
yang baik, manusia akan merasakan nilai ikatan psikologis antara
sesamanya.
Seorang sahabat tentu memiliki ikatan persahabatan yang memiliki
nilai kebersamaan dan keselarasan dalam hubungan pertemanan.
Akan berbeda nilai kebersamaan dan hasrat yang ada dalam
ikatan percintaan antar sepasang kekasih. Memang baik kekasih
dijadikan sahabat alias teman hidup namun belum tentu sang kekasih
akan bersahabat dengan pasangannya. Demikian pula sebaliknya
persahabatan sering dihancurkan atau dengan adanya perasaan cinta
di antara keduanya atau ketiga. Bagi penulis, manfaat nilai dalam
kehidupan manusia dapat ditulis sebagai wujud eksistensi diri, analisis
diri dan antarpribadi, eksom di ekspresi pilihan atas perbandingan,
peluntur ruang dan waktu, evaluasi.
Sebagai wujud eksistensi diri, berarti dengan adanya penilaian
timbul dari seseorang terhadap objek penilaiannya, maka secara
otomatis penilaian yang dilontarkannya menjadi ganti dirinya di
hadapan subjek lainnya. Seorang manusia akan merasa puas bila dapat
menilai merasa dinilai baik oleh orang lain yang dianggapnya memiliki
kepentingan akan dirinya. Pada satu sisi, seorang yang penuh harap
akan penilaian lain akan mengurangi nilai ketulusan dari tindakannya
itu. Bahkan dalam bentuk ekstrem nilai yang dikejar akan menjadi
bumerang dan ia akan dicap sebagai penjilat.
Seseorang yang menilai pembunuhan hanya sebatas pragmatisme
akan kebenaran atau alasan pembenar dari tindakan ini , sedangkan
idealis akan menilai berdasarkan alasan yang memicu pembunuhan
itu. Apakah hubungan pelaku dan korban memiliki kedekatan emosional
atau hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan atau tidak saling
mengenal sama sekali. Seorang materialis akan memberi nilai tindakan
itu atas pembunuhan itu tetap yaitu pembunuhan apa pun
alasannya, tapi untuknya yang menguntungkan atau merugikan siapa
dan untuk kepentingan siapa tindakan itu.
Perbuatan yang dilakukan dengan sadar, dipikir dan ditimbang
dahulu sebelum dilakukan akan memiliki nilai yang diyakini saat
dilakukan. Sementara perbuatan yang dilakukan dengan tidak sadar
yaitu tindakan reflektif sebab endapan dan jalinan nilai yang
telah terpatri di dalam diri yang mendorongnya. Misalkan, saat melihat
penyeberang jalan yang agak teledor, sesaat kita akan berteriak “stop”
guna mencegahnya, atau menjauhkannya dari marabahaya kecelakaan.
Jika kita menimbang dahulu sebelum berteriak, maka kemungkinan
besar si penyeberang itu akan ditabrak, atau akan terjadi kecelakaan
beruntun akibat ada kendaraan yang ngerem mendadak. Di sini terjadi
analisis yang sangat cepat saat kita memutuskan untuk berteriak atau
tidak dengan keselamatan diri dari suatu peristiwa yang kemungkinan
terjadi. Kita tidak akan sempat menilai kecerobohan si penyeberang
jalan atau pengendara sebelum bertindak. Setelah peristiwa terjadi,
barulah kita dapat menilai hubungan kecerobohan atau keselamatan
di antara keduanya.
Sebagai wujud “ekspresi diri”, yang berarti bahwa seseorang yang
memberikan satu penilaian, maka secara mempengaruhi dan merdeka telah
menunjukkan kebebasan berpendapat menurut nalurinya yang berarti
jujur dan bebas dari tekanan atau penilai lainnya. Dengan memberi
penilaian, maka terjadi ekspresi atau pernyataan diri akan sesuatu yang
akan dinilai.
Pilihan itu nyata dan sah setelah diambil dan dibuat sebagai
keputusan. Contoh, dalam pemilihan umum. Kita memiliki hak
pilih. Kita harus memutuskan terlebih dahulu apakah kita mau memilih
atau tidak. Setelah kita memutuskan untuk memilih, maka kita
diwajibkan untuk memilih salah satu calon yang tersedia. Kita tidak
bisa memilih lebih dari satu atau tidak memilih satu pun. sebab kita
sudah memutuskan untuk memilih. Jika anda pergi ke TPS tapi anda
tidak memilih atau memilih lebih dari satu, maka suara anda tidak sah.
Nilai sebagai sarana untuk “evaluasi”, bermakna bahwasanya setiap
penilaian dari siapa pun atau pihak mana pun akan dipandang subjektif
Bab 4 --- Filsafat Nilai Sebagai Leluhur dari 71
oleh penilai lainnya. Namun, fakta atau peristiwa yang melatarbelakangi
akan tetap objektif sekalipun objek atau peristiwa yang ada ini
yaitu hasil rekayasa. Oleh sebab itu, nilai hadir menyelaraskan
perpaduan penilaian sementara demi terwujudnya pengertian.
D. Keseimbangan Nilai
Pergeseran nilai yang terjadi dapat dikatakan sebagai suatu
keniscayaan, sebab meningkatnya kebutuhan dan keinginan manusia
sehingga memicu level kepuasan akan nilai yang dituju menuntut
level yang lebih tinggi pula. Di zaman banyak orang jujur, maka
nilai kejujuran akan menjadi biasa dan yang tak jujur sangat rendah.
Namun di zaman orang jujur langka seperti sekarang, maka seorang
yang jujur akan dianggap malaikat. Sebaliknya, orang yang tidak jujur
dianggap biasa. Artinya, nilainya bergeser dan penghargaan terhadap
nilai pun bergeser pula. Di sini kita lihat bahwa keseimbangan tetap
menyertai nilai.
Akibatnya, nilai-nilai kebaikan yang disampaikan sang ulama akan
terbang hilang tak berbekas, bahkan tak jarang setelah pembacaan
ayat suci, ceramah hikmah perkawinan, acara berlanjut ke hiburan
dangdutan dengan “saweran” lengkap dengan goyangan biduan yang
merangsang disertai pesta minuman keras dan sebagainya. Ingatlah
pada QS. Al Maidah (5): 2 bahwa “Dan tolong menolonglah dalam
kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan
dosa dan pelanggaran”.
Pada dasarnya hakikat hukum yang ideal sebagai objek filsafat
hukum tentunya mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”,
tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, yaitu
contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum
positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, namun masing-
masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu
hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan,
bidang-bidang, serta sistem hukumnya sendiri.
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Pound yaitu sebagai berikut:
1. Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
a. kepentingan negara sebagai badan hukum;
b. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan warga .
2. Kepentingan warga (Social Interest):
a. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c. pencegahan kemerosotan akhlak;
d. pencegahan pelanggaran hak;
e. kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a. kepentingan individu;
b. kepentingan keluarga;
c. kepentingan hak milik.
Riwayat kata “filsafat” berasal dari Yunani kuno dengan pengertian
orang-orang Yunani kuno sudah lama memiliki tradisi filsafat. Hal itu
tidak berarti hanya di Yunani kuno saja orang-orang berfilsafat. Di Mesir
kuno, India kuno, dan Tiongkok (Cina) kuno, orang-orang sudah pula
berfilsafat, dengan cara, corak, dan kepribadian mereka sendiri-sendiri.
Sejarah dilihat dari perspektif filsafat, dikemukakan oleh Prof. Dr.
R.F. Beerling: “sejarah yaitu cerita tentang manusia, yaitu tentang
pengetahuan yang makin bertambah atau peranan yang makin penting
yang dipegang oleh tenaga-tenaga akal-pikiran pada manusia atau
seperti dikatakan Prof. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831):
tentang makin bertambahnya akan kebebasan. Dikatakan: “..., sejarah
yaitu cerita tentang kemajuan manusia. Ilmu yaitu lambang utama
dari kemajuan itu. Ilmu makin lama makin banyak mengumpulkan
pengetahuan”. Selanjutnya, Prof. Dr. R.F. Beerling mengemukakan:
“sejarah pikiran filsafat menyatakan... filsafat selalu mengulangi
penegasannya kembali mengenai hal dirinya dan kemauannya terhadap
diri sendiri”.
Sejarah menunjukkan pada awalnya ilmu-ilmu pengetahuan
cabang berinduk pada filsafat. Dengan lepasnya ikatan dari filsafat ini,
spesialisme menjadi semakin intensif di satu pihak, namun di lain pihak
menjadikan kita kehilangan akan sumber pemikiran filsafatnya, sehingga
munculnya ilmuwan-ilmuwan yang kehilangan visi dan orientasi
filsafatnya. Kemungkinan muncul ilmuwan-ilmuwan kehilangan visi
dan orientasi filsafatnya itu harus dicegah, dihindari, dan disadari agar
hal itu tidak terjadi.
Pembahasan mengenai sejarah filsafat hukum, Prof. Dr. Drs. Lili
Rasjidi, S.H., LLM. mengemukakan di dalam kepustakaan filsafat hukum
ada berbagai periodisasi atau pembabakan sejarah filsafat hukum
dari dahulu hingga saat ini. Pada umumnya pembabakan itu: (1) zaman
purbakala, meliputi: (a) masa Yunani kuno, mencakup: (i) masa pra-
socrates, (ii) masa socrates, Plato/Aristokles, dan Aristoteles/Aristotle,
dan (iii) masa Stoa, serta (b) masa Romawi; (2) abad pertengahan,
meliputi: (a) masa gelap dan (b) masa skolastik; (3) zaman renaissance
dan zaman baru; serta (4) zaman modern.
Salah satu pembagian sederhana dalam mempelajari sejarah filsafat
Barat dari Harry Hemersma, yaitu: (1) zaman kuno (600-400 SM); (2)
zaman Patristik dan Skolastik (400 SM-1500 M); (3) zaman modern
(1500-1800); dan (4) zaman sekarang (setelah tahun 1800). Prof.Darji
Darmodihadjo,S.H. dan Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. mengemukakan
sebutan zaman Patristik dan Skolastik dipecah menjadi dua, yaitu
zaman Patristik dimasukkan sebagai periode terakhir dari zaman
kuno, sedangkan zaman Skolastik yaitu penjelasan periode
Abad Pertengahan. Masa setelah tahun 1800 dibedakan ke dalam dua
kelompok besar, yaitu: (1) Filsafat abad ke-19 dan filsafat abad ke-20.
Pada tiap-tiap bagian diuraikan secara singkat beberapa aliran filsafat
yang menonjol. Sejarah filsafat Barat dibedakan ke dalam periode-
periode sebagai berikut: 1. Zaman kuno (600 SM-400 M): a. Zaman
pra-Socrates, b. Zaman keemasan Yunani, c. Zaman Hellenisme, dan d.
Zaman Patristik; 2. Abad Pertengahan (400-1500); 3. Zaman modern
(1500-1800): a. Zaman Ranaissance, b. Zaman Barok, c. Zaman Fajar
Budi, dan d. Zaman Romantik; 4. Zaman Sekarang (setelah 1800); a.
Filsafat abad ke-19; 1) Positivisme, 2) Marxisme, dan 3) Pragmatisme,
b. Filsafat abad ke-20: 1) Neokantianisme, 2) Fenomenologi, 3)
Eksistensialisme, dan 4) Strukturalisme.
Di samping itu, pada zaman purbakala, sejarah filsafat hukum
dapat ditelusuri dari berbagai belahan bumi lainnya seperti Mesir
Bab 5 --- Sejarah 75
kuno, Babilonia, Asiria, India kuno, dan Tiongkok (Cina) kuno. Prof.
Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H. membagi sejarah filsafat
hukum ke dalam empat kurun zaman, yaitu: (1) zaman klasik, (2)
abad pertengahan, (3) zaman modern, dan (4) zaman sekarang. Dalam
buku ini secara garis besar penulis memakai pembabakan sejarah
filsafat hukum ke dalam tiga kurun zaman, yaitu: (1) zaman kuno,
(2) zaman pertengahan, dan (3) zaman modern.
1. Zaman Kuno
Sejarah filsafat hukum pada zaman kuno meliputi masa Mesir kuno,
Babilonia, Asiria, dan India kuno; masa Tiongkok (Cina) kuno; masa
Yunani kuno; serta masa Romawi. Masa Yunani kuno mencakup submasa
pra-Socrates; submasa Socrates, Plato/Aristikles, dan Aristoteles; serta
submasa Stoa.
a. Masa Mesir Kuno, Babilonia, Asiria, dan India Kuno
Catatan sejarah filsafat yang tertua sejarah tahun 4.000 Sebelum Masehi
(bC = before Christ), diungkapkan oleh Prof. Dr. Mohammad Noor
Syam, S.H. Bahwa catatan sejarah yang tertua tentang ide-ide filosofis
terutama berasal dari Mesir (lembah sungai Nil), di sekitar Euphrates
dan Tigris atau Timur Tengah umumnya sejak 4000 SM sudah tumbuh
ide-ide filsafat, terutama yang tersimpul di dalam Vedas (2500 SM). Di
Babilonia 2400 SM, dilengkapi pula oleh catatan-catatan ajaran ethica
Yahudi sekitar 800 SM. Sumber ide-ide filsafat dari Timur Tengah ini
dapat dimengerti, arena wilayah ini yaitu pusat atas agama-
agama tertua yang diwahyukan Tuhan. Oleh sebab itu, bangsa-bangsa
di wilayah ini relatif lebih awal berkebudayaan dibandingkan dengan
wilayah lainnya. Catatan sejarah yang tertua tentang ide-ide filsafat (di
Barat), dimulai di Yunani sekitar 760 SM. Pemikiran tentang filsafat ini
jauh mendahului pemikiran manusia tentang ilmu (science).
Menurut Drs. Mohammad Alim Zaman, M.Pd., akar peradaban
berasal dari peradaban Timur, yaitu dari daerah-daerah sekitar
Mediterania yang mencakup daerah Mesir kuno, lembah Mesopotania,
dan kawasan di luar lembah itu pada masa sekurang-kurangnya tahun
4.000 SM. Beliau mengemukakan akar peradaban Barat ini terletak di
Timur, ialah di suatu kawasan peradaban yang dikenal sebagai Dunia
kuno. Yang dimaksud dengan Dunia Kuno yaitu peradaban yang
terjadi di daerah-daerah sekitar Mediterania di masa Sebelum Masehi.
Daerah-daerah yang dimaksud di antaranya Mesir kuno, Lembah
Mesopotania mengesankan dengan monumen yang megah sejarahnya
yang melengkapi paling sedikit 4.000 tahun dan ketenarannya sebagai
warga yang berpengetahuan luas dan terampil. Warisan Mesir
dan Babilonia serupa ini telah bertahan lama lebih dari 5.000 tahun.
Berkenaan dengan peradaban-peradaban kuno Babilonia, Mesir, dan
Asiria dalam sekitar abad ke-20 SM hingga abad ke-8 SM, Prof. Dr. JJ.
von Schmid menuturkan berabad-abad telah lampau sebelum manusia
mulai berpikir tentang negara dan hukum, selama itu peradaban-
peradaban yang tinggi lahir dan musnah dengan tidak diinsyafi orang
dasar-dasar apa yang memicu warga boleh mengadakan
peraturan-peraturan yang mengikat penduduk, menetapkan suruhan-
suruhan dan larangan-larangan untuk perbuatan-perbuatan mereka.
Raja-raja yang maha kuasa dengan kekuasaan secara Timur dan
sewenang-wenang, telah menindas dan membinasakan bangsa-bangsa
dengan cara yang tak ada bandingannya di lalu hari dan bangsa-
bangsa itu telah dikuasai dengan tidak bisa melawan, sedangkan alam
pikiran mereka tidak memberontak dan daya berpikir tidak beradu
dengan daya perbuatan. Kita teringat pada peradaban-peradaban
kuno Babilonia, Mesir, dan Asiria, pada kekejaman luar biasa dalam
paruh kedua abad ke-8 SM dari Raja Asiria Tigladpilesar III terhadap
bangsa-bangsa yang ditaklukkannya dengan mencampuradukkan
bangsa-bangsa itu satu sama lain dan memusnahkan mereka untuk
selama-lamanya. Di samping itu, zaman “kebangunan manusia” itu
juga mengenal raja-raja yang baik budi seperti pembuat undang-undang
tertua yang dikenal, Raja Babilonia Hamurabi (± 1.800 SM) yang setelah
menguasai Babilonia Selatan dan menjadi raja pertama dari seluruh
Babilonia, menghapuskan pertentangan-pertentangan antara kedua
bangsa itu dengan satu perundang-undangan sehingga dengan demikian
ia menegakkan persatuan baru, yaitu Babilonia yang tidak terbagi-
bagi, dengan Babilon sebagai ibu kotanya. Tentang undang-undang
Hamurabi di Babilonia sebagai undang-undang tertua yang paling
penting dalam sejarah, dikemukakan oleh Dr. Subhi Rajab Mahmassani
bahwa undang-undang Hammurabi (1792-1750 SM di bawah wangsa
Hammurabi 18301530 SM) yaitu Raja Babilonia abad ke-18 SM. la
terkenal dengan undang-undangnya yang ditemukan oleh ekspedisi
arkeologi Prancis pada abad ke-20 Mini di Kota Susa, wilayah kerajaan
Babilonia (yang terletak di lembah antara sungai Efrat dan sungai
Tigris semasa sejarah dunia kuno, penulis) sebelah utara sungai Efrat.
Undang-undang Hammurabi yang berbentuk tulisan prasasti pada batu
ini dianggap sebagai undang-undang tertua yang tertulis dan dikenal
orang, dan undang-undang yang dibuat orang sesudah itu dipengaruhi
oleh undang-undang ini .Undang-undang ini berisi hukum
pidana, hak-hak undang Hamurabi yaitu kodifikasi hukum adat
yang berlaku pada sewa binatang ternak, eksploitasi barang, masalah
perkawinan, utang-istimewa pegawai pemerintah, hukum dagang, sewa-
menyewa, upah. Namun demikian, dalam undang-undang ini masih
tampak hukum yang frutang dan soal penahanan. Juga masalah keluarga
dan perbudakan. Terhadap budak, seperti halnya undang-undang lainnya
di masa bersifat keras dalam menangani kejahatan, utang-piutang, dan
perlakuan. Misalnya, hukuman mati bagi pelaku pencurian, perzinaan,
atau perampokan, pelaku kebakaran, penculikan, penipuan, dan saksi
palsu dalam hal yang menyangkut hukuman mati. maka ,
undang-lampau, undang ini berpegang pada hukum qisas (lex talionis)
yaitu mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, dan seterusnya. Di samping
kerasnya hukuman terhadap sebagian hak-hak asasi dalam undang-
undang Hammurabi ini, ia mengandung unsur penghargaan manusia.
Khususnya dalam menghormati hak milik individu.
Menurut Dr. Theo Huijbers, sejak munculnya hukum (Undang-
Undang Hammurabi/1792-1750 SM) di Babilonia (abad ke SM) dan
di Yunani kuno (600 SM), peraturan-peraturan yang berlaku dianggap
berhubungan dengan kehendak Tuhan. Dalam cakrawala religius zaman
dahulu, hukum yang dibentuk oleh seorang raja, dianggap langsung
berasal dari Tuhan sendiri. Apa yang dikehendaki raja dianggap
dikehendaki Tuhan. Akan namun , biasanya orang sudah yakin
pengertian hukum yang sebetulnya tidak seluas aturan Tuhan. Pada
zaman sekarang pengertian hukum sebagai aturan yuridis dibatasi pada
hukum negara. Negara yaitu sumber hukum yang unggul, telah
diakui sejak awal zaman modern.
b. Masa Tiongkok (Cina) Kuno
Di Cina dapat dikenali dalam kekaisaran Tiongkok telah dibutuhkan
peraturan yang nyata guna memerintahkan ketertiban dalam warga
luas. Titik tolak pemikiran hukum yaitu kebiasaan ritual dan sakral
yang sejak lama menjamin kelangsungan kehidupan warga .
1) Submasa Pra-Socrates
Catatan sejarah yang tertua tentang ide-ide filsafat Barat, dimulai
di Yunani kuno sekitar 700 SM. Pemikiran tentang filsafat ini jauh
mendahului pemikiran manusia tentang ilmu. Berkenaan dengan sejarah
filsafat pada zaman Yunani kuno Pra-Scrates, H. Endang Saifuddin
Anshari, M.A. memaparkan yang pertama-tama menarik perhatian para
filosofis Yunani kuno yaitu masalah alam. Ditandai dengan munculnya
kelompok filsafat alam yang ditokohi oleh Thales, Anaximandros/
Anaximander, Anaximanes.
2) Submasa Socrates, Plato, dan Aristoteles
Gagasan filsafat socrates berarti kesadaran akan kemanusiaannya yang
lalu filsafat sebelumnya hanya sebagai pusat gagasan mengenai
mite-mite dan alam dialihkan pada pusat gagasan mengenai manusia
dan kenyataan kehidupan yang dialami dalam keseharian.
Menurut Plato/Aristokles filsafat tidak lain yaitu ilmu pengetahuan
yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Dalam pandangan Plato/
Aristokles, tujuan hidup ialah mencapai kesenangan hidup.
Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, socrates dianggap sebagai bapak
dari filsafat Barat. Filsafat masa pra socrates yaitu awal kebangkitan
filsafat, tidak hanya di belahan dunia Barat, namun juga kebangkitan
filsafat secara umum. Tokoh utama yang mempersoalkan Thales,
Anaximandros/Anaximander, dan Anaximenes. Thales berpendapat asal
muasal alam ini yaitu air, bagi Anaximander/Anaximandros yaitu
to apeiron (suatu zat yang tidak tentu/tidak terbatas sifat-sifatnya).
Anaximanes berpendapat alam berasal dari udara.
Persoalan yang dipertanyakan oleh socrates tidak lagi tentang inti
alam atau keberadaan manusia di alam seperti di zaman filosofis di alam,
namun sudah bergeser kepada pertanyaan tentang bagaimana manusia
dapat hidup dengan baik dalam warga , agar tercapai keadilan dan
kemakmuran. Menurut Drs. Mohammad Hatta, socrates sesungguhnya
bukanlah seorang filosof, namun pemikir. Ia tidak pernah mengajarkan
filsafat, namun bagaimana hidup berfilsafat.
Aristoteles/Arisstotle yaitu mahasiswa Plato di Akademi Athena.
Sebagai filosof modern berpendapat bahwa Aristoteles/Aristotle yaitu
titik banding bagi pola pikir Plato/Aristokles yang satu saat dia diikuti,
namun terkadang disempurnakannya. Oleh sebab itu, filsafatnya yaitu
ajaran tentang kenyataan atau antologi suatu cara berpikir realistis, yang
menjadi lawannya cara berpikir idealistis.
3) Neoplatonisme
Tokoh utama aliran Neoplatonisme yaitu Platinus (203-269), seorang
filosof dari Mesir. Aliran ini pertama kali dirintis oleh Ammonius Sakkas
(175-242). Ajaran ini yaitu sintetis dari berbagai aliran yang
pernah muncul sampai saat itu, namun Platinus memberikan tempat
khusus kepada pemikiran-pemikiran Plato. Oleh sebab itu aliran
ini disebut Neoplatonim, yaitu mengajak kembali kepada pemikiran
Plato. Neoplatonisme yaitu aliran terakhir yang muncul pada
puncak keemasan filsafat Yunani kuno. Setelah Plotinus wafat, aliran
ini sempat dikembangkan oleh muridnya bernama Porphyrios yang
berhasil menuliskan kembali pemikiran gurunya.
Inti Neoplatonisme berpangkal pada konsep kesatuan. Segala
sesuatunya berasal dari Yang Satu dan kembali ke Yang Satu itu pula.
Tampak ada dua proses, yaitu proses dari atas ke bawah dan proses
dari bawah ke atas. Dalam proses emanasi, sesuatu yang bertaraf
tinggi tidak mengalami perubahan dan kesempurnaannya tidak pula
berkurang. Neoplatonisme tidak hanya dianut di Eropa, namun juga
mempengaruhi pemikir-pemikir Islam terkemuka seperti Abu Yusuf ibn
Ishaq bin Sabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash ats bin Qaissal-Kindi/Al-
Kindi (801-873). Beliau dipandang sebagai filosof Arab yang berusaha
mendamaikan antara warisan-warisan Hellenisme dan Islam.
4) Masa Patristik
Masa patristik dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu patristik
Yunani kuno dan patristik latin. Patristik Yunani berpusat di Athena
dan Patristik latin berpusat di Kota Roma (Italia). Dalam memandang
filsafat Yunani kuno, sejak semula ada perbedaan sikap dari pemuka
agama Kristen. Sikap pertama bersifat menolak sebab beranggapan
filsafat Yunani itu bertentangan dengan wahyu dari ilahi. Sikap kedua
bersifat kompromi, dengan menyatakan terlepas dari pertentangan yang
ada antara filsafat Yunani dengan agama Kristen, filsafat Yunani tetap
diperlukan sebagai pembuka jalan kepada penerima Injil.
5) Submasa Epikurisme
Ajaran epikurisme dirintis oleh Epicurus (341-270 SM). Epikurisme
menonjol dalam pandangannya tentang etika. Filsafat epikurisme
bertujuan mencapai kenikmatan hidup manusia. Kenikmatan hidup
baru tercapai jika baru tercapai ketenangan batin. Ketenangan batin
sering kali gagal diperoleh manusia, sebab selalu diancam oleh rasa
takut kepada para dewa, yang sesungguhnya tidak masuk akal. Manusia
harus memiliki ketenangan hidup, bukan sebaliknya, kenikmatan yang
memiliki manusia. Agar dapat mencapai itu, manusia harus membatasi
keinginan-keinginan hidupnya.
6) Submasa Stoa
Masa ini ditandai dengan adanya mazhab Stoa, yaitu suatu mazhab yang
memiliki kebiasaan memberi pelajaran di gang-gang atau lorong-
lorong tonggak (Stoa). Pemikir utamanya bertindak sebagai pemimpin
mazhab yaitu filosof Zeno (336-264 SM). Stoisisme dirintis oleh Zeno
(336-264 SM), Stoisisme berasal dari kata “Stoa” (berarti gang-gang
atau lorong-lorong tonggak) memiliki tiga tahapan, yaitu:
a) Ajaran Stoa berkembang pada zaman Yunani kuno dengan tokoh
antisthenes;
b) Muncul pada masa Hellenisme (150-100 SM);
c) Ajaran Stoa yang pragmatis bangkit kembali pada masa Romawi.
Menurut ajaran ini, manusia yaitu bagian dari alam, sehingga ia
wajib untuk hidup selaras dengan alam. Alam berjalan menurut rasio
sendiri, sehingga sama kejadian sudah ditentukan oleh alam.
c. Masa Romawi
Puncak kejayaan Romawi berlangsung selama sekitar tujuh abad (abad
ke-2 SM - abad ke-5 SM). Dr. Subhi Rajab Mahmassani menerangkan
Bab 5 --- Sejarah 81
Hukum Romawi berkembang selama 14 abad, sejak didirikannya kota
Roma abad ke-8 SM sampai wafatnya Kaisar Romawi Justinianus
abad ke-6 Masehi. Dalam rentang sejarah yang panjang ada
bermacam-macam sumber hukum. Di antaranya, di samping tradisi
yaitu hukum yang lahir dari negara, ijtihad para hakim dan hasil studi
para ahli hukum. Hukum perundang-undangan pada zaman Romawi
lahir dari para raja, majelis pertimbangan agama, majelis rakyat, atau
dari para kaisar.
2. Zaman Pertengahan
Zaman pertengahan lazim disebut abad pertengahan (476-1453) dimulai
setelah keruntuhan kerajaan Romawi abad ke-5 M. Dikatakan abad
pertengahan sebab zaman ini berada di tengah-tengah dua zaman,
yaitu zaman kuno dan zaman modern. Tokoh filsafat abad pertengahan
Santo Aurelius Augustinus (354-430) dan Santo Thomas van Aquinas/
Santo Thomas van Aquino (1225-1274).
Menurut B. Delfgaauw, terhadap pemikiran Yunani kuno, filsafat
abad pertengahan skolastik mewakili aliran pikiran lain yang terlihat
jelas, baik sebab menyangkut waktunya yang berbeda maupun sebab
menyangkut kelompok bangsa lain, yaitu kelompok bangsa Eropa Barat.
Zaman pertengahan atau abad pertengahan ini berlangsung 10 abad
hingga abad ke 15 M. Sejarah filsafat hukum pada abad pertengahan
meliputi dua masa, yaitu:
a. Masa Kegelapan
Masa kegelapan atau masa tidur panjang selama 10 abad di dunia Barat
dimulai dengan runtuhnya kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa
lain yang dianggap terbelakang, yang datang dari utara, yaitu disebut
suku-suku Gemania. Oleh sebab itu, tiadanya peninggalan apa pun
dari suku bangsa yang berkuasa, para ahli masa kini sukar untuk secara
pasti menentukan apa yang terjadi di masa gelap ini. Yang pasti dapat
diketahui ialah agama Kristen mulai berkembang pesat disebabkan
oleh suasana kehidupan suku-suku. Manusia dalam keadaan serupa
perlu adanya ketenteraman dan kedamaian, memerlukan adanya suatu
pegangan hidup yang akan mengakhiri tidak tenteraman, agama Kristen
memenuhi tuntutan ini .
b. Masa Skolastik
Corak pemikiran hukum pada masa Skolastik didasari oleh ajaran
Kristen. Ajaran ini mulai setelah lahirnya mazhab baru yang disebut
Neo-Platois, dengan Platinus sebagai tokohnya yang utama. Menurut
pendapatnya, Tuhan itu yaitu hakikat satu-satunya yang paling
utama dan paling luhur, yang yaitu sumber dari segala-galanya.
Tokoh lain yang sangat terkenal di masa ini antara lain Santo Thomas
van Aquinas/Santo Thomas van Aquino (1225-1274), Marsilius van
Padua/Marsilius dari Padua/Marsiglio dari padua (1270-1340), dan
william Occam(1280-1317).
3. Zaman Modern
a. Masa Awal Modern
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin pada akhir abad ke-5 yaitu
modernus yang dipakai untuk membedakan orang Kristen dan orang
Romawi dari zaman Pagan. Setelah itu, menurut Turner (2003), istilah itu
dipakai untuk menunjukkan “masa kini” yang berbeda dari masa lalu.
1) Akar Kebudayaan Barat
Menurut Drs. Mohammad Alim Zaman, M.Pd., kebudayaan Barat
tumbuh dari tiga akar, yaitu:
a) Hellas, ialah kebudayaan Yunani kuno;
b) Roma, negara dunia berpendidikan;
c) Dunia Nasrani, ialah kehadiran sintesis baru.
2) Masa Renaissance, Aufklarung, Rationalism, Enlightenment,
dan Positivism
Masa ini secara umum dapat dibagi ke dalam lima sub masa, yaitu:
a) Submasa Renaissance, cirinya ialah manusia menemukan
kembali kepribadiannya. Artinya, alam pikiran manusia tidak
terikat lagi oleh ikatan-ikatan keagamaan.
b) Submasa Aufklarung, disebut juga sebagai periode pematangan
rasio manusia.
c) Submasa rasionalism, dasar rasionalisme diletakkan oleh Rene
Descartes, khususnya dalam bukunya Discours d ela Methode
(Risalah tentang metode).
d) Submasa Enlightenment, Prof. Dr. Ir. Herman Soewardi men-
jelaskan abad ke-18 bagi eropa yaitu abad pencerahan
(Enlightenment). Artinya keyakinan pada kemampuan otak
manusia yang tidak terbatas, kepada manusia menggantungkan
dirinya untuk kemajuannya.
e) Submasa positivism, dengan Prof. Immanuel Kant hukum
alam akan diakhiri. Tahun 1795 terbit karangannya ”Menuju
Perdamaian Abadi”.
b. Masa Modern
1) Teori Hukum Menggarap Persoalan pada warga
2) Pandangan Idealisme Transendental
a) Pandangan Immanuel Kant, mewujudkan dan mengem-
bangkan hasil pemikiran filsafat selama berabad-abad dalam
suatu sistem yang luas dan mendalam, telah memberikan
landasan yang baru kepada pemikiran modern, yang tidak
dapat diabaikan oleh filsafat yang muncul sesudahnya.
b) Pandangan J.F. Fichte, disimpulkan dari kesadaran makhluk
yang berakal. Tidak ada makhluk yang berakal yang dapat
membayangkan dirinya tanpa aktivitas yang bebas dari dirinya
dan orang lain.
c) Pandangan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seluruh
tugas filsafat yaitu mempertahankan pendirian dan secara
konsekuen ia dengan tegas menolak tiap antinomi atau konflik,
dualisme antara ide dan pengalaman atau antara akal dan
kenyataan.
3) Kritik Terhadap Pandangan Idealisme Transendental
Prof. Dr. Wolfgang Friedmann, LLD., LLM. mengajukan kritik
terhadap pandangan-pandangan ketiga filosofis besar. Pengaruh
Prof. Immanuel Kant, Prof. J.F. Fichte, dan Prof. Georg Wilhelm
Friedrich Hegel sebagai eksponen yang terkemuka dari idealisme
Jerman atas filsafat hukum Eropa sangat besar.
4) Pemikiran Baru Hukum Ditandai Persoalan Kebutuhan
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 hukum yang ditandai
dengan tumbuh pemikiran baru mengenai persoalan kebutuhan,
keinginan, dan pengharapan manusia, diungkapkan Prof. Dr. Roscos
Pound, M.A. Bahwa pada akhir abad yang lalu dan pada awal abad
ini, cara pemikiran baru tumbuh. Sarjana hukum mulai berpikir
dalam istilah kebutuhan, keinginan, dan pengharapan manusia,
dan tidak lagi berbicara tentang kemauan. Mereka mulai berpikir,
yang harus mereka lakukan bukanlah semata-mata menyamakan
dan menyelaraskan kemauan, namun jika tidak akan menyamakan,
sekurang-kurangnya menyelaraskan pemuasan kebutuhan.
5) Penentangan dari Paham Romantisisme
Pada abad ke-19 selain tampil Prof. John Austin dengan positivisme
hukum yang analitisnya, lahir pula ajaran sejarah yang didasarkan
atas paham romantisme yang dipelopori Prof. Dr. Driedrich Carl
von Savigny dan Georg Friedrich Puchta. Ajaran ini yaitu
penentangan dari teori positivisme hukum analitis dan berusaha
meyakinkan dunia ilmu hukum bahwa das Recht es nicht gemancht,
aberist und wird mil dem volke. Buah pikiran Prof. Dr. Driedrich Carl
von Savigny, walaupun tidak sepenuhnya berhasil melumpuhkan
pikiran positivisme hukum, pengaruhnya sangat luas dan dasar-
dasar pikirannya banyak menjadi landasan hukum positif beberapa
negara (negara kita , misalnya yang ada pada zaman Hindia Belanda
memberlakukan hukum adat bagi golongan negara kita asli).
6) Kebangkitan Idealisme Hukum
Pemikiran hukum dewasa ini mirip dengan pemikiran dalam
abad ke-17 dan ke-18 sebagai kebangkitan idealisme hukum
menunjukkan adanya gejala pertumbuhan dan perbaikan hukum.
Prof.Dr. Roscoe Pound, M.A. menulis dalam hubungan ini pemikiran
orang pada dewasa ini lebih mirip dengan pemikiran abad ke-17
dan ke-18 dibandingkan pemikiran abad ke-19. Pengarang-pengarang
Prancis melukiskan gejala ini sebagai “kebangkitan idealisme
hukum”. Akan namun , pada hakikatnya aliran yang dipercaya yang
baik dan bagi warga harus diukur dengan kegunaan tindakan
dalam membantu tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
sebagian besar anggota warga , yang dianut orang pada waktu
ini, dan filsafat hukum alam dari abad ke-17 dan ke-18, memiliki
kesamaan dalam satu hal saja, yakni masing-masing menghadapkan
perhatiannya kepada gejala pertumbuhan masing-masing berusaha
membimbing dan melanjutkan perbaikan hukum secara sadar.
7) Polizei Staat, Rechtsstaat, dan Rule of Law
F. Isjwara, S.H., LLM. menuturkan dalam abad ke-18, dengan
timbulnya aliran liberalisme di Eropa Barat atau dalam sistem
hukum/tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law system), seperti
Prancis, Jerman, Belanda, ditariklah suatu garis tajam yang
memisahkan suasana yang dikuasai negara dan kehidupan sosial
individu, atau dengan perkataan lain, antara kekuasaan dan suasana
kebebasan.
8) Masa Sekarang
Prof. Dr. Darji Darmodiharjo, S.H., dan Dr. Shidarta, S.H.,
M.Hum. menyebutkan dengan filsafat zaman sekarang. Mereka
mengemukakan filsafat zaman sekarang yaitu pematangan
lebih lanjut dari filsafat pada zaman modern. Filsafat zaman
sekarang ditandai beberapa gerakan pemikiran yang dapat dibagi
ke dalam:
a) Filsafat Abad Ke-19, mencakup: positivisme, marxisme, dan
pragmatisme.
b) Filsafat Abad Ke-20, meliputi: neokantianisme, eksisten-
sialisme, fenomenologi, dan strukturalisme.
c. Masa Posmodern
Istilah “posmodern”, menurut Hassan dan Charles Jencks dalam I.
Bambang Sugiharto (1996), muncul pertama kalinya dalam bidang
seni. Istilah itu dipakai oleh Federico de Onis pada 1930-an dalam
tulisannya “Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamerica” untuk
menunjukkan reaksi dari dalam terhadap modernisme.
Menurut Featherstone, istilah “posmodern” yaitu istilah
generik (turunan). Awalan pos berarti “sesuatu yang datang sesudah,
pecahkan dari atau pemutusan hubungan dengan”. Istilah “posmodern”
lebih cenderung sebagai “bentuk penegasan terhadap modern, suatu
perpecahan atau pergeseran dari gambaran definitif modern”. Menurut
Prof.Jean Francois Lyotard, awalan pos menekankan sesuatu “setelah
bukan sebelum modernisme, dan memiliki tujuan mendasar “hybrid”,
yaitu mengibarkan yang modern dan budaya lokal (Charles Jencks,
1992). Dalam membahas posmodern ada lima hal di dalamnya
yang perlu memperoleh penjelasan seperlunya, yaitu:
86
1) Modernitas, menurut Prof. Dr. Max Weber Jr. (1864-1924),
Ferdinand Tonnies (1885-1936), dan Simmel, modernitas yaitu
proses-proses yang melahirkan negara industri kapitalis modern.
2) Posmodernitas, menurut Madan Sarup posmodernitas menekankan
berbagai bentuk identitas individu dan sosial yang berbeda-beda.
a) Modernitas awal, tahap ini yaitu periode renaissance (1455-
1690) sampai dengan permulaan revolusi industri.
b) Modernitas, kebangkitan revolusi industri membawa masuk
ke tahap simulacrum yang kedua. Modernitas yaitu zaman
kaum borjuis, zaman kemenangan produksi industri.
c) Posmodernitas, kita sekarang berada pada tahap simulacrum
yang ketiga, tahap model. Dalam sistem sekarang, yang
terbentuk setelah Perang Dunia II (1 September 1939-8 Mei
1945), landasan teoretis sistem kekuasaan telah bergeser dari
ekonomi politik marxis ke semiologi strukturalis. Apa yang
dipandang Karl Max sebagai bagian model yang nonesensial,
seperti iklan, media, informasi, dan jaringan komunikasi,
berubah menjadi bagian esensial.
3) Modernisasi, istilah modernisasi sering dipakai untuk merujuk
pada tahap-tahap perkembangan sosial yang didasarkan pada
industrialisasi.
4) Modernisme, berkaitan dengan rangkaian gaya kultural atau estetik
tertentu yang diasosiasikan dengan gerakan seni yang dimulai
kurang lebih pada abad yang lalu (abad ke-19) dan mendominasi
berbagai bentuk seni sampai sekarang.
5) Posmodernisme, yaitu nama gerakan di kebudayaan kapitalis
lanjut, secara khusus dalam seni. ada pengertian bila
orang melihat modernisme sebagai kebudayaan modernitas,
maka posmodernisme akan dipandang sebagai kebudayaan
posmodernitas. Istilah “posmodernitas” muncul pertama kali
di kalangan para seniman dan kritikus di New York pada 1960
dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an. Salah
seorang di antaranya Prof. Jean Francois L, dalam bukunya yang
sangat terkenal berjudul The Postmodern Condition: A Report of
Knowledge (1984), menyerang mitos yang melegitimasi zaman
modern (“narasi besar”), pembebasan progresif humanitas melalui
ilmu, dan gagasan filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk
proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara
universal valid untuk seluruh umat manusia.
B. Perbedaan Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat
di Dunia Islam
H. Priyono (1993) menyebutkan empat bidang besar yang menjadi
titik pembeda antara filsafat Barat dan Filsafat Timur, yang secara khas
dihayati oleh masing-masing budaya, yaitu tentang:
1. Pengetahuan
2. Sikap terhadap alam
3. Ideal atau cita-cita hidup
4. Status persona
I. Tentang pengetahuan, dalam filsafat Barat, rasio (akal budi)
memegang peranan utama. Sedangkan dalam filsafat Timur
menekankan pada unsur intuisi. Jika dalam budaya Barat,
belajar ditunjukkan untuk mampu menjawab tantangan alam,
sedangkan dalam budaya Timur sebaliknya, belajar ditunjukkan
untuk mendidik manusia menjadi bijaksana.
II. Tentang sikap terhadap alam, tampak Filsafat Barat bersifat
eksploitatif. Dengan ilmu dan teknologi yang dikuasainya, alam
ditaklukkan dan dikuras untuk kepentingan manusia. Dalam
hal itu, Filsafat Timur memandang alam memiliki jiwa.
Secara umum perbedaan Filsafat Barat dan Filsafat Timur itu dapat
dilihat berikut ini:
1. Buatan - asli
2. Suka konflik - suka hidup damai
3. Aktif - pasif
4. Mandiri - bergantung pada pihak lain
5. Cepat – lamban
6. Bersifat menciptakan – bersifat meneruskan
7. Progresif - konservatif
8. Rasional – intuitif
88
9. Eksperimental – teoretis
10. Ilmiah – artistik
11. Materialistis – kerohanian
12. Fisik – psikis
13. Mengutamakan duniawi – mengutamakan ukhrowi
14. Alam dikuasai manusia – manusia dan alam sejajar
15. Individualistis – kolektivistis
C. Negara Menjadi Pemain Utama
Dengan merujuk kepada pendapat Giorgio de Santillana dalam
tulisannya The Age of Adventure dalam seri The Mentor Philosophers,
1959, halaman 9, F. Isjwara, S.H., LLM., memaparkan memang benar jika
dikatakan, bahwa setiap zaman sedikit banyaknya mengalami transisi.
Akan namun , ada beberapa zaman yang bersifat lebih transitoir dibandingkan
zaman lainnya, umpannya saja, zaman Renaissance (1455-1690) dari
abad ke-16 dan ke-17 dan abad ke-20. Dewasa ini kita mengalami suatu
peralihan besar-besaran, di mana negara menjadi pemain utama dan
menjadi faktor positif dalam pembinaan keadilan dan kemakmuran
warga dan individu.
D. Lintasan Sejarah
1. Zaman Klasik
Dalam kurun zaman klasik dibagi dalam dua zaman yakni zaman
Yunani kuno dan zaman Romawi. Zaman Yunani kuno berlangsung
600-200 SM, peristiwanya polis (city state, stad staat, negara kota),
Iskandar Zulkarnain/Iskandar Agung/Alexander Agung (356-323
SM). Zaman Romawi berlangsung 200 SM – 400 M, peristiwanya
hukum Romawi, agama Kristiani, akhir kekaisaran, dengan
tokohnya Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dan Seneca (2-65 M).
2. Abad Pertengahan
Dalam kurun zaman pertengahan atau abad pertengahan (hukum
dan agama) berlangsung 500-1400 M, peristiwanya Roma Barat
(476 M), Codex Justinianus (534 M), agama Islam (622 M),
hukum Islam, Eropa Kristiani akhir kekaisaran Byzantium (1453
Bab 5 --- Sejarah 89
M), ada aliran skolastik, nominalisme, dengan tokohnya
Santo Aurelius Augustinus, William Occam/William Ockham, dan
Marsilius van Padua/Marsilius dari Padua/Marsiglio dari Padua.
3. Zaman Modern
Dalam kurun waktu modern dibagi menjadi tiga zaman yakni zaman
renaissance (manusia menemukan kembali kepribadiannya), zaman
aufklarung (paham pencerahan), dan pada abad ke-19.
4. Zaman Sekarang
Berlangsung 1900 M sampai sekarang, peristiwanya revolusi Rusia
(1917), deklarasi universal hak-hak manusia (1948), akhir zaman
kolonialisme, ada aliran neokantianisme, neohegelianisme,
neomarxisme, neopositivisme, sosiologi hukum fenomenologi,
eksistensialisme, teori-teori hukum alam.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 6 --- Karakteristik 91
A. Pengertian Karakteristik Filsafat
Membahas tentang Karakteristik bisa diartikan juga dengan membahas
tentang kekhususan atau ciri-ciri dari suatu hal yang akan menjadi
keidentikan atau simbol dari hal ini . Filsafat dapat diidentikan
dengan berpikir atau merenungkan segala sesuatu demi mendapat
kepastian sebagai jawaban akhir dan filsafat cenderung dengan
pemikirannya yang rasional agar nantinya dapat diterima oleh akal. Perlu
digarisbawahi, apakah segala bentuk pemikiran ataupun perenungan
yang dilakukan oleh manusia dapat dianggap sebagai aktivitas berfilsafat,
tentunya tidak. sebab di dalam filsafat sendiri ada standar-standar yang
dipakai sebagai acuan orang dianggap berfilsafat. Dapat disimpulkan
bahwa segala aktivitas berpikir tidak selalu merujuk pada aktivitas
berfilsafat, namun setiap aktivitas berfilsafat sudah tentu berpikir.
B. Karakteristik Filsafat
Karakteristik yang menjadi tolak ukur dalam berfilsafat ada tiga
komponen utama di antaranya:
1. Radikal
Dari segi bahasa radikal berasal dari kata radix yang berarti akar
atau disebut juga dengan arche. Berpikir radikal, artinya berpikir
sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai kepada
konsekuensinya yang terakhir, berpikir itu tidak separo-separo,
tidak berhenti di jalan, namun terus sampai ke ujungnya. Hal ini
pula yang menjadikan ciri khas yang dimiliki filsafat berbeda
dengan ilmu pengetahuan biasanya yang hanya terpacu
dari penggunaan asumsi, sedangkan dalam filsafat asumsi pun
dibicarakan dan diciptakan.
2. Sangat Umum atau Universal
Berpikir universal tidak berpikir khusus, terbatas pada bagian-
bagian tertentu, namun mencakup secara keseluruhan. Yang
lalu dideskripsikan bahwa filsafat cenderung mengkaji segala
hal yang menyangkut keseluruhan, baik masalah ada dan tidaknya
pun juga termasuk dalam pembahasannya, tanpa ada konsep suatu
ilmu tertentu yang menjadi pembatasannya.
3. Sistematis
Berpikir sistematis, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah
demi selangkah dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang
bertanggung jawab dan saling hubungan yang teratur. Yang berarti
di mana perbincangan mengenai segala sesuatu itu dilakukan secara
teratur, bersistem, tersusun, sehingga urutan dan tahapannya
mengikuti aturan tertentu, dengan akibat mudah atau dapat diikuti
siapa saja. Yang nantinya hasil dari hal ini dapat diuji ulang
oleh orang lain dengan tanda kutip hal ini dikembalikan lagi
bahwa harus hanya ada satu pengertian saja di antara berbagai
asumsi yang berkembang.
Selain ketiga komponen utama yang menjadi sifat dari
filsafat itu sendiri masih ada beberapa komponen-komponen pendukung
yang juga masih memiliki kaitan, di antaranya:
1. Faktual
Dideskripsikan bahwa hasil dari pemikiran filsafat cenderung
sebagai praduga atau anggapan-anggapan rasional tanpa
kungkungan dari adanya dasaran ilmu ilmiah seperti masalah yang
ada pada ilmu lain. Hal ini dikarenakan filsafat membentuk asumsi,
tidak seperti ilmu pengetahuan kebanyakan yang berdiri di atas
dasar adanya asumsi.
2. Bersangkutan dengan Nilai
C.J. Ducasse mengatakan bahwa Filsafat yaitu usaha untuk
mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian.
Yang dibicarakan dalam penilaian yaitu tentang yang baik dan
buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu
usaha untuk mempertahankan nilai. Nilai-nilai ini nanti
akan memunculkan terbentuknya tatanan nilai dalam segala aspek
kehidupan.
3. Berkaitan dengan Arti
Segala yang berharga dan dianggap perlu dipertahankan
keberadaannya dapat disimpulkan mengandung hal yang berarti.
Bagi para filosof-filosof demi mengungkapkan gagasan yang
mengandung kepadatan makna, perlu adanya penciptaan kalimat-
kalimat dengan bahasa yang logis dan tepat (ilmiah). Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari adanya keambiguan
atau kesalahpahaman pemaknaan.
4. Implikatif
Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung
implikasi (akibat logis). Dari implikasi ini diharapkan akan
mampu melahirkan pemikiran baru sehingga akan terjadi proses
pemikiran yang dinamis: dari tesis ke antitesis lalu sintesis,
dan seterusnya.... sehingga tidak habis-habisnya. Pola pemikiran
yang implikatif (dialektis) akan dapat menyuburkan intelektual.
Sehingga dari hasil pemikiran –pemikiran ini masih memiliki
kemungkinan akan adanya rencana tindak lanjut dari segala gagasan
yang telah ada.
Sedangkan Menurut Wirodiningrat (1981: 113), filsafat memiliki
sifat sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Yang
dapat diartikan bahwa:
1. Menyeluruh dalam arti segala yang dijadikan pemikiran ataupun
pengkajian di dalam filsafat tidak terbatas sekat-sekat aturan yang
ada pada ilmu-ilmu lain. Hal ini membuktikan bahwa pembahasan
dalam filsafat itu luas dan tidak terpaut dengan satu pemahaman
dalam sudut pandang tertentu, yang di mana hasil dari pengkajian
filsafat dapat dipakai untuk mengetahui hubungan cabang-
cabang ilmu yang beragam.
2. Mendasar dalam arti kajian yang dilakukan di dalam filsafat bersifat
menghakikat yang diartikan bahwa ulasan yang dibahas di dalam
filsafat telah melalui tahapan detail dan pemikiran yang mendalam.
Hal ini, membuat hasil dari pemikiran filsafat dapat dijadikan
pedoman bagi cabang-cabang ilmu yang lain.
3. Spekulatif dalam artian segala hasil pemikiran filsafat yang dijadikan
pedoman oleh ilmu-ilmu lain, telah membuka celah sebagai cikal
bakal terbentuk dan ditemukannya ilmu-ilmu baru.
Menurut Mohammad Noor Syam, filsafat memiliki sifat
atau ciri komprehensif, relatif, dan subjektif. Filsafat yaitu satu
lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang sangat luas
(komprehensif). Filsafat menjangkau semua persoalan dalam daya
kemampuan pikir manusia. Filsafat mencoba mengerti, menganalisis,
menilai, dan menyimpulkan semua persoalan dalam jangkauan rasio
manusia secara kritis, rasional, dan mendalam. Dengan perkataan
lain, kesimpulan-kesimpulan filsafat bersifat hakiki, meskipun masih
relatif dan subjektif. Kedua sifat terakhir ini tidak dapat dihindarkan
sebab adanya sifat alamiah kodrati pada subjek yang melakukan
aktivitas berfilsafat itu sendiri. Yaitu manusia sebagai subjek selalu
dalam proses perkembangan, baik rohani maupun jasmani. Terutama
sifat subjek yang selalu cenderung memiliki watak subjektivitas, akan
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang subjektif pula. Faktor-faktor
inilah yang melahirkan aliran-aliran filsafat, perbedaan-perbedaan dalam
filsafat. Bahkan dapat pula berupa pertentangan-pertentangan asasi,
kontradiksi-kontradiksi ajaran dan sebagainya.
Mohammad Noor Syam menampilkan pula sifat filsafat,
yaitu kontemplatif (contemplative), spekulatif (speculative), dan deduktif
(deductive). Beliau menjelaskan filsafat sebagai bidang penyelidikan,
sebagai disiplin atau ilmu, memiliki metode tertentu. Umumnya
diketahui filsafat terutama memakai metode kontemplatif,
spekulatif, dan deduktif. Pada filsafat hukum sebagai suatu bidang
penyelidikan dan suatu disiplin atau ilmu, memiliki cara bekerja
melalui kontemplatif, spekulatif, dan deduktif. Hal ini berarti
kontemplatif, spekulatif, dan deduktif berlaku dalam filsafat hukum.
Bab 6 --- Karakteristik 95
1. Kontemplatif dalam filsafat hukum
Merenung yaitu suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat,
yaitu memikirkan segala sesuatu sedalam-dalamnya. Kita dapat
membayangkan proses perenungan (contemplative) itu berlangsung
lama, dalam keadaan tenang dan hening sungguh-sungguh, dalam
kesendirian atau kapan dan di manapun. Pada filsafat hukum
berlaku pula metode kontemplatif.
2. Spekulatif dalam filsafat hukum
Filsafat sangat wajar memakai metode spekulatif (speculative)
yang juga berarti perenungan atau merenung itu. Oleh sebab bukan
saja objeknya yang tidak terbatas, melainkan juga tujuannya ialah
untuk mengerti hakikat sesuatu. Mengerti hakikat sesuatu berarti
kita harus menyelami melalui sesuatu secara lebih mendalam.
Wajar melalui perenungan dengan pikiran yang tenang, kritis, pikir
murni. Cenderung menganalisis, menghubungkan antarmasalah,
berulang-ulang sampai mantap. Pada filsafat hukum berlaku pula
metode spekulatif.
3. Deduktif dalam filsafat hukum
Filsafat, sesuai dengan scope dan objeknya yang tidak terbatas itu,
maka metode yang dipakainya bersifat deduktif. Berpikir dengan
metode deduktif ini dimulai dari realita yang bersifat umum, guna
mendapat kesimpulan tertentu yang khusus. Dalam batas-batas
tertentu, filsafat memakai metode ilmiah termasuk induktif,
untuk mendapatkan kebenaran yang valid, melalui checking, re-
checking, dan cross-checking. Pada filsafat hukum berlaku pula metode
deduktif.
Theo Huijbers berpendapat bahwa sifat filsafat yaitu
reflektif, juga universal, metodis, dan sistematis. Hal itu ada
dalam uraiannya: “Metode yang khas bagi suatu pemikiran filsafat ialah
refleksi yang atas pengalaman-pengalaman dan pengertian-pengertian
tentang sesuatu hal dalam cakrawala yang universal;…..diminta untuk
pengolahan pikiran secara ilmiah, yakni metodis dan sistematis.
maka , filsafat hukum sebagai suatu bidang penyidikan dan
suatu disiplin atau ilmu yang memiliki sifat kontemplatif,
spekulatif, deduktif, metafisis, reflektif, universal, metodis, dan
sistematis.
Keterkaitan cabang-cabang ilmu yang satu dengan ilmu yang lain
dapat dititiktemukan dengan adanya pengkajian dari filsafat. Filsafat
dengan sifat nya dapat melahirkan dugaan-dugaan baru yang
nantinya dapat ditindaklanjuti sebagai cikal bakal terbentuknya cabang-
cabang ilmu pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu, pentingnya akan
pemahaman dan mengetahui, menyadarkan besar pentingnya peran
dari sifat filsafat.
Karakteristik filsafat hukum itu mencakup: (1) filsafat hukum
membahas masalah-masalah hukum yang sifatnya umum; (2) filsafat
hukum yaitu subspesies dari spesies etika dan genus filsafat;
(3) filsafat hukum yaitu kegiatan dan hasil pemikiran tinggi,
luas, dan mendalam secara kontemplatif, spekulatif, deduktif, reflektif,
komprehensif, sinoptis, metafisis, kritis, rasional, transendental,
integral, dan universal mengenai hakikat hukum; (4) filsafat hukum
memandang hukum sebagai perwujudan nilai, sistem norma, dan alat
untuk mengatur warga ; (5) filsafat hukum mengkaji segala sesuatu
secara mendasar/mendalam/fundamental/radikal (radix, berarti akar);
(6) filsafat hukum menjadi induk dari semua refleksi teoretis tentang
hukum; (7) filsafat hukum berperan meneratas jalan bagi pertumbuhan
dan pengembangan ilmu-ilmu hukum baik ilmu hukum normatif
maupun ilmu hukum sosiologis; (8) variasi pemikiran dalam filsafat
hukum menimbulkan bermacam-macam aliran atau ajaran filsafat
hukum yang mengandung konsepsi-konsepsi atau teori hukum di
dalamnya serta; (9) telaah filsafat hukum atas kehidupan kenegaraan/
ketatanegaraan dapat melahirkan fondamen filsafat/filsafat dasar,
pandangan/pendirian hidup nasional, cita-cita hukum, norma dasar,
norma asal/norma sumber, norma fundamental negara, jiwa bangsa,
asas kerohanian negara, dan adi cita atau ideologi nasional, serta cara
hidup bangsa suatu negara.
A. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun
yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari
sejarahnya, menurut Friedmann (1990: 47), aliran ini timbul sebab
kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum
alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui
penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan
ini mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum
eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum
yang sengaja dibentuk oleh manusia (Soerjono Soekanto, 1985:5-6).
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat
dibedakan dalam dua macam, yaitu:
1. Aliran Hukum Alam Irasional
Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku
universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung.
Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber
hukum yang universal dan abadi itu yaitu rasio manusia. Pandangan
yang muncul setelah zaman Renesanse (era saat rasio manusia
dipandang terlepas dari tertib ketuhanan) berpendapat bahwa hukum
alam ini muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang
baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral)
alam. Pendukung aliran hukum alam irasional antara lain:
a. John Salisbury (1115-1180)
Menurutnya jika masing-masing penduduk bekerja untuk
kepentingan sendiri, kepentingan warga akan terpenuhi
dengan sebaik-baiknya (Schmid, 1965: 91). Salibury juga
melukiskan kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam
sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua
unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.
Pemikiran Salisbury dituangkannya dalam suatu kumpulan buku
yang diberi judul Policraticus sive de Nubis Curialtum et Vestigiis
Pholosophorum Libri VIII. Selain itu, ada bukunya yang
berjudul Metalogicus.
b. Dante Alighieri (1265-1321)
Seperti halnya dengan filsuf-filsuf abad pertengahan, filsafat Dante
sebagian besar yaitu tanggapan terhadap situasi yang kacau
balau pada masa itu. Baik Jerman maupun Prancis pada abad
pertengahan menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus
di Roma. Dante, dalam hal ini berada pada kubu penguasa. Ia
amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja.
Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan jika pelaksanaan
hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa pemerintahan
yang absolut. Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap
kekuasaan monarki yang bersifat mondial. Monarki dunia inilah
yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara
penguasa yang satu dengan lainnya. Dasarnya hukum yang dijadikan
pegangan yaitu hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum
Tuhan. Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi
dari Tuhan sebagai monarki dunia ini yaitu Kekaisaran Romawi.
Hanya saja, pada abad pertengahan ternyata Kekaisaran Romawi
itu sudah digantikan oleh kekuasaan Jerman dan lalu Prancis
di Eropa. Karangan Dante yang penting berjudul De Monarchia.
c. Piere Dubois (lahir 1255)
Dubois yaitu salah satu filsuf terkemuka Prancis. Kedudukannya
sebagai pengacara Raja Prancis pada masa itu selaras dengan
Bab 7 --- Aliran-Aliran 99
pandangan-pandangannya yang pro penguasa. Ia mencita-
citakan suatu kerajaan Prancis yang mahaluas, yang menjadi
penguasa tunggal dunia. Di sini tampak, bahwa Dubois
sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal.
Sama seperti filsuf Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa
(raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa
perlu melewati pemimpin Gereja. Bahkan, Dubois ingin agar
kekuasaan duniawi Gereja (Paus) dicabut dan diserahkan
sepenuhnya kepada raja. Menurut Schmid (1965:108-109), dalam
beberapa hal pemikiran-pemikiran Dubois telah mampu menjawab
kebutuhan hukum pada abad-abad lalu . Misalnya saja, ia
mengusulkan agar hubungan negara-negara (di bawah kekuasaan
Prancis) itu diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita
pada badan PBB sekarang. Ia juga menyatakan, bahwa raja pun
memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, namun raja tidak
terikat untuk mematuhinya. Bukunya yang terpenting yaitu De
Rescuperatione Terre Sance (Tentang Penaklukan Kembali Tanah
Suci).
d. Marsilius Padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317)
Pemikiran Marsilius Padua sering kali diuraikan bersama-sama
dengan pemikiran William Occam, mengingat keduanya banyak
persamaannya. J.J. von Schumid (1965:109) menyebutkan, kedua
orang ini termasuk tokoh penting abad ke-14, sama-sama dari
ordo Franciscan, dan pernah memberi kuliah di universitas di
kota Paris. sebab pertentangannya terhadap pemikiran Gereja,
kedua orang ini juga sama-sama dikeluarkan dari Gereja oleh
Paus. Padua berpendapat bahwa negara berada di atas kekuasaan
Paus. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pendapatnya
tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Padua
juga berpendapat bahwa tujuan negara yaitu untuk memajukan
kemakmuran dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas.
maka , hukum harus mengabdi kepada rakyat. Bahkan,
rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahnya. Rakyat
boleh menghukum penguasa (raja) ya