filsafat hukum 1

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 1





Filsafat lahir di Yunani pada abad keenam Sebelum Masehi (SM). Dalam 
bahasa Yunani filsafat disebut philosophia yang berasal dari dua akar 
kata yakni “philos” atau “philia” dan “sophos” atau “sophia”. “Philos” 
memiliki  arti cinta, persahabatan, sedangkan “sophos” berarti hikmah, 
kebijaksanaan, pengetahuan, dan inteligensia. Dengan demikian maka 
philosophia ini dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan. Istilah 
philosophia ini masih menjadi perdebatan tentang siapa yang paling 
awal memperkenalkannya. Ada yang mengatakan bahwa philosophia ini 
untuk pertama kali diperkenalkan oleh Heraklitos (540-480 SM), dan 
ada pula pendapat lain yang mengemukakan bahwa Pythagoras yang 
pertama kali memperkenalkannya. Pada periode filsafat Sokratik (abad 
ke lima SM), kata filsafat dipakai  dalam karya Plato yang berjudul 
Phaidros. Dalam karya ini Plato menerangkan bahwa “makhluk bijak” 
(sophos) terlalu luhur untuk seorang manusia. Kata itu hanya pantas 
untuk dewa. Oleh karenanya bagi Plato lebih baik manusia dijuluki 
pecinta kebijakan atau philosophos. Sejak saat itu philosophos berkembang 
sebagai sebuah sebutan bagi manusia yang mencari dan mencintai 
kebijaksanaan. maka , pengakuan bahwa manusia bukanlah 
makhluk yang sudah bijaksana, namun  sedang berproses menjadi 
bijaksana. Kata philosophos menjadi penanda adanya kegiatan manusia 
yang mencari dan mengejar kebijaksanaan sebab kecintaannya akan 
kebijaksanaan itu. sebab  itulah filsafat diartikan sebagai cinta akan 
kebijaksanaan.
Menurut Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H., M.Hum. dalam 
bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu Hukum”, Filsafat yaitu hasil 
berpikir filsafat. Berpikir filsafat yaitu berpikir tentang sebab (thingking 
of cause). Berpikir tentang sebab yaitu berpikir tentang asal-usul, sumber, 
atau hakikat sesuatu. Berpikir tentang sebab dari sesuatu, misalnya suatu 
peristiwa, dapat membuat seseorang memiliki pengetahuan tentang 
sebab dari peristiwa ini  (knowledge). Pengetahuan tentang sebab dari 
suatu peristiwa dapat membuat orang memahami asal-usul atau hakikat 
dari peristiwa ini  (understanding). Memahami sebab suatu peristiwa 
dapat membuat orang menjadi bijaksana dalam bersikap terhadap 
suatu peristiwa (wisdom). Oleh sebab itu seseorang yang berfilsafat 
atau seorang filsuf disebut bijaksana sebab ia memiliki pengetahuan 
tentang sebab, ia memahami atau memiliki pengertian tentang sebab 
suatu peristiwa. Pengetahuan dan pemahaman tentang sebab dari suatu 
peristiwa membuat seseorang memiliki kemampuan untuk memecahkan 
masalah yang terkandung dalam peristiwa ini .
Apa itu Hukum? Memulai pertanyaan dengan apa itu hukum? 
Merupakan suatu kesengajaan dalam kesederhanaan untuk memahami 
secara utuh hukum itu sendiri. Jika yang pertama-tama muncul sebagai 
hukum ialah hukum yang berlaku dalam sebuah Negara, maka hukum 
yang dimaksud yaitu hukum positif. Dalam konteks ini, penetapan 
oleh pemimpin yang sah dalam negara dianggap asal mula adanya 
hukum. Kalau seorang ahli hukum bicara mengenai hukum biasanya ia 
memaksudkan hukum ini. Lalu, bagaimana jika rakyat bicara mengenai 
hukum. saat  rakyat mencari hukum, berarti rakyat menuntut susaha  
hidup bersama dalam warga  diatur secara adil. Dalam hal ini, 
rakyat lebih melihat dalam tatanan norma yang memiliki kedudukan 
tinggi dari undang-undang. Sehingga dalam mengesahkan tuntutan 
dari rakyat tidak perlu diketahui apa yang terkandung dalam undang-
undang negara. Rakyat meminta susaha  tindakan-tindakan yang diambil 
yaitu sesuai dengan suatu norma yang lebih tinggi dibandingkan  norma 
hukum dalam undang-undang. Norma yang lebih tinggi itu dapat 
disamakan dengan prinsip-prinsip keadilan. Dikotomi di antara dua 
subjek dalam melihat pendekatan hukum yang diadopsi dan diambil 
oleh keduanya tentunya memiliki perbedaan yang memang sangat 
nyata. Lantas pertanyaan yang lalu  muncul mungkinkah kedua 
hukum ini  dipisahkan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan 
ini , maka marilah kita memandang pertama-tama hukum 
positif secara terpisah dari prinsip-prinsip keadilan. Kemudian kita 
akan melihat pula apa arti suatu hukum lepas dari hukum positif itu. 
Seandainya hukum lepas dari norma-norma keadilan kemungkinan ada 
bahwa hukum yang ditetapkan yaitu hukum yang tidak adil. Apakah 
hukum yang tidak adil memiliki kekuatan hukum? Untuk mengerti 
apakah hukum yang sebetulnya perlu diketahui, apakah makna 
hukum. Menurut tanggapan umum makna hukum ialah mewujudkan 
keadilan dalam hidup bersama manusia. Makna ini dicapai dengan 
dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan-peraturan 
bagi kehidupan bersama itu. Maka menurut pandangan orang hukum 
yang sebetulnya yaitu hukum positif yang yaitu suatu realisasi 
dari prinsip-prinsip keadilan. saat  hukum positif diuraikan dalam 
koridor prinsip-prinsip keadilan, maka harus diakui bahwa orang yang 
memakai  metode empiris memiliki pandangan yang berbeda atau 
mungkin juga dengan segala keterbatasannya, mereka tidak sampai 
pada pandangan ini. Mereka mendapat pengertian tentang hukum dari 
apa yang terjadi dalam pembentukan hukum dalam undang-undang. 
Dengan ini mereka memastikan bahwa hukum berasal dari suatu 
penguasa yang sah dalam suatu negara yang berdaulat. Pemerintah 
itu meneliti situasi, melihat kebutuhan akan peraturan-peraturan 
tertentu, lalu mengesahkan peraturan itu. Dapat dipastikan juga bahwa 
pembuatan peraturan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sudah 
barang tentu situasi historis dan politik suatu warga  terlebih 
dahulu menjadi dasar pertimbangan. Kemudian juga ideologi negara 
dapat menjadi petunjuk dalam membentuk undang-undang. Mungkin 
juga kepentingan mempengaruhi atau nafsu kekuasaan ikut menentukan isi 
undang-undang. namun  pengertian tentang hukum sebagai norma suatu 
hidup bersama yang adil tidak masuk pertimbangan mereka.Walaupun 
tanggapan hukum sebagai suatu aturan yang adil tidak diperoleh melalui 
penyelidikan ilmiah, pada orang tetap ada keyakinan bahwa hukum 
ada hubungan dengan yang seharusnya. Dalam hati manusia hiduplah 
   
keinsyafan keadilan yang membawa orang kepada suatu penilaian 
faktor-faktor yang berperanan dalam pembentukan hukum. Dengan 
demikian orang-orang membedakan antara suatu ideologi yang baik 
dan yang jahat, antara tindakan yang diambil demi kepentingan mempengaruhi 
dan tindakan demi kepentingan umum. Suatu tindakan yang tidak adil 
umumnya tidak dianggap sebagai tindakan hukum.
Keinsyafan keadilan dalam hubungan dengan hukum tidak hanya 
dimiliki oleh rakyat. Yang berkuasa dalam negara juga sadar tentang 
perlunya keadilan. sebab  kesadaran ini para penguasa politik sekuat 
tenaga berusaha untuk mengesahkan tindakan-tindakannya seakan-akan 
tindakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Untuk tujuan ini 
kadang-kadang prinsip-prinsip keadilan dipalsukan dengan membuat 
slogan-slogan yang menipu orang. Slogan-slogan itu ditimba dari sejarah 
atau semangat hidup rakyat. Umpamanya di Nazi-Jerman suatu teori 
darah dan tanah (Blit und Boden) disusun untuk mengesahkan 
pembunuhan enam juta orang yahudi. Prinsip nasib historis dipakai  
untuk mengesahkan perang dan sebagainya. namun  semboyan-semboyan 
ini sebetulnya hanya usaha untuk mengubah makna tindakan yang tidak 
adil susaha  ditanggapi sebagai adil. Inilah suatu bukti bahwa semua 
orang beranggapan bahwa keadilan termaksud arti hukum. Kadang-
kadang terjadi bahwa undang-undang yang dulu cocok dengan situasi 
warga  sebab perkembangan sosial makin menjauhkan diri dari 
rasa keadilan yang hidup dalam hati orang. Atau juga terjadi bahwa para 
penguasa memiliki  niat yang sungguh-sungguh untuk membuat 
undang-undang yang adil, namun  usaha ini gagal. Pada kenyataannya 
undang-undang ditaati pada permulaan. namun  sesudah beberapa waktu 
jurang antara hukum positif dan prinsip-prinsip keadilan menjadi nyata. 
Akibatnya peraturan yang ditentukan kehilangan artinya sebagai hukum 
dan mungkin tidak ditaati lagi. Bila perkembangan semacam ini cukup 
disadari oleh orang-orang yang menetapkan hukum mereka itu akan 
menyetujui bahwa hukum positif menjadi ”huruf yang mati”. Inilah 
suatu tanda bahwa baik pihak rakyat maupun pihak berkuasa hanya 
mengakui hukum sebagai hukum, bila hukum itu sungguh-sungguh 
tergabung dengan prinsip-prinsip keadilan. Hukum yang dipandang 
sebagai hukum hanya jika tidak menentang keadilan, konsekuensinya 
ialah peraturan yang tidak adil bukanlah hukum yang sebenarnya. Oleh 
sebab itu, kalau suatu peraturan kehilangan arti dan maknanya sebagai 
hukum maka peraturan ini tidak wajib lagi dan karenanya tidak boleh 
ditaati. Apakah konsekuensi ini dapat dipertahankan di hadapan suatu 
penguasa yang berkuasa yang mengesahkan peraturan semacam itu? 
Dengan kata lain: apakah pemberontakan terhadap pemerintahan 
diizinkan tiap-tiap kali suatu peraturan yang tidak adil ditentukan? 
Dalam hal ini kiranya pertimbangan Thomas Aquinas cukup bijaksana. 
Menurut pendapatnya pemberontakan terhadap tata hukum yang tidak 
adil sering kali tidak diizinkan sebab bahaya huru-hara dan anarki. 
Walaupun demikian tetap benar juga bahwa hukum yang tidak adil 
kehilangan artinya sebagai hukum, sekalipun peraturan-peraturannya 
ditaati terus. Di sini motif ketaatan sudah berlainan. Peraturan ini tidak 
ditaati oleh sebab memiliki ketaatan hukum, namun  oleh sebab orang 
yang menetapkannya yaitu orang yang berkuasa. Dengan ini perbedaan 
antara hukum dan kekuasaan telah hilang. Bila keadilan begitu penting 
dalam menentukan arti hukum, mengapa kaum juris menitikberatkan 
segi positif hukum dan sering kali melalaikan segi keadilan. Hal ini dapat 
dimengerti oleh sebab dalam praktik sering kali sulit dibedakan antara 
hukum yang adil dan hukum yang tidak adil. Kaum juris yang mempelajari 
masalah hukum kurang senang dengan ketidakpastian ini. Apa yang 
perlu menurut mereka yaitu pertama-tama kepastian. Hukum harus 
pasti (cerum), susaha  dapat menjalankan fungsinya, yakni menjamin 
aturan hidup bersama dan menghindarkan timbulnya kekacauan. 
Kepastian hukum dicapai melalui suatu perundang-undangan yang 
mengatur seluruh hidup bersama sampai detail-detailnya. Tentu saja 
ideal kaum juris ini tidak pernah tercapai, akan namun  hal ini tidak 
membuktikan kesia-siaannya. Namun dengan tetap menerima bahwa 
kepastian hukum ada nilainya, kami berkeyakinan bahwa hukum harus 
pertama-tama benar (verum), yakni hukum harus adil. Oleh sebab itu 
para ahli hukum harus terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai hidup 
bersama, susaha  suatu hukum dapat dibentuk yang benar-benar 
yaitu hukum sebab sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam 
zaman sekarang ini terutama sesudah perang dunia kedua, bertambahlah 
kesadaran bahwa hukum harus dikaitkan dengan keadilan susaha  dapat 
dipandang sebagai hukum. Atau dengan kata lain, orang makin yakin 
bahwa hukum positif harus menurut norma-norma yang tertentu, yakni 
prinsip-prinsip keadilan. jika  tata hukum yang tidak memenuhi 
syarat ini, tetap diakui sebagai hukum, maka dengan ini hukum 
sebetulnya tidak dapat dibedakan lagi dari kekuasaan. Di antara filsuf-
filsuf yang membela pandangan ini ada  filsuf-filsuf neokantianisme, 
terutama Radbruch. Namun bagi mereka tidak mudah untuk 
mempertanggungjawabkan pendiriannya oleh sebab bidang keharusan 
dipisahkan dari bidang kenyataan. Bagaimana norma-norma keadilan 
dapat masuk undang-undang yang hanya yaitu kenyataan saja? 
Beberapa filsuf aliran-aliran lain yang mendukung pandangan bahwa 
hukum harus adil. Seorang tokoh sosiologi hukum modern, G.Gur Vitch, 
dari aliran fenomenologi dan eksistensialisme Reinach dan Hommes 
perlu disebut. namun  uraian sistematis mereka kadang-kadang kurang 
memuaskan, entah sebab metodenya, entah sebab tanggapannya 
tentang eksistensi manusia sebagai manusia individual, atau argumentasi 
lainnya. Filsuf-filsuf yang prihatin juga terhadap aspek keadilan dalam 
hukum ialah filsuf-filsuf yang tinggal dalam arus tradisional filsafat 
dengan menerima suatu hukum dalam arti keadilan, yakni hukum alam. 
Kiranya filsafat tradisional ini paling mantap untuk memper tanggung-
jawabkan gejala hukum secara mendalam. Hal ini tidak mengherankan. 
Seluruh sejarah filsafat hukum menjelaskan bahwa masalah yang 
sebetulnya dalam bidang filsafat hukum yaitu tidak lain dibandingkan  
masalah ini: apa sebetulnya hukum alam? Dari semula hukum alam 
sudah yaitu pokok filsafat hukum dan sampai zaman sekarang ini 
masalah ini selalu muncul kembali dalam pikiran orang. Maka benarlah 
apa yang dikatakan dengan kata kiasan: ”bila hukum alam ditolak dan 
tidak diperbolehkan masuk ke dalam badan hukum positif, hukum itu 
bergelepar di sekitar kamar seperti semacam hantu dan mengancam 
untuk menjelma menjadi sebuah lintah darat yang mengisap darah dari 
badan hukum”. Hukum positif menjamin kepastian hidup, namun  baru 
menjadi lengkap bila disusun sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. 
Menurut tradisi klasik dan skolastik prinsip-prinsip keadilan itu 
terkandung dalam suatu hukum alam, entah hukum itu berasal dari 
alam, entah dari Allah, entah dari akal budi manusia. Pertanyaan yang 
dapat diajukan di sini ialah: apakah prinsip-prinsip keadilan yang 
terkandung dalam hukum alam dapat disebut hukum? Ataukah prinsip-
prinsip keadilan itu memerlukan suatu institusionalisasi susaha  
sungguh-sungguh menjadi hukum? Kriterium yang dipakai  di sini 
yaitu bahwa prinsip-prinsip keadilan itu hanya dapat dipandang sebagai 
hukum yang sungguh-sungguh bila mereka bekerja secara efektif dalam 
mengatur hidup bersama manusia yang konkret. Oleh sebab itu, 
keadilan jika  belum diinstitusionalisasi dalam peraturan-peraturan 
prinsip-prinsip keadilan yang dapat berguna sebagai pedoman bagi 
hukum, maka dengan demikian prinsip-prinsip keadilan ini  tidaklah 
menjadi hukum. Dapat disetujui bahwa hukum alam yang mengandung 
prinsip-prinsip keadilan itu, yang biasa disebut hukum pra-positif, atau 
hukum pra-yuridis. Akan namun  sebagai norma bagi praktik yuridis, 
prinsip-prinsip ini baru menjadi efektif jika tertuang dalam hukum positif 
yang adil. Kesimpulannya ialah bahwa dalam hukum yang sebetulnya 
dua segi disatukan disebutkan bahwa hukum haruslah dirumuskan 
dalam bentuk hukum yang adil dan pasti. Bila salah satu segi tidak 
terpenuhi maka ’hukum’ itu kehilangan artinya sebagai hukum. Hal ini 
dapat dijelaskan dengan membandingkan hubungan antara kedua arti 
hukum, yakni hukum yang pasti dan hukum yang adil, dengan hubungan 
antar badan dan jiwa. Memang jelas bahwa badan tanpa jiwa tidak ada 
artinya. namun  di lain pihak benar juga bahwa jiwa tidak dapat berdikari. 
Jiwa hanya dapat hidup bila bersatu dengan badan untuk bersama-sama 
membentuk manusia. Namun peraturan yang erat antara badan dan jiwa 
tidak memicu bahwa kedua bagian ini dapat disamakan sehingga 
tidak berbeda lagi. Baik badan maupun jiwa menunjuk suatu segi yang 
lain dalam hidup manusia. Seperti badan dan jiwa bersatu dalam manusia 
demikian pula peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keadilan bersatu 
dalam hukum yuridis, yakni hukum positif yang benar. Namun seperti 
badan dan jiwa tidak pernah menjadi satu, demikian juga peraturan-
peraturan dan prinsip-prinsip keadilan tidak pernah menjadi satu. Betapa 
besar juga usaha untuk mewujudkan suatu hukum yang positif yang 
hasilnya tidak akan pernah sempurna. namun  akan ada dualisme antara 
norma-norma keadilan dan hukum yang diciptakan manusia sebagai 
hukum positif. Dari sejarah filsafat hukum dapat dipelajari bahwa pada 
zaman dulu hukum alam sering kali dianggap sebagai hukum yang sah. 
Itu berarti juga bahwa filsuf-filsuf zaman itu memandang hukum alam 
sebagai suatu hukum tersendiri lepas dari hukum yang mengatur hidup 
bersama orang-orang dalam undang-undang. Dalam zaman Yunani-
Romawi hukum alam disamakan dengan prinsip-prinsip suatu aturan 
ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan filsuf-filsuf 
Yunani kuno khususnya dalam filsafat Plato dan Aristoteles, hukum 
ditanggapi sebagai pernyataan dari yang ilahi. Demikian juga dalam 
filsafat stoa yang sangat berpengaruh dalam kerajaan Romawi. Dalam 
filsafat Abad Pertengahan hukum diartikan sebagai pernyataan kehendak 
Allah dengan alam dan dengan manusia. Baik hukum alam maupun 
hukum positif memiliki kekuatan hukum, walaupun berbeda pada 
tingkatnya masing-masing. Pada zaman sekarang ini filsuf-filsuf yang 
menerima suatu hukum alam memandangnya sebagai norma bagi hukum 
positif. namun  norma itu baru menjadi hukum dalam hubungannya 
dengan peraturan yang konkret dalam warga , yakni dalam hukum 
positif yang sejati.Filsuf-filsuf yang menganut rasionalisme percaya pada 
kekuatan pengertian manusia. Maka dari itu mereka ditantang untuk 
menyusun suatu daftar hukum alam yang berlaku untuk segala tempat 
dan segala zaman. Juga teori keadilan dari RAWLS menuju ke arah itu 
melihat usahanya untuk merumuskan prinsip-prinsip keadilan yang 
berlaku untuk selama-lamanya. Namun dari sejarah filsafat hukum sudah 
kentara bahwa mustahillah menyusun suatu daftar hukum alam yang 
selalu berlaku dan tidak dapat diubah.
Perubahan hukum alam dapat dipastikan dalam sejarah. Cukuplah 
pandangan hukum alam zaman Yunani-Romawi dibandingkan dengan 
pandangan zaman sekarang berhubungan hak-hak manusia. Waktu dulu 
hak-hak itu tidak diakui sama sekali, bahkan juga dilanggar, umpamanya 
dalam hal perbudakan atau juga dalam teori Staatsrason dari zaman 
Renaissance. Dari perkembangan yang kita saksikan dalam bidang 
ini dapat disimpulkan bahwa pasti pada zaman sekarang juga masih 
ada  masalah yang belum jelas. Contoh-contoh dapat diambil dari 
masalah yang yaitu tantangan bagi para sarjana hukum zaman 
sekarang. Seperti manakah hukum yang baik mengenai eutanasi, abortus, 
pendapatan yang adil, milik mempengaruhi maupun milik alat-alat produksi? 
Jelaslah bahwa problem-problem yang timbul dalam hubungan dengan 
hukum yang adil tidak dapat dipecahkan melalui prinsip-prinsip yang 
tetap, sebab justru prinsip-prinsip ini menjadi pokok diskusi juga. 
Umpamanya prinsip bahwa kehidupan manusia tidak boleh diganggu 
gugat. Diragukan apakah prinsip ini selalu benar, sehingga berlaku dalam 
segala situasi hidup. Kesimpulannya ialah bahwa dengan menerima 
hukum alam dalam pemahaman deskriptif sebetulnya diterima adanya 
kriteria untuk menilai apa hukum yang sungguh menurut prinsip 
keadilan. Hukum semacam ini biasanya disebut hukum alam. namun  itu 
tidak penting. Asal diketahui bahwa menganut hukum alam sekarang 
tidak berarti bahwa seluruh teori hukum alam zaman dulu dipanggil 
kembali. Perlu saja bahwa inspirasinya dihidupkan kembali oleh sebab 
memang inspirasi itu tetap berguna bagi zaman sekarang, yakni bahwa 
peraturan-peraturan harus disusun sesuai dengan prinsip-prinsip 
keadilan susaha  dapat menjadi hukum yang benar. Uraian panjang 
mengenai hukum di atas, lebih menitikberatkan hukum dalam konteks 
hukum alam sebagai konsepsi hukum yang dipandang lebih dahulu 
ada. Dalam konteks yang lebih modern, J. Van Kan menjelaskan hukum 
sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, 
yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam warga . 
Pendapat ini  sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh 
Rudolf von Ilering yang menyatakan bahwa hukum yaitu keseluruhan 
norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen 
juga melengkapi dua pendapat filsuf sebelumnya dengan mengatakan 
bahwa hukum yaitu kesatuan norma-norma bagaimana orang harus 
berperilaku. Oleh sebab itu, merujuk pada uraian pengertian baik 
yang mengemukakan hukum dalam perspektif hukum alam, hukum 
positivis, dan hukum secara keseluruhan, maka Purnadi Porbacaraka 
dan Soekanto mengatakan ada 9 arti hukum, yaitu: 1) ilmu pengetahuan 
yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; 2) 
disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala 
yang dihadapi; 3) norma yakni pedoman atau patokan sikap tindak 
atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; 4) tata hukum, yakni 
struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada 
suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; 5) petugas, 
yakni pribadi-mempengaruhi yang yaitu kalangan yang berhubungan 
erat dengan penegakan hukum (lae enforcement officer); 6) keputusan 
penguasa, yakni hasil proses diskresi; 7) proses pemerintahan, yakni 
proses hubungan timbal balik antar unsur-unsur pokok dari sistem 
kenegaraan; 8) sikap, tindak ajeg, atau perikelakuan yang teratur 
yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang 
bertujuan untuk mencapai kedamaian; dan 9) jalinan nilai-nilai, yaitu 
jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik 
dan buruk. Oleh sebab itu, dalam rangka mendefinisikan hukum maka 
kesimpulan unsur ini  menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang 
hendak merumuskan hukum.
   
C. Pengertian    
Seusai menjelaskan pengertian filsafat dan hukum sebagaimana di 
atas, maka menarik lalu  untuk menganalisis bagaimana filsafat 
dan hukum bersinergi sehingga menghasilkan filsafat hukum. Dalam 
beberapa literatur filsafat hukum digambarkan sebagai suatu disiplin 
modern yang memiliki tugas untuk menganalisis konsep-konsep 
perskriptif yang berkaitan dengan yurisprudensi. Istilah filsafat hukum 
memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of law, atau rechts 
filosofie. Pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat. Ada yang 
mengatakan bahwa filsafat hukum yaitu ilmu, ada yang mengatakan 
filsafat teoretis, ada yang berpendapat sebagai filsafat terapan dan 
filsafat praktis, ada yang mengatakan sebagai subspesies dari filsafat 
etika, dan lain sebagainya.
Dikenal beberapa istilah     dalam bahasa asing, 
seperti di Inggris memakai  2 (dua) istilah yaitu Legal Philosophy 
atau Philosophy of Law, lalu  di Belanda juga memakai  2 (dua) 
istilah yaitu Wijsbegeerte van het Recht dan Rechts Filosofie dan di Jerman 
memakai  istilah Filosofie des Rechts. Istilah     dalam 
Bahasa negara kita  yaitu terjemahan dari istilah Philosophy of Law 
atau Rechts Filosofie. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, lebih tepat 
menerjemahkan     sebagai padanan dari Philosophy of Law 
atau Rechts Filosofie dibandingkan  Legal Philosophy. Istilah Legal dalam Legal 
Philosophy sama pengertiannya dengan Undang-Undang atau hal-hal 
yang bersifat resmi, jadi kurang tepat dipakai  untuk peristilahan 
yang sama dengan    . Hal ini didasarkan pada argumentasi 
bahwa hukum bukan hanya Undang-Undang saja dan hukum bukan 
pula hal-hal yang bersifat resmi belaka.
Pengsinoniman istilah di atas, menimbulkan komentar yang 
lahir dari beberapa pakar. Penggunaan istilah legal philosophy misalnya 
dirasakan tidak sesuai atau tidak sepadan dengan filsafat hukum. 
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, istilah filsafat hukum lebih 
sesuai jika disinonimkan dengan philosophy of law atau rechts filosofie. 
Hal ini dikarenakan istilah legal dari legal philosophy sama dengan 
undang-undang atau resmi. Jadi kurang tepatlah, jika legal philosophy 
disinonimkan dengan filsafat hukum. Hukum bukan undang-undang 
saja, dan hukum bukan hal-hal yang sama dengan resmi belaka. Secara 
sederhana, filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang 
mengatur tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. 
Dengan kata lain, filsafat hukum yaitu ilmu yang mempelajari hukum 
secara filosofis.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa     yaitu 
cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari 
hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum yaitu ilmu 
yang mempelajari hukum secara filosofis. Objek filsafat hukum yaitu 
hukum dan objek ini  dikaji secara mendalam sampai kepada inti 
atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Selanjutnya oleh Satjipto 
Raharjo dikatakan bahwa filsafat hukum mempelajari pertanyaan-
pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan 
ini  meliputi pertanyaan tentang hakikat hukum, dasar kekuatan 
mengikat dari hukum. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum 
bisa menggarap bahan hukum, namun  masing-masing mengambil sudut 
yang berbeda sama sekali.     juga yaitu bagian dari 
ilmu-ilmu hukum. Adapun masalah yang dibahas dalam lingkup filsafat 
hukum, meliputi: 1) Masalah hakikat dari hukum; 2) Masalah tujuan 
hukum; 3) Mengapa orang menaati hukum; 4) Masalah mengapa negara 
dapat menghukum; 5) Masalah hubungan hukum dengan kekuasaan.
Filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan 
setelah lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan 
kefilsafatan bagi teori hukum. Sebagai pemberi dasar filsafat hukum 
menjadi rujukan ajaran nilai dan ajaran ilmu bagi teori hukum dan 
ilmu hukum (Sidharta, 2006: 352). Jadi hukum dengan nilai-nilai sosial 
budaya, bahwa antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial 
budaya di lain pihak ada  kaitan yang erat. Kaitan yang erat antara 
hukum dan nilai-nilai sosial budaya warga , ternyata menghasilkan 
pemikiran bahwa hukum yang baik tidak lain yaitu hukum yang 
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam warga . 
Filsafat hukum yaitu sumber hukum materiil, sedangkan 
sumber formilnya yaitu sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum. 
Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi lebih lanjut menjadi dua, 
yaitu: (a) Sumber isi hukum; di sini dinyatakan isi hukum itu asalnya 
dari mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan 
ini, yaitu: Pandangan theocratis; menurut pandangan ini isi hukum 
berasal dari Tuhan; pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini 
   
isi hukum berasal dari akal manusia; dan Pandangan masab historis; 
menurut pandangan ini isi hukum berasal dari kesadaran hukum; (b). 
Sumber kekuatan mengikat dari hukum: mengapa hukum memiliki  
kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum (Mertokusumo, 
2005:83-84). Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan semata-
mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, namun  sebab 
kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.
Kelsen mendekati filsafat hukum dengan memakai  pendekatan 
sebagai seorang positivis yang lalu  dikenal lahirnya teori hukum 
murni. Atau Miguel Reale yang menyajikan filsafat hukum yang 
lalu  dikenal dengan historisisme ontognoseologis kritis. Atau 
Hart yang mengkaji tradisi Wittgenstein dan Austin yang menempatkan 
hukum sebagai suatu fusi dua perangkat kaidah. Pertama kaidah yang 
menetapkan kewajiban; dan kedua yang menyangkut pengakuan dan 
penyesuaian kaidah pertama.
Menurut Aristoteles, kedudukan filsafat hukum dapat diuraikan 
sebagai berikut:
1. Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
2. Filsafat teoretis. Dalam cabang ini mencakup tiga macam ilmu, 
yaitu: 1) Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata 
ini; 2) Matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam 
kuantitasnya; 3) Metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat 
segala sesuatu ilmu metafisika.
3. Filsafat praktis. Dalam cabang ini tercakup tiga macam ilmu, 
yakni: 1) Etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam 
hidup perseorangan; 2) Ekonomi yang mengatur kesusilaan dan 
kemakmuran dalam keluarga; 3) Politik yang mengatur kesusilaan 
dan kemakmuran dalam negara.
4. Filsafat poetika biasa disebut dengan filsafat estetika. Filsafat 
ini meliputi kesenian dan sebagainya. Uraian filsafat Aristoteles, 
menunjukkan bahwa filsafat hukum hadir sebagai sebuah 
bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum 
dalam membentuk dan menegakkan kaidah dan putusan hukum 
sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual. Oleh sebab itu, 
filsafat hukum yaitu alternatif yang dipandang tepat untuk 
memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum.
l
D. Sejarah Perkembangan Filsafat
Awal mula perkembangan filsafat tidak dapat ditentukan secara pasti 
baik itu tahun ke berapa dan tanggal ke berapa sebab tidak ada yang bisa 
memastikan, hanya saja dapat diketahui awal mula perkembangan filsafat 
ini  mulai sekitar awal abad ke 6 (enam) Sebelum Masehi. Pada awal 
mula perkembangannya yang dimaksudkan dengan pemikiran filsafat 
ini  tidak hanya filsafat yang berasal dalam arti sempit melainkan 
pemikiran-pemikiran ilmiah pada umumnya. Pada saatnya sampai pada 
masa modern filsafat ini  membentuk satu keseluruhan yang tidak 
dapat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan alam. Dalam hal menentukan 
tanggal lahirnya filsafat secara pasti sangat sulit untuk ditentukan seperti 
apa yang telah dijelaskan di atas sebelumnya namun untuk menentukan 
tempat lahirnya tentu tidaklah sulit sebab dari ketiga filsuf yang pertama 
kali memperkenalkan filsafat ini  berasal dari pesisir kota kecil yang 
disebut dengan Miletos sebuah kota perantauan di Yunani. Thales yaitu 
orang yang pertama kali mendapatkan kehormatan untuk digelari sebagai 
filsuf. Kemudian muncul filsuf baru lainnya yang bernama Anaximandros 
dan Anaximenes, tidak seperti filsuf pertama yang tidak pernah 
menuliskan pemikirannya ke dalam sebuah karya, kedua filsuf yang 
muncul belakangan setelah Thales ini justru membukukan pemikiran 
mereka, tapi diketahui lalu  karangan-karangan mereka dinyatakan 
hilang. Dari ketiga filsuf pertama yang diketahui mereka semua menaruh 
perhatian khusus pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, yang 
membuat mereka tertarik yaitu perubahan-perubahan yang terjadi 
secara terus menerus yang dapat disaksikan dalam alam mereka mencari 
suatu asas dan prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-
perubahan yang tak henti-hentinya itu. Kemudian masih tidak dapat 
dipastikan hanya dapat dikira-kira satu abad lalu  masih di sebuah 
kota perantauan di Asia kecil tepatnya di Ephesos ada seorang Yunani lain 
yang bernama Herakleitos beliau masih memikirkan hal-hal yang sama 
beliau beranggapan bahwa dalam dunia alamiah tidak ada satupun yang 
tetap atau kekal tidak ada satupun yang dianggap sempurna segala sesuatu 
yang ada senantiasa “sedang menjadi” maka dari apa yang diucapkannya 
ini  terkenalah ucapan beliau dengan istilah Pantharei yang diartikan 
semua mengalir, sebagaimana air sungai senantiasa mengalir terus, 
demikian pula dalam dunia jasmani tidak ada sesuatu pun yang tetap. 
Semuanya berubah terus-menerus. Kemudian masih dari Yunani pada 
waktu yang sama yaitu Pythagoras beliau menempuh jalan yang berbeda, 
beliau tidak mencari suatu asas pertama yang dapat ditentukan dengan 
pengenalan indra sebagaimana filsuf yang terdahulu, menurut beliau 
segala sesuatu ada dapat diterangkan dengan dasar bilangan-bilangan, 
beliau berpendapat demikian, sebab beliau menemukan bahwa not-
not tangga nada sepadan dengan perbandingan-perbandingan antara 
bilangan-bilangan. Jika ternyata sebagian realitas terdiri dari bilangan-
bilangan, mengapa tidak mungkin bahwa segala-galanya yang ada terdiri 
dari bilangan-bilangan? Pythagoras dan murid-muridnya memiliki  
jasa besar juga dalam memperkembangkan ilmu pasti. Dalam bidang 
ini di sekolah-sekolah kita namanya masih hidup terus sebab “dalil 
Pythagoras”. Dari beberapa filsuf di atas dapat diketahui bahwa awal 
mula perkembangan filsafat ini  muncul di Yunani, selanjutnya lebih 
berkembang lagi menjadi zaman keemasan filsafat di Yunani muncul 
nama Sokrates (470-399), ia membela yang benar dan yang baik yang 
harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dalam sejarah 
umat manusia Socrates yaitu contoh yang baik dan istimewa 
Socrates sendiri memiliki murid yang amat setia yang bernama Plato, 
Plato dilahirkan di Athena (427-347) dalam filsafatnya Plato berhasil 
memperdamaikan pertentangan antara pemikiran Herakleitos dan 
Parmenides, Plato terutama mementingkan ilmu pasti, selanjutnya 
muncul Aristoteles (384-322) perhatian Aristoteles secara khusus 
diarahkan kepada ilmu pengetahuan alam dengan sedapat mungkin 
menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkret, menurut pendapat 
Aristoteles setiap benda jasmani memiliki  bentuk dan materi, namun  
maksudnya bukan bentuk dan materi yang dapat dilihat melainkan bentuk 
dan materi sebagai bentuk metafisis. Selanjutnya kita masuk pada filsafat 
modern, yang terkenal dalam filsafat modern ini yaitu Rene Descartes 
beliau disebut sebagai bapak filsafat modern, di sini beliau menyatakan 
bahwa ia tidak merasa puas dengan filsafat dan ilmu pengetahuan yang 
menjadi bahan pendidikannya, di bidang ilmiah tidak ada satupun yang 
dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya 
memang dipersoalkan juga satu-satu pengecualiannya yaitu matematika 
dan ilmu pasti. Aliran filsafat yang berasal dari Descrates biasanya 
disebut rasionalisme sebab aliran ini sangat mementingkan rasio. 
Dalam rasio ada  ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun 
suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan suatu realitas di luar 
rasio. Bertentangan dengan rasionalisme ini  maka sesudah masa 
Descrates muncul aliran empirisme yang timbul di Inggris, empirisme 
memilih pengalaman sebagai sumber dari pengenalan. Thomas Hobbes 
(1588-1679) menganggap pengalaman indrawi yaitu permulaan 
dari segala pengenalan, menurut Hobbes, seluruh dunia termasuk juga 
manusia yaitu suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-
hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja. Kemudian muncul 
J. Locke (1632-1704) menurut beliau mula-mula rasio manusia harus 
dianggap as a white paper dan seluruh isinya berasal dari pengalaman, dan 
muncul G. Berkeley (1685-1753) beliau berpendapat bahwa sama sekali 
tidak ada substansi yang materiil yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati. 
Pada akhir pembahasan ini kita akan sedikit membahas riwayat Immanuel 
Kant beserta karya-karyanya. Tidak dapat dipungkiri dan disangsikan 
Immanuel Kant (1724-1804) sebab beliau yaitu salah satu filsuf 
yang terbesar dalam sejarah filsafat modern, beliau lahir di sebuah kota 
kecil di Prusia Timur tepatnya di Konigsberg. Kehidupan Kant sebagai 
filsuf dapat dibagi atas dua periode zaman praktis dan zaman kritis. Dalam 
zaman praktis dia menganut pendirian rasionalitas yang dilancarkan oleh 
Wolff dan kawan-kawannya. namun  sebab dipengaruhi oleh Hume maka 
secara perlahan Kant meninggalkan rasionalisme. Lalu beliau masuk ke 
zaman kritis dan justru pada zaman inilah Kant mengubah wajah filsafat 
secara radikal. Kant sendiri menanamkan filsafatnya sebagai kritisme dan 
ia mempertentangkan antara kritisisme dengan dogmatisme. Menurutnya 
kritisisme yaitu filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih 
dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant yaitu 
filsuf pertama yang mengusahakan penyelidikan ini semua filsuf yang 
mendahuluinya tergolong dalam dogmatisme, sebab mereka percaya 
mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu.
E. Letak     dalam Ranah Ilmu Hukum
Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/
perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar 
tidak terjadi kekacauan. maka , dapat disimpulkan bahwa 
filsafat hukum yaitu sub dari cabang filsafat manusia yang disebut 
dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa 
filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species, 
dan filsafat hukum sebagai subspecies.
   
Dalam ranah ilmu hukum, Meuwissen dalam “Tentang Pengembanan 
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan    “ menyatakan 
bahwa     yaitu tataran abstraksi teoretikal yang peringkat 
keabstrakannya berada pada tataran tertinggi. Oleh sebab itu, Filsafat 
Hukum meresapi semua bentuk pengusahaan hukum teoretikal dan 
pengusahaan hukum praktikal. Pengusahaan hukum teoretikal yaitu 
kegiatan menguasai hukum secara intelektual, dengan metode logik-
sistematikal, rasional kritikal. Sedangkan refleksi praktikal yaitu 
kegiatan manusia berkenaan dengan berlakunya hukum dalam realita 
kehidupan sehari-hari.     meresapi Teori Hukum dan 
Ilmu-Ilmu Hukum, oleh sebab itu filsafat hukum diklasifikasikan ke 
dalam ilmu hukum. Pokok-pokok kajian filsafat hukum meliputi dwi 
tugas yaitu: Landasan daya ikat hukum dan landasan penilaian keadilan 
dari hukum yang disebut norma kritikal.
F. Latar Belakang Timbulnya    
Untuk memahami suatu hakikat yang sebenarnya, ada baiknya 
menelusuri atau melacak lebih jauh tentang apa sebab para ahli pemikir 
hukum menaruh minat pada filsafat hukum. Mereka berbuat demikian 
memiliki  beberapa sebab berikut.
Pertama: Adanya ketegangan jiwa dalam pikiran, kebimbangan tentang 
kebenaran, tentang keadilan dari hukum yang berlaku dan merasa tidak 
puas tentang hukum yang berlaku itu. Hukum yang berlaku tidak sesuai 
dengan keadaan warga  dan mereka berusaha untuk mencari hukum 
yang lebih adil dan lebih baik dari hukum yang berlaku.
Kedua: Adanya ketegangan antara kepercayaan atau agama dengan 
hukum yang berlaku yang memiliki weltanschauung den lebenschauung 
(pandangan dunia dan pandangan hidup) tertentu. Mereka melihat 
suatu pertentangan peraturan-peraturan yang berlaku dengan peraturan 
agama atau pandangan hidup yang mereka anut. Timbullah suatu perang 
batin dalam pikirannya maka berusaha untuk mengatasinya dari sini 
timbul beberapa aliran filsafat hukum.
Ketiga: Filsafat hukum timbul disebabkan kesangsian tentang 
kebenaran dan keadilan dari hukum yang berlaku terlepas dari sistem 
agama atau filsafat umum. Di sini yang dinilai yaitu hukum positif. 
Apakah keberadaan hukum positif itu yaitu hukum yang adil, 
kesangsian ditujukan pada nilai-nilai peraturan tertentu yang berlaku 
pada waktunya? Hal ini berarti bahwa “isi” peraturan yang ada pada 
waktu itu tidak dianggap sebagai peraturan yang adil dan disangsikan 
kebenarannya. 
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ahli pikir hukum mencari hakikat 
hukum. la ingin mengetahui yang ada di belakang hukum, mencari apa 
yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah-kaidah hukum 
sebagai pertimbangan nilai, dan memberi penjelasan nilai-nilai postulat 
(dasar). Akhirnya, apa yang disebut filsafat hukum pada hakikatnya 
yaitu soal “hati nurani” (geweten) manusia yang berpijak pada filsafat 
atau pandangan manusia mengenai tempatnya di alam semesta di 
satu pihak dan di lain pihak pada pandangan manusia tentang bentuk 
warga  yang terbaik. 
Di bidang hukum banyak hal yang yaitu suatu “tanda tanya” 
jika dengan secara mendalam memikirkannya. Umpamanya perhatikan 
terjadinya undang-undang. Suatu undang-undang terjadi sebab 
kehendak semena-mena dari seorang raja atau terjadi sebab kehendak 
dari jumlah orang-orang yang kebetulan dari jumlah yang terbanyak. 
Ukuran ilmiah apakah yang dipakai di sini? Timbullah suatu renungan 
atas persoalan apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum? Dalam 
hal dipersoalkan nilai inti isi hukum agar diperoleh suatu hukum yang 
lebih baik. Keinginan yang sedemikian yaitu desakan batin untuk 
menemukan suatu hukum yang lebih baik dibandingkan  yang ada.
Ada yang berpendapat bahwa hukum dapat dipelajari dalam fungsi 
sosialnya. Ditinjau dari fungsi sosial, hukum itu yaitu gejala sesuatu 
warga  yang harus melayani kepentingan warga . Manakala 
dianggap demikian, landasan hukum yaitu “penghidupan itu sendiri”. 
Adagium ini dipakai mazhab sejarah sebagai pokok pangkal pemikiran 
tentang hukum. Lain halnya kalau hukum itu dijadikan bagian dari 
suatu agama di mana agama membedakan hukum yang abadi, hukum 
kodrat (hukum alam) dan hukum manusia. Hukum abadi yaitu hukum 
yang dikehendaki oleh pencipta alam semesta, ciptaannya bergerak atas 
kehendak tuhan. Hukum alam dilihat dari segi ciptaan dan bergerak 
sesuai dengan kehendak tuhan. hukum manusia yaitu suatu bentuk 
hukum yang berdasarkan akal budi manusia yang ditimba manusia dari 
hukum kodrat atau hukum alam.
Adapun aliran hukum kodrat ini diperkenalkan pada abad 
pertengahan oleh Thomas Aquinas di mana ia menyatakan sumber dari 
segala sumber undang-undang berasalkan dari hukum abadi. Undang-
undang abadi itu yaitu rasio tuhan yang mengatur segala benda yang 
diciptakannya dengan tujuan sesuai dengan sifat alam mereka. Semua 
makhluk baik dengan rasio maupun tidak dengan rasio memiliki  
kecenderungan alamiah untuk hidup sesuai dengan undang-undang 
itu. Manusia yang yaitu bagian dari alam berkat rasionya telah 
disiapkan oleh penciptanya suatu sistem berpikir dan moral sehingga 
manusia dapat membedakan antara yang baik dan buruk, kuat dan lemah 
yang yaitu bagian dari hukum alam. Pada manusia ada  sistem 
pikir dan moral yang membedakan manusia dengan makhluk yang 
lain ciptaan tuhan. Makhluk-makhluk yang lain tunduk berdasarkan 
kodratnya tanpa pilihan, sedangkan manusia diberikan alternatif pilihan 
yang dapat mengungkapkan kehendak penciptanya dalam bentuk hukum 
yang wajib ditaati atau menempuh jalan yang dipengaruhi oleh ruang, 
waktu, dan tempat. Hukum yang dibuat manusia itu yang dipengaruhi 
oleh ruang, waktu, dan tempat disebut hukum positif. Jika hukum 
positif tidak dapat disesuaikan dengan hukum kodrat, hukum positif 
itu kehilangan sifat hukumnya yang harus mengatur hidup bersama 
tertib dan aman, saling menghormati satu sama lain, menjaga hak 
dan kewajiban dan tidak menyakiti orang yang ada di sebelahnya. 
Kesemuanya itu yaitu ”ide” dibandingkan  akal budi ilahi yang menciptakan 
segalanya dan membimbing kepada tujuannya selaras dengan ketentuan 
yang ada  dalam wahyunya sebagai tuntunan hidup manusia.
G. Fungsi     dari Zaman Yunani sampai 
dengan Sekarang
Dalam buku Introduction to The Philosophy of Law karya Roscoe Pound 
diutarakan filsafat hukum sejak zaman Yunani hingga kini.
1. Zaman Yunani Tahun 382 SM
 Zaman Yunani keadaan hukum terbagi sebagai berikut.
a. Hukum ditentukan oleh raja menurut inspirasi Tuhan.
b. Timbul pemerintahan oligarki (pemerintahan oleh sedikit 
orang) yang menjalankan praktik hukum dasar kebiasaan.
c. Atas permintaan rakyat pengumuman keputusan atau peraturan-
peraturan diadakan tertulis.
 Adapun alasan-alasan taat pada hukum (undang-undang) disebabkan 
oleh:
a. Adanya Tuhan;
b. Adanya tradisi atau kebiasaan yang diajarkan oleh orang arif 
yang mengetahui kebiasaan baik;
c. Deduksi dari moral yang abadi atau tetap;
d. Perjanjian antara manusia yang satu dan yang lainnya ber-
dasarkan kewajiban menetapkan janji.
 Jelaslah filsafat hukum pada masa itu ada untuk memperoleh dasar 
yang lebih baik bagi hukum dan berlakunya abadi dari hukum itu.
2. Zaman Romawi
 Pada zaman Romawi banyak karya sarjana hukum yang menjelaskan 
tentang apa hukum itu. Pada zaman Romawi ada  senator 
Romawi, yaitu Cicero yang hidup pada tahun 106-43 SM yang 
menyatakan adanya empat bentuk hukum, yaitu:
a. Statute (yang dapat disamakan dengan keputusan badan 
legislatif);
b. Resolusi dari senat;
c. Edict (yaitu putusan dari Magistraat yang memegang 
kekuasaan);
d. Pendapat-pendapat para ahli.
 Munculnya pendapat-pendapat di zaman itu tidak lain hendak 
mendapatkan apa yang disebut rasio legis (sebab dari undang-
undang) yang yaitu prinsip latar belakang hukum. Oleh sebab 
itu, mereka menoleh pada hukum alam yang mewujudkan secara 
saksama gagasan mengenai hukum rill dan Idill.
3. Zaman Renaissance
 Zaman ini dipenuhi dengan perkembangan perdagangan kolonisasi 
dan eksploitasi daerah-daerah baru disertai terbentuknya “nation” 
yang memicu perlu adanya hukum nasional yang berlaku 
dalam daerah nasional. Pada abad ke-16 (Renaissance) di satu pihak 
ada  filsafat yang bertugas memenuhi keinginan berlakunya 
teori mengenai negara yang dibentuk atas kemauan Tuhan dan 
teori hukum alam yang terpisah dari teologi yang semata-mata 
berdasarkan rasio atau akal; tiap-tiap ahli menafsirkan hukum alam 
menurut akal pikirannya sendiri. Di lain pihak ada filsafat yang 
menganggap hukum alam sebagai sistem pengekangan kegiatan 
manusia sebagai makhluk yang wajar. Sesudah itu muncul pendapat 
baru tentang hukum alam di mana istilah hukum alam itu tidak 
berarti asas dengan nilai-nilai yang abadi, melainkan hak-hak 
menurut kodrat alam yang melekat pada setiap manusia di mana 
hak ini  tidak dapat dialihkan.
 Selanjutnya, terutama di Inggris ada  teori Utilitarisme 
Analisis dengan tokohnya diawali oleh Jermey Bentham yang 
mengemukakan bahwa prinsip undang-undang harus mendasarkan 
utility (kefaedahan). Kefaedahan yaitu menyelenggarakan 
kesejahteraan sebanyak-banyaknya bagi warga yang sebanyak-
banyaknya pula adagium teori ini  adalah: “The greatest 
happiness of the greatest number”. Dari sini timbullah teori sosiologis 
yang memandang hukum sebagai gejala atau fenomena, sebagai 
manifestasi dibandingkan  tindakan manusia dan kebiasaan sosialnya.
4. Zaman Sekarang
 Pada masa kini filsafat hukum bertugas menilai peraturan- 
peraturan, doktrin-doktrin, dan lembaga-lembaga yang membina 
penetapan undang-undang dengan mengingat tujuan dan 
manfaatnya bagi warga , serta penetapan undang-undang 
dengan cita-cita sosial dari waktu dan tempat yang bersangkutan. 
Dari apa yang diuraikan di atas, disimpulkan bahwa tugas utama 
filsafat hukum yaitu untuk membahas yang dipersoalkan oleh 
filsafat hukum yaitu “apakah ada penggantian universal tentang 
hukum oleh sebab itu awal mempersoalkan filsafat hukum adalah, 
Apa itu Hukum”.
H. Apakah Hukum Itu, Untuk Apa Hukum Itu, Apa 
Keperluannya, dan Apa Kegunaannya?
Persoalan apa hukum itu dan untuk apa hukum itu, apa keperluannya, 
dan apa kegunaannya timbul dari mereka yang mempelajari hukum 
dan tidak timbul dari kalangan rakyat umum dan/atau kalangan 
rakyat biasa sebab mereka telah biasa hidup dalam hukum. Hukum 
itu jadi persoalan jika dihadapi bukan lagi sebagai orang biasa, namun  
sebagai orang yang di dalam dirinya mulai timbul kesadaran tentang 
hal hidupnya di muka bumi ini. Hal hidup yang semakin dipikirkan 
semakin banyak persoalannya.
Para ahli hukum sedunia sampai sekarang belum memperoleh kata 
sepakat tentang batas arti hukum. Banyak ahli hukum menyatakan 
bahwa memberi definisi atau batasan tentang hukum tidaklah mungkin 
disebabkan luasnya lapangan hukum itu, banyak segi dan bentuknya 
yang beraneka ragam. Suatu hal yang kelihatannya sudah disepakati 
mereka ialah bahwa hukum itu hanya ada setelah adanya warga  
manusia seolah-olah di luar warga  manusia tidak ada hukum. Jika 
hukum itu mengurus tata tertib manusia, tata tertib itu bukan semata-
mata ada di warga  manusia saja, melainkan tata tertib itu ada  
dalam semua bagian alam ini.
Kita melihat adanya tata tertib flora dan fauna dan lebih besar lagi 
ada tata tertib surya yang menunjukkan adanya hukum yang mengatur 
tata tertib itu. Jelasnya bagian-bagian alam selain dari manusia masing-
masing diatur oleh sejenis hukum tertentu yang mengatur tingkah 
lakunya masing-masing.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tata tertib di 
dalam alam yang berada di luar warga  manusia yang yaitu 
suatu pertanda bahwa di luar warga  manusia pun ada hukum. 
Kalau hendak mencoba memberikan suatu definisi tentang apa yang 
dikatakan hukum, tidak harus memberikan batasan tentang hukum 
yang ada dalam warga  manusia, kecuali batasan yang diberikan 
hanya berlaku pada warga  manusia.
Kesimpulannya yaitu suatu pengertian spesies dibandingkan  
pengertian genus tentang apa yang dikatakan hukum. Oleh sebab 
itu, kelihatannya yang telah disepakati oleh para ahli hukum bahwa 
hukum yang dimaksud yaitu hukum yang ada di warga  manusia. 
Untuk mempermudahkan pengertian hukum itu perlu dipertanyakan 
“bagaimana terjadinya hukum itu?” Bagaimana terjadinya hukum kita 
masuk kepada hukum kejadian atau liukuni cipta. Semua yang ada di 
alam semesta ini dalam kejadiannya tunduk pada hukum jadi, hukum 
tumbuh atau perkembangan, dan hukum lenyap. Dalam hasil kejadian 
diketahui bahwa bagian-bagian dari alam ini telah diatur oleh hukum 
   
yang sudah tetap dan tidak dapat menyimpang dari hukum yang telah 
ada itu, kecuali manusia sebab manusia dalam hasil kejadiannya 
memiliki  alat-alat pengalaman ke yang dapat berkembang seluas-
luasnya. Walaupun binatang kelihatannya memiliki  alat-alat untuk 
adanya pengalaman-pengalaman kejiwaan seperti memiliki  otak dan 
susun persyaratan, kelakuan, dan perbuatannya sudah ditentukan naluri 
(instinct). Jadi, binatang dalam hasil kejadiannya tidak dapat berubah dan 
berkembang dan mau tidak mau harus tunduk pada hukum kejadiannya 
yang berlaku atasnya. Hanya manusialah dalam perkembangan diberikan 
alternatif pilihan sebab manusia memiliki alat-alat kelengkapan dalam 
hasil kejadiannya yang berupa pikiran, karsa, dan rasa sebagai alat bagi 
pengembangan pengalaman kejiwaan. Pengalaman kejiwaan manusia 
hanya dapat berkembang dalam pergaulannya dengan manusia lain. 
Setiap manusia yang telah hidup dalam warga  yang masing-
masing telah memiliki  pengalaman kejiwaan dan dapat berkembang 
seluas mungkin. Oleh sebab itu, dalam warga , diperlukan adanya 
tata tertib agar jangan sampai menimbulkan anarki dan harus ada 
pengaturan perkembangannya itu. Dengan kata lain, harus ada hukum 
yang mengatur perkembangan kejiwaannya. 
Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan 
bahwa dalam jiwa manusia ada kecenderungan-kecenderungan yang 
memicu terjadinya hukum dalam warga  manusia. Dalam 
kesadaran kejiwaan manusia ada  tiga kecenderungan, yaitu 
kecenderungan egoistis, kecenderungan kolektivitas, dan kecenderungan 
kepada orde (tertib). Kecenderungan atas orde dalam kejiwaan itulah 
yang memicu manusia membuat hukum agar kecenderungan 
egoistisnya mendapat saluran dan terjamin oleh tata tertib hukum 
dalam pergaulan hidup sesama manusia (kolektif). 
Mengenai untuk apa hukum itu, serta keperluan dan kegunaannya, 
hal ini  disebabkan oleh perkembangan kejiwaan warga  
manusia yang telah sampai kepada suatu titik pandangan bahwa 
dalam hidup pergaulan bersama itu harus bebas dari kekhawatiran, 
kecemasan dan ketakutan, bebas dari keadaan kacau balau, terjamin 
sebanyak mungkin ketenangan, ketenteraman, aman selamat sentosa. 
Oleh sebab itulah, warga  manusia menjelmakan hukum yang 
diperlukannya.
Berikut ini yaitu dua macam pandangan mengenai hukum. 
Pandangan pertama: hukum yang dijelmakan oleh warga  
manusia, hanya suatu segi dari penjelmaan hidup kewarga an, yakni 
rangkaian hubungan tertentu yang timbul dalam dan dari warga  
tertentu pula, yaitu rangkaian peraturan hidup yang terpatok pada hak 
dan kewajiban yang berlaku selama dikuatkan oleh warga  itu. 
Manakala warga nya itu berubah sikap untuk menyesuaikan dengan 
kebutuhan hidupnya yang baru, akan menimbulkan penjelmaan hukum 
yang baru yang lama tidak berkekuatan lagi.
Menurut paham ini tiap-tiap warga , setiap masa memiliki  
penjelmaan hukumnya yang selaras dengan corak, bentuk susunan 
kebutuhan warga  itu pada masanya. Paham ini tidak mengenal 
lain-lain unsur bagi penjelmaan hukum selain yang ada dalam pergaulan 
manusia dengan manusia dalam warga nya itu.
Ringkasnya hukum itu hanya sebagian dari ciptaan kebudayaan 
manusia yang terikat pada kondisi, situasi, dan tempat sehingga hukum 
itu akan berbeda dari warga  ke warga , dari zaman ke zaman 
menurut paham ini hukum selalu berubah-ubah.
Pandangan kedua: hukum bukanlah hanya satu segi dari penjelmaan 
hidup kewarga an saja, yang semata-mata hanya takluk kepada 
unsur-unsur yang ada dalam per manusia dengan manusia saja dalam 
warga  itu. Selain dari perhubungan antara manusia dengan 
manusia, manusia dan manusia itu ada hubungan dengan sang 
penciptanya, yakni perhubungan hubungan dengan Tuhan Yang Maha 
Esa di mana hidup matinya dan keselamatan warga nya tergantung 
kepada-Nya.
Menurut paham ini, pergaulan hidup sesama manusia bukanlah 
yaitu perhubungan antara dua (antara manye dengan manusia) 
namun  yaitu perhubungan antartiga, yaitu antara manusia dengan 
manusia dan Tuhannya.
Dalam paham yang kedua ini tergantung kepada percaya atau tidak 
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu, di mana ia telah menciptakan 
alam semesta ini dan segala hukum-Nya. Tentu, bagi yang percaya atau 
beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa akan dapat memperbaiki dan 
melengkapi pahamnya tentang hukum dengan paham hukum yang 
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa itu. 
   
Orang yang beriman tentunya berpandangan bahwa kekuasaan 
membuat hukum itu berada pada sang pencipta dan pengawasan 
berjalannya hukum itu berada pada malaikat malaikat yang diimani, 
yang harus menjalankan yaitu manusia yang diawali oleh para nabi-
nabi yang diutus-Nya.
I. Hubungan Kesusilaan dan Hukum
Kesusilaan dan hukum memiliki  objek yang sama, yaitu perbuatan 
manusia dan tujuannya pun hampir sama, yaitu:
Mengatur amal perbuatan manusia baik bagi keselamatan dirinya 
maupun bagi warga nya. Akan namun , lingkungan kesusilaan 
lebih luas dari lingkungan hukum.
Kesusilaan memerintahkan berbuat segala perkara yang bermanfaat 
dan melarang segala perkara yang berbahaya. Tidak demikian halnya 
dengan hukum. Banyak perbuatan yang bermanfaat tidak diperintahkan 
oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perbuatan baik 
antara suami dan istri dan juga banyak perbuatan yang berbahaya tidak 
dilarang oleh hukum seperti berbohong dan dengki. Terhadap perbuatan 
semacam ini hukum tidak campur tangan dan terhadap perbuatan 
semacam ini tidak ada perintah dan larangannya dalam hukum, kecuali 
bila hukum telah memberikan sanksi terhadap perbuatan kepada yang 
melanggarnya. Jika tidak ada sanksi, tidaklah dinamakan hukum dan 
biasanya pelaksanaan suatu hukum itu dilakukan dan memakai  
cara-cara yang lebih banyak bahaya dan merugikan bagi rakyat dibandingkan  
perintah dan larangan hukum itu sendiri. Lagi pula hukum tidak dapat 
melakukan pembalasan atas kufur nikmat dan dengki lain halnya dengan 
perbuatan-perbuatan mencuri dan membunuh. Selain itu, hukum 
memandang segala perbuatan lahir dari sudut akibatnya dan kalaupun 
melihat sesuatu yang ada di balik itu, hanyalah mempelajari maksud-
maksud orang yang berbuat dari perbuatannya yang lahir saja.
Jelasnya hukum dapat berkata “jangan mencuri” dan “jangan 
membunuh”. Selain hal itu hukum tidak sanggup apa-apa lagi. 
Kesusilaan mencampuri hukum dalam melarang mencuri dan 
membunuh dengan tambahan kata-kata “jangan berpikir untuk berbuat 
jahat” dan “jangan mengkhayal sesuatu yang tidak berguna dan batil”. 
Di sini yang diperhatikan yaitu unsur kejiwaan yang memicu 
munculnya perbuatan lahir itu. Dapat lagi diumpamakan dalam masalah 
hak milik seseorang; hukum dapat memelihara dan melarang melakukan 
pelanggaran atas hak milik, namun  hukum tidak sanggup memerintahkan 
si pemilik memakai  hak miliknya bagi kemaslahatan dan 
kebaikan. Hanya kesusilaan yang sanggup memerintahkannya. Oleh 
sebab itu, membicarakan hukum harus diikutsertakan kesusilaan 
sebab tanpa mengikutsertakan kesusilaan sama saja seperti tumbuh-
tumbuhan tanpa memerhatikan tanah tempat tumbuh. Pada hakikatnya 
kesusilaan dan hukum tidak berbeda dalam materi, hanya berbeda dalam 
mempertahankannya. Pelanggaran kaidah hukum juga pelanggaran 
kaidah kesusilaan, namun  pelanggaran kesusilaan mungkin bukan 
yaitu pelanggaran hukum. Telah lama tertanam pengertian 
bahwa hukum tidak serasi dengan kesusilaan, bukanlah hukum dan 
juga keadilan, namun  kezaliman. 
Sumber hukum yaitu sesuatu dalam kejiwaan manusia yang 
menunjuk kepada sesuatu yang gaib sehingga tidak mengherankan 
bahwa kesusilaan dan hukum sejalin ataupun bersatu dengan agama. 
Manusia yang menghambat dirinya dengan pertalian yang gaib itu 
menjadi orang yang antisosial, antikeadilan, dan antihukum yang 
mengaburkan dan mengacaukan pengertian yang hak dan yang batil. 
Maka, jadilah ia orang yang antiagama dan berpindahlah martabat 
kemanusiaannya kepada martabat yang lebih rendah dari martabat 
binatang buas.
Manusia dalam bidang kesusilaan perseorangan telah mengalami 
kekecewaan dan kebahagiaan/kepuasan. Baik yang kecewa maupun 
yang bahagia itu, manusia cenderung untuk menyampaikan kepada 
orang lain. Dari penyampaian berupa nasihat dan larangan, timbullah 
pengertian-pengertian tentang bermacam-macam perbuatan yang 
mana sebaiknya dilakukan dan yang mana pula sebaiknya ditinggalkan. 
Terjadilah apa yang dikenal dengan istilah sopan santun dalam hidup 
warga .
Perbuatan-perbuatan yang sebaiknya dilakukan mendapat pujian 
dalam warga , yang menjadi penguat atau dorongan untuk 
dilakukan. Perbuatan-perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan manakala 
dilakukan mendapat celaan dari warga  dan dari celaan ini  
   
yaitu penguat untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang 
tercela.
Perbuatan-perbuatan yang dipuji dalam warga  sama dengan 
yang kaidahnya sunnah dan perbuatan-perbuatan yang tercela dalam 
warga  sama dengan perbuatan-perbuatan yang kaidahnya makruh. 
Dalam lapangan kesusilaan kewarga an perbuatan-perbuatan 
yang dicela berhubungan dengan perkembangan warga , makin lama 
dirasakan mudharatnya bagi hidup bersama dan pergaulan manusia. 
Sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang dipuji dalam lapangan kesusilaan 
kewarga an dirasakan makin lama makin besar manfaatnya. sebab  
perbuatan-perbuatan yang dicela itu makin rasa mudharatnya, dan 
ditariklah martabatnya ke bidang hukum, yang mulanya yaitu bidang 
kesusilaan kewarga an.
Jadilah perbuatan-perbuatan tercela itu terlarang dengan 
penguatnya (sanctum) berupa hukuman, yaitu hukuman penderitaan 
bagi badan dan harta, penyingkiran dari warga  (dibuang atau 
dipenjara) atau penyingkiran untuk selama-lamanya (hukuman mati). 
Sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang dipuji yang makin terasa besar 
manfaatnya maka martabat kaidahnya naik dari bidang kesusilaan 
kewarga an ke bidang hukum pula menjadi perbuatan-perbuatan 
yang tidak boleh dilalaikan atau ditinggalkan manakala ditinggalkan 
akan mendapat hukuman pula, sebab dianggap melalaikan atau 
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang merugikan. Kesejahteraan 
atau keselamatan hidup kewarga an dan penguatnya atas kelalaian 
kewajiban-kewajiban ini  berupa hukuman denda pencabutan hak 
dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang dipuji dalam warga  yang sejajar 
dengan kaidah sunnah dan perbuatan-perbuatan yang tercela dalam 
warga  yang sejajar dengan kaidah makruh itu tidak dijumpai di 
dalam kategori hukum romawi; ia dijumpai dalam kategori hukum 
Islam, yang dinamakan al-ahkam al-khamsah. Hukum Romawi hanya 
memiliki  tiga kategori, yaitu:
1. Imperare sama dengan wajib;
2. Prohibere sama dengan haram; dan
3. Permittere sama dengan jaiz.
Dan hukum Islam memiliki  lima kategori, yaitu:
1. Wajib;
2. Haram;
3. Sunnah;
4. Makruh; dan 
5. Jaiz.
Pada sunnah dan makruh, manusia diberikan kebebasan memilih 
antara berbuat dan tidak berbuat, yang menimbulkan pengertian pahala 
yang berarti kebahagiaan dunia akhirat. Sunnah yaitu perbuatan 
yang terpuji dan makruh yaitu perbuatan yang tercela.
Manakala yang terpuji dilakukan dan yang tercela ditinggalkan 
maka memperoleh pahala. Sunnah dan makruh yaitu sumber 
tertanamnya kekuatan akhlak (quwwatul khuluk), sebab kaidah sunnah 
dan makruh menimbulkan sanctum dalam diri sendiri yang yaitu 
dasar bagi penghindaran perbuatan yang terlarang dan perlakuan 
perbuatan-perbuatan yang wajib bagi kepentingan diri dan kepentingan-
kepentingan warga .
Hukum Romawi hanya memiliki  suruhan dan larangan sebagai 
sumber hukumnya dalam mengatur hubungan antara manusia. 
Perbuatan manusia ditentukan oleh suruhan dan larangan saja dan 
tidak ada sumber bagi pertimbangan baik buruk di dalam dirinya. 
Di sini pula letaknya faktor yang esensial (penting) dibandingkan  sumber 
hukum yang asalnya dari Sang Pencipta manusia, sebab Dia-lah yang 
memiliki  pengetahuan sempurna tentang apa yang wajib, yang patut, 
yang terlarang. Dan apa yang tercela bagi manusia. Ketentuan-ketentuan 
mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat bagi manusia. Kaidah 
sunnah dan makruh itu membawa kesempurnaan hidup kerohanian 
manusia yang dapat menjelmakan ketertiban hidup kewarga an 
dan kesatuan hidup kewarga an.
Jelasnya bahwa kesusilaan dan hukum dapat dilihat pada bentuk 
penguatnya. Bentuk penguatnya (sanctum) kesusilaan yaitu pujian 
dan celaan. Bentuk penguatnya (sanctum) hukum yaitu ancaman 
kemerdekaan; menyakiti badan; cabut jiwa; penagihan kerugian.
Segala yang telah diuraikan itu, baik yang mengenai paham hukum 
sebagai suatu segi dari penjelmaan hidup kewarga an maupun 
   
paham hukum yang bukan hanya suatu segi dari penjelmaan hidup 
kewarga an melainkan ada pertautan dengan yang gaib; kedua 
paham ini  terpatok kepada pengertian al-ahkam al-khamsah.
Keistimewaan dalam paham Ketuhanan itu bahwa paham ini  
di dalamnya ada  pengertian pahala, pujian, dan celaan yang tidak 
didapati dalam paham yang didasarkan pada paham kewarga an 
ataupun Hukum Romawi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak memiliki  sanctum di 
dalam hidup pergaulan kewarga an yaitu yaitu sesuatu 
kebebasan atau kebolehan (permittere jaiz) yang terserah kepada kemauan 
seseorang semata-mata. Sifat bebas dari perbuatan yang dinamakan 
permittere atau jaiz itu maka perbuatan itu terletak di luar sesuatu 
perbuatan yang tidak memiliki  penguatan (sanctum) yang berarti 
tidak terlarang dan tidak tersuruh.
J. Hak dan Kewajiban
Setiap orang memiliki  hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban 
yaitu dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan, sebab setiap hak ada 
mengandung kewajiban. Setiap orang wajib menghormati hak orang lain 
dan tidak boleh mengganggunya dan setiap orang yang berhak itu wajib 
memakai  haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan umum. 
Kebanyakan orang kurang sadar akan kewajiban memakai  
haknya untuk kebaikan umum itu. Sebab mereka hanya mengingat 
kewajiban menurut hukum saja, tidak memikirkan kewajiban kesusilaan. 
Hukum biasanya memerintahkan orang susaha  menghormati hak orang 
lain kalau tidak maka hukumanlah akibatnya. Hukum biasanya tidak 
turut dalam kewajiban kesusilaan, namun  ia menyerahkan soal itu kepada 
yang berhak sendiri atau kepada pikiran umum.
Kita misalkan saja orang memiliki sesuatu. Orang wajib tidak 
melakukan pelanggaran atas milik orang itu dengan jalan mencurinya 
atau merampasnya. Kalau kewajiban ini dilanggar maka hukum 
berhak mencampurinya. Si pemilik sendiri wajib memakai  hak 
miliknya itu untuk kepentingan dirinya dan kepentingan umum, tapi 
kalau tidak hukum tidak turun campur, hanya kesusilaan yang turut 
mencampurinya. Kalau hukum mengatakan bahwa setiap orang yang 
punya milik berhak memakai  miliknya dengan sekehendaknya, 
maka kesusilaan menyatakan bahwa setiap orang yang punya milik 
hanya boleh memakai  hak miliknya itu untuk kebaikan dirinya 
dan kebaikan umum.
Kewajiban kesusilaan untuk mengingat kebaikan umum itu 
ialah sebab hak-hak yang dimilikinya itu diserahkan kepadanya 
oleh warga  yang memandang bahwa demikian itulah baiknya. 
Kalau seseorang hidup sendirian, dia tidak akan memiliki  hak 
apa-apa dan sebab warga  memberikan hak itu dengan syarat 
susaha  dipergunakan untuk kepentingan umum, wajiblah syarat itu 
dipenuhinya.
K. Pembagian Ilmu Hukum tentang Hak (Division Outline 
Science of Right)
Pembagian hak secara umum atau universal terbagi atas hak yang dibawa 
sejak lahir (“Innate” Right) dan hak yang diperoleh (Acquired Right). 
Hak “Innate” yaitu hak yang dimiliki setiap orang secara alamiah 
bebas dari semua tindakan campur tangan orang lain atau bebas dari 
semua tindakan pengalaman menurut hukum. Hak “Innate” dapat juga 
disebut atau diucapkan dengan kata-kata milikku dan milikmu, sebagai 
ekspresi dari kepribadian masing-masing, dan bersifat internal.
Hak “Innate” hanya ada satu, yaitu hak sejak lahir mengenai 
kemerdekaan (Birthright of freedom). Kemerdekaan di sini dalam 
arti kebebasan dari keinginan wajib dari orang lain. Kemerdekaan 
yaitu milik tunggal dan asli manusia yang dibawa sejak lahir. 
Oleh sebab itu, sifat pembawaan lahir dari setiap orang sebetulnya 
memiliki  persamaan (equality), sehingga setiap orang menjadi 
majikan atas haknya itu, sehingga Hak Merdeka yang dimiliki itu 
yaitu berarti tidak bergantung pada kemauan orang lain sejauh mana 
kebebasan dapat berada bersama-sama dengan kebebasan orang lain 
sesuai dengan hukum universal.
Adapun yang disebut Hak Dapatan yang diperoleh, (Acquired 
Right) berkenaan hak yang diperoleh secara eksternal yaitu hak yang 
ditetapkan atas tindakan menurut hukum berhubungan dengan orang 
lain dan terikat oleh kewajiban. Dari sini timbullah apa yang disebut 
Hak Milik Privat (Hak Milik Perdata). Apa dasarnya Hak Milik, dalam 
buku RoscoePound dianggap salah satu persoalan filsafat hukum.
   
Dalam buku RoscoePound ada  enam teori tentang dasar Hak 
Milik, yaitu:
1. Teori hukum alam;
2. Teori metafisika:
3. Teori sejarah;
4. Teori positif; 
5. Teori psikologis; dan
6. Teori sosiologis.
1. Teori Hukum Alam
Teori ini biasanya mengemukakan bahwa barang-barang di dunia 
ini berdasarkan rasio naturalis, rasio alamiah, akal alamiah ditentukan 
oleh kodrat untuk dikuasai oleh manusia. 
Adapun barang-barang yang tidak dapat dikuasai oleh manusia 
sebagai hak milik perseorangan ialah barang-barang di luar perdagangan 
(Res extra commercium). Barang-barang ini dapat bersifat:
a. Barang-barang yang dipakai  untuk umum (Res communis);
b. Barang-barang yang dimiliki oleh negara untuk pemakaian publik 
atau khalayak ramai; dan
c. Barang-barang yang diamalkan untuk tujuan keagamaan (res sacre).
Berdasarkan teori hukum alam, ada yang berpendapat bahwa 
awal semua barang tidak dimiliki oleh siapa pun juga. Barang yang 
demikian disebut ResNullius (Lihat Pasal 519 BW. yang menyatakan: 
“Barang-barang yang tidak dimiliki siapa pun”). Dengan persetujuan 
antara mereka, manusia membagi barang-barang ini , sehingga 
memperoleh hak milik perseorangan. Barang-barang yang tidak 
dibagi sebab banyaknya, dengan persetujuan dapat dikuasai oleh 
tiap-tiap manusia dan menjadi hak miliknya (Lihat B.W. Pasal 584 
yang menyatakan: “Hak Milik atas barang dapat diperoleh dengan 
menguasainya”).
Penguasaan barang ini menurut logika/pikiran wajar mencakupi 
kekuasaan untuk memakai  barang ini , memberikan barang 
ini  kepada orang lain atau mewariskannya.

Awalnya semua barang-barang yaitu milik bersama 
(rescommunis) dari suatu pergaulan hidup dan tidak ada  
milik perseorangan. Semulanya anggota dari pergaulan hidup itu 
memakai  barang-barang ini  bersama-sama. Kemudian 
dengan persetujuan pada anggota pergaulan hidup mengenai hak 
bersama atas barang-barang itu dibatalkan dan masing-masing anggota 
memperoleh hak milik prive/perseorangan atas barang-barang ini . 
Barang yang belum dikuasai oleh seorang anggota dapat dikuasai oleh 
anggota lain melalui perjanjian.
2. Teori Metafisika
Teori metafisika ini berarti di luar panca indra, abstrak penganutnya 
antara lain Immanuel Kant (1724-1804) filsuf di Koningsbergen di 
Jerman yang berpendapat sebagai berikut.
“Secara abstrak ada gagasan mengenai adanya satu hukum tentang 
milik, yaitu gagasan yang diekspresikan (diucapkan) oleh istilah 
milikku dan milikmu. Dalam bahasa Latin milikku disebut me’um, 
milikmu disebut tu’um, yaitu mengenai barang. Dalam bahasa 
Belanda istilah ini  yaitu myn dan ZUN. Manusia sebagai 
makhluk rasional memiliki  kemauan bebas sebagai tiap-
tiap manusia lain; ada  suatu hak alamiah yaitu kebebasan 
seseorang, sekadar kebebasan orang lain, di bawah hukum umum; 
sebab itu manusia memiliki  beberapa hak, antara lain Hak Milik 
sebagai ekspresi dari kepribadiannya.
Tiap manusia dapat menguasai sebagian dari tanah me’um sebab 
bumi yaitu milik bersama dari semua manusia, sedangkan orang lain 
memiliki  kebebasan yang sama untuk menguasai juga sebagian 
tanah, tu’um. Jadi, dasar hak milik yaitu gagasan abstrak: me’um dan 
tu’um yang dilaksanakan dengan menguasai atau menduduki barang.
3. Teori Sejarah
Menurut teori ini hak milik perorangan semula tidak ada. Semula 
ada  hak dari pergaulan hidup manusia atas barang dan dari hak itu 
berkembang hak milik prive. Perkembangan ini berlangsung menurut 
tiga tahap berikut.
   
a. Dalam tahap ini seseorang hanya menguasai barang secara fisik, 
badaniah tanpa hak apa pun. la menguasai terus menerus sebab 
kebutuhan yang dihasilkan oleh barang itu.
 Penguasaan ini dinamakan penguasaan alamiah, possessio naturalis. 
(Contoh dalam buku RoscoePoundmisalny menguasai tambang).
b. Dalam tahap ini possession naturalis tadi dilindungi oleh hukum 
sehingga possession naturalis tadi menjadi penguasa yuridis, 
dalam arti bahwa jika orang lain merampasnya, maka hukum 
dapat mengem balikannya kepada ia yang pertama menguasainya, 
sedangkan dalam tahap kesatu yang menguasainya harus 
melindungi barangnya sendiri secara fisik.
c. Dalam tahap ini possession naturalis menjadi hak milik perorangan. 
Penikmatan dan penguasaan barang secara eksklusif dijamin oleh 
hukum. Timbul pertanyaan apa perbedaannya hak milik dalam 
ketiga dengan penguasaan yuridis tahap kedua?
Penguasaan yuridis yaitu konsepsi tentang fakta, yaitu 
penguasaan dan hukum, sedangkan hak milik yaitu konsepsi hukum 
murni, hanya hukum tidak fakta.
Bandingkan Pasal 529 B.W. mengenai bezit: “Sebagai memegang 
atau menikmati barang yang secara mempengaruhi dengan perantaraan orang 
lain dikuasainya seolah-olah sebagai miliknya”.
Dengan Pasal 570 B.W. mengenai hak milik: “Sebagai hak untuk 
menikmati secara bebas suatu barang dan memakai  secara mutlak”.
4. Teori Positif
Teori positivisme memakai  sebagai dasar Hak Milik yaitu kerja. 
Kerja yaitu hak positif dalam arti bahwa manusia berhak atas hasil 
pekerjaannya (Lihat Pasal 606 B.W. “Barang siapa bahan bukan miliknya 
membuat barang yaitu pemilik barang itu, asal ia mengganti harganya 
bahan itu).
Teori ini benar jika hak milik itu diartikan sebagai hak atas benda 
yang seorang telah ciptakan sendiri untuk penghidupannya, namun  
bagaimana hasil kerja dalam perusahaan besar dan modern?
5. Teori Psikologis
Teori ini memakai  dasar dari pada Hak Milik naluri manusia untuk 
menguasai benda di alam Hak Milik yang dimaksud oleh teori ini ialah 
hak milik prive atas benda yang menuai perlukan untuk penghidupannya 
dan hak milik atas alat-alat yang manusia perlukannya sehari-hari.
Kelemahan dari teori ini ialah:
a. Dalam warga  primitif milik prive tidak ada  melainkan 
milik bersama, dan
b. jutaan manusia di dunia hidup dan bekerja tidak dengan hubungan-
hubungan hak milik prive.
6. Teori Sosiologis
Teori ini dianut di Uni Soviet. Hak Milik yaitu suatu lembaga 
warga  dengan perkataan lain bahwa dasarnya Hak Milik yaitu 
warga  sendiri.
Hak Milik diakui oleh hukum dalam arti bahwa alat-alat produksi 
hanya dapat dimiliki oleh negara. Jadi, yaitu milik sosialistis, 
sedangkan yang dapat dimiliki perorangan yaitu barang-barang 
konsumsi (pandangan ini asalnya dari KAR MARX).
L. Hukum Menurut Ilmu Hukum
Pendirian yang diambil dalam Ilmu Hukum sesungguhnya dan sudah 
sama-sama dimengerti yaitu hukum dalam warga  manusia, 
jelasnya objeknya yaitu warga .
Ilmu Hukum dewasa ini memandang untuk menyempurnakan 
warga  harus ada ketentuan-ketentuan suruhan dan larangan 
yang menimbulkan kewajiban dan/atau hak-hak. Ketentuan dan 
larangan itu yaitu norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang 
ada sangkut pautnya dengan perbuatan dan tindakan manusia dalam 
warga . Sebab itu pula Ilmu Hukum membedakan antara hukum 
dan kesusilaan, moral dan agama. Bahkan bukan saja membedakan 
namun  juga kesusilaan, moral, dan agama itu tidak dianggap ada sangkut 
pautnya dengan hukum. Pendirian Ilmu Hukum seperti ini berpokok 
pada dasar pandangan tentang apa yang dikatakan hukum, hanyalah 
   
untuk mengatur perbuatan dan tindakan manusia saja, bukan untuk 
menyempurnakan manusianya. 
Jika dikatakan bahwa Ilmu Hukum itu yaitu himpunan peraturan-
peraturan yang mengurus tata tertib dalam warga . Kesimpulannya 
tidak mengandung logical inadequacy, sebab kesusilaan yaitu himpunan 
peraturan-peraturan yang juga mengurus tata tertib dalam warga . 
Hukum itu dalam ilmu hukum dipandang sebagai gejala atau 
fenomena, menanggapi hukum sekadar atau sebagai manifestasi 
dibandingkan  tindak manusia dan kebiasaan sosialnya. Gejala hukum 
misalnya kalau Anda melihat mobil lewat di depan kampus, jalan 
sebelah kiri dan berhenti sebelah kiri itu yaitu gejala hukum. Kalau 
Anda melihat lampu merah, kuning, dan hijau itu pun yaitu 
gejala hukum. Apa yang dikatakan norma dalam ilmu hukum yaitu 
yaitu perintah atau larangan tentang perbuatan manusia dan 
dijelmakan dalam kitab undang-undang hukum pidana di mana dijumpai 
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh manusia selain 
dibandingkan  itu memandang hukum yang dapat dilihat dengan panca indra, 
misalnya di ruang pengadilan. Ilmu hukum tidak melihat hal-hal yang 
di belakang hukum. Dalam warga  kita melihat penerapan hukum 
atau penggunaan hukum namun  norma itu tidak tercukupi dalam ilmu 
hukum.
Jika kebiasaan hukum, penggunaan hukum, yaitu suatu 
peristiwa yang termasuk dalam bidang ”das sein” artinya “yang ada” 
maka itu tunduk pada hukum kausalitas. Sedangkan norma hukum 
itu termasuk bidang “das sollen” yang artinya “yang harus”. Adapun 
keterangan das sein dan das sollen diutarakan sebagai berikut. 
Dalam ilmu sosial ada  dua bagian, yaitu golongan empiris 
dan golongan normatif. Golongan empiris yaitu ilmu yang mengadakan 
konstatasi sesuatu tanpa menilainya dan ini meliputi pengertian 
das sein, sedangkan golongan normatif ialah ilmu yang mengadakan 
konstatasi sesuatu dan menilainya dan meliputi das sollen. Sesuatu norma 
memerintahkan bahwa sesuatu harus terjadi, sesuatu harus menjadi 
suatu kenyataan maka norma itu termasuk das sollen bukan “das sein”.

FUNGSI FILSAFAT HUKUM
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat 
abstrak, dan filsafat hukum yaitu cabang dari filsafat, filsafat 
hukum memiliki  fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum 
di negara kita . Sekadar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam 
menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan namun  juga di 
akhirat, sebab putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, di samping 
berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan 
dengan Allah Swt., maka manusia di samping ia mengadopsi hukum-
hukum yang langsung (baca; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang 
berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula 
kebenaran yang berserakan dalam kehidupan warga , yaitu suatu 
hukum yang akan mengatur perjalanan warga , dan hukum ini  
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang 
akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, 
ras, agama yang ada di negara kita .
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia yang mana 
“Philo” atau “Philein” artinya cinta dan “Sophia” artinya kebijaksanaan. 
Filsafat yaitu induk semua cabang ilmu. Filsafat menurut Kamus 
Besar Bahasa negara kita  adalah, pengetahuan dan penyelidikan dengan 
   
akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya 
filsafat dapat juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, 
metafisika, dan epistemologi. Sedangkan arti filsafat ialah kebijaksanaan 
hidup berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional.
Jadi dapat dikatakan pula bahwa filsafat berarti karya manusia 
tentang hakikat sesuatu. Karya artinya memakai  rasio/pikiran dan 
dilakukan secara metodis–sistematis. Karya manusia tentang hakikat 
sesuatu ialah hasil pikiran manusia tentang hakikat sesuatu. Sesuatu 
itu ialah alam semesta dan/atau segala isinya (termasuk manusia). 
Hakikat sesuatu ialah tempat sesuatu di alam semesta atau hubungan 
antara sesuatu dengan isinya alam semesta (yang lain), termasuk tempat 
manusia dan segala perilakunya. Ini berarti objek filsafat itu sangat luas, 
bersifat universal, yang mencakup segala gejala-gejala atau fenomena 
yang ditemui manusia di muka bumi ini.
Salah satu gejala ini  ialah gejala hukum (hidup dan peng-
hidupan hukum). Hukum ini  yaitu sesuatu yang berkenaan 
dengan manusia. Hukum tidak akan ada bila tidak ada manusia. Oleh 
sebab itu, bila orang berfilsafat tentang hukum maka harus berfilsafat 
tentang manusia terlebih dahulu. Salah satu aspek dari manusia yang 
berkaitan erat dengan hukum ialah perilakunya. Melalui filsafat perilaku 
atau etika inilah, orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian 
filsafat manusia ialah pohonnya, salah satu cabangnya ialah filsafat 
etika, dan salah satu cabang dari filsafat etika ialah filsafat hukum, yang 
sekaligus sebagai ranting pohon filsafat manusia.
Hukum berfungsi mengatur warga  mengembangkan 
suatu bentuk yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya, yaitu 
storitatif. Berkuasa dan memerintah pernyataan-pernyataannya, apa-
pendapatnya, bertolak dari kemauan agar warga  menundukkan 
diri kepada yang ingin dicapai oleh kemauan ini . Pernyataan 
hukum yaitu sebagaimana dituangkan dalam sesuatu bentuk 
perundang-undangan, tidak tunduk pada pengujian yang lazim 
dilakukan terhadap pernyataan ilmu. Artinya, hasil-hasil pengujian 
tidak menentukan, apakah hukum itu pada akhirnya akan diterima 
atau harus ditolak. Hukum tetap berlaku sebagai hukum sebelum 
ada ketentuan lain yang mengubah atau mencabutnya. Inilah yang 
bisa disebut sebagai logika hukum. Hukum yaitu suatu teknologi, 
suatu teknologi sosial. Yang menjadi urusannya yaitu mengusahakan 
agar orang-orang tunduk kepadanya, berbuat sesuai dengan apa yang 
dikehendakinya. Hukum tidak mungkin mengikuti logika ilmu dengan 
penelitian dan pengujian eksperimental dan cara lain, namun  sebagai 
suatu teknologi (sosial) ia masih bisa dikaitkan kepada ilmu. Kita 
mengetahui, hukum dahulu dibandingkan dengan kehadiran ilmu-
ilmu modern sekarang ini, khususnya di bidang sosial dan perilaku. 
Hukum sebagai ilmu terapan memerlukan  sandaran pada ilmu-ilmu 
dasar. Agar hukum bisa menjalankan fungsinya sebagai teknologi 
sosial dengan saksama, hukum memerlukan  ilmu-ilmu dasarnya, 
seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Hukum yang berfungsi 
menjamin persamaan alamiah menjadi hak-hak asasi.
B. Filsafat memberi  Gambaran Alam Semesta sebagai 
Keseluruhan 
Berkenaan dengan sebagaimana disitir oleh mengemukakan fungsi 
terutama dari filsafat yaitu memberikan (description) tentang alam 
semesta sebagai untuk mendapat jawaban suatu gambaran keseluruhan. 
Dalam usaha manusia menyebut adanya mengenai alam semesta, maka 
G.E.Moore bermacam-macam jalan berfilsafat, yaitu: (1) berdasarkan 
common sense, (2) berdasarkan pengetahuan “tambahan” (addition) 
terhadap common sense, (3) adanya hal-hal yang mungkin ada  dalam 
alam semesta, dan (4) kemungkinan tidak adanya hal-hal itu di alam 
semesta.
Jeremy Bentham yaitu salah seorang dari pembaru-pembaru 
sosial yang paling giat dan berhasil dengan perundang-undangan. 
Jeremy Bentham mengabdikan hidupnya mengadakan perubahan 
dalam ketidaksamaan yang ada  merintangi tumbuhnya demokrasi. 
Ia membayangkan begitu tega selesai, hukum dapat menarik diri, 
membatasi diri pada sesedikit mungkin kegiatan yang mengekang. 
Dalam bukunya Theory of Legislation, ia menyatakan fungsi-fungsi 
pokok hukum: memberi penghidupan; bertujuan memperoleh materi 
yang berlimpah-limpah; mendorong persamaan; dan memelihara 
keamanan. Dari semua ini yang paling penting yaitu keamanan, dan 
penekanannya pada fungsi melindungi dari hukum. Tujuan yang kedua, 
yakni persamaan kesempatan. Ia berharap agar, begitu perundang-
undangan mengenai perubahan-perubahan telah menyingkirkan 
   
berbagai kekaburan dalam mencapai persamaan itu, perundang-
undangan itu akan mengundurkan diri dan menyerahkan bidang ini 
pada usaha individu yang bebas dan persaingan bebas.
Cara berpikir atau paham hukum hanya dapat mengikuti 
perkembangan warga  di mana biasanya dikatakan hukum itu 
selalu hinkt achter de feiten aan yang hidup atau berlaku di negara kita  
selama ini didasarkan pada dua ajaran yang telah mendarah daging dan 
dianggap sebagai kebenaran-kebenaran yang mutlak. Pertama, ajaran 
mazhab sejarah yang dipelopori oleh Prof. Dr. Friedrich Carl von Savigny 
yang mengemukakan bahwa “Hukum itu tidak dibuat, namun  tumbuh 
bersama-sama dengan warga  (das Recht es nicht gemacht, aber ist und 
wird mit dem Volke). Kedua, ajaran atau teori keputusan (beslissingenleer) 
yang di negara kita  dipelopori oleh Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn dalam 
bukunya Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, yang mengemukakan 
hanya kebiasaan-kebiasaan yang diakui para penguasa (kepala adat) di 
dalam keputusan-keputusannya yang yaitu dengan demikian, 
hanya norma-norma yang sudah menjadi kebiasaan di dalam warga  
saja yang akan menjadi norma hukum, yang sudah yaitu kebiasaan 
di dalam warga  saja yang mungkin menjadi norma hukum. Oleh 
sebab suatu kebiasaan hanya dapat tumbuh bila suatu peraturan terjadi 
secara berulang-ulang, maka norma-norma hukum yang dapat tumbuh, 
juga hanya akan dapat menyangkut peristiwa yang sudah biasa terjadi 
atau pernah dialami di dalam warga  ini . Dengan perkataan 
lain, menurut paham ini tidak mungkin akan dapat timbul atau diadakan 
norma-norma hukum yang akan mengatur peristiwa-peristiwa yang 
belum pernah terjadi di warga  kita.
C. Fungsi     dalam Penegakan Hukum 
Dalam hukum pada umumnya, nilai-nilai terjalin berpasangan, namun  
tidak jarang pula bertegangan. Fungsi filsafat hukum terutama dalam 
rangka penegakan hukum antara lain menganalisis untuk lalu  
menyerasikan nilai-nilai yang bersangkutan. Menurut Prof. Dr. Roscue 
Pound, M.A. dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law 
(1922,1954), fungsi filsafat hukum sebagai atau untuk menguji hukum 
positif tentang efektivitasnya. Fungsi filsafat hukum untuk mengatur 
norma-norma, doktrin-doktrin, dan lembaga-lembaga dapat bermanfaat 
bagi warga , juga memimpin penerapan hukum dengan menunjuk 
pada tujuan hukum (filsafat hukum sedang menegakkan kepalanya di 
mana-mana).
Menyoroti penggunaan hukum sebagai sarana mengubah 
warga , Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. memaparkan salah satu 
ciri yang menonjol dari hukum dalam warga  modern yaitu 
penggunaannya secara sadar oleh warga nya. Hukum tidak hanya 
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang 
ada  dalam warga , melainkan juga untuk mengarahkannya 
kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang 
dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru, dan 
sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang 
hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu 
instrumen.  
Emile Durkheim (1858-1917) membedakan antara “warga  
dengan solidaritas mekanik” dengan “warga  dengan solidaritas 
organik”. warga  dengan solidaritas mekanik yaitu yang 
mendasarkan pada sifat kebersamaan dari para anggotanya, sedangkan 
warga  dengan solidaritas organik yaitu yang mendasarkan 
pada individualitas dan kebebasan dari para anggotanya. warga  
dengan solidaritas mekanis dipertahankan oleh sistem hukum represif, 
sedangkan warga  dengan solidaritas organik dipertahankan oleh 
sistem hukum restitutif. Sistem hukum represif fungsional untuk 
warga  dengan solidaritas mekanik sebab sistem ini mampu 
mempertahankan kebersamaan. Sistem hukum restitutif fungsional 
untuk warga  dengan solidaritas organik sebab sistem ini 
memberikan kebebasan kepada individu dengan berhubungan satu sama 
lain. Teori Emile Durkheim tidak membicarakan penggunaan hukum 
secara sadar untuk mengubah warga , namun  efeknya memberikan 
dasar bagi kemungkinan penggunaan suatu sistem hukum untuk 
menciptakan atau mempertahankan warga  yang diinginkannya.
D. Aneka Tujuan     
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., berpendapat hukum sampai 
pada dasar-dasar filsafatnya, terutama bertujuan untuk menjelaskan 
nilai-nilai dan dasar-dasar. Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., 
   
berpendapat hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil-
hasil pemikiran para ahli filsafat hukum ini  terhimpun dalam 
pelbagai mazhab atau aliran. Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H. 
mengemukakan “    berusaha mengungkapkan hakikat 
hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum 
sejauh yang mampu dijangkau akal budi manusia”.
Berhubungan dengan tujuan filsafat hukum, Prof. Dr. Drs. Ernst 
Utrecht, S.H. (1996) menerangkan filsafat hukum hendak melihat hukum 
sebagai norma dalam arti kata ethisch wardeoordeel. Filsafat hukum berusaha 
membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak diraba 
oleh panca indra” dari hukum. Filsafat hukum menjadi ilmu normatif, 
seperti halnya dengan (ilmu) politik hukum. Filsafat hukum berusaha 
mencari suatu rechts ideal yang dapat menjadi “dasar umum” dan “etis” 
(ethisch) bagi berlakunya sistem hukum positif suatu warga  (seperti 
Grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman 
yang menganut aliran-aliran seperti Neo-Kantianisme). Filsafat pada 
umumnya mencari ethische dan ideale levenshouding yang dapat menjadi 
dasar tetap petunjuk-petunjuk hidup kita.
Prof. Dr. L. Bender dalam bukunya Het Recht Rechts Philosophische 
hukum justru mencari yang dalam berbagai hukum yaitu sama, 
Verhandelingen (1948) memaparkan: “Filsafat menghakiki dan yang 
tidak dapat berubah dalam hukum menurut Dr. Theo Huijbers“. Tujuan 
filsafat hukum yaitu memperdalam pengertian tentang hukum dengan 
mempelajari maknanya yang sebenarnya.
Menurut Prof. Dr. Roscoe Pound, M.A., filsafat telah menjadi 
seorang berguna dalam semua tingkatan dari apa yang pantas kita 
bukan perkembangan hukum. Pada beberapa tingkatan dia yaitu 
seorang abdi yang kejam, dan pada tingkatan lain, dia yaitu seorang 
majikan. Filsafat itu telah dipergunakan untuk meruntuhkan kekuasaan 
tradisi yang sudah usang, untuk mematahkan peraturan-peraturan 
yang dipaksakan oleh pihak penguasa yang tidak membiarkan adanya 
perubahan bagi penggunaan baru, yang telah mengubah efeknya secara 
praktis. Filsafat itu telah dipergunakan pula untuk memasukkan unsur 
baru dari luar ke dalam hukum, dan membuat tubuh-tubuh baru hukum 
dari bahan-bahan baru ini, untuk menyusun dan memberikan sistem 
kepada bahan-bahan hukum yang ada, serta untuk memperkuat kaidah 
-kaidah dan lembaga-lembaga yang sudah ditetapkan, jika  masa 
itulah yang pertumbuhan telah diiringi oleh masa kestabilan dan masa 
rekonstruksi formal semata-mata. Itulah yang betul-betul telah dicapai 
oleh filsafat. Diakul clapi, senantiasa tujuan yang diakui sendiri oleh 
filsafat itu jauh.
Lebih tinggi lagi, filsafat sudah berdaya usaha  memberikan satu 
gambaran lengkap dan penghabisan pengawasan sosial, dan dicobanya 
pula membuat peta kesusilaan, hukum dan politik untuk segenap 
masa. Filsafat hukum memiliki  kepercayaan menemukan kenyataan 
hukum yang kekal, tidak akan berubah-ubah tempat kita berpijak, dan 
dapat memberi kita kesanggupan untuk menegakkan satu hukum yang 
sempurna yang dengannya dapat ditertibkan hubungan manusia untuk 
selama-lamanya lenyap segala ketidakpastian dan diperoleh kebebasan 
dari akan adanya perubahan. Kita tidak boleh mengejek tujuan yang 
tinggi dan keyakinan yang mulia ini. Sebab tujuan dan keyakinan ini 
sedikit yaitu faktor-faktor di dalam kekuasaan filsafat hukum 
untuk melakukan hal-hal yang kurang luhur, yang dalam keseluruhannya 
yaitu tulang punggung dan semangat dari apa-apa yang telah dicana 
oleh hukum oleh sebab daya usaha  untuk melaksanakan program 
yang lebih luas telah mengajak filsafat hukum secara kebetulan untuk 
melakukan apa-apa yang akan segera berfaedah dan praktis pengalaman 
dalam melakukan yang disebut lalu  ini, seolah-olah dia subspecie 
aeternitatis, telah memberikan harga yang kekal kepada apa yang pada 
lahirnya yaitu hasil tambahan dari penyelidikan filsafat.
F. Iswara, S.H., LLM. berpendapat setiap persekutuan hidup harus 
berdasar pada suatu keadaan tertib atau ketertiban (keteraturan), ia 
mengemukakan setiap persekutuan hidup, bagaimana modern atau 
primitifnya pun harus berdasar pada sejenis “tertib” (orde). Tidak 
dapat dibayangkan adanya persekutuan hidup yang tidak mengenal 
semacam ketertiban yang mengatur tata hidup mereka. Filosof Romawi 
(Marcus Tullius Cicero/106-43 M), kurang lebih 20 abad yang lalu 
sudah mengucapkan kalimat termasyhur “ubi societas, ibi ius” (di mana 
ada warga , di situ ada hukum).
Dalam konteks pemahaman arti hukum dan fungsi hukum dalam 
warga , Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM. menyatakan 
pertanyaan-pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang sebetulnya 
dan fungsi hukum dalam warga , dapat dikembalikan pada 
pertanyaan dasar: apakah tujuan hukum itu? Dalam analisis terakhir, 
   
tujuan pokok jika  direduksi pada suatu hal saja yaitu ketertiban dan 
hukum (order). Ketertiban yaitu tujuan pokok dan pertama dari segala 
hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) 
bagi adanya suatu warga  manusia yang teratur. Lepas dari segala 
kerinduan akan yang juga menjadi tujuan dari hukum, ketertiban 
sebagai hal-hal lain tujuan utama hukum, yaitu suatu fakta 
objektif yang berlaku bagi segala warga  manusia dalam segala 
bentuknya. Mengingat bahwa kita tak mungkin menggambarkan hidup 
manusia tanpa atau di luar manusia-warga -dan hukum yaitu 
warga . Maka pengertian yang tak dapat dipisah-pisahkan. Pemeo 
Romawi “ubi societas ibi ius” (di mana ada warga  di situ ada hukum) 
dari Marcus Tullius Cicero/106-43 SM menggambarkan keadaan ini 
dengan tepat sekali. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum 
yaitu tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, 
menurut warga  dan tamannya. Untuk mencapai ketertiban 
dalam warga  ini, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan 
antarmanusia dalam warga . Yang penting sekali bukan saja bagi 
suatu kehidupan warga , namun  yaitu syarat mutlak bagi 
suatu organisasi hidup yang melampaui batas sekarang. Oleh sebab 
itulah ada  lembaga-lembaga hukum, seperti: (1) perkawinan, yang 
memungkinkan kehidupan yang tak dikacaukan oleh hubungan antara 
laki-laki dan perempuan; (2) hak milik; dan (3) kontrak yang harus 
ditepati oleh pihak-pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian hukum 
dan ketertiban warga  yang dijelmakan olehnya, manusia tidak 
mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan 
Tuhan kepadanya secara optimal di dalam warga  tempat ia hidup.
Pendapat George Whitecross Paton tentang kepentingan individu 
(dalam tujuan hukum) meliputi keluarga, hak politik (hak memilih 
dan hak dipilih), juga kepentingan warga  yang meliputi kesehatan 
umum dan kesejahteraan umum. Definisi hukum menurut George 
dalam bukunya A Text Book of Jurisprudence Whitecross Paton, hukum 
meliputi tiga unsur yaitu putusan pengadilan, tujuan hukum, dan 
kenyataan-kenyataan sosial. Pengertian kepentingan menurut George 
Whitecross Paton mengingatkan pada pandangan Rudolf von liering 
tentang interessenjurisprudenz. Sementara itu, tujuan hukum Prof. 
Dr. Rudolf von Jhering bahwa tujuan hukum yaitu “kepentingan” 
ia mengikuti Jeremy Bentham dengan melukiskannya sebagai pene 
kesenangan dan menghindari penderitaan. Akan namun , kepentingan 
individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan 
tujuan mempengaruhi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang 
lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk tujuan 
sama, maka terbentuklah koperasi. Perdagangan, warga  negara 
yaitu hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan tujuan yang 
sama itu.
Ahli hukum Tata Negara dan Hukum Pidana mungkin memandang 
problem-problem hukum lebih langsung sebagai suatu aspek dan 
hubungan-hubungan antara yang berkuasa dan warga, antara 
warga  dan individu. Jawaban atas persoalan-persoalan ini dalam 
penempatan yang satu di bawah yang lain. Adalah bukan kebetulan para 
ahli hukum yang memasukkan konsepsi-konsepsi tentang kewajiban 
dan negara dalam hubungannya dengan individu yaitu ahli-ahli hukum 
tata negara.
Menurut salah satu asas dari asas-asas hukum fikih dalam kaitan 
dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana dipaparkan oleh Dr. Subhi 
Rajab Mahmassani membedakan hak umum (hak Allah) dan hak 
pribadi. la memaparkan mengatur berbagai hukum pidana, membedakan 
hak umum (hak Allah) dan hak pribadi. Membedakan juga antara 
hukum pidana yang ada ketetapan sanksinya dalam hukum syara’ dan 
yang diserahkan hukumnya kepada kebijaksanaan hakim. Kemudian 
menetapkan syarat-syarat qishash dalam tindak pidana pembunuhan 
dan pelukan yang disengaja, dan memberi batasan atas denda (divat) 
dan ganti rugi.
 Dengan mengembangkan gagasan mengenai keseimbangan (antara 
kepentingan individu, kepentingan warga , dan kepentingan umum 
negara atau antara kepentingan individu dan kepentingan umum) 
sebagai tujuan hukum, Prof. Dr. Rudolf von Jhering menjadi bapak 
ahli hukum sosiologis modern. Ia menyiapkan teknik hukum yang 
paling luwes yang diperlukan oleh problem-problem hukum baru yang 
berubah-ubah, dengan menentang ilmu hukum tentang konsepsi-
konsepsi. Selain itu, pendiriannya yang tegas menerapkan hukum 
dengan konsepsi romantis mengenai manifestasi tanpa disadari dari 
volksgeist lewat hukum.
   
Dari pendapat-pendapat tadi dapat disimpulkan tujuan hukum itu:
(1) menurut paham tradisional yaitu untuk menjaga ketertiban 
dan menurut paham modern yaitu alat untuk keadilan, serta (2) 
anggun warga . Sebagai tujuan hukum, ketertiban lebih penting 
primer dibandingkan  keadilan, sebab (1) setiap hukum mengandung unsur 
ketertiban namun  tidak semua hukum mengandung keadilan, dan (2) 
jika  terjadi bentrokan (spanning, tension antara keadilan dengan 
ketertiban maka keadilan terpaksa dikesampingkan dahulu, orang 
memberikan peranan yang statis kepada hukum. Artinya hukum itu 
hanya diberi peranan untuk mempertahankan apa yang sudah ada. 
Dalam anggapan mereka hukum hanya mengikuti dan mencerminkan 
apa-apa yang telah ada saja tidak mungkin menjadi pelopor untuk 
mengadakan pembaruan atau memajukan warga .
Dalam paham modern, hukum diberi peranan yang progresif 
artinya diberi peranan sebagai pelopor untuk mengadakan perubahan 
dan modernisasi.
A. Manusia
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang yaitu ciri khas 
manusia. Manusia yaitu satu-satunya makhluk yang mengembangkan 
pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga memiliki  
pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan 
hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya 
untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini dan 
berbagai problema yang menyelimuti kehidupan. Manusia senantiasa 
penasaran terhadap cita-cita hidup ini, yang hendak diraih yaitu 
pengetahuan yang benar, kebenaran hidup itu. Manusia yaitu 
makhluk yang berakal budi yang selalu ingin mengejar kebenaran. 
Dengan akal budinya, manusia mampu mengembangkan kemampuan 
yang spesifik manusiawi, yang menyangkut daya cipta, rasa, maupun 
karsa. saat  orang menyaksikan sebuah pantai, sebut saja Pantai Pasir 
Putih, orang akan terheran-heran dengan pasir putih. Kemegahan 
alami itu menggugah perhatian manusia, setidaknya ingin mengetahui 
sesungguhnya apakah hidup itu seperti pasir? siapa yang menciptakan 
pasir putih beribu-ribu dan bahkan berjuta-juta butir, serta untuk apa 
maknanya bagi manusia?
Realitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas dua 
unsur pokok, yaitu jasad dan roh. Jasad dimaknai sebagai elemen kasar 
(fisik) yang terkonstruksi dari bertemunya sperma dan ovum dalam 
steam sel, darah, daging, tulang, kulit, bulu, dan unsur fisik lainnya. 
Adapun elemen roh yaitu unsur halus (nonfisik/gaib) yang yaitu 
pemberian Tuhan melalui proses transformasi kehidupan. Unsur roh 
ini memegang posisi strategis dan menentukan dalam memosisikan 
eksistensi manusia untuk dapat dikatakan sebagai homo Sapiens.
Tubuh sebagai elemen jasad sesungguhnya tidak berarti apa-apa 
tanpa eksisnya roh di dalamnya. Dengan roh, manusia yang terdiri atas 
kolektivitas jutaan sel tumbuh dan berkembang menurut ketentuan yang 
telah ditetapkan Tuhan baik dalam bentuk jasad maupun pikiran. Rohlah 
yang mengantarkan manusia pada fase untuk merasakan senang, sedih, 
bahagia, berani, takut, dan benci, dan dengan roh jugalah manusia dapat 
menjadi makhluk hidup yang bermoral, bersusila, dan bersosial. Oleh 
sebab itu, roh dipandang sebagai sumber kepribadian manusia yang 
akan mengantarkan manusia pada proses pemahaman hakikat manusia.
Roh yaitu suatu unsur dari Ilahi yang hanya Tuhanlah yang 
mengetahui rahasia yang ada di balik dan di dalamnya. Roh inilah 
yang menjadi mesin bagi jasad manusia, di mana saat  mesin ini 
tidak berfungsi, maka jasad manusia akan berada pada titik nol (zero) 
yang dengan demikian tanpanya manusia sesungguhnya tidak dapat 
dikatakan lagi sebagai manusia. Oleh sebab itu, urgensitas roh terhadap 
jasad manusia sangat vital, meskipun tidaklah selalu berdampak pada 
apresiasi manusia akan roh itu sendiri.
Dalam tataran awam, roh dan jasad dipandang sebagai suatu 
variabel terpisah dan bahkan ada yang menganggap sebagai suatu 
bentuk rivalitas ciptaan Tuhan. Manusia awam ini menganggap bahwa 
kemampuan mendengar, berbicara, dan berpikir yaitu ranah jasad 
sebab dianggapnya sebagai suatu hal yang secara struktur dianggap 
berbentuk fisik. Sehingga manusia awam tidak memahami esensi ranah 
jasad.
Ketidakmampuan manusia awam memahami esensi jasad dan 
roh sebagai kesatuan terpadu, memicu pada saat-saat tertentu 
dalam konteks sebagai binatang (memiliki akal pikir), maka manusia 
dianggap lebih hina dari binatang (tidak memiliki akal pikiran) yang 
sesungguhnya. Kehinaan ini timbul akibat ketidakmampuan manusia 

membangun eksistensi kemanusiaannya yang berujung pada ketidak-
mampuan manusia menonjolkan sifat keistimewaan yang melekat 
pada dirinya, yang hakikatnya jika ditelaah lebih dalam yaitu 
kelebihan yang dititipkan Allah kepada manusia sebagai salah satu 
makhluk ciptaannya.
Manusia sebagai makhluk Tuhan pada hakikatnya memiliki 
wawasan luas tentang jagat. Wawasan ini  dapat diperoleh 
baik secara ilahiah maupun melalui usaha  manusia yang dihimpun 
dan dikembangkan selama berabad-abad. Dalam proses pencarian 
ini , kecenderungan spiritual dan luhur manusia terus bekerja 
dalam menemukan esensi kebenaran-kebenaran yang tentunya akan 
direfleksikan dalam proses dialog jasad dan roh.
2. Manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Otonom
Memahami keotonoman manusia sebagai makhluk Tuhan dalam uraian 
ini, berangkat pada konstruksi filsafat perenial mengenai kecenderungan 
manusia. Kecenderungan manusia pada hakikatnya terdiri atas dua 
hal, yaitu aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang dalam 
kesadaran tentang keterbatasan mampu membuktikan bahwa dalam 
dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.
Manusia pada prinsipnya yaitu makhluk lemah. Lemah dalam 
ketergantungan manusia (dependensi) terhadap penciptanya. Walaupun 
manusia memiliki ketergantungan, akan namun  pada hakikatnya Tuhan 
telah meletakkan suatu otoritas dalam proses kehidupan manusia yang 
berwujud script (tabula rasa) suci tanpa noda yang yaitu gambaran 
keseimbangan (balance) terhadap dependensi ini . Tentunya, script 
itu diharapkan dapat dilakoni oleh manusia dengan pewarnaan yang 
variatif. Proses pewarnaan yang dilakukan oleh manusia itulah akan 
menjadi gambar dan potret kehidupan setiap manusia yang dalam 
kondisi sesungguhnya dapat diejawantahkan sebagai sumber kekayaan 
pengetahuan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.
Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan 
segala dependensinya kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia 
untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi, dan 
kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan diri (survive) 
dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Di sisi lain, dengan 
   
segala otonomi yang dimiliki oleh manusia, maka manusia melakukan 
proses doa dan puji kepada Tuhan sebagai wujud penghambaannya 
(dependensi) kepada Tuhan penciptanya(mutual interest). Jiwa manusia 
dalam ketergantungannya pada Tuhan cenderung tidak a