Home » filsafat hukum 1 » filsafat hukum 1
Rabu, 31 Mei 2023
Filsafat lahir di Yunani pada abad keenam Sebelum Masehi (SM). Dalam
bahasa Yunani filsafat disebut philosophia yang berasal dari dua akar
kata yakni “philos” atau “philia” dan “sophos” atau “sophia”. “Philos”
memiliki arti cinta, persahabatan, sedangkan “sophos” berarti hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, dan inteligensia. Dengan demikian maka
philosophia ini dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan. Istilah
philosophia ini masih menjadi perdebatan tentang siapa yang paling
awal memperkenalkannya. Ada yang mengatakan bahwa philosophia ini
untuk pertama kali diperkenalkan oleh Heraklitos (540-480 SM), dan
ada pula pendapat lain yang mengemukakan bahwa Pythagoras yang
pertama kali memperkenalkannya. Pada periode filsafat Sokratik (abad
ke lima SM), kata filsafat dipakai dalam karya Plato yang berjudul
Phaidros. Dalam karya ini Plato menerangkan bahwa “makhluk bijak”
(sophos) terlalu luhur untuk seorang manusia. Kata itu hanya pantas
untuk dewa. Oleh karenanya bagi Plato lebih baik manusia dijuluki
pecinta kebijakan atau philosophos. Sejak saat itu philosophos berkembang
sebagai sebuah sebutan bagi manusia yang mencari dan mencintai
kebijaksanaan. maka , pengakuan bahwa manusia bukanlah
makhluk yang sudah bijaksana, namun sedang berproses menjadi
bijaksana. Kata philosophos menjadi penanda adanya kegiatan manusia
yang mencari dan mengejar kebijaksanaan sebab kecintaannya akan
kebijaksanaan itu. sebab itulah filsafat diartikan sebagai cinta akan
kebijaksanaan.
Menurut Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H., M.Hum. dalam
bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu Hukum”, Filsafat yaitu hasil
berpikir filsafat. Berpikir filsafat yaitu berpikir tentang sebab (thingking
of cause). Berpikir tentang sebab yaitu berpikir tentang asal-usul, sumber,
atau hakikat sesuatu. Berpikir tentang sebab dari sesuatu, misalnya suatu
peristiwa, dapat membuat seseorang memiliki pengetahuan tentang
sebab dari peristiwa ini (knowledge). Pengetahuan tentang sebab dari
suatu peristiwa dapat membuat orang memahami asal-usul atau hakikat
dari peristiwa ini (understanding). Memahami sebab suatu peristiwa
dapat membuat orang menjadi bijaksana dalam bersikap terhadap
suatu peristiwa (wisdom). Oleh sebab itu seseorang yang berfilsafat
atau seorang filsuf disebut bijaksana sebab ia memiliki pengetahuan
tentang sebab, ia memahami atau memiliki pengertian tentang sebab
suatu peristiwa. Pengetahuan dan pemahaman tentang sebab dari suatu
peristiwa membuat seseorang memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah yang terkandung dalam peristiwa ini .
Apa itu Hukum? Memulai pertanyaan dengan apa itu hukum?
Merupakan suatu kesengajaan dalam kesederhanaan untuk memahami
secara utuh hukum itu sendiri. Jika yang pertama-tama muncul sebagai
hukum ialah hukum yang berlaku dalam sebuah Negara, maka hukum
yang dimaksud yaitu hukum positif. Dalam konteks ini, penetapan
oleh pemimpin yang sah dalam negara dianggap asal mula adanya
hukum. Kalau seorang ahli hukum bicara mengenai hukum biasanya ia
memaksudkan hukum ini. Lalu, bagaimana jika rakyat bicara mengenai
hukum. saat rakyat mencari hukum, berarti rakyat menuntut susaha
hidup bersama dalam warga diatur secara adil. Dalam hal ini,
rakyat lebih melihat dalam tatanan norma yang memiliki kedudukan
tinggi dari undang-undang. Sehingga dalam mengesahkan tuntutan
dari rakyat tidak perlu diketahui apa yang terkandung dalam undang-
undang negara. Rakyat meminta susaha tindakan-tindakan yang diambil
yaitu sesuai dengan suatu norma yang lebih tinggi dibandingkan norma
hukum dalam undang-undang. Norma yang lebih tinggi itu dapat
disamakan dengan prinsip-prinsip keadilan. Dikotomi di antara dua
subjek dalam melihat pendekatan hukum yang diadopsi dan diambil
oleh keduanya tentunya memiliki perbedaan yang memang sangat
nyata. Lantas pertanyaan yang lalu muncul mungkinkah kedua
hukum ini dipisahkan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini , maka marilah kita memandang pertama-tama hukum
positif secara terpisah dari prinsip-prinsip keadilan. Kemudian kita
akan melihat pula apa arti suatu hukum lepas dari hukum positif itu.
Seandainya hukum lepas dari norma-norma keadilan kemungkinan ada
bahwa hukum yang ditetapkan yaitu hukum yang tidak adil. Apakah
hukum yang tidak adil memiliki kekuatan hukum? Untuk mengerti
apakah hukum yang sebetulnya perlu diketahui, apakah makna
hukum. Menurut tanggapan umum makna hukum ialah mewujudkan
keadilan dalam hidup bersama manusia. Makna ini dicapai dengan
dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan-peraturan
bagi kehidupan bersama itu. Maka menurut pandangan orang hukum
yang sebetulnya yaitu hukum positif yang yaitu suatu realisasi
dari prinsip-prinsip keadilan. saat hukum positif diuraikan dalam
koridor prinsip-prinsip keadilan, maka harus diakui bahwa orang yang
memakai metode empiris memiliki pandangan yang berbeda atau
mungkin juga dengan segala keterbatasannya, mereka tidak sampai
pada pandangan ini. Mereka mendapat pengertian tentang hukum dari
apa yang terjadi dalam pembentukan hukum dalam undang-undang.
Dengan ini mereka memastikan bahwa hukum berasal dari suatu
penguasa yang sah dalam suatu negara yang berdaulat. Pemerintah
itu meneliti situasi, melihat kebutuhan akan peraturan-peraturan
tertentu, lalu mengesahkan peraturan itu. Dapat dipastikan juga bahwa
pembuatan peraturan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sudah
barang tentu situasi historis dan politik suatu warga terlebih
dahulu menjadi dasar pertimbangan. Kemudian juga ideologi negara
dapat menjadi petunjuk dalam membentuk undang-undang. Mungkin
juga kepentingan mempengaruhi atau nafsu kekuasaan ikut menentukan isi
undang-undang. namun pengertian tentang hukum sebagai norma suatu
hidup bersama yang adil tidak masuk pertimbangan mereka.Walaupun
tanggapan hukum sebagai suatu aturan yang adil tidak diperoleh melalui
penyelidikan ilmiah, pada orang tetap ada keyakinan bahwa hukum
ada hubungan dengan yang seharusnya. Dalam hati manusia hiduplah
keinsyafan keadilan yang membawa orang kepada suatu penilaian
faktor-faktor yang berperanan dalam pembentukan hukum. Dengan
demikian orang-orang membedakan antara suatu ideologi yang baik
dan yang jahat, antara tindakan yang diambil demi kepentingan mempengaruhi
dan tindakan demi kepentingan umum. Suatu tindakan yang tidak adil
umumnya tidak dianggap sebagai tindakan hukum.
Keinsyafan keadilan dalam hubungan dengan hukum tidak hanya
dimiliki oleh rakyat. Yang berkuasa dalam negara juga sadar tentang
perlunya keadilan. sebab kesadaran ini para penguasa politik sekuat
tenaga berusaha untuk mengesahkan tindakan-tindakannya seakan-akan
tindakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Untuk tujuan ini
kadang-kadang prinsip-prinsip keadilan dipalsukan dengan membuat
slogan-slogan yang menipu orang. Slogan-slogan itu ditimba dari sejarah
atau semangat hidup rakyat. Umpamanya di Nazi-Jerman suatu teori
darah dan tanah (Blit und Boden) disusun untuk mengesahkan
pembunuhan enam juta orang yahudi. Prinsip nasib historis dipakai
untuk mengesahkan perang dan sebagainya. namun semboyan-semboyan
ini sebetulnya hanya usaha untuk mengubah makna tindakan yang tidak
adil susaha ditanggapi sebagai adil. Inilah suatu bukti bahwa semua
orang beranggapan bahwa keadilan termaksud arti hukum. Kadang-
kadang terjadi bahwa undang-undang yang dulu cocok dengan situasi
warga sebab perkembangan sosial makin menjauhkan diri dari
rasa keadilan yang hidup dalam hati orang. Atau juga terjadi bahwa para
penguasa memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk membuat
undang-undang yang adil, namun usaha ini gagal. Pada kenyataannya
undang-undang ditaati pada permulaan. namun sesudah beberapa waktu
jurang antara hukum positif dan prinsip-prinsip keadilan menjadi nyata.
Akibatnya peraturan yang ditentukan kehilangan artinya sebagai hukum
dan mungkin tidak ditaati lagi. Bila perkembangan semacam ini cukup
disadari oleh orang-orang yang menetapkan hukum mereka itu akan
menyetujui bahwa hukum positif menjadi ”huruf yang mati”. Inilah
suatu tanda bahwa baik pihak rakyat maupun pihak berkuasa hanya
mengakui hukum sebagai hukum, bila hukum itu sungguh-sungguh
tergabung dengan prinsip-prinsip keadilan. Hukum yang dipandang
sebagai hukum hanya jika tidak menentang keadilan, konsekuensinya
ialah peraturan yang tidak adil bukanlah hukum yang sebenarnya. Oleh
sebab itu, kalau suatu peraturan kehilangan arti dan maknanya sebagai
hukum maka peraturan ini tidak wajib lagi dan karenanya tidak boleh
ditaati. Apakah konsekuensi ini dapat dipertahankan di hadapan suatu
penguasa yang berkuasa yang mengesahkan peraturan semacam itu?
Dengan kata lain: apakah pemberontakan terhadap pemerintahan
diizinkan tiap-tiap kali suatu peraturan yang tidak adil ditentukan?
Dalam hal ini kiranya pertimbangan Thomas Aquinas cukup bijaksana.
Menurut pendapatnya pemberontakan terhadap tata hukum yang tidak
adil sering kali tidak diizinkan sebab bahaya huru-hara dan anarki.
Walaupun demikian tetap benar juga bahwa hukum yang tidak adil
kehilangan artinya sebagai hukum, sekalipun peraturan-peraturannya
ditaati terus. Di sini motif ketaatan sudah berlainan. Peraturan ini tidak
ditaati oleh sebab memiliki ketaatan hukum, namun oleh sebab orang
yang menetapkannya yaitu orang yang berkuasa. Dengan ini perbedaan
antara hukum dan kekuasaan telah hilang. Bila keadilan begitu penting
dalam menentukan arti hukum, mengapa kaum juris menitikberatkan
segi positif hukum dan sering kali melalaikan segi keadilan. Hal ini dapat
dimengerti oleh sebab dalam praktik sering kali sulit dibedakan antara
hukum yang adil dan hukum yang tidak adil. Kaum juris yang mempelajari
masalah hukum kurang senang dengan ketidakpastian ini. Apa yang
perlu menurut mereka yaitu pertama-tama kepastian. Hukum harus
pasti (cerum), susaha dapat menjalankan fungsinya, yakni menjamin
aturan hidup bersama dan menghindarkan timbulnya kekacauan.
Kepastian hukum dicapai melalui suatu perundang-undangan yang
mengatur seluruh hidup bersama sampai detail-detailnya. Tentu saja
ideal kaum juris ini tidak pernah tercapai, akan namun hal ini tidak
membuktikan kesia-siaannya. Namun dengan tetap menerima bahwa
kepastian hukum ada nilainya, kami berkeyakinan bahwa hukum harus
pertama-tama benar (verum), yakni hukum harus adil. Oleh sebab itu
para ahli hukum harus terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai hidup
bersama, susaha suatu hukum dapat dibentuk yang benar-benar
yaitu hukum sebab sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam
zaman sekarang ini terutama sesudah perang dunia kedua, bertambahlah
kesadaran bahwa hukum harus dikaitkan dengan keadilan susaha dapat
dipandang sebagai hukum. Atau dengan kata lain, orang makin yakin
bahwa hukum positif harus menurut norma-norma yang tertentu, yakni
prinsip-prinsip keadilan. jika tata hukum yang tidak memenuhi
syarat ini, tetap diakui sebagai hukum, maka dengan ini hukum
sebetulnya tidak dapat dibedakan lagi dari kekuasaan. Di antara filsuf-
filsuf yang membela pandangan ini ada filsuf-filsuf neokantianisme,
terutama Radbruch. Namun bagi mereka tidak mudah untuk
mempertanggungjawabkan pendiriannya oleh sebab bidang keharusan
dipisahkan dari bidang kenyataan. Bagaimana norma-norma keadilan
dapat masuk undang-undang yang hanya yaitu kenyataan saja?
Beberapa filsuf aliran-aliran lain yang mendukung pandangan bahwa
hukum harus adil. Seorang tokoh sosiologi hukum modern, G.Gur Vitch,
dari aliran fenomenologi dan eksistensialisme Reinach dan Hommes
perlu disebut. namun uraian sistematis mereka kadang-kadang kurang
memuaskan, entah sebab metodenya, entah sebab tanggapannya
tentang eksistensi manusia sebagai manusia individual, atau argumentasi
lainnya. Filsuf-filsuf yang prihatin juga terhadap aspek keadilan dalam
hukum ialah filsuf-filsuf yang tinggal dalam arus tradisional filsafat
dengan menerima suatu hukum dalam arti keadilan, yakni hukum alam.
Kiranya filsafat tradisional ini paling mantap untuk memper tanggung-
jawabkan gejala hukum secara mendalam. Hal ini tidak mengherankan.
Seluruh sejarah filsafat hukum menjelaskan bahwa masalah yang
sebetulnya dalam bidang filsafat hukum yaitu tidak lain dibandingkan
masalah ini: apa sebetulnya hukum alam? Dari semula hukum alam
sudah yaitu pokok filsafat hukum dan sampai zaman sekarang ini
masalah ini selalu muncul kembali dalam pikiran orang. Maka benarlah
apa yang dikatakan dengan kata kiasan: ”bila hukum alam ditolak dan
tidak diperbolehkan masuk ke dalam badan hukum positif, hukum itu
bergelepar di sekitar kamar seperti semacam hantu dan mengancam
untuk menjelma menjadi sebuah lintah darat yang mengisap darah dari
badan hukum”. Hukum positif menjamin kepastian hidup, namun baru
menjadi lengkap bila disusun sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Menurut tradisi klasik dan skolastik prinsip-prinsip keadilan itu
terkandung dalam suatu hukum alam, entah hukum itu berasal dari
alam, entah dari Allah, entah dari akal budi manusia. Pertanyaan yang
dapat diajukan di sini ialah: apakah prinsip-prinsip keadilan yang
terkandung dalam hukum alam dapat disebut hukum? Ataukah prinsip-
prinsip keadilan itu memerlukan suatu institusionalisasi susaha
sungguh-sungguh menjadi hukum? Kriterium yang dipakai di sini
yaitu bahwa prinsip-prinsip keadilan itu hanya dapat dipandang sebagai
hukum yang sungguh-sungguh bila mereka bekerja secara efektif dalam
mengatur hidup bersama manusia yang konkret. Oleh sebab itu,
keadilan jika belum diinstitusionalisasi dalam peraturan-peraturan
prinsip-prinsip keadilan yang dapat berguna sebagai pedoman bagi
hukum, maka dengan demikian prinsip-prinsip keadilan ini tidaklah
menjadi hukum. Dapat disetujui bahwa hukum alam yang mengandung
prinsip-prinsip keadilan itu, yang biasa disebut hukum pra-positif, atau
hukum pra-yuridis. Akan namun sebagai norma bagi praktik yuridis,
prinsip-prinsip ini baru menjadi efektif jika tertuang dalam hukum positif
yang adil. Kesimpulannya ialah bahwa dalam hukum yang sebetulnya
dua segi disatukan disebutkan bahwa hukum haruslah dirumuskan
dalam bentuk hukum yang adil dan pasti. Bila salah satu segi tidak
terpenuhi maka ’hukum’ itu kehilangan artinya sebagai hukum. Hal ini
dapat dijelaskan dengan membandingkan hubungan antara kedua arti
hukum, yakni hukum yang pasti dan hukum yang adil, dengan hubungan
antar badan dan jiwa. Memang jelas bahwa badan tanpa jiwa tidak ada
artinya. namun di lain pihak benar juga bahwa jiwa tidak dapat berdikari.
Jiwa hanya dapat hidup bila bersatu dengan badan untuk bersama-sama
membentuk manusia. Namun peraturan yang erat antara badan dan jiwa
tidak memicu bahwa kedua bagian ini dapat disamakan sehingga
tidak berbeda lagi. Baik badan maupun jiwa menunjuk suatu segi yang
lain dalam hidup manusia. Seperti badan dan jiwa bersatu dalam manusia
demikian pula peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keadilan bersatu
dalam hukum yuridis, yakni hukum positif yang benar. Namun seperti
badan dan jiwa tidak pernah menjadi satu, demikian juga peraturan-
peraturan dan prinsip-prinsip keadilan tidak pernah menjadi satu. Betapa
besar juga usaha untuk mewujudkan suatu hukum yang positif yang
hasilnya tidak akan pernah sempurna. namun akan ada dualisme antara
norma-norma keadilan dan hukum yang diciptakan manusia sebagai
hukum positif. Dari sejarah filsafat hukum dapat dipelajari bahwa pada
zaman dulu hukum alam sering kali dianggap sebagai hukum yang sah.
Itu berarti juga bahwa filsuf-filsuf zaman itu memandang hukum alam
sebagai suatu hukum tersendiri lepas dari hukum yang mengatur hidup
bersama orang-orang dalam undang-undang. Dalam zaman Yunani-
Romawi hukum alam disamakan dengan prinsip-prinsip suatu aturan
ilahi yang terkandung dalam alam itu. Dalam pandangan filsuf-filsuf
Yunani kuno khususnya dalam filsafat Plato dan Aristoteles, hukum
ditanggapi sebagai pernyataan dari yang ilahi. Demikian juga dalam
filsafat stoa yang sangat berpengaruh dalam kerajaan Romawi. Dalam
filsafat Abad Pertengahan hukum diartikan sebagai pernyataan kehendak
Allah dengan alam dan dengan manusia. Baik hukum alam maupun
hukum positif memiliki kekuatan hukum, walaupun berbeda pada
tingkatnya masing-masing. Pada zaman sekarang ini filsuf-filsuf yang
menerima suatu hukum alam memandangnya sebagai norma bagi hukum
positif. namun norma itu baru menjadi hukum dalam hubungannya
dengan peraturan yang konkret dalam warga , yakni dalam hukum
positif yang sejati.Filsuf-filsuf yang menganut rasionalisme percaya pada
kekuatan pengertian manusia. Maka dari itu mereka ditantang untuk
menyusun suatu daftar hukum alam yang berlaku untuk segala tempat
dan segala zaman. Juga teori keadilan dari RAWLS menuju ke arah itu
melihat usahanya untuk merumuskan prinsip-prinsip keadilan yang
berlaku untuk selama-lamanya. Namun dari sejarah filsafat hukum sudah
kentara bahwa mustahillah menyusun suatu daftar hukum alam yang
selalu berlaku dan tidak dapat diubah.
Perubahan hukum alam dapat dipastikan dalam sejarah. Cukuplah
pandangan hukum alam zaman Yunani-Romawi dibandingkan dengan
pandangan zaman sekarang berhubungan hak-hak manusia. Waktu dulu
hak-hak itu tidak diakui sama sekali, bahkan juga dilanggar, umpamanya
dalam hal perbudakan atau juga dalam teori Staatsrason dari zaman
Renaissance. Dari perkembangan yang kita saksikan dalam bidang
ini dapat disimpulkan bahwa pasti pada zaman sekarang juga masih
ada masalah yang belum jelas. Contoh-contoh dapat diambil dari
masalah yang yaitu tantangan bagi para sarjana hukum zaman
sekarang. Seperti manakah hukum yang baik mengenai eutanasi, abortus,
pendapatan yang adil, milik mempengaruhi maupun milik alat-alat produksi?
Jelaslah bahwa problem-problem yang timbul dalam hubungan dengan
hukum yang adil tidak dapat dipecahkan melalui prinsip-prinsip yang
tetap, sebab justru prinsip-prinsip ini menjadi pokok diskusi juga.
Umpamanya prinsip bahwa kehidupan manusia tidak boleh diganggu
gugat. Diragukan apakah prinsip ini selalu benar, sehingga berlaku dalam
segala situasi hidup. Kesimpulannya ialah bahwa dengan menerima
hukum alam dalam pemahaman deskriptif sebetulnya diterima adanya
kriteria untuk menilai apa hukum yang sungguh menurut prinsip
keadilan. Hukum semacam ini biasanya disebut hukum alam. namun itu
tidak penting. Asal diketahui bahwa menganut hukum alam sekarang
tidak berarti bahwa seluruh teori hukum alam zaman dulu dipanggil
kembali. Perlu saja bahwa inspirasinya dihidupkan kembali oleh sebab
memang inspirasi itu tetap berguna bagi zaman sekarang, yakni bahwa
peraturan-peraturan harus disusun sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan susaha dapat menjadi hukum yang benar. Uraian panjang
mengenai hukum di atas, lebih menitikberatkan hukum dalam konteks
hukum alam sebagai konsepsi hukum yang dipandang lebih dahulu
ada. Dalam konteks yang lebih modern, J. Van Kan menjelaskan hukum
sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa,
yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam warga .
Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Rudolf von Ilering yang menyatakan bahwa hukum yaitu keseluruhan
norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen
juga melengkapi dua pendapat filsuf sebelumnya dengan mengatakan
bahwa hukum yaitu kesatuan norma-norma bagaimana orang harus
berperilaku. Oleh sebab itu, merujuk pada uraian pengertian baik
yang mengemukakan hukum dalam perspektif hukum alam, hukum
positivis, dan hukum secara keseluruhan, maka Purnadi Porbacaraka
dan Soekanto mengatakan ada 9 arti hukum, yaitu: 1) ilmu pengetahuan
yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; 2)
disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala
yang dihadapi; 3) norma yakni pedoman atau patokan sikap tindak
atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; 4) tata hukum, yakni
struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada
suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; 5) petugas,
yakni pribadi-mempengaruhi yang yaitu kalangan yang berhubungan
erat dengan penegakan hukum (lae enforcement officer); 6) keputusan
penguasa, yakni hasil proses diskresi; 7) proses pemerintahan, yakni
proses hubungan timbal balik antar unsur-unsur pokok dari sistem
kenegaraan; 8) sikap, tindak ajeg, atau perikelakuan yang teratur
yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian; dan 9) jalinan nilai-nilai, yaitu
jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik
dan buruk. Oleh sebab itu, dalam rangka mendefinisikan hukum maka
kesimpulan unsur ini menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang
hendak merumuskan hukum.
C. Pengertian
Seusai menjelaskan pengertian filsafat dan hukum sebagaimana di
atas, maka menarik lalu untuk menganalisis bagaimana filsafat
dan hukum bersinergi sehingga menghasilkan filsafat hukum. Dalam
beberapa literatur filsafat hukum digambarkan sebagai suatu disiplin
modern yang memiliki tugas untuk menganalisis konsep-konsep
perskriptif yang berkaitan dengan yurisprudensi. Istilah filsafat hukum
memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of law, atau rechts
filosofie. Pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa filsafat hukum yaitu ilmu, ada yang mengatakan
filsafat teoretis, ada yang berpendapat sebagai filsafat terapan dan
filsafat praktis, ada yang mengatakan sebagai subspesies dari filsafat
etika, dan lain sebagainya.
Dikenal beberapa istilah dalam bahasa asing,
seperti di Inggris memakai 2 (dua) istilah yaitu Legal Philosophy
atau Philosophy of Law, lalu di Belanda juga memakai 2 (dua)
istilah yaitu Wijsbegeerte van het Recht dan Rechts Filosofie dan di Jerman
memakai istilah Filosofie des Rechts. Istilah dalam
Bahasa negara kita yaitu terjemahan dari istilah Philosophy of Law
atau Rechts Filosofie. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, lebih tepat
menerjemahkan sebagai padanan dari Philosophy of Law
atau Rechts Filosofie dibandingkan Legal Philosophy. Istilah Legal dalam Legal
Philosophy sama pengertiannya dengan Undang-Undang atau hal-hal
yang bersifat resmi, jadi kurang tepat dipakai untuk peristilahan
yang sama dengan . Hal ini didasarkan pada argumentasi
bahwa hukum bukan hanya Undang-Undang saja dan hukum bukan
pula hal-hal yang bersifat resmi belaka.
Pengsinoniman istilah di atas, menimbulkan komentar yang
lahir dari beberapa pakar. Penggunaan istilah legal philosophy misalnya
dirasakan tidak sesuai atau tidak sepadan dengan filsafat hukum.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, istilah filsafat hukum lebih
sesuai jika disinonimkan dengan philosophy of law atau rechts filosofie.
Hal ini dikarenakan istilah legal dari legal philosophy sama dengan
undang-undang atau resmi. Jadi kurang tepatlah, jika legal philosophy
disinonimkan dengan filsafat hukum. Hukum bukan undang-undang
saja, dan hukum bukan hal-hal yang sama dengan resmi belaka. Secara
sederhana, filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang
mengatur tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan kata lain, filsafat hukum yaitu ilmu yang mempelajari hukum
secara filosofis.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yaitu
cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari
hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum yaitu ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis. Objek filsafat hukum yaitu
hukum dan objek ini dikaji secara mendalam sampai kepada inti
atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Selanjutnya oleh Satjipto
Raharjo dikatakan bahwa filsafat hukum mempelajari pertanyaan-
pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan
ini meliputi pertanyaan tentang hakikat hukum, dasar kekuatan
mengikat dari hukum. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum
bisa menggarap bahan hukum, namun masing-masing mengambil sudut
yang berbeda sama sekali. juga yaitu bagian dari
ilmu-ilmu hukum. Adapun masalah yang dibahas dalam lingkup filsafat
hukum, meliputi: 1) Masalah hakikat dari hukum; 2) Masalah tujuan
hukum; 3) Mengapa orang menaati hukum; 4) Masalah mengapa negara
dapat menghukum; 5) Masalah hubungan hukum dengan kekuasaan.
Filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan
setelah lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan
kefilsafatan bagi teori hukum. Sebagai pemberi dasar filsafat hukum
menjadi rujukan ajaran nilai dan ajaran ilmu bagi teori hukum dan
ilmu hukum (Sidharta, 2006: 352). Jadi hukum dengan nilai-nilai sosial
budaya, bahwa antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial
budaya di lain pihak ada kaitan yang erat. Kaitan yang erat antara
hukum dan nilai-nilai sosial budaya warga , ternyata menghasilkan
pemikiran bahwa hukum yang baik tidak lain yaitu hukum yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam warga .
Filsafat hukum yaitu sumber hukum materiil, sedangkan
sumber formilnya yaitu sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi lebih lanjut menjadi dua,
yaitu: (a) Sumber isi hukum; di sini dinyatakan isi hukum itu asalnya
dari mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan
ini, yaitu: Pandangan theocratis; menurut pandangan ini isi hukum
berasal dari Tuhan; pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini
isi hukum berasal dari akal manusia; dan Pandangan masab historis;
menurut pandangan ini isi hukum berasal dari kesadaran hukum; (b).
Sumber kekuatan mengikat dari hukum: mengapa hukum memiliki
kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum (Mertokusumo,
2005:83-84). Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan semata-
mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, namun sebab
kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.
Kelsen mendekati filsafat hukum dengan memakai pendekatan
sebagai seorang positivis yang lalu dikenal lahirnya teori hukum
murni. Atau Miguel Reale yang menyajikan filsafat hukum yang
lalu dikenal dengan historisisme ontognoseologis kritis. Atau
Hart yang mengkaji tradisi Wittgenstein dan Austin yang menempatkan
hukum sebagai suatu fusi dua perangkat kaidah. Pertama kaidah yang
menetapkan kewajiban; dan kedua yang menyangkut pengakuan dan
penyesuaian kaidah pertama.
Menurut Aristoteles, kedudukan filsafat hukum dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
2. Filsafat teoretis. Dalam cabang ini mencakup tiga macam ilmu,
yaitu: 1) Fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata
ini; 2) Matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam
kuantitasnya; 3) Metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat
segala sesuatu ilmu metafisika.
3. Filsafat praktis. Dalam cabang ini tercakup tiga macam ilmu,
yakni: 1) Etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam
hidup perseorangan; 2) Ekonomi yang mengatur kesusilaan dan
kemakmuran dalam keluarga; 3) Politik yang mengatur kesusilaan
dan kemakmuran dalam negara.
4. Filsafat poetika biasa disebut dengan filsafat estetika. Filsafat
ini meliputi kesenian dan sebagainya. Uraian filsafat Aristoteles,
menunjukkan bahwa filsafat hukum hadir sebagai sebuah
bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum
dalam membentuk dan menegakkan kaidah dan putusan hukum
sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual. Oleh sebab itu,
filsafat hukum yaitu alternatif yang dipandang tepat untuk
memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum.
l
D. Sejarah Perkembangan Filsafat
Awal mula perkembangan filsafat tidak dapat ditentukan secara pasti
baik itu tahun ke berapa dan tanggal ke berapa sebab tidak ada yang bisa
memastikan, hanya saja dapat diketahui awal mula perkembangan filsafat
ini mulai sekitar awal abad ke 6 (enam) Sebelum Masehi. Pada awal
mula perkembangannya yang dimaksudkan dengan pemikiran filsafat
ini tidak hanya filsafat yang berasal dalam arti sempit melainkan
pemikiran-pemikiran ilmiah pada umumnya. Pada saatnya sampai pada
masa modern filsafat ini membentuk satu keseluruhan yang tidak
dapat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan alam. Dalam hal menentukan
tanggal lahirnya filsafat secara pasti sangat sulit untuk ditentukan seperti
apa yang telah dijelaskan di atas sebelumnya namun untuk menentukan
tempat lahirnya tentu tidaklah sulit sebab dari ketiga filsuf yang pertama
kali memperkenalkan filsafat ini berasal dari pesisir kota kecil yang
disebut dengan Miletos sebuah kota perantauan di Yunani. Thales yaitu
orang yang pertama kali mendapatkan kehormatan untuk digelari sebagai
filsuf. Kemudian muncul filsuf baru lainnya yang bernama Anaximandros
dan Anaximenes, tidak seperti filsuf pertama yang tidak pernah
menuliskan pemikirannya ke dalam sebuah karya, kedua filsuf yang
muncul belakangan setelah Thales ini justru membukukan pemikiran
mereka, tapi diketahui lalu karangan-karangan mereka dinyatakan
hilang. Dari ketiga filsuf pertama yang diketahui mereka semua menaruh
perhatian khusus pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, yang
membuat mereka tertarik yaitu perubahan-perubahan yang terjadi
secara terus menerus yang dapat disaksikan dalam alam mereka mencari
suatu asas dan prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-
perubahan yang tak henti-hentinya itu. Kemudian masih tidak dapat
dipastikan hanya dapat dikira-kira satu abad lalu masih di sebuah
kota perantauan di Asia kecil tepatnya di Ephesos ada seorang Yunani lain
yang bernama Herakleitos beliau masih memikirkan hal-hal yang sama
beliau beranggapan bahwa dalam dunia alamiah tidak ada satupun yang
tetap atau kekal tidak ada satupun yang dianggap sempurna segala sesuatu
yang ada senantiasa “sedang menjadi” maka dari apa yang diucapkannya
ini terkenalah ucapan beliau dengan istilah Pantharei yang diartikan
semua mengalir, sebagaimana air sungai senantiasa mengalir terus,
demikian pula dalam dunia jasmani tidak ada sesuatu pun yang tetap.
Semuanya berubah terus-menerus. Kemudian masih dari Yunani pada
waktu yang sama yaitu Pythagoras beliau menempuh jalan yang berbeda,
beliau tidak mencari suatu asas pertama yang dapat ditentukan dengan
pengenalan indra sebagaimana filsuf yang terdahulu, menurut beliau
segala sesuatu ada dapat diterangkan dengan dasar bilangan-bilangan,
beliau berpendapat demikian, sebab beliau menemukan bahwa not-
not tangga nada sepadan dengan perbandingan-perbandingan antara
bilangan-bilangan. Jika ternyata sebagian realitas terdiri dari bilangan-
bilangan, mengapa tidak mungkin bahwa segala-galanya yang ada terdiri
dari bilangan-bilangan? Pythagoras dan murid-muridnya memiliki
jasa besar juga dalam memperkembangkan ilmu pasti. Dalam bidang
ini di sekolah-sekolah kita namanya masih hidup terus sebab “dalil
Pythagoras”. Dari beberapa filsuf di atas dapat diketahui bahwa awal
mula perkembangan filsafat ini muncul di Yunani, selanjutnya lebih
berkembang lagi menjadi zaman keemasan filsafat di Yunani muncul
nama Sokrates (470-399), ia membela yang benar dan yang baik yang
harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dalam sejarah
umat manusia Socrates yaitu contoh yang baik dan istimewa
Socrates sendiri memiliki murid yang amat setia yang bernama Plato,
Plato dilahirkan di Athena (427-347) dalam filsafatnya Plato berhasil
memperdamaikan pertentangan antara pemikiran Herakleitos dan
Parmenides, Plato terutama mementingkan ilmu pasti, selanjutnya
muncul Aristoteles (384-322) perhatian Aristoteles secara khusus
diarahkan kepada ilmu pengetahuan alam dengan sedapat mungkin
menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkret, menurut pendapat
Aristoteles setiap benda jasmani memiliki bentuk dan materi, namun
maksudnya bukan bentuk dan materi yang dapat dilihat melainkan bentuk
dan materi sebagai bentuk metafisis. Selanjutnya kita masuk pada filsafat
modern, yang terkenal dalam filsafat modern ini yaitu Rene Descartes
beliau disebut sebagai bapak filsafat modern, di sini beliau menyatakan
bahwa ia tidak merasa puas dengan filsafat dan ilmu pengetahuan yang
menjadi bahan pendidikannya, di bidang ilmiah tidak ada satupun yang
dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya
memang dipersoalkan juga satu-satu pengecualiannya yaitu matematika
dan ilmu pasti. Aliran filsafat yang berasal dari Descrates biasanya
disebut rasionalisme sebab aliran ini sangat mementingkan rasio.
Dalam rasio ada ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun
suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan suatu realitas di luar
rasio. Bertentangan dengan rasionalisme ini maka sesudah masa
Descrates muncul aliran empirisme yang timbul di Inggris, empirisme
memilih pengalaman sebagai sumber dari pengenalan. Thomas Hobbes
(1588-1679) menganggap pengalaman indrawi yaitu permulaan
dari segala pengenalan, menurut Hobbes, seluruh dunia termasuk juga
manusia yaitu suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-
hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja. Kemudian muncul
J. Locke (1632-1704) menurut beliau mula-mula rasio manusia harus
dianggap as a white paper dan seluruh isinya berasal dari pengalaman, dan
muncul G. Berkeley (1685-1753) beliau berpendapat bahwa sama sekali
tidak ada substansi yang materiil yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati.
Pada akhir pembahasan ini kita akan sedikit membahas riwayat Immanuel
Kant beserta karya-karyanya. Tidak dapat dipungkiri dan disangsikan
Immanuel Kant (1724-1804) sebab beliau yaitu salah satu filsuf
yang terbesar dalam sejarah filsafat modern, beliau lahir di sebuah kota
kecil di Prusia Timur tepatnya di Konigsberg. Kehidupan Kant sebagai
filsuf dapat dibagi atas dua periode zaman praktis dan zaman kritis. Dalam
zaman praktis dia menganut pendirian rasionalitas yang dilancarkan oleh
Wolff dan kawan-kawannya. namun sebab dipengaruhi oleh Hume maka
secara perlahan Kant meninggalkan rasionalisme. Lalu beliau masuk ke
zaman kritis dan justru pada zaman inilah Kant mengubah wajah filsafat
secara radikal. Kant sendiri menanamkan filsafatnya sebagai kritisme dan
ia mempertentangkan antara kritisisme dengan dogmatisme. Menurutnya
kritisisme yaitu filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih
dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant yaitu
filsuf pertama yang mengusahakan penyelidikan ini semua filsuf yang
mendahuluinya tergolong dalam dogmatisme, sebab mereka percaya
mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu.
E. Letak dalam Ranah Ilmu Hukum
Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/
perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar
tidak terjadi kekacauan. maka , dapat disimpulkan bahwa
filsafat hukum yaitu sub dari cabang filsafat manusia yang disebut
dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa
filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species,
dan filsafat hukum sebagai subspecies.
Dalam ranah ilmu hukum, Meuwissen dalam “Tentang Pengembanan
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan “ menyatakan
bahwa yaitu tataran abstraksi teoretikal yang peringkat
keabstrakannya berada pada tataran tertinggi. Oleh sebab itu, Filsafat
Hukum meresapi semua bentuk pengusahaan hukum teoretikal dan
pengusahaan hukum praktikal. Pengusahaan hukum teoretikal yaitu
kegiatan menguasai hukum secara intelektual, dengan metode logik-
sistematikal, rasional kritikal. Sedangkan refleksi praktikal yaitu
kegiatan manusia berkenaan dengan berlakunya hukum dalam realita
kehidupan sehari-hari. meresapi Teori Hukum dan
Ilmu-Ilmu Hukum, oleh sebab itu filsafat hukum diklasifikasikan ke
dalam ilmu hukum. Pokok-pokok kajian filsafat hukum meliputi dwi
tugas yaitu: Landasan daya ikat hukum dan landasan penilaian keadilan
dari hukum yang disebut norma kritikal.
F. Latar Belakang Timbulnya
Untuk memahami suatu hakikat yang sebenarnya, ada baiknya
menelusuri atau melacak lebih jauh tentang apa sebab para ahli pemikir
hukum menaruh minat pada filsafat hukum. Mereka berbuat demikian
memiliki beberapa sebab berikut.
Pertama: Adanya ketegangan jiwa dalam pikiran, kebimbangan tentang
kebenaran, tentang keadilan dari hukum yang berlaku dan merasa tidak
puas tentang hukum yang berlaku itu. Hukum yang berlaku tidak sesuai
dengan keadaan warga dan mereka berusaha untuk mencari hukum
yang lebih adil dan lebih baik dari hukum yang berlaku.
Kedua: Adanya ketegangan antara kepercayaan atau agama dengan
hukum yang berlaku yang memiliki weltanschauung den lebenschauung
(pandangan dunia dan pandangan hidup) tertentu. Mereka melihat
suatu pertentangan peraturan-peraturan yang berlaku dengan peraturan
agama atau pandangan hidup yang mereka anut. Timbullah suatu perang
batin dalam pikirannya maka berusaha untuk mengatasinya dari sini
timbul beberapa aliran filsafat hukum.
Ketiga: Filsafat hukum timbul disebabkan kesangsian tentang
kebenaran dan keadilan dari hukum yang berlaku terlepas dari sistem
agama atau filsafat umum. Di sini yang dinilai yaitu hukum positif.
Apakah keberadaan hukum positif itu yaitu hukum yang adil,
kesangsian ditujukan pada nilai-nilai peraturan tertentu yang berlaku
pada waktunya? Hal ini berarti bahwa “isi” peraturan yang ada pada
waktu itu tidak dianggap sebagai peraturan yang adil dan disangsikan
kebenarannya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ahli pikir hukum mencari hakikat
hukum. la ingin mengetahui yang ada di belakang hukum, mencari apa
yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah-kaidah hukum
sebagai pertimbangan nilai, dan memberi penjelasan nilai-nilai postulat
(dasar). Akhirnya, apa yang disebut filsafat hukum pada hakikatnya
yaitu soal “hati nurani” (geweten) manusia yang berpijak pada filsafat
atau pandangan manusia mengenai tempatnya di alam semesta di
satu pihak dan di lain pihak pada pandangan manusia tentang bentuk
warga yang terbaik.
Di bidang hukum banyak hal yang yaitu suatu “tanda tanya”
jika dengan secara mendalam memikirkannya. Umpamanya perhatikan
terjadinya undang-undang. Suatu undang-undang terjadi sebab
kehendak semena-mena dari seorang raja atau terjadi sebab kehendak
dari jumlah orang-orang yang kebetulan dari jumlah yang terbanyak.
Ukuran ilmiah apakah yang dipakai di sini? Timbullah suatu renungan
atas persoalan apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum? Dalam
hal dipersoalkan nilai inti isi hukum agar diperoleh suatu hukum yang
lebih baik. Keinginan yang sedemikian yaitu desakan batin untuk
menemukan suatu hukum yang lebih baik dibandingkan yang ada.
Ada yang berpendapat bahwa hukum dapat dipelajari dalam fungsi
sosialnya. Ditinjau dari fungsi sosial, hukum itu yaitu gejala sesuatu
warga yang harus melayani kepentingan warga . Manakala
dianggap demikian, landasan hukum yaitu “penghidupan itu sendiri”.
Adagium ini dipakai mazhab sejarah sebagai pokok pangkal pemikiran
tentang hukum. Lain halnya kalau hukum itu dijadikan bagian dari
suatu agama di mana agama membedakan hukum yang abadi, hukum
kodrat (hukum alam) dan hukum manusia. Hukum abadi yaitu hukum
yang dikehendaki oleh pencipta alam semesta, ciptaannya bergerak atas
kehendak tuhan. Hukum alam dilihat dari segi ciptaan dan bergerak
sesuai dengan kehendak tuhan. hukum manusia yaitu suatu bentuk
hukum yang berdasarkan akal budi manusia yang ditimba manusia dari
hukum kodrat atau hukum alam.
Adapun aliran hukum kodrat ini diperkenalkan pada abad
pertengahan oleh Thomas Aquinas di mana ia menyatakan sumber dari
segala sumber undang-undang berasalkan dari hukum abadi. Undang-
undang abadi itu yaitu rasio tuhan yang mengatur segala benda yang
diciptakannya dengan tujuan sesuai dengan sifat alam mereka. Semua
makhluk baik dengan rasio maupun tidak dengan rasio memiliki
kecenderungan alamiah untuk hidup sesuai dengan undang-undang
itu. Manusia yang yaitu bagian dari alam berkat rasionya telah
disiapkan oleh penciptanya suatu sistem berpikir dan moral sehingga
manusia dapat membedakan antara yang baik dan buruk, kuat dan lemah
yang yaitu bagian dari hukum alam. Pada manusia ada sistem
pikir dan moral yang membedakan manusia dengan makhluk yang
lain ciptaan tuhan. Makhluk-makhluk yang lain tunduk berdasarkan
kodratnya tanpa pilihan, sedangkan manusia diberikan alternatif pilihan
yang dapat mengungkapkan kehendak penciptanya dalam bentuk hukum
yang wajib ditaati atau menempuh jalan yang dipengaruhi oleh ruang,
waktu, dan tempat. Hukum yang dibuat manusia itu yang dipengaruhi
oleh ruang, waktu, dan tempat disebut hukum positif. Jika hukum
positif tidak dapat disesuaikan dengan hukum kodrat, hukum positif
itu kehilangan sifat hukumnya yang harus mengatur hidup bersama
tertib dan aman, saling menghormati satu sama lain, menjaga hak
dan kewajiban dan tidak menyakiti orang yang ada di sebelahnya.
Kesemuanya itu yaitu ”ide” dibandingkan akal budi ilahi yang menciptakan
segalanya dan membimbing kepada tujuannya selaras dengan ketentuan
yang ada dalam wahyunya sebagai tuntunan hidup manusia.
G. Fungsi dari Zaman Yunani sampai
dengan Sekarang
Dalam buku Introduction to The Philosophy of Law karya Roscoe Pound
diutarakan filsafat hukum sejak zaman Yunani hingga kini.
1. Zaman Yunani Tahun 382 SM
Zaman Yunani keadaan hukum terbagi sebagai berikut.
a. Hukum ditentukan oleh raja menurut inspirasi Tuhan.
b. Timbul pemerintahan oligarki (pemerintahan oleh sedikit
orang) yang menjalankan praktik hukum dasar kebiasaan.
c. Atas permintaan rakyat pengumuman keputusan atau peraturan-
peraturan diadakan tertulis.
Adapun alasan-alasan taat pada hukum (undang-undang) disebabkan
oleh:
a. Adanya Tuhan;
b. Adanya tradisi atau kebiasaan yang diajarkan oleh orang arif
yang mengetahui kebiasaan baik;
c. Deduksi dari moral yang abadi atau tetap;
d. Perjanjian antara manusia yang satu dan yang lainnya ber-
dasarkan kewajiban menetapkan janji.
Jelaslah filsafat hukum pada masa itu ada untuk memperoleh dasar
yang lebih baik bagi hukum dan berlakunya abadi dari hukum itu.
2. Zaman Romawi
Pada zaman Romawi banyak karya sarjana hukum yang menjelaskan
tentang apa hukum itu. Pada zaman Romawi ada senator
Romawi, yaitu Cicero yang hidup pada tahun 106-43 SM yang
menyatakan adanya empat bentuk hukum, yaitu:
a. Statute (yang dapat disamakan dengan keputusan badan
legislatif);
b. Resolusi dari senat;
c. Edict (yaitu putusan dari Magistraat yang memegang
kekuasaan);
d. Pendapat-pendapat para ahli.
Munculnya pendapat-pendapat di zaman itu tidak lain hendak
mendapatkan apa yang disebut rasio legis (sebab dari undang-
undang) yang yaitu prinsip latar belakang hukum. Oleh sebab
itu, mereka menoleh pada hukum alam yang mewujudkan secara
saksama gagasan mengenai hukum rill dan Idill.
3. Zaman Renaissance
Zaman ini dipenuhi dengan perkembangan perdagangan kolonisasi
dan eksploitasi daerah-daerah baru disertai terbentuknya “nation”
yang memicu perlu adanya hukum nasional yang berlaku
dalam daerah nasional. Pada abad ke-16 (Renaissance) di satu pihak
ada filsafat yang bertugas memenuhi keinginan berlakunya
teori mengenai negara yang dibentuk atas kemauan Tuhan dan
teori hukum alam yang terpisah dari teologi yang semata-mata
berdasarkan rasio atau akal; tiap-tiap ahli menafsirkan hukum alam
menurut akal pikirannya sendiri. Di lain pihak ada filsafat yang
menganggap hukum alam sebagai sistem pengekangan kegiatan
manusia sebagai makhluk yang wajar. Sesudah itu muncul pendapat
baru tentang hukum alam di mana istilah hukum alam itu tidak
berarti asas dengan nilai-nilai yang abadi, melainkan hak-hak
menurut kodrat alam yang melekat pada setiap manusia di mana
hak ini tidak dapat dialihkan.
Selanjutnya, terutama di Inggris ada teori Utilitarisme
Analisis dengan tokohnya diawali oleh Jermey Bentham yang
mengemukakan bahwa prinsip undang-undang harus mendasarkan
utility (kefaedahan). Kefaedahan yaitu menyelenggarakan
kesejahteraan sebanyak-banyaknya bagi warga yang sebanyak-
banyaknya pula adagium teori ini adalah: “The greatest
happiness of the greatest number”. Dari sini timbullah teori sosiologis
yang memandang hukum sebagai gejala atau fenomena, sebagai
manifestasi dibandingkan tindakan manusia dan kebiasaan sosialnya.
4. Zaman Sekarang
Pada masa kini filsafat hukum bertugas menilai peraturan-
peraturan, doktrin-doktrin, dan lembaga-lembaga yang membina
penetapan undang-undang dengan mengingat tujuan dan
manfaatnya bagi warga , serta penetapan undang-undang
dengan cita-cita sosial dari waktu dan tempat yang bersangkutan.
Dari apa yang diuraikan di atas, disimpulkan bahwa tugas utama
filsafat hukum yaitu untuk membahas yang dipersoalkan oleh
filsafat hukum yaitu “apakah ada penggantian universal tentang
hukum oleh sebab itu awal mempersoalkan filsafat hukum adalah,
Apa itu Hukum”.
H. Apakah Hukum Itu, Untuk Apa Hukum Itu, Apa
Keperluannya, dan Apa Kegunaannya?
Persoalan apa hukum itu dan untuk apa hukum itu, apa keperluannya,
dan apa kegunaannya timbul dari mereka yang mempelajari hukum
dan tidak timbul dari kalangan rakyat umum dan/atau kalangan
rakyat biasa sebab mereka telah biasa hidup dalam hukum. Hukum
itu jadi persoalan jika dihadapi bukan lagi sebagai orang biasa, namun
sebagai orang yang di dalam dirinya mulai timbul kesadaran tentang
hal hidupnya di muka bumi ini. Hal hidup yang semakin dipikirkan
semakin banyak persoalannya.
Para ahli hukum sedunia sampai sekarang belum memperoleh kata
sepakat tentang batas arti hukum. Banyak ahli hukum menyatakan
bahwa memberi definisi atau batasan tentang hukum tidaklah mungkin
disebabkan luasnya lapangan hukum itu, banyak segi dan bentuknya
yang beraneka ragam. Suatu hal yang kelihatannya sudah disepakati
mereka ialah bahwa hukum itu hanya ada setelah adanya warga
manusia seolah-olah di luar warga manusia tidak ada hukum. Jika
hukum itu mengurus tata tertib manusia, tata tertib itu bukan semata-
mata ada di warga manusia saja, melainkan tata tertib itu ada
dalam semua bagian alam ini.
Kita melihat adanya tata tertib flora dan fauna dan lebih besar lagi
ada tata tertib surya yang menunjukkan adanya hukum yang mengatur
tata tertib itu. Jelasnya bagian-bagian alam selain dari manusia masing-
masing diatur oleh sejenis hukum tertentu yang mengatur tingkah
lakunya masing-masing.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada tata tertib di
dalam alam yang berada di luar warga manusia yang yaitu
suatu pertanda bahwa di luar warga manusia pun ada hukum.
Kalau hendak mencoba memberikan suatu definisi tentang apa yang
dikatakan hukum, tidak harus memberikan batasan tentang hukum
yang ada dalam warga manusia, kecuali batasan yang diberikan
hanya berlaku pada warga manusia.
Kesimpulannya yaitu suatu pengertian spesies dibandingkan
pengertian genus tentang apa yang dikatakan hukum. Oleh sebab
itu, kelihatannya yang telah disepakati oleh para ahli hukum bahwa
hukum yang dimaksud yaitu hukum yang ada di warga manusia.
Untuk mempermudahkan pengertian hukum itu perlu dipertanyakan
“bagaimana terjadinya hukum itu?” Bagaimana terjadinya hukum kita
masuk kepada hukum kejadian atau liukuni cipta. Semua yang ada di
alam semesta ini dalam kejadiannya tunduk pada hukum jadi, hukum
tumbuh atau perkembangan, dan hukum lenyap. Dalam hasil kejadian
diketahui bahwa bagian-bagian dari alam ini telah diatur oleh hukum
yang sudah tetap dan tidak dapat menyimpang dari hukum yang telah
ada itu, kecuali manusia sebab manusia dalam hasil kejadiannya
memiliki alat-alat pengalaman ke yang dapat berkembang seluas-
luasnya. Walaupun binatang kelihatannya memiliki alat-alat untuk
adanya pengalaman-pengalaman kejiwaan seperti memiliki otak dan
susun persyaratan, kelakuan, dan perbuatannya sudah ditentukan naluri
(instinct). Jadi, binatang dalam hasil kejadiannya tidak dapat berubah dan
berkembang dan mau tidak mau harus tunduk pada hukum kejadiannya
yang berlaku atasnya. Hanya manusialah dalam perkembangan diberikan
alternatif pilihan sebab manusia memiliki alat-alat kelengkapan dalam
hasil kejadiannya yang berupa pikiran, karsa, dan rasa sebagai alat bagi
pengembangan pengalaman kejiwaan. Pengalaman kejiwaan manusia
hanya dapat berkembang dalam pergaulannya dengan manusia lain.
Setiap manusia yang telah hidup dalam warga yang masing-
masing telah memiliki pengalaman kejiwaan dan dapat berkembang
seluas mungkin. Oleh sebab itu, dalam warga , diperlukan adanya
tata tertib agar jangan sampai menimbulkan anarki dan harus ada
pengaturan perkembangannya itu. Dengan kata lain, harus ada hukum
yang mengatur perkembangan kejiwaannya.
Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam jiwa manusia ada kecenderungan-kecenderungan yang
memicu terjadinya hukum dalam warga manusia. Dalam
kesadaran kejiwaan manusia ada tiga kecenderungan, yaitu
kecenderungan egoistis, kecenderungan kolektivitas, dan kecenderungan
kepada orde (tertib). Kecenderungan atas orde dalam kejiwaan itulah
yang memicu manusia membuat hukum agar kecenderungan
egoistisnya mendapat saluran dan terjamin oleh tata tertib hukum
dalam pergaulan hidup sesama manusia (kolektif).
Mengenai untuk apa hukum itu, serta keperluan dan kegunaannya,
hal ini disebabkan oleh perkembangan kejiwaan warga
manusia yang telah sampai kepada suatu titik pandangan bahwa
dalam hidup pergaulan bersama itu harus bebas dari kekhawatiran,
kecemasan dan ketakutan, bebas dari keadaan kacau balau, terjamin
sebanyak mungkin ketenangan, ketenteraman, aman selamat sentosa.
Oleh sebab itulah, warga manusia menjelmakan hukum yang
diperlukannya.
Berikut ini yaitu dua macam pandangan mengenai hukum.
Pandangan pertama: hukum yang dijelmakan oleh warga
manusia, hanya suatu segi dari penjelmaan hidup kewarga an, yakni
rangkaian hubungan tertentu yang timbul dalam dan dari warga
tertentu pula, yaitu rangkaian peraturan hidup yang terpatok pada hak
dan kewajiban yang berlaku selama dikuatkan oleh warga itu.
Manakala warga nya itu berubah sikap untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan hidupnya yang baru, akan menimbulkan penjelmaan hukum
yang baru yang lama tidak berkekuatan lagi.
Menurut paham ini tiap-tiap warga , setiap masa memiliki
penjelmaan hukumnya yang selaras dengan corak, bentuk susunan
kebutuhan warga itu pada masanya. Paham ini tidak mengenal
lain-lain unsur bagi penjelmaan hukum selain yang ada dalam pergaulan
manusia dengan manusia dalam warga nya itu.
Ringkasnya hukum itu hanya sebagian dari ciptaan kebudayaan
manusia yang terikat pada kondisi, situasi, dan tempat sehingga hukum
itu akan berbeda dari warga ke warga , dari zaman ke zaman
menurut paham ini hukum selalu berubah-ubah.
Pandangan kedua: hukum bukanlah hanya satu segi dari penjelmaan
hidup kewarga an saja, yang semata-mata hanya takluk kepada
unsur-unsur yang ada dalam per manusia dengan manusia saja dalam
warga itu. Selain dari perhubungan antara manusia dengan
manusia, manusia dan manusia itu ada hubungan dengan sang
penciptanya, yakni perhubungan hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa di mana hidup matinya dan keselamatan warga nya tergantung
kepada-Nya.
Menurut paham ini, pergaulan hidup sesama manusia bukanlah
yaitu perhubungan antara dua (antara manye dengan manusia)
namun yaitu perhubungan antartiga, yaitu antara manusia dengan
manusia dan Tuhannya.
Dalam paham yang kedua ini tergantung kepada percaya atau tidak
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu, di mana ia telah menciptakan
alam semesta ini dan segala hukum-Nya. Tentu, bagi yang percaya atau
beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa akan dapat memperbaiki dan
melengkapi pahamnya tentang hukum dengan paham hukum yang
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa itu.
Orang yang beriman tentunya berpandangan bahwa kekuasaan
membuat hukum itu berada pada sang pencipta dan pengawasan
berjalannya hukum itu berada pada malaikat malaikat yang diimani,
yang harus menjalankan yaitu manusia yang diawali oleh para nabi-
nabi yang diutus-Nya.
I. Hubungan Kesusilaan dan Hukum
Kesusilaan dan hukum memiliki objek yang sama, yaitu perbuatan
manusia dan tujuannya pun hampir sama, yaitu:
Mengatur amal perbuatan manusia baik bagi keselamatan dirinya
maupun bagi warga nya. Akan namun , lingkungan kesusilaan
lebih luas dari lingkungan hukum.
Kesusilaan memerintahkan berbuat segala perkara yang bermanfaat
dan melarang segala perkara yang berbahaya. Tidak demikian halnya
dengan hukum. Banyak perbuatan yang bermanfaat tidak diperintahkan
oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin dan perbuatan baik
antara suami dan istri dan juga banyak perbuatan yang berbahaya tidak
dilarang oleh hukum seperti berbohong dan dengki. Terhadap perbuatan
semacam ini hukum tidak campur tangan dan terhadap perbuatan
semacam ini tidak ada perintah dan larangannya dalam hukum, kecuali
bila hukum telah memberikan sanksi terhadap perbuatan kepada yang
melanggarnya. Jika tidak ada sanksi, tidaklah dinamakan hukum dan
biasanya pelaksanaan suatu hukum itu dilakukan dan memakai
cara-cara yang lebih banyak bahaya dan merugikan bagi rakyat dibandingkan
perintah dan larangan hukum itu sendiri. Lagi pula hukum tidak dapat
melakukan pembalasan atas kufur nikmat dan dengki lain halnya dengan
perbuatan-perbuatan mencuri dan membunuh. Selain itu, hukum
memandang segala perbuatan lahir dari sudut akibatnya dan kalaupun
melihat sesuatu yang ada di balik itu, hanyalah mempelajari maksud-
maksud orang yang berbuat dari perbuatannya yang lahir saja.
Jelasnya hukum dapat berkata “jangan mencuri” dan “jangan
membunuh”. Selain hal itu hukum tidak sanggup apa-apa lagi.
Kesusilaan mencampuri hukum dalam melarang mencuri dan
membunuh dengan tambahan kata-kata “jangan berpikir untuk berbuat
jahat” dan “jangan mengkhayal sesuatu yang tidak berguna dan batil”.
Di sini yang diperhatikan yaitu unsur kejiwaan yang memicu
munculnya perbuatan lahir itu. Dapat lagi diumpamakan dalam masalah
hak milik seseorang; hukum dapat memelihara dan melarang melakukan
pelanggaran atas hak milik, namun hukum tidak sanggup memerintahkan
si pemilik memakai hak miliknya bagi kemaslahatan dan
kebaikan. Hanya kesusilaan yang sanggup memerintahkannya. Oleh
sebab itu, membicarakan hukum harus diikutsertakan kesusilaan
sebab tanpa mengikutsertakan kesusilaan sama saja seperti tumbuh-
tumbuhan tanpa memerhatikan tanah tempat tumbuh. Pada hakikatnya
kesusilaan dan hukum tidak berbeda dalam materi, hanya berbeda dalam
mempertahankannya. Pelanggaran kaidah hukum juga pelanggaran
kaidah kesusilaan, namun pelanggaran kesusilaan mungkin bukan
yaitu pelanggaran hukum. Telah lama tertanam pengertian
bahwa hukum tidak serasi dengan kesusilaan, bukanlah hukum dan
juga keadilan, namun kezaliman.
Sumber hukum yaitu sesuatu dalam kejiwaan manusia yang
menunjuk kepada sesuatu yang gaib sehingga tidak mengherankan
bahwa kesusilaan dan hukum sejalin ataupun bersatu dengan agama.
Manusia yang menghambat dirinya dengan pertalian yang gaib itu
menjadi orang yang antisosial, antikeadilan, dan antihukum yang
mengaburkan dan mengacaukan pengertian yang hak dan yang batil.
Maka, jadilah ia orang yang antiagama dan berpindahlah martabat
kemanusiaannya kepada martabat yang lebih rendah dari martabat
binatang buas.
Manusia dalam bidang kesusilaan perseorangan telah mengalami
kekecewaan dan kebahagiaan/kepuasan. Baik yang kecewa maupun
yang bahagia itu, manusia cenderung untuk menyampaikan kepada
orang lain. Dari penyampaian berupa nasihat dan larangan, timbullah
pengertian-pengertian tentang bermacam-macam perbuatan yang
mana sebaiknya dilakukan dan yang mana pula sebaiknya ditinggalkan.
Terjadilah apa yang dikenal dengan istilah sopan santun dalam hidup
warga .
Perbuatan-perbuatan yang sebaiknya dilakukan mendapat pujian
dalam warga , yang menjadi penguat atau dorongan untuk
dilakukan. Perbuatan-perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan manakala
dilakukan mendapat celaan dari warga dan dari celaan ini
yaitu penguat untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
tercela.
Perbuatan-perbuatan yang dipuji dalam warga sama dengan
yang kaidahnya sunnah dan perbuatan-perbuatan yang tercela dalam
warga sama dengan perbuatan-perbuatan yang kaidahnya makruh.
Dalam lapangan kesusilaan kewarga an perbuatan-perbuatan
yang dicela berhubungan dengan perkembangan warga , makin lama
dirasakan mudharatnya bagi hidup bersama dan pergaulan manusia.
Sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang dipuji dalam lapangan kesusilaan
kewarga an dirasakan makin lama makin besar manfaatnya. sebab
perbuatan-perbuatan yang dicela itu makin rasa mudharatnya, dan
ditariklah martabatnya ke bidang hukum, yang mulanya yaitu bidang
kesusilaan kewarga an.
Jadilah perbuatan-perbuatan tercela itu terlarang dengan
penguatnya (sanctum) berupa hukuman, yaitu hukuman penderitaan
bagi badan dan harta, penyingkiran dari warga (dibuang atau
dipenjara) atau penyingkiran untuk selama-lamanya (hukuman mati).
Sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang dipuji yang makin terasa besar
manfaatnya maka martabat kaidahnya naik dari bidang kesusilaan
kewarga an ke bidang hukum pula menjadi perbuatan-perbuatan
yang tidak boleh dilalaikan atau ditinggalkan manakala ditinggalkan
akan mendapat hukuman pula, sebab dianggap melalaikan atau
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang merugikan. Kesejahteraan
atau keselamatan hidup kewarga an dan penguatnya atas kelalaian
kewajiban-kewajiban ini berupa hukuman denda pencabutan hak
dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang dipuji dalam warga yang sejajar
dengan kaidah sunnah dan perbuatan-perbuatan yang tercela dalam
warga yang sejajar dengan kaidah makruh itu tidak dijumpai di
dalam kategori hukum romawi; ia dijumpai dalam kategori hukum
Islam, yang dinamakan al-ahkam al-khamsah. Hukum Romawi hanya
memiliki tiga kategori, yaitu:
1. Imperare sama dengan wajib;
2. Prohibere sama dengan haram; dan
3. Permittere sama dengan jaiz.
Dan hukum Islam memiliki lima kategori, yaitu:
1. Wajib;
2. Haram;
3. Sunnah;
4. Makruh; dan
5. Jaiz.
Pada sunnah dan makruh, manusia diberikan kebebasan memilih
antara berbuat dan tidak berbuat, yang menimbulkan pengertian pahala
yang berarti kebahagiaan dunia akhirat. Sunnah yaitu perbuatan
yang terpuji dan makruh yaitu perbuatan yang tercela.
Manakala yang terpuji dilakukan dan yang tercela ditinggalkan
maka memperoleh pahala. Sunnah dan makruh yaitu sumber
tertanamnya kekuatan akhlak (quwwatul khuluk), sebab kaidah sunnah
dan makruh menimbulkan sanctum dalam diri sendiri yang yaitu
dasar bagi penghindaran perbuatan yang terlarang dan perlakuan
perbuatan-perbuatan yang wajib bagi kepentingan diri dan kepentingan-
kepentingan warga .
Hukum Romawi hanya memiliki suruhan dan larangan sebagai
sumber hukumnya dalam mengatur hubungan antara manusia.
Perbuatan manusia ditentukan oleh suruhan dan larangan saja dan
tidak ada sumber bagi pertimbangan baik buruk di dalam dirinya.
Di sini pula letaknya faktor yang esensial (penting) dibandingkan sumber
hukum yang asalnya dari Sang Pencipta manusia, sebab Dia-lah yang
memiliki pengetahuan sempurna tentang apa yang wajib, yang patut,
yang terlarang. Dan apa yang tercela bagi manusia. Ketentuan-ketentuan
mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat bagi manusia. Kaidah
sunnah dan makruh itu membawa kesempurnaan hidup kerohanian
manusia yang dapat menjelmakan ketertiban hidup kewarga an
dan kesatuan hidup kewarga an.
Jelasnya bahwa kesusilaan dan hukum dapat dilihat pada bentuk
penguatnya. Bentuk penguatnya (sanctum) kesusilaan yaitu pujian
dan celaan. Bentuk penguatnya (sanctum) hukum yaitu ancaman
kemerdekaan; menyakiti badan; cabut jiwa; penagihan kerugian.
Segala yang telah diuraikan itu, baik yang mengenai paham hukum
sebagai suatu segi dari penjelmaan hidup kewarga an maupun
paham hukum yang bukan hanya suatu segi dari penjelmaan hidup
kewarga an melainkan ada pertautan dengan yang gaib; kedua
paham ini terpatok kepada pengertian al-ahkam al-khamsah.
Keistimewaan dalam paham Ketuhanan itu bahwa paham ini
di dalamnya ada pengertian pahala, pujian, dan celaan yang tidak
didapati dalam paham yang didasarkan pada paham kewarga an
ataupun Hukum Romawi.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak memiliki sanctum di
dalam hidup pergaulan kewarga an yaitu yaitu sesuatu
kebebasan atau kebolehan (permittere jaiz) yang terserah kepada kemauan
seseorang semata-mata. Sifat bebas dari perbuatan yang dinamakan
permittere atau jaiz itu maka perbuatan itu terletak di luar sesuatu
perbuatan yang tidak memiliki penguatan (sanctum) yang berarti
tidak terlarang dan tidak tersuruh.
J. Hak dan Kewajiban
Setiap orang memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
yaitu dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan, sebab setiap hak ada
mengandung kewajiban. Setiap orang wajib menghormati hak orang lain
dan tidak boleh mengganggunya dan setiap orang yang berhak itu wajib
memakai haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan umum.
Kebanyakan orang kurang sadar akan kewajiban memakai
haknya untuk kebaikan umum itu. Sebab mereka hanya mengingat
kewajiban menurut hukum saja, tidak memikirkan kewajiban kesusilaan.
Hukum biasanya memerintahkan orang susaha menghormati hak orang
lain kalau tidak maka hukumanlah akibatnya. Hukum biasanya tidak
turut dalam kewajiban kesusilaan, namun ia menyerahkan soal itu kepada
yang berhak sendiri atau kepada pikiran umum.
Kita misalkan saja orang memiliki sesuatu. Orang wajib tidak
melakukan pelanggaran atas milik orang itu dengan jalan mencurinya
atau merampasnya. Kalau kewajiban ini dilanggar maka hukum
berhak mencampurinya. Si pemilik sendiri wajib memakai hak
miliknya itu untuk kepentingan dirinya dan kepentingan umum, tapi
kalau tidak hukum tidak turun campur, hanya kesusilaan yang turut
mencampurinya. Kalau hukum mengatakan bahwa setiap orang yang
punya milik berhak memakai miliknya dengan sekehendaknya,
maka kesusilaan menyatakan bahwa setiap orang yang punya milik
hanya boleh memakai hak miliknya itu untuk kebaikan dirinya
dan kebaikan umum.
Kewajiban kesusilaan untuk mengingat kebaikan umum itu
ialah sebab hak-hak yang dimilikinya itu diserahkan kepadanya
oleh warga yang memandang bahwa demikian itulah baiknya.
Kalau seseorang hidup sendirian, dia tidak akan memiliki hak
apa-apa dan sebab warga memberikan hak itu dengan syarat
susaha dipergunakan untuk kepentingan umum, wajiblah syarat itu
dipenuhinya.
K. Pembagian Ilmu Hukum tentang Hak (Division Outline
Science of Right)
Pembagian hak secara umum atau universal terbagi atas hak yang dibawa
sejak lahir (“Innate” Right) dan hak yang diperoleh (Acquired Right).
Hak “Innate” yaitu hak yang dimiliki setiap orang secara alamiah
bebas dari semua tindakan campur tangan orang lain atau bebas dari
semua tindakan pengalaman menurut hukum. Hak “Innate” dapat juga
disebut atau diucapkan dengan kata-kata milikku dan milikmu, sebagai
ekspresi dari kepribadian masing-masing, dan bersifat internal.
Hak “Innate” hanya ada satu, yaitu hak sejak lahir mengenai
kemerdekaan (Birthright of freedom). Kemerdekaan di sini dalam
arti kebebasan dari keinginan wajib dari orang lain. Kemerdekaan
yaitu milik tunggal dan asli manusia yang dibawa sejak lahir.
Oleh sebab itu, sifat pembawaan lahir dari setiap orang sebetulnya
memiliki persamaan (equality), sehingga setiap orang menjadi
majikan atas haknya itu, sehingga Hak Merdeka yang dimiliki itu
yaitu berarti tidak bergantung pada kemauan orang lain sejauh mana
kebebasan dapat berada bersama-sama dengan kebebasan orang lain
sesuai dengan hukum universal.
Adapun yang disebut Hak Dapatan yang diperoleh, (Acquired
Right) berkenaan hak yang diperoleh secara eksternal yaitu hak yang
ditetapkan atas tindakan menurut hukum berhubungan dengan orang
lain dan terikat oleh kewajiban. Dari sini timbullah apa yang disebut
Hak Milik Privat (Hak Milik Perdata). Apa dasarnya Hak Milik, dalam
buku RoscoePound dianggap salah satu persoalan filsafat hukum.
Dalam buku RoscoePound ada enam teori tentang dasar Hak
Milik, yaitu:
1. Teori hukum alam;
2. Teori metafisika:
3. Teori sejarah;
4. Teori positif;
5. Teori psikologis; dan
6. Teori sosiologis.
1. Teori Hukum Alam
Teori ini biasanya mengemukakan bahwa barang-barang di dunia
ini berdasarkan rasio naturalis, rasio alamiah, akal alamiah ditentukan
oleh kodrat untuk dikuasai oleh manusia.
Adapun barang-barang yang tidak dapat dikuasai oleh manusia
sebagai hak milik perseorangan ialah barang-barang di luar perdagangan
(Res extra commercium). Barang-barang ini dapat bersifat:
a. Barang-barang yang dipakai untuk umum (Res communis);
b. Barang-barang yang dimiliki oleh negara untuk pemakaian publik
atau khalayak ramai; dan
c. Barang-barang yang diamalkan untuk tujuan keagamaan (res sacre).
Berdasarkan teori hukum alam, ada yang berpendapat bahwa
awal semua barang tidak dimiliki oleh siapa pun juga. Barang yang
demikian disebut ResNullius (Lihat Pasal 519 BW. yang menyatakan:
“Barang-barang yang tidak dimiliki siapa pun”). Dengan persetujuan
antara mereka, manusia membagi barang-barang ini , sehingga
memperoleh hak milik perseorangan. Barang-barang yang tidak
dibagi sebab banyaknya, dengan persetujuan dapat dikuasai oleh
tiap-tiap manusia dan menjadi hak miliknya (Lihat B.W. Pasal 584
yang menyatakan: “Hak Milik atas barang dapat diperoleh dengan
menguasainya”).
Penguasaan barang ini menurut logika/pikiran wajar mencakupi
kekuasaan untuk memakai barang ini , memberikan barang
ini kepada orang lain atau mewariskannya.
Awalnya semua barang-barang yaitu milik bersama
(rescommunis) dari suatu pergaulan hidup dan tidak ada
milik perseorangan. Semulanya anggota dari pergaulan hidup itu
memakai barang-barang ini bersama-sama. Kemudian
dengan persetujuan pada anggota pergaulan hidup mengenai hak
bersama atas barang-barang itu dibatalkan dan masing-masing anggota
memperoleh hak milik prive/perseorangan atas barang-barang ini .
Barang yang belum dikuasai oleh seorang anggota dapat dikuasai oleh
anggota lain melalui perjanjian.
2. Teori Metafisika
Teori metafisika ini berarti di luar panca indra, abstrak penganutnya
antara lain Immanuel Kant (1724-1804) filsuf di Koningsbergen di
Jerman yang berpendapat sebagai berikut.
“Secara abstrak ada gagasan mengenai adanya satu hukum tentang
milik, yaitu gagasan yang diekspresikan (diucapkan) oleh istilah
milikku dan milikmu. Dalam bahasa Latin milikku disebut me’um,
milikmu disebut tu’um, yaitu mengenai barang. Dalam bahasa
Belanda istilah ini yaitu myn dan ZUN. Manusia sebagai
makhluk rasional memiliki kemauan bebas sebagai tiap-
tiap manusia lain; ada suatu hak alamiah yaitu kebebasan
seseorang, sekadar kebebasan orang lain, di bawah hukum umum;
sebab itu manusia memiliki beberapa hak, antara lain Hak Milik
sebagai ekspresi dari kepribadiannya.
Tiap manusia dapat menguasai sebagian dari tanah me’um sebab
bumi yaitu milik bersama dari semua manusia, sedangkan orang lain
memiliki kebebasan yang sama untuk menguasai juga sebagian
tanah, tu’um. Jadi, dasar hak milik yaitu gagasan abstrak: me’um dan
tu’um yang dilaksanakan dengan menguasai atau menduduki barang.
3. Teori Sejarah
Menurut teori ini hak milik perorangan semula tidak ada. Semula
ada hak dari pergaulan hidup manusia atas barang dan dari hak itu
berkembang hak milik prive. Perkembangan ini berlangsung menurut
tiga tahap berikut.
a. Dalam tahap ini seseorang hanya menguasai barang secara fisik,
badaniah tanpa hak apa pun. la menguasai terus menerus sebab
kebutuhan yang dihasilkan oleh barang itu.
Penguasaan ini dinamakan penguasaan alamiah, possessio naturalis.
(Contoh dalam buku RoscoePoundmisalny menguasai tambang).
b. Dalam tahap ini possession naturalis tadi dilindungi oleh hukum
sehingga possession naturalis tadi menjadi penguasa yuridis,
dalam arti bahwa jika orang lain merampasnya, maka hukum
dapat mengem balikannya kepada ia yang pertama menguasainya,
sedangkan dalam tahap kesatu yang menguasainya harus
melindungi barangnya sendiri secara fisik.
c. Dalam tahap ini possession naturalis menjadi hak milik perorangan.
Penikmatan dan penguasaan barang secara eksklusif dijamin oleh
hukum. Timbul pertanyaan apa perbedaannya hak milik dalam
ketiga dengan penguasaan yuridis tahap kedua?
Penguasaan yuridis yaitu konsepsi tentang fakta, yaitu
penguasaan dan hukum, sedangkan hak milik yaitu konsepsi hukum
murni, hanya hukum tidak fakta.
Bandingkan Pasal 529 B.W. mengenai bezit: “Sebagai memegang
atau menikmati barang yang secara mempengaruhi dengan perantaraan orang
lain dikuasainya seolah-olah sebagai miliknya”.
Dengan Pasal 570 B.W. mengenai hak milik: “Sebagai hak untuk
menikmati secara bebas suatu barang dan memakai secara mutlak”.
4. Teori Positif
Teori positivisme memakai sebagai dasar Hak Milik yaitu kerja.
Kerja yaitu hak positif dalam arti bahwa manusia berhak atas hasil
pekerjaannya (Lihat Pasal 606 B.W. “Barang siapa bahan bukan miliknya
membuat barang yaitu pemilik barang itu, asal ia mengganti harganya
bahan itu).
Teori ini benar jika hak milik itu diartikan sebagai hak atas benda
yang seorang telah ciptakan sendiri untuk penghidupannya, namun
bagaimana hasil kerja dalam perusahaan besar dan modern?
5. Teori Psikologis
Teori ini memakai dasar dari pada Hak Milik naluri manusia untuk
menguasai benda di alam Hak Milik yang dimaksud oleh teori ini ialah
hak milik prive atas benda yang menuai perlukan untuk penghidupannya
dan hak milik atas alat-alat yang manusia perlukannya sehari-hari.
Kelemahan dari teori ini ialah:
a. Dalam warga primitif milik prive tidak ada melainkan
milik bersama, dan
b. jutaan manusia di dunia hidup dan bekerja tidak dengan hubungan-
hubungan hak milik prive.
6. Teori Sosiologis
Teori ini dianut di Uni Soviet. Hak Milik yaitu suatu lembaga
warga dengan perkataan lain bahwa dasarnya Hak Milik yaitu
warga sendiri.
Hak Milik diakui oleh hukum dalam arti bahwa alat-alat produksi
hanya dapat dimiliki oleh negara. Jadi, yaitu milik sosialistis,
sedangkan yang dapat dimiliki perorangan yaitu barang-barang
konsumsi (pandangan ini asalnya dari KAR MARX).
L. Hukum Menurut Ilmu Hukum
Pendirian yang diambil dalam Ilmu Hukum sesungguhnya dan sudah
sama-sama dimengerti yaitu hukum dalam warga manusia,
jelasnya objeknya yaitu warga .
Ilmu Hukum dewasa ini memandang untuk menyempurnakan
warga harus ada ketentuan-ketentuan suruhan dan larangan
yang menimbulkan kewajiban dan/atau hak-hak. Ketentuan dan
larangan itu yaitu norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang
ada sangkut pautnya dengan perbuatan dan tindakan manusia dalam
warga . Sebab itu pula Ilmu Hukum membedakan antara hukum
dan kesusilaan, moral dan agama. Bahkan bukan saja membedakan
namun juga kesusilaan, moral, dan agama itu tidak dianggap ada sangkut
pautnya dengan hukum. Pendirian Ilmu Hukum seperti ini berpokok
pada dasar pandangan tentang apa yang dikatakan hukum, hanyalah
untuk mengatur perbuatan dan tindakan manusia saja, bukan untuk
menyempurnakan manusianya.
Jika dikatakan bahwa Ilmu Hukum itu yaitu himpunan peraturan-
peraturan yang mengurus tata tertib dalam warga . Kesimpulannya
tidak mengandung logical inadequacy, sebab kesusilaan yaitu himpunan
peraturan-peraturan yang juga mengurus tata tertib dalam warga .
Hukum itu dalam ilmu hukum dipandang sebagai gejala atau
fenomena, menanggapi hukum sekadar atau sebagai manifestasi
dibandingkan tindak manusia dan kebiasaan sosialnya. Gejala hukum
misalnya kalau Anda melihat mobil lewat di depan kampus, jalan
sebelah kiri dan berhenti sebelah kiri itu yaitu gejala hukum. Kalau
Anda melihat lampu merah, kuning, dan hijau itu pun yaitu
gejala hukum. Apa yang dikatakan norma dalam ilmu hukum yaitu
yaitu perintah atau larangan tentang perbuatan manusia dan
dijelmakan dalam kitab undang-undang hukum pidana di mana dijumpai
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh manusia selain
dibandingkan itu memandang hukum yang dapat dilihat dengan panca indra,
misalnya di ruang pengadilan. Ilmu hukum tidak melihat hal-hal yang
di belakang hukum. Dalam warga kita melihat penerapan hukum
atau penggunaan hukum namun norma itu tidak tercukupi dalam ilmu
hukum.
Jika kebiasaan hukum, penggunaan hukum, yaitu suatu
peristiwa yang termasuk dalam bidang ”das sein” artinya “yang ada”
maka itu tunduk pada hukum kausalitas. Sedangkan norma hukum
itu termasuk bidang “das sollen” yang artinya “yang harus”. Adapun
keterangan das sein dan das sollen diutarakan sebagai berikut.
Dalam ilmu sosial ada dua bagian, yaitu golongan empiris
dan golongan normatif. Golongan empiris yaitu ilmu yang mengadakan
konstatasi sesuatu tanpa menilainya dan ini meliputi pengertian
das sein, sedangkan golongan normatif ialah ilmu yang mengadakan
konstatasi sesuatu dan menilainya dan meliputi das sollen. Sesuatu norma
memerintahkan bahwa sesuatu harus terjadi, sesuatu harus menjadi
suatu kenyataan maka norma itu termasuk das sollen bukan “das sein”.
FUNGSI FILSAFAT HUKUM
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat
abstrak, dan filsafat hukum yaitu cabang dari filsafat, filsafat
hukum memiliki fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum
di negara kita . Sekadar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam
menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan namun juga di
akhirat, sebab putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, di samping
berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan
dengan Allah Swt., maka manusia di samping ia mengadopsi hukum-
hukum yang langsung (baca; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan yang
berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula
kebenaran yang berserakan dalam kehidupan warga , yaitu suatu
hukum yang akan mengatur perjalanan warga , dan hukum ini
haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang
akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku,
ras, agama yang ada di negara kita .
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia yang mana
“Philo” atau “Philein” artinya cinta dan “Sophia” artinya kebijaksanaan.
Filsafat yaitu induk semua cabang ilmu. Filsafat menurut Kamus
Besar Bahasa negara kita adalah, pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya
filsafat dapat juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika,
metafisika, dan epistemologi. Sedangkan arti filsafat ialah kebijaksanaan
hidup berkaitan dengan pikiran-pikiran rasional.
Jadi dapat dikatakan pula bahwa filsafat berarti karya manusia
tentang hakikat sesuatu. Karya artinya memakai rasio/pikiran dan
dilakukan secara metodis–sistematis. Karya manusia tentang hakikat
sesuatu ialah hasil pikiran manusia tentang hakikat sesuatu. Sesuatu
itu ialah alam semesta dan/atau segala isinya (termasuk manusia).
Hakikat sesuatu ialah tempat sesuatu di alam semesta atau hubungan
antara sesuatu dengan isinya alam semesta (yang lain), termasuk tempat
manusia dan segala perilakunya. Ini berarti objek filsafat itu sangat luas,
bersifat universal, yang mencakup segala gejala-gejala atau fenomena
yang ditemui manusia di muka bumi ini.
Salah satu gejala ini ialah gejala hukum (hidup dan peng-
hidupan hukum). Hukum ini yaitu sesuatu yang berkenaan
dengan manusia. Hukum tidak akan ada bila tidak ada manusia. Oleh
sebab itu, bila orang berfilsafat tentang hukum maka harus berfilsafat
tentang manusia terlebih dahulu. Salah satu aspek dari manusia yang
berkaitan erat dengan hukum ialah perilakunya. Melalui filsafat perilaku
atau etika inilah, orang berfilsafat tentang hukum. Dengan demikian
filsafat manusia ialah pohonnya, salah satu cabangnya ialah filsafat
etika, dan salah satu cabang dari filsafat etika ialah filsafat hukum, yang
sekaligus sebagai ranting pohon filsafat manusia.
Hukum berfungsi mengatur warga mengembangkan
suatu bentuk yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya, yaitu
storitatif. Berkuasa dan memerintah pernyataan-pernyataannya, apa-
pendapatnya, bertolak dari kemauan agar warga menundukkan
diri kepada yang ingin dicapai oleh kemauan ini . Pernyataan
hukum yaitu sebagaimana dituangkan dalam sesuatu bentuk
perundang-undangan, tidak tunduk pada pengujian yang lazim
dilakukan terhadap pernyataan ilmu. Artinya, hasil-hasil pengujian
tidak menentukan, apakah hukum itu pada akhirnya akan diterima
atau harus ditolak. Hukum tetap berlaku sebagai hukum sebelum
ada ketentuan lain yang mengubah atau mencabutnya. Inilah yang
bisa disebut sebagai logika hukum. Hukum yaitu suatu teknologi,
suatu teknologi sosial. Yang menjadi urusannya yaitu mengusahakan
agar orang-orang tunduk kepadanya, berbuat sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Hukum tidak mungkin mengikuti logika ilmu dengan
penelitian dan pengujian eksperimental dan cara lain, namun sebagai
suatu teknologi (sosial) ia masih bisa dikaitkan kepada ilmu. Kita
mengetahui, hukum dahulu dibandingkan dengan kehadiran ilmu-
ilmu modern sekarang ini, khususnya di bidang sosial dan perilaku.
Hukum sebagai ilmu terapan memerlukan sandaran pada ilmu-ilmu
dasar. Agar hukum bisa menjalankan fungsinya sebagai teknologi
sosial dengan saksama, hukum memerlukan ilmu-ilmu dasarnya,
seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Hukum yang berfungsi
menjamin persamaan alamiah menjadi hak-hak asasi.
B. Filsafat memberi Gambaran Alam Semesta sebagai
Keseluruhan
Berkenaan dengan sebagaimana disitir oleh mengemukakan fungsi
terutama dari filsafat yaitu memberikan (description) tentang alam
semesta sebagai untuk mendapat jawaban suatu gambaran keseluruhan.
Dalam usaha manusia menyebut adanya mengenai alam semesta, maka
G.E.Moore bermacam-macam jalan berfilsafat, yaitu: (1) berdasarkan
common sense, (2) berdasarkan pengetahuan “tambahan” (addition)
terhadap common sense, (3) adanya hal-hal yang mungkin ada dalam
alam semesta, dan (4) kemungkinan tidak adanya hal-hal itu di alam
semesta.
Jeremy Bentham yaitu salah seorang dari pembaru-pembaru
sosial yang paling giat dan berhasil dengan perundang-undangan.
Jeremy Bentham mengabdikan hidupnya mengadakan perubahan
dalam ketidaksamaan yang ada merintangi tumbuhnya demokrasi.
Ia membayangkan begitu tega selesai, hukum dapat menarik diri,
membatasi diri pada sesedikit mungkin kegiatan yang mengekang.
Dalam bukunya Theory of Legislation, ia menyatakan fungsi-fungsi
pokok hukum: memberi penghidupan; bertujuan memperoleh materi
yang berlimpah-limpah; mendorong persamaan; dan memelihara
keamanan. Dari semua ini yang paling penting yaitu keamanan, dan
penekanannya pada fungsi melindungi dari hukum. Tujuan yang kedua,
yakni persamaan kesempatan. Ia berharap agar, begitu perundang-
undangan mengenai perubahan-perubahan telah menyingkirkan
berbagai kekaburan dalam mencapai persamaan itu, perundang-
undangan itu akan mengundurkan diri dan menyerahkan bidang ini
pada usaha individu yang bebas dan persaingan bebas.
Cara berpikir atau paham hukum hanya dapat mengikuti
perkembangan warga di mana biasanya dikatakan hukum itu
selalu hinkt achter de feiten aan yang hidup atau berlaku di negara kita
selama ini didasarkan pada dua ajaran yang telah mendarah daging dan
dianggap sebagai kebenaran-kebenaran yang mutlak. Pertama, ajaran
mazhab sejarah yang dipelopori oleh Prof. Dr. Friedrich Carl von Savigny
yang mengemukakan bahwa “Hukum itu tidak dibuat, namun tumbuh
bersama-sama dengan warga (das Recht es nicht gemacht, aber ist und
wird mit dem Volke). Kedua, ajaran atau teori keputusan (beslissingenleer)
yang di negara kita dipelopori oleh Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn dalam
bukunya Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, yang mengemukakan
hanya kebiasaan-kebiasaan yang diakui para penguasa (kepala adat) di
dalam keputusan-keputusannya yang yaitu dengan demikian,
hanya norma-norma yang sudah menjadi kebiasaan di dalam warga
saja yang akan menjadi norma hukum, yang sudah yaitu kebiasaan
di dalam warga saja yang mungkin menjadi norma hukum. Oleh
sebab suatu kebiasaan hanya dapat tumbuh bila suatu peraturan terjadi
secara berulang-ulang, maka norma-norma hukum yang dapat tumbuh,
juga hanya akan dapat menyangkut peristiwa yang sudah biasa terjadi
atau pernah dialami di dalam warga ini . Dengan perkataan
lain, menurut paham ini tidak mungkin akan dapat timbul atau diadakan
norma-norma hukum yang akan mengatur peristiwa-peristiwa yang
belum pernah terjadi di warga kita.
C. Fungsi dalam Penegakan Hukum
Dalam hukum pada umumnya, nilai-nilai terjalin berpasangan, namun
tidak jarang pula bertegangan. Fungsi filsafat hukum terutama dalam
rangka penegakan hukum antara lain menganalisis untuk lalu
menyerasikan nilai-nilai yang bersangkutan. Menurut Prof. Dr. Roscue
Pound, M.A. dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law
(1922,1954), fungsi filsafat hukum sebagai atau untuk menguji hukum
positif tentang efektivitasnya. Fungsi filsafat hukum untuk mengatur
norma-norma, doktrin-doktrin, dan lembaga-lembaga dapat bermanfaat
bagi warga , juga memimpin penerapan hukum dengan menunjuk
pada tujuan hukum (filsafat hukum sedang menegakkan kepalanya di
mana-mana).
Menyoroti penggunaan hukum sebagai sarana mengubah
warga , Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. memaparkan salah satu
ciri yang menonjol dari hukum dalam warga modern yaitu
penggunaannya secara sadar oleh warga nya. Hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang
ada dalam warga , melainkan juga untuk mengarahkannya
kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang
dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru, dan
sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang
hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu
instrumen.
Emile Durkheim (1858-1917) membedakan antara “warga
dengan solidaritas mekanik” dengan “warga dengan solidaritas
organik”. warga dengan solidaritas mekanik yaitu yang
mendasarkan pada sifat kebersamaan dari para anggotanya, sedangkan
warga dengan solidaritas organik yaitu yang mendasarkan
pada individualitas dan kebebasan dari para anggotanya. warga
dengan solidaritas mekanis dipertahankan oleh sistem hukum represif,
sedangkan warga dengan solidaritas organik dipertahankan oleh
sistem hukum restitutif. Sistem hukum represif fungsional untuk
warga dengan solidaritas mekanik sebab sistem ini mampu
mempertahankan kebersamaan. Sistem hukum restitutif fungsional
untuk warga dengan solidaritas organik sebab sistem ini
memberikan kebebasan kepada individu dengan berhubungan satu sama
lain. Teori Emile Durkheim tidak membicarakan penggunaan hukum
secara sadar untuk mengubah warga , namun efeknya memberikan
dasar bagi kemungkinan penggunaan suatu sistem hukum untuk
menciptakan atau mempertahankan warga yang diinginkannya.
D. Aneka Tujuan
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., berpendapat hukum sampai
pada dasar-dasar filsafatnya, terutama bertujuan untuk menjelaskan
nilai-nilai dan dasar-dasar. Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A.,
berpendapat hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil-
hasil pemikiran para ahli filsafat hukum ini terhimpun dalam
pelbagai mazhab atau aliran. Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H.
mengemukakan “ berusaha mengungkapkan hakikat
hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum
sejauh yang mampu dijangkau akal budi manusia”.
Berhubungan dengan tujuan filsafat hukum, Prof. Dr. Drs. Ernst
Utrecht, S.H. (1996) menerangkan filsafat hukum hendak melihat hukum
sebagai norma dalam arti kata ethisch wardeoordeel. Filsafat hukum berusaha
membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak diraba
oleh panca indra” dari hukum. Filsafat hukum menjadi ilmu normatif,
seperti halnya dengan (ilmu) politik hukum. Filsafat hukum berusaha
mencari suatu rechts ideal yang dapat menjadi “dasar umum” dan “etis”
(ethisch) bagi berlakunya sistem hukum positif suatu warga (seperti
Grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman
yang menganut aliran-aliran seperti Neo-Kantianisme). Filsafat pada
umumnya mencari ethische dan ideale levenshouding yang dapat menjadi
dasar tetap petunjuk-petunjuk hidup kita.
Prof. Dr. L. Bender dalam bukunya Het Recht Rechts Philosophische
hukum justru mencari yang dalam berbagai hukum yaitu sama,
Verhandelingen (1948) memaparkan: “Filsafat menghakiki dan yang
tidak dapat berubah dalam hukum menurut Dr. Theo Huijbers“. Tujuan
filsafat hukum yaitu memperdalam pengertian tentang hukum dengan
mempelajari maknanya yang sebenarnya.
Menurut Prof. Dr. Roscoe Pound, M.A., filsafat telah menjadi
seorang berguna dalam semua tingkatan dari apa yang pantas kita
bukan perkembangan hukum. Pada beberapa tingkatan dia yaitu
seorang abdi yang kejam, dan pada tingkatan lain, dia yaitu seorang
majikan. Filsafat itu telah dipergunakan untuk meruntuhkan kekuasaan
tradisi yang sudah usang, untuk mematahkan peraturan-peraturan
yang dipaksakan oleh pihak penguasa yang tidak membiarkan adanya
perubahan bagi penggunaan baru, yang telah mengubah efeknya secara
praktis. Filsafat itu telah dipergunakan pula untuk memasukkan unsur
baru dari luar ke dalam hukum, dan membuat tubuh-tubuh baru hukum
dari bahan-bahan baru ini, untuk menyusun dan memberikan sistem
kepada bahan-bahan hukum yang ada, serta untuk memperkuat kaidah
-kaidah dan lembaga-lembaga yang sudah ditetapkan, jika masa
itulah yang pertumbuhan telah diiringi oleh masa kestabilan dan masa
rekonstruksi formal semata-mata. Itulah yang betul-betul telah dicapai
oleh filsafat. Diakul clapi, senantiasa tujuan yang diakui sendiri oleh
filsafat itu jauh.
Lebih tinggi lagi, filsafat sudah berdaya usaha memberikan satu
gambaran lengkap dan penghabisan pengawasan sosial, dan dicobanya
pula membuat peta kesusilaan, hukum dan politik untuk segenap
masa. Filsafat hukum memiliki kepercayaan menemukan kenyataan
hukum yang kekal, tidak akan berubah-ubah tempat kita berpijak, dan
dapat memberi kita kesanggupan untuk menegakkan satu hukum yang
sempurna yang dengannya dapat ditertibkan hubungan manusia untuk
selama-lamanya lenyap segala ketidakpastian dan diperoleh kebebasan
dari akan adanya perubahan. Kita tidak boleh mengejek tujuan yang
tinggi dan keyakinan yang mulia ini. Sebab tujuan dan keyakinan ini
sedikit yaitu faktor-faktor di dalam kekuasaan filsafat hukum
untuk melakukan hal-hal yang kurang luhur, yang dalam keseluruhannya
yaitu tulang punggung dan semangat dari apa-apa yang telah dicana
oleh hukum oleh sebab daya usaha untuk melaksanakan program
yang lebih luas telah mengajak filsafat hukum secara kebetulan untuk
melakukan apa-apa yang akan segera berfaedah dan praktis pengalaman
dalam melakukan yang disebut lalu ini, seolah-olah dia subspecie
aeternitatis, telah memberikan harga yang kekal kepada apa yang pada
lahirnya yaitu hasil tambahan dari penyelidikan filsafat.
F. Iswara, S.H., LLM. berpendapat setiap persekutuan hidup harus
berdasar pada suatu keadaan tertib atau ketertiban (keteraturan), ia
mengemukakan setiap persekutuan hidup, bagaimana modern atau
primitifnya pun harus berdasar pada sejenis “tertib” (orde). Tidak
dapat dibayangkan adanya persekutuan hidup yang tidak mengenal
semacam ketertiban yang mengatur tata hidup mereka. Filosof Romawi
(Marcus Tullius Cicero/106-43 M), kurang lebih 20 abad yang lalu
sudah mengucapkan kalimat termasyhur “ubi societas, ibi ius” (di mana
ada warga , di situ ada hukum).
Dalam konteks pemahaman arti hukum dan fungsi hukum dalam
warga , Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM. menyatakan
pertanyaan-pertanyaan mengenai apa arti hukum itu yang sebetulnya
dan fungsi hukum dalam warga , dapat dikembalikan pada
pertanyaan dasar: apakah tujuan hukum itu? Dalam analisis terakhir,
tujuan pokok jika direduksi pada suatu hal saja yaitu ketertiban dan
hukum (order). Ketertiban yaitu tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini, syarat pokok (fundamental)
bagi adanya suatu warga manusia yang teratur. Lepas dari segala
kerinduan akan yang juga menjadi tujuan dari hukum, ketertiban
sebagai hal-hal lain tujuan utama hukum, yaitu suatu fakta
objektif yang berlaku bagi segala warga manusia dalam segala
bentuknya. Mengingat bahwa kita tak mungkin menggambarkan hidup
manusia tanpa atau di luar manusia-warga -dan hukum yaitu
warga . Maka pengertian yang tak dapat dipisah-pisahkan. Pemeo
Romawi “ubi societas ibi ius” (di mana ada warga di situ ada hukum)
dari Marcus Tullius Cicero/106-43 SM menggambarkan keadaan ini
dengan tepat sekali. Di samping ketertiban, tujuan lain dari hukum
yaitu tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,
menurut warga dan tamannya. Untuk mencapai ketertiban
dalam warga ini, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan
antarmanusia dalam warga . Yang penting sekali bukan saja bagi
suatu kehidupan warga , namun yaitu syarat mutlak bagi
suatu organisasi hidup yang melampaui batas sekarang. Oleh sebab
itulah ada lembaga-lembaga hukum, seperti: (1) perkawinan, yang
memungkinkan kehidupan yang tak dikacaukan oleh hubungan antara
laki-laki dan perempuan; (2) hak milik; dan (3) kontrak yang harus
ditepati oleh pihak-pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian hukum
dan ketertiban warga yang dijelmakan olehnya, manusia tidak
mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan
Tuhan kepadanya secara optimal di dalam warga tempat ia hidup.
Pendapat George Whitecross Paton tentang kepentingan individu
(dalam tujuan hukum) meliputi keluarga, hak politik (hak memilih
dan hak dipilih), juga kepentingan warga yang meliputi kesehatan
umum dan kesejahteraan umum. Definisi hukum menurut George
dalam bukunya A Text Book of Jurisprudence Whitecross Paton, hukum
meliputi tiga unsur yaitu putusan pengadilan, tujuan hukum, dan
kenyataan-kenyataan sosial. Pengertian kepentingan menurut George
Whitecross Paton mengingatkan pada pandangan Rudolf von liering
tentang interessenjurisprudenz. Sementara itu, tujuan hukum Prof.
Dr. Rudolf von Jhering bahwa tujuan hukum yaitu “kepentingan”
ia mengikuti Jeremy Bentham dengan melukiskannya sebagai pene
kesenangan dan menghindari penderitaan. Akan namun , kepentingan
individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan
tujuan mempengaruhi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang
lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk tujuan
sama, maka terbentuklah koperasi. Perdagangan, warga negara
yaitu hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan tujuan yang
sama itu.
Ahli hukum Tata Negara dan Hukum Pidana mungkin memandang
problem-problem hukum lebih langsung sebagai suatu aspek dan
hubungan-hubungan antara yang berkuasa dan warga, antara
warga dan individu. Jawaban atas persoalan-persoalan ini dalam
penempatan yang satu di bawah yang lain. Adalah bukan kebetulan para
ahli hukum yang memasukkan konsepsi-konsepsi tentang kewajiban
dan negara dalam hubungannya dengan individu yaitu ahli-ahli hukum
tata negara.
Menurut salah satu asas dari asas-asas hukum fikih dalam kaitan
dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana dipaparkan oleh Dr. Subhi
Rajab Mahmassani membedakan hak umum (hak Allah) dan hak
pribadi. la memaparkan mengatur berbagai hukum pidana, membedakan
hak umum (hak Allah) dan hak pribadi. Membedakan juga antara
hukum pidana yang ada ketetapan sanksinya dalam hukum syara’ dan
yang diserahkan hukumnya kepada kebijaksanaan hakim. Kemudian
menetapkan syarat-syarat qishash dalam tindak pidana pembunuhan
dan pelukan yang disengaja, dan memberi batasan atas denda (divat)
dan ganti rugi.
Dengan mengembangkan gagasan mengenai keseimbangan (antara
kepentingan individu, kepentingan warga , dan kepentingan umum
negara atau antara kepentingan individu dan kepentingan umum)
sebagai tujuan hukum, Prof. Dr. Rudolf von Jhering menjadi bapak
ahli hukum sosiologis modern. Ia menyiapkan teknik hukum yang
paling luwes yang diperlukan oleh problem-problem hukum baru yang
berubah-ubah, dengan menentang ilmu hukum tentang konsepsi-
konsepsi. Selain itu, pendiriannya yang tegas menerapkan hukum
dengan konsepsi romantis mengenai manifestasi tanpa disadari dari
volksgeist lewat hukum.
Dari pendapat-pendapat tadi dapat disimpulkan tujuan hukum itu:
(1) menurut paham tradisional yaitu untuk menjaga ketertiban
dan menurut paham modern yaitu alat untuk keadilan, serta (2)
anggun warga . Sebagai tujuan hukum, ketertiban lebih penting
primer dibandingkan keadilan, sebab (1) setiap hukum mengandung unsur
ketertiban namun tidak semua hukum mengandung keadilan, dan (2)
jika terjadi bentrokan (spanning, tension antara keadilan dengan
ketertiban maka keadilan terpaksa dikesampingkan dahulu, orang
memberikan peranan yang statis kepada hukum. Artinya hukum itu
hanya diberi peranan untuk mempertahankan apa yang sudah ada.
Dalam anggapan mereka hukum hanya mengikuti dan mencerminkan
apa-apa yang telah ada saja tidak mungkin menjadi pelopor untuk
mengadakan pembaruan atau memajukan warga .
Dalam paham modern, hukum diberi peranan yang progresif
artinya diberi peranan sebagai pelopor untuk mengadakan perubahan
dan modernisasi.
A. Manusia
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang yaitu ciri khas
manusia. Manusia yaitu satu-satunya makhluk yang mengembangkan
pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga memiliki
pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan
hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya
untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini dan
berbagai problema yang menyelimuti kehidupan. Manusia senantiasa
penasaran terhadap cita-cita hidup ini, yang hendak diraih yaitu
pengetahuan yang benar, kebenaran hidup itu. Manusia yaitu
makhluk yang berakal budi yang selalu ingin mengejar kebenaran.
Dengan akal budinya, manusia mampu mengembangkan kemampuan
yang spesifik manusiawi, yang menyangkut daya cipta, rasa, maupun
karsa. saat orang menyaksikan sebuah pantai, sebut saja Pantai Pasir
Putih, orang akan terheran-heran dengan pasir putih. Kemegahan
alami itu menggugah perhatian manusia, setidaknya ingin mengetahui
sesungguhnya apakah hidup itu seperti pasir? siapa yang menciptakan
pasir putih beribu-ribu dan bahkan berjuta-juta butir, serta untuk apa
maknanya bagi manusia?
Realitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas dua
unsur pokok, yaitu jasad dan roh. Jasad dimaknai sebagai elemen kasar
(fisik) yang terkonstruksi dari bertemunya sperma dan ovum dalam
steam sel, darah, daging, tulang, kulit, bulu, dan unsur fisik lainnya.
Adapun elemen roh yaitu unsur halus (nonfisik/gaib) yang yaitu
pemberian Tuhan melalui proses transformasi kehidupan. Unsur roh
ini memegang posisi strategis dan menentukan dalam memosisikan
eksistensi manusia untuk dapat dikatakan sebagai homo Sapiens.
Tubuh sebagai elemen jasad sesungguhnya tidak berarti apa-apa
tanpa eksisnya roh di dalamnya. Dengan roh, manusia yang terdiri atas
kolektivitas jutaan sel tumbuh dan berkembang menurut ketentuan yang
telah ditetapkan Tuhan baik dalam bentuk jasad maupun pikiran. Rohlah
yang mengantarkan manusia pada fase untuk merasakan senang, sedih,
bahagia, berani, takut, dan benci, dan dengan roh jugalah manusia dapat
menjadi makhluk hidup yang bermoral, bersusila, dan bersosial. Oleh
sebab itu, roh dipandang sebagai sumber kepribadian manusia yang
akan mengantarkan manusia pada proses pemahaman hakikat manusia.
Roh yaitu suatu unsur dari Ilahi yang hanya Tuhanlah yang
mengetahui rahasia yang ada di balik dan di dalamnya. Roh inilah
yang menjadi mesin bagi jasad manusia, di mana saat mesin ini
tidak berfungsi, maka jasad manusia akan berada pada titik nol (zero)
yang dengan demikian tanpanya manusia sesungguhnya tidak dapat
dikatakan lagi sebagai manusia. Oleh sebab itu, urgensitas roh terhadap
jasad manusia sangat vital, meskipun tidaklah selalu berdampak pada
apresiasi manusia akan roh itu sendiri.
Dalam tataran awam, roh dan jasad dipandang sebagai suatu
variabel terpisah dan bahkan ada yang menganggap sebagai suatu
bentuk rivalitas ciptaan Tuhan. Manusia awam ini menganggap bahwa
kemampuan mendengar, berbicara, dan berpikir yaitu ranah jasad
sebab dianggapnya sebagai suatu hal yang secara struktur dianggap
berbentuk fisik. Sehingga manusia awam tidak memahami esensi ranah
jasad.
Ketidakmampuan manusia awam memahami esensi jasad dan
roh sebagai kesatuan terpadu, memicu pada saat-saat tertentu
dalam konteks sebagai binatang (memiliki akal pikir), maka manusia
dianggap lebih hina dari binatang (tidak memiliki akal pikiran) yang
sesungguhnya. Kehinaan ini timbul akibat ketidakmampuan manusia
membangun eksistensi kemanusiaannya yang berujung pada ketidak-
mampuan manusia menonjolkan sifat keistimewaan yang melekat
pada dirinya, yang hakikatnya jika ditelaah lebih dalam yaitu
kelebihan yang dititipkan Allah kepada manusia sebagai salah satu
makhluk ciptaannya.
Manusia sebagai makhluk Tuhan pada hakikatnya memiliki
wawasan luas tentang jagat. Wawasan ini dapat diperoleh
baik secara ilahiah maupun melalui usaha manusia yang dihimpun
dan dikembangkan selama berabad-abad. Dalam proses pencarian
ini , kecenderungan spiritual dan luhur manusia terus bekerja
dalam menemukan esensi kebenaran-kebenaran yang tentunya akan
direfleksikan dalam proses dialog jasad dan roh.
2. Manusia sebagai Makhluk Tuhan yang Otonom
Memahami keotonoman manusia sebagai makhluk Tuhan dalam uraian
ini, berangkat pada konstruksi filsafat perenial mengenai kecenderungan
manusia. Kecenderungan manusia pada hakikatnya terdiri atas dua
hal, yaitu aku objek yang bersifat terbatas dan aku subjek yang dalam
kesadaran tentang keterbatasan mampu membuktikan bahwa dalam
dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.
Manusia pada prinsipnya yaitu makhluk lemah. Lemah dalam
ketergantungan manusia (dependensi) terhadap penciptanya. Walaupun
manusia memiliki ketergantungan, akan namun pada hakikatnya Tuhan
telah meletakkan suatu otoritas dalam proses kehidupan manusia yang
berwujud script (tabula rasa) suci tanpa noda yang yaitu gambaran
keseimbangan (balance) terhadap dependensi ini . Tentunya, script
itu diharapkan dapat dilakoni oleh manusia dengan pewarnaan yang
variatif. Proses pewarnaan yang dilakukan oleh manusia itulah akan
menjadi gambar dan potret kehidupan setiap manusia yang dalam
kondisi sesungguhnya dapat diejawantahkan sebagai sumber kekayaan
pengetahuan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.
Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan
segala dependensinya kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia
untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi, dan
kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan diri (survive)
dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Di sisi lain, dengan
segala otonomi yang dimiliki oleh manusia, maka manusia melakukan
proses doa dan puji kepada Tuhan sebagai wujud penghambaannya
(dependensi) kepada Tuhan penciptanya(mutual interest). Jiwa manusia
dalam ketergantungannya pada Tuhan cenderung tidak a