filsafat hukum 7

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 7


prosedur/cara 
tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran; 3. Sistematis, 
ilmu pengetahuan sering kali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap 
yaitu satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian 
yang satu dengan bagian yang lain; 4. Universal, ilmu diasumsikan 
berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu 
tertentu. Ilmu diproyeksikan berlaku seluas-luasnya. Adapun ilmu 
pengetahuan memiliki beberapa sifat: 1. Terbuka: ilmu terbuka bagi 
kritik, sanggahan, atau revisi baru dalam suatu dialog ilmiah sehingga 
menjadi dinamis; 2. Milik umum, ilmu bukan milik individual tertentu 
termasuk para penemu teori atau hukum. Semua orang bisa menguji 
kebenarannya, memakai, dan menyebarkannya; 3. Objektif: kebenaran 
ilmu sifatnya objektif. Kebenaran suatu teori, paradigma, atau aksioma 
harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan. Ilmu dalam 
penyusunannya harus terpisah dengan subjek, menerangkan sasaran 
perhatiannya sebagaimana apa adanya; 4. Relatif: walaupun ilmu bersifat 
objektif, namun  kebenaran yang dihasilkan bersifat relatif/tidak mutlak 
termasuk kebenaran ilmu-ilmu alam. Tidak ada kebenaran yang absolut 
yang tidak terbantahkan, tidak ada kepastian kebenaran, yang ada hanya 
tingkat probabilitas yang tinggi nilai-nilai dalam Ilmu Pengetahuan. 
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ada  masalah 
mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu 
masalah apakah ilmu itu benar nilai atau tidak. Ada dua sikap dasar, 
pertama kecenderungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu 
itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom), sesuai dengan hukum-
hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan yaitu untuk ilmu pengetahuan 
itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan yaitu memenuhi rasa 
ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori 
oleh Aristoteles yang lalu  dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan 
ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh tunduk pada nilai-nilai di 
luar ilmu seperti nilai agama, nilai moral, nilai sosial, kekuasaan. Jika 
ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan 
kebenaran ilmiah, objektif, dan rasional (Sony Keraf: 150). Ilmu 
pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-
keyakinan tanpa didukung argumen yang objektif dan rasional. 
Yang ke dua kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak 
hanya semata-mata mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan harus 
berguna untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran 
ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, namun  juga pragmatis. 
Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. 
Semboyan dasar-dasar dari sikap pragmatis ini yaitu bahwa ilmu 
pengetahuan itu untuk manusia. Kedua kubu yang bertentangan 
ini memiliki  asumsi yang berbeda, namun  bukannya tidak dapat 
dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini yaitu sintesis keduanya. 
Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan 
context of discovery. Context of justifiction yaitu konteks pengujian ilmiah 
terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks 
ini pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan 
murni yang objektif dan rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain. 
Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk pertimbangan yaitu nilai 
kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbangan-pertimbangan 
lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam 
dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah pertimbangan ilmiah 
murni 
Context of discovery yaitu konteks di mana ilmu pengetahuan itu 
ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan 
selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu 
   
tertentu, dalam konteks sosial tertentu (Sony Keraf: 154). Kegiatan 
ilmiah memiliki  sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekadar 
menemukan kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk 
memenuhi kebutuhan manusia sehingga sejak awal ilmu pengetahuan 
memiliki  motif dan nilai tertentu. Ilmu pengetahuan dalam konteks 
kenegara kita an.
Tradisi kegiatan ilmiah di negara kita  memang belum mapan 
sebagaimana tradisi di dunia Barat. Justru itu masalah nilai dan ilmu 
ini harus dipahami sejak awal sebagai suatu koridor bagi kehidupan 
ilmiah di negara kita . Bangsa negara kita  memiliki  sistem nilai sendiri 
yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. 
Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah yaitu suatu 
imperatif ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya 
sendiri memang harus bebas nilai, objektif, rasional, namun di dalam 
proses penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu 
harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku di warga . 
Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan 
harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, warga , 
bangsa, dan Negara negara kita . Namun demikian tolok ukur manfaat 
itu tidak hanya sekadar manfaat pragmatis yang sesaat atau untuk 
kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu 
yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat 
manusia dan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai 
teositas, nilai humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi, 
dan nilai keadilan sosial ,
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia 
tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargai kemampuan 
rasionalitas manusia semata namun  juga menginsyafi bahwa ada kekuatan 
lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai sebab aktivitas 
akalnya saja namun  juga aspek-aspek lain yang irasional. Sila kemanusiaan 
yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan 
harus dikembalikan pada fungsi semula untuk kemanusiaan, tidak 
hanya untuk kelompok atau sektor tertentu (T. Jacob: 42-43). Sila 
Persatuan negara kita , memiliki  makna bahwa ilmu pengetahuan 
walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang lokal 
sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan 
tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional 
bangsa negara kita . Sila ke empat mengandung pengertian bahwa 
ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan 
atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di 
bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu 
pertimbangan yang representatif untuk harus mengakomodasi rasa 
keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh mengabdi pada sekelompok 
kecil warga , apalagi hanya mengabdi pada kepentingan penguasa. 
Lingkungan akademis yaitu tempat di mana ilmu pengetahuan itu 
disemaikan. Dunia akademis di negara kita  memiliki  tugas yang 
lebih berat dari sekadar kehidupan ilmiah yang hanya menekankan 
aspek rasionalitas. Dunia akademis negara kita  memiliki  tugas dan 
tanggung jawab yang lebih besar. Dosen bukan hanya sebagai guru 
(teacher) sebagai tukang transfer pengetahuan. Dosen yaitu pendidik 
yang bertugas untuk membimbing anak didik menjadi insan yang pintar 
dan bermoral 
Di lain pihak ia yaitu seorang ilmuwan yang menjalankan kegiatan 
ilmiah. Seperti dipaparkan di atas bahwa ilmu itu bebas nilai, namun  
kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan di bawah suatu 
lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan, 
maka harus ada nilai-nilai yang menjadi roh yang mengendalikannya. 
Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi ilmuwan, sehingga ilmu tetap 
berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh 
setiap ilmuwan. Perlu disadari bahwa sikap ilmiah ini ditujukan pada 
dosen, namun  harus juga ada pada mahasiswa yang yaitu out put 
dari aktivitas ilmiah di lingkungan akademis. 
1.  Sikap ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan 
yaitu kejujuran dan kebenaran. Nilai kejujuran dan kebenaran ini 
yaitu nilai interinsik yang ada di dalam ilmu pengetahuan, 
sehingga harus integral masuk dalam etos semua aktor ilmu 
pengetahuan di dalam lembaga akademis. Kejujuran ini menyangkut 
proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang dihasilkan dari 
proses ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan. 
Tanpa kejujuran tidak akan didapat kebenaran sebagaimana apa 
adanya, sedangkan motif dasar ilmu pengetahuan yaitu memenuhi 
rasa ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sikap 
   
jujur dan objektif. Sikap ilmiah tercermin pada sikap jujur dan 
objektif dalam mengumpulkan faktor dan menyajikan hasil analisis 
fenomena alam dan sosial melalui cara berpikir logis. Sikap jujur 
dan objektif menghasilkan produk pemikiran berupa penjelasan 
yang lugas dan tidak bias sebab kepentingan tertentu. 
2.  Tanggung jawab. Sikap ini mutlak dibutuhkan berkaitan dengan 
kegiatan penelitian maupun dalam aplikasi ilmu serta di dalam 
aktivitas ilmiah akademis. 
3.  Setia. Seorang ilmuwan harus setia pada profesi dan setia pada 
ilmu yang ditekuni. Ia harus setia menyebarkan kebenaran yang 
diyakini walaupun ada risiko. 
4.  Sikap ingin tahu. Seorang intelektual/cendekiawan memiliki rasa 
ingin tahu (coriousity) yang kuat untuk menggali atau mencari 
jawaban terhadap suatu permasalahan yang ada di sekelilingnya 
secara tuntas dan menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan dalam 
bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan 
warga  awam sebab mereka merasa bahwa tanggung jawab 
itu ada di pundaknya. 
5.  Sikap kritis. Bagi seorang cendekiawan, sikap kritis dan budaya 
bertanya dikembangkan untuk memastikan bahwa kebenaran sejati 
bisa ditemukan. Oleh sebab itu, semua informasi pada dasarnya 
diterima sebagai input yang bersifat relatif/nisbi, kecuali setelah 
melewati suatu standar verifikasi tertentu. 
6.  Sikap independen/mandiri. Kebenaran ilmu pengetahuan pada 
hakikatnya yaitu sesuatu yang objektif, tidak ditentukan oleh 
imajinasi dan kepentingan orang tertentu. Cendekiawan berpikir 
dan bertindak atas dasar suara kebenaran, dan oleh karenanya 
tidak bisa dipengaruhi siapa pun untuk berpendapat berbeda hanya 
sebab ingin menyenangkan seseorang. Benar dikatakan benar, 
salah dikatakan salah, walaupun itu yaitu hal yang pahit. 
7.  Sikap terbuka. Walaupun seorang cendekiawan bersikap mandiri, 
akan namun  hati dan pikirannya bersifat terbuka, baik terhadap 
pendapat yang berbeda, maupun pikiran-pikiran baru yang 
dikemukakan oleh orang lain. Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha 
memperluas wawasan teoretis dan keterbukaannya kepada 
kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya. 
Seorang cendekiawan akan mengedepankan sikap bahwa ilmu, 
pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak terbatas dan akan 
senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Dia tidak akan selalu 
belajar sampai “ke negeri China” bahkan sampai akhir hayat. 
8.  Sikap rela menghargai karya dan pendapat orang lain. Seorang 
cendekiawan bersedia berdialog secara kontinyu dengan koleganya 
dan warga  sekitar dalam keterlibatan yang intensif dan 
sensitif. 
9.  Sikap menjangkau ke depan. Cendekiawan yaitu pemikir-pemikir 
yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah 
tertentu atau yang potensial di bidangnya. “Change maker” yaitu 
orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam 
warga . Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengubah 
warga  yang statis menjadi warga  yang dinamis dan 
berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil 
dari buah pemikiran dan penelitian untuk mengubah kondisi 
warga  dari zero to hero. 
Etika yaitu cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan 
sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. 
Sebagai tugas tertentu etika mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah 
laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang 
baik. Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos” 
yang memiliki  arti kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berpikir, 
dan kata “ta etha” yang memiliki  arti adat kebiasaan. Dan secara 
terminologi etika yaitu ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau 
ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa negara kita  
etika dijelaskan dengan tiga arti, yang pertama etika yaitu ilmu tentang 
apa yang baik, apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral. 
Kedua, etika yaitu kumpulan asas atau yang berkenaan dengan akhlak. 
Ketiga, etika yaitu nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu 
golongan atau warga .
Perumusan tentang pengertian etika juga bisa dipertajam lagi 
menjadi tiga arti juga, sebagai berikut: 1) kata etika bisa dalam arti: 
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi 
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; 2) 
Etika juga berarti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di 
   
sini yaitu kode etik; 3) Etika memiliki  arti juga: ilmu tentang yang 
baik dan buruk. Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan 
yaitu filsafat yang merefleksi ajaran-ajaran moral. Pemikiran 
filsafat memiliki  lima ciri khas: bersifat rasional, kritis, mendasar, 
sistematik, dan normatif. 
Kata etika juga erat kaitannya dengan kata moral yang berasal dari 
kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang memiliki  
arti adat atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang 
baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Etika dan moral lebih 
kurang sama pengertiannya, namun  dalam kegiatan sehari-hari ada  
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang 
dilakukan, sedangkan etika yaitu untuk pengkajian sistem nilai-nilai 
yang berlaku. Dan untuk lebih mengerti apa itu etika, perlu dibedakan 
dengan ajaran moral. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran 
moral, melainkan yaitu filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar 
tentang ajaran dan pandangan moral. Etika yaitu sebuah ilmu, bukan 
sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkatan 
yang sama, yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika 
melainkan ajaran moral. Ada perbedaan antara etika dan ajaran moral. 
Perbedaannya, etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh 
kita lakukan dan yang tidak boleh kita lakukan, dan etika berusaha 
untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus hidup menurut 
norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan sebagai buku 
petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan sepeda motor dengan 
baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan 
teknologi sepeda motor.
Dari berbagai definisi tentang etika dapat diklasifikasikan menjadi 
3 jenis definisi: jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat 
yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku 
manusia. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan 
yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam 
kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa 
ada keragaman norma sebab adanya ketidaksamaan waktu dan 
tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif. Jenis ketiga, etika 
dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif 
yang hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. 
Bab 14 ---  Etika Ajaran Filsafat 299
Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan 
informasi, menganjurkan, dan merefleksikan.
Menurut Robert C. Solomon, etika yaitu bagian filsafat yang 
meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, dan menginginkan hal-hal 
yang baik dalam hidup. Kata “etika” menunjuk pada dua hal. Pertama, 
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, 
pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup 
kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita.
Menurut Ki Hajar Dewantoro dalam buku Kuliah Etika yang ditulis 
oleh Charris Zubair, bahwa etika yaitu ilmu yang mempelajari segala 
soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya. 
Khususnya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat 
dipakai  sebagai pertimbangan dan perasaan, sampai terwujudnya 
suatu perbuatan.
Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang 
filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno, etika sudah 
terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika yaitu ilmu, 
namun sebagai filsafat ia tidak yaitu suatu ilmu empiris. Ciri 
khas filsafat itu dengan jelas tampak juga pada etika. Etika pun tidak 
berhenti pada hal yang konkret, tapi ia bertanya tentang yang harus 
dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik atau buruk 
untuk dilakukan.
Etika tidak sama dengan cabang-cabang filsafat yang lain dalam 
arti etika membatasi diri pada pertanyaan “apa itu moral” dan tugas 
utama etika yaitu menyelidiki apa yang harus dilakukan oleh manusia. 
Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan etika 
membahas yang harus dilakukan, sebab itu etika tidak jarang disebut 
juga filsafat praktis, mengapa praktis sebab cabang ini berhubungan 
dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan 
manusia.
Objek etika yaitu pernyataan moral, pada dasarnya hanya dua 
macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang 
manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
A. Keterkaitan Pekerjaan dan Profesi
Sejak zaman dahulu bahkan pada zaman purba, manusia akan 
melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Melakukan usaha -usaha  
untuk bertahan sebab kodratnya yang yaitu makhluk hidup maka 
memerlukan makanan. Dimulai dengan melakukan kegiatan berburu 
dan meramu yang lalu  berkembang hingga sampailah pada masa 
bercocok tanam. Semua kegiatan yang dilakukan ini  yaitu 
kegiatan “bekerja”.
Jenis pekerjaan yang dilakukan manusia pada zaman dahulu 
sangat berbeda dengan masa sekarang. sebab  pada zaman dahulu 
hanya berpusat dengan memakai  tenaga atau fisik saja. Namun 
dengan adanya evolusi manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh 
Charles Darwin, bahwa makhluk hidup termasuk manusia mengalami 
perbaikan biologis. Salah satu akibat dari perbaikan biologis ini  
yaitu berkembangnya otak manusia. Hal ini memicu manusia 
tidak lagi hanya memakai  fisiknya saja namun juga kecerdasannya. 
Pekerjaan yang berhasil dikembangkan sebab kecerdasan manusia 
inilah yang akhirnya akan menghasilkan suatu profesi.
Suatu pekerjaan sendiri menurut Abdul kadir Muhammad 
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang meng-
utamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan 
tujuan memperoleh pendapatan (upah).
2. Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan 
kemampuan fisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan 
tujuan pengabdian.
3. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu, 
mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap, 
dengan tujuan memperoleh pendapatan.
Antara pekerjaan dan profesi ada  kaitan yang erat. Profesi 
yaitu pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang. Namun tidak semua 
pekerjaan dapat digolongkan sebagai profesi, sebab hal yang dikerjakan, 
yang digolongkan sebagai profesi, memiliki kekhususan antara lain:
1. Pekerjaan sebagai profesi.
 Kerja atau pekerjaan meliputi bidang yang sangat luas, dan tidak 
hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu. Tidak semua pekerjaan 
dapat digolongkan sebagai profesi. Hanya pekerjaan tertentu, yang 
dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah 
hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang dapat disebut 
sebagai profesi.
2. Profesi umum dan profesi khusus.
 Hal utama yang membedakan suatu profesi khusus dari profesi 
biasanya yaitu tekanan utamanya pada pengabdian atau 
pelayanan kepada warga . Orang yang menjalankan suatu 
profesi luhur atau profesi khusus juga memerlukan  nafkah hidup 
yang didapatkan dari kegiatan menjalankan profesi ini . Akan 
namun  sasaran utamanya yaitu untuk mengabdi dan melayani 
warga . Pelayanan dan pengabdian itu diberikan bahkan dijalani 
sebagai suatu panggilan dari yang memanggil dan menugaskan 
mereka untuk menyampaikan kasih kepada yang memerlukan .
B. Pengertian Profesi
Profesi yaitu suatu pekerjaan tetap dalam kurun waktu yang 
lama dengan didasarkan pada keahlian khusus yang didapatkan dari 
hasil pendidikan tertentu sesuai dengan profesi yang ditekuni, dalam 
menekuni pekerjaan ini  dilakukan dengan penuh tanggung jawab 
yang tujuannya yaitu untuk mendapatkan penghasilan. Orang yang 
melakukan profesi disebut sebagai seorang profesional.
Dalam menjalankan profesi maka seseorang harus memiliki sikap 
profesionalisme di mana kepentingan mempengaruhi harus dikesampingkan dan 
mendahulukan kepentingan warga  yang memerlukan . Dalam hal 
ini maka selain tidak terlepas dari tujuan seseorang melakukan suatu 
profesi yakni untuk mendapatkan penghasilan namun tidak boleh 
mengesampingkan tujuan pengabdian diri terhadap warga .
Seseorang dikatakan sudah profesional jika  dalam mendapatkan 
keilmuan mengenai keprofesionalannya ini  didapatkan pada 
suatu pendidikan khusus, melalui ujian-ujian dan telah mendapatkan 
izin berprofesi sesuai dengan bidang tertentu sehingga dianggap layak 
untuk menjalankan profesi ini .
C. Ciri-Ciri Profesi
Menurut Ignatius Ridwan Widyadharma, profesi biasanya 
memiliki ciri-ciri yakni adanya pengetahuan yang khusus, adanya 
standar dan kaidah moral, bekerja dengan orientasi pada pengabdian 
dan kepentingan warga , adanya izin khusus untuk menjalankan 
profesi, adanya pula organisasi profesi ini . Maka seseorang dapat 
dikatakan menjadi seorang profesionalisme pada profesi tertentu jika  
memegang teguh dan menjalankan kode etik sebagaimana yang telah 
disepakati dalam organisasinya. Suatu profesionalisme yang dilakukan 
tanpa adanya etika akan memicu profesionalisme ini  
menjadi pengendali dan hanya pengarahan saja atau diibaratkan “bebas 
sayap” (vleugel vrij).
Beranjak dari definisi profesi sebelumnya maka secara umum ada 
beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu:
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan 
keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan, dan 
pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini 
biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode 
etik profesi.
   
3. Mengabdi pada kepentingan warga , artinya setiap pelaksana 
profesi harus meletakkan kepentingan mempengaruhi di bawah kepentingan 
warga .
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap 
profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan warga , 
di mana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, 
kelangsungan hidup, dan sebagainya, maka untuk menjalankan 
suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
E. Sumaryono memberikan tiga ciri khusus dalam pandangan 
umum tentang suatu profesi, yaitu:
1. Persiapan atau Training Khusus
 Sebuah persiapan yaitu tindakan yang di dalamnya termuat 
pengetahuan yang tepat mengenai fakta fundamental di mana 
langkah-langkah profesional mendasarkan diri, demikian juga 
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan ini  dengan cara 
praktis. 
2. Menunjuk pada keanggotaan yang permanen, tegas, dan berbeda 
dari keanggotaan yang lain.
 Dalam hal ini suatu profesi yang profesional dapat dijalankan 
dengan syarat setiap pengemban profesi ini  dituntut untuk 
memiliki sertifikat, izin usaha, ataupun izin praktik.
3. Aseptabilitas sebagai Motif Pelayanan
 Aseptabilitas atau kesediaan menerima yaitu suatu kebalikan 
dari motif menciptakan uang, yaitu ciri khas dari semua 
profesi pada umumnya. Oleh karenanya tujuan utama dari suatu 
profesi bukan semata-mata hanya untuk mencari uang namun 
memprioritaskan kepentingan warga  pada umumnya. Namun 
di lain sisi suatu profesi yaitu sarana bagi hidupnya seseorang 
dan penyandang profesi ini  memerlukan  dan dipandang 
perlu untuk memperoleh kompensitnya, yang menjadi imbalan 
atas jasa pelayanannya.
D. Pengertian Profesi Hukum
ada  berbagai macam jenis profesi yang ada di dunia, seperti yang 
biasa ditemui yaitu profesi dokter, profesi akuntan, profesi hukum, 
dan lain sebagainya. Dapat diketahui bahwa hukum yaitu 
salah satu jenis dari profesi-profesi yang tersedia. Namun hal yang 
membedakannya terletak secara jelas yaitu terkait dengan bidang yang 
ditekuni, yakni tentu saja dalam bidang hukum. Oleh sebab itu profesi 
hukum sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum. Pihak yang 
dilayani oleh pengemban profesi hukum sering disebut sebagai klien.
Dari uraian-uraian sebelumnya maka suatu profesi hukum 
yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan secara profesional dan 
berkaitan dengan hukum. Di mana dalam mendapatkan izin untuk 
menjalankan profesi hukum haruslah menempuh pendidikan khusus 
sesuai dengan jurusan atau konsentrasi profesi hukum yang diminati, 
sebab dalam profesi hukum sendiri ada  beberapa macam 
pekerjaan. Misalnya pengacara, seseorang dapat menjalankan profesi 
hukum sebagai seorang pengacara jika  telah menempuh Pendidikan 
Khusus Profesi Advokat (PKPA) diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, telah lulus Ujian 
Profesi Advokat (UPA) yang diselenggarakan oleh organisasi advokat 
dalam hal ini yaitu Peradi (Perhimpunan Advokat negara kita ), tahap 
berikutnya yakni melaksanakan kegiatan magang di kantor advokat 
minimal dua tahun secara berturut-turut ada  dalam Pasal 3 ayat 
(1) huruf g UU Advokat, dan dalam Pasal 4 ayat (1),(2), dan (3) 
UU advokat, syarat terakhir yaitu melakukan sumpah advokat di 
Pengadilan Tinggi Negeri di wilayah domisili hukumnya dengan usia 
minimal 25 tahun (Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat). Persyaratan 
di sini harus terpenuhi semua jika  hendak menjalankan profesi di 
bidang hukum sebagai seorang pengacara atau advokat. Contoh lain 
profesi hukum yaitu dalam bidang Kehakiman, Kejaksaan, dan lain 
sebagainya. 
E. Profesionalisme dalam Profesi Hukum
Dalam suatu kelompok warga  terjadi hubungan-hubungan 
satu sama lain. Yang mana dalam hubungan ini  tidak menutup 
kemungkinan terjadinya benturan kepentingan antara individu yang 
   
satu dengan yang lainnya. Hal ini  yaitu salah satu contoh 
sederhana permasalahan yang ada dalam warga . Contoh lain yang 
lebih kompleks misalnya yaitu hubungan antara suatu Negara dengan 
warga negaranya, Negara harus diberi batasan-batasan kewenangan agar 
tidak menjadi otoriter dan melupakan amanat dari warga negaranya.
Profesi hukum memiliki peran untuk mendampingi hubungan-
hubungan antar warga  maupun antara warga  dengan 
Negara. Agar kepentingan maupun hak yang satu dengan yang lainnya 
tetap berjalan sesuai dengan porsinya masing-masing. Yang lalu  
untuk menjalankan suatu profesi hukum demi tercapainya cita-cita, 
semangat, dan tujuan murni keberadaan suatu profesi hukum maka 
seseorang diwajibkan melakukan profesinya secara profesional. 
Keberadaan profesi hukum sendiri memiliki tujuan yakni membantu 
terciptanya tujuan hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan) untuk 
warga . Meskipun pada praktiknya sering kali salah satu dari tujuan 
hukum ini  dirasa kurang bisa didapatkan. Yang sering terjadi 
yaitu keterkaitan antara keadilan hukum dan kepastian hukum yang 
cenderung saling bertolak belakang satu sama lain. Namun setidaknya 
sebagai seorang profesional dalam profesi hukum pasti akan berusaha 
semaksimal mungkin untuk mencapai ketiga tujuan hukum ini . 
Oleh karenanya seseorang dengan profesi hukum berperan sebagai 
pion yang harus menggiring agar tujuan hukum ini  dapat tercapai 
sebagaimana mestinya. Mengingat sangat banyak penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dewasa ini. 
Dalam keberadaannya, setiap code of conduct atau professional ethics 
dari setiap profesi yang di dalamnya juga meliputi profesi hukum, 
memiliki kewajiban-kewajiban untuk dirinya sendiri, yakni:
1. Kewajiban bagi diri sendiri;
2. Kewajiban bagi umum;
3. Kewajiban bagi yang dilayani;
4. Kewajiban bagi profesinya.
Sebagaimana pendapat Ignatius Ridwan Widyadharma, dalam 
menjalankan profesinya seorang profesional harus memiliki kemampuan 
akan kesadaran etis (ethical sensibility), kemampuan berpikir etis (ethical 
reasoning), bertindak etis (ethical conduct), dan memimpin secara etis 
(ethical leadership). Kemampuan-kemampuan ini  yaitu suatu 
landasan dasar agar seorang profesional dapat menjalankan profesinya 
secara profesional.
Penjelasan dari landasan kemampuan yang harus dimiliki seorang 
profesional dalam menjalankan profesinya. Yang pertama seseorang 
dikatakan mampu memiliki kesadaran etis jika  orang ini  
bisa menentukan perbuatan yang etis atau bukan perbuatan etis. 
Misalnya dapat mengatakan pada lawan persidangan jika  dalam 
hal pemeriksaan keterangan saksi, lawannya ini  mengutarakan 
ucapan yang mengarahkan saksi pada opini tertentu. Kedua, mampu 
berpikir secara etis maksudnya yaitu sebagai seorang yang profesional 
maka sudah sepatutnya juga didukung dengan pemikiran-pemikiran 
cerdas yang akan membawanya agar dapat bertindak secara profesional. 
Ketiga, bertindak etis memiliki keterkaitan yang erat dengan 
pemikiran yang etis hal ini dikarenakan suatu tindakan seorang yang 
profesional sudah pasti akan dipikirkan terlebih dahulu tentang baik 
dan buruknya, harus dilakukan atau tidak. Hal ini bisa dicontohkan 
dengan kejujuran, antara seorang pengemban profesi dengan orang 
yang dilayaninya harus menjunjung tinggi kejujuran agar kepercayaan 
antara keduanya dapat tercipta. Dan yang terakhir yaitu memiliki 
kemampuan memimpin secara etis, seorang profesional memiliki 
mempengaruhi dan jiwa kepemimpinan yang sangat baik, sangat dihormati, 
dan disegani oleh anggotanya. Namun tidak berdasarkan atas rasa takut 
terhadap kepemimpinannya melainkan penghormatan atas wibawa 
seseorang. Seorang pemimpin yang baik dapat mengarahkan suatu 
kelompok untuk mencapai tujuan yang disepakati secara efektif dan 
efisien. Keempat landasan kemampuan ini  memiliki keterkaitan 
satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan, sebab antara landasan 
kemampuan yang satu dengan yang lainnya saling mendukung satu 
sama lain. Kemampuan-kemampuan ini  tidak dapat dimiliki 
seseorang secara instan, yang artinya memerlukan suatu proses yang 
panjang dalam pembentukannya. 
Dalam pelaksanaannya profesi hukum sering kali menghadapi 
tantangan-tantangan yang menjadi hambatan terciptanya profesionalitas 
di bidang hukum, yaitu:
1. Kualitas yang dimiliki oleh pengemban profesi hukum;
2. Penyalahgunaan dan penyimpangan fungsi dari profesi hukum;
   
3. Semakin menurunnya moralitas yang dimiliki oleh pengemban 
profesi hukum;
4. Tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap sosial yang menurun.
Maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa seorang profesional 
harus memiliki pengetahuan yang andal dan mumpuni dalam bidang 
hukum. Sehingga pada saat warga  hendak meminta pertolongan 
untuk memakai  jasanya dapat dijalankan dengan sangat kompeten 
dan berkualitas. Dengan kepuasan yang didapatkan oleh warga  
selaku klien dalam bidang profesi hukum maka juga akan sangat 
berpengaruh terhadap keberadaan hukum itu sendiri. 
F. Hubungan Etika dengan Profesi Hukum
Etika dan profesi hukum memiliki hubungan satu sama lain, bahwa 
etika profesi yaitu sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan 
untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap 
warga  dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan 
dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap 
warga  yang memerlukan  pelayanan hukum disertai refleksi 
saksama, dan oleh sebab itulah di dalam melaksanakan profesi ada  
kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi.
Etika profesi sendiri yaitu suatu ilmu mengenai hak dan 
kewajiban yang dilandasi dengan pendidikan keahlian tertentu. Dasar 
ini yaitu hal yang diperlukan dalam beretika profesi. Sehingga 
tidak terjadi penyimpangan - penyimpangan yang memicu 
ketidaksesuaian. Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan, 
bukan hanya loyalitas namun  etika profesilah yang sangat penting. Etika 
sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga bila suatu 
profesi tanpa etika akan terjadi penyimpangan - penyimpangan yang 
memicu terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan 
oleh orang lain akan memicu kehilangan kepercayaan yang 
berdampak sangat buruk, sebab kepercayaan yaitu suatu dasar 
atau landasan yang dipakai dalam suatu pekerjaan. Kode etik profesi 
berfungsi sebagai pelindung dan pengembangan profesi. Dengan adanya 
kode etik profesi, masih banyak kita temui pelanggaran-pelanggaran 
ataupun penyalahgunaan profesi. Apalagi jika kode etik profesi tidak 
ada, maka akan semakin banyak terjadi pelanggaran. Akan semakin 
banyak terjadi penyalahgunaan profesi. Oleh karenanya ada  
batasan-batasan dalam beretika profesi di bidang hukum yang dapat 
dijadikan pedoman agar penyimpangan-penyimpangan dalam profesi 
hukum dapat terhindarkan, yakni sebagai berikut:
1. Orientasi yang dimiliki haruslah berupa pelayanan yang mengarah 
pada pengabdian seseorang dalam berprofesi hukum. jika  hal 
ini diterapkan maka dalam menjalankan profesinya akan dilakukan 
dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih. 
2. Tidak membeda-bedakan pelayanan terhadap individu yang satu 
dengan yang lainnya. Sehingga para pelaku profesi hukum akan 
berusaha memperlakukan tiap orang dengan sama.
3. Bersama-sama dengan teman sejawat untuk selalu bekerja sama 
dan tolong menolong dalam hal kebaikan agar dapat saling bertukar 
pikiran dan meringankan beban.
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa keberadaan etika, 
kode etik untuk para pengemban tugas di bidang profesi hukum selain 
untuk menjadi seorang profesional harus dipagari dengan kode etik 
yang harus ditaatinya. jika  tidak demikian akan menimbulkan 
ketidakselarasan harmoni dalam kehidupan warga .
Di bidang profesi hukum ada  beberapa macam profesi yang 
berkaitan dengan hukum di antaranya sebagai berikut:
G. Etika Profesi Hakim di negara kita 
Etika Aparat Pengadilan
Aparat pengadilan dituntut untuk dapat memadukan karakter profesinya 
yang akan menampilkan sosok kepribadiannya dalam mewujudkan 
sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Maka beberapa sikap atau 
sifat aparat pengadilan yang patut diwujudkan antara lain:
1. Takwa dan Tawakkal
 Setiap awal akan melaksanakan tugasnya seorang aparat pasti 
akan disumpah dan salah satu syarat utamanya yaitu bertakwa 
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini  sangat penting 
dilakukan bagi seorang aparat mengingat dalam pelaksanaan tugas 
sehari-hari senantiasa menghadapi masalah, mana yang boleh dan 
   
harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dan harus dihindari. 
Seorang yang bertakwa harus senantiasa berusaha untuk dapat 
melaksanakan segala perintah dan sekaligus berusaha menghindari 
segala larangan-Nya. Sehingga dalam segala usaha  baik usahanya 
selalu didasarkan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa, 
sekaligus berpasrah dan tawakkal dalam segala keadaan.
2. Kemauan dan Kemampuan Mengatur Diri Sendiri
 Sifat atau sikap yang selalu berusaha mau dan mampu mengatur 
diri sendiri, yaitu awal dari kepemimpinan dan manajemen 
pengadilan yang efektif. Untuk mencapai terwujudnya kemauan 
dan kemampuan ini, aparat pengadilan perlu mengetahui 
kekuatan, kecakapan, dan kemampuan di bidang tugasnya, 
baik yang berkenaan dengan managerial skill maupun teknis 
justisial, dan administrasi pengadilan, serta perlu juga menyadari 
kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Tanpa adanya kemauan 
dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri, segala bentuk ilmu 
pengetahuan yang dimiliki dan aturan hukum yang ada tidak akan 
banyak membawa arti dan manfaat.
3. Keteladanan
 Keteladanan sangat dibutuhkan bagi aparat pengadilan. Aparat 
pengadilan selayaknya menjaga tingkah laku dan perbuatannya baik 
di dalam dan di luar kedinasannya, hal ini yaitu sesuatu yang 
sangat penting untuk terlibat dan mendapat dukungan warga  
dalam mewujudkan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai 
contoh, seorang pimpinan yang menginginkan bawahannya bekerja 
keras, maka ia dengan sendirinya harus menunjukkan etos kerja 
pada diri sendiri terlebih dahulu, pekerjaan yang berkualitas 
tinggi bagi seorang pimpinan akan menjadi referensi bagi aparat 
di bawahnya dan pada gilirannya akan tercapai segala apa yang 
diharapkan dalam setiap tugas yang diembannya.
4.  Bertanggung Jawab
 Manakala seorang aparat pengaduan tidak memiliki rasa tanggung 
jawab, maka akan mudah terseret dan cenderung pada sikap 
maupun tindakan yang mengacu pada “akunya sendiri”. Sikap 
bertanggung jawab ini bukan saja kepada kelompok instansinya, 
namun  juga kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 
Setiap aparat dituntut adanya sikap dan sifat bertanggung jawab, 
yang ditunjukkan dengan cara bekerja keras, tanggap, tangguh, dan 
tangkas dalam mengemban tugasnya. 
 Konsekuensi dan konsistensi aparat pengadilan akan selalu 
berbenah diri terhadap pemaksaan tugas dan pelayanan hukum 
yang diberikan kepada pencari keadilan yang akan membawa 
dan menampilkan citra dan wibawa pengadilan itu sendiri. Sikap 
bertanggung jawab ini antara lain bersumber dari rasa memiliki 
(sense of belonging) orientasi karier dan kesadaran akan jabatan yang 
diemban sebagai suatu rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha 
Esa yang patut disyukuri.
5.  Adil
 Adil sebagai salah satu sifat yang harus dimiliki oleh aparat 
pengadilan dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa 
pun tanpa terkecuali. Ditinjau dari tataran agama Islam, secara 
etimologis adil (al-‘Adlu) berarti tidak berat sebelah, tidak memihak 
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Istilah lain dari al-
‘Adlu yaitu al-‘Qistu dan al-Mislu (sama bagian atau semisal). 
Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan 
yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga 
sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu 
sama lain. Adil juga berpihak atau berpegang kepada kebenaran. 
Keadilan dititikberatkan pada pengertian  meletakkan sesuatu pada 
tempatnya. Oleh sebab itu, setiap aparat pengadilan dituntut 
untuk bersifat dan bersikap adil dalam melayani para pencari 
keadilan, sebab pada asasnya setiap orang sama haknya di depan 
pengadilan.
6.  Lapang Dada dan Terbuka
 Aparat pengadilan sebagai insan yang bertugas di lingkungan 
pengadilan, sudah barang tentu dituntut memiliki sikap lapang 
dada, pemaaf, dan terbuka terhadap saran-saran, bahkan kritik yang 
ditujukan kepadanya dan tidak bersikap sempit, tertutup dalam 
segala hal, selama saran dan kritik ini  bersifat membangun 
(positif). Hal ini berarti, jika  diajukan suatu permasalahan, maka 
harus mencoba untuk mencari solusi, walaupun kesimpulan dan 
keputusan terletak dalam kendali pimpinan.
   
7.  Darma Bakti dan Kemitraan
 Aparat pengadilan hendaknya membantu dan sadar, bahwa 
sesungguhnya mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan aparat 
yang lain. Mereka bekerja dan bertugas untuk menyumbangkan 
darma baktinya dalam rangka menuju kepentingan bersama 
untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Pembagian tugas 
yang diberikan oleh pimpinan hendaknya dilaksanakan sebagai 
pemenuhan rasa tanggung jawab.
 Kemitraan antara pimpinan dan bawahan harus ada harmonisasi 
di antara keduanya sehingga tercipta iklim yang kondusif, 
kekompakan, kebersamaan, dan kesetiaan, serta solidaritas demi 
keberhasilan suatu pekerjaan yang telah ditetapkan. Adanya kerja 
sama (team work) yang baik antara para aparat dalam rangka 
menegakkan citra dan wibawa pengadilan di dalam pelaksanaan 
tugas yang diembannya.
8.  Patuh dan Taat kepada Pimpinan
 Setiap instansi pemerintah, dalam pelaksanaan tugas sudah pasti 
didukung oleh segala peraturan yang dibutuhkan instansi yang 
bersangkutan. Namun perlu diingat dalam melaksanakan suatu 
peraturan tertentu, seorang pimpinan masih memerlukan  suatu 
kebijakan, sebab pada dasarnya suatu peraturan belum tentu sesuai 
benar dengan suasana lingkungan di mana peraturan itu diterapkan 
atau suatu peraturan belum tentu dalam mencakup segala peristiwa 
dan keadaan yang sebenarnya. Maka segala peraturan perundang-
undangan maupun kebijakan pimpinan dalam rangka mencapai 
tujuan yang diidamkan dibutuhkan kepatuhan dan ketaatan para 
aparat terhadap pimpinan. jika  hal ini  terabaikan, maka 
titik keberhasilan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas akan 
sulit terwujud.
 Realita yang berkembang di tengah warga  dewasa ini, dilihat 
dari kemampuan warga  memberikan reaksi atau respons 
terhadap dunia peradilan, adanya keluhan-keluhan yang ditujukan 
kepada lembaga peradilan akan ketidakpastian, secara spesifik 
ditujukan kepada sosok hakim sebagai pihak yang sangat terkait 
dengan produk hukum yang dihasilkan.
H. Hakim sebagai Representasi Keadilan
Penegakan hukum (law enforcement) yang dapat dilakukan dengan 
baik dan efektif yaitu salah satu tolok ukur keberhasilan suatu 
negara dalam mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang 
hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap 
warganya. Hal ini berarti pula adanya jaminan kepastian hukum bagi 
rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-haknya dalam 
menjalani kehidupan. Sebaliknya penegakan hukum yang tidak berjalan 
sebagaimana mestinya yaitu indikator bahwa suatu negara yang 
bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan 
hukum kepada warganya.
Semakin modern suatu warga , maka akan bertambah 
kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai 
akibatnya, yang memegang peranan penting dalam proses penegakan 
hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, 
namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi 
proses penegakan hukum. Dalam tataran yang lebih mendasar, secara 
umum, reformasi penegakan hukum yang diawali dari reformasi sistem 
peradilan harus dilakukan secara bertahap (gradual). Jimly Asshiddiqie 
menegaskan bahwa reformasi sistem peradilan harus menyangkut 
penataan kelembagaan, mekanisme aturan yang bersifat instrumental 
dan personal, serta budaya kerja aparat peradilan berikut perilaku 
warga  secara keseluruhan.
1. Hakim dalam Perspektif Etik
Aturan etik yaitu aturan mengenai moral atau yang berkaitan dengan 
sikap moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk,  layak dan tidak 
layak, pantas dan tidak pantas. Moral yaitu instrumen internal yang 
menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi. Moral mencerminkan karakter.
Aturan etik hakim, lazim disebut kode etik hakim (code of ethics atau code of 
conduct), kehadiran kode etik ini berkaitan dengan pekerjaan hakim yang 
digolongkan sebagai kelompok pekerjaan profesional. Sikap profesional 
harus terus terpelihara dengan selalu meningkatkan keahlian, di mana 
keahlian ini meliputi keahlian substantif dan prosedural. Kesalahan atau 
kelalaian menerapkan keahlian substantif maupun prosedural yaitu 
kesalahan profesional (unprofessional conduct).
Merujuk kepada pemahaman tugas pokok, kedudukan, dan fungsi 
hakim sebagaimana diatur dan dirumuskan baik dalam peraturan 
perundang-undangan maupun melalui kode etik profesi hakim, sudah 
selayaknya jika  dalam diri hakim itu digantungkan harapan yang 
sungguh besar dan sungguh dalam oleh para justiciable, yakni warga  
pencari keadilan, susaha  segala tugas dan fungsi itu dapat diwujudkan, 
seandainya hal ini  terealisasi, dapat diambil pelajaran bahwa 
peranan hakim sungguh besar dalam mengarahkan dan membina 
kesadaran hukum warga . Keadilan hukum bagi pencari keadilan 
harus menjadi tujuan dan napas utama sang hakim dalam menjatuhkan 
putusannya. Hakim yang baik akan selalu menempatkan putusan hukum 
yang dijatuhkannya sebagai penjaga martabat kearifannya. Putusan itu 
pula yang akan menunjukkan jati diri, keberadaan, dan kemampuannya. 
Oleh sebab itu seorang hakim akan selalu menempatkan setiap putusan 
hukumnya pada tempat di mana reputasi selaku hakim dipertaruhkan. 
Seorang hakim tidak akan pernah dan tidak mungkin mampu untuk 
bermain-main dengan putusan hukumnya sendiri. Sebagai jawaban 
bagi pencari keadilan, maka pada diri seorang hakim diembankan 
susaha  hakim itu selalu dapat menjamin bahwa perundang-undangan 
diterapkan secara benar dan adil, dan jika  penerapan peraturan 
perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim 
wajib berpihak kepada keadilan dan mengenyampingkan peraturan 
perundang-undangan.
Meminjam pendapat Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa 
“undang-undang yaitu produk politik yang memandang hukum 
sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik 
yang saling berinteraksi dan saling bersaingan,” sehingga sangat 
dimungkinkan ada beberapa nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan 
warga  yang terabaikan, sehingga tidak masuk dalam formulasi 
rumusan undang-undang. Atas dasar ini, jika  terjadi sengketa antara 
undang-undang yang berhadapan dengan nilai hukum yang hidup dan 
rasa keadilan warga , maka harus digali lebih dahulu rasa keadilan 
warga .
Integritas seorang hakim harus selalu terjaga dan terpelihara 
dengan jalan melaksanakan suatu tugas atau tanggung jawab yang 
terbaik untuk memberi kepuasan bagi pihak yang dilayani. Bagi hakim 
integritas berwujud dalam bentuk-bentuk antara lain ketidakberpihakan 
(impartiality), memberi perhatian dan perlakuan yang sama bagi pihak 
yang berperkara (fireness), menjaga kehormatan, baik saat  menjalankan 
tugasnya menjadi seorang hakim atau dalam kehidupan berwarga .
2. Kemandirian Hakim
Hakim secara fungsional yaitu tenaga inti penegakan hukum 
dalam penyelenggaraan proses peradilan. Parameter mandiri atau 
tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan 
dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen 
kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari 
adanya campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. jika  
para hakim terpengaruh oleh campur tangan pihak-pihak lain dalam 
menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, berarti hakim ini  
kurang atau tidak mandiri. Sebaliknya kalau hakim tidak terpengaruh 
dan tetap bersikap objektif, meskipun banyak tekanan psikologis dan 
intervensi dari pihak lain, maka hakim ini  yaitu hakim yang 
memegang teguh pendirian dalam tugasnya.
Praktik peradilan yang berjalan selama ini, terasa sulit dihindarkan 
adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain, seperti penguasa 
dan ekstra yudisial lainnya. Campur tangan juga dapat dilakukan 
oleh pengaduan atasan, para pencari keadilan atau kuasanya serta 
pendukungnya. Adanya campur tangan ini, sangat rawan menimbulkan 
adanya persekongkolan (kolusi), penyuapan, dan terjadinya mafia dalam 
proses peradilan. Sehingga dalam menyikapi hal ini, sangat bergantung 
pada hati nurani hakim sendiri. Apakah para hakim masih menjunjung 
tinggi idealismenya dengan tetap mempertahankan kebebasan dan 
kemandiriannya, atau terpaksa jatuh oleh berbagai campur tangan 
pihak-pihak yang menginginkan keadilan tidak terwujud.
Sikap hakim dalam proses peradilan akan sangat menentukan 
objektivitas dalam memutus suatu perkara. Sahlan Said, seorang hakim 
senior dari Pengadilan Negeri Magelang dalam tulisannya menyatakan 
bahwa tulisannya menyatakan  bahwa satu-satunya jabatan atau profesi 
yang dapat mewakili Tuhan kiranya yaitu hanya hakim, sebab otoritas 
yang diberikan kepadanya bukan hanya sekadar dapat memenjara 
namun  juga dapat mencabut nyawa seseorang. Beberapa ungkapan 
yang memberikan kedudukan istimewa kepada hakim misalnya yaitu 
   
benteng terakhir bagi pencari keadilan. Selain itu juga ada ungkapan 
yang cenderung ekstrem bahwa  semua bagian warga  boleh rusak 
asalkan hakimnya tidak maka semuanya akan menjadi beres.
Sebagai tindak lanjut hal di atas, kemandirian hakim ditunjang 
keahlian yang memadai sangat diharapkan serta semakin penting 
mengingat dalam membuat putusan, hakim tidak semata-mata 
mendasarkan diri pada bunyi pasal peraturan perundang-undangan. 
Proses membuat putusan yaitu proses pengolahan kemampuan 
intelektual, penguasaan teknis substantif serta prosedur hukum, serta 
pengetahuan hakim atas nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang 
di warga . Lebih jauh lagi, dalam kondisi-kondisi tertentu, hakim 
dituntut untuk melakukan penemuan hukum, yakni dalam hal adanya 
suatu permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya pada peraturan 
perundang-undangan yang ada.
Hakim yang memiliki  integritas moral yang tinggi dalam 
mempertahankan kemandiriannya, akan dapat berfungsi sebagai 
penegak hukum yang baik dalam menjalankan tugas dan wewenang 
yudisialnya selalu berpedoman pada prinsip-prinsip hukum yang adil 
dan dapat dipertanggungjawabkan. Para pihak yang berperkara selaku 
pencari keadilan juga cenderung akan menerima putusan yang telah 
dijatuhkan, bahkan dengan sukarela akan melaksanakan putusan 
ini , sebab dianggap sudah sesuai dengan perasaan keadilan 
warga . Sebaliknya bagi hakim yang tidak atau kurang mandiri 
dalam proses pelaksanaan peradilan, berarti hakim ini  bukan tipe 
penegak hukum yang baik dan profesional. 
sebab  hakim ini  ternyata tidak mampu menegakkan hukum 
secara objektif dan mandiri, namun  sudah melecehkan harkat dan 
martabat profesinya dan mengotori dunia penegakan hukum. Hakim 
ini  tidak memiliki  integritas moral yang baik, bersifat subjektif, 
apriori, bahkan cenderung memihak kepada salah satu pihak yang 
berperkara, akibat dari tidak mandiri dan sikap profesional hakim, 
maka akan berdampak pada pencari keadilan sebagai pihak yang jadi 
korban dan dirugikan. 
Sepanjang proses peradilan berjalan objektif, maka hasil putusan 
hakim yang dijatuhkan dari kacamata hukum juga akan bersifat objektif, 
terlepas puas tidaknya para pencari keadilan, sebab hal ini , 
yaitu sesuatu yang dirasakan relatif bagi salah satu pihak. Suatu 
putusan hakim dapat mengandung tingkat kepastian hukum yang tinggi, 
akan namun  belum tentu dirasakan adil dan bermanfaat bagi para pencari 
keadilan. Sebaliknya putusan yang adil, belum tentu menganut kepastian 
hukum, namun  apa pun keadaannya, integritas moral, objektivitas, dan 
sikap profesional serta daya intelektual bagi hakim yaitu sesuatu 
yang ideal dan harus ada  pada diri hakim.
I. Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Hakim
Hakim yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman 
(pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 12 ayat (1) 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yakni pejabat pengadilan 
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (pasal 
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Istilah pejabat membawa 
konsekuensi yang berat oleh sebab kewenangan dan tanggung jawabnya 
terumuskan dalam rangkaian tugas, kewenangan, kewajiban, sifat, dan 
sikap tertentu yaitu penegak hukum dan keadilan.
Hakim juga dapat diartikan sebagai Hakim pejabat yang memimpin 
persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. 
Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal 
ini dapat memicu hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju 
berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam Bab I tentang 
ketentuan umum pasal 1 ayat 8, mendefinisikan hakim sebagai pejabat 
peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk 
mengadili. 
Perkataan hukum yang berasal dari kata “hakama” yang berarti 
meninjau dan menetapkan suatu hal yang adil dengan tidak berat 
sebelah, maka adil dan keadilan yaitu tujuan dan inti dibandingkan  
hukum. Adil mengandung pengertian meletakkan sesuatu pada 
tempatnya, untuk menegakkan hukum dan keadilan itulah dibebankan 
pada tindak hakim sebagai konsekuensi dari negara hukum. Sebagai 
mana yang diamanatkan dalam konstitusi negara ini yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945 BAB I tentang 
Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 ayat (3) yang menegaskan bahwa 
negara kita  yaitu negara hukum dan sebagaimana yang kita tahu 
   
bahwa hukum itu memiliki  tiga tujuan yaitu kepastian, keadilan, 
dan kemanfaatan.
Supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, 
pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independen, peradilan 
tata usaha negara, peradilan tata negara, bersifat demokratis, sarana 
untuk mewujudkan tujuan negara, transparansi dan kontrol sosial, 
serta perlindungan hak asasi manusia, peradilan bebas dan tidak 
memihak yaitu ciri penting dari negara hukum. Peradilan bebas dan 
tidak memihak memiliki makna bahwa kekuasaan kehakiman bersifat 
merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan penguasa yang 
karenanya harus ada jaminan tentang kedudukan hakim. 
Mengingat betapa pentingnya kedudukan hakim ini  oleh 
karenanya pada pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik 
negara kita  Tahun 1945 menegaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi 
dan diberhentikannya sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-
Undang. Dalam mengambil keputusan, para hakim hanya terikat pada 
fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan 
landasan yuridis keputusannya. namun  penentuan fakta-fakta mana 
yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum 
yang mana akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan masalah  yang 
dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan itu sendiri. 
maka , jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki 
kekuasaan yang besar terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan 
dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau 
para hakim ini .
Namun dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam 
menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang 
besar dan harus menyadari tanggung jawab itu, sebab keputusan 
hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para 
yustiabel dan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan 
ini . Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat memicu 
penderitaan lahir batin yang dapat membekas bagi para yustiabel yang 
bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.
Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan 
tertuang dalam BAB IV Pasal 27-29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 
sedangkan mengenai tanggung jawab hakim, tersirat dalam pasal 4 ayat 
(1) dalam pasal 14 ayat 1 Undang-Undang ini dikemukakan kewajiban 
hakim yaitu tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu 
perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang 
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 
Di dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) dikemukakan bahwa hakim 
sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. jika  tidak 
menemukan hukum tertulis hakim wajib menggali hukum tidak tertulis 
untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana 
dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri 
sendiri, warga , bangsa, dan negara. Dalam hal ini Bisman Siregar, 
mengemukakan bahwa Undang-Undang secara jelas menegaskan 
tanggung jawab hakim itu bukan kepada negara, bukan kepada bangsa, 
namun  pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, baru kepada diri sendiri 
diungkapkan lagi bahwa “kalau inilah landasan tanggung jawab hakim, 
akankah ia ragu-ragu menguji kalau perlu membatalkan peraturan yang 
bertentangan dengan Pancasila dan Tuhan Yang Maha Esa”. 
Menyangkut kewajiban hakim, di dalam Undang-Undang Nomor 14 
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dijelaskan 
sebagai berikut:
1.  Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai 
hukum yang hidup dalam warga . 
2.  Untuk menetapkan berat ringannya hukuman, hakim hendaklah 
memperhatikan sifat-sifat yang baik atau yang buruk yang ada pada 
si tertuduh. 
3.  Hakim mesti mengundurkan diri jika  perkara yang diperiksanya 
menyangkut perkara dari keluarganya sedarah sampai derajat ketiga 
atau semenda. 
4.  Sebelum memangku jabatan sebagai hakim diwajibkan untuk 
bersumpah menurut agama dan kepercayaannya.
Perancis Bacon dalam Essays Or Counsels Civil and Moral: 
Of Judicalture, sebagaimana diterjemahkan oleh Arief Sidharta, 
mengatakan sebagai berikut: para hakim seyogianya lebih terpelajar 
(berkecendekiawanan) dibandingkan  pandai bersilat lidah, lebih bermanfaat 
dibandingkan  sekadar bersikap wajar, dan lebih menghayati serta mengetahui 
   
berbagai faktor relevan dari masalah yang dihadapinya dibandingkan  sekadar 
keyakinan. Di atas segalanya itu, mereka wajib memiliki integritas dan 
bermartabat.
Dapat ditambahkan, bahwa masalah tanggung jawab hakim diatur 
dalam berbagai peraturan per-Undang-Undangan, di antaranya:
1.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara 
Pidana;
2.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
3.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha 
Negara; dan
5.  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Jabatan Hakim yaitu suatu profesi, sebab memenuhi kriteria-
kriteria yaitu pekerjaan tetap, bidang tertentu (memeriksa, mengadili, 
dan menyelesaikan perkara), berdasarkan keahlian khusus (hukum), 
dilakukan secara bertanggung jawab (kepada tuhan, negara, pencari 
keadilan, dan kepada hati nurani) dan memperoleh penghasilan.
Di dalam sejarah perkembangannya kode etik hakim, etika profesi 
hakim dirumuskan pertama kali dengan keputusan Nomor 2 Tahun 
1966 pada rapat kerja pengadilan tinggi dan pengadilan negeri bersama 
Mahkamah Agung RI dengan memakai  istilah Kode Kehormatan 
Hakim yang berarti segala sifat batiniah dan sikap-sikap lahiriah yang 
wajib dimiliki dan diamalkan oleh para hakim untuk menjamin tegaknya 
kewibawaan dan kehormatan korp hakim yang untuk selanjutnya 
ditetapkan kembali dalam surat keputusan bersama ketua Mahkamah 
Agung Republik negara kita  dan Menteri Kehakiman, Maret 1988. Dalam 
perkembangan selanjutnya, kode etik hakim yang dijadikan acuan saat 
ini yaitu berdasarkan hasil musyawarah nasional IKAHI ke-13, tanggal 
30 Maret 2001 di Bandung.
Adapun sifat-sifat yang harus dimiliki hakim dilambangkan menjadi 
panca darma hakim yaitu:
1.  Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada 
Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut 
dasar kemanusiaan yang beradab.
2.  Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat 
adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, 
hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-
sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan 
keyakinan hati nurani, dan sanggup memper tanggungjawabkan 
kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, 
tertib, dan lugas, berpandangan luas, dan mencari saling pengertian.
3.  Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. 
Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, 
berilmu, sabar, tegas, disiplin, dan penuh pengabdian pada 
profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh 
rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan 
berwibawa. 
4.  Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi 
luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu 
tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin 
maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu 
berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, 
bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi warga  
sekitarnya.
5.  Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), 
berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapa pun, 
tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak 
boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak 
berjiwa aji mumpung, dan senantiasa waspada. 
J. Implementasi Kode Etik Hakim
Sebagai aturan yang harus dijadikan pedoman bagi seorang hakim, maka 
kode etik hakim harus diimplementasikan dalam praktik kehidupan 
sehari-hari, baik dalam konteks menjalankan tugas (dalam persidangan), 
hubungan sesama rekan, hubungan terhadap bawahan atau pegawai, 
hubungan kewarga an, dan hubungan keluarga atau rumah tangga.
1.  Implementasi dalam persidangan
a.  Dalam persidangan seorang hakim harus bersikap dan 
bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum 
   
acara yang berlaku, dengan memperhatikan asas-asas peradilan 
yang baik, yaitu:
1)  Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat 
putusan di mana setiap orang berhak untuk mengajukan 
perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali 
ditentukan lain oleh Undang-Undang serta putusan harus 
dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu 
lama.
2)  Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan 
dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan 
kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti, 
serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan 
(affair hearing).
3)  Putusan dijalankan secara objektif tanpa dicemari oleh 
kepentingan mempengaruhi atau pihak lain (nobias) dengan 
menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resua). Putusan 
harus memuat alasan-alasan serta bersifat konsisten 
dengan penalaran hukum yang sistematis (resones and 
argumentations of decision), di mana argumentasi ini  
harus diawasi (controleer-baarheid) dan diikuti serta dapat 
dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin 
sifat keterbukaan (transparancy) dan kepastian hukum 
(legal certainity)dalam proses peradilan.
4)   Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
b.  Tidak dibenarkan, menunjukkan sikap memihak atau ber-
simpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang ber perkara, 
baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
c.  Harus bersifat sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin 
sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
d.  Harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan 
antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-
pihak, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
e.  Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
2. Terhadap sesama rekan. Hakim yang dalam tugas pokoknya yaitu 
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara maka ia akan 
melaksanakan tugas ini  dalam bentuk majelis meskipun 
dimungkinkan untuk melaksanakan persidangan dengan hakim 
tunggal. Demikian pula sebagai seorang hakim ia tidak akan bisa 
terlepas untuk saling berkomunikasi dengan rekan sejawat hakim. 
Oleh sebab itu, terhadap sesama hakim memelihara dan memupuk 
hubungan kerja sama dengan baik antara sesama rekan; ia harus 
memiliki rasa serta kawan, tenggang rasa dan saling menghargai 
antara sesama rekan; demikian juga harus memiliki kesadaran, 
kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim secara wajar; di 
samping menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam 
dan/atau di luar kedinasan.
3.  Terhadap bawahan/pegawai. Hakim sebagai penegak hukum 
haruslah mampu menjadi panutan; maka ia harus memiliki  sifat 
kepemimpinan, dan dapat membimbing bawahan atau pegawai 
untuk mempertinggi pengetahuan. Dia harus memiliki  sikap 
sebagai seorang bapak/ibu yang baik, serta memelihara sikap 
kekeluargaan terhadap bawahan/pegawai, dan seorang hakim harus 
mampu memberi contoh kedisiplinan.
4.  Terhadap warga . Dalam kehidupan seorang hakim yaitu 
bagian dari warga  sekitar oleh sebab itu seorang hakim 
harus menghormati dan menghargai, tidak sombong dan tidak 
mau menang sendiri. Sebagai bagian dari warga , maka hidup 
sederhana yang dirasakan dari sebagian terbesar dari warga  
juga harus tercermin dari diri hakim.
5.  Terhadap keluarga/rumah tangga.
a.  Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela menurut 
norma-norma hukum kesusilaan.
b.  Menjaga ketenteraman dan kebutuhan keluarga.
c.  Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan 
pandangan warga .
Suatu kelompok profesi selain diatur oleh aturan etik/kode 
etiknya masing-masing, juga diatur oleh aturan hukum. Menurut Pasal 
1 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang 
Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim yaitu pejabat peradilan 
Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. 
Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk 
menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas 
   
bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan 
menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan 
biaya ringan. Hakim di negara kita  berada di Mahkamah Agung dan 
empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang terdiri dari 
badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, 
dan peradilan militer dengan kekuasaan mengadili bersifat absolut 
yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan ini  dan diatur 
dalam undang-undang sebagai payung hukum masing-masing badan 
peradilan ini .
Sejatinya, hakim di negara kita  bertindak sebagai penafsir utama 
norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa 
konkret yang terjadi. Profesi Hakim yaitu profesi dengan pekerjaan 
kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam dehumanizing yang 
bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi 
hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung 
jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu 
manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan 
kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri. 
Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan 
untuk memelihara, menegakkan, dan mempertahankan disiplin profesi. 
Ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan 
atas dasar kode etik yaitu sebagai berikut: 
1.  Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian 
profesional.
2.  Menjaga dan memelihara integritas profesi.
3.  Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur 
yaitu:
a)  Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
b)  Konsisten.
c)  Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola 
perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan 
putusan.
d)   Loyalitas.
Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan 
Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim memiliki  5 (lima) 
sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud 
dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, 
terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap 
sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan 
mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam 
warga .
Secara struktural dalam kegiatannya seorang hakim tentunya 
memiliki hubungan internal dan eksternal yang pada dasarnya banyak 
melakukan komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
Untuk lancarnya hubungan internal dan eksternal perlu ditempatkan 
orang-orang yang sikapnya mampu menjaga diri dan instansi di mana 
ia ditempatkan. Begitulah seyogianya seorang hakim yang dipandang 
memiliki kedudukan cukup terhormat.
Spesifikasi hubungan secara internal hakim di antaranya ialah 
membina dan meningkatkan hubungan yang harmonis dengan sesama 
hakim dan karyawan, memperhatikan dan meningkatkan hubungan 
kerja sama yang baik demi terciptanya keselarasan dan kedamaian 
sehingga tidak berakibat kepada perkara-perkara yang diadilinya 
yang lalu  sangat dikhawatirkan pengaruh psikologi hakim 
dalam memutus perkara, memelihara, dan meningkatkan hubungan 
dengan sesama penegak hukum (jaksa, polisi, dan advokat), saling 
mengingatkan akan tanggung jawab yang mereka pikul, demi mencegah 
adanya pengaruh dari luar yang dapat menghalangi atau memperkeruh 
terwujudnya keadilan dalam warga .
K. Etika Profesi Penasihat Hukum (Advokat) di negara kita 
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang 
Advokat, Advokat seolah memisahkan diri dari campur tangan lembaga 
peradilan lainnya. Yang mana sebelumnya dalam hal pengangkatan 
seorang advokat melalui Menteri Kehakiman setelah lulus ujian yang 
dilaksanakan oleh Menteri Kehakiman. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) 
UU Advokat dinyatakan bahwa “yang dapat diangkat sebagai Advokat yaitu 
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti 
pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”. 
Dan dalam ayat ke (2) disebutkan bahwa “Pengangkatan Advokat dilakukan 
oleh Organisasi Advokat”. Sedangkan syarat-syarat untuk dapat diangkat 
  
menjadi seorang Advokat (berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Advokat) 
yaitu sebagai berikut:
a. WNI;
b. bertempat tinggal di negara kita ;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; 
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); 
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; 
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada 
kantor Advokat; 
h. tidak pernah dipidana sebab melakukan tindak pidana kejahatan 
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan memiliki  
integritas yang tinggi.
Untuk menjaga profesionalisme di bidang profesi hukum, dalam 
Pasal 26 UU Advokat disebutkan bahwa:
(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun 
kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat. 
(2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan 
ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Dalam Pasal 1 huruf (a) Kode Etik Advokat negara kita  dinyatakan bahwa 
“advokat yaitu orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik di dalam maupun 
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang 
berlaku, baik sebagai advokat, Pengacara, Penasihat Hukum, Pengacara praktik, 
ataupun sebagai konsultan hukum”. Advokat memiliki posisi yang cenderung 
sangat bebas dalam bidang profesi hukum. sebab  tidak hanya bekerja di 
dalam ruang sidang pengadilan saja, namun juga dapat secara bebas di 
luar pengadilan. Advokat dianggap sebagai suatu profesi yang terhormat 
(officium nobile), yang mana dalam menjalankan profesinya mendapatkan 
perlindungan dari hukum, undang-undang, dan kode etik.
Dalam beberapa Negara advokat memiliki peranan yang sangat besar 
bagi warga . Advokat dapat terlibat langsung dalam memberikan 
bantuan-bantuan hukum, tidak hanya bagi mereka yang mampu namun 
juga bagi mereka yang kurang mampu. Seorang advokat yang memegang 
teguh kode etik yang dimilikinya tidak akan menolak atau membedakan 
perlakuan terhadap kliennya. Maka dalam hal ini sangat kental peran 
dari keberadaan kode etik bagi seorang advokat. Peran kode etik dalam 
advokat yang terlihat seolah membatasi ruang gerak dari advokat 
sebetulnya justru diciptakan untuk memberikan kebaikan tidak hanya 
untuk advokat itu sendiri namun juga bagi warga .
Dalam Kode Etik Advokat yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002 
memiliki XII Bab yang terdiri dari:
I.  Ketentuan Umum
II.  Kepribadian Advokat
III.  Hubungan dengan Klien
IV.  Hubungan dengan Teman Sejawat
V.  Tentang Sejawat Asing
VI.  Cara Bertindak Menangani Perkara
VII.  Ketentuan-ketentuan Lain tentang Kode Etik
VIII. Pelaksanaan Kode Etik
IX.  Dewan Kehormatan
X.  Kode Etik dan Dewan Kehormatan
XI.  Aturan Peralihan
XII.  Penutup
Perubahan I
L. Etika Profesi Jaksa di negara kita 
Etika yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi 
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah 
lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup 
manusia perseorangan atau hidup berwarga . Misalnya Etika di 
lingkungan orang Jawa dan sebagainya. Etika ini lalu  dirupakan 
dalam bentuk aturan (code) tertulis.
Secara sistematik etika sengaja dibuat berdasarkan prinsip- prinsip 
moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan 
sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara 
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode 
   
etik, refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”. sebab  segala 
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok 
sosial (profesi) itu sendiri begitu pula dengan profesi jaksa yang 
yaitu salah satu elemen penegak hukum.
Etika Profesi pada Jaksa
Jaksa yaitu pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan 
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta 
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jabatan fungsional jaksa 
yaitu jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan 
yang sebab fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas 
kejaksaan. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung yang 
yaitu pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang 
dipimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.
Selanjutnya, Jaksa Agung yaitu pejabat negara yang 
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persyaratan tertentu 
berdasarkan undang-undang. Oleh sebab Jaksa Agung diangkat oleh 
Presiden, maka dalam menjalankan tugasnya Jaksa Agung menjalankan 
tugas negara. sebab , Presiden mengangkat Jaksa Agung kedudukannya 
sebagai kepala negara (kekuasaan federatif) dan bukan sebagai kepala 
pemerintahan (kekuasaan eksekutif). Demikian juga jaksa yang diangkat 
oleh Jaksa Agung dalam menjalankan tugasnya yaitu menjalankan 
tugas negara dan bukan tugas pemerintahan.
Jabatan fungsional jaksa yaitu bersifat keahlian teknis yang 
melakukan penuntutan. Bahwa dalam rangka mewujudkan jaksa yang 
memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan 
tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, 
maka diperlukan adanya kode etik profesi jaksa. Kode etik profesi jaksa 
diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik negara kita  Nomor: PER-
067/A/JA/07/2007, tentang Kode Etik Perilaku Jaksa.
Pada prinsipnya dalam melaksanakan tugas profesi, jaksa wajib:
Pasal 3
1.  Menaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan, dan 
peraturan kedinasan yang berlaku. Jaksa harus mengikuti 
peraturan-peraturan yang berlaku pada saat ini.
Bab 15 ---  Etika Profesi Penegak Hukum di negara kita  329
2.  Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan 
prosedur yang ditetapkan.
3.  Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk 
mencapai keadilan dan kebenaran.
4.  Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan atau ancaman opini 
publik secara langsung atau tidak langsung. Seorang jaksa harus 
berpendirian terhadap dirinya sendiri tanpa gangguan dari orang 
lain dan tidak boleh takut dengan ancaman seseorang.
5.  Bertindak secara objektif dan tidak memihak. Jaksa tidak boleh 
berpihak kepada salah satu tersangka sebab tersangka masih ada 
hubungan dengan jaksa.
6.  Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh 
tersangka atau terdakwa maupun korban.
7.  Membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat 
penegak hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana 
terpadu.
8.  Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang memiliki  
kepentingan mempengaruhi atau keluarga, memiliki  hubungan 
pekerjaan, partai, atau finansial atau memiliki  nilai ekonomis 
secara langsung atau tidak langsung.
9.  Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya 
dirahasiakan.
10.  Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak 
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak 
kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-
undangan dan instrumen hak asasi manusia yang diterima secara 
universal.
12. Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.
13. Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan 
prosedur yang ditetapkan.
14. Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan 
penguasa dan aspirasi warga  tentang keadilan dan 
kebenaran.
   
Di samping kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan 
ketentuan di atas, dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
Pasal 4
1.  memakai  jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan 
mempengaruhi dan/atau pihak lain. Dalam hal ini  jaksa tidak boleh 
menyalahgunakan pekerjaan ini  dikarenakan jaksa harus 
bersikap profesional.
2.  Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara. Dalam 
menentukan dasar hukum yang akan dikenakan kepada tersangka 
atau terdakwa dalam proses penanganan perkara harus sesuai 
dengan fakta yuridis yang ada dan tidak boleh melakukan manipulasi 
atau memutarbalikkan fakta yang berakibat melemahkan atau 
meniadakan ketentuan pidana yang seharusnya didakwakan dan 
dibuktikan.
3.  memakai  kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan 
penekanan secara fisik dan/atau psikis. Larangan untuk melakukan 
penekanan dengan cara mengancam/menakut-nakuti guna 
memperoleh keuntungan mempengaruhi atau pihak lainnya.
4.  Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta 
melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/
atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya. usaha  untuk 
meminta dan/atau menerima walaupun tidak ada tindak lanjutnya 
berupa pemberian atau hadiah yaitu pelanggaran menurut 
ayat ini. Larangan untuk meminta dan/atau menerima hadiah dan/
atau keuntungan termasuk bagi keluarga, pada atau dari pihak 
tertentu dimaksudkan untuk menghindari adanya maksud-maksud 
tertentu sehingga dapat mempengaruhi  jaksa dalam melaksanakan 
tugas profesinya. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjaga 
integritas jaksa.
5.  Menangani perkara yang memiliki  kepentingan mempengaruhi atau 
keluarga, memiliki  hubungan pekerjaan, partai, atau finansial, 
atau memiliki  nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung. 
Seorang jaksa tidak boleh menangani suatu perkara di mana jaksa 
ini  memiliki hubungan keluarga, hubungan suami istri meskipun 
telah bercerai, hubungan pertemanan, dan hubungan pekerjaan di luar 
menjalankan jabatan sebagai jaksa dengan pihak yang sedang diproses, 
serta kepentingan finansial yang dapat mempengaruhi  jalannya proses 
hukum yang sedang ditangani oleh jaksa ini .
6.  Bertindak diskriminatif dalam bentuk apa pun. Jaksa dengan 
alasan apa pun tidak dibenarkan melakukan pembedaan perlakuan 
terhadap seseorang berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, 
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, 
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, 
atau penghapusan pengakuan atau pelanggaran hak hukumnya.
7.  Membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan 
penegakan hukum. Dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa 
semata-mata dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, 
ada  hal yang tidak perlu diketahui oleh publik sebab dapat 
berpengaruh pada proses penegakan hukum, untuk itu jaksa 
tidak diperbolehkan membuat pernyataan yang dapat merugikan 
penegakan hukum kepada publik.
8.  memberi  keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-
hal teknis perkara yang ditangani.
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari 
warga , bilamana dalam diri para elite profesional ini  ada 
kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka 
ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada warga  yang 
memerlukannya. Apa yang semua dikenal sebagai sebuah profesi yang 
terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan 
pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikit pun tidak diwarnai dengan 
nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak 
adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada 
para elite profesional ini. Begitupula dengan jaksa yang harus memiliki 
kode etik sebagai pedoman dalam menjalankan profesinya dan terlebih 
lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari warga  serta menjaga 
martabat profesinya.
Peranan Advokat sebagai Penegak Hukum
Menurut Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang 
dimaksud Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, 
baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan syarat-syarat yang 
telah diatur dalam Pasal 3 UU Advokat.
   
Secara normatif, Undang-Undang Advokat juga menegaskan bahwa 
peran advokat yaitu penegak hukum yang memiliki kedudukan setara 
dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun, 
meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para 
penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Dalam konsep trias politika 
tentang pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan 
legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum yang terdiri dari 
hakim, jaksa, dan polisi memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif. 
Dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum yang menjalankan 
kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan negara dan jaksa serta 
polisi yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan 
pemerintah. Bagaimana dengan Advokat?
Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga 
kekuasaan ini  (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai 
penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri 
untuk mewakili kepentingan warga  (klien) dan tidak terpengaruh 
oleh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili 
kepentingan klien dan membela hak-hak hukum ini , cara berpikir 
advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki 
dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya 
ketentuan advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut 
keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi 
yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Profesi Advokat yang bebas memiliki  arti bahwa dalam 
menjalankan profesinya membela warga  dalam memperjuangkan 
keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan dari mana 
pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh 
UU yaitu UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status 
dan kedudukannya dalam warga , sehingga bisa berfungsi secara 
maksimal.
Peran Advokat ini  tidak akan pernah lepas dari masalah 
penegakan hukum di negara kita . Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh 
tingkat perkembangan warga , tempat hukum ini  berlaku atau 
diberlakukan. Dalam warga  sederhana, pola penegakan hukumnya 
dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula. 
Namun dalam warga  modern yang bersifat rasional dan memiliki 
tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian 
penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. 
Semakin modern suatu warga , maka akan semakin kompleks dan 
semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya 
yang memegang peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum 
bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun 
juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi proses 
penegakan hukum.
Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang memiliki  daya 
laku lebih kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai 
produk kekuasaan ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata 
hidup dalam warga . Berdasarkan fenomena ini , maka peran 
advokat dalam menegakkan hukum akan berwujud, yaitu:
• Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap masalah atau
perkara.
• Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan
kesusilaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan individual dan 
sosial.
• Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus
perkara, bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak 
netral dalam menerapkan hukum. sebab  itu salah satu asas penting 
dalam pembelaan, jika  berkeyakinan seorang klien bersalah, 
maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas 
“clemency” atau sekadar memohon keadilan.
Selain peran di atas, Advokat juga memiliki peran dalam pengawasan 
penegakan hukum, penjaga kekuasaan kehakiman, dan sebagai pekerja 
sosial. Peran ini  akan dijabarkan sebagai berikut:
1.  Peran Advokat sebagai pengawas penegakan hukum
 Fungsi pengawasan penegakan hukum terutama dijalankan oleh 
perhimpunan advokat. Pengawasan ini mencakup dua hal yaitu:
 Internal, secara internal peran himpunan advokat harus dapat 
menjadi sarana efektif mengawasi tingkah laku advokat dalam 
profesi penegakan hukum atau penerapan hukum. Harus ada 
cara-cara yang efektif untuk mengendalikan advokat yang tidak 
mengindahkan etika profesi dan aturan-aturan untuk menjalankan 
tugas advokat secara baik dan benar.
   
 Eksternal, secara eksternal baik himpunan advokat maupun advokat 
secara individual harus menjadi pengawas agar peradilan dapat 
berjalan secara benar dan tepat. Bukan justru sebaliknya, advokat 
menjadi bagian dari usaha  menghalangi suatu proses peradilan.
2.  Peran Advokat sebagai penjaga Kekuasaan Kehakiman
 Perlindungan atau jaminan kehakiman yang merdeka tidak boleh 
hanya diartikan sebagai bebas dari pengaruh atau tekanan dari 
kekuasaan Negara atau pemerintahan. Kekuasaan kehakiman 
yang merdeka harus juga diartikan sebagai lepas dari pengaruh 
atau tekanan publik, baik yang terorganisasi dalam infrastruktur 
maupun yang insidental. Tekanan itu dapat dalam bentuk 
melancarkan tekanan nyata, membentuk pendapat umum yang 
tidak benar, ancaman dan pengerusakan prasarana dan sarana 
peradilan. Tekanan ini  dapat pula bersifat individual dalam 
bentuk menyuap penegak hukum agar berpihak. Advokat sebagai 
penegak hukum, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan 
kehakiman semestinya ikut menjaga agar kekuasaan kehakiman 
yang merdeka dapat berjalan sebagaimana mestinya.
3.  Peran Advokat sebagai pekerja sosial
 Pekerja sosial dalam hal ini yaitu pekerja sosial di bidang 
hukum. Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang 
menghadapi persoalan hukum, namun  tidak berdaya. Mereka 
bukan saja tidak berdaya secara ekonomis namun  mungkin juga 
tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Berdasarkan hal ini , 
maka persoalan-persoalan hukum yang dihadapi rakyat kecil dan 
lemah yang memerlukan bantuan, termasuk dari para advokat. UU 
Advokat pasal 21 dalam hal ini memaparkan bahwa advokat wajib 
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari 
keadilan yang tidak mampu.
Dari berbagai peran advokat ini  memberikan pemahaman 
bahwa advokat yaitu seorang ahli hukum yang memberikan jasa 
atau bantuan hukum kepada kliennya. Bantuan hukum ini  bisa 
berupa nasihat hukum, pembelaan, atau mewakili (mendampingi) 
kliennya dalam beracara dan menyelesaikan perkara yang diajukan 
ke pengadilan.
Hak dan Kewajiban Advokat
Hak dan kewajiban serta larangan bagi Advokat telah diatur dalam 
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai 
berikut:
Pasal 14
 “Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam 
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang 
pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan 
peraturan perundang-undangan”.
Pasal 15
 “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela 
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang 
pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 16
 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana 
dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk 
kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Pasal 17 
 “Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh 
informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah 
maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan ini  
yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 18
1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan 
perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, 
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela 
perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau warga .
Pasal 19
1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau 
diperoleh dari Kliennya sebab hubungan profesinya, kecuali 
ditentukan lain oleh undang-undang. 
   
2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, 
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap 
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan 
atas komunikasi elektronik Advokat. 
Pasal 20
1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan 
kepentingan tugas dan martabat profesinya.
2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian 
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau 
mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas 
profesinya.
3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas 
profesi Advokat selama memangku jabatan ini .
Pasal 21
1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah 
diberikan kepada Kliennya.
2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan 
kedua belah pihak.
Batas Kewenangan Advokat
Problematika secara sosiologis keberadaan advokat di tengah-tengah 
warga  seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan 
yaitu keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh warga , 
khususnya warga  yang tersandung perkara hukum. namun  ada juga 
sebagian warga  menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem 
penegakan hukum tidak diperlukan, penelitian negatif ini tidak terlepas 
dari sepak terjang dari advokat sendiri yang kadang kala menjalankan 
tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum tidak sesuai dengan 
harapan dan yang paling disayangkan yaitu sebagian kecil advokat 
menjadi bagian dari mafia peradilan.
Kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum sebagai 
penegak hukum dan profesi terhormat. Dalam menjalankan fungsi dan 
tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh kewenangan sama halnya 
dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Kewenangan advokat dalam sistem penegakan hukum menjadi 
sangat penting guna menjaga keindependensian advokat dalam 
menjalankan profesinya dan juga menghindari adanya kesewenang-
wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum yang lain.
Aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi dalam 
menjalankan tugas dan fungsinya diberikan kewenangan namun  
Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan kewenangan. 
Melihat kenyataan ini  maka diperlukan pemberian kewenangan 
kepada advokat. Kewenangan ini  diperlukan selain untuk 
menciptakan kesejajaran di antara aparat penegak hukum juga untuk 
menghindari adanya multitafsir di antara aparat penegak hukum yang 
lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan. 
Sementara UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang 
kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai 
aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan 
norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat ini . Perlu 
diketahui bahwa profesi advokat yaitu yaitu organ negara yang 
menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi Advokat 
sama dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman sebagai organ 
negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya kalau Advokat yaitu 
lembaga privat yang berfungsi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan, 
dan Kehakiman yaitu lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan 
fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai 
aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat 
penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran ini  akan tercipta 
keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum 
yang lebih baik.
Kewenangan Advokat dari segi kekuasaan yudisial Advokat dalam 
sistem kekuasaan yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili 
warga . Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi ditempatkan untuk 
mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan, 
fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga 
keseimbangan di antara kepentingan negara dan warga . Ada dua 
fungsi Advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu 
pertama kepentingan mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan 
peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu 
klien, seorang Advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan 
   
dan fungsi Advokat. Selain kedua fungsi Advokat ini  yang 
tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat memberikan 
pencerahan di bidang hukum di warga . Pencerahan ini  bisa 
dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi 
berbagai peraturan perundang-undangan, konsultasi hukum kepada 
warga  baik melalui media cetak, elektronik, maupun secara 
langsung. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat 
sangat dibutuhkan oleh warga , khususnya warga  yang 
tersandung perkara hukum, untuk menunjang eksistensi Advokat dalam 
menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, 
maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. 
Kewenangan Advokat ini  diperlukan dalam rangka menghindari 
tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak 
hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan 
batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan 
profesinya. Dalam praktik sering kali keberadaan Advokat dalam 
menjalankan profesinya sering kali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat 
penegak hukum. Hal ini memicu kedudukan advokat “tidak 
sejajar” dengan aparat penegak hukum yang lain.
Dari kondisi itu tampak urgensi adanya kewenangan advokat 
di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegak 
hukum. Kewenangan advokat ini  diberikan untuk mendukung 
terlaksananya penegakan hukum secara baik.
M. Etika Profesi Polisi di negara kita 
Sebenarnya para sarjana belum ada kata sepakat tentang apa sebetulnya 
yang menjadi definisi profesi sebab tidak ada suatu standar (yang 
telah disepakati) pekerjaan/tugas yang bagaimanakah yang dikatakan 
dengan profesi ini . Sebagai pegangan dapat diutarakan pendapat 
yang dikemukakan oleh Dr. J. Spillane SJ. dalam “Nilai-nilai Etis dan 
Kekuasaan Utopis”, yaitu suatu profesi dapat didefinisikan secara 
singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi ini  tidak bersifat 
komersial, mekanis, pertanian, dan sebagainya. Profesi hukum yaitu 
profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan yang memungkinkan 
manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak perlu 
tergantung pada kekuatan fisik maupun finansial). Hal ini dikarenakan 
ketertiban berkeadilan yaitu kebutuhan dasar manusia; dan keadilan 
yaitu nilai dan keutamaan yang paling luhur serta yaitu 
unsur esensial dan martabat manusia. Pengemban profesi hukum itu 
mencakup 4 (empat) bidang karya hukum, yaitu:
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan yang melibatkan 
profesi hakim, Advokat, dan Jaksa);
2. Pencegahan konflik (perancangan hukum);
3. Penyelesaian konflik secara informal (mediasi, negoisasi); dan
4. Penerapan hukum di luar konflik.
Profesi hukum di negara kita  meliputi semua fungsionaris utama 
hukum seperti Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kepolisian, dan Jabatan 
lain. jika  terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, maka 
mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan 
tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi ada dewan 
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik. Profesi 
hukum yaitu salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai 
moral dan perkembangannya. Nilai moral itu yaitu kekuatan yang 
mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Kode etik kepolisian 
diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik 
Profesi Kepolisian Negara Republik negara kita  (“Perkapolri 14/2011”) 
yang ruang lingkupnya terdiri dari (Pasal 4 Perkapolri 14/2011):
1. Etika Kenegaraan;
2.  Etika Kelembagaan;
3.  Etika Kewarga an; dan
4. Etika Kepribadian.
Kepolisian Negara Republik negara kita  yaitu alat negara dalam 
rangka pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk menuju 
tercapainya warga  adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 
Republik negara kita  menyatakan sebagai berikut:
1.  Pasal 1 ayat (1): Kepolisian yaitu segala hal ihwal yang berkaitan 
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan.
2.  Pasal 4: Kepolisian Negara Republik negara kita  bertujuan untuk 
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya 
   
keamanan dan ketertiban warga , tertib dan tegaknya hukum, 
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada 
warga , serta terbinanya ketenteraman warga  dengan 
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
3. Pasal 5: Kepolisian Negara Republik negara kita  yaitu alat 
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban 
warga , menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, 
pengayoman, dan pelayanan kepada warga  dalam rangka 
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Sebagai penegak hukum, kepolisian seperti halnya juga hakim, 
jaksa, pengacara juga memiliki  tugas, yang tentu saja mulia. Pada 
Pasal 13 bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik negara kita  
adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban warga .
2. Menegakkan hukum; dan
3. memberi  perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada 
warga .
Kemudian dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana 
dimaksud pada Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik negara kita  
secara umum berwenang:
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga warga  yang 
dapat mengganggu ketertiban umum;
3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit warga ;
4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau 
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
5. Mengeluarkan aturan kepolisian dalam lingkup kewenangan 
administratif kepolisian;
6.  Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan 
kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret 
seseorang;
9. Mencari keterangan dan barang bukti;
10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan 
dalam rangka pelayanan warga ;
12. memberi  bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan 
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan 
warga ;
13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Sehubungan dengan tugas pokok kepolisian yaitu memelihara 
keamanan dan ketertiban warga , maka tugas itu ditujukan kepada 
semua orang dan golongan dari warga negara negara kita , dan juga 
termasuk orang-orang asing yang berada di negara kita . Ini artinya, polisi 
sebagai penegak hukum tidak boleh atau tidak dibenarkan pandang 
bulu terhadap para pelanggar hukum. Kemudian wewenang kepolisian 
dalam mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit warga  
ditujukan kepada penyakit-penyakit warga  yang akan atau telah 
menjadi kejahatan/pelanggaran. Adapun yang dimaksud dengan 
penyakit warga  adalah:
1. Pengemisan;
2. Pelacuran;
3. Perjudian;
4. Pemadatan, pemabukan;
5.  Perdagangan manusia;
6. Pengisapan;
7. Pergelandangan.
Dalam menangani penyakit-penyakit warga  yang ini  di 
atas, tentu saja pihak kepolisian tidak akan mampu melakukan sendiri. 
Walaupun secara jujur harus diakui bahwa warga  kita sekarang 
ini sangat mendambakan kehadiran polisi yang ideal yang benar-benar 
berpihak pada kepentingan warga , bukan menjadi alat penguasa. 
Adapun kriteria polisi yang ideal menurut R.E. Barimbing adalah: 1. 
Mengetahui batas-batas wewenangnya; 2. Memahami dan terampil 
dalam melaksanakan hukum; 3. Tidak mengharapkan imbalan uang 
dalam tugasnya; 4. Mempunyai kebanggaan terhadap profesinya (R.E. 
Barimbing, 2001: hlm. 58) 8 pekerjaan kepolisian, menurut Satjipto 
   
Rahardjo yaitu pekerjaan penegakan hukum in optima forma. Polisi 
yaitu hukum yang hidup. Melalui polisi ini, janji-janji dan tujuan-
tujuan hukum untuk mengamankan dan melindungi warga  menjadi 
kenyataan. Kepolisian Negara Republik negara kita  juga termasuk dalam 
lembaga-lembaga independen yang dasar pembentukannya diatur dalam 
UUD 1945. Pandangan Satjipto Rahardjo ini  memang sesuai 
dengan realitas tugas dan kewenangan polisi sebagai penyelenggara 
profesi hukum. Hal ini sebab tujuan hukum yang antara lain berkaitan 
dengan perlindungan terhadap keamanan warga  dan pembaruan 
hidupnya akan dapat dipahami, dipraktikkan, dan diberdayakan oleh 
warga  bilamana polisi l