Home » filsafat hukum. 7 » filsafat hukum 7
Rabu, 31 Mei 2023
tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran; 3. Sistematis,
ilmu pengetahuan sering kali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap
yaitu satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian
yang satu dengan bagian yang lain; 4. Universal, ilmu diasumsikan
berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu
tertentu. Ilmu diproyeksikan berlaku seluas-luasnya. Adapun ilmu
pengetahuan memiliki beberapa sifat: 1. Terbuka: ilmu terbuka bagi
kritik, sanggahan, atau revisi baru dalam suatu dialog ilmiah sehingga
menjadi dinamis; 2. Milik umum, ilmu bukan milik individual tertentu
termasuk para penemu teori atau hukum. Semua orang bisa menguji
kebenarannya, memakai, dan menyebarkannya; 3. Objektif: kebenaran
ilmu sifatnya objektif. Kebenaran suatu teori, paradigma, atau aksioma
harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan. Ilmu dalam
penyusunannya harus terpisah dengan subjek, menerangkan sasaran
perhatiannya sebagaimana apa adanya; 4. Relatif: walaupun ilmu bersifat
objektif, namun kebenaran yang dihasilkan bersifat relatif/tidak mutlak
termasuk kebenaran ilmu-ilmu alam. Tidak ada kebenaran yang absolut
yang tidak terbantahkan, tidak ada kepastian kebenaran, yang ada hanya
tingkat probabilitas yang tinggi nilai-nilai dalam Ilmu Pengetahuan.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ada masalah
mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu
masalah apakah ilmu itu benar nilai atau tidak. Ada dua sikap dasar,
pertama kecenderungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu
itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom), sesuai dengan hukum-
hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan yaitu untuk ilmu pengetahuan
itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan yaitu memenuhi rasa
ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori
oleh Aristoteles yang lalu dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan
ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh tunduk pada nilai-nilai di
luar ilmu seperti nilai agama, nilai moral, nilai sosial, kekuasaan. Jika
ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan
kebenaran ilmiah, objektif, dan rasional (Sony Keraf: 150). Ilmu
pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-
keyakinan tanpa didukung argumen yang objektif dan rasional.
Yang ke dua kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak
hanya semata-mata mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan harus
berguna untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran
ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, namun juga pragmatis.
Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia.
Semboyan dasar-dasar dari sikap pragmatis ini yaitu bahwa ilmu
pengetahuan itu untuk manusia. Kedua kubu yang bertentangan
ini memiliki asumsi yang berbeda, namun bukannya tidak dapat
dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini yaitu sintesis keduanya.
Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan
context of discovery. Context of justifiction yaitu konteks pengujian ilmiah
terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks
ini pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
murni yang objektif dan rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain.
Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk pertimbangan yaitu nilai
kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbangan-pertimbangan
lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam
dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah pertimbangan ilmiah
murni
Context of discovery yaitu konteks di mana ilmu pengetahuan itu
ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan
selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu
tertentu, dalam konteks sosial tertentu (Sony Keraf: 154). Kegiatan
ilmiah memiliki sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekadar
menemukan kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk
memenuhi kebutuhan manusia sehingga sejak awal ilmu pengetahuan
memiliki motif dan nilai tertentu. Ilmu pengetahuan dalam konteks
kenegara kita an.
Tradisi kegiatan ilmiah di negara kita memang belum mapan
sebagaimana tradisi di dunia Barat. Justru itu masalah nilai dan ilmu
ini harus dipahami sejak awal sebagai suatu koridor bagi kehidupan
ilmiah di negara kita . Bangsa negara kita memiliki sistem nilai sendiri
yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan ilmiah.
Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah yaitu suatu
imperatif ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya
sendiri memang harus bebas nilai, objektif, rasional, namun di dalam
proses penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu
harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku di warga .
Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan
harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, warga ,
bangsa, dan Negara negara kita . Namun demikian tolok ukur manfaat
itu tidak hanya sekadar manfaat pragmatis yang sesaat atau untuk
kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu
yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat
manusia dan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai
teositas, nilai humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi,
dan nilai keadilan sosial ,
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia
tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargai kemampuan
rasionalitas manusia semata namun juga menginsyafi bahwa ada kekuatan
lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai sebab aktivitas
akalnya saja namun juga aspek-aspek lain yang irasional. Sila kemanusiaan
yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan
harus dikembalikan pada fungsi semula untuk kemanusiaan, tidak
hanya untuk kelompok atau sektor tertentu (T. Jacob: 42-43). Sila
Persatuan negara kita , memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan
walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang lokal
sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan
tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional
bangsa negara kita . Sila ke empat mengandung pengertian bahwa
ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan
atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di
bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu
pertimbangan yang representatif untuk harus mengakomodasi rasa
keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh mengabdi pada sekelompok
kecil warga , apalagi hanya mengabdi pada kepentingan penguasa.
Lingkungan akademis yaitu tempat di mana ilmu pengetahuan itu
disemaikan. Dunia akademis di negara kita memiliki tugas yang
lebih berat dari sekadar kehidupan ilmiah yang hanya menekankan
aspek rasionalitas. Dunia akademis negara kita memiliki tugas dan
tanggung jawab yang lebih besar. Dosen bukan hanya sebagai guru
(teacher) sebagai tukang transfer pengetahuan. Dosen yaitu pendidik
yang bertugas untuk membimbing anak didik menjadi insan yang pintar
dan bermoral
Di lain pihak ia yaitu seorang ilmuwan yang menjalankan kegiatan
ilmiah. Seperti dipaparkan di atas bahwa ilmu itu bebas nilai, namun
kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan di bawah suatu
lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan,
maka harus ada nilai-nilai yang menjadi roh yang mengendalikannya.
Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi ilmuwan, sehingga ilmu tetap
berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh
setiap ilmuwan. Perlu disadari bahwa sikap ilmiah ini ditujukan pada
dosen, namun harus juga ada pada mahasiswa yang yaitu out put
dari aktivitas ilmiah di lingkungan akademis.
1. Sikap ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan
yaitu kejujuran dan kebenaran. Nilai kejujuran dan kebenaran ini
yaitu nilai interinsik yang ada di dalam ilmu pengetahuan,
sehingga harus integral masuk dalam etos semua aktor ilmu
pengetahuan di dalam lembaga akademis. Kejujuran ini menyangkut
proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang dihasilkan dari
proses ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan.
Tanpa kejujuran tidak akan didapat kebenaran sebagaimana apa
adanya, sedangkan motif dasar ilmu pengetahuan yaitu memenuhi
rasa ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sikap
jujur dan objektif. Sikap ilmiah tercermin pada sikap jujur dan
objektif dalam mengumpulkan faktor dan menyajikan hasil analisis
fenomena alam dan sosial melalui cara berpikir logis. Sikap jujur
dan objektif menghasilkan produk pemikiran berupa penjelasan
yang lugas dan tidak bias sebab kepentingan tertentu.
2. Tanggung jawab. Sikap ini mutlak dibutuhkan berkaitan dengan
kegiatan penelitian maupun dalam aplikasi ilmu serta di dalam
aktivitas ilmiah akademis.
3. Setia. Seorang ilmuwan harus setia pada profesi dan setia pada
ilmu yang ditekuni. Ia harus setia menyebarkan kebenaran yang
diyakini walaupun ada risiko.
4. Sikap ingin tahu. Seorang intelektual/cendekiawan memiliki rasa
ingin tahu (coriousity) yang kuat untuk menggali atau mencari
jawaban terhadap suatu permasalahan yang ada di sekelilingnya
secara tuntas dan menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan dalam
bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan
warga awam sebab mereka merasa bahwa tanggung jawab
itu ada di pundaknya.
5. Sikap kritis. Bagi seorang cendekiawan, sikap kritis dan budaya
bertanya dikembangkan untuk memastikan bahwa kebenaran sejati
bisa ditemukan. Oleh sebab itu, semua informasi pada dasarnya
diterima sebagai input yang bersifat relatif/nisbi, kecuali setelah
melewati suatu standar verifikasi tertentu.
6. Sikap independen/mandiri. Kebenaran ilmu pengetahuan pada
hakikatnya yaitu sesuatu yang objektif, tidak ditentukan oleh
imajinasi dan kepentingan orang tertentu. Cendekiawan berpikir
dan bertindak atas dasar suara kebenaran, dan oleh karenanya
tidak bisa dipengaruhi siapa pun untuk berpendapat berbeda hanya
sebab ingin menyenangkan seseorang. Benar dikatakan benar,
salah dikatakan salah, walaupun itu yaitu hal yang pahit.
7. Sikap terbuka. Walaupun seorang cendekiawan bersikap mandiri,
akan namun hati dan pikirannya bersifat terbuka, baik terhadap
pendapat yang berbeda, maupun pikiran-pikiran baru yang
dikemukakan oleh orang lain. Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha
memperluas wawasan teoretis dan keterbukaannya kepada
kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya.
Seorang cendekiawan akan mengedepankan sikap bahwa ilmu,
pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak terbatas dan akan
senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Dia tidak akan selalu
belajar sampai “ke negeri China” bahkan sampai akhir hayat.
8. Sikap rela menghargai karya dan pendapat orang lain. Seorang
cendekiawan bersedia berdialog secara kontinyu dengan koleganya
dan warga sekitar dalam keterlibatan yang intensif dan
sensitif.
9. Sikap menjangkau ke depan. Cendekiawan yaitu pemikir-pemikir
yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah
tertentu atau yang potensial di bidangnya. “Change maker” yaitu
orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam
warga . Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengubah
warga yang statis menjadi warga yang dinamis dan
berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil
dari buah pemikiran dan penelitian untuk mengubah kondisi
warga dari zero to hero.
Etika yaitu cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan
sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya.
Sebagai tugas tertentu etika mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah
laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang
baik. Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos”
yang memiliki arti kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berpikir,
dan kata “ta etha” yang memiliki arti adat kebiasaan. Dan secara
terminologi etika yaitu ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa negara kita
etika dijelaskan dengan tiga arti, yang pertama etika yaitu ilmu tentang
apa yang baik, apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral.
Kedua, etika yaitu kumpulan asas atau yang berkenaan dengan akhlak.
Ketiga, etika yaitu nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau warga .
Perumusan tentang pengertian etika juga bisa dipertajam lagi
menjadi tiga arti juga, sebagai berikut: 1) kata etika bisa dalam arti:
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; 2)
Etika juga berarti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di
sini yaitu kode etik; 3) Etika memiliki arti juga: ilmu tentang yang
baik dan buruk. Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan
yaitu filsafat yang merefleksi ajaran-ajaran moral. Pemikiran
filsafat memiliki lima ciri khas: bersifat rasional, kritis, mendasar,
sistematik, dan normatif.
Kata etika juga erat kaitannya dengan kata moral yang berasal dari
kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang memiliki
arti adat atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang
baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Etika dan moral lebih
kurang sama pengertiannya, namun dalam kegiatan sehari-hari ada
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang
dilakukan, sedangkan etika yaitu untuk pengkajian sistem nilai-nilai
yang berlaku. Dan untuk lebih mengerti apa itu etika, perlu dibedakan
dengan ajaran moral. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran
moral, melainkan yaitu filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral. Etika yaitu sebuah ilmu, bukan
sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada di tingkatan
yang sama, yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika
melainkan ajaran moral. Ada perbedaan antara etika dan ajaran moral.
Perbedaannya, etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh
kita lakukan dan yang tidak boleh kita lakukan, dan etika berusaha
untuk mengerti mengapa atau atas dasar apa kita harus hidup menurut
norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan sebagai buku
petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan sepeda motor dengan
baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan
teknologi sepeda motor.
Dari berbagai definisi tentang etika dapat diklasifikasikan menjadi
3 jenis definisi: jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat
yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku
manusia. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan
yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam
kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa
ada keragaman norma sebab adanya ketidaksamaan waktu dan
tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif. Jenis ketiga, etika
dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif
yang hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia.
Bab 14 --- Etika Ajaran Filsafat 299
Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan
informasi, menganjurkan, dan merefleksikan.
Menurut Robert C. Solomon, etika yaitu bagian filsafat yang
meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, dan menginginkan hal-hal
yang baik dalam hidup. Kata “etika” menunjuk pada dua hal. Pertama,
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua,
pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup
kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita.
Menurut Ki Hajar Dewantoro dalam buku Kuliah Etika yang ditulis
oleh Charris Zubair, bahwa etika yaitu ilmu yang mempelajari segala
soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya.
Khususnya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat
dipakai sebagai pertimbangan dan perasaan, sampai terwujudnya
suatu perbuatan.
Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang
filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno, etika sudah
terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika yaitu ilmu,
namun sebagai filsafat ia tidak yaitu suatu ilmu empiris. Ciri
khas filsafat itu dengan jelas tampak juga pada etika. Etika pun tidak
berhenti pada hal yang konkret, tapi ia bertanya tentang yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik atau buruk
untuk dilakukan.
Etika tidak sama dengan cabang-cabang filsafat yang lain dalam
arti etika membatasi diri pada pertanyaan “apa itu moral” dan tugas
utama etika yaitu menyelidiki apa yang harus dilakukan oleh manusia.
Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan etika
membahas yang harus dilakukan, sebab itu etika tidak jarang disebut
juga filsafat praktis, mengapa praktis sebab cabang ini berhubungan
dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan
manusia.
Objek etika yaitu pernyataan moral, pada dasarnya hanya dua
macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang
manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
A. Keterkaitan Pekerjaan dan Profesi
Sejak zaman dahulu bahkan pada zaman purba, manusia akan
melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Melakukan usaha -usaha
untuk bertahan sebab kodratnya yang yaitu makhluk hidup maka
memerlukan makanan. Dimulai dengan melakukan kegiatan berburu
dan meramu yang lalu berkembang hingga sampailah pada masa
bercocok tanam. Semua kegiatan yang dilakukan ini yaitu
kegiatan “bekerja”.
Jenis pekerjaan yang dilakukan manusia pada zaman dahulu
sangat berbeda dengan masa sekarang. sebab pada zaman dahulu
hanya berpusat dengan memakai tenaga atau fisik saja. Namun
dengan adanya evolusi manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh
Charles Darwin, bahwa makhluk hidup termasuk manusia mengalami
perbaikan biologis. Salah satu akibat dari perbaikan biologis ini
yaitu berkembangnya otak manusia. Hal ini memicu manusia
tidak lagi hanya memakai fisiknya saja namun juga kecerdasannya.
Pekerjaan yang berhasil dikembangkan sebab kecerdasan manusia
inilah yang akhirnya akan menghasilkan suatu profesi.
Suatu pekerjaan sendiri menurut Abdul kadir Muhammad
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Pekerjaan dalam arti umum, yaitu pekerjaan apa saja yang meng-
utamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan
tujuan memperoleh pendapatan (upah).
2. Pekerjaan dalam arti tertentu, yaitu pekerjaan yang mengutamakan
kemampuan fisik atau intelektual, baik sementara atau tetap dengan
tujuan pengabdian.
3. Pekerjaan dalam arti khusus, yaitu pekerjaan bidang tertentu,
mengutamakan kemampuan fisik dan intelektual, bersifat tetap,
dengan tujuan memperoleh pendapatan.
Antara pekerjaan dan profesi ada kaitan yang erat. Profesi
yaitu pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang. Namun tidak semua
pekerjaan dapat digolongkan sebagai profesi, sebab hal yang dikerjakan,
yang digolongkan sebagai profesi, memiliki kekhususan antara lain:
1. Pekerjaan sebagai profesi.
Kerja atau pekerjaan meliputi bidang yang sangat luas, dan tidak
hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu. Tidak semua pekerjaan
dapat digolongkan sebagai profesi. Hanya pekerjaan tertentu, yang
dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah
hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang dapat disebut
sebagai profesi.
2. Profesi umum dan profesi khusus.
Hal utama yang membedakan suatu profesi khusus dari profesi
biasanya yaitu tekanan utamanya pada pengabdian atau
pelayanan kepada warga . Orang yang menjalankan suatu
profesi luhur atau profesi khusus juga memerlukan nafkah hidup
yang didapatkan dari kegiatan menjalankan profesi ini . Akan
namun sasaran utamanya yaitu untuk mengabdi dan melayani
warga . Pelayanan dan pengabdian itu diberikan bahkan dijalani
sebagai suatu panggilan dari yang memanggil dan menugaskan
mereka untuk menyampaikan kasih kepada yang memerlukan .
B. Pengertian Profesi
Profesi yaitu suatu pekerjaan tetap dalam kurun waktu yang
lama dengan didasarkan pada keahlian khusus yang didapatkan dari
hasil pendidikan tertentu sesuai dengan profesi yang ditekuni, dalam
menekuni pekerjaan ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab
yang tujuannya yaitu untuk mendapatkan penghasilan. Orang yang
melakukan profesi disebut sebagai seorang profesional.
Dalam menjalankan profesi maka seseorang harus memiliki sikap
profesionalisme di mana kepentingan mempengaruhi harus dikesampingkan dan
mendahulukan kepentingan warga yang memerlukan . Dalam hal
ini maka selain tidak terlepas dari tujuan seseorang melakukan suatu
profesi yakni untuk mendapatkan penghasilan namun tidak boleh
mengesampingkan tujuan pengabdian diri terhadap warga .
Seseorang dikatakan sudah profesional jika dalam mendapatkan
keilmuan mengenai keprofesionalannya ini didapatkan pada
suatu pendidikan khusus, melalui ujian-ujian dan telah mendapatkan
izin berprofesi sesuai dengan bidang tertentu sehingga dianggap layak
untuk menjalankan profesi ini .
C. Ciri-Ciri Profesi
Menurut Ignatius Ridwan Widyadharma, profesi biasanya
memiliki ciri-ciri yakni adanya pengetahuan yang khusus, adanya
standar dan kaidah moral, bekerja dengan orientasi pada pengabdian
dan kepentingan warga , adanya izin khusus untuk menjalankan
profesi, adanya pula organisasi profesi ini . Maka seseorang dapat
dikatakan menjadi seorang profesionalisme pada profesi tertentu jika
memegang teguh dan menjalankan kode etik sebagaimana yang telah
disepakati dalam organisasinya. Suatu profesionalisme yang dilakukan
tanpa adanya etika akan memicu profesionalisme ini
menjadi pengendali dan hanya pengarahan saja atau diibaratkan “bebas
sayap” (vleugel vrij).
Beranjak dari definisi profesi sebelumnya maka secara umum ada
beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu:
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan
keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan, dan
pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini
biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode
etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan warga , artinya setiap pelaksana
profesi harus meletakkan kepentingan mempengaruhi di bawah kepentingan
warga .
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap
profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan warga ,
di mana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan,
kelangsungan hidup, dan sebagainya, maka untuk menjalankan
suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
E. Sumaryono memberikan tiga ciri khusus dalam pandangan
umum tentang suatu profesi, yaitu:
1. Persiapan atau Training Khusus
Sebuah persiapan yaitu tindakan yang di dalamnya termuat
pengetahuan yang tepat mengenai fakta fundamental di mana
langkah-langkah profesional mendasarkan diri, demikian juga
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan ini dengan cara
praktis.
2. Menunjuk pada keanggotaan yang permanen, tegas, dan berbeda
dari keanggotaan yang lain.
Dalam hal ini suatu profesi yang profesional dapat dijalankan
dengan syarat setiap pengemban profesi ini dituntut untuk
memiliki sertifikat, izin usaha, ataupun izin praktik.
3. Aseptabilitas sebagai Motif Pelayanan
Aseptabilitas atau kesediaan menerima yaitu suatu kebalikan
dari motif menciptakan uang, yaitu ciri khas dari semua
profesi pada umumnya. Oleh karenanya tujuan utama dari suatu
profesi bukan semata-mata hanya untuk mencari uang namun
memprioritaskan kepentingan warga pada umumnya. Namun
di lain sisi suatu profesi yaitu sarana bagi hidupnya seseorang
dan penyandang profesi ini memerlukan dan dipandang
perlu untuk memperoleh kompensitnya, yang menjadi imbalan
atas jasa pelayanannya.
D. Pengertian Profesi Hukum
ada berbagai macam jenis profesi yang ada di dunia, seperti yang
biasa ditemui yaitu profesi dokter, profesi akuntan, profesi hukum,
dan lain sebagainya. Dapat diketahui bahwa hukum yaitu
salah satu jenis dari profesi-profesi yang tersedia. Namun hal yang
membedakannya terletak secara jelas yaitu terkait dengan bidang yang
ditekuni, yakni tentu saja dalam bidang hukum. Oleh sebab itu profesi
hukum sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum. Pihak yang
dilayani oleh pengemban profesi hukum sering disebut sebagai klien.
Dari uraian-uraian sebelumnya maka suatu profesi hukum
yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan secara profesional dan
berkaitan dengan hukum. Di mana dalam mendapatkan izin untuk
menjalankan profesi hukum haruslah menempuh pendidikan khusus
sesuai dengan jurusan atau konsentrasi profesi hukum yang diminati,
sebab dalam profesi hukum sendiri ada beberapa macam
pekerjaan. Misalnya pengacara, seseorang dapat menjalankan profesi
hukum sebagai seorang pengacara jika telah menempuh Pendidikan
Khusus Profesi Advokat (PKPA) diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, telah lulus Ujian
Profesi Advokat (UPA) yang diselenggarakan oleh organisasi advokat
dalam hal ini yaitu Peradi (Perhimpunan Advokat negara kita ), tahap
berikutnya yakni melaksanakan kegiatan magang di kantor advokat
minimal dua tahun secara berturut-turut ada dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf g UU Advokat, dan dalam Pasal 4 ayat (1),(2), dan (3)
UU advokat, syarat terakhir yaitu melakukan sumpah advokat di
Pengadilan Tinggi Negeri di wilayah domisili hukumnya dengan usia
minimal 25 tahun (Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat). Persyaratan
di sini harus terpenuhi semua jika hendak menjalankan profesi di
bidang hukum sebagai seorang pengacara atau advokat. Contoh lain
profesi hukum yaitu dalam bidang Kehakiman, Kejaksaan, dan lain
sebagainya.
E. Profesionalisme dalam Profesi Hukum
Dalam suatu kelompok warga terjadi hubungan-hubungan
satu sama lain. Yang mana dalam hubungan ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya benturan kepentingan antara individu yang
satu dengan yang lainnya. Hal ini yaitu salah satu contoh
sederhana permasalahan yang ada dalam warga . Contoh lain yang
lebih kompleks misalnya yaitu hubungan antara suatu Negara dengan
warga negaranya, Negara harus diberi batasan-batasan kewenangan agar
tidak menjadi otoriter dan melupakan amanat dari warga negaranya.
Profesi hukum memiliki peran untuk mendampingi hubungan-
hubungan antar warga maupun antara warga dengan
Negara. Agar kepentingan maupun hak yang satu dengan yang lainnya
tetap berjalan sesuai dengan porsinya masing-masing. Yang lalu
untuk menjalankan suatu profesi hukum demi tercapainya cita-cita,
semangat, dan tujuan murni keberadaan suatu profesi hukum maka
seseorang diwajibkan melakukan profesinya secara profesional.
Keberadaan profesi hukum sendiri memiliki tujuan yakni membantu
terciptanya tujuan hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan) untuk
warga . Meskipun pada praktiknya sering kali salah satu dari tujuan
hukum ini dirasa kurang bisa didapatkan. Yang sering terjadi
yaitu keterkaitan antara keadilan hukum dan kepastian hukum yang
cenderung saling bertolak belakang satu sama lain. Namun setidaknya
sebagai seorang profesional dalam profesi hukum pasti akan berusaha
semaksimal mungkin untuk mencapai ketiga tujuan hukum ini .
Oleh karenanya seseorang dengan profesi hukum berperan sebagai
pion yang harus menggiring agar tujuan hukum ini dapat tercapai
sebagaimana mestinya. Mengingat sangat banyak penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dewasa ini.
Dalam keberadaannya, setiap code of conduct atau professional ethics
dari setiap profesi yang di dalamnya juga meliputi profesi hukum,
memiliki kewajiban-kewajiban untuk dirinya sendiri, yakni:
1. Kewajiban bagi diri sendiri;
2. Kewajiban bagi umum;
3. Kewajiban bagi yang dilayani;
4. Kewajiban bagi profesinya.
Sebagaimana pendapat Ignatius Ridwan Widyadharma, dalam
menjalankan profesinya seorang profesional harus memiliki kemampuan
akan kesadaran etis (ethical sensibility), kemampuan berpikir etis (ethical
reasoning), bertindak etis (ethical conduct), dan memimpin secara etis
(ethical leadership). Kemampuan-kemampuan ini yaitu suatu
landasan dasar agar seorang profesional dapat menjalankan profesinya
secara profesional.
Penjelasan dari landasan kemampuan yang harus dimiliki seorang
profesional dalam menjalankan profesinya. Yang pertama seseorang
dikatakan mampu memiliki kesadaran etis jika orang ini
bisa menentukan perbuatan yang etis atau bukan perbuatan etis.
Misalnya dapat mengatakan pada lawan persidangan jika dalam
hal pemeriksaan keterangan saksi, lawannya ini mengutarakan
ucapan yang mengarahkan saksi pada opini tertentu. Kedua, mampu
berpikir secara etis maksudnya yaitu sebagai seorang yang profesional
maka sudah sepatutnya juga didukung dengan pemikiran-pemikiran
cerdas yang akan membawanya agar dapat bertindak secara profesional.
Ketiga, bertindak etis memiliki keterkaitan yang erat dengan
pemikiran yang etis hal ini dikarenakan suatu tindakan seorang yang
profesional sudah pasti akan dipikirkan terlebih dahulu tentang baik
dan buruknya, harus dilakukan atau tidak. Hal ini bisa dicontohkan
dengan kejujuran, antara seorang pengemban profesi dengan orang
yang dilayaninya harus menjunjung tinggi kejujuran agar kepercayaan
antara keduanya dapat tercipta. Dan yang terakhir yaitu memiliki
kemampuan memimpin secara etis, seorang profesional memiliki
mempengaruhi dan jiwa kepemimpinan yang sangat baik, sangat dihormati,
dan disegani oleh anggotanya. Namun tidak berdasarkan atas rasa takut
terhadap kepemimpinannya melainkan penghormatan atas wibawa
seseorang. Seorang pemimpin yang baik dapat mengarahkan suatu
kelompok untuk mencapai tujuan yang disepakati secara efektif dan
efisien. Keempat landasan kemampuan ini memiliki keterkaitan
satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan, sebab antara landasan
kemampuan yang satu dengan yang lainnya saling mendukung satu
sama lain. Kemampuan-kemampuan ini tidak dapat dimiliki
seseorang secara instan, yang artinya memerlukan suatu proses yang
panjang dalam pembentukannya.
Dalam pelaksanaannya profesi hukum sering kali menghadapi
tantangan-tantangan yang menjadi hambatan terciptanya profesionalitas
di bidang hukum, yaitu:
1. Kualitas yang dimiliki oleh pengemban profesi hukum;
2. Penyalahgunaan dan penyimpangan fungsi dari profesi hukum;
3. Semakin menurunnya moralitas yang dimiliki oleh pengemban
profesi hukum;
4. Tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap sosial yang menurun.
Maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa seorang profesional
harus memiliki pengetahuan yang andal dan mumpuni dalam bidang
hukum. Sehingga pada saat warga hendak meminta pertolongan
untuk memakai jasanya dapat dijalankan dengan sangat kompeten
dan berkualitas. Dengan kepuasan yang didapatkan oleh warga
selaku klien dalam bidang profesi hukum maka juga akan sangat
berpengaruh terhadap keberadaan hukum itu sendiri.
F. Hubungan Etika dengan Profesi Hukum
Etika dan profesi hukum memiliki hubungan satu sama lain, bahwa
etika profesi yaitu sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan
untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap
warga dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan
dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap
warga yang memerlukan pelayanan hukum disertai refleksi
saksama, dan oleh sebab itulah di dalam melaksanakan profesi ada
kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi.
Etika profesi sendiri yaitu suatu ilmu mengenai hak dan
kewajiban yang dilandasi dengan pendidikan keahlian tertentu. Dasar
ini yaitu hal yang diperlukan dalam beretika profesi. Sehingga
tidak terjadi penyimpangan - penyimpangan yang memicu
ketidaksesuaian. Profesionalisme sangat penting dalam suatu pekerjaan,
bukan hanya loyalitas namun etika profesilah yang sangat penting. Etika
sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga bila suatu
profesi tanpa etika akan terjadi penyimpangan - penyimpangan yang
memicu terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan
oleh orang lain akan memicu kehilangan kepercayaan yang
berdampak sangat buruk, sebab kepercayaan yaitu suatu dasar
atau landasan yang dipakai dalam suatu pekerjaan. Kode etik profesi
berfungsi sebagai pelindung dan pengembangan profesi. Dengan adanya
kode etik profesi, masih banyak kita temui pelanggaran-pelanggaran
ataupun penyalahgunaan profesi. Apalagi jika kode etik profesi tidak
ada, maka akan semakin banyak terjadi pelanggaran. Akan semakin
banyak terjadi penyalahgunaan profesi. Oleh karenanya ada
batasan-batasan dalam beretika profesi di bidang hukum yang dapat
dijadikan pedoman agar penyimpangan-penyimpangan dalam profesi
hukum dapat terhindarkan, yakni sebagai berikut:
1. Orientasi yang dimiliki haruslah berupa pelayanan yang mengarah
pada pengabdian seseorang dalam berprofesi hukum. jika hal
ini diterapkan maka dalam menjalankan profesinya akan dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih.
2. Tidak membeda-bedakan pelayanan terhadap individu yang satu
dengan yang lainnya. Sehingga para pelaku profesi hukum akan
berusaha memperlakukan tiap orang dengan sama.
3. Bersama-sama dengan teman sejawat untuk selalu bekerja sama
dan tolong menolong dalam hal kebaikan agar dapat saling bertukar
pikiran dan meringankan beban.
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa keberadaan etika,
kode etik untuk para pengemban tugas di bidang profesi hukum selain
untuk menjadi seorang profesional harus dipagari dengan kode etik
yang harus ditaatinya. jika tidak demikian akan menimbulkan
ketidakselarasan harmoni dalam kehidupan warga .
Di bidang profesi hukum ada beberapa macam profesi yang
berkaitan dengan hukum di antaranya sebagai berikut:
G. Etika Profesi Hakim di negara kita
Etika Aparat Pengadilan
Aparat pengadilan dituntut untuk dapat memadukan karakter profesinya
yang akan menampilkan sosok kepribadiannya dalam mewujudkan
sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Maka beberapa sikap atau
sifat aparat pengadilan yang patut diwujudkan antara lain:
1. Takwa dan Tawakkal
Setiap awal akan melaksanakan tugasnya seorang aparat pasti
akan disumpah dan salah satu syarat utamanya yaitu bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sangat penting
dilakukan bagi seorang aparat mengingat dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari senantiasa menghadapi masalah, mana yang boleh dan
harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dan harus dihindari.
Seorang yang bertakwa harus senantiasa berusaha untuk dapat
melaksanakan segala perintah dan sekaligus berusaha menghindari
segala larangan-Nya. Sehingga dalam segala usaha baik usahanya
selalu didasarkan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sekaligus berpasrah dan tawakkal dalam segala keadaan.
2. Kemauan dan Kemampuan Mengatur Diri Sendiri
Sifat atau sikap yang selalu berusaha mau dan mampu mengatur
diri sendiri, yaitu awal dari kepemimpinan dan manajemen
pengadilan yang efektif. Untuk mencapai terwujudnya kemauan
dan kemampuan ini, aparat pengadilan perlu mengetahui
kekuatan, kecakapan, dan kemampuan di bidang tugasnya,
baik yang berkenaan dengan managerial skill maupun teknis
justisial, dan administrasi pengadilan, serta perlu juga menyadari
kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Tanpa adanya kemauan
dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri, segala bentuk ilmu
pengetahuan yang dimiliki dan aturan hukum yang ada tidak akan
banyak membawa arti dan manfaat.
3. Keteladanan
Keteladanan sangat dibutuhkan bagi aparat pengadilan. Aparat
pengadilan selayaknya menjaga tingkah laku dan perbuatannya baik
di dalam dan di luar kedinasannya, hal ini yaitu sesuatu yang
sangat penting untuk terlibat dan mendapat dukungan warga
dalam mewujudkan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai
contoh, seorang pimpinan yang menginginkan bawahannya bekerja
keras, maka ia dengan sendirinya harus menunjukkan etos kerja
pada diri sendiri terlebih dahulu, pekerjaan yang berkualitas
tinggi bagi seorang pimpinan akan menjadi referensi bagi aparat
di bawahnya dan pada gilirannya akan tercapai segala apa yang
diharapkan dalam setiap tugas yang diembannya.
4. Bertanggung Jawab
Manakala seorang aparat pengaduan tidak memiliki rasa tanggung
jawab, maka akan mudah terseret dan cenderung pada sikap
maupun tindakan yang mengacu pada “akunya sendiri”. Sikap
bertanggung jawab ini bukan saja kepada kelompok instansinya,
namun juga kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap aparat dituntut adanya sikap dan sifat bertanggung jawab,
yang ditunjukkan dengan cara bekerja keras, tanggap, tangguh, dan
tangkas dalam mengemban tugasnya.
Konsekuensi dan konsistensi aparat pengadilan akan selalu
berbenah diri terhadap pemaksaan tugas dan pelayanan hukum
yang diberikan kepada pencari keadilan yang akan membawa
dan menampilkan citra dan wibawa pengadilan itu sendiri. Sikap
bertanggung jawab ini antara lain bersumber dari rasa memiliki
(sense of belonging) orientasi karier dan kesadaran akan jabatan yang
diemban sebagai suatu rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa yang patut disyukuri.
5. Adil
Adil sebagai salah satu sifat yang harus dimiliki oleh aparat
pengadilan dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa
pun tanpa terkecuali. Ditinjau dari tataran agama Islam, secara
etimologis adil (al-‘Adlu) berarti tidak berat sebelah, tidak memihak
atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Istilah lain dari al-
‘Adlu yaitu al-‘Qistu dan al-Mislu (sama bagian atau semisal).
Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan
yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga
sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu
sama lain. Adil juga berpihak atau berpegang kepada kebenaran.
Keadilan dititikberatkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Oleh sebab itu, setiap aparat pengadilan dituntut
untuk bersifat dan bersikap adil dalam melayani para pencari
keadilan, sebab pada asasnya setiap orang sama haknya di depan
pengadilan.
6. Lapang Dada dan Terbuka
Aparat pengadilan sebagai insan yang bertugas di lingkungan
pengadilan, sudah barang tentu dituntut memiliki sikap lapang
dada, pemaaf, dan terbuka terhadap saran-saran, bahkan kritik yang
ditujukan kepadanya dan tidak bersikap sempit, tertutup dalam
segala hal, selama saran dan kritik ini bersifat membangun
(positif). Hal ini berarti, jika diajukan suatu permasalahan, maka
harus mencoba untuk mencari solusi, walaupun kesimpulan dan
keputusan terletak dalam kendali pimpinan.
7. Darma Bakti dan Kemitraan
Aparat pengadilan hendaknya membantu dan sadar, bahwa
sesungguhnya mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan aparat
yang lain. Mereka bekerja dan bertugas untuk menyumbangkan
darma baktinya dalam rangka menuju kepentingan bersama
untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Pembagian tugas
yang diberikan oleh pimpinan hendaknya dilaksanakan sebagai
pemenuhan rasa tanggung jawab.
Kemitraan antara pimpinan dan bawahan harus ada harmonisasi
di antara keduanya sehingga tercipta iklim yang kondusif,
kekompakan, kebersamaan, dan kesetiaan, serta solidaritas demi
keberhasilan suatu pekerjaan yang telah ditetapkan. Adanya kerja
sama (team work) yang baik antara para aparat dalam rangka
menegakkan citra dan wibawa pengadilan di dalam pelaksanaan
tugas yang diembannya.
8. Patuh dan Taat kepada Pimpinan
Setiap instansi pemerintah, dalam pelaksanaan tugas sudah pasti
didukung oleh segala peraturan yang dibutuhkan instansi yang
bersangkutan. Namun perlu diingat dalam melaksanakan suatu
peraturan tertentu, seorang pimpinan masih memerlukan suatu
kebijakan, sebab pada dasarnya suatu peraturan belum tentu sesuai
benar dengan suasana lingkungan di mana peraturan itu diterapkan
atau suatu peraturan belum tentu dalam mencakup segala peristiwa
dan keadaan yang sebenarnya. Maka segala peraturan perundang-
undangan maupun kebijakan pimpinan dalam rangka mencapai
tujuan yang diidamkan dibutuhkan kepatuhan dan ketaatan para
aparat terhadap pimpinan. jika hal ini terabaikan, maka
titik keberhasilan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas akan
sulit terwujud.
Realita yang berkembang di tengah warga dewasa ini, dilihat
dari kemampuan warga memberikan reaksi atau respons
terhadap dunia peradilan, adanya keluhan-keluhan yang ditujukan
kepada lembaga peradilan akan ketidakpastian, secara spesifik
ditujukan kepada sosok hakim sebagai pihak yang sangat terkait
dengan produk hukum yang dihasilkan.
H. Hakim sebagai Representasi Keadilan
Penegakan hukum (law enforcement) yang dapat dilakukan dengan
baik dan efektif yaitu salah satu tolok ukur keberhasilan suatu
negara dalam mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang
hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
warganya. Hal ini berarti pula adanya jaminan kepastian hukum bagi
rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-haknya dalam
menjalani kehidupan. Sebaliknya penegakan hukum yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya yaitu indikator bahwa suatu negara yang
bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan
hukum kepada warganya.
Semakin modern suatu warga , maka akan bertambah
kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai
akibatnya, yang memegang peranan penting dalam proses penegakan
hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum,
namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi
proses penegakan hukum. Dalam tataran yang lebih mendasar, secara
umum, reformasi penegakan hukum yang diawali dari reformasi sistem
peradilan harus dilakukan secara bertahap (gradual). Jimly Asshiddiqie
menegaskan bahwa reformasi sistem peradilan harus menyangkut
penataan kelembagaan, mekanisme aturan yang bersifat instrumental
dan personal, serta budaya kerja aparat peradilan berikut perilaku
warga secara keseluruhan.
1. Hakim dalam Perspektif Etik
Aturan etik yaitu aturan mengenai moral atau yang berkaitan dengan
sikap moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak
layak, pantas dan tidak pantas. Moral yaitu instrumen internal yang
menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi. Moral mencerminkan karakter.
Aturan etik hakim, lazim disebut kode etik hakim (code of ethics atau code of
conduct), kehadiran kode etik ini berkaitan dengan pekerjaan hakim yang
digolongkan sebagai kelompok pekerjaan profesional. Sikap profesional
harus terus terpelihara dengan selalu meningkatkan keahlian, di mana
keahlian ini meliputi keahlian substantif dan prosedural. Kesalahan atau
kelalaian menerapkan keahlian substantif maupun prosedural yaitu
kesalahan profesional (unprofessional conduct).
Merujuk kepada pemahaman tugas pokok, kedudukan, dan fungsi
hakim sebagaimana diatur dan dirumuskan baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun melalui kode etik profesi hakim, sudah
selayaknya jika dalam diri hakim itu digantungkan harapan yang
sungguh besar dan sungguh dalam oleh para justiciable, yakni warga
pencari keadilan, susaha segala tugas dan fungsi itu dapat diwujudkan,
seandainya hal ini terealisasi, dapat diambil pelajaran bahwa
peranan hakim sungguh besar dalam mengarahkan dan membina
kesadaran hukum warga . Keadilan hukum bagi pencari keadilan
harus menjadi tujuan dan napas utama sang hakim dalam menjatuhkan
putusannya. Hakim yang baik akan selalu menempatkan putusan hukum
yang dijatuhkannya sebagai penjaga martabat kearifannya. Putusan itu
pula yang akan menunjukkan jati diri, keberadaan, dan kemampuannya.
Oleh sebab itu seorang hakim akan selalu menempatkan setiap putusan
hukumnya pada tempat di mana reputasi selaku hakim dipertaruhkan.
Seorang hakim tidak akan pernah dan tidak mungkin mampu untuk
bermain-main dengan putusan hukumnya sendiri. Sebagai jawaban
bagi pencari keadilan, maka pada diri seorang hakim diembankan
susaha hakim itu selalu dapat menjamin bahwa perundang-undangan
diterapkan secara benar dan adil, dan jika penerapan peraturan
perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim
wajib berpihak kepada keadilan dan mengenyampingkan peraturan
perundang-undangan.
Meminjam pendapat Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa
“undang-undang yaitu produk politik yang memandang hukum
sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik
yang saling berinteraksi dan saling bersaingan,” sehingga sangat
dimungkinkan ada beberapa nilai hukum yang hidup dan rasa keadilan
warga yang terabaikan, sehingga tidak masuk dalam formulasi
rumusan undang-undang. Atas dasar ini, jika terjadi sengketa antara
undang-undang yang berhadapan dengan nilai hukum yang hidup dan
rasa keadilan warga , maka harus digali lebih dahulu rasa keadilan
warga .
Integritas seorang hakim harus selalu terjaga dan terpelihara
dengan jalan melaksanakan suatu tugas atau tanggung jawab yang
terbaik untuk memberi kepuasan bagi pihak yang dilayani. Bagi hakim
integritas berwujud dalam bentuk-bentuk antara lain ketidakberpihakan
(impartiality), memberi perhatian dan perlakuan yang sama bagi pihak
yang berperkara (fireness), menjaga kehormatan, baik saat menjalankan
tugasnya menjadi seorang hakim atau dalam kehidupan berwarga .
2. Kemandirian Hakim
Hakim secara fungsional yaitu tenaga inti penegakan hukum
dalam penyelenggaraan proses peradilan. Parameter mandiri atau
tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan
dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen
kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari
adanya campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. jika
para hakim terpengaruh oleh campur tangan pihak-pihak lain dalam
menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, berarti hakim ini
kurang atau tidak mandiri. Sebaliknya kalau hakim tidak terpengaruh
dan tetap bersikap objektif, meskipun banyak tekanan psikologis dan
intervensi dari pihak lain, maka hakim ini yaitu hakim yang
memegang teguh pendirian dalam tugasnya.
Praktik peradilan yang berjalan selama ini, terasa sulit dihindarkan
adanya intervensi atau campur tangan dari pihak lain, seperti penguasa
dan ekstra yudisial lainnya. Campur tangan juga dapat dilakukan
oleh pengaduan atasan, para pencari keadilan atau kuasanya serta
pendukungnya. Adanya campur tangan ini, sangat rawan menimbulkan
adanya persekongkolan (kolusi), penyuapan, dan terjadinya mafia dalam
proses peradilan. Sehingga dalam menyikapi hal ini, sangat bergantung
pada hati nurani hakim sendiri. Apakah para hakim masih menjunjung
tinggi idealismenya dengan tetap mempertahankan kebebasan dan
kemandiriannya, atau terpaksa jatuh oleh berbagai campur tangan
pihak-pihak yang menginginkan keadilan tidak terwujud.
Sikap hakim dalam proses peradilan akan sangat menentukan
objektivitas dalam memutus suatu perkara. Sahlan Said, seorang hakim
senior dari Pengadilan Negeri Magelang dalam tulisannya menyatakan
bahwa tulisannya menyatakan bahwa satu-satunya jabatan atau profesi
yang dapat mewakili Tuhan kiranya yaitu hanya hakim, sebab otoritas
yang diberikan kepadanya bukan hanya sekadar dapat memenjara
namun juga dapat mencabut nyawa seseorang. Beberapa ungkapan
yang memberikan kedudukan istimewa kepada hakim misalnya yaitu
benteng terakhir bagi pencari keadilan. Selain itu juga ada ungkapan
yang cenderung ekstrem bahwa semua bagian warga boleh rusak
asalkan hakimnya tidak maka semuanya akan menjadi beres.
Sebagai tindak lanjut hal di atas, kemandirian hakim ditunjang
keahlian yang memadai sangat diharapkan serta semakin penting
mengingat dalam membuat putusan, hakim tidak semata-mata
mendasarkan diri pada bunyi pasal peraturan perundang-undangan.
Proses membuat putusan yaitu proses pengolahan kemampuan
intelektual, penguasaan teknis substantif serta prosedur hukum, serta
pengetahuan hakim atas nilai-nilai sosial yang ada dan berkembang
di warga . Lebih jauh lagi, dalam kondisi-kondisi tertentu, hakim
dituntut untuk melakukan penemuan hukum, yakni dalam hal adanya
suatu permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya pada peraturan
perundang-undangan yang ada.
Hakim yang memiliki integritas moral yang tinggi dalam
mempertahankan kemandiriannya, akan dapat berfungsi sebagai
penegak hukum yang baik dalam menjalankan tugas dan wewenang
yudisialnya selalu berpedoman pada prinsip-prinsip hukum yang adil
dan dapat dipertanggungjawabkan. Para pihak yang berperkara selaku
pencari keadilan juga cenderung akan menerima putusan yang telah
dijatuhkan, bahkan dengan sukarela akan melaksanakan putusan
ini , sebab dianggap sudah sesuai dengan perasaan keadilan
warga . Sebaliknya bagi hakim yang tidak atau kurang mandiri
dalam proses pelaksanaan peradilan, berarti hakim ini bukan tipe
penegak hukum yang baik dan profesional.
sebab hakim ini ternyata tidak mampu menegakkan hukum
secara objektif dan mandiri, namun sudah melecehkan harkat dan
martabat profesinya dan mengotori dunia penegakan hukum. Hakim
ini tidak memiliki integritas moral yang baik, bersifat subjektif,
apriori, bahkan cenderung memihak kepada salah satu pihak yang
berperkara, akibat dari tidak mandiri dan sikap profesional hakim,
maka akan berdampak pada pencari keadilan sebagai pihak yang jadi
korban dan dirugikan.
Sepanjang proses peradilan berjalan objektif, maka hasil putusan
hakim yang dijatuhkan dari kacamata hukum juga akan bersifat objektif,
terlepas puas tidaknya para pencari keadilan, sebab hal ini ,
yaitu sesuatu yang dirasakan relatif bagi salah satu pihak. Suatu
putusan hakim dapat mengandung tingkat kepastian hukum yang tinggi,
akan namun belum tentu dirasakan adil dan bermanfaat bagi para pencari
keadilan. Sebaliknya putusan yang adil, belum tentu menganut kepastian
hukum, namun apa pun keadaannya, integritas moral, objektivitas, dan
sikap profesional serta daya intelektual bagi hakim yaitu sesuatu
yang ideal dan harus ada pada diri hakim.
I. Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Hakim
Hakim yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
(pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yakni pejabat pengadilan
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (pasal
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Istilah pejabat membawa
konsekuensi yang berat oleh sebab kewenangan dan tanggung jawabnya
terumuskan dalam rangkaian tugas, kewenangan, kewajiban, sifat, dan
sikap tertentu yaitu penegak hukum dan keadilan.
Hakim juga dapat diartikan sebagai Hakim pejabat yang memimpin
persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut.
Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal
ini dapat memicu hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju
berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam Bab I tentang
ketentuan umum pasal 1 ayat 8, mendefinisikan hakim sebagai pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
mengadili.
Perkataan hukum yang berasal dari kata “hakama” yang berarti
meninjau dan menetapkan suatu hal yang adil dengan tidak berat
sebelah, maka adil dan keadilan yaitu tujuan dan inti dibandingkan
hukum. Adil mengandung pengertian meletakkan sesuatu pada
tempatnya, untuk menegakkan hukum dan keadilan itulah dibebankan
pada tindak hakim sebagai konsekuensi dari negara hukum. Sebagai
mana yang diamanatkan dalam konstitusi negara ini yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 BAB I tentang
Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 ayat (3) yang menegaskan bahwa
negara kita yaitu negara hukum dan sebagaimana yang kita tahu
bahwa hukum itu memiliki tiga tujuan yaitu kepastian, keadilan,
dan kemanfaatan.
Supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas,
pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independen, peradilan
tata usaha negara, peradilan tata negara, bersifat demokratis, sarana
untuk mewujudkan tujuan negara, transparansi dan kontrol sosial,
serta perlindungan hak asasi manusia, peradilan bebas dan tidak
memihak yaitu ciri penting dari negara hukum. Peradilan bebas dan
tidak memihak memiliki makna bahwa kekuasaan kehakiman bersifat
merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan penguasa yang
karenanya harus ada jaminan tentang kedudukan hakim.
Mengingat betapa pentingnya kedudukan hakim ini oleh
karenanya pada pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945 menegaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi
dan diberhentikannya sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-
Undang. Dalam mengambil keputusan, para hakim hanya terikat pada
fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan
landasan yuridis keputusannya. namun penentuan fakta-fakta mana
yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum
yang mana akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan itu sendiri.
maka , jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki
kekuasaan yang besar terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan
dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau
para hakim ini .
Namun dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam
menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang
besar dan harus menyadari tanggung jawab itu, sebab keputusan
hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para
yustiabel dan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan
ini . Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat memicu
penderitaan lahir batin yang dapat membekas bagi para yustiabel yang
bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.
Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan
tertuang dalam BAB IV Pasal 27-29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sedangkan mengenai tanggung jawab hakim, tersirat dalam pasal 4 ayat
(1) dalam pasal 14 ayat 1 Undang-Undang ini dikemukakan kewajiban
hakim yaitu tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Di dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) dikemukakan bahwa hakim
sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. jika tidak
menemukan hukum tertulis hakim wajib menggali hukum tidak tertulis
untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana
dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, warga , bangsa, dan negara. Dalam hal ini Bisman Siregar,
mengemukakan bahwa Undang-Undang secara jelas menegaskan
tanggung jawab hakim itu bukan kepada negara, bukan kepada bangsa,
namun pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, baru kepada diri sendiri
diungkapkan lagi bahwa “kalau inilah landasan tanggung jawab hakim,
akankah ia ragu-ragu menguji kalau perlu membatalkan peraturan yang
bertentangan dengan Pancasila dan Tuhan Yang Maha Esa”.
Menyangkut kewajiban hakim, di dalam Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dijelaskan
sebagai berikut:
1. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam warga .
2. Untuk menetapkan berat ringannya hukuman, hakim hendaklah
memperhatikan sifat-sifat yang baik atau yang buruk yang ada pada
si tertuduh.
3. Hakim mesti mengundurkan diri jika perkara yang diperiksanya
menyangkut perkara dari keluarganya sedarah sampai derajat ketiga
atau semenda.
4. Sebelum memangku jabatan sebagai hakim diwajibkan untuk
bersumpah menurut agama dan kepercayaannya.
Perancis Bacon dalam Essays Or Counsels Civil and Moral:
Of Judicalture, sebagaimana diterjemahkan oleh Arief Sidharta,
mengatakan sebagai berikut: para hakim seyogianya lebih terpelajar
(berkecendekiawanan) dibandingkan pandai bersilat lidah, lebih bermanfaat
dibandingkan sekadar bersikap wajar, dan lebih menghayati serta mengetahui
berbagai faktor relevan dari masalah yang dihadapinya dibandingkan sekadar
keyakinan. Di atas segalanya itu, mereka wajib memiliki integritas dan
bermartabat.
Dapat ditambahkan, bahwa masalah tanggung jawab hakim diatur
dalam berbagai peraturan per-Undang-Undangan, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara; dan
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Jabatan Hakim yaitu suatu profesi, sebab memenuhi kriteria-
kriteria yaitu pekerjaan tetap, bidang tertentu (memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan perkara), berdasarkan keahlian khusus (hukum),
dilakukan secara bertanggung jawab (kepada tuhan, negara, pencari
keadilan, dan kepada hati nurani) dan memperoleh penghasilan.
Di dalam sejarah perkembangannya kode etik hakim, etika profesi
hakim dirumuskan pertama kali dengan keputusan Nomor 2 Tahun
1966 pada rapat kerja pengadilan tinggi dan pengadilan negeri bersama
Mahkamah Agung RI dengan memakai istilah Kode Kehormatan
Hakim yang berarti segala sifat batiniah dan sikap-sikap lahiriah yang
wajib dimiliki dan diamalkan oleh para hakim untuk menjamin tegaknya
kewibawaan dan kehormatan korp hakim yang untuk selanjutnya
ditetapkan kembali dalam surat keputusan bersama ketua Mahkamah
Agung Republik negara kita dan Menteri Kehakiman, Maret 1988. Dalam
perkembangan selanjutnya, kode etik hakim yang dijadikan acuan saat
ini yaitu berdasarkan hasil musyawarah nasional IKAHI ke-13, tanggal
30 Maret 2001 di Bandung.
Adapun sifat-sifat yang harus dimiliki hakim dilambangkan menjadi
panca darma hakim yaitu:
1. Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada
Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang beradab.
2. Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat
adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan,
hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-
sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan
keyakinan hati nurani, dan sanggup memper tanggungjawabkan
kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai,
tertib, dan lugas, berpandangan luas, dan mencari saling pengertian.
3. Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana,
berilmu, sabar, tegas, disiplin, dan penuh pengabdian pada
profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh
rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan
berwibawa.
4. Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi
luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu
tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin
maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu
berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan,
bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi warga
sekitarnya.
5. Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih),
berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapa pun,
tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak
boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak
berjiwa aji mumpung, dan senantiasa waspada.
J. Implementasi Kode Etik Hakim
Sebagai aturan yang harus dijadikan pedoman bagi seorang hakim, maka
kode etik hakim harus diimplementasikan dalam praktik kehidupan
sehari-hari, baik dalam konteks menjalankan tugas (dalam persidangan),
hubungan sesama rekan, hubungan terhadap bawahan atau pegawai,
hubungan kewarga an, dan hubungan keluarga atau rumah tangga.
1. Implementasi dalam persidangan
a. Dalam persidangan seorang hakim harus bersikap dan
bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum
acara yang berlaku, dengan memperhatikan asas-asas peradilan
yang baik, yaitu:
1) Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat
putusan di mana setiap orang berhak untuk mengajukan
perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang serta putusan harus
dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu
lama.
2) Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan
dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan
kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti,
serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan
(affair hearing).
3) Putusan dijalankan secara objektif tanpa dicemari oleh
kepentingan mempengaruhi atau pihak lain (nobias) dengan
menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resua). Putusan
harus memuat alasan-alasan serta bersifat konsisten
dengan penalaran hukum yang sistematis (resones and
argumentations of decision), di mana argumentasi ini
harus diawasi (controleer-baarheid) dan diikuti serta dapat
dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin
sifat keterbukaan (transparancy) dan kepastian hukum
(legal certainity)dalam proses peradilan.
4) Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
b. Tidak dibenarkan, menunjukkan sikap memihak atau ber-
simpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang ber perkara,
baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
c. Harus bersifat sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin
sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
d. Harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan
antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-
pihak, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
e. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
2. Terhadap sesama rekan. Hakim yang dalam tugas pokoknya yaitu
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara maka ia akan
melaksanakan tugas ini dalam bentuk majelis meskipun
dimungkinkan untuk melaksanakan persidangan dengan hakim
tunggal. Demikian pula sebagai seorang hakim ia tidak akan bisa
terlepas untuk saling berkomunikasi dengan rekan sejawat hakim.
Oleh sebab itu, terhadap sesama hakim memelihara dan memupuk
hubungan kerja sama dengan baik antara sesama rekan; ia harus
memiliki rasa serta kawan, tenggang rasa dan saling menghargai
antara sesama rekan; demikian juga harus memiliki kesadaran,
kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim secara wajar; di
samping menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam
dan/atau di luar kedinasan.
3. Terhadap bawahan/pegawai. Hakim sebagai penegak hukum
haruslah mampu menjadi panutan; maka ia harus memiliki sifat
kepemimpinan, dan dapat membimbing bawahan atau pegawai
untuk mempertinggi pengetahuan. Dia harus memiliki sikap
sebagai seorang bapak/ibu yang baik, serta memelihara sikap
kekeluargaan terhadap bawahan/pegawai, dan seorang hakim harus
mampu memberi contoh kedisiplinan.
4. Terhadap warga . Dalam kehidupan seorang hakim yaitu
bagian dari warga sekitar oleh sebab itu seorang hakim
harus menghormati dan menghargai, tidak sombong dan tidak
mau menang sendiri. Sebagai bagian dari warga , maka hidup
sederhana yang dirasakan dari sebagian terbesar dari warga
juga harus tercermin dari diri hakim.
5. Terhadap keluarga/rumah tangga.
a. Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela menurut
norma-norma hukum kesusilaan.
b. Menjaga ketenteraman dan kebutuhan keluarga.
c. Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan
pandangan warga .
Suatu kelompok profesi selain diatur oleh aturan etik/kode
etiknya masing-masing, juga diatur oleh aturan hukum. Menurut Pasal
1 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim yaitu pejabat peradilan
Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan
menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Hakim di negara kita berada di Mahkamah Agung dan
empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang terdiri dari
badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara,
dan peradilan militer dengan kekuasaan mengadili bersifat absolut
yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan ini dan diatur
dalam undang-undang sebagai payung hukum masing-masing badan
peradilan ini .
Sejatinya, hakim di negara kita bertindak sebagai penafsir utama
norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa
konkret yang terjadi. Profesi Hakim yaitu profesi dengan pekerjaan
kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam dehumanizing yang
bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi
hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung
jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu
manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan
kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan
untuk memelihara, menegakkan, dan mempertahankan disiplin profesi.
Ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan
atas dasar kode etik yaitu sebagai berikut:
1. Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian
profesional.
2. Menjaga dan memelihara integritas profesi.
3. Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur
yaitu:
a) Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
b) Konsisten.
c) Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola
perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan
putusan.
d) Loyalitas.
Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan
Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim memiliki 5 (lima)
sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud
dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan,
terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap
sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan
mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam
warga .
Secara struktural dalam kegiatannya seorang hakim tentunya
memiliki hubungan internal dan eksternal yang pada dasarnya banyak
melakukan komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk lancarnya hubungan internal dan eksternal perlu ditempatkan
orang-orang yang sikapnya mampu menjaga diri dan instansi di mana
ia ditempatkan. Begitulah seyogianya seorang hakim yang dipandang
memiliki kedudukan cukup terhormat.
Spesifikasi hubungan secara internal hakim di antaranya ialah
membina dan meningkatkan hubungan yang harmonis dengan sesama
hakim dan karyawan, memperhatikan dan meningkatkan hubungan
kerja sama yang baik demi terciptanya keselarasan dan kedamaian
sehingga tidak berakibat kepada perkara-perkara yang diadilinya
yang lalu sangat dikhawatirkan pengaruh psikologi hakim
dalam memutus perkara, memelihara, dan meningkatkan hubungan
dengan sesama penegak hukum (jaksa, polisi, dan advokat), saling
mengingatkan akan tanggung jawab yang mereka pikul, demi mencegah
adanya pengaruh dari luar yang dapat menghalangi atau memperkeruh
terwujudnya keadilan dalam warga .
K. Etika Profesi Penasihat Hukum (Advokat) di negara kita
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, Advokat seolah memisahkan diri dari campur tangan lembaga
peradilan lainnya. Yang mana sebelumnya dalam hal pengangkatan
seorang advokat melalui Menteri Kehakiman setelah lulus ujian yang
dilaksanakan oleh Menteri Kehakiman. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1)
UU Advokat dinyatakan bahwa “yang dapat diangkat sebagai Advokat yaitu
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti
pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”.
Dan dalam ayat ke (2) disebutkan bahwa “Pengangkatan Advokat dilakukan
oleh Organisasi Advokat”. Sedangkan syarat-syarat untuk dapat diangkat
menjadi seorang Advokat (berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Advokat)
yaitu sebagai berikut:
a. WNI;
b. bertempat tinggal di negara kita ;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada
kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana sebab melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan memiliki
integritas yang tinggi.
Untuk menjaga profesionalisme di bidang profesi hukum, dalam
Pasal 26 UU Advokat disebutkan bahwa:
(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun
kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat.
(2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan
ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Dalam Pasal 1 huruf (a) Kode Etik Advokat negara kita dinyatakan bahwa
“advokat yaitu orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang
berlaku, baik sebagai advokat, Pengacara, Penasihat Hukum, Pengacara praktik,
ataupun sebagai konsultan hukum”. Advokat memiliki posisi yang cenderung
sangat bebas dalam bidang profesi hukum. sebab tidak hanya bekerja di
dalam ruang sidang pengadilan saja, namun juga dapat secara bebas di
luar pengadilan. Advokat dianggap sebagai suatu profesi yang terhormat
(officium nobile), yang mana dalam menjalankan profesinya mendapatkan
perlindungan dari hukum, undang-undang, dan kode etik.
Dalam beberapa Negara advokat memiliki peranan yang sangat besar
bagi warga . Advokat dapat terlibat langsung dalam memberikan
bantuan-bantuan hukum, tidak hanya bagi mereka yang mampu namun
juga bagi mereka yang kurang mampu. Seorang advokat yang memegang
teguh kode etik yang dimilikinya tidak akan menolak atau membedakan
perlakuan terhadap kliennya. Maka dalam hal ini sangat kental peran
dari keberadaan kode etik bagi seorang advokat. Peran kode etik dalam
advokat yang terlihat seolah membatasi ruang gerak dari advokat
sebetulnya justru diciptakan untuk memberikan kebaikan tidak hanya
untuk advokat itu sendiri namun juga bagi warga .
Dalam Kode Etik Advokat yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002
memiliki XII Bab yang terdiri dari:
I. Ketentuan Umum
II. Kepribadian Advokat
III. Hubungan dengan Klien
IV. Hubungan dengan Teman Sejawat
V. Tentang Sejawat Asing
VI. Cara Bertindak Menangani Perkara
VII. Ketentuan-ketentuan Lain tentang Kode Etik
VIII. Pelaksanaan Kode Etik
IX. Dewan Kehormatan
X. Kode Etik dan Dewan Kehormatan
XI. Aturan Peralihan
XII. Penutup
Perubahan I
L. Etika Profesi Jaksa di negara kita
Etika yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup
manusia perseorangan atau hidup berwarga . Misalnya Etika di
lingkungan orang Jawa dan sebagainya. Etika ini lalu dirupakan
dalam bentuk aturan (code) tertulis.
Secara sistematik etika sengaja dibuat berdasarkan prinsip- prinsip
moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan
sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik, refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”. sebab segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok
sosial (profesi) itu sendiri begitu pula dengan profesi jaksa yang
yaitu salah satu elemen penegak hukum.
Etika Profesi pada Jaksa
Jaksa yaitu pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jabatan fungsional jaksa
yaitu jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan
yang sebab fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas
kejaksaan. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung yang
yaitu pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang
dipimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.
Selanjutnya, Jaksa Agung yaitu pejabat negara yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persyaratan tertentu
berdasarkan undang-undang. Oleh sebab Jaksa Agung diangkat oleh
Presiden, maka dalam menjalankan tugasnya Jaksa Agung menjalankan
tugas negara. sebab , Presiden mengangkat Jaksa Agung kedudukannya
sebagai kepala negara (kekuasaan federatif) dan bukan sebagai kepala
pemerintahan (kekuasaan eksekutif). Demikian juga jaksa yang diangkat
oleh Jaksa Agung dalam menjalankan tugasnya yaitu menjalankan
tugas negara dan bukan tugas pemerintahan.
Jabatan fungsional jaksa yaitu bersifat keahlian teknis yang
melakukan penuntutan. Bahwa dalam rangka mewujudkan jaksa yang
memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan
tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran,
maka diperlukan adanya kode etik profesi jaksa. Kode etik profesi jaksa
diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik negara kita Nomor: PER-
067/A/JA/07/2007, tentang Kode Etik Perilaku Jaksa.
Pada prinsipnya dalam melaksanakan tugas profesi, jaksa wajib:
Pasal 3
1. Menaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan, dan
peraturan kedinasan yang berlaku. Jaksa harus mengikuti
peraturan-peraturan yang berlaku pada saat ini.
Bab 15 --- Etika Profesi Penegak Hukum di negara kita 329
2. Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan.
3. Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk
mencapai keadilan dan kebenaran.
4. Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan atau ancaman opini
publik secara langsung atau tidak langsung. Seorang jaksa harus
berpendirian terhadap dirinya sendiri tanpa gangguan dari orang
lain dan tidak boleh takut dengan ancaman seseorang.
5. Bertindak secara objektif dan tidak memihak. Jaksa tidak boleh
berpihak kepada salah satu tersangka sebab tersangka masih ada
hubungan dengan jaksa.
6. Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa maupun korban.
7. Membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat
penegak hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana
terpadu.
8. Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang memiliki
kepentingan mempengaruhi atau keluarga, memiliki hubungan
pekerjaan, partai, atau finansial atau memiliki nilai ekonomis
secara langsung atau tidak langsung.
9. Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya
dirahasiakan.
10. Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak
kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-
undangan dan instrumen hak asasi manusia yang diterima secara
universal.
12. Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.
13. Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan.
14. Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan
penguasa dan aspirasi warga tentang keadilan dan
kebenaran.
Di samping kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan di atas, dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
Pasal 4
1. memakai jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan
mempengaruhi dan/atau pihak lain. Dalam hal ini jaksa tidak boleh
menyalahgunakan pekerjaan ini dikarenakan jaksa harus
bersikap profesional.
2. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara. Dalam
menentukan dasar hukum yang akan dikenakan kepada tersangka
atau terdakwa dalam proses penanganan perkara harus sesuai
dengan fakta yuridis yang ada dan tidak boleh melakukan manipulasi
atau memutarbalikkan fakta yang berakibat melemahkan atau
meniadakan ketentuan pidana yang seharusnya didakwakan dan
dibuktikan.
3. memakai kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan
penekanan secara fisik dan/atau psikis. Larangan untuk melakukan
penekanan dengan cara mengancam/menakut-nakuti guna
memperoleh keuntungan mempengaruhi atau pihak lainnya.
4. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta
melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/
atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya. usaha untuk
meminta dan/atau menerima walaupun tidak ada tindak lanjutnya
berupa pemberian atau hadiah yaitu pelanggaran menurut
ayat ini. Larangan untuk meminta dan/atau menerima hadiah dan/
atau keuntungan termasuk bagi keluarga, pada atau dari pihak
tertentu dimaksudkan untuk menghindari adanya maksud-maksud
tertentu sehingga dapat mempengaruhi jaksa dalam melaksanakan
tugas profesinya. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjaga
integritas jaksa.
5. Menangani perkara yang memiliki kepentingan mempengaruhi atau
keluarga, memiliki hubungan pekerjaan, partai, atau finansial,
atau memiliki nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung.
Seorang jaksa tidak boleh menangani suatu perkara di mana jaksa
ini memiliki hubungan keluarga, hubungan suami istri meskipun
telah bercerai, hubungan pertemanan, dan hubungan pekerjaan di luar
menjalankan jabatan sebagai jaksa dengan pihak yang sedang diproses,
serta kepentingan finansial yang dapat mempengaruhi jalannya proses
hukum yang sedang ditangani oleh jaksa ini .
6. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apa pun. Jaksa dengan
alasan apa pun tidak dibenarkan melakukan pembedaan perlakuan
terhadap seseorang berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan,
atau penghapusan pengakuan atau pelanggaran hak hukumnya.
7. Membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan
penegakan hukum. Dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa
semata-mata dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan,
ada hal yang tidak perlu diketahui oleh publik sebab dapat
berpengaruh pada proses penegakan hukum, untuk itu jaksa
tidak diperbolehkan membuat pernyataan yang dapat merugikan
penegakan hukum kepada publik.
8. memberi keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-
hal teknis perkara yang ditangani.
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari
warga , bilamana dalam diri para elite profesional ini ada
kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka
ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada warga yang
memerlukannya. Apa yang semua dikenal sebagai sebuah profesi yang
terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan
pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikit pun tidak diwarnai dengan
nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak
adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada
para elite profesional ini. Begitupula dengan jaksa yang harus memiliki
kode etik sebagai pedoman dalam menjalankan profesinya dan terlebih
lagi untuk mendapatkan kepercayaan dari warga serta menjaga
martabat profesinya.
Peranan Advokat sebagai Penegak Hukum
Menurut Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat yang
dimaksud Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan syarat-syarat yang
telah diatur dalam Pasal 3 UU Advokat.
Secara normatif, Undang-Undang Advokat juga menegaskan bahwa
peran advokat yaitu penegak hukum yang memiliki kedudukan setara
dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun,
meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para
penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Dalam konsep trias politika
tentang pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan
legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum yang terdiri dari
hakim, jaksa, dan polisi memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif.
Dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum yang menjalankan
kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan negara dan jaksa serta
polisi yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan
pemerintah. Bagaimana dengan Advokat?
Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga
kekuasaan ini (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai
penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri
untuk mewakili kepentingan warga (klien) dan tidak terpengaruh
oleh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili
kepentingan klien dan membela hak-hak hukum ini , cara berpikir
advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki
dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya
ketentuan advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut
keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi
yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Profesi Advokat yang bebas memiliki arti bahwa dalam
menjalankan profesinya membela warga dalam memperjuangkan
keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan dari mana
pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh
UU yaitu UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status
dan kedudukannya dalam warga , sehingga bisa berfungsi secara
maksimal.
Peran Advokat ini tidak akan pernah lepas dari masalah
penegakan hukum di negara kita . Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh
tingkat perkembangan warga , tempat hukum ini berlaku atau
diberlakukan. Dalam warga sederhana, pola penegakan hukumnya
dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula.
Namun dalam warga modern yang bersifat rasional dan memiliki
tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian
penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis.
Semakin modern suatu warga , maka akan semakin kompleks dan
semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya
yang memegang peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum
bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun
juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi proses
penegakan hukum.
Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang memiliki daya
laku lebih kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai
produk kekuasaan ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata
hidup dalam warga . Berdasarkan fenomena ini , maka peran
advokat dalam menegakkan hukum akan berwujud, yaitu:
• Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap masalah atau
perkara.
• Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan
kesusilaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan individual dan
sosial.
• Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus
perkara, bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak
netral dalam menerapkan hukum. sebab itu salah satu asas penting
dalam pembelaan, jika berkeyakinan seorang klien bersalah,
maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas
“clemency” atau sekadar memohon keadilan.
Selain peran di atas, Advokat juga memiliki peran dalam pengawasan
penegakan hukum, penjaga kekuasaan kehakiman, dan sebagai pekerja
sosial. Peran ini akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Peran Advokat sebagai pengawas penegakan hukum
Fungsi pengawasan penegakan hukum terutama dijalankan oleh
perhimpunan advokat. Pengawasan ini mencakup dua hal yaitu:
Internal, secara internal peran himpunan advokat harus dapat
menjadi sarana efektif mengawasi tingkah laku advokat dalam
profesi penegakan hukum atau penerapan hukum. Harus ada
cara-cara yang efektif untuk mengendalikan advokat yang tidak
mengindahkan etika profesi dan aturan-aturan untuk menjalankan
tugas advokat secara baik dan benar.
Eksternal, secara eksternal baik himpunan advokat maupun advokat
secara individual harus menjadi pengawas agar peradilan dapat
berjalan secara benar dan tepat. Bukan justru sebaliknya, advokat
menjadi bagian dari usaha menghalangi suatu proses peradilan.
2. Peran Advokat sebagai penjaga Kekuasaan Kehakiman
Perlindungan atau jaminan kehakiman yang merdeka tidak boleh
hanya diartikan sebagai bebas dari pengaruh atau tekanan dari
kekuasaan Negara atau pemerintahan. Kekuasaan kehakiman
yang merdeka harus juga diartikan sebagai lepas dari pengaruh
atau tekanan publik, baik yang terorganisasi dalam infrastruktur
maupun yang insidental. Tekanan itu dapat dalam bentuk
melancarkan tekanan nyata, membentuk pendapat umum yang
tidak benar, ancaman dan pengerusakan prasarana dan sarana
peradilan. Tekanan ini dapat pula bersifat individual dalam
bentuk menyuap penegak hukum agar berpihak. Advokat sebagai
penegak hukum, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan
kehakiman semestinya ikut menjaga agar kekuasaan kehakiman
yang merdeka dapat berjalan sebagaimana mestinya.
3. Peran Advokat sebagai pekerja sosial
Pekerja sosial dalam hal ini yaitu pekerja sosial di bidang
hukum. Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang
menghadapi persoalan hukum, namun tidak berdaya. Mereka
bukan saja tidak berdaya secara ekonomis namun mungkin juga
tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Berdasarkan hal ini ,
maka persoalan-persoalan hukum yang dihadapi rakyat kecil dan
lemah yang memerlukan bantuan, termasuk dari para advokat. UU
Advokat pasal 21 dalam hal ini memaparkan bahwa advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu.
Dari berbagai peran advokat ini memberikan pemahaman
bahwa advokat yaitu seorang ahli hukum yang memberikan jasa
atau bantuan hukum kepada kliennya. Bantuan hukum ini bisa
berupa nasihat hukum, pembelaan, atau mewakili (mendampingi)
kliennya dalam beracara dan menyelesaikan perkara yang diajukan
ke pengadilan.
Hak dan Kewajiban Advokat
Hak dan kewajiban serta larangan bagi Advokat telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai
berikut:
Pasal 14
“Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan”.
Pasal 15
“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang
pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 16
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk
kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Pasal 17
“Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh
informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah
maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan ini
yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 18
1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan
perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela
perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau warga .
Pasal 19
1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari Kliennya sebab hubungan profesinya, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan
atas komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 20
1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan
kepentingan tugas dan martabat profesinya.
2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian
sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau
mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas
profesinya.
3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas
profesi Advokat selama memangku jabatan ini .
Pasal 21
1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah
diberikan kepada Kliennya.
2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan
kedua belah pihak.
Batas Kewenangan Advokat
Problematika secara sosiologis keberadaan advokat di tengah-tengah
warga seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan
yaitu keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh warga ,
khususnya warga yang tersandung perkara hukum. namun ada juga
sebagian warga menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem
penegakan hukum tidak diperlukan, penelitian negatif ini tidak terlepas
dari sepak terjang dari advokat sendiri yang kadang kala menjalankan
tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum tidak sesuai dengan
harapan dan yang paling disayangkan yaitu sebagian kecil advokat
menjadi bagian dari mafia peradilan.
Kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum sebagai
penegak hukum dan profesi terhormat. Dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh kewenangan sama halnya
dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Kewenangan advokat dalam sistem penegakan hukum menjadi
sangat penting guna menjaga keindependensian advokat dalam
menjalankan profesinya dan juga menghindari adanya kesewenang-
wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum yang lain.
Aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya diberikan kewenangan namun
Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan kewenangan.
Melihat kenyataan ini maka diperlukan pemberian kewenangan
kepada advokat. Kewenangan ini diperlukan selain untuk
menciptakan kesejajaran di antara aparat penegak hukum juga untuk
menghindari adanya multitafsir di antara aparat penegak hukum yang
lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan.
Sementara UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang
kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai
aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan
norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat ini . Perlu
diketahui bahwa profesi advokat yaitu yaitu organ negara yang
menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi Advokat
sama dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman sebagai organ
negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya kalau Advokat yaitu
lembaga privat yang berfungsi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan,
dan Kehakiman yaitu lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan
fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai
aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat
penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran ini akan tercipta
keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum
yang lebih baik.
Kewenangan Advokat dari segi kekuasaan yudisial Advokat dalam
sistem kekuasaan yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili
warga . Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi ditempatkan untuk
mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan,
fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga
keseimbangan di antara kepentingan negara dan warga . Ada dua
fungsi Advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu
pertama kepentingan mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan
peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu
klien, seorang Advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan
dan fungsi Advokat. Selain kedua fungsi Advokat ini yang
tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat memberikan
pencerahan di bidang hukum di warga . Pencerahan ini bisa
dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi
berbagai peraturan perundang-undangan, konsultasi hukum kepada
warga baik melalui media cetak, elektronik, maupun secara
langsung. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat
sangat dibutuhkan oleh warga , khususnya warga yang
tersandung perkara hukum, untuk menunjang eksistensi Advokat dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum,
maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat.
Kewenangan Advokat ini diperlukan dalam rangka menghindari
tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan
batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan
profesinya. Dalam praktik sering kali keberadaan Advokat dalam
menjalankan profesinya sering kali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat
penegak hukum. Hal ini memicu kedudukan advokat “tidak
sejajar” dengan aparat penegak hukum yang lain.
Dari kondisi itu tampak urgensi adanya kewenangan advokat
di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegak
hukum. Kewenangan advokat ini diberikan untuk mendukung
terlaksananya penegakan hukum secara baik.
M. Etika Profesi Polisi di negara kita
Sebenarnya para sarjana belum ada kata sepakat tentang apa sebetulnya
yang menjadi definisi profesi sebab tidak ada suatu standar (yang
telah disepakati) pekerjaan/tugas yang bagaimanakah yang dikatakan
dengan profesi ini . Sebagai pegangan dapat diutarakan pendapat
yang dikemukakan oleh Dr. J. Spillane SJ. dalam “Nilai-nilai Etis dan
Kekuasaan Utopis”, yaitu suatu profesi dapat didefinisikan secara
singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi ini tidak bersifat
komersial, mekanis, pertanian, dan sebagainya. Profesi hukum yaitu
profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan yang memungkinkan
manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak perlu
tergantung pada kekuatan fisik maupun finansial). Hal ini dikarenakan
ketertiban berkeadilan yaitu kebutuhan dasar manusia; dan keadilan
yaitu nilai dan keutamaan yang paling luhur serta yaitu
unsur esensial dan martabat manusia. Pengemban profesi hukum itu
mencakup 4 (empat) bidang karya hukum, yaitu:
1. Penyelesaian konflik secara formal (peradilan yang melibatkan
profesi hakim, Advokat, dan Jaksa);
2. Pencegahan konflik (perancangan hukum);
3. Penyelesaian konflik secara informal (mediasi, negoisasi); dan
4. Penerapan hukum di luar konflik.
Profesi hukum di negara kita meliputi semua fungsionaris utama
hukum seperti Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kepolisian, dan Jabatan
lain. jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, maka
mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya sesuai dengan
tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik. Profesi
hukum yaitu salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai
moral dan perkembangannya. Nilai moral itu yaitu kekuatan yang
mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Kode etik kepolisian
diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik negara kita (“Perkapolri 14/2011”)
yang ruang lingkupnya terdiri dari (Pasal 4 Perkapolri 14/2011):
1. Etika Kenegaraan;
2. Etika Kelembagaan;
3. Etika Kewarga an; dan
4. Etika Kepribadian.
Kepolisian Negara Republik negara kita yaitu alat negara dalam
rangka pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk menuju
tercapainya warga adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik negara kita menyatakan sebagai berikut:
1. Pasal 1 ayat (1): Kepolisian yaitu segala hal ihwal yang berkaitan
dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Pasal 4: Kepolisian Negara Republik negara kita bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban warga , tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
warga , serta terbinanya ketenteraman warga dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
3. Pasal 5: Kepolisian Negara Republik negara kita yaitu alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
warga , menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada warga dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Sebagai penegak hukum, kepolisian seperti halnya juga hakim,
jaksa, pengacara juga memiliki tugas, yang tentu saja mulia. Pada
Pasal 13 bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik negara kita
adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban warga .
2. Menegakkan hukum; dan
3. memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
warga .
Kemudian dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana
dimaksud pada Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik negara kita
secara umum berwenang:
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga warga yang
dapat mengganggu ketertiban umum;
3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit warga ;
4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
5. Mengeluarkan aturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;
6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
9. Mencari keterangan dan barang bukti;
10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan warga ;
12. memberi bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
warga ;
13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Sehubungan dengan tugas pokok kepolisian yaitu memelihara
keamanan dan ketertiban warga , maka tugas itu ditujukan kepada
semua orang dan golongan dari warga negara negara kita , dan juga
termasuk orang-orang asing yang berada di negara kita . Ini artinya, polisi
sebagai penegak hukum tidak boleh atau tidak dibenarkan pandang
bulu terhadap para pelanggar hukum. Kemudian wewenang kepolisian
dalam mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit warga
ditujukan kepada penyakit-penyakit warga yang akan atau telah
menjadi kejahatan/pelanggaran. Adapun yang dimaksud dengan
penyakit warga adalah:
1. Pengemisan;
2. Pelacuran;
3. Perjudian;
4. Pemadatan, pemabukan;
5. Perdagangan manusia;
6. Pengisapan;
7. Pergelandangan.
Dalam menangani penyakit-penyakit warga yang ini di
atas, tentu saja pihak kepolisian tidak akan mampu melakukan sendiri.
Walaupun secara jujur harus diakui bahwa warga kita sekarang
ini sangat mendambakan kehadiran polisi yang ideal yang benar-benar
berpihak pada kepentingan warga , bukan menjadi alat penguasa.
Adapun kriteria polisi yang ideal menurut R.E. Barimbing adalah: 1.
Mengetahui batas-batas wewenangnya; 2. Memahami dan terampil
dalam melaksanakan hukum; 3. Tidak mengharapkan imbalan uang
dalam tugasnya; 4. Mempunyai kebanggaan terhadap profesinya (R.E.
Barimbing, 2001: hlm. 58) 8 pekerjaan kepolisian, menurut Satjipto
Rahardjo yaitu pekerjaan penegakan hukum in optima forma. Polisi
yaitu hukum yang hidup. Melalui polisi ini, janji-janji dan tujuan-
tujuan hukum untuk mengamankan dan melindungi warga menjadi
kenyataan. Kepolisian Negara Republik negara kita juga termasuk dalam
lembaga-lembaga independen yang dasar pembentukannya diatur dalam
UUD 1945. Pandangan Satjipto Rahardjo ini memang sesuai
dengan realitas tugas dan kewenangan polisi sebagai penyelenggara
profesi hukum. Hal ini sebab tujuan hukum yang antara lain berkaitan
dengan perlindungan terhadap keamanan warga dan pembaruan
hidupnya akan dapat dipahami, dipraktikkan, dan diberdayakan oleh
warga bilamana polisi l