pemidanaan 1

Jumat, 26 Januari 2024

pemidanaan 1







Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang 
Peraturan Hukum Pidana jo Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang 
Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan 
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia, perkembangan hukum 
pidana masih mengacu kepada ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur 
dalam Buku I  KUHP. Pengembangan asas-asas hukum pidana dan pemidanaan 
dalam peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana masih dapat 
dikendalikan berdasar  asas-asas hukum pidana dan pemidanaan dalam Buku I 
KUHP.  
Dalam perkembangannya, terutama sesudah  Tahun 1958, lahirlah produk 
hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang memuat 
asas-asas hukum pidana baik dalam di bidang hukum pidana materiil maupun hukum 
pidana formil yang menyimpang dari asas-asas umum hukum pidana materiil dalam 
Buku I KUHP dan hukum acara pidana (HIR).  
Pernyimpangan ini  tidak terbendung saat  kekuasaan Presiden semakin 
menguat/dominan dalam menerbitkan produk hukum di bidang hukum pidana 
melalui Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden. Proses pembuatan Penetapan 
Presiden dan Peraturan Presiden lebih sederhana yang berbeda dengan proses 
pembentukan undang-undang, sebab  harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat 
(DPR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1). 
sesudah  terjadinya pergeseran kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru, 
produk hukum (termasuk hukum pidana) dalam bentuk Penetapan Presiden dan 
Peraturan Presiden ini, diadakan legislative review sesuai dengan Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/ 1966 dan Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXIX/MPRS/1968, dalam usaha untuk 
memurnikan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Penetapan-penetapan 
Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang isi dan tujuannya tidak sesuai 
dengan suara hati nurani rakyat telah dinyatakan tidak berlaku dan Penetapan-
penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang memenuhi tuntutan suara 
hati nurani rakyat tetap berlaku melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai 
Undang-undang.  
Kebijakan melakukan legislative review ini dilihat dari sudut formal-
pragmatik dapat mengatasi persoalan status hukum Penetapan Presiden atau 
Peraturan Presiden yakni yang dinilai tidak sesuai dengan suara hati nurani rakyat 
dicabut, yang sesuai dengan suara hati nurani rakyat dinyatakan berlaku kemudian 
ditingkatkan statusnya sebagai undang-undang, dan yang materinya diperlukan namun  
secara formal tidak sesuai, maka direkomendasikan agar dijadikan bahan materi 
pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan materi dan 
tingkatannya. Dalam melakukan legislative review ini  ternyata tidak sampai 
menyentuh subtansi hukum secara mendalam sebab  dibatasi oleh waktu, maka 
rekomendasinya agar beberapa materi agar dijadikan bahan pembentukan peraturan 
perundang-undangan merupakan bukti bahwa proses legislative review ini belum 
tuntas.  
Materi undang-undang yang bersumber dari Penetapan Presiden ini 
kemudian masuk sebagai hukum pidana positif nasional yang dikategorikan sebagai 
hukum pidana khusus. Sebagai hukum pidana khusus (lex speciali) berarti memuat 
kaedah hukum yang menyimpangi dari kaedah umum hukum pidana, baik di bidang 
hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Legislasi hukum pidana di 
luar KUHP baik dikategorikan sebagai hukum pidana khusus maupun hukum pidana 
umum terus dikembangkan dan semakin meluas (hampir semua bidang hukum selalu 
memuat ketentuan pidana), sedang  ketentuan hukum pidana dalam KUHP praktis 
tidak dilakukan amandemen (kecuali melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 
tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang 
Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berikutnya Ketentuan Perundang-
undangan Pidana Kejahatan pada  Penerbangan dan kejahatan pada  
sarana/prasarana penerbangan dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang 
Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan 
pada  Keamanan Negara).  
Kebijakan legislasi berikutnya justru menghapus pasal-pasal KUHP dan 
mengambil alih pasal-pasal KUHP ke dalam undang-undang. Kebijakan legislasi 
hukum pidana di luar KUHP ini  telah melahirkan sistem hukum pidana baru 
yang berbeda dengan sistem hukum pidana dalam KUHP yang kemudian disebut 
sebagai sistem ganda hukum pidana nasional Indonesia, yaitu sistem hukum pidana 
KUHP dan sistem hukum pidana di luar KUHP. Perkembangan hukum pidana di 
luar KUHP menjadi tidak terkendalikan. Asas-asas hukum, kebijakan kriminalisasi 
dan sistem pemidanaan serta sistem perumusan sanksi pidananya lepas dari kendali 
ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I KUHP.  
Di samping itu, perkembangan hukum pidana internasional telah berkembang 
semakin pesat dan telah dibentuknya pengadilan pidana internasional (International 
Criminal Court) yang mengokohkan eksistensi hukum pidana internasional baik di 
bidang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil dari hukum pidana 
internasional. Perkembangan hukum pidana internasional ini  sedikit banyak 
telah mempengaruhi perkembangan hukum pidana nasional melalui kebijakan 
(politik) hukum pidana yang dilakukan dengan cara ratifikasi konvenan hukum 
pidana internasional atau kebijakan legislasi yang menjadikan hukum pidana 
internasional sebagai bahan pembentukan hukum pidana nasional melalui kebijakan 
sinkronisasi dan harmonisiasi dengan hukum pidana nasional. Kebijakan ratifikasi 
dan legislasi hukum pidana internasional ini  tidak dapat dihindari, namun  
bila  dilakukan tidak secara cermat dan hati-hati, akan merusak sendi-sendi 
keadilan hukum pidana nasional yang dapat menjauhkan cita rasa keadilan bagi 
warga  hukum Indonesia. 
Politik hukum pidana dan politik pemidanaan sebagaimana diuraikan 
ini  berpengaruh pada kebijakan kriminalisasi dalam proses legislasi hukum 
pidana dan sistem perumusan ancaman sanksi pidana dalam hukum pidana yang 
berlanjut ke dalam praktek penjatuhan pidana, yakni belum adanya standar 
kriminalisasi dan penalisasi serta standar perumusan sanksi pidana dan pemidanaan 
dalam hukum pidana yang memicu  terjadinya disparitas dalam perumusan 
ancaman sanksi pidana dan penjatuhan pidana. Di samping itu, kebijakan legislasi 
hukum pidana melahirkan duplikasi dan triplikasi pengaturan tindak pidana dalam 
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang lebih rendah (undang-
undang dengan peraturan daerah), dan masing-masing tindak pidana diancam 
dengan ancaman pidana yang berbeda-beda (terjadi disparitas dalam perumusan 
sanksi pidana). Keadaan ini  juga berpengaruh pada  pembentukan Peraturan 
Daerah (Perda) yang memuat norma hukum pidana dan sanksi pidana yang tidak 
sesuai dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi.  
Perumusan perbuatan pidana dan pengancaman sanksi pidana dalam 
peraturan perundang-undangan hukum pidana yang belum membentuk suatu sistem 
perumusan perbuatan pidana dalam pengancaman sanksi pidana ini  
menyulitkan dalam praktek penegakan hukum pidana yakni dalam penjatuhan 
pidana oleh hakim dan pelaksanaan sanksi pidana oleh jaksa penuntut umum. 
Praktek penjatuhan dan pelaksanaan sanksi pidana menimbulkan ketidak pastian 
hukum, sebab  rumusan norma perbuatan pidana dan sanksi pidana ini  belum 
disertai dengan ketentuan atau peraturan pelaksanaan dalam situasi dan keadaan 
yang bagaimana penjatuhan dan pelaksanaan sanksi pidana ini  dijatuhkan 
kepada pelaku (terdakwa), mengingat masing-masing pelaku memiliki peran yang 
berbeda-beda dan perbedaan ini  signifikan dalam proses terjadinya pelanggaran 
hukum pidana 
Atas dasar pemikiran ini , dipandang perlu untuk melakukan kajian 
secara mendalam dan komprehensif mengenai kebijakan (politik) hukum pidana dan 
kebijakan (politik) pemidanaan dalam rangka untuk membangun sistem hukum 
pidana nasional Indonesia. Kegiatan ini sesuai dengan Rencana Pembangunan 
Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang menjadi sasaran 
politik hukum yakni terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekwen dan 
tidak dikriminatif, terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan 
pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang 
berwibawa, bersih, professional dalam usaha  memulihkan kembali kepercayaan 
warga  pada  hukum secara keseluruhan, khususnya bidang hukum pidana.   


POLITIK PEMIDANAAN DALAM KUHP DAN DILUAR KUHP 
 
 
A. -- 
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan telah memberi  pedoman  dan teknik dasar dalam  
perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Namun demikian, sekalipun 
sedikit banyak disinggung, undang-undang ini  belum memberi  acuan yang 
konprehensif tentang bagaimana merumuskan suatu ”tindak pidana” dalam peraturan 
perundang-undangan. Baik saat  hal itu menjadi bagian ”Ketentuan Pidana” dalam 
undang-undang administratif, maupun saat  merumuskannya dalam undang-undang 
pidana.  
Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan 
tentang: (1) subyek hukum yang menjadi sasaran norma ini  (addressaat norm); 
(2)  perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik berupa dalam bentuk melakukan 
sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat 
(kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat), 
sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan ini .  
Sejauh ini, belum ada  pedoman yang memberi  batasan yang cukup 
jelas tentang bagaimana merumuskan dan mengkaitkan ketiga aspek dari tindak 
pidana di atas, kecuali pembahasan-pembahasan teoretis yang disana-sini masih 
menjadi perdebatan antara ahli yang satu dengan yang lain. Akibatnya, rumusan 
tindak pidana menjadi sangat beragam. Bahkan suatu undang-undang yang 
diundangkan dalam waktu yang relatif bersamaan, mempunyai karakter rumusan 
norma yang sangat berbeda.  
Terlalu beragamnya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan 
berimplikasi pada  penafsiran norma yang pada gilirannya dapat mempengaruhi 
pencapaian tujuan hukum dan efektivitas praktek penegkan hukum.  
Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan  pengkajian tentang gambaran 
praktek pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal 
perumusan ”tindak pidana” atau perumusan norma tindak pidana dan norma 
perumusan ancaman pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP. 
 
B. Politik Pemidanaan dalam KUHP 
Perumusan politik pemidanaan dalam KUHP dilihat dari sudut kajian, yaitu 
ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I KUHP dan perumusan ancaman 
sanksi pidana dalam Buku II dan Buku III KUHP. 
Perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu kepada norma 
pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu : 
 
 
Pasal 10  
Pidana terdiri atas:  
a. pidana pokok: 
1. pidana mati; 
2. pidana penjara; 
3. pidana kurungan; 
4. pidana denda; 
5. pidana tutupan.  
b. pidana tambahan 
1. pencabutan hak-hak tertentu; 
2. perampasan barang-barang tertentu; 
3. pengumuman putusan hakim. 
Ketentuan pidana ini  metode pengamanannya dalam norma hukum pidana 
diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 43 KUHP. Ketentuan pemidanaan 
dalam Buku I KUHP ini diformulasikan secara konsisten dalam norma hukum 
pidana dalam Buku II dan Buku II KUHP. Fungsi ketentuan umum hukum pidana 
dalam Buku I benar-benar menjadi pedoman dalam memformulasikan ancaman 
pidana dalam norma hukum pidana dan dalam pelaksanaan pidana.  
Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, 
paling tidak ada  3(tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum 
pidana di dalam warga , yaitu: 
a. Membentuk atau mencapai cita kehidupan warga  yang ideal atau 
warga  yang dicitakan, 
b. Mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam warga ,  
c. Mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh 
warga  dengan teknik perumusan norma yang negatif. 
Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar 
pengancaman dan penjatuhan pidana, dalam konteks ini alasan pemidanaan yaitu  
pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan 
atau pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan 
tertentu.  
Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan ukuran atau dasar 
keadilan bila  terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini, 
pemidanaan erat hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana.  Sebagai 
sebuah sistem, telaahan mengenai pemidanaan dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, 
yaitu sudut fungsional dan sudut norma substantif. 
Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai 
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-
sasi/operasionalisasi/ konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem (aturan 
perundang-undangan) yang mengatur bagaimana   hukum pidana ditegakkan 
atau dioperasionalkan secara  konkret, sehingga  seseorang  dijatuhi  sanksi  
(hukum)  pidana. Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem 
penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana 
Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub-sistem Hukum 
Pelaksanaan  Pidana. sedang  dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari 
norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan 
sebagai keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pe-
midanaan; atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk 
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, 
maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada 
di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, 
pada hakikatnya  merupakan  satu  kesatuan   sistem pemidanaan, yang terdiri 
dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). 
Aturan umum ada  di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus ada  di 
dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar 
KUHP,1 baik yang mengatur hukum pidana khusus maupun yang mengatur 
hukum pidana umum. 
Ditinjau dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, 
perbuatan pidana, dan pertanggungjawaban pidana, muatan hukum pidana dalam 
KUHP yang perlu mendapat perhatian yaitu  mengenai: 
a. Pidana atau pemidanaan:  
KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga 
pidana dijatuhkan ditafsirkan sesuai dengan pandangan aparat penegak 
hukum dan hakim yang masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda.  
Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku, dalam arti tidak dimungkinkannya 
modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri 
pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP yang demikian itu jelas tidak 
memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk 
pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, 
pelaksanaan pidana pidana mati, pidana denda, pidana penjara, dan pidana 
bagi anak. 
Sistem beracara pidana pada kasus yang diancam dengan hukuman mati 
(pasal 340 KUHP) dan yang tidak dengan ancaman pidana mati (pasal 338 
KUHP) prosedurnya sama, tidak mempunyai perbedaan dan tidak 
mempunyai kualifikasi dan prosedur yang berbeda. Sebagai contoh, seorang 
didakwa mencuri ayam dan seorang yang didakwa dengan pembunuhan 
berencana dengan ancaman hukuman mati, prosedurnya sama. Hal ini 
seringkali memunculkan adanya praktek-praktek rekayasa yang dapat 
mencederai rasa keadilan di dalam warga . 
Buku ke-I KUHP yang berisi asas-asas umum dalam pengaturan hukum 
pidana nasional, ternyata tidak mampu menampung perkembangan hukum 
di Indonesia. Akibatnya, perkembangan asas hukum Indonesia tidak lagi 
                                                
hanya berpegang pada Buku ke-I sebab  segala unsur (politik negara dan 
politik hukum) bangsa berkembang dengan pesat. Akibatnya, 
pengembangan asas cenderung di luar KUHP. Undang-undang khusus 
dikatakan sangat liar sebab  mengatur hal-hal dan asas-asas sendiri yang 
tidak ada rujukannya dengan KUHP yang diatur dalam Buku ke-II. Sebagai 
contoh keberadaan Undang-undang Otonomi yang melahirkan undang-
undang khusus  dan memberi daerah wewenang untuk membuat Hukum 
Pidananya sendiri seperti dalam kasus hukum Qonun di Aceh dan Peraturan 
Daerah yang mengatur tentang hukum pidana di daerah.  
Terkait dengan pemidanaan, KUHP tidak mengatur adanya ancaman pidana 
minimum khusus. Seharusnya, jika hendak mengatur mengenai ancaman 
pidana minimum khusus dalam hukum pidana khusus dalam undang-undang 
di lur KUHP, terlebih dahulu dimulai dari melakukan amandemen KUHP 
maka seharusnya pasal dalam KUHP diamandemen dahulu sebelum ada 
undang-undang di luar KUHP, sehingga undang-undang  yang bersifat 
khusus ini  mempunyai cantolan pada  KUHP yang merupakan 
ketentuan umum hukum pidana nasional Indonesia. 
b. Perbuatan Pidana:  
Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat 
positivis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas 
legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberi  tempat bagi 
hukum yang hidup di tengah-tengah warga  yang tidak tertulis dalam 
perundang-undangan. Oleh sebab  itu, secara sosiologis KUHP telah 
ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di 
warga . 
KUHP sebagai hukum tertulis selalu lamban dalam merespon 
perkembangan hukum yang terjadi dalam warga , keadaan ini 
kemudian melahirkan ide untuk membentuk hukum pidana baru di luar 
KUHP. Namun dalam perumusan norma hukum pidana di luar KUHP 
ini  cenderung melepaskan diri ikatannya dari KUHP, terutama Buku I 
KUHP, yang kemudian melahirkan sistem norma sendiri yang memiliki 
nilai dan asas-asas hukum pidana yang lepas dari ketentuan umum hukum 
pidana Buku I KUHP, bahkan dalam kaitannya dengan Buku II dan Buku II 
KUHP acap kali terjadi duplikasi atau pengulangan pengaturan dan 
sebagian di antaranya ada yang triplikasi pengaturan, yakni pengaturan 
norma yang sama diatur dalam tiga peraturan yang berbeda dengan disertai 
dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda. 
c. Pertanggungjawaban pidana:  
Beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana 
antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan 
secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van 
Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan 
penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), 
yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana sebab  secara obyektif 
memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) 
dan secara subyektif ada  unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi 
rumusan asas culpabilitas)2.  
Demikian juga tidak mengatur mengenai subjek hukum korporasi dan 
pertanggungjawaban korporasi yang memicu  terjadinya penafsiran 
yang tidak sama mengenai siapa yang bertangungjawab bila  ditengarai 
terjadinya pelanggaran hukum yang melibatkan korporasi. 
Atas dasar uraian ini  di atas, melahirkan sistem formulasi pengancaman 
pidana dalam hukum pidana yang menjadi tidak konsisten. Menurut KUHP 
ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut: 
Aturan Pemidanaan dalam KUHP 
No Jenis Pidana Aturan Pemidanaan 
1. Pidana Mati   Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat 
yang diancamkan kepada tindak pidana yang 
sangat berat selalu disertai dengan alternatif 
pidana sumur hidup atau pidana penjara paling 
lama 20 tahun. 
 Menurut UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964 
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang 
Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan 
Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan dengan 
cara tembak mati 
 
 Pidana Penjara  Lamanya dapat  seumur hidup atau selama waktu 
tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum 
15 tahun) 
 Boleh 20 tahun berturut-turut, jika: 
  ada alternatif pidana mati, penjara seumur 
hidup, atau penjara selama waktu tertentu,  
 ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan 
yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52) 
 Tidak boleh melebihi 20 tahun. 
 Dapat ditambah pidana tambahan 
 Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 
paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2 
tahun.  
                                                 

 
 Masa percobaan dimulai saat keputusan 
hakim berkekuatan hukum tetap. 
 
3. Pidana Kurungan 
 
 Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 
tahun. 
 Jika ada pembarengan, pengulangan, atau 
dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 
bulan. 
 
4. Pidana Denda 
 
 
 Minimal umum Rp 3,75 
 Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti. 
 Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 
6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, 
pengulangan, atau dilakukan pejabat maka 
maksimal 8 bulan. 
 
 
Norma hukum pidana dan norma pengancaman sanksi pemidanaan dalam KUHP 
disusun secara sistematik sehingga nampak jelas hubungan antara norma hukum 
pidana dalam satu pasal dengan pasal lain, demikian juga cara merumuskan 
ancaman sanksi pidana. Unsur sistematik ini  menjadi ciri dari suatu hukum 
yang terkodifikasi, sebab  disusun dan dipersiapkan dan dirumuskan dalam 
waktu dan oleh lembaga perumus yang sama. Hal ini berbeda dengan hukum 
non-kodifikasi atau dalam undang-undang di luar KUHP/kodifikasi yang 
biasanya dibuat dan diberlakukan untuk merespon kejahatan tertentu dan 
dipengaruhi oleh situasi kondisi kejahatan pada saat itu. 
Deskripsi penormaan hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana dalam 
KUHP dapat dideskripsikan sebagai berikut: 
1. Pengaturan sistem pengancaman pidana dalam KUHP diatur dalam 
pedoman umum pengancaman pidana dimuat dalam Buku I tentang 
Ketentuan Umum: 
a. Jenis pidana (dimuat dalam Pasal 10 KUHP) 
b. Cara pengancaman pidana 
c. Penjatuhan pidana perbarengan 
d. Pemberatan dan pemeringan pidana 
2. Formulasi pengaturan pengancaman pidana dalam Buku II KUHP:  
a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 123  kali, dengan rincian  :  
1)   Ancaman pidana denda saja sebanyak 1 kali dengan memakai  
rumusan „pidana denda‟ saja yang ditujukan kepada pengurus 
perseroan yang turut andil dalam menerbitkan ijin untuk 
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar. 
2)   Ancaman pidana denda sebagai pidana alternatif pidana lain 
sebanyak  122 kali yang didahului dengan frase „atau pidana 
denda‟. 
b. Pidana kurungan diterapkan sebanyak 37 kali dengan rincian: 
1)   Pidana kurungan dipergunakan sebagai ancaman pidana pokok 
sebanyak 9 kali yang prumusannya diawali dengan kata „dengan 
pidana kurungan‟.  
2)   Pidana kurungan sebagai pidana alternatif dari pidana lain 
dipergunakan sebanyak 28 kali yang dalam prumusannya diawali 
dengan kata „atau pidana kurungan‟.  
c. Pidana mati dipergunakan sebagai ancaman sanksi pidana sebanyak 10 
kali dengan cara pengancaman: 
1) Pidana mati sebagai pidana pokok terberat 
2) Pidana mati selalu diancamkan sebagai pidana pemberatan 
ditujukan kepada delik yang dikualifisir. 
3)     Pidana mati selalu dialternatifkan sebagai pidana penjara seumur 
hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun. 
d. Pidana Penjara dipergunakan sebagai ancaman pidana sebanyak 485 
kali dengan rincian: 
1)     Kedudukan sanksi pidana penjara sebagai pidana pokok, sebagai 
alternatif atau sebagai pidana yang bersifat sementara atau 
sebagai pidana pengganti. 
2)     Pidana penjara dengan hitungan tahun sebagai ancaman pidana 
pokok dipergunakan sebanyak 274 kali. 
3)     Pidana penjara baik dengan hitungan tahun atau seumur hidup 
dipergunakan sebanyak 292 kali. 
4)     Pidana penjara diancamkan sebagai ancaman pidana alternatif 
dari ancaman pidana lain dipergunakan sebanyak 26 kali. 
e. Perumusan sanksi pidana penjara dalam Buku II dideskripsikan 
sebagai berikut: 
1) Pidana Penjara paling lama 1 bulan = 3 kali 
2) Pidana Penjara paling lama 1 tahun = 48 kali 
3) Pidana Penjara paling lama 1 tahun 6 bulan = 6 kali 
4) Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 36 kali 
5) Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 37 kali 
6) Pidana Penjara paling lama 3 bulan = 9 kali 
7) Pidana Penjara paling lama 3 tahun = 5 kali 
8) Pidana Penjara paling lama 4 tahun = 47 kali 
9) Pidana Penjara paling lama 5 tahun = 30 kali 
10) Pidana Penjara paling lama 6 bulan = 5 kali 
11) Pidana Penjara paling lama 6 tahun = 17 kali 
12) Pidana Penjara paling lama 7 tahun = 41 kali 
13) Pidana Penjara paling lama 8 tahun = 14 kali 
14) Pidana Penjara paling lama 9 bulan = 36 kali 
15) Pidana Penjara paling lama 9 tahun = 19 kali 
16) Pidana Penjara paling lama 12 tahun = 28 kali 
17) Pidana Penjara paling lama 15 tahun = 28 kali 
18) Pidana Penjara paling lama 20 tahun = 7 kali 
19) Pidana Penjara seumur hidup = 23 kali 
3. Pengaturan pengancaman pidana dalam Buku III KUHP: 
a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 84 kali dengan rincian: 
1) Pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan sebanyak  8 
kali 
2) Pidana denda sebagai alternatif pidana kurungan dipergunakan 
sebanyak  35 kali. 
3) Pidana denda sebagai pidana pokok dipergunakan sebanyak 39 kali. 
b. Pidana kurungan dipergunakan sebanyak 55 kali dengan rincian sebagi 
berikut: 
1) Pidana kurungan paling lama 1 bulan sebanyak 7 kali 
2) Pidana kurungan paling lama 1 tahun sebanyak  1 kali 
3) Pidana kurungan paling lama 10 hari sebanyak  2 kali 
4) Pidana kurungan paling lama 12 hari sebanyak  2 kali 
5) Pidana kurungan paling lama 2 bulan sebanyak  7 kali 
6) Pidana kurungan paling lama 2 minggu sebanyak  2 kali 
7) Pidana kurungan paling lama 3 bulan sebanyak  9 kali 
8) Pidana kurungan paling lama 3 hari sebanyak  5 kali 
9) Pidana kurungan paling lama 3 minggu sebanyak  2 kali 
10) Pidana kurungan paling lama 6 bulan sebanyak 1 kali 
11) Pidana kurungan paling lama 6 hari sebanyak 10 kali 
12) Pidana kurungan paling lama 6 minggu sebanyak  1 kali 
 
C. Politik Pemidanaan dalam Undang-undang di luar KUHP 
1. Tentang Ancaman Pidana 
Telah menjadi kesepakatan istilah ”straf” diartikan ”pidana”. Istilah 
”hukuman”, masih bersifat umum, sebab  dapat meliputi ”hukuman perdata” 
maupun ”hukuman administrasi negara”. Hukuman dalam arti khusus di bidang 
hukum pidana yaitu  ”pidana”. Selain itu, dalam hukum pidana juga dikenal 
sanksi lain yang disebut ”tindakan” (maatregeel). 
Pidana yaitu  reaksi atas tindak pidana, yang berujud nestapa yang dengan 
sengaja  ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana ini . Dari 
definisi ini ada tiga unsur utama dari pengertian  ”pidana”, yaitu: (1) merupakan 
re-aksi atas suatu aksi, yaitu reaksi atas suatu   ”criminal act” atau tindak 
pidana; (2) yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana 
(daader) oleh negara.  
Antara ”perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan ”ancaman pidana” atau 
strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Dilihat dari 
hakekatnya, perbuatan pidana yaitu  perbuatan yang tercela (tercela sebab  
dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedang  pidana 
merupakan konkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” pada  perbuatan 
yang  termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul” sebab  adanya 
ancaman penjatuhan pidana ini  barangsiapa yang melakukan perbuatan 
ini .  
Pidana mesti mempunyai sifat pembalasan didalamnya, sehingga ”nestapa” 
menjadi bagian dari tujuan jangka pendek dari penjatuhan suatu pidana. 
Mengingat tingkat ketercelaan di antara tindak pidana yang satu berbeda dari 
tindak pidana yang lain, maka tingkat nestapa yang diancamkannya pun 
berbeda-beda. Baik perbedaan sebab  jenis, maupun perbedaan sebab  jumlah.    
Selain itu, ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan 
kepada orang yang melakukan.  Artinya, dengan penjatuhan pidana maka 
celaan yang objektif ada pada tindak pidana  kemudian berubah bentuk menjadi 
celaan subyektif kepada pembuatnya. Dalam hukum pidana modern, pembuat 
tindak pidana dapat merupakan ”orang perseorangan” (natuurlijke persoon) 
ataupun korporasi (korporatie).  
Umumnya penancaman pidana  dalam suatu rumusan tindak pidana, dapat 
mengikuti beberapa model, yaitu: (1) satu jenis pidana diancamkan  sebagai 
ancaman pidana tunggal (kecuali pada  pidana mati, selalu harus 
dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 
waktu tertentu); (2) satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis 
pidana yang lain; (3) satu jenis pidana diancamkan secara komulatif dengan 
jenis pidana yang lain; dan (4) pidana diancamkan dengan kombinasi alternatif-
kumulatif.  
Konsepsi teoretik sebagaimana ini  membawa konsekuensi bila  
dituangkan dalam rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan. Oleh sebab  itu, pengkajian pada  rumusan ancaman pidana 
dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP berpangkal tolak dari 
konsepsi teoretik ini . 
2. Nomenklatur Ancaman Pidana 
Meskipun umumnya para ahli sepakat, memakai  istilah ”pidana”, namun  
istilah ini  tidak selalu dipakai  dalam undang-undang.  Beberapa 
undang-undang menggunankan istilah ”hukuman”. Misalnya, Undang-Undang 
No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang 
Berhak atau Kuasanya. Begitu juga dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, pada  ”pidana 
penjara” misalnya  dipakai  istilah ”hukuman penjara” dan ”kurungan” 
disebut dengan ”hukuman kurungan”.  Namun demikian, dalam Pasal 6 
Undang-Undang No. 15 tahun 2002  Tentang  Tindak Pidana Pencucian uang, 
didepan kata ”penjara” tidak dipakai  kata ”pidana”, sehingga tertulis: 
”...dipidana dengan penjara....” 
Selain itu, berbagai undang-undang  mengunakan istilah ”pidana” di depan 
istilah ”denda” sementara berbagai undang-undang yang lain tidak demikian. 
Misalnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif 
Indonesia memakai  idiom ”pidana denda”. Dalam Pasal 16 undang-
undang ini   ditentukan: ”...dipidana dengan pidana denda....”. Demikian 
pula Pasal 34 Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, 
memakai  istilah ”pidana denda”. sedang  Undang-Undang No. 5 
Tahun 1990 dan berbagai undang-undang lainnya hanya memakai  istilah 
”denda” saja tanpa ditambahkan istilah ”pidana” didepannya. 
Selain itu, untuk menggambarkan jumlah minimum khusus maupun maksimum 
khusus yang dapat dijatuhkan bagi pembuat tindak pidana tertentu, juga 
menunjukkkan perbedaan-perbedaan penggunaan nomenklatur antara undang-
undang yang satu dengan undang-undang yang lain.  
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia memakai  
istilah ”paling lama” untuk pidana penjara dan ”paling sedikit” dan ”paling 
banyak” untuk denda. Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan 
Pemeriksa Keuangan memakai  istilah ”paling singkat” untuk pidana 
penjara.  
sedang  Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa 
dan Sistem Nilai Tukar memakai  istilah ”sekurang-kurangnya”... untuk 
pidana denda minimum yang dapat dijatuhkan dan memakai  istilah 
”paling banyak” untuk maksimumnya. Sementara itu Undang-Undang No. 5 
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak 
Sehat, memakai  istilah ”serendah-rendahnya” dan ”setinggi-tingginya” 
untuk  menunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya.   
Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah 
Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya memakai  istilah ”selama-
lamanya”. Dalam hal ini ditentukan ”...dipidana dengan hukuman kurungan 
selama-lamanya...”. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang 
Tindak Pidana Korupsi, khusunya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan 
pembayaran uang pengganti, dipakai  istilah ”sebanyak-banyaknya” untuk 
menggambarkan jumlah maksimum pidana tambahan pembayaran uang 
penggati yang dapat dijatuhkan. 
Ada juga undang-undang yang memakai  istilah ”sekurung-kurangnya” 
untuk menggambarkan minimum (khusus) pidana penjara yang dapat 
dijatuhkan. Misalnya, dalam  Pasal 48 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Tentang 
Perbankan, yang menentukan: ”...dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun....”.  
Sementara itu, dalam merumuskan ”ancaman” dari jenis-jenis  pidana tertentu 
dalam rumusan tindak pidana juga masih menunjukkan perbedaan di antara 
berbagai undang-undang. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang 
Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesudah  uraian perbuatannya dipakai   istilah 
”...diancam dengan pidana penjara....”. Senada dengan hal ini Undang-
Undang No. 51 Prp tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin 
Yang Berhak atau Kuasanya memakai  istilah ”...dapat dipidana 
dengan....”.  Sementara berbagai undang-undang lainnya memakai  istilah 
”...dipidana dengan pidana penjara....”, seperti dalam Undang-Undang 23 
tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Lain lagi dengan Undang-Undang No. 
21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja/Serikat Buruh, memakai  anak 
kalimat: ”...dikenakan sanksi  pidana penjara....”  
3. Adressaat Norm Ancaman Pidana 
Dalam hukum pidana modern, ancaman pidana ditujukan kepada orang 
perseorangan (natuurlijke persoon) atau korporasi (korporatie). Sebelumnya 
tidaklah demikian, sebab  pada mulanya ancaman pidana hanya ditujukan 
pada  orang perseorangan.  
Secara umum hal ini direpresentasikan dengan dua  istilah ”barangsiapa” atau  
”setiap orang”. Mengingat, ancaman pidana mulanya hanya ditujukan 
pada  orang perseorangan, maka  sebutan umum yang dipakai  untuk 
menunjukkan addressaat norm tindak pidana yaitu   ”barang siapa”. Istilah   
”setiap orang” pertama kali dugunakan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 
1992 Tentang Keimigrasian. Namun demikian, pembentuk undang-undang 
dengan    Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 kembali memakai  istilah 
”barangsiapa”. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama 
kali dipakai  idiom ”setiap orang”, pembentuk undang-undang 
mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina 
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan memakai  istilah ”barang siapa” untuk 
menunjukkan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya. Tidak jelas betul 
adakah hubungan antara penggunaan istiah  ”setiap orang” dengan 
perkembangan hukum pidana bahwa ancaman pidana juga ditujukan pada  
korporasi.  
Adakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan 
”kualitas” tertentu. Kualitas ini  menjadi bagian inti tindak pidana yang 
harus dibuktikan Penuntut Umum. Beberapa istilah bersifat sangat umum, 
seperti ”setiap pihak” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasal 
Modal atau  ”orang asing” dalam  Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang 
Keimigrasian. Adakalanya memakai  istilah yang sangat spesifik, seperti 
”pengusaha pengurusan jasa kepabeanan” dalam Undang-Undang No. 10 
tahun 1995 Tentang Kepabeanan (sudah tidak berlaku lagi) atau ”pengusaha 
pabrik” dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. 
Penyebutan subyek hukum sebagai addressaat norm ancaman pidana yaitu  
keliru sebab  seharusnya dipakai  istilah yang bersifat umum. Misalnya 
dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang 
menentukan sebagai berikut: 
”Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika 
yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut 
nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana 
penjara paling lama 1 (satu) tahun.” 
Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada ”saksi” sebab  saksi yaitu  
orang yang tidak melakukan tindak pidana, namun  justru yang melihat, 
mendengar dan mengalami sendiri dari suatu tindak pidana.  
Perumusan semestinya kepada pelarangan pada ”perbuatan” bukan pelarangan 
pada  ”status seseorang”. Dengan kata lain, ”perbuatan orang dalam 
kualitas” tertentu yang seharusnya dilarang. berdasar  hal ini rumusan 
tindak pidana di atas seharusnya menentukan: 
”Setiap orang yang memberi  keterangan sebagai saksi atau orang lain 
yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam 
pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal 
yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) 
tahun.”  
Selain itu, juga merupakan perumusan tindak pidana yang keliru, jika ancaman 
pidana ditujukan kepada ”perbuatan”, namun  ancaman pidana seharusnya 
ditujukan kepada ”orang yang melakukan perbuatan”. Misalnya, perumusan 
tindak pidana dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang 
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang 
menentukan: 
”Pelanggaran pada  ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 
14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal  28 
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25. 
000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginya Rp. 
100.000.000.000 (seratus mililar), atau pidana kurungan pengganti denda 
selama-lamanya 6 (enam) bulan” 
Demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang 
Narkotika, masih mengancam pidana pada  perbuatan, dengan menentukan:  
“Percobaan atau permufakatan jahat ….diancam dengan pidana yang 
sama….” 
4. Penempatan Ancaman Pidana 
Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan 
tindak pidana. Namun demikian, bila  ancaman pidana ditujukan pada  
beberapa perbuatan sekaligus, maka ancaman pidana ditempatkan di depan 
perbuatan terlarangnya. Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman 
pidana tertuju hanya pada  sebagian perbuatan saja. Adakalanya status 
rumusan tindak pidana yang melarang beberapa perbuatan sekaligus 
menempatkan ancaman pidana pada bagian akhir rumusan delik ini , 
sehingga menimbulkan kesan ancaman pidana tertuju pada perbuatan yang 
dirumuskan paling akhir. Misalnya, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 15 
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, yang menentukan: 
“Setiap orang yang dengan sengaja : 
a. menempatkan...; 
b. mentransfer...; 
c. membayarkan...; 
d. menghibahkan...; 
e. menitipkan...; 
f. membawa...; 
g. menukarkan...; 
h. menyembunyikan atau menyamarkan..., dipidana sebab  tidak pidana 
pencucian uang dengan pidana penjara....” 
Perumusan ini menjadi lebih baik bila  dirumuskan sebagai berikut: 
”Dipidana dengan pidana penjara....., setiap orang yang: 
a. menempatkan...; 
b. mentransfer...; 
c. membayarkan...; 
d. menghibahkan...; 
e. menitipkan...; 
f. membawa...; 
g. menukarkan...; 
h. menyembunyikan atau menyamarkan....” 
Rumusan terakhir ini, ancaman pidana ditujukan pada  semua perbuatan dari 
huruf a sampai dengan huruf h. sedang  perumusan sebelumnya, seolah-olah 
hanya pada  perbuatan yang termuat dalam huruf h. 
5. Model Ancaman Pidana  
Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum 
pengacaman pidana dalam KUHP, dengan memakai  model pengancaman 
kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung ”dan” diantara dua jenis 
pidana yang diancamkan) atau model kombinasi alternatif-kumulatif yang 
ditandai dengan kata penghubung ”dan/atau” diantara dua jenis pidana yang 
diancamkan).   
Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana 
kedua jenis pidana ini  sekaligus. Persoalannya, pada subyek tindak pidana 
korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda, dan tidak dapat 
dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Mengingat konstruksi ini, 
akan timbul kesulitan penjatuhan pidana (hanya) pada  korporasi dalam hal 
tindak pidana yang dilakukan mengancamkan secara kumulatif pidana-pidana 
dengan jenis berbeda. Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan 
tindak pidana yaitu  denda, namun  tetap saja dengan model pengancaman 
kumulatif hakim ”harus” menjatuhkan keduanya. Akibatnya, pengancaman 
pidana pada  korporasi menjadi ”non applicable”  Misalnya pada rumusan 
tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 
tentang Usaha Perasuransian. Seharunya, dalam hal ancaman tindak pidana 
ini  juga ditujukan pada  korporasi, dengan perumusan yang bersifat 
umum melalui idiom ”setiap orang”, maka model ancaman pidana alternatif 
atau kombinasi alternatif-kumulatif lebih tepat.  
 
D. HUKUM TENTANG PELAKSANAAN PIDANA 
 
Berbicara tentang hukum pelaksanaan pemidanaan di Indonesia tidak 
dapat dilepaskan  dari proses dan tujuan pemidanaan masa penjajahan Belanda. 
Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh Belanda, demikian pula sistem 
pemidanaannya.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van 
Strafrecht voor de Inlenders in Nederlandsch ladle merupakan peninggalan 
Belanda yang ditetapkan sejak tahun 1872. 
Pada  masa penjajahan Belanda, jenis pidana utama bagi pribumi yaitu  pidana 
kerja paksa, pidana mati dan denda.   Pidana kerja paksa  identik dengan 
"pembuangan" sebab  pelaksanaannya dilakukan di luar daerah tempat keputusan 
pengadilan pertama dijatuhkan. Pembuangan dianggap sebagai usaha  menambah 
penderitaan dari pidana kerja paksa ini . Tujuan utama pidana ini yaitu  untuk 
menunjang kepentingan kolonial Belanda, terutama kepentingan ekonomi, politik 
dan militer. 
Tahun 1905 pemerintah kolonial Belanda,  dengan pertimbangan efektifitas 
pidana kerja paksa dan alasan keamanan dan penjeraan serta membuat takut 
terpidana penjara maka pemerintah Belanda mengambil kebijakan baru dengan  
pengkonsentrasian para terpidana kerja paksa pada pusat-pusat penampungan 
wilayah, yang disebut "penjara-penjara pusat", sekaligus difungsikan untuk 
menampung tahanan, sandera, dan lainnya. sedang  terpidana kerja paksa di 
tempatkan jauh dari daerah asalnya.    
Sementara untuk terpidana yang berasal dari kalangan Eropa sendiri, 
didirikan tempat pelaksanaan pidana khusus yang disebut sebagai Centrale 
Gevangenis voor Europeanen (Penjara Pusat untuk Orang-orang Eropa). Bangunan 
fisik penjara dikelilingi oleh tembok setinggi 4,5 meter, terdiri dari kamar-kamar 
besar yang menampung sekitar 25 orang terpidana, dengan dengan kapasitas 700-
2700 terpidana.   
sesudah  ditetapkannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (  
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tanggal 15 Oktober 1915   tidak dikenal lagi 
adanya "pidana kerja", dan diganti dengan "pidana hilang kemerdekaan". 
Bersamaan dengan itu diberlakukan pula Wetbuk van Strafrecht ini diberlakukan 
pula Gestichten Reglement Staatsblad (Reglemen Penjara) 1917.   Pelaksanaan 
Reglemen Penjara ini membawa konsekwensi digantinya sistem Penjara-Penjara 
Sentral dengan Sistem Penjara Pelaksana Pidana. Dan ditetapkan pula Rumah 
Tahanan untuk menampung orang-orang yang masih dalam proses pengadilan. 
Seiring itu dilakukan  reformasi penjara dengan memberi  perhatian 
kepada terpidana anak dan pengklasifikasian terpidana dewasa. Anak-anak  yang 
berusia di bawah 16 tahun ditempatkan di "rumah pendidikan".  Dan penempatan 
anak di luar penjara dengan syarat (probation) serta keharusan untuk selalu 
mendahulukan penyelesaian perkara anak. 
sesudah  kemerdekaan, 26 Januari 1946, Kepala Bagian Urusan Penjara   
menyatakan bahwa Reglemen Penjara 1917 masih dinyatakan berlaku, meskipun 
dilakukan sedikit perubahan dalam hal pengurusan dan pengawasan pada  
penjara-penjara. Dan menginstruksikan agar dilakukan pemisahan yang ketat 
antara pelanggar hukum anak-anak dengan dewasa serta instruksi untuk menunjuk 
pegawai khusus antuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara, kebijakan 
untuk melakukan diversi ( langkah untuk menjauhkan pemrosesan perkara pidana 
secara formal ) untuk kasus-kasus yang sebelumnya dipidana penjara, seperti 
mengemis. Pada periode 1946-1948 ditetapkan pemberian remisi ( pemotongan 
masa pidana ) setiap tanggal 17 Agustus.  
Sejalan dengan  makin meningkatnya pengakuan pada  hak asasi 
manusia, sebagai akibat perlakuan kejam, buruk, penyiksaan dan perlakuan tidak 
manusiawi selama perang dunia ke II, maka pemikiran sistem perlakuan pada  
pelanggar hukum berkembang makin manusiawi.   
Demikian pula yang berkembang di Indonesia,  mulai muncul pemikiran baru, 
dibidang pemidanaan, denga tujuan pemidanaan yang lebih manusiawi yakni 
konsepsi sistem pewarga an dengan tujuan mengembalikan terpidana ke 
warga . (re-integrasi sosial ) 
Konsep Pewarga an di Indonesia diperkenalkan Sahardjo pada tahun 
1963, dijelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa 
derita pada terpidana sebab  dihilangkannya kemerdekaan bergerak, namun  juga 
ditujukan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya   menjadi 
seorang anggota warga  sosialis Indonesia yang berguna.  
Perumusan lebih jauh tentang konsep Pewarga an dilakukan oleh Bahrudin 
Suryobroto, dijelaskan bahwa Pewarga an bukan hanya tujuan pidana 
penjara, melainkan suatu proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan 
hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana 
dan warga . ( Re-integrasi sosial ). 
Munculnya konsep Pewarga an  pada dasarnya sangat dipegaruhi 
oleh dorongan pemikiran untuk pelaksanaan pemidanaan yang lebih manusiawi 
dan melindungi hak-hak asasi terpidana, termasuk tahanan. Dorongan ini   
telah formalisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada, tahun 1955 
dalam bentuk Standard Min imum Rules  fo r  the Trea tment  of  
Pri soners .  Di  dalamnya ada  beberapa  hak dan perlakuan 
minimum yang harus diberikan kepada terpidana/tahanan selama 
berada dalam institusi pemenjar aan dan penahanan. Standard 
Minimum Rules  dan munculnya konsep Pewarga an in ilah 
yang menandai peralihan sistem pemidanaan Indonesia dari  sistem 
pemenjaraan yang dalam p r a k t e k  l eb i h  m e n e k a nk a n  s e n t im e n  
p e ng h u k um a n  ( p u n i t i v e  s e n t i m e n t )  d a n  a t a u  pembalasan 
(retributive). 
 
Dewasa  ini perkembangan  pembangunan hukum di Indonesia, 
khususnya dalam konteks penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum 
Pidana, maka ke depannya posisi Sistem Pewarga an akan semakin penting. 
Reintegrasi sosial yang menjadi dasar filosofis Sistem Pewarga an secara 
eksplisit telah menjadi bagian dari rencana nasional dalam 
pembaruan KUHP. Pada pasal 54 RKUHP dinyatakan, bahwa tujuan 
pemidanaan yaitu ; 
1. Mencegah di lakukannya t indak pidana dengan menegakkan 
norma hukum demi pengayoman warga . 
2. Mewarga kan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga, 
menjadi orang yang baik dan berguna. 
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan 
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam warga . 
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 
Rancangan ini ke depan akan memperkuat posisi Sistem Pewarga an 
sebagai salah satu bagian integral Sistem Peradilan Pidana sekaligus mewarnai 
nuansa bekerjanya sub-sub System Peradilan Pidana lainnya dalam konteks 
teknis dan filosofis. 
Seiring dengan munculnya konsepsi Pewarga an dan dalam kaitannya 
dengan sistem peradilan pidana, maka tugas besar insitusi  pewarga an sebagai 
penegakan hukum, dan  perlindungan pada  hak asasi manusia makin dirasakan 
eksistensinya. Rumah Tahanan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan 
pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan 
martabat tahanan. Demikian pula dengan Lembaga Pewarga an yang 
mengusaha kan seoptimal mungkin pelaksanaan pemidanaan, menegakkan hukum 
dan melakukan perlindungan Hak asasi manusia dalam kerangka memanusiakan 
manusia.  
Sementara itu Balai Pewarga an ( Bapas ) selain melaksanakan tugas  
pelayanan penelitian kewarga an ( Litmas ) sebagai pertimbangan bagi anak 
yang bermasalah dengan hukum dalam proses peradilan ( penelitian 
kewarga an anak) dan Litmas sebagai pertimbangan dan penentu dalam 
perawatan dan pelayanan tahanan di Rumah Tahanan Negara ( Rutan )  serta 
Litmas sebagai penentu  didalam proses pembinaan didalam dan diluar lembaga 
pewarga an ( Lapas ) dalam bentuk asimilasi dan integrasi serta melakukan 
pembimbingan dan pengawasan pada  terpidana bersyarat, anak yang kembali 
ke orang tua, anak yang di bina di panti atau pesantren, dan narapidana yang 
sedang menjalani proses asimilasi dan  Pembebasan bersyarat (PB), Cuti Menjelang 
Bebas ( CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan Cuti Bersyarat ( CB ), 
namun  Bapas juga mempunyai tugas melakukan pengawasan, pembimbingan dan 
pendampingan terhahadap narapidana ini  diatas dan anak yang bermasalah 
dengan hukum serta klien pewarga an lainnya. 
Satu unit pelaksana tehnis lain yang penting peranannya yaitu  Rumah Penyimpanan 
barang rampasan dan benda sitaan negara (Rupbasan). Sebagaimana diatur dalan 
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Peraturan 
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Tujuannya yaitu  
pemisahan fungsi antara pejabat yang bertanggung jawab secara Yuridis dengan 
pejabat  bertanggung jawab secara fisik atas barang-barang ini . 
Sejarah pemidanaan di Indonesia memperlihatkan sebuah proses panjang 
dan berliku. Filosofi dan model pemidanaan masa penjajahan yang sangat 
bersifat pembalasan dan penciptaan rasa takut untuk tujuan eksploitasi berubah 
ke arah resosialisasi pada masa awal Indonesia merdeka hingga akhirnya muncul 
Pewarga an Re-integrasi sosial hingga kini memberi  indikasi jelas adanya 
kompleksitas hambatan dalam pelaksanaan Pewarga an utamanya dalam 
aspek yuridis dan sosiologis. 
Selain mencatat beberapa  kemajuan, saat ini  Pewarga an sebagai  instansi 
pelaksana hukum pidana mulai berhadapan dengan masalah yang semakin 
kompleks dan rumit. Beberapa masalah yang cukup mendapatkan perhatian publik 
yaitu  masalah yuridis yang berkaitan dengan pemenuhan hak narapidana seperti 
ketentuan tentang remisi, asimilasi, PB, CMB, CMK, CB dan overcroudit, 
kesehatan, pelarian, kerusuhan, kekerasan, serta sarana dan prasarana lainnya,  
keterbatasan pemahaman sumber daya manusia, biaya, partisipasi warga  dan 
rendahnya kemampuan pelayanan dalam memenuhi hak-hak narapidana 
merupakan masalah yang kompleks dan rumit lainnya.   
1.   Isu-isu Hukum Pelaksanaan Pidana dalarn Sistem Pewarga an 
a.   Isu tentang Kebijakan pelaksanaan Pewarga an 
Sis tem Pewarga an pada dasarnya merupakan kebi jakan 
kriminal (  cr iminal pol icy )  dalam kai tannya dengan hukum 
pelaksanaan pidana dan merupakan bagian dari social management 
system (sistem manajemen sosial). Secara umum, manajemen sosial yang 
dilakukan melalui Sistem Pewarga an ini dapat dibedakan menjadi 
kebijakan pemenjaraan ( institusional treament/ custodial ) dan kebijakan 
diluar pemenjaraan ( non instutusional tretment ).  
Kebijakan non instutusional tretment,  merupakan salah satu isu utama 
dalam Sistem Pewarga an dewasa ini, baik yang dilakukan oleh internal  
Pewarga an maupun yang terkait dengan fungsi sub-sub sistem 
peradilan pidana lainnya.  Kebijakan non institusional tretment  oleh sub-
sub sistem peradilan pidana di luar Sistem Pewarga an  dilakukan 
dalam bentuk diskresi, diversi, keadilan restoratif, serta putusan hukuman 
percobaan atau kerja sosial  oleh pengadi lan.  Sementara  
kebi jakan non instutusional tretment   dalam Sistem Pewarga an 
dapat dilakukan dalam bentuk asimilasi, pembebasan bersyarat, Cuti 
Menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga dan cuti bersyarat  hingga 
bentuk-bentuk penghukuman yang berbasis warga   ( community based 
correction ) selaras dengan filosofi re-integrasi sosial. 
Filosofi re-integrasi sosial yang menjadi latar belakang munculnya Sistem 
P e m a s ya r a k a t a n  p a d a  d a s a r n ya  s a n g a t  m e n e k a n k a n  
a s p e k  p e n g e m b a l i a n  narapidana ke warga .  Oleh 
sebab nya, dalam perkembangan lebih jauh dari filosofi reintegrasi 
sosial ini  muncul beberapa  sintesa yang sangat jelas memperlihatkan 
komitmen untuk melakukan model  penghukuman yang berbasis 
warga  ini .  
Pe rkembangan  f i lo so f i  penghukuman  ke  a rah  mode l  
penghukuman  yang berbasis warga  /non  ins t i tu s ional  i n i  
da l am t a t a ran  pe l aksanaan   t e l ah  diadaptasikan ke dalam sistem 
hukum Indonesia meskipun  masih dalam proses rancangan peraturan 
perundang-undangan.  
Rancangan KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 54 (1) dan (2) 
mempertegas pentingnya peran Sistem Pewarga an ke depan. 
Rancangan ini  telah secara eksplisit  menjelaskan bahwa 
pewarga an merupakan tujuan pemidanaan di Indonesia. Demikian 
halnya yang tercantum dalam rancangan perubahan Undang Undang 
pengadilan Anak. 
berdasar  pengalaman beberapa negara, program penghukuman yang 
berbasis warga  yang pernah dipraktekkan yaitu   Boot Camp, 
yaitu kamp hunian dengan kapasitas 50 orang dan menjalankan 
program-program bagi narapidana yang telah disiapkan menjalani 
rehabilitasi. Boot Camp diterapkan justru bergaya militer dengan disiplin 
yang ketat serta dengan berbagai kegiatan-kegiatan fisik. sedang  
Halfway House, semacam rumah singgah untuk narapidana, baik yang 
tengah menjalani pidana penjara dalam pelaksanaan parole (bebas 
bersyarat) maupun bagi pidana alternatif (non institusionalisasi) bagi 
narapidana yang diberikan probation (hukuman bersyarat), khususnya 
untuk masa pidana selama dua atau tiga bulan. Bentuk lainnya yaitu  
furlough, sebagai pemberian keleluasaan bagi narapidana untuk pergi 
bekerja atau melakukan aktivitas -aktivitas tertentu 
diwarga  secara lebih bebas selama hampir 10 jam dan Larangan 
bepergian hanya  dilakukan pada malam hari. 
Di Indonesia, selain asimilasi, pembebasan bersyarat (PB) cuti menjelang 
bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga. (CMK), dan cuti bersyarat, 
bentuk lainnya dari pelaksanaan yang berbasis warga  pelaksanaan 
pidana yaitu  dalam Lembaga Pewarga an Terbuka sebagai wahana 
persiapan menjelang pembebasannya diwarga .  
Keberadaan lapas terbuka ini merupakan bentuk ideal dari pelaksanaan 
hukuman dalam sistem Pewarga an yang sangat menekankan aspek 
re-integrasi yang terjadi antara narapidana dengan warga . namun  
lapas terbuka belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal. 
Beberapa kendala yang dapat di identifikasi  yaitu  
rendahnya kemampuan sumber daya manusia, masih kurangnya 
peran pemerintah dalam bentuk anggaran, serta dukungan warga  
secara keseluruhan. namun  kendala utamanya yaitu  secara yuridis 
keberadaan Lapas Terbuka belum didukung oleh ketentuan yang secara 
khusus mengatur  secara tehnis operasional Lapas Terbuka. Selama ini 
ketentuan tehnis operasional Lapas terbuka sama dengan lapas 
lainnya.  
P e r k e m b a n g a n  l a i n n y a  d a r i  f i l o s o f i  r e i n t e g r a s i  
s o s i a l ,  s e k a l i g u s  u p a y a  pemidanaan noninstitusional ini 
yaitu  restorative justice dan diversi . Secara sederhana 
Restoratif  justice yaitu  usaha  penyelesaian secara informal atau di 
luar peradilan pidana secara bersama-sama kasus pelanggaran hukum 
dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku 
pelanggaran, korban, komunitas lokal, dan dimediasi oleh aparatur 
penegak hukum.  Adapun yang menjadi prinsip-prinsip restoratif justice 
yaitu  (Marshall, 1999): 
 Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka yang 
memiliki kepedulian (khususnya pelaku, korban, juga keluarga 
mereka dan komunitas secara keseluruhan). 
 Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya. 
 Merupakan usaha  penyelesaian masalah kejahatan yang 
mel ihat  ke depan(preventif). 
 Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas) 
Dalam perkembangannya, restorative justice dan diversi  sangat  
terkait dan tidak lepas dari aspek sosio -kultural dari warga    
yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri 
individualitasnya. Salah satu aspek sosio-kultural ini  yaitu  praktek 
penyelesaian masalah dengan mekanisme adat. Di Indonesia, mekanisme 
penyelesaian masalah pidana melalui restorative justice dan diversi  ini 
memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dilaksanakan untuk 
kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat dan penyelesaian anak yang 
mermasalah dengan hukum. Saat ini sedang dalam pembahasan intensif 
dalam rancangan perubahan Undang Undang pengadilan Anak. 
Terkait dengan usaha  pelaksanaan sistem pewarga an, dalam bentuk  
asimilasi, pembebasan bersyarat (PB) cuti menjelang bebas (CMB), cuti 
mengunjungi keluarga. (CMK), dan cuti bersyarat, bentuk lainnya dari 
pelaksanaan sistem penghukuman yang berbasis warga , Pemerintah 
Indonesia justru mengeluarkan kebijakan diskriminatif dan kurang responsif 
pada  restoratif justice dan diversi khususnya pada  pelaku tindak 
pidana korupsi, ilegal loging, dan narkotika khususnya produsen, bandar 
dan pengedar dengan menambah sepertiga masapidana untuk mendapatkan 
hak remisi, asimilasi, PB, CMB, CMK dan CB melalui Peraturan 
Pemerintah Nomor : 28 tahun 2006 tentang perubahan tata cara dan syarat 
pemenuhan hak warga binaan pewarga an yang justru menghambat 
pelaksanaan program pembinaan yang berbasis warga  dimaksud.  
 
b.  Isu  Perempuan dalam Sistem Pewarga an 
Membahas Pewarga an sebagai sebuah sistem sering 
terjebak dalam pola pikir yang lebih berorientasi pada kebutuhan 
narapidana laki-laki dewasa sebagai mayoritas dari keseluruhan populasi 
narapidana di Indonesia. Sebagai akibat dari itu, isu-isu yang spesifik 
tentang anak dan perempuan di dalam sistem pewarga an sering tidak 
mendapatkan perhatian yang cukup dan tercermin pula dalam setiap 
kebijakan. 
Kekurang-pekaan pada  aspek gender dan masalah anak yang 
bermasalah dengan hukum dalam sistem peradilan pidana umumnya, 
secara sosiologis sangat terkait dengan kultur sebuah warga  yang 
lebih melihat laki,laki memiliki peran yang lebih penting bila 
dibandingkan dengan perempuan.   
Oleh sebab  itu sejalan dengan kecenderungan patriarkis dalam kultur 
warga , dunia internasional membuat konsensus berupa beberapa  
instrumentasi internasional yang memberi  perlindungan pada  
diskriminasi gender, seperti Deklarasi Universal HakAsasi Manusia, 
Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Convention on the 
Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW), 
Declaration on the Elimination of Violence against Women, General 
Recommendation No. 19 on Violence against Women, dan banyak lainnya. 
Dan  Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan 
Diskriminasi pada  perempuan), maka kebijakan-kebijakan pemerintah 
termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam pemidanaan 
harus mulai mempertimbangkan spesifik gender. 
Faktanya, kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana, khususnya 
pemidanaan (dalam hal ini Pewarga an) belum sepenuhnya 
beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional ini . Dalam kebijakan 
Sistem Pewarga an, hal yang spesifik gender baru terbatas pada 
pembedaan tempat dalam proses pembinaan pada  narapidana wanita, 
yaitu di LP khusus wanita. Demikian pula bila dilihat kebijakan khusus 
tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitifitas 
gender baru diperlihatkan dalam pemberian makanan bagi tahanan dan 
narapidana perempuan.  
Sementara i tu  bila mengacu pada Studi Allegritti (2000) ada beberapa  
prinsip dari program-program yang dianggap sensitif dan responsif gender, 
yaitu: 
 Menjamin adanya petugas yang memiliki pemahaman isu-isu 
perempuan dan kebutuhan perempuan yang kompleks dan 
yang menger t i  baga imana mengimplementasikan pelayanan yang 
sensitif gender secara praktis. 
 Menjamin pemberdayaan perempuan untuk membuat keputusan atas 
perawatan dan perkembangan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi 
di dalam proses pembuatan keputusan memakai  pendekatan 
holistik, dengan memahami berbagai faktor yang mungkin 
mempengaruhi. 
 Mengakui bahwa stereotipe peran jenis kelamin tertentu dan peran 
gender yang  dikonstruksi secara sosial dapat memojokkan posisi 
perempuan M e n j a m i n  b a h w a  f o k u s n y a  a d a l a h  
p a d a  m e n g e m b a n g k a n  d a n  
m e n g i m p l e m e n t a s i k a n  l a y a n a n  y a n g  t e p a t  d a n  
m e m e n u h i  k e b u t u h a n  perempuan,  dan  bukann ya  
memaksakan agar  perempuan `cocok '  dengan l a ya n a n  
y a n g  s u d a h  a d a  s e b e l u m n y a  y a n g  h a n y a  m e m e n u h i  
k e b u t u h a n  kelompok-kelompok yang didominasi laki-laki. 
c.  Isu  Anak dalam pelaksanaan hukuman.  
S e l a i n  i s u  p e r e m p u an ,  i s u  l a i n n ya  yan g  j u ga  b e l u m  
m e n d ap a t k an  p e r h a t i an  yang cukup dalam Sis tem 
Pemas yarakatan  Indones i a  adal ah  pola  perawatan ,  
pembimbingan, dan pembinaan pada  anak didik Pewarga an 
(narapidana anak). Sama halnya dengan perlunya model pembinaan 
khusus yang seharusnya d iber ik an  kep ada  nar ap idan a  
perempu an ,  un tuk  narap idan a  anak  juga  per lu  dirumuskan 
satu kebi jakan khusus yang disesuaikan  dengan karakterist ik  
dan kebutuhan mereka sebagai anak. Kebutuhan ini pada tingkat 
internasional juga didorong oleh beberapa  instrumen internasional. Di 
antara instrumen internasional khusus yang harus mendasari  proses  
pembinaan untuk anak yaitu  Konvensi  tentang Hak-Hak Anak. 
Dalam konteks Sistem Pewarga an, Konvensi Hak Anak ini secara 
umum menekankan, bahwa anak-anak berhak mendapatkan segala 
perlakuan khusus bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya tanpa kecuali.  
Prinsip-prinsip penting dalam konvensi ini yaitu   ; 
  N e g a r a  b e r u p a y a  m e n i n g k a t k a n  p e m b e n t u k a n  h u k u m ,  
p r o s e d u r ,  k e w e n a n g a n  d a n  lembaga-lembaga yang secara  
khusus  ber laku  untuk anak -anak yang diduga ,  
d isangka ,di tuduh, a tau  dinyatakan melanggar hukum, 
pidana.  
  P e m e l i h a r a a n ,  p e r i n t a h  p e m b e r i a n  b i m b i n g a n  d a n  
p e n g a w a s a n ,  p e m b e r i a n  n a s e h a t ,  m a s a  p e r c o b a a n ,  
p e m e l i h a r a a n  a n a k ,  p r o g r a m - p r o g r a m  p e n d i d i k a n  d a n  
p e l a t i h a n k e ju rua n ,  dan  a l t e rn a t i f - a l t e rna t i f  l a in  d i  l u a r  
me ma sukka n  an ak  ke  d a l a m l e mbag a  perawatan harus  
disediakan.  
P e r k e m b a n g a n  l a i n n y a  d a r i  f i l o s o f i  r e i n t e g r a s i  
s o s i a l ,  s e k a l i g u s  u p a y a  pemidanaan non institusional ini 
yaitu  restorative justice dan diversi . Secara sederhana 
restoratif justice dalah usaha  penyelesaian pidana secara informal 
atau di luar peradilan pidana secara bersama-sama pelanggaran hukum 
dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku 
pelanggaran, korban, komunitas lokal, dan dimediasi oleh aparatur 
penegak hukum.  
Menurut Tony Marshall (1999), restoratif justice   sebagai pendekatan 
penyelesaian masalah kejahatan yang melibatkan pihak-pihak yang terkait 
(pelaku dan korban), komunitas umumnya, serta (melalui) hubungan yang 
aktif dengan pihak-pihak (penegak hukum) yang berwenang. Adapun 
yang menjadi prinsip-prinsip restoratif justice yaitu  :  
 Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka 
yang memiliki kepedulian (khususnya pelaku, korban, juga 
keluarga mereka dan komunitas secara keseluruhan). 
 Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya. 
 Merupakan usaha  penyelesaian masalah  kejahatan yang 
mel ihat  ke depan(preventif). 
 Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas) 
Dalam perkembangannya, restorative justice dan diversi sangat 
terkait dan tidak lepas dari  aspek sosio -kultural dari warga    
yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri 
individualitasnya. Salah satu aspek sosio-kultural ini  yaitu  praktek 
penyelesaian masalah dengan mekanisme adat. Di Indonesia, mekanisme 
penyelesaian masalah pidana melalui restorative justice dan diversi  ini 
memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dilaksanakan untuk 
kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat dan penyelesaian anak yang 
bermasalah dengan hukum. Saat ini sedang dalam pembahasan intensif 
dalam rancangan perubahan Undang Undang pengadilan Anak. 
Dalam tataran pelaksanaan penghukuman, pemenuhan hak-hak  anak 
dalam proses peradilan pidana dan pewarga an masih menghadapi 
masalah sangat kompleks. Beberapa faktor yang memicu  yaitu  
selain SDM, minimnya dana, dan lemahnya koordinasi antar sub sistem 
peradilan pidana, masalah lain yang dihadapi lapas anak yaitu  beban 
kerja lapas itu sendiri yang sangat luas. Selain menyelenggarakan 
pendidikan, memberi  keterampilan, juga "menjaga" keamanan.  
Hal ini  tentu saja memunculkan banyak persoalan tentang Hak-
Hak Anak. Dalam konteks Sistem Pewarga an, Konvensi Hak Anak 
ini secara umum menekankan, bahwa anak-anak berhak mendapatkan 
segala perlakuan khusus bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya tanpa 
kecuali. Prinsip-prinsip penting dalam konvensi ini yaitu ; 
 Negara berusaha  meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, 
kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk 
anak-anak yang diduga, disangka  dituduh, atau dinyatakan melanggar 
hukum, pidana. 
 Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan, 
pemberian nasehat,masa percobaan, pemeliharaan anak, program-
program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif 
lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus 
disediakan. 
Dalam Beijing Rules, salah satu instrumen lain yang melindungi a n a k  
d a l a m  k o n t e k s  p e r a d i l a n  p i d a n a ,  j u g a  d i t e k a n k a n ,  
b a h w a  k e p u t u s a n  pengadilan untuk merehabilitasi anak delinkuen 
(anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan) seharusnya dilakukan 
secara non institusional melalui program-program yang mendekatkan 
mereka pada warga , serta melalui mekanisme keadilan restoratif. 
R o s en h e i m  ( 2 0 0 2 )  m en j e l a s k an  j u v e n i l e  j u s t i c e  sy s t e m  
m er u p ak an  s ep e r an gk a t  lembaga yang membuat keputusan yang 
berkelanjutan dan saling berhubungan tentang intervensi  negara  
pada  kehidupan anak -anak.  Juveni le  jus t ice  system 
mengacu pada polisi, pengadilan anak, petugas yang menerima mereka 
masuk ke dalam sistem dan petugas probation, kejaksaan, lembaga 
penahanan anak, fasilitas koreksional dan aoren-ages sosial yang 
mengurus penempatan anak sesuai dengan perintah pengadilan anak.  
Kelompok-kelompok ini  t idak selalu bekerja sama  dengan baik 
satu sama lain dengan nilai-nilai yang sama. Beban kerja mereka berbeda-beda, demikian pula sudut pandang dan kualifikasi profesional mereka. 
Faktor-faktor ini  mempengaruhi keharmonisan kerja sama kelompok-
kelompok ini. Kondisi yang sama juga terjadi di sistem peradilan yang 
menangani anak di Indonesia. 
Seiring dengan beberapa  usaha  pembaharuan pembangunan hukum yang 
tengah dilakukan di Indonesia, maka usaha  penanganan anak dalam 
Sistem Pewarga an akan sangat terkait dengan pembaruan dalam 
Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan. Oleh sebab nya, perubahan-
perubahan yang tengah dilakukan dalam hal penanganan kenakalan anak 
melalui perumusan S i s t em Per ad i l an  p idan a  khusus  anak  per lu  
seger a  d i l akuk an  upa ya  pem bar uan  dan  perub ah an t e rhad ap  
Und an g Und an g pen gad i l an  an ak .  Se l a in  i t u ,  da l am  
ka i t ann ya  dengan efektivitas dan eficiensi, maka pembaharuan Sistem 
Pewarga an yang spesifik anak ini perlu pula melihat beberapa  
penelitian, rekomendasi atau p rogram -p rogram yang t e l ah  
d i l akukan o l eh  unsur  mas yaraka t  s ip i l  maupun lembaga-
lembaga internasional, seperti UNICEF dalam usaha  memperbaiki 
penanganan pada  anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan. 
Sementara itu kebijakan hukum pelaksana pidana dalam Sistem 
Pewarga an, masalah spesifik anak yang bermasalah dengan hukum 
masih terbatas pada pembedaan tempat dan pemisahan dalam proses 
pembinaan pada  pelanggar/narapidana anak, yaitu di LP khusus anak 
pria/wanita. Demikian pula bila dilihat kebijakan khusus tentang 
pembinaan narapidana anak berdasar  Kepmenkeh M.02-PK.04.10 
Tahun 1990, sensitifitas pada  anak baru diperlihatkan dalam 
pemberian makanan bagi pelanggar/narapidana anak. sedang  petunjuk 
pelaksana tehnis atau prosedur standar pelayanan, pembinaan, pendidikan 
dan pembimbingan bagi pelanggar/narapidana anak belum mendapat 
perhatian yang memadai. 
d.  Isu tentang Balai Pewarga an (Bapas). 
Terkait dengan isu anak dan perempuan, Bapas merupakan elemen penting 
dalam sistem pembinaan pelanggar hukum dan sestem peradilan pidana 
Indonesia. Secara yuridis berbagai peraturan perundang-undangan yang 
terkait dengan administrasi peradilan pidana, Petugas Pewarga an 
telah bekerja untuk menjalankan fungsinya sejak pra adjudikasi, 
adjudikasi, dan post adjudikasi. Balai Pewarga an dalam Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan A n ak  P as a l  3 4 ,  
m enu n ju k k an  p e r an  P em bi m bin g  K em as ya r ak a t an  d i s emu a  
l i n i  t ah ap an  p ro s es  p en an gan an  pe rk a r a  p i dan a ,  b a i k  
d i t i n gk a t  p en yi d i k an ,  penuntutan, putusan, hingga pelaksanaan 
putusan pengadilan didalam maupun diluar lembaga pewarga an.   
Dalam proses ajudikasi misalnya kewenangan petugas pewarga an (c.q 
Balai Pewarga an / BAPAS) telah secara nyata diberikan kewenangan 
oleh Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, 

 
khususnya pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa hakim dalam 
memberi  putusannya kepada terdakwa yang masih katagori anak wajib 
mempertimbangkan laporan Litmas dari Pembimbing Kewarga an (PK) 
Bapas.  
Sementara dalam pasal 10 ayat (5) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 31 
tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan 
Pewarga an dinyatakan ”Dalam sidang TPP Kalapas wajib 
memperhatikan hasil Litmas”. Selanjutnya  pasal 7 ayat (3) menyatakan 
bahwa Pengalihan pembinaan dari tahap satu ke tahap yang lain ditetapkan 
melalui sidang TPP berdasar  data dari pembina pewarga an, 
pengaman pewarga an, pembimbing kewarga an dan wali 
narapidana.  
Selanjutnya  dalam angka 60 SMR  menyatakan perlakuan pada  
narapidana harus menekankan tidak pada pengucilan mereka dari 
warga  namun  bagian abadi mereka dalam warga , badan-badan 
warga ..... harus membantu petugas pewarga an dalam rehabilitasi 
sosial, dan re-integrasi sosial  
Dalam posisi demikian strategis Peran dan fungsi Balai Pewarga an 
ini , menguatkan kedudukan Pewarga an bukan hanya sebagai 
bagian akhir dari proses peradilan pidana namun  sebaliknya Bapas 
mempunyai peran vital dalam  bekerjanya sistem peradilan pidana. namun  
sayang dalam tataran operasional, ada  kecenderungan dalam praktik 
selama ini Balai Pewarga an tidak saja kurang mendapat perhatian 
dalam hal sdm, anggaran biaya, sarana dan prasarana, namun  Bapas tidak 
memiliki kekuatan tawar yang kuat pada  tiga institusi lainnya, 
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. namun  secara yuridis Bapas hanya 
mempunyai peran pasif dalam proses peradilan pidana sejak dalam proses 
praadjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi ( Bapas menunggu 
permintaan  aparat penegak hukum dan instansi lainnya termasuk Rumah 
tahanan dan Lembaga Pewarga an dan instansi lainnya ). 
Berbagai permasalahan  Balai Pewarga an yang dapat diibentifikasi 
yaitu  mengenai kedudukan Pembimbing Kewarga an dalam proses 
peradilan kurang ditempatkan sebagai faktor penting untuk memberi  
p er t i m b an gan / masu k an  b agi  p en u n tu t  um u m d an  h ak i m  
d a l am  pe r u mu s an  dakwaan dan tuntutan serta penyusunan 
putusan pengadilan.  Dalam Undang -undang Nomor 3 tahun 1997 
tentang Pengadilan Anak Pasal 55 dan 56 ditegaskan bahwa Pembimbing 
Kewarga an wajib hadir di persidangan dan hakim wajib memberi  
kesempatan bagi Pembimbing Kewarga an untuk menyampaikan 
penelitian kewarga an sebelum sidang dibuka. Dalam praktiknya, 
kedudukan Balai Pewarga an selaku Pembimbing Kewarga an 
tidak ditempatkan pada porsi yang sepatutnya untuk memberi  
masukan  subs t ans i  penel i t i an  kemas y a rakatan/ rekomendas i  
penanganan  anak  yan g bermasa lah  dengan  hukum) bagi 
penyusunan dakwaan/ tuntutan dan putusan.  

 
Ada dua faktor penting yang menjadikan kondisi ini , yakni Penyidik, 
Penuntut Umum, serta Hakim yang tidak melihat signifikansi peran dan 
fungsi Pembimbing Kewarga an, dan yang kedua faktor yaitu  
kualitas hasil penelitian kewarga an yang kurang memadai untuk 
dipertimbangkan dalam proses penanganan perkara pidana. Hal yang 
terakhir ini sangat terkait dengan kualitas SDM dan faktor-faktor lain yang 
bersifat struktural lainnya yang sangat menghambat eksistensi Bapas. 
e. Isu pidana pengganti, remisi dan asimilasi, PB, CMB, CMK dan CB 
Terkait dengan pidana tambahan dalam bentuk pidana pengganti dengan 
beberapa  uang dan jika tidak dibayar diganti dengan pidana penjara 
sebagaimana diatur undang undang korupsi menimbulkan ketidakpastian 
dan keragu-raguan, khususnya dalam kaitannya dengan pemberian hak 
remisi, asimilasi, PB, CMB, CMK dan CB, bertentang dengan KUHP, UU 
Pemasyrakatan, PP 28 tahun 2005 dan berbagai ketentuan yang berkaitan 
dengan remisi. 
f. Isu tentang hak remisi ( pengurangan hukuman )  
 jenis remisi terlalu banyak antara lain remisi Umum hari kemerdekaan 
diberikan tiap 17 agustus, remisi khusus hari raya keagamaan diberikan 
hari besar keagamaan , remisi tambahan ( diberikan kepada narapidana 
yang berjasa pada kemanusiaan dan narapidana pemuka kerja dan 
membantu tugas tertentu di lapas/rutan dan remisi susulan. 
 Pengusulan remisi tidak ada batas waktu sehingga mengacaukan 
sistem administrasi narapidana 
 Ketentuan remisi saling tidak sinkron antara UU Pewarga an, PP, 
Keppres dan kepmen. 
g. Isu tentang pelaksanaan ( eksekusi ) hukuman mati. 
Secara faktual makin meningkatnya jumlah terpidana mati didalam lembaga 
pewarga an menjadi masalah yang makin rumit dan kompleks terkait 
dengan status dan cara perlakuan pada  mereka. Dalam Undang Undang 
grasi tidak dibatasi tentang waktu mengajukan grasi, akibatnya jika 
terpidana mati tidak mengajukan grasi atau mengulur-ulur waktu yang 
diberikan undang undang dimaksud, maka eksekusi mati pada  terpidana 
mati  oleh eksekutor jaksa menjadi tidak ada kepastian hukum. Pada 
gilirannya kondisi ini membawa implikasi pada institusi pewarga an 
khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan proses pembinaan. 
h. Isu tentang narkotika dan HIV/AIDs. 
 
 
 
 

PENGARUH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL pada  POLITIK 
HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA 
 
 
A. -- 
Negara Indonesia sebagai bagian dari warga  internasional mempunyai 
tujuan yang sangat ideal dalam usaha  mewujudkan kesejahteraan warga .  
Tujuan nasional ini  tidak hanya berkarakter nasional namun  juga mempunyai 
karakteristik internasional, sebab  keberadaan suatu negara tidak dapat dilepaskan 
dari keberadaan negara-negara lainnya. Terlebih lagi dalam era globalisasi seperti 
sekarang ini. Hal ini terkandung dalam Pembukaan UNDANG-UNDANGD 1945 
Alinea ke-4 yang menyatakan bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa 
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan 
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia 
yang berdasar  kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.   
Sebagai suatu negara yang berdaulat negara Indonesia mempunyai hak dan 
kewajiban untuk ikut serta menjaga keamanan dan perdamaian dunia berdasar  
kedaulatan yang dimilikinya, sebagaimana  diakui dalam hukum internasional dan 
prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum internasional. Kedaulatan negara 

 
merupakan   salah satu prinsip penting yang ada  dalam Piagam PBB (United 
Nations Charter), yaitu ada  dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :”the 
organization (UN) is based on the principle of the sovereign equality of all its 
members”, yang maknanya yaitu    PBB dibentuk berdasar  prinsip persamaan 
kedaulatan setiap anggotanya. Prinsip kedaulatatan negara ini dipertegas dan 
diperinci oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 tahun 1970 mengenai, 
Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional hubungan persahabatan dan 
kerja sama sesuai dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International 
Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance 
with the Charter of the United Nations). Dalam Deklarasi ini  secara tegas 
dinyatakan bahwa semua negara menikmati persamaan kedaulatan dan semua 
Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota warga  
internasional tanpa membedakan sistem ekonomi, sosial, dan politik.  
Deklarasi ini mencantumkan ada 6 point kedaulatan negara, yaitu : 
1. Semua Negara yaitu  sama secara juridis (states are juridically equal); 
2. Setiap Negara menikmati hak-hak kedaulatan secara penuh (each state enjoys 
the rights inherent in full sovereignty); 
3. Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati personalitas Negara 
lain (each states has the duty to respect the personality of other States); 
4. Integritas teritorial dan kemerdekaan politik setiap Negara tidak dapat 
diganggu gugat (the territorial integrity and political independence of state 
are inviolable); 
5. Setiap Negara mempunyai hak bebas memilih dan mengembangkan sistem 
politik, sosial, ekonomi, dan budaya (each state has the right freely to choose 
and develop its political, social, economic, and cultural system); 
6. Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk menaati dengan sepenuhnya dan 
itikad baik pada  kewajiban internasional dan hidup berdampingan secara 
damai dengan Negara lain (each state has the duty to comply fully and in good 
faith with its international obligation and to live in peace with other states). 
Makna suatu negara berdaulat yaitu    negara  mempunyai kekuasaan 
tertinggi, dan didalamnya  mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, 
yaitu: (1) kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan 
itu dan ke (2) kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain di mulai. 
Dalam konteks hubungan internasional, prinsip kedaulatan negara (state 
souvereignty) ini merupakan salah satu prinsip utama dalam hukum internasional 
bahkan termasuk salah satu  prinsip atau doktrin jus cogens.3 Kedaulatan negara 
merupakan sebuah konsep hukum (a legal concept) dalam hukum internasional dan 
                                                
hokum nasional yang memiliki beberapa dimensi, dan kedaulatan negara juga 
merupakan doktrin yang dilakukan oleh negara dan bangsa berdaulat.4 
 berdasar  hukum internasional implikasi setiap negara berdaulat   yaitu  
setiap negara mempunyai hak untuk menentukan nasib bangsanya, tidak ada campur 
tangan dalam masalah dalam negerinya oleh negara lain, dan negara yang satu tidak 
boleh melaksanakan kedaulatan negara di negara lain sebagaimana ditegaskan oleh 
prinsip par in parem non habet imperium (one sovereign power could not exercise 
jurisdiction over another sovereign power).5  
Kedaulatan merupakan kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksi dalam negaranya. 6 
Kedaulatan negara salah satu atribut kekuasaan berupa kewenangan untuk 
membentuk hukum nasional dan melaksanakan ketentuan hukum nasionalnya 
pada  orang, barang, peristiwa di wilayah negaranya maupun di teritorial negara 
lain. Atribut ini  dikenal jurisdiksi atau dapat dikatakan bahwa jurisdiksi itu 
sebagai bentuk refleksi dan implementasi dari negara berdaulat. Dalam hukum 
internasional ada 3 jenis jurisdiksi berkaitan dengan kedaulatan suatu negara untuk 
menetapkan dan menerapkan hukum serta  mengadili perbuatan-perbuatan manusia, 
yaitu :7 
1. Jurisdiction to prescribe, yaitu kekuasaan negara untuk membuat hukum yang 
dapat diterapkan pada  berbagai aktivitas