Home » pemidanaan 1 » pemidanaan 1
Jumat, 26 Januari 2024
Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana jo Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia, perkembangan hukum
pidana masih mengacu kepada ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur
dalam Buku I KUHP. Pengembangan asas-asas hukum pidana dan pemidanaan
dalam peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana masih dapat
dikendalikan berdasar asas-asas hukum pidana dan pemidanaan dalam Buku I
KUHP.
Dalam perkembangannya, terutama sesudah Tahun 1958, lahirlah produk
hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang memuat
asas-asas hukum pidana baik dalam di bidang hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil yang menyimpang dari asas-asas umum hukum pidana materiil dalam
Buku I KUHP dan hukum acara pidana (HIR).
Pernyimpangan ini tidak terbendung saat kekuasaan Presiden semakin
menguat/dominan dalam menerbitkan produk hukum di bidang hukum pidana
melalui Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden. Proses pembuatan Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden lebih sederhana yang berbeda dengan proses
pembentukan undang-undang, sebab harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1).
sesudah terjadinya pergeseran kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru,
produk hukum (termasuk hukum pidana) dalam bentuk Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden ini, diadakan legislative review sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/ 1966 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXIX/MPRS/1968, dalam usaha untuk
memurnikan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Penetapan-penetapan
Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang isi dan tujuannya tidak sesuai
dengan suara hati nurani rakyat telah dinyatakan tidak berlaku dan Penetapan-
penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang memenuhi tuntutan suara
hati nurani rakyat tetap berlaku melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969
tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-undang.
Kebijakan melakukan legislative review ini dilihat dari sudut formal-
pragmatik dapat mengatasi persoalan status hukum Penetapan Presiden atau
Peraturan Presiden yakni yang dinilai tidak sesuai dengan suara hati nurani rakyat
dicabut, yang sesuai dengan suara hati nurani rakyat dinyatakan berlaku kemudian
ditingkatkan statusnya sebagai undang-undang, dan yang materinya diperlukan namun
secara formal tidak sesuai, maka direkomendasikan agar dijadikan bahan materi
pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan materi dan
tingkatannya. Dalam melakukan legislative review ini ternyata tidak sampai
menyentuh subtansi hukum secara mendalam sebab dibatasi oleh waktu, maka
rekomendasinya agar beberapa materi agar dijadikan bahan pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan bukti bahwa proses legislative review ini belum
tuntas.
Materi undang-undang yang bersumber dari Penetapan Presiden ini
kemudian masuk sebagai hukum pidana positif nasional yang dikategorikan sebagai
hukum pidana khusus. Sebagai hukum pidana khusus (lex speciali) berarti memuat
kaedah hukum yang menyimpangi dari kaedah umum hukum pidana, baik di bidang
hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Legislasi hukum pidana di
luar KUHP baik dikategorikan sebagai hukum pidana khusus maupun hukum pidana
umum terus dikembangkan dan semakin meluas (hampir semua bidang hukum selalu
memuat ketentuan pidana), sedang ketentuan hukum pidana dalam KUHP praktis
tidak dilakukan amandemen (kecuali melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976
tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan berikutnya Ketentuan Perundang-
undangan Pidana Kejahatan pada Penerbangan dan kejahatan pada
sarana/prasarana penerbangan dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan
pada Keamanan Negara).
Kebijakan legislasi berikutnya justru menghapus pasal-pasal KUHP dan
mengambil alih pasal-pasal KUHP ke dalam undang-undang. Kebijakan legislasi
hukum pidana di luar KUHP ini telah melahirkan sistem hukum pidana baru
yang berbeda dengan sistem hukum pidana dalam KUHP yang kemudian disebut
sebagai sistem ganda hukum pidana nasional Indonesia, yaitu sistem hukum pidana
KUHP dan sistem hukum pidana di luar KUHP. Perkembangan hukum pidana di
luar KUHP menjadi tidak terkendalikan. Asas-asas hukum, kebijakan kriminalisasi
dan sistem pemidanaan serta sistem perumusan sanksi pidananya lepas dari kendali
ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I KUHP.
Di samping itu, perkembangan hukum pidana internasional telah berkembang
semakin pesat dan telah dibentuknya pengadilan pidana internasional (International
Criminal Court) yang mengokohkan eksistensi hukum pidana internasional baik di
bidang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil dari hukum pidana
internasional. Perkembangan hukum pidana internasional ini sedikit banyak
telah mempengaruhi perkembangan hukum pidana nasional melalui kebijakan
(politik) hukum pidana yang dilakukan dengan cara ratifikasi konvenan hukum
pidana internasional atau kebijakan legislasi yang menjadikan hukum pidana
internasional sebagai bahan pembentukan hukum pidana nasional melalui kebijakan
sinkronisasi dan harmonisiasi dengan hukum pidana nasional. Kebijakan ratifikasi
dan legislasi hukum pidana internasional ini tidak dapat dihindari, namun
bila dilakukan tidak secara cermat dan hati-hati, akan merusak sendi-sendi
keadilan hukum pidana nasional yang dapat menjauhkan cita rasa keadilan bagi
warga hukum Indonesia.
Politik hukum pidana dan politik pemidanaan sebagaimana diuraikan
ini berpengaruh pada kebijakan kriminalisasi dalam proses legislasi hukum
pidana dan sistem perumusan ancaman sanksi pidana dalam hukum pidana yang
berlanjut ke dalam praktek penjatuhan pidana, yakni belum adanya standar
kriminalisasi dan penalisasi serta standar perumusan sanksi pidana dan pemidanaan
dalam hukum pidana yang memicu terjadinya disparitas dalam perumusan
ancaman sanksi pidana dan penjatuhan pidana. Di samping itu, kebijakan legislasi
hukum pidana melahirkan duplikasi dan triplikasi pengaturan tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang lebih rendah (undang-
undang dengan peraturan daerah), dan masing-masing tindak pidana diancam
dengan ancaman pidana yang berbeda-beda (terjadi disparitas dalam perumusan
sanksi pidana). Keadaan ini juga berpengaruh pada pembentukan Peraturan
Daerah (Perda) yang memuat norma hukum pidana dan sanksi pidana yang tidak
sesuai dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi.
Perumusan perbuatan pidana dan pengancaman sanksi pidana dalam
peraturan perundang-undangan hukum pidana yang belum membentuk suatu sistem
perumusan perbuatan pidana dalam pengancaman sanksi pidana ini
menyulitkan dalam praktek penegakan hukum pidana yakni dalam penjatuhan
pidana oleh hakim dan pelaksanaan sanksi pidana oleh jaksa penuntut umum.
Praktek penjatuhan dan pelaksanaan sanksi pidana menimbulkan ketidak pastian
hukum, sebab rumusan norma perbuatan pidana dan sanksi pidana ini belum
disertai dengan ketentuan atau peraturan pelaksanaan dalam situasi dan keadaan
yang bagaimana penjatuhan dan pelaksanaan sanksi pidana ini dijatuhkan
kepada pelaku (terdakwa), mengingat masing-masing pelaku memiliki peran yang
berbeda-beda dan perbedaan ini signifikan dalam proses terjadinya pelanggaran
hukum pidana
Atas dasar pemikiran ini , dipandang perlu untuk melakukan kajian
secara mendalam dan komprehensif mengenai kebijakan (politik) hukum pidana dan
kebijakan (politik) pemidanaan dalam rangka untuk membangun sistem hukum
pidana nasional Indonesia. Kegiatan ini sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang menjadi sasaran
politik hukum yakni terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekwen dan
tidak dikriminatif, terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan
pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang
berwibawa, bersih, professional dalam usaha memulihkan kembali kepercayaan
warga pada hukum secara keseluruhan, khususnya bidang hukum pidana.
POLITIK PEMIDANAAN DALAM KUHP DAN DILUAR KUHP
A. --
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan telah memberi pedoman dan teknik dasar dalam
perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Namun demikian, sekalipun
sedikit banyak disinggung, undang-undang ini belum memberi acuan yang
konprehensif tentang bagaimana merumuskan suatu ”tindak pidana” dalam peraturan
perundang-undangan. Baik saat hal itu menjadi bagian ”Ketentuan Pidana” dalam
undang-undang administratif, maupun saat merumuskannya dalam undang-undang
pidana.
Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan
tentang: (1) subyek hukum yang menjadi sasaran norma ini (addressaat norm);
(2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik berupa dalam bentuk melakukan
sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat
(kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat),
sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan ini .
Sejauh ini, belum ada pedoman yang memberi batasan yang cukup
jelas tentang bagaimana merumuskan dan mengkaitkan ketiga aspek dari tindak
pidana di atas, kecuali pembahasan-pembahasan teoretis yang disana-sini masih
menjadi perdebatan antara ahli yang satu dengan yang lain. Akibatnya, rumusan
tindak pidana menjadi sangat beragam. Bahkan suatu undang-undang yang
diundangkan dalam waktu yang relatif bersamaan, mempunyai karakter rumusan
norma yang sangat berbeda.
Terlalu beragamnya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
berimplikasi pada penafsiran norma yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
pencapaian tujuan hukum dan efektivitas praktek penegkan hukum.
Sehubungan dengan hal di atas, diperlukan pengkajian tentang gambaran
praktek pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal
perumusan ”tindak pidana” atau perumusan norma tindak pidana dan norma
perumusan ancaman pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
B. Politik Pemidanaan dalam KUHP
Perumusan politik pemidanaan dalam KUHP dilihat dari sudut kajian, yaitu
ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I KUHP dan perumusan ancaman
sanksi pidana dalam Buku II dan Buku III KUHP.
Perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu kepada norma
pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :
Pasal 10
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Ketentuan pidana ini metode pengamanannya dalam norma hukum pidana
diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 43 KUHP. Ketentuan pemidanaan
dalam Buku I KUHP ini diformulasikan secara konsisten dalam norma hukum
pidana dalam Buku II dan Buku II KUHP. Fungsi ketentuan umum hukum pidana
dalam Buku I benar-benar menjadi pedoman dalam memformulasikan ancaman
pidana dalam norma hukum pidana dan dalam pelaksanaan pidana.
Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana,
paling tidak ada 3(tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum
pidana di dalam warga , yaitu:
a. Membentuk atau mencapai cita kehidupan warga yang ideal atau
warga yang dicitakan,
b. Mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam warga ,
c. Mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh
warga dengan teknik perumusan norma yang negatif.
Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar
pengancaman dan penjatuhan pidana, dalam konteks ini alasan pemidanaan yaitu
pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan
atau pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan
tertentu.
Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan ukuran atau dasar
keadilan bila terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini,
pemidanaan erat hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana. Sebagai
sebuah sistem, telaahan mengenai pemidanaan dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut,
yaitu sudut fungsional dan sudut norma substantif.
Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-
sasi/operasionalisasi/ konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem (aturan
perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan
atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi sanksi
(hukum) pidana. Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem
penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana
Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub-sistem Hukum
Pelaksanaan Pidana. sedang dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari
norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan
sebagai keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pe-
midanaan; atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian,
maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada
di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP,
pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri
dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”).
Aturan umum ada di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus ada di
dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam undang-undang khusus di luar
KUHP,1 baik yang mengatur hukum pidana khusus maupun yang mengatur
hukum pidana umum.
Ditinjau dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana,
perbuatan pidana, dan pertanggungjawaban pidana, muatan hukum pidana dalam
KUHP yang perlu mendapat perhatian yaitu mengenai:
a. Pidana atau pemidanaan:
KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga
pidana dijatuhkan ditafsirkan sesuai dengan pandangan aparat penegak
hukum dan hakim yang masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda.
Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku, dalam arti tidak dimungkinkannya
modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri
pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP yang demikian itu jelas tidak
memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk
pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana,
pelaksanaan pidana pidana mati, pidana denda, pidana penjara, dan pidana
bagi anak.
Sistem beracara pidana pada kasus yang diancam dengan hukuman mati
(pasal 340 KUHP) dan yang tidak dengan ancaman pidana mati (pasal 338
KUHP) prosedurnya sama, tidak mempunyai perbedaan dan tidak
mempunyai kualifikasi dan prosedur yang berbeda. Sebagai contoh, seorang
didakwa mencuri ayam dan seorang yang didakwa dengan pembunuhan
berencana dengan ancaman hukuman mati, prosedurnya sama. Hal ini
seringkali memunculkan adanya praktek-praktek rekayasa yang dapat
mencederai rasa keadilan di dalam warga .
Buku ke-I KUHP yang berisi asas-asas umum dalam pengaturan hukum
pidana nasional, ternyata tidak mampu menampung perkembangan hukum
di Indonesia. Akibatnya, perkembangan asas hukum Indonesia tidak lagi
hanya berpegang pada Buku ke-I sebab segala unsur (politik negara dan
politik hukum) bangsa berkembang dengan pesat. Akibatnya,
pengembangan asas cenderung di luar KUHP. Undang-undang khusus
dikatakan sangat liar sebab mengatur hal-hal dan asas-asas sendiri yang
tidak ada rujukannya dengan KUHP yang diatur dalam Buku ke-II. Sebagai
contoh keberadaan Undang-undang Otonomi yang melahirkan undang-
undang khusus dan memberi daerah wewenang untuk membuat Hukum
Pidananya sendiri seperti dalam kasus hukum Qonun di Aceh dan Peraturan
Daerah yang mengatur tentang hukum pidana di daerah.
Terkait dengan pemidanaan, KUHP tidak mengatur adanya ancaman pidana
minimum khusus. Seharusnya, jika hendak mengatur mengenai ancaman
pidana minimum khusus dalam hukum pidana khusus dalam undang-undang
di lur KUHP, terlebih dahulu dimulai dari melakukan amandemen KUHP
maka seharusnya pasal dalam KUHP diamandemen dahulu sebelum ada
undang-undang di luar KUHP, sehingga undang-undang yang bersifat
khusus ini mempunyai cantolan pada KUHP yang merupakan
ketentuan umum hukum pidana nasional Indonesia.
b. Perbuatan Pidana:
Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat
positivis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas
legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberi tempat bagi
hukum yang hidup di tengah-tengah warga yang tidak tertulis dalam
perundang-undangan. Oleh sebab itu, secara sosiologis KUHP telah
ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di
warga .
KUHP sebagai hukum tertulis selalu lamban dalam merespon
perkembangan hukum yang terjadi dalam warga , keadaan ini
kemudian melahirkan ide untuk membentuk hukum pidana baru di luar
KUHP. Namun dalam perumusan norma hukum pidana di luar KUHP
ini cenderung melepaskan diri ikatannya dari KUHP, terutama Buku I
KUHP, yang kemudian melahirkan sistem norma sendiri yang memiliki
nilai dan asas-asas hukum pidana yang lepas dari ketentuan umum hukum
pidana Buku I KUHP, bahkan dalam kaitannya dengan Buku II dan Buku II
KUHP acap kali terjadi duplikasi atau pengulangan pengaturan dan
sebagian di antaranya ada yang triplikasi pengaturan, yakni pengaturan
norma yang sama diatur dalam tiga peraturan yang berbeda dengan disertai
dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda.
c. Pertanggungjawaban pidana:
Beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana
antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan
secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan
penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1),
yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana sebab secara obyektif
memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas)
dan secara subyektif ada unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi
rumusan asas culpabilitas)2.
Demikian juga tidak mengatur mengenai subjek hukum korporasi dan
pertanggungjawaban korporasi yang memicu terjadinya penafsiran
yang tidak sama mengenai siapa yang bertangungjawab bila ditengarai
terjadinya pelanggaran hukum yang melibatkan korporasi.
Atas dasar uraian ini di atas, melahirkan sistem formulasi pengancaman
pidana dalam hukum pidana yang menjadi tidak konsisten. Menurut KUHP
ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut:
Aturan Pemidanaan dalam KUHP
No Jenis Pidana Aturan Pemidanaan
1. Pidana Mati Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat
yang diancamkan kepada tindak pidana yang
sangat berat selalu disertai dengan alternatif
pidana sumur hidup atau pidana penjara paling
lama 20 tahun.
Menurut UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan dengan
cara tembak mati
Pidana Penjara Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu
tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum
15 tahun)
Boleh 20 tahun berturut-turut, jika:
ada alternatif pidana mati, penjara seumur
hidup, atau penjara selama waktu tertentu,
ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan
yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52)
Tidak boleh melebihi 20 tahun.
Dapat ditambah pidana tambahan
Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536
paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2
tahun.
Masa percobaan dimulai saat keputusan
hakim berkekuatan hukum tetap.
3. Pidana Kurungan
Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1
tahun.
Jika ada pembarengan, pengulangan, atau
dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4
bulan.
4. Pidana Denda
Minimal umum Rp 3,75
Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti.
Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal
6 bulan. Tapi jika ada perbarengan,
pengulangan, atau dilakukan pejabat maka
maksimal 8 bulan.
Norma hukum pidana dan norma pengancaman sanksi pemidanaan dalam KUHP
disusun secara sistematik sehingga nampak jelas hubungan antara norma hukum
pidana dalam satu pasal dengan pasal lain, demikian juga cara merumuskan
ancaman sanksi pidana. Unsur sistematik ini menjadi ciri dari suatu hukum
yang terkodifikasi, sebab disusun dan dipersiapkan dan dirumuskan dalam
waktu dan oleh lembaga perumus yang sama. Hal ini berbeda dengan hukum
non-kodifikasi atau dalam undang-undang di luar KUHP/kodifikasi yang
biasanya dibuat dan diberlakukan untuk merespon kejahatan tertentu dan
dipengaruhi oleh situasi kondisi kejahatan pada saat itu.
Deskripsi penormaan hukum pidana dan pengancaman sanksi pidana dalam
KUHP dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Pengaturan sistem pengancaman pidana dalam KUHP diatur dalam
pedoman umum pengancaman pidana dimuat dalam Buku I tentang
Ketentuan Umum:
a. Jenis pidana (dimuat dalam Pasal 10 KUHP)
b. Cara pengancaman pidana
c. Penjatuhan pidana perbarengan
d. Pemberatan dan pemeringan pidana
2. Formulasi pengaturan pengancaman pidana dalam Buku II KUHP:
a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 123 kali, dengan rincian :
1) Ancaman pidana denda saja sebanyak 1 kali dengan memakai
rumusan „pidana denda‟ saja yang ditujukan kepada pengurus
perseroan yang turut andil dalam menerbitkan ijin untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar.
2) Ancaman pidana denda sebagai pidana alternatif pidana lain
sebanyak 122 kali yang didahului dengan frase „atau pidana
denda‟.
b. Pidana kurungan diterapkan sebanyak 37 kali dengan rincian:
1) Pidana kurungan dipergunakan sebagai ancaman pidana pokok
sebanyak 9 kali yang prumusannya diawali dengan kata „dengan
pidana kurungan‟.
2) Pidana kurungan sebagai pidana alternatif dari pidana lain
dipergunakan sebanyak 28 kali yang dalam prumusannya diawali
dengan kata „atau pidana kurungan‟.
c. Pidana mati dipergunakan sebagai ancaman sanksi pidana sebanyak 10
kali dengan cara pengancaman:
1) Pidana mati sebagai pidana pokok terberat
2) Pidana mati selalu diancamkan sebagai pidana pemberatan
ditujukan kepada delik yang dikualifisir.
3) Pidana mati selalu dialternatifkan sebagai pidana penjara seumur
hidup dan pidana penjara paling lama 20 tahun.
d. Pidana Penjara dipergunakan sebagai ancaman pidana sebanyak 485
kali dengan rincian:
1) Kedudukan sanksi pidana penjara sebagai pidana pokok, sebagai
alternatif atau sebagai pidana yang bersifat sementara atau
sebagai pidana pengganti.
2) Pidana penjara dengan hitungan tahun sebagai ancaman pidana
pokok dipergunakan sebanyak 274 kali.
3) Pidana penjara baik dengan hitungan tahun atau seumur hidup
dipergunakan sebanyak 292 kali.
4) Pidana penjara diancamkan sebagai ancaman pidana alternatif
dari ancaman pidana lain dipergunakan sebanyak 26 kali.
e. Perumusan sanksi pidana penjara dalam Buku II dideskripsikan
sebagai berikut:
1) Pidana Penjara paling lama 1 bulan = 3 kali
2) Pidana Penjara paling lama 1 tahun = 48 kali
3) Pidana Penjara paling lama 1 tahun 6 bulan = 6 kali
4) Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 36 kali
5) Pidana Penjara paling lama 2 tahun = 37 kali
6) Pidana Penjara paling lama 3 bulan = 9 kali
7) Pidana Penjara paling lama 3 tahun = 5 kali
8) Pidana Penjara paling lama 4 tahun = 47 kali
9) Pidana Penjara paling lama 5 tahun = 30 kali
10) Pidana Penjara paling lama 6 bulan = 5 kali
11) Pidana Penjara paling lama 6 tahun = 17 kali
12) Pidana Penjara paling lama 7 tahun = 41 kali
13) Pidana Penjara paling lama 8 tahun = 14 kali
14) Pidana Penjara paling lama 9 bulan = 36 kali
15) Pidana Penjara paling lama 9 tahun = 19 kali
16) Pidana Penjara paling lama 12 tahun = 28 kali
17) Pidana Penjara paling lama 15 tahun = 28 kali
18) Pidana Penjara paling lama 20 tahun = 7 kali
19) Pidana Penjara seumur hidup = 23 kali
3. Pengaturan pengancaman pidana dalam Buku III KUHP:
a. Pidana denda dipergunakan sebanyak 84 kali dengan rincian:
1) Pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan sebanyak 8
kali
2) Pidana denda sebagai alternatif pidana kurungan dipergunakan
sebanyak 35 kali.
3) Pidana denda sebagai pidana pokok dipergunakan sebanyak 39 kali.
b. Pidana kurungan dipergunakan sebanyak 55 kali dengan rincian sebagi
berikut:
1) Pidana kurungan paling lama 1 bulan sebanyak 7 kali
2) Pidana kurungan paling lama 1 tahun sebanyak 1 kali
3) Pidana kurungan paling lama 10 hari sebanyak 2 kali
4) Pidana kurungan paling lama 12 hari sebanyak 2 kali
5) Pidana kurungan paling lama 2 bulan sebanyak 7 kali
6) Pidana kurungan paling lama 2 minggu sebanyak 2 kali
7) Pidana kurungan paling lama 3 bulan sebanyak 9 kali
8) Pidana kurungan paling lama 3 hari sebanyak 5 kali
9) Pidana kurungan paling lama 3 minggu sebanyak 2 kali
10) Pidana kurungan paling lama 6 bulan sebanyak 1 kali
11) Pidana kurungan paling lama 6 hari sebanyak 10 kali
12) Pidana kurungan paling lama 6 minggu sebanyak 1 kali
C. Politik Pemidanaan dalam Undang-undang di luar KUHP
1. Tentang Ancaman Pidana
Telah menjadi kesepakatan istilah ”straf” diartikan ”pidana”. Istilah
”hukuman”, masih bersifat umum, sebab dapat meliputi ”hukuman perdata”
maupun ”hukuman administrasi negara”. Hukuman dalam arti khusus di bidang
hukum pidana yaitu ”pidana”. Selain itu, dalam hukum pidana juga dikenal
sanksi lain yang disebut ”tindakan” (maatregeel).
Pidana yaitu reaksi atas tindak pidana, yang berujud nestapa yang dengan
sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana ini . Dari
definisi ini ada tiga unsur utama dari pengertian ”pidana”, yaitu: (1) merupakan
re-aksi atas suatu aksi, yaitu reaksi atas suatu ”criminal act” atau tindak
pidana; (2) yang berujud nestapa; (3) dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana
(daader) oleh negara.
Antara ”perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan ”ancaman pidana” atau
strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Dilihat dari
hakekatnya, perbuatan pidana yaitu perbuatan yang tercela (tercela sebab
dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedang pidana
merupakan konkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” pada perbuatan
yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul” sebab adanya
ancaman penjatuhan pidana ini barangsiapa yang melakukan perbuatan
ini .
Pidana mesti mempunyai sifat pembalasan didalamnya, sehingga ”nestapa”
menjadi bagian dari tujuan jangka pendek dari penjatuhan suatu pidana.
Mengingat tingkat ketercelaan di antara tindak pidana yang satu berbeda dari
tindak pidana yang lain, maka tingkat nestapa yang diancamkannya pun
berbeda-beda. Baik perbedaan sebab jenis, maupun perbedaan sebab jumlah.
Selain itu, ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan
kepada orang yang melakukan. Artinya, dengan penjatuhan pidana maka
celaan yang objektif ada pada tindak pidana kemudian berubah bentuk menjadi
celaan subyektif kepada pembuatnya. Dalam hukum pidana modern, pembuat
tindak pidana dapat merupakan ”orang perseorangan” (natuurlijke persoon)
ataupun korporasi (korporatie).
Umumnya penancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana, dapat
mengikuti beberapa model, yaitu: (1) satu jenis pidana diancamkan sebagai
ancaman pidana tunggal (kecuali pada pidana mati, selalu harus
dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama
waktu tertentu); (2) satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis
pidana yang lain; (3) satu jenis pidana diancamkan secara komulatif dengan
jenis pidana yang lain; dan (4) pidana diancamkan dengan kombinasi alternatif-
kumulatif.
Konsepsi teoretik sebagaimana ini membawa konsekuensi bila
dituangkan dalam rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan. Oleh sebab itu, pengkajian pada rumusan ancaman pidana
dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP berpangkal tolak dari
konsepsi teoretik ini .
2. Nomenklatur Ancaman Pidana
Meskipun umumnya para ahli sepakat, memakai istilah ”pidana”, namun
istilah ini tidak selalu dipakai dalam undang-undang. Beberapa
undang-undang menggunankan istilah ”hukuman”. Misalnya, Undang-Undang
No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang
Berhak atau Kuasanya. Begitu juga dengan Undang-Undang No. 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, pada ”pidana
penjara” misalnya dipakai istilah ”hukuman penjara” dan ”kurungan”
disebut dengan ”hukuman kurungan”. Namun demikian, dalam Pasal 6
Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian uang,
didepan kata ”penjara” tidak dipakai kata ”pidana”, sehingga tertulis:
”...dipidana dengan penjara....”
Selain itu, berbagai undang-undang mengunakan istilah ”pidana” di depan
istilah ”denda” sementara berbagai undang-undang yang lain tidak demikian.
Misalnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia memakai idiom ”pidana denda”. Dalam Pasal 16 undang-
undang ini ditentukan: ”...dipidana dengan pidana denda....”. Demikian
pula Pasal 34 Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil,
memakai istilah ”pidana denda”. sedang Undang-Undang No. 5
Tahun 1990 dan berbagai undang-undang lainnya hanya memakai istilah
”denda” saja tanpa ditambahkan istilah ”pidana” didepannya.
Selain itu, untuk menggambarkan jumlah minimum khusus maupun maksimum
khusus yang dapat dijatuhkan bagi pembuat tindak pidana tertentu, juga
menunjukkkan perbedaan-perbedaan penggunaan nomenklatur antara undang-
undang yang satu dengan undang-undang yang lain.
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia memakai
istilah ”paling lama” untuk pidana penjara dan ”paling sedikit” dan ”paling
banyak” untuk denda. Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan memakai istilah ”paling singkat” untuk pidana
penjara.
sedang Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar memakai istilah ”sekurang-kurangnya”... untuk
pidana denda minimum yang dapat dijatuhkan dan memakai istilah
”paling banyak” untuk maksimumnya. Sementara itu Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, memakai istilah ”serendah-rendahnya” dan ”setinggi-tingginya”
untuk menunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya.
Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya memakai istilah ”selama-
lamanya”. Dalam hal ini ditentukan ”...dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya...”. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana Korupsi, khusunya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan
pembayaran uang pengganti, dipakai istilah ”sebanyak-banyaknya” untuk
menggambarkan jumlah maksimum pidana tambahan pembayaran uang
penggati yang dapat dijatuhkan.
Ada juga undang-undang yang memakai istilah ”sekurung-kurangnya”
untuk menggambarkan minimum (khusus) pidana penjara yang dapat
dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Tentang
Perbankan, yang menentukan: ”...dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun....”.
Sementara itu, dalam merumuskan ”ancaman” dari jenis-jenis pidana tertentu
dalam rumusan tindak pidana juga masih menunjukkan perbedaan di antara
berbagai undang-undang. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, sesudah uraian perbuatannya dipakai istilah
”...diancam dengan pidana penjara....”. Senada dengan hal ini Undang-
Undang No. 51 Prp tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin
Yang Berhak atau Kuasanya memakai istilah ”...dapat dipidana
dengan....”. Sementara berbagai undang-undang lainnya memakai istilah
”...dipidana dengan pidana penjara....”, seperti dalam Undang-Undang 23
tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Lain lagi dengan Undang-Undang No.
21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja/Serikat Buruh, memakai anak
kalimat: ”...dikenakan sanksi pidana penjara....”
3. Adressaat Norm Ancaman Pidana
Dalam hukum pidana modern, ancaman pidana ditujukan kepada orang
perseorangan (natuurlijke persoon) atau korporasi (korporatie). Sebelumnya
tidaklah demikian, sebab pada mulanya ancaman pidana hanya ditujukan
pada orang perseorangan.
Secara umum hal ini direpresentasikan dengan dua istilah ”barangsiapa” atau
”setiap orang”. Mengingat, ancaman pidana mulanya hanya ditujukan
pada orang perseorangan, maka sebutan umum yang dipakai untuk
menunjukkan addressaat norm tindak pidana yaitu ”barang siapa”. Istilah
”setiap orang” pertama kali dugunakan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun
1992 Tentang Keimigrasian. Namun demikian, pembentuk undang-undang
dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 kembali memakai istilah
”barangsiapa”. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama
kali dipakai idiom ”setiap orang”, pembentuk undang-undang
mengundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan memakai istilah ”barang siapa” untuk
menunjukkan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya. Tidak jelas betul
adakah hubungan antara penggunaan istiah ”setiap orang” dengan
perkembangan hukum pidana bahwa ancaman pidana juga ditujukan pada
korporasi.
Adakalanya ancaman pidana ditujukan kepada subyek hukum dengan
”kualitas” tertentu. Kualitas ini menjadi bagian inti tindak pidana yang
harus dibuktikan Penuntut Umum. Beberapa istilah bersifat sangat umum,
seperti ”setiap pihak” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasal
Modal atau ”orang asing” dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang
Keimigrasian. Adakalanya memakai istilah yang sangat spesifik, seperti
”pengusaha pengurusan jasa kepabeanan” dalam Undang-Undang No. 10
tahun 1995 Tentang Kepabeanan (sudah tidak berlaku lagi) atau ”pengusaha
pabrik” dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Penyebutan subyek hukum sebagai addressaat norm ancaman pidana yaitu
keliru sebab seharusnya dipakai istilah yang bersifat umum. Misalnya
dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang
menentukan sebagai berikut:
”Saksi atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika
yang sedang dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut
nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.”
Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada ”saksi” sebab saksi yaitu
orang yang tidak melakukan tindak pidana, namun justru yang melihat,
mendengar dan mengalami sendiri dari suatu tindak pidana.
Perumusan semestinya kepada pelarangan pada ”perbuatan” bukan pelarangan
pada ”status seseorang”. Dengan kata lain, ”perbuatan orang dalam
kualitas” tertentu yang seharusnya dilarang. berdasar hal ini rumusan
tindak pidana di atas seharusnya menentukan:
”Setiap orang yang memberi keterangan sebagai saksi atau orang lain
yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam
pemeriksaan di sidang Pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal
yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.”
Selain itu, juga merupakan perumusan tindak pidana yang keliru, jika ancaman
pidana ditujukan kepada ”perbuatan”, namun ancaman pidana seharusnya
ditujukan kepada ”orang yang melakukan perbuatan”. Misalnya, perumusan
tindak pidana dalam Pasal 48 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang
menentukan:
”Pelanggaran pada ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal
14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.
000.000.000 (duapuluh lima millar) dan setinggi-tingginya Rp.
100.000.000.000 (seratus mililar), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 6 (enam) bulan”
Demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, masih mengancam pidana pada perbuatan, dengan menentukan:
“Percobaan atau permufakatan jahat ….diancam dengan pidana yang
sama….”
4. Penempatan Ancaman Pidana
Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan
tindak pidana. Namun demikian, bila ancaman pidana ditujukan pada
beberapa perbuatan sekaligus, maka ancaman pidana ditempatkan di depan
perbuatan terlarangnya. Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman
pidana tertuju hanya pada sebagian perbuatan saja. Adakalanya status
rumusan tindak pidana yang melarang beberapa perbuatan sekaligus
menempatkan ancaman pidana pada bagian akhir rumusan delik ini ,
sehingga menimbulkan kesan ancaman pidana tertuju pada perbuatan yang
dirumuskan paling akhir. Misalnya, Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, yang menentukan:
“Setiap orang yang dengan sengaja :
a. menempatkan...;
b. mentransfer...;
c. membayarkan...;
d. menghibahkan...;
e. menitipkan...;
f. membawa...;
g. menukarkan...;
h. menyembunyikan atau menyamarkan..., dipidana sebab tidak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara....”
Perumusan ini menjadi lebih baik bila dirumuskan sebagai berikut:
”Dipidana dengan pidana penjara....., setiap orang yang:
a. menempatkan...;
b. mentransfer...;
c. membayarkan...;
d. menghibahkan...;
e. menitipkan...;
f. membawa...;
g. menukarkan...;
h. menyembunyikan atau menyamarkan....”
Rumusan terakhir ini, ancaman pidana ditujukan pada semua perbuatan dari
huruf a sampai dengan huruf h. sedang perumusan sebelumnya, seolah-olah
hanya pada perbuatan yang termuat dalam huruf h.
5. Model Ancaman Pidana
Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum
pengacaman pidana dalam KUHP, dengan memakai model pengancaman
kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung ”dan” diantara dua jenis
pidana yang diancamkan) atau model kombinasi alternatif-kumulatif yang
ditandai dengan kata penghubung ”dan/atau” diantara dua jenis pidana yang
diancamkan).
Dengan pengancaman kumulatif maka hakim terikat untuk menjatuhkan pidana
kedua jenis pidana ini sekaligus. Persoalannya, pada subyek tindak pidana
korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda, dan tidak dapat
dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Mengingat konstruksi ini,
akan timbul kesulitan penjatuhan pidana (hanya) pada korporasi dalam hal
tindak pidana yang dilakukan mengancamkan secara kumulatif pidana-pidana
dengan jenis berbeda. Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan
tindak pidana yaitu denda, namun tetap saja dengan model pengancaman
kumulatif hakim ”harus” menjatuhkan keduanya. Akibatnya, pengancaman
pidana pada korporasi menjadi ”non applicable” Misalnya pada rumusan
tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian. Seharunya, dalam hal ancaman tindak pidana
ini juga ditujukan pada korporasi, dengan perumusan yang bersifat
umum melalui idiom ”setiap orang”, maka model ancaman pidana alternatif
atau kombinasi alternatif-kumulatif lebih tepat.
D. HUKUM TENTANG PELAKSANAAN PIDANA
Berbicara tentang hukum pelaksanaan pemidanaan di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari proses dan tujuan pemidanaan masa penjajahan Belanda.
Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh Belanda, demikian pula sistem
pemidanaannya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van
Strafrecht voor de Inlenders in Nederlandsch ladle merupakan peninggalan
Belanda yang ditetapkan sejak tahun 1872.
Pada masa penjajahan Belanda, jenis pidana utama bagi pribumi yaitu pidana
kerja paksa, pidana mati dan denda. Pidana kerja paksa identik dengan
"pembuangan" sebab pelaksanaannya dilakukan di luar daerah tempat keputusan
pengadilan pertama dijatuhkan. Pembuangan dianggap sebagai usaha menambah
penderitaan dari pidana kerja paksa ini . Tujuan utama pidana ini yaitu untuk
menunjang kepentingan kolonial Belanda, terutama kepentingan ekonomi, politik
dan militer.
Tahun 1905 pemerintah kolonial Belanda, dengan pertimbangan efektifitas
pidana kerja paksa dan alasan keamanan dan penjeraan serta membuat takut
terpidana penjara maka pemerintah Belanda mengambil kebijakan baru dengan
pengkonsentrasian para terpidana kerja paksa pada pusat-pusat penampungan
wilayah, yang disebut "penjara-penjara pusat", sekaligus difungsikan untuk
menampung tahanan, sandera, dan lainnya. sedang terpidana kerja paksa di
tempatkan jauh dari daerah asalnya.
Sementara untuk terpidana yang berasal dari kalangan Eropa sendiri,
didirikan tempat pelaksanaan pidana khusus yang disebut sebagai Centrale
Gevangenis voor Europeanen (Penjara Pusat untuk Orang-orang Eropa). Bangunan
fisik penjara dikelilingi oleh tembok setinggi 4,5 meter, terdiri dari kamar-kamar
besar yang menampung sekitar 25 orang terpidana, dengan dengan kapasitas 700-
2700 terpidana.
sesudah ditetapkannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tanggal 15 Oktober 1915 tidak dikenal lagi
adanya "pidana kerja", dan diganti dengan "pidana hilang kemerdekaan".
Bersamaan dengan itu diberlakukan pula Wetbuk van Strafrecht ini diberlakukan
pula Gestichten Reglement Staatsblad (Reglemen Penjara) 1917. Pelaksanaan
Reglemen Penjara ini membawa konsekwensi digantinya sistem Penjara-Penjara
Sentral dengan Sistem Penjara Pelaksana Pidana. Dan ditetapkan pula Rumah
Tahanan untuk menampung orang-orang yang masih dalam proses pengadilan.
Seiring itu dilakukan reformasi penjara dengan memberi perhatian
kepada terpidana anak dan pengklasifikasian terpidana dewasa. Anak-anak yang
berusia di bawah 16 tahun ditempatkan di "rumah pendidikan". Dan penempatan
anak di luar penjara dengan syarat (probation) serta keharusan untuk selalu
mendahulukan penyelesaian perkara anak.
sesudah kemerdekaan, 26 Januari 1946, Kepala Bagian Urusan Penjara
menyatakan bahwa Reglemen Penjara 1917 masih dinyatakan berlaku, meskipun
dilakukan sedikit perubahan dalam hal pengurusan dan pengawasan pada
penjara-penjara. Dan menginstruksikan agar dilakukan pemisahan yang ketat
antara pelanggar hukum anak-anak dengan dewasa serta instruksi untuk menunjuk
pegawai khusus antuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara, kebijakan
untuk melakukan diversi ( langkah untuk menjauhkan pemrosesan perkara pidana
secara formal ) untuk kasus-kasus yang sebelumnya dipidana penjara, seperti
mengemis. Pada periode 1946-1948 ditetapkan pemberian remisi ( pemotongan
masa pidana ) setiap tanggal 17 Agustus.
Sejalan dengan makin meningkatnya pengakuan pada hak asasi
manusia, sebagai akibat perlakuan kejam, buruk, penyiksaan dan perlakuan tidak
manusiawi selama perang dunia ke II, maka pemikiran sistem perlakuan pada
pelanggar hukum berkembang makin manusiawi.
Demikian pula yang berkembang di Indonesia, mulai muncul pemikiran baru,
dibidang pemidanaan, denga tujuan pemidanaan yang lebih manusiawi yakni
konsepsi sistem pewarga an dengan tujuan mengembalikan terpidana ke
warga . (re-integrasi sosial )
Konsep Pewarga an di Indonesia diperkenalkan Sahardjo pada tahun
1963, dijelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa
derita pada terpidana sebab dihilangkannya kemerdekaan bergerak, namun juga
ditujukan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi
seorang anggota warga sosialis Indonesia yang berguna.
Perumusan lebih jauh tentang konsep Pewarga an dilakukan oleh Bahrudin
Suryobroto, dijelaskan bahwa Pewarga an bukan hanya tujuan pidana
penjara, melainkan suatu proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan
hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana
dan warga . ( Re-integrasi sosial ).
Munculnya konsep Pewarga an pada dasarnya sangat dipegaruhi
oleh dorongan pemikiran untuk pelaksanaan pemidanaan yang lebih manusiawi
dan melindungi hak-hak asasi terpidana, termasuk tahanan. Dorongan ini
telah formalisasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada, tahun 1955
dalam bentuk Standard Min imum Rules fo r the Trea tment of
Pri soners . Di dalamnya ada beberapa hak dan perlakuan
minimum yang harus diberikan kepada terpidana/tahanan selama
berada dalam institusi pemenjar aan dan penahanan. Standard
Minimum Rules dan munculnya konsep Pewarga an in ilah
yang menandai peralihan sistem pemidanaan Indonesia dari sistem
pemenjaraan yang dalam p r a k t e k l eb i h m e n e k a nk a n s e n t im e n
p e ng h u k um a n ( p u n i t i v e s e n t i m e n t ) d a n a t a u pembalasan
(retributive).
Dewasa ini perkembangan pembangunan hukum di Indonesia,
khususnya dalam konteks penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, maka ke depannya posisi Sistem Pewarga an akan semakin penting.
Reintegrasi sosial yang menjadi dasar filosofis Sistem Pewarga an secara
eksplisit telah menjadi bagian dari rencana nasional dalam
pembaruan KUHP. Pada pasal 54 RKUHP dinyatakan, bahwa tujuan
pemidanaan yaitu ;
1. Mencegah di lakukannya t indak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman warga .
2. Mewarga kan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga,
menjadi orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam warga .
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Rancangan ini ke depan akan memperkuat posisi Sistem Pewarga an
sebagai salah satu bagian integral Sistem Peradilan Pidana sekaligus mewarnai
nuansa bekerjanya sub-sub System Peradilan Pidana lainnya dalam konteks
teknis dan filosofis.
Seiring dengan munculnya konsepsi Pewarga an dan dalam kaitannya
dengan sistem peradilan pidana, maka tugas besar insitusi pewarga an sebagai
penegakan hukum, dan perlindungan pada hak asasi manusia makin dirasakan
eksistensinya. Rumah Tahanan misalnya, selain melaksanakan tugas perawatan dan
pelayanan, juga memiliki kewenangan hukum untuk melindungi harkat dan
martabat tahanan. Demikian pula dengan Lembaga Pewarga an yang
mengusaha kan seoptimal mungkin pelaksanaan pemidanaan, menegakkan hukum
dan melakukan perlindungan Hak asasi manusia dalam kerangka memanusiakan
manusia.
Sementara itu Balai Pewarga an ( Bapas ) selain melaksanakan tugas
pelayanan penelitian kewarga an ( Litmas ) sebagai pertimbangan bagi anak
yang bermasalah dengan hukum dalam proses peradilan ( penelitian
kewarga an anak) dan Litmas sebagai pertimbangan dan penentu dalam
perawatan dan pelayanan tahanan di Rumah Tahanan Negara ( Rutan ) serta
Litmas sebagai penentu didalam proses pembinaan didalam dan diluar lembaga
pewarga an ( Lapas ) dalam bentuk asimilasi dan integrasi serta melakukan
pembimbingan dan pengawasan pada terpidana bersyarat, anak yang kembali
ke orang tua, anak yang di bina di panti atau pesantren, dan narapidana yang
sedang menjalani proses asimilasi dan Pembebasan bersyarat (PB), Cuti Menjelang
Bebas ( CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), dan Cuti Bersyarat ( CB ),
namun Bapas juga mempunyai tugas melakukan pengawasan, pembimbingan dan
pendampingan terhahadap narapidana ini diatas dan anak yang bermasalah
dengan hukum serta klien pewarga an lainnya.
Satu unit pelaksana tehnis lain yang penting peranannya yaitu Rumah Penyimpanan
barang rampasan dan benda sitaan negara (Rupbasan). Sebagaimana diatur dalan
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Tujuannya yaitu
pemisahan fungsi antara pejabat yang bertanggung jawab secara Yuridis dengan
pejabat bertanggung jawab secara fisik atas barang-barang ini .
Sejarah pemidanaan di Indonesia memperlihatkan sebuah proses panjang
dan berliku. Filosofi dan model pemidanaan masa penjajahan yang sangat
bersifat pembalasan dan penciptaan rasa takut untuk tujuan eksploitasi berubah
ke arah resosialisasi pada masa awal Indonesia merdeka hingga akhirnya muncul
Pewarga an Re-integrasi sosial hingga kini memberi indikasi jelas adanya
kompleksitas hambatan dalam pelaksanaan Pewarga an utamanya dalam
aspek yuridis dan sosiologis.
Selain mencatat beberapa kemajuan, saat ini Pewarga an sebagai instansi
pelaksana hukum pidana mulai berhadapan dengan masalah yang semakin
kompleks dan rumit. Beberapa masalah yang cukup mendapatkan perhatian publik
yaitu masalah yuridis yang berkaitan dengan pemenuhan hak narapidana seperti
ketentuan tentang remisi, asimilasi, PB, CMB, CMK, CB dan overcroudit,
kesehatan, pelarian, kerusuhan, kekerasan, serta sarana dan prasarana lainnya,
keterbatasan pemahaman sumber daya manusia, biaya, partisipasi warga dan
rendahnya kemampuan pelayanan dalam memenuhi hak-hak narapidana
merupakan masalah yang kompleks dan rumit lainnya.
1. Isu-isu Hukum Pelaksanaan Pidana dalarn Sistem Pewarga an
a. Isu tentang Kebijakan pelaksanaan Pewarga an
Sis tem Pewarga an pada dasarnya merupakan kebi jakan
kriminal ( cr iminal pol icy ) dalam kai tannya dengan hukum
pelaksanaan pidana dan merupakan bagian dari social management
system (sistem manajemen sosial). Secara umum, manajemen sosial yang
dilakukan melalui Sistem Pewarga an ini dapat dibedakan menjadi
kebijakan pemenjaraan ( institusional treament/ custodial ) dan kebijakan
diluar pemenjaraan ( non instutusional tretment ).
Kebijakan non instutusional tretment, merupakan salah satu isu utama
dalam Sistem Pewarga an dewasa ini, baik yang dilakukan oleh internal
Pewarga an maupun yang terkait dengan fungsi sub-sub sistem
peradilan pidana lainnya. Kebijakan non institusional tretment oleh sub-
sub sistem peradilan pidana di luar Sistem Pewarga an dilakukan
dalam bentuk diskresi, diversi, keadilan restoratif, serta putusan hukuman
percobaan atau kerja sosial oleh pengadi lan. Sementara
kebi jakan non instutusional tretment dalam Sistem Pewarga an
dapat dilakukan dalam bentuk asimilasi, pembebasan bersyarat, Cuti
Menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga dan cuti bersyarat hingga
bentuk-bentuk penghukuman yang berbasis warga ( community based
correction ) selaras dengan filosofi re-integrasi sosial.
Filosofi re-integrasi sosial yang menjadi latar belakang munculnya Sistem
P e m a s ya r a k a t a n p a d a d a s a r n ya s a n g a t m e n e k a n k a n
a s p e k p e n g e m b a l i a n narapidana ke warga . Oleh
sebab nya, dalam perkembangan lebih jauh dari filosofi reintegrasi
sosial ini muncul beberapa sintesa yang sangat jelas memperlihatkan
komitmen untuk melakukan model penghukuman yang berbasis
warga ini .
Pe rkembangan f i lo so f i penghukuman ke a rah mode l
penghukuman yang berbasis warga /non ins t i tu s ional i n i
da l am t a t a ran pe l aksanaan t e l ah diadaptasikan ke dalam sistem
hukum Indonesia meskipun masih dalam proses rancangan peraturan
perundang-undangan.
Rancangan KUHP, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 54 (1) dan (2)
mempertegas pentingnya peran Sistem Pewarga an ke depan.
Rancangan ini telah secara eksplisit menjelaskan bahwa
pewarga an merupakan tujuan pemidanaan di Indonesia. Demikian
halnya yang tercantum dalam rancangan perubahan Undang Undang
pengadilan Anak.
berdasar pengalaman beberapa negara, program penghukuman yang
berbasis warga yang pernah dipraktekkan yaitu Boot Camp,
yaitu kamp hunian dengan kapasitas 50 orang dan menjalankan
program-program bagi narapidana yang telah disiapkan menjalani
rehabilitasi. Boot Camp diterapkan justru bergaya militer dengan disiplin
yang ketat serta dengan berbagai kegiatan-kegiatan fisik. sedang
Halfway House, semacam rumah singgah untuk narapidana, baik yang
tengah menjalani pidana penjara dalam pelaksanaan parole (bebas
bersyarat) maupun bagi pidana alternatif (non institusionalisasi) bagi
narapidana yang diberikan probation (hukuman bersyarat), khususnya
untuk masa pidana selama dua atau tiga bulan. Bentuk lainnya yaitu
furlough, sebagai pemberian keleluasaan bagi narapidana untuk pergi
bekerja atau melakukan aktivitas -aktivitas tertentu
diwarga secara lebih bebas selama hampir 10 jam dan Larangan
bepergian hanya dilakukan pada malam hari.
Di Indonesia, selain asimilasi, pembebasan bersyarat (PB) cuti menjelang
bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga. (CMK), dan cuti bersyarat,
bentuk lainnya dari pelaksanaan yang berbasis warga pelaksanaan
pidana yaitu dalam Lembaga Pewarga an Terbuka sebagai wahana
persiapan menjelang pembebasannya diwarga .
Keberadaan lapas terbuka ini merupakan bentuk ideal dari pelaksanaan
hukuman dalam sistem Pewarga an yang sangat menekankan aspek
re-integrasi yang terjadi antara narapidana dengan warga . namun
lapas terbuka belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Beberapa kendala yang dapat di identifikasi yaitu
rendahnya kemampuan sumber daya manusia, masih kurangnya
peran pemerintah dalam bentuk anggaran, serta dukungan warga
secara keseluruhan. namun kendala utamanya yaitu secara yuridis
keberadaan Lapas Terbuka belum didukung oleh ketentuan yang secara
khusus mengatur secara tehnis operasional Lapas Terbuka. Selama ini
ketentuan tehnis operasional Lapas terbuka sama dengan lapas
lainnya.
P e r k e m b a n g a n l a i n n y a d a r i f i l o s o f i r e i n t e g r a s i
s o s i a l , s e k a l i g u s u p a y a pemidanaan noninstitusional ini
yaitu restorative justice dan diversi . Secara sederhana
Restoratif justice yaitu usaha penyelesaian secara informal atau di
luar peradilan pidana secara bersama-sama kasus pelanggaran hukum
dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku
pelanggaran, korban, komunitas lokal, dan dimediasi oleh aparatur
penegak hukum. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip restoratif justice
yaitu (Marshall, 1999):
Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka yang
memiliki kepedulian (khususnya pelaku, korban, juga keluarga
mereka dan komunitas secara keseluruhan).
Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya.
Merupakan usaha penyelesaian masalah kejahatan yang
mel ihat ke depan(preventif).
Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas)
Dalam perkembangannya, restorative justice dan diversi sangat
terkait dan tidak lepas dari aspek sosio -kultural dari warga
yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri
individualitasnya. Salah satu aspek sosio-kultural ini yaitu praktek
penyelesaian masalah dengan mekanisme adat. Di Indonesia, mekanisme
penyelesaian masalah pidana melalui restorative justice dan diversi ini
memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dilaksanakan untuk
kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat dan penyelesaian anak yang
mermasalah dengan hukum. Saat ini sedang dalam pembahasan intensif
dalam rancangan perubahan Undang Undang pengadilan Anak.
Terkait dengan usaha pelaksanaan sistem pewarga an, dalam bentuk
asimilasi, pembebasan bersyarat (PB) cuti menjelang bebas (CMB), cuti
mengunjungi keluarga. (CMK), dan cuti bersyarat, bentuk lainnya dari
pelaksanaan sistem penghukuman yang berbasis warga , Pemerintah
Indonesia justru mengeluarkan kebijakan diskriminatif dan kurang responsif
pada restoratif justice dan diversi khususnya pada pelaku tindak
pidana korupsi, ilegal loging, dan narkotika khususnya produsen, bandar
dan pengedar dengan menambah sepertiga masapidana untuk mendapatkan
hak remisi, asimilasi, PB, CMB, CMK dan CB melalui Peraturan
Pemerintah Nomor : 28 tahun 2006 tentang perubahan tata cara dan syarat
pemenuhan hak warga binaan pewarga an yang justru menghambat
pelaksanaan program pembinaan yang berbasis warga dimaksud.
b. Isu Perempuan dalam Sistem Pewarga an
Membahas Pewarga an sebagai sebuah sistem sering
terjebak dalam pola pikir yang lebih berorientasi pada kebutuhan
narapidana laki-laki dewasa sebagai mayoritas dari keseluruhan populasi
narapidana di Indonesia. Sebagai akibat dari itu, isu-isu yang spesifik
tentang anak dan perempuan di dalam sistem pewarga an sering tidak
mendapatkan perhatian yang cukup dan tercermin pula dalam setiap
kebijakan.
Kekurang-pekaan pada aspek gender dan masalah anak yang
bermasalah dengan hukum dalam sistem peradilan pidana umumnya,
secara sosiologis sangat terkait dengan kultur sebuah warga yang
lebih melihat laki,laki memiliki peran yang lebih penting bila
dibandingkan dengan perempuan.
Oleh sebab itu sejalan dengan kecenderungan patriarkis dalam kultur
warga , dunia internasional membuat konsensus berupa beberapa
instrumentasi internasional yang memberi perlindungan pada
diskriminasi gender, seperti Deklarasi Universal HakAsasi Manusia,
Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Convention on the
Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW),
Declaration on the Elimination of Violence against Women, General
Recommendation No. 19 on Violence against Women, dan banyak lainnya.
Dan Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Konvensi Penghapusan
Diskriminasi pada perempuan), maka kebijakan-kebijakan pemerintah
termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam pemidanaan
harus mulai mempertimbangkan spesifik gender.
Faktanya, kebijakan-kebijakan dalam peradilan pidana, khususnya
pemidanaan (dalam hal ini Pewarga an) belum sepenuhnya
beradaptasi dengan tuntutan dunia internasional ini . Dalam kebijakan
Sistem Pewarga an, hal yang spesifik gender baru terbatas pada
pembedaan tempat dalam proses pembinaan pada narapidana wanita,
yaitu di LP khusus wanita. Demikian pula bila dilihat kebijakan khusus
tentang pembinaan (Kepmenkeh M.02-PK.04.10 Tahun 1990), sensitifitas
gender baru diperlihatkan dalam pemberian makanan bagi tahanan dan
narapidana perempuan.
Sementara i tu bila mengacu pada Studi Allegritti (2000) ada beberapa
prinsip dari program-program yang dianggap sensitif dan responsif gender,
yaitu:
Menjamin adanya petugas yang memiliki pemahaman isu-isu
perempuan dan kebutuhan perempuan yang kompleks dan
yang menger t i baga imana mengimplementasikan pelayanan yang
sensitif gender secara praktis.
Menjamin pemberdayaan perempuan untuk membuat keputusan atas
perawatan dan perkembangan mereka sendiri, dan untuk berpartisipasi
di dalam proses pembuatan keputusan memakai pendekatan
holistik, dengan memahami berbagai faktor yang mungkin
mempengaruhi.
Mengakui bahwa stereotipe peran jenis kelamin tertentu dan peran
gender yang dikonstruksi secara sosial dapat memojokkan posisi
perempuan M e n j a m i n b a h w a f o k u s n y a a d a l a h
p a d a m e n g e m b a n g k a n d a n
m e n g i m p l e m e n t a s i k a n l a y a n a n y a n g t e p a t d a n
m e m e n u h i k e b u t u h a n perempuan, dan bukann ya
memaksakan agar perempuan `cocok ' dengan l a ya n a n
y a n g s u d a h a d a s e b e l u m n y a y a n g h a n y a m e m e n u h i
k e b u t u h a n kelompok-kelompok yang didominasi laki-laki.
c. Isu Anak dalam pelaksanaan hukuman.
S e l a i n i s u p e r e m p u an , i s u l a i n n ya yan g j u ga b e l u m
m e n d ap a t k an p e r h a t i an yang cukup dalam Sis tem
Pemas yarakatan Indones i a adal ah pola perawatan ,
pembimbingan, dan pembinaan pada anak didik Pewarga an
(narapidana anak). Sama halnya dengan perlunya model pembinaan
khusus yang seharusnya d iber ik an kep ada nar ap idan a
perempu an , un tuk narap idan a anak juga per lu dirumuskan
satu kebi jakan khusus yang disesuaikan dengan karakterist ik
dan kebutuhan mereka sebagai anak. Kebutuhan ini pada tingkat
internasional juga didorong oleh beberapa instrumen internasional. Di
antara instrumen internasional khusus yang harus mendasari proses
pembinaan untuk anak yaitu Konvensi tentang Hak-Hak Anak.
Dalam konteks Sistem Pewarga an, Konvensi Hak Anak ini secara
umum menekankan, bahwa anak-anak berhak mendapatkan segala
perlakuan khusus bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya tanpa kecuali.
Prinsip-prinsip penting dalam konvensi ini yaitu ;
N e g a r a b e r u p a y a m e n i n g k a t k a n p e m b e n t u k a n h u k u m ,
p r o s e d u r , k e w e n a n g a n d a n lembaga-lembaga yang secara
khusus ber laku untuk anak -anak yang diduga ,
d isangka ,di tuduh, a tau dinyatakan melanggar hukum,
pidana.
P e m e l i h a r a a n , p e r i n t a h p e m b e r i a n b i m b i n g a n d a n
p e n g a w a s a n , p e m b e r i a n n a s e h a t , m a s a p e r c o b a a n ,
p e m e l i h a r a a n a n a k , p r o g r a m - p r o g r a m p e n d i d i k a n d a n
p e l a t i h a n k e ju rua n , dan a l t e rn a t i f - a l t e rna t i f l a in d i l u a r
me ma sukka n an ak ke d a l a m l e mbag a perawatan harus
disediakan.
P e r k e m b a n g a n l a i n n y a d a r i f i l o s o f i r e i n t e g r a s i
s o s i a l , s e k a l i g u s u p a y a pemidanaan non institusional ini
yaitu restorative justice dan diversi . Secara sederhana
restoratif justice dalah usaha penyelesaian pidana secara informal
atau di luar peradilan pidana secara bersama-sama pelanggaran hukum
dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas, khususnya pelaku
pelanggaran, korban, komunitas lokal, dan dimediasi oleh aparatur
penegak hukum.
Menurut Tony Marshall (1999), restoratif justice sebagai pendekatan
penyelesaian masalah kejahatan yang melibatkan pihak-pihak yang terkait
(pelaku dan korban), komunitas umumnya, serta (melalui) hubungan yang
aktif dengan pihak-pihak (penegak hukum) yang berwenang. Adapun
yang menjadi prinsip-prinsip restoratif justice yaitu :
Membuat ruang bagi keterlibatan personal bagi mereka-mereka
yang memiliki kepedulian (khususnya pelaku, korban, juga
keluarga mereka dan komunitas secara keseluruhan).
Melihat masalah kejahatan dalam konteks sosialnya.
Merupakan usaha penyelesaian masalah kejahatan yang
mel ihat ke depan(preventif).
Fleksibilitas dalam praktek (kreatifitas)
Dalam perkembangannya, restorative justice dan diversi sangat
terkait dan tidak lepas dari aspek sosio -kultural dari warga
yang memiliki ciri kolektivitas yang lebih tinggi dari pada ciri
individualitasnya. Salah satu aspek sosio-kultural ini yaitu praktek
penyelesaian masalah dengan mekanisme adat. Di Indonesia, mekanisme
penyelesaian masalah pidana melalui restorative justice dan diversi ini
memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dilaksanakan untuk
kejahatan tertentu yang tidak terlalu berat dan penyelesaian anak yang
bermasalah dengan hukum. Saat ini sedang dalam pembahasan intensif
dalam rancangan perubahan Undang Undang pengadilan Anak.
Dalam tataran pelaksanaan penghukuman, pemenuhan hak-hak anak
dalam proses peradilan pidana dan pewarga an masih menghadapi
masalah sangat kompleks. Beberapa faktor yang memicu yaitu
selain SDM, minimnya dana, dan lemahnya koordinasi antar sub sistem
peradilan pidana, masalah lain yang dihadapi lapas anak yaitu beban
kerja lapas itu sendiri yang sangat luas. Selain menyelenggarakan
pendidikan, memberi keterampilan, juga "menjaga" keamanan.
Hal ini tentu saja memunculkan banyak persoalan tentang Hak-
Hak Anak. Dalam konteks Sistem Pewarga an, Konvensi Hak Anak
ini secara umum menekankan, bahwa anak-anak berhak mendapatkan
segala perlakuan khusus bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya tanpa
kecuali. Prinsip-prinsip penting dalam konvensi ini yaitu ;
Negara berusaha meningkatkan pembentukan hukum, prosedur,
kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk
anak-anak yang diduga, disangka dituduh, atau dinyatakan melanggar
hukum, pidana.
Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan,
pemberian nasehat,masa percobaan, pemeliharaan anak, program-
program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif
lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus
disediakan.
Dalam Beijing Rules, salah satu instrumen lain yang melindungi a n a k
d a l a m k o n t e k s p e r a d i l a n p i d a n a , j u g a d i t e k a n k a n ,
b a h w a k e p u t u s a n pengadilan untuk merehabilitasi anak delinkuen
(anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan) seharusnya dilakukan
secara non institusional melalui program-program yang mendekatkan
mereka pada warga , serta melalui mekanisme keadilan restoratif.
R o s en h e i m ( 2 0 0 2 ) m en j e l a s k an j u v e n i l e j u s t i c e sy s t e m
m er u p ak an s ep e r an gk a t lembaga yang membuat keputusan yang
berkelanjutan dan saling berhubungan tentang intervensi negara
pada kehidupan anak -anak. Juveni le jus t ice system
mengacu pada polisi, pengadilan anak, petugas yang menerima mereka
masuk ke dalam sistem dan petugas probation, kejaksaan, lembaga
penahanan anak, fasilitas koreksional dan aoren-ages sosial yang
mengurus penempatan anak sesuai dengan perintah pengadilan anak.
Kelompok-kelompok ini t idak selalu bekerja sama dengan baik
satu sama lain dengan nilai-nilai yang sama. Beban kerja mereka berbeda-beda, demikian pula sudut pandang dan kualifikasi profesional mereka.
Faktor-faktor ini mempengaruhi keharmonisan kerja sama kelompok-
kelompok ini. Kondisi yang sama juga terjadi di sistem peradilan yang
menangani anak di Indonesia.
Seiring dengan beberapa usaha pembaharuan pembangunan hukum yang
tengah dilakukan di Indonesia, maka usaha penanganan anak dalam
Sistem Pewarga an akan sangat terkait dengan pembaruan dalam
Sistem Peradilan Pidana secara keseluruhan. Oleh sebab nya, perubahan-
perubahan yang tengah dilakukan dalam hal penanganan kenakalan anak
melalui perumusan S i s t em Per ad i l an p idan a khusus anak per lu
seger a d i l akuk an upa ya pem bar uan dan perub ah an t e rhad ap
Und an g Und an g pen gad i l an an ak . Se l a in i t u , da l am
ka i t ann ya dengan efektivitas dan eficiensi, maka pembaharuan Sistem
Pewarga an yang spesifik anak ini perlu pula melihat beberapa
penelitian, rekomendasi atau p rogram -p rogram yang t e l ah
d i l akukan o l eh unsur mas yaraka t s ip i l maupun lembaga-
lembaga internasional, seperti UNICEF dalam usaha memperbaiki
penanganan pada anak yang melakukan kenakalan atau kejahatan.
Sementara itu kebijakan hukum pelaksana pidana dalam Sistem
Pewarga an, masalah spesifik anak yang bermasalah dengan hukum
masih terbatas pada pembedaan tempat dan pemisahan dalam proses
pembinaan pada pelanggar/narapidana anak, yaitu di LP khusus anak
pria/wanita. Demikian pula bila dilihat kebijakan khusus tentang
pembinaan narapidana anak berdasar Kepmenkeh M.02-PK.04.10
Tahun 1990, sensitifitas pada anak baru diperlihatkan dalam
pemberian makanan bagi pelanggar/narapidana anak. sedang petunjuk
pelaksana tehnis atau prosedur standar pelayanan, pembinaan, pendidikan
dan pembimbingan bagi pelanggar/narapidana anak belum mendapat
perhatian yang memadai.
d. Isu tentang Balai Pewarga an (Bapas).
Terkait dengan isu anak dan perempuan, Bapas merupakan elemen penting
dalam sistem pembinaan pelanggar hukum dan sestem peradilan pidana
Indonesia. Secara yuridis berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan administrasi peradilan pidana, Petugas Pewarga an
telah bekerja untuk menjalankan fungsinya sejak pra adjudikasi,
adjudikasi, dan post adjudikasi. Balai Pewarga an dalam Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan A n ak P as a l 3 4 ,
m enu n ju k k an p e r an P em bi m bin g K em as ya r ak a t an d i s emu a
l i n i t ah ap an p ro s es p en an gan an pe rk a r a p i dan a , b a i k
d i t i n gk a t p en yi d i k an , penuntutan, putusan, hingga pelaksanaan
putusan pengadilan didalam maupun diluar lembaga pewarga an.
Dalam proses ajudikasi misalnya kewenangan petugas pewarga an (c.q
Balai Pewarga an / BAPAS) telah secara nyata diberikan kewenangan
oleh Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
khususnya pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa hakim dalam
memberi putusannya kepada terdakwa yang masih katagori anak wajib
mempertimbangkan laporan Litmas dari Pembimbing Kewarga an (PK)
Bapas.
Sementara dalam pasal 10 ayat (5) Peraturan Pemerintah (PP) nomor 31
tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pewarga an dinyatakan ”Dalam sidang TPP Kalapas wajib
memperhatikan hasil Litmas”. Selanjutnya pasal 7 ayat (3) menyatakan
bahwa Pengalihan pembinaan dari tahap satu ke tahap yang lain ditetapkan
melalui sidang TPP berdasar data dari pembina pewarga an,
pengaman pewarga an, pembimbing kewarga an dan wali
narapidana.
Selanjutnya dalam angka 60 SMR menyatakan perlakuan pada
narapidana harus menekankan tidak pada pengucilan mereka dari
warga namun bagian abadi mereka dalam warga , badan-badan
warga ..... harus membantu petugas pewarga an dalam rehabilitasi
sosial, dan re-integrasi sosial
Dalam posisi demikian strategis Peran dan fungsi Balai Pewarga an
ini , menguatkan kedudukan Pewarga an bukan hanya sebagai
bagian akhir dari proses peradilan pidana namun sebaliknya Bapas
mempunyai peran vital dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. namun
sayang dalam tataran operasional, ada kecenderungan dalam praktik
selama ini Balai Pewarga an tidak saja kurang mendapat perhatian
dalam hal sdm, anggaran biaya, sarana dan prasarana, namun Bapas tidak
memiliki kekuatan tawar yang kuat pada tiga institusi lainnya,
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. namun secara yuridis Bapas hanya
mempunyai peran pasif dalam proses peradilan pidana sejak dalam proses
praadjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi ( Bapas menunggu
permintaan aparat penegak hukum dan instansi lainnya termasuk Rumah
tahanan dan Lembaga Pewarga an dan instansi lainnya ).
Berbagai permasalahan Balai Pewarga an yang dapat diibentifikasi
yaitu mengenai kedudukan Pembimbing Kewarga an dalam proses
peradilan kurang ditempatkan sebagai faktor penting untuk memberi
p er t i m b an gan / masu k an b agi p en u n tu t um u m d an h ak i m
d a l am pe r u mu s an dakwaan dan tuntutan serta penyusunan
putusan pengadilan. Dalam Undang -undang Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak Pasal 55 dan 56 ditegaskan bahwa Pembimbing
Kewarga an wajib hadir di persidangan dan hakim wajib memberi
kesempatan bagi Pembimbing Kewarga an untuk menyampaikan
penelitian kewarga an sebelum sidang dibuka. Dalam praktiknya,
kedudukan Balai Pewarga an selaku Pembimbing Kewarga an
tidak ditempatkan pada porsi yang sepatutnya untuk memberi
masukan subs t ans i penel i t i an kemas y a rakatan/ rekomendas i
penanganan anak yan g bermasa lah dengan hukum) bagi
penyusunan dakwaan/ tuntutan dan putusan.
Ada dua faktor penting yang menjadikan kondisi ini , yakni Penyidik,
Penuntut Umum, serta Hakim yang tidak melihat signifikansi peran dan
fungsi Pembimbing Kewarga an, dan yang kedua faktor yaitu
kualitas hasil penelitian kewarga an yang kurang memadai untuk
dipertimbangkan dalam proses penanganan perkara pidana. Hal yang
terakhir ini sangat terkait dengan kualitas SDM dan faktor-faktor lain yang
bersifat struktural lainnya yang sangat menghambat eksistensi Bapas.
e. Isu pidana pengganti, remisi dan asimilasi, PB, CMB, CMK dan CB
Terkait dengan pidana tambahan dalam bentuk pidana pengganti dengan
beberapa uang dan jika tidak dibayar diganti dengan pidana penjara
sebagaimana diatur undang undang korupsi menimbulkan ketidakpastian
dan keragu-raguan, khususnya dalam kaitannya dengan pemberian hak
remisi, asimilasi, PB, CMB, CMK dan CB, bertentang dengan KUHP, UU
Pemasyrakatan, PP 28 tahun 2005 dan berbagai ketentuan yang berkaitan
dengan remisi.
f. Isu tentang hak remisi ( pengurangan hukuman )
jenis remisi terlalu banyak antara lain remisi Umum hari kemerdekaan
diberikan tiap 17 agustus, remisi khusus hari raya keagamaan diberikan
hari besar keagamaan , remisi tambahan ( diberikan kepada narapidana
yang berjasa pada kemanusiaan dan narapidana pemuka kerja dan
membantu tugas tertentu di lapas/rutan dan remisi susulan.
Pengusulan remisi tidak ada batas waktu sehingga mengacaukan
sistem administrasi narapidana
Ketentuan remisi saling tidak sinkron antara UU Pewarga an, PP,
Keppres dan kepmen.
g. Isu tentang pelaksanaan ( eksekusi ) hukuman mati.
Secara faktual makin meningkatnya jumlah terpidana mati didalam lembaga
pewarga an menjadi masalah yang makin rumit dan kompleks terkait
dengan status dan cara perlakuan pada mereka. Dalam Undang Undang
grasi tidak dibatasi tentang waktu mengajukan grasi, akibatnya jika
terpidana mati tidak mengajukan grasi atau mengulur-ulur waktu yang
diberikan undang undang dimaksud, maka eksekusi mati pada terpidana
mati oleh eksekutor jaksa menjadi tidak ada kepastian hukum. Pada
gilirannya kondisi ini membawa implikasi pada institusi pewarga an
khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan proses pembinaan.
h. Isu tentang narkotika dan HIV/AIDs.
PENGARUH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL pada POLITIK
HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
A. --
Negara Indonesia sebagai bagian dari warga internasional mempunyai
tujuan yang sangat ideal dalam usaha mewujudkan kesejahteraan warga .
Tujuan nasional ini tidak hanya berkarakter nasional namun juga mempunyai
karakteristik internasional, sebab keberadaan suatu negara tidak dapat dilepaskan
dari keberadaan negara-negara lainnya. Terlebih lagi dalam era globalisasi seperti
sekarang ini. Hal ini terkandung dalam Pembukaan UNDANG-UNDANGD 1945
Alinea ke-4 yang menyatakan bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sebagai suatu negara yang berdaulat negara Indonesia mempunyai hak dan
kewajiban untuk ikut serta menjaga keamanan dan perdamaian dunia berdasar
kedaulatan yang dimilikinya, sebagaimana diakui dalam hukum internasional dan
prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum internasional. Kedaulatan negara
merupakan salah satu prinsip penting yang ada dalam Piagam PBB (United
Nations Charter), yaitu ada dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi :”the
organization (UN) is based on the principle of the sovereign equality of all its
members”, yang maknanya yaitu PBB dibentuk berdasar prinsip persamaan
kedaulatan setiap anggotanya. Prinsip kedaulatatan negara ini dipertegas dan
diperinci oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 tahun 1970 mengenai,
Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional hubungan persahabatan dan
kerja sama sesuai dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International
Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance
with the Charter of the United Nations). Dalam Deklarasi ini secara tegas
dinyatakan bahwa semua negara menikmati persamaan kedaulatan dan semua
Negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota warga
internasional tanpa membedakan sistem ekonomi, sosial, dan politik.
Deklarasi ini mencantumkan ada 6 point kedaulatan negara, yaitu :
1. Semua Negara yaitu sama secara juridis (states are juridically equal);
2. Setiap Negara menikmati hak-hak kedaulatan secara penuh (each state enjoys
the rights inherent in full sovereignty);
3. Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati personalitas Negara
lain (each states has the duty to respect the personality of other States);
4. Integritas teritorial dan kemerdekaan politik setiap Negara tidak dapat
diganggu gugat (the territorial integrity and political independence of state
are inviolable);
5. Setiap Negara mempunyai hak bebas memilih dan mengembangkan sistem
politik, sosial, ekonomi, dan budaya (each state has the right freely to choose
and develop its political, social, economic, and cultural system);
6. Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk menaati dengan sepenuhnya dan
itikad baik pada kewajiban internasional dan hidup berdampingan secara
damai dengan Negara lain (each state has the duty to comply fully and in good
faith with its international obligation and to live in peace with other states).
Makna suatu negara berdaulat yaitu negara mempunyai kekuasaan
tertinggi, dan didalamnya mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya,
yaitu: (1) kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan
itu dan ke (2) kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain di mulai.
Dalam konteks hubungan internasional, prinsip kedaulatan negara (state
souvereignty) ini merupakan salah satu prinsip utama dalam hukum internasional
bahkan termasuk salah satu prinsip atau doktrin jus cogens.3 Kedaulatan negara
merupakan sebuah konsep hukum (a legal concept) dalam hukum internasional dan
hokum nasional yang memiliki beberapa dimensi, dan kedaulatan negara juga
merupakan doktrin yang dilakukan oleh negara dan bangsa berdaulat.4
berdasar hukum internasional implikasi setiap negara berdaulat yaitu
setiap negara mempunyai hak untuk menentukan nasib bangsanya, tidak ada campur
tangan dalam masalah dalam negerinya oleh negara lain, dan negara yang satu tidak
boleh melaksanakan kedaulatan negara di negara lain sebagaimana ditegaskan oleh
prinsip par in parem non habet imperium (one sovereign power could not exercise
jurisdiction over another sovereign power).5
Kedaulatan merupakan kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksi dalam negaranya. 6
Kedaulatan negara salah satu atribut kekuasaan berupa kewenangan untuk
membentuk hukum nasional dan melaksanakan ketentuan hukum nasionalnya
pada orang, barang, peristiwa di wilayah negaranya maupun di teritorial negara
lain. Atribut ini dikenal jurisdiksi atau dapat dikatakan bahwa jurisdiksi itu
sebagai bentuk refleksi dan implementasi dari negara berdaulat. Dalam hukum
internasional ada 3 jenis jurisdiksi berkaitan dengan kedaulatan suatu negara untuk
menetapkan dan menerapkan hukum serta mengadili perbuatan-perbuatan manusia,
yaitu :7
1. Jurisdiction to prescribe, yaitu kekuasaan negara untuk membuat hukum yang
dapat diterapkan pada berbagai aktivitas