Home » Archives for Juni 2023
Rabu, 14 Juni 2023
Mamak. Ia juga yaitu salah satu dari pemantau
pemilu independen AMAN. Bagi Patih Yusuf, keterlibatan
warga Talang Mamak sebagai pemantau pemilu dipicu oleh
kerisauan pada penyelenggaraan Pemilu 2019. Sebanyak 500
pemilih warga Talang Mamak ingin untuk ikut pemilu, namun
kebingungan mencoblos akibat tuna aksara. Desain surat suara
DPR yang tak menampilkan foto membuat banyak pemilih
tuna aksara kebingungan.
Akhirnya, Batin Urusan menyarankan agar warga
Talang Mamak yang sudah pandai membaca menjadi pemandu
bagi pemilih yang tuna aksara di TPS.Agar tak menimbulkan
masalah saat memandu pemilih, mereka berbondong-bondong
mendaftarkan diri sebagai Pemantau Pemilu Independen
AMAN.
Bagi Talang Mamak, pengerahan adat untuk
berpartisipasi berarti memastikan seluruh hak pilih warganya
terpenuhi.Mereka berusaha untuk menjamin seluruh warga
Talang Mamak dapat menyalurkan hak suaranya dengan
mudah.Dalam hal lain, Talang Mamak menjadikan pemilu
sebagai sarana untuk memperkuat hak mereka sebagai warga-
negara agar dilindungi dan diakui wilayahnya. “Harapan kami
gak banyak, yang penting aman, tenang, senang.Kalau kita gak
aman, kenapa kita memilih,” tutup Patih Yusuf.
Terdengar sederhana, namun bagi warga adat
pemilu yaitu hal yang luar biasa.Dengan berpartisipasi dalam
pemilu, warga adat membangun harapan besar bagi
keberlangsungan kehidupan mereka dan anak cucunya.
Sejak Kongres warga Adat Nusantara ketiga
tahun 2007 di Pontianak, AMAN sebagai organisasi
warga adat dimandatkan untuk memperluas partisipasi
politik dengan mendorong warga adat terlibat masuk
ke dalam ruang-ruang pembuat kebijakan melalui pemilu.
Sejak Pemilu 2009 dan 2014, puluhan warga adat telah
berhasil masuk ke legislatif maupun eksekutif, terutama di
daerah. Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor
penggerak lahirnya peraturan daerah tentang pengakuan dan
perlindungan hak warga adat.
Pada Pemilu Serentak 2019, untuk pertama kalinya
warga adat ambil bagian dalam pemantau pemilu
independen yang diakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu
Republik negara kita (Bawaslu RI). Melalui Aliansi warga
Adat Nusantara (AMAN), 235 anak-anak adat mewakili
komunitas adatnya masing-masing terdaftar sebagai pemantau
pemilu independen AMAN. Mereka terlibat memantau di 15
provinsi dan 13 kabupaten.Keterlibatan warga adat dalam
pemantauan ini yaitu manifestasi dari meningkatnya
kesadaran berpartisipasi.Tidak hanya sekadar memakai
hak pilih, bahkan warga adat turut memastikan
penyelenggaraan pemilu yang adil dan legitimate, serta
menjamin aksesibilitas warga adat untuk berpartisipasi
aktif dalam pemilu.
Ada misi besar warga adat melalui AMAN dalam
Pemilu 2019.Pertama,memerangi praktik politik curang (politik
uang) dan mendekatkan warga adat dengan negara.
warga adat melalui AMAN sebagai organisasinya telah
membuktikan bahwa pemilu sebetulnya tidaklah mahal jika
caleg yang maju benar-benar lahir dari proses musyawarah
mufakat di kampung-kampung. Caleg warga adat
tidak perlu mengeluarkan modal yang banyak untuk sekadar
memperoleh suara atau untuk membangun citra tertentu.
Dalam proses ini massa pemilih pun tidak melulu pasif atau
sekadar menjadi pemandu sorak, suara mereka didengar dan
dibawa oleh caleg yang mereka utus.
keikutsertaan politik warga adat yaitu anti-tesis
dari wajah buram partisipasi di negara kita.Lantang menyerukan
esensi partisipasi hingga ke kampung-kampung, menghidupkan
kembali mekanisme musyawarah adat sebagai keaslian nilai
demokrasi di negara kita, mendekatkan wakil rakyat dengan
konstituennya, dan menghadirkan mekanisme tali-mandat
sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Jika warga pada umumnya merasa jauh dengan
pemilu , warga adat memilih untuk
terlibat aktif di dalamnya.Pemilu bagi warga adat, tak
sekadarmenjadikan mereka aktif sebagai pemilih.Mereka juga
aktif mencalonkan diri, menjadi pemantau, serta berkampanye.
warga adat sedang memastikan pemimpin yang
dihasilkan melalui pemilu dapat mengakui dan melindungi hak
atas ruang hidupnya yang semakin tergerus.
keikutsertaan Politik warga Adat
Dari penjelasan fakta di atas, partisipasi politik
warga adat melampaui pemisahan partisipasi secara
teoritis oleh Almond dalam yang
membedakan dua bentuk partisipasi politik, yaitu partisipasi
politik konvensional dan non-konvensional. keikutsertaan
warga adat dapat digambarkan secara teoritis melalui
apa yang disebut dalam studi Ilmu Politik sebagai political
participation beyond elections (Norris, 2002). keikutsertaan itu tak
hanya sekadar pemberian suara, ikut dalam diskusi politik,
ikut kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam
kelompok kepentingan sebagaimana bentuk partisipasi politik
konvensional.Terlibat dalam pemilu bagi warga adat pun
juga sebagai bentuk protes terhadap negara yang tak kunjung
mengakui dan menghormati hak mereka atas wilayah dan
sumber daya alam peninggalan leluhur.
Namun, partisipasi politik juga ditentukan dari pilihan
atas sistem dan desain pemilu.Semakin rumit pilihan atas sistem
dan desain pemilu, semakin sulit warga negara untuk turut
berpartisipasi aktif.Tak bisa kita mungkiri bahwa pilihan atas
sistem dan desain Pemilu 2019 masih jauh dari kata sempurna.
Hampir diseluruh wilayah muncul banyak kritik, mulai dari
penyelenggaraannya hingga ragam pelanggaran yang terjadi.
Banyak pihak menilai bahwa Pemilu 2019 yaitu yang paling
berat dan rumit dalam sejarah demokrasi di negara kita.Hal itu
diukur dari sejumlah kompleksitas yang ada, sebagai akibat
dari sistem pemilu yang digelar secara serentak.
Termasuk bagi warga adat, yang masih
menghadapi kendala dalam berpartisipasi secara penuh di
Pemilu 2019.Sebagai contoh desain pendaftaran pemilih
misalnya. Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pemilih yang
terdaftar dan berhak menyalurkan hak suara di TPS hanya
pemilih yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-
el).
Ada 1 juta warga adat dalam kawasan hutan
tak dapat memakai hak pilihnya dalam Pemilu 2019
sebab tidak memiliki KTP-el. Untuk memperoleh KTP-el
dan terdaftar sebagai pemilih, Kementerian Dalam Negeri
mengharuskan warga dalam kawasan hutan untuk
menunggu izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau diharuskan terlebih
dahulu untuk berpindah ke desa sekitar kawasan hutan yang
memiliki legalitas domisili.
Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 cukup
memberikan titik terang bagi pengakomodasian hak memilih
warga negara dengan memperluas tafsiran KTP-el yang meliputi
surat keterangan yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan
dan catatan sipil. Hanya saja putusan ini tak berdampak apapun
bagi warga adat, terutama yang tinggal dalam kawasan
hutan.
Putusan MK ini hanya mengakomodir pemilih
potensial yang telah merekam, namun belum memperoleh
KTP-el fisik dapat mengunakan Surat Keterangan Perekaman
untuk terdaftar sebagai pemilih.Sementara, warga
adat dalam kawasan hutan tidak dapat merekam KTP-el
sebab terhambat status kawasan yang melekat pada wilayah
domisilinya.
Konteks permasalahan diatas menunjukkan bahwa
dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, antara logika
administrasi kependudukan dengan pendaftaran pemilih
yaitu dua hal yang saling kait berkelindan. Administrasi
kependudukan menjadi hulu dan pendaftaran pemilih yaitu
hilirnya. Jika administrasi kependudukannya bermasalah,
maka dengan otomatis warga negara yang telah memiliki hak
pilih akan terhambat untuk terdaftar sebagai pemilih. Logika
ini menjadi hambatan utama bagi warga adat untuk
terdaftar sebagai pemilih.
menunjukkan ada beragam UU sektoral yang
mengatur warga adat dan saling menyandera satu sama
lain. UU sektoral ini lah yang menghambat warga
adat untuk terdaftar sebagai penduduk dan dengan
otomatis tidak terdaftar sebagai pemilih.Hampir tidak dapat
diprediksikan bahwa problem tenurial ternyata berimplikasi
terhadap hilangnya hak pilih warga adat dengan logika
desain pendaftaran pemilih berbasis KTP-el sesuai UU No 7
Tahun 2017 tentang Pemilu.
Belum lagi desain surat suara tak compatible
dan tidak memberikan kemudahan memilih. Bagi pemilih
penyandang tuna aksara misalnya, desain surat suara DPRD
Kabupaten/Kota hingga DPR RI hanya menampilkan nama
calon, tak menampilkan foto. Sementara regulasi kepemiluan
kita masih abai dalam mengakomodir pemilih tuna aksara untuk
dapat didampingi saat hendak menyalurkan hak suaranya di
TPS.
Ragam contoh di atas menunjukkan bahwa pilihan
atas sistem dan desain pemilu yang diambil boleh jadi membawa
konsekuensi yang tidak diduga. Pilihan ini mungkin
bukan selalu yang terbaik untuk menjamin kemudahan seluruh
warga negara dapat berpartisipasi dalam pemilu dan kadang-
kadang bisa mendatangkan konsekuensi merusak bagi prospek
demokratisnya.
Sistem dan desain pemilu yang baik yaitu yang
dibangun berdasarkan kondisi empiris warga.Para
pemangku kepentingan dan penyelenggara pemilu juga
perlu memakai pendekatan sosio-antropologis terhadap
dinamika sosial-budaya warganya. Asumsinya yaitu
demokrasi yang stabil perlu mengakomodir seluruh hak
warga.
jika sistem dan desain pemilu dipandang tidak
kokoh dan tidak berjalan baik, kredibilitasnya akan berkurang
dan dapat memicu para pemilih mempertanyakan
partisipasi mereka dalam proses pemilu (Wall, 2006). Dengan
demikian, keadilan pemilu yang efektif menjadi elemen kunci
dalam menjaga kredibilitas proses pemilu.
Upaya menciptakan keadilan pemilu menghadapi
tantangan dalam negara multikultur – seperti negara kita. John
Stuart Mill, misalnya, percaya bahwa pemilu tidak sesuai
dengan struktur warga multikultur. Pemilu hanya dapat
diterapkan pada warga yang homogen
Ragam situasi khusus yang berbeda-beda melekat pada diri
warga menuntut pemilu harus mengakomodir dan
menjamin keberlangsungannya. Namun, pertanyaan tentang
apakah dan bagaimana pemilu dapat bertahan dalam negara
multikultur telah lama menjadi sumber kontroversi dalam ilmu
politik.
Tulisan ini bukan kemudian ingin menjustifikasi asumsi
bahwa pemilu tidak relevan diterapkan di dalam negara
yang multikultur, melainkan mencoba menguji sejauh mana
sistem dan desain pemilu di negara kita telah mengakomodir
inisiatif partisipasi warga untuk terlibat di dalam pemilu,
khususnya warga adat. Analisis dalam tulisan ini juga akan
menegaskan bahwa pemilu sebetulnya relevan diterapkan di
negara multikultur selama desain dan sistem pemilu dirancang
dengan prinsip mengakomodir keberagaman sosio-kultural
warga, keadilan, transparansi, aksesibilitas, serta
kesetaraan dan inklusivitas.
Rumusan Masalah
Fakta diatas kemudian mengundang pertanyaan
utama dalam tulisan ini yaitu bagaimana bentuk hambatan-
hambatan partisipasi pemilu yang terjadi pada warga
adat? Pertanyaan itu muncul mengiringi temuan-temuan
awal studi AMAN yang antara lain mengungkap kerumitan
prosedural desain pemilu yang berimplikasi terhadap hilangnya
hak pilih warga adat. Bagian-bagian pada tulisan ini akan
menjawab pertanyaan ini .
Fokus Tulisan
Pemilu kerap dianggap sebagai sebuah proyek
nasional yang tunggal dan, sebab itu, bersifat seragam
(Bayo, 2018).Padahal, struktur kesempatan politik dan model
hambatan partisipasi di berbagai daerah jelas berbeda-beda –
berkembang dinamis sesuai dengan kondisi warga.Oleh
sebab itu, studi tentang pemilu dan demokrasi perlu diperkuat
dengan mengedepankan perspektif lokal. Di tingkat lokallah
terletak pusat-pusat kekuasaan yang satu sama lain saling
berinteraksi. Di tingkat lokal pula imajinasi-imajinasi genuine
tentang praktik berdemokrasi dapat ditemukan.
Alasan-alasan yang menjadi titik berangkat tulisan
ini memperlihatkan ada sejumlah isu penting yang perlu
dieksplorasi untuk mengetahui variasi hambatan partisipasi
warga adat di berbagai konteks di negara kita. Studi ini
mengasumsikan ada tiga isu yang akan dielaborasi lebih jauh
dalam tulisan ini: (1) desain pemilu, (2) regulasi kepemiluan, dan
(3) dinamika sosio-kultural warga. Kita akan mendalami
satu per satu dari ketiga aspek ini .
Metodologi
Tulisan ini dihasilkan dari penelitian yang bersifat
kualitatif.Model kualitatif yang dipakai yaitu kualitatif
deskriptif.Penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian
dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study)
(Moleong, 2013).Penelitian ini memusatkan diri secara insentif
pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu
kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang
bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan
dari berbagai sumber
Ciri-ciri metode deskriptif analitis dapat disimpulkan
sebagai usaha mengakumulasi data, penelitian bergegas
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena dan
pengujian terhadap hipotesis, dipakai teknik wawancara
untuk mengumpulkan data, membuat prediksi dan implikasi
dari suatu masalah yang diteliti.
Metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
studi kasus ini membantu Penulis untuk menggambarkan atau
melukiskan fakta-fakta hambatan partisipasi warga adat
dalam Pemilu 2019.Selain itu studi kasus membantu Penulis
untuk memahami kedalaman fakta secara langsung dalam
kehidupan sebenarnya dari kasus yang diteliti.Adapun subyek
dalam penelitian ini yaitu informan, yang artinya orang
pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Subyek penelitian ini yaitu populasi dan sampel,
menurut (Arikunto ) bahwa populasi yaitu keseluruhan
subyek penelitian yang artinyayaitu komunitas adat Kajang
di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; komunitas adat
Dayak Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan
Selatan; dan komunitas adat Rakyat Penunggu di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara. Sedangkan sampel yaitu
sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti, lebih tepatnya
perwakilan 6 (enam) orang dengan pembagian 3 (tiga) laki-laki
dan 3 (tiga) perempuan disetiap komunitas warga adat
yang telah memiliki hak pilih, di mana yang menjadi subyeknya
yaitu Pengurus AMAN Daerah dan perwakilan komunitas.
Pemilihan 3 (tiga) komunitas ini berdasarkan dinamika
hambatan partisipasi yang diadvokasi oleh AMAN saat Pemilu
2019 lalu.AMAN telah terlibat secara langsung untuk meretas
hambatan-hambatan ini dan mendorong pemenuhan
hak pilih warga adat dalam Pemilu 2019. Data-data yang
dihasilkan dari proses advokasi ini lah yang menjadi
sumber utama dalam penulisan ini, sehingga dapat memenuhi
aspek khusus yang dipelajari secara intensif dan mendalam.
Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja
dari kasus yang diteliti, namun juga dapat diperoleh dari semua
pihak yang mengetahui dan mengenal kasus ini dengan
baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh
dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang akan
diteliti
Diskusi Pemilu dan warga Adat
Pemilu yaitu instrumen politik paling sahih
dari negara yang bersepakat dengan demokrasi. Sebuah
mekanisme yang menjamin rotasi kekuasaan berjalan dengan
adil dan legitimate, serta bertumpu pada kedaulatan demos
(rakyat). Pertanyaannya, seberapa penting menjamin pemilu
yang adil?Dalam hampir semua kasus, pilihan atas sistem
pemilu tertentu memiliki pengaruh mendalam bagi masa
depan kehidupan politik di negara bersangkutan.
Dalam realitasnya, sistem pemilu seringkali abai
terhadap hak asasi, terjebak pada perspektif prosedural namun
menegasikan substansi (Koelble, 2008).Selama dua dekade
terakhir, warga adat menjadi korban dari sistem pemilu
yang abai terhadap hak asasi.Pilihan atas desain pemilu justru
kontradiktif dengan realitas sosio-kultural yang tumbuh dan
berkembang serta menyulitkan warga adat.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, warga adat
menjadi korban dua kali.Korban dari ganasnya agresi
pembangunan, dan kini mereka harus merelakan hak pilihnya
diretas oleh sistem yang diskriminatif.
Studi yang dilakukan oleh Aliansi warga Adat
Nusantara (AMAN) menyimpulkan tiga hal yang menjadi
persoalan hilangnya hak pilih warga adat dalam pemilu.
Pertama, alasan kultural.Pranata hukum adat yang melekat
pada kehidupan warga adat secara turun-temurun
seringkali tak selaras dan justru kontradiktif dengan ketentuan
administratif untuk terlibat dalam pemilu.
Kedua, konflik tenurial dan ketidakpastian wilayah
administratif.Salah satu syarat untuk terlibat dalam pemilu
yaitu kepastian wilayah administratif atau domisili
Sementara, warga adat sangat rentan
kehilangan wilayahnya akibat tak kunjung hadir perlindungan
hukum dan pengakuan dari negara.Hal ini seringkali
memunculkan konflik berkepanjangan dan membuat mereka
terusir dari wilayahnya.Konflik tenurial ternyata berimplikasi
terhadap hilangnya hak pilih warga adat.
Ketiga, sebaran geografis yang sulit dijangkau.Dalih
yang dipakai oleh negara dan penyelenggara pemilu yaitu
kesulitan menjangkau warga adat yang tinggal di pelosok
dan pulau-pulau kecil – jauh dari pusat administrasi.
Tiga hal ini perlu diuji realitasnya dengan pelaksanaan
pemilu dua dekade kebelakang.Kita mulai dengan Pemilu 1999,
pesta demokrasi pertama pasca runtuhnya otoritarianisme
Orde Baru.Sebagian kalangan percaya bahwa pemilu masa
reformasi yaitu mekanisme pengambilan keputusan paling
demokratis. Tingkat partisipasi mencapai 92,7 persen, tertinggi
kedua setelah Pemilu 1955
Pemilu 1999 menganut sistem periodic list, yakni
sistem pendaftaran pemilih hanya dilakukan setiap kali
hendak menyelenggarakan pemilihan umum.Pemilu masa ini
juga menganut prinsip voluntary registration, bahwa memilih
yaitu hak setiap warga negara dan pemilih dapat memilih
untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih.Warga wajib
menunjukkan kartu tanda kependudukan atau bukti diri lainnya
yang sah sebagai syarat administratif dalam memakai hak pilih
Realitasnya, prosedural administrasi ini justru
menegasikan hak.Ratusan warga adat diretas hak pilihnya
dalam memilih sebab kepercayaan yang mereka anut.Masa
ini, negara tak mengakui agama kepercayaan yang dianut oleh
warga adat.Implikasinya, mereka tak dapat mengurus
identitas kependudukan sebagai syarat dalam memakai
hak pilih dalam pemilu.Hal ini yaitu manifestasi dari nilai
adat yang kontradiktif dengan logika administrasi pemilu.
Polemik ini mengkristal hingga pelaksanaan Pemilu
2004, tanpa ada solusi untuk menjamin warga adat
penganut agama kepercayaan dapat memakai hak
pilihnya.Akibat persoalan privat, mereka harus merelakan
hilangnya hak pilih mereka sebagai warga negara.
Pemilu 2009, persoalan yang dihadapi warga
adat masih sama. Parahnya, desain pemilu kali ini tak ramah
terhadap penyandang tuna aksara.Sementara, mayoritas
warga adat yang jauh dari akses layanan pembangunan
rentan menyandang tuna aksara.
Secara teknis, desain surat suara dalam Pemilu 2009
tak menampilkan foto kandidat, hanya nomor dan nama. Tentu
hal ini memunculkan kegamangan bagi pemilih penyandang
tuna aksara, seiring itu tidak ada regulasi yang menjamin
aksesibilitas dan kemudahan tuna aksara dalam memilih.
Persoalan ini juga tak kunjung menemukan solusi
hingga Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.Bahkan, penyelenggaraan
pemilu kali ini berlangsung dengan syarat administrasi yang
begitu ketat hingga menegasikan hak pilih banyak orang.
Paradoks Administrasi Pemilu: Kajang dan Hambatan
keikutsertaan nya
Komunitas warga Adat Kajangsecara
administrasi berada di bagian timur Kabupaten Bulukumba.
Secara turun -temurun mereka bermukim di Ilalang Embayya’,
yaitu kawasan Kajang Dalam,yang sampai hari ini masih
menganut secara penuh aturan adat atau Pasang,dan sebagian
lagi bermukim di Ipantarang Embayya’, yaitu kawasan
pemukiman warga Adat Kajang yang dalam kehidupan
sehari-harinya sudah bisa memakai peralatan-peralatan
modern.
Dalam kehidupan sehari-hari warga adat
Kajang tetap memang teguh dan melaksanakan Pasang ri
Kajang. Pasang yaitu hukum atau aturan adat yang mengatur
seluruh sendi kehidupan warga adat Kajang, yang
berhubungan dengan urusan sosial, budaya, pemerintahan,
kepercayaan, lingkungan, dan bagaimana mengelola sumber
daya alam di wilayah adat mereka.warga adat Kajang,
dipimpin oleh pemimpin yang bergelar Ammatoa, yang menjadi
simbol tatanan sosial dan sebagai pemangku adat tertinggi
warga adat Kajang.Ammatoa bertempat tinggal di Ilalang
EmbayyaDesa Tana Toa, Kecamatan Kajang.
Pada Pemilu 2019, antusiasme warga adat
Kajang untuk berpartisipasi sangat tinggi.Mereka memakai
pemilu sebagai instrumen untuk mempertahankan wilayah adat
mereka, terutama yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan
karet bernama PT. London Sumatera (Lonsum).warga
adat Kajang percaya, dengan terlibat dalam pemilu dan
memilih pemimpin yang betul-betul mewakili aspirasi mereka,
sengketa wilayah adat dapat terselesaikan dan mereka bisa
terus ada dan berdaulat di wilayah adatnya.
Namun, administrasi kepemiluan yang mengharuskan
warga adat Kajang memiliki KTP-el sebagai syarat
untuk memilih sempat menjadi hambatan bagi mereka untuk
menyalurkan hak pilihnya.Tercatat, ada 275 warga adat
Kajang yang menolak untuk melepas penutup ikat kepala atau
Passapu’pada saat melakukan perekaman KTP-el.Passapu’atau
ikat kepala yaitu merupakansimbol adat untuk laki-lakidi
komunitas adat Kajang.
Bagi orang Kajang, Passapu’tak sekadar ikat kepala.
Passapu’yaitu simbol kosmologis warga adat Kajang
yang juga menandakan ikatan kuat mereka dengan leluhurnya.
Pasang yang berlaku turun-temurun di wilayah adat Kajang juga
mengatursoal ikatikat kepala.Utamanyabagi para uragi sebagai
pemangku adat yang membidangi urusan ritual adat.Aturan
adat tidak memperkenankan membuka Passapu’, sementara
aturan perekaman KTP-el yang mengharuskan laki-laki untuk
tidak memakai ikat kepala atau penutup kepala apa pun. Hal
ini memicu mereka terhambat untuk mengurus
KTP-el sehingga tidak dapat terdaftar sebagai pemilih pada
Pemilu 2019.
Apa yang terjadi pada warga adat Kajang
yaitu salah satu gambaran bahwa ada yang luput dipahami
oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu, yakni dinamika
sosio-kultural yang termanifestasikan melalui aturan adat
yang berkembang dalam warga. Standar administrasi
kependudukan justru menjadi penghambat pemenuhan
hak kewarganegaraan warga adat.Situasi khusus
ini sebetulnya dapat diakomodir oleh pemerintah dan
penyelenggara pemilu dengan memberikan ruang afirmasi,
sebab secara prinsip agar dapat menjamin pemilu yang adil
dan legitimate, penataan desain sistem pemilu harus dilakukan
secara menyeluruh.
Berapapun jumlah pemilih potensial yang tidak
terdaftar sebab hambatan teknis, penyelenggara pemilu
bertanggungjawab untuk pro-aktif dalam melindungi dan
menjamin hak pemilih untuk dapat memilih, salah satunya
dengan mempermudah syarat memilih.
warga Adat Dayak Meratus: Hadapi Pemilu Tanpa
Kenal Aksara
“Saya tidak bisa baca dan tulis. Jadi susah untuk
memilih. sebab sudah tak lagi pakai foto,” ujar Uri mengeluh.Uri
yaitu warga komunitas adat Balay Juhu. Perempuan ini
yaitu satu diantara ribuan orang Dayak Meratus penyandang
tuna aksara yang tersebar di 28 balay di Kecamatan Alai
Batang Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan
Selatan.
Balay yaitu sebutan bagi unit sosial warga
adat Dayak yang bermukim di wilayah Pegunungan Meratus,
Kalimantan Selatan.Selain itu, balay juga yaitu penyebutan
untuk rumah adat Dayak Meratus.Ini yaitu ruang hunian
kolektif tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas
sosial warga adat Dayak Meratus.Tak hanya ritual
adat, balay sekaligus menjadi ruang publik untuk membahas
segala sesuatu menyangkut persoalan sosial-politik warga
Dayak Meratus.Semua pengambilan keputusan penting
terkait warga adat dilaksanakan di balay melalui
musyawarah adat, termasuk persoalan Pemilu 2019. Struktur
balay dipimpin oleh seorang Kepala Adat atau Tamanggung
sebagai penanggungjawab sosial tertinggi warga adat di
lingkungan balay.
Namun, warga Adat Dayak Meratus harus
berhadapan dengan diskriminasi dan ekspansi pembangunan.
Ragam diskriminasi dan kriminalisasi telah mereka alami
sebab mempertahankan dan menolak investasi rakus tanah
di wilayah adat mereka.Hal ini tidak saja berdampak atas
hilangnya akses mereka ataswilayah adat dan sumber daya
alamnya, tapi jugaberdampak hilangnya akses mereka mereka
terhadap layanan dasar kesehatan dan pendidikan.
Pada bulan Oktober 2014 misalnya, terjadi
penembakan oleh Kepolisian Resor (Polres) Tanah Bumbu,
Hulu Sungai Selatan yang memicu satu orang anggota
komunitas adat Dayak Meratus tewas. Tiga orang lainnya
mengalami luka serius.Peristiwa ini dipicu oleh tuduhan
tentang praktik illegal logging olehwarga komunitas Dayak
Meratus di wilayah konsesi PT. Kodeko Timber, pemegang
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) ,Tuduhan ini
dianggap tidak masuk akal, sebab kawasan konsesi perusahaan
ini berada di dalam wilayah adat Batulasung. warga
melawan sebab merasa tidak bersalah mengambil kayu di
atas tanah adat mereka sendiri.
Selain HPH, cadangan batu bara juga menjadi sebab
terjadinya kriminalisasi terhadap warga adat Dayak
Meratus. Berdasarkan riset Pusat Sumber Daya Mineral
Batubara dan Panas Bumi – Badan Geologi (PSDG) Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), potensi tambang
di wilayah adat Dayak Meratus ada di dua kecamatan;
Batang Alai Timur dan Haruyan.
Di Batang Alai Timur, ada 15 juta ton dengan nilai
panas 5.000 – 6.000 Kilo Kalori (kkal) per kilogram sedangkan
di Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton dengan nilai kalori
mencapai 6.000 – 7.000 kkal per kilogram ,
Hingga saat iniada dua perusahaan besar yang mengantongi
izin dari pemerintah pusat sebagai pemegang Perjanjian Karya
Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).Dua perusahaan
ini yaitu PT. Antang Gunung Meratus dengan luas
arealnya mencapai 3.242 hektar dan PT. Mantimin Coal Mining
yang mengantongi izin seluas 1.964 hektar.
Meskipun rencana pertambangan batu bara
ini memperoleh penolakan dari warga, namun
dua perusahaan dan pemerintah pusat tampaknya tak
memperdulikan. Di tahun 2017, mereka justru memasang
patok di tanah milik warga Dayak Meratus secara diam-diam
tanpa izin warga.
Rentetan berbagai konflik dan kriminalisasi
ini lah yang ikut membentuk kesadaran politik orang-
orang Dayak Meratus. Di Pemilu 2014, secara sadar mereka
bermusyawarah untuk mengutus perwakilan Dayak Meratus
maju sebagai calon anggota legislatif melalui berbagai partai
politik yang ada. Praktik ini dibasiskan pada analisis bahwa
tuntutan dan geliat perjuangan warga adat hanya
akan bisa dimengerti oleh para pengambil kebijakan jika
mereka yaitu berasal dan terlibat aktif di dalam gerakan
memperjuangkan hak warga adat.
Namun, gerakan untuk terlibat di dalam pemilu
menghadapi banyak hambatan, salah satunya yaitu desain
surat suara yang tak menampilkan foto yang ujungnya
membingungkan mereka. Sementara itu KPU tidak
memberikan pendampingan memilih untuk mereka dengan
alasan ketiadaan hukum yang mengatur pendampingan
pemilih tuna aksara.Akhirnya, banyak dari warga Meratus tidak
bisa menyalurkan hak suaranya.Meski gagal, harapan untuk
terus berpartisipasi tidak pernah pupus.
Mereka sadar bahwa perubahan nasib warga
adat tidak bisa didelegasikan kepada orang-orang yang
datang dari luar.Calon-calon anggota parlemen hanya datang
saat musim pemilihan tiba dan menawarkan berbagai janji
perubahan yang belum tentu ditepati.
Tak Kenal Aksara, Ingin Ikut Pemilu
warga Adat Dayak Meratus, juga sering
disebut sebagai Dayak Bukit. Penyebutan ini disebab kan
lokasi tinggal mereka yang berada di sepanjang Pegunungan
Meratus.
Dusun Linau misalnya, berjarak dua jam berjalan kaki
dari pusat Desa Pembakulan, melewati jalan berbatu terjal
yang naik-turun. Selain jalan kaki, hanya ada opsi berkendara
motor dari Pembakulan ke Linau. Selain Pembakulan, ada
puluhan desa lain di Pegunungan Meratus yang lebih sukar
diakses, salah satunya Desa Juhu yang harus ditempuh 18 jam
jalan kaki melewati hutan dan gunung
Desa Pembakulan baru mendapat fasilitas sekolah
tingkat dasar pada tahun 1982.Hampir sebagian besar warga
Meratus yang kini berusia di atas 50 tahun yang tak sempat
mengenyam pendidikan dasar itu (Utama, 2019).
Berdasarkan data sebaran anggota AMAN,
komunitas-komunitas warga adat Dayak Meratus
tersebar di sembilan kabupaten di Kalimantan Selatan.Dan dari
hasil pendataan yang dilakukan oleh Pengurus AMAN Daerah
Hulu Sungai Tengah, ada sebanyak 1.400 warga Dayak Meratus
yaitu pemilih tuna aksara. Ketidakmampuan membaca
dan menulis itu utamanya dipicu oleh diskriminasi
kebijakan dan perampasan hak yang mereka alami selama ini.
Di 28 balay yang tersebar di 11 desa di Alai Batang
Timur, Hulu Sungai Tengah misalnya, minimal ada 100
orang yang memiliki hak pilih di tiap balay.Setengah dari
jumlah ini yaitu penyandang tuna aksara.
Uri, warga komunitas adat Balay Juhu, masuk kategori
ini . Walau buta huruf dan berpotensi salah coblos, ia
menilai pemilu yaitu momentum Dayak Meratus keluar dari
‘diskriminasi’ pembangunan. “Saya kecewa pada pemerintah,
tapi tetap akan ikut dan mendukung pemilu. Dulu tidak ada
satupun guru, jadi saya sama sekali tidak tahu membaca….
Kalau ada yang menemani, saya bisa mencoblos” demikian
semangat partisipasi Uri (Utama, 2019).Ia berharap dengan ikut
Pemilu, mereka bisa memperoleh kembali hak atas wilayah
adat mereka, konflik yang selama ini terjadi dapat terselesaikan
dan warga Dayak Meratus dapatkan hak yang setara dengan
warga negara lainnya. Namun kerumitan desain surat suara
mempersulit mereka untuk menyalurkan hak suaranya.
Tiga dari lima surat suara dalam Pemilu 2019 tak
dilengkapi foto, melainkan hanya berisi nama dan nomor urut
calon anggota DPR serta DPRD tingkat provinsi dan kabupaten.
Adapun, dua surat suara lainnya berisi foto pasangan calon
presiden-wakil presiden dan calon anggota DPD.
Jika ditelisik dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu pada pasal 356 ayat (1); penyandang disabilitas
netra, disabilitas fisik, dan yang memiliki hambatan fisik
lainnya pada saat menyalurkan hak suara di TPS dapat dibantu
oleh orang lain atas permintaan pemilih. Istilah pendamping
pemilih memang cukup dikenal dalam kepemiluan di negara kita,
yang tujuan utamanya untuk memudahkan pemilih yang
memiliki keterbatasan fisik untuk memilih.Namun, apakah
penyandang tuna aksara dapat disebut sebagai disabilitas fisik.
Tentu tidak.Penyandang tuna aksara yaitu keterbatasan
seseorang untuk membaca dan menulis atau disebut juga
dengan buta huruf.Ia tak dapat disamakan dengan disabilitas
netra ataupun fisik.
Kontroversi pemilih tuna aksara tak hanya terjadi
pada Pemilu 2019.Sejak Pemilu 2009 memang belum ada
regulasi yang mengatur pendamping memilih bagi pemilih
penyandang tuna aksara. Seiring itu pula desain surat suara
melulu tak menampilkan foto.
Ketiadaan regulasi ini tentu berimplikasi terhadap
aksesibilitas pemilih tuna aksara dalam menyalurkan hak
memilihnya.Pada Pemilu 2014 misalnya, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Kabupaten Kupang menolak pengajuan
pendampingan memilih bagi pemilih penyandang tuna aksara
(Syahrul, 2014).Alasan penolakan itu didasari atas kekhawatiran
terhadap pemilih penyandang tuna aksara yang dapat dipolitisir
pihak tertentu untuk meraih suara dengan tidak sehat.
Pada Pemilu 2019, berbagai organisasi kepemiluan
pun telah berusaha mendorong hadirnya regulasi yang
menjamin aksesibilitas pemilih penyandang tuna aksara.
Beragam alternatif kebijakan telah ditawarkan kepada KPU,
di antaranya pemilih tuna aksara dapat didampingi oleh
keluarga atau petugas KPPS untuk memperkecil kemungkinan
manipulasi suara.Namun KPU tak dapat memutuskan hal
ini dengan dalih ketiadaan hukum yang mengatur pemilih
tuna aksara.
Rakyat Penunggu dan Konflik Wilayah Adatnya
Rakyat Penunggu yaitu komunitas warga
adat yang mendiami wilayah Serdang, Deli, Medan, Binjai, dan
Langkat.Wilayah ini yaitu daerah subur sebab diapit
oleh dua sungai besar; Sungai Ular dan Sungai Wampu.Kedua
sungai ini yaitu asal muasal sebaran warga adat
Rakyat Penunggu saat merintis kampung, berladang dengan
sistem pertanian gilir balik dan menjaga hutan reba yang
kemudian menjadi satu kesatuan sebagai tanah adat.
Terdapat sekitar 67 kampung, hutan reba, dan
wilayah perladangan yang luasnya mencapai 350.000 hektar
(Barahamin, 2019). Seperti warga adat pada umumnya,
Rakyat Penunggu juga memiliki sistem nilai, hukum, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan adat yang berlaku
dan diwariskan secara turun-temurun.
Dulunya, wilayah adat Rakyat Penunggu yaitu
yaitu daerah penghasil madu, rotan, tembakau, pangan,
dan obat-obatan. Suburnya wilayah adat Rakyat Penunggu
membuat pengusaha-pengusaha dari Hindia Belanda
berbondong-bondong berdatangan untuk melakukan investasi
perkebunan tembakau skala luas.Daun tembakau yang
dihasilkan dari wilayah adat Rakyat Penunggu memiliki kualitas
terbaik dan sangat disukai di manca negara, terutama di Eropa.
Tembakau dari wilayah ini di masa lalu yaitu komoditas
tembakau yang paling terkenal di Eropa.Hal inilah yang
membuat Belanda terus-menerus memperluas perkebunan
tembakaunya di wilayah adat Rakyat Penunggu dengan
menerapkan sistem kontrak. Berbagai kontrak investasi
perkebunan tembakau atas wilayah adat Rakyat Penunggu oleh
Belanda dilakukan untuk menjamin hak-hak warga adat
Rakyat Penunggu atas kepemilikan dan pemanfaatan tanah
adat / ulayat tetap diberi . Kontrak ini disebut dengan Akte
Van Consesi.
Akses Atas Tanah di Masa Penjajahan Jepang dan
Kemerdekaan
Setelah pemerintah kolonial Belanda hengkang,
Model penguasaan dan pengelolaan tanah adat secara kontrak,
kemudian diubah menjadi sepenuhnya di bawah penguasaan
pemerintah kolonial Jepang, dengan memberlakukansistem
tanam paksa untuk memenuhi persediaan stok panganselama
masa perang.Di masa inilah warga adat Rakyat Penunggu
dipaksa menjadi buruh perkebunan palawija seperti padi,
jagung, dan kacang-kacangan.Hasil panen juga sebagian
besar dikuasai kolonial Jepang dan hanya menyisakan sedikit
saja untuk warga komunitas Rakyat Penunggu yang bekerja.
Periode pendudukan Jepang ini tercatat sebagai periode kelam
dalam sejarah warga adatRakyat Penunggu.Tidak sedikit
warga warga adat Rakyat Penunggu yang menjadi korban
kehilangan nyawa akibat penerapan sistem kerja paksa sistem
oleh pemerintah kolonial Jepang.
Setelah Jepang pergi dan negara kita dideklarasikan
sebagai bangsa yang merdeka, perjuangan Rakyat Penunggu
untuk memperoleh kembali wilayah adatnya justru semakin
menghadapi tantangan berat.Terutama saat pemerintah
negara kita yang melakukan nasionalisasi terhadap seluruh aset-
aset yang dikuasai dan dikelola oleh perusahaan pemerintah
kolonial, termasuk wilayah adat Rakyat Penunggu yang
sebelumnya dikontrakkan kepada perusahaan Belanda,
kemudian dijadikan Perusahaan Perkebunan Negara (yang saat
ini sebut sebagai PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) atau
sebelumnya yaitu PTPN IX
Konflik, Berujung Hilangnya Hak Memilih
Konflik wilayah adat yang tak berkesudahan
berimplikasi terhadap kepastian atas wilayah warga adat
Rakyat Penunggu di Deli Serdang.Hingga kini kampung mereka
tidak diakui sebagai desa yang teregistrasi di Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) sebab dianggap sebagai kawasan
sengketa
Desa Amplas salah satunya, yaitu wilayah yang
dihuni oleh sebagian besar warga adat Rakyat Penunggu.
Status Desa Amplas yaitu wilayah yang rawan konflik
sebab berada di dalam kawasan hak guna usaha (HGU)eks-
PTPN II.Problem utama hambatan memilih Rakyat Penunggu
yang bermukim di Desa Amplas, Sumatera Utara yaitu status
domisili mereka tidak diakui sebab berada dalam kawasan
HGU dan sedang berkonflik dengan eks-PTPN II.Kondisi ini
memicu pemerintahan Desa Amplas menolak untuk
melakukan pendataan penduduk yang berujung pada hilangnya
hak mereka untuk terdaftar sebagai pemilih. Tercatat sebanyak
150 KK Rakyat Penunggu yang tidak terdata sebagai pemilih
di Kabupaten Deli Serdang (Ramadhanil, 2019)
Hal serupa juga terjadi di Desa Karang Gading,
Tumpatan Nibung, Bandar Klippa, dan Bandar Khalifah sebagai
kawasan konflik dengan eks-PTPN II.Rakyat Penunggu yang
bermukim di wilayah ini juga terhambat untuk terdaftar
sebagai pemilih. Bukan hanya di Pemilu 2019, saat Pilkada
Serentak 2018 pun mereka tidak dapat menyalurkan hak
memilihnya dipicu oleh status domisili yang belum jelas.
Kerangka dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu yaitu logika unifikasi antara administrasi kependudukan
dengan pendaftaran pemilih.Dua hal ini menjadi satu-
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.Ketika warga negara tidak
terpenuhi haknya dalam administrasi kependudukan maka
dengan otomatis hak untuk terdaftar sebagai pemilih juga turut
terhambat.Apa yang terjadi pada Rakyat Penunggu yaitu
gambaran nyata dari proses ini .
Mengapa daftar pemilih selalu bermasalah? Salah
satu sebabnya yaitu adanya ketidakpastian penggunaan
prinsip de jure maupun de facto dalam pendaftaran pemilih.
Prinsip de jure mengacu pada penggunaan alamat yang ada
dalam kartu keluarga (KK) atau kartu tanda penduduk (KTP),
sementara de facto memakai alamat faktual dimana
pemilih ini tinggal
Selain itu, bagi warga negara yang bermukim
di kawasan konflik masih banyak yang kesulitan untuk
terdaftar sebagai pemilih.Pada posisi inilah instrumen hukum
pendaftaran pemilih harus diperbaiki.Penyelenggara pemilu
bersama dengan pemerintah dan beserta dengan DPR harus
merumuskan peraturan untuk menata sistem pendaftaran
pemilih yang inklusif dan setara. Sistem pendaftaran pemilih
tidak bisa dilepaskan perbaikannya dari setiap peristiwa
kependudukan.Atas dasar itulah peran dari pemerintah
sebagai aktor yang bertanggung jawab mencatat setiap
peristiwa kependudukan penting untuk dilibatkan untuk
mengevaluasi sistem pendaftaran pemilih.
Apa yang dihadapi oleh Rakyat Penunggu yaitu
fenomena yang dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dan
penyelenggara pemilu. Bahwa problem tenurial yang terjadi
pada warga adat ternyata juga berimplikasi terhadap
hilangnya hak pilih mereka.Pemerintah dan penyelenggara
pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi problem
ini dalam jangka panjang, khususnya demi memudahkan
pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih.
Bentuk kebijakan ini berupa pemberlakuan surat
keterangan domisili sebagai pengganti KTP-el bagi pemilih
yang wilayahnya sedang bersengketa sebagaimana yang
terjadi pada Rakyat Penunggu. Hal ini dapat ditempuh dengan
pembaharuan hukum pada UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
Situasi khusus yang terjadi pada Rakyat Penunggu
yaitu persoalan serius yang perlu diatasi dengan membangun
pemilu yang aksesibel dan membuat kebijakan kompromi
sebagaimana yang sudah tersampaikan diatas. Perkara
kepemilikan KTP-el berkaitan erat dengan hak asasi manusia.
Negara dituntut pro-aktif dalam memenuhi dan melindungi
hak asasi manusia seluruh warga negara di setiap kategori
kependudukan.
Model Advokasi
Untuk meretas ragam hambatan partisipasi di atas,
AMAN bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilu Republik
negara kita (Bawaslu RI) dan bersama jaringan warga
sipil,telah berusaha merumuskan model pendekatan advokasi
untuk menjamin partisipasi warga adat yang efektif di
Pemilu 2019. Riset Perludem bersama AMAN menemukan itu.
Untuk dapat menjamin dan melindungi partisipasi warga
adat diperlukan pendekatan yang tidak bersifat top down,
melainkan kebijakan pemilu berdasarkan nilai-nilai yang
berkembang secara dinamis dalam kehidupan warga
adat.
Di bawah ini yaitu model-model advokasi kebijakan
yang didorong untuk meretas ragam hambatan partisipasi
warga adat dalam Pemilu 2019.
Tindakan Afirmatif
AMAN sebagai organisasi warga adat, telah
membangun diskusi mendalam dengan warga adat
Kajang dalam mencari jalan keluar dari polemik perekaman
KTP-el. Ragam strategi advokasi dirumuskan untuk
mendorong pemerintah dan penyelenggara pemilu agar
melakukan tindakan afirmatif guna menjamin partisipasi
penuh warga adat Kajang dalam Pemilu 2019.Hal ini
kemudian direspons oleh Bawaslu dan Komnas HAM RI dengan
melakukan rapat koordinasi bersama Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri), salah satu agendanya yaitu membahas
tindakan afirmatif terhadap perekaman KTP-el warga
adat Kajang.
Kemendagri, melalui Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil (Dukcapil) Bulukumba mengakui bahwa persoalan
warga adat Kajang tak semudah mengurus kependudukan
warga pada umumnya sebab ada aturan adat yang
mengatur dan perlu dilayani dengan tindakan khusus.Tindakan
khusus ini yaitu dengan memperbolehkan warga
adat Kajang melakukan perekaman KTP-el tanpa membuka
Passapu’.Hal yaitu bentuk affirmative action pemerintah
kepada warga adat Kajang.Pemerintah dalam hal ini
Dukcapil, tidak dapat memaksakan kebijakan administratif
yang justru bertentangan dengan aturan adat.Disinilah
peran pemerintah dibutuhkan untuk pro-aktif menjamin hak
kewarganegaraan warga adat Kajang dengan berbagai
aturan dan kebijakannya.
Apa yang terjadi pada Kajang memberikan pelajaran
bahwa konsekuensi dari penyelenggaraan pemilu di negara
multikultur yaitu pemerintah dan penyelenggara pemilu
dituntut pro-aktif mengakomodir unsur kohesivitas warga
dan mempermudah warga untuk berpartisipasi di
dalam pemilu. Maka dari itu, dibutuhkan asas afirmatif dalam
menciptakan desain pemilu yang aksesibel bagi tiap elemen
warga.
Sebagai contoh, pelaksanaan pemilu di Amerika
Serikat bahkan telah mencoba meningkatkan representasi
kelompok-kelompok tertentu, demi menciptakan desain
pemilu yang adil dan aksesibel. Undang-Undang Hak Pilih (The
Voting Right Act) di Amerika Serikat di masa lalu mengizinkan
pemerintah membuat daerah-daerah pemilihan berbentuk
ganjil dengan satu-satunya tujuan menciptakan distrik-distrik
mayoritas kulit hitam, Latino, atau Asia- Amerika; ini disebut
dengan gerrymandering affirmative.
Tidak hanya itu, negara multikultur lainnya seperti
Kolombia dan India menerapkan kebijakan pencadangan kursi
dalam pemilu.Hal ini sebagai bentuk peran negara dalam
menjamin keterwakilan kelompok-kelompok minoritas etnis.
Perwakilan dari kursi-kursi yang dicadangkan ini biasanya dipilih
dengan banyak cara yang sama seperti perwakilan lainnya.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana peran negara
dalam mengadopsi asas kohesivitas yang berkembang pada
warga ke dalam sebuah sistem pemilu.
Tindakan afirmatif dalam hal ini yaitu bagaimana
usaha pemerintah dan penyelenggara pemilu mengakomodir
aturan-aturan adat yang berlaku ke dalam administrasi dan
desain pemilu di negara kita.Hal ini dilakukan dalam rangka
membentuk warga demokrasi yang kuat bersamaan
dengan penegakan hukum dan prosedur-prosedur demokrasi
yang sesuai dan dapat dijalankan seluruh elemen warga.
Diskresi untuk Pemilih Tuna Aksara
Demi menjaga agar pemilu berjalan jujur dan adil,
berbagai ketentuan administratif untuk menyalurkan hak pilih
memang diperlukan. Tanpa batasan itu, potensi kecurangan
akan sulit dikontrol. Hanya saja, batasan administratif
tidak boleh diterapkan secara berlebihan.Apalagi sampai
menegasikan hak konstitusional warga negara.Administratif
harus diletakkan dalam kerangka yang seimbang antara
usaha melayani kemudahan pemilih menyalurkan hak
konstitusionalnya dengan kepentingan administrasi pemilu.
Dalam konsep negara hukum dikenal asas freies
ermessen atau tindakan diskresi yang artinya pejabat publik
tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan
ketiadaan regulasi (Yuhdi, 2017).Pejabat publik diberi
kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya
sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan legalitas.
Tindakan diskresi dapat diambil untuk merespons persoalan
penting yang luput diakomodir dalam ketentuan regulasi.
Dalam hal demikian, administrasi negara harus bertindak cepat
membuat penyelesaian, namun keputusan yang diambil harus
bisa dipertanggungjawabkan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
memang belum tegas mengatur pendampingan memilih untuk
tuna aksara, sementara desain surat suara pada Pemilu 2019
tidak memberikan kemudahan bagi pemilih tuna aksara untuk
menyalurkan hak pilihnya. Dalam situasi ketiadaan hukum,
seharusnya KPU sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
dapat membuat tindakan diskresi dengan menghadirkan
ketentuan pendampingan pemilih tuna aksara.Namun hal ini
yang tidak terjadi pada Pemilu 2019, KPU berdalih dengan
alasan bahwa pendampingan pemilih tuna aksara tidak diatur
di dalam Undang-Undang sehingga tidak dapat diberi .
Diskresi yaitu salah satu hak penyelenggara
negara.Secara normatif diskresi ini dapat dilakukan oleh setiap
pejabat, baik ditingkat pusat maupun daerah.Keputusan
diskresi hanya dapat dilaksanakan jika tujuannya untuk mengisi
kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dalam
keadaan tertentu guna kepentingan umum. Akan namun suatu
diskresi harus dilandasi oleh kewenangan yang memiliki
batasan meliputi batas waktu berlaku, batas wilayah, dan
wewenang lain yang diberi oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun
2018, masih ada sekitar 3,4 juta warga yang berumur lebih
dari 15 tahun tidak bisa baca tulis. Sebagian besar tersebar di
11 provinsi dimana Papua, NTB, dan NTT yaitu tiga daerah
yang memiliki angka penyandang tuna aksara tertinggi (BPS,
2018).Tingginya angka buta huruf yaitu refleksi kegagalan
negara dalam menyediakan akses atas pendidikan.Kini mereka
harus pula rela kehilangan hak suaranya sebab kesulitan untuk
memilih.
Dalam negara yang heterogen seperti negara kita, tolok
ukur keberhasilan penyelenggara pemilu yaitu seberapa
mampu menghadirkan kemudahan bagi pemilih melalui
kebijakan diskresinya agar pemilih dapat berpartisipasi seluas-
luasnya di dalam pemilu.Tindakan diskresi penting dilakukan
guna merespons setiap perubahan dinamika sosio-kultural yang
terjadi pada warga.Jangan sampai desain dan kebijakan
pemilu justru mengebiri hak pilih setiap warga negara.
Menyelamatkan Hak Pilih warga Adat
Dalam Pemilu 2019, AMAN bersama Perludem
melakukan kajian dan pemantauan atas problem hak pilih
warga adat di komunitas adat Rakyat Penunggu, Deli
Serdang, Sumatera Utara.Pemilihan wilayah ini sebab
ditemukan sebanyak 125 warga Rakyat Penunggu tidak dapat
terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2019.Mereka tidak
dapat terdaftar sebagai pemilih, dipicu sedang berkonflik
dengan eks-PTPN II.Upaya mendorong penyelenggara
pemilu untuk melakukan perubahan kebijakan yang sangat
fundamental untuk melindungi hak pilih warga negara
sudah berhasil dilakukan, meski belum maksimal, dengan
diberi nya ruang DPT perbaikan pasca-penetapan DPT pada
15 Desember 2018 oleh KPU.
Advokasi yang dilakukan juga berhasil meyakinkan
KPU untuk mengakomodir pemilih yang belum memiliki KTP-
el, serta pemilih yang memang belum masuk ke DPT namun
sudah memenuhi syarat sebagai pemilih melalui penerbitan
Peraturan KPU No 37/2018 yang mengubah Peraturan KPU No
11/2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri.
Dari proses advokasi ini , penyelenggara
pemilu perlu merumuskan suatu kebijakan kompromi untuk
merespons kompleksitas masalah yang berkembang diluar
logika administrasi kepemiluan, khususnya memudahkan
pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih.
Bentuk kebijakan kompromi ini yaitu sinkronisasi
data kependudukan antar-aparatur sipil negara.Kategori
data kependudukan ini perlu disinkronisasi untuk dapat
mengidentifikasi hambatan warga negara dalam memperoleh
KTP-el.
Situasi yang terjadi pada komunitas warga
adat Rakyat Penunggu yaitu persoalan serius.Kondisi itu
perlu diatasi dengan membangun pemilu yang aksesibel dan
membuat kebijakan kompromi sebagaimana yang sudah
tersampaikan di atas.Perkara kepemilikan KTP-el berkaitan
erat dengan hak warga negara.Pemerintah dituntut pro-aktif
dalam memberikan layanan dasaradministrasi bagi setiap
warga negara.
Kepastian Hukum Sebagai Solusi
Temuan paling penting dari riset ini yaitu
permasalahankonflik tenurial yang dipicu oleh
ketidakpastian hukum atas hak-hak warga adat.
Permasalahan ini ternyata menjadi salah satu penghambat
utama partisipasi warga adat di dalam pemilu.Apa yang
terjadi pada komunitas adatRakyat Penunggu yaitu gambaran
bahwa konflik tenurial yang terjadi akibat ketidakpastian
hukum berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih mereka dalam
Pemilu 2019.
Problem lain yaitu sektoralisme kebijakan dan
regulasi tentang warga adat yang tumpang tindih dan
saling menyandera satu sama lain. UU sektoral pada Tabel
I menghambat warga adat untuk terdaftar sebagai
penduduk dan dengan otomatis tidak terdaftar sebagai pemilih
sesuai logika pendaftaran pemilih pada UU No 7 Tahun 2017
tentang Pemilu.
Saat ini memang sudah banyak undang-undang yang
mengatur tentang keberadaan dan hak-hak warga adat,
terutama undang-undang di bidang sumber daya alam.Namun,
alih-alih mengakui dan melindungi hak warga adat,
undang-undang ini justru ‘mempersulit’ warga
adat untuk memperoleh hak konstitusionalnya, terutama
hak untuk memilih dalam pemilu.Oleh sebab itu, perluadanya
sebuah undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-
hak warga adat.
Undang-undang ini penting untuk menata ulang
hubungan antara warga adat dengan negara,baik
hubungannya di masa lalu dan di masa yang akan datang,
dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi,
hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi, dan menjamin
partisipasi. Adanya undang-undang ini bisa mengatasi
persoalan sektoralisme yang selama ini terjadi di berbagai
instansi lembaga negara, terutama yang berurusan dengan
warga adat.
Dengan carademikian, warga adat dapat
menjadi warga Negara negara kita yang seutuhnya. Hal ini
penting sebab apa yang dialamioleh warga adat
selama ini yaitu dampak dari tidak adanyapengakuan dan
perlindungan, yang terjadi kemudian yaitu warga adat
tidak dipandang sebagai warga negara.
Kesimpulan
warga adat menyadari bahwa berbagai
pelanggaran hak yang dialami bersumber dari politik hukum
yang memang dirancang sehingga abai terhadap kepentingan
warga adat.Untuk itu, pemilu bagi warga adat tak
sekadar aktif sebagai pemilih.Pemilu yaitu arena penting untuk
memastikan masa depan mereka dan memastikannegarabisa
benar-benar hadir ditengah-tengah warga adat dengan
wajah yang sesungguhnya.
Tulisan ini telah mengelaborasi lebih jauh bagaimana
hambatan-hambatan warga adat untuk berpartisipasi
di dalam Pemilu 2019 serta mengenali ragam model advokasi
pemilu untuk warga adat. Oleh sebab itu simpulan dalam
tulisan ini yaitu sebagai berikut:
1. Standar administrasi dan desain pemilu justru menjadi
penghambat utama partisipasi warga adat dalam
Pemilu 2019. Kerangka dalam UU Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu yaitu logika unifikasi antara
administrasi kependudukan dengan pendaftaran
pemilih.
2. Problem tenurial dan konflik pada warga adat
ternyata berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih
mereka dalam Pemilu 2019.
3. Administrasi pemilu harus diletakkan dalam kerangka
yang seimbang antara usaha melayani kemudahan
pemilih menyalurkan hak konstitusional nya dengan
kepentingan administrasi pemilu.
4. Ragam tindakan afirmatifsudah dilakukan oleh
pemerintah dan penyelenggara pemilu guna merespons
dinamika hambatan partisipasi pada warga adat,
meski belum maksimal.
5. Adanya kepastian hukum bagi warga adat
sangat penting untuk meretas problem konflik tenurial
dan akan menjamin partisipasi warga adat
secarapenuh dalam proses-proses pemilu.
Rekomendasi
1. Instrumen hukum pendaftaran pemilih harus
diperbaiki. Penyelenggara pemilu bersama dengan
pemerintah beserta dengan DPR harus merumuskan
peraturan untuk menata sistem pendaftaran pemilih
yang inklusif, akurat, transparan, dan terpercaya.
Sistem pendaftaran pemilih tidak bisa dilepaskan
perbaikannya dari setiap peristiwa kependudukan.
Atas dasar itulah peran pemerintah sebagai aktor
yang bertanggungjawab mencatat setiap peristiwa
kependudukan penting untuk dilibatkan untuk
mengevaluasi sistem pendaftaran pemilih.
2. Perlu ada mekanisme pembaharuan data pemilih
yang terus-menerus dan terkonsolidasi antara data
pemerintah dengan data yang dimiliki dan diolah oleh
KPU.
3. Jaminan kepastian terhadap kelompok warga
adat yang terkendala dokumen kependudukan untuk
diberi perlakuan yang adil tanpa memandang problem
tenurial dan situasi khusus yang melekat pada
warga adat.
4. Menghadirkan regulasi pendampingan bagi pemilih
penyandang tuna aksara di negara kita
5. Menghadirkan kemudahan bagi pemilih melalui
kebijakan-kebijakan afirmatifuntuk merespons
ragam dinamika sosio-kultural warga adat serta
menjamin kemudahan bagi mereka untuk dapat
berpartisipasi seluas-luasnya di dalam pemilu.
6. Pemerintah perlu segera mengesahkan Undang-
Undang warga Adat untuk memberi kepastian
hukum dan perlindungan atas hak konstitusional
warga adat. Undang-Undang ini nantinya
yang akan menjadi instrumen utama dalam
menyelesaikanproblem konflik tenurial, dan hadirnya
layanan dasar pembangunan bagi warga
Adatyang akan menjamin secara penuh partisipasi
warga adat dalam proses pemilu.
pemilu 6
Juni 14, 2023 mayatku.blogspot.com
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945.
Konstitusi menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan secara
efektif dan efesien berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada
menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sekaligus
sarana aktualisasi partisipasi warga sebagai pemegang
kedaulatan dalam penentuan jabatan publik. Dalam hal ini
rakyat bukanlah obyek untuk dieksploitasi dukungannya,
melainkan ditempatkan sebagai subyek, termasuk dalam
mengawal integritas pemilu di mana salah satunya melalui
pengawasan.
Peningkatan partisipasi warga dalam pemilu
yaitu hal penting sebab partisipasi yaitu esensi dari
demokrasi. keikutsertaan atau pelibatan warga dalam
322
berpolitik yaitu ukuran demokrasi suatu negara.
keikutsertaan politik bisa meliputi banyak hal, terkait kebebasan
untuk berbicara, berkumpul, dan asosiasi; mengambil bagian
dalam pelaksanaan urusan publik; dan kesempatan untuk
mengajukan diri sebagai calon; berkampanye; serta untuk
memegang jabatan di semua tingkat pemerintahan. Hampir
setiap negara sudah mengakui dan menjamin bahwa laki-laki
dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi
secara penuh dalam semua aspek dari proses politik. Oleh
sebab itu, kita harus memanfaatkan hak ini seoptimal
mungkin. Walaupun dalam praktiknya, sebagian perempuan
masih sulit untuk memakai hak ini dan menghadapi
stigmatisasi perempuan hanya sebagai obyek semata.
Representasi perempuan di kancah politik
sangat penting sebab yaitu bagian dari kehidupan
berdemokrasi dan transparansi dalam penyelenggaraan
negara. Keterlibatan kaum perempuan di bidang politik,
khususnya di lembaga legislatif akan memberi keseimbangan
dan mewarnai perumusan peraturan perundang-undangan,
penganggaran, dan pengawasan yang berperspektif gender,
juga bisa menjamin kepastian dan kesejahteraan semua lapisan
warga demi kemajuan bangsa yang nondiskriminatif,
lebih adil, dan setara.
Perempuan dalam Pemilu 2019 memiliki peran penting
dalam mewujudkan kehidupan politik yang mencerminkan
kesetaraan dan keadilan gender, yaitu: (1) Perempuan aktif
mengikuti proses seleksi komisioner penyelenggara pemilu,
khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Sayangnya, proses seleksi dianggap tak ramah pada perempuan
sehingga masih ada provinsi dan kabupaten/kota yang tidak
memiliki keterwakilan perempuan dalam lembaga pemilu; (2)
Perempuan aktif mengikuti proses seleksi anggota atau panitia
pelaksana atau pengawas pemilu di tingkat kecamatan hingga
Tempat Pemungutan Suara (TPS);(3)Perempuan kader partai
maupun tokoh perempuan akan terlibat sebagai calon legislatif,
hingga ketentuan kebijakan afirmasi sekurang-kurangnya
30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota
323
legislatif, bisa melampui batas minimal, yaitu mencapai 40%
perempuan dalam daftar calon legislative; (4) Organisasi-
organisasi perempuan aktif mendorong partisipasi perempuan
sebagai pemilih untuk memakai hak pilihnya secara benar
dan cerdas;dan (5) Perempuan juga aktif sebagai pemantau di
TPS untuk memantau jalannya pemungutan dan penghitungan
suara.
Pemilu serentak 2019 yaitu pemilu terbesar di
dunia. Terbesar sebab jumlah pemilih dalam negeri mencapai
190.779.466 dan pemilih di luar negeri 1.991.145 sehingga total
pemilih 2019 berjumlah 192.770.611. Dari data pemilih yang
ditetapkan KPU RI diketahui 51% yaitu perempuan, yaitu
96.538.965 orang, dan dilaksanakan lebih dari 813.000 TPS.
Mengingat lebih dari 51% pemilih pada Pemilu 2019 yaitu
perempuan dan hampir 40% dari calon anggota dewan yaitu
perempuan, maka perempuan perlu berperan aktif untuk
menjadi pemantau pemilu.
Mengacu pada realitas yang ada dalam Pemilu 2019,
penting bagi Koalisi Perempuan negara kita untuk melibatkan
diri berperan sebagai lembaga pemantau pemilu. Koalisi
Perempuan negara kita untuk Keadilan dan Demokrasi pertama
kali diumumkan berdirinya pada 18 Mei 1998 dan dikukuhkan
melalui Kongres Perempuan negara kita di Yogyakarta pada
Kamis, 17 Desember 1998. Koalisi Perempuan negara kita
yaitu organisasi berbadan hukum perkumpulan, berbasis
keanggotaan perorangan perempuan warga negara negara kita,
memiliki anggota sebanyak ±44.000 perempuan yang tersebar
di 936 desa di 145 kabupaten/kota di 27 provinsi di negara kita,
yaitu organisasi yang memiliki asas Pancasila dan
Hak Asasi Perempuan (HAP). Organisasi ini konsern pada (1)
advokasi kebijakan publik dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan, dan (2) memperjuangkan keterwakilan perempuan
dalam menduduki posisi strategis pengambilan kebijakan
seperti kepala desa, kepala daerah, legislatif, dan lainnya.
Selama 20 tahun lamanya Koalisi Perempuan negara kita
yaitu organisasi massa perempuan yang konsern
pada kerja-kerja advokasi terhadap kebijakan publik yang
memperjuangkan hak-hak perempuan, anak, dan kelompok
324
rentan, termasuk mendukung keterwakilan perempuan dalam
menduduki posisi pengambilan kebijakan, baik mulai dari
tingkat desa (misalnya, kepala desa, perangkat desa, dan lain-
lain) hingga nasional sebagai eksekutif dan legislatif, termasuk
mendorong partisipasi anggotanya untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan pemilu (Bawaslu dan KPU) secara berjenjang.
Pemilubagi Koalisi Perempuan negara kita yaitu
sarana mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta
sekaligus menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan
perempuan untuk ikut menentukan masa depan negara kita
sejahtera, adil, dan beradab.Di samping itu, pemilu yaitu
sarana untuk meningkatkan keterwakilan politik dalam
lembaga pengambilan keputusan, khususnya lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat. Hal inilah yang melatar belakangi Koalisi
Perempuan Indoenesia untuk mendaftarkan diri dengan
kesukarelaan sebagai lembaga pemantau pemilu ke Bawaslu.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka Penulis
merumuskan masalah yaitu bagaimana peran Koalisi
Perempuan negara kita dalam meningkatkan partisipasi politik
perempuan?
Teori Konsep
1. keikutsertaan Politik
keikutsertaan berasal dari bahasa latin yaitu pars yang
artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan
dalam aktivitas atau kegiatan politik negara yang jika
digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa
inggris, partisipate atau participation berarti mengambil bagian
atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam
aktivitas atau kegiatan politik negara(Suharno. 2004: 102-103).
keikutsertaan politik yaitu salah satu aspek penting
suatu demokrasi. keikutsertaan politik yaitu ciri khas dari
modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan
dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi
kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut
serta menentukan isi keputusan politik. Oleh sebab itu yang
325
dimaksud dengan partisipasi politik,menurut Hutington dan
Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151),yaitu kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah.
Menurut oemar dani dalam Cholisin partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan
sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan
memilih pemimpin negara dan langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan
umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu
partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan
(contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota
perlemen, dan sebagainya.
chucky A. Almond yang dikutip oleh Mas’oed
dan Mac Andrews (dalam Colin, 2008:57), membedakan
partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu: (a) keikutsertaan politik
konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal
dalam demokrasi modern; dan (b) keikutsertaan politik non
konvensional, yaitu suatu bentuk partispasi politik yang tidak
lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner.
Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua
bentuk bentuk partisipasi
Pemikiran Almond ini dapat dikatakan bahwa
partisipasi politik dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni
partisipasi politik yang bersifat umum atau partisipasi politik
tanpa kekerasan serta partisipasi politik yang dilakukan oleh
warga warga dalam bentuk koersif atau jalur konflik.
Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin
(2007:152), membedakan partisipasi politik menjadi beberapa
kategori, yakni: (1) keikutsertaan politik apatis, orang yang tidak
berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik; (2) keikutsertaan
politik spector, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut
memilih dalam pemilihan umum; (3) keikutsertaan politik gladiator,
mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni
komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis
partai dan pekerja kampanye dan aktivis warga; dan (4)
keikutsertaan politik pengritik, orang-orang yang berpartisipasi
dalam bentuk yang tidak konvensional.
keikutsertaan pemilih dalam pemilu menjadi penting
sebab akan berdampak secara politis terhadap legitimasi
sebuah pemerintahan yang dihasilkan. Legitimasi yaitu
syarat mutlak yang secara politik turut menentukan kuat
atau lemahnya sebuah pemerintahan. Peran publik menjadi
bagian penting dari proses penyelenggaraan pemilu
untuk memastikan pemilu dilakukan secara jujur, adil, dan
demokratis. keikutsertaan politik tidak sekadar persoalan dari sisi
pemilih memakai hak pilihnya saat pemilu di bilik suara,
namun juga bagaimana publik berperan dalam menciptakan
proses pemilu yang kredibel dan bersih melalui keterlibatan
dalam pengawasan pemilu sebagai bagian kontrol terhadap
penyelenggaraan pemilu itu sendiri.
Koalisi Perempuan negara kita dalam kerja-kerja sebagai
lembaga pemantau pemilu pada tahun 2019 melakukan
partisipasi konvensional, yaitu pemberian suara, diskusi politik,
dan kampanye. Pengawasan partisipatif yang dilakukan
Koalisi Perempuan negara kita dalam kegiatan pemantauannya.
Pentingnya pengawasan partisipatif dalam mengawal
penyelenggaraan pemilu, yang bertujuan untuk menciptakan
pemilu yang demokratis.
Pemantau pemilu terdiri atas lembaga-lembaga
swadaya warga atau CSO (Civil Society Organization)
yang ikut mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu.
Keberadaan pemantau pemilu memang sudah menjadi salah
satu elemen penting di dalam penyelenggaraan pemilu.
Namun dalam banyak aktivitas pemantauan pemilu yang
dilakukan, fokusnya memang lebih banyak kepada memantau,
mencatat, mendokumentasikan (masih tidak terlalu rapi), dan
melaporkan ke pengawas pemilu kalau hasil pantauan ini
yaitu pelanggaran pemilu.
keikutsertaan politik kaum perempuan terkait
dengan kebijakan affirmative action terfokus pada bentuk
keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan secara
formal dalam institusi politik seperti parlemen, birokrasi,
atau partai politik. Dalam kaitan ini, yang menjadi dasar
pemikiran (rationale) utama pentingnya partisipasi politik
kaum perempuan di ranah politik khususnya yaitu terkait
dengan usaha membentuk warga demokrasi yang kuat
bersamaan dengan penegakan hukum dan prosedur-prosedur
demokrasi yang membutuhkan prasyarat mendasar adanya
keseimbangan partisipasi dan perwakilan politik antara kaum
perempuan dan laki-laki
Salah satu bentuk dari affirmative action yaitu
kebijakan kuota. Kuota yaitu persentase minimal yang
ditujukan untuk menjamin keseimbangan jumlah antara laki-
laki dan perempuan dalam jabatan politik secara menonjol
dapat mengubah berbagai kebijakan politik. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh International Parliamentary Union (IPU),
angka menonjol (atau biasa disebut dengan critical numbers)
yang dapat mempengaruhi kebijakan politik yaitu 30 persen
Dahlerup (2005) menjelaskan beberapa alasan
kontemporer mengapa keterwakilan perempuan itu sangat
penting: pertama – the justice argument – sebab setengah
penduduk dunia yaitu perempuan, sebab nya berhak untuk
menguasai setengah jumlah kursi yang tersedia di institusi
politik; kedua – the experience argument – perempuan memiliki
pengalaman yang berbeda (yang dikonstruksi secara biologis
maupun sosial) yang harus terwakili; ketiga – the interest group
argument – perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan
yang sebagian memang bertentangan dan sebab nya laki-laki
tidak dapat mewakili perempuan; keempat, terkait dengan
pentingnya politisi perempuan yang akan menjadi panutan (role
models) bagi perempuan lainnya untuk aktif di ranah politik.
Keterwakilan perempuan sebenarnya yaitu isu
politik yang masih membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan
oleh kaum perempuan. Para pemerhati perempuan sangat
yakin dan optimis bahwa dengan melibatkan perempuan
dalam proses pengambilan keputusan kebijakan, akan sangat
berdampak pada keadilan politik itu sendiri sebab perempuan
lebih sensitif pada kepentingan keluarga, anak, dan perempuan
(Irwan; 2009: 59). Affirmative action keterwakilan perempuan
dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR,
namun berlaku pula untuk DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota. Kuota diperlukan agar terjadi keseimbangan
dan untuk mencapai critical numbers (angka strategis).
Hak-hak politik kaum perempuan menetapkan
standar internasional untuk hak-hak politik kaum perempuan.
Sementara CEDAW menjadi dasar untuk mewujudkan
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki dengan
memberikan jaminan kesetaraan akses dan kesempatan dalam
kehidupan politik dan aktivitas publik lainnya, termasuk hak
untuk memberikan suara dan mengikuti pemilihan umum.
Upaya lainnya yaitu Beijing Declaration and Platform for
Action pada tahun 1995 yang yaitu kerangka kebijakan
global yang komprehensif untuk mencapai kesetaraan gender
dan pemberdayaan kaum perempuan.
Berbicara tentang konsep affirmative dalam praktiknya
di lapangan dilaksanakan dengan sistem kuota. Sistem ini
memang banyak menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Dalam
penelitian ini peneliti memakai konsep Melanie Reyes
salah satu peneliti dari Centre for Legislative Development.
Menurut Melanie Reyes, sistem kuota yaitu sebuah pilihan
antara memperoleh kutukan atau anugerah. Adapun makna
dalam sistem kuota ini yaitu :
(1) Sistem kuota pada dasarnya meletakkan persentase
minimum bagi kedua jenis kelamin, yakni laki-laki dan
perempuan, untuk memastikan adanya keseimbangan
posisi dan peran gender dari keduanya dalam dunia
politik, atau khususnya dalam pembuatan keputusan.
(2) Sistem kuota dimaknai sebagai pemberian kesempatan
dengan memaksakan sejumlah persentase tertentu
pada kelompok tertentu (perempuan). Sistem kuota ini
pada dasarnya tidak memiliki basis hukum yang kuat
alias tidak konstitusional. Belum lagi pernyataan yang
menyatakan bahwasistem kuota bertentangan dengan
hak-hak asasi manusia dan bahkan merendahkan
kemampuan perempuan itu sendiri.
Selain batas kuota minimal, bentuk afirmasi lain yang
dipakai untuk mendorong terpenuhinya keterwakilan
perempuan di parlemen yaitu reserved seat dan zipper
system. Reserved seat yaitu penetapan jumlah kursi yang
harus ditempati oleh perempuan secara minimal, dalam hal ini
30% setiap daerah pemilihan harus diwakili oleh perempuan.
Contohnya, daerah A yang memiliki jatah 3 kursi di DPR, maka
satu kursinya harus diisi oleh perempuan. jika daerah
B memiliki jatah 5 kursi, maka 2 kursinya harus diisi oleh
perempuan. Jika jatah kursi yang harus diambil oleh perempuan
tidak terisi, maka kursi ini harus dikosongkan dan tidak
boleh terisi oleh laki-laki. Sedangkan zipper svstern ditujukan
untuk memastikan agar perempuan dan laki-laki secara selang-
seling tertulis dalam daftar sehingga ada representasi yang
imbang antara kedua jenis kelamin itu dalam daftar pencalonan.
Aksi afirmasi telah terbukti menjadi cara efektif untuk
meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen.
HaI itu ditandai dengan terpenuhinya representasiperempuan
minimal 30% dalam lembaga legislatif di beberapa negara
berkat diberlakukannya aksi ini . Hingga saat ini, ada24
negara di dunia yang telah memenuhi keterwakilan perempuan
dalam parlemen di atas angka 30%. Posisi pertama ditempati
oleh Rwanda dengan 56,3% keterwakilan perempuan, lalu
secara berturut-turut diikuti Andorra (53,5%) di posisi kedua
dan Swedia (45%) di posisi ketiga. Sementara negara kita hanya
berada pada posisi ke-64 dengan keterwakilan perempuan18%
Lima negara yang memiliki keterwakilan perempuan
dalam parlemen terbanyak di dunia saat ini, seluruhnya telah
menerapkan aksi afirmasi. Sementara itu, dari 26 negara yang
memenuhi minimal 30% keterwakilan perempuan di parlemen,
hanya ada empat negara yang tidak memberlakukan aksi
afirmasi. Keempat negara itu yaitu Andora, New Zealand,
Belarus, dan Kuba. Berikut yaitu data atas sistem politik
dan aksi afirmasi yang diadopsi oleh 26 negara yang memenuhi
angka minimal 30% keterwakilan perempuan.
Berdasarkan sistem pemilu di atas, ada 17
negara memakai sistem proporsional dengan daftar, 5
negara dengan sistem suara terbanyak, dan hanya 3 negara
dengan sistem kombinasi. Sebanyak 17 negara dengan sistem
proporsional ini seluruhnya mengelaborasikan aksi
afirmasi berkisar dari angka minimal 30% hingga 50%. Berbeda
dengan 17 negara ini , negara dengan sistem kombinasi
dan sistem suara terbanyak tidak s epenuhnya mengadopsi
aksi afirmasi dalam sistern pemilu dan politiknya. Hanya
Jerman dengan sistem pemilu kombinasi yang memakai
jaminan kuota 30% caleg perempuan. Sementara Nepal,
Uganda, dan Tanzania memakai aksi afirmasi reserved seat
dalam sistem pemilunya. Dengan demikian, kolaborasi sistem
proporsional dengan daftar dan kuotalah yang rnendominasi
negara-negara berketerwakilan perempuan tertinggi di dunia.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini memakai penelitian kualitatif. Pengumpulan
data dengan cara observasi, wawancara, dan studi literatur.
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini yaitu reduksi
data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi.
Peran Koalisi Perempuan negara kita Dalam Meningkatkan
keikutsertaan Politik Perempuan
Koalisi Perempuan negara kita sebagai organisasi massa
perempuan meresponspartisipasi dan pelibatan warga
sipil dalam mengawal suara perempuan dan mendukung
terwujudnya 30% keterwakilan perempuan di DPR RI, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Koalisi Perempuan
negara kita merasa berkepentingan untuk menjadi pemantau
pemilu independen dalam Pemilu 2019. Tujuannnya yaitu
mengawal suara perempuan dalam bagian mendukung
partisipasi perempuan dalam pemilu.
Pada 21 September 2018, Koalisi Perempuan negara kita
telah mendaftar sebagai lembaga pemantau independen
dengan jumlah pemantau ±710 anggota yang tersebar di 15
provinsi (Aceh, Bengkulu, DI Yogyakarta, Jambi, Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur) dan 4 kabupaten/kota (Tarakan, Ternate, Manado, dan
Minahasa).
Fokus pemantauan Koalisi Perempuan negara kita
yaitu : (a) penyusunan pembuatan UU Pemilu, (b) pemungutan
dan penghitungan suara, (c) pendaftaran pemilih, (d)
pencalonan perempuan, (e) kampanye dan dana kampanye,
(f) pemilu akses pada pemilih disabilitas dan kelompok rentan
lainnya, (g) distribusi logistik, dan (h) pemantauan tahapan
pemilu melalui media sosial dan perangkat teknologi.
Pemantau Koalisi Perempuan negara kita harus
melakukan koordinasi dengan penyelenggara pemilu
dan sesama organisasi pemantau pemilu. Koordinasi dan
membangun jejaring kerja dengan penyelenggara pemilu dan
organisasi-organisasi pemantau pemilu diawali oleh pengurus
atau yang diberi mandat oleh pengurus. Setelah itu pemantau
dapat langsung berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu
sesuai tingkatan, yakni: (1) Pengurus Nasional atau yang
dimandatkan berkoordinasi dengan Bawaslu RI dan KPU RI;
(2) Pengurus Wilayah atau yang dimandatkan berkoordinasi
dengan Bawaslu dan KPU tingkat Provinsi; (3) Pengurus Cabang
atau yang dimandatkan berkoordinasi dengan Bawaslu dan
KPU tingkat Kabupaten/Kota dan penyelenggara pemilu
tingkat kecamatan; (4) Pengurus Balai Perempuan atau yang
dimandatkan berkoordinasi dengan Panitia Pengawas Pemilu
dan panitia pelaksana pemilu di tingkat desa/kelurahan dan di
tempat pemungutan suara (TPS).
Koalisi Perempuan negara kita dalam meningkatkan
partisipasi politik perempuan dikelompokkan menjadi 3
(tiga), yaitu: (1) pendidikan pemilih (voter education), Koalisi
Perempuan negara kita melakukan penedidikan pemilih yang
sasarannya kepada pemilih yang diluar peserta pemilu; (2)
pemantauan pemilu, Koalisi Perempuan negara kita melakukan
pemantauan Pemilu Serentak 2019 yang yaitu mitra
strategis Bawaslu RI; dan (3) advokasi, Koalisi Perempuan
negara kita melakukan peningkatan kapasitas caleg perempuan
tentang kepemiluan dan pemilu.
Pendidikan Pemilih (Voter Education)
Koalisi Perempuan negara kita dalam melakukan
pendidikan pemilih (voter education) memakai modul
“Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan di Komunitas” yang
berisikan materi: (1) Orientasi Peserta, (2) Kepentingan
Perempuan dan Negara, (3) Perempuan dan Pemilu, (4)
Memilih dan Mengawal Suara, dan (5) Evaluasi dan Rencana
Tindak Lanjut. Sasaran kegiatan pendidikan pemilih ini yaitu
pengurus, anggota, kader di 15 daerah (Aceh, Bengkulu, DI
Yogyakarta, Jambi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur). Peserta pendidikan pemilih
(voter education) berjumlah 908 orang. Kegiatan pendidikan
pemilih ini berlangsung selama 3 hari dan dilaksanakan di
rumah anggota Balai Perempuan yang berdomisili di desa/
kelurahan.
Pendidikan pemilih (voter education) yaitu kegiatan
yang dilakukan Koalisi Perempuan negara kita secara kontinu
setiap pemilu. Pendidikan pemilih dilakukan secara berjenjang
mulai dari tingkat desa/kelurahan (disebut Balai Perempuan),
kabupaten/kota (disebut Cabang), provinsi (disebut Wilayah),
dan nasional.
Pendidikan pemilihan diselenggarakan untuk
membangun kesadaran pemilih perempuan dalam
memakai hak pilihnya secara independen dan agar tidak
golput. Materi yang disampaikan pada setiap pendidikan
pemilih selalu diperbarui atau ter-update, terutama terkait UU
Pemilu.
Pemantauan Pemilu Koalisi Perempuan negara kita
Dalam kegiatan pemantauan, yang dilakukan
Koalisi Perempuan negara kita yaitu : (1) mendaftarkan dan
mendata anggota pemantau di 15 provinsi, (2) menyusun
dan mendistribusikan panduan pemantauan pemilu yang
dipakai di kalangan internal Koalisi Perempuan negara kita,
(3) membuat ceklist pemantauan 17 April 2019 di saat pungut
hitung di TPS, (4) peningkatan kapasitas pemantauan, (5)
berkordinasi dan bekerjasama dengan penyelenggara pemilu
(KPU dan Bawaslu) di setiap jenjang kecamatan, kabupaten/
kota, provinsi, dan nasional, (6) melakukan kampanye
bersama dengan jejaring warga sipil lainnya, yaitu
anti politik uang, tolak politik SARA dan hoaks, mendukung
keterwakilan perempuan, ayo ke TPS, dan wujudkan pemilu
luber jurdil 2019, dan (7) pembuatan laporan pemantauan.
Selain itu, Koalisi Perempuan negara kita membentuk Balai
Perempuan Pusat Informasi dan Pengaduan Advokasi (PIPA)
Pemilu di 15 provinsi. Selain berkoordinasi dan membangun
jejaring kerja dengan penyelenggara pemilu, pemantau pemilu
Koalisi Perempuan negara kita dapat melakukan koordinasi
dan membangun jejaring kerja dengan organisasi pemantau
lainnya atau organisasi bantuan hukum (OBH) yang melakukan
pemantauan atau membuka posko pengaduan, organisasi
atau kelompok warga yang tergabung dalam Gerakan
Pengawas Partisipatif Pemilu (Gempar Pemilu).
Koalisi Perempuan negara kita melakukan sosialisasi
tentang kepemiluan dan pemantauan di 15 provinsi denngan
anggota yang terdaftar sebagai anggota pemilu berjumlah 710
orang. Anggota pemantau pemilu memiliki pegangan dalam
pemantauannya dengan memakai panduan pemantauan
internal yang dimiliki Koalisi Perempuan negara kita, buku saku
pemantauan dari Bawaslu RI, checklist pemantauan yang
diisi oleh pemantau pada 17 April 2019 dikirim ke Sekretariat
Nasioanal melalui email dan whatshapp dan komunikasi
antarpemantauan di 15 provinsi dengan membuat grup
whatshapp.
Koalisi Perempuan negara kita menemukan beberapa
temuan dalam pemantauannya di 15 provinsi. Pertama, TPS yang
tidak ramah dan aksesibel kepada pemilih ibu hamil, lanjut usia
(lansia), dan penyandang disabilitas sehingga menjadi penting
penempatan TPS kedepannya. Kedua, ukuran kertas surat suara
yang besar dan jenis warnanya yang masih merepotkan pemilih
dalam mencoblos, melipat, dan memasukkan kertas surat
suara di kotak yang disediakan sehingga pemilu kedepannya
penting untuk menyederhanakan ukuran kertas surat suara dan
sosialisasi terkait jenis surat suaranya. Ketiga, waktu panjang
hingga subuh dan diulang baik dalam penghitungan suara dan
pengisian formulir berita acara yang masih kurang dipahami
petugas KPPS sehingga banyak coretan sehingga menjadi
penting dalam rekrutmen dalam penyelenggara di tingkatan
TPS, termasuk peningkatan kapasitas dalam pelatihan
pengisian formulir berita acara. Selain itu, cek kesehatan bagi
penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) secara berjenjang
agar tidak ada lagi korban jiwa sehingga perlu ada sebaiknya
menata ulang jam kerja dan asuransi kesehatan. Keempat,
masih minimnya sosialisasi kepada pemilih terkait mekanisme
pemberian hak suara bagi pemilih. Misalnya informasi A5 dan
C6, dilapangan banyak pemantauan mendapati banyak pemilih
yang tidak memberikan suaranya sebab minimnya informasi.
Sosialisasi calon legislatif dan DPD kurang optimal sebab
pemilih banyak yang kurang mengenal calon-calon DPR/DPRD
dan DPD, apalagi tidak ada foto mereka dalam surat suara.
Yang ada hanya nomor urut dan nama caleg, sehingga pemilih
cenderung mencoblos partai politiknya, apalagi pemilih yang
buta aksara. Ditambah lagi dengan masih ditemukannya
pemilih yang belum bisa mecoblos dengan benar sehingga
ditemukan surat suara yang tidak sah.
Dalam pemantauan Pemilu 2019 Koalisi Perempuan
negara kita menghadapi kendala, yaitu: (1) keterbatasan
pemantau perempuan yang kurang paham teknologi dan
menarasikan temuan, (2) masih terbatasnya pemahaman
tentang regulasi (perundang-undangan) penyelenggaraan
pemilu, (3) terbatasnya peningkatan kapasitas anggota
pemantau sehingga aktivitas pemantauannya belum bisa
maksimal, (4) komunikasi dengan penyelenggara pemilu (KPU
dan Bawaslu) yang masih mengalami kesulitan, dan (5) sebagian
besar dugaan pelanggaran pemilu yang ditemukan pemantau
masih diselesaikan secara damai dan bukti-bukti pelaporan
yang dianggap masih kurang lengkap oleh penyelenggara
pemilu.
Advokasi Koalisi Perempuan negara kita
Advokasi oleh Koalisi Perempuan negara kita dilakukan
lewat kegiatan pelatihan (training) peningkatan kapasitas
caleg perempuan yang berasal dari anggota atau kader Koalisi
Perempuan negara kita. Sasaran pelatihan yaitu peningkatan
pemahaman kepemiluan dan pemantauan dalam Pemilu
Serentak 2019. Dalam rangka melakukan dukungan partisipasi
politik perempuan untuk mewujudkan 30% keterwakilan
perempuan di parlemen, Koalisi Perempuan mengadakan
pelatihan peningkatan pemahaman calon legislatif perempuan
tentang kepemiluan dan pemantauan Pemilu Serentak 2019
yang dilakukan di 15 provinsi. Pelatihan calon legislatif ini
yaitu program Koalisi Perempuan negara kita yang
pertama kalinya diadakan pada Pemilu 2019. Jumlah peserta
kegiatan pelatihan ini a dalah 238 orang.
Sebaran Asal Daerah Pemilihan Calon Legislatif Perempuan Koalisi
Perempuan negara kita Terpilih dalam Pemilu 2019
Kondisi di lapangan menunjukkan partisipasi warga
negara “perempuan” dalam bidang politik masih rendah atau
lemah. Secara kuantitatif masih sedikit sekali perempuan yang
secara aktif terlibat dalam bidang politik. Disisi lain, partisipasi
perempuan lemah sebab meskipun perempuan berhasil
mempertahankan posisinya di arena politik, mereka kurang
terlihat memiliki jaringan pendukung untuk menghelanya,
mereka minim keterampilan, dan sering kali lebih menjadi
perimbangan gender dibandingkan kekuatan politik sesungguhnya.
sebab itu, peningkatan SDM perempuan disegala bidang
kehidupan, terutama bidang politik, yaitu hal yang
tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, Pemilu Serentak 2019
menunjukkan 51% perempuan masuk dalam DPT yang
mengalami perbaikan oleh KPU selama 3 (tiga) kali. Disamping
itu, masih menjadi perjuangan panjang dalam mengubah
stigmatisasi bahwa perempuan hanya dijadikan obyek saat
pemilu, yaitu pengepul suara dalam pencalonan legislatif.
Perempuan dan politik yaitu rangkaian kata yang
sering kali dijadikan slogan oleh partai politik menjelang
pemilu. Slogan ini dimaksudkan sebagai kampanye agar
perempuan tertarik menyumbangkan suaranya pada partai
politik. Namun hal ini sepertinya hanya sebatas slogan,
sebab saat pemilu berakhir partai politik pun lupa akan
janjinya.
Kebijakan afirmatif yang ditempuh dalam rangka
meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen yaitu
konsekuensi hukum logis dari usaha pemenuhan HAM warga
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta pemenuhan kewajiban
negara untuk melaksanakan berbagai ketentuan hukum HAM
Internasional (Konvensi HAM) yang telah diratifikasi oleh
negara kita dalam pelbagai peraturan perundang-undangan.
Kenyaataan terkait regulasi pemilu di negara kita, senantiasa
terjadi perubahan untuk menyesuaikan tuntutan zaman; mulai
dariUndang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum,
UU Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum, UU Nomor
22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 15/2011
tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 2/2008 tentang
Partai Politik, UU Nomor 8/2012 tentang Pemilihan Umum,
dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah
caleg perempuan pada Pemilu 2019 mencapai 3.194 atau
sudah memenuhi kuota 30% caleg perempuan seperti yang
diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Angka itu meningkat
hampir 50% dari Pemilu 2014 yang sebesar 2.467 orang.Dari
14 partai politik nasional, ada empat partai yang mencalonkan
perempuan paling banyak, yakni Partai Golkar, disusul
Demokrat, NasDem, Gerindra, dan PDI Perjuangan.Kebijakan
tentang kuota 30% keterwakilan perempuan dirumuskan
dalam tiga undang-undang yang mengharuskan partai politik
menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam
pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Jumlah keterwakilan perempuan pada Pemilu
Serentak 2019 memang mengalami kenaikan dengan 21% dari
seluruh slot anggota dewan, yaitu 120 kursi legislatif perempuan
dan 455 legislatif laki-laki dengan jumlah kursi 575 di DPR RI.
Sementara itu, pada Pemilu 2009, keterwakilan perempuan
di kursi anggota dewan sedikit lebih tinggi ketimbang 2014.
Pada masa itu, perempuan menduduki 101 kursi dewan atau
18%.Sedangkan pada 2004, keterlibatan perempuan di bangku
parlemen tercatat paling rendah. Pada masa itu, hanya 61 orang
perempuan terdata sebagai anggota parlemen. Itu artinya,
hanya 11% perempuan menguasai kursi DPR.
4.
Sejarah Pemilu Pasca Reformasi dalam Keterwakilan
Perempuan DPR RI
4 menunjukkan adanya peningkatan pada
Pemilu Serentak 2019 yang terhitung tertinggi dari
pemilu sebelumnya. Pemilu 2019 menunjukkan 21%
keterwakilan perempuan dengan jumlah 120 calon legislatif
perempuan yang terpilih. Sembilan partai politik yang
lolos ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold
(PT) pada Pemilu 2019 yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB,
Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.
Diagram 3.
Persentase Jumlah Kursi DPR RI Terpilih Berdasarkan Jenis
Kelamin dalam Pemilu 2019
Pencapaian terbaik Pemilu 2019 jumlah 30%
keterwakilan perempuan, baik dalam pencalonan maupun
calon l egislatif perempuan terpilih, yaitu Nasdem dan PKS.
Daerah pemilihan dengan calon legislatif perempuan terpilih
Pemilu 2019 terbanyak yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Sedangkan daerah pemilihan tanpa calon legislatif
yang terpilih atau tidak ada perwakilan perempuan yaitu : (1)
Aceh II, (2) Riau (I dan II), (3) Babel, (4) Kepri, (5) Lampung I,
(6) DKI III, (7) Jawa Tengah (I dan X), (8) Jawa Timur (IV dan
XI), (9) Bali, (10) NTB I, (11) NTT I, (12) Kalimantan Barat I, (13)
Kalimantan Selatan (I dan II), (14) Kalimantan Tenggara, dan
(15) Papua Barat.
Diagram 4.
Persentase Jumlah Kursi DPD RI Terpilih Berdasarkan
Jenis Kelamin dalam Pemilu 2019
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan tren kenaikan
representasi perempuan di lembaga legislatif tingkat nasional,
pada DPR RIberjumlah 120 orangdari 575 kursi yang ada (21%)
dan DPD RIsejumlah 45 orang dari 136 kursi yang ada (33%).
Kenaikan ini yaitu capaian menonjol , terutama jika
ditelusuri angka keterwakilan perempuan yang diperoleh
dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Capaian keterwakilan
perempuan pada konteks politik elektoral sebenarnya juga
didukung oleh dua peraturan teknis, yakni; Surat Keputusan
(SK Kemenkumham) tentang Kepengurusan Partai
Politik yang mewajibkan minimal 30% perempuan dalam
kepengurusan Dewan Pengurus Pusat (DPP) sebagai syarat
menjadi peserta pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) yang mewajibkan partai mencantumkan minimal 30%
perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk setiap
daerah pemilihan. Dengan kata lain, serangkaian usaha
meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
dilakukan di berbagai lini melampaui tiga siklus pemilu hingga
persentasenya meningkat menonjol seperti sekarang.
Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dapat
direfleksikan sebagai wujud dari hasil usaha partai mendorong
pemenuhan prinsip kesetaraan gender. Hal ini perlu dipahami
dengan konteks kebijakan afirmatif untuk peningkatan peran
perempuan sebagai anggota legislatif maupun pengurus
partai politik yang disandarkan sepenuhnya pada kemauan
serta komitmen internal partai. Data pencalonan pada Pemilu
2019 menunjukkan bahwa justru sejumlah partai barulah yang
tinggi persentase pencalonan perempuannya.
5.
Nomor Urut Calon Legislatif Perempuan
Terpilih Pemilu 2019
Tren pemilih dalam memilih calon legislatif
perempuan masih berorientasi pada nomor urut 1, 2, dan 3.
Alasan mayoritas pemilih yaitu calon bernomor urut itu
paling gampang dicoblos dan paling mudah diingat. Oleh
sebab nya para calon legislative, baik calon laki-laki maupun
perempuan, masih menganggap penting nomor urut dalam
pencalonannya. Meskipun untuk memperoleh nomor urut 1,
2, dan 3 butuh ekstra perjuangan, yaitu logistik yang dimiliki
oleh seorang calon legislatif, kedekatan dengan pengurus
parpol atau dirinya sebagai pengurus partai politik, dan basis
massa atau jaringan maupun popularitas. Hal inilah yang
menjadi nilai tawar calon legislatif kepada partai politik dalam
penentuan nomor urutnya.
6
Latar Belakang Calon Legislatif Perempuan
Terpilih Pemilu 2019
Keterpilihan perempuan sebagai anggota legislatif
DPR, DPD, dan DPRD yaitu salah satu isu strategis
yang ramai diperbincangkan menjelang Pemilu 2019.
Persentase 21% calon legislatif perempuan terpilih dalam
parlemen menorehkan sejarahnya dalam negeri ini pasca
reformasi tentang kepemiluan dan gerakan perempuan dalam
mewujudkan keterwakilan perempuan di posisi pengambilan
kebijakan publik yang berpihak pada pemenuhan kebutuhan
perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya. Hal itu sebab
representasi politik perempuan di lembaga legislatif, sejak
berlakunya kebijakan afirmatif pada Pemilu 2004 hingga saat
ini, masih rendah meski pencalonannya tinggi.Meski demikian,
pertambahan persentase 3% ini dinilai tak akan banyak
berpengaruh sehingga memberikan tantangan bagi kelompok
perempuan ini harus mampu meningkatkan kualitas
dan menambah jaringan.
347
Diagram 5.
Persentase Latar Belakang Calon Legislatif Perempuan Terpilih
Pemilu 2019
Berdasarkan Diagram 5, mayoritas persentase
keterpilihan calon legislatif perempuan yaitu 39% (46
orang) petahana/anggota DPR 2014-2019, 25% (30 orang)
memiliki pengalaman organisasi/jaringan dan menjabat
sebagai pengurus partai politik, dan 24% (29 orang) memiliki
kekerabatan politik dan elite (misalnya anak pejabat/pimpinan
partai politik, istri pejabat, dan lain-lainnya). Sedangkan yang
lainnya, calon legislatif perempuan yang terpilih Pemilu 2019
berlatar belakang sebagai seleberiti/artis dan profesional (staf,
dosen, guru, dan lainnya).
Pencapaian keterwakilan perempuan di legislatif
nasional yaitu hal yang patut dirayakan dengan sebuah
catatan kritis, yakni keragaman latar belakang mereka.
Keragaman latar belakang dapat dipetakan secara luas
meliputi profil caleg sebagai petahana, kader partai, aktivis,
kekerabatan, selebriti/artis dan elite ekonomi.
jika dikaji dalam konteks untuk melihat kapasitas
anggota legislatif perempuan dan mendorong peningkatan
keterwakilan perempuan pada posisi pimpinan lembaga
legislatif.; Diagram 4 data hasil Pemilu 2019 menunjukkan
bahwa dari 120 caleg perempuan terpilih di DPR RI, sebanyak
46 orang (39%) yaitu petahana dan pernah menjabat sebagai
anggota legislatif di nasional maupun lokal meskipun bukan
petahana. Hal ini berarti lebih dari setengah caleg perempuan
348
terpilih di DPR RI tercatat berpengalaman sebagai anggota
legislatif. Hal ini menjadi dasar untuk menyebut angka
representasi 21% bukan sekadar capaian, tapi juga investasi
politik perempuan yang perlu dikelola oleh lintas partai politik
dan peluang untuk mewujudkan prinsip kesetaraan.
Kampanye yaitu metode caleg untuk menyampaikan
suatu pesan yang berisi tentang ajakan kepada warga
atau mempengaruhi warga agar memilih caleg ini .
Pemilihan Legislatif 2019 menyisakan peta persaingan yang
ketat antar caleg perempuan. Strategi kampanye pemilu
harus dikemas dengan baik oleh para caleg agar pesan yang di
sampaikan dapat diterima pemilih. Dalam hal ini strategi yang
umumnya dipakai calon legislatif perempuan terpilih dapat
dikelompokkan dalam media kampanye, metode kampanye,
jaringan, tim sukses, pemetaan wilayah, dan isu strategis.
Faktor-faktor pendukung ketercapaian 21%
keterwakilan perempuan di parlemen dipicu
oleh:pertama,petahana (incumbent) mencalonkan diri
sehingga memakai pengalamannya dalam membuat
strategi pemenangan dalam berkontestasi pada Pemilu 2019.
Pengalaman menjadi anggota incumbent kini memudahkan
para caleg untuk dikenal di warga. Caleg incumbent
dipandang lebih mudah terpilih dibandingkan caleg baru,
sebab mereka sudah lama bekerja, sudah bersosialisasi sejak
lama, dan pemilihpun sudah banyak yang kenal. Popularitas,
akses ke sumber daya kampanye, dan pengaruh atas birokrasi
yang melekat pada pemegang kekuasaan, yaitu suatu
modal politik yang besar bagi kandidat incumbent. Formula
penetapan calon terpilih memakai suara terbanyak
menguntungkan calon populer/ calon incumbent. Popularitas
calon juga bisa diangkat melaluikampanye mobilisasi sosial,
seperti tatap muka, simulasi, dan kunjungan kepada warga
(Fitriyah. 2013).
Kedua, penempatan nomor urut yang bagus atau
kunci. Penempatan nomor urut caleg perempuan diatur juga
dalam UU tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD. Nomor urut
dalam pencalonan memiliki andil yang cukup menonjol bagi
keterpilihan caleg perempuanPertimbangan partai politik
349
dalam penempatan nomor urut caleg perempuan berdasarkan
pada tingkat loyalitas, jabatan di partai, dan telah lama menjadi
anggota partai.
Ketiga, modal politik.Modal politik ini tidak hanya
dari jalinan kekerabatan dengan elite politik melainkan
jaringan dari struktural partai, hubungan pertemanan serta
organisasi sosial yang pernah meraka ikuti. Hasil analisis dari
keterpilihan caleg perempuan dalam Pemilu Serentak 2019,
merekamemiliki basis jaringan yang kuat.Hampir semua
caleg perempuan terpilih dilatarbelakangi aktivis organisasi,
baik politik, sosial, dan profesi. Keuntungan memiliki jaringan
politik yang kuat, misalnya dari elite politik atau pimpinan
partai, membantu mensosialisasikan caleg ke warga,
membantu memperoleh nomor urut kecil, dan dapil strategis.
Jaringan sosial/profesi lebih berperan untuk menjadi tim sukses
dan sebagai target suara yang akan digarap.
Keempat, modal ekonomi berkaitan dengan
kemampuan caleg dalam mengakomodasi kekuatan ekonomi
yang dimiliki dalam mencari pemilih. Modal ekonomi caleg
dalam bentuk dana yang dipakai untuk penggerak seperti
penyediaan alat-alat kampanye, dan kunjungan-kunjungan
ke dapil maupun konstituen atau jaringan. Hal ini
tidak dimungkiri pula memerlukan dana yang tidak sedikit.
Membangun jaringanpun memerlukan modal ekonomi yang
tidak sedikit, bahkan untuk meyakinkan warga juga perlu
modal ekonomi. Tidak jarang modal itu juga ada yang secara
langsung dipakai untuk mempengaruhi pemilih, contohnya
yaitu praktikmoney politic (Kacung Marijan. 2012).
Kelima, modal sosial.Dalam konteks pencalegan,
modal sosial menjadi salah satu syarat untuk memperoleh
kepercayaan warga. Hasil penelitian dengan caleg
perempuan terpilih menunjukkan pentingnya membangun
kepercayaan warga sebagai modal sosial terpilihnya
para caleg ini . Akan namun butuh waktu yang lama untuk
membangun modal sosial, sebab memunculkan rasa percaya
setiap warga itu berbeda-beda. Apalagi bagi caleg
perempuan, lebih sulit warga memberikan kepercayaan
untuk perempuan menjadi wakil rakyat.
350
Keenam, daerah peemilihan yang strategis.
Penempatan caleg di dapil strategis memberikan peluang
keterpilihan. Dapat dikatakan dapil strategis jika penempatan
caleg ada di wilayah basis partai, tanah kelahiran, atau domisili.
Jika para caleg perempuan ditempatkan pada dapil strategis,
hal itu lebih memudahkan mereka untuk menggarap pemilih,
sekalipunsebelumnya tetap harus melakukan pengenalan
wilayah bagi setiap caleg perempuan. Pengenalan dapil sangat
penting bagi para caleg perempuan, sebab dapil yaitu
medan perang untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya.
Dapil strategis ini menjadi salah satu pendorong bagi tiap caleg
perempuan jika dapil strategis memiliki basis massa yang kuat
dan yaitu domisili.
Ketujuh, tim sukses solid. Para caleg biasanya merekrut
tim sukses dari jaringan, saudara, keluarga, relawan yang
menawarkan diri, atau perorangan dari tiap-tiap wilayah
sesuai strategi dari masing-masing caleg. Tidak semua tim
sukses loyal terhadap calegnya, banyak juga tim sukses yang
menperjualbelikan suara. Memiliki tim sukses yang solid
yaitu keuntungan bagi caleg, sebab tidak salah dalam
memilih tim sukses. Tim sukses yang solid dibangun caleg
dengan menumbuhkan sikap terbuka antara tim sukses dan
calon legislatif. Soliditas tim sukses biasanya terlihat saat
adanya indikasi kecurangan lawan untuk membeli suara atau
kecurangan lainnya.
Faktor-faktor penghambat yang dihadapi tidak
tercapainya 30% keterwakilan perempuan parlemen di
negara kita dipicu dua faktor, yaitu faktor kultural dan
faktor struktural.Kultur politik patriarki masih melekat dalam
konstruksi tradisi warga negara kita. Hal itu dipengaruhi
oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, persepsi perempuan
terhadap aktivitas politik tergolong menakutkan, dengan
berbagai pandangan bahwa kegiatan pada rapat-rapat partai
dilaksanakan di malam hari hingga larut malam, kompetisi
yang cenderung ketat dan kotor dengan menghalalkan segala
cara untuk mencapai kekuasaannya, hukum rimba dalam
organisasi politik yang masih sering kali terjadi, dan berbagai
perspektif negatif yang masih tertanam kuat, terutama dalam
351
pemikiran warga awam, yang melihat perilaku ini
sebagai dianggap bertentangan dengan nilai-nilai etika dan
moralitas yang berlaku di warga serta menyimpang dari
kodrat sebagai perempuan.
Kedua, berkurangnya kesempatan perempuan dalam
arena politik disebab kan peran domestik yang melekat
dalam kehidupan keluarganya, peran itu dimaknai secara
fatalistik. Peran perempuan dalam rumah tangga masih
menimbulkan sebuah kontroversi bagi sebagian kalangan,
terkait dengan status seorang istri yang menjadi pelengkap
bagi suaminya, kepatuhan yang dibangun didasarkan
pada sebuah pengambilan kebijakan yang berdampak
dalam kehidupan rumah tangganya, baik dalam tataran
privat maupun publik. Namun pada realitas kehidupan di
warga,perkembangan kesetaraan gender semakin kuat
mengalami perubahan, peningkatan perempuan yang bekerja
di sekor publik sudah semakin besar bahkan meningkat
melebihi peran laki-laki dalam sektor ekonomi non-pertanian.
Perlu sebuah dukungan dari internal lingkungan terutama bagi
suami dengan mendorong dan mewujudkan sebuah kesadaran
akan ruang yang menjadi hak publik bagi perempuan dengan
kesetaraan dan keadilan dalam implementasi gender. Menjadi
tanggungjawab bagi perempuan yang berada di sektor publik
untuk menjaga dalam amanah kepercayaan yang berada
dipundaknya.
Ketiga, rendahnya keterwakilan perempuan dalam
arena politik yaitu sebab pandangan agama yang
memberikan batasan-batasan kepada perempuan terhadap
kebijakan politiknya, bahwa suami sudah menjadi representasi
dari seorang istri. Artinya bahwa perempuan dalam menentukan
pilihan dan keputusan terhadap sikap politiknya sudah cukup
diwakili oleh suaminya, sehingga semakin menyempitkan
pemikiran warga, terutama perempuan, bahwa politik itu
dianut oleh kaum patriarki dengan representasi dari lingkungan
keluarga. Diperlukan penyadaran kepada warga bahwa
semua warga negara memiliki hak yang sama terhadap
kebijakan pemerintah dalam peraturan yang diberlakukan,
kebijakan ekonomi, pendidikan, politik, dan lain sebagainya.
352
Faktor kedua yang mempengaruhi rendahnya
partisipasi dan keterwakilan perempuan di parlemen yaitu
faktor struktural. Keterlibatan perempuan secara penuh dan
luas dalam pembangunan politik menjadi terhambat dengan
keberadaan struktural dalam sistem rekrutmen politik yang
kurang peka asas gender dengan keterwakilan, kesetaraan, dan
keadilannya. Hal itu memperkecil peluang kandidatperempuan
dalam daftar calon anggota legislatif. Fakta Pemilu 2019
mengindikasikan bahwa sistem rekrutmen partai politik masih
patriarki. Fakta ini menjadikan konotasi yang relevan dengan
keberadaan perempuan di lembaga partai politik yang secara
struktural masih didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga
mengindikasikan adanya kendala struktur. Begitu juga dengan
akses perempuan dalam struktur partai politik yang masih
lemah dengan peluang pada posisi strategis yang masih sulit
untuk diakses.
Peningkatan partisipasi pemilih perempuan belum
bisa berkorelasi secara menonjol terhadap peningkatan
keterwakilan perempuan dalam politik. Hal ini mempersulit
tingkat keterpilihan kaum perempuan dalam pemilihan anggota
legislatif, sehingga kebijakan-kebijakan terkait sensitivitas
gender akan sulit untuk dilakukan. Apalagi ditambah dengan
tingkat pendidikan perempuan yang masih jauh dari kaum
laki-laki sebagai faktor struktural yang mempengaruhi
kesiapan mental secara umum melalui organisasi-organisasi
kewargaan ataupun partai politik. Perempuan yang eksis
dalam dunia politik, lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan
keluarga (orang tua, saudara, ataupun suami) dan warga
yang mendukung, dan ditunjang oleh kondisi yang sudah
mapan secara ekonomi, profesi, dan strata sosialnya.
Dunia politik dengan berbagai argumentasinya
mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan kepada siapa
saja, tidak memandang jenis kelaminnya. Dalam pengambilan
kebijakan, tentunya kualitas dan akuntabilitas menjadi hal yang
utama yang harus dikedepankan, bukan siapa yang melakukan,
akan namun apa yang akan dilakukan.
Daftar caleg perempuan disinyalir masih menjadi
sebuah simbol partai politik untuk mendulang suara partai,
353
sehingga orientasinya hanyalah pada memperebutkan jumlah
suara dengan “buta” terhadap konstituen yang memilihnya.
Kondisi ini menjadi sebuah “blunder” bagi caleg perempuan
saat terpilih menjadi anggota dewan tanpa mengetahui
arah kebijakan yang harus dilakukan dan strategi terhadap
peningkatan kaumnya dalam kesetaraan dan keadilan
gender, sehingga dapat mengaburkan fungsi representasi
dan keterwakilan perempuan terhadap tujuan kesetaraan dan
keadilan yang lebih baik.
Kedua, keberadaan kaum laki-laki dengan bermitra
untuk agresivitas gender menjadi bagian dalam kesuksesan
kesetaraan dan keadilan gender di parlemen. Preferensi
perempuan tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan, laki-laki
yang peduli dengan gender berhak untuk memiliki preferensi
perempuan atau dapat dikatakan jugasebagai feminimisme,
bukan sebab jenis kelaminnya akan namun sebab kesadarannya
terhadap kesetaraan gender yang harus terus dibangun dan
disinergikan dengan keberadaan perempuan dalam dunia
politik. Dinamika politik tidak hanya dipahami sebagai dunia
kaum laki-laki, kaum perempuan memiliki hak yang sama
dalam mewarnai dinamika perpolitikan, terutama dalam
perencanaan dan pengambilan kebijakan.
Ketiga, track record para anggota parlemen
perempuan, yang memiliki kualitas dan potensi, menjadi
kesulitan dalam memberikan pertimbangan dan mengajukan,
serta mengungkapkan preferensi perempuan, disebab kan
akan menghadapi prejudis dan stereotipe terhadap dirinya
sendiri yang masih kuat di parlemen dan dalam partai politik.
Incumbent yang ingin mencalonkan diri kembali harus
dipusingkan dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang
diyakini telah mempersiapkan strategi jitu untuk merebut
suara di dapil mereka. Begitu pula sebaliknya, pengalaman
yang minim dalam memetakan wilayah menjadi salah satu
kendala newcomer dalam menjalankan strateginya. Ditambah
lagi, tidak mudah merebut suara pemilih di suatu dapil yang
telah dikondisikan oleh seorang incumbent.
Keempat, sistem elite politik yang dibangun. Para elite
politik kurang maksimal memberikan peluang dan dukungan
354
terhadap kesetaraan gender dalam perpolitikan. Kedekatan
dengan elite politik dan pengurus partai politik sangat
berpengaruh terhadap penempatan nomor urut bagus dan
daerah pemilihan (dapil) bagi calon legislatif perempuan. Masih
minimnya kesadaran berorganisasi di kalangan perempuan
sehingga jaringan dan pengalaman menjabat sebagai
organisasi terbatas, padahal ini salah satu yang diperlukan
partai politik menjadikan nilai tawarnya sebab dianggap
memiliki basis massa dan dikenal warga. Hal inilah yang
membuat partai politik mencalonkan perempuan hanya sebagai
pelengkap administrasi atau memenuhi syarat administrasi
saja. Pada umumnya, partai politik tidak memiliki itikad
baik atau keseriusan dalam keberpihakan pada peningkatan
keterwakilan perempuan. Hal ini tercermin dari penempatan
nomor urut yang bagus pada pencalonan legislatif perempuan.
Partai politik bisa menempatkan nomor urut bagus atau kunci
jika seorang kandidat dinilai memiliki jaringan dan basis massa
yang diperoleh dari pengalamannya dalam berorganisasi dan
logistik. Partai politik mencalonkan dan menempatkan nomor
urut bagus biasanya berdasarkan pada kekerabatan dan elite
politik (misalnya, isteri, anak dan keluarga pejabat) sebab
mereka menganggap peluang untuk jadi caleg jadi atau lolos
lebih besar.
Peluang untuk memberikan ruang yang lebih besar
terhadap keterwakilan perempuan hilang dalam sebuah
arena perebutan kekuasaan. Secara prinsip sesungguhnya
pertarungan politik bukan untuk memperebutkan kekuasaan.
Amanat yang diberi oleh rakyat yang ditaruh diatas pundak
wakil rakyat yaitu sesuatu yang harus diimplementasikan
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan diri
sendiri ataupun golongannya dengan harapan kesejahteraan
yang merata dan keadilan yang setara serta kebijaksanaan bagi
seluruh rakyat negara kita.
Kelima, dukungan media terhadap kesetaraan gender.
Media massa dan media cetak sebagai salah satu pilar penting
dalam demokrasi, strategi pemberitaan media massa ikut
menentukan hitam putihnya kekuatan politik untuk merebut hati
rakyat. Media massa sering dijadikan partner dalam berbagai
355
aktivitas politik di negara-negara maju. Tujuannya yaitu
untuk menghimpun suara serta memperoleh legitimasi dari
warga. Media menjadi suatu bagian dalam pembentukan
opini publik. Sebagai bentuk kebebasan pers, media menjadi
tumpuan dalam proses mensukseskan gender dalam parlemen
yang lebih profesional dan berkualitas. Tentunya peran media
dituntut untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam
pemenuhan terhadap keterwakilan gender. Media masih belum
secara fokus dan konkret dalam menciptakan opini gender dan
keterwakilan di parlemen, sehingga pembentukan pemikiran
terhadap keberadaan gender masih terngiang dalam ranah
retorika belaka. Kurang maksimalnya peran media dalam
kesetaraan gender penting menjadi koreksi bersama untuk
melakukan sebuah perubahan paradigma warga terhadap
peran perempuan dalam dunia politik dan merepresentasikan
keterwakilannya dalam berbagai kebijakan afirmasi yang
sudah dilakukan.Keterkaitan media massa maupun media
cetak dengan politik disinyalir memberikan pengaruh terutama
dalam pembentukan citra politikus. Melalui media massa dan
media cetak, akan diinformasikan berita-berita yang positif
berupa perilaku baik dari politikus yang turut dalam kegiatan
sosial dan peduli lingkungan sehingga akan membentuk
pendapat umum tertentu bagi yang mereka menyaksikannya.
Oleh sebab itu, pemanfaatan media massa secara maksimal
akan dibutuhkan dalam menarik hati pemilih untuk memilih
calon legislatif perempuan.
Keenam, jaringan. Minimnya networking elemen
warga dalam mengawal kesetaraan gender dalam ranah
politik berhadapan dengan realitas bahwa pengarustamaan
gender harus dilakukan secara bersama-sama antara
warga, pemerintah, dan elemen penting bangsa negara kita
untuk memperjuangkan klaster perempuan di ruang politik
yang lebih baik. Dukungandan kerjasama yang dibangun harus
atas dasar keadilan, kesetaraan, dan kebaikan bersama untuk
kemajuan bangsa yang lebih baik dan lebih adil.
Ketujuh, perundang-undangan kepemiluan berdampak
pada orientasi partai politik dengan Pemilu Serentak 2019
dimana pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu legislatif
356
memberikan pengaruh adanya beban kerja politik bagi calon
legislatif. Mereka selain harus mengkampanyekan dirinya
juga harus mengkampanyekan presiden/wakil presiden
yang diusung oleh partainya. Parliamentary Threshold (PT)
berdampak pada partai politik untuk bisa lolos ambang batas
sehingga mengusung calon-calon legislatif dari kalangan
kekerabatan, elite politik, selebriti atau artis, dan elite ekonomi
(pengusaha, dan lain-lain).
Kenyataanya, anggota dewan enggan mengesahkan
RUU, termasuk RUU yang berkaitan dengan perlindungan
perempuan yaitu sikap koruptif yang mendarah-daging. Sikap
koruptif ini yang kemudian menjadi fenomena intoleran yang
terstruktur terhadap kepentingan perempuan. Kepentingan
perempuan masih dianggap ornamen pelengkap perundang-
undangan dan bukan hal mendesak. Maka pentingnya
support dari sesama anggota legislatif perempuan dibutuhkan
untuk bisa saling menguatkan. Sisterhood itu sangat berarti
bagi kerja-kerja politik perempuan di DPR.
Berbagai usaha dalam menghadapi masalah-masalah
seperti yang telah diutarakan sebelumnya memberikan
tantangan bahwa perempuan perlu menunjukkan kualitas
mereka sebagai anggota legislatif. Anggota legislatif perempuan
perlu melakukan capacity building untuk menyadarkan
pemahaman bahwa mereka hadir mewakili perempuan.
Dalam hal ini, sebagai anggota legislatif, perempuan juga perlu
dibantu oleh gerakan warga sipil. Realitas saat ini di parpol
yaitu sedikit sekali perempuan yang memiliki personality dan
kapabilitas yang kuat, sehingga menempatkan perempuan
sebagai pimpinan di parlemen yaitu pekerjaan rumah
kita bersama. Peningkatan kapasitas ini bisa dilakukan
salah satunya dengan memberikan feeding kepada anggota
perempuan tentang permasalahan dan kepentingan yang
dihadapi perempuan, sebab faktanya data yang dimiliki
organisasi warga sipil atau NGO lebih detail dari
ketimbang dari anggota dewan itu sendiri. Perempuan di
parlemen seringkali kesulitan saat harus menyuarakan isu-isu
yang jauh dari agenda perempuan, misalnya isu pertanahan.
Padahal penting untuk menghadirkan perspektif perempuan
357
pada isu-isu ini . Pada isu-isu inilah organisasi warga
sipil atau NGO yang berfokus pada kepentingan perempuan
juga sangat diharapkan masukannya.
Lambannya peningkatan jumlah perempuan di
parlemen, secara khusus sangat terkait dengan sistem pemilu
yang diberlakukan. Di negara kita, isu keterwakilan perempuan
memperoleh tempat sejak diterapkannya kuota 30% pada
Pemilu 2004, namun hingga berlangsungnya Pemilu 2014
jumlah perempuan di parlemen nasional berkurang 22 kursi
dibandingkan Pemilu 2009. Selain itu, Pemilu 2019melihat
kontribusi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu terhadap usaha
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dengan
sistem pemilu yang proporsional, sistem kuota, dan empat
unsur mutlak yang membentuk sistem pemilu seperti
districtmagnitude, nomination,balloting, dan electoral formulae;
menunjukkan perubahan kenaikan jumlah DPR RI perempuan
menjadi 21 % dan DPD perempuan mencapai 33% dinilai belum
menonjol . Namun peningkatan partisipasi pemilih perempuan
masih sangat sulit dinilai secara menonjol korelasinya antara
pencalonan DPR RI yang mencapai 30% dengan pemilih
perempuan 50% DPT usaha KPU dalam meningkatnya
keterwakilan perempuan di DPR RI; apalagi memastikan
bahwa pemilih perempuan akan memakai hak pilihnya
pada caleg perempuan saat Pemilu 2019.
Hak-hak perempuan dalam politik mengalami
peningkatan dan perkembanganyang semakin besar. Hal itu
mendapat pengakuan secara representatif dari beberapa
kalangan dan pengamat. Peluang itu menjadi sumbu utama
bagi perempuan dalam mengambil langkah kesempatan
secara konkret untuk dimanfaatkan. Kaum perempuan
harus mempersiapkan diri dalam meningkatkan kualitas
dan kemampuannya agar dapat berperan serta dalam
pemberdayaan melalui organisasi politik untuk mengambil
langkah kebijakan afirmatif yang dapat direpresentasikan
kepada rakyat dalam pengambilan kebijakan afirmatif untuk
kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
358
Kesimpulan
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum,
memberikan perlindungan HAM kepada warga negara yaitu
ciri yang harus melekat di dalamnya. Upaya meningkatkan
peran politik perempuan di parlemen dengan kebijakan
afirmatif 30%, yaitu bagian dari perlakuan khusus yang
diberi kepada kaum perempuan dan bersifat konstitusional.
Meskipun kebijakan afirmatif ini konstitusional, namun
prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi pondasi dalam sistem
negara demokratis tidak boleh dilanggar. Kebijakan afirmatif
yang ditempuh dalam rangka meningkatkan keterwakilan
perempuan di parlemen, yaitu konsekuensi hukum logis
dari usaha pemenuhan HAM warga negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta
pemenuhan kewajiban negara untuk melaksanakan berbagai
ketentuan hukum HAM Internasional (Konvensi HAM) yang
telah diratifikasi oleh negara kita dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan.
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan trend kenaikan
representasi perempuan di lembaga legislatif tingkat nasional,
DPR RI jumlah 120 orang dari 575 kursi yang ada (21%) dan DPD
RI jumlah 45 orang dari 136 kursi yang ada (33%). Pencapaian
keterwakilan perempuan di legislatif nasional yaitu
hal yang patut dirayakan dengan sebuah catatan kritis, yakni
keragaman latar belakang mereka. Meskipun keragaman latar
belakang dapat dipetakan secara luas meliputi profil caleg
sebagai petahana, kader partai, aktivis, kekerabatan, selebriti/
artis, dan elite ekonomi.
Persentase21% calon legislatif perempuan terpilih di
parlemen tidak bertambah menonjol , namun mereka diharapkan
mampu membawa aspirasi kaumnya.Sehingga pentingnya
para perempuan ini harus mampu meningkatkan kualitas
dan menambah jaringan.
Penulisan ini menunjukkan bahwa UU Nomor 7/2017,
baik sistem proporsional terbuka dan ke-empat unsurnya
cenderung tidak menonjol terhadap usaha peningkatan
keterwakilan perempuan, aksesibilitas perempuan untuk
masuk parlemen tetap lemah sehingga kondisi underrepresented dari kelompok perempuan tidak akan banyak
berubah. Selain itu adanya pemilu serentak 2019 dimana
pemilihan presiden/wakil presiden dan legislatif dilaksanakan
secara bersamaan.
Rekomendasi
Berdasarkan pada uraian di atas, Penulis memberikan
rekomendasi terkait kepemiluan yaitu:
- Perbaikan pemilu yaitu memisahkan pemilu serentak
untuk kembali ke desain pemilu terpisah seperti 2014,
2009, dan 2004. Dengan demikian, menjadi penting untuk
mengadakan revisi UU Pemilu.
- Manajemen teknis kepemiluan seperti surat suara yang
besar dan banyakperlu disederhanakan.
- Rekrutmen penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu)
mulai ditingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat
TPS harus selektif, independen, dan menjalankan kuota
30% keterwakilan perempuan. Peningkatan kapasitas
menjadi penting disetiap jenjangnya sehingga tidak
lagi ada kesalahan dalam administrasi pungut hitung
(misalnya, pengisian formulir).
- Distribusinya yang di lapangan mengalami kendala
keterlambatan atau kekurangan jumlah.
- Minimnya informasi soal pengawasan. Bawaslu belum
menyediakan informasi yang cukup terkait mekanisme
dan prosedur pengawasan sehingga bisa mudah diakses
dan dipahami oleh pemilih.
- Mekanisme kordinasi dengan penyelenggara pemilu (KPU
dan Bawaslu) dengan pemantau pemilu sebagai mitra
yang perlu ditingkatkan, juga sesama pemantau pemilu. Di
lapangan masih kurang sosialisasi antara penyelenggara
pemilu di pusat dan daerah terkait pemantau pemilu.
Dilihat dari jumlah partisipan dalam pemilihan umum
(pemilu), negara kita yaitu negara demokrasi terbesar di
Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika
Serikat. (1) Besarnya jumlah pemilih menunjukkan antusiasme
publik dalam menentukan pemimpin pemerintahan, baik
presiden maupun kepala daerah, serta menentukan wakil-
wakilnya dalam lembaga perwakilan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Selain itu, jaminan kebebasan untuk memilih
juga menjadi salah satu faktor tingginya antusiasme ini .
Jaminan kebebasan warga untuk berpartisipasi
dalam pemilu sendiri telah diatur dalam UUD 1945. Pasal
28D ayat (3) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan
pasal 28E ayat 3 menjamin setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Jaminan dari konstitusi ini kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan turunannya. UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Bagian
Kedelapan, pada pasal 43 ayat (1) menyatakan, “Setiap warga
negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan pada ayat (2)dinyatakan, “Setiap warga negara
berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas,
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan”.
Sementara itu, UU No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (UU Pemilu) menjamin hak warga negara
untuk memilih, seperti dinyatakan dalam Pasal 198 ayat (1)
dan ayat (2) bahwa “Warga Negara negara kita yang pada hari
pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun
atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin memiliki
hak memilih. Warga Negara negara kita dimaksud didaftar 1
(satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.”
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian dari
warga negara negara kita juga memiliki hak untuk memilih.
Namun demikian, berbeda dengan WNI lainnya, ASN dilarang
untuk menunjukkan preferensi pilihan politiknya di hadapan
publik, sebagai konsekuensi dari asas netralitas dalam
penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN sebagaimana
diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN (UU ASN). Pasal
9 ayat (2)UU ASN mengatur, “Pegawai ASN harus bebas dari
pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.”
Netralitas ASN dalam politik praktis yaitu bagian dari
pelaksanaan fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu
bangsa. Dengan demikian, meskipun ASN memiliki hak pilih,
namun harus tetap menjunjung tinggi netralitas sebagaimana
dimandatkan oleh UU ASN.
UU Pemilu secara lebih tegas mengatur tentang
netralitas ASN dalam penyelenggaraan pemilu. Pada pasal 280
ayat(2) huruf f dinyatakan, “Pelaksana dan/atau tim kampanye
dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan
aparatur sipil negara.” Kemudian pada ayat (3) dinyatakan
bahwa ASN dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim
kampanye Pemilu. ASN yang melanggar Pasal 280 ayat (3)
dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan paling lama
satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta (Pasal 494
UU Pemilu). ASN juga dilarang mengadakan kegiatan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu
sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan itu
meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian
barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan warga. (Pasal 283 ayat
(1) dan (2)).
Tulisan ini akan menunjukkan perilaku politik ASN
dalam masa Pemilu 2019. Meskipun secara normatif telah
cukup jelas pelarangan ASN untuk berpihak pada kandidat
tertentu, namun dalam kenyataannya masih banyak ASN yang
menunjukkan preferensi politiknya di depan publik. Tulisan
ini akan menyajikan data-data pelanggaran netralitas ASN
dalam berbagai jenis perilakunya, yang didapatkan dari hasil
pemantauan yang dilakukan oleh kelompok warga sipil
(CSO) di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, dan
Surabaya. Selain itu, tulisan ini juga akan menyajikan proses
dan dinamika yang terjadi dalam pemantauan terhadap
netralitas ASN sehingga akan tergambar bagaimana netralitas
ASN dapat didorong melalui partisipasi warga, meskipun
di sisi lain ada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang secara
mandatori memiliki tugas untuk mengawasi netralitas ASN.
Pada dasarnya, netralitas ASN pada derajat tertentu
seperti menimbulkan suatu kondisi paradoksal. ASN dituntut
untuk menjaga netralitas, namun pada saat yang sama
ASN juga masih memiliki hak pilih. Pada saat ASN tengah
memakai hak pilihnya, sebenarnya mereka sedang
mendukung satu kandidat dan mengabaikan kandidat lainnya,
yang berarti ia akan menjadi birokrat partisan (Tamma,
2016). Hal ini yang kemudian disinyalir telah memicu berbagai
tindak pelanggaran kode etik, terutama terkait netralitas
ASN, sehingga memunculkan usulan dari KPPOD (2018) agar
Pemerintah mencabut hak pilih ASN untuk memastikan ASN
dapat bersikap netral dalam proses pemilihan, terutama
pemilihan kepala daerah (pilkada). Terlepas dari situasi
paradoksal ini , konsep netralitas ASN yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan di negara kita saat ini hanya
sebatas melarang keterlibatan ASN dalam mensosialisasikan
atau mengkampanyekan kandidat politik tertentu, bukan
membatasi ASN untuk memilih. Dalam konteks itulah, konsep
netralitas ASN penting untuk dibahas.
Birokrasi memainkan peranan yang sangat penting
dalam sistem warga dan pemerintahan modern. Birokrasi
menentukan kualitas pelaksanaan kebijakan publik yang telah
ditetapkan. Selain itu, birokrasi juga yaitu perwujudan
negara dalam penyelenggaraan pelayanan kepada warga.
Penggerak utama dari birokrasi ini yaitu pegawai pemerintah,
pegawai negeri sipil (PNS) atau ASN. Selain sebagai pelaksana
kebijakan dan pelayan publik, ASN di negara kita juga memiliki
fungsi lainnya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Sebagaimana dinyatakan pada pasal 10 UU ASN, bahwa ada
tiga fungsi ASN, yaitu sebagai pelaksana kebijakan publik,
pelayanan publik serta perekat dan pemersatu bangsa.
Dalam konteks sebagai pelayan publik, netralitas
ASN sangat penting untuk memastikan bahwa birokrat tidak
akan berubah dalam penyediaan pelayanan publik siapapun
yang menjadi penguasa pemerintahan (Thoha, 2003). Dengan
kata lain, ASN akan terus menjalankan tugas dan fungsinya
untuk memberikan pelayanan publik secara profesional
dan berkualitas, meskipun terjadi transisi kepemimpinan
pemerintahan.
Bercermin pada situasi sebelumnya, terutama pada
masa Orde Baru, memperlihatkan bahwa PNS dan birokrasi
menjadi bagian dari kelompok politik tertentu, bahkan menjadi
mesin politik yang bertugas mengumpulkan suara. Rezim Orde
Baru yaitu rezim yang sangat menonjol kan kekuasaaan
negara yang sentralistik. Negara tampil se bagai satu-satunya
kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh kelompok warga
manapun. Negara berhasil mengontrol warga dengan
berbagai kebijakan dan proses pembentukan tatanan politik.
Salah satu kontrol politik itu dilakukan dengan menjadikan
birokrasi sebagai penopang kekuasaan pe merintah. Birokrasi
dijadikan sebagai mesin politik pada proses pemilu. Organisasi
birokrasi, yaitu Korps Pegawai Negeri Republik negara kita
(KORPRI) yaitu salah satu jalur di dalam Golkar, yaitu jalur
“B” yang berguna untuk memperkuat dukungan PNS dalam
setiap pemilu.Seluruh PNS diharuskan menyalurkan aspirasi
politiknya melalui Golkar dengan memberlakukan kebijakan
monoloyalitas. Selain itu, pe jabat birokrasi direkrut menjadi
pengurus politik dan dijadikan bagian dari faksi dalam Golkar
di parlemen.
Netralitas birokrasi ini sebetulnya mengacu pada
konsep birokrasi yang dikemukakan oleh sosiolog terkemuka,
Max Weber yang menyatakan bahwa birokra si yang dibentuk
harus independen dari kekuatan politik (netral). Netralitas
birokrasi diutama kan untuk melaksanakan kepentingan negara
dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga siapapun kekuatan
politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan
pelayanan yang terbaik kepada warga nya
Ditinjau dari sudut pandang kewenangan, birokrasi
yang tidak netral dikhawatirkan dapat memunculkan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Menurut Kacung
Marijan (2010), ada hal yang rawan saat birokrasi terlibat
dalam politik, terutama dalam kaitannya dengan pelayanan
publik, yaitu adanya kekhawatiran penyalahgunaan sumber
keuangan dan fasilitas publik yang dikuasai birokrasi. Sebagai
lembaga publik, birokrasi memiliki berbagai fasilitas, termasuk
sumber keuangan, sebagai sarana untuk memberikan
pelayanan publik. Manakala birokrat terlibat dalam politik,
dikhawatirkan adanya penyalahgunaan terhadap otoritas yang
dimilikinya. Misalnya, birokrasi dapat mengalokasikan dan
mendistribusikan sumberdaya yang ada dalam birokrasi kepada
kandidat politik yang menjadi afiliasi politiknya. Padahal
sebagai lembaga yang berfungsi memberikan pelayanan
publik,seharusnya birokrasi memberikan pelayanan kepada
‘semua orang’ dan bukan kepada ‘sekelompok orang’ tertentu.
Netralitas ASN yaitu suatu prakondisi untuk
meningkatkan profesionalisme dalam pelayanan publik,
sehingga ASN dapat memberikan pelayanan yang cepat,
transparan, adil, dan tidak memihak kepada salah satu pihak.
Ketidaknetralan akan menjadi faktor penghambat pelayanan
yang adil dan berkualitas, sebab ASN akan berusaha
mendahulukan kelompok atau afiliasi politiknya dalam
menyelenggarakan pelayanan. Padahal dalam menjalankan
tugas sebagai pelaksana fungsi pelayanan publik, yang
harus dilayani ASN yaitu warga secara umum, tanpa
membedakan asal golongan atau partai politik.
Merujuk pada UU ASN, KASN yaitu lembaga
yang diberi tugas untuk menjaga netralitas ASN (Pasal 31
ayat (1) huruf a). Dalam menjalankan tugas ini , UU ASN
lebih lanjut mengatur bahwa KASN dapat menerima laporan
(Pasal 31 ayat (2) huruf c), serta memiliki kewenangan untuk
meminta informasi kepada warga mengenai laporan
pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku
Pegawai ASN (Pasal 32 ayat (1) huruf c). Dalam konteks inilah
kemudian dapat dilihat bahwa meskipun secara kelembagaan
perwujudan netralitas ASN menjadi tanggungjawab KASN,
namun peran warga juga sangat diperlukan untuk
mendukung KASN dalam menjalankan tanggungjawabnya
ini .
Sebagai perwujudan bentuk partisipasi warga
dalam ikut mendorong netralitas ASN dalam Pemilu, beberapa
organisasi warga sipil atau civil society organisation (CSO),
antara lain PATTIRO Jakarta, Inisiatif Bandung, PATTIRO
Semarang, dan PATTIRO Malang melakukan pemantauan
terhadap netralitas ASN dalam masa Pemilu 2019. Seluruhnya
ada 80 orang pemantau, yang sebelumnya diberi pelatihan
yang di dalamnya ada materi tentang norma dasar, kode
etik dan kode perilaku ASN, netralitas ASN sebagai bagian
dari kode etik dan kode perilaku ASN, beserta peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, dan cara melakukan
pemantauan berdasarkan instrumen yang telah disusun
sebelumnya.
Metode Pemantauan
Pemantauan ini dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu pemantauan langsung dan pemantauan tidak langsung.
Pemantauan secara langsung dilakukan dengan mendatangi
langsung kegiatan kampanye untuk memastikan apakah ada
ASN yang aktif ikut mengkampanyekan kandidat tertentu.
Selain itu, pemantauan secara langsung juga dilakukan
dengan mengamati perilaku ASN di sekitar tempat tinggal
pemantau, untuk memastikan apakah dalam kesehariannya
melakukan usaha untuk mengajak, membujuk, atau kegiatan
lain yang bersifat kampanye. Jika mendapati ASN melakukan
pelanggaran, pemantau kemudian mendokumentasikannya
melalui foto atau video sebagai alat bukti.
Sedangkan pemantauan tidak langsung dilakukan
melalui media sosial, pemantau mengidentifikasi ASN yang
ada dalam grup aplikasi percakapan seperti whatsApp
(WA). Pemantau kemudian memantau percakapan yang
dilontarkan oleh ASN ke dalam grup. Pemantau kemudian
mendokumentasikan percakapan ini melalui screenshot
terhadap percakapan ASN yang berisi kampanye. Untuk
pemantauan yang dilakukan di media sosial seperti facebook,
twitter, dan instagram, pemantau mengikuti postingan
ASN. Tidak sulit untuk menemukan ASN di dalam media
sosial ini , sebab pada umumnya para pemantau juga
berteman dengan ASN di media sosial. Dengan kata lain,
pemantau sebelumnya telah mengenal ASN yang menjadi
target. Pemantau kemudian mendokumentasikan screenshot
postingan ASN yang bernada kampanye untuk dilaporkan
sebagai pelanggaran.
Untuk pemantauan lewat media massa, pemantau
melakukan pemantauan dengan membaca berita seputar
Pemilu dan akan mendokumentasikan materi pemberitaannya
(menyimpan link berita untuk media online, dan kliping untuk
media cetak) terhadap berita tentang pelanggaran netralitas
ASN.
Secara umum, proses pemantauan ini dilakukan dalam
dua periode. Periode pertama dilakukan mulai awal Maret 2019
hingga hari pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 17
April 2019. Periode kedua dilakukan setelah pemungutan suara
hingga akhir Mei 2019.
Ruang Lingkup Pemantauan
Pemantauan mengacu pada Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps
dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 7 PP
ini dinyatakan, “Dalam pelaksanaan tugas kedinasan
dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai Negeri Sipil wajib
bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam
berwarga, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai
Negeri Sipil yang diatur dalalam Peraturan Pemerintah ini.”
Kemudian dalam Pasal 11 huruf c dinyatakan bahwa etika
terhadap diri sendiri salah satunya yaitu menghindari konflik
kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Surat
Edaran Menteri PAN RB Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal
27 Desember 2017 yang ditujukan kepada pimpinan instansi
pemerintah tingkat pusat dan daerah kemudian menguraikan
berbagai contoh jenis pelanggaran terhadap Pasal 11 huruf c
PP ini .
Berdasarkan pada peraturan ini di atas, ruang
lingkup pemantauan kemudian dibatasi pada beberapa
kegiatan
Hasil Pemantauan
Selama periode pemantauan, tim pemantau berhasil
menemukan 89 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh ASN
terkait dengan netralitas dalam Pemilu 2019. Paling banyak
kasus ditemukan di media sosial, antara lain facebook, instagram,
dan whatsapp, yakni 66 kasus. Bentuk pelanggaran yang terjadi
pada umumnya ASN mengunggah gambar peserta Pemilu
disertai dengan caption yang bernada dukungan, memberikan
komentar, dan memberikan tanda like pada postingan orang
lain yang memberikan dukungan kepada peserta Pemilu.
Selain melalui media sosial, ditemukan juga
kasus pelanggaran netralitas ASN secara langsung. Bentuk
pelanggaran yang terjadi yaitu menghadiri deklarasi
dukungan terhadap peserta Pemilu (8 kasus), terlibat dalam
kampanye dan mengadakan kegiatan yang menunjukkan
keberpihakan (8 kasus), mobilisasi orang lain untuk mendukung
peserta Pemilu (4 kasus), menjadi narasumber pada acara yang
diselenggarakan oleh peserta Pemilu (2 kasus), dan memasang
alat peraga kampanye (1 kasus). Selengkapnya dapat dilihat
pada grafik berikut.
1
Jenis Pelanggaran Netralitas ASN
Sumber: Data Pemantauan (diolah)
Banyaknya ASN yang memakai media sosial
untuk memberikan dukungan kepada peserta Pemilu bukanlah
suatu hal yang mengherankan. Hal ini sebab memang media
sosial sudah menjadi media yang lazim dipakai oleh
warga untuk menyampaikan ekspresinya. Di negara kita,
menurut riset terbaru yang dirilis oleh We Are Social dan
Hootsuite, ada 150 juta pengguna media sosial,atau sekitar
60 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah ini naik
20 juta dibandingkan dengan riset yang digelar tahun 2018 (2).
sebab itu, tepat kiranya bila Komisi Pemilihan
Umum (KPU) kemudian mengatur kampanye melalui
media sosial. Pengaturan kampanye melalui media sosial
dimuat dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018
tentang Kampanye Pemilihan Umum. Pada Pasal 23 ayat
1 disebutkan bahwa media sosial yaitu salah satu
metode yang dapat dipakai untuk melakukan kampanye.
Pada Pasal 35 dijabarkan aturan lebih rinci metode kampanye
dengan memakai media sosial. Akan namun , kampanye
yang dimaksudkan dalam PKPU ini yaitu kampanye yang
dilakukan oleh Peserta Pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh
Peserta Pemilu yang terdaftar di KPU. Peraturan KPU ini tidak
mengatur tentang penggunaan media sosial bagi pihak di luar
itu, Dengan demikian, para pengguna media sosial non-peserta
Pemilu yang berkampanye mendukung pilihannya tidak terikat
dengan PKPU ini . Wajar jika kemudian banyak pengguna
media sosial yang merasa leluasa untuk berkampanye,
termasuk para ASN.
Merasa leluasa bukan berarti boleh dilakukan. Bagi
ASN, mengkampanyekan peserta pemilu melalui media
sosial yaitu suatu pelanggaran. Hal ini dinyatakan
secara tegas dalam Surat Edaran Menteri PAN RB Nomor
B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017. Dalam
satu klausulnya, SE ini menyatakan bahwa ASN yang
mengkampanyekan peserta Pemilu dalam bentuk mengunggah
foto, visi, dan misi serta unggahan lain yang terkait dengan
bentuk dukungan, dikategorikan sebagai pelanggaran
terhadap etika sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Pasal 11 huruf
c. Tindakan ini termasuk pelanggaran etika, sebab ASN
dianggap tidak dapat menghindari konflik kepentingan pribadi,
kelompok, maupun golongan.
Namun demikian, dari hasil pemantauan, banyak
juga pelanggaran netralitas ASN yang dilakukan di dunia
nyata. Dari grafik di atas tampak adanya keterlibatan ASN
dalam kampanye terbuka, menghadiri deklarasi kandidat,
memobilisasi calon pemilih, bahkan ada yang berani membantu
memasang/menyebarkan APK. Berbagai bentuk tindakan
pelanggaan netralitas ASN di dunia nyata
Dilihat dari latar belakang jabatannya, ASN yang
paling banyak melakukan pelanggaran yaitu pegawai pada
pemerintah daerah, yakni sebanyak 31 orang. Mereka antara
lain terdiri dari staf, Kepala Bidang, hingga Kepala Dinas. Pada
urutan kedua yaitu dosen/dekan/rektor, yaitu sebanyak 21
orang. Disusul kemudian guru/kepala sekolah sebanyak 19
orang. Selebihnya yaitu pegawai kementerian dan lembaga,
pegawai rumah sakit, camat/staf kecamatan, lurah/staf
kelurahan, dan ada juga peneliti. Sebaran jumlah pelanggaran
ASN berdasarkan jabatannya selengkapnya dapat dilihat pada
grafik.
2
Jumlah Pelanggaran Netralitas ASN Berdasarkan Jabatan
Sumber: Data Pemantauan (diolah)
Memperhatikan posisi jabatan ASN yang melakukan
pelanggaran sebagaimana ditampilkan di atas, ada potensi
terjadinya mobilisasi dukungan pada peserta Pemilu tertentu.
Posisi kepala dinas misalnya, meskipun hanya mengunggah
dukungannya di media sosial, tanpa melakukan ajakan secara
langsung, memiliki kemungkinan preferensi politiknya itu
akan diikuti oleh staf di bawahnya. Indikasi ini tampak pada
kasus pelanggaran di Provinsi Banten. Seorang kepala dinas
di Pemerintah Kota Cilegon mendukung salah satu calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kepala dinas ini
merasa tergerak untuk mendukung calon ini sebab calon
yang bersangkutan yaitu putra sang gubernur. Tak ayal,
unggahan statusnya yang berisi kampanye kemudian direspons
dalam bentuk dukungan oleh para stafnya. Bahkan banyak
kepala dinas dan para stafnya ini kemudian membentuk
grup yang mengkampanyekan calon DPD ini di media
sosial whatsapp.
Selain jabatan struktural seperti kepala dinas
sebagaimana ini di atas, posisi jabatan fungsional seperti
guru dan dosen juga memiliki posisi yang sangat strategis.
Dalam temuan kasus di atas, jika jumlah pelanggaran ASN
yang memiliki jabatan guru dan dosen digabung, jumlahnya
cukup banyak, yakni 40 orang. Dari 40 kasus ini , selain
mengunggah status bernada kampanye di media sosial,
banyak dari tenaga pendidik yang menunjukkan preferensi
politiknya di depan kelas saat mengajar. Bahkan ada yang
terang-terangan mengarahkan peserta didik untuk memilih
calon tertentu.
Selain kepala dinas dan tenaga pengajar, jabatan
lain yang berbasis kewilayahan seperti camat dan lurah juga
memiliki potensi untuk memobilisasi massa, terutama massa
di wilayah kerjanya. Dengan demikian, seorang ASN yang
melakukan pelanggaran terhadap netralitas, akan memberikan
dampak yang relatif besar bagi terpengaruhnya massa,
yang pada akhirnya memunculkan mobilisasi massa untuk
mendukung calon peserta Pemilu yang menjadi preferensi
ASN bersangkutan.
Meskipun pemantauan ini dilakukan oleh jaringan
CSO di empat kota, namun lokus pemantauan dilakukan
di seluruh wilayah di negara kita. Dari seluruh temuan yang
dihasilkan, mayoritas pelanggaran dilakukan oleh ASN di Jawa
Tengah, sebanyak 25 ASN; disusul Jawa Timur sebanyak 23
orang. Pelanggaran netralitas ASN juga ditemukan di luar Jawa
seperti Aceh, Tana Toraja, Bukitinggi, dan Mimika. Sebaran
jumlah pelanggaran ASN berdasarkan lokus
Memperhatikan temuan di atas, tampak bahwa
fenomena pelanggaran ASN terhadap netralitas dalam Pemilu
tidak hanya terjadi di suatu wilayah tertentu. Meskipun jumlah
ASN yang melakukan pelanggaran terbilang sedikit, namun
temuan ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran di
wilayah lain. Tidak tertutup kemungkinan, jika ditelusuri lebih
lanjut, pelanggaran netralitas ASN terjadi di seluruh wilayah di
negara kita.
Menyikapi laporan yang disampaikan oleh para
pemantau, KASN kemudian menindaklanjutinya dengan
melakukan verifikasi. KASN akan menindaklanjuti laporan
yang didukung dengan data yang valid yang dapat diverifikasi.
KASN kemudian melakukan verifikasi kepada instansi
tempat KASN bekerja. Jika ditemukan bukti yang kuat terjadi
pelanggaran, selanjutnya KASN akan membuat rekomendasi
untuk disampaikan ke Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)
atau atasan ASN untuk penetapan sanksinya. Temuan
hasil pemantauan dan langkah tindak lanjut KASN akan
disampaikan pada bagian selanjutnya.
DISKUSI
Pemantauan Netralitas ASN sebagai Wujud keikutsertaan
Politik
Dalam konteks Pemilu, dalam definisinya yang
paling elementer, partisipasi politik dimaknai sebagai bentuk
kegiatan warga negara dalam turut memilih pemimpin negara
dan pejabat-pejabat lainnya, yang baik secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan publik (Budiarjo,
2008). Pada saat negara kita masih menganut sistem pemilu
perwakilan yang diterapkan pada masa Orde Baru, partisipasi
politik warga sangat terbatas, sebab mereka hanya memilih
partai, dimana partai kemudian yang akan menentukan
perwakilannya di parlemen. Parlemen ini kemudian yang
akan bersidang untuk menentukan siapa yang akan dipilih
menjadi presiden dan wakil presiden. Kepala daerah, sebagai
pemimpin di tingkat lokal, juga tidak dipilih langsung oleh
warga, namun ditentukan oleh pemerintah pusat.
Pada saat negara kita menerapkan sistem pemilu
langsung, yang mulai diterapkan pada tahun 2004, para
wakil rakyat di parlemen dipilih secara langsung, termasuk
juga presiden dan wakil presiden. Menyusul kemudian pada
tahun 2005 mulai dilakukan pemilihan kepala daerah secara
langsung. Dalam hal ini partisipasi politik mengalami perluasan
makna, yakni bukan hanya sekadar aktivitas memilih, namun
juga melakukan seleksi secara serius terhadap para kandidat
yang berkontestasi. Pada titik ini pada dasarnya warga
tengah melakukan koreksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan
pemerintahan (Liando, 2016) dan pada titik ini pula warga
menjadi pemilih yang kritis. Kondisi ini memicu kompetisi
menjadi sangat ketat, di mana kondisi ini pula yang seringkali
menggoda para kandidat untuk melakukan berbagai cara
menarik suara pemilih. Dengan demikian peran warga
sangat penting untuk mengawasi para kandidat untuk tidak
melakukan kecurangan.
Sampai di sini kemudian partisipasi politik tidak
sebatas dipahami sebagai aktivitas warga dalam memilih
para kandidat, namun juga mengawasi kandidat agar tidak
melakukan kecurangan dalam usaha nya meraih kemenangan
elektoral. Maka tak mengherankan jika kemudian muncul
berbagai kelompok warga yang mendeklarasikan dirinya
sebagai kelompok-kelompok pemantau pemilu. UU Pemilu
kemudian mengatur tentang kelompok pengawas ini, yang
dituangkan dalam pasal 435 sampai pasal 447. Dalam pasal-
pasal ini antara lain diatur bahwa kelompok pemantau
harus mendaftar kepada Bawaslu, untuk kemudian diseleksi
sampai memperoleh sertifikat akreditasi. Hingga Maret 2019,
tercatat ada 51 lembaga pemantau yang telah memperoleh
sertifikat akreditasi dari Bawaslu. (3)
Pemantauan yang dilakukan oleh CSO terhadap
netralitas ASN yang dituangkan dalam tulisan ini, yaitu
aktivitas yang tidak secara langsung memantau para kandidat
yang tengah berkontestasi. Pemantauan ini dilakukan hanya
untuk memantau perilaku ASN dalam masa Pemilu, apakah
menunjukkan keberpihakan pada kandidat tertentu atau tidak.
sebab obyek pemantauannya bukan kandidat Pemilu, maka
hasil pemantauan yang ditemukan lebih banyak dilaporkan
ke KASN, bukan ke Bawaslu, dengan harapan bahwa temuan
ini akan ditindaklanjuti oleh KASN sehingga ASN yang
bersangkutan dapat dikenai sanksi untuk menimbulkan efek
jera. Hasil temuan pemantauan dilaporkan kepada KASN
melalui aplikasi pengaduan yang telah dikembangkan oleh
KASN sendiri, yaitu lapor.kasn.go.id.
Meskipun tidak secara langsung melakukan
pemantauan terhadap kandidat Pemilu, namum pelaksanaan
pemantauan yang dilakukan oleh CSO terhadap netralitas
ASN dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik. keikutsertaan
ini pada akhirnya nanti akan berpengaruh pada kebijakan
pemerintah. Birokrasi yang tidak netral akan berpotensi
mengeluarkan kebijakan yang hanya menguntungkan
kelompok kepentingannya, sedangkan birokrasi yang netral
akan mengeluarkan kebijakan yang lebih berorientasi pada
kepentingan publik secara luas. Di sisi lain, netralitas birokrasi
juga akan berkontribusi pada perbaikan pelayanan publik,
mengingat garda terdepan pelaksana pelayanan publik yaitu
para ASN.
Sebagai gambaran, terkait dengan kualitas pelayanan
publik di negara kita masih banyak dikeluhkan oleh warga.
Laporan warga yang disampaikan kepada Ombudsman
RI (2018) memperlihatkan bahwa masih banyak terjadi dugaan
maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Tiga terbesar yaitu penundaan berlarut sebanyak 606
laporan (37,02%), penyimpangan prosedur sebanyak 340
laporan (20,77%) dan tidak memberikan pelayanan sebanyak
314 laporan (19,18%).
Mengacu pada laporan Ombudsman RI ini ,
adanya laporan mengenai maladministrasi memperlihatkan
bahwa belum terwujudnya pelayanan publik yang baik, yaitu
pelayanan yang dapat memberi kepuasan yang optimal dan
terus-menerus bagi pelanggan, yang memenuhi syarat-
syarat: a) adanya standar pelayanan; b) bertujuan memuaskan
pelanggan; dan c) pelayanan sesuai standar yang ada. Standar
pelayanan yaitu tolok ukur yang dipakai sebagai pedoman
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas
pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada
warga dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat,
mudah, terjangkau, dan terukur.Standar pelayanan juga
menjadi ukuran bagi konsumen atas hak-hak yang diperolehnya.
Netralitas ASN dalam pelayanan publik ini juga
tercermin dari kondisi ideal yang sepatutnya tercipta (KASN,
2019), yaitu:
1) Tidak melakukan penundaan berlarut dalam pelayanan
publik sebab perbedaan/persamaan suku, agama, ras,
dan adat istiadat, termasuk pandangan politik atau
alasan lainnya;
2) Tidak membeda-bedakan dalam memberikan
pelayanan publik sebab perbedaan/persamaan suku,
agama, ras, dan adat istiadat, termasuk pandangan
politik atau alasan lainnya;
3) Tidak menyalahgunakan wewenang dalam
memberikan pelayanan publik sebab perbedaan/
persamaan suku, agama, ras, dan adat istiadat,
termasuk pandangan politik atau alasan lainnya;
4) Tidak meminta imbalan saat memberikan pelayanan
publik;
5) Tidak melakukan penyimpangan prosedur dalam
memberikan pelayanan;
6) Bertindak layak/patut dalam memberikan pelayanan
publik sebab perbedaan/persamaan suku, agama, ras,
dan adat istiadat, termasuk pandangan politik atau
alasan lainnya;
7) Tidak berpihak dalam memberikan pelayanan publik
sebab perbedaan/persamaan suku, agama, ras, dan
adat istiadat, termasuk pandangan politik atau alasan
lainnya;
8) Tidak memiliki konflik kepentingan dalam memberikan
pelayanan publik sebab perbedaan/persamaan suku,
agama, ras, dan adat istiadat, termasuk pandangan
politik atau alasan lainnya;
9) Tidak melakukan diskriminasi dalam memberikan
pelayanan publik sebab perbedaan/persamaan suku,
agama, ras, dan adat istiadat, termasuk pandangan
politik atau alasan lainnya;
10) Tidak mempersulit dalam memberikan pelayanan
publik sebab perbedaan/persamaan suku, agama, ras,
dan adat istiadat, termasuk pandangan politik atau
alasan lainnya;
11) Memberikan pelayanan atas nama instansi bukan
pribadi;
12) Tidak meminta/menerima pungutan di luar biaya
resmi yang berlaku;
13) Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan atau
kewenangan yang dimiliki;
14) Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang
wajib dirahasiakan dengan peraturan perundang-
undangan;
15) Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana
pelayanan publik.
ASN sebagai Perekat Pemersatu Bangsa
Selain sebagai penyedia pelayanan publik, ASN juga
berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Fungsi ini
mulai dijalankan tepat pada saat seseorang diangkat sebagai
ASN. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 66 ayat (1) dan (2)
UU ASN mengenai sumpah dan janji saat diangkat menjadi
PNS, bahwa PNS akan senantiasa setia dan taat sepenuhnya
kepada Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah. PNS juga
senantiasa menjunjung tinggi martabat PNS serta senantiasa
mengutamakan kepentingan Negara dari pada kepentingan
diri sendiri, seseorang, dan golongan. Dengan sumpah itu,
seorang PNS sudah terikat untuk loyal, setia, dan taat kepada
pilar dasar Negara negara kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
serta kepada pemerintahan yang sah. Seorang PNS tidak boleh
memiliki pemikiran, pandangan, dan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bagi seorang
PNS, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI yaitu sesuatu yang final
dan harga mati. Dia siap mengorbankan jiwa dan raganya untuk
mempertahankan keutuhan NKRI. Ringkasnya, PNS harus
berusaha mencegah terjadinya disintegrasi, yaitu perpecahan
suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang saling terpisah.
Dalam konteks inilah, seorang PNS yang yaitu bagian
ASN menjalankan fungsinya sebagai perekat dan pemersatu
bangsa.
Peran ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa
ini, secara implisit terkait dengan asas dalam penyelenggaraan
dan kebijakan manajemen ASN, yaitu asas persatuan dan
kesatuan. Hal ini berarti, seorang PNS atau ASN dalam
menjalankan tugas-tugasnya senantiasa mengutamakan dan
mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepentingan
kelompok, individu, golongan harus disingkirkan demi
kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara dan
bangsa. Ketidaknetralan ASN berimplikasi pada terjadinya
perbedaan perlakuan (diskriminasi) terhadap warga
yang berbeda asal, golongan, dan partai politiknya yang akan
memicu terjadinya kecemburuan dan keresahan sosial.
Bila hal ini dibiarkan dan terus berkembang akan memicu
terjadinya konflik antar-kelompok warga dan berpotensi
berkembang menjadi disintegrasi bangsa, terutama dari
kelompok yang merasa terdiskriminasi.
Upaya untuk mencegah terjadinya konflik dan disintegrasi
bangsa ini dapat dilakukan oleh ASN dalam bentuk antara lain:
a. Bersikap netral dan adil. Netral dalam artian tidak
memihak kepada salah satu kelompok atau golongan
yang ada. Adil, berarti PNS dalam melaksanakan
tugasnya tidak boleh berlaku diskriminatif dan harus
obyektif, jujur, transparan. Dengan bersikap netral dan
adil dalam melaksanakan tugasanya, PNS akan mampu
menciptakan kondisi yang aman, damai, dan tenteram
di lingkungan kerjanya dan warga.
b. Dalam pemilu, seorang ASN yang aktif dalam partai
politik, atau mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif (DPR, DPRD, dan DPD), atau mencalonkan
diri sebagai kepala daerah, harus mundur atau berhenti
sementara dari statusnya sebagai ASN. Tuntutan
mundur diperlukan agar yang bersangkutan tidak
menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya untuk
kepentingan dirinya dan partai politiknya. ASN yang
sudah terlibat dalam kepentingan dan tarikan politik
praktis, akan sulit bersikap netral dan obyektif dalam
melaksanakan tugasnya. Situasi ini akan menimbulkan
ketidakpercayaan warga terhadap ASN dan
lembaga tempat bernaung. Sementara itu, ASN
yang memiliki hak pilih, juga tidak memperlihatkan
kecenderungannya terhadap peserta pemilu, baik
melalui ucapan, tindakan, dan simbol-simbol tertentu.
Hak pilih ASN cukup dimanifestasikan dalam bentuk
memilih (mencoblos) peserta pemilu pada saat
pemungutan suara.
Pentingnya Perlindungan Data Pelapor
Salah satu dinamika yang terjadi di dalam proses
pemantauan yaitu terjadinya kebocoran data pelapor kepada
ASN terlapor. Beberapa pemantau di Semarang melaporkan
ASN yang melakukan pelanggaran yang berpotensi
mengandung unsur sanksi pidana ke Bawaslu Kabupaten
Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Namun pihak Bawaslu Kabupaten
Kendal kemudian menginformasikan laporan ini ke ASN
yang dilaporkan dan memberikan informasi tentang data
pelapornya. Mendapat laporan ini , ASN bersangkutan
kemudian menegur secara langsung kepada pelapor. Pelapor
kemudian merasa terintimidasi dengan teguran ini dan
terpaksa mencabut laporannya.
Terkait dengan kebocoran data pelapor, hal ini menjadi
kekawatiran para pemantau, terutama para pemantau yang
masih memiliki hubungan teman dan kekerabatan dengan ASN
terlapor. Mereka khawatir datanya diketahui oleh ASN terlapor
sehingga akan merusak hubungannya ini . Hal ini yang
memicu pemantau enggan melaporkan hasil temuannya.
Mereka baru mau melaporkan setelah mengetahui bahwa
sistem pengaduan di KASN dan SP4N tidak mempublikasikan
data pelapor. Data pelapor hanya diketahui oleh admin.
Selain soal kebocoran data pelapor, hal lain yang
mengemuka seiring dengan proses pemantauan yaitu
adanya kendala teknis saat berusaha masuk ke aplikasi kanal
pengaduan KASN. Pemantau seringkali gagal saat hendak
melakukan registrasi maupun log-in. Selain itu, pemantau
juga seringkali memperoleh laporannya tidak ter-upload ke
sistem, sehingga mengalami kesulitan untuk memantau tindak
lanjutnya. Kendala ini kemudian diatasi dengan melaporkannya
ke admin kanal pengaduan KASN. Dari laporan ini
kemudian admin menindaklanjutinya dengan melakukan
perbaikan.
Pemantauan terhadap netralitas ASN dalam Pemilu
dapat dikatakan sebagai partisipasi politik warga negara.
Meskipun tidak langsung mengawasi kandidat peserta Pemilu,
namun pengawasan terhadap netralitas ASN yaitu
bagian juga dari usaha untuk mendorong netralitas itu sendiri.
ASN yang netral akan mendorong terwujudkan birokrasi
pemerintahan yang netral pula, yang pada ujungnya akan
melahirkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan
publik secara luas, bukan kepentingan politik tertentu. Dengan
demikian, pemantauan terhadap netralitas ASN secara tidak
langsung berpengaruh pada perbaikan kebijakan publik. Selain
itu, pemantauan ini juga akan berpengaruh pada perbaikan
pelayanan publik, sebab hanya pelayanan publik yang
dijalankan oleh ASN yang netral (tidak diskriminatif sebab
alasan tertentu, termasuk preferensi politik) yang dapat
mewujudkan kepuasan warga.
RAGAM HAMBATAN PARTISIPASI
MASYARAKAT ADAT DALAM PEMILU 2019
Studi Kasus Komunitas Adat Kajang, Dayak Meratus,
dan Rakyat Penunggu
Yayan Hidayat dan Abdi Akbar
Aliansi warga Adat Nusantara (AMAN)
Hampir tidak ada negara demokrasi tanpa pemilihan
umum (pemilu), sebab pemilu yaitu instrumen pokok
dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi(Reeve,
2001).Sesungguhnya, pemilu tidak saja sebagai arena
untuk mengekspresikan kebebasan rakyat dalam memilih
pemimpinnya, namun juga arena untuk menilai dan menghukum
para pemimpin yang tampil di hadapan rakyat.
Bagi warga adat, pemilu melampaui maknanya
(beyond of mean).Tidak sekadar urusan administratif, bukan
pula sekadar persoalan teknis dan hukum.Orang Talang Mamak
misalnya, saat pemilu tiba biasanya mereka akan membahas
kandidat-kandidat yang ada, disaksikan oleh Batin – pemimpin
adat. Hal ini untuk memastikan rekam jejak kandidat yang
ditawarkan melalui pemilu.Setelah membahas itu melalui
musyawarah, baru mereka menentukan pilihan masing-masing.
Mekanisme itu dilakukan untuk menjamin bahwa mereka tidak
salah dalam menentukan pilihan.Orang Talang Mamak sedang
memastikan bahwa kandidat yang mereka pilih betul-betul
dapat mewakili suara dan kepentingan mereka.
“Masalah pilih-memilih nanti dulu, yang penting
bersuara,” ujar Patih Yusuf, pe
Langganan:
Postingan
(
Atom
)