Juni 2023

Rabu, 14 Juni 2023

pemilu 7


mimpin adat tertinggi Talang 
Mamak. Ia juga yaitu salah satu dari pemantau 

  
pemilu independen AMAN. Bagi  Patih   Yusuf,  keterlibatan 
warga Talang Mamak sebagai pemantau pemilu dipicu oleh 
kerisauan pada penyelenggaraan Pemilu 2019. Sebanyak 500 
pemilih warga Talang Mamak ingin untuk ikut pemilu, namun  
kebingungan mencoblos akibat tuna aksara. Desain surat suara 
DPR yang tak menampilkan foto membuat banyak pemilih 
tuna aksara kebingungan. 
Akhirnya, Batin Urusan menyarankan agar warga 
Talang Mamak yang sudah pandai membaca menjadi pemandu 
bagi pemilih yang tuna aksara di TPS.Agar tak menimbulkan 
masalah saat memandu pemilih, mereka berbondong-bondong 
mendaftarkan diri sebagai Pemantau Pemilu Independen 
AMAN.
Bagi Talang Mamak, pengerahan adat untuk 
berpartisipasi berarti memastikan seluruh hak pilih warganya 
terpenuhi.Mereka berusaha untuk menjamin seluruh warga 
Talang Mamak dapat menyalurkan hak suaranya dengan 
mudah.Dalam hal lain, Talang Mamak menjadikan pemilu 
sebagai sarana untuk memperkuat hak mereka sebagai warga-
negara agar dilindungi dan diakui wilayahnya. “Harapan kami 
gak banyak, yang penting aman, tenang, senang.Kalau kita gak 
aman, kenapa kita memilih,” tutup Patih Yusuf.
Terdengar sederhana, namun bagi warga adat 
pemilu yaitu  hal yang luar biasa.Dengan berpartisipasi dalam 
pemilu, warga adat membangun harapan besar bagi 
keberlangsungan kehidupan mereka dan anak cucunya.
Sejak Kongres warga  Adat Nusantara ketiga 
tahun  2007  di Pontianak,  AMAN   sebagai  organisasi 
warga adat dimandatkan untuk memperluas partisipasi 
politik dengan mendorong warga adat terlibat masuk 
ke dalam ruang-ruang pembuat kebijakan melalui pemilu. 
Sejak Pemilu 2009 dan 2014, puluhan warga adat telah 
berhasil masuk ke legislatif maupun eksekutif, terutama di 
daerah. Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor 
penggerak lahirnya peraturan daerah tentang pengakuan dan 
perlindungan hak warga adat.
Pada Pemilu Serentak 2019, untuk pertama kalinya 
warga adat ambil bagian dalam pemantau pemilu 
independen yang diakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu 
Republik negara kita (Bawaslu RI). Melalui Aliansi warga  
Adat Nusantara (AMAN), 235 anak-anak adat mewakili 
komunitas adatnya masing-masing terdaftar sebagai  pemantau 
pemilu independen AMAN. Mereka terlibat memantau di 15 
provinsi dan 13 kabupaten.Keterlibatan warga adat dalam 
pemantauan ini yaitu manifestasi dari meningkatnya 
kesadaran berpartisipasi.Tidak hanya sekadar memakai  
hak pilih, bahkan warga adat turut memastikan 
penyelenggaraan pemilu yang adil dan legitimate, serta 
menjamin aksesibilitas warga adat untuk berpartisipasi 
aktif dalam pemilu.
Ada misi besar warga adat melalui AMAN dalam 
Pemilu 2019.Pertama,memerangi praktik politik curang (politik 
uang) dan mendekatkan warga adat dengan negara. 
warga  adat melalui AMAN sebagai organisasinya telah 
membuktikan bahwa pemilu sebetulnya tidaklah mahal jika 
caleg yang maju benar-benar lahir dari proses musyawarah 
mufakat di kampung-kampung. Caleg warga adat 
tidak perlu mengeluarkan modal yang banyak untuk sekadar 
memperoleh  suara atau untuk membangun citra tertentu. 
Dalam proses ini massa pemilih pun tidak melulu pasif atau 
sekadar menjadi pemandu sorak, suara mereka didengar dan 
dibawa oleh caleg yang mereka utus.
keikutsertaan  politik warga adat yaitu  anti-tesis 
dari wajah buram partisipasi di negara kita.Lantang menyerukan 
esensi partisipasi hingga ke kampung-kampung, menghidupkan 
kembali mekanisme musyawarah adat sebagai keaslian nilai 
demokrasi di negara kita, mendekatkan wakil rakyat dengan 
konstituennya, dan menghadirkan mekanisme tali-mandat 
sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Jika warga pada umumnya merasa jauh dengan 
pemilu , warga adat memilih untuk 
terlibat aktif di dalamnya.Pemilu bagi warga adat, tak 
sekadarmenjadikan mereka aktif sebagai pemilih.Mereka juga 
aktif mencalonkan diri, menjadi pemantau, serta berkampanye.
warga  adat sedang memastikan pemimpin yang 
dihasilkan melalui pemilu dapat mengakui dan melindungi hak 

  
atas ruang hidupnya yang semakin tergerus.
keikutsertaan   Politik  warga   Adat
Dari penjelasan fakta di atas, partisipasi politik 
warga adat melampaui pemisahan partisipasi secara 
teoritis oleh Almond dalam yang 
membedakan dua bentuk partisipasi politik, yaitu partisipasi 
politik konvensional dan non-konvensional. keikutsertaan  
warga adat dapat digambarkan secara teoritis melalui 
apa yang disebut dalam studi Ilmu Politik sebagai political 
participation beyond elections (Norris, 2002). keikutsertaan  itu tak 
hanya sekadar pemberian suara, ikut dalam diskusi politik, 
ikut kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam 
kelompok kepentingan sebagaimana bentuk partisipasi politik 
konvensional.Terlibat dalam pemilu bagi warga adat pun 
juga sebagai bentuk protes terhadap negara yang tak kunjung 
mengakui dan menghormati hak mereka atas wilayah dan 
sumber daya alam peninggalan leluhur.
Namun, partisipasi politik juga ditentukan dari pilihan 
atas sistem dan desain pemilu.Semakin rumit pilihan atas sistem 
dan desain pemilu, semakin sulit warga negara untuk turut 
berpartisipasi aktif.Tak bisa kita mungkiri bahwa pilihan atas 
sistem dan desain Pemilu 2019 masih jauh dari kata sempurna.
Hampir diseluruh wilayah muncul banyak kritik, mulai dari 
penyelenggaraannya hingga ragam pelanggaran yang terjadi.
Banyak pihak menilai bahwa Pemilu 2019 yaitu  yang paling 
berat dan rumit dalam sejarah demokrasi di negara kita.Hal itu 
diukur dari sejumlah kompleksitas yang ada, sebagai akibat 
dari sistem pemilu yang digelar secara serentak.
Termasuk bagi warga adat, yang masih 
menghadapi kendala dalam berpartisipasi secara penuh di 
Pemilu 2019.Sebagai contoh desain pendaftaran pemilih 
misalnya. Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) UU Nomor 7 
Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pemilih yang 
terdaftar dan berhak menyalurkan hak suara di TPS hanya 
pemilih yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-
el). 
Ada 1 juta warga adat dalam kawasan hutan 
tak dapat memakai  hak pilihnya dalam Pemilu 2019 
sebab  tidak memiliki KTP-el. Untuk memperoleh  KTP-el 
dan terdaftar sebagai pemilih, Kementerian Dalam Negeri 
mengharuskan warga dalam kawasan hutan untuk 
menunggu izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian 
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau diharuskan terlebih 
dahulu untuk berpindah ke desa sekitar kawasan hutan yang 
memiliki legalitas domisili.
Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 cukup 
memberikan titik terang bagi pengakomodasian hak memilih 
warga negara dengan memperluas tafsiran KTP-el yang meliputi 
surat keterangan yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan 
dan catatan sipil. Hanya saja putusan ini tak berdampak apapun 
bagi warga adat, terutama yang tinggal dalam kawasan 
hutan.
Putusan MK ini  hanya mengakomodir pemilih 
potensial yang telah merekam, namun belum memperoleh  
KTP-el fisik dapat mengunakan Surat Keterangan Perekaman 
untuk terdaftar sebagai pemilih.Sementara, warga 
adat dalam kawasan hutan tidak dapat merekam KTP-el 
sebab  terhambat status kawasan yang melekat pada wilayah 
domisilinya.
Konteks permasalahan diatas menunjukkan bahwa 
dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, antara logika 
administrasi kependudukan dengan pendaftaran pemilih 
yaitu  dua hal yang saling kait berkelindan. Administrasi 
kependudukan menjadi hulu dan pendaftaran pemilih yaitu  
hilirnya. Jika administrasi kependudukannya bermasalah, 
maka dengan otomatis warga negara yang telah memiliki hak 
pilih akan terhambat untuk terdaftar sebagai pemilih. Logika 
ini menjadi hambatan utama bagi warga adat untuk 
terdaftar sebagai pemilih.
menunjukkan ada beragam UU sektoral yang 
mengatur warga adat dan saling menyandera satu sama 
lain. UU sektoral ini lah yang menghambat warga 
adat untuk terdaftar sebagai penduduk dan dengan 
otomatis tidak terdaftar sebagai pemilih.Hampir tidak dapat 
diprediksikan bahwa problem tenurial ternyata berimplikasi 
terhadap hilangnya hak pilih warga adat dengan logika 
desain pendaftaran pemilih berbasis KTP-el sesuai UU No 7 
Tahun 2017 tentang Pemilu.
Belum   lagi   desain   surat suara tak  compatible 
dan tidak memberikan kemudahan memilih. Bagi pemilih 
penyandang tuna aksara misalnya, desain surat suara DPRD 
Kabupaten/Kota hingga DPR RI hanya menampilkan nama   
calon, tak menampilkan foto. Sementara regulasi kepemiluan 
kita masih abai dalam mengakomodir pemilih tuna aksara untuk 
dapat didampingi saat hendak menyalurkan hak suaranya di 
TPS.
Ragam contoh di atas menunjukkan bahwa pilihan 
atas sistem dan desain pemilu yang diambil boleh jadi membawa 
konsekuensi yang tidak diduga. Pilihan ini  mungkin 
bukan selalu yang terbaik untuk menjamin kemudahan seluruh 
warga negara dapat berpartisipasi dalam pemilu dan kadang-
kadang bisa mendatangkan  konsekuensi merusak bagi prospek 
demokratisnya.
Sistem dan  desain pemilu yang baik yaitu  yang 
dibangun berdasarkan kondisi empiris warga.Para 
pemangku kepentingan dan penyelenggara pemilu juga 
perlu memakai  pendekatan sosio-antropologis terhadap 
dinamika sosial-budaya warganya. Asumsinya yaitu  
demokrasi yang stabil perlu mengakomodir seluruh hak 
warga.
jika  sistem dan desain pemilu dipandang tidak 
kokoh dan tidak berjalan baik, kredibilitasnya akan berkurang 
dan dapat memicu  para pemilih mempertanyakan 
partisipasi mereka dalam proses pemilu (Wall, 2006). Dengan 
demikian, keadilan pemilu yang efektif menjadi elemen kunci 
dalam  menjaga  kredibilitas  proses  pemilu. 
Upaya menciptakan keadilan pemilu menghadapi 
tantangan dalam negara multikultur – seperti negara kita. John 
Stuart Mill, misalnya, percaya bahwa pemilu tidak sesuai 
dengan struktur  warga multikultur. Pemilu hanya dapat 
diterapkan pada warga yang homogen 
Ragam situasi khusus yang berbeda-beda melekat pada diri 
warga menuntut pemilu harus mengakomodir dan 
menjamin keberlangsungannya.  Namun, pertanyaan tentang 
apakah dan bagaimana pemilu dapat bertahan dalam negara 
multikultur telah lama menjadi sumber kontroversi dalam ilmu 
politik.
Tulisan ini bukan kemudian ingin menjustifikasi asumsi 
bahwa   pemilu  tidak relevan diterapkan di dalam negara 
yang multikultur, melainkan mencoba menguji sejauh mana 
sistem dan desain pemilu di negara kita telah mengakomodir 
inisiatif partisipasi warga untuk terlibat di dalam pemilu, 
khususnya warga adat. Analisis dalam tulisan ini juga akan 
menegaskan bahwa pemilu sebetulnya relevan diterapkan di 
negara multikultur selama desain dan sistem pemilu dirancang 
dengan prinsip mengakomodir keberagaman sosio-kultural 
warga, keadilan, transparansi, aksesibilitas, serta 
kesetaraan  dan  inklusivitas. 
Rumusan Masalah
Fakta diatas kemudian mengundang pertanyaan 
utama dalam tulisan ini yaitu bagaimana bentuk hambatan-
hambatan partisipasi pemilu yang terjadi pada warga 
adat? Pertanyaan itu muncul mengiringi temuan-temuan 
awal studi AMAN yang antara lain mengungkap kerumitan 
prosedural desain pemilu yang berimplikasi terhadap hilangnya 
hak pilih warga adat. Bagian-bagian pada tulisan ini akan 
menjawab pertanyaan ini .
Fokus  Tulisan
Pemilu kerap dianggap sebagai sebuah proyek 
nasional yang tunggal dan, sebab  itu, bersifat seragam 
(Bayo, 2018).Padahal, struktur kesempatan politik dan model 
hambatan partisipasi di berbagai daerah jelas berbeda-beda – 
berkembang dinamis sesuai dengan kondisi warga.Oleh 
sebab  itu, studi tentang pemilu dan demokrasi perlu diperkuat 
dengan mengedepankan perspektif lokal. Di tingkat lokallah 
terletak pusat-pusat kekuasaan yang satu sama lain saling 
berinteraksi. Di tingkat lokal pula imajinasi-imajinasi genuine 
tentang praktik berdemokrasi dapat ditemukan.
Alasan-alasan yang menjadi titik berangkat tulisan 
ini memperlihatkan ada sejumlah isu penting yang perlu 
dieksplorasi untuk mengetahui variasi hambatan partisipasi 
warga adat di berbagai konteks di negara kita. Studi ini 
mengasumsikan ada tiga isu yang akan dielaborasi lebih jauh 
dalam tulisan ini: (1) desain pemilu, (2) regulasi kepemiluan, dan 
(3) dinamika sosio-kultural warga. Kita akan mendalami 
satu per satu dari ketiga aspek ini .
Metodologi
Tulisan ini dihasilkan dari penelitian yang bersifat 
kualitatif.Model kualitatif yang dipakai  yaitu  kualitatif 
deskriptif.Penelitian kualitatif deskriptif yaitu  penelitian 
dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study) 
(Moleong, 2013).Penelitian ini memusatkan diri secara insentif 
pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu 
kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang 
bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan 
dari berbagai sumber 
Ciri-ciri metode deskriptif analitis dapat disimpulkan 
sebagai usaha  mengakumulasi data, penelitian bergegas 
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena dan 
pengujian terhadap hipotesis, dipakai  teknik wawancara 
untuk mengumpulkan data, membuat prediksi dan implikasi 
dari suatu masalah yang diteliti.
Metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan 
studi kasus ini membantu Penulis untuk menggambarkan atau 
melukiskan fakta-fakta hambatan partisipasi warga adat 
dalam Pemilu 2019.Selain itu studi kasus membantu Penulis 
untuk memahami kedalaman fakta secara langsung dalam 
kehidupan sebenarnya dari kasus yang diteliti.Adapun subyek 
dalam penelitian ini yaitu  informan, yang artinya orang 
pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan 
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Subyek   penelitian   ini  yaitu populasi dan sampel, 
menurut (Arikunto ) bahwa populasi yaitu  keseluruhan 
subyek penelitian yang artinyayaitu  komunitas adat Kajang 
di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; komunitas adat 
Dayak Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan 
Selatan; dan komunitas adat Rakyat Penunggu di Kabupaten 
Deli Serdang, Sumatera Utara. Sedangkan sampel yaitu  
sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti, lebih tepatnya 
perwakilan 6 (enam) orang dengan pembagian 3 (tiga) laki-laki 
dan 3 (tiga) perempuan disetiap komunitas warga adat 
yang telah memiliki hak pilih, di mana yang menjadi subyeknya 
yaitu  Pengurus  AMAN  Daerah  dan perwakilan komunitas.
Pemilihan  3 (tiga) komunitas ini berdasarkan dinamika 
hambatan partisipasi yang diadvokasi oleh AMAN saat Pemilu 
2019 lalu.AMAN telah terlibat secara langsung untuk meretas 
hambatan-hambatan ini  dan mendorong pemenuhan 
hak pilih warga adat dalam Pemilu 2019. Data-data yang 
dihasilkan dari proses advokasi ini lah yang menjadi 
sumber utama dalam penulisan ini, sehingga dapat memenuhi 
aspek khusus yang dipelajari secara intensif dan mendalam. 
Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja 
dari kasus yang diteliti, namun  juga dapat diperoleh dari semua 
pihak yang mengetahui dan mengenal kasus ini  dengan 
baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh 
dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang akan 
diteliti 
Diskusi Pemilu dan warga  Adat
Pemilu yaitu  instrumen politik paling sahih 
dari negara yang bersepakat dengan demokrasi. Sebuah 
mekanisme yang menjamin rotasi kekuasaan berjalan dengan 
adil dan legitimate, serta bertumpu pada kedaulatan demos 
(rakyat). Pertanyaannya, seberapa penting menjamin pemilu 
yang adil?Dalam hampir semua kasus, pilihan atas sistem 
pemilu tertentu memiliki pengaruh mendalam bagi masa 
depan kehidupan politik di negara bersangkutan.
Dalam realitasnya, sistem pemilu seringkali abai 
terhadap hak asasi, terjebak pada perspektif prosedural namun 
menegasikan substansi (Koelble, 2008).Selama dua dekade 
terakhir, warga adat menjadi korban dari sistem pemilu 
yang abai terhadap hak asasi.Pilihan atas desain pemilu justru 
kontradiktif dengan realitas sosio-kultural yang tumbuh dan 
berkembang serta menyulitkan warga adat.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, warga adat 
menjadi korban dua kali.Korban dari ganasnya agresi 
pembangunan, dan kini mereka harus merelakan hak pilihnya 
diretas oleh sistem yang diskriminatif.
Studi yang dilakukan oleh Aliansi warga  Adat 
Nusantara (AMAN) menyimpulkan tiga hal yang menjadi 
persoalan hilangnya hak pilih warga adat dalam pemilu.

  
Pertama, alasan kultural.Pranata hukum adat yang melekat 
pada kehidupan warga adat secara turun-temurun 
seringkali tak selaras dan justru kontradiktif dengan ketentuan 
administratif untuk terlibat dalam pemilu.
Kedua, konflik tenurial dan ketidakpastian wilayah 
administratif.Salah satu syarat untuk terlibat dalam pemilu 
yaitu  kepastian wilayah administratif atau domisili 
Sementara, warga adat sangat rentan 
kehilangan wilayahnya akibat tak kunjung hadir perlindungan 
hukum dan pengakuan dari negara.Hal ini  seringkali 
memunculkan konflik berkepanjangan dan membuat mereka 
terusir dari wilayahnya.Konflik tenurial ternyata berimplikasi 
terhadap hilangnya hak pilih warga adat.
Ketiga, sebaran geografis yang sulit dijangkau.Dalih 
yang dipakai oleh negara dan penyelenggara pemilu yaitu  
kesulitan menjangkau warga adat yang tinggal di pelosok 
dan pulau-pulau kecil – jauh dari pusat administrasi.
Tiga hal ini perlu diuji realitasnya dengan pelaksanaan 
pemilu dua dekade kebelakang.Kita mulai dengan Pemilu 1999, 
pesta demokrasi pertama pasca runtuhnya otoritarianisme 
Orde Baru.Sebagian kalangan percaya bahwa pemilu masa 
reformasi yaitu  mekanisme pengambilan keputusan paling 
demokratis. Tingkat partisipasi mencapai 92,7 persen, tertinggi 
kedua setelah Pemilu 1955 
Pemilu 1999 menganut sistem periodic list, yakni 
sistem pendaftaran pemilih hanya dilakukan setiap kali 
hendak menyelenggarakan pemilihan umum.Pemilu masa ini 
juga menganut prinsip voluntary registration, bahwa memilih 
yaitu  hak setiap warga negara dan pemilih dapat memilih 
untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih.Warga wajib 
menunjukkan kartu tanda kependudukan atau bukti diri lainnya 
yang sah sebagai syarat administratif dalam memakai  hak  pilih 
Realitasnya, prosedural administrasi ini  justru 
menegasikan hak.Ratusan warga adat diretas hak pilihnya 
dalam memilih sebab  kepercayaan yang mereka anut.Masa 
ini, negara tak mengakui agama kepercayaan yang dianut oleh 
warga adat.Implikasinya, mereka tak dapat mengurus 
identitas kependudukan sebagai syarat dalam memakai  
hak pilih dalam pemilu.Hal ini yaitu manifestasi dari nilai 
adat yang kontradiktif dengan logika administrasi pemilu.
Polemik ini mengkristal hingga pelaksanaan Pemilu 
2004, tanpa ada solusi untuk menjamin warga adat 
penganut agama kepercayaan dapat memakai  hak 
pilihnya.Akibat persoalan privat, mereka harus merelakan 
hilangnya hak pilih mereka sebagai warga negara.
Pemilu 2009, persoalan yang dihadapi warga 
adat masih sama. Parahnya, desain pemilu kali ini tak ramah 
terhadap penyandang tuna aksara.Sementara, mayoritas 
warga adat yang jauh dari akses layanan pembangunan 
rentan menyandang tuna aksara.
Secara teknis, desain surat suara dalam Pemilu 2009 
tak menampilkan foto kandidat, hanya nomor dan nama. Tentu 
hal ini memunculkan kegamangan bagi pemilih penyandang 
tuna aksara, seiring itu tidak ada regulasi yang menjamin 
aksesibilitas dan kemudahan tuna aksara dalam memilih.
Persoalan ini juga tak kunjung menemukan solusi 
hingga Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.Bahkan, penyelenggaraan 
pemilu kali ini berlangsung dengan syarat administrasi yang 
begitu ketat hingga menegasikan hak pilih banyak orang.
Paradoks Administrasi Pemilu: Kajang dan Hambatan 
keikutsertaan nya
Komunitas warga  Adat Kajangsecara 
administrasi berada di bagian timur Kabupaten Bulukumba.
Secara turun -temurun mereka bermukim di Ilalang Embayya’, 
yaitu kawasan Kajang Dalam,yang sampai hari ini masih 
menganut secara penuh aturan adat atau Pasang,dan sebagian 
lagi bermukim di Ipantarang Embayya’, yaitu kawasan 
pemukiman warga  Adat Kajang yang dalam kehidupan 
sehari-harinya sudah bisa memakai  peralatan-peralatan 
modern.
Dalam  kehidupan  sehari-hari warga adat 
Kajang tetap memang teguh dan melaksanakan Pasang ri 
Kajang. Pasang yaitu  hukum atau aturan adat yang mengatur 
seluruh sendi kehidupan warga adat Kajang, yang 
berhubungan dengan urusan sosial, budaya, pemerintahan, 
kepercayaan, lingkungan, dan bagaimana mengelola sumber 
daya alam di wilayah adat mereka.warga  adat Kajang, 
dipimpin oleh pemimpin yang bergelar Ammatoa, yang menjadi 
simbol tatanan sosial dan sebagai pemangku adat tertinggi 
warga adat Kajang.Ammatoa bertempat tinggal di Ilalang 
EmbayyaDesa Tana Toa, Kecamatan Kajang.
Pada Pemilu 2019, antusiasme warga adat 
Kajang untuk berpartisipasi sangat tinggi.Mereka memakai  
pemilu sebagai instrumen untuk mempertahankan wilayah adat 
mereka, terutama yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan 
karet bernama PT. London Sumatera (Lonsum).warga  
adat Kajang percaya, dengan terlibat dalam pemilu dan 
memilih pemimpin yang betul-betul mewakili aspirasi mereka, 
sengketa wilayah adat dapat terselesaikan dan mereka bisa 
terus ada dan berdaulat di wilayah adatnya.
Namun, administrasi kepemiluan yang mengharuskan 
warga adat Kajang memiliki KTP-el sebagai syarat 
untuk memilih sempat menjadi hambatan bagi mereka untuk 
menyalurkan hak pilihnya.Tercatat, ada 275 warga adat 
Kajang yang menolak untuk melepas penutup ikat kepala atau 
Passapu’pada saat melakukan perekaman KTP-el.Passapu’atau 
ikat kepala yaitu  merupakansimbol adat untuk laki-lakidi 
komunitas adat Kajang.
Bagi orang Kajang, Passapu’tak sekadar ikat kepala.
Passapu’yaitu  simbol kosmologis warga adat Kajang 
yang juga menandakan ikatan kuat mereka dengan leluhurnya. 
Pasang yang berlaku turun-temurun di wilayah adat Kajang juga 
mengatursoal ikatikat kepala.Utamanyabagi para uragi sebagai 
pemangku adat yang membidangi urusan ritual adat.Aturan 
adat tidak memperkenankan membuka Passapu’, sementara 
aturan perekaman KTP-el yang mengharuskan laki-laki untuk 
tidak memakai ikat kepala atau penutup kepala apa pun. Hal 
ini  memicu  mereka terhambat untuk mengurus 
KTP-el sehingga tidak dapat terdaftar sebagai pemilih pada 
Pemilu 2019.
Apa yang terjadi pada warga adat Kajang 
yaitu  salah satu gambaran bahwa ada yang luput dipahami 
oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu, yakni dinamika 
sosio-kultural yang termanifestasikan melalui aturan adat 
yang berkembang dalam warga. Standar administrasi 
kependudukan justru menjadi penghambat pemenuhan 
hak kewarganegaraan warga adat.Situasi khusus 
ini sebetulnya dapat diakomodir oleh pemerintah dan 
penyelenggara pemilu dengan memberikan ruang afirmasi, 
sebab secara prinsip agar dapat menjamin pemilu yang adil 
dan legitimate, penataan desain sistem pemilu harus dilakukan 
secara menyeluruh.
Berapapun jumlah pemilih potensial yang tidak 
terdaftar sebab  hambatan teknis, penyelenggara pemilu 
bertanggungjawab untuk pro-aktif dalam melindungi dan 
menjamin hak pemilih untuk dapat memilih, salah satunya 
dengan mempermudah syarat memilih.
warga   Adat Dayak Meratus: Hadapi Pemilu Tanpa 
Kenal  Aksara
“Saya tidak bisa baca dan tulis. Jadi susah untuk 
memilih. sebab  sudah tak lagi pakai foto,” ujar Uri mengeluh.Uri 
yaitu  warga  komunitas adat Balay Juhu. Perempuan ini 
yaitu  satu diantara ribuan orang Dayak Meratus penyandang 
tuna aksara yang tersebar di 28   balay di Kecamatan   Alai 
Batang Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan 
Selatan.
Balay yaitu  sebutan bagi unit sosial warga 
adat  Dayak yang bermukim di wilayah Pegunungan Meratus, 
Kalimantan Selatan.Selain itu, balay juga yaitu  penyebutan 
untuk rumah adat Dayak Meratus.Ini yaitu  ruang hunian 
kolektif tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas 
sosial warga adat Dayak Meratus.Tak hanya ritual 
adat, balay sekaligus menjadi ruang publik untuk membahas 
segala sesuatu menyangkut persoalan sosial-politik warga 
Dayak Meratus.Semua pengambilan keputusan penting 
terkait warga adat dilaksanakan di balay  melalui 
musyawarah  adat, termasuk persoalan Pemilu 2019.  Struktur 
balay dipimpin oleh seorang Kepala Adat atau Tamanggung 
sebagai penanggungjawab sosial tertinggi warga adat di   
lingkungan balay.
Namun, warga  Adat Dayak Meratus harus 
berhadapan dengan diskriminasi dan ekspansi pembangunan.
Ragam diskriminasi dan kriminalisasi telah mereka alami 
sebab  mempertahankan dan menolak investasi rakus tanah 
di wilayah adat mereka.Hal ini tidak saja berdampak atas 
hilangnya akses mereka ataswilayah adat dan sumber daya 
alamnya, tapi jugaberdampak hilangnya akses mereka mereka 
terhadap layanan dasar kesehatan dan pendidikan.
Pada bulan Oktober 2014 misalnya, terjadi 
penembakan oleh Kepolisian Resor (Polres) Tanah Bumbu, 
Hulu Sungai Selatan yang memicu  satu orang anggota 
komunitas adat Dayak Meratus tewas. Tiga orang lainnya 
mengalami luka serius.Peristiwa ini dipicu oleh tuduhan 
tentang praktik illegal logging olehwarga komunitas Dayak 
Meratus di wilayah konsesi PT. Kodeko Timber, pemegang 
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) ,Tuduhan ini 
dianggap tidak masuk akal, sebab  kawasan konsesi perusahaan 
ini  berada di dalam wilayah adat  Batulasung.  warga  
melawan  sebab  merasa tidak bersalah mengambil kayu di 
atas tanah adat mereka sendiri.
Selain HPH, cadangan batu bara juga menjadi sebab 
terjadinya kriminalisasi terhadap warga adat Dayak 
Meratus. Berdasarkan riset Pusat Sumber Daya Mineral 
Batubara dan Panas Bumi – Badan Geologi (PSDG) Kementerian 
Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), potensi tambang 
di wilayah adat Dayak Meratus ada di dua kecamatan; 
Batang Alai Timur dan Haruyan.
Di  Batang Alai Timur, ada 15 juta ton dengan nilai 
panas 5.000 – 6.000 Kilo Kalori (kkal) per kilogram sedangkan 
di Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton dengan nilai kalori 
mencapai 6.000 – 7.000 kkal per kilogram ,
Hingga saat iniada dua perusahaan besar yang mengantongi 
izin dari pemerintah pusat sebagai pemegang Perjanjian Karya 
Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).Dua perusahaan 
ini  yaitu PT. Antang Gunung Meratus dengan luas 
arealnya mencapai 3.242 hektar dan PT. Mantimin  Coal Mining 
yang mengantongi izin seluas 1.964 hektar.
Meskipun rencana pertambangan batu bara 
ini memperoleh  penolakan dari warga, namun 
dua perusahaan dan pemerintah pusat tampaknya tak 
memperdulikan. Di tahun 2017, mereka justru memasang 
patok di tanah milik warga Dayak Meratus secara diam-diam 
tanpa izin warga.
Rentetan berbagai konflik dan kriminalisasi 
ini lah yang ikut membentuk kesadaran politik orang-
orang Dayak Meratus. Di Pemilu 2014, secara sadar mereka 
bermusyawarah untuk mengutus perwakilan Dayak Meratus 
maju sebagai calon anggota legislatif melalui berbagai partai 
politik yang ada. Praktik ini dibasiskan pada analisis bahwa 
tuntutan dan geliat perjuangan warga adat hanya 
akan bisa dimengerti oleh para pengambil kebijakan jika 
mereka yaitu  berasal dan terlibat aktif di dalam gerakan 
memperjuangkan hak warga adat. 
Namun, gerakan untuk terlibat di dalam pemilu 
menghadapi banyak hambatan, salah satunya yaitu  desain 
surat suara yang tak menampilkan foto yang ujungnya 
membingungkan mereka. Sementara itu KPU tidak 
memberikan pendampingan memilih untuk mereka dengan 
alasan ketiadaan hukum yang mengatur pendampingan 
pemilih tuna aksara.Akhirnya, banyak dari warga Meratus tidak 
bisa menyalurkan hak suaranya.Meski gagal, harapan untuk 
terus berpartisipasi tidak pernah pupus.
Mereka sadar bahwa perubahan nasib warga 
adat tidak bisa didelegasikan kepada orang-orang yang 
datang dari luar.Calon-calon anggota parlemen hanya datang 
saat  musim pemilihan tiba dan menawarkan berbagai janji 
perubahan yang belum tentu ditepati.
Tak Kenal Aksara, Ingin Ikut Pemilu
warga   Adat  Dayak Meratus,  juga sering 
disebut sebagai  Dayak   Bukit. Penyebutan  ini disebab kan 
lokasi tinggal mereka yang berada di sepanjang Pegunungan 
Meratus.
Dusun   Linau misalnya, berjarak dua jam berjalan kaki 
dari pusat Desa Pembakulan, melewati   jalan berbatu terjal 
yang naik-turun. Selain jalan kaki, hanya ada opsi berkendara 
motor dari Pembakulan ke Linau. Selain Pembakulan, ada 
puluhan desa lain di Pegunungan Meratus yang lebih sukar 
diakses, salah satunya Desa Juhu yang harus ditempuh 18 jam 
jalan kaki melewati hutan dan gunung 
Desa Pembakulan baru mendapat fasilitas sekolah 
tingkat dasar pada tahun 1982.Hampir sebagian besar warga 
Meratus yang kini berusia di atas 50 tahun yang tak sempat 
mengenyam pendidikan dasar itu (Utama, 2019).
Berdasarkan data sebaran anggota AMAN, 
komunitas-komunitas warga adat Dayak Meratus 
tersebar di sembilan kabupaten di Kalimantan Selatan.Dan dari 
hasil pendataan yang dilakukan oleh Pengurus AMAN Daerah 
Hulu Sungai Tengah, ada sebanyak 1.400 warga Dayak Meratus 
yaitu pemilih tuna aksara. Ketidakmampuan membaca 
dan menulis itu utamanya dipicu  oleh diskriminasi 
kebijakan dan perampasan hak yang mereka alami selama ini.
Di 28 balay yang tersebar di 11 desa di Alai Batang 
Timur, Hulu Sungai Tengah misalnya, minimal ada 100 
orang yang memiliki hak pilih di tiap balay.Setengah dari 
jumlah ini  yaitu  penyandang tuna aksara.
Uri, warga komunitas adat Balay Juhu, masuk kategori 
ini . Walau buta huruf dan berpotensi salah coblos, ia 
menilai pemilu yaitu  momentum Dayak Meratus keluar dari 
‘diskriminasi’ pembangunan. “Saya kecewa pada pemerintah, 
tapi tetap akan ikut dan mendukung pemilu. Dulu tidak ada 
satupun guru, jadi saya sama sekali tidak tahu membaca…. 
Kalau ada yang menemani, saya bisa mencoblos” demikian 
semangat partisipasi Uri (Utama, 2019).Ia berharap dengan ikut 
Pemilu, mereka bisa memperoleh  kembali hak atas wilayah 
adat mereka, konflik yang selama ini terjadi dapat terselesaikan 
dan warga Dayak Meratus dapatkan hak yang setara dengan 
warga negara lainnya. Namun kerumitan desain surat suara 
mempersulit mereka untuk menyalurkan hak suaranya.
Tiga dari lima surat suara dalam Pemilu 2019 tak 
dilengkapi foto, melainkan hanya berisi nama dan nomor urut 
calon anggota DPR serta DPRD tingkat provinsi dan kabupaten. 
Adapun, dua surat suara lainnya berisi foto pasangan calon 
presiden-wakil presiden dan calon anggota DPD.
Jika ditelisik dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 
tentang Pemilu pada pasal 356 ayat (1); penyandang disabilitas 
netra, disabilitas fisik, dan yang memiliki hambatan fisik 
lainnya pada saat menyalurkan hak suara di TPS dapat dibantu 
oleh orang lain atas permintaan pemilih. Istilah pendamping 
pemilih memang cukup dikenal dalam kepemiluan di negara kita, 
yang tujuan utamanya untuk memudahkan pemilih yang 
memiliki keterbatasan fisik untuk memilih.Namun, apakah 
penyandang tuna aksara dapat disebut sebagai disabilitas fisik.
Tentu tidak.Penyandang tuna aksara yaitu keterbatasan 
seseorang untuk membaca dan menulis atau disebut juga 
dengan buta huruf.Ia tak dapat disamakan dengan disabilitas 
netra ataupun fisik. 
Kontroversi pemilih tuna aksara tak hanya terjadi 
pada Pemilu 2019.Sejak Pemilu 2009 memang belum ada 
regulasi yang mengatur pendamping memilih bagi pemilih 
penyandang tuna aksara. Seiring itu pula desain surat suara 
melulu tak menampilkan foto. 
Ketiadaan regulasi ini tentu berimplikasi terhadap 
aksesibilitas pemilih tuna aksara dalam menyalurkan hak 
memilihnya.Pada Pemilu 2014 misalnya, Komisi Pemilihan 
Umum (KPU) Kabupaten Kupang menolak pengajuan 
pendampingan memilih bagi pemilih penyandang tuna aksara 
(Syahrul, 2014).Alasan penolakan itu didasari atas kekhawatiran 
terhadap pemilih penyandang tuna aksara yang dapat dipolitisir 
pihak tertentu untuk meraih suara dengan tidak sehat.
Pada Pemilu 2019, berbagai organisasi kepemiluan 
pun telah berusaha mendorong hadirnya regulasi yang 
menjamin aksesibilitas pemilih penyandang tuna aksara.
Beragam alternatif kebijakan telah ditawarkan kepada KPU, 
di antaranya pemilih tuna aksara dapat didampingi oleh 
keluarga atau petugas KPPS untuk memperkecil kemungkinan 
manipulasi suara.Namun KPU tak dapat memutuskan hal 
ini  dengan dalih ketiadaan hukum yang mengatur pemilih 
tuna aksara.
Rakyat Penunggu dan Konflik Wilayah Adatnya
Rakyat Penunggu yaitu  komunitas warga 
adat yang mendiami wilayah Serdang, Deli, Medan, Binjai, dan 
Langkat.Wilayah ini yaitu daerah subur sebab  diapit 
oleh dua sungai besar; Sungai Ular dan Sungai Wampu.Kedua 
sungai ini yaitu asal muasal sebaran warga adat 
Rakyat Penunggu saat merintis kampung, berladang dengan 
sistem pertanian gilir balik dan menjaga hutan reba yang 
kemudian menjadi satu kesatuan sebagai tanah adat.
Terdapat sekitar 67 kampung, hutan reba, dan 
wilayah perladangan yang luasnya mencapai 350.000 hektar 
(Barahamin, 2019). Seperti warga adat pada umumnya, 
Rakyat Penunggu juga memiliki sistem nilai, hukum, politik, 
ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan adat yang berlaku 
dan diwariskan secara turun-temurun.
Dulunya, wilayah adat Rakyat Penunggu yaitu  
yaitu daerah penghasil madu, rotan, tembakau, pangan, 
dan obat-obatan. Suburnya wilayah adat Rakyat Penunggu 
membuat pengusaha-pengusaha dari Hindia Belanda 
berbondong-bondong berdatangan untuk melakukan investasi 
perkebunan tembakau skala luas.Daun tembakau yang 
dihasilkan dari wilayah adat Rakyat Penunggu memiliki kualitas 
terbaik dan sangat disukai di manca negara, terutama di Eropa.
Tembakau dari wilayah ini di masa lalu yaitu  komoditas 
tembakau yang paling terkenal di Eropa.Hal inilah yang 
membuat Belanda terus-menerus memperluas perkebunan 
tembakaunya di wilayah adat Rakyat Penunggu dengan 
menerapkan sistem kontrak. Berbagai kontrak investasi 
perkebunan tembakau atas wilayah adat Rakyat Penunggu oleh 
Belanda dilakukan untuk menjamin hak-hak warga adat 
Rakyat Penunggu atas kepemilikan dan pemanfaatan tanah 
adat / ulayat  tetap diberi .   Kontrak ini disebut dengan Akte 
Van Consesi.
Akses Atas Tanah di Masa Penjajahan Jepang dan 
Kemerdekaan
Setelah pemerintah kolonial Belanda hengkang, 
Model penguasaan dan pengelolaan tanah adat secara kontrak, 
kemudian diubah menjadi sepenuhnya di bawah penguasaan 
pemerintah kolonial Jepang, dengan memberlakukansistem 
tanam paksa untuk memenuhi persediaan stok panganselama 
masa perang.Di masa inilah warga adat Rakyat Penunggu 
dipaksa menjadi buruh perkebunan palawija seperti padi, 
jagung, dan kacang-kacangan.Hasil panen juga sebagian 
besar dikuasai kolonial Jepang dan hanya menyisakan sedikit 
saja untuk warga komunitas Rakyat Penunggu yang bekerja.
Periode pendudukan Jepang ini tercatat sebagai periode kelam 
dalam sejarah warga adatRakyat Penunggu.Tidak sedikit 
warga warga adat Rakyat Penunggu yang menjadi korban 
kehilangan nyawa akibat penerapan sistem kerja paksa sistem 
oleh pemerintah kolonial Jepang.
Setelah Jepang pergi dan negara kita dideklarasikan 
sebagai bangsa yang merdeka, perjuangan Rakyat Penunggu 
untuk memperoleh  kembali wilayah adatnya justru semakin 
menghadapi tantangan berat.Terutama saat pemerintah 
negara kita yang melakukan nasionalisasi terhadap seluruh aset-
aset yang dikuasai dan dikelola oleh perusahaan pemerintah 
kolonial, termasuk wilayah adat Rakyat Penunggu yang 
sebelumnya dikontrakkan kepada perusahaan Belanda, 
kemudian dijadikan Perusahaan Perkebunan Negara (yang saat 
ini sebut sebagai PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) atau 
sebelumnya yaitu PTPN IX
Konflik, Berujung Hilangnya Hak Memilih
Konflik wilayah adat yang tak berkesudahan 
berimplikasi terhadap kepastian atas wilayah warga adat 
Rakyat Penunggu di Deli Serdang.Hingga kini kampung mereka 
tidak diakui sebagai desa yang teregistrasi di Kementerian 
Dalam Negeri (Kemendagri) sebab  dianggap sebagai kawasan 
sengketa 
Desa Amplas salah satunya, yaitu  wilayah yang 
dihuni oleh sebagian besar warga adat Rakyat Penunggu.
Status Desa Amplas yaitu wilayah yang rawan konflik 
sebab  berada di dalam kawasan hak guna usaha (HGU)eks-
PTPN II.Problem utama hambatan memilih Rakyat Penunggu 
yang bermukim di Desa Amplas, Sumatera Utara yaitu  status 
domisili mereka tidak diakui sebab  berada dalam kawasan 
HGU dan sedang berkonflik dengan eks-PTPN II.Kondisi ini 
memicu pemerintahan Desa Amplas menolak untuk 
melakukan pendataan penduduk yang  berujung  pada hilangnya 
hak mereka untuk terdaftar sebagai pemilih.  Tercatat sebanyak 
150 KK  Rakyat  Penunggu yang  tidak terdata sebagai pemilih 
di  Kabupaten  Deli Serdang  (Ramadhanil, 2019)
Hal serupa juga terjadi di Desa Karang Gading, 
Tumpatan Nibung, Bandar Klippa, dan Bandar Khalifah sebagai 
kawasan konflik dengan eks-PTPN II.Rakyat Penunggu yang 
bermukim di wilayah ini  juga terhambat untuk terdaftar 
sebagai pemilih. Bukan hanya di Pemilu 2019, saat Pilkada 
Serentak 2018 pun mereka tidak dapat menyalurkan hak 
memilihnya  dipicu  oleh status  domisili yang belum jelas.
Kerangka dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang 
Pemilu yaitu  logika unifikasi antara administrasi kependudukan 
dengan pendaftaran pemilih.Dua hal ini  menjadi satu-
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.Ketika warga negara tidak 
terpenuhi haknya dalam administrasi kependudukan maka 
dengan otomatis hak untuk terdaftar sebagai pemilih juga turut 
terhambat.Apa yang terjadi pada Rakyat Penunggu  yaitu  
gambaran nyata dari proses ini . 
Mengapa  daftar    pemilih  selalu  bermasalah?   Salah 
satu sebabnya yaitu  adanya ketidakpastian penggunaan 
prinsip de jure maupun de facto dalam pendaftaran pemilih.
Prinsip de jure mengacu pada penggunaan alamat yang ada 
dalam kartu keluarga (KK) atau kartu tanda penduduk (KTP), 
sementara de facto memakai  alamat faktual dimana 
pemilih  ini   tinggal 
Selain itu, bagi warga negara yang bermukim 
di kawasan konflik masih banyak yang kesulitan untuk 
terdaftar sebagai pemilih.Pada posisi inilah instrumen hukum 
pendaftaran pemilih harus diperbaiki.Penyelenggara pemilu 
bersama dengan pemerintah dan beserta dengan DPR harus 
merumuskan peraturan untuk menata sistem pendaftaran 
pemilih yang inklusif dan setara. Sistem pendaftaran pemilih 
tidak bisa dilepaskan perbaikannya dari setiap peristiwa 
kependudukan.Atas  dasar  itulah  peran dari pemerintah 
sebagai aktor yang bertanggung jawab mencatat setiap 
peristiwa kependudukan penting untuk dilibatkan untuk 
mengevaluasi  sistem  pendaftaran  pemilih.
Apa yang dihadapi oleh Rakyat Penunggu yaitu  
fenomena yang dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dan 
penyelenggara pemilu. Bahwa problem tenurial yang terjadi 
pada warga adat ternyata juga berimplikasi terhadap 
hilangnya hak pilih mereka.Pemerintah dan penyelenggara 
pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi problem 
ini dalam jangka panjang, khususnya demi memudahkan 
pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih. 
Bentuk kebijakan ini  berupa pemberlakuan surat 
keterangan domisili sebagai pengganti KTP-el bagi pemilih 
yang wilayahnya sedang bersengketa sebagaimana yang 
terjadi pada Rakyat Penunggu. Hal ini dapat ditempuh dengan 
pembaharuan hukum pada UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
Situasi khusus yang terjadi pada Rakyat Penunggu 
yaitu  persoalan serius yang perlu diatasi dengan membangun 
pemilu yang aksesibel dan membuat kebijakan kompromi 
sebagaimana yang sudah tersampaikan diatas. Perkara 
kepemilikan KTP-el berkaitan erat dengan hak asasi manusia.
Negara dituntut pro-aktif dalam memenuhi dan melindungi 
hak asasi manusia seluruh warga negara di setiap kategori 
kependudukan.
Model Advokasi 
Untuk meretas ragam hambatan partisipasi di atas, 
AMAN bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilu Republik 
negara kita (Bawaslu RI) dan bersama jaringan warga 
sipil,telah berusaha merumuskan model pendekatan advokasi 
untuk menjamin partisipasi warga adat yang efektif di 
Pemilu 2019. Riset Perludem bersama AMAN menemukan itu.
Untuk dapat menjamin dan melindungi partisipasi warga 
adat diperlukan pendekatan yang tidak bersifat top down, 
melainkan kebijakan pemilu berdasarkan nilai-nilai yang 
berkembang secara dinamis dalam kehidupan warga 
adat.

  
 Di bawah ini yaitu  model-model advokasi kebijakan 
yang didorong untuk meretas ragam hambatan partisipasi 
warga adat dalam Pemilu 2019.
Tindakan Afirmatif
AMAN sebagai organisasi warga adat, telah 
membangun diskusi mendalam dengan warga adat 
Kajang dalam mencari jalan keluar dari polemik perekaman 
KTP-el. Ragam strategi advokasi dirumuskan untuk 
mendorong pemerintah dan penyelenggara pemilu agar 
melakukan tindakan afirmatif guna menjamin partisipasi 
penuh warga adat Kajang dalam Pemilu 2019.Hal ini  
kemudian direspons oleh Bawaslu dan Komnas HAM RI dengan 
melakukan rapat koordinasi  bersama Kementerian Dalam 
Negeri  (Kemendagri), salah satu agendanya yaitu  membahas 
tindakan afirmatif terhadap perekaman KTP-el warga 
adat Kajang.
Kemendagri, melalui Dinas Kependudukan dan 
Catatan Sipil (Dukcapil) Bulukumba mengakui bahwa persoalan 
warga adat Kajang tak semudah mengurus kependudukan 
warga pada umumnya sebab  ada aturan adat yang 
mengatur dan perlu dilayani dengan tindakan khusus.Tindakan 
khusus ini  yaitu  dengan memperbolehkan warga 
adat Kajang melakukan perekaman KTP-el tanpa membuka 
Passapu’.Hal yaitu  bentuk affirmative action pemerintah 
kepada warga adat Kajang.Pemerintah dalam hal ini 
Dukcapil, tidak dapat memaksakan kebijakan administratif 
yang justru bertentangan dengan aturan adat.Disinilah 
peran pemerintah dibutuhkan untuk pro-aktif menjamin hak 
kewarganegaraan warga adat Kajang dengan berbagai 
aturan dan kebijakannya.
Apa yang terjadi pada Kajang memberikan pelajaran 
bahwa konsekuensi dari penyelenggaraan pemilu di negara 
multikultur yaitu  pemerintah dan penyelenggara pemilu 
dituntut pro-aktif mengakomodir unsur kohesivitas warga 
dan mempermudah warga untuk berpartisipasi di 
dalam pemilu. Maka dari itu, dibutuhkan asas afirmatif dalam 
menciptakan desain pemilu yang aksesibel bagi tiap elemen 
warga.
Sebagai contoh, pelaksanaan pemilu di Amerika 
Serikat bahkan telah mencoba meningkatkan representasi 
kelompok-kelompok tertentu, demi menciptakan desain 
pemilu yang adil dan aksesibel. Undang-Undang Hak Pilih (The 
Voting Right Act) di Amerika Serikat di masa lalu mengizinkan 
pemerintah membuat daerah-daerah pemilihan berbentuk 
ganjil dengan satu-satunya tujuan menciptakan distrik-distrik 
mayoritas kulit hitam, Latino, atau Asia- Amerika; ini disebut 
dengan gerrymandering affirmative.
Tidak hanya itu, negara multikultur lainnya seperti 
Kolombia dan India menerapkan kebijakan pencadangan kursi 
dalam pemilu.Hal ini sebagai bentuk peran negara dalam 
menjamin keterwakilan kelompok-kelompok minoritas etnis. 
Perwakilan dari kursi-kursi yang dicadangkan ini biasanya dipilih 
dengan banyak cara yang sama seperti perwakilan lainnya.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana peran negara 
dalam mengadopsi asas kohesivitas yang berkembang pada 
warga ke dalam sebuah sistem pemilu.
Tindakan afirmatif dalam hal ini yaitu  bagaimana 
usaha  pemerintah dan penyelenggara pemilu mengakomodir 
aturan-aturan adat yang berlaku ke dalam administrasi dan 
desain pemilu di negara kita.Hal ini dilakukan dalam rangka 
membentuk warga demokrasi yang kuat bersamaan 
dengan penegakan hukum dan prosedur-prosedur demokrasi 
yang sesuai dan dapat dijalankan seluruh elemen warga.
Diskresi untuk Pemilih Tuna Aksara
 Demi menjaga agar pemilu berjalan jujur dan adil, 
berbagai ketentuan administratif untuk menyalurkan hak pilih 
memang diperlukan. Tanpa batasan itu, potensi kecurangan 
akan sulit dikontrol. Hanya saja, batasan administratif 
tidak boleh diterapkan secara berlebihan.Apalagi sampai 
menegasikan hak konstitusional warga negara.Administratif 
harus diletakkan dalam kerangka yang seimbang antara 
usaha  melayani kemudahan pemilih menyalurkan hak 
konstitusionalnya dengan kepentingan administrasi pemilu.
 

  
 Dalam konsep negara hukum dikenal asas freies 
ermessen atau tindakan diskresi yang artinya pejabat publik 
tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan 
ketiadaan regulasi (Yuhdi, 2017).Pejabat publik diberi 
kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya 
sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan legalitas.
Tindakan diskresi dapat diambil untuk merespons persoalan 
penting yang luput diakomodir dalam ketentuan regulasi.
Dalam hal demikian, administrasi negara harus bertindak cepat 
membuat penyelesaian, namun keputusan yang diambil harus 
bisa dipertanggungjawabkan.
 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu 
memang belum tegas mengatur pendampingan memilih untuk 
tuna aksara, sementara desain surat suara pada Pemilu 2019 
tidak  memberikan kemudahan bagi pemilih tuna aksara untuk 
menyalurkan hak pilihnya. Dalam situasi ketiadaan hukum, 
seharusnya KPU sebagai lembaga yang memiliki kewenangan 
dapat membuat tindakan diskresi dengan menghadirkan 
ketentuan pendampingan pemilih tuna aksara.Namun hal ini 
yang tidak terjadi pada Pemilu 2019, KPU berdalih dengan 
alasan bahwa pendampingan pemilih tuna aksara tidak diatur 
di dalam Undang-Undang sehingga tidak dapat diberi .
 Diskresi yaitu salah satu hak penyelenggara 
negara.Secara normatif diskresi ini dapat dilakukan oleh setiap 
pejabat, baik ditingkat pusat maupun daerah.Keputusan 
diskresi hanya dapat dilaksanakan jika tujuannya untuk mengisi 
kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dalam 
keadaan tertentu guna kepentingan umum. Akan namun  suatu 
diskresi harus dilandasi oleh kewenangan yang memiliki 
batasan meliputi batas waktu berlaku, batas wilayah, dan 
wewenang lain yang diberi  oleh ketentuan peraturan 
perundang-undangan.
 Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 
2018, masih ada sekitar 3,4 juta warga yang berumur lebih 
dari 15 tahun tidak bisa baca tulis. Sebagian besar tersebar di 
11 provinsi dimana Papua, NTB, dan NTT yaitu  tiga daerah 
yang memiliki angka penyandang tuna aksara tertinggi (BPS, 
2018).Tingginya angka buta huruf yaitu  refleksi kegagalan 
 
negara dalam menyediakan akses atas pendidikan.Kini mereka 
harus pula rela kehilangan hak suaranya sebab  kesulitan untuk 
memilih.
 Dalam negara yang heterogen seperti negara kita, tolok 
ukur keberhasilan penyelenggara pemilu yaitu  seberapa 
mampu menghadirkan kemudahan bagi pemilih melalui 
kebijakan diskresinya agar pemilih dapat berpartisipasi seluas-
luasnya di dalam pemilu.Tindakan diskresi penting dilakukan 
guna merespons setiap perubahan dinamika sosio-kultural yang 
terjadi pada warga.Jangan sampai desain dan kebijakan 
pemilu justru mengebiri hak pilih setiap warga negara.
Menyelamatkan  Hak  Pilih  warga  Adat 
Dalam Pemilu 2019, AMAN bersama Perludem 
melakukan kajian dan pemantauan atas problem hak pilih 
warga adat di komunitas adat Rakyat Penunggu, Deli 
Serdang, Sumatera Utara.Pemilihan wilayah ini sebab  
ditemukan sebanyak 125 warga Rakyat Penunggu tidak dapat 
terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2019.Mereka tidak 
dapat terdaftar sebagai pemilih, dipicu sedang berkonflik 
dengan eks-PTPN II.Upaya mendorong penyelenggara 
pemilu untuk melakukan perubahan kebijakan yang sangat 
fundamental untuk melindungi hak pilih warga negara 
sudah berhasil dilakukan, meski belum maksimal, dengan 
diberi nya ruang DPT perbaikan  pasca-penetapan DPT pada 
15 Desember 2018  oleh KPU.
Advokasi  yang dilakukan juga berhasil meyakinkan 
KPU untuk mengakomodir pemilih yang belum memiliki KTP-
el, serta pemilih yang memang belum masuk ke DPT namun  
sudah memenuhi syarat sebagai pemilih melalui penerbitan 
Peraturan KPU No 37/2018 yang mengubah Peraturan KPU No 
11/2018  tentang  Penyusunan  Daftar  Pemilih di Dalam Negeri. 
Dari proses advokasi ini , penyelenggara 
pemilu perlu merumuskan suatu kebijakan kompromi untuk 
merespons kompleksitas masalah yang berkembang diluar 
logika administrasi kepemiluan, khususnya memudahkan 
pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih. 
Bentuk kebijakan kompromi ini  yaitu  sinkronisasi 
  
data kependudukan antar-aparatur sipil negara.Kategori 
data kependudukan ini perlu disinkronisasi untuk dapat 
mengidentifikasi hambatan warga negara dalam memperoleh  
KTP-el.
Situasi yang terjadi pada komunitas warga 
adat Rakyat Penunggu yaitu  persoalan serius.Kondisi itu 
perlu diatasi dengan membangun pemilu yang aksesibel dan 
membuat kebijakan kompromi sebagaimana yang sudah 
tersampaikan di atas.Perkara kepemilikan KTP-el berkaitan 
erat dengan hak warga negara.Pemerintah dituntut pro-aktif 
dalam memberikan layanan dasaradministrasi bagi setiap 
warga negara.
Kepastian  Hukum  Sebagai Solusi
Temuan paling penting dari riset ini yaitu  
permasalahankonflik tenurial yang dipicu  oleh 
ketidakpastian hukum atas hak-hak warga adat.
Permasalahan ini ternyata menjadi salah satu penghambat 
utama partisipasi warga adat di dalam pemilu.Apa yang 
terjadi pada komunitas adatRakyat Penunggu yaitu  gambaran 
bahwa konflik tenurial yang terjadi akibat ketidakpastian 
hukum berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih mereka dalam 
Pemilu 2019.
Problem lain yaitu  sektoralisme kebijakan dan 
regulasi tentang warga adat yang tumpang tindih dan 
saling menyandera satu sama lain. UU sektoral pada Tabel 
I menghambat warga adat untuk terdaftar sebagai 
penduduk dan dengan otomatis tidak terdaftar sebagai pemilih 
sesuai logika pendaftaran pemilih pada UU No 7 Tahun 2017 
tentang Pemilu.
Saat ini memang sudah banyak undang-undang yang 
mengatur tentang keberadaan dan hak-hak warga adat, 
terutama undang-undang di bidang sumber daya alam.Namun, 
alih-alih mengakui dan melindungi hak warga adat, 
undang-undang ini  justru ‘mempersulit’ warga 
adat untuk memperoleh  hak konstitusionalnya, terutama 
hak untuk memilih dalam pemilu.Oleh sebab  itu, perluadanya 
sebuah undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-
hak warga adat.
Undang-undang ini penting untuk menata ulang 
hubungan antara warga adat dengan negara,baik 
hubungannya di masa lalu dan di masa yang akan datang, 
dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, 
hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi, dan menjamin 
partisipasi. Adanya undang-undang ini bisa mengatasi 
persoalan sektoralisme yang selama ini terjadi di berbagai 
instansi lembaga negara, terutama yang berurusan dengan 
warga adat.
Dengan carademikian, warga adat dapat 
menjadi warga Negara negara kita yang seutuhnya. Hal ini 
penting sebab  apa yang dialamioleh warga adat 
selama ini yaitu  dampak dari tidak adanyapengakuan dan 
perlindungan, yang terjadi kemudian yaitu  warga adat 
tidak dipandang sebagai warga negara. 
Kesimpulan
warga  adat menyadari bahwa berbagai 
pelanggaran hak yang dialami bersumber dari politik hukum 
yang memang dirancang sehingga abai terhadap kepentingan 
warga adat.Untuk itu, pemilu bagi warga adat tak 
sekadar aktif sebagai pemilih.Pemilu yaitu  arena penting untuk 
memastikan masa depan mereka dan memastikannegarabisa 
benar-benar hadir ditengah-tengah warga adat dengan 
wajah yang sesungguhnya.
Tulisan ini telah mengelaborasi lebih jauh bagaimana 
hambatan-hambatan warga adat untuk berpartisipasi 
di dalam Pemilu 2019 serta mengenali ragam model advokasi 
pemilu untuk warga adat. Oleh sebab itu simpulan dalam 
tulisan ini yaitu  sebagai berikut:
1. Standar administrasi dan desain pemilu justru menjadi 
penghambat utama partisipasi warga adat dalam 
Pemilu 2019. Kerangka dalam UU Nomor 7 Tahun 
2017 tentang Pemilu yaitu  logika unifikasi antara 
administrasi kependudukan dengan pendaftaran 
pemilih.
2. Problem tenurial dan konflik pada warga adat 
  
ternyata berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih 
mereka dalam Pemilu 2019.
3. Administrasi pemilu harus diletakkan dalam kerangka 
yang seimbang antara usaha  melayani kemudahan 
pemilih menyalurkan hak konstitusional nya dengan 
kepentingan administrasi pemilu.
4. Ragam tindakan afirmatifsudah dilakukan oleh 
pemerintah dan penyelenggara pemilu guna merespons 
dinamika hambatan partisipasi pada warga adat, 
meski belum maksimal.
5. Adanya kepastian hukum bagi warga adat 
sangat penting untuk meretas problem konflik tenurial 
dan akan menjamin partisipasi warga adat 
secarapenuh dalam proses-proses pemilu.
Rekomendasi
1. Instrumen hukum pendaftaran pemilih harus 
diperbaiki. Penyelenggara pemilu bersama dengan 
pemerintah beserta dengan DPR harus merumuskan 
peraturan untuk menata sistem pendaftaran pemilih 
yang inklusif, akurat, transparan, dan terpercaya. 
Sistem pendaftaran pemilih tidak bisa dilepaskan 
perbaikannya dari setiap peristiwa kependudukan. 
Atas dasar itulah peran pemerintah sebagai aktor 
yang bertanggungjawab mencatat setiap peristiwa 
kependudukan penting untuk dilibatkan untuk 
mengevaluasi sistem pendaftaran pemilih.
2. Perlu ada mekanisme pembaharuan data pemilih 
yang terus-menerus dan terkonsolidasi antara data 
pemerintah dengan data yang dimiliki dan diolah oleh 
KPU.
3. Jaminan kepastian terhadap kelompok warga 
adat yang terkendala dokumen kependudukan untuk 
diberi perlakuan yang adil tanpa memandang problem 
tenurial dan situasi khusus yang melekat pada 
warga adat.
4. Menghadirkan regulasi pendampingan bagi pemilih 
penyandang tuna aksara di negara kita
 

5. Menghadirkan kemudahan bagi pemilih melalui 
kebijakan-kebijakan afirmatifuntuk merespons 
ragam dinamika sosio-kultural warga adat serta 
menjamin kemudahan bagi mereka untuk dapat 
berpartisipasi seluas-luasnya di dalam pemilu.
6. Pemerintah perlu segera mengesahkan Undang-
Undang warga  Adat untuk memberi kepastian 
hukum dan perlindungan atas hak konstitusional 
warga adat. Undang-Undang ini nantinya 
yang akan menjadi instrumen utama dalam 
menyelesaikanproblem konflik tenurial, dan hadirnya 
layanan dasar pembangunan bagi warga  
Adatyang akan menjamin secara penuh partisipasi 
warga  adat dalam  proses  pemilu.

pemilu 6


kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, 
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan 
Republik negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945. 
Konstitusi menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan secara 
efektif dan efesien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, 
rahasia, jujur, dan adil. Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada 
menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sekaligus 
sarana aktualisasi partisipasi warga sebagai pemegang 
kedaulatan dalam penentuan jabatan publik. Dalam hal ini 
rakyat bukanlah obyek untuk dieksploitasi dukungannya, 
melainkan ditempatkan sebagai subyek, termasuk dalam 
mengawal integritas pemilu di mana salah satunya melalui 
pengawasan. 
Peningkatan partisipasi warga dalam pemilu 
yaitu  hal penting sebab partisipasi yaitu esensi dari 
demokrasi. keikutsertaan  atau pelibatan warga dalam 
322
  
berpolitik yaitu ukuran demokrasi suatu negara. 
keikutsertaan  politik bisa meliputi banyak hal, terkait kebebasan 
untuk berbicara, berkumpul, dan asosiasi; mengambil bagian 
dalam pelaksanaan urusan publik; dan kesempatan untuk 
mengajukan diri sebagai calon; berkampanye; serta untuk 
memegang jabatan di semua tingkat pemerintahan. Hampir 
setiap negara sudah mengakui dan menjamin bahwa laki-laki 
dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi 
secara penuh dalam semua aspek dari proses politik. Oleh 
sebab  itu, kita harus memanfaatkan hak ini  seoptimal 
mungkin. Walaupun dalam praktiknya, sebagian perempuan 
masih sulit untuk memakai  hak ini  dan menghadapi 
stigmatisasi perempuan hanya sebagai obyek semata. 
Representasi perempuan di kancah politik 
sangat penting sebab  yaitu bagian dari kehidupan 
berdemokrasi dan transparansi dalam penyelenggaraan 
negara. Keterlibatan kaum perempuan di bidang politik, 
khususnya di lembaga legislatif akan memberi keseimbangan 
dan mewarnai perumusan peraturan perundang-undangan, 
penganggaran, dan pengawasan yang berperspektif gender, 
juga bisa menjamin kepastian dan kesejahteraan semua lapisan 
warga demi kemajuan bangsa yang nondiskriminatif, 
lebih adil, dan setara.
Perempuan dalam Pemilu 2019 memiliki peran penting 
dalam mewujudkan kehidupan politik yang mencerminkan 
kesetaraan dan keadilan gender, yaitu: (1) Perempuan aktif 
mengikuti proses seleksi komisioner penyelenggara pemilu, 
khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas 
Pemilu (Bawaslu), baik ditingkat provinsi dan kabupaten/kota. 
Sayangnya, proses seleksi dianggap tak ramah pada perempuan 
sehingga masih ada provinsi dan kabupaten/kota yang tidak 
memiliki keterwakilan perempuan dalam lembaga pemilu; (2) 
Perempuan aktif mengikuti proses seleksi anggota atau panitia 
pelaksana atau pengawas pemilu di tingkat kecamatan hingga 
Tempat Pemungutan Suara (TPS);(3)Perempuan kader partai 
maupun tokoh perempuan akan terlibat sebagai calon legislatif, 
hingga ketentuan kebijakan afirmasi sekurang-kurangnya 
30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota 
 
323
legislatif, bisa melampui batas minimal, yaitu mencapai 40% 
perempuan dalam daftar calon legislative; (4) Organisasi-
organisasi perempuan aktif mendorong partisipasi perempuan 
sebagai pemilih untuk memakai  hak pilihnya secara benar 
dan cerdas;dan (5) Perempuan juga aktif sebagai pemantau di 
TPS untuk memantau jalannya pemungutan dan penghitungan 
suara.
Pemilu serentak 2019 yaitu pemilu terbesar di 
dunia. Terbesar sebab  jumlah pemilih dalam negeri mencapai 
190.779.466 dan pemilih di luar negeri 1.991.145 sehingga total 
pemilih 2019 berjumlah 192.770.611. Dari data pemilih yang 
ditetapkan KPU RI diketahui 51% yaitu  perempuan, yaitu 
96.538.965 orang, dan dilaksanakan lebih dari 813.000 TPS. 
Mengingat lebih dari 51% pemilih pada Pemilu 2019 yaitu  
perempuan dan hampir 40% dari calon anggota dewan yaitu  
perempuan, maka perempuan perlu berperan aktif untuk 
menjadi pemantau pemilu. 
Mengacu pada realitas yang ada dalam Pemilu 2019, 
penting bagi Koalisi Perempuan negara kita untuk melibatkan 
diri berperan sebagai lembaga pemantau pemilu. Koalisi 
Perempuan negara kita untuk Keadilan dan Demokrasi pertama 
kali diumumkan berdirinya pada 18 Mei 1998 dan dikukuhkan 
melalui Kongres Perempuan negara kita di Yogyakarta pada 
Kamis, 17 Desember 1998. Koalisi Perempuan negara kita 
yaitu  organisasi berbadan hukum perkumpulan, berbasis 
keanggotaan perorangan perempuan warga negara negara kita, 
memiliki anggota sebanyak ±44.000 perempuan yang tersebar 
di 936 desa di 145 kabupaten/kota di 27 provinsi di negara kita, 
yaitu organisasi yang memiliki asas Pancasila dan 
Hak Asasi Perempuan (HAP). Organisasi ini konsern pada (1) 
advokasi kebijakan publik dalam memperjuangkan hak-hak 
perempuan, dan (2) memperjuangkan keterwakilan perempuan 
dalam menduduki posisi strategis pengambilan kebijakan 
seperti kepala desa, kepala daerah, legislatif, dan lainnya. 
Selama 20 tahun lamanya Koalisi Perempuan negara kita 
yaitu organisasi massa perempuan yang konsern 
pada kerja-kerja advokasi terhadap kebijakan publik yang 
memperjuangkan hak-hak perempuan, anak, dan kelompok 
324
  
rentan, termasuk mendukung keterwakilan perempuan dalam 
menduduki posisi pengambilan kebijakan, baik mulai dari 
tingkat desa (misalnya, kepala desa, perangkat desa, dan lain-
lain) hingga nasional sebagai eksekutif dan legislatif, termasuk 
mendorong partisipasi anggotanya untuk ikut serta dalam 
penyelenggaraan pemilu (Bawaslu dan KPU) secara berjenjang. 
Pemilubagi Koalisi Perempuan negara kita yaitu 
sarana mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta 
sekaligus menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan 
perempuan untuk ikut menentukan masa depan negara kita 
sejahtera, adil, dan beradab.Di samping itu, pemilu yaitu 
sarana untuk meningkatkan keterwakilan politik dalam 
lembaga pengambilan keputusan, khususnya lembaga Dewan 
Perwakilan Rakyat. Hal inilah yang melatar belakangi Koalisi 
Perempuan Indoenesia untuk mendaftarkan diri dengan 
kesukarelaan sebagai  lembaga  pemantau  pemilu ke Bawaslu.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka Penulis 
merumuskan masalah yaitu  bagaimana peran Koalisi 
Perempuan negara kita dalam meningkatkan partisipasi politik 
perempuan?
Teori Konsep
1. keikutsertaan  Politik
keikutsertaan  berasal dari bahasa latin yaitu pars yang 
artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan 
dalam aktivitas atau kegiatan politik negara yang jika  
digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa 
inggris, partisipate atau  participation  berarti mengambil bagian 
atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam 
aktivitas atau kegiatan politik negara(Suharno. 2004: 102-103). 
keikutsertaan  politik yaitu  salah satu aspek penting 
suatu demokrasi. keikutsertaan  politik yaitu ciri khas dari 
modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan 
dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi 
kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut 
serta menentukan isi keputusan politik. Oleh sebab  itu yang 
 
325
dimaksud dengan partisipasi politik,menurut Hutington dan 
Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151),yaitu  kegiatan 
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang 
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh 
pemerintah.
Menurut oemar dani dalam Cholisin  partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan 
sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk 
ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan 
memilih pemimpin negara dan langsung atau tidak langsung 
mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini 
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan 
umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu 
partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan 
(contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota 
perlemen, dan sebagainya.
chucky  A. Almond yang dikutip oleh Mas’oed 
dan Mac Andrews (dalam Colin, 2008:57), membedakan 
partisipasi politik atas  dua bentuk, yaitu: (a) keikutsertaan  politik 
konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal 
dalam demokrasi modern; dan (b)  keikutsertaan  politik non 
konvensional, yaitu suatu bentuk partispasi politik yang tidak 
lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa 
kegiatan ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner.
Adapun  rincian dari pandangan Almond tentang dua 
bentuk  bentuk  partisipasi  
Pemikiran Almond ini  dapat dikatakan bahwa 
partisipasi politik dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni 
partisipasi politik yang bersifat umum atau partisipasi politik 
tanpa kekerasan serta partisipasi politik yang dilakukan oleh 
warga warga dalam bentuk koersif atau jalur konflik.
Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin 
(2007:152), membedakan partisipasi politik menjadi beberapa 
kategori, yakni: (1) keikutsertaan  politik apatis, orang yang tidak 
berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik; (2) keikutsertaan  
politik spector, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut 
memilih dalam pemilihan umum; (3) keikutsertaan  politik gladiator, 
mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni 
komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis 
partai dan pekerja kampanye dan aktivis warga; dan (4) 
keikutsertaan  politik pengritik, orang-orang yang berpartisipasi 
dalam bentuk yang tidak konvensional.
keikutsertaan  pemilih dalam pemilu menjadi penting 
sebab  akan berdampak secara politis terhadap legitimasi 
sebuah pemerintahan yang dihasilkan. Legitimasi yaitu  
syarat  mutlak yang secara politik turut menentukan kuat 
atau lemahnya sebuah pemerintahan. Peran publik menjadi 
bagian penting dari proses  penyelenggaraan  pemilu 
untuk memastikan pemilu dilakukan secara jujur, adil, dan 
demokratis. keikutsertaan  politik tidak sekadar persoalan dari sisi 
pemilih memakai  hak pilihnya saat pemilu di bilik suara, 
namun  juga bagaimana publik berperan dalam menciptakan 
proses  pemilu yang kredibel dan bersih melalui keterlibatan 
dalam pengawasan pemilu sebagai bagian kontrol terhadap 
penyelenggaraan pemilu itu sendiri. 
Koalisi   Perempuan negara kita dalam kerja-kerja sebagai 
lembaga  pemantau pemilu pada tahun 2019 melakukan 
partisipasi konvensional, yaitu pemberian suara, diskusi politik, 
dan kampanye. Pengawasan partisipatif yang dilakukan 
Koalisi Perempuan negara kita dalam kegiatan pemantauannya. 
Pentingnya pengawasan partisipatif dalam mengawal 
penyelenggaraan pemilu, yang bertujuan untuk menciptakan 
pemilu yang demokratis. 
Pemantau pemilu terdiri atas lembaga-lembaga 
swadaya warga atau CSO (Civil Society Organization) 
yang ikut mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu.
Keberadaan pemantau pemilu memang sudah menjadi salah 
satu elemen penting di dalam penyelenggaraan pemilu. 
Namun dalam banyak aktivitas pemantauan pemilu yang 
dilakukan, fokusnya memang lebih banyak kepada memantau, 
mencatat, mendokumentasikan  (masih tidak terlalu rapi), dan 
melaporkan ke pengawas   pemilu kalau hasil pantauan ini  
yaitu    pelanggaran pemilu.
keikutsertaan  politik kaum perempuan terkait 
dengan kebijakan affirmative action terfokus pada bentuk 
keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan secara 
formal dalam institusi politik seperti parlemen, birokrasi, 
atau partai politik. Dalam kaitan ini, yang menjadi dasar 
pemikiran (rationale) utama pentingnya partisipasi politik 
kaum perempuan di ranah politik khususnya yaitu  terkait 
dengan usaha  membentuk warga demokrasi yang kuat 
bersamaan dengan penegakan hukum dan prosedur-prosedur 
demokrasi yang membutuhkan prasyarat mendasar adanya 

  
keseimbangan  partisipasi dan perwakilan politik antara kaum 
perempuan  dan laki-laki  
Salah satu bentuk dari affirmative action yaitu  
kebijakan kuota. Kuota yaitu persentase minimal yang 
ditujukan untuk menjamin keseimbangan jumlah antara laki-
laki dan perempuan dalam jabatan politik secara menonjol  
dapat mengubah berbagai  kebijakan politik. Menurut penelitian 
yang dilakukan oleh International Parliamentary Union (IPU), 
angka menonjol  (atau biasa disebut dengan critical numbers) 
yang dapat mempengaruhi kebijakan politik yaitu  30 persen 
Dahlerup (2005) menjelaskan beberapa alasan 
kontemporer mengapa keterwakilan perempuan itu sangat 
penting: pertama – the justice argument – sebab  setengah 
penduduk dunia yaitu  perempuan, sebab nya berhak untuk 
menguasai setengah jumlah kursi yang tersedia di institusi 
politik; kedua – the experience argument – perempuan memiliki 
pengalaman yang berbeda (yang dikonstruksi secara biologis 
maupun sosial) yang harus terwakili; ketiga – the interest group 
argument – perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan 
yang sebagian memang bertentangan dan sebab nya laki-laki 
tidak dapat mewakili perempuan; keempat, terkait dengan 
pentingnya politisi perempuan yang akan menjadi panutan (role 
models) bagi perempuan lainnya untuk aktif di ranah politik.
Keterwakilan perempuan sebenarnya yaitu isu 
politik yang masih membutuhkan perhatian untuk diperjuangkan 
oleh kaum perempuan. Para pemerhati perempuan  sangat 
yakin dan optimis bahwa dengan melibatkan  perempuan 
dalam proses  pengambilan keputusan kebijakan, akan sangat 
berdampak  pada keadilan politik itu sendiri sebab   perempuan 
lebih sensitif  pada kepentingan keluarga, anak, dan perempuan 
(Irwan; 2009: 59). Affirmative action keterwakilan perempuan 
dalam daftar bakal calon dilakukan tidak  hanya untuk DPR, 
namun   berlaku pula untuk DPRD Provinsi maupun DPRD 
Kabupaten/Kota. Kuota diperlukan agar terjadi keseimbangan 
dan untuk mencapai  critical numbers (angka strategis). 
Hak-hak politik kaum perempuan menetapkan 
standar internasional untuk hak-hak politik kaum perempuan. 
Sementara CEDAW menjadi dasar untuk mewujudkan 
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki dengan 
memberikan jaminan kesetaraan akses dan kesempatan dalam 
kehidupan politik dan aktivitas publik lainnya, termasuk hak 
untuk memberikan suara dan mengikuti pemilihan umum. 
Upaya lainnya yaitu  Beijing Declaration and Platform for 
Action pada tahun 1995 yang yaitu kerangka kebijakan 
global yang komprehensif untuk mencapai kesetaraan gender 
dan pemberdayaan  kaum perempuan.
Berbicara tentang konsep affirmative dalam praktiknya 
di lapangan dilaksanakan dengan sistem kuota. Sistem ini 
memang banyak menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Dalam 
penelitian ini peneliti memakai konsep Melanie Reyes 
salah satu peneliti dari Centre for Legislative Development. 
Menurut Melanie Reyes, sistem kuota yaitu  sebuah pilihan 
antara memperoleh  kutukan atau anugerah. Adapun makna 
dalam sistem kuota ini yaitu :
(1) Sistem kuota pada dasarnya meletakkan persentase 
minimum bagi kedua jenis kelamin, yakni laki-laki dan 
perempuan, untuk memastikan adanya keseimbangan 
posisi dan peran gender dari keduanya dalam dunia 
politik, atau khususnya dalam pembuatan keputusan.
(2) Sistem kuota dimaknai sebagai pemberian kesempatan 
dengan memaksakan sejumlah persentase tertentu 
pada kelompok tertentu (perempuan). Sistem kuota ini 
pada dasarnya tidak memiliki basis hukum yang kuat 
alias tidak konstitusional. Belum lagi pernyataan yang 
menyatakan bahwasistem kuota bertentangan dengan 
hak-hak asasi manusia dan bahkan merendahkan 
kemampuan perempuan itu sendiri.
Selain batas kuota minimal, bentuk afirmasi lain yang 
dipakai  untuk mendorong terpenuhinya keterwakilan 
perempuan di parlemen yaitu  reserved seat dan zipper 
system. Reserved seat yaitu  penetapan jumlah kursi yang 
harus ditempati oleh perempuan secara minimal, dalam hal ini 
30% setiap daerah pemilihan harus diwakili oleh perempuan. 
Contohnya, daerah A yang memiliki jatah 3 kursi di DPR, maka 
satu kursinya harus diisi oleh perempuan. jika  daerah 

  
B memiliki jatah 5 kursi, maka 2 kursinya harus diisi oleh 
perempuan. Jika jatah kursi yang harus diambil oleh perempuan 
tidak terisi, maka kursi ini  harus dikosongkan dan tidak 
boleh terisi oleh laki-laki. Sedangkan zipper svstern ditujukan 
untuk memastikan agar perempuan dan laki-laki secara selang-
seling tertulis dalam daftar sehingga ada representasi yang 
imbang antara kedua jenis kelamin itu dalam daftar pencalonan.
Aksi  afirmasi telah terbukti menjadi cara efektif untuk 
meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen. 
HaI itu ditandai dengan terpenuhinya representasiperempuan 
minimal 30% dalam lembaga legislatif di beberapa negara 
berkat diberlakukannya aksi ini . Hingga saat ini, ada24 
negara di dunia yang telah memenuhi keterwakilan perempuan 
dalam parlemen di atas angka 30%. Posisi pertama ditempati 
oleh Rwanda dengan 56,3% keterwakilan perempuan, lalu 
secara berturut-turut diikuti Andorra (53,5%) di posisi kedua 
dan Swedia (45%) di posisi ketiga. Sementara negara kita hanya 
berada  pada posisi ke-64 dengan keterwakilan perempuan18% 
Lima negara yang memiliki keterwakilan perempuan 
dalam parlemen terbanyak di dunia saat ini, seluruhnya telah 
menerapkan aksi afirmasi. Sementara itu, dari 26 negara yang 
memenuhi minimal 30% keterwakilan perempuan di parlemen, 
hanya ada empat negara yang tidak memberlakukan aksi 
afirmasi. Keempat negara itu yaitu  Andora, New Zealand, 
Belarus, dan Kuba. Berikut yaitu data atas sistem politik 
dan aksi afirmasi yang diadopsi oleh 26 negara yang memenuhi 
angka minimal 30% keterwakilan perempuan.
 

Berdasarkan sistem pemilu di atas, ada 17 
negara memakai  sistem proporsional dengan daftar, 5 
negara dengan sistem suara terbanyak, dan hanya 3 negara 
dengan sistem kombinasi. Sebanyak 17 negara dengan sistem 
proporsional ini  seluruhnya mengelaborasikan aksi 
afirmasi berkisar dari angka minimal 30% hingga 50%. Berbeda 
dengan 17 negara ini , negara dengan sistem kombinasi 
dan sistem suara terbanyak  tidak s epenuhnya mengadopsi 
aksi afirmasi dalam sistern pemilu dan politiknya. Hanya 
Jerman dengan sistem pemilu kombinasi yang memakai  
jaminan kuota 30% caleg perempuan. Sementara Nepal, 
Uganda, dan Tanzania memakai  aksi afirmasi reserved seat 
dalam sistem pemilunya. Dengan demikian, kolaborasi sistem 
proporsional dengan daftar dan kuotalah yang rnendominasi 
negara-negara berketerwakilan perempuan tertinggi di dunia.
Metodologi Penelitian 
Penelitian ini memakai  penelitian kualitatif. Pengumpulan 
data dengan cara observasi, wawancara, dan studi literatur. 
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini yaitu  reduksi 
data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi.
Peran Koalisi Perempuan negara kita Dalam Meningkatkan 
keikutsertaan  Politik Perempuan
Koalisi Perempuan negara kita sebagai organisasi massa 
perempuan meresponspartisipasi dan pelibatan warga 
sipil dalam mengawal suara perempuan dan mendukung 
terwujudnya 30% keterwakilan perempuan di DPR RI, DPD, 
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Koalisi Perempuan 
negara kita merasa berkepentingan untuk menjadi pemantau 
pemilu independen dalam Pemilu 2019. Tujuannnya yaitu  
mengawal suara perempuan dalam bagian mendukung 
partisipasi perempuan dalam pemilu.
Pada 21 September 2018, Koalisi Perempuan negara kita 
telah mendaftar sebagai lembaga pemantau independen 
dengan jumlah pemantau ±710 anggota yang tersebar di 15 
provinsi (Aceh, Bengkulu, DI Yogyakarta, Jambi, Jawa Timur, 
Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, 
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, 
Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara 
Timur) dan 4 kabupaten/kota (Tarakan, Ternate, Manado, dan 
Minahasa). 
Fokus pemantauan Koalisi Perempuan negara kita 
yaitu : (a) penyusunan pembuatan UU Pemilu, (b) pemungutan 
dan penghitungan suara, (c) pendaftaran pemilih, (d) 
pencalonan perempuan, (e) kampanye dan dana kampanye, 
(f) pemilu akses pada pemilih disabilitas dan kelompok rentan 
lainnya, (g) distribusi logistik, dan (h) pemantauan tahapan 
pemilu melalui media sosial dan perangkat teknologi.
Pemantau Koalisi Perempuan negara kita harus 
melakukan koordinasi dengan penyelenggara pemilu 
dan sesama organisasi pemantau pemilu. Koordinasi dan 
membangun jejaring kerja dengan penyelenggara pemilu dan 
organisasi-organisasi pemantau pemilu diawali oleh pengurus 
atau yang diberi mandat oleh pengurus. Setelah itu pemantau 
dapat langsung berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu 
sesuai tingkatan, yakni: (1) Pengurus Nasional atau yang 
dimandatkan berkoordinasi dengan Bawaslu RI dan KPU RI; 
(2) Pengurus Wilayah atau yang dimandatkan berkoordinasi 
dengan Bawaslu dan KPU tingkat Provinsi; (3) Pengurus Cabang 

  
atau yang dimandatkan berkoordinasi dengan Bawaslu dan 
KPU tingkat Kabupaten/Kota dan penyelenggara pemilu 
tingkat kecamatan; (4) Pengurus Balai Perempuan atau yang 
dimandatkan berkoordinasi dengan Panitia Pengawas Pemilu 
dan panitia pelaksana pemilu di tingkat desa/kelurahan dan di 
tempat pemungutan suara (TPS). 
Koalisi Perempuan negara kita dalam meningkatkan 
partisipasi politik perempuan dikelompokkan menjadi 3 
(tiga), yaitu: (1) pendidikan pemilih (voter education), Koalisi 
Perempuan negara kita  melakukan penedidikan pemilih yang 
sasarannya kepada pemilih  yang diluar peserta pemilu; (2) 
pemantauan pemilu, Koalisi Perempuan negara kita melakukan 
pemantauan Pemilu Serentak 2019 yang yaitu mitra 
strategis Bawaslu RI; dan (3) advokasi, Koalisi Perempuan 
negara kita melakukan peningkatan kapasitas caleg perempuan 
tentang kepemiluan  dan  pemilu. 
Pendidikan Pemilih (Voter Education)
Koalisi Perempuan negara kita dalam melakukan 
pendidikan pemilih (voter education) memakai  modul 
“Pendidikan Pemilih Bagi Perempuan di Komunitas” yang 
berisikan materi: (1) Orientasi Peserta, (2) Kepentingan 
Perempuan dan Negara, (3) Perempuan dan Pemilu, (4) 
Memilih dan Mengawal Suara, dan (5) Evaluasi dan Rencana 
Tindak Lanjut.  Sasaran  kegiatan pendidikan pemilih ini yaitu  
pengurus, anggota, kader di 15 daerah (Aceh, Bengkulu, DI 
Yogyakarta, Jambi, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, 
DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi 
Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara 
Barat, dan Nusa Tenggara Timur). Peserta pendidikan pemilih 
(voter education) berjumlah  908 orang. Kegiatan pendidikan 
pemilih ini berlangsung selama 3 hari dan dilaksanakan di 
rumah anggota  Balai Perempuan yang berdomisili di desa/
kelurahan.

Pendidikan pemilih (voter education) yaitu kegiatan 
yang dilakukan Koalisi Perempuan negara kita secara kontinu 
setiap pemilu. Pendidikan pemilih dilakukan secara berjenjang 
mulai dari tingkat desa/kelurahan (disebut Balai Perempuan), 
kabupaten/kota (disebut Cabang), provinsi (disebut Wilayah), 
dan nasional. 
 Pendidikan pemilihan diselenggarakan untuk 
membangun kesadaran pemilih perempuan dalam 
memakai  hak pilihnya secara independen dan agar tidak 
golput. Materi yang disampaikan pada setiap pendidikan 
pemilih selalu diperbarui atau ter-update, terutama terkait UU 
Pemilu. 
Pemantauan Pemilu Koalisi Perempuan negara kita 
Dalam kegiatan pemantauan, yang dilakukan 
Koalisi Perempuan negara kita yaitu : (1) mendaftarkan dan 
mendata anggota pemantau di 15 provinsi, (2) menyusun 
dan mendistribusikan panduan pemantauan pemilu yang 
dipakai  di kalangan internal Koalisi Perempuan negara kita, 
(3) membuat ceklist  pemantauan 17  April 2019 di saat pungut 
hitung di TPS, (4) peningkatan kapasitas pemantauan, (5) 
berkordinasi dan bekerjasama  dengan  penyelenggara pemilu 
(KPU dan Bawaslu) di setiap jenjang kecamatan, kabupaten/
kota, provinsi, dan nasional, (6) melakukan  kampanye 

  
bersama dengan jejaring warga sipil lainnya, yaitu 
anti politik uang, tolak politik SARA dan hoaks, mendukung 
keterwakilan perempuan, ayo ke TPS, dan wujudkan pemilu 
luber jurdil 2019, dan (7) pembuatan laporan pemantauan. 
Selain itu, Koalisi Perempuan negara kita membentuk Balai 
Perempuan Pusat Informasi dan Pengaduan Advokasi (PIPA) 
Pemilu di 15 provinsi. Selain berkoordinasi dan membangun 
jejaring kerja dengan penyelenggara pemilu, pemantau pemilu 
Koalisi Perempuan negara kita dapat melakukan koordinasi 
dan membangun jejaring kerja dengan organisasi pemantau 
lainnya atau organisasi bantuan hukum (OBH) yang melakukan 
pemantauan atau membuka posko pengaduan, organisasi 
atau kelompok warga yang tergabung dalam Gerakan 
Pengawas Partisipatif Pemilu (Gempar Pemilu). 
 Koalisi Perempuan negara kita melakukan sosialisasi 
tentang kepemiluan dan pemantauan di 15 provinsi denngan 
anggota yang terdaftar sebagai anggota pemilu berjumlah 710 
orang. Anggota pemantau pemilu memiliki pegangan dalam 
pemantauannya dengan memakai  panduan pemantauan 
internal yang dimiliki Koalisi Perempuan negara kita, buku saku 
pemantauan dari Bawaslu RI, checklist pemantauan yang 
diisi oleh pemantau pada 17 April 2019 dikirim ke Sekretariat 
Nasioanal melalui email dan whatshapp dan komunikasi 
antarpemantauan di 15 provinsi dengan membuat grup 
whatshapp. 
Koalisi Perempuan negara kita menemukan beberapa 
temuan dalam pemantauannya di 15 provinsi. Pertama, TPS yang 
tidak ramah dan aksesibel kepada pemilih ibu hamil, lanjut usia 
(lansia), dan penyandang disabilitas sehingga menjadi penting 
penempatan TPS kedepannya. Kedua, ukuran kertas surat suara 
yang besar dan jenis warnanya yang masih merepotkan pemilih 
dalam mencoblos, melipat, dan memasukkan kertas surat 
suara di kotak yang disediakan sehingga pemilu kedepannya 
penting untuk menyederhanakan ukuran kertas surat suara dan 
sosialisasi terkait jenis surat suaranya. Ketiga, waktu panjang 
hingga subuh dan diulang baik dalam penghitungan suara dan 
pengisian formulir berita acara yang masih kurang dipahami 
petugas KPPS sehingga banyak coretan sehingga menjadi 
penting dalam rekrutmen dalam penyelenggara di tingkatan 
TPS, termasuk peningkatan kapasitas dalam pelatihan 
pengisian formulir berita acara. Selain itu, cek kesehatan bagi 
penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) secara berjenjang 
agar tidak ada lagi korban jiwa sehingga perlu ada sebaiknya 
menata ulang jam kerja dan asuransi kesehatan. Keempat, 
masih minimnya sosialisasi kepada pemilih terkait mekanisme 
pemberian hak suara bagi pemilih. Misalnya informasi A5 dan 
C6, dilapangan banyak pemantauan mendapati banyak pemilih 
yang tidak memberikan suaranya sebab  minimnya informasi. 
Sosialisasi calon legislatif dan DPD kurang optimal sebab  
pemilih banyak yang kurang mengenal calon-calon DPR/DPRD 
dan DPD, apalagi tidak ada foto mereka dalam surat suara. 
Yang ada hanya nomor urut dan nama caleg, sehingga pemilih 
cenderung mencoblos partai politiknya, apalagi pemilih yang 
buta aksara. Ditambah lagi dengan masih ditemukannya 
pemilih yang belum bisa mecoblos dengan benar sehingga 
ditemukan surat suara yang tidak sah. 
Dalam pemantauan Pemilu 2019 Koalisi Perempuan 
negara kita menghadapi kendala, yaitu: (1) keterbatasan 
pemantau perempuan yang kurang paham teknologi dan 
menarasikan temuan, (2) masih terbatasnya pemahaman 
tentang regulasi (perundang-undangan) penyelenggaraan 
pemilu, (3) terbatasnya peningkatan kapasitas anggota 
pemantau sehingga aktivitas pemantauannya belum bisa 

  
maksimal, (4) komunikasi dengan penyelenggara pemilu (KPU 
dan Bawaslu) yang masih mengalami kesulitan, dan (5) sebagian 
besar dugaan pelanggaran pemilu yang ditemukan pemantau 
masih diselesaikan secara damai dan bukti-bukti pelaporan 
yang dianggap masih kurang lengkap oleh penyelenggara 
pemilu. 
Advokasi Koalisi Perempuan negara kita 
Advokasi oleh Koalisi Perempuan negara kita dilakukan 
lewat kegiatan pelatihan (training) peningkatan kapasitas 
caleg perempuan yang berasal dari anggota atau kader Koalisi 
Perempuan negara kita. Sasaran pelatihan yaitu  peningkatan 
pemahaman kepemiluan dan pemantauan dalam Pemilu 
Serentak 2019. Dalam rangka melakukan dukungan partisipasi 
politik perempuan untuk mewujudkan 30% keterwakilan 
perempuan di parlemen, Koalisi Perempuan mengadakan 
pelatihan peningkatan pemahaman calon legislatif perempuan 
tentang kepemiluan dan pemantauan Pemilu Serentak 2019 
yang dilakukan di 15 provinsi. Pelatihan calon legislatif ini 
yaitu program Koalisi Perempuan negara kita yang 
pertama kalinya diadakan pada Pemilu 2019.  Jumlah peserta 
kegiatan pelatihan ini a dalah  238 orang. 
 

Sebaran Asal Daerah Pemilihan Calon Legislatif Perempuan Koalisi 
Perempuan negara kita Terpilih dalam Pemilu 2019
Kondisi di lapangan menunjukkan partisipasi warga 
negara  “perempuan”  dalam bidang politik masih rendah atau 
lemah. Secara  kuantitatif   masih sedikit sekali perempuan yang 
secara aktif terlibat dalam bidang politik. Disisi lain, partisipasi 
perempuan lemah sebab  meskipun perempuan berhasil 
mempertahankan posisinya di arena politik, mereka kurang 
terlihat memiliki jaringan pendukung untuk menghelanya, 
mereka minim keterampilan, dan sering kali lebih menjadi 
perimbangan gender dibandingkan  kekuatan politik sesungguhnya. 
sebab  itu, peningkatan SDM perempuan disegala bidang 
kehidupan, terutama bidang politik, yaitu hal  yang 
tidak dapat ditawar lagi. Selain itu, Pemilu Serentak 2019 
menunjukkan 51% perempuan masuk dalam DPT yang 
mengalami perbaikan oleh KPU selama 3 (tiga) kali. Disamping 
itu, masih menjadi perjuangan panjang dalam mengubah 
stigmatisasi bahwa perempuan hanya dijadikan obyek saat 
pemilu, yaitu  pengepul suara dalam pencalonan legislatif. 
Perempuan dan politik yaitu rangkaian kata yang 
sering kali dijadikan slogan oleh partai politik menjelang 
pemilu. Slogan ini  dimaksudkan sebagai kampanye agar 
perempuan tertarik menyumbangkan suaranya pada partai 
politik. Namun hal ini  sepertinya hanya sebatas slogan, 
sebab   saat pemilu berakhir partai politik pun lupa akan 
janjinya.

  
Kebijakan afirmatif yang ditempuh dalam rangka 
meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen yaitu 
konsekuensi hukum logis dari usaha  pemenuhan HAM  warga 
negara   sebagaimana   diatur   dalam   Pasal 27 ayat (1) dan 
Pasal  28H ayat (2) UUD 1945, serta pemenuhan kewajiban 
negara untuk melaksanakan berbagai ketentuan hukum HAM 
Internasional (Konvensi HAM) yang telah diratifikasi oleh 
negara kita dalam pelbagai peraturan perundang-undangan. 
Kenyaataan terkait regulasi pemilu di negara kita, senantiasa 
terjadi perubahan untuk menyesuaikan tuntutan zaman; mulai 
dariUndang-Undang Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum, 
UU Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 
22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 15/2011 
tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 2/2008 tentang 
Partai Politik, UU Nomor 8/2012  tentang Pemilihan  Umum, 
dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum. 
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah 
caleg perempuan pada Pemilu 2019 mencapai 3.194 atau 
sudah memenuhi kuota 30% caleg perempuan seperti yang 
diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Angka itu meningkat 
hampir 50% dari Pemilu 2014 yang sebesar 2.467 orang.Dari 
14 partai politik nasional, ada empat partai yang mencalonkan 
perempuan paling banyak, yakni Partai Golkar, disusul 
Demokrat, NasDem, Gerindra, dan PDI Perjuangan.Kebijakan 
tentang kuota 30% keterwakilan perempuan dirumuskan 
dalam tiga undang-undang yang mengharuskan partai politik 
menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam 
pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Jumlah  keterwakilan  perempuan  pada Pemilu 
Serentak 2019 memang mengalami kenaikan dengan 21% dari 
seluruh slot anggota dewan, yaitu 120 kursi legislatif perempuan 
dan 455 legislatif laki-laki dengan jumlah kursi 575 di DPR RI. 
Sementara itu, pada Pemilu 2009, keterwakilan perempuan 
di kursi anggota dewan sedikit lebih tinggi ketimbang 2014. 
Pada masa itu, perempuan menduduki 101 kursi dewan atau 
18%.Sedangkan pada 2004, keterlibatan perempuan di bangku 
parlemen tercatat paling rendah. Pada masa itu, hanya 61 orang 
perempuan terdata sebagai anggota parlemen. Itu artinya, 
hanya 11% perempuan menguasai kursi DPR.
  4. 
Sejarah Pemilu Pasca Reformasi dalam Keterwakilan 
Perempuan DPR RI
  4 menunjukkan adanya peningkatan pada 
Pemilu Serentak 2019 yang terhitung tertinggi dari 
pemilu sebelumnya. Pemilu 2019 menunjukkan 21% 
keterwakilan perempuan dengan  jumlah 120 calon legislatif 
perempuan yang terpilih. Sembilan partai politik yang 
lolos ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold 
(PT) pada Pemilu 2019 yaitu  PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, 
Nasdem,  PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.  
Diagram 3. 
Persentase Jumlah Kursi DPR RI Terpilih  Berdasarkan Jenis 
Kelamin dalam Pemilu 2019

  
Pencapaian terbaik Pemilu 2019 jumlah 30% 
keterwakilan perempuan, baik dalam pencalonan maupun 
calon l egislatif perempuan terpilih, yaitu  Nasdem dan PKS. 
Daerah pemilihan  dengan calon legislatif perempuan terpilih 
Pemilu 2019 terbanyak yaitu  Jawa Barat, Jawa Tengah, dan 
Jawa Timur. Sedangkan daerah  pemilihan tanpa calon legislatif 
yang terpilih atau tidak ada perwakilan perempuan yaitu : (1) 
Aceh II, (2) Riau (I dan II), (3) Babel, (4) Kepri, (5) Lampung I, 
(6) DKI III, (7) Jawa Tengah  (I dan X),  (8) Jawa Timur (IV dan 
XI), (9) Bali, (10) NTB I, (11) NTT I, (12) Kalimantan Barat I, (13) 
Kalimantan Selatan (I dan II), (14) Kalimantan Tenggara, dan 
(15)  Papua Barat. 
Diagram 4. 
Persentase Jumlah Kursi DPD RI Terpilih  Berdasarkan 
Jenis Kelamin dalam Pemilu 2019
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan tren kenaikan 
representasi perempuan di lembaga legislatif tingkat nasional, 
pada DPR RIberjumlah 120 orangdari 575 kursi yang ada (21%) 
dan DPD RIsejumlah 45 orang dari 136 kursi yang ada (33%). 
Kenaikan ini  yaitu capaian menonjol , terutama jika 
ditelusuri angka keterwakilan perempuan yang diperoleh 
dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Capaian keterwakilan 
perempuan pada konteks politik elektoral sebenarnya juga 
didukung oleh dua peraturan teknis, yakni; Surat Keputusan 
(SK Kemenkumham)  tentang  Kepengurusan Partai 
Politik yang mewajibkan minimal 30% perempuan dalam 
kepengurusan Dewan Pengurus Pusat (DPP) sebagai syarat 
menjadi peserta pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum 
(PKPU) yang mewajibkan partai mencantumkan minimal 30% 
perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk setiap 
daerah pemilihan. Dengan kata lain, serangkaian usaha  
meningkatkan  keterwakilan perempuan di lembaga legislatif 
dilakukan di berbagai lini melampaui tiga siklus pemilu hingga 
persentasenya  meningkat menonjol  seperti sekarang.
Keterwakilan  perempuan di lembaga legislatif dapat 
direfleksikan sebagai wujud dari hasil usaha  partai mendorong 
pemenuhan  prinsip kesetaraan gender. Hal ini perlu dipahami 
dengan konteks kebijakan afirmatif untuk  peningkatan peran 
perempuan sebagai anggota legislatif maupun pengurus 
partai politik yang disandarkan sepenuhnya pada kemauan 
serta komitmen internal partai. Data pencalonan pada Pemilu 
2019 menunjukkan bahwa justru sejumlah partai barulah yang 
tinggi  persentase  pencalonan  perempuannya. 
  5. 
Nomor Urut Calon Legislatif  Perempuan 
Terpilih Pemilu 2019
Tren pemilih dalam memilih calon legislatif 
perempuan masih berorientasi pada nomor urut 1, 2, dan 3. 
Alasan mayoritas pemilih yaitu  calon bernomor urut itu 
paling gampang dicoblos dan paling mudah diingat. Oleh 
sebab nya para calon legislative, baik calon laki-laki maupun 
perempuan, masih menganggap penting nomor urut dalam 
pencalonannya. Meskipun untuk memperoleh nomor urut 1, 
2, dan 3 butuh  ekstra perjuangan, yaitu logistik yang dimiliki 
oleh seorang calon legislatif, kedekatan dengan pengurus 

  
parpol atau  dirinya sebagai pengurus partai politik, dan basis 
massa atau jaringan maupun popularitas. Hal inilah yang 
menjadi nilai tawar calon legislatif  kepada partai politik dalam 
penentuan nomor urutnya. 
  6 
Latar Belakang Calon Legislatif Perempuan 
Terpilih Pemilu 2019
Keterpilihan perempuan sebagai anggota legislatif 
DPR, DPD, dan DPRD yaitu salah satu isu strategis 
yang ramai diperbincangkan menjelang Pemilu 2019.
Persentase 21% calon legislatif perempuan terpilih dalam 
parlemen menorehkan sejarahnya dalam negeri ini pasca 
reformasi tentang kepemiluan dan gerakan perempuan dalam 
mewujudkan keterwakilan perempuan di posisi pengambilan 
kebijakan publik yang berpihak pada pemenuhan kebutuhan 
perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya. Hal itu sebab  
representasi politik perempuan di lembaga legislatif, sejak 
berlakunya kebijakan afirmatif pada Pemilu 2004 hingga saat 
ini, masih rendah meski pencalonannya tinggi.Meski demikian, 
pertambahan persentase 3% ini  dinilai tak akan banyak 
berpengaruh  sehingga memberikan tantangan bagi kelompok 
perempuan  ini   harus  mampu meningkatkan kualitas 
dan menambah jaringan.
 
347
Diagram 5. 
Persentase Latar Belakang Calon Legislatif Perempuan Terpilih 
Pemilu 2019
Berdasarkan Diagram 5, mayoritas persentase 
keterpilihan calon legislatif perempuan yaitu  39% (46 
orang) petahana/anggota DPR 2014-2019, 25% (30 orang) 
memiliki pengalaman organisasi/jaringan dan menjabat 
sebagai pengurus partai politik, dan 24% (29 orang) memiliki 
kekerabatan politik dan elite (misalnya anak pejabat/pimpinan 
partai politik, istri pejabat, dan lain-lainnya). Sedangkan yang 
lainnya, calon legislatif perempuan yang terpilih Pemilu 2019 
berlatar belakang sebagai seleberiti/artis dan profesional (staf, 
dosen, guru, dan lainnya). 
Pencapaian keterwakilan perempuan di legislatif 
nasional yaitu hal yang patut dirayakan dengan sebuah 
catatan kritis, yakni keragaman latar belakang mereka. 
Keragaman latar belakang dapat dipetakan secara luas 
meliputi profil caleg sebagai petahana, kader partai, aktivis, 
kekerabatan, selebriti/artis dan elite ekonomi. 
jika  dikaji dalam konteks untuk melihat kapasitas 
anggota legislatif perempuan dan mendorong peningkatan 
keterwakilan perempuan pada posisi pimpinan lembaga 
legislatif.; Diagram 4 data hasil Pemilu 2019 menunjukkan 
bahwa dari 120 caleg perempuan terpilih di DPR RI, sebanyak 
46 orang (39%) yaitu  petahana dan pernah menjabat sebagai 
anggota legislatif di nasional maupun lokal meskipun bukan 
petahana. Hal ini berarti lebih dari setengah caleg perempuan 
348
  
terpilih di DPR RI tercatat berpengalaman sebagai anggota 
legislatif. Hal ini menjadi dasar untuk menyebut angka 
representasi 21% bukan sekadar capaian, tapi juga investasi 
politik perempuan yang perlu dikelola oleh lintas partai politik 
dan peluang untuk mewujudkan prinsip kesetaraan.
Kampanye yaitu  metode caleg untuk menyampaikan 
suatu pesan yang berisi tentang ajakan kepada warga 
atau mempengaruhi warga agar memilih caleg ini . 
Pemilihan Legislatif 2019 menyisakan peta persaingan yang 
ketat antar caleg perempuan. Strategi kampanye pemilu 
harus dikemas dengan baik oleh para caleg agar pesan yang di 
sampaikan dapat diterima pemilih. Dalam hal ini strategi yang 
umumnya dipakai  calon  legislatif perempuan terpilih dapat 
dikelompokkan dalam media kampanye, metode kampanye, 
jaringan, tim sukses, pemetaan wilayah, dan isu strategis.
Faktor-faktor pendukung ketercapaian 21% 
keterwakilan perempuan di parlemen dipicu 
oleh:pertama,petahana (incumbent) mencalonkan diri 
sehingga memakai  pengalamannya dalam membuat 
strategi pemenangan dalam berkontestasi pada Pemilu 2019. 
Pengalaman menjadi anggota incumbent kini memudahkan 
para caleg untuk dikenal di warga. Caleg incumbent 
dipandang lebih mudah terpilih dibandingkan caleg baru, 
sebab  mereka sudah lama bekerja, sudah bersosialisasi sejak 
lama, dan pemilihpun sudah banyak yang kenal. Popularitas, 
akses ke sumber daya kampanye, dan pengaruh atas birokrasi 
yang melekat pada pemegang kekuasaan, yaitu suatu 
modal politik yang besar bagi kandidat incumbent. Formula 
penetapan calon terpilih memakai  suara terbanyak 
menguntungkan calon populer/ calon incumbent. Popularitas 
calon juga bisa diangkat melaluikampanye mobilisasi sosial, 
seperti tatap muka, simulasi, dan kunjungan kepada warga 
(Fitriyah. 2013). 
Kedua, penempatan nomor urut yang bagus atau 
kunci. Penempatan nomor urut caleg perempuan diatur juga 
dalam UU tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD. Nomor urut 
dalam pencalonan memiliki andil yang cukup menonjol  bagi 
keterpilihan caleg perempuanPertimbangan partai politik 
 
349
dalam penempatan nomor urut caleg perempuan berdasarkan 
pada tingkat loyalitas, jabatan di partai, dan telah lama menjadi 
anggota partai. 
Ketiga, modal politik.Modal politik ini tidak hanya 
dari jalinan kekerabatan dengan elite politik melainkan 
jaringan dari struktural partai, hubungan pertemanan serta 
organisasi sosial yang pernah meraka ikuti. Hasil analisis dari 
keterpilihan caleg perempuan dalam Pemilu Serentak 2019, 
merekamemiliki  basis jaringan yang kuat.Hampir semua 
caleg perempuan terpilih dilatarbelakangi aktivis organisasi, 
baik politik, sosial,  dan profesi. Keuntungan memiliki jaringan 
politik yang kuat, misalnya dari elite politik atau pimpinan 
partai, membantu mensosialisasikan caleg ke warga, 
membantu memperoleh nomor urut kecil, dan dapil strategis. 
Jaringan  sosial/profesi lebih berperan untuk menjadi tim sukses 
dan sebagai target suara yang akan digarap.
Keempat, modal ekonomi berkaitan dengan 
kemampuan caleg dalam mengakomodasi kekuatan ekonomi 
yang dimiliki dalam mencari pemilih. Modal ekonomi caleg 
dalam bentuk dana yang dipakai  untuk penggerak seperti 
penyediaan alat-alat kampanye, dan kunjungan-kunjungan 
ke dapil maupun konstituen atau jaringan. Hal ini  
tidak dimungkiri pula memerlukan dana yang tidak sedikit. 
Membangun jaringanpun memerlukan modal ekonomi yang 
tidak sedikit, bahkan untuk meyakinkan warga juga perlu 
modal ekonomi. Tidak jarang modal itu juga ada yang secara 
langsung dipakai untuk mempengaruhi pemilih, contohnya 
yaitu  praktikmoney politic (Kacung Marijan. 2012). 
Kelima, modal sosial.Dalam konteks pencalegan, 
modal sosial menjadi salah satu syarat untuk memperoleh  
kepercayaan warga. Hasil penelitian dengan caleg 
perempuan terpilih menunjukkan pentingnya membangun 
kepercayaan warga sebagai modal sosial terpilihnya 
para caleg ini . Akan namun  butuh waktu yang lama untuk 
membangun modal sosial, sebab   memunculkan rasa percaya 
setiap warga itu berbeda-beda. Apalagi bagi caleg 
perempuan, lebih sulit warga memberikan kepercayaan 
untuk perempuan menjadi  wakil  rakyat.
350
  
Keenam, daerah peemilihan yang strategis. 
Penempatan caleg di dapil strategis memberikan peluang 
keterpilihan. Dapat dikatakan dapil strategis jika penempatan 
caleg ada di wilayah basis partai, tanah kelahiran, atau domisili. 
Jika para caleg perempuan ditempatkan pada dapil strategis, 
hal itu lebih memudahkan mereka untuk menggarap pemilih, 
sekalipunsebelumnya tetap harus melakukan pengenalan 
wilayah bagi setiap caleg perempuan. Pengenalan dapil sangat 
penting bagi para caleg perempuan, sebab  dapil yaitu 
medan perang untuk memperoleh  suara sebanyak-banyaknya. 
Dapil strategis ini menjadi salah satu pendorong bagi tiap caleg 
perempuan jika dapil strategis memiliki basis massa yang kuat 
dan yaitu domisili.
Ketujuh, tim sukses solid. Para caleg biasanya merekrut 
tim sukses dari jaringan, saudara, keluarga, relawan yang 
menawarkan diri, atau perorangan dari tiap-tiap wilayah 
sesuai strategi dari masing-masing caleg. Tidak semua tim 
sukses loyal terhadap calegnya, banyak juga tim sukses yang 
menperjualbelikan suara. Memiliki tim sukses yang solid 
yaitu keuntungan bagi caleg, sebab  tidak salah dalam 
memilih tim sukses. Tim sukses yang solid dibangun caleg 
dengan menumbuhkan sikap terbuka antara tim sukses dan 
calon legislatif. Soliditas tim sukses biasanya terlihat saat  
adanya indikasi kecurangan lawan untuk membeli suara atau 
kecurangan lainnya.
Faktor-faktor penghambat yang dihadapi tidak 
tercapainya 30% keterwakilan perempuan parlemen di 
negara kita dipicu dua faktor, yaitu faktor kultural dan 
faktor struktural.Kultur politik patriarki masih melekat dalam 
konstruksi tradisi warga negara kita. Hal itu dipengaruhi 
oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, persepsi perempuan 
terhadap aktivitas politik tergolong menakutkan, dengan 
berbagai pandangan bahwa kegiatan pada rapat-rapat partai 
dilaksanakan di malam hari hingga larut malam, kompetisi 
yang cenderung ketat dan kotor dengan menghalalkan segala 
cara untuk mencapai kekuasaannya, hukum rimba dalam 
organisasi politik yang masih sering kali terjadi, dan berbagai 
perspektif negatif yang masih tertanam kuat, terutama dalam 
 
351
pemikiran  warga  awam, yang  melihat perilaku ini  
sebagai dianggap bertentangan dengan nilai-nilai etika dan 
moralitas yang berlaku di warga serta menyimpang dari 
kodrat  sebagai  perempuan.
Kedua, berkurangnya  kesempatan perempuan dalam 
arena  politik  disebab kan  peran domestik yang melekat 
dalam kehidupan keluarganya, peran itu dimaknai secara 
fatalistik. Peran perempuan dalam rumah tangga masih 
menimbulkan sebuah kontroversi bagi sebagian kalangan, 
terkait dengan  status seorang istri yang menjadi pelengkap 
bagi suaminya, kepatuhan yang dibangun didasarkan 
pada sebuah pengambilan kebijakan yang berdampak 
dalam kehidupan rumah tangganya, baik dalam tataran 
privat maupun publik. Namun pada realitas kehidupan di 
warga,perkembangan kesetaraan gender semakin kuat 
mengalami perubahan, peningkatan  perempuan yang bekerja 
di sekor publik sudah semakin  besar   bahkan  meningkat 
melebihi peran laki-laki dalam sektor ekonomi non-pertanian. 
Perlu sebuah dukungan dari internal lingkungan terutama bagi 
suami dengan mendorong dan mewujudkan sebuah kesadaran 
akan ruang yang menjadi hak publik bagi perempuan dengan 
kesetaraan dan keadilan dalam implementasi gender. Menjadi 
tanggungjawab bagi perempuan yang berada di sektor publik 
untuk menjaga dalam amanah kepercayaan yang berada 
dipundaknya.
Ketiga, rendahnya keterwakilan perempuan dalam 
arena politik yaitu  sebab  pandangan agama yang 
memberikan batasan-batasan kepada perempuan terhadap 
kebijakan politiknya, bahwa suami sudah menjadi representasi 
dari seorang istri. Artinya bahwa perempuan dalam menentukan 
pilihan dan keputusan terhadap sikap politiknya sudah cukup 
diwakili oleh suaminya, sehingga semakin menyempitkan 
pemikiran  warga, terutama perempuan, bahwa politik itu 
dianut oleh kaum patriarki dengan representasi dari lingkungan 
keluarga. Diperlukan penyadaran kepada warga bahwa 
semua warga negara memiliki hak yang sama terhadap 
kebijakan pemerintah dalam peraturan yang diberlakukan, 
kebijakan  ekonomi, pendidikan, politik, dan lain sebagainya.
352
  
Faktor kedua yang mempengaruhi rendahnya 
partisipasi dan keterwakilan perempuan di parlemen yaitu  
faktor struktural. Keterlibatan perempuan secara penuh dan 
luas dalam pembangunan politik menjadi terhambat dengan 
keberadaan struktural dalam sistem rekrutmen politik yang 
kurang peka asas gender dengan keterwakilan, kesetaraan, dan 
keadilannya. Hal itu memperkecil peluang kandidatperempuan 
dalam daftar calon anggota legislatif. Fakta Pemilu 2019 
mengindikasikan bahwa sistem rekrutmen partai politik masih 
patriarki. Fakta ini menjadikan konotasi yang relevan dengan 
keberadaan perempuan di lembaga partai politik yang secara 
struktural masih didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga 
mengindikasikan adanya kendala struktur. Begitu juga dengan 
akses perempuan dalam struktur partai politik yang masih 
lemah dengan peluang pada posisi strategis yang masih sulit 
untuk diakses.  
Peningkatan partisipasi pemilih perempuan belum 
bisa berkorelasi secara menonjol  terhadap peningkatan 
keterwakilan perempuan dalam politik. Hal ini mempersulit 
tingkat keterpilihan kaum perempuan dalam pemilihan anggota 
legislatif, sehingga kebijakan-kebijakan terkait sensitivitas 
gender akan sulit untuk dilakukan. Apalagi ditambah dengan 
tingkat pendidikan perempuan yang masih jauh dari kaum 
laki-laki sebagai faktor struktural yang mempengaruhi 
kesiapan mental secara umum melalui organisasi-organisasi 
kewargaan ataupun partai politik. Perempuan yang eksis 
dalam dunia politik, lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan 
keluarga (orang tua, saudara, ataupun suami) dan warga 
yang mendukung, dan ditunjang oleh kondisi yang sudah 
mapan secara ekonomi, profesi, dan strata sosialnya.
Dunia politik dengan berbagai argumentasinya 
mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan kepada siapa 
saja, tidak memandang jenis kelaminnya. Dalam pengambilan 
kebijakan, tentunya kualitas dan akuntabilitas menjadi hal yang 
utama yang harus dikedepankan, bukan siapa yang melakukan, 
akan namun  apa yang akan dilakukan.
Daftar caleg perempuan disinyalir masih menjadi 
sebuah simbol partai politik untuk mendulang suara partai, 
 
353
sehingga  orientasinya hanyalah pada memperebutkan jumlah 
suara dengan “buta” terhadap konstituen yang memilihnya. 
Kondisi ini menjadi sebuah “blunder” bagi caleg perempuan 
saat  terpilih menjadi anggota dewan tanpa mengetahui 
arah kebijakan yang harus dilakukan dan strategi terhadap 
peningkatan kaumnya dalam kesetaraan dan keadilan 
gender, sehingga dapat mengaburkan fungsi representasi 
dan keterwakilan perempuan terhadap tujuan kesetaraan dan 
keadilan yang lebih baik.
Kedua, keberadaan kaum laki-laki dengan bermitra 
untuk agresivitas gender menjadi bagian dalam kesuksesan 
kesetaraan dan keadilan gender di parlemen. Preferensi 
perempuan tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan, laki-laki 
yang peduli dengan gender berhak untuk memiliki preferensi 
perempuan atau dapat dikatakan jugasebagai feminimisme, 
bukan sebab  jenis kelaminnya akan namun  sebab  kesadarannya 
terhadap kesetaraan gender yang harus terus dibangun dan 
disinergikan dengan keberadaan perempuan dalam dunia 
politik. Dinamika politik tidak hanya dipahami sebagai dunia 
kaum laki-laki, kaum perempuan memiliki hak yang sama 
dalam mewarnai dinamika perpolitikan, terutama dalam 
perencanaan dan pengambilan kebijakan. 
Ketiga, track record para anggota parlemen 
perempuan, yang memiliki kualitas dan potensi, menjadi 
kesulitan dalam memberikan pertimbangan dan mengajukan, 
serta mengungkapkan preferensi perempuan, disebab kan 
akan menghadapi prejudis dan stereotipe terhadap dirinya 
sendiri yang masih kuat di parlemen dan dalam partai politik.
Incumbent yang ingin mencalonkan diri kembali harus 
dipusingkan dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang 
diyakini telah mempersiapkan strategi jitu untuk merebut 
suara di dapil mereka. Begitu pula sebaliknya, pengalaman 
yang minim dalam memetakan wilayah menjadi salah satu 
kendala newcomer dalam menjalankan strateginya. Ditambah 
lagi, tidak mudah merebut suara pemilih di suatu dapil yang 
telah dikondisikan oleh seorang incumbent. 
Keempat, sistem elite politik yang dibangun. Para elite 
politik kurang maksimal memberikan peluang dan dukungan 
354
  
terhadap kesetaraan gender dalam perpolitikan. Kedekatan 
dengan elite politik dan pengurus partai politik sangat 
berpengaruh terhadap penempatan nomor urut bagus dan 
daerah pemilihan (dapil) bagi calon legislatif perempuan. Masih 
minimnya kesadaran berorganisasi di kalangan perempuan 
sehingga jaringan dan pengalaman menjabat sebagai 
organisasi terbatas, padahal ini salah satu yang diperlukan 
partai politik menjadikan nilai tawarnya sebab  dianggap 
memiliki basis massa dan dikenal warga. Hal inilah yang 
membuat partai politik mencalonkan perempuan hanya sebagai 
pelengkap administrasi atau memenuhi syarat administrasi 
saja. Pada umumnya, partai politik tidak memiliki itikad 
baik atau keseriusan dalam keberpihakan pada peningkatan 
keterwakilan perempuan. Hal ini tercermin dari penempatan 
nomor urut yang bagus pada pencalonan legislatif perempuan. 
Partai politik bisa menempatkan nomor urut bagus atau kunci 
jika seorang kandidat dinilai memiliki jaringan dan basis massa 
yang diperoleh dari pengalamannya dalam berorganisasi dan 
logistik. Partai politik mencalonkan dan menempatkan nomor 
urut bagus biasanya berdasarkan pada kekerabatan dan elite 
politik (misalnya, isteri, anak dan keluarga pejabat) sebab  
mereka menganggap peluang untuk jadi caleg jadi atau lolos 
lebih besar.
Peluang untuk memberikan ruang yang lebih besar 
terhadap keterwakilan perempuan hilang dalam sebuah 
arena perebutan kekuasaan. Secara prinsip sesungguhnya 
pertarungan politik bukan untuk memperebutkan kekuasaan. 
Amanat yang diberi  oleh rakyat yang ditaruh diatas pundak 
wakil rakyat yaitu  sesuatu yang harus diimplementasikan 
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan diri 
sendiri ataupun golongannya dengan harapan kesejahteraan 
yang merata dan keadilan yang setara serta kebijaksanaan bagi 
seluruh rakyat negara kita.
Kelima, dukungan media terhadap kesetaraan gender. 
Media massa dan media cetak sebagai salah satu pilar penting 
dalam demokrasi, strategi pemberitaan media massa ikut 
menentukan hitam putihnya kekuatan politik untuk merebut hati 
rakyat. Media massa sering dijadikan partner dalam berbagai 
 
355
aktivitas politik di negara-negara maju. Tujuannya yaitu  
untuk menghimpun suara serta memperoleh legitimasi dari 
warga. Media menjadi suatu bagian dalam pembentukan 
opini publik. Sebagai bentuk kebebasan pers, media menjadi 
tumpuan dalam proses mensukseskan gender dalam parlemen 
yang lebih profesional dan berkualitas. Tentunya peran media 
dituntut untuk menyuarakan aspirasi perempuan dalam 
pemenuhan terhadap keterwakilan gender. Media masih belum 
secara fokus dan konkret dalam menciptakan opini gender dan 
keterwakilan di parlemen, sehingga pembentukan pemikiran 
terhadap keberadaan gender masih terngiang dalam ranah 
retorika belaka. Kurang maksimalnya peran media dalam 
kesetaraan gender penting menjadi koreksi bersama untuk 
melakukan sebuah perubahan paradigma warga terhadap 
peran perempuan dalam dunia politik dan merepresentasikan 
keterwakilannya dalam berbagai kebijakan afirmasi yang 
sudah dilakukan.Keterkaitan media massa maupun media 
cetak dengan politik disinyalir memberikan pengaruh terutama 
dalam pembentukan citra politikus. Melalui media massa dan 
media cetak, akan diinformasikan berita-berita yang positif 
berupa perilaku baik dari politikus yang turut dalam kegiatan 
sosial dan peduli lingkungan sehingga akan membentuk 
pendapat umum tertentu bagi yang mereka menyaksikannya. 
Oleh sebab itu, pemanfaatan media massa secara maksimal 
akan dibutuhkan dalam menarik hati pemilih untuk memilih 
calon legislatif perempuan.
Keenam, jaringan. Minimnya networking elemen 
warga dalam mengawal kesetaraan gender dalam ranah 
politik berhadapan dengan realitas bahwa pengarustamaan 
gender harus dilakukan secara bersama-sama antara 
warga, pemerintah, dan elemen penting bangsa negara kita 
untuk memperjuangkan klaster perempuan di ruang politik 
yang lebih baik. Dukungandan kerjasama yang dibangun harus 
atas dasar keadilan, kesetaraan, dan kebaikan bersama untuk 
kemajuan bangsa yang lebih baik dan lebih adil.
Ketujuh,  perundang-undangan  kepemiluan     berdampak 
pada orientasi partai politik dengan Pemilu Serentak 2019 
dimana pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu legislatif 
356
  
memberikan pengaruh adanya beban kerja politik bagi calon 
legislatif. Mereka selain harus mengkampanyekan dirinya 
juga harus mengkampanyekan presiden/wakil presiden 
yang diusung oleh partainya. Parliamentary Threshold (PT) 
berdampak pada partai politik untuk bisa lolos ambang batas 
sehingga mengusung calon-calon legislatif dari kalangan 
kekerabatan, elite politik, selebriti atau artis, dan elite ekonomi 
(pengusaha, dan lain-lain). 
Kenyataanya, anggota dewan enggan mengesahkan 
RUU, termasuk RUU yang berkaitan dengan perlindungan 
perempuan yaitu  sikap koruptif yang mendarah-daging. Sikap 
koruptif ini yang kemudian menjadi fenomena intoleran yang 
terstruktur terhadap kepentingan perempuan. Kepentingan 
perempuan masih dianggap ornamen pelengkap perundang-
undangan dan bukan hal mendesak. Maka pentingnya 
support dari sesama anggota legislatif perempuan dibutuhkan 
untuk bisa saling menguatkan. Sisterhood itu sangat berarti 
bagi kerja-kerja politik perempuan di DPR. 
Berbagai usaha  dalam menghadapi masalah-masalah 
seperti yang telah diutarakan sebelumnya memberikan 
tantangan bahwa perempuan perlu menunjukkan kualitas 
mereka sebagai anggota legislatif. Anggota legislatif perempuan 
perlu melakukan capacity building untuk menyadarkan 
pemahaman bahwa mereka hadir mewakili perempuan. 
Dalam hal ini, sebagai anggota legislatif, perempuan juga perlu 
dibantu oleh gerakan warga sipil. Realitas saat ini di parpol 
yaitu  sedikit sekali perempuan yang memiliki personality dan 
kapabilitas yang kuat, sehingga menempatkan perempuan 
sebagai pimpinan di parlemen yaitu pekerjaan rumah 
kita bersama. Peningkatan kapasitas ini bisa dilakukan 
salah satunya dengan memberikan feeding kepada anggota 
perempuan tentang permasalahan dan kepentingan yang 
dihadapi perempuan, sebab  faktanya data yang dimiliki 
organisasi warga sipil atau NGO lebih detail dari 
ketimbang dari anggota dewan itu sendiri. Perempuan di 
parlemen seringkali kesulitan saat  harus menyuarakan isu-isu 
yang jauh dari agenda perempuan, misalnya isu pertanahan.
Padahal penting untuk menghadirkan perspektif perempuan 
 
357
pada isu-isu ini . Pada isu-isu inilah organisasi warga 
sipil atau NGO yang berfokus pada kepentingan perempuan 
juga sangat diharapkan masukannya.
Lambannya peningkatan jumlah perempuan di 
parlemen, secara khusus sangat terkait dengan sistem pemilu 
yang diberlakukan. Di negara kita, isu keterwakilan perempuan 
memperoleh tempat sejak diterapkannya kuota 30% pada 
Pemilu 2004, namun hingga berlangsungnya Pemilu 2014 
jumlah perempuan di parlemen nasional berkurang 22 kursi 
dibandingkan Pemilu 2009. Selain itu, Pemilu 2019melihat 
kontribusi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu terhadap usaha  
peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dengan 
sistem pemilu yang proporsional, sistem kuota, dan empat 
unsur mutlak yang membentuk sistem pemilu seperti 
districtmagnitude, nomination,balloting, dan electoral formulae; 
menunjukkan perubahan kenaikan jumlah DPR RI perempuan 
menjadi 21 % dan DPD perempuan mencapai 33% dinilai belum 
menonjol . Namun peningkatan partisipasi pemilih perempuan 
masih sangat sulit dinilai secara menonjol  korelasinya antara 
pencalonan DPR RI yang mencapai 30%  dengan pemilih 
perempuan 50% DPT usaha  KPU dalam meningkatnya 
keterwakilan perempuan di DPR RI; apalagi memastikan 
bahwa pemilih perempuan akan memakai  hak pilihnya 
pada caleg perempuan saat Pemilu 2019. 
Hak-hak perempuan dalam politik mengalami 
peningkatan dan perkembanganyang semakin besar. Hal itu 
mendapat pengakuan secara representatif dari beberapa 
kalangan dan pengamat. Peluang itu menjadi sumbu utama 
bagi perempuan dalam mengambil langkah kesempatan 
secara konkret untuk dimanfaatkan. Kaum perempuan 
harus mempersiapkan diri dalam meningkatkan kualitas 
dan kemampuannya agar dapat berperan serta dalam 
pemberdayaan melalui organisasi politik untuk mengambil 
langkah kebijakan afirmatif yang dapat direpresentasikan 
kepada rakyat dalam pengambilan kebijakan afirmatif untuk 
kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
358
  
Kesimpulan 
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, 
memberikan perlindungan HAM kepada warga negara yaitu  
ciri yang harus melekat di dalamnya. Upaya meningkatkan 
peran politik perempuan di parlemen dengan kebijakan 
afirmatif 30%, yaitu bagian dari perlakuan khusus yang 
diberi  kepada  kaum perempuan dan bersifat konstitusional. 
Meskipun kebijakan afirmatif ini  konstitusional, namun 
prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi pondasi dalam sistem 
negara demokratis tidak boleh dilanggar. Kebijakan afirmatif 
yang ditempuh dalam rangka meningkatkan keterwakilan 
perempuan di parlemen, yaitu konsekuensi hukum logis 
dari usaha   pemenuhan HAM warga negara sebagaimana diatur 
dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta 
pemenuhan kewajiban negara  untuk melaksanakan berbagai 
ketentuan hukum  HAM Internasional (Konvensi HAM) yang 
telah diratifikasi oleh negara kita dalam pelbagai peraturan 
perundang-undangan.
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan trend kenaikan 
representasi perempuan di lembaga  legislatif tingkat nasional, 
DPR RI jumlah 120 orang dari 575 kursi yang ada (21%) dan DPD 
RI jumlah 45 orang dari 136 kursi yang ada (33%). Pencapaian 
keterwakilan perempuan di legislatif nasional yaitu 
hal yang patut dirayakan dengan sebuah catatan kritis, yakni 
keragaman latar belakang mereka. Meskipun keragaman latar 
belakang dapat dipetakan secara luas meliputi profil caleg 
sebagai petahana, kader partai, aktivis, kekerabatan, selebriti/
artis, dan elite ekonomi. 
Persentase21% calon legislatif perempuan terpilih di 
parlemen tidak bertambah menonjol , namun  mereka diharapkan 
mampu membawa aspirasi kaumnya.Sehingga pentingnya 
para perempuan ini  harus mampu meningkatkan kualitas 
dan menambah jaringan.
Penulisan ini menunjukkan bahwa UU Nomor 7/2017, 
baik sistem proporsional terbuka dan ke-empat unsurnya 
cenderung tidak menonjol  terhadap usaha  peningkatan 
keterwakilan perempuan, aksesibilitas   perempuan  untuk 
masuk parlemen tetap lemah sehingga kondisi underrepresented dari kelompok perempuan tidak akan banyak 
berubah. Selain itu adanya pemilu serentak 2019 dimana 
pemilihan presiden/wakil presiden dan legislatif dilaksanakan 
secara bersamaan. 
Rekomendasi 
Berdasarkan  pada uraian di atas, Penulis memberikan 
rekomendasi  terkait  kepemiluan yaitu:
- Perbaikan pemilu yaitu  memisahkan pemilu serentak 
untuk kembali ke desain pemilu terpisah seperti 2014, 
2009, dan 2004. Dengan demikian, menjadi penting untuk 
mengadakan revisi UU Pemilu. 
- Manajemen teknis kepemiluan seperti surat suara yang 
besar dan banyakperlu disederhanakan.
- Rekrutmen penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) 
mulai ditingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat 
TPS harus selektif, independen, dan menjalankan kuota 
30% keterwakilan perempuan. Peningkatan kapasitas 
menjadi penting disetiap jenjangnya sehingga tidak 
lagi ada kesalahan dalam administrasi pungut hitung 
(misalnya, pengisian formulir). 
- Distribusinya yang di lapangan mengalami kendala 
keterlambatan atau kekurangan jumlah.
- Minimnya informasi soal pengawasan. Bawaslu belum 
menyediakan informasi yang cukup terkait mekanisme 
dan prosedur pengawasan sehingga bisa mudah diakses 
dan dipahami oleh pemilih.
- Mekanisme kordinasi dengan penyelenggara pemilu (KPU 
dan Bawaslu) dengan pemantau pemilu sebagai mitra 
yang perlu ditingkatkan, juga sesama pemantau pemilu. Di 
lapangan masih kurang sosialisasi antara penyelenggara 
pemilu di pusat dan daerah terkait pemantau pemilu.

Dilihat dari jumlah partisipan dalam pemilihan umum 
(pemilu), negara kita yaitu negara demokrasi terbesar di 
Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika 
Serikat. (1) Besarnya jumlah pemilih menunjukkan antusiasme 
publik dalam menentukan pemimpin pemerintahan, baik 
presiden maupun kepala daerah, serta menentukan wakil-
wakilnya dalam lembaga perwakilan baik di tingkat pusat 
maupun daerah. Selain itu, jaminan kebebasan untuk memilih 
juga menjadi salah satu faktor tingginya antusiasme ini . 
Jaminan kebebasan warga untuk berpartisipasi 
dalam pemilu sendiri telah diatur dalam UUD 1945. Pasal 
28D ayat (3) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak 
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan 
pasal 28E ayat 3 menjamin setiap orang berhak atas kebebasan 
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 
Jaminan dari konstitusi ini kemudian dijabarkan lebih 
lanjut dalam peraturan perundang-undangan turunannya. UU 
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Bagian 

Kedelapan, pada pasal 43 ayat (1) menyatakan, “Setiap warga 
negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan 
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan 
suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. 
Sedangkan pada ayat (2)dinyatakan, “Setiap warga negara 
berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung 
atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, 
menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan”. 
Sementara itu, UU No. 7 Tahun 2017 tentang 
Pemilihan Umum (UU Pemilu) menjamin hak warga negara 
untuk memilih, seperti dinyatakan dalam Pasal 198 ayat (1) 
dan ayat (2) bahwa “Warga Negara negara kita yang pada hari 
pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun 
atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin memiliki 
hak memilih. Warga Negara negara kita dimaksud didaftar 1 
(satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.”
Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian dari 
warga negara negara kita juga memiliki hak untuk memilih. 
Namun demikian, berbeda dengan WNI lainnya, ASN dilarang 
untuk menunjukkan preferensi pilihan politiknya di hadapan 
publik, sebagai konsekuensi dari asas netralitas dalam 
penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN sebagaimana 
diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN (UU ASN). Pasal 
9 ayat (2)UU ASN mengatur, “Pegawai ASN harus bebas dari 
pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.” 
Netralitas ASN dalam politik praktis yaitu bagian dari 
pelaksanaan fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu 
bangsa. Dengan demikian, meskipun ASN memiliki hak pilih, 
namun harus tetap menjunjung tinggi netralitas sebagaimana 
dimandatkan oleh UU ASN. 
UU Pemilu secara lebih tegas mengatur tentang 
netralitas ASN dalam penyelenggaraan pemilu. Pada pasal 280 
ayat(2) huruf f dinyatakan, “Pelaksana dan/atau tim kampanye 
dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan 
aparatur sipil negara.” Kemudian pada ayat (3) dinyatakan 
bahwa ASN dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim 
kampanye Pemilu. ASN yang melanggar Pasal 280 ayat (3) 
dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan paling lama 
satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta (Pasal 494 
UU Pemilu). ASN juga dilarang mengadakan kegiatan yang 
mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu 
sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan itu 
meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian 
barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit 
kerjanya, anggota keluarga, dan warga. (Pasal 283 ayat 
(1) dan (2)). 
Tulisan ini akan menunjukkan perilaku politik ASN 
dalam masa Pemilu 2019. Meskipun secara normatif telah 
cukup jelas pelarangan ASN untuk berpihak pada kandidat 
tertentu, namun dalam kenyataannya masih banyak ASN yang 
menunjukkan preferensi politiknya di depan publik. Tulisan 
ini akan menyajikan data-data pelanggaran netralitas ASN 
dalam berbagai jenis perilakunya, yang didapatkan dari hasil 
pemantauan yang dilakukan oleh kelompok warga sipil 
(CSO) di empat kota, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, dan 
Surabaya. Selain itu, tulisan ini juga akan menyajikan proses 
dan dinamika yang terjadi dalam pemantauan terhadap 
netralitas ASN sehingga akan tergambar bagaimana netralitas 
ASN dapat didorong melalui partisipasi warga, meskipun 
di sisi lain ada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang secara 
mandatori memiliki tugas untuk mengawasi netralitas ASN. 

Pada dasarnya, netralitas ASN pada derajat tertentu 
seperti menimbulkan suatu kondisi paradoksal. ASN dituntut 
untuk menjaga netralitas, namun  pada saat yang sama 
ASN juga masih memiliki hak pilih. Pada saat ASN tengah 
memakai  hak pilihnya, sebenarnya mereka sedang 
mendukung satu kandidat dan mengabaikan kandidat lainnya, 
yang berarti ia akan menjadi  birokrat  partisan (Tamma, 
2016). Hal ini yang kemudian disinyalir telah memicu berbagai 
tindak pelanggaran kode etik, terutama terkait netralitas 
ASN, sehingga memunculkan usulan dari KPPOD (2018) agar 

  
Pemerintah mencabut hak pilih ASN untuk memastikan ASN 
dapat bersikap netral dalam proses pemilihan, terutama 
pemilihan kepala daerah (pilkada). Terlepas dari situasi 
paradoksal ini , konsep  netralitas  ASN yang diatur dalam 
peraturan perundang-undangan di negara kita saat ini hanya 
sebatas melarang keterlibatan ASN dalam mensosialisasikan 
atau mengkampanyekan kandidat politik tertentu, bukan 
membatasi  ASN untuk memilih. Dalam konteks itulah, konsep 
netralitas  ASN  penting  untuk dibahas. 
Birokrasi memainkan peranan yang sangat penting 
dalam  sistem warga dan pemerintahan modern. Birokrasi 
menentukan kualitas pelaksanaan kebijakan publik yang telah 
ditetapkan. Selain itu, birokrasi juga yaitu perwujudan 
negara dalam penyelenggaraan pelayanan kepada warga. 
Penggerak utama dari birokrasi ini yaitu  pegawai pemerintah, 
pegawai negeri sipil (PNS) atau ASN. Selain sebagai pelaksana 
kebijakan dan pelayan publik, ASN di negara kita juga memiliki 
fungsi lainnya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. 
Sebagaimana dinyatakan pada pasal 10 UU ASN, bahwa ada 
tiga fungsi ASN, yaitu sebagai pelaksana kebijakan publik, 
pelayanan publik serta perekat dan pemersatu bangsa.
Dalam konteks sebagai pelayan publik, netralitas 
ASN sangat penting untuk memastikan bahwa birokrat tidak 
akan berubah dalam penyediaan pelayanan publik siapapun 
yang menjadi penguasa pemerintahan (Thoha, 2003). Dengan 
kata lain, ASN akan terus menjalankan tugas dan fungsinya 
untuk memberikan pelayanan publik secara profesional 
dan berkualitas, meskipun terjadi transisi kepemimpinan 
pemerintahan. 
Bercermin pada situasi sebelumnya, terutama pada 
masa Orde Baru, memperlihatkan bahwa PNS dan birokrasi 
menjadi bagian dari kelompok politik tertentu, bahkan menjadi 
mesin politik yang bertugas mengumpulkan suara. Rezim Orde 
Baru yaitu rezim yang sangat menonjol kan kekuasaaan 
negara yang sentralistik. Negara tampil se bagai satu-satunya 
kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh kelompok warga 
manapun. Negara berhasil mengontrol warga dengan 
berbagai kebijakan dan proses pembentukan tatanan politik. 
Salah satu kontrol politik itu dilakukan dengan menjadikan 
birokrasi sebagai penopang kekuasaan pe merintah. Birokrasi 
dijadikan sebagai mesin politik pada proses pemilu. Organisasi 
birokrasi, yaitu Korps Pegawai Negeri Republik negara kita 
(KORPRI) yaitu  salah satu jalur di dalam Golkar, yaitu jalur 
“B” yang berguna untuk memperkuat dukungan PNS dalam 
setiap pemilu.Seluruh PNS diharuskan menyalurkan aspirasi 
politiknya melalui Golkar dengan memberlakukan kebijakan 
monoloyalitas. Selain itu, pe jabat birokrasi direkrut menjadi 
pengurus politik dan dijadikan bagian dari faksi dalam Golkar 
di parlemen.
Netralitas birokrasi ini sebetulnya mengacu pada 
konsep birokrasi yang dikemukakan oleh sosiolog terkemuka, 
Max Weber yang menyatakan bahwa birokra si yang dibentuk 
harus independen dari kekuatan politik (netral). Netralitas 
birokrasi diutama kan untuk melaksanakan kepentingan negara 
dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga siapapun kekuatan 
politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan 
pelayanan yang terbaik kepada warga nya 
Ditinjau dari sudut pandang kewenangan, birokrasi 
yang tidak netral dikhawatirkan dapat memunculkan terjadinya 
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Menurut Kacung 
Marijan (2010), ada hal yang rawan saat  birokrasi terlibat 
dalam politik, terutama dalam kaitannya dengan pelayanan 
publik, yaitu adanya kekhawatiran penyalahgunaan sumber 
keuangan dan fasilitas publik yang dikuasai birokrasi. Sebagai 
lembaga publik, birokrasi memiliki berbagai fasilitas, termasuk 
sumber keuangan, sebagai sarana untuk memberikan 
pelayanan publik. Manakala birokrat terlibat dalam politik, 
dikhawatirkan adanya penyalahgunaan terhadap otoritas yang 
dimilikinya. Misalnya, birokrasi dapat mengalokasikan dan 
mendistribusikan sumberdaya yang ada dalam birokrasi kepada 
kandidat politik yang menjadi afiliasi politiknya. Padahal 
sebagai lembaga yang berfungsi memberikan pelayanan 
publik,seharusnya birokrasi memberikan pelayanan  kepada 
‘semua orang’  dan bukan kepada  ‘sekelompok orang’ tertentu.  
Netralitas ASN yaitu suatu prakondisi untuk 
meningkatkan profesionalisme dalam pelayanan publik, 
sehingga ASN dapat memberikan pelayanan yang cepat, 
transparan, adil, dan tidak memihak kepada salah satu pihak. 
Ketidaknetralan akan menjadi faktor penghambat pelayanan 
yang adil dan berkualitas, sebab  ASN akan berusaha 
mendahulukan kelompok atau afiliasi politiknya dalam 
menyelenggarakan pelayanan. Padahal dalam menjalankan 
tugas sebagai pelaksana fungsi pelayanan publik, yang 
harus dilayani ASN yaitu  warga secara umum, tanpa 
membedakan asal golongan atau partai politik. 

Merujuk pada UU ASN, KASN yaitu lembaga 
yang diberi  tugas untuk menjaga netralitas ASN (Pasal 31 
ayat (1) huruf a). Dalam menjalankan tugas ini , UU ASN 
lebih lanjut mengatur bahwa KASN dapat menerima laporan 
(Pasal 31 ayat (2) huruf c), serta memiliki kewenangan untuk 
meminta informasi kepada warga mengenai laporan 
pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku 
Pegawai ASN (Pasal 32  ayat (1) huruf c). Dalam konteks inilah 
kemudian dapat dilihat bahwa meskipun secara kelembagaan 
perwujudan netralitas ASN menjadi tanggungjawab KASN, 
namun peran warga juga sangat diperlukan untuk 
mendukung KASN dalam menjalankan tanggungjawabnya 
ini . 
Sebagai perwujudan bentuk partisipasi warga 
dalam ikut mendorong netralitas ASN dalam Pemilu, beberapa 
organisasi warga sipil atau civil society organisation (CSO), 
antara lain PATTIRO Jakarta, Inisiatif Bandung, PATTIRO 
Semarang, dan PATTIRO Malang melakukan pemantauan 
terhadap netralitas ASN dalam masa Pemilu 2019. Seluruhnya 
ada 80 orang pemantau, yang sebelumnya diberi  pelatihan 
yang di dalamnya ada materi tentang norma dasar, kode 
etik dan kode perilaku ASN, netralitas  ASN  sebagai bagian 
dari kode etik dan kode perilaku ASN, beserta peraturan 
perundang-undangan  yang mengaturnya, dan cara melakukan 
pemantauan berdasarkan instrumen yang telah disusun 
sebelumnya.  
Metode  Pemantauan
Pemantauan ini dilakukan dengan dua pendekatan, 
yaitu pemantauan langsung dan pemantauan tidak langsung. 
Pemantauan secara langsung dilakukan dengan mendatangi 
langsung kegiatan kampanye untuk memastikan apakah ada 
ASN yang aktif ikut mengkampanyekan kandidat tertentu. 
Selain itu, pemantauan secara langsung juga dilakukan 
dengan mengamati perilaku ASN di sekitar tempat tinggal 
pemantau, untuk memastikan apakah dalam kesehariannya 
melakukan usaha  untuk mengajak, membujuk, atau kegiatan 
lain yang bersifat kampanye. Jika mendapati ASN melakukan 
pelanggaran, pemantau kemudian mendokumentasikannya 
melalui foto atau video sebagai alat bukti. 
Sedangkan pemantauan tidak langsung dilakukan 
melalui media sosial, pemantau mengidentifikasi ASN yang 
ada dalam grup aplikasi percakapan seperti whatsApp 
(WA). Pemantau kemudian memantau percakapan yang 
dilontarkan oleh ASN ke dalam grup. Pemantau kemudian 
mendokumentasikan percakapan ini  melalui screenshot 
terhadap percakapan ASN yang berisi kampanye. Untuk 
pemantauan yang dilakukan di media sosial seperti facebook, 
twitter, dan instagram, pemantau mengikuti postingan 
ASN. Tidak sulit untuk menemukan ASN di dalam media 
sosial ini , sebab  pada umumnya para pemantau juga 
berteman dengan ASN di media sosial. Dengan kata lain, 
pemantau sebelumnya telah mengenal ASN yang menjadi 
target. Pemantau kemudian mendokumentasikan screenshot 
postingan ASN yang bernada kampanye untuk dilaporkan 
sebagai pelanggaran. 
Untuk pemantauan lewat media massa, pemantau 
melakukan pemantauan dengan membaca berita seputar 
Pemilu dan akan mendokumentasikan materi pemberitaannya 
(menyimpan link berita untuk media online, dan kliping untuk 
media cetak) terhadap berita tentang pelanggaran netralitas 
ASN. 

  
Secara umum, proses pemantauan ini dilakukan dalam 
dua periode. Periode pertama dilakukan mulai awal Maret 2019 
hingga hari pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 17 
April 2019. Periode kedua dilakukan setelah pemungutan suara 
hingga akhir Mei 2019. 
Ruang Lingkup Pemantauan
Pemantauan mengacu pada Peraturan Pemerintah 
(PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps 
dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 7 PP 
ini  dinyatakan, “Dalam pelaksanaan tugas kedinasan 
dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai Negeri Sipil wajib 
bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam 
penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam 
berwarga, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai 
Negeri Sipil yang diatur dalalam Peraturan Pemerintah ini.” 
Kemudian dalam Pasal 11 huruf c dinyatakan bahwa etika 
terhadap diri sendiri salah satunya yaitu  menghindari konflik 
kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan. Surat 
Edaran Menteri PAN RB Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 
27  Desember 2017 yang ditujukan kepada pimpinan instansi 
pemerintah tingkat pusat dan daerah kemudian menguraikan 
berbagai  contoh  jenis  pelanggaran terhadap Pasal 11 huruf c 
PP  ini .  
Berdasarkan pada peraturan ini  di atas, ruang 
lingkup pemantauan kemudian dibatasi pada beberapa 
kegiatan 
Hasil Pemantauan
Selama periode pemantauan, tim pemantau berhasil 
menemukan 89 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh ASN 
terkait dengan netralitas dalam Pemilu 2019. Paling banyak 
kasus ditemukan di media sosial, antara lain facebook, instagram, 
dan whatsapp, yakni 66 kasus. Bentuk pelanggaran yang terjadi 
pada umumnya ASN mengunggah gambar peserta Pemilu 
disertai dengan caption yang bernada dukungan, memberikan 
komentar, dan memberikan tanda like pada postingan orang 
lain yang memberikan dukungan kepada peserta Pemilu.  
Selain melalui media sosial, ditemukan juga 
kasus pelanggaran netralitas ASN secara langsung. Bentuk 
pelanggaran yang terjadi yaitu  menghadiri deklarasi 
dukungan terhadap peserta Pemilu (8 kasus), terlibat dalam 
kampanye dan mengadakan kegiatan yang menunjukkan 
keberpihakan (8 kasus), mobilisasi orang lain untuk mendukung 
peserta Pemilu (4 kasus), menjadi narasumber pada acara yang 
diselenggarakan oleh peserta Pemilu (2 kasus), dan memasang 
alat peraga kampanye (1 kasus). Selengkapnya dapat dilihat 
pada grafik berikut.
 
  1 
Jenis Pelanggaran Netralitas ASN
Sumber: Data  Pemantauan  (diolah)
Banyaknya ASN yang memakai  media sosial 
untuk memberikan dukungan kepada peserta Pemilu bukanlah 
suatu hal yang mengherankan. Hal ini sebab  memang media 
sosial sudah menjadi media yang lazim dipakai  oleh 
warga untuk menyampaikan ekspresinya. Di negara kita, 
menurut riset terbaru yang dirilis oleh We Are Social dan 
Hootsuite, ada 150 juta pengguna media sosial,atau sekitar 
60 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah ini naik 
20 juta dibandingkan dengan riset yang digelar tahun 2018 (2). 
sebab  itu, tepat kiranya bila Komisi Pemilihan 
Umum (KPU) kemudian mengatur kampanye melalui 
media sosial. Pengaturan kampanye melalui media sosial 
dimuat dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 
tentang Kampanye Pemilihan Umum. Pada Pasal 23  ayat 
1  disebutkan bahwa media sosial yaitu salah satu 
metode yang dapat dipakai  untuk melakukan kampanye. 
Pada Pasal 35 dijabarkan aturan lebih rinci metode kampanye 
dengan memakai  media sosial. Akan namun , kampanye 
  
yang dimaksudkan  dalam PKPU ini yaitu  kampanye yang 
dilakukan oleh Peserta Pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh 
Peserta Pemilu yang terdaftar di KPU. Peraturan KPU ini tidak 
mengatur tentang penggunaan media sosial bagi pihak di luar 
itu, Dengan demikian, para pengguna media sosial non-peserta 
Pemilu yang berkampanye mendukung pilihannya tidak terikat 
dengan PKPU ini . Wajar jika kemudian banyak pengguna 
media sosial yang merasa leluasa untuk berkampanye, 
termasuk para ASN. 
Merasa  leluasa bukan berarti boleh dilakukan. Bagi 
ASN, mengkampanyekan peserta pemilu melalui media 
sosial yaitu suatu pelanggaran. Hal ini dinyatakan 
secara tegas dalam Surat Edaran Menteri PAN RB Nomor 
B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017. Dalam 
satu klausulnya, SE ini  menyatakan bahwa ASN yang 
mengkampanyekan peserta Pemilu dalam bentuk mengunggah 
foto, visi, dan misi serta unggahan lain yang terkait dengan 
bentuk dukungan,  dikategorikan  sebagai  pelanggaran 
terhadap etika sebagaimana diatur dalam Peraturan 
Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan 
Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Pasal 11 huruf 
c. Tindakan ini  termasuk pelanggaran etika,  sebab  ASN 
dianggap tidak dapat menghindari konflik kepentingan pribadi, 
kelompok, maupun golongan. 
Namun  demikian,  dari hasil pemantauan, banyak 
juga pelanggaran netralitas ASN yang dilakukan di dunia 
nyata. Dari grafik di atas tampak adanya keterlibatan ASN 
dalam kampanye terbuka, menghadiri deklarasi kandidat, 
memobilisasi calon pemilih, bahkan ada yang berani membantu 
memasang/menyebarkan APK. Berbagai bentuk tindakan 
pelanggaan  netralitas ASN di dunia nyata 
Dilihat dari latar belakang jabatannya, ASN yang 
paling banyak melakukan pelanggaran yaitu  pegawai pada 
pemerintah daerah, yakni sebanyak 31 orang.  Mereka antara 
lain terdiri dari staf, Kepala Bidang, hingga Kepala Dinas. Pada 
urutan kedua yaitu  dosen/dekan/rektor, yaitu sebanyak 21 
orang. Disusul kemudian guru/kepala sekolah sebanyak 19 
orang. Selebihnya yaitu  pegawai kementerian dan lembaga, 
pegawai rumah sakit, camat/staf kecamatan,  lurah/staf 
kelurahan, dan ada juga peneliti. Sebaran jumlah pelanggaran 
ASN berdasarkan jabatannya selengkapnya dapat dilihat pada 
grafik.
 
  2
Jumlah Pelanggaran Netralitas ASN Berdasarkan Jabatan
Sumber: Data Pemantauan (diolah)
Memperhatikan posisi jabatan  ASN yang melakukan 
pelanggaran sebagaimana ditampilkan di atas, ada potensi 
terjadinya mobilisasi dukungan pada peserta Pemilu tertentu. 
Posisi kepala dinas misalnya, meskipun hanya mengunggah 
dukungannya di media sosial, tanpa melakukan ajakan secara 
langsung, memiliki kemungkinan preferensi politiknya itu 
akan diikuti oleh staf di bawahnya. Indikasi ini tampak pada 
kasus pelanggaran di Provinsi Banten. Seorang kepala dinas 
di Pemerintah  Kota  Cilegon mendukung salah satu calon 
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kepala dinas ini 
merasa tergerak  untuk mendukung calon ini  sebab  calon 
yang bersangkutan yaitu putra sang gubernur. Tak ayal, 
unggahan  statusnya yang berisi kampanye kemudian direspons 
dalam bentuk dukungan oleh para stafnya. Bahkan banyak 
kepala dinas dan para stafnya ini  kemudian membentuk 
grup yang mengkampanyekan  calon  DPD ini  di media 
sosial  whatsapp. 
Selain jabatan struktural seperti kepala dinas 
sebagaimana  ini  di atas, posisi jabatan fungsional seperti 
guru dan dosen juga memiliki posisi yang sangat strategis. 
Dalam temuan kasus di atas, jika jumlah pelanggaran ASN 

  
yang  memiliki jabatan guru dan dosen digabung,  jumlahnya 
cukup banyak, yakni 40 orang. Dari 40 kasus ini , selain 
mengunggah status bernada kampanye di media sosial, 
banyak dari tenaga pendidik yang menunjukkan preferensi 
politiknya di depan kelas saat  mengajar. Bahkan ada yang 
terang-terangan mengarahkan peserta didik untuk memilih 
calon tertentu. 
Selain kepala dinas dan tenaga pengajar, jabatan 
lain yang berbasis kewilayahan seperti camat dan lurah juga 
memiliki potensi untuk memobilisasi massa, terutama massa 
di wilayah kerjanya. Dengan demikian, seorang ASN yang 
melakukan pelanggaran terhadap netralitas, akan memberikan 
dampak yang relatif besar bagi terpengaruhnya massa, 
yang pada akhirnya memunculkan mobilisasi massa untuk 
mendukung  calon peserta Pemilu yang menjadi preferensi 
ASN  bersangkutan.
Meskipun pemantauan ini dilakukan oleh jaringan 
CSO di empat kota, namun lokus pemantauan dilakukan 
di seluruh wilayah di negara kita. Dari seluruh temuan yang 
dihasilkan, mayoritas pelanggaran dilakukan oleh ASN di Jawa 
Tengah, sebanyak 25 ASN; disusul Jawa Timur sebanyak 23 
orang. Pelanggaran netralitas ASN juga ditemukan di luar Jawa 
seperti Aceh, Tana Toraja, Bukitinggi, dan Mimika. Sebaran 
jumlah pelanggaran ASN berdasarkan  lokus 
Memperhatikan temuan di atas, tampak bahwa 
fenomena pelanggaran ASN terhadap netralitas dalam Pemilu 
tidak hanya terjadi di suatu wilayah tertentu. Meskipun jumlah 
ASN yang melakukan pelanggaran terbilang sedikit, namun 
temuan ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran di 
wilayah lain. Tidak tertutup kemungkinan, jika ditelusuri lebih 
lanjut, pelanggaran netralitas ASN terjadi di seluruh wilayah di 
negara kita.  
Menyikapi laporan yang disampaikan oleh para 
pemantau, KASN kemudian menindaklanjutinya dengan 
melakukan verifikasi. KASN akan menindaklanjuti laporan 
yang didukung dengan data yang valid yang dapat diverifikasi. 
KASN kemudian melakukan verifikasi kepada instansi 
tempat KASN bekerja. Jika ditemukan bukti yang kuat terjadi 
pelanggaran, selanjutnya KASN akan membuat rekomendasi 
untuk disampaikan ke Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) 
atau atasan ASN untuk penetapan sanksinya. Temuan 
hasil pemantauan dan langkah  tindak  lanjut  KASN akan 
disampaikan pada bagian selanjutnya. 

  
DISKUSI
Pemantauan  Netralitas  ASN sebagai Wujud keikutsertaan  
Politik
Dalam  konteks Pemilu, dalam   definisinya  yang 
paling elementer, partisipasi politik dimaknai sebagai bentuk 
kegiatan warga negara dalam turut memilih pemimpin negara 
dan pejabat-pejabat lainnya, yang baik secara langsung maupun 
tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan publik (Budiarjo, 
2008). Pada saat negara kita masih menganut sistem pemilu 
perwakilan yang diterapkan pada masa Orde Baru, partisipasi 
politik warga sangat terbatas, sebab  mereka hanya memilih 
partai, dimana partai kemudian yang akan menentukan 
perwakilannya di parlemen. Parlemen ini  kemudian yang 
akan bersidang untuk menentukan siapa yang akan dipilih 
menjadi presiden dan wakil presiden. Kepala daerah, sebagai 
pemimpin di tingkat lokal, juga tidak dipilih langsung oleh 
warga, namun  ditentukan oleh pemerintah pusat. 
Pada saat negara kita menerapkan sistem pemilu 
langsung, yang mulai diterapkan pada tahun 2004, para 
wakil rakyat di parlemen dipilih secara langsung, termasuk 
juga presiden dan wakil presiden. Menyusul kemudian pada 
tahun 2005 mulai dilakukan pemilihan kepala daerah secara 
langsung. Dalam hal ini partisipasi politik mengalami perluasan 
makna, yakni bukan hanya sekadar aktivitas memilih, namun  
juga melakukan seleksi secara serius terhadap para kandidat 
yang berkontestasi. Pada titik ini pada dasarnya warga 
tengah melakukan koreksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan 
pemerintahan (Liando, 2016) dan pada titik ini pula warga 
menjadi pemilih yang kritis. Kondisi ini memicu kompetisi 
menjadi sangat ketat, di mana kondisi ini pula yang seringkali 
menggoda para kandidat untuk melakukan berbagai cara 
menarik suara pemilih. Dengan demikian peran warga 
sangat penting untuk mengawasi para kandidat untuk tidak 
melakukan kecurangan. 
Sampai di sini kemudian partisipasi politik tidak 
sebatas dipahami sebagai aktivitas warga dalam memilih 
para kandidat, namun  juga mengawasi kandidat agar tidak 
melakukan kecurangan dalam usaha nya meraih kemenangan 
elektoral. Maka tak mengherankan jika kemudian muncul 
berbagai kelompok warga yang mendeklarasikan dirinya 
sebagai kelompok-kelompok pemantau pemilu. UU Pemilu 
kemudian mengatur tentang kelompok pengawas ini, yang 
dituangkan dalam pasal 435 sampai pasal 447. Dalam pasal-
pasal ini  antara lain diatur bahwa kelompok pemantau 
harus mendaftar kepada Bawaslu, untuk kemudian diseleksi 
sampai memperoleh  sertifikat akreditasi. Hingga Maret 2019, 
tercatat ada 51 lembaga pemantau yang telah memperoleh 
sertifikat akreditasi dari Bawaslu. (3)
Pemantauan yang dilakukan oleh CSO terhadap 
netralitas ASN yang dituangkan dalam tulisan ini, yaitu 
aktivitas yang tidak secara langsung memantau para kandidat 
yang tengah berkontestasi. Pemantauan ini dilakukan hanya 
untuk memantau perilaku ASN dalam masa Pemilu, apakah 
menunjukkan keberpihakan pada kandidat tertentu atau tidak. 
sebab  obyek pemantauannya bukan kandidat Pemilu, maka 
hasil pemantauan yang ditemukan lebih banyak dilaporkan 
ke KASN, bukan ke Bawaslu, dengan harapan bahwa temuan 
ini  akan ditindaklanjuti oleh KASN sehingga ASN yang 
bersangkutan dapat dikenai sanksi untuk menimbulkan efek 
jera. Hasil temuan pemantauan dilaporkan kepada KASN 
melalui aplikasi pengaduan yang telah dikembangkan oleh 
KASN sendiri, yaitu lapor.kasn.go.id. 
Meskipun tidak secara langsung melakukan 
pemantauan terhadap kandidat Pemilu, namum pelaksanaan 
pemantauan yang dilakukan oleh CSO terhadap netralitas 
ASN dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik. keikutsertaan  
ini pada akhirnya nanti akan berpengaruh pada kebijakan 
pemerintah. Birokrasi yang tidak netral akan berpotensi 
mengeluarkan kebijakan yang hanya menguntungkan 
kelompok kepentingannya, sedangkan birokrasi yang netral 
akan mengeluarkan kebijakan yang lebih berorientasi pada 
kepentingan publik secara luas. Di sisi lain, netralitas birokrasi 

juga akan berkontribusi pada perbaikan pelayanan publik, 
mengingat garda terdepan pelaksana pelayanan publik yaitu  
para ASN. 
Sebagai  gambaran, terkait dengan kualitas pelayanan 
publik di negara kita masih banyak dikeluhkan oleh warga. 
Laporan warga yang disampaikan kepada Ombudsman 
RI (2018) memperlihatkan bahwa masih banyak terjadi dugaan 
maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 
Tiga terbesar yaitu  penundaan berlarut sebanyak 606 
laporan (37,02%), penyimpangan prosedur sebanyak 340 
laporan (20,77%) dan tidak memberikan pelayanan sebanyak 
314 laporan (19,18%). 
Mengacu pada laporan Ombudsman RI ini , 
adanya laporan mengenai maladministrasi memperlihatkan 
bahwa belum terwujudnya pelayanan publik yang baik, yaitu 
pelayanan yang dapat memberi kepuasan yang optimal dan 
terus-menerus bagi pelanggan, yang memenuhi syarat-
syarat: a) adanya standar pelayanan; b) bertujuan memuaskan 
pelanggan; dan c) pelayanan sesuai standar yang ada. Standar 
pelayanan yaitu  tolok ukur yang dipakai  sebagai pedoman 
penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas 
pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada 
warga dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, 
mudah, terjangkau, dan terukur.Standar pelayanan juga 
menjadi ukuran bagi konsumen atas hak-hak yang diperolehnya.
Netralitas ASN dalam pelayanan publik ini juga 
tercermin dari kondisi ideal yang sepatutnya tercipta (KASN, 
2019), yaitu:
1) Tidak melakukan penundaan berlarut dalam pelayanan 
publik sebab  perbedaan/persamaan suku, agama, ras, 
dan adat istiadat, termasuk pandangan politik atau 
alasan lainnya;
2) Tidak membeda-bedakan dalam memberikan 
pelayanan publik sebab  perbedaan/persamaan suku, 
agama, ras, dan adat istiadat, termasuk pandangan 
politik atau alasan lainnya;
3) Tidak  menyalahgunakan wewenang dalam 
memberikan pelayanan publik sebab  perbedaan/
persamaan suku, agama, ras, dan adat istiadat, 
termasuk pandangan politik atau alasan lainnya;
4) Tidak  meminta imbalan saat  memberikan pelayanan 
publik;
5) Tidak melakukan penyimpangan prosedur dalam 
memberikan pelayanan;
6) Bertindak layak/patut dalam memberikan pelayanan 
publik sebab  perbedaan/persamaan suku, agama, ras, 
dan adat istiadat, termasuk pandangan politik atau 
alasan lainnya;
7) Tidak berpihak dalam memberikan pelayanan publik 
sebab  perbedaan/persamaan suku, agama, ras, dan 
adat istiadat, termasuk pandangan politik atau alasan 
lainnya;
8) Tidak memiliki konflik kepentingan dalam memberikan 
pelayanan publik sebab  perbedaan/persamaan suku, 
agama, ras, dan adat istiadat, termasuk pandangan 
politik atau alasan lainnya;
9) Tidak melakukan diskriminasi dalam memberikan 
pelayanan publik sebab  perbedaan/persamaan suku, 
agama, ras, dan adat istiadat, termasuk pandangan 
politik atau alasan lainnya;
10) Tidak mempersulit dalam memberikan pelayanan 
publik sebab  perbedaan/persamaan suku, agama, ras, 
dan adat istiadat, termasuk pandangan politik atau 
alasan lainnya;
11) Memberikan pelayanan atas nama instansi bukan 
pribadi;
12) Tidak  meminta/menerima  pungutan di luar biaya 
resmi yang berlaku;
13) Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan atau 
kewenangan  yang  dimiliki;
14) Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang 
wajib dirahasiakan dengan peraturan perundang-
undangan;
15)  Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana 
pelayanan publik.

  
ASN  sebagai  Perekat  Pemersatu  Bangsa
Selain sebagai penyedia pelayanan publik, ASN juga 
berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Fungsi ini 
mulai dijalankan tepat pada saat seseorang diangkat sebagai 
ASN. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 66 ayat (1) dan (2) 
UU ASN mengenai sumpah dan janji saat  diangkat menjadi 
PNS, bahwa PNS akan senantiasa setia dan taat sepenuhnya 
kepada Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah. PNS juga 
senantiasa menjunjung tinggi martabat PNS serta senantiasa 
mengutamakan kepentingan Negara dari pada kepentingan 
diri sendiri, seseorang, dan golongan. Dengan sumpah itu, 
seorang PNS sudah terikat untuk loyal, setia, dan taat kepada 
pilar dasar Negara negara kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945, 
serta kepada pemerintahan yang sah. Seorang PNS tidak boleh 
memiliki pemikiran, pandangan, dan melakukan tindakan yang 
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bagi seorang 
PNS, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI yaitu  sesuatu yang final 
dan harga mati. Dia siap mengorbankan jiwa dan raganya untuk 
mempertahankan keutuhan NKRI. Ringkasnya, PNS harus 
berusaha  mencegah terjadinya disintegrasi, yaitu perpecahan 
suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang saling terpisah. 
Dalam konteks inilah, seorang PNS yang yaitu bagian 
ASN menjalankan fungsinya sebagai perekat dan pemersatu 
bangsa. 
Peran ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa 
ini, secara implisit terkait dengan asas dalam penyelenggaraan 
dan kebijakan manajemen ASN, yaitu asas persatuan dan 
kesatuan. Hal ini berarti, seorang PNS atau ASN dalam 
menjalankan tugas-tugasnya senantiasa mengutamakan dan 
mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepentingan 
kelompok, individu, golongan harus disingkirkan demi 
kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara dan 
bangsa.  Ketidaknetralan ASN berimplikasi pada terjadinya 
perbedaan perlakuan (diskriminasi) terhadap warga 
yang berbeda asal, golongan, dan partai politiknya yang akan 
memicu  terjadinya kecemburuan dan keresahan sosial. 
Bila hal ini dibiarkan dan terus berkembang akan memicu 
terjadinya konflik antar-kelompok warga dan berpotensi 
berkembang menjadi disintegrasi bangsa, terutama dari 
kelompok yang merasa terdiskriminasi. 
Upaya untuk mencegah terjadinya konflik dan disintegrasi 
bangsa ini dapat dilakukan oleh ASN dalam bentuk antara lain:
a. Bersikap netral dan adil. Netral dalam artian tidak 
memihak kepada salah satu kelompok atau golongan 
yang ada. Adil, berarti PNS dalam melaksanakan 
tugasnya tidak boleh berlaku diskriminatif dan harus 
obyektif, jujur, transparan. Dengan bersikap netral dan 
adil dalam melaksanakan tugasanya, PNS akan mampu 
menciptakan kondisi yang aman, damai, dan tenteram 
di lingkungan kerjanya dan warga.
b. Dalam pemilu, seorang ASN yang aktif dalam partai 
politik, atau mencalonkan diri sebagai anggota 
legislatif (DPR, DPRD, dan DPD), atau mencalonkan 
diri sebagai kepala daerah, harus mundur atau berhenti 
sementara dari statusnya sebagai ASN. Tuntutan 
mundur diperlukan agar yang bersangkutan tidak 
menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya untuk 
kepentingan dirinya dan partai politiknya. ASN yang 
sudah terlibat dalam kepentingan dan tarikan politik 
praktis, akan sulit bersikap netral dan obyektif dalam 
melaksanakan tugasnya. Situasi ini akan menimbulkan 
ketidakpercayaan warga terhadap ASN dan 
lembaga tempat bernaung. Sementara itu, ASN 
yang memiliki hak pilih, juga tidak memperlihatkan 
kecenderungannya terhadap peserta pemilu, baik 
melalui ucapan, tindakan, dan simbol-simbol tertentu. 
Hak pilih ASN cukup dimanifestasikan dalam bentuk 
memilih (mencoblos) peserta pemilu pada saat 
pemungutan suara.  
Pentingnya Perlindungan Data Pelapor
Salah satu dinamika yang terjadi di dalam  proses 
pemantauan yaitu  terjadinya kebocoran data pelapor kepada 
ASN terlapor. Beberapa pemantau di Semarang melaporkan 
ASN yang melakukan pelanggaran yang berpotensi 
mengandung unsur sanksi pidana ke Bawaslu Kabupaten 

  
Kendal, Provinsi Jawa Tengah.  Namun pihak Bawaslu Kabupaten 
Kendal kemudian menginformasikan laporan ini  ke ASN 
yang dilaporkan dan memberikan informasi tentang data 
pelapornya. Mendapat laporan ini , ASN bersangkutan 
kemudian menegur secara langsung kepada pelapor. Pelapor 
kemudian merasa terintimidasi dengan teguran ini  dan 
terpaksa mencabut laporannya. 
Terkait dengan kebocoran data pelapor, hal ini menjadi 
kekawatiran para pemantau, terutama para pemantau yang 
masih memiliki hubungan teman dan kekerabatan dengan ASN 
terlapor. Mereka khawatir datanya diketahui oleh ASN terlapor 
sehingga akan merusak hubungannya ini . Hal ini yang 
memicu pemantau enggan melaporkan hasil temuannya. 
Mereka baru mau melaporkan setelah mengetahui bahwa 
sistem pengaduan di KASN dan SP4N tidak mempublikasikan 
data pelapor. Data pelapor hanya diketahui oleh admin. 
Selain soal kebocoran data pelapor, hal lain yang 
mengemuka seiring dengan proses pemantauan yaitu  
adanya kendala teknis saat  berusaha masuk ke aplikasi kanal 
pengaduan KASN. Pemantau seringkali gagal saat  hendak 
melakukan registrasi maupun log-in. Selain itu, pemantau 
juga seringkali memperoleh  laporannya tidak ter-upload ke 
sistem, sehingga mengalami kesulitan untuk memantau tindak 
lanjutnya. Kendala ini kemudian diatasi dengan melaporkannya 
ke admin kanal pengaduan KASN. Dari laporan ini  
kemudian admin menindaklanjutinya dengan melakukan 
perbaikan.  
Pemantauan terhadap netralitas ASN dalam Pemilu 
dapat dikatakan sebagai partisipasi politik warga negara. 
Meskipun tidak langsung mengawasi kandidat peserta Pemilu, 
namun pengawasan terhadap netralitas ASN yaitu 
bagian juga dari usaha  untuk mendorong netralitas itu sendiri. 
ASN yang netral akan mendorong terwujudkan birokrasi 
pemerintahan yang netral pula, yang pada ujungnya akan 
melahirkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan 
publik secara luas, bukan kepentingan politik tertentu. Dengan 
demikian, pemantauan terhadap netralitas ASN secara tidak 
langsung berpengaruh pada perbaikan kebijakan publik. Selain 
itu, pemantauan ini juga akan berpengaruh pada perbaikan 
pelayanan publik, sebab  hanya pelayanan publik yang 
dijalankan oleh ASN yang netral (tidak diskriminatif sebab  
alasan tertentu, termasuk preferensi politik) yang dapat 
mewujudkan kepuasan warga. 

RAGAM  HAMBATAN  PARTISIPASI 
MASYARAKAT  ADAT  DALAM  PEMILU 2019
Studi  Kasus Komunitas Adat Kajang, Dayak Meratus, 
dan Rakyat Penunggu 
Yayan Hidayat dan Abdi Akbar
Aliansi warga  Adat Nusantara (AMAN)
Hampir tidak ada negara demokrasi tanpa pemilihan 
umum (pemilu), sebab pemilu yaitu instrumen pokok 
dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi(Reeve, 
2001).Sesungguhnya, pemilu tidak saja sebagai arena 
untuk mengekspresikan kebebasan rakyat dalam memilih 
pemimpinnya, namun  juga arena untuk menilai dan menghukum 
para pemimpin yang tampil di hadapan rakyat.
Bagi warga adat, pemilu melampaui maknanya 
(beyond of mean).Tidak sekadar urusan administratif, bukan 
pula sekadar persoalan teknis dan hukum.Orang Talang Mamak 
misalnya, saat pemilu tiba biasanya mereka akan membahas 
kandidat-kandidat yang ada, disaksikan oleh Batin – pemimpin 
adat. Hal ini untuk memastikan rekam jejak kandidat yang 
ditawarkan melalui pemilu.Setelah membahas itu melalui 
musyawarah, baru mereka menentukan pilihan masing-masing.
Mekanisme itu dilakukan untuk menjamin bahwa mereka tidak 
salah dalam menentukan pilihan.Orang Talang Mamak sedang 
memastikan bahwa kandidat yang mereka pilih betul-betul 
dapat mewakili suara dan kepentingan mereka.
“Masalah pilih-memilih nanti dulu, yang penting 
bersuara,” ujar Patih Yusuf, pe