Januari 2024

Jumat, 26 Januari 2024

hak asasi manusia 6





sebut sebagai “Konvensi” 
mengenai penerapan atau penafsiran Konvensi. Para anggota 
Komisi akan dipilih dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan 
untuk tujuan itu oleh para Negara Peserta Protokol ini (pasal 
226 ---
3 ayat 1). Para anggota akan dipilih untuk masa jabatan enam 
tahun dan akan dipilih kembali jika  dicalonkan lagi (pasal 5).
6. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan 
dan Jabatan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 25 Juni 1958 oleh Konferensi 
Umum Organisasi Buruh Internasional pada persidangannya 
yang ke-42. Pasal 1 (ayat 1) Konvensi ini menyebutkan bahwa: 
Untuk tujuan Konvensi ini istilah “diskriminasi” mencakup:
a. Setiap pembedaan, pengesampingan atau pengutamaan yang 
dilakukan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, 
pendapat politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, yang 
memiliki  akibat meniadakan atau mengurangi persamaan 
kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. Pembedaan, pengesampingan atau pengutamaan lain 
semacam itu yang memiliki  akibat meniadakan atau 
mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam 
pekerjaan atau jabatan, seperti yang mungkin ditetapkan oleh 
Anggota yang bersangkutan sesudah berkonsultasi dengan 
perwakilan organisasi-organisasi majikan dan pekerja, 
jika  organisasi-organisasi semacam itu ada, dan dengan 
badan-badan lain yang tepat.
Sementara itu dalam pasal 1 (ayat 3) menyebutkan bahwa 
istilah ”pekerjaan” dan “jabatan” mencakup akses ke pelatihan 
kejuruan, akses ke pekerjaan dan jabatan-jabatan tertentu, dan 
syarat-syarat perburuhan dan kondisi-kondisi pekerjaan.
Maka untuk mencegah praktik diskriminasi dalam istilah ini, 
usaha yang dilakukan termuat dalam pasal 3 Konvensi ini yaitu:
Setiap anggota yang baginya Konvensi ini berlaku berusaha 
dengan metode-metode yang tepat dengan kondisi-kondisi? dan 
praktik nasional untuk: 
a. Mencari kerja sama organisasi-organisasi majikan dan pekerja 
dan badan-badan lain yang tepat dalam meningkatkan 
penerimaan dan pentaatan pada kebijakan ini; 
b. Membuat perundang-undangan semacam itu dan 
227---
meningkatkan program-program pendidikan seperti yang 
mungkin diperhitungkan untuk menjamin penerimaan dan 
pentaatan kebijakan itu; 
c. Membuat setiap pengaturan statuta dan mengubah setiap 
perintah atau praktek administratif yang bertentangan 
dengan kebijakan itu; 
d. Mengejar kebijakan mengenai pekerjaan di bawah pengawasan 
langsung suatu penguasa nasional; 
e. Menjamin pentaatan pada kebijakan itu dalam - bimbingan 
kejuruan, pelatihan kejuruan dan pelayanan-pelayanan 
penempatan di bawah pengarahan suatu penguasa nasional; 
f. Menunjuk dalam laporan-laporan tahunannya mengenai 
penerapan Konvensi, tindakan yang diambil sesuai dengan 
kebijakan dan akibat-akibat yang dijamin dengan tindakan 
ini .
7. Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk 
Ketidakrukunan dan Diskriminasi berdasar Agama 
atau Kepercayaan
Deklarasi ini diumumkan dengan Resolusi Majelis Umum 
36/55, 25 November 1981.Istilah “ketidakrukunan dan diskriminasi 
berdasar agama atau kepercayaan” dalam pasal 2 (ayat 
2) berarti setiap pembedaan, pengesampingan, larangan atau 
pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan 
dan yang tujuannya atau akibatnya menia’
Beberapa hak diakui dalam tujuan Deklarasi ini yaitu  
seperti yang tercantum dalam pasal 1 antara lain:
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani 
dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk 
menganut suatu agama atau kepercayaan apa pun pilihannya, 
dan kebebasan, baik secara individu ataupun dalam 
warga  dengan orang-orang lain dan di depan umum 
atau sendirian, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan 
dalam beribadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang 
228 ---
akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu 
agama atau kepercayaan pilihannya.
(3) Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan 
seseorang hanya boleh tunduk pada pembatasan-pembatasan 
yang ditetapkan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang 
dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, 
ketertiban umum, kesehatan warga  atau kesusilaan 
umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar orang 
lain.
Sesuai dengan istilah dari Pasal 1 Deklarasi ini, hak atas 
kebebasan berpendapat, hati nurani, beragama, atau kepercayaan  
diatur dalam pasal 6 yang mencakup:
a. Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu 
agama atau kepercayaan, dah mendirikan serta mengelola 
tempat-tempat untuk tujuan ini; 
b. Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau 
kemanusiaan yang tepat; 
c. Membuat, memperoleh dan mempergunakan sampai sejauh 
memadai berbagai benda dan material yang diperlukan 
berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama 
atau kepercayaan; 
d. Menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan berbagai 
penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini; 
e. Mengajarkan suatu agama atau kepercayaan di tempat-
tempat yang cocok untuk tujuan-tujuan ini; 
f. Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan 
keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari 
perseorangan atau lembaga; 
g. Melatih, memilih, menunjuk atau mencalonkan dengan 
suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan 
persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau 
kepercayaan apa pun; 
h. Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari 
libur dan upacara-upacara menurut ajaran-ajaran agama 
atau kepercayaan seseorang; 
i. Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan 
seseorang dan warga  dalam persoalan-persoalan agama 
atau kepercayaan pada tingkat nasional dan internasional.
8. Deklarasi tentang Ras dan Prasangka Sosial
Deklarasi ini disetujui dan diumumkan oleh Konvensi Umum 
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada persidangannya 
yangke-20, pada tanggal 27 November 1978. Dalam Pasal 1 
Deklaras ini mengakui bahwa:
a. Semua insan manusia termasuk dalam rumpun manusia 
berasal dari keturunan bersama. Mereka dilahirkan sama 
dalam martabat dan hak-hak dan semua membentuk suatu 
bagian integral kemanusiaan. 
b. Semua individu dan kelompok memiliki  hak untuk berbeda, 
untuk menganggap diri mereka sebagai berbeda dan untuk 
dianggap sebagai berbeda. Namun demikian, keragaman gaya 
hidup dan hak untuk berbeda, dalam keadaan apa pun, tidak 
boleh bertindak sebagai dalih untuk prasangka rasial mereka 
tidak boleh membenarkan baik dalam hukum ataupun 
dalam kenyataan praktek diskriminasi apa pun, juga tidak 
boleh menyediakan alasan untuk kebijakan apartheid, yang 
merupakan bentuk ekstrem rasisme.
c. Jati diri asal sama sekali tidak mempengaruhi kenyataan 
bahwa insan manusia dapat dan boleh hidup secara berbeda-
beda, juga tidak menghalangi adanya berbagai perbedaan 
berdasar pada keragaman kebudayaan, lingkungan dan 
sejarah, juga tidak menghalangi hak untuk mempertahankan 
jati diri kebudayaan. 
d. Semua bangsa di dunia memiliki kecakapan yang sama untuk 
mencapai tingkat tertinggi dalam mengembangkan tingkat 
intelektual, teknik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. 
e. Berbagai perbedaan di antara prestasi berbagai bangsa secara 
keseluruhan diakibatkan oleh faktor-faktor geografis, sejarah, 
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai perbedaan 
230 ---
ini  sama sekali tidak boleh dipergunakan sebagai dalih 
untuk klasifikasi susunan tingkat negara-negara atau bangsa-
bangsa apa pun.
9. Konvensi tentang Perbudakan 
Konvensi ini ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 
September 1926. Pasal 1 Konvensi ini menjelaskan mengenai 
Perbudakan, yaitu:
a. Perbudakan yaitu  suatu status atau keadaan seseorang yang 
kepadanya dilaksanakan setiap dan kekuasaan-kekuasaan 
atau semua kekuasaan yang melekat pada hak atas pemilikan. 
b. Perdagangan budak mencakup semua perbuatan yang 
terlibat dalam penangkapan, peroleh atau peraturan 
terhadap seseorang dengan tujuan menurunkan dia pada 
perbudakan; semua perbuatan yang terlibat dalam perolehan 
seorang budak dengan tuiuan menjual atau mempertukarkan 
dia; semua perbuatan pemberian dengan penjualan atau 
pertukaran terhadap seorang budak yang diperoleh dengan 
tujuan dijual atau dipertukarkan, dan, pada umumnya, setiap 
perbuatan memperdagangkan atau mengangkut para budak.
Maka usaha  untuk menangani kasus perbudakan, para negara 
Peserta sepakat di dalam pasal 4 dan 5 yang menyebutkan bahwa:
a. Pasal 4:
Para Negara Peserta Tingkat Tinggi harus saling 
memberikan setiap bantuan kepada yang lainnya dengan 
tujuan menjamin penghapusan perbudakan dan perdagangan 
budak.
b. Pasal 5:
Para Negara Peserta T’ingkat Tinggi harus mengakui 
bahwa mencapai jalan lain untuk melaksanakan wajib kerja 
atau kerja paksa memiliki  akibat-akibat yang gawat dan 
berusaha, masing-masing berkenaan dengan wilayah yang 
ditempatkan di bawah kedaulatan yurisdiksi, perlindungan, 
kekuasaan atau perwaliannya, mengambil semua langkah 
yang diperlukan untuk mencegah wajib kerja atau kerja 
paksa, dari mengembangkan menjadi kondisi-kondisi yang 
analog déngan perbudakan. 
Disepakati bahwa: 
(1) Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan transisi yang 
ditetapkan dalam ayat (2) di bawah, maka wajib kerja 
atau kerja paksa hanya dapat diminta untuk tujuan-
tujuan negara. 
(2) Di dalam wiiayah-wilayah di mana wajib kerja atau kerja 
paksa selain untuk tujuan-tujuan negara masih bertahan, 
maka para Negara Peserta Tingkat Tinggi harus berusaha 
secara progresif dan secepat mungkin mengakhiri praktek 
semacam itu. Sepanjang wajib kerja atau kerja paksa 
ini  ada, kerja ini tanpa kecuali harus bersifat 
pengecualian, harus selalu menerima upah yang memadai 
dan tidak boleh melibatkan pemindahan para buruh itu 
dari tempat tinggal mereka yang biasanya. 
(3) Dalam semua kasus, maka tanggung jawab setiap jalan 
lain untuk meraksanakan wajib kerja atau kerja paksa 
harus dibebankan pada para penguasa pusat wilayah 
yang bersangkutan yang berwenang.
10. Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, 
Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik Serupa 
dengan Perbudakan
Konvensi ini disetujui dengan resolusi Konferensi para 
Duta Besar yang Berkuasa Penuh, yang diminta bersidang oleh 
Dewan Ekonomi dan Sosial, 608 (XXI) tanggal 30 April 1956 dan 
dilaksanakan di Jenewa pada 7 September 1956. Dalam Seksi I 
Pasal 1 Konvensi ini dijelaskan tentang lembaga-lembaga dan 
praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan antara lain:
a. Perbudakan utang, yang untuk mengatakan, status atau 
keadaan yang timbul dari suatu janji oleh seorang yang 
berutang mengenai pelayanan-pelayanan pribadinya 
atau pelayanan-pelayanan seseorang yang di bawah 
penguasaannya sebagai jaminan untuk suatu utang, jika nilai 
setiap pelayanan ini  sebagaimana diukur secara layak 
tidak berlaku terhadap penghapusan utang itu atau lumayan 
dan sifat setiap pelayanan ini  tidak dibatasi secara 
berturut-turut dan tidak didefinisikan. 
b. Perhambaan, yang untuk mengatakan, kondisi atau status 
seorang penyewa yang menurut hukum, kebiasaan atau 
persetujuan terikat untuk bertempat tinggal dan bekerja 
pada tanah milik orang lain dan untuk memberikan beberapa 
pelayanan yang sudah tertentu kepada orang lain ini , 
apakah dengan upah atau tidak, dan tidak bebas mengubah 
statusnya; 
c. Setiap lembaga atau praktik yang dengannya:
(i) Seorang wanita, tanpa hak untuk menolak, dijanjikan 
dinikahi atau dinikahi atas pembayaran dengan upah 
dalam uang atau dengan barang untuk orang tuanya, 
walinya, keluarganya atau orang lain mana pun atau 
kelompok; atau 
(ii) Suami seorang perempuan, keluarganya atau marganya, 
berhak mengalihkan dia kepada orang Iain untuk suatu 
harga yang diterima atau sebaliknya; atau 
(iii) Seorang wanita pada saat kematian suaminya besar 
kemungkiman diwariskan oleh orang lainnya; 
d. Setiap lembaga atau praktek di mana seorang anak atau 
seorang anak muda di bawah umur 18 tahun, diberikan oleh 
salah satu atau kedua orang tuanya yang sebenarnya atau 
oleh walinya kepada orang lain, apakah dengan upah atau 
tidak, dengan tujuan mengeksploitasi anak atau anak muda 
ini  atau tenaganya.
Dalam seksi II pasal 3 di jelaskan tentang perdagangan 
budak antara lain:
(1) Perbuatan mengangkut atau berusaha mengangkut 
budak dari suatu negara ke negara lainnya dengan setiap 
sarana angkutan, atau sarana yang menjadi tambahannya 
akan merupakan pelanggaran pidana menurut undang-
undang para Negara Peserta Konvensi ini dan sebab  itu 
orang-orang yang dihukum dapat dikenakan hukuman-
hukuman yang sangat berat.
(2) a.  Para Negara Peserta harus mengambil semua 
langkah yang efektif untuk mencegah kapal-kapal 
dan pesawat terbang yang dikuasakan untuk 
mengibarkan bendera mereka dari mengangkut 
budak dan untuk menghukum orang-orang yang 
bersalah sebab  perbuatan-perbuatan ini  atau 
sebab  memakai  bendera nasional untuk tujuan 
ini .
b. Para Negara Peserta Konvensi ini harus saling 
mempertukarkan informasi agar dapat menjamin 
koordinasi praktis langkah-langkah yang diambil 
dalam memerangi perdagangan budak dan harus 
saling menginformasikan setiap kasus mengenai 
perdagangan budak dan setiap usaha untuk 
melakukan pelanggaran pidana ini, yang mana dapat 
menjadi pengetahuan mereka.
Sementara itu, definisi-definisi dari perbudakan, 
seseorang yang dalam status perhambaan serta pedagangan 
budak dijelaskan dalam Seksi IV Pasal 7 yaitu:
a. “Perbudakan”, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 
Perbudakan tahun 1926, berarti Status atau kondisi 
seseorang yang atas dirinya setiap atau semua kekuasaan 
yang melekat pada hak atas pemilikan dilaksanakan, dan 
“budak” berarti seseorang yang dalam kondisi atau status 
ini ; 
b. “Seseorang yang dalam status perhambaan” berarti 
seseorang yang dalam kondisi atau, status yang 
diakibatkan oleh setiap dari lembaga-lembaga atau 
praktek-praktek yang disebutkan dalam Pasal 1 Konvensi 
ini; 
c. ”Perdagangan budak” berarti dan mencakup semua 
perbuatan yang terlibat dalam penangkapan, perolehan 
atau peraturan atas seorang dengan tujuan menurunkan 
dia pada perbudakan, semua perbuatan yang terlibat 
dalam perolehan seorang budak dengan tujuan menjual 
atau mempertukarkan dia, semua perbuatan pemberian 
dengan merjual atau mempertukarkan seseorang yang 
diperoleh dengan tujuan dijual atau dipertukarkan; 
dan, pada umumnya, setiap perbuatan perdagangan, 
atau pengangkutan para budak dengan sarana-sarana 
pengangkutan apa pun.
Untuk mendukung penghapusan berbagai bentuk 
perbudakan ini, maka dalam Seksi V Pasal 8 dijelaskan 
bahwa:
(1) Para Negara Peserta Konvensi ini saling berusaha saling 
bekerja sama dengan yang lain dan dengan Perserikatan 
Bangsa-Bangsa untuk memberlakukan ketentuan-
ketentuan yang terlebih dahulu. 
(2) Para Negara Peserta berusaha menyampaikan kepada 
Sekretaris Jenderal Perserikalan Bangsa-Bangsa, salinan-
salinan dari undang-undang, peraturan-peraturan dan 
tindakan-tindakan administratif apa pun, yang dibuat 
atau diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan dalam Konvensi ini. 
(3) Sekretaris Jenderal akan menyampaikan informasi yang 
diterima menurut ketentuan ayat (2) pasal ini kepada para 
Negara Peserta yang lain dan kepada Dewan Ekonomi 
dan Sosial sebagai bagian dari dokumentasi untuk 
pembahasan apa pun yang di mana Dewan mungkin 
melakukan dengan tujuan membuat rekomendasi-
rekomendasi leblh jauh untuk menghapus perbudakan, 
Perdagangan budak atau lembaga-lembaga dan praktek-
praktek yang menjadi subyek Konvensi ini.
11. Konvensi ILO Nomor 29 tentang Kerja Paksa
Konvensi ini disetujui pada tanggal 28 Juni 1930 oleh 
Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional pada sidangnya 
yang ke-14. Istilah dari kerja paksa dijelaskan dalam pasal 2 ayat 
1 yaitu: ”kerja paksa atau wajib kerja akan berarti semua kerja 
atau pelayanan yang diminta dari siapa pun di bawah ancaman 
hukum apa pun dan di mana orang ini  tidak menawarkan 
diri secara sukarela. Namun istilah “kerja paksa atau wajib kerja” 
tidak akan mencakup:
a. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta berdasar 
undang-undang pelayanan wajib militer untuk pekerjaan 
yang semata-mata bersifat militer; 
b. Setiap pekeriaan atau pelayanan yang membentuk bagian 
kewajiban-kewajiban sebaga warga negara yang lazim dari 
suatu negara berpemerintahan-sendiri sepenuhnya; 
c. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta dari siapa 
pun sebagai konsekuensi suatu hukuman dalam suatu 
pengadilan hukum, dengan syarat bahwa pekerjaan atau 
pelayanan ini  dilaksanakan di bawah pengawasan dan 
pengendalian seorang penguasa pemerintah dan bahwa orang 
ini  tidak disewa atau ditempatkan pada peraturan 
perseorangan, perusahaan atau himpunan swasta; 
d. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta dalam kasus-
kasus keadaan darurat, yang unI tuk menyatakan, dalam 
kejadian perang atau bencana alam atau bencana alam yang 
mengancam seeperti kebakaran, banjir, kelaparan, gempa 
bumi, penyakit epidemik yang gawat, atau penyakit episotik, 
serangan oleh binatang, serangga, atau hama sayuran dan 
secara umum keadaan apa pun yang akan membahayakan 
keberadaan atau kesejahteraan keseluruhan atau bagian 
penduduk; 
e. Semacam pelayanan warga  bersama dalam skala kecil 
yang dilakukan oleh anggota-anggota warga  demi 
kepentingan langsung warga  ini , sebab nya dapat 
dianggap sebagai kewajiban-kewajiban warga negara yang 
lazim dengan syarat bahwa anggota anggota warga  itu 
atau perwakilan langsung mereka berhak dikonsultasikan 
mengenai kebutuhan untuk pelayanan-pelayanan ini .
Untuk mencapai tujuan dalam Konvensi ini, maka istilah 
”penguasa yang berwenang” harus berarti baik seorang penguasa 
negara metropolitan atau penguasa pusat tertinggi di wilayah 
yang bersangkutan (Pasal 3). Selain itu dalam pasal 4 disebutkan 
bahwa:
(1) Penguasa yang berwenang tidak boleh mengenakan atau 
memperkenankan pembebanan kerja paksa atau wajib kerja 
untuk keuntungan perseorangan, perusahaan atau himpunan 
swasta.
(2) jika  kerja paksa atau wajib kerja untuk keuntungan 
perseorangan, perusahaan atau himpunan swasta ini  
ada pada tanggal di mana ratifikasi suatu Negara Anggota 
pada Konvensi ini didaftar oleh Direktur Jendelal Kantor 
Buruh Internasional, maka Negara Anggota ini  harus 
benar-benar menghapus kerja paksa atau wajib kerja ini  
dari tanggai di mana Konvensi ini berlaku bagi Anggota 
ini . 
12. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja 
Paksa
Konvensi ini disetujui pada tanggal 25 Juni 1957 oleh 
Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional pada sidangnya 
yang ke-14. Pasal 1 menyebutkan bentukbentuk kerja paksa atau 
wajib kerja yang dimaksud yaitu :
a. Sebagai sarana paksaan politik atau pendidikan atau sebagai 
hukuman sebab  memiliki  atau mengutarakan pendapat 
politik atau pendapat yang secara ideologi berlawanan dengan 
sistem politik, sosial atau ekonomi yang sudah terbentuk; 
b. Sebagai metode untuk memobilisasi dan memakai  tenaga 
kerja untuk tujuan-tujuan pen bangunan ekonomi; 
c. Sebagai sarana disiplin kerja; 
d. Sebagai hukuman sebab  telah ikut serta dalam pemogokan; 
e. Sebagai sarana diskriminasi rasial, sosial, warga negara atau 
agama
Maka Setiap Anggota Organisasi Buruh Internasional yang 
meratifikasi Konvensi ini berusaha mengambil langkah-langkah 
yang efektif untuk menjamin penghapusan segera dan sama 
sekali terhadap kerja paksa atau wajib kerja seperti yang dirinci 
dalam Pasal 1 Konvensi  ini (Pasal 2).
13. Konvensi Untuk Menumpas Perdagangan Orang dan 
Eksploitasi Pelacuran Orang Lain
Konvensi ini disetujui dengan resolusi Majelis Umum 317 (IV), 
tanggal 2 Desember 1949. Dalam pasal 1 Konvensi ini disebutkan 
bahwa Para Negara Peserta Konvensi ini bersepakat untuk 
menghukum siapa pun yang memuaskan nafsu-nafsu orang lain:
(1) Mendapatkan, membujuk atau membawa pergi orang lain 
untuk tujuan-tujuan pelacuran, meski pun dengan persetujuan 
orang ini ; 
(2) Mengeksploitasi pelacuran orang lain, meskipun dengan 
persetujuan orang ini . 
Sementara dalam Pasal 2 Para Negara Peserta Konvensi ini 
lebih jauh bersepakat untuk menghukum siapa pun yang: 
(1) Memelihara atau mengatur atau dengan sengaja membiayai 
atau mengambil bagian dalam pembiayaan suatu rumah 
pelacuran; 
(2) Dengan sengaja membiarkan atau menyewa suatu gedung 
atau tempat Iain atau bagian apa pun dalam pembiayaannya, 
untuk tujuan melacurkan orang lain. 
Maka Setiap Negara Peserta Konvensi ini bersepakat untuk 
mengambil semua langkah yang perlu untuk mencabut atau 
menghapus undang-undang apa pun yang ada, peraturan atau 
penetapan administratif, yang menurutnya orang-orang yang 
terlibat atau diduga terlibat dalam pelacuran yaitu  tunduk 
baik pada pencatatan khusus ataupun pemilikan suatu dokumen 
khusus ataupun pada persyaratan-persyaratan pengecualian apa 
pun untuk pengawasan atau pemberitahuan (Pasal 6).
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 Tahun 
1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap 
Perempuan
Konvensi ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 
1998. Dalam Rangka pencegahan dan penanggulangan masalah 
kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk 
tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, dibentuk 
Komisi yang bersifat nasional yang diberi nama Komisi Nasional 
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Pasal 1). Komnas ini 
berdasar Pancasila (Pasal 2) dan bersifat independen (Pasal 
3).
Tujuan dari Komisi ini termuat dalam Pasal 4 antara lain:
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan 
terhadap perempuan yang berlangsung di Indonesia; 
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan 
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia; 
c. peningkatan usaha  pencegahan dan penanggulangan segala 
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan 
hak asasi manusia perempuan.
Maka untuk meujudkan tujuan ini , dalam Pasal 5 
Komnas ini melakukan kegiatan:
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan 
terhadap perempuan Indonesia dan usaha -usaha  pencegahan 
dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk 
kekerasan terhadap perempuan;
b. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen 
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengena perlindungan hak 
asasi manusia perempuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta menyampaikan berbagai saran 
dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatf 
dan warga  dalam rangka penyusunan dan penetapan 
peraturan dan kebijakan berkenaan dengan usaha -usaha  
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan 
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan 
penegakan hak asasi manusia bagi perempuan;
c. pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, 
tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta 
memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada 
pemerintah;
d. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas 
terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan 
kepada warga ;
e. pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam 
rangka meningkatkan usaha  pencegahan dan penanggulangan 
kekerasan terhadap perempuan dalam rangka mewujudkan 
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 
tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning 
The Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai 
Penghapusan Kerja Paksa)
Undang-Undang ini diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 
Mei 1999. Pokok-pokok dari Konvensi ini yaitu : 
a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus 
melarang dan tidak boleh memakai  setiap bentuk kerja 
paksa sebagai alat penekanan politik, alat pengerahan untuk 
tuiuan pembangunan, alat mendisiplinkan pekerja, sebagai 
hukuman atas keterlibatan dalam pemogokan dan sebagai 
tindakan diskriminasi. 
b. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus 
mengambil tindakan yang menjamin penghapusan kerja 
paksa dengan segera dan menyeluruh. 3. 
c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus 
melaporkan pelaksanaannya.
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999 
tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning 
Discrimination in Respect of Employment And Accupation 
(Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Pekerjaan dan 
Jabatan) 
240 ---
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999. Adapun 
pokok-pokok Konvensi ini antara lain:
a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib 
melarang setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan 
dan jabatan termasuk dalam memperoleh pelatihan dan 
keterampilan yang didasarkanatas ras, warna kulit, jenis 
kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal-
usul keturunan. 
b. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus 
mengambil langkah-langkah kerja sama dalam peningkatan 
pentaatan pelaksanaannya, peraturan perundang-undangan, 
administrasi, penyesuaian kebijaksanaan, pengawasn, 
pendidikan dan pelatihan. 
c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus 
melaporkan pelaksanaannya.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan 
Orang
Ketentuan umum dalam Undang-undang in termuat dalam 
pasal 1 yaitu sebagai berikut:
a. Perdagangan Orang yaitu  tindakan perekrutan, 
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, 
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, 
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, 
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, 
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, 
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang 
kendali atas orang lain ini , baik yang dilakukan di dalam 
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau 
memicu  orang tereksploitasi. 
b. Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu  setiap tindakan 
atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur 
tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. 
c. Korban yaitu  seseorang yang mengalami penderitaan 
psikis, mental, fisik, seksuai, ekonomi dan/atau sosial, yang 
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 
d. Setiap Orang yaitu  orang perseorangan atau korporasi yang 
melakukan tindak pidana perdagangan orang.
e. Anak yaitu  seseorang yang beium berusia 18 (deiapan belas) 
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 
f. Korporasi yaitu  kumpulan orang dan/atau kekayaan yang 
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan 
badan hukum. 
g. Eksploitasi yaitu  tindakan dengan atau tanpa persetujuan 
korban yang meliputi namun  tidak terbatas pada pelacuran, 
kerla atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa 
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, 
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum 
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau 
jarirgan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan 
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan 
baik materiil maupun immateriil. 
h. Eksploitasi Seksual yaitu  segala bentuk pemanfaatan organ 
tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk 
mendapatkan keuntungan, termasuk namun  tidak terbatas 
pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. 
i. Perekrutan yaitu  tindakan yang meliputi mengajak, 
mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari 
keluarga atau komunitasnya. 
j. Pengiriman yaitu  tindakan memberangkatkan atau 
melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat Iain. 
k. Kekerasan yaitu  setiap perbuatan secara melawan hukum, 
dengan atau tanpa memakai  sarana terhadap fisik dan 
psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau 
menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. 
l. Ancaman Kekerasan yaitu  setiap perbuatan secara melawan 
hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan 
tubuh, baik dengan atau tanpa memakai  sarana yang 
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki 
seseorang. 
m. Restitusi yaitu  pembayaran ganti kerugian yang dibebankan 
kepada pelaku berdasar putusan pengadilan yang 
242 ---
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau 
immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
n. Rehabilitasi yaitu  pemulihan dari gangguan terhadap 
kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan 
perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun 
dalam warga . 
o. Penjeratan Utang yaitu  perbuatan menempatkan orang 
dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa 
menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang 
yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya 
sebagai bentuk pelunasan utang.
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan 
mencegah sedini mungkin terjadmya tindak pidana perdagangan 
orang (Pasal 56).Pemerintah, Pemerintah Daerah, warga , 
dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana 
perdagangan orang (Pasal 57 ayat 1). Selain itu Pemerintah dan 
Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, 
dan mengealokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan 
dan penanganan masalah perdagangan orang (Pasal 57 ayat 2).
Maka usaha -usaha  lanjutan yang dilakukan oleh pemerintah 
untuk menangani kasus tindak pidana perdagangan orang antara 
lain tercantum dalam pasal 58 (ayat 1-7) sebagai berikut:
1) Untuk me1aksanakan pemberantasan tindak pidana 
perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah 
Wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan 
penanganan tindak pidana perdagangan orang. 
2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah 
membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil 
dari pemerintah, penegak hukum, organisasi warga , 
lembaga swadaya warga , organisasi profesi, dan peneliti/
akademisi.
3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang 
beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak 
hukum, organisasi warga , lembaga swadaya warga , 
organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. 
243---
4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat 
(3) merupakan lembaga koordinatif yang betugas:
a. mengkoordinasikan usaha  pencegahan dan penanganan 
tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja 
sama; 
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan 
korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi 
sosial; 
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan 
hukum; serta 
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi. 
5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat 
setingkat menteri yang ditunjuk berdasar Peraturan 
Presiden. 
6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah 
dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran 
yang diperlukan. 
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan 
organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja 
gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan 
Presiden.
Selain langkah-langkah di atas, pemerintah juga 
melaksanakan kerja sama internasional seperti yang termuat 
dalam Pasal 59 Undang-Undang ini antara lain:
1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan 
dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, 
Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja 
sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, 
maupun multilateral. 
2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal-balik 
dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
244 ---
Tidak menutup kemungkinan bahwa warga  juga 
memiliki peran dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan 
orang, seperti yang tercantum dalam pasal 60, antara lain:
1) warga  berperan serta membantu usaha  pencegahan dan 
penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. 
2) Peran serta warga  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau 
melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada 
penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta 
dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
E.  Konvensi tentang Peradilan dan Hukum yang Tidak Manusiawi 
1. Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan Terhadap 
Narapidana 
a. Akomodasi
• jika  akomodasi tidur dalam sel-sel perseorangan, 
maka setiap narapidana di malam hari harus menempati 
satu sel sendirian. Jika sebab  alasan-alasan khusus 
seperti sangat penuh sementara, menjadi perlu bagi 
administrasi lembaga pewarga anpusat untuk 
membuat pengecualian terhadap peraturan ini. yaitu  
tidak diinginkan memiliki  dua narapidana dalam satu 
sel. 
• jika  asrama-asrama dipakai , asrama ini  
harus dihuni Oleh narapidana yang secara hati-hati 
dipilih seperti kecocokannya untuk saling berteman dalam 
kondisi-kondisi ini . Harus ada pengawasan tetap di 
malam hari, sesuai dengan sifat lembaga itu.
b. Kebersihan Pribadi
• Narapidana harus menjaga badan mereka bersih, dan 
untuk tujuan ini mereka harus disediakan air dan 
peralatan-peralatan toilet seperti yang diperlukan untuk 
kesehatan kebersihan.
• Agar para narapidana bisa memelihara penampilan 
yang baik sesuai dengan kehormatan diri mereka, akan 
245---
disediakan berbagai fasilitas untuk pemeliharan rambut 
dan jenggot yang layak, dan narapidana pria sebisa 
mungkin mencukur dengan teratur.
c. Pakaian dan Tempat Tidur
• Setiap narapidana yang tidak diperkenankan memakai 
pakaiannya sendiri harus disediakan pakaian lengkap 
yang layak dengan iklim dan memadai untuk menjaganya 
dalam kesehatan yang baik. Pakaian ini  dengan 
cara apa pun tidak boleh menurunkan martabat atau 
menghinakan. 
• Semua pakaian harus bersih dan dijaga dalam kondisi 
yang cocok. Pakaian dalam harus diganti dan dicuci 
sesering yang diperlukan untuk memelihara kesehatan.
• Dalam kondisi-kondisi pengecualian, setiap waktu seorang 
narapidana dipindahkan di luar lembaga untuk tujuan 
yang diizinkan, dia harus diperkenankan mengenakan 
pakaiannya sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik 
perhatian orang.
• Jika para narapidana diperbolehkan mengenakan pakaian 
mereka sendiri, harus dibuat pengaturan-pengaturan 
mengenai izin masuk mereka pada lembaga untuk 
menjamin bahwa pakaian itu bersih dan layak pakai. 
• Setiap narapidana sesuai dengan standar-standar lokal 
atau nasional, harus disediakan tempat tidur terpisah, 
dan dengan selimut terpisah dan yang cukup bersih saat  
diberikan, dijaga dalam susunan yang baik dan diganti 
sesering mungkin untuk menjamin kebersihannya.
d. Makanan 
• Setiap narapidana harus diberikan menurut pengaturannya 
pada jam-jam biasa dengan makanan bernilai gizi yang 
memadai untuk kesehatan dan kekuatan, berkualitas 
sehat dan disiapkan serta yang disajikan dengan baik. 
• Air minum harus tersedia untuk setiap narapidana setiap 
waktu.
246 ---
e. Pelayanan Kesehatan
Pada setiap lembaga harus tersedia pelayanan-pelayanan, 
paling sedikit satu orang pejabat kesehatan yang memenuhi 
syarat di mana harus memiliki beberapa pengetahuan 
psikiatri. Pelayanan-pelayanan kesehatan harus diorganisir 
dalam hubungan yang dekat dengan administrasi kesehatan 
umum warga  atau negara.
f. Pelayanan lain yang disediakan yaitu  ketersediaan 
perpustakaan.
2. Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam 
yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang 
Menghinakan
Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan 
aksesi oleh Resolusi Majelis Umum 39/46, tanggal 10 Desember 
1984. Dalam Pasal 1, untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, istilah 
”penganiayaan” berarti perbuatan apa pun yang dengannya 
sakit berat atau penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan 
sengaja dibebankan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti 
memperoleh darinya atau orang ketigatelah melakukannya 
atau disangka telah melakukannyaatau mengintimidasi atau 
memaksa dia atau orang ketiga, atau sebab  alasan apa pun 
yang didasarkan pada diskriminasi macam apa pun, jika  sakit 
atau penderitaan ini  dibebankan oleh atau atas anjuran 
atau dengan persetujuan atau persetujuan diam-diam seorang 
petugas pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu 
kedudukan resmi. Istilah ini  tidak mencakup sakit atau 
penderitaan, yang timbul hanya dari hal-hal yang melekat atau 
insidental pada sanksi-sanksi yang sah.
usaha  pencegahan penganiayaan yang dilakukan pemerintah 
dalam Undang-Undang ini tercantum dalam Pasal 2, antara lain:
1) Setiap Negara Peserta akan mengambil tindakan-tindakan 
legislatif, administratif, pengadilan atau lainnya untuk 
mencegah perbuatan-perbuatan penganiayaan setiap wilayah 
yang berada di bawah yurisdiksinya. 
2) Tidak ada keadaan-keadaan pengecualian apa pun, apakah 
suatu keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan 
247 ---
politik internal atau keadaan darurat umum lain apa pun, 
dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran tindakan 
penganiayaan. 
3) Sebuah perintah dari pejabat yang lebih tinggi atau wewenang 
umum tidak dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran 
tindakan penganiayaan. 
3. Aturan-Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak 
Hukum
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 34/169, 
17 Desember 1979. Dalam Pasal 1 (ayat 1) disebutkan bahwa 
Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi 
kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan 
melayani warga  dan dengan melindungi semua orang 
dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan 
tingkat pertanggungjawaban yang tinggi yang dipersyaratkan 
oleh profesi mereka. Istilah petugas Penegak hukum mencakup 
semua pegawai hukum, apakah yang ditunjuk atau dipilih, yang 
melaksanakan kekuasaan-kekuasaan polisi, terutama kekuasaan 
menangkap atau menahan.
Dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas 
penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat 
manusia, dan menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi 
manusia semua orang (Pasal 2). Para petugas penegak hukum 
dapat memakai  kekerasan hanya saat  benar-benar 
diperlukan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan untuk 
pelaksanaan kewajiban mereka.
4. Prinsip-Prinsip Etika Kedokteran yang Relevan dengan 
Peran Personil Kesehatan, Terutama Para Dokter, 
Dalam Perlindungan Narapidana dan Tahanan Terhadap 
Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak 
Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan.
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 37/194, 
18 Desember 1982. Prinsip-Prinsip dalam etika kedokteran 
ini  anata lain:
248 ---
• Prinsip 1: Personil kesehatan terutama dokter yang ditugaskan 
untuk merewat kesehatan para narapidana dan para tahanan 
memiliki  suatu kewajiban untuk memberikan kepada 
mereka perlindungan kesehatan fisik dan mental mereka, dan 
perawatan penyakit dengan kualitas dan standar yang sama 
seperti yang diberikan kepada mereka yang tidak dipenjara 
atau ditahan. 
• Prinsip 2: yaitu  merupakan pelanggaran besarterhadap etika 
kedokteran, dan jugamenupakan pelanggaran instrumen-
instrumen internasonal yang berlaku, bagi personil kesehatan 
terutama para dokter, untuk melibatkan diri secara aktif 
atau pasif dalam perbuatan-perbuatan yang merupakan 
keikutsertaan, keterlibatan, penghasutan atau mencoba 
melakukan penganiayaan atau perlakuan yang kejam yang 
lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
• Prinsip 3: yaitu  merupakan pelanggaran terhadap etika 
kedokteran bagi personel kesehatan, terutama para doktor 
untuk terlibat dalam hubungan profesi apa pun dengan para 
narapidana atau para tahanan yang tujuannya tidak semata-
mata untuk menilai, melindungi atau memperbaiki kesehatan 
fisik dan mental mereka.
• Prinsip 4: yaitu  merupakan Pelanggaran terhadap etika 
kedokteran bagi personel kesehatan, terutama para dokter 
untuk:
 Menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka 
agar dapat membantu interogasi pada narapidana dan 
para tahanan dalam cara yang mungkin tidak cocok 
dengan kesehatan fisik atau mental atau keadaan para 
narapidana atau para tahanan ini  dan yang tidak 
sesuai dengan instrumen-instrumen internasional yang 
relevan.
 Memberi keterangan, atau ikut serta dalam pemberian 
keterangan, mengenai kesehatan para narapidana atau 
para tahanan, untuk setiap bentuk perlakuan atau 
hukuman yang mungkin tidak cocok dengan kesehatan 
fisik atau mental mereka dan yang tidak sesuai dengan 
249---
instrumen-instrumen internasional yang relevan, atau 
ikut serta dalam setiap cara dalam pemberian perlakuan 
atau setiap hukuman semacam itu yang tidak sesuai 
dengan instrumen-instrumen internasional yang relevan.
• Prinsip 5: yaitu  merupakan pelanggaran terhadap etika 
kedokteran bagi personil kesehatan, terutama para dokter, 
ikut serta dalam setiap prosedur untuk mengendalikan 
seorang narapidana atau tahanan kecuali prosedur semacam 
itu ditetapkan sesuai dengan kriteria kesehatan semata-mata 
seperti yang diperlukan untuk melindungi perlindungan 
kesehatan fisik dan mental atau keselamatan narapidana 
atau tahanan itu sendiri, teman-teman narapidana atau 
tahanan atau walinya dan tidak mendatang. kan bahaya pada 
kesehatan fisik atau mentalnya.
5. Prinsip-Prinsip Dasar Tentang Kemandirian Pengadilan
1) Kemandirian pengadilan harus dijamin oleh Negara dan 
diabadikan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Negara. 
yaitu  merupakan kewajiban semua lembaga pemerintah 
atau lembaga lembaga yang lain untuk menghormati dan 
mentaati kemandirian pengadilan.
2) Pengadilan harus memutus perkara-perkara yang diajukan 
kepadanya secara adil, atas dasar fakta-fakta dan sesuai 
dengan undang-undang, tanpa pembatasan-pembatasan apa 
pun, pengaruh-pengaruh yang tidak tepat, bujukan-bujukan 
langsung atau atau tidak langsung, dari arah mana pun atau 
sebab  alasan apa pun.
3) Pengadilan harus memiliki yurisdiksi atas semua pokok 
masalah yang bersifat hukum dan harus memiliki  
kekuasaan eksklusif untuk memutuskan apakah suatu pokok 
masalah yang diajukan untuk memperoleh keputusannya 
yaitu  berada di dalam kewenangannya seperti yang 
ditentukan oleh hukum.
4) Tidak boIeh ada campur tangan apa pun yang tidak tepat 
atau tidak diperlakukan terhadap proses 1 pengadilan, 
juga tidak boleh ada keputusan-keputusan yudisial oleh 
250 ---
pengadilanpengadilan itu tunduk pada perbaikan. Prinsip 
ini tanpa mempengaruhi pemeriksaan ulang yudisial atau 
pada pelonggaran atau keringanan oleh para penguasa yang 
berwenang terhadap hukuman-hukuman 1 yang dikenakan 
oleh pengadilan, sesuai dengan undang-undang.
5) Setiap orang berhak diadili oleh pengadilan-pengadilan 
ataupun tribunal-tribunal biasa, yang 1 memakai  
prosedur-prosedur hukum yang sudah mapan. Tribunal-
tribunal biasa yang tidak memakai  prosedur-prosedur 
proses hukum yang dibentuk sebagaimana mestinya tidak 
boleh diciptakan untuk menggantikan yurisdiksi milik 
pengadilan-pengadilan biasa ataupun tirbunal-tirbunal 
yudisial.
6) Prinsip kemandirian pengadilan berhak dan mewajibkan 
pengadilan untuk menjamin bahwa acara kerja pengadilan 
dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak para pihak 
dihormati.
7) yaitu  kewajiban setiap Negara Anggota untuk menyediakan 
sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan 
pengadilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat.
6. Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua 
Orang yang Berada di Bawah Penahanan Apa Pun atau 
Pemenjaraan
• Prinsip 1:
Semua orang yang berada di bawah setiap bentuk penahanan 
atau pemenjaraan harus diperlakukan dalam cara yang 
manusiawi dan dengan menghormati martabat pribadi 
manusia yang melekat. 
• Prinsip 2:
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan hanya dapat 
dilaksanakan secara sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan undang-undang dan oleh para pejabat yang 
berwenang atau orang-orang yang dikuasakan untuk tujuan 
ini .
251---
• Prinsip 3:
Tidak boleh ada pembatasan atau pelanggaran rerhadap setiap 
hak-hak asasi manusia dari orang-orang yang berada di bawah 
bentuk penahanan atau pemenjaraan yang diakui, atau yang 
ada di Negara manapun, sesuai dengan hukum, konvensi, 
peraturan atau kebiasaan dengan dalih bahwa Kumpulan 
Prinsip-pinsip ini tidak mengakui hak-hak ini , atau 
bahwa Kumpulan Prinsip-prinsip ini  mengakui hak-hak 
itu pada jangkauan yang lebih sempit.
• Prinsip 4:
Setiap bentuk penahanan atau pemeniaraan dan semua 
tindakan yang mempengaruhi hak-hak asasi manusia 
seseorang yang berada di bawah penahanan atau pemenjaraan 
harus diperintah oleh atau tunduk pada pengawasan efektif 
dari seorang penguasa pengadilan atau penguasa yang lain;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 
tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other 
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau 
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau 
Merendahkan Martabat Manusia)
Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi:
a. Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun 
mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, 
tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia 
yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan 
persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) 
dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun 
pelarangan penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak 
mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, 
atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
b. Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, 
administrasi, hukum, dan langkah efektif lainnya 
guna mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah 
252 ---
yurisdiksinya. Tidak ada pengecualian apa pun, baik 
dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, 
maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan 
sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan 
ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority) 
juga tidak dapat dipakai  sebagai pembenaran atas suatu 
penyiksaan.
c. Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan 
sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan. 
Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan 
percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak 
penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur vahwa 
pelaku tindak pidana ini  dapat dijadikan hukuman yang 
setimpal dengan sifat tindak pidananya.
d. Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak 
penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. 
Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir, 
mengembalikan, atau mengekstradisikan seorang ke negara 
lain jika  ada alasan yang cukup kuat untuk menduga 
bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara 
Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadnp 
seseorang yang melakukan tindak penyiksaan jika  tidak 
mengekstradisikannya.
e. Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam 
proses peradilan atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa 
pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap 
penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program 
pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, 
petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang Iain yang 
terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan 
(interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadi/individu 
yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.
f. Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya 
bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti 
rugi dan memiliki  hak untuk mendapatkan kompensasi 
yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan 
rehabilitasi.




Glosarium 
apartheid :  Kejahatan berdasar warna kulit
ad hoc :  Satuan tugas
accountability :  Pertanggungjawaban
Bill of rights :  Piagam hak asasi manusia di Inggris tahun 
1689
civil liberty :  Kebebasan warga 
check and balances : Konsep saling mengawasi dalam sistem 
pemerintahan 
clarity :  Kejelasan
CSR :  Corporate social responsibility 
droits de I’homme :  Hak asasi manusia  (dlm.  Bhs. Perancis)
Das Capital :  Judul buku yang ditulis Karl Marx
Deklarasi Virginia 1776 :  Salah satu isinya, semua orang harus mampu 
dengan bebas memperoleh kebahagiaan.
Deklarasi : Hak untuk menikmati  hidup dalam 
Massachusetts 1780   ketenteraman dan keamanan.
Deklarasi Perancis 1789 :  Memuat tentang jaminan hak-hak manusia 
dan warga negara. 
Deklarasi Perancis 1789 :  Menyatakan bahwa sumber kedaulatan pada 
dan Virginia   pokoknya ada pada bangsa. 
Deklarasi Pennsylvania 1776:  Pemerintah seharusnya didirikan untuk 
keuntungan bersama, penjagaan dan 
keamanan rakyat, bangsa atau warga .
Deklarasi Maryland 1776 :  Ajaran untuk menentang kekuasaan 
sewenang-wenang dan penindasan. 
Declaration of Independent :   Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat  tahun 
1776.
Direktif :  Fungsi hukum sebagai pengarah dalam 
membangun ketertiban.
Du Contract Social : Judul buku Jean Jacques Rousseau yang 
menggemakan kekuasaan rakyat. 
democratische rechtsstaat :   Negara hukum yang demokratis
erga omnes :  Kewajiban yang dilaksanakan setiap negara 
dalam menghadapi semua negara lain.
extraordinary crimes :  Kejahatan luar biasa
equality :  Persamaan
electoral threshold :   Syarat minimal utuk ikut Pemilu.
Grundlegung :  Buku karangan Immanuel Kant.
Genosida :  Pemusnahan suatu bangsa secara sistematis.
HAM  :  Hak Asasi Manusia
human rights :  hak asasi manusia  (dlm. Bhs.  Inggris).
HESB :  Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 
International Covenant on :  Konvensi internasional tentang hak sipil dan 
Civil and Political Rights   politik tahun 1966.
International Covenant on : Konvensi internasional tentang ekonomi, 
sosial Economic, Social   dan budaya.
and Cultural Rights
international crimes :   Kejahatan internasional
impunitas :  Tidak terjamah oleh hukum
ICTR :  International Court Tribunal for Rwanda 
ICTY :  International Court Tribunal for Yugoslavia
ICC :  International Criminal Court
ICC :  Statuta Roma 
Instruksi Presiden:    tentang Menghentikan Penggunaan Istilah  
No. 26 Tahun 1998  Pribumi dan Non Pribumi dalam semua 
  Perumusan dan Penyelenggaraan Negara.
Keputusan Presiden :  tentang Pengesahan Hak-hak Anak.
No. 36 Tahun 1990
Keputusan Presiden :   tentang Komisi Nasional HAM.
No. 50 Tahun 1993
Keppres No. 129 Tahun 1998 :  tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan 
Terhadap Perempuan.
Keppres No. 181 : tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan 
Tahun 1998  TerhadapPerempuan
Konvensi ILO :  diratifikasi berdasar Keppres No. 83 
(International Labour  Tahun 1998 tentang Kebebasan
Organization) No. 87  Berserikat dan Perlindungan
Tahun 1948  Hak untuk Berorganisasi.
Konvensi ILO No. 105 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang 
No. 19 Tahun 1957   Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja 
  Paksa.
Konvensi ILO No. 111 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang 
Tahun 1958  No.21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi 
  dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Konvensi ILO No. 138 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang No. 20 
Tahun 1973   Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk 
  Diperbolehkan Bekerja.
Konvensi ILO No. 182 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang No. 1 
Tahun 1999  Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan 
  Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan 
  Terburuk untuk Anak.
Konvensi ILO No. 88 :  diratifikasi berdasar Keppres No. 36 Tahun 
Tahun 1948  2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan 
  Tenaga Kerja. 
KY :  Komisi Yudisial
KUHP :  Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KUHAP :  Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
KKR :  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
La Declaration des droits de :  Penghapusan pemerintahan feodal dan 
I’homme et du Citoyen  penindasan terhadap hak asasi manusi tahun 
  .
Law is a command of :   Hukum dipandang sebagai perintah dari pihak 
the law gived  pemegang the law gived kekuasaan tertinggi. 
legal rights :   Hak asasi di bidang hukum 
L’Esprit Des Lois :  Buku Montesquieu tentang pembagian 
kekuasaan negara.
mensenrechten :   Hak asasi manusia  (dlm.  Bhs.  Belanda).
Marxisme :  Ajaran Karl Marx, dasar dari Komunisme.
MK :   Mahkamah Konstitusi
openness :  keterbukaan 
Piagam Magna Charta :   Piagam hak asasi manusia di Inggris  tahun .
Positivisme :  Faham yang menyatakan kebenaran itu 
harus bisa dibuktikan secara empiris.
personal rights :  hak asasi pribadi 
property rights :  hak asasi di bidang ekonomi 
political rights :  hak asasi di bidang politik 
parliamentary threshold :  syarat minimal untuk punya akil di parlemen
political wisdom :  kebijaksanaan politik
Peraturan Pemerintah :   tentang Pengelolaan Perkembangan
No. 27 Tahun 1994   Kependudukan
Power tends to  corrupt and :   Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan 
absolute power tends to  kekuasaan yang mutlak cenderung  untuk 
corrupt absolutely  korupsi secara mutlak pula.
Resfec for human right and  :  Penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
for fundamental freedom
Rights to development :  Hak untuk ikut serta dalam pembangunan.
Rechsstaat :  Negara hukum (Bhs.  Belanda)
rule of law :  Negara hukum (Bhs.  Inggris)
sollens kategori :  Hukum sebagai keharusan yang harus ditaati
social and cultural rights :  Hak asasi manusia di bidang sosial budaya 
solus populis suprema lex :   Suara rakyat yaitu  suara keadilan
sparation of power :   Pemisahan kekuasaan
The Universal Declaration :  Deklarasi hak asasi manusia PBB  tahun 1948.
of Human Rights
tuna daksa :  Penyandang cacat tubuh 
tuna netra :  Penyandang cacat netra 
tuna wicara/rungu :  Penyandang cacat bicara dan pendengaran
tuna daksa lara kronis :  Penyandang cacat bekas penderita penyakit 
kronis 
tuna grahita :  Penyandang cacat mental
tuna laras :  Penyandang cacat eks psikotik
Two Treatises on :  Buku John Locke  tentang ajaran pembagian 
261---
Civil Government   kekuasaan.
trias politica :  Kekuasaan pemerintahan dibagi jadi 3 yakni 
legislatif, eksekutif, dan yudikatif
UUPA :  Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang 
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 
GBHN :  Garis-Garis Besar Haluan Negara 
UU No. 39 Tahun 1999 :   tentang HAM
UU No. 6 Tahun 1974 : tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke-
sejahteraan Sosial.
UU No. 13 Tahun 1992 :   tentang Perkeretaapian.
UU No. 14 Tahun 1992 :   tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
UU No. 21 Tahun 1992 :  tentang Pelayaran.
UU No. 23 Tahun 1992 :  tentang Kesehatan.
UU No. 10 Tahun 1995 :   tentang Kepabeanan.
UU No. 6 Tahun 1974 : tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 
  Kesejahteraan Sosial.
UU No. 28 Tahun 2002 :  tentang Bangunan Gedung.
UU No. 13 Tahun 2003 :  tentang Ketenagakerjaan.
UU No. 20 Tahun 2003 :  tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UU No. 12 Tahun 2003 :  tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, 
DPD dan DPRD.
UU No, 23 Tahun 2003 :   tentang Pemilu Presiden dan Wapres.
UU No. 5 Tahun 1999 : tentang Larangan Praktik Monopoli dan 
Persaingan Curang.
UU. No. 38 Tahun 1999 :   tentang Perlindungan Konsumen.
UU No. 4 Tahun 1996 :   tentang Hak Tanggungan.
262 ---
UU No. 4 Tahun 1998 :   tentang Kepailitan .
UU No. 42 tahun 1999 :   tentang Jaminan Fiducia (kebendaan).
Undang-Undang No. 5 : tentang Pengesahan Konvensi Menentang 
Tahun 1998   Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman 
  Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau 
  Merendahkan.
Undang-Undang :  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat 
No. 9 Tahun 1998   di Muka Umum.
Undang-Undang :  tentang HAM.
No. 39 Tahun 1999
Undang-Undang :   tentang Pengadilan HAM.
No. 26 Tahun 2000
Undang-Undang : tentang Pengesahan Konvensi Mengenai 
No. 7 tahun 1984   Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  
  terhadap Wanita.
wetmatigheid vanbestuur :  pemerintahan berdasar peraturan 
   

hak asasi manusia 5






BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDU-
KAN PENGADILAN HAM
Pasal 2 dan 3 
Terdiri 2 bagian
BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4-9
BAB IV HUKUM ACARA Pasal 10-33  
Terdiri 8 bagian 
BAB V PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI Pasal 34
BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI DAN RE-
HABILITASI
Pasal 35
BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 36-42
BAB VIII PENGADILAN HAM AD HOC Pasal 43 dan 44
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46-51
Tahapan penanganan kasus HAM menurut UU No 26 Tahun 2006 
antara lain:
1) Penyelidikan
 Penyelidikan (pasal 18 : 1) terhadap pelanggaran HAM berat 
dilakukan oleh KOMNAS HAM;
2) Penyidikan
 Penyidikan (pasal 21 ayat 1) terhadap pelanggaran HAM berat 
dilakukan oleh Jaksa Agung;
3) Penuntutan
 Penuntutan (pasal 23 : 1) terhadap pelanggaran HAM berat 
dilakukan oleh Jaksa Agung;
4) Peradilan
 Pemeriksaan sidang peradilan terhadap pelanggaran Ham berat 
dilakukan hakim ad hoc.Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan 
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua MA.Daerah 
hukum Pengadilan HAM berada pada Pengadilan Negeri di 
Jakarta Pusat, Surabaya, Makassar dan Medan.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah 
kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan 
Negeri yang bersangkutan. Khusus untuk DKI Jakarta, berkedudukan 
di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 3).
Contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti 7 Kasus 
Pelanggaran Berat yang terjadi di Indonesia yaitu  tragedi 1965, 
penembakan misterius 1982-1985, tragedi penghilangan aktivis 1997-
1998, tragedi Trisakti 1998, kasus Talangsari 1989, tragedi Semanggi 
1 dan 2 pada 1998 dan 1999, serta kasus  Wasior dan Wamena Papua 
2001 dan 2003, termasuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur 
1991.
Contoh kasus yang diselesaikan di Pengadilan HAM seperti: Kasus 
ABEPURA 2000 “suatu kejadian dimana terjadi penyerangan massa 
di kantor Mapolsek Wilayah Abepura dan menewaskan beberapa 
anggota kepolisian”. Kasus ini lalu  berdampak pada adanya 
pelanggaran HAM berat sebab  penyerangan yang direncanakan 
dan juga dampak yang diberikan bagi sisi kemanusiaan. Dimana 
berdampak pada dua mahasiswa yang meninggal dan juga puluhan 
warga yang lalu  mengalami luka berat.
D.  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Anak yaitu  amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa 
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia 
seutuhnya.Anak yaitu  tunas, potensi dan generasi muda penerus 
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, memiliki  
ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa 
dan negara pada masa depan. 
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab di masa 
depan, maka anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-

luasnya untuk tumbuh dan berkembangsecara optimal, baik fisik, 
mental maupun sosial dan berakhlak mulia perlu dilakukan  usaha  
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan 
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya 
perlakukan tanpa diskriminasi. 
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak 
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Jaminan 
pelaksanaan terhadap hak anak ini, sebenarnya telah lama ada dan  
telah diatur dalam konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden 
Nomor 36 Tahun 1990, yang berlaku sejak 1990. Konvensi ini mengatur 
perlidungan anak dan menjaga kesejahteraan anak-anak Indonesia.
Selain, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ada juga 
peraturan-peraturan tentang perlindungan anak, seperti di bawah ini:
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak;
b. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang penegasan perlindungan hukum 
bagi anak-anak penyandang disabilitas;
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak;
d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang konvensi hak anak;
e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002;
f. Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua 
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Akan namun , dalam makalah ini yang dikaji yaitu  Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Adapun sistematika dari UU Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut.
BAB PASAL
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2  dan 3
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Pasal 4 – 19
BAB IV  KEWAJIBAN DAN TANGGUNG 
JAWAB 
Pasal 20 -  26 
Terdiri  4 bagian
BAB V KEDUDUKAN ANAK Pasal 27 –29 
Terdiri 2 bagian
198 ---
BAB VI KUASA PENUH Pasal 30 – 32 
BAB VII PERWALIAN Pasal 33 – 36
BAB VIII PENGASUHAN DAN 
PENGANGKATAN ANAK
Pasal 37 – 41
BAB IX PENYELENGGARAAN 
PERLIDUNGAN 
Pasal 42 - 71 
Terdiri 5 bagian
BAB X PERAN warga  Pasal 72 dan 73
BAB XI  KOMISI PERLIDUNGAN ANAK 
INDONESIA
Pasal 74 -76
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 – 90
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 dan 93
Sumber: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa yang merupakan  anak 
yaitu  seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang 
masih dalam kandungan ibunya. Setiap anak harus mendapatkan 
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, 
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan 
salah lainnya. Semua anak yang lahir ke dunia ini memiliki hak hidup 
dan pasti memiliki potensi masing-masing tanpa terkecuali. Segala 
kebutuhan hidup harus terpenuhi agar tumbuh kembang anak secara 
optimal.
Sebagai usaha  pemerintah dalam perlindungan anak ini, 
dibentuklah lembaga yang bersifat independen yang bertugas untuk 
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan terhadap 
hak-hak anak, yaitu  Komisi Perlidungan Anak Indonesia. Lembaga 
KPAI ini didirikan pada tanggal 28 Oktober 1998. Keanggotaan komisi 
ini terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh warga , 
organisasi sosial, organisasi kewarga an, organisasi profesi, 
LSM, dunia usaha, dan kelompok warga  yang memperdulikan 
tentang perlidungan anak ini . Anggota komisi ini diangkat 
dan diberhentikan oleh Presiden sesudah  mendapat pertimbangan 
dari DPR dengan masa jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat 
kembali untuk 1 kali  masa jabatan.
Tugas KPAI sesuai pasal 76 UU No 23 Tahun 2002 antara lain:
1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, 
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan 
warga , melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan 
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlidungan anak.
2. Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada 
Presiden dalam rangka perlidungan anak.
Ketentuan pidana jika  terjadinya penelantaran, penganiayaan, 
atau apaun juga yang memicu  anak mengalami sakit atau 
penderitaan  baik fisik, mental maupun sosial sebagai contohnya  
yaitu :
a. Penelantaran ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (Pasal 77);
b. Membiarkan anak dalam situasi darurat sedang membutuhkan 
pertolongan missal sebagai korban perdagangan, korban 
penculikan, korban kekerasan atau korban penyalahgunaan 
narkotika dan obat-obatan terlarang ancaman hukuman pidana 
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 
100.000.000 (Pasal 78);
c. Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum 
yang berlaku misal untuk dieksploitasi ancaman hukuman pidana 
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 
100.000.000 (Pasal 79);
d. Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau 
penganiayaan terhadap anak ancaman hukuman pidana penjara 
paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 
72.000.000 (Pasal 80);
e. Melakukan pelecehan seksual terhadap anak ancaman hukuman 
pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun 
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 
60.000.000 (Pasal 81);
f. Melakukan transplantasi organ tubuh anak untuk pihak lain 
ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (Pasal 84);
g. Melakukan jual beli organ tubuh anak ancaman hukuman pidana 
penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak                              
Rp. 300.000.000.
Dengan melihat dan mencermati berbagai pelanggaran yang 
terjadi, kita harus mengetahui pula kategorisasi pelanggaran yang 
dapat diadili di Pengadilan HAM ataukah pelanggaran hukum murni 
Peradilan Umum, sebab  di Indonesia ada 4 lingkungan peradilan 
di bawah MA yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan 
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dengan beragam kasus bahkan 
sampai pada munculnya peradilan koneksitas yaitu peradilan yang 
melibatkan lebih dari satu lingkungan peradilan.
E.  usaha  Penanganan Terhadap Pelanggaran Hak dan 
Pengingkaran Kewajiban 
1. usaha  pemerintah dalam menegakkan  HAM
HAM pelaksanaan membutuhkan toleransi kesadaran dari 
orang lain. Kurangnya toleransi dapat memicu  tumpang 
tindih  dan berakhir terjadinya pelanggaran. Setiap warga negara 
memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara, 
artinya pemerintah selain mempersiapkan, menyediakan, 
dan menyusun perangkat hukum HAM, juga harus berusaha  
memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara 
Indonesia dimanapun berada.
usaha  pencegahan lebih baik daripada memberantas atau 
menanggulangi. Beberapa usaha  dalam pencegahan terjadinya 
pe-langgaran HAM yaitu :
a. Supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan;
b. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
c. Meningkatkan penyuluhan dan pendidikan ke lembaga formal 
dan nonformal;
d. Meningkatkan pengawasan dari warga ;
e. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan 
pertahanan negara;
f. Meningkatkan kerjasama antar kelompok dan golongan 
warga .
g. Mengoptimalkan peranan lembaga seperti Komnas HAM, 
KPAI, Komnas Perempuan
Seperti contoh pada poin g, dengan dioptimalkan peranan 
lembaga penegak HAM ini diharapkan dapat mengurangi 
terjadinya suatu kasus lama yang belum tertangani dan seolah-
olah seperti terjadi pembiaran begitu saja, padahal kejadian tidak 
seperti itu. Akhirnya, beberapa kasus pelanggaran HAM yang 
terdahulu dinyatakan kadaluarsa sebab  terkena batas  aturan 
pada KUHP, seperti contoh kasus kematian seorang wartawan 
Harian Bernas Yogyakarta yaitu Syafrudin (1996) yang tewas 
sesudah  dianiaya pria tak dikenal. Udin kerap menulis artikel 
yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru dan militer.Kasus 
Udin menjadi ramai saat  tersiar kabar ditemukannya barang 
bukti sampel darah dan buku catatan milik Udin yang dilarung/
dibuang ke laut. Kasusnya sampai sekarang tidak pernah selesai 
dan dianggap daluarsa.
2. usaha  warga  dalam mendukung penegakan HAM
Setiap warga negara harus menghargai usaha  pemerintah 
dalam menegakkan  hak asasi manusia. sebab  tanpa dukungan 
dan penghargaan warga negara usaha  ini  tidak akan 
berjalan lancar. Penghargaan warga negara dapat berupa: 
a. Peduli lingkungan.
b. Mendukung dan aktif melibatkan diri dalam program 
pemerintah misalnya:  
1. bergabung dalam forum pengajuan usulan perumusan 
dan kebijakan tentang hak asasi manusia;
2. melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan 
informasi hak asasi manusia;
3. unsur warga  dapa dilibatkan oleh Jaksa Agung 
menjadi penyidik ad hoc atau penuntut umum ad hoc.
c. Tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hak kepada 
orang lain seperti contoh tidak menyembunyikan fakta
yang terjadi dalam kasus pelanggaran HAM, berani 
mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang melanggar 
yang dilakukan diri sendiri. 
d. Tidak menutup-nutupi atau membiarkan jika mengetahui 
pelanggaran HAM namun  segera melaporkan jika mengetahui 
atau melihat pelanggaran kepada aparat penegak hukum. 
BAB IX
KONVENSI PBB 
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A.  Konvensi tentang Kejahatan Kemanusiaan dan Perang 
1. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman 
Kejahatan Genosida
1) Pasal 2 
Dalam Konvensi ini, genosida berarti setiap dari 
perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan 
merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, 
suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama seperti:
a. Membunuh para anggota kelompok; 
b. memicu  luka-luka pada tubuh atau mental para 
anggota kelompok; 
c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi 
hidup yang memicu  kerusakan fisiknya dalam 
keseluruhan atau pun sebagian; 
d. Mengenakan usaha -usaha  yang dimaksudkan untuk 
mencegah kelahiran di dalam kelompok itu;
e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu 
ke kelompok lain. 
2) Pasal 3 
Perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dihukum: 
a. Genosida; 
b. Persekongkolan untuk melakukan genosida; 
c. Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan 
genosida; 
d. Mencoba melakukan genosida; 
e. Keterlibatan dalam genosida.
3) Pasal 4 
Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari 
perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 
3 harus dihukum, apakah mereka yaitu  para penguasa 
yang bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat 
negara, atau individu-individu biasa. 
4) Pasal 5 
Para Negara Peserta berusaha membuat, sesuai dengan 
Konstitusi mereka masing-masing, perundang-undangan 
yang diperlukan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan 
dalam Konvensi ini, dan terutama, untuk menjatuhkan 
‘nukuman-hukuman yang efektif bagi orang-orang yang 
bersalah sebab  melakukan genosida atau setiap dari 
perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3. 
5) Pasal 6 
Orang-orang yang dituduh melakukan genosida atau setiap 
dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3, 
harus diadili oleh suaru tribunal yang berwenang dari Negara 
Peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu dilakukan, 
atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang 
mungkin memiliki  yurisdiksi yang berkaitan dengan para 
Negara Peserta yang akan menerima yurisdiksinya.
6) Pasal 8
Setiap Negara Peserta dapat memimta organ-organ 
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berwenang untuk 
mengambil tindakan menurut Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, seperti yang mereka anggap tepat untuk pencegahan 
dan penindasan perbuatan-perbuatan genosida atau setiap 
dari perbuatan-perbuatan lain apa pun yang disebutkan 
dalam Pasal 3.
2. Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan 
Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan
1) Pasal 1 
Tidak ada pembatasan statuta dapat berlaku pada 
kejahatan-kejahatan berikut, dengan mengabaikan saat 
peIaksanaan mereka: 
a. Kejahatan-kejahatan perang seperti yang didefinisikan 
dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 
8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi-resolusi 
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13 
Februari 1946 dan 95 (I) 11 Desember 1946, terutama 
”pelanggaran-pelanggaran berat” yang disebutkan dalam 
Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 untuk 
perlindungan para korban perang. 
b. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan 
dalam waktu perang atau dalam waktu damai seperti yang 
didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, 
Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan 
resolusi-resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) I1 Desember 
1946 pengusiran dengan serangan bersenjata, atau 
pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, 
yang diakibatkan dari kebijakan apartheid, dan kejahatan 
genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap 
Kejahatan Genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan 
ini  tidak merupakan pelanggaran terhadap 
kejahatan-kejahatan itu dilakukan. 
2) Pasal 2 
Jikalau setiap dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan 
dalam Pasal 1 dilakukan, maka ketentuan-ketentuan dalam 
Konvensi ini akan berlaku pada perwakilan-perwakilan dari 
penguasa Negara Peserta dan individu-individu biasa yang, 
sebagai pokok atau penyerta, ikut serta atau yang secara 
langsung menghasut orang-orang lain untuk melakukan 
setiap dari kejahatan-kejahatan ini , atau yang 
bersekongkol melakukan kejahatan-kejahatan ini , 
dengan tidak menghiraukan tingkat penyelesaiannya, dan 
pada perwakilan-perwakilan penguasa Negara Peserta yang 
bersangkutan yang membiarkan dilakukannya kejahatan-
kejahatan ini .
3) Pasal 3
Para Negara Peserta Konvensi ini berusaha mengambil 
semua tindakan domestik yang diperlukan legislatif atau 
yang lain dengan tujuan mewujudkan pelaksanaan ekstradisi 
terhadap orang-orang yang ditunjuk dalam Pasal 2 Konvensi 
ini sesuai dengan hukum internasional.
4) Pasal 4
Para Negara Paserta Konvensi ini berusaha mengambil, 
sesuai dengan proses-proses konstitusi mereka masing-
masing, tindakan-tindakan legislatif apa pun atau lainnya, 
yang diperlukan untuk menjamin bahwa pembatasan-
pembatasan statuta atau yang lainnya tidak dapat berlaku 
pada penuntutan dan penghukuman kejahatan-kejahatan 
yang ditunjuk dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi ini dan bahwa, 
jika  ada, pembatasan-pembatasan ini  harus 
dihapuskan.
B.  Konvensi tentang Penentuan Nasib Sendiri, Penduduk Asli, 
dan Kelompok Minoritas 
1. Deklarasi Tentang Pemberian Kemerdekaan Kepada 
Negara-negara dan Bangsa-bangsa Jajahan
Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) 14 Desember 1960
Mengakui, bahwa bangsa-bangsa di dunia dengan hasrat 
yang kuat mendambakan berakhirnya penjajahan dalam semua 
manifestasi. 
Meyakini bahwa semua rakyat memiliki  hak yang 
tidak dapat dipisahkan untuk menyempurnakan kebebasan, 
pelaksanaan kedaulatan mereka dan integritas wilayah nasional 
mereka.
Dengan khidmat menyatakan perlunya membawa ke suatu 
pengakhiran penjajahan yang cepat dan tanpa syarat dalam 
semua bentuk dan manifestasinya;
Dan untuk tujuan ini, menyatakan bahwa:
1) Menjadikan sasaran semua rakyat untuk penaklukan asing, 
dominasi dan eksploitasi merupakan suatu pengingkaran 
terhadap hak-hak asasi manusia yang sangat dasar, yaitu  
bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 
dan merupakan hambatan bagi peningkatan perdamaian dan 
kerja sama dunia. 
2) Semua rakyat berhak untuk menentukan nasib sendiri; dengan 
dasar hak ini  mereka dengan bebas menentukan status 
politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan 
ekonomi sosial dan kebudayaan mereka. 
3) Kesiapan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan yang tidak 
memadai harus sama sekali tidak pernah dipakai sebagai 
dalih untuk penundaan kemerdekaan. 
4) Semua tindakan bersenjata atau usaha -usaha  penindasan 
dari semua macam yang ditujukan terhadap bangsa-bangsa 
jajahan harus dihentikan agar memungkinkan mereka 
melaksanakan secara damai dan dengan bebas hak mereka 
untuk menyempurnakan kemerdekaan, dan integritas 
wilayah nasional mereka harus dihormati. 
5) Langkah-langkah segera harus diambil, di wilayah-wilayah 
Perwalian atau Tidak Berpemerintahan Sendiri atau semua 
wilayah lain yang belum memperoleh kemerdekaan untuk 
memindahkan semua kekuasaan kepada bangsa-bangsa 
wilayah-wilayah ini , tanpa syarat apa pun, sesuai 
dengan kemauan dan idaman mereka yang dinyatakan dengan 
bebas tanpa pembedaan apa pun mengenai ras, keyakinan 
atau warna kulit, agar susaha  memungkinkan mereka untuk 
menikmati kemerdekaan atau kebebasan yang sempurna 
sempurna.
6) Usaha apa pun yang ditujukan pada kekacauan sebagian 
ataupun total dan kesatuan nasional dan integritas teritorial 
suatu negara yaitu  bertentangan dengan tujuan-tujuan dan 
asas-asas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
7) Semua Negara harus mentaati dengan setia dan sepenuhnya 
ketentuan-ketentuan dari Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, 
dan Deklarasi ini atas dasar persamaan, tidak campur tangan 
dalam urusan-urusan dalam negeri semua Negara, dan 
penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan semua bangsa 
dan integritas teritorial mereka.
2. Resolusi Majelis Umum 1803 (XVII), 14 Desember 1962 
tentang “Kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam”
Menyatakan bahwa:
1) Hak bangsa dan negara atas kedaulatan pemanen pada 
kekayaan dan sumber daya alam mereka harus dilaksanakan 
demi kepentingan pembangunan nasional mereka dan demi 
kesejahteraan penduduk negara yang bersangkutan. 
2) Eksplorasi, pembangunan dan pengaturan sumber daya alam 
dan juga impor modal asing yang dibutuhkan untuk tujuan-
tujuan ini, harus sesuai dengan peraturan-peraturan dan 
syarat-syarat di mana bangsa-bangsa dan negara-negara 
dengan bebas menganggap diperlukan atau diinginkan 
mengenai pengizinan, pembatasan atau pelarangan - yang 
telah disebutkan. 
3) Dalam hal-hak jika  pengizinan diberikan, modal yang 
diimpor dan penghasilan-penghasilan pada modal itu harus 
diatur dengan syarat-syarat mengenainya, dengan perundang-
undangan nasional yang berlaku, dan dengan hukum 
internasional. Keuntungan-keuntungan yang dlperoleh harus 
dibagi-bagi dalam proporsi-proporsi yang disepakati secara 
bebas, dalam tiap-tiap kasus, antara para penanam modal dan 
Negara penerima, perhatian yang semestinya diambil untuk 
menjamin bahwa tidak ada perusakan, sebab  alasan apa 
pun, terhadap kedaulatan Negara atas kekayaan dan sumber 
daya-sumber daya alamnya.
4) Nasionalisasi, perampasan atau pengambilalihan harus 
didasarkan pada latar belakang atau alasan-alasan utilitas 
umum, keamanan atau kepentingan nasional yang diakui 
sebagai di atas kepentingan-kepentingan murni individu 
atau pribadi, baik domestik maupun asing. Dalam kasus-
kasus ini  kepada pemilik harus dibayarkan kompensasi 
yang layak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku 
di Negara yang mengambil tindakan-tindakan ini  
dalam melaksanakan kedaulatannya dan sesuai dengan 
hukum internasional. Dalam kasus apa pun jika  masalah 
kompensasi menimbulkan silang pendapat, yurisdiksi nasional 
Negara yang mengambil tindakan-tindakan ini  harus 
dipakai  secara maksimal mungkin. Namun demikian, atas 
dasar persetujuan para Negara yang berdaulat dan pihak 
lainnya yang bersangkutan, maka penyelesaian perselisihan 
harus dilakukan melalui arbitrase atau pengadilan 
internasional. 
5) Pelaksanaan kedaulatan bangsa dan negara yang bebas dan 
bermanfaat atas sumber daya alam mereka harus dimajukan 
dengan saling menghormati para Negara yang didasarkan 
pada persamaan kedaulatan mereka. 
6) Kerja sama internasional untuk pengembangan ekonomi 
negara-negara sedang berkembang, apakah dalam bentuk 
penanaman modal umum atau swasta, pertukaran barang 
dan pelayanan, bantuan teknik, atau pertukaran informasi 
ilmu pengetahuan, harus sedemikian rupa untuk memajukan 
pembangunan nasional mereka yang mandiri, dan harus 
didasarkan atas penghormatan terhadap kedaulatan mereka 
atas kekayaan dan sumber daya alam meteka. 
7) Pelanggaran terhadap hak-hak bangsa dan negara atas 
kedaulatan pada kekayaan dan sumber daya alam mereka 
yaitu  bertentangan dengan jiwa dan asas-asas Piagam 
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menghalangi pengembangan 
kerja sama internasional dan pemeliharaan perdamaian. 
8) Persetujuan-persetujuan penanaman modal asing yang 
dengan bebas dibuat oleh atau di antara para Negara berdaulat 
harus ditaati dengan itikad baik; para Negara dan organisasi 
internasional harus sepenuhnya dan dengan kesadaran 
menghormati kedaulatan bangsa dan negara atas kekayaan 
dan sumber daya alam mereka sesuai dengan Piagam dan 
asas-asas yang dinyatakan dalam resolusi ini.
3. Konvensi Tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di 
Negara-negara Merdeka
• BAGIAN I: Kebijakan Umum
Pasal 1 
(1) Konvensi ini berlaku pada:
a. Penduduk suku di negara-negara merdeka yang 
kondisi-kondisi sosial, budaya dan ekonominya 
membedakan mereka dari warga  nasional 
lainnya dan yang statusnya diatur, secara keseluruhan 
atau sebagian, dengan kebiasaan-kebiasaan atau 
tradisi-tradisi mereka sendiri atau dengan undang-
undang atau peraturan khusus.
b. Penduduk di negara-negara merdeka, yang dianggap 
sebagai asli berdasar keturunan mereka dari 
penduduk yang menghuni negara itu, atau suatu 
kawasan geografis di mana negara itu termasuk, pada 
waktu penaklukan atau penjajahan atau pemberian 
batas-batas negara yang sekarang dan dengan 
mengabaikan status hukum mereka tetap menguasai 
beberapa atau semua lembaga sosial, ekonomi, budaya 
dan politik mereka sendiri.
(2) Identitas diri sebagai asli atau suku harus dianggap 
sebagai kriteria dasar untuk menetapkan kelompok-
kelompok di mana ketentuan-ketentuan dalam Konvensi 
ini berlaku.
(3) Penggunaan istilah “penduduk” dalam Konvensi ini tidak 
dapat ditafsirkan sebagai memiliki  implikasi apa pun 
mengenai hak-hak yang mungkin melekat pada istilah itu 
menurut hukum internasional. 
• BAGIAN II: Tanah
(1) Dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan Bagian 
dalam Konvensi ini, pemerintah harus menghormati 
arti penting bagi kebudayaan dan nilai-nilai kejiwaan 
para penduduk yang bersangkutan, mengenai hubungan 
khusus mereka dengan tanah atau wilayah, atau bukan 
saja sebagaimana dapat diberlakukan, yang mereka 
tempati atau mereka gunakan untuk yang lain, namun  
juga terutama aspek-aspek kolektif dari hubungan ini.
(2) Penggunaan Istilah “tanah” dalam Pasal-pasal 15 dan 16 
mencakup pengertian wilayah, yang meliputi keseluruhan 
lingkungan wilayah-wilayah di mana para penduduk yang 
bersangkutan akan menempati atau memakai nya 
untuk keperluan yang lain.
• BAGIAN III: Rekrutmen dan Syarat-syarat Perburuhan
Pasal 20 ayat 3:
Langkah-langkah yang diambil harus mencakup langkah-
langkah untuk menjamin:
a. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk 
yang bersangkutan, termasuk para pekerja musiman, 
sambilan, dan pendatang di bidang pertanian, dan 
pekerjaan yang lain, dan juga mereka yang dipekerjakan 
oleh kontraktor-kontraktor buruh, memperoleh 
perlindungan yang diberikan oleh hukum nasional dan 
mempraktekkan kepada para pekerja lain semacam 
itu dalam sektor-sektor yang sama, dan bahwa mereka 
sepenuhnya diberi informasi mengenai hak-hak mereka 
menurut perundang-undangan perburuhan dan sarana-
sarana ganti rugi yang tersedia bagi mereka; 
b. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk 
ini tidak dijadikan sasaran syarat-syarat perburuhan yang 
membahayakan kesehatan mereka, terutama melalui 
pekerjaan yang berhadapan dengan pestisida atau zat-zat 
beracun lain; 
c. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk 
ini tidak dijadikan sasaran dari sistem-sistem rekrutmen 
yang dengan paksaan, termasuk buruh yang dijamin 
dengan uang jaminan, dan bentuk-bentuk lain perbudakan 
utang; 
d. bahwa para pekerja yang termasak penduduk-penduduk 
ini memperoleh kesempatan yang sama dan perlakuan 
yang sama dalam pekerjaan untuk pria dan wanita dan 
memperoleh perlindungan dari pelecehan seksual.
• BAGIAN IV: Pelatihan Kejuruan, Kerajinan Tangan dan 
Industri Pedesaan
Pasal 21
Para anggota penduduk-penduduk yang bersangkutan 
harus memperoleh kesempatan paling sedikit sama dengan 
warga negara yang lain berkenaan dengan langkah-langkah 
pelatihan kejuruan. 
Pasal 22 
(1) Langkah-langkah harus diambil untuk meningkatkan 
partisipasi sukarela para anggota penduduk-penduduk 
yang bersangkutan dalam program pelatihan kejuruan 
yang berlaku umum. 
(2) Setiap waktu, program-program pelatihan kejuruan 
yang berlaku umum itu berlangsung tidak memenuhi 
kebutuhan-kebutuhan khusus penduduk-penduduk yang 
bersangkutan, maka pemerintah dengan partisipasi 
penduduk-penduduk ini harus menjamin penyediaan 
program-program dan fasilitas-fasilitas pelatihan khusus. 
(3) Program-program pelatihan khusus apa pun harus 
didasarkan pada kondisi-kondisi ekonomi, lingkungan, 
sosial dan budaya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis 
penduduk-penduduk bersangkutan. Studi-studi apapun 
yang dilakukan dalam hubungan .ini harus dilaksanakan 
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk ini, 
yang harus dikonsultasikan pada organisasi dan cara 
bekerjanya program-program ini . jika  layak, 
penduduk-penduduk ini harus secara progresif memikul 
tanggung jawab atas organisasi dan cara bekerjanya 
progran-program pelatihan khusus ini , kalaupun 
mereka memutuskan demikian.
• BAGIAN V: Jaminan Sosial dan Kesehatan
Pasal 24
Rencana Jaminan sosial harus diperluas secara progresif 
untuk melindungi penduduk-penduduk yang bersangkutan, 
dan diberlakukan tanpa diskriminasi terhadap mereka
• BAGIAN VI: Pendidikan dan Sarana-sarana Komunikasi
Pasal 30
(1) Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang 
cocok dengan tradisi dan budaya penduduk-penduduk 
yang bersangkutan, menjadikan mereka mengetahui hak-
hak dan kewajiban-kewajiban mereka, terutama mengenai 
masalah buruh, kesempatan ekonomi, pendidikan dan 
kesehatan, kesejahteraan sosial, dan hak-hak mereka 
yang berasal dari Konvensi ini. 
(2) Kalau perlu, langkah-langkah ini harus dikerjakan 
dengan sarana-sarana terjemahan tenulis dan melalui 
penggunaan komunikasi massa dalam bahasa penduduk-
penduduk ini.
• BAGIAN VII: Hubungan dan Kerja Sama Lintas Batas
Pasal 32 
Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah 
yang tepat, termasuk dengan sarana persetujuan-persetujuan 
internasional, untuk memberikan fasilitas hubungan dan 
kerja sama di antara penduduk asli dan penduduk suku yang 
melintasi perbatasan termasuk - di bidang ekonomi, sosial, 
budaya, kejiwaan dan lingkungan. 
• BAGIAN VIII: Administrasi 
Pasal 33 
(1) Penguasa pemerintah yang bertanggung jawab atas 
masalah-masalah yang dicakup dalam Konvensi ini harus 
menjamin bahwa ada badan-badan atau mekanisme-
mekanisme lain yang tepat untuk melaksanakan program-
program yang mempengaruhi penduduk-penduduk 
yang bersangkutan, dan harus menjamin bahwa 
mereka memiliki sarana-sarana yang diperlukan untuk 
pemenuhan fungsi-fungsi yang tepat yang ditugaskan 
pada mereka. 
(2) Program-program ini akan mencakup: 
a. perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi 
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk yang 
bersangkutan, mengenai langkah-langkah yang 
ditentukan dalam konvensiini;
b. pengusulan tindakan-tindakan legislatif dan langkah-
langkah yang lain pada para penguasa yang berwenang 
dan pengawasan pada penerapannya yang diambil 
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk yang 
bersangkutan. 
4. Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Termasuk 
Kelompok Minoritas Bangsa atau Etnis, Agama dan Bahasa
Pasal 1
(1) Negara harus mendukung eksistensi dan identitas bangsa 
atau etnis, budaya, agama dan bahasa dari kelompok 
minoritas yang ada di dalam wilayah mereka masing-masing 
dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk meningkatkan 
identitas ini . 
(2) Negara harus mengambil tindakan-tindakan legislatif dan 
yang lain yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan ini . 
Pasal 2 
(1) Orang-orang yang termasuk dalam minoritas bangsa atau 
etnis, agama dan bahasa (selanjutnya ditunjuk sebagai 
orang-orang yang termasuk kelompok minoritas) memiliki 
hak untuk menikmati kebudayaan mereka sendiri, untuk 
menyatakan dan mengamalkan agama mereka sendiri dan 
memakai  bahasa mereka sendiri dalam lingkungan 
pribadi dan umum, dengan bebas dan tanpa campur tangan 
atau bentuk diskriminasi apa pun.
(2) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak ikut 
serta secara efektif dalam kehidupan budaya, agama, sosial, 
ekonomi dan publik.
(3) Orang-orang yang termasuk kalompok minoritas berhak ikut 
serta secara efektif dalam keputusan-keputuaan pada tlngkat 
nasional, dan jika  tepat, pada tingkat regional mengenai 
kelompok minoritas yang di dalamnya mereka termasuk, atau 
wilayah-wilayah di mana mereka tinggal, dalam suatu cara 
yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. 
(4) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak 
mendirikan dan memelihara perhimpunannya sendiri. 
(5) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak 
mendirikan dan memelihara, tanpa diskriminasi apa pun, 
hubungan-hubungan yang bebas dan damai dengan para 
anggota lain kelompok mereka, dengan orang-orang yang 
termasuk kelompok-kelompok minoritas lain, dan juga 
hubungan-hubungan yang melintasi perbatasan dengan 
warga negara dari Negara lain di mana mereka dihubungkan 
dengan ikatan-ikatan bangsa atau etnis, agama atau bahasa.
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Humor 26 
Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah 
Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan 
Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, 
ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan 
Pemerintahan
Menginstruksikan untuk:
Pertama: Menghentikan penggunaan istilah pribumi 
dan nonpribumi dalam semua perumusan dan 
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, 
ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan 
pemerintahan.
Kedua : Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada 
seluruh warga negara lndonesia dalam penyelenggaraan 
layanan pemerintahan, kewarga an dan 
pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam 
segala bentuk, sifat, serta tingkatan kepada warga 
negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras, 
maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan 
ini . 
Ketiga : Meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh 
peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, 
dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan 
dilaksanakan, termasuk antara lain dalam pemberian 
layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, 
kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan 
kerja dan penentuan gaji atau penghasilan, dan hak-
hak pekerja lainnya, sesuai dengan lnstruksi Presiden 
ini. 
Keempat: Para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, 
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II 
melakukan pembinaan dalam sektor dan wilayah 
masing-masing terhadap pelaksanaan Instruksi 
Presiden ini di kalangan dunia usaha dan warga  
yang menyelenggarakan kegiatan atas dasar perizinan 
yang diberikan ataas dasar kewenangan yang 
dimilikinya. 
Kelima : Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan 
mengkoordinasikan pelaksanaan instruksi ini di 
kalangan para Menteri dan pejabat-pejabat lainnya 
yang disebut dalam Instruksi Presiden ini.
C.  Konvensi tentang Larangan Diskriminasi dan Perbudakan 
1. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk 
Diskriminasi Rasial
Konvensi ini disetujui dan terbuka untuk penandatanganan 
dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 
Desember 1965. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa: Dalam 
Konvensi ini istilah “diskriminasi rasial” berarti pembedaan, 
pelanggaran, pembatasan atau penguatan apa pun yang 
didasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul keturunan, bangsa 
atau etnis yang memiliki  tujuan atau akibat meniadakan 
atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan 
pada suatu tumpuan yang sama, akan hak-hak asasi manusia 
dan kebebasan-kebebasan dasar di setiap bidang politik, 
ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan umum yang 
lain. 
usaha -usaha  dari Negara Peserta Konvensi ini untuk 
mengutuk diskriminasi rasial ini  tercantum dalam pasal 
2 ayat 1 yaitu:
a. Berusaha untuk sama sekali tidak terlibat dalam tindakan 
atau praktik diskriminasi rasial terhadap orang, kelompok 
orang, atau lembaga dan untuk menjamin bahwa semua 
penguasa Negara dan lembaga Negara, nasional dan lokal, 
harus bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
b. Berusaha tidak mensponsori, mempertahankan atau 
mendukung diskriminasi rasial oleh orang atau organisasi 
mana pun;
c. Akan mengambil tindakan-tindakan yang efektif untuk 
meninjau kembali kebijakan pemerintah, nasional 
dan lokal, dan untuk mengamandemenkan, menunda 
atau membatalkan undang-undang dan pengaturan-
pengaturan apa pun yang memiliki  akibat menciptakan 
atau mengabadikan diskriminasi rasial, di mana pun 
berada;
d. Melarang dan mengakhiri dengan semua sarana yang 
tepat termasuk perundang-undangan sebagaimana yang 
dibutuhkan oleh keadaan, diskriminasi rasial oleh orang-
orang, kelompok atau organisasi apa pun;
e. Berusaha untuk mendorong, jika  tepat, organisasi 
pemersatu multirasial dan pergerakan-pergerakan dan 
sarana-sarana lain yang menghapus hambatan-hambatan 
di antara ras dan tidak mendorong apa pun yang cenderung 
memperkuat  pembagian ras.
Sebagai bagian dari realisasi usaha -usaha  ini , maka 
sesuai dengan muatan dari pasal 8 akan dibentuk sebuah Komite 
yang terdiri dari 8 orang ahli berkepribadian moral tinggi dan 
diakui kenetralannya (ayat 1) dan pemilihan pertama akan 
dilangsungkan enam bulan sesudah  berlakunya Konvensi ini (ayat 
3) dan memangku jabatan selama 4 tahun (ayat 5).
2. Konvensi tentang Penindasan dan Penghukuman 
Kejahatan Apartheid
Pengertian kejatan Apartheid dalam Konvensi ini 
disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Para 
Negara Peserta Konvensi ini menyatakan bahwa apartheid  
yaitu  suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan bahwa 
perbuatan-perbuatan tidak manusiawi yang diakibatkan 
dari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik apartheid  dan 
kebijakan-kebijakan dan praktik serupa mengenai pemisahan 
dan diskriminasi rasial, seperti yang didefinisikan dalam 
pasal 11 Konvensi, merupakan kejahatan-kejahatan yang 
melanggar asas-asas hukum internasional, terutama tujuan-
tujuan dan asas-asas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 
dan merupakan ancaman gawat terhadap perdamaian dan 
keamanan internasional. 
219---
Sementara dalam pasal 11 ayat 1 menyebutkan “perbuatan-
perbuatan yang disebutkan dalam pasal 2 Konvensi ini tidak 
dapat dianggap sebagai kejahatan-kejahatan politik untuk 
tujuan ekstradisi”. paraNegara Konvensi ini dalam kasus-
kasus ini  berusaha memberikan ekstradisi sesuai dengan 
perundang-undangan mereka dan perjanjian-perjanjian 
internasional yang berlaku (ayat 2).
Untuk menangani kejahatan apartheid maka sesuai 
dengan isi pasal 4 Konvensi ini, Negara Peserta berusaha:
a. Mengambil tindakan-tindakan legislatif apa pun atau 
lainnya yang diperlukan untuk menumpas dan juga untuk 
mencegah pendorongan apa pun terhadap kejahatan 
apartheid dan kebijakan-kebijakan bersifat pemisahan 
yang serupa atau manifestasi mereka dan untuk 
menghukum orang-orang yang bersalah sebab kejahatan 
ini ;
b. Mengambil tindakan-tindakan legislatif, yudisial 
dan administratif untuk mengusut, mengajukan ke 
Pengadilandan menghukum menurut yurisdiksi mereka 
orang-orang yang bertanggung jawab, atau yang dituduh, 
atas perbuatan-perbuatan yang didefinisikan dalam Pasal 
2 Konvensi ini, apakah orang-orang ini  bertempat 
tinggal atau tidak bertempat tinggal di dalam wilayah 
Negara di mana perbuatan-perbuatan ini  dilakukan 
atau merupakan warga negara dari Negara ini  atau 
dari beberapa Negara lain atau merupakan orang yang 
tidak berkewarga negaraan.
3. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi 
Terhadap Wanita
Konvensi ini disetujui dan terbuka untuk penandatanganan, 
ratifikasi dan aksesi, dengan Resolusi Majelis Umum 34/180, 
18 Desember 1979. Bagian I Pasal 1 menyebutkan bahwa: 
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, amaka istilah “Diskriminasi 
terhadap wanita” akan berarti pembedaan, pengesampingan atau 
pelanggaran apa pun, yangdibuat atas dasar jenis kelamin yang 
220 ---
memiliki  akibat atau tujuan mengurangi atau meniadakan 
pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan oleh wanita, dengan 
mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar 
persamaan pria dan wanita, akan hak-hak asasi manusia dan 
kebebasan-kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, 
budaya, sipil atau bidang lain apa pun. 
usaha -usaha  yang dilakukan oleh Negara Peserta Konvensi 
ini antara lain disebutkan dalam Pasal 2 sebagai berikut:
a. memasukkan asas persamaan pria dan wanita ke dalam 
konstitusi-konstitusi nasional mereka atau perundang-
undangan lain yang tepat jika belum dimasukkan ke dalamnya 
dan menjamin, melalui hukum dan sarana-sarana lain yang 
tepat, realisasi praktis dari asas ini; 
b. mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang 
tepat, termasuk sanksi-sanksi, jika  tepat, yang melarang 
semua diskriminasi terhadap wanita; 
c. membentuk perlindungan hukum bagi hak-hak wanita 
atas dasar yang sama dengan pria, dan menjamin melalui 
pengadilan-pengadilan nasional yang berwenang dan lembaga-
lembaga pemerintah lainnya, perlindungan yang efektif bagi 
wanita terhadap tindakan diskriminasi apa pun; 
d. mengekang dari keterlibatan dalam perbuatan atau praktek 
diskriminasi apa punterhadap wanita dan menjamin bahwa 
para penguasa pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah 
akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini; 
e. mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapuskan 
diskriminasi terhadap wanita oleh setiap orang, organisasi 
atau perusahaan; 
f. mengambil semua tindakan yang tepat, termasuk perundang-
undangan, untuk mengurangi atau menghapuskan undang-
undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan 
praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi 
terhadap wanita; 
g. mencabut semua ketentuan hukum nasional yang merupakan 
diskriminasi terhadap wanita.
221---
Beberapa pasal lainnya dalam Konvensi ini yang menjamin 
hak-hak perempuan, antara lain:
a. kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat 
internasional dan untuk mengambil bagian dalam tugas 
khusus organisasi-organisasi internasional (Pasal 8)
b. hak untuk memperoleh, berganti atau mempertahankan 
kewarga negaraan (Pasal 9 ayat 1) dan kewarga negaraan 
anak-anak mereka (ayat 2).
c. dalam bidang pendidikan, negara memberikan jaminan 
untuk karier dan bimbingan kejuruan, akses kekurikulum, 
penghapusan konsep-konsep stereotif  mengenai peran-peran 
pria dan wanita, mendapatkan beasiswa, akses ke program-
program lanjutan, penurunan angka putus studi mahasiswa 
wanita, aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani,dan 
akses ke informasi pendidikan (pasal 10 poin a-h).
d. Dalam bidang Pekerjaan, hak-hak yang diberikan kepada 
wanita yaitu hak atas pekerjaan, kriteria yang sama 
dengan pria, bebas memilih profesi dan pekerjaan, hak 
atas pengupahan yang sama, hak jaminan sosial terutama 
dalam keadaan pensiun, menganggur, sakit, keadaan cacat, 
dan usia lanjut, serta hak atas perlindungan kesehatan dan 
keselamatan dalam syarat-syarat perburuhan (pasal 11 ayat 
1). Selain itu wanita juga berhak untuk cuti hamil (ayat 2).
e. Dalam bidang perawatan kesehatan, Negara menjamin hak-
hak untuk pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan yang 
berkaitan dengan keluarga berencana, kehamilan, persalinan 
dan masa sesudah melahirkan, dan juga gizi yang memadai 
selama kehamilan dan menyusui (pasal 12 ayat 1 dan 2).
f. Dalam bidang ekonomi dan sosial lain, agar dapat menjamin 
persamaan antara pria dan wanita akan hak-hak yang sama, 
maka negara memberikan hak atas kemanfaatan, pinjaman 
bank, hipotik dan bentuk-bentuk kredit keuangan yang lain, 
dan ikut serta dalam - reaksi, olahraga, dan semua aspek 
budaya (pasal 13).
g. Negara juga akan memperhitungkan masalah-masalah 
khusus yang dihadapi wanita-wanita pedesaan (pasal 14) 
222 ---
yaitu hak atasikut serta dalam perluasan dan pelaksanaan 
perencanaan pembangunan, kemudahan keperawatan 
kesehatan, memperoleh kemanfaatan dari program jaminan 
sosial, memperoleh pelatihan, pendidikan formal dan non-
formal, mengorganisir berbagai kelompok mandiri yang 
bersifat kerjasama, ikut serta dalam  warga , akses 
kredit dan pinjaman pertanian, kemudahan pemasaran 
dan teknologi, dan memperoleh kehidupan yang memadai 
terutama dalam hubungannya dengan perumahan, sanitasi, 
pemasokan listrik dan air, angkutan dan komunikasi.
h. Dalam bidang hukum, negara akan memberikan atas 
persamaan di depan hukum, persoalan-persoalan sipil, 
undang-undang yang berhubungan dengan perpindahan 
orang-orang dan kebebasan untuk memilih kediaman di 
tempat tinggal mereka (Pasal 15). 
i. Dalam hal perkawinan, beberapa hak wanitas yang dijamin 
oleh negara antara lain hak untuk mengikatkan diri dalam 
perkawinan, bebas memilih suami/istri, hak dan tanggung 
jawab selama perkawinannya dan waktu perceraiannya, hak 
dan tanggung jawab sebagai orang tua, memutuskan secara 
bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak 
antara anak-anak mereka, dan memiliki  akses informasi, 
pendidikan, sarana-sarana untuk melaksanakan hak-hak itu, 
hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan, 
pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak-anak, hak 
pribadi sebagai suami/istri mengenai pemilihan dan perolehan, 
manajemen, administrasi, penikmatan dan pengaturam harta 
kekayaan (pasal 16 ayat 1).
Maka dalam Pasal 17  (ayat 1) untuk tujuan mempertimbangkan 
kemajuan yang dibuat dalam pelaksanaan Konvensi ini, harus 
dibentuk suatu Komite tentang Penghapusan Diskriminasi 
terhadap Wanita yang dipilih dengan suara rahasia dari daftar 
nama orang-orang yang dicalonkan oleh para Negara Peserta 
(ayat 2). Pemilihan pertama dilangsungkan enam bulan sesudah 
berlakunya Konvensi ini (ayat 3). Para Anggota Komite memangku 
jabatan selama empat tahun (ayat 5).
223---
4.  Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 14 Desember 1960 oleh 
Konferensi Umum Organisai Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan 
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sesuai dengan muatan dari pasal 1 Konvensi ini, disebutkan 
bahwa: Untuk tujuan Konvensi ini diskriminasi mencakup 
pembedaan, pengesampingan, pembatasan, atau pengutamaan 
apa pun, sebab  didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, 
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan 
atau sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran, memiliki  tujuan 
meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam 
pendidikan dan terutama:
a. Dari mencabut akses orang atau kelompok apa pun ke 
pendidikan jenis apa pun atau pada tingkat apa pun;
b. Dari membatasai orang atau kelompok apa pun ke pendidikan 
pada standar yang lebih rendah mutunya;
c. Tunduk pada ketentuan-ketentuan pasal 2 Konvensi ini, dari 
membentuk atau memelihara sistem-sistem atau lembaga-
lembaga pendidikan yang terpisah bagi orang atau kelompok 
orang; atau
d. Dari membebankan orang atau kelompok orang apa pun 
kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Negara Peserta untuk 
mencegah diskriminasi dalam pengertian ini seperti yang termuat 
dalam pasal 3 antara lain:
a. Mencabut setiap pengaturan statuta dan setiap instruksi 
administrasi dan untuk tidak melanjutkan setiap praktik 
administratif yang melibatkan diskriminasi dalam bidang 
pendidikan;
b. Menjamin, dengan perundang-undangan jika  perlu, 
bahwa tidak ada diskriminasi dalam penerimaan siswa pada 
lembaga-lembaga pendidikan;
c. Tidak memperbolehkan perbedaan-perbedaan perlakuan 
apa pun oleh para penguasa pemerintah di antara warga 
224 ---
negara, kecuali atas dasar kegunaan atau kebutuhan dalam 
pembayaran sekolah dan penerimaan beasiswa, atau bentuk-
bentuk bantuan yang lain kepada siswa dan izin-izin yang 
diperlukan dan berbagai kemudahan untuk mengejar studi di 
luar negeri;
d. Tidak memperbolehkan, dalam bentuk bantuan apa pun,yang 
diberikan oleh para penguasan pemerintah kepada lembaga-
lembaga pendidikan, setiap pelarangan atau pengutamaan 
yang didasarkan semata-mata pada alasan bahwa siswa 
ini  termasuk dalam suatu kelompok tertentu.
e. Memberikan kepada warga negara asing yang tinggal di dalam 
wilayah mereka, akses yang sama ke pendidikan seperti yang 
diberikan kepada warga negara mereka sendiri. 
Selain itu, untuk mendukung dan menjamin penerapan pasal 
1, dalam Pasal 5 (ayat 1) Konvensi ini, para Negara Peserta juga 
menyepakati bahwa:
a. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kepribadian 
manusia seutuhnya dan  menguatkan penghormatan 
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan 
dasar; pendidikan akan meningkatkan pengertian, toleransi 
dan persahabatan antara semua bangsa, kelompok rasial 
atau kelompok agama, dan lebih jauh - Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk pemeliharaan perdamaian; 
b. Penting untuk menghormati kebebasan orang tua dan jika  
dapat diterapkan, wali hukum, pertama-tama untuk memilih 
bagi anak-anak mereka lembaga-lembaga selain yang dikelola 
orang para penguasa pemerintah namun  yang bersesuaian 
dengan standar pendidikan minimum seperti yang mungkin 
ditetapkan atau disetujui oleh para penguasa yang berwenang 
dan, kedua, untuk menjamin dengan cara yang sesuai 
dengan prosedur-prosedur yang diikuti dalam Negara untuk 
penerapan perundang-undanga, pendidikan agama dan moral 
anak-anak sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri dan 
tidak seorang pun atau kelompok orang pun dapat dipaksa 
menerima perintah agama yang bertentangan dengan 
kepercayaannya atau kepercayaan mereka; 
225---
c. Penting untuk mengakui hak para anggota warga negara 
minoritas untuk melaksanakan - pendidikan mereka sendiri, 
termasuk pengelolaan sekolah dan dengan bergantung pada 
kebijakan pendidikan setiap Negara, penggunaan atau 
pengajaran bahasa mereka sendiri, bagaimanapun juga 
asalkan;
(i) Bahwa hak ini tidak di’aksanakan dalam cara yang 
mencegah para anggota kelompok minoritas ini dari 
memahami kebudayaan dan bahasa warga  itu 
sebagai keseluruhan dan mencegah dari ikut serta dalam 
-nya, atau yang mempengaruhi kedaulatan nasional;
(ii) Bahwa standar pendidikan tidak lebih rendah daripada 
standar umum yang ditetapkan atau disetujui oleh para 
penguasa yang berwenang; dan 
(iii) Bahwa kehadiran pada sekolah-sekolah ini  
merupakan pilihan.
5. Protokol yang Membentuk Komisi Konsiliasi dan Jasa Baik 
yang Bertanggung Jawab atas Pencarian Penyelesaian 
Perselisihan Apapun yang Mungkin Timbul di Antara 
Negara Peserta Konvensi Melawan Diskriminasi dalam 
Pendidikan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 10 Desember 1962 oleh 
Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan 
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mulai berlaku 
pada tanggal 24 Oktober 1968. Pasal 1 Konvensi ini menyebutkan 
bahwa: akan didirikan di bawah Organisasi Pendidikan, Ilmu 
Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa 
Komisi Konsoliasi dan Jasa Baik, selanjutnya disebut sebagai 
“Komisi” yang bertanggung jawab mencari penyelesaian 
perselisihan secara damai di antara Negara Peserta Konvensi 
melawan Diskriminasi dalam Pendidikan, selanjutnya ditunjuk 
sebagai Konvensi, selanjutnya di