Home » Archives for 2024
Jumat, 26 Januari 2024
sebut sebagai “Konvensi”
mengenai penerapan atau penafsiran Konvensi. Para anggota
Komisi akan dipilih dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan
untuk tujuan itu oleh para Negara Peserta Protokol ini (pasal
226 ---
3 ayat 1). Para anggota akan dipilih untuk masa jabatan enam
tahun dan akan dipilih kembali jika dicalonkan lagi (pasal 5).
6. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan
dan Jabatan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 25 Juni 1958 oleh Konferensi
Umum Organisasi Buruh Internasional pada persidangannya
yang ke-42. Pasal 1 (ayat 1) Konvensi ini menyebutkan bahwa:
Untuk tujuan Konvensi ini istilah “diskriminasi” mencakup:
a. Setiap pembedaan, pengesampingan atau pengutamaan yang
dilakukan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama,
pendapat politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, yang
memiliki akibat meniadakan atau mengurangi persamaan
kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. Pembedaan, pengesampingan atau pengutamaan lain
semacam itu yang memiliki akibat meniadakan atau
mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam
pekerjaan atau jabatan, seperti yang mungkin ditetapkan oleh
Anggota yang bersangkutan sesudah berkonsultasi dengan
perwakilan organisasi-organisasi majikan dan pekerja,
jika organisasi-organisasi semacam itu ada, dan dengan
badan-badan lain yang tepat.
Sementara itu dalam pasal 1 (ayat 3) menyebutkan bahwa
istilah ”pekerjaan” dan “jabatan” mencakup akses ke pelatihan
kejuruan, akses ke pekerjaan dan jabatan-jabatan tertentu, dan
syarat-syarat perburuhan dan kondisi-kondisi pekerjaan.
Maka untuk mencegah praktik diskriminasi dalam istilah ini,
usaha yang dilakukan termuat dalam pasal 3 Konvensi ini yaitu:
Setiap anggota yang baginya Konvensi ini berlaku berusaha
dengan metode-metode yang tepat dengan kondisi-kondisi? dan
praktik nasional untuk:
a. Mencari kerja sama organisasi-organisasi majikan dan pekerja
dan badan-badan lain yang tepat dalam meningkatkan
penerimaan dan pentaatan pada kebijakan ini;
b. Membuat perundang-undangan semacam itu dan
227---
meningkatkan program-program pendidikan seperti yang
mungkin diperhitungkan untuk menjamin penerimaan dan
pentaatan kebijakan itu;
c. Membuat setiap pengaturan statuta dan mengubah setiap
perintah atau praktek administratif yang bertentangan
dengan kebijakan itu;
d. Mengejar kebijakan mengenai pekerjaan di bawah pengawasan
langsung suatu penguasa nasional;
e. Menjamin pentaatan pada kebijakan itu dalam - bimbingan
kejuruan, pelatihan kejuruan dan pelayanan-pelayanan
penempatan di bawah pengarahan suatu penguasa nasional;
f. Menunjuk dalam laporan-laporan tahunannya mengenai
penerapan Konvensi, tindakan yang diambil sesuai dengan
kebijakan dan akibat-akibat yang dijamin dengan tindakan
ini .
7. Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk
Ketidakrukunan dan Diskriminasi berdasar Agama
atau Kepercayaan
Deklarasi ini diumumkan dengan Resolusi Majelis Umum
36/55, 25 November 1981.Istilah “ketidakrukunan dan diskriminasi
berdasar agama atau kepercayaan” dalam pasal 2 (ayat
2) berarti setiap pembedaan, pengesampingan, larangan atau
pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan
dan yang tujuannya atau akibatnya menia’
Beberapa hak diakui dalam tujuan Deklarasi ini yaitu
seperti yang tercantum dalam pasal 1 antara lain:
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani
dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk
menganut suatu agama atau kepercayaan apa pun pilihannya,
dan kebebasan, baik secara individu ataupun dalam
warga dengan orang-orang lain dan di depan umum
atau sendirian, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan
dalam beribadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang
228 ---
akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu
agama atau kepercayaan pilihannya.
(3) Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan
seseorang hanya boleh tunduk pada pembatasan-pembatasan
yang ditetapkan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang
dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum,
ketertiban umum, kesehatan warga atau kesusilaan
umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar orang
lain.
Sesuai dengan istilah dari Pasal 1 Deklarasi ini, hak atas
kebebasan berpendapat, hati nurani, beragama, atau kepercayaan
diatur dalam pasal 6 yang mencakup:
a. Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu
agama atau kepercayaan, dah mendirikan serta mengelola
tempat-tempat untuk tujuan ini;
b. Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau
kemanusiaan yang tepat;
c. Membuat, memperoleh dan mempergunakan sampai sejauh
memadai berbagai benda dan material yang diperlukan
berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama
atau kepercayaan;
d. Menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan berbagai
penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini;
e. Mengajarkan suatu agama atau kepercayaan di tempat-
tempat yang cocok untuk tujuan-tujuan ini;
f. Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan
keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari
perseorangan atau lembaga;
g. Melatih, memilih, menunjuk atau mencalonkan dengan
suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan
persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau
kepercayaan apa pun;
h. Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari
libur dan upacara-upacara menurut ajaran-ajaran agama
atau kepercayaan seseorang;
i. Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan
seseorang dan warga dalam persoalan-persoalan agama
atau kepercayaan pada tingkat nasional dan internasional.
8. Deklarasi tentang Ras dan Prasangka Sosial
Deklarasi ini disetujui dan diumumkan oleh Konvensi Umum
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada persidangannya
yangke-20, pada tanggal 27 November 1978. Dalam Pasal 1
Deklaras ini mengakui bahwa:
a. Semua insan manusia termasuk dalam rumpun manusia
berasal dari keturunan bersama. Mereka dilahirkan sama
dalam martabat dan hak-hak dan semua membentuk suatu
bagian integral kemanusiaan.
b. Semua individu dan kelompok memiliki hak untuk berbeda,
untuk menganggap diri mereka sebagai berbeda dan untuk
dianggap sebagai berbeda. Namun demikian, keragaman gaya
hidup dan hak untuk berbeda, dalam keadaan apa pun, tidak
boleh bertindak sebagai dalih untuk prasangka rasial mereka
tidak boleh membenarkan baik dalam hukum ataupun
dalam kenyataan praktek diskriminasi apa pun, juga tidak
boleh menyediakan alasan untuk kebijakan apartheid, yang
merupakan bentuk ekstrem rasisme.
c. Jati diri asal sama sekali tidak mempengaruhi kenyataan
bahwa insan manusia dapat dan boleh hidup secara berbeda-
beda, juga tidak menghalangi adanya berbagai perbedaan
berdasar pada keragaman kebudayaan, lingkungan dan
sejarah, juga tidak menghalangi hak untuk mempertahankan
jati diri kebudayaan.
d. Semua bangsa di dunia memiliki kecakapan yang sama untuk
mencapai tingkat tertinggi dalam mengembangkan tingkat
intelektual, teknik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik.
e. Berbagai perbedaan di antara prestasi berbagai bangsa secara
keseluruhan diakibatkan oleh faktor-faktor geografis, sejarah,
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai perbedaan
230 ---
ini sama sekali tidak boleh dipergunakan sebagai dalih
untuk klasifikasi susunan tingkat negara-negara atau bangsa-
bangsa apa pun.
9. Konvensi tentang Perbudakan
Konvensi ini ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25
September 1926. Pasal 1 Konvensi ini menjelaskan mengenai
Perbudakan, yaitu:
a. Perbudakan yaitu suatu status atau keadaan seseorang yang
kepadanya dilaksanakan setiap dan kekuasaan-kekuasaan
atau semua kekuasaan yang melekat pada hak atas pemilikan.
b. Perdagangan budak mencakup semua perbuatan yang
terlibat dalam penangkapan, peroleh atau peraturan
terhadap seseorang dengan tujuan menurunkan dia pada
perbudakan; semua perbuatan yang terlibat dalam perolehan
seorang budak dengan tuiuan menjual atau mempertukarkan
dia; semua perbuatan pemberian dengan penjualan atau
pertukaran terhadap seorang budak yang diperoleh dengan
tujuan dijual atau dipertukarkan, dan, pada umumnya, setiap
perbuatan memperdagangkan atau mengangkut para budak.
Maka usaha untuk menangani kasus perbudakan, para negara
Peserta sepakat di dalam pasal 4 dan 5 yang menyebutkan bahwa:
a. Pasal 4:
Para Negara Peserta Tingkat Tinggi harus saling
memberikan setiap bantuan kepada yang lainnya dengan
tujuan menjamin penghapusan perbudakan dan perdagangan
budak.
b. Pasal 5:
Para Negara Peserta T’ingkat Tinggi harus mengakui
bahwa mencapai jalan lain untuk melaksanakan wajib kerja
atau kerja paksa memiliki akibat-akibat yang gawat dan
berusaha, masing-masing berkenaan dengan wilayah yang
ditempatkan di bawah kedaulatan yurisdiksi, perlindungan,
kekuasaan atau perwaliannya, mengambil semua langkah
yang diperlukan untuk mencegah wajib kerja atau kerja
paksa, dari mengembangkan menjadi kondisi-kondisi yang
analog déngan perbudakan.
Disepakati bahwa:
(1) Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan transisi yang
ditetapkan dalam ayat (2) di bawah, maka wajib kerja
atau kerja paksa hanya dapat diminta untuk tujuan-
tujuan negara.
(2) Di dalam wiiayah-wilayah di mana wajib kerja atau kerja
paksa selain untuk tujuan-tujuan negara masih bertahan,
maka para Negara Peserta Tingkat Tinggi harus berusaha
secara progresif dan secepat mungkin mengakhiri praktek
semacam itu. Sepanjang wajib kerja atau kerja paksa
ini ada, kerja ini tanpa kecuali harus bersifat
pengecualian, harus selalu menerima upah yang memadai
dan tidak boleh melibatkan pemindahan para buruh itu
dari tempat tinggal mereka yang biasanya.
(3) Dalam semua kasus, maka tanggung jawab setiap jalan
lain untuk meraksanakan wajib kerja atau kerja paksa
harus dibebankan pada para penguasa pusat wilayah
yang bersangkutan yang berwenang.
10. Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan,
Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik Serupa
dengan Perbudakan
Konvensi ini disetujui dengan resolusi Konferensi para
Duta Besar yang Berkuasa Penuh, yang diminta bersidang oleh
Dewan Ekonomi dan Sosial, 608 (XXI) tanggal 30 April 1956 dan
dilaksanakan di Jenewa pada 7 September 1956. Dalam Seksi I
Pasal 1 Konvensi ini dijelaskan tentang lembaga-lembaga dan
praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan antara lain:
a. Perbudakan utang, yang untuk mengatakan, status atau
keadaan yang timbul dari suatu janji oleh seorang yang
berutang mengenai pelayanan-pelayanan pribadinya
atau pelayanan-pelayanan seseorang yang di bawah
penguasaannya sebagai jaminan untuk suatu utang, jika nilai
setiap pelayanan ini sebagaimana diukur secara layak
tidak berlaku terhadap penghapusan utang itu atau lumayan
dan sifat setiap pelayanan ini tidak dibatasi secara
berturut-turut dan tidak didefinisikan.
b. Perhambaan, yang untuk mengatakan, kondisi atau status
seorang penyewa yang menurut hukum, kebiasaan atau
persetujuan terikat untuk bertempat tinggal dan bekerja
pada tanah milik orang lain dan untuk memberikan beberapa
pelayanan yang sudah tertentu kepada orang lain ini ,
apakah dengan upah atau tidak, dan tidak bebas mengubah
statusnya;
c. Setiap lembaga atau praktik yang dengannya:
(i) Seorang wanita, tanpa hak untuk menolak, dijanjikan
dinikahi atau dinikahi atas pembayaran dengan upah
dalam uang atau dengan barang untuk orang tuanya,
walinya, keluarganya atau orang lain mana pun atau
kelompok; atau
(ii) Suami seorang perempuan, keluarganya atau marganya,
berhak mengalihkan dia kepada orang Iain untuk suatu
harga yang diterima atau sebaliknya; atau
(iii) Seorang wanita pada saat kematian suaminya besar
kemungkiman diwariskan oleh orang lainnya;
d. Setiap lembaga atau praktek di mana seorang anak atau
seorang anak muda di bawah umur 18 tahun, diberikan oleh
salah satu atau kedua orang tuanya yang sebenarnya atau
oleh walinya kepada orang lain, apakah dengan upah atau
tidak, dengan tujuan mengeksploitasi anak atau anak muda
ini atau tenaganya.
Dalam seksi II pasal 3 di jelaskan tentang perdagangan
budak antara lain:
(1) Perbuatan mengangkut atau berusaha mengangkut
budak dari suatu negara ke negara lainnya dengan setiap
sarana angkutan, atau sarana yang menjadi tambahannya
akan merupakan pelanggaran pidana menurut undang-
undang para Negara Peserta Konvensi ini dan sebab itu
orang-orang yang dihukum dapat dikenakan hukuman-
hukuman yang sangat berat.
(2) a. Para Negara Peserta harus mengambil semua
langkah yang efektif untuk mencegah kapal-kapal
dan pesawat terbang yang dikuasakan untuk
mengibarkan bendera mereka dari mengangkut
budak dan untuk menghukum orang-orang yang
bersalah sebab perbuatan-perbuatan ini atau
sebab memakai bendera nasional untuk tujuan
ini .
b. Para Negara Peserta Konvensi ini harus saling
mempertukarkan informasi agar dapat menjamin
koordinasi praktis langkah-langkah yang diambil
dalam memerangi perdagangan budak dan harus
saling menginformasikan setiap kasus mengenai
perdagangan budak dan setiap usaha untuk
melakukan pelanggaran pidana ini, yang mana dapat
menjadi pengetahuan mereka.
Sementara itu, definisi-definisi dari perbudakan,
seseorang yang dalam status perhambaan serta pedagangan
budak dijelaskan dalam Seksi IV Pasal 7 yaitu:
a. “Perbudakan”, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi
Perbudakan tahun 1926, berarti Status atau kondisi
seseorang yang atas dirinya setiap atau semua kekuasaan
yang melekat pada hak atas pemilikan dilaksanakan, dan
“budak” berarti seseorang yang dalam kondisi atau status
ini ;
b. “Seseorang yang dalam status perhambaan” berarti
seseorang yang dalam kondisi atau, status yang
diakibatkan oleh setiap dari lembaga-lembaga atau
praktek-praktek yang disebutkan dalam Pasal 1 Konvensi
ini;
c. ”Perdagangan budak” berarti dan mencakup semua
perbuatan yang terlibat dalam penangkapan, perolehan
atau peraturan atas seorang dengan tujuan menurunkan
dia pada perbudakan, semua perbuatan yang terlibat
dalam perolehan seorang budak dengan tujuan menjual
atau mempertukarkan dia, semua perbuatan pemberian
dengan merjual atau mempertukarkan seseorang yang
diperoleh dengan tujuan dijual atau dipertukarkan;
dan, pada umumnya, setiap perbuatan perdagangan,
atau pengangkutan para budak dengan sarana-sarana
pengangkutan apa pun.
Untuk mendukung penghapusan berbagai bentuk
perbudakan ini, maka dalam Seksi V Pasal 8 dijelaskan
bahwa:
(1) Para Negara Peserta Konvensi ini saling berusaha saling
bekerja sama dengan yang lain dan dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk memberlakukan ketentuan-
ketentuan yang terlebih dahulu.
(2) Para Negara Peserta berusaha menyampaikan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikalan Bangsa-Bangsa, salinan-
salinan dari undang-undang, peraturan-peraturan dan
tindakan-tindakan administratif apa pun, yang dibuat
atau diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan dalam Konvensi ini.
(3) Sekretaris Jenderal akan menyampaikan informasi yang
diterima menurut ketentuan ayat (2) pasal ini kepada para
Negara Peserta yang lain dan kepada Dewan Ekonomi
dan Sosial sebagai bagian dari dokumentasi untuk
pembahasan apa pun yang di mana Dewan mungkin
melakukan dengan tujuan membuat rekomendasi-
rekomendasi leblh jauh untuk menghapus perbudakan,
Perdagangan budak atau lembaga-lembaga dan praktek-
praktek yang menjadi subyek Konvensi ini.
11. Konvensi ILO Nomor 29 tentang Kerja Paksa
Konvensi ini disetujui pada tanggal 28 Juni 1930 oleh
Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional pada sidangnya
yang ke-14. Istilah dari kerja paksa dijelaskan dalam pasal 2 ayat
1 yaitu: ”kerja paksa atau wajib kerja akan berarti semua kerja
atau pelayanan yang diminta dari siapa pun di bawah ancaman
hukum apa pun dan di mana orang ini tidak menawarkan
diri secara sukarela. Namun istilah “kerja paksa atau wajib kerja”
tidak akan mencakup:
a. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta berdasar
undang-undang pelayanan wajib militer untuk pekerjaan
yang semata-mata bersifat militer;
b. Setiap pekeriaan atau pelayanan yang membentuk bagian
kewajiban-kewajiban sebaga warga negara yang lazim dari
suatu negara berpemerintahan-sendiri sepenuhnya;
c. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta dari siapa
pun sebagai konsekuensi suatu hukuman dalam suatu
pengadilan hukum, dengan syarat bahwa pekerjaan atau
pelayanan ini dilaksanakan di bawah pengawasan dan
pengendalian seorang penguasa pemerintah dan bahwa orang
ini tidak disewa atau ditempatkan pada peraturan
perseorangan, perusahaan atau himpunan swasta;
d. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta dalam kasus-
kasus keadaan darurat, yang unI tuk menyatakan, dalam
kejadian perang atau bencana alam atau bencana alam yang
mengancam seeperti kebakaran, banjir, kelaparan, gempa
bumi, penyakit epidemik yang gawat, atau penyakit episotik,
serangan oleh binatang, serangga, atau hama sayuran dan
secara umum keadaan apa pun yang akan membahayakan
keberadaan atau kesejahteraan keseluruhan atau bagian
penduduk;
e. Semacam pelayanan warga bersama dalam skala kecil
yang dilakukan oleh anggota-anggota warga demi
kepentingan langsung warga ini , sebab nya dapat
dianggap sebagai kewajiban-kewajiban warga negara yang
lazim dengan syarat bahwa anggota anggota warga itu
atau perwakilan langsung mereka berhak dikonsultasikan
mengenai kebutuhan untuk pelayanan-pelayanan ini .
Untuk mencapai tujuan dalam Konvensi ini, maka istilah
”penguasa yang berwenang” harus berarti baik seorang penguasa
negara metropolitan atau penguasa pusat tertinggi di wilayah
yang bersangkutan (Pasal 3). Selain itu dalam pasal 4 disebutkan
bahwa:
(1) Penguasa yang berwenang tidak boleh mengenakan atau
memperkenankan pembebanan kerja paksa atau wajib kerja
untuk keuntungan perseorangan, perusahaan atau himpunan
swasta.
(2) jika kerja paksa atau wajib kerja untuk keuntungan
perseorangan, perusahaan atau himpunan swasta ini
ada pada tanggal di mana ratifikasi suatu Negara Anggota
pada Konvensi ini didaftar oleh Direktur Jendelal Kantor
Buruh Internasional, maka Negara Anggota ini harus
benar-benar menghapus kerja paksa atau wajib kerja ini
dari tanggai di mana Konvensi ini berlaku bagi Anggota
ini .
12. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja
Paksa
Konvensi ini disetujui pada tanggal 25 Juni 1957 oleh
Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional pada sidangnya
yang ke-14. Pasal 1 menyebutkan bentukbentuk kerja paksa atau
wajib kerja yang dimaksud yaitu :
a. Sebagai sarana paksaan politik atau pendidikan atau sebagai
hukuman sebab memiliki atau mengutarakan pendapat
politik atau pendapat yang secara ideologi berlawanan dengan
sistem politik, sosial atau ekonomi yang sudah terbentuk;
b. Sebagai metode untuk memobilisasi dan memakai tenaga
kerja untuk tujuan-tujuan pen bangunan ekonomi;
c. Sebagai sarana disiplin kerja;
d. Sebagai hukuman sebab telah ikut serta dalam pemogokan;
e. Sebagai sarana diskriminasi rasial, sosial, warga negara atau
agama
Maka Setiap Anggota Organisasi Buruh Internasional yang
meratifikasi Konvensi ini berusaha mengambil langkah-langkah
yang efektif untuk menjamin penghapusan segera dan sama
sekali terhadap kerja paksa atau wajib kerja seperti yang dirinci
dalam Pasal 1 Konvensi ini (Pasal 2).
13. Konvensi Untuk Menumpas Perdagangan Orang dan
Eksploitasi Pelacuran Orang Lain
Konvensi ini disetujui dengan resolusi Majelis Umum 317 (IV),
tanggal 2 Desember 1949. Dalam pasal 1 Konvensi ini disebutkan
bahwa Para Negara Peserta Konvensi ini bersepakat untuk
menghukum siapa pun yang memuaskan nafsu-nafsu orang lain:
(1) Mendapatkan, membujuk atau membawa pergi orang lain
untuk tujuan-tujuan pelacuran, meski pun dengan persetujuan
orang ini ;
(2) Mengeksploitasi pelacuran orang lain, meskipun dengan
persetujuan orang ini .
Sementara dalam Pasal 2 Para Negara Peserta Konvensi ini
lebih jauh bersepakat untuk menghukum siapa pun yang:
(1) Memelihara atau mengatur atau dengan sengaja membiayai
atau mengambil bagian dalam pembiayaan suatu rumah
pelacuran;
(2) Dengan sengaja membiarkan atau menyewa suatu gedung
atau tempat Iain atau bagian apa pun dalam pembiayaannya,
untuk tujuan melacurkan orang lain.
Maka Setiap Negara Peserta Konvensi ini bersepakat untuk
mengambil semua langkah yang perlu untuk mencabut atau
menghapus undang-undang apa pun yang ada, peraturan atau
penetapan administratif, yang menurutnya orang-orang yang
terlibat atau diduga terlibat dalam pelacuran yaitu tunduk
baik pada pencatatan khusus ataupun pemilikan suatu dokumen
khusus ataupun pada persyaratan-persyaratan pengecualian apa
pun untuk pengawasan atau pemberitahuan (Pasal 6).
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 Tahun
1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan
Konvensi ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Oktober
1998. Dalam Rangka pencegahan dan penanggulangan masalah
kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk
tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, dibentuk
Komisi yang bersifat nasional yang diberi nama Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Pasal 1). Komnas ini
berdasar Pancasila (Pasal 2) dan bersifat independen (Pasal
3).
Tujuan dari Komisi ini termuat dalam Pasal 4 antara lain:
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan yang berlangsung di Indonesia;
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia;
c. peningkatan usaha pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan
hak asasi manusia perempuan.
Maka untuk meujudkan tujuan ini , dalam Pasal 5
Komnas ini melakukan kegiatan:
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia dan usaha -usaha pencegahan
dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan;
b. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengena perlindungan hak
asasi manusia perempuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta menyampaikan berbagai saran
dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatf
dan warga dalam rangka penyusunan dan penetapan
peraturan dan kebijakan berkenaan dengan usaha -usaha
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia bagi perempuan;
c. pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta,
tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta
memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada
pemerintah;
d. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas
terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
kepada warga ;
e. pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam
rangka meningkatkan usaha pencegahan dan penanggulangan
kekerasan terhadap perempuan dalam rangka mewujudkan
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning
The Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai
Penghapusan Kerja Paksa)
Undang-Undang ini diundangkan di Jakarta pada tanggal 7
Mei 1999. Pokok-pokok dari Konvensi ini yaitu :
a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus
melarang dan tidak boleh memakai setiap bentuk kerja
paksa sebagai alat penekanan politik, alat pengerahan untuk
tuiuan pembangunan, alat mendisiplinkan pekerja, sebagai
hukuman atas keterlibatan dalam pemogokan dan sebagai
tindakan diskriminasi.
b. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus
mengambil tindakan yang menjamin penghapusan kerja
paksa dengan segera dan menyeluruh. 3.
c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus
melaporkan pelaksanaannya.
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999
tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning
Discrimination in Respect of Employment And Accupation
(Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Pekerjaan dan
Jabatan)
240 ---
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999. Adapun
pokok-pokok Konvensi ini antara lain:
a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib
melarang setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan
dan jabatan termasuk dalam memperoleh pelatihan dan
keterampilan yang didasarkanatas ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal-
usul keturunan.
b. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus
mengambil langkah-langkah kerja sama dalam peningkatan
pentaatan pelaksanaannya, peraturan perundang-undangan,
administrasi, penyesuaian kebijaksanaan, pengawasn,
pendidikan dan pelatihan.
c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus
melaporkan pelaksanaannya.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Ketentuan umum dalam Undang-undang in termuat dalam
pasal 1 yaitu sebagai berikut:
a. Perdagangan Orang yaitu tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain ini , baik yang dilakukan di dalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
memicu orang tereksploitasi.
b. Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu setiap tindakan
atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur
tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
c. Korban yaitu seseorang yang mengalami penderitaan
psikis, mental, fisik, seksuai, ekonomi dan/atau sosial, yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
d. Setiap Orang yaitu orang perseorangan atau korporasi yang
melakukan tindak pidana perdagangan orang.
e. Anak yaitu seseorang yang beium berusia 18 (deiapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
f. Korporasi yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
g. Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan
korban yang meliputi namun tidak terbatas pada pelacuran,
kerla atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau
jarirgan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun immateriil.
h. Eksploitasi Seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ
tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk
mendapatkan keuntungan, termasuk namun tidak terbatas
pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
i. Perekrutan yaitu tindakan yang meliputi mengajak,
mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari
keluarga atau komunitasnya.
j. Pengiriman yaitu tindakan memberangkatkan atau
melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat Iain.
k. Kekerasan yaitu setiap perbuatan secara melawan hukum,
dengan atau tanpa memakai sarana terhadap fisik dan
psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau
menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
l. Ancaman Kekerasan yaitu setiap perbuatan secara melawan
hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan
tubuh, baik dengan atau tanpa memakai sarana yang
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki
seseorang.
m. Restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasar putusan pengadilan yang
242 ---
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau
immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
n. Rehabilitasi yaitu pemulihan dari gangguan terhadap
kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan
perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun
dalam warga .
o. Penjeratan Utang yaitu perbuatan menempatkan orang
dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa
menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang
yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya
sebagai bentuk pelunasan utang.
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan
mencegah sedini mungkin terjadmya tindak pidana perdagangan
orang (Pasal 56).Pemerintah, Pemerintah Daerah, warga ,
dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana
perdagangan orang (Pasal 57 ayat 1). Selain itu Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan,
dan mengealokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan
dan penanganan masalah perdagangan orang (Pasal 57 ayat 2).
Maka usaha -usaha lanjutan yang dilakukan oleh pemerintah
untuk menangani kasus tindak pidana perdagangan orang antara
lain tercantum dalam pasal 58 (ayat 1-7) sebagai berikut:
1) Untuk me1aksanakan pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang.
2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah
membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil
dari pemerintah, penegak hukum, organisasi warga ,
lembaga swadaya warga , organisasi profesi, dan peneliti/
akademisi.
3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang
beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak
hukum, organisasi warga , lembaga swadaya warga ,
organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
243---
4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) merupakan lembaga koordinatif yang betugas:
a. mengkoordinasikan usaha pencegahan dan penanganan
tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja
sama;
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan
korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi
sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan
hukum; serta
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat
setingkat menteri yang ditunjuk berdasar Peraturan
Presiden.
6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang diperlukan.
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan
organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja
gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan
Presiden.
Selain langkah-langkah di atas, pemerintah juga
melaksanakan kerja sama internasional seperti yang termuat
dalam Pasal 59 Undang-Undang ini antara lain:
1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang,
Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja
sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional,
maupun multilateral.
2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal-balik
dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
244 ---
Tidak menutup kemungkinan bahwa warga juga
memiliki peran dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang, seperti yang tercantum dalam pasal 60, antara lain:
1) warga berperan serta membantu usaha pencegahan dan
penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.
2) Peran serta warga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau
melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada
penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta
dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
E. Konvensi tentang Peradilan dan Hukum yang Tidak Manusiawi
1. Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan Terhadap
Narapidana
a. Akomodasi
• jika akomodasi tidur dalam sel-sel perseorangan,
maka setiap narapidana di malam hari harus menempati
satu sel sendirian. Jika sebab alasan-alasan khusus
seperti sangat penuh sementara, menjadi perlu bagi
administrasi lembaga pewarga anpusat untuk
membuat pengecualian terhadap peraturan ini. yaitu
tidak diinginkan memiliki dua narapidana dalam satu
sel.
• jika asrama-asrama dipakai , asrama ini
harus dihuni Oleh narapidana yang secara hati-hati
dipilih seperti kecocokannya untuk saling berteman dalam
kondisi-kondisi ini . Harus ada pengawasan tetap di
malam hari, sesuai dengan sifat lembaga itu.
b. Kebersihan Pribadi
• Narapidana harus menjaga badan mereka bersih, dan
untuk tujuan ini mereka harus disediakan air dan
peralatan-peralatan toilet seperti yang diperlukan untuk
kesehatan kebersihan.
• Agar para narapidana bisa memelihara penampilan
yang baik sesuai dengan kehormatan diri mereka, akan
245---
disediakan berbagai fasilitas untuk pemeliharan rambut
dan jenggot yang layak, dan narapidana pria sebisa
mungkin mencukur dengan teratur.
c. Pakaian dan Tempat Tidur
• Setiap narapidana yang tidak diperkenankan memakai
pakaiannya sendiri harus disediakan pakaian lengkap
yang layak dengan iklim dan memadai untuk menjaganya
dalam kesehatan yang baik. Pakaian ini dengan
cara apa pun tidak boleh menurunkan martabat atau
menghinakan.
• Semua pakaian harus bersih dan dijaga dalam kondisi
yang cocok. Pakaian dalam harus diganti dan dicuci
sesering yang diperlukan untuk memelihara kesehatan.
• Dalam kondisi-kondisi pengecualian, setiap waktu seorang
narapidana dipindahkan di luar lembaga untuk tujuan
yang diizinkan, dia harus diperkenankan mengenakan
pakaiannya sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik
perhatian orang.
• Jika para narapidana diperbolehkan mengenakan pakaian
mereka sendiri, harus dibuat pengaturan-pengaturan
mengenai izin masuk mereka pada lembaga untuk
menjamin bahwa pakaian itu bersih dan layak pakai.
• Setiap narapidana sesuai dengan standar-standar lokal
atau nasional, harus disediakan tempat tidur terpisah,
dan dengan selimut terpisah dan yang cukup bersih saat
diberikan, dijaga dalam susunan yang baik dan diganti
sesering mungkin untuk menjamin kebersihannya.
d. Makanan
• Setiap narapidana harus diberikan menurut pengaturannya
pada jam-jam biasa dengan makanan bernilai gizi yang
memadai untuk kesehatan dan kekuatan, berkualitas
sehat dan disiapkan serta yang disajikan dengan baik.
• Air minum harus tersedia untuk setiap narapidana setiap
waktu.
246 ---
e. Pelayanan Kesehatan
Pada setiap lembaga harus tersedia pelayanan-pelayanan,
paling sedikit satu orang pejabat kesehatan yang memenuhi
syarat di mana harus memiliki beberapa pengetahuan
psikiatri. Pelayanan-pelayanan kesehatan harus diorganisir
dalam hubungan yang dekat dengan administrasi kesehatan
umum warga atau negara.
f. Pelayanan lain yang disediakan yaitu ketersediaan
perpustakaan.
2. Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam
yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang
Menghinakan
Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan
aksesi oleh Resolusi Majelis Umum 39/46, tanggal 10 Desember
1984. Dalam Pasal 1, untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, istilah
”penganiayaan” berarti perbuatan apa pun yang dengannya
sakit berat atau penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan
sengaja dibebankan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti
memperoleh darinya atau orang ketigatelah melakukannya
atau disangka telah melakukannyaatau mengintimidasi atau
memaksa dia atau orang ketiga, atau sebab alasan apa pun
yang didasarkan pada diskriminasi macam apa pun, jika sakit
atau penderitaan ini dibebankan oleh atau atas anjuran
atau dengan persetujuan atau persetujuan diam-diam seorang
petugas pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu
kedudukan resmi. Istilah ini tidak mencakup sakit atau
penderitaan, yang timbul hanya dari hal-hal yang melekat atau
insidental pada sanksi-sanksi yang sah.
usaha pencegahan penganiayaan yang dilakukan pemerintah
dalam Undang-Undang ini tercantum dalam Pasal 2, antara lain:
1) Setiap Negara Peserta akan mengambil tindakan-tindakan
legislatif, administratif, pengadilan atau lainnya untuk
mencegah perbuatan-perbuatan penganiayaan setiap wilayah
yang berada di bawah yurisdiksinya.
2) Tidak ada keadaan-keadaan pengecualian apa pun, apakah
suatu keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan
247 ---
politik internal atau keadaan darurat umum lain apa pun,
dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran tindakan
penganiayaan.
3) Sebuah perintah dari pejabat yang lebih tinggi atau wewenang
umum tidak dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran
tindakan penganiayaan.
3. Aturan-Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak
Hukum
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 34/169,
17 Desember 1979. Dalam Pasal 1 (ayat 1) disebutkan bahwa
Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi
kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan
melayani warga dan dengan melindungi semua orang
dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan
tingkat pertanggungjawaban yang tinggi yang dipersyaratkan
oleh profesi mereka. Istilah petugas Penegak hukum mencakup
semua pegawai hukum, apakah yang ditunjuk atau dipilih, yang
melaksanakan kekuasaan-kekuasaan polisi, terutama kekuasaan
menangkap atau menahan.
Dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas
penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat
manusia, dan menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia semua orang (Pasal 2). Para petugas penegak hukum
dapat memakai kekerasan hanya saat benar-benar
diperlukan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan untuk
pelaksanaan kewajiban mereka.
4. Prinsip-Prinsip Etika Kedokteran yang Relevan dengan
Peran Personil Kesehatan, Terutama Para Dokter,
Dalam Perlindungan Narapidana dan Tahanan Terhadap
Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak
Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan.
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 37/194,
18 Desember 1982. Prinsip-Prinsip dalam etika kedokteran
ini anata lain:
248 ---
• Prinsip 1: Personil kesehatan terutama dokter yang ditugaskan
untuk merewat kesehatan para narapidana dan para tahanan
memiliki suatu kewajiban untuk memberikan kepada
mereka perlindungan kesehatan fisik dan mental mereka, dan
perawatan penyakit dengan kualitas dan standar yang sama
seperti yang diberikan kepada mereka yang tidak dipenjara
atau ditahan.
• Prinsip 2: yaitu merupakan pelanggaran besarterhadap etika
kedokteran, dan jugamenupakan pelanggaran instrumen-
instrumen internasonal yang berlaku, bagi personil kesehatan
terutama para dokter, untuk melibatkan diri secara aktif
atau pasif dalam perbuatan-perbuatan yang merupakan
keikutsertaan, keterlibatan, penghasutan atau mencoba
melakukan penganiayaan atau perlakuan yang kejam yang
lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
• Prinsip 3: yaitu merupakan pelanggaran terhadap etika
kedokteran bagi personel kesehatan, terutama para doktor
untuk terlibat dalam hubungan profesi apa pun dengan para
narapidana atau para tahanan yang tujuannya tidak semata-
mata untuk menilai, melindungi atau memperbaiki kesehatan
fisik dan mental mereka.
• Prinsip 4: yaitu merupakan Pelanggaran terhadap etika
kedokteran bagi personel kesehatan, terutama para dokter
untuk:
Menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka
agar dapat membantu interogasi pada narapidana dan
para tahanan dalam cara yang mungkin tidak cocok
dengan kesehatan fisik atau mental atau keadaan para
narapidana atau para tahanan ini dan yang tidak
sesuai dengan instrumen-instrumen internasional yang
relevan.
Memberi keterangan, atau ikut serta dalam pemberian
keterangan, mengenai kesehatan para narapidana atau
para tahanan, untuk setiap bentuk perlakuan atau
hukuman yang mungkin tidak cocok dengan kesehatan
fisik atau mental mereka dan yang tidak sesuai dengan
249---
instrumen-instrumen internasional yang relevan, atau
ikut serta dalam setiap cara dalam pemberian perlakuan
atau setiap hukuman semacam itu yang tidak sesuai
dengan instrumen-instrumen internasional yang relevan.
• Prinsip 5: yaitu merupakan pelanggaran terhadap etika
kedokteran bagi personil kesehatan, terutama para dokter,
ikut serta dalam setiap prosedur untuk mengendalikan
seorang narapidana atau tahanan kecuali prosedur semacam
itu ditetapkan sesuai dengan kriteria kesehatan semata-mata
seperti yang diperlukan untuk melindungi perlindungan
kesehatan fisik dan mental atau keselamatan narapidana
atau tahanan itu sendiri, teman-teman narapidana atau
tahanan atau walinya dan tidak mendatang. kan bahaya pada
kesehatan fisik atau mentalnya.
5. Prinsip-Prinsip Dasar Tentang Kemandirian Pengadilan
1) Kemandirian pengadilan harus dijamin oleh Negara dan
diabadikan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Negara.
yaitu merupakan kewajiban semua lembaga pemerintah
atau lembaga lembaga yang lain untuk menghormati dan
mentaati kemandirian pengadilan.
2) Pengadilan harus memutus perkara-perkara yang diajukan
kepadanya secara adil, atas dasar fakta-fakta dan sesuai
dengan undang-undang, tanpa pembatasan-pembatasan apa
pun, pengaruh-pengaruh yang tidak tepat, bujukan-bujukan
langsung atau atau tidak langsung, dari arah mana pun atau
sebab alasan apa pun.
3) Pengadilan harus memiliki yurisdiksi atas semua pokok
masalah yang bersifat hukum dan harus memiliki
kekuasaan eksklusif untuk memutuskan apakah suatu pokok
masalah yang diajukan untuk memperoleh keputusannya
yaitu berada di dalam kewenangannya seperti yang
ditentukan oleh hukum.
4) Tidak boIeh ada campur tangan apa pun yang tidak tepat
atau tidak diperlakukan terhadap proses 1 pengadilan,
juga tidak boleh ada keputusan-keputusan yudisial oleh
250 ---
pengadilanpengadilan itu tunduk pada perbaikan. Prinsip
ini tanpa mempengaruhi pemeriksaan ulang yudisial atau
pada pelonggaran atau keringanan oleh para penguasa yang
berwenang terhadap hukuman-hukuman 1 yang dikenakan
oleh pengadilan, sesuai dengan undang-undang.
5) Setiap orang berhak diadili oleh pengadilan-pengadilan
ataupun tribunal-tribunal biasa, yang 1 memakai
prosedur-prosedur hukum yang sudah mapan. Tribunal-
tribunal biasa yang tidak memakai prosedur-prosedur
proses hukum yang dibentuk sebagaimana mestinya tidak
boleh diciptakan untuk menggantikan yurisdiksi milik
pengadilan-pengadilan biasa ataupun tirbunal-tirbunal
yudisial.
6) Prinsip kemandirian pengadilan berhak dan mewajibkan
pengadilan untuk menjamin bahwa acara kerja pengadilan
dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak para pihak
dihormati.
7) yaitu kewajiban setiap Negara Anggota untuk menyediakan
sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan
pengadilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat.
6. Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua
Orang yang Berada di Bawah Penahanan Apa Pun atau
Pemenjaraan
• Prinsip 1:
Semua orang yang berada di bawah setiap bentuk penahanan
atau pemenjaraan harus diperlakukan dalam cara yang
manusiawi dan dengan menghormati martabat pribadi
manusia yang melekat.
• Prinsip 2:
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan hanya dapat
dilaksanakan secara sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan undang-undang dan oleh para pejabat yang
berwenang atau orang-orang yang dikuasakan untuk tujuan
ini .
251---
• Prinsip 3:
Tidak boleh ada pembatasan atau pelanggaran rerhadap setiap
hak-hak asasi manusia dari orang-orang yang berada di bawah
bentuk penahanan atau pemenjaraan yang diakui, atau yang
ada di Negara manapun, sesuai dengan hukum, konvensi,
peraturan atau kebiasaan dengan dalih bahwa Kumpulan
Prinsip-pinsip ini tidak mengakui hak-hak ini , atau
bahwa Kumpulan Prinsip-prinsip ini mengakui hak-hak
itu pada jangkauan yang lebih sempit.
• Prinsip 4:
Setiap bentuk penahanan atau pemeniaraan dan semua
tindakan yang mempengaruhi hak-hak asasi manusia
seseorang yang berada di bawah penahanan atau pemenjaraan
harus diperintah oleh atau tunduk pada pengawasan efektif
dari seorang penguasa pengadilan atau penguasa yang lain;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998
tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia)
Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi:
a. Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun
mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia
yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan
persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official)
dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun
pelarangan penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak
mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat,
atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
b. Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum, dan langkah efektif lainnya
guna mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah
252 ---
yurisdiksinya. Tidak ada pengecualian apa pun, baik
dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri,
maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan
sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan
ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority)
juga tidak dapat dipakai sebagai pembenaran atas suatu
penyiksaan.
c. Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan
sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan.
Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan
percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak
penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur vahwa
pelaku tindak pidana ini dapat dijadikan hukuman yang
setimpal dengan sifat tindak pidananya.
d. Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak
penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan.
Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir,
mengembalikan, atau mengekstradisikan seorang ke negara
lain jika ada alasan yang cukup kuat untuk menduga
bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara
Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadnp
seseorang yang melakukan tindak penyiksaan jika tidak
mengekstradisikannya.
e. Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam
proses peradilan atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa
pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap
penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program
pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer,
petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang Iain yang
terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan
(interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadi/individu
yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.
f. Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya
bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti
rugi dan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi
yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan
rehabilitasi.
Glosarium
apartheid : Kejahatan berdasar warna kulit
ad hoc : Satuan tugas
accountability : Pertanggungjawaban
Bill of rights : Piagam hak asasi manusia di Inggris tahun
1689
civil liberty : Kebebasan warga
check and balances : Konsep saling mengawasi dalam sistem
pemerintahan
clarity : Kejelasan
CSR : Corporate social responsibility
droits de I’homme : Hak asasi manusia (dlm. Bhs. Perancis)
Das Capital : Judul buku yang ditulis Karl Marx
Deklarasi Virginia 1776 : Salah satu isinya, semua orang harus mampu
dengan bebas memperoleh kebahagiaan.
Deklarasi : Hak untuk menikmati hidup dalam
Massachusetts 1780 ketenteraman dan keamanan.
Deklarasi Perancis 1789 : Memuat tentang jaminan hak-hak manusia
dan warga negara.
Deklarasi Perancis 1789 : Menyatakan bahwa sumber kedaulatan pada
dan Virginia pokoknya ada pada bangsa.
Deklarasi Pennsylvania 1776: Pemerintah seharusnya didirikan untuk
keuntungan bersama, penjagaan dan
keamanan rakyat, bangsa atau warga .
Deklarasi Maryland 1776 : Ajaran untuk menentang kekuasaan
sewenang-wenang dan penindasan.
Declaration of Independent : Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat tahun
1776.
Direktif : Fungsi hukum sebagai pengarah dalam
membangun ketertiban.
Du Contract Social : Judul buku Jean Jacques Rousseau yang
menggemakan kekuasaan rakyat.
democratische rechtsstaat : Negara hukum yang demokratis
erga omnes : Kewajiban yang dilaksanakan setiap negara
dalam menghadapi semua negara lain.
extraordinary crimes : Kejahatan luar biasa
equality : Persamaan
electoral threshold : Syarat minimal utuk ikut Pemilu.
Grundlegung : Buku karangan Immanuel Kant.
Genosida : Pemusnahan suatu bangsa secara sistematis.
HAM : Hak Asasi Manusia
human rights : hak asasi manusia (dlm. Bhs. Inggris).
HESB : Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
International Covenant on : Konvensi internasional tentang hak sipil dan
Civil and Political Rights politik tahun 1966.
International Covenant on : Konvensi internasional tentang ekonomi,
sosial Economic, Social dan budaya.
and Cultural Rights
international crimes : Kejahatan internasional
impunitas : Tidak terjamah oleh hukum
ICTR : International Court Tribunal for Rwanda
ICTY : International Court Tribunal for Yugoslavia
ICC : International Criminal Court
ICC : Statuta Roma
Instruksi Presiden: tentang Menghentikan Penggunaan Istilah
No. 26 Tahun 1998 Pribumi dan Non Pribumi dalam semua
Perumusan dan Penyelenggaraan Negara.
Keputusan Presiden : tentang Pengesahan Hak-hak Anak.
No. 36 Tahun 1990
Keputusan Presiden : tentang Komisi Nasional HAM.
No. 50 Tahun 1993
Keppres No. 129 Tahun 1998 : tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Keppres No. 181 : tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Tahun 1998 TerhadapPerempuan
Konvensi ILO : diratifikasi berdasar Keppres No. 83
(International Labour Tahun 1998 tentang Kebebasan
Organization) No. 87 Berserikat dan Perlindungan
Tahun 1948 Hak untuk Berorganisasi.
Konvensi ILO No. 105 : diratifikasi berdasar Undang-Undang
No. 19 Tahun 1957 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja
Paksa.
Konvensi ILO No. 111 : diratifikasi berdasar Undang-Undang
Tahun 1958 No.21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi
dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Konvensi ILO No. 138 : diratifikasi berdasar Undang-Undang No. 20
Tahun 1973 Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja.
Konvensi ILO No. 182 : diratifikasi berdasar Undang-Undang No. 1
Tahun 1999 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak.
Konvensi ILO No. 88 : diratifikasi berdasar Keppres No. 36 Tahun
Tahun 1948 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja.
KY : Komisi Yudisial
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
KKR : Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
La Declaration des droits de : Penghapusan pemerintahan feodal dan
I’homme et du Citoyen penindasan terhadap hak asasi manusi tahun
.
Law is a command of : Hukum dipandang sebagai perintah dari pihak
the law gived pemegang the law gived kekuasaan tertinggi.
legal rights : Hak asasi di bidang hukum
L’Esprit Des Lois : Buku Montesquieu tentang pembagian
kekuasaan negara.
mensenrechten : Hak asasi manusia (dlm. Bhs. Belanda).
Marxisme : Ajaran Karl Marx, dasar dari Komunisme.
MK : Mahkamah Konstitusi
openness : keterbukaan
Piagam Magna Charta : Piagam hak asasi manusia di Inggris tahun .
Positivisme : Faham yang menyatakan kebenaran itu
harus bisa dibuktikan secara empiris.
personal rights : hak asasi pribadi
property rights : hak asasi di bidang ekonomi
political rights : hak asasi di bidang politik
parliamentary threshold : syarat minimal untuk punya akil di parlemen
political wisdom : kebijaksanaan politik
Peraturan Pemerintah : tentang Pengelolaan Perkembangan
No. 27 Tahun 1994 Kependudukan
Power tends to corrupt and : Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan
absolute power tends to kekuasaan yang mutlak cenderung untuk
corrupt absolutely korupsi secara mutlak pula.
Resfec for human right and : Penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
for fundamental freedom
Rights to development : Hak untuk ikut serta dalam pembangunan.
Rechsstaat : Negara hukum (Bhs. Belanda)
rule of law : Negara hukum (Bhs. Inggris)
sollens kategori : Hukum sebagai keharusan yang harus ditaati
social and cultural rights : Hak asasi manusia di bidang sosial budaya
solus populis suprema lex : Suara rakyat yaitu suara keadilan
sparation of power : Pemisahan kekuasaan
The Universal Declaration : Deklarasi hak asasi manusia PBB tahun 1948.
of Human Rights
tuna daksa : Penyandang cacat tubuh
tuna netra : Penyandang cacat netra
tuna wicara/rungu : Penyandang cacat bicara dan pendengaran
tuna daksa lara kronis : Penyandang cacat bekas penderita penyakit
kronis
tuna grahita : Penyandang cacat mental
tuna laras : Penyandang cacat eks psikotik
Two Treatises on : Buku John Locke tentang ajaran pembagian
261---
Civil Government kekuasaan.
trias politica : Kekuasaan pemerintahan dibagi jadi 3 yakni
legislatif, eksekutif, dan yudikatif
UUPA : Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
GBHN : Garis-Garis Besar Haluan Negara
UU No. 39 Tahun 1999 : tentang HAM
UU No. 6 Tahun 1974 : tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke-
sejahteraan Sosial.
UU No. 13 Tahun 1992 : tentang Perkeretaapian.
UU No. 14 Tahun 1992 : tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
UU No. 21 Tahun 1992 : tentang Pelayaran.
UU No. 23 Tahun 1992 : tentang Kesehatan.
UU No. 10 Tahun 1995 : tentang Kepabeanan.
UU No. 6 Tahun 1974 : tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
UU No. 28 Tahun 2002 : tentang Bangunan Gedung.
UU No. 13 Tahun 2003 : tentang Ketenagakerjaan.
UU No. 20 Tahun 2003 : tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UU No. 12 Tahun 2003 : tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD dan DPRD.
UU No, 23 Tahun 2003 : tentang Pemilu Presiden dan Wapres.
UU No. 5 Tahun 1999 : tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Curang.
UU. No. 38 Tahun 1999 : tentang Perlindungan Konsumen.
UU No. 4 Tahun 1996 : tentang Hak Tanggungan.
262 ---
UU No. 4 Tahun 1998 : tentang Kepailitan .
UU No. 42 tahun 1999 : tentang Jaminan Fiducia (kebendaan).
Undang-Undang No. 5 : tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Tahun 1998 Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan.
Undang-Undang : tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
No. 9 Tahun 1998 di Muka Umum.
Undang-Undang : tentang HAM.
No. 39 Tahun 1999
Undang-Undang : tentang Pengadilan HAM.
No. 26 Tahun 2000
Undang-Undang : tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
No. 7 tahun 1984 Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.
wetmatigheid vanbestuur : pemerintahan berdasar peraturan
hak asasi manusia 5
Januari 26, 2024 mayatku
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDU-
KAN PENGADILAN HAM
Pasal 2 dan 3
Terdiri 2 bagian
BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4-9
BAB IV HUKUM ACARA Pasal 10-33
Terdiri 8 bagian
BAB V PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI Pasal 34
BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI DAN RE-
HABILITASI
Pasal 35
BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 36-42
BAB VIII PENGADILAN HAM AD HOC Pasal 43 dan 44
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46-51
Tahapan penanganan kasus HAM menurut UU No 26 Tahun 2006
antara lain:
1) Penyelidikan
Penyelidikan (pasal 18 : 1) terhadap pelanggaran HAM berat
dilakukan oleh KOMNAS HAM;
2) Penyidikan
Penyidikan (pasal 21 ayat 1) terhadap pelanggaran HAM berat
dilakukan oleh Jaksa Agung;
3) Penuntutan
Penuntutan (pasal 23 : 1) terhadap pelanggaran HAM berat
dilakukan oleh Jaksa Agung;
4) Peradilan
Pemeriksaan sidang peradilan terhadap pelanggaran Ham berat
dilakukan hakim ad hoc.Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua MA.Daerah
hukum Pengadilan HAM berada pada Pengadilan Negeri di
Jakarta Pusat, Surabaya, Makassar dan Medan.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah
kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. Khusus untuk DKI Jakarta, berkedudukan
di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 3).
Contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti 7 Kasus
Pelanggaran Berat yang terjadi di Indonesia yaitu tragedi 1965,
penembakan misterius 1982-1985, tragedi penghilangan aktivis 1997-
1998, tragedi Trisakti 1998, kasus Talangsari 1989, tragedi Semanggi
1 dan 2 pada 1998 dan 1999, serta kasus Wasior dan Wamena Papua
2001 dan 2003, termasuk kasus pelanggaran HAM di Timor Timur
1991.
Contoh kasus yang diselesaikan di Pengadilan HAM seperti: Kasus
ABEPURA 2000 “suatu kejadian dimana terjadi penyerangan massa
di kantor Mapolsek Wilayah Abepura dan menewaskan beberapa
anggota kepolisian”. Kasus ini lalu berdampak pada adanya
pelanggaran HAM berat sebab penyerangan yang direncanakan
dan juga dampak yang diberikan bagi sisi kemanusiaan. Dimana
berdampak pada dua mahasiswa yang meninggal dan juga puluhan
warga yang lalu mengalami luka berat.
D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Anak yaitu amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya.Anak yaitu tunas, potensi dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, memiliki
ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan.
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab di masa
depan, maka anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-
luasnya untuk tumbuh dan berkembangsecara optimal, baik fisik,
mental maupun sosial dan berakhlak mulia perlu dilakukan usaha
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakukan tanpa diskriminasi.
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Jaminan
pelaksanaan terhadap hak anak ini, sebenarnya telah lama ada dan
telah diatur dalam konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990, yang berlaku sejak 1990. Konvensi ini mengatur
perlidungan anak dan menjaga kesejahteraan anak-anak Indonesia.
Selain, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ada juga
peraturan-peraturan tentang perlindungan anak, seperti di bawah ini:
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak;
b. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang penegasan perlindungan hukum
bagi anak-anak penyandang disabilitas;
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlidungan anak;
d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang konvensi hak anak;
e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002;
f. Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Akan namun , dalam makalah ini yang dikaji yaitu Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Adapun sistematika dari UU Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut.
BAB PASAL
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 dan 3
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN ANAK Pasal 4 – 19
BAB IV KEWAJIBAN DAN TANGGUNG
JAWAB
Pasal 20 - 26
Terdiri 4 bagian
BAB V KEDUDUKAN ANAK Pasal 27 –29
Terdiri 2 bagian
198 ---
BAB VI KUASA PENUH Pasal 30 – 32
BAB VII PERWALIAN Pasal 33 – 36
BAB VIII PENGASUHAN DAN
PENGANGKATAN ANAK
Pasal 37 – 41
BAB IX PENYELENGGARAAN
PERLIDUNGAN
Pasal 42 - 71
Terdiri 5 bagian
BAB X PERAN warga Pasal 72 dan 73
BAB XI KOMISI PERLIDUNGAN ANAK
INDONESIA
Pasal 74 -76
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 – 90
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 91
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 92 dan 93
Sumber: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa yang merupakan anak
yaitu seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan ibunya. Setiap anak harus mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan
salah lainnya. Semua anak yang lahir ke dunia ini memiliki hak hidup
dan pasti memiliki potensi masing-masing tanpa terkecuali. Segala
kebutuhan hidup harus terpenuhi agar tumbuh kembang anak secara
optimal.
Sebagai usaha pemerintah dalam perlindungan anak ini,
dibentuklah lembaga yang bersifat independen yang bertugas untuk
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan terhadap
hak-hak anak, yaitu Komisi Perlidungan Anak Indonesia. Lembaga
KPAI ini didirikan pada tanggal 28 Oktober 1998. Keanggotaan komisi
ini terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh warga ,
organisasi sosial, organisasi kewarga an, organisasi profesi,
LSM, dunia usaha, dan kelompok warga yang memperdulikan
tentang perlidungan anak ini . Anggota komisi ini diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden sesudah mendapat pertimbangan
dari DPR dengan masa jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 kali masa jabatan.
Tugas KPAI sesuai pasal 76 UU No 23 Tahun 2002 antara lain:
1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
warga , melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlidungan anak.
2. Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlidungan anak.
Ketentuan pidana jika terjadinya penelantaran, penganiayaan,
atau apaun juga yang memicu anak mengalami sakit atau
penderitaan baik fisik, mental maupun sosial sebagai contohnya
yaitu :
a. Penelantaran ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (Pasal 77);
b. Membiarkan anak dalam situasi darurat sedang membutuhkan
pertolongan missal sebagai korban perdagangan, korban
penculikan, korban kekerasan atau korban penyalahgunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang ancaman hukuman pidana
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000 (Pasal 78);
c. Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku misal untuk dieksploitasi ancaman hukuman pidana
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000 (Pasal 79);
d. Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau
penganiayaan terhadap anak ancaman hukuman pidana penjara
paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
72.000.000 (Pasal 80);
e. Melakukan pelecehan seksual terhadap anak ancaman hukuman
pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp.
60.000.000 (Pasal 81);
f. Melakukan transplantasi organ tubuh anak untuk pihak lain
ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (Pasal 84);
g. Melakukan jual beli organ tubuh anak ancaman hukuman pidana
penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 300.000.000.
Dengan melihat dan mencermati berbagai pelanggaran yang
terjadi, kita harus mengetahui pula kategorisasi pelanggaran yang
dapat diadili di Pengadilan HAM ataukah pelanggaran hukum murni
Peradilan Umum, sebab di Indonesia ada 4 lingkungan peradilan
di bawah MA yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dengan beragam kasus bahkan
sampai pada munculnya peradilan koneksitas yaitu peradilan yang
melibatkan lebih dari satu lingkungan peradilan.
E. usaha Penanganan Terhadap Pelanggaran Hak dan
Pengingkaran Kewajiban
1. usaha pemerintah dalam menegakkan HAM
HAM pelaksanaan membutuhkan toleransi kesadaran dari
orang lain. Kurangnya toleransi dapat memicu tumpang
tindih dan berakhir terjadinya pelanggaran. Setiap warga negara
memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara,
artinya pemerintah selain mempersiapkan, menyediakan,
dan menyusun perangkat hukum HAM, juga harus berusaha
memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara
Indonesia dimanapun berada.
usaha pencegahan lebih baik daripada memberantas atau
menanggulangi. Beberapa usaha dalam pencegahan terjadinya
pe-langgaran HAM yaitu :
a. Supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan;
b. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
c. Meningkatkan penyuluhan dan pendidikan ke lembaga formal
dan nonformal;
d. Meningkatkan pengawasan dari warga ;
e. Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan
pertahanan negara;
f. Meningkatkan kerjasama antar kelompok dan golongan
warga .
g. Mengoptimalkan peranan lembaga seperti Komnas HAM,
KPAI, Komnas Perempuan
Seperti contoh pada poin g, dengan dioptimalkan peranan
lembaga penegak HAM ini diharapkan dapat mengurangi
terjadinya suatu kasus lama yang belum tertangani dan seolah-
olah seperti terjadi pembiaran begitu saja, padahal kejadian tidak
seperti itu. Akhirnya, beberapa kasus pelanggaran HAM yang
terdahulu dinyatakan kadaluarsa sebab terkena batas aturan
pada KUHP, seperti contoh kasus kematian seorang wartawan
Harian Bernas Yogyakarta yaitu Syafrudin (1996) yang tewas
sesudah dianiaya pria tak dikenal. Udin kerap menulis artikel
yang mengkritisi pemerintahan Orde Baru dan militer.Kasus
Udin menjadi ramai saat tersiar kabar ditemukannya barang
bukti sampel darah dan buku catatan milik Udin yang dilarung/
dibuang ke laut. Kasusnya sampai sekarang tidak pernah selesai
dan dianggap daluarsa.
2. usaha warga dalam mendukung penegakan HAM
Setiap warga negara harus menghargai usaha pemerintah
dalam menegakkan hak asasi manusia. sebab tanpa dukungan
dan penghargaan warga negara usaha ini tidak akan
berjalan lancar. Penghargaan warga negara dapat berupa:
a. Peduli lingkungan.
b. Mendukung dan aktif melibatkan diri dalam program
pemerintah misalnya:
1. bergabung dalam forum pengajuan usulan perumusan
dan kebijakan tentang hak asasi manusia;
2. melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan
informasi hak asasi manusia;
3. unsur warga dapa dilibatkan oleh Jaksa Agung
menjadi penyidik ad hoc atau penuntut umum ad hoc.
c. Tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hak kepada
orang lain seperti contoh tidak menyembunyikan fakta
yang terjadi dalam kasus pelanggaran HAM, berani
mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang melanggar
yang dilakukan diri sendiri.
d. Tidak menutup-nutupi atau membiarkan jika mengetahui
pelanggaran HAM namun segera melaporkan jika mengetahui
atau melihat pelanggaran kepada aparat penegak hukum.
BAB IX
KONVENSI PBB
TENTANG HAK ASASI MANUSIA
A. Konvensi tentang Kejahatan Kemanusiaan dan Perang
1. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida
1) Pasal 2
Dalam Konvensi ini, genosida berarti setiap dari
perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan
merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian,
suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama seperti:
a. Membunuh para anggota kelompok;
b. memicu luka-luka pada tubuh atau mental para
anggota kelompok;
c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi
hidup yang memicu kerusakan fisiknya dalam
keseluruhan atau pun sebagian;
d. Mengenakan usaha -usaha yang dimaksudkan untuk
mencegah kelahiran di dalam kelompok itu;
e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu
ke kelompok lain.
2) Pasal 3
Perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dihukum:
a. Genosida;
b. Persekongkolan untuk melakukan genosida;
c. Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan
genosida;
d. Mencoba melakukan genosida;
e. Keterlibatan dalam genosida.
3) Pasal 4
Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari
perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal
3 harus dihukum, apakah mereka yaitu para penguasa
yang bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat
negara, atau individu-individu biasa.
4) Pasal 5
Para Negara Peserta berusaha membuat, sesuai dengan
Konstitusi mereka masing-masing, perundang-undangan
yang diperlukan untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan
dalam Konvensi ini, dan terutama, untuk menjatuhkan
‘nukuman-hukuman yang efektif bagi orang-orang yang
bersalah sebab melakukan genosida atau setiap dari
perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3.
5) Pasal 6
Orang-orang yang dituduh melakukan genosida atau setiap
dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3,
harus diadili oleh suaru tribunal yang berwenang dari Negara
Peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu dilakukan,
atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang
mungkin memiliki yurisdiksi yang berkaitan dengan para
Negara Peserta yang akan menerima yurisdiksinya.
6) Pasal 8
Setiap Negara Peserta dapat memimta organ-organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berwenang untuk
mengambil tindakan menurut Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, seperti yang mereka anggap tepat untuk pencegahan
dan penindasan perbuatan-perbuatan genosida atau setiap
dari perbuatan-perbuatan lain apa pun yang disebutkan
dalam Pasal 3.
2. Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan
Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan
1) Pasal 1
Tidak ada pembatasan statuta dapat berlaku pada
kejahatan-kejahatan berikut, dengan mengabaikan saat
peIaksanaan mereka:
a. Kejahatan-kejahatan perang seperti yang didefinisikan
dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg,
8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi-resolusi
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13
Februari 1946 dan 95 (I) 11 Desember 1946, terutama
”pelanggaran-pelanggaran berat” yang disebutkan dalam
Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 untuk
perlindungan para korban perang.
b. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan
dalam waktu perang atau dalam waktu damai seperti yang
didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional,
Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan
resolusi-resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) I1 Desember
1946 pengusiran dengan serangan bersenjata, atau
pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi,
yang diakibatkan dari kebijakan apartheid, dan kejahatan
genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap
Kejahatan Genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan
ini tidak merupakan pelanggaran terhadap
kejahatan-kejahatan itu dilakukan.
2) Pasal 2
Jikalau setiap dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan
dalam Pasal 1 dilakukan, maka ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi ini akan berlaku pada perwakilan-perwakilan dari
penguasa Negara Peserta dan individu-individu biasa yang,
sebagai pokok atau penyerta, ikut serta atau yang secara
langsung menghasut orang-orang lain untuk melakukan
setiap dari kejahatan-kejahatan ini , atau yang
bersekongkol melakukan kejahatan-kejahatan ini ,
dengan tidak menghiraukan tingkat penyelesaiannya, dan
pada perwakilan-perwakilan penguasa Negara Peserta yang
bersangkutan yang membiarkan dilakukannya kejahatan-
kejahatan ini .
3) Pasal 3
Para Negara Peserta Konvensi ini berusaha mengambil
semua tindakan domestik yang diperlukan legislatif atau
yang lain dengan tujuan mewujudkan pelaksanaan ekstradisi
terhadap orang-orang yang ditunjuk dalam Pasal 2 Konvensi
ini sesuai dengan hukum internasional.
4) Pasal 4
Para Negara Paserta Konvensi ini berusaha mengambil,
sesuai dengan proses-proses konstitusi mereka masing-
masing, tindakan-tindakan legislatif apa pun atau lainnya,
yang diperlukan untuk menjamin bahwa pembatasan-
pembatasan statuta atau yang lainnya tidak dapat berlaku
pada penuntutan dan penghukuman kejahatan-kejahatan
yang ditunjuk dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi ini dan bahwa,
jika ada, pembatasan-pembatasan ini harus
dihapuskan.
B. Konvensi tentang Penentuan Nasib Sendiri, Penduduk Asli,
dan Kelompok Minoritas
1. Deklarasi Tentang Pemberian Kemerdekaan Kepada
Negara-negara dan Bangsa-bangsa Jajahan
Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) 14 Desember 1960
Mengakui, bahwa bangsa-bangsa di dunia dengan hasrat
yang kuat mendambakan berakhirnya penjajahan dalam semua
manifestasi.
Meyakini bahwa semua rakyat memiliki hak yang
tidak dapat dipisahkan untuk menyempurnakan kebebasan,
pelaksanaan kedaulatan mereka dan integritas wilayah nasional
mereka.
Dengan khidmat menyatakan perlunya membawa ke suatu
pengakhiran penjajahan yang cepat dan tanpa syarat dalam
semua bentuk dan manifestasinya;
Dan untuk tujuan ini, menyatakan bahwa:
1) Menjadikan sasaran semua rakyat untuk penaklukan asing,
dominasi dan eksploitasi merupakan suatu pengingkaran
terhadap hak-hak asasi manusia yang sangat dasar, yaitu
bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan merupakan hambatan bagi peningkatan perdamaian dan
kerja sama dunia.
2) Semua rakyat berhak untuk menentukan nasib sendiri; dengan
dasar hak ini mereka dengan bebas menentukan status
politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan
ekonomi sosial dan kebudayaan mereka.
3) Kesiapan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan yang tidak
memadai harus sama sekali tidak pernah dipakai sebagai
dalih untuk penundaan kemerdekaan.
4) Semua tindakan bersenjata atau usaha -usaha penindasan
dari semua macam yang ditujukan terhadap bangsa-bangsa
jajahan harus dihentikan agar memungkinkan mereka
melaksanakan secara damai dan dengan bebas hak mereka
untuk menyempurnakan kemerdekaan, dan integritas
wilayah nasional mereka harus dihormati.
5) Langkah-langkah segera harus diambil, di wilayah-wilayah
Perwalian atau Tidak Berpemerintahan Sendiri atau semua
wilayah lain yang belum memperoleh kemerdekaan untuk
memindahkan semua kekuasaan kepada bangsa-bangsa
wilayah-wilayah ini , tanpa syarat apa pun, sesuai
dengan kemauan dan idaman mereka yang dinyatakan dengan
bebas tanpa pembedaan apa pun mengenai ras, keyakinan
atau warna kulit, agar susaha memungkinkan mereka untuk
menikmati kemerdekaan atau kebebasan yang sempurna
sempurna.
6) Usaha apa pun yang ditujukan pada kekacauan sebagian
ataupun total dan kesatuan nasional dan integritas teritorial
suatu negara yaitu bertentangan dengan tujuan-tujuan dan
asas-asas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
7) Semua Negara harus mentaati dengan setia dan sepenuhnya
ketentuan-ketentuan dari Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia,
dan Deklarasi ini atas dasar persamaan, tidak campur tangan
dalam urusan-urusan dalam negeri semua Negara, dan
penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan semua bangsa
dan integritas teritorial mereka.
2. Resolusi Majelis Umum 1803 (XVII), 14 Desember 1962
tentang “Kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam”
Menyatakan bahwa:
1) Hak bangsa dan negara atas kedaulatan pemanen pada
kekayaan dan sumber daya alam mereka harus dilaksanakan
demi kepentingan pembangunan nasional mereka dan demi
kesejahteraan penduduk negara yang bersangkutan.
2) Eksplorasi, pembangunan dan pengaturan sumber daya alam
dan juga impor modal asing yang dibutuhkan untuk tujuan-
tujuan ini, harus sesuai dengan peraturan-peraturan dan
syarat-syarat di mana bangsa-bangsa dan negara-negara
dengan bebas menganggap diperlukan atau diinginkan
mengenai pengizinan, pembatasan atau pelarangan - yang
telah disebutkan.
3) Dalam hal-hak jika pengizinan diberikan, modal yang
diimpor dan penghasilan-penghasilan pada modal itu harus
diatur dengan syarat-syarat mengenainya, dengan perundang-
undangan nasional yang berlaku, dan dengan hukum
internasional. Keuntungan-keuntungan yang dlperoleh harus
dibagi-bagi dalam proporsi-proporsi yang disepakati secara
bebas, dalam tiap-tiap kasus, antara para penanam modal dan
Negara penerima, perhatian yang semestinya diambil untuk
menjamin bahwa tidak ada perusakan, sebab alasan apa
pun, terhadap kedaulatan Negara atas kekayaan dan sumber
daya-sumber daya alamnya.
4) Nasionalisasi, perampasan atau pengambilalihan harus
didasarkan pada latar belakang atau alasan-alasan utilitas
umum, keamanan atau kepentingan nasional yang diakui
sebagai di atas kepentingan-kepentingan murni individu
atau pribadi, baik domestik maupun asing. Dalam kasus-
kasus ini kepada pemilik harus dibayarkan kompensasi
yang layak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku
di Negara yang mengambil tindakan-tindakan ini
dalam melaksanakan kedaulatannya dan sesuai dengan
hukum internasional. Dalam kasus apa pun jika masalah
kompensasi menimbulkan silang pendapat, yurisdiksi nasional
Negara yang mengambil tindakan-tindakan ini harus
dipakai secara maksimal mungkin. Namun demikian, atas
dasar persetujuan para Negara yang berdaulat dan pihak
lainnya yang bersangkutan, maka penyelesaian perselisihan
harus dilakukan melalui arbitrase atau pengadilan
internasional.
5) Pelaksanaan kedaulatan bangsa dan negara yang bebas dan
bermanfaat atas sumber daya alam mereka harus dimajukan
dengan saling menghormati para Negara yang didasarkan
pada persamaan kedaulatan mereka.
6) Kerja sama internasional untuk pengembangan ekonomi
negara-negara sedang berkembang, apakah dalam bentuk
penanaman modal umum atau swasta, pertukaran barang
dan pelayanan, bantuan teknik, atau pertukaran informasi
ilmu pengetahuan, harus sedemikian rupa untuk memajukan
pembangunan nasional mereka yang mandiri, dan harus
didasarkan atas penghormatan terhadap kedaulatan mereka
atas kekayaan dan sumber daya alam meteka.
7) Pelanggaran terhadap hak-hak bangsa dan negara atas
kedaulatan pada kekayaan dan sumber daya alam mereka
yaitu bertentangan dengan jiwa dan asas-asas Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menghalangi pengembangan
kerja sama internasional dan pemeliharaan perdamaian.
8) Persetujuan-persetujuan penanaman modal asing yang
dengan bebas dibuat oleh atau di antara para Negara berdaulat
harus ditaati dengan itikad baik; para Negara dan organisasi
internasional harus sepenuhnya dan dengan kesadaran
menghormati kedaulatan bangsa dan negara atas kekayaan
dan sumber daya alam mereka sesuai dengan Piagam dan
asas-asas yang dinyatakan dalam resolusi ini.
3. Konvensi Tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di
Negara-negara Merdeka
• BAGIAN I: Kebijakan Umum
Pasal 1
(1) Konvensi ini berlaku pada:
a. Penduduk suku di negara-negara merdeka yang
kondisi-kondisi sosial, budaya dan ekonominya
membedakan mereka dari warga nasional
lainnya dan yang statusnya diatur, secara keseluruhan
atau sebagian, dengan kebiasaan-kebiasaan atau
tradisi-tradisi mereka sendiri atau dengan undang-
undang atau peraturan khusus.
b. Penduduk di negara-negara merdeka, yang dianggap
sebagai asli berdasar keturunan mereka dari
penduduk yang menghuni negara itu, atau suatu
kawasan geografis di mana negara itu termasuk, pada
waktu penaklukan atau penjajahan atau pemberian
batas-batas negara yang sekarang dan dengan
mengabaikan status hukum mereka tetap menguasai
beberapa atau semua lembaga sosial, ekonomi, budaya
dan politik mereka sendiri.
(2) Identitas diri sebagai asli atau suku harus dianggap
sebagai kriteria dasar untuk menetapkan kelompok-
kelompok di mana ketentuan-ketentuan dalam Konvensi
ini berlaku.
(3) Penggunaan istilah “penduduk” dalam Konvensi ini tidak
dapat ditafsirkan sebagai memiliki implikasi apa pun
mengenai hak-hak yang mungkin melekat pada istilah itu
menurut hukum internasional.
• BAGIAN II: Tanah
(1) Dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan Bagian
dalam Konvensi ini, pemerintah harus menghormati
arti penting bagi kebudayaan dan nilai-nilai kejiwaan
para penduduk yang bersangkutan, mengenai hubungan
khusus mereka dengan tanah atau wilayah, atau bukan
saja sebagaimana dapat diberlakukan, yang mereka
tempati atau mereka gunakan untuk yang lain, namun
juga terutama aspek-aspek kolektif dari hubungan ini.
(2) Penggunaan Istilah “tanah” dalam Pasal-pasal 15 dan 16
mencakup pengertian wilayah, yang meliputi keseluruhan
lingkungan wilayah-wilayah di mana para penduduk yang
bersangkutan akan menempati atau memakai nya
untuk keperluan yang lain.
• BAGIAN III: Rekrutmen dan Syarat-syarat Perburuhan
Pasal 20 ayat 3:
Langkah-langkah yang diambil harus mencakup langkah-
langkah untuk menjamin:
a. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk
yang bersangkutan, termasuk para pekerja musiman,
sambilan, dan pendatang di bidang pertanian, dan
pekerjaan yang lain, dan juga mereka yang dipekerjakan
oleh kontraktor-kontraktor buruh, memperoleh
perlindungan yang diberikan oleh hukum nasional dan
mempraktekkan kepada para pekerja lain semacam
itu dalam sektor-sektor yang sama, dan bahwa mereka
sepenuhnya diberi informasi mengenai hak-hak mereka
menurut perundang-undangan perburuhan dan sarana-
sarana ganti rugi yang tersedia bagi mereka;
b. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk
ini tidak dijadikan sasaran syarat-syarat perburuhan yang
membahayakan kesehatan mereka, terutama melalui
pekerjaan yang berhadapan dengan pestisida atau zat-zat
beracun lain;
c. bahwa para pekerja yang termasuk penduduk-penduduk
ini tidak dijadikan sasaran dari sistem-sistem rekrutmen
yang dengan paksaan, termasuk buruh yang dijamin
dengan uang jaminan, dan bentuk-bentuk lain perbudakan
utang;
d. bahwa para pekerja yang termasak penduduk-penduduk
ini memperoleh kesempatan yang sama dan perlakuan
yang sama dalam pekerjaan untuk pria dan wanita dan
memperoleh perlindungan dari pelecehan seksual.
• BAGIAN IV: Pelatihan Kejuruan, Kerajinan Tangan dan
Industri Pedesaan
Pasal 21
Para anggota penduduk-penduduk yang bersangkutan
harus memperoleh kesempatan paling sedikit sama dengan
warga negara yang lain berkenaan dengan langkah-langkah
pelatihan kejuruan.
Pasal 22
(1) Langkah-langkah harus diambil untuk meningkatkan
partisipasi sukarela para anggota penduduk-penduduk
yang bersangkutan dalam program pelatihan kejuruan
yang berlaku umum.
(2) Setiap waktu, program-program pelatihan kejuruan
yang berlaku umum itu berlangsung tidak memenuhi
kebutuhan-kebutuhan khusus penduduk-penduduk yang
bersangkutan, maka pemerintah dengan partisipasi
penduduk-penduduk ini harus menjamin penyediaan
program-program dan fasilitas-fasilitas pelatihan khusus.
(3) Program-program pelatihan khusus apa pun harus
didasarkan pada kondisi-kondisi ekonomi, lingkungan,
sosial dan budaya, dan kebutuhan-kebutuhan praktis
penduduk-penduduk bersangkutan. Studi-studi apapun
yang dilakukan dalam hubungan .ini harus dilaksanakan
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk ini,
yang harus dikonsultasikan pada organisasi dan cara
bekerjanya program-program ini . jika layak,
penduduk-penduduk ini harus secara progresif memikul
tanggung jawab atas organisasi dan cara bekerjanya
progran-program pelatihan khusus ini , kalaupun
mereka memutuskan demikian.
• BAGIAN V: Jaminan Sosial dan Kesehatan
Pasal 24
Rencana Jaminan sosial harus diperluas secara progresif
untuk melindungi penduduk-penduduk yang bersangkutan,
dan diberlakukan tanpa diskriminasi terhadap mereka
• BAGIAN VI: Pendidikan dan Sarana-sarana Komunikasi
Pasal 30
(1) Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang
cocok dengan tradisi dan budaya penduduk-penduduk
yang bersangkutan, menjadikan mereka mengetahui hak-
hak dan kewajiban-kewajiban mereka, terutama mengenai
masalah buruh, kesempatan ekonomi, pendidikan dan
kesehatan, kesejahteraan sosial, dan hak-hak mereka
yang berasal dari Konvensi ini.
(2) Kalau perlu, langkah-langkah ini harus dikerjakan
dengan sarana-sarana terjemahan tenulis dan melalui
penggunaan komunikasi massa dalam bahasa penduduk-
penduduk ini.
• BAGIAN VII: Hubungan dan Kerja Sama Lintas Batas
Pasal 32
Para pemerintah harus mengambil langkah-langkah
yang tepat, termasuk dengan sarana persetujuan-persetujuan
internasional, untuk memberikan fasilitas hubungan dan
kerja sama di antara penduduk asli dan penduduk suku yang
melintasi perbatasan termasuk - di bidang ekonomi, sosial,
budaya, kejiwaan dan lingkungan.
• BAGIAN VIII: Administrasi
Pasal 33
(1) Penguasa pemerintah yang bertanggung jawab atas
masalah-masalah yang dicakup dalam Konvensi ini harus
menjamin bahwa ada badan-badan atau mekanisme-
mekanisme lain yang tepat untuk melaksanakan program-
program yang mempengaruhi penduduk-penduduk
yang bersangkutan, dan harus menjamin bahwa
mereka memiliki sarana-sarana yang diperlukan untuk
pemenuhan fungsi-fungsi yang tepat yang ditugaskan
pada mereka.
(2) Program-program ini akan mencakup:
a. perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk yang
bersangkutan, mengenai langkah-langkah yang
ditentukan dalam konvensiini;
b. pengusulan tindakan-tindakan legislatif dan langkah-
langkah yang lain pada para penguasa yang berwenang
dan pengawasan pada penerapannya yang diambil
dalam kerja sama dengan penduduk-penduduk yang
bersangkutan.
4. Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Termasuk
Kelompok Minoritas Bangsa atau Etnis, Agama dan Bahasa
Pasal 1
(1) Negara harus mendukung eksistensi dan identitas bangsa
atau etnis, budaya, agama dan bahasa dari kelompok
minoritas yang ada di dalam wilayah mereka masing-masing
dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk meningkatkan
identitas ini .
(2) Negara harus mengambil tindakan-tindakan legislatif dan
yang lain yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan ini .
Pasal 2
(1) Orang-orang yang termasuk dalam minoritas bangsa atau
etnis, agama dan bahasa (selanjutnya ditunjuk sebagai
orang-orang yang termasuk kelompok minoritas) memiliki
hak untuk menikmati kebudayaan mereka sendiri, untuk
menyatakan dan mengamalkan agama mereka sendiri dan
memakai bahasa mereka sendiri dalam lingkungan
pribadi dan umum, dengan bebas dan tanpa campur tangan
atau bentuk diskriminasi apa pun.
(2) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak ikut
serta secara efektif dalam kehidupan budaya, agama, sosial,
ekonomi dan publik.
(3) Orang-orang yang termasuk kalompok minoritas berhak ikut
serta secara efektif dalam keputusan-keputuaan pada tlngkat
nasional, dan jika tepat, pada tingkat regional mengenai
kelompok minoritas yang di dalamnya mereka termasuk, atau
wilayah-wilayah di mana mereka tinggal, dalam suatu cara
yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan.
(4) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak
mendirikan dan memelihara perhimpunannya sendiri.
(5) Orang-orang yang termasuk kelompok minoritas berhak
mendirikan dan memelihara, tanpa diskriminasi apa pun,
hubungan-hubungan yang bebas dan damai dengan para
anggota lain kelompok mereka, dengan orang-orang yang
termasuk kelompok-kelompok minoritas lain, dan juga
hubungan-hubungan yang melintasi perbatasan dengan
warga negara dari Negara lain di mana mereka dihubungkan
dengan ikatan-ikatan bangsa atau etnis, agama atau bahasa.
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Humor 26
Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah
Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan
Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program,
ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan
Menginstruksikan untuk:
Pertama: Menghentikan penggunaan istilah pribumi
dan nonpribumi dalam semua perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program,
ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan.
Kedua : Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada
seluruh warga negara lndonesia dalam penyelenggaraan
layanan pemerintahan, kewarga an dan
pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam
segala bentuk, sifat, serta tingkatan kepada warga
negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras,
maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan
ini .
Ketiga : Meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh
peraturan perundang-undangan, kebijakan, program,
dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan
dilaksanakan, termasuk antara lain dalam pemberian
layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan,
kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan
kerja dan penentuan gaji atau penghasilan, dan hak-
hak pekerja lainnya, sesuai dengan lnstruksi Presiden
ini.
Keempat: Para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-
Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
melakukan pembinaan dalam sektor dan wilayah
masing-masing terhadap pelaksanaan Instruksi
Presiden ini di kalangan dunia usaha dan warga
yang menyelenggarakan kegiatan atas dasar perizinan
yang diberikan ataas dasar kewenangan yang
dimilikinya.
Kelima : Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
mengkoordinasikan pelaksanaan instruksi ini di
kalangan para Menteri dan pejabat-pejabat lainnya
yang disebut dalam Instruksi Presiden ini.
C. Konvensi tentang Larangan Diskriminasi dan Perbudakan
1. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial
Konvensi ini disetujui dan terbuka untuk penandatanganan
dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21
Desember 1965. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa: Dalam
Konvensi ini istilah “diskriminasi rasial” berarti pembedaan,
pelanggaran, pembatasan atau penguatan apa pun yang
didasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul keturunan, bangsa
atau etnis yang memiliki tujuan atau akibat meniadakan
atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan
pada suatu tumpuan yang sama, akan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan dasar di setiap bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan umum yang
lain.
usaha -usaha dari Negara Peserta Konvensi ini untuk
mengutuk diskriminasi rasial ini tercantum dalam pasal
2 ayat 1 yaitu:
a. Berusaha untuk sama sekali tidak terlibat dalam tindakan
atau praktik diskriminasi rasial terhadap orang, kelompok
orang, atau lembaga dan untuk menjamin bahwa semua
penguasa Negara dan lembaga Negara, nasional dan lokal,
harus bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
b. Berusaha tidak mensponsori, mempertahankan atau
mendukung diskriminasi rasial oleh orang atau organisasi
mana pun;
c. Akan mengambil tindakan-tindakan yang efektif untuk
meninjau kembali kebijakan pemerintah, nasional
dan lokal, dan untuk mengamandemenkan, menunda
atau membatalkan undang-undang dan pengaturan-
pengaturan apa pun yang memiliki akibat menciptakan
atau mengabadikan diskriminasi rasial, di mana pun
berada;
d. Melarang dan mengakhiri dengan semua sarana yang
tepat termasuk perundang-undangan sebagaimana yang
dibutuhkan oleh keadaan, diskriminasi rasial oleh orang-
orang, kelompok atau organisasi apa pun;
e. Berusaha untuk mendorong, jika tepat, organisasi
pemersatu multirasial dan pergerakan-pergerakan dan
sarana-sarana lain yang menghapus hambatan-hambatan
di antara ras dan tidak mendorong apa pun yang cenderung
memperkuat pembagian ras.
Sebagai bagian dari realisasi usaha -usaha ini , maka
sesuai dengan muatan dari pasal 8 akan dibentuk sebuah Komite
yang terdiri dari 8 orang ahli berkepribadian moral tinggi dan
diakui kenetralannya (ayat 1) dan pemilihan pertama akan
dilangsungkan enam bulan sesudah berlakunya Konvensi ini (ayat
3) dan memangku jabatan selama 4 tahun (ayat 5).
2. Konvensi tentang Penindasan dan Penghukuman
Kejahatan Apartheid
Pengertian kejatan Apartheid dalam Konvensi ini
disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Para
Negara Peserta Konvensi ini menyatakan bahwa apartheid
yaitu suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan bahwa
perbuatan-perbuatan tidak manusiawi yang diakibatkan
dari kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik apartheid dan
kebijakan-kebijakan dan praktik serupa mengenai pemisahan
dan diskriminasi rasial, seperti yang didefinisikan dalam
pasal 11 Konvensi, merupakan kejahatan-kejahatan yang
melanggar asas-asas hukum internasional, terutama tujuan-
tujuan dan asas-asas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dan merupakan ancaman gawat terhadap perdamaian dan
keamanan internasional.
219---
Sementara dalam pasal 11 ayat 1 menyebutkan “perbuatan-
perbuatan yang disebutkan dalam pasal 2 Konvensi ini tidak
dapat dianggap sebagai kejahatan-kejahatan politik untuk
tujuan ekstradisi”. paraNegara Konvensi ini dalam kasus-
kasus ini berusaha memberikan ekstradisi sesuai dengan
perundang-undangan mereka dan perjanjian-perjanjian
internasional yang berlaku (ayat 2).
Untuk menangani kejahatan apartheid maka sesuai
dengan isi pasal 4 Konvensi ini, Negara Peserta berusaha:
a. Mengambil tindakan-tindakan legislatif apa pun atau
lainnya yang diperlukan untuk menumpas dan juga untuk
mencegah pendorongan apa pun terhadap kejahatan
apartheid dan kebijakan-kebijakan bersifat pemisahan
yang serupa atau manifestasi mereka dan untuk
menghukum orang-orang yang bersalah sebab kejahatan
ini ;
b. Mengambil tindakan-tindakan legislatif, yudisial
dan administratif untuk mengusut, mengajukan ke
Pengadilandan menghukum menurut yurisdiksi mereka
orang-orang yang bertanggung jawab, atau yang dituduh,
atas perbuatan-perbuatan yang didefinisikan dalam Pasal
2 Konvensi ini, apakah orang-orang ini bertempat
tinggal atau tidak bertempat tinggal di dalam wilayah
Negara di mana perbuatan-perbuatan ini dilakukan
atau merupakan warga negara dari Negara ini atau
dari beberapa Negara lain atau merupakan orang yang
tidak berkewarga negaraan.
3. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita
Konvensi ini disetujui dan terbuka untuk penandatanganan,
ratifikasi dan aksesi, dengan Resolusi Majelis Umum 34/180,
18 Desember 1979. Bagian I Pasal 1 menyebutkan bahwa:
Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, amaka istilah “Diskriminasi
terhadap wanita” akan berarti pembedaan, pengesampingan atau
pelanggaran apa pun, yangdibuat atas dasar jenis kelamin yang
220 ---
memiliki akibat atau tujuan mengurangi atau meniadakan
pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan oleh wanita, dengan
mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar
persamaan pria dan wanita, akan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau bidang lain apa pun.
usaha -usaha yang dilakukan oleh Negara Peserta Konvensi
ini antara lain disebutkan dalam Pasal 2 sebagai berikut:
a. memasukkan asas persamaan pria dan wanita ke dalam
konstitusi-konstitusi nasional mereka atau perundang-
undangan lain yang tepat jika belum dimasukkan ke dalamnya
dan menjamin, melalui hukum dan sarana-sarana lain yang
tepat, realisasi praktis dari asas ini;
b. mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang
tepat, termasuk sanksi-sanksi, jika tepat, yang melarang
semua diskriminasi terhadap wanita;
c. membentuk perlindungan hukum bagi hak-hak wanita
atas dasar yang sama dengan pria, dan menjamin melalui
pengadilan-pengadilan nasional yang berwenang dan lembaga-
lembaga pemerintah lainnya, perlindungan yang efektif bagi
wanita terhadap tindakan diskriminasi apa pun;
d. mengekang dari keterlibatan dalam perbuatan atau praktek
diskriminasi apa punterhadap wanita dan menjamin bahwa
para penguasa pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah
akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
e. mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapuskan
diskriminasi terhadap wanita oleh setiap orang, organisasi
atau perusahaan;
f. mengambil semua tindakan yang tepat, termasuk perundang-
undangan, untuk mengurangi atau menghapuskan undang-
undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan
praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi
terhadap wanita;
g. mencabut semua ketentuan hukum nasional yang merupakan
diskriminasi terhadap wanita.
221---
Beberapa pasal lainnya dalam Konvensi ini yang menjamin
hak-hak perempuan, antara lain:
a. kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat
internasional dan untuk mengambil bagian dalam tugas
khusus organisasi-organisasi internasional (Pasal 8)
b. hak untuk memperoleh, berganti atau mempertahankan
kewarga negaraan (Pasal 9 ayat 1) dan kewarga negaraan
anak-anak mereka (ayat 2).
c. dalam bidang pendidikan, negara memberikan jaminan
untuk karier dan bimbingan kejuruan, akses kekurikulum,
penghapusan konsep-konsep stereotif mengenai peran-peran
pria dan wanita, mendapatkan beasiswa, akses ke program-
program lanjutan, penurunan angka putus studi mahasiswa
wanita, aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani,dan
akses ke informasi pendidikan (pasal 10 poin a-h).
d. Dalam bidang Pekerjaan, hak-hak yang diberikan kepada
wanita yaitu hak atas pekerjaan, kriteria yang sama
dengan pria, bebas memilih profesi dan pekerjaan, hak
atas pengupahan yang sama, hak jaminan sosial terutama
dalam keadaan pensiun, menganggur, sakit, keadaan cacat,
dan usia lanjut, serta hak atas perlindungan kesehatan dan
keselamatan dalam syarat-syarat perburuhan (pasal 11 ayat
1). Selain itu wanita juga berhak untuk cuti hamil (ayat 2).
e. Dalam bidang perawatan kesehatan, Negara menjamin hak-
hak untuk pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan yang
berkaitan dengan keluarga berencana, kehamilan, persalinan
dan masa sesudah melahirkan, dan juga gizi yang memadai
selama kehamilan dan menyusui (pasal 12 ayat 1 dan 2).
f. Dalam bidang ekonomi dan sosial lain, agar dapat menjamin
persamaan antara pria dan wanita akan hak-hak yang sama,
maka negara memberikan hak atas kemanfaatan, pinjaman
bank, hipotik dan bentuk-bentuk kredit keuangan yang lain,
dan ikut serta dalam - reaksi, olahraga, dan semua aspek
budaya (pasal 13).
g. Negara juga akan memperhitungkan masalah-masalah
khusus yang dihadapi wanita-wanita pedesaan (pasal 14)
222 ---
yaitu hak atasikut serta dalam perluasan dan pelaksanaan
perencanaan pembangunan, kemudahan keperawatan
kesehatan, memperoleh kemanfaatan dari program jaminan
sosial, memperoleh pelatihan, pendidikan formal dan non-
formal, mengorganisir berbagai kelompok mandiri yang
bersifat kerjasama, ikut serta dalam warga , akses
kredit dan pinjaman pertanian, kemudahan pemasaran
dan teknologi, dan memperoleh kehidupan yang memadai
terutama dalam hubungannya dengan perumahan, sanitasi,
pemasokan listrik dan air, angkutan dan komunikasi.
h. Dalam bidang hukum, negara akan memberikan atas
persamaan di depan hukum, persoalan-persoalan sipil,
undang-undang yang berhubungan dengan perpindahan
orang-orang dan kebebasan untuk memilih kediaman di
tempat tinggal mereka (Pasal 15).
i. Dalam hal perkawinan, beberapa hak wanitas yang dijamin
oleh negara antara lain hak untuk mengikatkan diri dalam
perkawinan, bebas memilih suami/istri, hak dan tanggung
jawab selama perkawinannya dan waktu perceraiannya, hak
dan tanggung jawab sebagai orang tua, memutuskan secara
bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak
antara anak-anak mereka, dan memiliki akses informasi,
pendidikan, sarana-sarana untuk melaksanakan hak-hak itu,
hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan,
pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak-anak, hak
pribadi sebagai suami/istri mengenai pemilihan dan perolehan,
manajemen, administrasi, penikmatan dan pengaturam harta
kekayaan (pasal 16 ayat 1).
Maka dalam Pasal 17 (ayat 1) untuk tujuan mempertimbangkan
kemajuan yang dibuat dalam pelaksanaan Konvensi ini, harus
dibentuk suatu Komite tentang Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita yang dipilih dengan suara rahasia dari daftar
nama orang-orang yang dicalonkan oleh para Negara Peserta
(ayat 2). Pemilihan pertama dilangsungkan enam bulan sesudah
berlakunya Konvensi ini (ayat 3). Para Anggota Komite memangku
jabatan selama empat tahun (ayat 5).
223---
4. Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 14 Desember 1960 oleh
Konferensi Umum Organisai Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sesuai dengan muatan dari pasal 1 Konvensi ini, disebutkan
bahwa: Untuk tujuan Konvensi ini diskriminasi mencakup
pembedaan, pengesampingan, pembatasan, atau pengutamaan
apa pun, sebab didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan
atau sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran, memiliki tujuan
meniadakan atau mengurangi persamaan perlakuan dalam
pendidikan dan terutama:
a. Dari mencabut akses orang atau kelompok apa pun ke
pendidikan jenis apa pun atau pada tingkat apa pun;
b. Dari membatasai orang atau kelompok apa pun ke pendidikan
pada standar yang lebih rendah mutunya;
c. Tunduk pada ketentuan-ketentuan pasal 2 Konvensi ini, dari
membentuk atau memelihara sistem-sistem atau lembaga-
lembaga pendidikan yang terpisah bagi orang atau kelompok
orang; atau
d. Dari membebankan orang atau kelompok orang apa pun
kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan kemuliaan manusia.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Negara Peserta untuk
mencegah diskriminasi dalam pengertian ini seperti yang termuat
dalam pasal 3 antara lain:
a. Mencabut setiap pengaturan statuta dan setiap instruksi
administrasi dan untuk tidak melanjutkan setiap praktik
administratif yang melibatkan diskriminasi dalam bidang
pendidikan;
b. Menjamin, dengan perundang-undangan jika perlu,
bahwa tidak ada diskriminasi dalam penerimaan siswa pada
lembaga-lembaga pendidikan;
c. Tidak memperbolehkan perbedaan-perbedaan perlakuan
apa pun oleh para penguasa pemerintah di antara warga
224 ---
negara, kecuali atas dasar kegunaan atau kebutuhan dalam
pembayaran sekolah dan penerimaan beasiswa, atau bentuk-
bentuk bantuan yang lain kepada siswa dan izin-izin yang
diperlukan dan berbagai kemudahan untuk mengejar studi di
luar negeri;
d. Tidak memperbolehkan, dalam bentuk bantuan apa pun,yang
diberikan oleh para penguasan pemerintah kepada lembaga-
lembaga pendidikan, setiap pelarangan atau pengutamaan
yang didasarkan semata-mata pada alasan bahwa siswa
ini termasuk dalam suatu kelompok tertentu.
e. Memberikan kepada warga negara asing yang tinggal di dalam
wilayah mereka, akses yang sama ke pendidikan seperti yang
diberikan kepada warga negara mereka sendiri.
Selain itu, untuk mendukung dan menjamin penerapan pasal
1, dalam Pasal 5 (ayat 1) Konvensi ini, para Negara Peserta juga
menyepakati bahwa:
a. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kepribadian
manusia seutuhnya dan menguatkan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
dasar; pendidikan akan meningkatkan pengertian, toleransi
dan persahabatan antara semua bangsa, kelompok rasial
atau kelompok agama, dan lebih jauh - Perserikatan Bangsa-
Bangsa untuk pemeliharaan perdamaian;
b. Penting untuk menghormati kebebasan orang tua dan jika
dapat diterapkan, wali hukum, pertama-tama untuk memilih
bagi anak-anak mereka lembaga-lembaga selain yang dikelola
orang para penguasa pemerintah namun yang bersesuaian
dengan standar pendidikan minimum seperti yang mungkin
ditetapkan atau disetujui oleh para penguasa yang berwenang
dan, kedua, untuk menjamin dengan cara yang sesuai
dengan prosedur-prosedur yang diikuti dalam Negara untuk
penerapan perundang-undanga, pendidikan agama dan moral
anak-anak sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri dan
tidak seorang pun atau kelompok orang pun dapat dipaksa
menerima perintah agama yang bertentangan dengan
kepercayaannya atau kepercayaan mereka;
225---
c. Penting untuk mengakui hak para anggota warga negara
minoritas untuk melaksanakan - pendidikan mereka sendiri,
termasuk pengelolaan sekolah dan dengan bergantung pada
kebijakan pendidikan setiap Negara, penggunaan atau
pengajaran bahasa mereka sendiri, bagaimanapun juga
asalkan;
(i) Bahwa hak ini tidak di’aksanakan dalam cara yang
mencegah para anggota kelompok minoritas ini dari
memahami kebudayaan dan bahasa warga itu
sebagai keseluruhan dan mencegah dari ikut serta dalam
-nya, atau yang mempengaruhi kedaulatan nasional;
(ii) Bahwa standar pendidikan tidak lebih rendah daripada
standar umum yang ditetapkan atau disetujui oleh para
penguasa yang berwenang; dan
(iii) Bahwa kehadiran pada sekolah-sekolah ini
merupakan pilihan.
5. Protokol yang Membentuk Komisi Konsiliasi dan Jasa Baik
yang Bertanggung Jawab atas Pencarian Penyelesaian
Perselisihan Apapun yang Mungkin Timbul di Antara
Negara Peserta Konvensi Melawan Diskriminasi dalam
Pendidikan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 10 Desember 1962 oleh
Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mulai berlaku
pada tanggal 24 Oktober 1968. Pasal 1 Konvensi ini menyebutkan
bahwa: akan didirikan di bawah Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Komisi Konsoliasi dan Jasa Baik, selanjutnya disebut sebagai
“Komisi” yang bertanggung jawab mencari penyelesaian
perselisihan secara damai di antara Negara Peserta Konvensi
melawan Diskriminasi dalam Pendidikan, selanjutnya ditunjuk
sebagai Konvensi, selanjutnya di
Langganan:
Postingan
(
Atom
)