September 2023

Rabu, 13 September 2023

pencucian uang 1




































Tahapan TPPU
Pencucian uang yaitu  suatu tindakan yang 
dilakukan untuk menyembunyikan ataupun 
menyamarkan dana dari hasil tindak pidana 
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang 
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, 
dengan tujuan untuk menyembunyikan ataupun 
menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga 
seolah-olah berasal dari sumber yang sah. 
Pencucian uang pada umumnya dilakukan melalui 3 
(tiga) tahap, diantaranya yaitu:
1. Penempatan (placement)
yaitu  upaya menempatkan dana yang 
berasal dari hasil tindak pidana ke dalam sistem 
keuangan atau lembaga yang terkait dengan 
keuangan. Tahap penempatan yaitu  
tahap pertama dalam proses pemisahan harta 
kekayaan hasil tindak pidana dari sumber tindak 
pidananya.
2. Pemisahan/pelapisan (layering)
yaitu  upaya memisahkan hasil tindak 
pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap 
transaksi keuangan untuk menyembunyikan 
atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam 
kegiatan ini ada  proses pemindahan dana 
dari beberapa rekening atau lokasi tertentu ke 
tempat lain melalui serangkaian transaksi yang 
kompleks dan didesain untuk menyamarkan 
dan menghilangkan jejak sumber dana ini .
3. Penggabungan (integration)
yaitu  upaya memakai harta 
kekayaan hasil tindak pidana yang telah 
ditempatkan (placement) dan atau dilakukan 
pelapisan (layering) yang tampak sebagai 
harta kekayaan yang sah dan dipakai  untuk 
kegiatan bisnis yang halal atau membiayai 
kembali kegiatan kejahatannya. Tahapan 
integrasi ini yaitu  tahapan terakhir dari 
operasi pencucian uang yang lengkap sebab  
memasukkan hasil tindak pidana ini 
kembali ke dalam kegiatan ekonomi yang sah. 
Dengan demikian pelaku tindak pidana dapat 
leluasa memakai harta kekayaan hasil 
kejahatannya tanpa menimbulkan kecurigaan 
dari penegak hukum untuk melakukan 
pemeriksaan. 
Meskipun demikian, dalam praktiknya pencucian 
uang tidak harus terdiri dari ketiga tahap ini .
2.1.2. Tahapan TPPT
Pendanaan terorisme yaitu  segala perbuatan 
dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, 
memberikan, atau meminjamkan dana, baik 
langsung maupun tidak langsung, dengan maksud 
untuk dipakai  dan/atau yang diketahui akan 
dipakai  untuk melakukan kegiatan terorisme, 
organisasi teroris, atau teroris. Adapun yang 
termasuk dalam TPPT diatur dalam Pasal 4 sampai 
dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan 
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. TPPT pada 
umumnya memiliki beberapa tahap diantaranya 
yaitu:
1. Tahap pengumpulan dana (collecting)
yaitu  upaya mengumpulkan, 
menyediakan, dan memberikan dana untuk 
melakukan tindak pidana terorisme, organisasi 
terorisme, atau teroris. Tahap pengumpulan 
dana ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, 
diantaranya yaitu:�a. Donasi kepada kelompok teror
Donasi kepada kelompok teror ini dapat 
dilakukan oleh para anggota yang tidak 
berkaitan langsung dengan kelompok teror, 
diberikan secara langsung dan tunai kepada 
kelompok teror dalam jumlah yang kecil, 
atau dilakukan dengan kedok sebagai amal 
untuk menarik simpatisan di luar kelompok 
teror. Adapun dana ini sebagian besar 
berasal dari hasil yang legal. 
b. Pendanaan sendiri (Self-Funding)
Sumber dana berasal dari hasil usaha, 
pendapatan, dan hasil penjualan harta milik 
para anggota kelompok teror. E-commerce
juga rentan dipakai  oleh para anggota 
dan simpatisan kelompok teror untuk 
melakukan kegiatan usaha secara online. 
Pada pendanaan sendiri, sebagian besar 
dana diperoleh dalam bentuk uang tunai. 
c. Pendanaan Melalui Media Sosial
Perkembangan media sosial dan 
mudahnya pembuatan akun media sosial 
memungkinkan pemanfaatan media sosial 
untuk menyebarkan pesan pengumpulan 
dana kepada warga  di dalam dan 
luar negeri. Adapun penggunaan media 
sosial untuk pengumpulan dana dapat 
berafiliasi dengan Non Profit Organization 
(NPO) tertentu dan cenderung ditujukan 
ke rekening pribadi pelaku. Penggunaan 
media sosial terenkripsi telah terbukti 
dipakai  untuk menyampaikan pesan 
untuk melakukan serangan, rekrutmen, 
pengumpulan dana, dan kegiatan 
operasional lainnya.
2. Tahap pemindahan dana (moving)
yaitu  upaya memindahkan dana yang 
sebelumnya telah dikumpulkan. Tahap 
pemindahan dana ini dapat dilakukan dengan 
berbagai cara, diantaranya yaitu:
a. Pembawaan uang tunai
Transaksi tunai masih tergolong tinggi 
dipakai  untuk aksi pendanaan terorisme 
sebab  tidak memiliki jejak kepemilikan 
dan sulitnya pengecekan terhadap 
pembawaan uang tunai. Uang tunai dalam 
praktik terorisme ini seringkali dipakai  
dalam aksi pemberian donasi. Selain itu, 
uang tunai mudah dibawa ke dalam dan 
luar negeri, serta ditukarkan ke mata uang 
lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan 
aksi terorisme. Penggunaan uang tunai juga 
mempersulit analisis aliran dana. 
b. Penggunaan PTD Berizin Selain Bank
Penggunaan PTD Selain Bank untuk 
memindahkan dana terorisme tergolong 
berisiko tinggi. ini  sebab  layanannya 
mudah, cepat, serta jangkauannya luas 
hingga ke daerah terpencil dan di berbagai 
belahan dunia. Penggunaan PTD Berizin 
Selain Bank untuk pendanaan aksi 
terorisme dilakukan oleh pihak-pihak yang 
namanya tidak tercantum dalam daftar 
terduga teroris. ini  mempersulit proses 
identifikasi transaksi. 
c. Penggunaan Layanan Perbankan
Layanan perbankan dipakai  dalam 
aksi terorisme sebab  jangkauannya 
yang luas sampai ke daerah terpencil dan 
produk yang beragam. Rekening tabungan 
yaitu  produk yang paling banyak 
dipakai  sebab  dapat dipakai  untuk 
menampung dan memindahkan dana. 
Dalam rangka menghindari aparat penegak 
hukum, pelaku seringkali memakai 
rekening keluarga, rekening pihak ketiga, 
rekening pinjaman, ataupun rekening yang 
dibeli untuk bertransaksi. Selain itu, pelaku 
pendanaan terorisme juga memakai 
layanan perbankan sebab  transaksi yang 
dilakukan relatif kecil dan sumber dana 
berasal dari hasil yang legal.�3. Tahap penggunaan dana (using)
yaitu  upaya memakai dana yang 
sebelumnya telah dikumpulkan baik seluruhnya 
atau sebagian untuk mendukung pelaksanaan 
tindak pidana terorisme, organisasi terorisme, 
atau teroris. Tahap ini dapat dilakukan dengan 
berbagai cara diantaranya yaitu:
a. Pembelian Senjata dan Bahan Peledak
Dalam rangka melancarkan aksinya, para 
pelaku teror membutuhkan senjata dan 
bahan peledak. Dalam ini , pengadaan 
senjata dilakukan dengan membeli senjata 
di dalam dan luar negeri melalui penjual 
gelap, atau dengan merakit senjata 
ini . Senjata yang dibeli di luar negeri 
akan diselundupkan masuk ke wilayah 
Indonesia melalui jalur perbatasan yang 
tidak resmi. Selain itu, pembelian bahan�bahan peledak juga dilakukan melalui toko 
kimia baik secara langsung maupun online, 
yang dilakukan secara bertahap. Adapun 
risiko pembuatan bahan peledak ini dapat 
terjadi sebab  kurangnya pembatasan 
dan pengawasan pembelian bahan-bahan 
kimia.
b. Mobilitas Anggota Teror dan Perjalanan 
Foreign Terrorist Fighter (FTF)
Dalam mendukung aksi terorisme, 
dibutuhkan dana untuk mobilitas dari 
suatu tempat ke tempat lainnya. Biaya 
untuk mobilitas dapat bersumber dari 
pendanaan sendiri ataupun berasal dari 
anggota kelompok jaringan terorisme. 
Penggunaan dana untuk mobilitas anggota 
kelompok teror sebagian besar untuk 
memberangkatkan anggota untuk menjadi 
pejuang teroris asing. Pada umumnya, dana 
ini dipakai  untuk membeli tiket 
transportasi dari atau ke negara konflik, 
serta untuk mengurus dokumen perjalanan.
c. Pelatihan Perang
Dalam rangka mendukung kegiatan aksi 
terorisme, dibutuhkan pelatihan terhadap 
fisik, mental, dan taktik bagi para pelaku 
teror. Dalam ini , dana yang bersumber 
dari pendanaan sendiri, ataupun sumber 
lainnya, akan dipakai  untuk membiayai 
kegiatan pelatihan perang. Pelatihan 
perang secara fisik dibutuhkan untuk 
dapat mengembangkan dan meningkatkan 
kemampuan taktik perang, baik dalam 
melakukan serangan maupun untuk 
menyelamatkan diri. Pelatihan perang ini 
umumnya dilakukan secara tersembunyi 
dan di tempat tertutup, sehingga sulit 
dijangkau oleh aparat penegak hukum dan 
warga .
2.1.3. Tahapan PPSPM
PPSPM yaitu  tindakan menyediakan dana 
dengan maksud untuk dipakai  seluruhnya atau 
sebagian untuk manufaktur, akuisisi, kepemilikan, 
pengembangan, ekspor, perantara, pengangkutan, 
pemindahan, penimbunan atau penggunaan 
senjata nuklir, bahan kimia, atau senjata biologis 
serta sarana dan materi terkait yang bertentangan 
dengan hukum nasional atau ketentuan hukum 
internasional. Pada umumnya, tahapan PPSPM 
terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu:
a. Pengumpulan dana (fund raising)
yaitu  upaya pengumpulan dana 
melalui anggaran domestik, yang dapat 
juga dilengkapi dengan pengumpulan dana 
yang dilakukan oleh jaringan di luar negeri 
atau oleh aktivitas kriminal.
b. Menyamarkan dana (disguising the 
funds)
yaitu  upaya memindahkan dana 
ke sistem keuangan internasional, 
yang seringkali melibatkan transaksi 
internasional untuk tujuan perdagangan. �Pengadaan bahan dan teknologi 
(procurement)
yaitu  upaya memakai dana 
dalam sistem keuangan internasional 
untuk pengadaan bahan dan teknologi yang 
dibutuhkan untuk melaksanakan program 
proliferasi dan senjata pemusnah massal.
2.2. Jenis TPPU, TPPT dan PPSPM
2.2.1. Jenis-Jenis TPPU
Pada umumnya, TPPU dapat dikategorikan 
menjadi beberapa jenis. berdasar penyusunan 
dakwaannya, TPPU disebut sebagai Stand-Alone 
Money Laundering. Disebut demikian sebab  TPPU 
pada dasarnya yaitu  tindak pidana lanjutan 
dari suatu tindak pidana asal. Namun, TPPU ini 
diartikan sebagai tindak pidana yang berdiri 
sendiri dengan mengacu pada penuntutan tindak 
pidana pencucian uang secara tunggal, tanpa 
harus menuntut tindak pidana asal. Dalam ini , 
penyusunan dakwaan TPPU dapat dijadikan satu 
berkas dengan tindak pidana asalnya ataupun 
dipisah dengan tindak pidana asalnya. ini  
dianggap relevan sebab :
1. ada  kemungkinan tidak adanya cukup 
bukti dari tindak pidana asal tertentu yang 
menimbulkan hasil kejahatan; atau 
2. Dalam situasi dimana ada  kekurangan 
pada wilayah hukum atas terjadinya tindak 
pidana asal. Harta kekayaan yang diperoleh dari 
tindak pidana kemungkinan telah dicuci oleh 
terdakwa (self-laundering) atau oleh pihak 
ketiga (third party money laundering).
Lebih lanjut, berdasar hubungan dengan pelaku 
tindak pidana asal, TPPU dapat dikategorikan 
sebagai berikut:
1. Self-Laundering, yaitu pencucian uang yang 
dilakukan oleh orang yang terlibat dalam 
perbuatan tindak pidana asal.
2. Third Party Money Laundering, yaitu pencucian 
uang yang dilakukan oleh orang yang tidak 
terlibat dalam perbuatan tindak pidana asal.
Sementara itu, berdasar tempat terjadinya, 
ada  TPPU yang dikenal dengan istilah Foreign 
Money Laundering. Foreign Money Laundering ini 
yaitu  pencucian uang yang dilakukan di luar 
yurisdiksi dari tempat terjadinya tindak pidana asal. 
ini  dilakukan untuk menyulitkan aparat penegak 
hukum dalam menelusuri hasil tindak pidana.
Di Indonesisa, TPPU telah diatur dalam Undang�Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 
Dalam UU ini, TPPU dibedakan menjadi:
a. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif
TPPU aktif yaitu  jenis pencucian 
uang dimana adanya perbuatan aktif untuk 
menyembunyikan dan menyamarkan harta 
kekayaan hasil tindak pidana. Ketentuan 
mengenai TPPU aktif diatur dalam Pasal 3 dan 
Pasal 4 UU TPPU.
b. Tindak Pidana Pencucian Pasif
TPPU pasif yaitu  jenis pencucian uang 
dimana tidak adanya perbuatan aktif untuk 
menyembunyikan dan menyamarkan harta 
kekayaan hasil tindak pidana. Ketentuan 
mengenai TPPU pasif diatur dalam Pasal 5 ayat 
(1) UU TPPU.
2.2.2. Jenis-Jenis TPPT
Pada dasarnya praktik TPPT terdiri atas beberapa 
kategori, diantaranya:
1. Pengumpulan dana – legal: Sponsor pribadi 
(terrorist financier/fundraiser)
Pengumpulan dana yang dilakukan secara legal 
dengan melakukan kegiatan penggalangan 
dana melalui sponsor.
2. Pengumpulan dana – legal: penyimpangan 
pengumpulan donasi melalui ormas 
Pengumpulan dana yang dilakukan secara legal 
dengan melakukan kegiatan pengumpulan 
donasi melalui organisasi kewarga an 
(ormas).�3. Pengumpulan dana – legal: usaha bisnis yang 
sah
Pengumpulan dana yang dilakukan secara legal 
dengan membentuk suatu perusahaan atau 
bisnis yang sah yang dijadikan sebagai media 
untuk mengumpulkan dana.
4. Pengumpulan dana – legal: pendanaan 
crowdfunding
Pengumpulan dana yang dilakukan secara legal 
dengan memanfaatkan financial technology, 
yaitu melalui pendanaan crowdfunding.
5. Pengumpulan dana – legal: pendanaan 
mandiri (selain dari usaha bisnis)
Pengumpulan dana yang dilakukan secara 
legal yaitu dengan melakukan kegiatan 
penggalangan dana atau pendanaan yang 
dilaksanakan secara mandiri.
6. Pengumpulan dana – ilegal: hasil kegiatan 
kriminal lainnya
Pengumpulan dana yang dilakukan secara 
ilegal yaitu dengan memperoleh dana melalui 
hasil tindakan kriminal.
7. Pengumpulan dana – ilegal: pemerasan
Pengumpulan dana yang dilakukan secara 
ilegal yaitu dengan melakukan pemerasan 
kepada pihak tertentu untuk memperoleh dana.
8. Pengumpulan dana – ilegal: eksploitasi 
sumber daya alam secara ilegal
Pengumpulan dana yang dilakukan secara 
ilegal yaitu dengan melakukan kegiatan 
eksploitasi sumber daya alam secara melawan 
hukum.
9. Pengumpulan dana – ilegal: penculikan 
dengan tebusan
Pengumpulan dana yang dilakukan secara 
ilegal yaitu melakukan penculikan dengan 
disertai tindakan meminta tebusan, dimana 
dana tebusan akan dikumpulkan untuk 
pendanaan kegiatan terorisme.
10. Pemindahan dana: melalui penyedia jasa 
keuangan
Dana yang telah dikumpulkan dipindahkan 
dengan memakai layanan jasa keuangan.
11. Pemindahan dana: melalui pembawaan uang 
tunai lintas batas
Dana yang telah dikumpulkan dipindahkan 
melalui tindakan pembawaan uang tunai lintas 
batas negara.
12. Pemindahan dana: memakai metode 
pembayaran baru
Dana yang telah dikumpulkan dipindahkan 
melalui metode pembayaran baru. 
13. Pemindahan dana: melalui penyedia barang 
dan jasa
Dana yang telah dikumpulkan dipindahkan 
dengan memanfaatkan layanan penyedia 
barang dan jasa.
14. Pemindahan dana: melalui profesi
Dana yang telah dikumpulkan dipindahkan 
dengan memanfaatkan profesi tertentu.
15. Penggunaan dana: Operasi terorisme 
domestik – pembelian senjata dan bahan 
peledak
Dana dipakai  untuk kegiatan terorisme yang 
bersifat domestik, dengan membeli senjata dan 
bahan peledak.�
6. Penggunaan dana: Pelatihan – pembuatan 
senjata dan bahan peledak
Dana dipakai  untuk membiayai kegiatan 
pelatihan, berupa pembuatan senjata dan 
bahan peledak.
17. Penggunaan dana: Pelatihan – penggunaan 
senjata dan bahan peledak
Dana dipakai  untuk membiayai kegiatan 
pelatihan, yaitu untuk penggunaan senjata dan 
bahan peledak.
18. Penggunaan dana: Operasi terorisme 
domestik – perjalanan dari dan ke lokasi aksi 
terorisme
Dana dipakai  untuk membiayai kegiatan 
terorisme dalam lingkup domestik, yaitu untuk 
perjalanan dari dan ke lokasi aksi terorisme.
19. Penggunaan dana: Operasi Terorisme luar 
negeri – perjalanan pejuang teroris asing
Dana dipakai  untuk membiayai kegiatan 
terorisme di luar negeri, yaitu untuk perjalanan 
pejuang teroris asing.
20. Penggunaan dana: Gaji dan kompensasi 
anggota kelompok terorisme – santunan 
kepada anggota yang masuk penjara atau 
meninggal
Dana dipakai  untuk membiayai operasional 
kelompok terorisme, seperti untuk membayar 
gaji dan kompensasi, serta untuk memberikan 
santunan kepada anggota kelompok yang 
masuk penjara atau meninggal.
21. Penggunaan dana: gaji dan kompensasi 
anggota kelompok
Dana dipakai  untuk membiayai operasional 
kelompok terorisme yaitu untuk membayar gaji 
dan kompensasi kepada anggota kelompok.
22. Penggunaan dana: Operasi terorisme 
domestik – biaya hidup dasar (Pangan, Papan, 
Biaya Medis)
Dana dipakai  untuk kegiatan terorisme 
dalam lingkup domestik, yaitu untuk membiayai 
kebutuhan dasar hidup sehari-hari, seperti 
pangan, papan, dan biaya medis.
23. Penggunaan dana: Propaganda dan 
perekrutan – pembuatan dan pemeliharaan 
akun di media sosial
Dana dipakai  untuk membiayai aktivitas 
propaganda dan perekrutan anggota, yaitu 
untuk pembuatan dan pemeliharaan akun di 
media sosial.
24. Penggunaan dana: Pelatihan – ideologi
Dana dipakai  untuk kegiatan pelatihan, yaitu 
untuk kegiatan menanamkan ideologi kelompok 
terorisme.
25. Penggunaan dana: Operasi terorisme 
domestik – dokumen identitas palsu
Dana dipakai  untuk kegiatan terorisme 
dalam lingkup domestik, yaitu berupa 
pembuatan dokumen identitas palsu.
26. Penggunaan dana – propaganda dan 
perekrutan – pembuatan dan pemeliharaan 
situs web 
Dana dipakai  untuk kegiatan propaganda 
dan perekrutan anggota kelompok terorisme, 
yaitu berupa kegiatan pembuatan dan 
pemeliharaan situs web. 
27. Penggunaan dana: Pelatihan – Pelatihan 
virtual/online
Dana dipakai  untuk kegiatan pelatihan 
anggota kelompok terorisme yang dilakukan 
secara virtual/online.�
28. Penggunaan dana: operasi terorisme 
domestik – pembelian dan perawatan 
kendaraan atau mesin
Dana dipakai  untuk kegiatan terorisme 
dalam lingkup domestik, yaitu berupa 
pembelian dan perawatan kendaraan atau 
mesin yang dipakai  dalam aksi terorisme.
29. Penggunaan dana: biaya kurir (pengiriman 
pesan, uang)
Dana dipakai  untuk biaya kurir dalam 
kegiatan pengiriman pesan atau uang.
30. Penggunaan dana: pelatihan komunikasi 
rahasia/sandi
Dana dipakai  untuk membiayai kegiatan 
pelatihan komunikasi rahasia/sandi bagi 
kelompok terorisme.
31. Penggunaan dana: propaganda dan 
perekrutan – pembuatan majalah/koran
Dana dipakai  untuk kegiatan propaganda 
dan perekrutan anggota kelompok terorisme, 
yaitu berupa pembuatan majalah/koran.
32. Penggunaan dana: propaganda dan 
perekrutan – media promosi lainnya (televisi, 
radio)
Dana dipakai  untuk kegiatan propaganda 
dan perekrutan anggota kelompok terorisme 
yaitu berupa pembiayaan media promosi 
seperti televisi dan radio.
33. Penggunaan dana: pelatihan – pembangunan 
lokasi pelatihan
Dana dipakai  untuk kegiatan pelatihan, yaitu 
dalam rangka membiayai pembangunan lokasi 
pelatihan.
2.2.3. Jenis-Jenis PPSPM
Pada umumnya PPSPM memiliki karakteristik 
sebagai berikut:
1. Beroperasi secara global dan mengeksploitasi 
negara-negara dengan kontrol ekspor dan 
keuangan yang lemah.
2. Penggunaan sistem keuangan formal, namun 
juga memungkinkan penggunaan sarana 
informal dan uang tunai.
3. Pembelian barang sensitif proliferasi melalui 
pasar terbuka.
4. Penggunaan perusahaan cangkang (shell 
company) dan perantara perdagangan untuk 
menyamarkan penggunaan akhir dan pengguna 
akhir pengadaan yang sebenarnya.�





Indonesia sebagai bagian dari warga  dunia 
bersikap terbuka dalam menjalin hubungan 
dengan negara lain, termasuk keterbukaan lalu 
lintas keuangan antar negara yang memberikan 
kemudahan dalam bertransaksi. ini  tentunya 
memiliki dampak positif dari sisi perekonomian, 
namun demikian tidak dapat dipungkuri bahwa 
ini  juga menimbulkan risiko terhadap 
sistem keuangan Indonesia. Adapun risiko yang 
dimaksud berkaitan dengan praktik Tindak 
Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana 
Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pendanaan 
Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM). 
Keterbukaan akses untuk bertransaksi dapat 
dengan mudah disalahgunakan oleh orang-orang 
yang tidak bertanggung jawab dalam mendukung 
aksi kejahatannya. Lebih lanjut, permasalahan 
kurangnya koordinasi dan sosialisasi antar 
lembaga, lemahnya pengawasan dan penegakan 
hukum, serta sulitnya proses identifikasi terhadap 
identitas dan asal usul dana hasil kejahatan, 
menjadi faktor yang mempermudah pelaku dalam 
melancarkan aksinya. 
Tindak pidana pencucian uang, pendanaan 
terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata 
pemusnah massal pada akhirnya dapat 
mengancam stabilitas perekonomian, integritas 
sistem keuangan, serta membahayakan sendi�sendi kehidupan berwarga , berbangsa, dan 
bernegara. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia 
berkomitmen penuh untuk mendukung langkah�langkah Pemerintah Republik Indonesia dalam 
pencegahan TPPU, TPPT, serta PPSPM melalui 
peran Bank Indonesia sebagai Lembaga Pengawas 
dan Pengatur (LPP) sesuai ketentuan perundang�undangan terkait TPPU dan TPPT, serta selaku 
anggota Komite Koordinasi Nasional Pencegahan 
dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU). Dalam 
konteks ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, 
memberikan dan mencabut izin, melaksanakan 
pengawasan, serta mengenakan sanksi terhadap 
Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) Lembaga 
Selain Bank dan Kegiatan Usaha Penukaran 
Valuta Asing (KUPVA) Bukan Bank yang berada di 
bawah kewenangan Bank Indonesia. Komitmen 
Bank Indonesia dalam pencegahan TPPU, TPPT, 
dan PPSPM juga diwujudnyatakan dalam Visi 
ke-4 Blueprint Sistem Pembayaran 2025 yaitu 
menjamin keseimbangan antara inovasi dengan 
perlindungan konsumen, integritas dan stabilitas 
serta persaingan usaha yang sehat melalui 
penerapan prinsip Know Your Customer (KYC) serta 
Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan 
Terorisme (APU PPT), kewajiban keterbukaan 
data/ informasi/bisnis publik, serta penerapan 
Regulatory Technology (Regtech) dan Supervisory 
Technology (Suptech) dalam kewajiban pelaporan, 
regulasi dan pengawasan. 
Dalam rezim upaya pencegahan dan 
pemberantasan TPPU, TPPT, dan PPSPM di 
Indonesia, Bank Indonesia selaku LPP serta 
penyelenggara di bawah pengaturan dan 
pengawasan Bank Indonesia memiliki kewajiban 
untuk menjaga industri sistem pembayaran 
termasuk KUPVA Bukan Bank agar tidak menjadi 
sarana dan sasaran bagi pelaku pencucian uang, 
pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi 
senjata pemusnah massal. Namun demikian, dalam 
perkembangannya, modus TPPU, TPPT, dan PPSPM 
semakin kompleks dan semakin variatif. Oleh 
sebab  itu, sebagai salah satu langkah mitigasi, 
diperlukan suatu panduan yang diharapkan dapat 
memberikan gambaran mengenai modus/tipologi 
yang dilakukan oleh para pelaku TPPU, TPPT, dan 
PPSPM di sektor sistem pembayaran. Dalam ini  
Bank Indonesia melakukan penyusunan analisis 
tipologi TPPU, TPPT, dan PPSPM dengan basis data 
berupa putusan pengadilan atas perkara TPPU, 
TPPT, dan PPSPM yang melibatkan penyelenggara 
di bawah kewenangan Bank Indonesia. Penelitian 
ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam 
mitigasi potensi risiko TPPU, TPPT, dan PPSPM oleh 
penyelenggara yang berada di bawah pengaturan 
dan pengawasan Bank Indonesia. �Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu  
sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik dari masalah -masalah  
TPPU, TPPT, dan PPSPM berdasar putusan 
pengadilan atas perkara TPPU, TPPT, dan 
PPSPM yang melibatkan PJP Lembaga Selain 
Bank dan KUPVA Bukan Bank selama periode 
tahun 2015-2020?
2. Bagaimana tipologi dari masalah -masalah  TPPU, 
TPPT, dan PPSPM yang melibatkan PJP 
Lembaga Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank 
berdasar putusan pengadilan selama 
periode tahun 2015-2020?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu  sebagai 
berikut:
1. Mengetahui karakteristik profil pengguna 
jasa (perorangan dan badan usaha), wilayah, 
produk dan layanan, serta delivery channel
berdasar putusan pengadilan atas perkara 
TPPU, TPPT, dan PPSPM yang melibatkan PJP 
Lembaga Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank 
selama periode 2015-2020.
2. Mengetahui tipologi dari masalah -masalah  TPPU, 
TPPT, dan PPSPM yang melibatkan PJP Lembaga 
Selain Bank dan KUPVA Bukan Bank yang sudah 
diputus pengadilan selama periode 2015-2020.�


Profil Penyelenggara Media 
TPPU,TPPT, dan PPSPM
A. Profil Penyelenggara Media TPPU
berdasar data putusan pengadilan TPPU 
tahun 2015-2020, profil penyelenggara yang 
dominan dijadikan media pencucian uang 
yaitu  “KUPVA Bukan Bank”. Dari total 24 
(dua puluh empat) masalah  TPPU, ada  22 
(dua puluh dua) masalah  TPPU yang terjadi di 
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Sementara 
itu, 2 (dua) masalah  lainnya terjadi di PTD Bukan 
Bank. Adapun tren putusan TPPU berdasar 
jenis penyelenggara yang menjadi media 
pencucian uang sebagaimana pada tabel 
berikut:
Tabel 3.1. Tren Putusan TPPU berdasar Jenis 
Penyelenggara
Tabel 3.2. Tren Putusan TPPT berdasar Jenis 
Penyelenggara
Sumber: PPATK, Diolah
Sumber: PPATK, Diolah
Profil 
Penyelenggara
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
KUPVA Bukan 
Bank 2 4 4 8 4
PTD Bukan 
Bank 1 1
Profil 
Penyelenggara
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
KUPVA Bukan 
Bank 1 1 1
PTD Bukan 
Bank 1 1 1 1
B. Profil Penyelenggara Media TPPT
berdasar data putusan pengadilan TPPT 
tahun 2015-2020, profil penyelenggara yang 
dominan dijadikan media pendanaan terorisme 
yaitu  “PTD Bukan Bank”. Dari total 5 (lima) 
masalah  TPPT, ada  4 (empat) masalah  TPPT 
yang terjadi di PTD Bukan Bank. Sementara 
itu, 3 (tiga) masalah  terjadi di Penyelenggara 
KUPVA Bukan Bank. Adapun tren putusan TPPT 
berdasar jenis penyelenggara yang menjadi 
media pendanaan terorisme sebagaimana pada 
tabel berikut:
Sementara itu, berdasar data putusan 
pengadilan tahun 2015-2020 belum ditemukan 
adanya masalah  terkait PPSPM.
3.1.2.Profil Pelaku Perorangan TPPU, 
TPPT, dan PPSPM
A. Profil Pelaku Perorangan TPPU
berdasar data putusan pengadilan TPPU 
tahun 2015-2020, profil pekerjaan pelaku 
pencucian uang yang dominan yaitu  
“Pengusaha/Wiraswasta”. Dari total 24 
(dua puluh empat) masalah  TPPU, ada  16 
(enam belas) orang pelaku perorangan yang 
berprofesi sebagai Wiraswasta. Sementara 
itu, profil pekerjaan lainnya yaitu  Pegawai 
Swasta sebanyak 7 (tujuh) orang; PNS, Pejabat 
Pemerintahan, dan lainnya dengan masing�masing sebanyak 2 (dua) orang; serta Ibu 
Rumah Tangga, Pegawai Money Changer, dan �

Pengajar dengan masing-masing sebanyak 
1 (satu) orang. Adapun tren putusan TPPU 
berdasar profil pelaku perorangan 
sebagaimana pada tabel berikut:
B. Profil Pelaku Perorangan TPPT
berdasar data putusan pengadilan TPPT 
tahun 2015-2020, dari total 5 (lima) masalah  
TPPT, ada  1 (satu) orang pelaku yang 
berprofesi sebagai “Pengusaha/Wiraswasta”. 
Selanjutnya, ada  1 (satu) orang pelaku 
yang tidak bekerja. Selain itu, ada  3 (tiga) 
orang pelaku yang profil pekerjaannya tidak 
dapat diidentifikasi. Adapun tren putusan TPPT 
berdasar profil pelaku perorangan antara 
lain:
Tabel 3.3. Tren Putusan TPPU berdasar Profil 
Pelaku Perorangan
Sumber: PPATK, Diolah
Profil Pekerjaan
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Pengusaha/
Wiraswasta 2 2 5 4 3
Pegawai Swasta 6 1
PNS (Termasuk 
Pensiunan) 2
Ibu Rumah Tangga 1
Pejabat 
LembagaLegislatif 
dan Pemerintah
1 1
Pegawai Money 
Changer 1
Pengajar dan 
Dosen 1
Lainya 1 1
Tabel 3.4. Tren Putusan TPPT berdasar Profil 
Pelaku Perorangan
Sumber: PPATK, Diolah
Profil 
Pekerjaan
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Pengusaha/
Wiraswasta 1
Tidak Bekerja 1
Tidak 
Teridentifikasi 1 1 1
Sementara itu, berdasar data putusan 
pengadilan tahun 2015-2020 belum ditemukan 
adanya masalah  terkait PPSPM.
3.1.3.Profil Pelaku Badan Usaha TPPU, 
TPPT, dan PPSPM
A. Profil Pelaku Badan Usaha TPPU
berdasar data putusan pengadilan TPPU 
tahun 2015-2020, profil badan usaha yang 
terlibat dalam pencucian uang didominasi 
oleh “Perusahaan Non UMKM berbentuk 
Perseroan Terbatas (PT)”. Dari total 24 (dua 
puluh empat) masalah  TPPU, ada  11 (sebelas) 
masalah  melibatkan PT. Sementara itu, profil 
badan usaha lainnya yaitu  Perusahaan Non 
UMKM berbentuk Persekutuan Komanditer 
(CV), yang terlibat pada 3 (tiga) masalah . Selain 
itu, ada  11 (sebelas) masalah  yang tidak 
dapat diidentifikasi profil badan usahanya atau 
tidak melibatkan badan usaha. Adapun tren 
putusan TPPU berdasar profil badan usaha 
sebagaimana pada tabel berikut: �
Tabel 3.5. Tren Putusan TPPU berdasar Profil 
Pelaku Badan Usaha
Tabel 3.6. Tren Putusan TPPU berdasar 
Wilayah Geografis
Sumber: PPATK, Diolah
Sumber: PPATK, Diolah
Profil Badan Usaha
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Perusahaan Non 
UMKM Berbentuk 
Perseroan terbatas 
(PT)
1 3 5 2
Perusahaan Non 
UMKM Berbentuk 
Persekutuan 
Komanditer (CV)
2 1
Tidak Teridentifikasi 1 4 1 2 3
Wilayah
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
DKI Jakarta 2 4 4 7 3
Kalimantan Barat 1 1
Banten 1
Lampung 1
Sementara itu, berdasar data putusan 
pengadilan TPPT tahun 2015-2020, dari total 
5 (lima) masalah  TPPT, tidak dapat diidentifikasi 
apakah ada  profil badan usaha yang 
terlibat dalam praktik pendanaan terorisme. 
Selanjutnya, berdasar data putusan 
pengadilan tahun 2015-2020 belum ditemukan 
adanya masalah  terkait PPSPM.
3.1.4.Wilayah TPPU, TPPT, dan PPSPM
A. Wilayah TPPU
berdasar data putusan pengadilan TPPU 
tahun 2015-2020, ada  4 (empat) provinsi 
sebaran wilayah putusan perkara pencucian 
uang selama tahun 2015-2020. Putusan 
pengadilan ini sebagian besar berada 
di “DKI Jakarta”. Dari total 24 (dua puluh 
empat), ada  20 (dua puluh) masalah  yang 
terjadi di DKI Jakarta. Sementara itu, provinsi 
lainnya yaitu  Kalimantan Barat sebanyak 
2 (dua) masalah , serta Banten dan Lampung 
dengan masing-masing sebanyak 1 (satu) 
masalah . Adapun tren putusan TPPU berdasar 
wilayah antara lain:
B. Wilayah TPPT
berdasar data putusan pengadilan TPPT 
tahun 2015-2020, ada  5 (lima) masalah  TPPT, 
dimana 3 (tiga) masalah  berada di “DKI Jakarta”. 
Namun demikian, untuk 2 (dua) masalah  lainnya 
tidak dapat diidentifikasi wilayah tempat 
terjadinya tindak pidana. Adapun tren putusan 
TPPT berdasar wilayah sebagai berikut:
Tabel 3.7. Tren Putusan TPPT berdasar 
Wilayah Geografis
Sumber: PPATK, Diolah
Wilayah
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
DKI Jakarta 1 1 1
Tidak Teridentifikasi 1 1
Sementara itu, berdasar data putusan 
pengadilan tahun 2015-2020 belum ditemukan 
adanya masalah  terkait PPSPM.�

Produk dan Layanan TPPU, TPPT, 
dan PPSPM
A. Produk dan Layanan TPPU
berdasar data putusan pengadilan TPPU 
tahun 2015-2020, jika ditinjau berdasar 
produk Uang Kertas Asing (UKA) yang 
ditransaksikan pada Penyelenggara KUPVA 
Bukan Bank, UKA yang dominan dipakai  
dalam pencucian uang yaitu  “USD”. Dari total 
22 (dua puluh dua) masalah , ada  17 (tujuh 
belas) masalah  yang melibatkan penggunaan USD, 
diikuti SGD sebanyak 13 (tiga belas) masalah , dan 
EUR sebanyak 10 (sepuluh) masalah . Sementara 
itu, jenis UKA lainnya yang dipakai  dalam 
pencucian uang dapat dilihat pada grafik 
berikut:�Lebih lanjut, mekanisme jual beli UKA yang 
dominan dipakai  dalam pencucian uang 
melalui Penyelenggara KUPVA Bukan Bank 
yaitu  “Transfer Bank”. Dari total 22 (dua 
puluh dua) masalah , ada  15 (lima belas) masalah  
yang melibatkan penggunaan layanan Transfer 
Rupiah melalui Bank. Diikuti dengan 7 (tujuh) 
masalah  yang memakai mekanisme Tunai 
baik penyerahan UKA maupun Rupiah secara 
tunai. Namun demikian, ada  2 (dua) masalah  �
yang tidak dapat diidentifikasi mekanisme yang 
dipakai  pada transaksi jual beli UKA yang 
dilakukan. 
Sementara itu, produk dan layanan yang 
dipakai  dalam pencucian uang melalui 
PTD Bukan Bank yaitu  “Cast to Account 
(Outgoing)” dan “Account to Account 
(Incoming)” dengan total sebanyak 2 (dua) 
masalah . Adapun tren putusan TPPU berdasar 
produk dan layanan antara lain:

B. Produk dan Layanan TPPT
berdasar data putusan pengadilan TPPT 
tahun 2015-2020, jika ditinjau berdasar 
produk UKA yang ditransaksikan pada 
Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, UKA 
yang dominan dipakai  dalam pendanaan 
terorisme yaitu  “USD”. Dari 3 (tiga) masalah  yang 
memakai Penyelenggara KUPVA Bukan 
Bank sebagai media pendanaan terorisme, 
2 (dua) masalah  memakai USD. ada  1 
(satu) masalah  yang memakai beberapa jenis 
produk UKA selain USD, antara lain MYR, KHR, 
PHP, dan VND. Sementara itu, 1 (satu) masalah  
lainnya tidak dapat diidentifikasi produk UKA 
yang dipakai . �

Lebih lanjut, berdasar analisis putusan 
pengadilan TPPT pada KUPVA Bukan Bank, 
ada  2 (dua) masalah  yang tidak dapat 
diidentifikasi mekanisme jual beli UKA 
yang dipakai  oleh pelaku tindak pidana. 
Mekanisme jual beli UKA yang dimaksud dalam 
ini  yaitu  mekanisme Transfer Rupiah 
maupun penyerahan secara Tunai untuk UKA 
atau Rupiah. Sementara itu, ada  1 (satu) 
masalah  yang tidak dapat diidentifikasi kegiatan 
usaha yang dijadikan media pendanaan 
terorisme. Kegiatan usaha yang dimaksud 
dalam ini  yaitu  jual beli UKA, pembelian 
cek pelawat, ataupun pembawaan UKA lintas 
batas negara. 
Pada masalah  TPPT yang melibatkan PTD Bukan 
Bank, produk/layanan yang dominan dipakai  
yaitu  “Cash to Account (Outgoing)”. Dari 4 
(empat) masalah  yang memakai PTD Bukan 
Bank sebagai media pendanaan terorisme, 
ada  2 (dua) masalah  yang memanfaatkan 
produk/layanan Cash to Account (Outgoing). 
Selain itu, ada  1 (satu) masalah  yang 
melibatkan penggunaan layanan Account 
to Account (Outgoing) dan 1 (satu) masalah  
yang tidak teridentifikasi produk/layanan 
yang dipakai . Adapun tren putusan TPPT 
berdasar produk dan layanan sebagai 
berikut:
Tabel 3.9. Tren Putusan TPPT berdasar 
Produk dan Layanan
Sumber: PPATK, Diolah
Produk dan Layanan
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Kantor KUPVA
Jual Beli UKA 1 1
Tidak Teridentifikasi 1
Kantor PTD
Cash to Account 
(Outgoing) 1 1
Account to Account 
(Outgoing) 1
Tidak Teridentifikasi 1
Sementara itu, berdasar data putusan 
pengadilan tahun 2015-2020 belum ditemukan 
adanya masalah  terkait PPSPM.
3.1.6. Delivery Channel TPPU, TPPT, dan 
PPSPM
A. Delivery Channel TPPU
berdasar data putusan pengadilan TPPU 
tahun 2015-2020, delivery channel yang 
dominan dipakai  dalam pencucian uang 
yaitu  “Kantor KUPVA”. Dari total 24 (dua puluh 
empat) masalah , ada  22 (dua puluh dua) 
masalah  yang melibatkan Kantor KUPVA. Dari 22 
(dua puluh dua) masalah  yang melibatkan Kantor 
KUPVA, ada  15 (lima belas) masalah  yang 
memakai Kantor KUPVA hanya sebagai 
media pencucian uang. Namun demikian, 
sisanya yakni 7 (tujuh) masalah  memakai 
Kantor KUPVA sebagai agen/pelaku pencucian 
uang. Delivery channel lainnya yaitu  Kantor 
PTD, yaitu sebanyak 2 (dua) masalah  yang 
memakai Kantor PTD sebagai media 
pencucian uang. Adapun tren putusan TPPU 
berdasar delivery channel sebagai berikut:
Tabel 3.10. Tren Putusan TPPU berdasar 
Delivery Channel
Sumber: PPATK, Diolah
Delivery Channel
Jumlah Putusan
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Kantor KUPVA 2 4 4 8 4
Kantor PTD 1 1
B. Delivery Channel TPPT
berdasar data putusan pengadilan TPPT 
tahun 2015-2020, delivery channel yang dominan 
dipakai  dalam pendanaan terorisme yaitu  
“Kantor PTD”. Dari total 5 (lima) masalah  TPPT yang 
terjadi, 4 (empat) masalah  melibatkan penggunaan 
Kantor PTD. Delivery channel lainnya yaitu  
Kantor KUPVA, dimana ada  3 (tiga) masalah  yang 
melibatkan penggunaan Kantor KUPVA dalam 
pendanaan terorisme. Adapun tren putusan TPPT 
berdasar delivery channel sebagai berikut:�

Tipologi TPPU dan TPPT pada 
KUPVA Bukan Bank
A. Tipologi TPPU pada KUPVA Bukan Bank
Beberapa tipologi TPPU yang memakai 
penyelenggara KUPVA Bukan Bank berdasar 
hasil analisis putusan pengadilan tahun 2015-
2020 serta hasil analisis studi literatur, antara 
lain:
1. Transaksi pembelian UKA dilakukan oleh 
pihak lain yang bukan sebagai penerima 
manfaat (Beneficial Owner);
2. Penyerahan Rupiah dilakukan secara 
transfer, namun pengambilan UKA secara 
tunai dilakukan oleh orang lain;
3. Penyerahan UKA dilakukan secara tunai, 
namun penyerahan Rupiah dilakukan 
secara transfer ke rekening orang lain atau 
transfer ke beberapa rekening. 
4. Penyerahan Rupiah dilakukan secara 
transfer ke beberapa rekening (smurfing)
yang dimiliki 1 (satu) individu atau entitas 
beneficial owner. Rekening tujuan biasanya 
memakai nominees (nama pinjaman), 
trusts, anggota keluarga, atau pihak ketiga. 
5. Transaksi yang dilakukan tidak sesuai 
dengan profil pengguna jasa;
6. Pembelian UKA dengan uang tunai 
dalam jumlah besar dan pengguna jasa 
menolak atau mengalami kesulitan untuk 
menginformasikan sumber dana atau uang 
tunai;
7. Transaksi penukaran UKA dalam jumlah 
yang signifikan dan jenis mata uang yang 
berbeda-beda dalam 1 (satu) kali transaksi;
8. Transaksi penukaran UKA dalam jumlah 
signifikan oleh Politically Exposed Persons
(PEPs);
9. Transaksi dengan jumlah signifikan tanpa 
disertai underlying transaction yang jelas;
10. Penggunaan rekening individu/pribadi 
dalam operasional KUPVA Bukan Bank 
sebagai media/penampungan hasil 
kejahatan;
11. Penggunaan Penyelenggara KUPVA Bukan 
Bank tidak berizin;
12. Penggunaan identitas palsu saat 
melakukan penukaran valuta asing;
13. Transaksi tidak dibukukan ke dalam sistem 
KUPVA Bukan Bank dan tidak diberikan nota 
atas transaksi yang dilakukan;
14. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, namun 
dilakukan dalam beberapa tahap dengan 
frekuensi yang tinggi dalam periode waktu 
tertentu (structuring). Transaksi juga 
seringkali dilakukan pada lebih dari satu 
KUPVA Bukan Bank dalam waktu dekat;
15. Transaksi U-turn memakai skema 
telegraphic transfer (T/T) dimana KUPVA 
Bukan Bank yang memiliki izin pembawaan 
UKA melakukan pembawaan UKA dari 
negara lain, lalu dana ditransfer 
ke rekening lain dalam negeri, dan pada 
akhirnya dilakukan transfer kembali ke 
negara sumber dana; 
16. Trade Based Money Laundering, Transfer 
Pricing, dan penggunaan Perusahaan 
Cangkang untuk menghasilkan invoice 
fiktif yang dipakai  sebagai underlying 
transaction penukaran UKA pada KUPVA 
Bukan Bank. Perusahaan Cangkang 
juga dipakai  untuk menyimpan aset 
beneficial owner yang diperoleh dari tindak 
kejahatan. Selain itu, rekening perusahaan 
juga dipakai  untuk menerima dana hasil 
kejahatan. 
17. Penukaran mata uang denominasi kecil ke 
denominasi besar dalam jumlah yang cukup 
banyak;
18. Penukaran dalam jumlah besar terhadap 
UKA yang jarang dipakai ;
19. Penggabungan dana hasil kejahatan 
dengan dana hasil kegiatan usaha yang sah 
(mingling). 
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 171 
(seratus tujuh puluh satu) sampel KUPVA Bukan 
Bank yang berada di bawah pengaturan dan 
pengawasan Bank Indonesia, diperoleh tingkat 
risiko tipologi TPPU pada KUPVA Bukan Bank 
berdasar persepsi penyelenggara sebagai 
berikut:�
berdasar hasil survei, tipologi pencucian uang 
pada KUPVA Bukan Bank yang memiliki risiko 
tertinggi yaitu  penggunaan identitas palsu, 
mingling, serta trade-based money laundering
dan transfer pricing. Penggunaan identitas palsu 
menjadi salah satu tipologi yang berisiko tinggi 
sebab  ada  kemudahan dalam pembuatan 
dokumen identitas palsu, serta kerentanan pada 
proses identifikasi dan verifikasi pengguna jasa. 
Pengguna jasa KUPVA Bukan Bank yang mayoritas 
yaitu  walk-in customer memberikan 
kerentanan pada proses CDD sebab  dilakukan 
dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, pada 
aktualnya belum seluruh KUPVA Bukan Bank 
terkoneksi dengan data Kependudukan dan Catatan 
Sipil (Dukcapil), memicu  kurang optimalnya 
proses verifikasi identitas pengguna jasa. 
Mingling1
 menjadi salah satu tipologi TPPU yang 
berisiko terjadi pada KUPVA Bukan Bank. Pada 
tipologi mingling, KUPVA Bukan Bank tidak hanya 
sebagai media pencucian uang, namun sebagai 
agen/pelaku pencucian uang. Tingginya potensi 
risiko tipologi mingling dilakukan melalui KUPVA 
Bukan Bank, sejalan dengan analisis hasil putusan 
pengadilan dimana ada  motif pegawai money 
changer memanfaatkan KUPVA Bukan Bank 
sebagai media untuk menerima dan mentransfer 
dana. Selanjutnya, dana hasil pencucian uang juga 
dicampur dengan uang dari kegiatan usaha jual 
beli valas (mingling) untuk menyamarkan asal usul 
dana ini .
Tipologi TPPU Trade-Based Money Laundering dan 
Transfer Pricing juga rentan terjadi pada KUPVA 
Bukan Bank. Trade Based Money Laundering, 
Transfer Pricing, dan penggunaan Perusahaan 
Cangkang (shell company) sering disalahgunakan 
untuk menghasilkan invoice fiktif yang dipakai  
sebagai underlying transaction penukaran UKA 
pada KUPVA Bukan Bank.�
Tipologi TPPT pada KUPVA Bukan Bank
Beberapa tipologi TPPT yang memakai 
penyelenggara KUPVA Bukan Bank yaitu:
1. Transaksi pembelian UKA dilakukan oleh pihak 
lain yang bukan sebagai penerima manfaat 
(Beneficial Owner);
2. Transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan 
profil Pengguna Jasa;
3. Structuring yakni melakukan transaksi dalam 
jumlah relatif kecil, namun dilakukan dalam 
beberapa tahap dengan frekuensi yang tinggi;
4. Transaksi memakai dokumen identitas 
palsu.
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 171 
(seratus tujuh puluh satu) sampel KUPVA Bukan 
Bank yang berada di bawah pengaturan dan 
pengawasan Bank Indonesia, diperoleh tingkat 
risiko tipologi TPPT pada KUPVA Bukan Bank 
berdasar persepsi penyelenggara sebagai 
berikut:�
berdasar hasil survei, tipologi pendanaan 
terorisme pada KUPVA Bukan Bank yang memiliki 
risiko tertinggi yaitu  Penggunaan Dana: Operasi 
Terorisme Domestik - Pembelian Senjata dan Bahan 
Peledak, Penggunaan Dana: Operasi Terorisme 
Domestik - Dokumen Identitas Palsu, serta 
Penggunaan Dana: Operasi Terorisme Domestik - 
Perjalanan dari dan ke lokasi aksi terorisme.
KUPVA Bukan Bank pada dasarnya rentan 
dipakai  sebagai media pendanaan terorisme 
khususnya pada tahap penggunaan dana (using). 
berdasar analisis hasil putusan pengadilan, 
pelaku memanfaatkan KUPVA Bukan Bank untuk 
melakukan penukaran rupiah/valas. Dana 
lalu dipakai  untuk biaya perjalanan ke 
lokasi aksi terorisme serta pembelian senjata api. 
3.2.2. Tipologi TPPU dan TPPT pada PTD 
Selain Bank
A. Tipologi TPPU pada PTD Selain Bank
Beberapa tipologi TPPU yang memakai 
PTD Selain Bank yaitu:
1. PTD Bukan Bank berizin bekerja sama 
dengan PTD Bukan Bank tidak berizin untuk 
mengirimkan atau menerima dana;
2. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, 
namun dilakukan secara bertahap dengan 
frekuensi yang tinggi (structuring);
3. Transaksi pengiriman dana melalui 
beberapa PTD Bukan Bank dengan tujuan 
penerima yang sama;
4. Transaksi PTD Bukan Bank tampak tidak 
sesuai atau tidak konsisten dengan 
aktivitas usahanya. Misalnya PTD Bukan 
Bank didirikan untuk memberikan layanan 
pengiriman uang dari TKI yang bekerja di 
luar negeri, namun tidak ada  transaksi 
valuta asing yang signifikan dari luar 
negeri. Transaksi masuk pada rekening 
usaha ini mayoritas bersumber dari 
transaksi dalam negeri;
5. Menerima transaksi incoming yang diikuti 
dengan transaksi outgoing dalam waktu 
dekat;
6. memakai dokumen identitas palsu 
atau yang memuat data fiktif atau tidak 
valid;
7. Melakukan pencairan dana yang diterima 
dari beberapa rekening (smurfing).
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 
48 (empat puluh delapan) sampel PTD Selain 
Bank yang berada di bawah pengaturan dan 
pengawasan Bank Indonesia, diperoleh tingkat 
risiko tipologi TPPU pada PTD Selain Bank 
berdasar persepsi penyelenggara sebagai 
berikut�
berdasar hasil survei, tipologi pencucian 
uang pada PTD Selain Bank yang memiliki 
risiko tertinggi yaitu  smurfing, aktivitas 
perjudian online, dan structuring. Smurfing 
dan structuring yaitu  salah satu 
tipologi yang berisiko terjadi pada PTD Selain 
Bank sebab  ada  potensi kerentanan 
dari penyelenggara dalam melakukan 
pemantauan profil maupun transaksi 
pengguna jasa. Lebih lanjut, tipologi smurfing 
yang melibatkan aliran dana dari berbagai 
pihak memicu  penyelenggara serta 
otoritas terkait mengalami kesulitan dalam 
mendeteksi transaksi keuangan yang 
dianggap mencurigakan. Publikasi Money 
Laundering through Money Remittance and 
Currency Exchange Providers FATF 2010 
turut mengkonfirmasi bahwa structuring dan 
smurfing yang bertujuan untuk memecah 
transaksi dan melibatkan pengiriman dana ke 
rekening beberapa pihak, yaitu  tipologi 
pencucian uang yang mayoritas ditemukan 
pada PTD Selain Bank. 
Sementara itu, aktivitas perjudian online juga 
menjadi salah satu tipologi TPPU yang berisiko 
terjadi pada PTD Selain Bank. Kerentanan 
pada pengawasan dan pendeteksian aktivitas 
perjudian online ilegal serta aliran dananya 
memberikan potensi risiko TPPU, khususnya 
apabila dilakukan melalui PTD Selain Bank. 
B. Tipologi TPPT pada PTD Selain Bank
Beberapa modus TPPT yang memakai PTD 
Selain Bank yaitu:
1. PTD Selain Bank yang berizin bekerjasama 
dengan PTD Selain Bank yang tidak berizin 
untuk mengirimkan dana;
2. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, 
namun dilakukan secara bertahap dengan 
frekuensi yang tinggi (structuring);
3. Transaksi incoming dari beberapa negara 
berisiko tinggi dan frekuensi transaksi yang 
cukup tinggi;
4. Transaksi pengiriman dana melalui 
beberapa PTD Selain Bank/pengirim dana 
dengan tujuan penerima yang sama;
5. Cuckoo Smurfing yaitu upaya mengaburkan 
asal usul sumber dana dengan 
mengirimkan dana-dana dari hasil 
kejahatan melalui rekening pihak ketiga 
yang menunggu transfer dana dari luar 
negeri dan tidak menyadari bahwa dana 
yang diterimanya yaitu  hasil tindak 
kejahatan;�
6. Penggalangan dana secara digital, 
transfer, ataupun secara tunai dengan 
menyalahgunakan PTD Bukan Bank yang 
memiliki global foreign branches atau agen;
7. Penggunaan nama orang lain seperti 
saudara atau rekan lain yang memicu  
proses deteksi cenderung sulit dilakukan;
8. Transaksi pengiriman dana dilakukan untuk 
menampung uang hasil kejahatan;
9. Transaksi dilakukan dengan memakai 
identitas palsu.
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 48 
(empat puluh delapan) sampel PTD Selain Bank 
yang berada di bawah pengaturan dan pengawasan 
Bank Indonesia, diperoleh tingkat risiko tipologi 
TPPT pada PTD Selain Bank berdasar persepsi 
penyelenggara sebagai berikut:�
berdasar hasil survei, tipologi pendanaan 
terorisme pada PTD Selain Bank yang memiliki 
risiko tertinggi yaitu  Pengumpulan Dana 
- Ilegal: Hasil Kejahatan Kriminal Lainnya, 
Penggunaan Dana: Operasi Terorisme Domestik 
- Dokumen Identitas Palsu, dan Penggunaan 
Dana: Operasi Terorisme Domestik - Perjalanan 
dari dan ke lokasi aksi terorisme. 
Pengumpulan Dana – Ilegal: Hasil Kejahatan 
Kriminal Lainnya yaitu  tipologi TPPT 
yang paling berisiko terjadi pada PTD selain 
Bank. Sebagaimana hasil analisis putusan 
pengadilan, ada  potensi penggalangan 
dana secara digital, transfer, ataupun secara 
tunai dengan menyalahgunakan PTD Bukan 
Bank yang memiliki global foreign branches
atau agen. 
Sementara itu, risiko tipologi Penggunaan 
Dana: Operasi Terorisme Domestik: Dokumen 
Identitas Palsu sejalan dengan tingginya risiko 
penggunaan identitas palsu untuk melakukan 
transaksi di PTD Selain Bank. Karakteristik 
pengguna jasa dari PTD Selain Bank yang 
sebagian besar yaitu  walk in customer, 
memberikan celah kerentanan pada proses 
identifikasi dan verifikasi pengguna jasa yang 
dilakukan penyelenggara. 
 Lebih lanjut, potensi risiko tipologi Penggunaan 
Dana: Operasi Terorisme Domestik – Perjalanan 
dari dan ke lokasi aksi terorisme terkonfirmasi 
melalui hasil analisis putusan pengadilan yang 
menunjukkan bahwa PTD Selain Bank rentan 
dipakai  sebagai media pemindahan dana, 
khususnya dana-dana yang bersumber dari 
yurisdiksi lain (transaksi incoming). Dana yang 
ditransfer melalui PTD Selain Bank dipakai  
untuk pendanaan kegiatan terorisme di dalam 
negeri atau dengan tujuan untuk ditransfer ke 
negara lain yang rentan akan aksi terorisme.
3.2.3. Tipologi TPPU dan TPPT pada Uang 
Elektronik dan Dompet Elektronik 
Selain Bank
A. Tipologi TPPU pada Penyelenggara Uang 
Elektronik dan Dompet Elektronik Selain Bank
Beberapa modus TPPU yang memakai 
penyelenggara Uang Elektronik (UE) dan 
Dompet Elektronik (DE) Selain Bank yaitu:
1. Penggunaan identitas orang lain atau 
identitas palsu dalam pembukaan/
registrasi akun UE dan DE untuk 
mengaburkan identitas Beneficial Owner;
2. Membeli dan/atau memakai akun 
UE dan DE atas nama orang lain untuk 
mengaburkan identitas Beneficial Owner;
3. Penggunaan akun UE sebagai 
penampungan hasil tindak kejahatan;
4. Pengisian ulang (Top Up) memakai 
uang tunai untuk mengaburkan identitas 
Pengirim dana dan asal usul sumber dana;�5. Mengunakan fitur transfer dana dan/atau 
melakukan tarik tunai (cash out) untuk 
memindahkan saldo UE yang didapat dari 
hasil tindak kejahatan;
6. Pencurian identitas kartu kredit atau kartu 
debit untuk di hubungkan dengan akun UE 
dan DE milik pelaku kejahatan. lalu 
pelaku kejahatan melakukan transaksi 
dengan dana yang bersumber dari kartu 
kredit dan/atau kartu debit ini ;
7. Tidak membayar tagihan pada saat 
jatuh tempo setelah memakai 
fitur pascabayar atau post-paid untuk 
melakukan transaksi;
8. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, namun 
dilakukan dengan frekuensi yang tinggi 
(structuring);
9. Transaksi dilakukan dengan memakai 
beberapa akun UE dan DE Selain Bank 
(smurfing);
10. Penjual bekerjasama dengan pembeli 
melakukan transaksi fiktif dan/atau 
pencucian uang berbasis perdagangan 
(Trade-Based Money Laundering) 
memakai fitur Purchase & Payment;
11. Transaksi dilakukan dengan mentransfer 
sejumlah uang dalam jumlah kecil ke 
beberapa orang yang akan mendapatkan 
komisi jika mentransfer kembali ke orang 
lainnya (money mules/straw account);
12. Transaksi dana masuk yang diikuti dengan 
penarikan uang;
13. Transaksi dana masuk yang berasal dari 
beberapa orang dalam waktu yang relatif 
bersamaan.
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 32 
(tiga puluh dua) sampel penyelenggara UE dan DE 
Selain Bank yang berada di bawah pengaturan dan 
pengawasan Bank Indonesia, diperoleh tingkat 
risiko tipologi TPPU pada UE dan DE Selain Bank 
berdasar persepsi penyelenggara sebagai 
berikut:�
berdasar hasil survei, tipologi pencucian 
uang pada layanan UE dan DE Selain Bank yang 
memiliki risiko tertinggi yaitu  penggunaan 
identitas palsu, smurfing, dan aktivitas 
perjudian online. Penggunaan identitas menjadi 
salah satu tipologi yang berisiko tinggi sebab  
ada  kemudahan dalam pembuatan 
dokumen palsu, serta adanya kerentanan pada 
proses identifikasi dan verifikasi pengguna 
jasa. Transaksi yang dilakukan tanpa tatap 
muka menimbulkan kerentanan dan potensi 
terhadap pemalsuan identitas pengguna 
jasa. Lebih lanjut, ada  kerentanan pada 
proses electronic customer due diligence
(e-CDD) misalnya apabila penyelenggara 
tidak mewajibkan penggunaan nomor ponsel 
terdaftar, foto kartu identifias, dan foto diri 
pengguna jasa. Kondisi dimana beberapa 
penyelenggara juga belum terkoneksi dengan 
Dukcapil atau sumber lainnya, memberikan 
kerentanan pada proses verifikasi pengguna 
jasa. �
Smurfing menjadi salah satu yang berisiko 
tinggi pada layanan UE dan DE Selain Bank 
sebab  ada  potensi kerentanan dari 
penyelenggara dalam melakukan pemantauan 
profil maupun transaksi pengguna jasa. Selain 
itu, pengiriman dana ke beberapa rekening 
yang dilakukan pada tipologi smurfing ini 
juga memicu  terjadinya kesulitan bagi 
penyelenggara dan otoritas terkait dalam 
mendeteksi transaksi keuangan yang dianggap 
mencurigakan. Di sisi lain, penyelenggara yang 
tidak melakukan penatausahaan dokumen 
transaksi dengan baik, memicu  sulit dan 
terbatasnya akses untuk mendeteksi rekam 
jejak transaksi pengguna jasa. 
Aktivitas perjudian online juga menjadi 
salah satu tipologi yang berisiko tinggi pada 
layanan UE dan DE Selain Bank. Kerentanan 
pada pengawasan dan pendeteksian aktivitas 
perjudian online ilegal serta aliran dananya 
memberikan potensi risiko TPPU. Selain itu, 
maraknya pembayaran pada situs online yang 
memakai layanan UE dan DE Selain Bank 
memberikan potensi risiko aktivitas perjudian 
online yang memanfaatkan penyelenggara UE 
dan DE Selain Bank. 
B. Tipologi TPPT pada Penyelenggara Uang 
Elektronik dan Dompet Elektronik Selain Bank
Beberapa modus TPPT yang memakai UE 
dan DE Selain Bank yaitu:
1. Penggunaan identitas orang lain atau 
identitas palsu dalam pembukaan/
registrasi akun UE dan DE Selain Bank untuk 
mengaburkan identitas Beneficial Owner;
2. Penggunaan akun UE dan DE Selain 
Bank untuk menampung dana hasil 
penggalangan donasi menyimpang;�
3. Penggunaan fitur transfer dana termasuk 
transaksi lintas batas dan/atau tarik tunai 
untuk memindahkan dana yang akan 
dipakai  untuk membiayai kegiatan 
terorisme;
4. Penggunaan fitur Purchase & Payment
untuk membeli komponen pembuatan 
bahan peledak dan membuat bom serta 
tiket transportasi dan akomodasi;
5. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, 
namun dilakukan dengan frekuensi yang 
tinggi melalui beberapa akun, baik akun 
teregistrasi maupun yang tidak teregistrasi 
(structuring). 
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 32 
(tiga puluh dua) sampel penyelenggara UE dan DE 
yang berada di bawah pengaturan dan pengawasan 
Bank Indonesia, diperoleh tingkat risiko tipologi 
TPPT pada UE dan DE Selain Bank berdasar 
persepsi penyelenggara sebagai berikut:�
berdasar hasil survei, tipologi pendanaan 
terorisme pada layanan UE dan DE Selain 
Bank yang memiliki risiko tertinggi yaitu  
Pengumpulan Dana – Ilegal: Penculikan dengan 
Tebusan, Pengumpulan Dana – Ilegal: Hasil 
Kejahatan Kriminal Lainnya, dan Penggunaan 
Dana: Operasi Terorisme Domestik – Perjalanan 
dari dan ke lokasi aksi terorisme. 
Pengumpulan Dana (Collecting) yaitu  
tipologi TPPT yang paling berisiko terjadi 
pada layanan UE dan DE Selain Bank. 
Kemudahan dalam penggunaan layanan UE 
dan DE Selain Bank diperkirakan memicu  
penyelenggara UE dan DE Selain Bank rentan 
dipakai  untuk pengumpulan dana aksi 
terorisme, misalnya melalui penggunaan 
fasilitas transfer dana. Selain itu, fasilitas Top 
Up juga rentan dipakai  untuk pengumpulan 
dana, khususnya pada UE dan DE Selain Bank 
yang unregistered. Proses CDD yang kurang 
mendalam pada unregistered customer 
memicu  layanan UE dan DE Selain 
Bank rentan disalahgunakan sebagai media 
pendanaan terorisme. 
Penggunaan Dana: Operasi Terorisme Domestik 
– Perjalanan dari dan ke lokasi aksi Terorisme 
juga yaitu  salah satu tipologi TPPT pada 
layanan UE dan DE Selain Bank. Layanan UE dan 
DE Selain Bank yang mudah dipakai  rentan 
untuk dimanfaatkan sebagai sarana untuk 
memindahkan dana. Dana yang ditransfer 
lalu akan dipakai  untuk pendanaan 
aksi terorisme di dalam negeri, ataupun akan 
ditransfer ke negara lain yang rentan aksi 
terorisme. 
3.2.4. Tipologi TPPU dan TPPT pada APMK 
Selain Bank 
A. Tipologi TPPU pada APMK Selain Bank
Beberapa modus TPPU yang memakai 
penyelenggara APMK Selain Bank yaitu:
1. Fisik APMK yang ringkas memungkinkan 
pembawaan dan penyalahgunaan APMK 
untuk mengakses dana di yurisdiksi lain;
2. Pemanfaatan internet enkripsi, akses 
terhadap identitas, dan perbankan 
internasional. Teknik ini dilakukan dengan 
memakai internet, seperti melakukan 
peretasan data/informasi atau penipuan 
dengan memakai alamat e-mail atau 
situs web palsu;
3. Pemanfaatan fasilitas kartu kredit atas 
nama orang lain untuk mengaburkan 
identitas Beneficial Owner;
4. Pembayaran tagihan pada saat jatuh 
tempo dilakukan oleh pihak lain untuk 
mengaburkan identitas Beneficial Owner;
5. Melakukan transaksi purchase & 
payment, serta tarik tunai (cash out) untuk 
memanfaatkan dana hasil kejahatan;�
6. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, namun 
dilakukan dengan frekuensi yang tinggi 
(structuring). 
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 3 
(tiga) sampel penyelenggara APMK yang berada 
di bawah pengaturan dan pengawasan Bank 
Indonesia, diperoleh tingkat risiko tipologi TPPU 
pada APMK Selain Bank berdasar persepsi 
penyelenggara sebagai berikut�
berdasar hasil survei, tipologi pencucian 
uang pada APMK Selain Bank yang memiliki 
risiko tertinggi yaitu  penggunaan identitas 
palsu, pemanfaatan internet enkripsi, akses 
terhadap identitas, perbankan internasional, 
serta pemanfaatan kartu kredit, cek, surat 
perjanjian hutang.
Penggunaan identitas palsu yaitu  
tipologi yang paling berisiko sebab  ada  
kerentanan berupa kemudahan dalam 
pembuatan dokumen identitas palsu. Dokumen 
identitas palsu ini lalu dipakai  
untuk mengajukan fasilitas kartu kredit. 
Pemanfaatan internet enkripsi, akses terhadap 
identitas, dan perbankan internasional menjadi 
salah satu tipologi TPPU pada APMK Selain 
Bank. ini  misalnya dilakukan melalui 
peretasan data/informasi atau penipuan 
dengan memakai alamat e-mail atau situs 
web palsu. lalu dana hasil kejahatan 
dipakai  untuk pencucian uang. Sulitnya 
menentukan pihak yang memakai atau 
menjadi penerima manfaat dari kartu kredit, 
memicu  APMK Selain Bank rentan 
dipakai  untuk pencucian uang�
B. Tipologi TPPT pada APMK Selain Bank
Beberapa modus TPPT yang memakai 
APMK Selain Bank yaitu:
1. Fisik APMK yang ringkas memungkinkan 
pembawaan dan penyalahgunaan APMK 
untuk mengakses dana di yurisdiksi lain;
2. Pemanfaatann internet enkripsi, akses 
terhadap identitas, dan perbankan 
internasional. Teknik ini dilakukan dengan 
memakai internet, seperti melakukan 
peretasan data/informasi atau penipuan 
dengan memakai alamat e-mail atau 
situs web palsu;
3. Pemanfaatan fasilitas kartu kredit atas 
nama orang lain untuk mengaburkan 
identitas Beneficial Owner;
4. Pembayaran tagihan pada saat jatuh 
tempo dilakukan oleh pihak lain untuk 
mengaburkan identitas Beneficial Owner;
5. Melakukan transaksi purchase & 
payment, serta tarik tunai (cash out) untuk 
memanfaatkan dana hasil kejahatan;
6. Transaksi dalam jumlah relatif kecil, namun 
dilakukan dengan frekuensi yang tinggi 
(structuring);
7. Transaksi pengumpulan/penggalanan dana 
untuk aksi terorisme memakai APMK;
8. Pemanfaatan dana dari fasilitas kartu 
kredit untuk pelaksanaan aksi, seperti 
untuk pembelian senjata atau bahan 
peledak, maupun untuk perjalanan ke lokasi 
aksi terorisme. 
Lebih lanjut, berdasar hasil Survei Tipologi 
TPPU/TPPT/PPSPM yang dilakukan terhadap 
3 (tiga) sampel penyelenggara APMK yang 
berada di bawah pengaturan dan pengawasan 
Bank Indonesia, diperoleh tingkat risiko 
tipologi TPPT pada APMK berdasar persepsi 
penyelenggara sebagai berikut�
berdasar hasil survei, tipologi pendanaan 
terorisme pada penyelenggara APMK Selain 
Bank yang memiliki risiko yang cenderung 
lebih tinggi yaitu  Pengumpulan Dana - 
Legal: Sponsor Pribadi (Terrorist Financier/
Fundraiser), Pengumpulan Dana - Legal: 
Penyimpangan Pengumpulan Donasi Melalui 
Ormas, Pengumpulan Dana - Legal: Pendanaan 
Crowdfunding.
Tahap Pengumpulan Dana (Collecting)
yaitu  tipologi TPPT yang paling 
berisiko pada penyelenggara APMK Selain bank

peradilan di indonesia 11


jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, langkah berikutnya yaitu  hakim agung. Perjalanan panjang dari seorang 
hakim sampai menjadi ketua pengadilan tinggi berarti telah melampaui batu ujian yang tidak kecil. Memang harus diakui bahwa manusia 
itu tidak ada yang sempurna. Jadi, kalau mau dicari-cari kesalahannya, 
pasti ketemu juga.
Dari pantauan sejarah, model perekrutan dengan pola ini 
menunjukkan hasil yang sangat bagus. Kita kenal hakim besar seper-ti Wiryono,625 Subekti,626 Asikin Kusumatmaja,627 Widowati,628 dan Indroharto.629 Mereka tidak pernah melalui fit and proper test. Mereka  
yaitu  hakim-hakim karier yang mulai dari bawah, bahkan sejak era 
kolonial. Lagipula, legislasi yang ada, yaitu UU No. 1 /1950 sama sekali tidak berbicara mengenai rekrutmen. Di dalam UU ini diatur tegas soal kualifikasi profesional, usia, dan hubungan keluarga, tetapi tidak 
ada ketentuan yang mengatakan bahwa rekrutmen hanya terbuka untuk kalangan hakim karier. Pada masa kepemimpinan Wirjono, hakim 
agung hanya satu majelis. Ketua dan Wakil Ketua secara berganting 
akan memimpin pemeriksaan perkara karena perkara yang masuk tidak begitu banyak. Saat itu bahkan sudah ada semacam pembagian 
spesialisasi, di mana untuk perkara perdata dipimpin oleh Ketua sedangkan perkara pidana dipimpin oleh Wakil Ketua.
Pada tahun 1952, di samping Wiryono yang ditetapkan menjadi Ketua Mahkamah Agung, Presiden Soekarno juga memutuskan pengangkatan Satochid Kertanegara sebagai Wakil Ketua. Kemudian diangkat 
pula para hakim agung: Soekardono, Sutan Malikul Adil, Hussen Tirtamidjaja, R. Surjoproko, Sutan Abdul Hakim, Wiryono Kusumo, dan A. 
Abdurrahman. Semua yaitu  hakim karier. Pada tahun 1954, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman Besar Mertokusumo mengusulkan pengangkatan pengacara terkemuka asal Semarang, Ko Tjay Sing, 
sebagai hakim agung. Akan tetapi usulan itu ditolak.
Pemerintah kemudian menghendaki bahwa calon hakim agung 
yaitu  sosok yang teruji loyalitasnya kepada pemerintah. Untuk itu, 
ketentuan UU No. 13/1965, khususnya Pasal 31 ayat (3) huruf g, mempersyaratkan adanya syarat kandidasi berupa “pengalaman 10 tahun 
di bidang hukum”, sebagai pintu masuk untuk memungkinkan kandidat luar menjadi hakim agung. Namun hingga runtuhnya demokrasi 
terpimpin dan kelahiran Orde Baru, pengangkatan menurut UU No. 
13/1965 itu tidak pernah ada.
Keberadaan UU No. 13/1965 sendiri kemudian dinyatakan tidak 
berlaku lagi melalui UU No. 6 Tahun 1969. Namun, UU pengganti tidak 
segera diterbitkan. Dengan demikian saat pemerintah mengangkat hakim agung baru (Asikin, Widoyati, dan Busthanul Arifin) tidak jelas dasar hukumnya, meskipun mereka semua yaitu  hakim karier. Dalam 
suatu rapat di DPR GR tahun 1968, Menteri Seno Adji sendiri bersikukuh bahwa rekrutmen hakim menggunakan sistem tertutup. Berlakunya UU Kepegawaian 1974 yang antara lain menempatkan para hakim 
sebagai pegawai negeri, semakin membuktikan bahwa mereka masuk 
dalam sistem birokrasi.
Dengan berhentinya Subekti sebagai Ketua Mahkamah Agung tahun 1974, pemerintah mempertimbangkan kalangan eksternal untuk 
mengisi posisi ini . Sudah barang tentu, tindakan ini mengejut-kan karena memutus sistem yang sudah berlangsung hampir 30 tahun, 
dan terang bertentangan dengan kehendak pemerintah sendiri. Usaha Subekti untuk membujuk Soeharto kandas.630 Untuk pertama kali, 
Soeharto menunjuk Oemar Seno Adji dan 3 orang militer lain, sebagai 
hakim agung baru. Mengingat situasi politik pasca-Malari, tampaknya 
tidak ada satu pihak pun yang mengkritik penunjukan itu, termasuk 
DPR. Kebijakan ini akhirnya akan menjadi bumerang mengingat hampir 20 tahun sesudah itu, Ketua Mahkamah Agung diiisi oleh kalangan 
luar. Tidak ada pertimbangan apa pun yang mengemuka akan penerobosan sistem tertutup ini, kecuali keinginan pemerintah mengendalikan pengadilan. Para hakim agung dari kalangan militer tetap menikmati promosi termasuk kenaikan pangkat sekalipun sudah bekerja di 
pengadilan. Hingga 1990-an, pemerintah sama sekali tidak pernah melirik kalangan pengacara atau akademisi untuk menjadi hakim agung. 
Menurut Sebastian Pompe, pengacara kondang seperti Kartini Mulyadi 
pernah diminta menjadi hakim agung tetapi menolak. Demikian juga, 
dengan alasan pribadi, Mochtar Kusumaatmadja usai menjadi Menteri 
Luar Negeri, menolak tawaran Soeharto menjadi hakim agung.
Rancangan UU tentang Mahkamah Agung yang muncul kemudian dimaksudkan untuk mempertahankan status quo. Pemerintah sangat berkepentingan untuk tetap mengendalikan pengadilan sehingga 
mengidolakan sistem rekrutmen yang tertutup. Dengan demikian, sekali pukul, pemerintah juga akan bisa membatasi peranan DPR. Dalam 
agenda jangka panjang, jika ketentuan ini terpenuhi, akan membangun 
Mahkmaah Agung yang jauh dari ambisi politik dan menciptakan corak 
organisasi “pegawai” dalam lingkungan peradilan. Hal ini bukan agenda baru, karena telah disusun pada tahun 1968, akan tetapi tenggelam 
dan tidak pernah dibahas. Ketika Rancangan UU ini dipersiapkan, sejumlah hakim agung diminta untuk membantu, akan tetapi peran profesi hukum lain diabaikan. 
Pada saat Rancangan UU ini dipersiapkan, Ismail Saleh menjadi 
Menteri Kehakiman, sementara Ali Said menjadi Ketua Mahkamah Agung, menggantikan Mudjono yang meninggal dunia.632 Ismail Saleh dan Ali Said memiliki preferensi politik dan kedekatan personal 
dengan Sudharmono karena afiliasi kepentingan maupun sebagai 
sesama alumnus Akademi Hukum Militer. Sudharmono sendiri semakin berperan dalam politik dalam negeri dan usaha untuk memberikan preferensi khusus kepada pengusaha pribumi serta mengelola 
kontrak-kontrak proyek yang penting bagi pemerintah seusai surutnya peran Ali Moertopo. Pengaruh Sudharmono dibuktikan dengan 
pengangkatan Ismail Saleh dan Ali Said secara bersamaan sebagai petinggi organisasi kehakiman. Dalam perkembangannya, Ali Said lebih 
bersikap independen dan agak mengabaikan Ismail Saleh dalam posisi 
masing-masing.
Ketentuan dalam Rancangan UU Mahkamah Agung, menurut Sebastian Pompe, setidak-tidaknya mencerminkan pertentangan Ali Said 
dan Ismail Saleh. Ketentuan dalam Rancangan ini mencoba 
menghentikan usaha menunjuk figur nonkarier (seperti sudah terjadi 
atas Seno Adji, Moedjono, dan Ali Said) untuk memimpin Mahkamah 
Agung. Dominasi pengangkatan hakim agung ada pada Kementerian 
Kehakiman, skenario yang ditentang keras oleh kalangan DPR dengan dukungan kalangan pengacara. Sebaliknya, para hakim gembira dengan rancangan ini karena akan meneguhkan sistem karier tertutup dalam rekrutmen hakim. 
Namun akhirnya UU No. 14/1985 dapat disahkan dengan penuh 
kompromistis, terutama masalah rekrutmen. Dinyatakan bahwa calon 
hakim agung harus berpengalaman 5 tahun sebagai ketua pengadilan banding atau 10 tahun sebagai hakim banding.636 Rekrutmen dari 
kalangan non-karier dimungkinkan asal kandidat mempunyai pengalaman di bidang hukum minimal 15 tahun. Hakim agung diangkat 
oleh Presiden dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR sesudah  memperhatikan pandangan Pemerintah dan Mahkamah Agung.
Sesudah berlakunya UU No. 14/1985, turut campur politisi dalam 
perekrutan hakim agung dimulai. Pernah suatu ketika jumlah hakim 
agung yang diterima lebih banyak yang berasal dari jalur nonkarier. 
Kewajiban menyusun “daftar calon” untuk diajukan ke DPR bersifat 
bias. Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman menyusun daftar ini dengan memperhatikan pandangan pimpinan Mahkamah 
Agung dan Direktur Jenderal Pembinaan Badan-Badan Peradilan. suatu 
kriteria yang bias terjadi ketika Ketua Mahkamah Agung Mudjono pada 
tahun 1982 mengajukan daftar calon yang meliputi semua ketua pengadilan tinggi. Pertimbangan ini berdasarkan pengalamannnya dari karier militer, di mana semakin tinggi pangkat, maka akan baik mutunya. 
Padahal banyak hakim dari luar Jawa yang tidak pernah menangani 
perkara rumit yang terjadi di kota-kota besar dan mulai kebingungan 
saat bertugas di Mahkamah Agung. Daftar yang disusun oleh Ketua 
Mahkamah Agung bisa diubah begitu saja oleh Menteri Kehakiman. Tetapi bisa jadi Kementerian Kehakiman menghormati pandangan Ketua 
Mahkamah Agung jika ada perspektif personal yang mendukungnya.
Minimnya control publik, menyebabkan kadang-kadang hakim dengan reputasi tercela bisa menjadi kandidat hakim agung.
Pada waktu ada perubahan UUD 1945, yang mengamanatkan adanya Komisi Yudisial untuk menjaring hakim agung, peranan Mahkamah Agung dalam perekrutan hakim agung menjadi hampir-hampir 
tidak ada. Di dalam UU No. 22/2004, peranan Mahkamah Agung sama 
sekali tidak disebut dalam proses perekrutan hakim agung.
Pada mulanya proses perekrutan yang berasal dari hakim karier diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial. Namun lamakelamaan calon yang diterima oleh Komisi Yudisial yang berasal dari 
hakim karier dapat diterima dari perorangan, tanpa usul dari Mahkamah Agung. Akibatnya, pernah suatu ketika ada seorang hakim yang 
pernah diberikan sanksi oleh Mahkamah Agung, tetapi diterima oleh 
Komisi Yudisial.
Melihat situasi ini, pada waktu Harifin M. Tumpa menjadi Ketua 
Mahkamah Agung (2009-2012), Mahkamah Agung merasa tidak perlu 
lagi mengusulkan calon hakim agung. Mekanisme penerimaan calon 
hakim agung diserahkan sepenuhnya kepada  Komisi Yudisial. Memang ada sesuatu yang ganjil dalam Undang-Undang Komisi Yudisial 
ini : mengapa pemakai (user) tidak dilibatkan dalam penerimaan 
calon hakim agung?
Untuk mendapatkan figur hakim agung yang profesional, Komisi 
Yudisial yaitu  pihak yang dipercayakan konstitusi mencari embrio 
hakim agung. Oleh karena itu, hemat penulis, mulai sekarang menjadi 
tugas dan tanggung jawab Komisi Yudisial sedini mungkin inspeksi, turun ke lapangan, membuat pangkalan data seluruh hakim di Indonesia mulai dari peradilan tingkat pertama hingga banding.
Tujuannya yaitu  untuk mengetahui integritas, prestasi/kemampuan, keadaan keluarga, situasi kesehatan, keberanian, dan kejujuran para hakim. Penelusuran data ini diharapkan dapat memperkaya 
pengetahuan Komisi Yudisial akan mutu hakim. Dengan mekanisme 
turun ke lapangan, kesan bahwa rekrutmen hakim agung seperti membuka lapangan kerja bagi pelamar yang berminat menjadi hakim agung 
tidak terjadi lagi.
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung telah bisa menjemput bola 
kandidat hakim agung dimaksud sejak dini. Tak boleh lagi terjadi hanya karena yang bersangkutan lolos seleksi secara instan, lantaran hasil ujian seleksinya saat itu bagus, kemudian dinyatakan lulus dan diterima menjadi hakim. Di sisi lain, kemampuan teknis peradilan, mental, 
dan moral, sesungguhnya yang bersangkutan belum siap menjadi hakim agung.
Akan lebih komprehensif lagi manakala mekanisme rekrutmen 
calon hakim agung melibatkan langsung Mahkamah Agung sebagai 
pihak yang turut serta melakukan seleksi awal di bidang kompetensi 
dan kemampuan teknis peradilan para hakim di seluruh negara kita  sebelum calon hakim agung ini dikirim kepada KY. Bukankah Mahkamah Agung yang lebih tahu rekam jejak hakim-hakim itu. Selama ini 
terkesan Mahkamah Agung hanya mengirim daftar nama calon hakim 
agung kepada Komisi Yudisial. Mereka berasal dari Mahkamah Agung 
dan pengadilan tinggi melalui persetujuan ketua pengadilan tinggi.
Seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial menyangkut kemampuan 
teknis peradilan dirasakan kurang pas. Oleh karena itu, seyogianya menyangkut kemampuan teknis peradilan uji kepatutan diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Muda MA sesuai dengan bidang 
masing-masing kamar pidana, perdata, tatausaha negara, agama, dan 
militer. sesudah  Mahkamah Agung melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk kemampuan teknis peradilan,  barulah Mahkamah Agung 
mengirimkan tiga nama kandidat hakim agung (untuk kebutuhan satu 
orang hakim agung yang dipandang layak menjadi hakim agung) kepada Komisi Yudisial untuk kembali dilakukan uji kelayakan oleh Komisi Yudisial. Dari penilaian Komisi Yudisial yang ketat ini, kemudian 
nama-nama kandidat ini disaring lagi oleh Komisi Yudisial menjadi satu orang sesuai kebutuhan hakim agung untuk satu orang calon 
hakim agung, kemudian baru diteruskan kepada DPR. 
Karena hakim agung itu user dari Mahkamah Agung, sangat logis 
jika uji kelayakan di bidang teknis peradilan diserahkan kepada Mahkamah Agung. Jika seleksi hakim agung hanya melibatkan Komisi Yudisial tanpa pelibatan Mahkamah Agung, terlebih sesudah  DPR telah 
dibatasi kewenangannya hanya memberikan “persetujuan” atas calon 
yang diusulkan Komisi Yudisial, tanpa mengurangi wewenang Komisi 
Yudisial, dapat diprediksikan bahwa Komisi Yudisial akan kewalahan 
mencetak kader-kader hakim agung yang kredibel, kapabel, dan profesional.
Terlebih sekarang fungsi Komisi Yudisial telah bertambah, yakni 
untuk memilih calon hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakim agung dan hakim konstitusi 
yang “takut akan Tuhan” dan profesional di bidang kompetensi peradilan, Komisi Yudisial sangat memerlukan kerja sama yang solid antara 
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Mekanisme yang berjalan selama ini, Komisi Yudisial mengusulkan tiga orang calon untuk dipilih salah satunya oleh DPR. Terasa sekali mekanisme ini sering kali penuh dengan nuansa politis karena yang 
dipilih kadang-kadang jauh dari prediksi umum, terutama bagi orang 
yang mengerti seluk-beluk pengadilan dan kualitas masing-masing hakim. Kalau kita melihat hasil dari mekanisme ini, secara faktual tidak 
begitu menggembirakan. Kita lihat, misalnya, dari hasil seleksi dengan 
mekanisme seperti ini di atas, ternyata ada hakim agung yang diberhentikan karena melanggar kode etik. Ada juga hakim agung yang 
disebut-sebut terlibat kasus suap-menyuap walaupun belum dapat dibuktikan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi,641 yang menyatakan bahwa DPR tidak perlu lagi melakukan fit and proper test, DPR 
cukup menentukan menerima atau menolak calon yang bersangkutan, 
telah mengurangi nuansa politisasi penerimaan calon hakim agung. 
Sayang sekali mekanisme penolakan belum ada aturannya sehingga 
terkesan DPR mengada-ada. Aturan inilah yang harus segera diadakan 
oleh DPR.
Dari sejarah mekanisme perekrutan hakim agung yang terlihat 
dari uraian di atas, ternyata tidak ada satu pun mekanisme yang dapat 
menjamin hakim agung yang benar-benar andal dan mekanisme yang 
memuaskan.
Sistem pertama hakim agung diusulkan oleh Mahkamah Agung 
kepada presiden. Walaupun hasilnya cukup bagus dari segi kualitas 
hakim agung, kelemahannya terletak pada mekanismenya, yaitu hanya hakim yang dikenal oleh pimpinan MA yang dapat dijaring.  Sistem 
yang kedua, hakim agung diusulkan oleh MA kepada DPR, nuansa politiknya sangat tinggi. Kepentingan parpol kadang-kadang sangat menonjol. Sistem yang ketiga, sama dengan  sistem yang kedua, nuansa 
politisnya lebih menonjol. Pendekatan politis lebih berperan dibandingkan  
kemampuan individual. Sistem yang keempat, yaitu Komisi Yudisial mengusulkan kepada DPR dan DPR meneruskan kepada presiden, bila  calon tidak ditolak DPR, akan memberikan kekuasaan lebih 
besar kepada Komisi Yudisial sehingga memerlukan lagi pengawasan 
terhadap Komisi Yudisial. Sistem yang belum pernah dicoba yaitu  
yang menentukan calon yang akan diusulkan kepada DPR yaitu  Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Komisi Yudisial akan fokus 
pada integritas hakim, sedangkan Mahkamah Agung akan menilai dari 
kualitas profesionalisme hakim. Tentu mekanisme ini memerlukan 
perubahan undang-undang. Tersendatnya proses perekrutan hakim 
agung, baik karena Komisi Yudisial yang sangat “pelit” meloloskan calon hakim agung maupun karena “keanehan” di DPR, dapat menimbulkan kevakuman atau kekurangan hakim agung. bila  ini terjadi, 
yang rugi yaitu  pencari keadilan atau masyarakat.
Apalagi akhir-akhir ini santer terdengar bahwa usia pensiun hakim 
agung akan dikembalikan ke usia 67 tahun. Menjadi sulit untuk merumuskan logika apa di balik keinginan ini, kecuali—mungkin—sifat arogansi. Di negara-negara ASEAN, seperti Filipina dan Thailand, sudah 
lama menganut semua hakim tingkat pertama sampai kasasi pensiun 
pada usia 70 tahun. Bahkan, di Singapura, hakim agung pensiun pada 
usia 75 tahun. Belum lagi jika kita bandingkan dengan hakim di AS atau 
Eropa.
Menurunkan usia hakim agung, akan membawa sejumlah konsekuensi yang cukup signifikan. Di antaranya, pertama, merekrut hakim 
agung memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Kedua, 
menemukan calon hakim agung yang berkualitas bukanlah hal yang 
mudah. Ketiga, hakim agung yang sekarang sudah berusia 67 tahun 
harus meninggalkan perkara yang mungkin sudah dipelajarinya. Keempat, pengalaman sebagai hakim agung tidak dapat dipelajari dan 
memerlukan waktu untuk mendapatan pengalaman itu.
2. Persetujuan DPR
Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat 
(3) UUD 1945 ditetapkan oleh Presiden sesudah  menerima calon hakim 
agung yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).642 Dalam 
hal ini, DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya 
memberikan persetujuan atas calon hakim agung yang diajukan oleh 
Komisi Yudisial (KY). Dalam perdebatan-perdebatan perubahan UUD1945, yakni dalam Rapat Panitia Ad hoc (PAH) I ke-38 BP MPR sudah 
mulai muncul usulan bahwa DPR tidak melakukan fit and proper test 
akan tetapi hanya melakukan persetujuan terhadap calon yang diusulkan oleh KY.643 Jika dilihat dari cara pandang historical yang ada  
pada risalah pembentukan UUD, memang terlihat kejelasan dari para 
pembentuk UUD ketika itu perihal pengisian jabatan hakim agung dengan memberikan peran porsi seleksi kepada KY. Hampir seluruh fraksi berpandangan yang sama soal seleksi yang dimiliki oleh KY, kecuali 
fraksi Golkar yang tidak berpandangan soal perlunya KY dan lebih memilih diangkat dan diberhentikan oleh DPR. Adapun F-PDI juga ada 
yang memberikan usulan seleksi oleh KY tetapi persetujuan di MPR.
Dalam sejarah kekuasaan kehakiman negara kita , dalam risalah 
(memorie van toelichting) UUD 1945, sidang Badan Penyidik Usaha 
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tidak mengaji secara tegas tentang 
pola pengisian jabatan hakim, terutama seleksi hakim. Barangkali, kekurangan itu yang hendak disempurnakan oleh para penyusun 
perubahan UUD 1945. Namun sayangnya, para pembentuk UndangUndang (DPR dan Pemerintah) kemudian “merusak” pola yang dikehendaki konstitusi ke dalam Undang-Undang.
Hal ini tampak dalam UU No. 3/2009 tentang Perubahan Kedua 
Atas UU No. 14/1985 dan UU No. 18/2011 tentang Perubahan UU No. 
22/2004 tentang Komisi Yudisial. Padahal UU No. 14/1985 jo. UU No. 
3/2009 dan UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011 yaitu UndangUndang yang sejatinya dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 
24A ayat (3) UUD 1945 ini . 
Menurut Pasal 8 ayat (2),644 ayat (3),645 dan ayat (4)646 UU No. 
14/1985 jo. UU No. 3/2009 dan Pasal 18 ayat (4) UU No. 22/2004 jo. 
UU No. 18/2011,647 DPR bukan memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana yang diatur dan dikehendaki oleh UUD 1945, tetapi melakukan pemilihan terhadap calon hakim agung ini . Pengaturan oleh kedua Undang-Undang 
ini bukan hanya melanggar konstitusi dan menimbulkan ketidakpastian hukum, tapi juga memaksa KY untuk mengajukan calon hakim 
agung melebihi jumlah lowongan hakim agung yang dibutuhkan. Di 
samping itu, pemilihan calon hakim agung oleh DPR juga berpotensi 
menganggu independensi calon hakim agung yang bersangkutan karena mereka dipilih oleh DPR yang notabene yaitu  lembaga politik.
Tampak bahwa badan legislasi DPR tidak melakukan fungsi harmonisasi rancangan Undang-Undang terkait, sehingga pengaturan 
tentang proses perekrutan hakim agung justru tidak konsisten dan menyalahi konstitusi sebagai berikut. Pertama, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), 
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 14/1985 jo. UU No. 3/2009 pada 
prinsipnya menentukan bahwa DPR memilih calon hakim agung yang 
diusulkan oleh Komisi Yudisial. Tetapi kemudian di dalam Pasal 71 huruf p UU No. 27/2009 dinyatakan bahwa DPR memberikan persetujuan 
calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Pada tahun yang sama sudah 
terjadi inkonsistensi, tetapi kalau kita melihatnya dari posisi terakhir, 
yaitu Pasal 71 huruf p UU No. 27/2009 masih konsisten dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya kemudian yang ketiga, Pasal 18 
ayat (4) UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011 menentukan bahwa untuk 
setiap lowongan hakim agung, DPR memilih dari tiga calon hakim yang 
diusulkan oleh KY.
Dari uraian di atas dapat dikatakan terjadi politisasi di dalam perekrutan hakim agung sebanyak 3 kali. Pertama, calon hakim agung hasil seleksi Komisi Yudisial dipilih oleh DPR dan berarti DPR mengubah 
kewenangan untuk menyetujui calon hakim agung menjadi kewenangan memilih calon hakim agung. Dari hanya menyetujui, diubah atau 
digeser menjadi memilih. Kedua, karena Komisi Yudisial hanya mengusulkan pengangkatan calon hakim agung yang dipilih oleh DPR, maka 
KY berganti peran sebagai sekadar tukang posnya DPR. Kalau awalnya 
mengusulkan untuk disetujui atau tidak disetujui, dan kalau disetujui 
dia langsung mengirimkannya kepada presiden. Jadi, ada check dari 
DPR terhadap Komisi Yudisial. Ketiga, rumusan di dalam peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian itu menyalahi komitmen konstitusional tentang pembentukkan KY yang independent 
menurut Pasal 24B ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Independensi itu tampak dari ketentuan mengenai proses pembentukannya bahwa anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi, pembentukkan Komisi Yudisial yang independen
yaitu  untuk mendukung independensi kekuasaan kehakiman melalui 
perbaikan pola perekrutan hakim agung. Kalau sedikit dilakukan elaborasi sebetulnya dengan posisi KY yang independen, yang calonnya 
dimajukan oleh presiden dengan persetujuan DPR itu, ada check and 
balances dengan proses perekrutan hakim agung karena kemudian KY 
yang independen itu mengajukan calon untuk kemudian disetujui atau 
tidak disetujui. Jadi, titik temunya ada pada keberadaan KY dengan peran yang mengajukan calon untuk disetujui atau tidak disetujui oleh 
DPR. Bukan lalu diubah atau digeser menjadi seperti yang sekarang 
dilakukan oleh DPR, yaitu memilih-milih dari calon yang oleh UU ditentukan KY harus mengajukan tiga kali lebih dari jumlah lowongan 
yang tersedia.
Implikasi dari perumusan yang semacam itu dan yang juga sudah 
dilakukan oleh DPR yaitu  sekadar contoh, dalam hal KY menentukan 
calonnya itu berdasarkan ranking, misalnya ranking 1, 2, 3, maka 3 
calon yang sudah diurutkan ranking-nya ini berpotensi untuk dijungkirbalikkan karena DPR dapat memilih, lalu menihilkan makna ranking. Tapi masih untung karena yang diminta hanya 3 calon untuk tiap 
lowongan. Kalau kebetulan ada misalnya, 5 lowongan di Mahkamah 
Agung, kemudian Komisi Yudisial harus mengajukan 3 kali 5 berarti 
15. Kewenangan DPR yang diatur UU untuk dapat memilih ini 
memungkinkan nomor 15 langsung ditaruh menjadi nomor 1. Lalu 
menjungkirbalikkan proses seleksi oleh lembaga independen yang 
pembentukkannya sebetulnya juga dengan persetujuan DPR tadi. Dengan kata lain lalu menyalahi semangat, mengurangi politisasi dalam 
perekrutan hakim dalam hal eksekutif dan/atau legislatif terlibat sebagaimana dikemukakan oleh standar internasional di muka.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan konstitusional 
yang harus dinilai dan dipertimbangkan yaitu  kewenangan DPR dalam proses pemilihan hakim agung hanya menyetujui atau menolak 
calon yang diajukan oleh KY atau DPR juga melakukan pemilihan atas 
beberapa calon hakim agung dari beberapa calon yang diajukan oleh KY sebagaimana diatur dalam UU No. 14/1985 jo. UU No. 3/2009 dan 
UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011.
Pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan 
persetujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (3) 
UUD 1945, yang menyatakan, “Calon hakim agung diusulkan Komisi 
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hak im agung oleh Presiden”, 
yaitu pengusulan calon hakim agung yang sudah melalui proses 
penyeleksian yang sangat ketat sebagaimana yang telah diuraikan di 
atas, namun hal ini tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut 
dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 ini yaitu dalam Pasal 8 ayat (2) 
UU MA yang menyatakan, “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial”, karena DPR sebagai lembaga 
politik bukan lagi memberikan persetujuan kepada calon hakim agung 
yang diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama calon hakim agung 
yang diusulkan KY ini , yang kemudian melakukan fit and proper 
test seperti yang sudah dilakukan oleh KY, ditambah lagi dengan wawancara yang dilakukan oleh DPR terhadap calon hakim agung untuk 
menguji penguasaan ilmu hukumnya.
Catatan risalah perubahan UUD 1945, menjelaskan dengan sangat 
gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang 
menyatakan, “Hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan 
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya 
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Dengan demikian, posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang 
diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana diatur 
dalam UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011. Hal itu dimaksudkan agar 
ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi 
oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara lainnya.
Berdasarkan argumentasi itu, maka ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat 
(3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah mengubah 
kewenangan DPR dari hanya “memberikan persetujuan” menjadi kewenangan untuk “memilih” calon hakim agung yang diajukan oleh KY. 
Demikian juga, ketentuan dalam UU No. 14/1985 jo. UU No. 3/2009 
dan UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011, yang mengharuskan KY un-tuk mengajukan tiga calon hakim agung untuk setiap lowongan hakim 
agung, juga bertentangan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 
24A ayat (3) UUD 1945. 
Agar ketentuan kedua Undang-Undang itu tidak menyimpang dari 
norma UUD 1945, maka seyogyanya kata “dipilih” oleh DPR dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) harus dimaknai “disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta kata “pemilihan” dalam ayat (4) UU No. 14/1985 
jo. UU No. 3/2009 harus dimaknai sebagai “persetujuan”. Demikian 
juga frasa “3 (tiga) nama calon” yang termuat dalam Pasal 8 ayat (3) UU 
MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY harus dimaknai “1 (satu) nama calon”, 
sehingga calon hakim agung yang diajukan oleh KY kepada DPR hanya 
satu calon hakim agung untuk setiap satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR.