Home » Archives for Agustus 2023
Rabu, 16 Agustus 2023
apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah
dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus
penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan anggota yang kini menjabat
patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi.
Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian
bertanggungjawab atas kegagalan.
Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas
dasar “mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi
kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM”.
Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara
kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi
pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan
dan pelanggaran HAM itu sendiri. Jika hasil kerja Komnas HAM memang
dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah
hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 22 Januari 2021)
MUNGKINKAH KOMNAS HAM TURUT DILAPORKAN
KE PENGADILAN KRIMINAL INTERNASIONAL?
Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komnas HAM memang
wajar. Terlalu banyak pertanyaan yang menggantung jawabannya
dari hasil penyelidikan yang telah dirilis. Soal tembak menembak,
kepemilikan senjata api, alas hukum pengintaian dan pembuntutan,
penyiksaan, komandan dalam Landcruiser, hingga kendaraan
pembuntut berisi petugas misterius. Pembunuhan yang dikategorikan
pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya dan siapa
pelaku penembakannya.
Adalah wartawan dan reporter senior FNN Eddy Mulyadi yang
membeberkan banyak kejanggalan rilis Komnas HAM. Berlembar
analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Tajam, akurat, namun
santai khas jurnalis yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada
personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul
Anam. Me Anam nyayangkan hasil kerja Tim yang minim meski menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM
menjadi kelu dan ragu-ragu.
Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu
disambut baik walaupun disesalkan kesimpulannya tidak sampai pada
terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan
membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM
berat. Telah nyata perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan.
Di samping masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim
Pencari Fakta (TPF) Independen, juga opsi untuk melibatkan lembaga
HAM internasional mengemuka. Perlu mengagendakan pelaporan
ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal
Court). Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki
kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat
tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Motif politik dari
pembunuhan atau pembantaian.
Dengan temuan atau kesimpulan “seribu kejanggalan” ini maka
andai kasus “Pelanggaran HAM Km 50” dapat dibawa ke tingkat
peradilan internasional maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan raguragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula. Komnas HAM termasuk
pihak yang telah turut mengaburkan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi, karenanya Komnas HAM
pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan “pelanggaran HAM”.
Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag diharapkan dapat
menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting
adalah “unwillingness” yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia
untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status “non state parties”
tidak menjadi halangan atas tafsir luas pasal 27 dan 28 Statuta Roma.
Kejahatan yang termasuk kategori “internasional crime” berdasarkan
prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk
dalam yuridiksi ICC tanpa melihat nasionalitas pelaku dan tempat
perbuatan. Pasal 28 Statuta menegaskan bahwa “atasan baik militer atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan
yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya”.
Aturan seperti ini sangat dirasakan penting untuk mampu
menghukum “the most responsible person” yang karena kekuasaan
dalam negara menjadi sulit dijangkau oleh lembaga peradilan domestik.
Peradilan kriminal internasional mampu menyeret Kepala Negara,
Anggota Parlemen, Kapolda, atau pejabat lainnya yang dikualifikasikan
terlibat dalam pelanggaran HAM (Vide Pasal 27 Statuta).
Andai sejumlah organisasi pembela HAM, tokoh dan aktivis, serta
keluarga korban dari pelanggaran HAM mengadu kepada Internasional
Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional independen,
mungkin misteri dari peristiwa “pelanggaran HAM Km 50” akan
terkuak. Dan yang terpenting adalah bahwa para pelaku atau perekayasa
kejahatan HAM tersebut dapat dihukum. Kejahatan kemanusiaan tidak
boleh dibiarkan atau terulang. Komnas HAM yang ikut bermain-main
dalam kasus sensitif ini patut pula bertanggungjawab atas kelu dan
ragu-ragunya itu.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 12 Januari 2021)
Kontras dan MUI Desak Komnas HAM Jelaskan Kronologi Peristiwa
yang Paling Akurat
Sebagaimana dilansir oleh sejumlah pers cetak dan elektronik—
antara lain Faktakini.net, Jakarta, dan Republik.Co.id, edisi Sabtu,
26 Desember 2020-- Fatia Maulidiyanti, Koordinator (Kontras)
mengatakan, penembakan mati enam Laskar FPI oleh kepolisian
sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Penembakan itu
sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran
terhadap asas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan. “Kontras
melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran
HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya
praduga tidak bersalah,” kata Fatia, dalam diskusi daring bertema
‘6 Nyawa dan Kemanusian Kita’, pada Jumat (25/12) malam. Fatia
mengatakan, ada beberapa aspek yang meyakinkan Kontras menilai
insiden tol di TKP Km 50 tersebut sebagai pelanggaran HAM. Polri
merupakan institusi resmi negara dalam penegakan hukum. Namun, ia
mengatakan pembelaan diri kepolisian bahwa penembakan dilakukan
sebagai upaya pembelaan diri merupakan keterangan sepihak, dan tak
dapat dibuktikan. Ia pun menilai pembelaan diri itu sebagai upaya yang
dipaksakan agar dipercayai publik.
Selain itu, ia mengatakan, tindakan yang tidak dapat dibuktikan
menjadi sebuah penghinaan bagi proses hukum. “Hukum itu seperti
tidak berguna untuk melakukan pembuktian atas dugaan tindak
pidana (penyerangan). Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa adil. Karena,
sudah tidak bisa dibuktikan, karena orang-orangnya (yang dituduh
kepolisian menyerang) sudah dibunuh, dan meninggal,” kata Fatia.
Fatia mengatakan, Kontras juga mempertanyakan dalih pembelaan
diri dari kepolisian tersebut. Dalam melakukan penegakan hukum,
Fatia mengatakan, kepolisian seharusnya hanya menembak untuk
melumpuhkan lawan. Fatia mengacu pada Perakpolri 1/2009 yang
berisikan aturan-aturan tentang pelumpuhan dengan senjata api. “Yang
namanya pelumpuhan, ya jelas untuk melumpuhkan. Bukan untuk
mematikan. Berarti di bagian tubuh yang memang tidak mematikan,”
kata Fatia.
Akan tetapi, dia mengatakan, dari dokumentasi jenazah
pascakejadian, luka-luka tembak di sekujur tubuh enam laskar FPI
tersebut, jelas memperlihatkan bagian-bagian vital sebagai target
tembakan. Kebanyakan di dada kiri yang menyasar jantung dan tak
ada satu pun luka bekas peluru tajam yang mendarat pada bagianbagian yang dimaksud untuk melumpuhkan. Fatia menambahkan,
pelanggaran HAM kepolisian terhadap enam laskar FPI ini sebetulnya
bukan kasus penembakan dengan sewenang-wenang yang pertama kali.
Fatia mengatakan, catatan Kontras, dalam tiga bulan terakhir terdapat
29 kasus penggunaan senjata api berpeluru tajam yang dilakukan oleh
kepolisian dengan cara serampangan. Namun dari catatan-catatan kasus
tersebut, tak ada satu pun perkaranya yang berujung pada pemberian
sanksi pemidanaan untuk dampak jera.
Karena itu, Fatia mengatakan, Kontras mendesak agar Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat menjalankan
perannya sebagai investigator atas pembantaian yang terjadi di
tol Km 50 tersebut. Komnas HAM juga harus menjelaskan kepada
publik, atas kronologi peristiwa yang paling akurat. Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Miftachul Akhyar bersama
Sekjennya, Amirsyah Tambunan, mengemukakan harapan yang
senada. “Mendorong semua pihak agar mengedepankan proses hukum
secara konsisten dan konsekuen, serta meminta aparat penegak hukum
membuka secara transparan dan sebenar-benarnya informasi mengenai
peristiwa tersebut,” ungkap KH Miftachul Akhyar di Jakarta, Rabu (9/12
2020). KEJAR AKTOR INTELEKTUAL PELANGGARAN HAM BERAT “KM 50”
Komnas HAM menuai kecaman karena tak mampu menuntaskan
tugas penyelidikan dengan baik. Terlalu banyak pertanyaan yang
menyertainya seperti benarkah tembak menembak, dimana dua
orang tewas ditembak, siapa penembak dua dan empat anggota
laskar, bagaimana menjelaskan bekas luka dugaan siksaan, siapa saja
penumpang dua mobil pembuntut misterius yang bukan polisi, mobil
“sang komendan” Landcruiser itu milik siapa, dan masih banyak lagi
pertanyaan lain.
Nyaris pekerjaan sia-sia Komnas HAM karena gagal menemukan
fakta-fakta penting. Normatif, tak ambil risiko, dan ujungnya pro-Polisi.
Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM sekedar menjadi
juru bicara Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial
melapor ke Presiden. Presiden bukan atasan Komnas HAM dan Komnas
bukan bekerja atas dasar perintah Presiden.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021 menyatakan
bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas dan diminta untuk
mendalami kembali hingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan
“unlawful killing” tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran
HAM tetapi pelanggaran HAM berat. Presiden hendaknya mendukung
pendalaman atau investigasi guna menyeret aktor intelektual hingga
proses peradilan.
Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” bukan
insiden kebetulan karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan
intens HRS dan FPI. Suatu cara kerja tidak lazim bahkan berindikasi
melanggar hukum.
Keberadaan mobil Landcruiser yang datang “mengomandani”
pembunuhan atau pembantaian patut untuk ditelusuri. Begitu juga
dengan keberadaan surat perintah atau surat tugas.Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini adalah
Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan mustahil juga Presiden
Republik Indonesia. Karenanya perlu kejelasan. Meski pihak Kepolisian
telah membantah keterlibatan atasan, akan tetapi indikasi yang ada
menuntut untuk pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak
agar dapat ditemukan aktor intelektual dari kejahatan ini.
Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual
pelanggaran HAM berat “Km 50” ini sangat penting untuk sekurangnya
tiga hal. Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk
melepas tanggung jawab atasan dan kepentingan politik yang lebih luas.
Kedua, menjadi terobosan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM
yang menggantung dan terus menjadi tagihan perilaku rezim. Ketiga,
dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan peradilan
HAM internasional.
Dari pantauan publik dan juga laporan “sederhana” Komnas HAM,
maka peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” diduga kuat menjadi
peristiwa berdesain matang dan panjang yang melibatkan satu atau
lebih aktor intelektual. Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan
saja rasional dan obyektif, tetapi juga merupakan jalan strategis bangsa
untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi Manusia.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 20 Januari 2021)MONUMEN HAM KM 50
Pembunuhan, bahkan banyak menyebut pembantaian, 6 anggota
laskar FPI oleh aparat kepolisian masih diselidiki Komnas HAM.
Masyarakat khususnya umat Islam sangat berharap kerja Komnas
HAM dapat maksimal. Kondisi jenazah yang kini beredar luas sangat
mengenaskan. Komentar terhadap keadaan ini “biadab”, “bengis” dan
lainnya. Tentu melihat pada kesan bekas penembakan dan penyiksaan
yang dilakukan oleh aparat yang katanya bermoral “Pancasila”.
Lokasi Km 50 jalan tol Jakarta-Cikampek adalah Tempat Kejadian
Perkara. Meskipun 4 syuhada dibawa ke tempat lain di saat kemudiannya,
namun KM 50 ini menjadi tempat terpenting sebagai saksi bisu kejadian.
Saksi hidup juga ada di area ini. Banyak pedagang berjualan di rest area
Km 50.
Kini Jasa Marga berencana menutup area ini dan para pedagang
yang berjualan di tempat tersebut merasa keberatan dan memprotesnya.
Alasan penutupan adalah renovasi. Meski agak aneh, lokasi penting
yang menjadi bukti suatu peristiwa tragedi yang menjadi perhatian
bangsa, bahkan bangsa-bangsa, begitu saja akan ditutup dan dibongkar
sementara penyelidikan kasus pun belum selesai.
Jika hasil penyelidikan ternyata terbukti telah terjadi pelanggaran
HAM berat di tempat ini, maka semestinya semua pihak mengingat
peristiwa tersebut. Menjadi pelajaran baik bagi masyarakat, aparat,
maupun pemerintah. Kejadian keji yang tidak boleh terulang di masa
depan. Oleh karena itu sepatutnya harus ada monumen pengingat.
“Monumen HAM Km 50” layak untuk dipertimbangkan
pembuatannya, apalagi rest area ini akan ditutup dan dibongkar. Aparat
jika benar bersalah tak usah risi dengan keberadaan monumen. Begitu
juga jika pihak lain yang bersalah. Justru bangsa ini yang harus merasa
malu atas terjadinya pelanggaran HAM yang memilukan. Simbol untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung nilai-nilai
ideologi Pancasila.
Bila di Lubang Buaya terdapat monumen “Pancasila Sakti”, maka di
Km 50 ini layak untuk menjadi monumen “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab” dengan “Rantai Emas” sebagai simbol ikatan kemanusiaan
atau persaudaraan manusiawi.
Meskipun demikian, sebagai bangsa yang menghormati hukum
maka realisasi dari gagasan ini sangat digantungkan pada hasil akhir
penyelidikan Komnas HAM atau lembaga pencari fakta independen
yang mungkin dibentuk esok.
Yang jelas, di waktu kapan dan di bawah kepemimpinan siapa pun,
bangsa dan rakyat Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam
menegakkan Hak Asasi Manusia. Tidak toleran terhadap segala bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun atau rezim mana pun.
“Monumen HAM Km 50” patut untuk dibangun. Sejarah tidak boleh
dilupakan. (HM Rizal Fadillah, Bandung, 23 Desember 2020)
BAYANG-BAYANG” FAKTA KASUS SIYONO DI TKP KM 50?
Kasus tewasnya enam Laskar FPI sungguh menyita perhatian
masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Soalnya,
peristiwa tersebut berkaitan erat dengan eksistensi organisasi
kemasyarakatan bernama Front Pembela Islam (FPI) dan tokoh
pendirinya, HRS. Karenanya, saat Polri—Kapolda Metro Jaya—
melakukan konferensi pers, masyarakat pun menyimaknya sekaligus
ada yang mengkritisinya. Berubahnya pernyataan penjelasan yang
dilakukan Kapolda Metro Jaya terkait senjata yang disebut-sebut dimiliki
Laskar FPI, jelas mengundang sejumlah pertanyaan dan pernyataan
tokoh masyarakat. Demikian halnya saat terbetik kabar Komnas HAM
akan menurunkan tim penyelidiknya dalam kasus tersebut, sejumlah
anggota masyarakat dan pengamat menyambutnya baik. Pasalnya, di
beberapa kejadian yang korbannya sipil dan meninggal dunia, Komnas
HAM meraih simpati masyarakat lantaran menyelidiki dengan baik
dan berhasil “membongkar” kebohongan yang diduga dilakukan Mabes
Polri.
Misalnya, dalam kasus meninggal dunianya Siyono di dalam mobil
saat ditangkap dan diperiksa aparat Densus 88. Saat itu, Kapolri, Jenderal
Bodrodin menyatakan Siyono meninggal dunia karena menyerang
petugas untuk merebut senjata api saat di dalam mobil. Akhirnya, petugas
melakukan tindakan tegas dan terukur untuk melumpuhkannya. Siyono
dinyatakan meninggal setelah dibawa ke rumah sakit Bhayangkara
Polda DIY. Padahal saat dijemput dari rumahnya, Siyono sehat dan
tubuhnya tidak ada luka-luka. Setelah istrinya mengadukan kecurigaan
penyebab kematiannya kepada Komnas HAM dan dilakukan autopsi
ulang jenazah oleh tim dokter gabungan dari RS Muhammadiyah
dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, maka terbukti Siyono
meninggal karena siksaan dan bukan melawan atau menyerang
petugas kepolisian yang menangkapnya. “Tidak ada luka tangkis wujud perlawanan dari Siyono di sekujur tubuh,” jelas Komisioner Komnas
HAM, Siane Indriyani dalam keterangan pers di kantor Komnas HAM,
Senin, 11 April 2016.
Alhasil, tutur Siane, pernyataan Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia yang sebelumnya beberapa kali menyebut bahwa Siyono
melakukan perlawanan bahkan menyerang polisi yang mengawalnya
adalah sebuah kebohongan. “Pernyataan bahwa Siyono telah
melakukan perlawanan, saya katakan itu tak benar,” tegasnya. Siane
menambahkan, hasil autopsi juga menyimpulkan Siyono dipukul
dalam posisi seperti merebahkan diri di suatu tempat. Seluruh tubuhnya
mengalami kerusakan, dengan kerusakan paling parah di bagian dada.
“Jadi, kesimpulan sementara adalah Siyono pasrah saat dipukul oleh
petugas Densus 88. Guru ngaji warga Klaten itu akhirnya meninggal
dunia,” ujarnya. Pernyataan Siane didukung ketua tim autopsi, dr. Gatot
Suharto. Bahkan menurut dia, akibat pemukulan itu, beberapa bagian
dada Siyono patah hingga menusuk jantung. Ia mencatat lima tulang
iga sebelah kiri yang menghadap keluar dan satu tulang iga kanan yang
patah menjorok ke dalam. Kerusakan parah pada bagian dada inilah
yang kemudian disebut sebagai penyebab kematian Siyono. “Bagian
dada patah semua. Pundak dan sekujur bagian tubuh juga ada patah
dan lebam,” jelas Gatot.
Bagaimanakah respons Mabes Polri terhadap kesimpulan Komnas
HAM saat itu? Nyatanya, Polri bersikukuh menyatakan tak ada yang
salah dengan penangkapan Siyono. Saat itu, Kapolri Badrodin Haiti
mengatakan Siyono merupakan salah satu panglima dalam jaringan
Jamaah Islamiyah yang menyimpan informasi tentang senjata-senjata
milik jaringan tersebut. “Siyono ditangkap setelah pengembangan dari
penangkapan anggota jaringan sebelumnya oleh Detasemen Khusus
88 Antiteror,” kata Badrodin dalam rapat bersama Komisi III DPR
di Jakarta, Rabu (20/4/2016). Badrodin mengakui ada prosedur tetap
(protap) operasional yang dilanggar Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror dalam penanganan terduga teroris Siyono yang tewas setelah ditangkap. “Anggota yang menangani dan komandannya saat ini
sedang diperiksa dan menjalani sidang disiplin karena ada kelalaian,”
kata Badrodin. Dikemukakannya, prosedur standar operasional yang
dilanggar anggota dalam penanganan Siyono adalah soal pengawalan.
Siyono hanya dikawal oleh satu orang yang seharusnya lebih dan dia
dalam keadaan tidak diborgol.
“Saat itu, Siyono tidak diborgol agar bersikap kooperatif saat
dibawa untuk mengembangkan informasi. Namun, saat di mobil
dalam perjalanan di perbatasan antara Klaten dan Prambanan, Siyono
menyerang anggota,” ujarnya. Badrodin mengakui perkelahian dan
pergumulan di dalam kendaraan tidak terhindarkan. Selain memukul,
Siyono terus berusaha menendang dan merebut senjata milik anggota
yang mengawal. Tendangan Siyono bahkan mengenai kepala pengemudi
sehingga kendaraan berjalan oleng dan sempat menabrak pembatas
jalan. Anggota yang mengawal akhirnya berhasil melumpuhkan Siyono
yang terduduk lemas. “Siyono dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara
Polda DIY yang kemudian dinyatakan sudah meninggal dunia. Dari hasil
pemeriksaan luar, ditemukan memar di kepala sisi kanan belakang,
pendarahan di bawah selaput otak dan tulang rusuk patah akibat benda
tumpul,” katanya. Kasus Siyono ini, sempat menjadi obrolan sejumlah
wartawan saat meliput konferensi pers yang digelar Komnas HAM
terkait hasil kerjanya dalam kasus tewasnya enam Laskar FPI. Sesama
wartawan mencoba mengingat-ingat gelaran konferensi pers yang
diadakan oleh Komnas HAM. Dalam hal ini, ada kemiripan kejadian
antara Siyono dengan para korban Laskar FPI, seperti meninggalnya
di dalam mobil setelah—menurut Kapolda Metro Jaya,…..---melakukan
penyerangan ke petugas Polri yang mengawalnya, sehingga diambil
tindakan tegas dan terukur berupa pelumpuhan terhadap Siyono.
Adapun yang membedakannya saat ini, dalam kasus Siyono ternyata
tim Komnas HAM menjelaskan hasil kerjanya yang menyangkal
penjelasan Kapolri (saat itu). Siyono, menurut hasil penyelidikan autopsi
jenazah, meninggal dunia bukan karena melawan petugas Densus 88 di dalam mobil. Sedangkan dalam kasus tewasnya Laskar FPI, Komnas
HAM menjelaskan terjadinya pelanggaran HAM (bukan pelanggaran
HAM berat) yang dilakukan oleh polisi saat membawa empat Laskar
FPI di dalam mobil. Dan, Komnas HAM menyatakan kasus tersebut
bisa diproses dalam mekanisme pengadilan pidana lantaran bukan
pelanggaran HAM berat
SAMBUTAN HRS MENJELANG SALAT JENAZAH
ENAM PENGAWAL HRS
Bogor, 9 Desember 2020
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dalam kesempatan
ini saya ingin menyampaikan beberapa poin penting untuk segenap
keluarga para syuhada, segenap pengurus Dewan Pimpinan Pusat
FPIslam, segenap laskar dan simpatisan FPIslam Bahkan untuk seluruh
warga dan bangsa Indonesia. Pertama, Keterangan pers secara resmi
yang sudah dikeluarkan DPP FPIslam tentang kronologis penembakan
yang terjadi isinya adalah benar. Sekali lagi saya sampaikan, kronologis
yang sudah dibuat dan disebar DPP FPIslam saya memberikan kesaksian
sebagai salah satu saksi korban selama kejadian bahwa isi keterangan
pers itu benar. Kedua, yang ingin saya sampaikan di sini bahwa pada
saat kejadian, tidak ada satu pun di antara kami, baik saya dan keluarga,
maupun seluruh laskar pengawal yang mengira kalau yang melakukan
pengejaran, memepet, mengganggu adalah dari kepolisian. Sama
sekali kami tidak menduga, kami tidak pernah mengira, apalagi kami
mengerti.
Yang kami tahu mereka adalah orang-orang jahat yang ingin
mencelakakan kami. Dan jumlah mereka bukan 1 2 3 mobil, banyak
sekali mobil saling silih berganti, berupaya untuk maju ke depan untuk
bisa sampai ke mobil Habib Hanif, yang persis ada di belakang saya.
Bahkan untuk bisa mencapai mobil saya yang ada di depan. Tapi dengan
gagah luar biasa para syuhada kita, laskar-laskar pengawal yang paling
belakang ini ada 2 mobil. Luar biasa, mereka tegas, mereka bela, mereka
berani, mereka dengan begitu luar biasa mengendalikan situasi dan
kondisi sehingga para penjahat tadi tidak satu pun yang berhasil untuk
mencapai kami. Allahu Akbar. Bagaimana sigapnya mereka, cerdasnya
mereka, pintarnya mereka, beraninya mereka tanpa senjata. Itu kedua
yang mau saya sampaikan.Dan poin ketiga, bahwa tuduhan para pengawal dipersenjatai
adalah fitnah besar, bohong besar. Tidak ada satu pun pengawal kami
yang dipersenjatai. Karena kami tidak pernah mengira sekali lagi kalau
kami akan diperlakukan seperti itu. Para pengawal ini adalah standar
pengawal biasa. Pengawal standar keluarga biasa. Saya ada 4 mobil,
semua isinya keluarga, anak, mantu, saudara, cucu-cucu kami semua
ikut. Ada 3 masih bayi, masih minum air susu ibu. Dan masih ada 4 di
bawah 4 tahun bahkan di bawah 3 tahun. Jadi benar kami sekeluarga
semua. Sudah. Nah jadi yang ingin saya sampaikan di sini adalah para
laskar ini mengawal, tugas mereka mengawal bukan untuk mengganggu
siapa pun. Jadi sudah benar melaksanakan tugas ketika begitu banyak
mobil menyalip, kemudian ingin membahayakan kami, mereka
menjalankan tugas dengan tertib. Mereka enggak mencelakai dengan
sangat cantik, yaitu bagaimana mereka mengusir satu per satu mobilmobil tersebut sehingga tidak berhasil masuk ke dalam rombongan.
Keempat yang mau saya sampaikan di sini, dengan takbir Allah, tanpa
mereka-mereka inilah syuhada mungkin kami sudah digiring ke medan
pembantaian yang mereka rencanakan. Allah sudah menakdirkan
sesuai dengan kehendak Allah. Demi Allah, saya dan keluarga siap setiap
saat untuk menghadapi mati syahid. Tidak akan mundur selangkah
pun juga, tidak akan pernah takut untuk menghadapi segala ancaman
dan teror. Begitu saya sampaikan sekali lagi, keenam laskar yang mati
syahid ini, mereka laskar yang luar biasa. Mereka laskar yang setia,
bahkan Anda bisa dengarkan dalam rekaman-rekaman yang tersebar,
yang viral di mana-mana, bagaimana mereka tertawa, saudara, senang
begitu melihat saya dan keluarga semua sudah terbebas dari kejaran.
Begitu mereka melihat saya dan keluarga sudah berhasil meluncur
keluar dari kejaran. Mereka senang. Padahal sebentar lagi mereka akan
dibantai. Mereka digiring ke medan pembantaian dan sampai saat itu
kami tidak pernah tahu kalau mereka melakukan pembantaian adalah
pihak kepolisian.Kami tidak pernah tahu, kami tidak pernah suudzon. Kami enggak
pernah menuduh. Bahkan kalau siaran pers DPP FPIslam masih
cantumkan orang tidak dikenal. Karena kami tidak berani menuduh
siapa pun tanpa bukti. Kami tidak berani menuduh siapa pun tanpa saksi.
Itu ajaran Islam, enggak boleh kita menuduh siapa pun tanpa bukti dan
saksi yang kuat. Tapi subhanallah tatkala dari pagi sampai siang kami
kerahkan laskar-laskar Karawang, dipimpin oleh pimpinannya, masuk
ke setiap rumah sakit wilayah Karawang, masuk setiap kantor polisi di
Karawang, menyapu bersih itu jalan tol. Setiap orang kita tanya semua
dalam rangka untuk mencari para syuhada ini, di mana mereka. Tapi
subhanallah akhirnya Allah buka mulut mereka, saudara. Allah buka
mulut mereka saudara. Allah buka mulut mereka saudara. Enggak bisa
mereka sembunyikan. Enggak bisa mereka sembunyikan saudara. Allah
maha kuat, Allah maha besar, Allah maha kuasa.
Kapolda Metro Jaya menyebut para menyerang para penyergap,
para penguntit saudara, kami semua mengira itu penjahat, saudara,
yang mau mencelakai kami ternyata diakui sebagai bagian daripada
penyelidikan, bagian daripada penyidik dan Polda Metro Jaya. Bukan
kami yang menuduh, mereka yang mengakui. Kalau mereka nutup
mulut, tidak pernah mengaku, sampai kapan pun kami tidak akan
pernah tahu. Subhallah. Hanya hitungan jam saudara Allah buka
mulut mereka. Padahal kalau mereka menutup seumur hidup pun
kami enggak akan pernah tahu. Tapi Allah maha tahu, Allah maha
berkehendak. Allah buka mulut mereka saudara, Allah buka pengakuan
mereka saudara, sehingga sekarang menjadi terang benderang siapa
para pelaku penjahat itu saudara.
Ini poin-poin penting yang ingin saya sampaikan. Dan semalam
sudah kita sudah membentuk tim untuk memeriksa secara utuh
bagaimana kondisi daripada 6 jenazah syuhada kita. Saya sudah
mendapatkan laporan secara lengkap, nanti pada saat yang tepat akan
kita agendakan siaran pers secara nasional dan kita sampaikan kepada
semua, seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, kami akan menuntut jalur hukum secara prosedur. Kami akan kejar siapa pun yang terlibat dalam
pembantaian ini. Kami enggak akan biarkan mereka tidur tenang.
Allahu Akbar. Begitu saya minta seluruh rakyat dan bangsa Indonesia,
tahan diri, sabar. Kita hadapi dengan elegan, kita tempuh prosedur
hukum yang ada. Lalu kalau prosedur hukum yang ditempuh dengan
membaik, insyaallah semua akan terbongkar, siapa yang melakukan
pembantaian di medan lapangan sampai siapa yang di balik otak saudara
semua akan kita ungkap. Tapi kalau Anda emosi, kalau Anda berjuang
sendiri-sendiri, maka ini akan terkubur tidak akan pernah terungkap.
Maka itu saya minta sekali lagi, sabar, sabar. Ada saatnya. Ada saatnya
akan kita melakukan perlawanan. Ada saatnya, ada saatnya kita harus
melakukan jihad fi sabilillah. Allahu Akbar.
Jangan lupa, syuhada kita yang enam ini saudara mereka sudah
melakukan tugas jihadnya menjaga ulama dan mereka sudah mendapat
hadiahnya dari allah sebagai syahid. Insyaallah syuhada mereka
diterima oleh Allah SWT. dan saudara, memang kami minta bantuan
dari keluarga masing-masing untuk bisa dimakamkan di Pondok
Pesantren Markaz Syariah ini. Saya ini nah akan kami dari salah satu
para syuhada kita atas permintaan keluarga mereka ibunya yang
begitu cinta pada sang anak ya dibawa ke rumahnya dan dikubur di
rumahnya. Jadi sekali lg mudah-mudahan semua syuhada diterima di
sisi Allah. Saya tidak ingin berpanjang lebar lagi tapi sekali lagi bahwa
DPP FPIslam bersama dengan seluruh ormas-ormas Islam yang ada
bagaimana kalau kita menyampaikan pernyataan sikap bersama di
mana kita kompak semua satu kata bahwa harus dibentuk tim pencari
fakta independen yang melibatkan semua elemen, yang melibatkan
komnas HAM, Amnesti Internasional, bahkan kami minta juga Komnas
HAM anak untuk ikut berbuat. karena di dalam kejadian itu ada 3 bayi
dan masih ada lagi 4 balita dan 1 lagi balita dan salah seorang anak
kami. Jadi tidak kurang dari 12 wanita, 3 bayi, dan 6 balita yang masih
berada di bawah 5 tahun.Komnas HAM anak enggak boleh diam, karena pada saat kejadian
itu ada bayi-bayi yang ketakutan karena mobil itu meluncur tidak
wajar, tidak semestinya. Dan dalam mobil-mobil tersebut, bayi-bayi itu
menangis, ibu-ibu itu menangis. Mereka terintimidasi, mereka tidak
takut dengan satu teror yang luar biasa. Maka itu sekali lagi Komnas
HAM Perempuan, Komnas HAM anak mereka semua harus ikut terlibat.
Tidak boleh ketidakadilan, tidak boleh kejadian semacam ini dibiarkan
terjadi di dalam NKRI. Hari ini, kejadian sadis brutal seperti ini bisa
menimpa saya dan keluarga, bisa menimpa 6enam syuhada, maka kalau
dibiarkan besok akan bisa menimpa siapa saja keluarga di Indonesia.
Maka itu saya ajak semua elemen bangsa ini dari mulai Presiden,
DPR-nya, dan seluruh institusi terlibat, secara bersama-sama untuk
mengungkap fakta yang sebenarnya apa yang terjadi di balik semua
ini. Itu saja. Sekali lagi malam itu saya dan keluarga keluar lewat dari
jam sepuluh malam, kenapa kami lewat jam sepuluh malam? Karena
pikir kalau keluar jam 7 atau maghrib banyak crowded di jalan. Kalau
lewat dari jam 10 supaya jalan agak senggang. Kami harap sekitar jam
12 atau lewat kami sudah sampai di tujuan. Tujuan kami suatu tempat
peristirahatan yang cocok buat kesehatan. Kami sedang membutuhkan
sedikit waktu lagi untuk memberikan tenaga kami kesehatan kami. Dan
selain itu juga enggak pernah nyangka kalau perjalanan kita malam
itu sebetulnya sudah direncanakan oleh pihak lain untuk digiring ke
medan pembantaian.
Kami tidak pernah menyangka dan kami tidak pernah menduga.
Tujuan kami hanya kesehatan sehingga jam 12 atau jam setengah 1 kami
sudah sampai, istirahat dan sungguh kami punya pengajian keluarga,
baca quran, hadits zikir hanya khusus buat keluarga kecil kami aja. Anak
mantu cucu dan untuk baby sitter yang menemani kami untuk juga
beberapa anggota keluarga kami. Jadi kami enggak permah menyangka
apa yang sebetulnya sederhana indah saudara ternyata sedang digiring
ke medan pembantaian. Dan subhanallah akhirnya kami semua
selamat berkat takdir Allah berkat perjuangan keenam syuhada. Tanpa perjuangan ke-6 syuhada ini mungkin kami saat ini tidak bertemu Anda
lagi di sini. Maka itu saya sampaikan sekali lagi kepada keluarga para
syuhada Anda semua harus sabar ke Allah ridho atas keputusan Allah
dan jangan khawatir keluarga Anda yang kembali pada Allah ini mati
syahid Allah akan masukkan mereka ke dalam surganya dan berikan
kelak syafaat untuk menolong seluruh anggota keluarganya untuk
masuk ke surga. Itu saja yang ingin saya sampaikan kita tidak ingin
menunda lagi, silakan saf pertama keluarga.
FAKTA TEMUAN
DAN REKOMENDASI KOMNAS HAM
Bahwa didapatkan fakta juga telah terjadi upaya pengintaian dan
pembuntutan terhadap MRS (atau HRS) yang dilakukan oleh petugas
yang dinyatakan bukan dari kepolisian oleh polisi sejak dari kawasan
Markaz Syariah Megamendung hingga ke kawasan Sentul Bogor Jawa
Barat pada tanggal 4 Desember 2020.
Mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang
yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B.1739 PWQ dan Avanza
silver B 1278 KJD
1. Saat diperiksa oleh Komnas HAM, aparat kepolisian dari Polda
Metro Jaya mengakui adanya kendaraan “tim lain” yaitu Avanza
silver bernopol B 1278 KJD dan Avanza hitam nopol B 1739 PWQ,
yang turut melakukan penguntitan dan atau pembuntutan terhadap
rombongan HRS pada Ahad-Senin (6-7/12 2020).
2. Fakta-fakta temuan yang menunjukkan adanya “Operasi
Delima”dan atau fakta terkait lainnya telah disampaikan oleh
pihak FPI dan atau keluarga korban pembunuhan enam Laskar
FPI kepada Tim Penyelidik Komnas HAM (pada saat pemeriksaan
oleh Komnas HAM tanggal 7 dan Desember 2020 dan 6 Januari
2021, berupa (a) Voice note sejumlah 105 percakapan, (b) Rekaman
pembicaraan, (c) Foto mobil yang dicurigai, (d) Jejak digital untuk
lini masa digital, (e) Foto-foto terkait peristiwa tanggal 4 Desember
2020 di Megamendung.
3. Badan Intelijen Negara (BIN) acapkali membantah suatu kasus yang
melibatkan anggotanya sebagaimana terungkap fakta peristiwa
meninggalnya anggota BIN bernama seorang gadis belia bernama
Gayatri Wailissa (17) yang dikenal jenius lantaran menguasai 14
bahasa asing. Gayatri meninggal pada Kamis (23/10 2014 pukul 19.15 WIB konon karena sakit di RS ABdi Waluyo Menteng Jakarta
Pusat.
4. Adalah fakta benar bahwa orangtuanya menjelaskan kepada publik bahwa anaknya direkrut dan dididik oleh BIN, sehingga karenanya
saat prosesi pemakaman jenazahnya ditampilkan foto besar
almarhum yang mengenakan “busana kebanggaannya” sebagai
anggota BIN. Jejak publisitas Media Tribunnews.com Jakarta , Minggu
26 Okt 2014, 16.30 WIB, mengungkapkan fakta bahwa Nurul Idwati,
ibunda almarhumah Gayatri Wailissa (17) mengatakan selama
di Jakarta, anaknya menjadi anggota BIN. Hal itu senada dengan pernyataannya saat diwawancara khusus oleh kru Metro TV, Sabtu
(25/10 2014).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gayatri Wailissa gadis ajaib
yang menguasai belasan bahasa asing yang meninggal, di
Jakarta Kamis (23/10/2014) disebut sebagai anggota BIN. Kabar
mengenai keanggotaan BIN remaja 17 tahun dengan kemampuan
di atas normal itu menyebar usai wawancara stasiun televisi di
hari pemakaman Gayatri, Sabtu (25/10/2014) di Ambon.
“Gayatri cerita, pernah di latih BIN. Pada tanggal 19 September,
pulang ke Ambon. Dia menceritakan seperti itu, latihan
seperti kungfu, bela diri, menembak,” kata ibunda Gayatri saat
diwawancara.
Gayatri diketahui juga sebagai anak angkat Pangdam Brawijaya
Eko Wiratmoko.
5. Terkadang penjelasan pejabat BIN mengandung makna yang
secara implisit maupun eksplisit menunjukkan “fakta yang benar”
tentang keanggotaan dan atau keterlibatan BIN dalam suatu kasus,
sebagaimana fakta penjelasan BIN terkait kasus Gayatri tersebut.
Fakta jejak rekam publisitas penjelasan pejabat resmi BIN dalam
kasus ini, terungkap dari ekspose berita yang dilansir media
Tribunnews.com Senin, 27 Okt 2014 jam 01.38 WIB sebagai berikut:
Kepala BIN Marciano Norman membantah Duta Asean itu anggota
BIN. “Tapi yang bersangkutan (Gayatri) tidak pernah mendaftarkan
diri sebagai anggota BIN,” ujar Marciano usai mengikuti sidang kabinet
yang dipimpin Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin
(27/10 2014).
Namun Marciano memuji kecerdasan Gayatri yang di atas rata-rata,
terutama mampu menguasai 13 bahasa internasional itu. Menurutnya,
kecerdasan Gayatri memang cocok mengisi kriteria seorang anggota BIN. Kecerdasan Gayatri memang cocok mengisi kriteria seorang anggota
BIN. “Kecerdasannya di atas rata-rata itu bagus. Kami dukung,” kata
Marciano.
Marciano juga tidak lupa mengucapkan turut berduka cita atas
meninggalnya Gayatri. Ia juga mengucapkan rasa bangga karena
bangsa Indonesia memiliki warga negara yang kecerdasannya di atas
rata-rata. “Kita kehilangan atas berpulangnya yang bersangkutan,”
ujar Marciano
6. Berdasarkan jejak rekam publisitas petinggi (Purn) TNI yang
menyoroti kasus Gayatri menyatakan bahwa Gayatri adalah
anggota BIN. Fakta tersebut terungkap dari berita berjudul “Gadis
Ajaib Meninggal Mendadak ; TB Hasanuddin: BIN Gegabah dan Tidak
Etis Rekrut Gayatri”, edisi Minggu 26 Oktober 2014, 09. 09 WIB, yang
mem-publish sebagai berikut:
Anggota DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengkritik
keras atas perekrutan Gayatri Waillissa gadis berusia 17 tahun yang
menguasai 13 bahasa asing sebagai anggota BIN, namun meninggal
dalam usia muda. “Sangat mengejutkan kalau BIN merekrut pelajar. Itu
adalah tindakan gegabah dan rawan. Apalagi kalau benar dia sudah
dilatih misalnya tindakan yang dianggap rahasia sampai dengan
tindakan menggunakan senjata api,” tegas TB Hasanuddin yang juga
ahli intelijen kepada Tribunnews di Jakarta, Sabtu (25/10 2014).
Menurut Hasanuddin, usia 17 tahun itu kejiwaannya masih labil
dan tidak layak menjadi anggota BIN. Itu kan seorang pelajar, kalau
kemudian sesudah dilatih justru dimanfaatkan oleh klompok tertentu
untuk kepentingan tertentu. Apalagi setelah Gayatri meninggal,
kemudian pihak keluarga yakni ibunya menyampaikan bahwa putrinya
adalah anggota BIN. Bagi TB Hasanuddin itu adalah bukti pada saat
rekrutmen, lingkungan tidak menjadi bahan pertimbangan. “Berarti
BIN gegabah,” katanya.
TB Hasanuddin mengatakan, sah saja BIN merekrut orang yang
memiliki keahlian menguasai banyak bahasa. Namun yang direkrut
tersebut sifatnya harus jangka panjang dan orang yang sudah stabil
kejiwaannya. Jadi, tidak mentang-mentang ada orang yang jago bahasa
asing, lalu direkrut begitu saja meski usianya masih belia. Baginya,
merekrut anggota BIN itu bebas dan tidak ada aturan, namun harus
menunjukkan unsur kehati-hatian agar hal yang ia merugikan negara
atau BIN tidak terjadi.
7. Adalah benar fakta bahwa sipil dapat menjadi anggota BIN,
sebagaimana fakta jejak rekam digital. Media CNN Indonesia,
Senin (22/6 2015, 18.41) yang mengungkapkan penjelasan (saat itu)
Kepala BIN, Marciano Norman bahwa mayoritas anggota BIN itu
berlatarbelakang sipil. “Anggota BIN itu gabungan, ada sipil, polisi,
dan juga militer. Komposisinya 80 persen sipil, 20 persen TNI dan
Polri,” katanya di gedung DPR RI, Senin (22/6 2015).
8. BIN menginstruksikan dan atau mensyaratkan anggotanya untuk—
selain memiliki nama asli juga nama ganti atau aliasnya—sehingga
tidak adanya nama Gayatri merupakan sesuatu yang wajar. Fakta
jejak rekam publisitas menyatakan, seorang pengamat intelijen,
Ridlwan Habib (sebagaimana dilansir Tribunnews.com/Sabtu 25/okt
2014 22.23) mengungkapkan bahwa BIN memang mencari bakatbakat cerdas dari siswa berprestasi di SMA seluruh Indonesia. Anak
tersebut dididik di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Sentul
Bogor, setiap angkatan sekitar 40 s.d 0 anak. Dalam perekrutan
ini, BIN membuat ketentuan, bahwa anak-anak yang lolos seleksi
untuk mengikuti pendidikan di STIN itu harus mengubah nama.
Nama awalnya Agus, misalnya, diubah bisa menjadi Hendra.
Nama baru itu untuk nama dia untuk selamanya saat menjadi
anggota BIN. Ridlwan menyebutkan, siswa STIN BIN tersebut harus
sepengetahuan orangtuanya bahwa anaknya akan dididik menjadi
anggota BIN. Jadi yang tahu itu anak BIN ya hanya orangtuanya. Bisa
juga ayah atau ibunya. “Kakak atau adiknya tidak ada yang tahu.
Bahkan setelah nikah, suami atau istri tidak tahu,” ujar Ridlwan.
PEMBERITAAN MEDIA TENTANG
PERISTIWA 4 DESEMBER 2020 DI MEGAMENDUNG
Adalah fakta benar bahwa selain media @opposite, juga media
Tempo (12/12 2020) dan media lainnya yakni fajar.co.id (2020/12/07) ;
video.tempo.co (19/12 2020) ; kabar24bisnis.com ; merdeka.com ; liputan6.
com ; antaranews.com ; news.detik.com ; akurat.co ; www.suara,com ; www.
tribunnews.com mengungkapkan fakta peristiwa tanggal 4 Desember
2020 di Megamendung tersebut sebagaimana fakta informasi yang
dilansirnya berikut ini:
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
MERUPAKAN PELANGGARAN HAM BERAT
(PELANGGARAN TERHADAP KETENTUAN PERATURAN)
A. UUD 1945
1. Bahwa merujuk pada Pembukaan (Preambule) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) alinea
keempat disebutkan secara tegas tujuan dari negara Indonesia
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
Aline 4 UUD 1945 menyebutkan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia..”
2. Bahwa untuk mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka Konstitusi
UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan terhadap Warga
Negara Indonesia bersamaan dengan Hak-hak Asasi yang melekat
padanya, di antaranya adalah hak setiap warga negara Indonesia
atas:
a. “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan
kehidupannya (Pasal 28A);
b. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 28B ayat 2)
c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum (Pasal 28D);
d. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakukan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain” (Pasal 28G Ayat 2);
f. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan(Pasal 28H Ayat 2);
g. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapkan hukum, dan hak
untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun (Pasal 28 I ayat 1)
h. Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28 I ayat 2)”.
B. PELANGGARAN UNDANG-UNDANG
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
disebutkan:
a. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman
atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaannya;
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan
penghilangan nyawa;
2. Bahwa masih dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 104 ayat (1) disebutkan:
Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
Dalam penjelasan pasal 104 disebutkan:
Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat”
adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenangwenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan,
atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimination)
3. Bahwa Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, inhuman
or Degrading Treatment or Punishment), Konvensi ini mengatur
pelanggaran penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan
atau merendahkan martabat manusia.
Pasal 1
(1) Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “Penyiksaan” berarti setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan
rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani,
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari
orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan
oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa
orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang
didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan
tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan,
atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa
sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau
diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.
(2) Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional
atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar
atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan
yang lebih luas.
Pasal 2
(1) Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif,
administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk
mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.
(2) Tidak ada pengecualian apa pun, baik dalam keadaan perang atau
ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau
keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran
penyiksaan
(3) Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai
pembenaran penyiksaan.
Pasal 3
(1) Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir,
mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang
ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk
menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat
menjadi sasaran penyiksaan.
(2) Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam
itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal
yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap
pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi
manusia di Negara tersebut.
Pasal 4
(1) Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan
adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya. Hal
yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan,
dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan
dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut
serta dalam penyiksaan.
(2) Setiap Negara Pihak harus mengatur agar pelanggaranpelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan
mempertimbangkan sifat kejahatannya.
Pasal 5
(1) Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah seperlunya
untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas pelanggaran yang
disebut pada pasal 4 dalam hal-hal berikut:
a. Apabila pelanggaran dilakukan di dalam suatu wilayah
hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat terbang yang
terdaftar di Negara itu;
b. Apabila yang dituduh melanggar adalah warga dari Negara
tersebut;
c. Apabila korban dianggap sebagai warga dari Negara tersebut,
dan Negara itu memandangnya tepat.
(2) Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan seperlunya
untuk menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran, dalam kasus
yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran berada di wilayah
kekuasaannya dan Negara itu tidak mengekstradisikannya sesuai
dengan pasal 8 ke Negara lain sebagaimana disebut dalam ayat 1
pasal ini.
(3) Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana
apa pun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 6
(1) Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang
tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua
Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh
telah melakukan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, akan
menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk
menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu indakan hukum itu
harus disesuaikan dengan hukum Negara tersebut, tetapi dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur
pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan.
(2) Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal
berdasarkan fakta yang ada
(3) Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini harus
dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan Negara
yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika
ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan Negara
tempat ia biasanya menetap.
(4) Apabila suatu Negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan
seseorang, Negara tersebut harus segera memberitahu Negara yang
disebut dalam pasal 5 ayat 1 tentang kenyataan bahwa orang tersebut
berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya. Negara yang
melakukan penyelidikan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat
2 pasal ini akan segera melaporkan temuannya kepada Negara
tersebut dan menunjukkan apakah pihaknya akan melaksanakan
kewenangan hukum.
4. Bahwa berdasarkan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik (International Convenant on Civil and Political Rights),
disebutkan:
Pasal 6
(1) Setiap manusia berhak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak
ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas
hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Pasal 7
(1) Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan
atau hukuman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek
eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan
secara bebas
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak atas bebas dan keamanan pribadi. Tidak seorang
pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak
seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan
alasan-alasan yang sah, sesuai prosedur yang ditetapkan oleh
hukum
(2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat
penangkapan dan harus sesegera mungkin diberi tahu mengenai
tuduhan yang dikenakan terhadapnya
(3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan
pidana. Wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat
lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan
kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu
yang wajar, atau dibebaskan. bukan merupakan suatu ketentuan
umum, bahwa orang-orang menunggu diadili harus ditahan, tetapi
pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada
waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan
putusan, apabila diputuskan demikian;
(4) Siapa pun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan
atau penahanan, berhak disidangkan di depan pengadilan,
yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat
menentukan kebebasan penangkapannya, dan memerintahkan
pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum;
(5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau
penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian
yang harus dilaksanakan.
Pasal 14
(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan
pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan
pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan
kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan
peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk
menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk
mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral,
ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat
yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut
pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi
justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri, namun setiap
keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata
harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana
kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila
persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan
atau perwalian anak-anak.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap
tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum
(3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya,
setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini,
dalam persamaan yang penuh:
a. Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa
yang dapat dimengerti, tentang sifat dan alasan tuduhan yang
dikenakan terhadapnya;
b. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara
yang dipilihnya sendiri;
c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
d. Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela
diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya
sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak
mempunyai pembela dan untuk mendapatkan bantuan hukum
demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak
memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;e. Untuk memeriksa atau meminta diperiksa saksi-saksi yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksa
saksi-saksi yang meringankannya, dengan saksi-saksi yang
memberatkannya;
f. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah
apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam
bahasa yang digunakan di pengadilan;
g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan
dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah
(4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai
harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk
meningkatkan rehabilitas bagi mereka.
(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan
kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan
yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum;
(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan
hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan
apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampun
berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan
menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan
dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita
hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi
ganti rugi menurut hukum. Kecuali jika dibuktikan bahwa tidak
terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu. Sepenuhnya atau
untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak
pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau
dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di
masing-masing negara.Pasal 15
(1) Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak
pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik
berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula
diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat
daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut
dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana
muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku
harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
(2) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan
persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan
yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu
terjadi masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum
yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 26
(1) Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apa pun.
(2) Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apa pun, dan
menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang
terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal
usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lain.
5. Bahwa berdasarkan Konvensi Internasional Tentang Perlindungan
Terhadap semua orang dari Tindakan Penghilangan paksa,
menyebutkan:
Pasal 1
(1) Tidak ada setiap orang pun boleh dihilangkan secara paksa.
(2) Tidak ada pengecualian apa pun, apakah dalam keadaan perang
atau ancaman perang, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil atau situasi darurat lain, yang dapat diterima sebagai alasan
pembenar terhadap tindakan penghilangan secara paksa.
Pasal 2
Menurut Konvensi ini, penghilangan secara paksa adalah penangkapan,
penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas kebebasan
yang dilakukan oleh aparat Negara atau oleh orang-orang maupun
kelompok yang melakukannya dengan mendapat kewenangan,
dukungan serta persetujuan dari Negara, yang diikuti dengan
penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan perampasan
kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang
yang hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada
di luar perlindungan hukum.
Pasal 3
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang perlu
untuk menyelidiki tindakan-tindakan yang dimaksud dalam Pasal
2, yang dilakukan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang
bertindak tanpa kewenangan, dukungan atau persetujuan dari Negara
serta membawa mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan.
Pasal 4
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah penting untuk
menjamin bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan dalam
hukum pidananya.
Pasal 5
Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau
sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud
dalam hukum internasional yang berlaku dan harus memperoleh
konsekuensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional.
6. Bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 Tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hakhak sipil dan politik menyebutkan “Tidak seorang pun yang dapat
dikenakan penyiksaan atau perlakukan atau hukuman lain yang keji, y g keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak
seorang pun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa
persetujuan yang diberikan secara bebas.”
7. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan sebagai berikut:
Pasal 16 Ayat (1)
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
Pasal 66 Ayat (1)
Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
8. Bahwa negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 telah memproklamasikan
Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration
of Human Rights) 10 Desember 1948, dimana deklarasi tersebut
merupakan bentuk pengakuan umum bangsa-bangsa di dunia
perihal penghormatan dan perlindungan HAM atas diri setiap
manusia, khususnya hak mengenai:
(1) Hak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
individu, yang lengkap nya berbunyi: “Everyone has the right to
life, liberty and security of person” (Pasal 3/Article 3);
(2) Hak untuk tidak diganggu urusan pribadinya, keluarganya,
rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan
sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan
pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang
berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau
pelanggaran seperti ini, yang lengkapnya berbunyi: “No one shall
be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home
or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation.
Everyone has the right to the protection of the law against such
interference or attacks” (Pasal 12 / Article 12);
C. PELANGGARAN PROSEDUR PENGGUNAAN SENJATA BAGI
POLISI
Prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh pihak
kepolisian, pada dasarnya masuk dalam prinsip-prinsip dasar PBB
tentang penggunaan kekerasan dan sejata api oleh petugas penegak
hukum, yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8 tentang perlindungan
kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana, Kuba.
Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api
oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 Tahun 2009
tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri
1/2009”).
Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar
diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka
berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa
orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang
atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa;
dan;f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkahlangkah yang lebih lunak tidak cukup.
Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir
untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal
8 ayat (2) Perkapolri 1/2009).
D. PELANGGARAN PERATURAN KAPOLRI
Bahwa terjadi penyimpangan hukum dan prosedur di antaranya
Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 16
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Masa, Perkap Nomor
8 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara bertindak
dalam Penanggulangan Huru-Hara dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009
Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
1. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan:
Pasal 10:
Setiap Anggota Polri Wajib:
a. Menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip
dasar hak asasi manusia;
b. Menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di
hadapan hukum
c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat,
mudah, nyaman, transparan dan akuntabel berdasarkan ketentuan
perundang-undangan;
d. Menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan dan menjaga
kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.Pasal 14:
Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum
sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
a. Mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain
yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan;
b. Menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/
Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum
tersangka;
c. Merekayasa dan manipulasi perkara yang menjadi tanggung
jawabnya dalam rangka penegakan hukum
d. Merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
e. Melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa
untuk mendapatkan pengakuan;
f. Melakukan penyidikan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
g. Menghambat kepentingan pelapor, terlapor dan pihak terkait
lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/
atau melaksanakan kewajibannya;
h. Merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang
tak bertuan.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 3 huruf a, c dan e Peraturan Kapolri
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan
Kepolisian, menyatakan:
Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian
meliputi:
a. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus
sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapdan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri, sehingga tidak
menimbulkan kerugian/korban/penderita yang berlebihan
c. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan
pencegahan.
3. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang
Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,
menyatakan:
Pasal 5 Ayat (1)
Instrumen Perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap
anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, Pasal
28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, meliputi:....
Huruf v
Hak untuk tidak disiksa
Huruf b
Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
martabat manusia.
Pasal 5 ayat (2)
Bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun dan dalam
keadaan apa pun (non-derogable rights) adalah
Huruf b
Hak untuk tidak disiksa
Pasal 11 ayat (1)
Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:.....
Huruf b:
Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam
kejahatan;Huruf d
Penghukuman dan/atau perlakuan yang tidak manusiawi yang
merendahkan martabat manusia
Huruf g
Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum
(corporal punishment)
Huruf j
Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
Pasal 13 ayat (1) huruf a
Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri
dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun
seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
Pasal 23 huruf (a) dan (e)
Tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsipprinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan sebagai
berikut:
a. Semua orang kebebasannya dicabut harus tetap diperlakukan secara
manusiawi dan penuh hormat karena martabatnya yang melekat
sebagai manusia;
b. Tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak
manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan
martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya.
Pasal 24 huruf (a)
Dalam melaksanakan tindakan penahanan petugas dilarang
menyalahgunakan kewenangan invest Huruf d
Penghukuman dan/atau perlakuan yang tidak manusiawi yang
merendahkan martabat manusia
Huruf g
Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum
(corporal punishment)
Huruf j
Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
Pasal 13 ayat (1) huruf a
Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri
dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun
seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
Pasal 23 huruf (a) dan (e)
Tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsipprinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan sebagai
berikut:
a. Semua orang kebebasannya dicabut harus tetap diperlakukan secara
manusiawi dan penuh hormat karena martabatnya yang melekat
sebagai manusia;
b. Tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak
manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan
martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya.
Pasal 24 huruf (a)
Dalam melaksanakan tindakan penahanan petugas dilarang
menyalahgunakan kewenangan investigasi untuk melakukan tindakan
siksaan badan terhadap seseorang
TIM ADVOKASI MELANGKAH KE HUKUM INTERNASIONAL
SELAIN melakukan berbagai langkah hukum di dalam negeri,
Tim Advokasi juga melangkah ke “Hukum Internasional” dengan
melakukan komunikasi dan koordinasi ke berbagai pihak terkait di
sejumlah negara. Pasalnya, kasus dugaan tindakan pelanggaran HAM
berat—yang diduga—dilakukan Polda Metro Jaya ini, layak “ditangani”
lembaga penegakan hukum HAM internasional. Tim Advokasi telah
melakukan pelaporan kepada International Criminal Court di Den Haag
dan Committee Against Torture di Geneva
Berikut ini Press release dari DPP FPI dan laporan Tim Advokasi yang
disampaikan dalam edisi bahasa Inggris:
MENIMBANG KLAIM PEMBELAAN TERPAKSA
DALAM PENEMBAKAN PENGAWAL HRS
(Sesuai dengan judul tulisan ini, klaim pembelaan terpaksa didasarkan
pada keterangan pihak Polda Metro Jaya. Disisi lain alasan pembelaan
terpaksa dipertanyakan oleh banyak pihak. Oleh karenanya perlu dilakukan
analisis normatif yuridis guna menilai klaim dimaksud). Perbuatan pidana
dimaksudkan sebagai perbuatan yang dilarang undang-undang pidana
dan kepada pelakunya diancam sanksi pidana. Penjatuhan pidana
sebagaimana yang diancamkan didasarkan adanya ‘kesalahan’ (mens
rea) pelaku tindak pidana. Kesalahan sebagai unsur subjektif merupakan
dasar pertanggungjawaban pidana.
Seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana,
jika pada dirinya tidak ada kesalahan. Tanda konkret adanya kesalahan
menunjuk pada ‘kesengajaan’ (dolus) dan ‘kealpaan/kelalaian’ (culpa).
Menurut Memorie van Toelichting, kesengajaan itu adalah ‘menghendaki’
dan ‘mengetahui’ (willens en wetens). Maksudnya, seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu, haruslah menghendaki
(willens) apa yang ia perbuat dan harus mengetahui pula (wetens) apa
yang ia perbuat tersebut beserta akibatnya.
Sementara KUHP menentukan keadaan-keadaan tertentu
yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan pidana. Dengan kata lain, perbuatan dalam
situasi khusus yang memenuhi persyaratan tidak dapat dijatuhi
pidana. Di sini, beberapa perbuatan yang bersifat ‘melawan hukum’
(wederrechtelijk) dikecualikan dari ketentuan hukum pidana, sebab
adanya alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana di antaranya
adalah ‘pembelaan terpaksa’ (noodweer) dan ‘pembelaan terpaksa yang
melampaui batas’ (noodweerexces).
Dengan demikian, hakim memberikan putusan bebas. Terhadap
pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, dikarenakan adanya alasan y alasan penghapus pidana tersebut. Pada pembelaan terpaksa dan pembelaan
terpaksa yang melampaui batas sangat terkait dengan klaim pihak
Kepolisian (in casu Polda Metro Jaya) dalam penembakan para pengawal
Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS).
Pada prinsipnya pembelaan terpaksa harus memenuhi persyaratan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP. Begitupun
pembelaan pembelaan terpaksa yang melampaui batas harus merujuk
pada ketentuan Pasal 49 Ayat (2) KUHP. Pasal 49 Ayat (1) KUHP
menyebutkan: “Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa
dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain,
mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan
orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan
segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Rumusan demikian menekankan adanya serangan langsung
yang mengancam seketika. Maksudnya, antara adanya serangan
dan saat pembelaan dilakukan dalam waktu yang tidak berlangsung
lama. Dipersyaratkan, pembelaan yang dilakukan disebabkan tidak
ada upaya lain untuk menghindari serangan tersebut. Oleh karena
itu, sedapat mungkin dilakukan upaya menghindar. Ketika upaya
menghindar tidak dapat dilakukan, maka barulah pembelaan terpaksa
dapat dilakukan.
Tegasnya upaya menghindar merupakan suatu keharusan.
Kemudian menyangkut sifat pembelaan itu sendiri, dipersyaratkan
harus proporsional. Pembelaan itu harus seimbang dengan serangan
yang dialami. Tidak dapat dibenarkan pembelaan melebihi (melampaui)
dari serangan. Jika pembelaan terpaksa digolongkan sebagai alasan
pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas—sesuai
dengan sifatnya—merupakan alasan pemaaf. Pasal 49 Ayat (2) KUHP
menyebutkan: “Melampui batas pertahanan yang sangat perlu, jika
perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan
terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”. Pada
pembelaan terpaksa yang melampaui batas dipersyaratkan harus adanya situasi yang sama pada pembelaan terpaksa sebagaimana
dijelaskan di atas.
Kemudian, terhadap situasi yang demikian harus timbul keguncangan
jiwa yang demikian hebat akibat adanya serangan. Dapat dikatakan,
terjadinya pembelaan sebagai akibat langsung dari keguncangan jiwa
yang hebat itu, sehingga ia tidak mampu menahan guncangan jiwanya.
Artinya, ada hubungan kausalitas antara keguncangan jiwa dengan
serangan seketika. Kembali pada kasus penembakan terhadap pengawal
IB HRS sebagaimana disampaikan oleh pihak Kepolisian, telah terjadi
tembak-menembak. Terlepas adanya perbedaan versi kronologis,
namun mengacu kepada persyaratan pembelaan terpaksa sebagaimana
disebutkan Pasal 49 Ayat (1) KUHP, yakni keharusan menghindar
ternyata tidak terpenuhi. Sepatutnya, upaya menghindar dilakukan,
terlebih lagi kemampuan untuk itu tersedia.
Tidak dapat dikatakan terpenuhi syarat pembelaan terpaksa,
selama masih mampu menghindar. Kemudian, terhadap keempat orang
pengawal IB HRS yang dimasukkan ke dalam mobil, pihak Kepolisian
mengatakan adanya penyerangan dan upaya perebutan pistol dan oleh
karenanya dilakukan tindakan tegas terukur berupa penembakan.
Lagi lagi, ini pun tidak sesuai dengan persyaratan pembelaan
terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Persyaratan
proporsionalitas tidak terpenuhi. Dikatakan demikian oleh karena tidak
terdapat kondisi yang seimbang. Para pengawal IB HRS dalam keadaan
tidak bersenjata. Hal ini menunjukkan kondisi yang tidak seimbang.
Terlebih lagi, tidak dilakukan upaya pelumpuhan, namun yang terjadi
justru tembakan yang mematikan. Menjadi jelas pembelaan yang
dimaksudkan melampaui dari serangan.
Lebih lanjut, jika asumsikan adanya keguncangan jiwa yang
demikian hebat akibat serangan dan upaya merebut pistol ternyata juga
tidak memenuhi persyaratan. Bagaimana mungkin terjadi keguncangan
jiwa yang hebat seketika itu, jika terhadap para pengawal IB HRS tidak
dilakukan tindakan pengamanan sebelumnya dengan pemborgolan. Lebih dari itu, bagaimana mungkin dapat didalilkan adanya hubungan
kausalitas antara keguncangan jiwa yang hebat dengan serangan
seketika tersebut. Tindakan yang tidak seimbang sangat jauh dari
keguncangan jiwa. Serangan seketika harus berhadapan dengan
keguncangan jiwa yang tiba-tiba pula. Serangan tangan kosong dan
upaya perampasan pistol yang didalilkan bukanlah serangan yang
menimbulkan keguncangan jiwa yang demikian hebat.
Pada akhirnya, klaim Polda Metro Jaya bahwa penembakan berujung
maut dilakukan karena pembelaan terpaksa masih sebatas asumsi.
Pembuktian terpenuhi atau tidaknya pembelaan terpaksa maupun
pembelaan terpaksa yang melampaui batas itu harus dibuktikan di
depan sidang Pengadilan. Pada akhirnya, Pengadilan yang berhak
memutuskannya berdasarkan ketentuan Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
KUHP. Pengadilan dimaksud tentunya adalah Pengadilan HAM. Harapan
rakyat, segerakanlah Pengadilan HAM guna tegaknya “kepastian hukum
yang adil”. Untuk itu Komnas HAM tidak boleh kalah!
(Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH., MH / Direktur HRS Centre,, Jakarta,
28 Desember 2020).
BENARKAH FIKRI, ADI DAN FAISAL ADALAH
POLISI PENEMBAK ENAM PENGAWAL HRS?
Pertanyaan ini muncul sehubungan dengan beredarnya media
sosial Oppositeleaks yang menayangkan foto dan pelaporan Briptu Fikri
Ramadhan kepada Mabes Polri tanggal 7 Desember 2020 yang disertai
dua orang saksi yaitu Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto.
Uniknya Terlapor adalah enam anggota Laskar yang meninggal. Banyak
pernyataan mendesak agar Kepolisian segera mengumumkan namanama penembak dan personal lain yang terlibat dalam kasus yang
menjadi perhatian nasional bahkan dunia.
Kualifikasi kejahatan teringan berdasarkan Laporan Komnas HAM
adalah pelanggaran HAM dengan indikasi unlawful killing. Bungkamnya
Polri hingga kini tentang siapa anggotanya yang telah melakukan penembakan hingga tewas tersebut tentu dapat menimbulkan banyak
spekulasi. Ini kondisi yang tidak sehat.
Dugaan bahwa Kepolisian sedang berpikir keras dan mencari
skenario penyelamatan korps wajar menjadi opini publik.
Korban tewas diputar menjadi penjahat sementara pembunuh
sebagai pahlawan. Munculnya tiga nama Fikri, Adi, dan Faisal didapat
Oppositeleaks 6890 dari pelaporan 7 Desember 2020 pada hari yang
sama dengan terjadinya peristiwa pembunuhan dini hari. Aksi sendiri
dimulai jam 23.45 WIB tangga 6 Desember 2020. Briptu Fikri Ramadhan
menerangkan tindakan aparat melakukan hal tersebut tak lain
sebagai “tindakan tegas dan terukur kepada pelaku”. Publik menilai
ini untuk mengganti diksi “menembak” (bacaan lain “membantai” dan
“menyiksa”).
Tiga hal kemungkinan terhadap tiga nama di atas, yaitu:
Pertama, Briptu Fikri, Bripka Adi, dan Bripka Faisal itulah yang
melakukan penembakan sehingga ketiganya yang paling siap untuk
mempertanggungjawabkan hingga ke proses hukum peradilan sesuai
peristiwa atau skenario peristiwa.
Kedua, bukan ketiganya, tetapi mereka menjadi “pemeran pengganti”
sekedar formalitas untuk melaporkan. Ada pelaku lain baik anggota
Polri atau instansi lain yang menjadi eksekutor sebenarnya.
Ketiga, anggota Polri dan instansi lain berkolaborasi untuk
mengeksekusi. Artinya dapat lebih dari tiga orang personil di atas. Proses
penguntitan dan pembuntutan dilakukan bukan oleh satu atau dua
orang. Banyak orang dan pihak yang diduga terlibat. Siapa sebenarnya
mereka itu tentu sangat mudah diketahui oleh lembaga Kepolisian yang
telah mengakui bahwa penembak adalah aparat.
Hanya hingga kini terjadi keanehan bahwa hal yang mudah ini
justru tidak diungkap. “Jangan grasa grusu” kata seorang pejabat Mabes
Polri. Ini bukan soal grasa grusu akan tetapi fakta kejahatan yang mesti
segera diusut. Justru betapa lambat kasus ini ditangani. Ayo Pak Kapolri segera umumkan siapa pelaku yang melakukan
unlawful killing itu. Benarkah Fikri, Adi, dan Faisal? Jika iya tentu tinggal
melakukan penyidikan, jika ternyata bukan, maka tidak boleh ada
orang yang tidak bersalah harus dikorbankan.
Kasihan. Persoalan ini akan semakin jelimet dan bikin mumet
perencana atau pembuat skenario jika bermotif untuk menutupi
kebenaran.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 23 Februari 2021
BOLA JANJI PRESIDEN DAN KAPOLRI
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di depan
anggota DPR menjanjikan untuk menuntaskan kasus pelanggaran
HAM pembunuhan enam anggota laskar FPI oleh anggota Polri dengan
merealisasikan empat rekomendasi Komnas HAM. Sejak dilantik Listyo
Sigit sebagai Kapolri hingga kini belum ada kebijakan konkret sebagai
tindak lanjut.
Meski tingkat kepercayaan terhadap Komnas HAM rendah dengan
hasil rekomendasinya, tetapi apa yang minimal dapat ditindaklanjuti
adalah penegakan hukum. Membawa aparat pembunuh ke proses
peradilan. Di samping janji Listyo Sigit Prabowo, juga Presiden berjanji
pula untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Karenanya bola
janji ada di tangan Presiden dan Kapolri.
Sebenarnya Kapolri sebelumnya Jenderal Idham Azis sudah
membentuk tim khusus pengusutan untuk menindaklanjuti
rekomendasi Komnas HAM. Artinya Kapolri Listyo tinggal melanjutkan
dan menyempurnakan. Tetapi ternyata hingga kini masih tidak jelas pula
agenda penyidikan perkara. Keseriusan Kapolri mulai dipertanyakan.
Luar biasa bertele-telenya penanganan. Sudah hampir tiga bulan
peristiwa terjadi, namun masih miskin langkah.
Belum mulai penunaian janji soal pembunuhan enam anggota
Laskar FPI, kini sudah muncul lagi kasus baru yaitu meninggalnya
Ustad Maheer At Thuwailibi di Bareskrim Mabes Polri yang juga
menuai kecurigaan. Komnas HAM berniat menyelidiki. Akan semakin
menumpuk persoalan penegakan hukum yang berkaitan dengan HAM
yang tidak terselesaikan.
Jika janji Kapolri tidak bergerak di lapangan, maka wajar akhirnya
publik akan bertanya sebagai Kabareskrim saat itu, Listyo bersama
Kapolda Metro Fadil Imran apakah terlibat? Ketika tuntutan agar Fadil
Imran dinon-aktifkan atau diberhentikan, bagaimana dengan tuntutan
kepada Listyo Sigit?
Presiden sebagai figur yang sering berjanji tetapi tidak terbukti,
kini oleh Mahasiswa UGM telah dinobatkan sebagai “Juara Lomba”
inkonsistensi. Janji dan realisasi yang tidak bersesuaian. Nah jika kasus
pembunuhan 6 anggota laskar FPI ini bola janji ada pada Presiden dan
Kapolri, maka akankah juga Pak Kapolri menjadi juara atau sekurangkurangnya runner-up lomba inkonsistensi pula?
Ayo Pak Kapolri segera bergerak, jangan ragu untuk mengumumkan
dan menyeret anak buah ke meja hijau demi nama baik jajaran
Kepolisian agar nantinya Kepolisian tidak mendapat predikat sebagai
“Juara Lomba Pelanggaran HAM”.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 12 Februari 2021)
FAKTA KESAKSIAN DAN KETAKUTAN (POLRI)
BERSUMPAH MUBAHALAH
Dalam suratnya tertanggal 24 Februari 2021, yang ditujukan kepada
Kapolda Metro Jaya itu, TP3 mengajukan permohonan agar Kapolda
Metro Jaya bersama jajarannya dapat menghadiri acara sumpah
Mubahalah. Bagaimankah isi surat TP3? Inilah surat yang dimaksudkan
tersebut:
Kami dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar
FPI sangat prihatin dengan unfair trial dan tidak transparannya proses
hukum atas kasus pembunuhan atas enam laskar FPI pada 6-7 Desember
2020, di KM 50 Tol Cikampek.
Dalam Konferensi Pers pada 8 Desember 2020 yang lalu Kabid
Humas Pold Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, Polri
telah menyita dua pucuk senjata dalam insiden baku tembak dengan
laskar FPI. Kombes Yusri Yunus menyatakan Polda Metro Jaya memiliki
bukti yang kuat bahwa dua pucuk senjata api tersebut adalah milik dua
laskar FPI yang telah meninggal dunia.
Di sisi lain, berdasarkan keterangan kuasa hukum keluarga korban,
TP3 meyakini laskar FPI tidak mungkin melakukan penyerangan
karena pada prinsipnya mereka tidak memiliki senjata api. Sikap TP3
ini diperkuat pula dengan kesaksian dan sumpah orang-tua seluruh
korban, bahwa anak-anak mereka
memang tidak pernah memiliki
senjata api.
Untuk meyakinkan kebenaran dan sikapnya, keluarga para
korban pun telah siap untuk
bersumpah melalui proses muba -
halah dengan aparat kepolisian
yang telah menuduh mereka memiliki senjata api.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, demi kebenaran, hukum dan
keadilan, kami dari TP3 sudah mempersiapkan dan akan memfasilitasi
berlangsungnya acara sumpah/mubahalah tersebut. Karena itu, kami
mengundang:
1. Kapolda Metro Jaya
2. Kabid Humas Polda Metro Jaya
3. Briptu Fikri Ramadhan
4. Bripka Faisal Khasbi
5. Bripka Adi Ismanto
Selaku anggota Polri yang menuduh pemilikan senjata api oleh laskar
FPI yang dibunuh tersebut, untuk hadir pada acara mubahlah yang
direncanakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/2 Maret 2021
Waktu : Jam 14.00-15.00 WIB
Tempat : Masjid Al Furqon, Jl. Kramat Raya No.45, Jakarta Pusat.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kehadiran para anggota
Polri terkait, kami ucapkan terima kasih.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3P) Enam Laskar FPI
KH. DR. Abdullah Hehamahua
KoordinatorPolda Metro Jaya tidak menghadiri undangan dari TP3 pada Rabu
(3/3 2021). Lalu, apakah kemudian acara sumpah Mubahalah itu gagal?
Tidak, TP3 tetap menyelenggarakan sumpah Mubahalah di aula gedung
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat di Jl. Kramat Raya,
Jakarta Pusat. Adapun sumpah mubahalah yang telah dibacakan Bapak
Syuhada, orang tua dari salah satu korban pembunuhan, mewakili
seluruh keluarga korban, adalah sebagai berikut:
“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami
keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI
yang terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa
anak-anak kami dari Laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh
dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi
telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut. Karenanya, ya Allah
timpakanlah laknat dan azab-Mu kepada siapa pun di antara kami yang
berdusta dan timpakan juga laknat dan siksa-Mu, Ya Allah ke atas seluruh
keluarganya. Jika pihak aparat negara yang benar menurut Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami
akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat. Tetapi jika Enam Laskar
FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak
sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat
negara beserta keluarga dan keturunan aparat negara akan dilaknat Allah
SWT di dunia sampai akhirat.”
MARI BERDOA UNTUK:
MUBAHALAH KELUARGA KORBAN
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
Penuntasan kasus pembunuhan enam pengawal HRS secara adil,
transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden
Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, 9 Maret 2021, tampak suram.
Polri telah melangkah sepihak memproses anggota Polri yang diklaim
sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri
tersebut adalah laporan Komnas HAM yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel, tidak valid dan sarat rekayasa.
Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil
pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan?
Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus
pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro
Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal
akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal
ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono
di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan
untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah
P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap.
Sebelumnya Rusdi di Mabes Polri mengatakan: “Pada Kamis kemarin,
penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50
dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari
terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka,” (6/4/2021). Hal
yang mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, kalau benar
menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa mereka tak kunjung
ditahan aparat?
Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik
mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benarbenar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum
dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga
mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok
masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan.
Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian
dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja
penyelesaian kasus pembunuhan enam laskar sesuai skenario, yang
antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut Polri, pembunuhan
terjadi akibat terjadi baku-tembak, pengawal HRS memiliki senjata
api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario ini coba
diselaraskan oleh Komnas HAM dengan membuat laporan sumir sebagai
“hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”. Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah
keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan
aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu pula sebabnya keluarga korban
menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status
pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik
di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut.
Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu.
Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah
dimana kita banyak berdoa dan meminta pertolongan Allah, mari
kita terus berdoa, siang dan malam, agar Allah mengabulkan doa-doa
kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan takdirnya,
menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran, atas
Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh
keluarga korban.
Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah
membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan
dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban
adalah pihak yang benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol
Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim
Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat
di Masjid Al Furqon, Kramat, Jakarta.
Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran
mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena
menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan
kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri
menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di KM 50.
Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut
pistol petugas di dalam mobil (?!), sehingga polisi terpaksa melakukan
tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja!!).
Sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak
memiliki senjata, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah
menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan keluarga seluruh
korban pembunuhan juga sama, bahwa anak-anak mereka tidak
pernah memiliki senjata. Dengan demikian, para korban tidak pernah
menyerang aparat (yang semula disangka preman, karena para aparat
tak pernah menyatakan identitas!), dan karenanya tidak pula akan
terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri.
Karena yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan
keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai
seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah
pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan. TP3 menilai,
apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas
dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah
melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah
HAM disebut extra judicial killing, bukan unlawful killing sebagaimana
dinyatakan oleh Komnas HAM.
Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling
bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI
dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari
kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula
sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti
diurai dalam tulisan ini, dan juga menulis surat kepada Presiden Jokowi,
sebagaimana dilakukan pada 9 maret 2021.
Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas
melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Kepolisian RI sesuai
surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat
tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk
bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas
Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka
Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto (ketiga nama terakhir terlibat
dalam peristiwa Km 50 Tol Cikampek).
Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebutkan dalam
tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu
mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri,
sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah
berlangsung sepihak.
Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh
Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban
pembunuhan adalah sebagai berikut:
“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami
keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg
terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anakanak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim
oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas
masalah pembunuhan tersebut. Karenanya ya Allah timpakanlah laknat
dan azab-Mu kepada siapa pun di antara kami yang berdusta dan timpakan
juga laknat dan siksa-Mu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya.
Jika pihak aparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat
Allah SWT di dunia sampai akhirat. Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut
yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim
menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta
keluarga dan keturunan aparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia
sampai akhirat.”
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti
kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh
dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah
SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran
(Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam
syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak,
dan menundukkan kebatilan.
Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya
sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal
adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu
(boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain
untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau
pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir)
dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak
ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak
ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal
1929 KUH Perdata).
Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di KM 50,
aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukkan
sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu)
mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan
transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus
pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat.
Menurut UU No.26/2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri
tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun
bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan
ada di tangan Kejagung.
Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020,
TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan
pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta
sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri
mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini
agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM
mengatakan terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran
hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat.
Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa
harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum
yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung
Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan
oleh TP3, dan itu pula sebabnya TP3 mendukung dan memfasilitasi
acara mubalah tersebut.
Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam.
Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental,
yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang
diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila
dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah
agama pulalah TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan
berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian KM 50 Tol
Cikampek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan
keadilan.
Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah
menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam
Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhai seluruh upaya kita, serta
mengabulkan doa orang-orang yang dizalimi, para pendukung Petisi
Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa
yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya
kepada Allah SWT kita bertawakal.
(Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3/Jakarta, 21 April 2021)
NOTA KEBERATAN: MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK
KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN
Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi
(Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg.
Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021. Dalam eksepsinya yang
berjudul “MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN
MENEGAKKAN KEADILAN”, Tim Advokasi menyampaikan agresivitas
dan manuver Penuntut Umum dengan menambahkan beraneka ragam
pasal selundupan yang tidak ada kaitannya dengan Prokes dan Test
Swab adalah bukti perkara A Quo yakni lanjutan dari Operasi Intelijen
Berskala Besar. Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum Yang
terhormat, Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu diingat bahwa perkara ini bermula dari adanya kegiatan
yang dianggap melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19
pada penyelenggaraan pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, namun Penuntut Umum
dengan agresif dan nafsu mendakwa HABIB RIZIEQ SYIHAB dengan pasalpasal yang tidak ada kaitannya dengan protokol kesehatan pencegahan
Covid-19. Sementara ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol
kesehatan kerap ditemukan di lapangan. Kejadian paling anyar adalah
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. Aparat
penegak hukum seperti tak sudi dan tak berdaya untuk membubarkan
acara yang secara terang-terangan melanggar protokol kesehatan. Yang
paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden
Jokowi saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23
Februari 2021 lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak,
berjejer di pinggir jalan menyambut idolanya yang melintas dalam
iring-iringan kendaraan. Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi
peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan
melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya histeris.Semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim
zalim, dungu, pandir dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi
untuk menolaknya. Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini
terhadap rakyat. Terhadap rezim zalim, dungu dan pandir selalu dicari
cari pembenaran untuk meloloskan dari hukum, sementara terhadap
HABIB RIZIEQ SYIHAB selalu dicari cari kesalahan untuk dihukum.
Berbeda dengan yang dialami oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan mantan
pengurus FPI yang harus dikerangkeng di dalam tahanan, rekening
dibekukan. Padahal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah membayar denda
Rp50 juta.
Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum Yang terhormat,
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati, Dan tidak cukup hanya
sampai di situ, ketidakadilan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB berlanjut
dengan aneka ragam pasal selundupan yang aneh bin ajaib, yang telah
ditambahkan oleh Penuntut Umum sejak menerima pelimpahan berkas
perkara dari Penyidik di antaranya yaitu Pasal 82A ayat
t (1) jo. 59 ayat (3)
huruf c dan d UU RI 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang
Ormas menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal
10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Manuver gesit yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan
menambahkan aneka ragam pasal selundupan tersebut sungguh
luar biasa bersifat akrobatik dan penuh dengan muatan politik dan
merupakan lanjutan Operasi Intelijen Berskala Besar, yang setidaknya
dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Tempat dilakukan sidang pengadilan bukan di wilayah locus delicti
perbuatan terjadi. Dari hal ini saja sudah jelas bahwa perkara aquo
adalah perkara politik yang target hukumannya sudah ditentukan,
proses penghukumannya sudah dikendalikan dan hak hal HABIB
RIZIEQ SYIHAB sudah dikerdilkan.
2. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya, penambahan pasalpasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman dan pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ
SYIHAB bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik
yang menghendaki.
3. Due Process of Law TIDAK sesuai dengan ketentuan KUHAP.
AUR (Aksi Unjuk Rasa)
Agen BIN (Orang yang secara organik atau bukan organik
menjalankan fungsi BIN)
BIN (Badan Intelijen Negara)
BB (Barang Bukti)
Bareskrim (Badan Reserse Kriminal)
Bangsit (Perkembangan Situasi)
CCTV (Closed Circuit Television)
Cover-up Operation
(operasi untuk menghilangkan jejak kejahatan)
Complain (Keluhan)
Crime Against Humanity
(Kejahatan Terhadap Kemanusiaan)
DPO (Daftar Pencarian Orang)
Den Madar (Detasemen Markas Daerah)
Ditreskrimum (Direktorat Reserse Kriminal Umum)
Drone (Pesawat yang diterbangkan tanpa awak)
Distipidum (Direktur Tindak Pidana Umum)
Delapan Enam-86 (Mengerti)
Delapan Tujuh-87 (Disampaikan/Diteruskan/Ditujukan)
Extra judicial killing
(Pembunuhan yang di luar mandat pengadilan)
FPI (Front Pembela Islam)
Galtas (Penggalangan Terbatas)
GSR (Gun Shoot Residu)
GT (Gerbang Tol)
HP (Handphone)
HAM (Hak Asasi Manusia)
HRS (Habib Rizieq Syihab)
Haljol (Hal Menonjol)
Insinuansi (Memberi kesan seolah-olah)
KTP (Kartu Tanda Penduduk)
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)
KTA (Kartu Tanda Anggota)
Koopsus (Komando Operasi Khusus)
Kombes Pol (Komisaris Besar Polisi)
Kodam (Komando Daerah Militer)
Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah)
Labfor (Laboratorium Forensik)
LTM (Luka Tembak Masuk)
LTK (Luka Tembak Keluar)
Lawful killing. (pembunuhan yang beralasan)
Mabes (Markas Besar)
Mapolda Jaya (Markas Polisi Daerah Jakarta Raya)
Nopol (Nomor polisi)
Police line (Garis pembatas polisi di suatu lokasi perkara)
Opsnal (Operasional)
Opsint (Operasi Intelijen)
Polri (Polisi Republik Indonesia)Polda (Kepolisian Daerah)
PMJ (Kepolisian Daerah Metro Jaya)
Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik),
Pangda (Panglima Daerah)
Provos FPI (Salah satu divisi pengawalan di FPI)
PJR (Patroli Jalan Raya)
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Pangdam (Panglima Daerah)
Polri (Polisi Republik Indonesia)
Rehabilitasi (Pemulihan nama baik dari korban)
Resmob (Reserse Mobile)
Rechoset (Arah tembakan akibat benturan suatu benda)
Restitusi (Ganti kerugian)
Reskrimum (Reserse Kriminal Umum)
Rest Area (Area Istirahat di jalan tol)
RS (Rumah Sakit)
Sajam (Senjata tajam)
Senpi (Senjata api)
Sprint (Surat Perintah)
STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan)
SS (Sig-Sauer adalah senjata pabrikan produksi AS)
Surveillance (Pengawasan, pembuntutan, penguntitan)
Satlantas (Satuan Lalu Lintas)
Shooting Box (Kotak penembakan)
Siber (Satuan kerja di bawah Bareskrim Polri yang bertugas
melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan siber)
SIM (Surat Izin Mengemudi)
Toga (Tokoh Agama)
TNI (Tentara Nasional Indonesia)
Towing (Mobil Derek atau gandeng)
TP3 (Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan) enam
pengawal HRSTomas (Tokoh Masyarakat)
Toolmark (Jejak atau bekas alat),
TKP (Tempat Kejadian Perkara)
TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Meluas)
Unwilling (Tidak berkehendak)
Unlawful killing (Pembunuhan yang tidak legal atau melawan hukum)
Voice Notes (Catatan percakapan di handphone)
Willing (Berkehendak)
WIB (Waktu Indonesia bagian barat)
WhatsApp (Aplikasi pesan lintas)
Widespread (Unsur meluas)
Langganan:
Postingan
(
Atom
)