Agustus 2023

Rabu, 16 Agustus 2023

pelanggaran HAM 4


apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah 
dan bertanggungjawab kepada Presiden. 
Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus 
penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan anggota yang kini menjabat 
patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. 
Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian 
bertanggungjawab atas kegagalan. 
Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan 
ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas 
dasar “mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi 
kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM”.
Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara 
kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi 
pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan 
dan pelanggaran HAM itu sendiri. Jika hasil kerja Komnas HAM memang 
dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah 
hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja. 
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 22 Januari 2021)
MUNGKINKAH KOMNAS HAM TURUT DILAPORKAN 
KE PENGADILAN KRIMINAL INTERNASIONAL?
Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komnas HAM memang 
wajar. Terlalu banyak pertanyaan yang menggantung jawabannya 
dari hasil penyelidikan yang telah dirilis. Soal tembak menembak, 
kepemilikan senjata api, alas hukum pengintaian dan pembuntutan, 
penyiksaan, komandan dalam Landcruiser, hingga kendaraan 
pembuntut berisi petugas misterius. Pembunuhan yang dikategorikan 
pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya dan siapa 
pelaku penembakannya.
Adalah wartawan dan reporter senior FNN Eddy Mulyadi yang 
membeberkan banyak kejanggalan rilis Komnas HAM. Berlembar 
analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Tajam, akurat, namun 
santai khas jurnalis yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada 
personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul 
Anam. Me Anam nyayangkan hasil kerja Tim yang minim meski menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM 
menjadi kelu dan ragu-ragu. 
Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu 
disambut baik walaupun disesalkan kesimpulannya tidak sampai pada 
terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan 
membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM 
berat. Telah nyata perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan. 
Di samping masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim 
Pencari Fakta (TPF) Independen, juga opsi untuk melibatkan lembaga 
HAM internasional mengemuka. Perlu mengagendakan pelaporan 
ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal 
Court). Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki 
kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat 
tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Motif politik dari 
pembunuhan atau pembantaian. 
Dengan temuan atau kesimpulan “seribu kejanggalan” ini maka 
andai kasus “Pelanggaran HAM Km 50” dapat dibawa ke tingkat 
peradilan internasional maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan ragu￾ragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula. Komnas HAM termasuk 
pihak yang telah turut mengaburkan peristiwa pelanggaran HAM berat. 
Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi, karenanya Komnas HAM 
pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan “pelanggaran HAM”. 
Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag diharapkan dapat 
menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting 
adalah “unwillingness” yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia 
untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status “non state parties” 
tidak menjadi halangan atas tafsir luas pasal 27 dan 28 Statuta Roma. 
Kejahatan yang termasuk kategori “internasional crime” berdasarkan 
prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk 
dalam yuridiksi ICC tanpa melihat nasionalitas pelaku dan tempat 
perbuatan. Pasal 28 Statuta menegaskan bahwa “atasan baik militer atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan 
yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya”. 
Aturan seperti ini sangat dirasakan penting untuk mampu 
menghukum “the most responsible person” yang karena kekuasaan 
dalam negara menjadi sulit dijangkau oleh lembaga peradilan domestik. 
Peradilan kriminal internasional mampu menyeret Kepala Negara, 
Anggota Parlemen, Kapolda, atau pejabat lainnya yang dikualifikasikan 
terlibat dalam pelanggaran HAM (Vide Pasal 27 Statuta).
Andai sejumlah organisasi pembela HAM, tokoh dan aktivis, serta 
keluarga korban dari pelanggaran HAM mengadu kepada Internasional 
Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional independen, 
mungkin misteri dari peristiwa “pelanggaran HAM Km 50” akan 
terkuak. Dan yang terpenting adalah bahwa para pelaku atau perekayasa 
kejahatan HAM tersebut dapat dihukum. Kejahatan kemanusiaan tidak 
boleh dibiarkan atau terulang. Komnas HAM yang ikut bermain-main 
dalam kasus sensitif ini patut pula bertanggungjawab atas kelu dan 
ragu-ragunya itu.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 12 Januari 2021)
Kontras dan MUI Desak Komnas HAM Jelaskan Kronologi Peristiwa 
yang Paling Akurat
Sebagaimana dilansir oleh sejumlah pers cetak dan elektronik—
antara lain Faktakini.net, Jakarta, dan Republik.Co.id, edisi Sabtu, 
26 Desember 2020-- Fatia Maulidiyanti, Koordinator (Kontras) 
mengatakan, penembakan mati enam Laskar FPI oleh kepolisian 
sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM). Penembakan itu 
sebagai bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran 
terhadap asas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan. “Kontras 
melihat ini (pembunuhan laskar FPI) terang merupakan pelanggaran 
HAM, pelemahan terhadap hukum, dan mencelakai yang namanya 
praduga tidak bersalah,” kata Fatia, dalam diskusi daring bertema 
‘6 Nyawa dan Kemanusian Kita’, pada Jumat (25/12) malam. Fatia 
mengatakan, ada beberapa aspek yang meyakinkan Kontras menilai 
insiden tol di TKP Km 50 tersebut sebagai pelanggaran HAM. Polri 
merupakan institusi resmi negara dalam penegakan hukum. Namun, ia 
mengatakan pembelaan diri kepolisian bahwa penembakan dilakukan 
sebagai upaya pembelaan diri merupakan keterangan sepihak, dan tak 
dapat dibuktikan. Ia pun menilai pembelaan diri itu sebagai upaya yang 
dipaksakan agar dipercayai publik.
Selain itu, ia mengatakan, tindakan yang tidak dapat dibuktikan 
menjadi sebuah penghinaan bagi proses hukum. “Hukum itu seperti 
tidak berguna untuk melakukan pembuktian atas dugaan tindak 
pidana (penyerangan). Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa adil. Karena, 
sudah tidak bisa dibuktikan, karena orang-orangnya (yang dituduh 
kepolisian menyerang) sudah dibunuh, dan meninggal,” kata Fatia. 
Fatia mengatakan, Kontras juga mempertanyakan dalih pembelaan 
diri dari kepolisian tersebut. Dalam melakukan penegakan hukum, 
Fatia mengatakan, kepolisian seharusnya hanya menembak untuk 
melumpuhkan lawan. Fatia mengacu pada Perakpolri 1/2009 yang 
berisikan aturan-aturan tentang pelumpuhan dengan senjata api. “Yang 
namanya pelumpuhan, ya jelas untuk melumpuhkan. Bukan untuk 
mematikan. Berarti di bagian tubuh yang memang tidak mematikan,” 
kata Fatia.
Akan tetapi, dia mengatakan, dari dokumentasi jenazah 
pascakejadian, luka-luka tembak di sekujur tubuh enam laskar FPI 
tersebut, jelas memperlihatkan bagian-bagian vital sebagai target 
tembakan. Kebanyakan di dada kiri yang menyasar jantung dan tak 
ada satu pun luka bekas peluru tajam yang mendarat pada bagian￾bagian yang dimaksud untuk melumpuhkan. Fatia menambahkan, 
pelanggaran HAM kepolisian terhadap enam laskar FPI ini sebetulnya 
bukan kasus penembakan dengan sewenang-wenang yang pertama kali. 
Fatia mengatakan, catatan Kontras, dalam tiga bulan terakhir terdapat 
29 kasus penggunaan senjata api berpeluru tajam yang dilakukan oleh 
kepolisian dengan cara serampangan. Namun dari catatan-catatan kasus 
tersebut, tak ada satu pun perkaranya yang berujung pada pemberian 
sanksi pemidanaan untuk dampak jera. 
Karena itu, Fatia mengatakan, Kontras mendesak agar Komisi 
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dapat menjalankan 
perannya sebagai investigator atas pembantaian yang terjadi di 
tol Km 50 tersebut. Komnas HAM juga harus menjelaskan kepada 
publik, atas kronologi peristiwa yang paling akurat. Ketua Umum 
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Miftachul Akhyar bersama 
Sekjennya, Amirsyah Tambunan, mengemukakan harapan yang 
senada. “Mendorong semua pihak agar mengedepankan proses hukum 
secara konsisten dan konsekuen, serta meminta aparat penegak hukum 
membuka secara transparan dan sebenar-benarnya informasi mengenai 
peristiwa tersebut,” ungkap KH Miftachul Akhyar di Jakarta, Rabu (9/12 
2020). KEJAR AKTOR INTELEKTUAL PELANGGARAN HAM BERAT “KM 50”
Komnas HAM menuai kecaman karena tak mampu menuntaskan 
tugas penyelidikan dengan baik. Terlalu banyak pertanyaan yang 
menyertainya seperti benarkah tembak menembak, dimana dua 
orang tewas ditembak, siapa penembak dua dan empat anggota 
laskar, bagaimana menjelaskan bekas luka dugaan siksaan, siapa saja 
penumpang dua mobil pembuntut misterius yang bukan polisi, mobil 
“sang komendan” Landcruiser itu milik siapa, dan masih banyak lagi 
pertanyaan lain.
Nyaris pekerjaan sia-sia Komnas HAM karena gagal menemukan 
fakta-fakta penting. Normatif, tak ambil risiko, dan ujungnya pro-Polisi. 
Bahkan semakin ke sini justru terkesan Komnas HAM sekedar menjadi 
juru bicara Kepolisian. Lebih menyebalkan setelah secara kontroversial 
melapor ke Presiden. Presiden bukan atasan Komnas HAM dan Komnas 
bukan bekerja atas dasar perintah Presiden.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 18 Januari 2021 menyatakan 
bahwa pekerjaan Komnas HAM tidak tuntas dan diminta untuk 
mendalami kembali hingga ditemukan aktor intelektual dari kejahatan 
“unlawful killing” tersebut. Kualifikasinya bukan semata pelanggaran 
HAM tetapi pelanggaran HAM berat. Presiden hendaknya mendukung 
pendalaman atau investigasi guna menyeret aktor intelektual hingga 
proses peradilan.
Diduga kuat peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” bukan 
insiden kebetulan karena berawal dari pengintaian dan pembuntutan 
intens HRS dan FPI. Suatu cara kerja tidak lazim bahkan berindikasi 
melanggar hukum. 
Keberadaan mobil Landcruiser yang datang “mengomandani” 
pembunuhan atau pembantaian patut untuk ditelusuri. Begitu juga 
dengan keberadaan surat perintah atau surat tugas.Bisa saja aktor intelektual perbuatan aparat brutal ini adalah 
Kapolda Metro Jaya, bisa pula Kapolri. Bukan mustahil juga Presiden 
Republik Indonesia. Karenanya perlu kejelasan. Meski pihak Kepolisian 
telah membantah keterlibatan atasan, akan tetapi indikasi yang ada 
menuntut untuk pengusutan lebih lanjut. PP Muhammadiyah mendesak 
agar dapat ditemukan aktor intelektual dari kejahatan ini.
Ditemukan dan lebih lanjut diproses hukum aktor intelektual 
pelanggaran HAM berat “Km 50” ini sangat penting untuk sekurangnya 
tiga hal. Pertama, agar tidak terbiasa mengorbankan bawahan untuk 
melepas tanggung jawab atasan dan kepentingan politik yang lebih luas. 
Kedua, menjadi terobosan atas banyaknya kasus pelanggaran HAM 
yang menggantung dan terus menjadi tagihan perilaku rezim. Ketiga, 
dapat menghindari keterlibatan lembaga penyelidikan dan peradilan 
HAM internasional. 
Dari pantauan publik dan juga laporan “sederhana” Komnas HAM, 
maka peristiwa pelanggaran HAM berat “Km 50” diduga kuat menjadi 
peristiwa berdesain matang dan panjang yang melibatkan satu atau 
lebih aktor intelektual. Karenanya desakan PP Muhammadiyah bukan 
saja rasional dan obyektif, tetapi juga merupakan jalan strategis bangsa 
untuk menghargai dan memuliakan Hak Asasi Manusia. 
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 20 Januari 2021)MONUMEN HAM KM 50
Pembunuhan, bahkan banyak menyebut pembantaian, 6 anggota 
laskar FPI oleh aparat kepolisian masih diselidiki Komnas HAM. 
Masyarakat khususnya umat Islam sangat berharap kerja Komnas 
HAM dapat maksimal. Kondisi jenazah yang kini beredar luas sangat 
mengenaskan. Komentar terhadap keadaan ini “biadab”, “bengis” dan 
lainnya. Tentu melihat pada kesan bekas penembakan dan penyiksaan 
yang dilakukan oleh aparat yang katanya bermoral “Pancasila”.
Lokasi Km 50 jalan tol Jakarta-Cikampek adalah Tempat Kejadian 
Perkara. Meskipun 4 syuhada dibawa ke tempat lain di saat kemudiannya, 
namun KM 50 ini menjadi tempat terpenting sebagai saksi bisu kejadian. 
Saksi hidup juga ada di area ini. Banyak pedagang berjualan di rest area
Km 50. 
Kini Jasa Marga berencana menutup area ini dan para pedagang 
yang berjualan di tempat tersebut merasa keberatan dan memprotesnya. 
Alasan penutupan adalah renovasi. Meski agak aneh, lokasi penting 
yang menjadi bukti suatu peristiwa tragedi yang menjadi perhatian 
bangsa, bahkan bangsa-bangsa, begitu saja akan ditutup dan dibongkar 
sementara penyelidikan kasus pun belum selesai.
Jika hasil penyelidikan ternyata terbukti telah terjadi pelanggaran 
HAM berat di tempat ini, maka semestinya semua pihak mengingat 
peristiwa tersebut. Menjadi pelajaran baik bagi masyarakat, aparat, 
maupun pemerintah. Kejadian keji yang tidak boleh terulang di masa 
depan. Oleh karena itu sepatutnya harus ada monumen pengingat.
“Monumen HAM Km 50” layak untuk dipertimbangkan 
pembuatannya, apalagi rest area ini akan ditutup dan dibongkar. Aparat 
jika benar bersalah tak usah risi dengan keberadaan monumen. Begitu 
juga jika pihak lain yang bersalah. Justru bangsa ini yang harus merasa 
malu atas terjadinya pelanggaran HAM yang memilukan. Simbol untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung nilai-nilai 
ideologi Pancasila. 
Bila di Lubang Buaya terdapat monumen “Pancasila Sakti”, maka di 
Km 50 ini layak untuk menjadi monumen “Kemanusiaan Yang Adil dan 
Beradab” dengan “Rantai Emas” sebagai simbol ikatan kemanusiaan 
atau persaudaraan manusiawi. 
Meskipun demikian, sebagai bangsa yang menghormati hukum 
maka realisasi dari gagasan ini sangat digantungkan pada hasil akhir 
penyelidikan Komnas HAM atau lembaga pencari fakta independen 
yang mungkin dibentuk esok. 
Yang jelas, di waktu kapan dan di bawah kepemimpinan siapa pun, 
bangsa dan rakyat Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam 
menegakkan Hak Asasi Manusia. Tidak toleran terhadap segala bentuk 
pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun atau rezim mana pun. 
“Monumen HAM Km 50” patut untuk dibangun. Sejarah tidak boleh 
dilupakan. (HM Rizal Fadillah, Bandung, 23 Desember 2020)
BAYANG-BAYANG” FAKTA KASUS SIYONO DI TKP KM 50?
Kasus tewasnya enam Laskar FPI sungguh menyita perhatian 
masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Soalnya, 
peristiwa tersebut berkaitan erat dengan eksistensi organisasi 
kemasyarakatan bernama Front Pembela Islam (FPI) dan tokoh 
pendirinya, HRS. Karenanya, saat Polri—Kapolda Metro Jaya—
melakukan konferensi pers, masyarakat pun menyimaknya sekaligus 
ada yang mengkritisinya. Berubahnya pernyataan penjelasan yang 
dilakukan Kapolda Metro Jaya terkait senjata yang disebut-sebut dimiliki 
Laskar FPI, jelas mengundang sejumlah pertanyaan dan pernyataan 
tokoh masyarakat. Demikian halnya saat terbetik kabar Komnas HAM 
akan menurunkan tim penyelidiknya dalam kasus tersebut, sejumlah 
anggota masyarakat dan pengamat menyambutnya baik. Pasalnya, di 
beberapa kejadian yang korbannya sipil dan meninggal dunia, Komnas 
HAM meraih simpati masyarakat lantaran menyelidiki dengan baik 
dan berhasil “membongkar” kebohongan yang diduga dilakukan Mabes 
Polri. 
Misalnya, dalam kasus meninggal dunianya Siyono di dalam mobil 
saat ditangkap dan diperiksa aparat Densus 88. Saat itu, Kapolri, Jenderal 
Bodrodin menyatakan Siyono meninggal dunia karena menyerang 
petugas untuk merebut senjata api saat di dalam mobil. Akhirnya, petugas 
melakukan tindakan tegas dan terukur untuk melumpuhkannya. Siyono 
dinyatakan meninggal setelah dibawa ke rumah sakit Bhayangkara 
Polda DIY. Padahal saat dijemput dari rumahnya, Siyono sehat dan 
tubuhnya tidak ada luka-luka. Setelah istrinya mengadukan kecurigaan 
penyebab kematiannya kepada Komnas HAM dan dilakukan autopsi 
ulang jenazah oleh tim dokter gabungan dari RS Muhammadiyah 
dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, maka terbukti Siyono 
meninggal karena siksaan dan bukan melawan atau menyerang 
petugas kepolisian yang menangkapnya. “Tidak ada luka tangkis wujud perlawanan dari Siyono di sekujur tubuh,” jelas Komisioner Komnas 
HAM, Siane Indriyani dalam keterangan pers di kantor Komnas HAM, 
Senin, 11 April 2016. 
Alhasil, tutur Siane, pernyataan Markas Besar Kepolisian Republik 
Indonesia yang sebelumnya beberapa kali menyebut bahwa Siyono 
melakukan perlawanan bahkan menyerang polisi yang mengawalnya 
adalah sebuah kebohongan. “Pernyataan bahwa Siyono telah 
melakukan perlawanan, saya katakan itu tak benar,” tegasnya. Siane 
menambahkan, hasil autopsi juga menyimpulkan Siyono dipukul 
dalam posisi seperti merebahkan diri di suatu tempat. Seluruh tubuhnya 
mengalami kerusakan, dengan kerusakan paling parah di bagian dada. 
“Jadi, kesimpulan sementara adalah Siyono pasrah saat dipukul oleh 
petugas Densus 88. Guru ngaji warga Klaten itu akhirnya meninggal 
dunia,” ujarnya. Pernyataan Siane didukung ketua tim autopsi, dr. Gatot 
Suharto. Bahkan menurut dia, akibat pemukulan itu, beberapa bagian 
dada Siyono patah hingga menusuk jantung. Ia mencatat lima tulang 
iga sebelah kiri yang menghadap keluar dan satu tulang iga kanan yang 
patah menjorok ke dalam. Kerusakan parah pada bagian dada inilah 
yang kemudian disebut sebagai penyebab kematian Siyono. “Bagian 
dada patah semua. Pundak dan sekujur bagian tubuh juga ada patah 
dan lebam,” jelas Gatot.
Bagaimanakah respons Mabes Polri terhadap kesimpulan Komnas 
HAM saat itu? Nyatanya, Polri bersikukuh menyatakan tak ada yang 
salah dengan penangkapan Siyono. Saat itu, Kapolri Badrodin Haiti 
mengatakan Siyono merupakan salah satu panglima dalam jaringan 
Jamaah Islamiyah yang menyimpan informasi tentang senjata-senjata 
milik jaringan tersebut. “Siyono ditangkap setelah pengembangan dari 
penangkapan anggota jaringan sebelumnya oleh Detasemen Khusus 
88 Antiteror,” kata Badrodin dalam rapat bersama Komisi III DPR 
di Jakarta, Rabu (20/4/2016). Badrodin mengakui ada prosedur tetap 
(protap) operasional yang dilanggar Detasemen Khusus (Densus) 88 
Antiteror dalam penanganan terduga teroris Siyono yang tewas setelah ditangkap. “Anggota yang menangani dan komandannya saat ini 
sedang diperiksa dan menjalani sidang disiplin karena ada kelalaian,” 
kata Badrodin. Dikemukakannya, prosedur standar operasional yang 
dilanggar anggota dalam penanganan Siyono adalah soal pengawalan. 
Siyono hanya dikawal oleh satu orang yang seharusnya lebih dan dia 
dalam keadaan tidak diborgol. 
“Saat itu, Siyono tidak diborgol agar bersikap kooperatif saat 
dibawa untuk mengembangkan informasi. Namun, saat di mobil 
dalam perjalanan di perbatasan antara Klaten dan Prambanan, Siyono 
menyerang anggota,” ujarnya. Badrodin mengakui perkelahian dan 
pergumulan di dalam kendaraan tidak terhindarkan. Selain memukul, 
Siyono terus berusaha menendang dan merebut senjata milik anggota 
yang mengawal. Tendangan Siyono bahkan mengenai kepala pengemudi 
sehingga kendaraan berjalan oleng dan sempat menabrak pembatas 
jalan. Anggota yang mengawal akhirnya berhasil melumpuhkan Siyono 
yang terduduk lemas. “Siyono dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara 
Polda DIY yang kemudian dinyatakan sudah meninggal dunia. Dari hasil 
pemeriksaan luar, ditemukan memar di kepala sisi kanan belakang, 
pendarahan di bawah selaput otak dan tulang rusuk patah akibat benda 
tumpul,” katanya. Kasus Siyono ini, sempat menjadi obrolan sejumlah 
wartawan saat meliput konferensi pers yang digelar Komnas HAM 
terkait hasil kerjanya dalam kasus tewasnya enam Laskar FPI. Sesama 
wartawan mencoba mengingat-ingat gelaran konferensi pers yang 
diadakan oleh Komnas HAM. Dalam hal ini, ada kemiripan kejadian 
antara Siyono dengan para korban Laskar FPI, seperti meninggalnya 
di dalam mobil setelah—menurut Kapolda Metro Jaya,…..---melakukan 
penyerangan ke petugas Polri yang mengawalnya, sehingga diambil 
tindakan tegas dan terukur berupa pelumpuhan terhadap Siyono.
Adapun yang membedakannya saat ini, dalam kasus Siyono ternyata 
tim Komnas HAM menjelaskan hasil kerjanya yang menyangkal 
penjelasan Kapolri (saat itu). Siyono, menurut hasil penyelidikan autopsi 
jenazah, meninggal dunia bukan karena melawan petugas Densus 88 di dalam mobil. Sedangkan dalam kasus tewasnya Laskar FPI, Komnas 
HAM menjelaskan terjadinya pelanggaran HAM (bukan pelanggaran 
HAM berat) yang dilakukan oleh polisi saat membawa empat Laskar 
FPI di dalam mobil. Dan, Komnas HAM menyatakan kasus tersebut 
bisa diproses dalam mekanisme pengadilan pidana lantaran bukan 
pelanggaran HAM berat



SAMBUTAN HRS MENJELANG SALAT JENAZAH 
ENAM PENGAWAL HRS
Bogor, 9 Desember 2020
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dalam kesempatan 
ini saya ingin menyampaikan beberapa poin penting untuk segenap 
keluarga para syuhada, segenap pengurus Dewan Pimpinan Pusat 
FPIslam, segenap laskar dan simpatisan FPIslam Bahkan untuk seluruh 
warga dan bangsa Indonesia. Pertama, Keterangan pers secara resmi 
yang sudah dikeluarkan DPP FPIslam tentang kronologis penembakan 
yang terjadi isinya adalah benar. Sekali lagi saya sampaikan, kronologis 
yang sudah dibuat dan disebar DPP FPIslam saya memberikan kesaksian 
sebagai salah satu saksi korban selama kejadian bahwa isi keterangan 
pers itu benar. Kedua, yang ingin saya sampaikan di sini bahwa pada 
saat kejadian, tidak ada satu pun di antara kami, baik saya dan keluarga, 
maupun seluruh laskar pengawal yang mengira kalau yang melakukan 
pengejaran, memepet, mengganggu adalah dari kepolisian. Sama 
sekali kami tidak menduga, kami tidak pernah mengira, apalagi kami 
mengerti.
Yang kami tahu mereka adalah orang-orang jahat yang ingin 
mencelakakan kami. Dan jumlah mereka bukan 1 2 3 mobil, banyak 
sekali mobil saling silih berganti, berupaya untuk maju ke depan untuk 
bisa sampai ke mobil Habib Hanif, yang persis ada di belakang saya. 
Bahkan untuk bisa mencapai mobil saya yang ada di depan. Tapi dengan 
gagah luar biasa para syuhada kita, laskar-laskar pengawal yang paling 
belakang ini ada 2 mobil. Luar biasa, mereka tegas, mereka bela, mereka 
berani, mereka dengan begitu luar biasa mengendalikan situasi dan 
kondisi sehingga para penjahat tadi tidak satu pun yang berhasil untuk 
mencapai kami. Allahu Akbar. Bagaimana sigapnya mereka, cerdasnya 
mereka, pintarnya mereka, beraninya mereka tanpa senjata. Itu kedua 
yang mau saya sampaikan.Dan poin ketiga, bahwa tuduhan para pengawal dipersenjatai 
adalah fitnah besar, bohong besar. Tidak ada satu pun pengawal kami 
yang dipersenjatai. Karena kami tidak pernah mengira sekali lagi kalau 
kami akan diperlakukan seperti itu. Para pengawal ini adalah standar 
pengawal biasa. Pengawal standar keluarga biasa. Saya ada 4 mobil, 
semua isinya keluarga, anak, mantu, saudara, cucu-cucu kami semua 
ikut. Ada 3 masih bayi, masih minum air susu ibu. Dan masih ada 4 di 
bawah 4 tahun bahkan di bawah 3 tahun. Jadi benar kami sekeluarga 
semua. Sudah. Nah jadi yang ingin saya sampaikan di sini adalah para 
laskar ini mengawal, tugas mereka mengawal bukan untuk mengganggu 
siapa pun. Jadi sudah benar melaksanakan tugas ketika begitu banyak 
mobil menyalip, kemudian ingin membahayakan kami, mereka 
menjalankan tugas dengan tertib. Mereka enggak mencelakai dengan 
sangat cantik, yaitu bagaimana mereka mengusir satu per satu mobil￾mobil tersebut sehingga tidak berhasil masuk ke dalam rombongan.
Keempat yang mau saya sampaikan di sini, dengan takbir Allah, tanpa 
mereka-mereka inilah syuhada mungkin kami sudah digiring ke medan 
pembantaian yang mereka rencanakan. Allah sudah menakdirkan 
sesuai dengan kehendak Allah. Demi Allah, saya dan keluarga siap setiap 
saat untuk menghadapi mati syahid. Tidak akan mundur selangkah 
pun juga, tidak akan pernah takut untuk menghadapi segala ancaman 
dan teror. Begitu saya sampaikan sekali lagi, keenam laskar yang mati 
syahid ini, mereka laskar yang luar biasa. Mereka laskar yang setia, 
bahkan Anda bisa dengarkan dalam rekaman-rekaman yang tersebar, 
yang viral di mana-mana, bagaimana mereka tertawa, saudara, senang 
begitu melihat saya dan keluarga semua sudah terbebas dari kejaran. 
Begitu mereka melihat saya dan keluarga sudah berhasil meluncur 
keluar dari kejaran. Mereka senang. Padahal sebentar lagi mereka akan 
dibantai. Mereka digiring ke medan pembantaian dan sampai saat itu 
kami tidak pernah tahu kalau mereka melakukan pembantaian adalah 
pihak kepolisian.Kami tidak pernah tahu, kami tidak pernah suudzon. Kami enggak 
pernah menuduh. Bahkan kalau siaran pers DPP FPIslam masih 
cantumkan orang tidak dikenal. Karena kami tidak berani menuduh 
siapa pun tanpa bukti. Kami tidak berani menuduh siapa pun tanpa saksi. 
Itu ajaran Islam, enggak boleh kita menuduh siapa pun tanpa bukti dan 
saksi yang kuat. Tapi subhanallah tatkala dari pagi sampai siang kami 
kerahkan laskar-laskar Karawang, dipimpin oleh pimpinannya, masuk 
ke setiap rumah sakit wilayah Karawang, masuk setiap kantor polisi di 
Karawang, menyapu bersih itu jalan tol. Setiap orang kita tanya semua 
dalam rangka untuk mencari para syuhada ini, di mana mereka. Tapi 
subhanallah akhirnya Allah buka mulut mereka, saudara. Allah buka 
mulut mereka saudara. Allah buka mulut mereka saudara. Enggak bisa 
mereka sembunyikan. Enggak bisa mereka sembunyikan saudara. Allah 
maha kuat, Allah maha besar, Allah maha kuasa.
Kapolda Metro Jaya menyebut para menyerang para penyergap, 
para penguntit saudara, kami semua mengira itu penjahat, saudara, 
yang mau mencelakai kami ternyata diakui sebagai bagian daripada 
penyelidikan, bagian daripada penyidik dan Polda Metro Jaya. Bukan 
kami yang menuduh, mereka yang mengakui. Kalau mereka nutup 
mulut, tidak pernah mengaku, sampai kapan pun kami tidak akan 
pernah tahu. Subhallah. Hanya hitungan jam saudara Allah buka 
mulut mereka. Padahal kalau mereka menutup seumur hidup pun 
kami enggak akan pernah tahu. Tapi Allah maha tahu, Allah maha 
berkehendak. Allah buka mulut mereka saudara, Allah buka pengakuan 
mereka saudara, sehingga sekarang menjadi terang benderang siapa 
para pelaku penjahat itu saudara.
Ini poin-poin penting yang ingin saya sampaikan. Dan semalam 
sudah kita sudah membentuk tim untuk memeriksa secara utuh 
bagaimana kondisi daripada 6 jenazah syuhada kita. Saya sudah 
mendapatkan laporan secara lengkap, nanti pada saat yang tepat akan 
kita agendakan siaran pers secara nasional dan kita sampaikan kepada 
semua, seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, kami akan menuntut jalur hukum secara prosedur. Kami akan kejar siapa pun yang terlibat dalam 
pembantaian ini. Kami enggak akan biarkan mereka tidur tenang. 
Allahu Akbar. Begitu saya minta seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, 
tahan diri, sabar. Kita hadapi dengan elegan, kita tempuh prosedur 
hukum yang ada. Lalu kalau prosedur hukum yang ditempuh dengan 
membaik, insyaallah semua akan terbongkar, siapa yang melakukan 
pembantaian di medan lapangan sampai siapa yang di balik otak saudara 
semua akan kita ungkap. Tapi kalau Anda emosi, kalau Anda berjuang 
sendiri-sendiri, maka ini akan terkubur tidak akan pernah terungkap. 
Maka itu saya minta sekali lagi, sabar, sabar. Ada saatnya. Ada saatnya 
akan kita melakukan perlawanan. Ada saatnya, ada saatnya kita harus 
melakukan jihad fi sabilillah. Allahu Akbar.
Jangan lupa, syuhada kita yang enam ini saudara mereka sudah 
melakukan tugas jihadnya menjaga ulama dan mereka sudah mendapat 
hadiahnya dari allah sebagai syahid. Insyaallah syuhada mereka 
diterima oleh Allah SWT. dan saudara, memang kami minta bantuan 
dari keluarga masing-masing untuk bisa dimakamkan di Pondok 
Pesantren Markaz Syariah ini. Saya ini nah akan kami dari salah satu 
para syuhada kita atas permintaan keluarga mereka ibunya yang 
begitu cinta pada sang anak ya dibawa ke rumahnya dan dikubur di 
rumahnya. Jadi sekali lg mudah-mudahan semua syuhada diterima di 
sisi Allah. Saya tidak ingin berpanjang lebar lagi tapi sekali lagi bahwa 
DPP FPIslam bersama dengan seluruh ormas-ormas Islam yang ada 
bagaimana kalau kita menyampaikan pernyataan sikap bersama di 
mana kita kompak semua satu kata bahwa harus dibentuk tim pencari 
fakta independen yang melibatkan semua elemen, yang melibatkan 
komnas HAM, Amnesti Internasional, bahkan kami minta juga Komnas 
HAM anak untuk ikut berbuat. karena di dalam kejadian itu ada 3 bayi 
dan masih ada lagi 4 balita dan 1 lagi balita dan salah seorang anak 
kami. Jadi tidak kurang dari 12 wanita, 3 bayi, dan 6 balita yang masih 
berada di bawah 5 tahun.Komnas HAM anak enggak boleh diam, karena pada saat kejadian 
itu ada bayi-bayi yang ketakutan karena mobil itu meluncur tidak 
wajar, tidak semestinya. Dan dalam mobil-mobil tersebut, bayi-bayi itu 
menangis, ibu-ibu itu menangis. Mereka terintimidasi, mereka tidak 
takut dengan satu teror yang luar biasa. Maka itu sekali lagi Komnas 
HAM Perempuan, Komnas HAM anak mereka semua harus ikut terlibat. 
Tidak boleh ketidakadilan, tidak boleh kejadian semacam ini dibiarkan 
terjadi di dalam NKRI. Hari ini, kejadian sadis brutal seperti ini bisa 
menimpa saya dan keluarga, bisa menimpa 6enam syuhada, maka kalau 
dibiarkan besok akan bisa menimpa siapa saja keluarga di Indonesia. 
Maka itu saya ajak semua elemen bangsa ini dari mulai Presiden, 
DPR-nya, dan seluruh institusi terlibat, secara bersama-sama untuk 
mengungkap fakta yang sebenarnya apa yang terjadi di balik semua 
ini. Itu saja. Sekali lagi malam itu saya dan keluarga keluar lewat dari 
jam sepuluh malam, kenapa kami lewat jam sepuluh malam? Karena 
pikir kalau keluar jam 7 atau maghrib banyak crowded di jalan. Kalau 
lewat dari jam 10 supaya jalan agak senggang. Kami harap sekitar jam 
12 atau lewat kami sudah sampai di tujuan. Tujuan kami suatu tempat 
peristirahatan yang cocok buat kesehatan. Kami sedang membutuhkan 
sedikit waktu lagi untuk memberikan tenaga kami kesehatan kami. Dan 
selain itu juga enggak pernah nyangka kalau perjalanan kita malam 
itu sebetulnya sudah direncanakan oleh pihak lain untuk digiring ke 
medan pembantaian.
Kami tidak pernah menyangka dan kami tidak pernah menduga. 
Tujuan kami hanya kesehatan sehingga jam 12 atau jam setengah 1 kami 
sudah sampai, istirahat dan sungguh kami punya pengajian keluarga, 
baca quran, hadits zikir hanya khusus buat keluarga kecil kami aja. Anak 
mantu cucu dan untuk baby sitter yang menemani kami untuk juga 
beberapa anggota keluarga kami. Jadi kami enggak permah menyangka 
apa yang sebetulnya sederhana indah saudara ternyata sedang digiring 
ke medan pembantaian. Dan subhanallah akhirnya kami semua 
selamat berkat takdir Allah berkat perjuangan keenam syuhada. Tanpa perjuangan ke-6 syuhada ini mungkin kami saat ini tidak bertemu Anda 
lagi di sini. Maka itu saya sampaikan sekali lagi kepada keluarga para 
syuhada Anda semua harus sabar ke Allah ridho atas keputusan Allah 
dan jangan khawatir keluarga Anda yang kembali pada Allah ini mati 
syahid Allah akan masukkan mereka ke dalam surganya dan berikan 
kelak syafaat untuk menolong seluruh anggota keluarganya untuk 
masuk ke surga. Itu saja yang ingin saya sampaikan kita tidak ingin 
menunda lagi, silakan saf pertama keluarga.

FAKTA TEMUAN 
DAN REKOMENDASI KOMNAS HAM
Bahwa didapatkan fakta juga telah terjadi upaya pengintaian dan 
pembuntutan terhadap MRS (atau HRS) yang dilakukan oleh petugas 
yang dinyatakan bukan dari kepolisian oleh polisi sejak dari kawasan 
Markaz Syariah Megamendung hingga ke kawasan Sentul Bogor Jawa 
Barat pada tanggal 4 Desember 2020.
Mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang 
yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam B.1739 PWQ dan Avanza 
silver B 1278 KJD
1. Saat diperiksa oleh Komnas HAM, aparat kepolisian dari Polda 
Metro Jaya mengakui adanya kendaraan “tim lain” yaitu Avanza 
silver bernopol B 1278 KJD dan Avanza hitam nopol B 1739 PWQ, 
yang turut melakukan penguntitan dan atau pembuntutan terhadap 
rombongan HRS pada Ahad-Senin (6-7/12 2020).
2. Fakta-fakta temuan yang menunjukkan adanya “Operasi 
Delima”dan atau fakta terkait lainnya telah disampaikan oleh 
pihak FPI dan atau keluarga korban pembunuhan enam Laskar 
FPI kepada Tim Penyelidik Komnas HAM (pada saat pemeriksaan 
oleh Komnas HAM tanggal 7 dan Desember 2020 dan 6 Januari 
2021, berupa (a) Voice note sejumlah 105 percakapan, (b) Rekaman 
pembicaraan, (c) Foto mobil yang dicurigai, (d) Jejak digital untuk 
lini masa digital, (e) Foto-foto terkait peristiwa tanggal 4 Desember 
2020 di Megamendung.
3. Badan Intelijen Negara (BIN) acapkali membantah suatu kasus yang 
melibatkan anggotanya sebagaimana terungkap fakta peristiwa 
meninggalnya anggota BIN bernama seorang gadis belia bernama 
Gayatri Wailissa (17) yang dikenal jenius lantaran menguasai 14 
bahasa asing. Gayatri meninggal pada Kamis (23/10 2014 pukul 19.15 WIB konon karena sakit di RS ABdi Waluyo Menteng Jakarta 
Pusat. 
4. Adalah fakta benar bahwa orangtuanya menjelaskan kepada publik bahwa anaknya direkrut dan dididik oleh BIN, sehingga karenanya 
saat prosesi pemakaman jenazahnya ditampilkan foto besar 
almarhum yang mengenakan “busana kebanggaannya” sebagai 
anggota BIN. Jejak publisitas Media Tribunnews.com Jakarta , Minggu 
26 Okt 2014, 16.30 WIB, mengungkapkan fakta bahwa Nurul Idwati, 
ibunda almarhumah Gayatri Wailissa (17) mengatakan selama 
di Jakarta, anaknya menjadi anggota BIN. Hal itu senada dengan pernyataannya saat diwawancara khusus oleh kru Metro TV, Sabtu 
(25/10 2014).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gayatri Wailissa gadis ajaib 
yang menguasai belasan bahasa asing yang meninggal, di 
Jakarta Kamis (23/10/2014) disebut sebagai anggota BIN. Kabar 
mengenai keanggotaan BIN remaja 17 tahun dengan kemampuan 
di atas normal itu menyebar usai wawancara stasiun televisi di 
hari pemakaman Gayatri, Sabtu (25/10/2014) di Ambon.
“Gayatri cerita, pernah di latih BIN. Pada tanggal 19 September, 
pulang ke Ambon. Dia menceritakan seperti itu, latihan 
seperti kungfu, bela diri, menembak,” kata ibunda Gayatri saat 
diwawancara. 
Gayatri diketahui juga sebagai anak angkat Pangdam Brawijaya 
Eko Wiratmoko.
5. Terkadang penjelasan pejabat BIN mengandung makna yang 
secara implisit maupun eksplisit menunjukkan “fakta yang benar” 
tentang keanggotaan dan atau keterlibatan BIN dalam suatu kasus, 
sebagaimana fakta penjelasan BIN terkait kasus Gayatri tersebut. 
Fakta jejak rekam publisitas penjelasan pejabat resmi BIN dalam 
kasus ini, terungkap dari ekspose berita yang dilansir media 
Tribunnews.com Senin, 27 Okt 2014 jam 01.38 WIB sebagai berikut: 
Kepala BIN Marciano Norman membantah Duta Asean itu anggota 
BIN. “Tapi yang bersangkutan (Gayatri) tidak pernah mendaftarkan 
diri sebagai anggota BIN,” ujar Marciano usai mengikuti sidang kabinet 
yang dipimpin Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Senin 
(27/10 2014).
Namun Marciano memuji kecerdasan Gayatri yang di atas rata-rata, 
terutama mampu menguasai 13 bahasa internasional itu. Menurutnya, 
kecerdasan Gayatri memang cocok mengisi kriteria seorang anggota BIN. Kecerdasan Gayatri memang cocok mengisi kriteria seorang anggota 
BIN. “Kecerdasannya di atas rata-rata itu bagus. Kami dukung,” kata 
Marciano.
Marciano juga tidak lupa mengucapkan turut berduka cita atas 
meninggalnya Gayatri. Ia juga mengucapkan rasa bangga karena 
bangsa Indonesia memiliki warga negara yang kecerdasannya di atas 
rata-rata. “Kita kehilangan atas berpulangnya yang bersangkutan,” 
ujar Marciano

6. Berdasarkan jejak rekam publisitas petinggi (Purn) TNI yang 
menyoroti kasus Gayatri menyatakan bahwa Gayatri adalah 
anggota BIN. Fakta tersebut terungkap dari berita berjudul “Gadis 
Ajaib Meninggal Mendadak ; TB Hasanuddin: BIN Gegabah dan Tidak 
Etis Rekrut Gayatri”, edisi Minggu 26 Oktober 2014, 09. 09 WIB, yang 
mem-publish sebagai berikut:
Anggota DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengkritik 
keras atas perekrutan Gayatri Waillissa gadis berusia 17 tahun yang 
menguasai 13 bahasa asing sebagai anggota BIN, namun meninggal 
dalam usia muda. “Sangat mengejutkan kalau BIN merekrut pelajar. Itu 
adalah tindakan gegabah dan rawan. Apalagi kalau benar dia sudah 
dilatih misalnya tindakan yang dianggap rahasia sampai dengan 
tindakan menggunakan senjata api,” tegas TB Hasanuddin yang juga 
ahli intelijen kepada Tribunnews di Jakarta, Sabtu (25/10 2014).
Menurut Hasanuddin, usia 17 tahun itu kejiwaannya masih labil 
dan tidak layak menjadi anggota BIN. Itu kan seorang pelajar, kalau 
kemudian sesudah dilatih justru dimanfaatkan oleh klompok tertentu 
untuk kepentingan tertentu. Apalagi setelah Gayatri meninggal, 
kemudian pihak keluarga yakni ibunya menyampaikan bahwa putrinya 
adalah anggota BIN. Bagi TB Hasanuddin itu adalah bukti pada saat 
rekrutmen, lingkungan tidak menjadi bahan pertimbangan. “Berarti 
BIN gegabah,” katanya.
TB Hasanuddin mengatakan, sah saja BIN merekrut orang yang 
memiliki keahlian menguasai banyak bahasa. Namun yang direkrut 
tersebut sifatnya harus jangka panjang dan orang yang sudah stabil 
kejiwaannya. Jadi, tidak mentang-mentang ada orang yang jago bahasa 
asing, lalu direkrut begitu saja meski usianya masih belia. Baginya, 
merekrut anggota BIN itu bebas dan tidak ada aturan, namun harus 
menunjukkan unsur kehati-hatian agar hal yang ia merugikan negara 
atau BIN tidak terjadi.

7. Adalah benar fakta bahwa sipil dapat menjadi anggota BIN, 
sebagaimana fakta jejak rekam digital. Media CNN Indonesia,
Senin (22/6 2015, 18.41) yang mengungkapkan penjelasan (saat itu) 
Kepala BIN, Marciano Norman bahwa mayoritas anggota BIN itu 
berlatarbelakang sipil. “Anggota BIN itu gabungan, ada sipil, polisi, 
dan juga militer. Komposisinya 80 persen sipil, 20 persen TNI dan 
Polri,” katanya di gedung DPR RI, Senin (22/6 2015).
8. BIN menginstruksikan dan atau mensyaratkan anggotanya untuk—
selain memiliki nama asli juga nama ganti atau aliasnya—sehingga 
tidak adanya nama Gayatri merupakan sesuatu yang wajar. Fakta 
jejak rekam publisitas menyatakan, seorang pengamat intelijen, 
Ridlwan Habib (sebagaimana dilansir Tribunnews.com/Sabtu 25/okt 
2014 22.23) mengungkapkan bahwa BIN memang mencari bakat￾bakat cerdas dari siswa berprestasi di SMA seluruh Indonesia. Anak 
tersebut dididik di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Sentul 
Bogor, setiap angkatan sekitar 40 s.d 0 anak. Dalam perekrutan 
ini, BIN membuat ketentuan, bahwa anak-anak yang lolos seleksi 
untuk mengikuti pendidikan di STIN itu harus mengubah nama.
Nama awalnya Agus, misalnya, diubah bisa menjadi Hendra. 
Nama baru itu untuk nama dia untuk selamanya saat menjadi 
anggota BIN. Ridlwan menyebutkan, siswa STIN BIN tersebut harus 
sepengetahuan orangtuanya bahwa anaknya akan dididik menjadi 
anggota BIN. Jadi yang tahu itu anak BIN ya hanya orangtuanya. Bisa 
juga ayah atau ibunya. “Kakak atau adiknya tidak ada yang tahu. 
Bahkan setelah nikah, suami atau istri tidak tahu,” ujar Ridlwan.

PEMBERITAAN MEDIA TENTANG 
PERISTIWA 4 DESEMBER 2020 DI MEGAMENDUNG
Adalah fakta benar bahwa selain media @opposite, juga media 
Tempo (12/12 2020) dan media lainnya yakni fajar.co.id (2020/12/07) ; 
video.tempo.co (19/12 2020) ; kabar24bisnis.com ; merdeka.com ; liputan6.
com ; antaranews.com ; news.detik.com ; akurat.co ; www.suara,com ; www.
tribunnews.com mengungkapkan fakta peristiwa tanggal 4 Desember 
2020 di Megamendung tersebut sebagaimana fakta informasi yang 
dilansirnya berikut ini:
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS 
MERUPAKAN PELANGGARAN HAM BERAT 
(PELANGGARAN TERHADAP KETENTUAN PERATURAN)
A. UUD 1945
1. Bahwa merujuk pada Pembukaan (Preambule) Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) alinea 
keempat disebutkan secara tegas tujuan dari negara Indonesia 
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh 
tumpah darah Indonesia. 
Aline 4 UUD 1945 menyebutkan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara 
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh 
tumpah darah Indonesia..”
2. Bahwa untuk mewujudkan perlindungan terhadap segenap bangsa 
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka Konstitusi 
UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan terhadap Warga 
Negara Indonesia bersamaan dengan Hak-hak Asasi yang melekat 
padanya, di antaranya adalah hak setiap warga negara Indonesia 
atas:
a. “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan 
kehidupannya (Pasal 28A);
b. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh, dan 
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan 
diskriminasi (Pasal 28B ayat 2)
c. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan 
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan 
hukum (Pasal 28D);
d. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah 
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari 
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang 
merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakukan 
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak 
memperoleh suaka politik dari negara lain” (Pasal 28G Ayat 2);
f. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus 
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna 
mencapai persamaan dan keadilan(Pasal 28H Ayat 2);
g. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan 
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, 
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapkan hukum, dan hak 
untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah 
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa 
pun (Pasal 28 I ayat 1)
h. Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas 
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap 
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (Pasal 28 I ayat 2)”.
B. PELANGGARAN UNDANG-UNDANG 
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang￾Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, 
disebutkan:
a. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman 
atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan 
derajat dan martabat kemanusiaannya; 
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan 
penghilangan nyawa;
2. Bahwa masih dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 
Tentang Hak Asasi Manusia, pasal 104 ayat (1) disebutkan:
Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk 
Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
Dalam penjelasan pasal 104 disebutkan:
Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” 
adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang￾wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial 
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, 
atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic 
discrimination)
3. Bahwa Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan 
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman 
lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat 
manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, inhuman 
or Degrading Treatment or Punishment), Konvensi ini mengatur 
pelanggaran penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan 
atau merendahkan martabat manusia.
Pasal 1 
(1) Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “Penyiksaan” berarti setiap 
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan 
rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, 
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari 
orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas 
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan 
oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa 
orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang 
didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan 
tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, 
atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa 
sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau 
diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.
(2) Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional 
atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar 
atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan 
yang lebih luas.
Pasal 2 
(1) Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, 
administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk 
mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.
(2) Tidak ada pengecualian apa pun, baik dalam keadaan perang atau 
ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau 
keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran 
penyiksaan
(3) Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai 
pembenaran penyiksaan.
Pasal 3
(1) Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir, 
mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang 
ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk 
menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat 
menjadi sasaran penyiksaan. 
(2) Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam 
itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal 
yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap 
pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi 
manusia di Negara tersebut.
Pasal 4
(1) Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan 
adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya. Hal 
yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan, 
dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan
dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut 
serta dalam penyiksaan.
(2) Setiap Negara Pihak harus mengatur agar pelanggaran￾pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan 
mempertimbangkan sifat kejahatannya. 
Pasal 5
(1) Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah seperlunya 
untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas pelanggaran yang 
disebut pada pasal 4 dalam hal-hal berikut:
a. Apabila pelanggaran dilakukan di dalam suatu wilayah 
hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat terbang yang 
terdaftar di Negara itu; 
b. Apabila yang dituduh melanggar adalah warga dari Negara 
tersebut; 
c. Apabila korban dianggap sebagai warga dari Negara tersebut, 
dan Negara itu memandangnya tepat.
(2) Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan seperlunya 
untuk menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran, dalam kasus 
yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran berada di wilayah 
kekuasaannya dan Negara itu tidak mengekstradisikannya sesuai 
dengan pasal 8 ke Negara lain sebagaimana disebut dalam ayat 1 
pasal ini.
(3) Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana 
apa pun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional.
Pasal 6 
(1) Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang 
tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua 
Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh 
telah melakukan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, akan 
menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk 
menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu indakan hukum itu
harus disesuaikan dengan hukum Negara tersebut, tetapi dapat 
diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur 
pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan.
(2) Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal 
berdasarkan fakta yang ada
(3) Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini harus 
dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan Negara 
yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika 
ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan Negara 
tempat ia biasanya menetap.
(4) Apabila suatu Negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan 
seseorang, Negara tersebut harus segera memberitahu Negara yang 
disebut dalam pasal 5 ayat 1 tentang kenyataan bahwa orang tersebut 
berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya. Negara yang 
melakukan penyelidikan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat 
2 pasal ini akan segera melaporkan temuannya kepada Negara 
tersebut dan menunjukkan apakah pihaknya akan melaksanakan 
kewenangan hukum.
4. Bahwa berdasarkan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan 
Politik (International Convenant on Civil and Political Rights), 
disebutkan:
Pasal 6
(1) Setiap manusia berhak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak 
ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas 
hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Pasal 7 
(1) Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan 
atau hukuman lain yang tidak manusiawi atau merendahkan 
martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek 
eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan 
secara bebas
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak atas bebas dan keamanan pribadi. Tidak seorang 
pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak 
seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan 
alasan-alasan yang sah, sesuai prosedur yang ditetapkan oleh 
hukum
(2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat 
penangkapan dan harus sesegera mungkin diberi tahu mengenai 
tuduhan yang dikenakan terhadapnya
(3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan 
pidana. Wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat 
lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan 
kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu 
yang wajar, atau dibebaskan. bukan merupakan suatu ketentuan 
umum, bahwa orang-orang menunggu diadili harus ditahan, tetapi 
pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada 
waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan 
putusan, apabila diputuskan demikian;
(4) Siapa pun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan 
atau penahanan, berhak disidangkan di depan pengadilan, 
yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat 
menentukan kebebasan penangkapannya, dan memerintahkan 
pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum;
(5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau 
penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian 
yang harus dilaksanakan.
Pasal 14
(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan 
pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan 
pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan 
kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan 
peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk 
menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk 
mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, 
ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat 
yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut 
pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi 
justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri, namun setiap 
keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata 
harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana 
kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila 
persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan 
atau perwalian anak-anak.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap 
tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum
(3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, 
setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, 
dalam persamaan yang penuh:
a. Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa 
yang dapat dimengerti, tentang sifat dan alasan tuduhan yang 
dikenakan terhadapnya;
b. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk 
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara 
yang dipilihnya sendiri;
c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
d. Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela 
diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya 
sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak 
mempunyai pembela dan untuk mendapatkan bantuan hukum 
demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak 
memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;e. Untuk memeriksa atau meminta diperiksa saksi-saksi yang 
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksa 
saksi-saksi yang meringankannya, dengan saksi-saksi yang 
memberatkannya;
f. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah 
apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam 
bahasa yang digunakan di pengadilan;
g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan 
dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah
(4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai 
harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk 
meningkatkan rehabilitas bagi mereka.
(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan 
kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan 
yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum;
(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan 
hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan 
apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampun 
berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan 
menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan 
dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita 
hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi 
ganti rugi menurut hukum. Kecuali jika dibuktikan bahwa tidak 
terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu. Sepenuhnya atau 
untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak 
pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau 
dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di 
masing-masing negara.Pasal 15
(1) Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak 
pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang 
bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik 
berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula 
diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat 
daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut 
dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana 
muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku 
harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
(2) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan 
persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan 
yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu 
terjadi masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum 
yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 26
(1) Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak 
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apa pun.
(2) Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apa pun, dan 
menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang 
terhadap diskriminasi atas dasar apa pun seperti ras, warna, 
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal 
usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status 
lain.
5. Bahwa berdasarkan Konvensi Internasional Tentang Perlindungan 
Terhadap semua orang dari Tindakan Penghilangan paksa, 
menyebutkan:
Pasal 1 
(1) Tidak ada setiap orang pun boleh dihilangkan secara paksa.
(2) Tidak ada pengecualian apa pun, apakah dalam keadaan perang 
atau ancaman perang, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil atau situasi darurat lain, yang dapat diterima sebagai alasan 
pembenar terhadap tindakan penghilangan secara paksa.
Pasal 2
Menurut Konvensi ini, penghilangan secara paksa adalah penangkapan, 
penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas kebebasan 
yang dilakukan oleh aparat Negara atau oleh orang-orang maupun 
kelompok yang melakukannya dengan mendapat kewenangan, 
dukungan serta persetujuan dari Negara, yang diikuti dengan 
penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan perampasan 
kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang 
yang hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada 
di luar perlindungan hukum.
Pasal 3 
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang perlu 
untuk menyelidiki tindakan-tindakan yang dimaksud dalam Pasal 
2, yang dilakukan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang 
bertindak tanpa kewenangan, dukungan atau persetujuan dari Negara 
serta membawa mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan.
Pasal 4 
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah penting untuk 
menjamin bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan dalam 
hukum pidananya.
Pasal 5
Praktek penghilangan secara paksa yang dilakukan secara meluas atau 
sistematis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dimaksud 
dalam hukum internasional yang berlaku dan harus memperoleh 
konsekuensi seperti yang berlaku di bawah hukum internasional.
6. Bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 
2005 Tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak￾hak sipil dan politik menyebutkan “Tidak seorang pun yang dapat 
dikenakan penyiksaan atau perlakukan atau hukuman lain yang keji, y g keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak 
seorang pun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa 
persetujuan yang diberikan secara bebas.”
7. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang 
Perlindungan Anak menyatakan sebagai berikut:
Pasal 16 Ayat (1) 
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran 
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak 
manusiawi.
Pasal 66 Ayat (1)
Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, 
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 
8. Bahwa negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (United 
Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 telah memproklamasikan 
Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan 
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration 
of Human Rights) 10 Desember 1948, dimana deklarasi tersebut 
merupakan bentuk pengakuan umum bangsa-bangsa di dunia 
perihal penghormatan dan perlindungan HAM atas diri setiap 
manusia, khususnya hak mengenai:
(1) Hak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai 
individu, yang lengkap nya berbunyi: “Everyone has the right to 
life, liberty and security of person” (Pasal 3/Article 3);
(2) Hak untuk tidak diganggu urusan pribadinya, keluarganya, 
rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan 
sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan 
pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang 
berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau 
pelanggaran seperti ini, yang lengkapnya berbunyi: “No one shall 
be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home 
or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation.
Everyone has the right to the protection of the law against such 
interference or attacks” (Pasal 12 / Article 12);
C. PELANGGARAN PROSEDUR PENGGUNAAN SENJATA BAGI 
POLISI
Prinsip-prinsip penggunaan kekerasan dan senjata api oleh pihak 
kepolisian, pada dasarnya masuk dalam prinsip-prinsip dasar PBB 
tentang penggunaan kekerasan dan sejata api oleh petugas penegak 
hukum, yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8 tentang perlindungan 
kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggar hukum di Havana, Kuba.
Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api 
oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 
tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia 
dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia 
(“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 Tahun 2009 
tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 
1/2009”).
Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa: 
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar 
diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka 
berat;
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa 
orang;
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang 
atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; 
dan;f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah￾langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir 
untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 
8 ayat (2) Perkapolri 1/2009).
D. PELANGGARAN PERATURAN KAPOLRI
Bahwa terjadi penyimpangan hukum dan prosedur di antaranya 
Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian 
Negara Republik Indonesia, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang 
Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 16 
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Masa, Perkap Nomor 
8 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara bertindak 
dalam Penanggulangan Huru-Hara dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 
Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam 
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
1. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode 
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan:
Pasal 10:
Setiap Anggota Polri Wajib:
a. Menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip 
dasar hak asasi manusia;
b. Menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di 
hadapan hukum
c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, 
mudah, nyaman, transparan dan akuntabel berdasarkan ketentuan 
perundang-undangan;
d. Menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan dan menjaga 
kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.Pasal 14:
Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum 
sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
a. Mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain 
yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan 
perundang-undangan;
b. Menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/
Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum 
tersangka;
c. Merekayasa dan manipulasi perkara yang menjadi tanggung 
jawabnya dalam rangka penegakan hukum
d. Merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
e. Melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa 
untuk mendapatkan pengakuan;
f. Melakukan penyidikan yang bertentangan dengan peraturan 
perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
g. Menghambat kepentingan pelapor, terlapor dan pihak terkait 
lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/
atau melaksanakan kewajibannya;
h. Merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang 
tak bertuan.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 3 huruf a, c dan e Peraturan Kapolri 
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam tindakan 
Kepolisian, menyatakan:
Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian 
meliputi:
a. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus 
sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus 
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapdan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri, sehingga tidak 
menimbulkan kerugian/korban/penderita yang berlebihan
c. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan 
pencegahan. 
3. Bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 Tentang 
Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam 
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, 
menyatakan:
Pasal 5 Ayat (1)
Instrumen Perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap 
anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, Pasal 
28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945, meliputi:....
Huruf v
Hak untuk tidak disiksa
Huruf b
Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan 
martabat manusia.
Pasal 5 ayat (2)
Bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapa pun dan dalam 
keadaan apa pun (non-derogable rights) adalah
Huruf b
Hak untuk tidak disiksa
Pasal 11 ayat (1)
Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:.....
Huruf b:
Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam 
kejahatan;Huruf d
Penghukuman dan/atau perlakuan yang tidak manusiawi yang 
merendahkan martabat manusia
Huruf g
Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum 
(corporal punishment)
Huruf j
Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
Pasal 13 ayat (1) huruf a
Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri 
dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun 
seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
Pasal 23 huruf (a) dan (e)
Tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsip￾prinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan sebagai 
berikut:
a. Semua orang kebebasannya dicabut harus tetap diperlakukan secara 
manusiawi dan penuh hormat karena martabatnya yang melekat 
sebagai manusia;
b. Tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak 
manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan 
martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya.
Pasal 24 huruf (a)
Dalam melaksanakan tindakan penahanan petugas dilarang 
menyalahgunakan kewenangan invest Huruf d
Penghukuman dan/atau perlakuan yang tidak manusiawi yang 
merendahkan martabat manusia
Huruf g
Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum 
(corporal punishment)
Huruf j
Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
Pasal 13 ayat (1) huruf a
Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri 
dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun 
seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.
Pasal 23 huruf (a) dan (e)
Tindakan penahanan harus senantiasa memperhatikan prinsip￾prinsip dan standar Internasional HAM dalam penahanan sebagai 
berikut:
a. Semua orang kebebasannya dicabut harus tetap diperlakukan secara 
manusiawi dan penuh hormat karena martabatnya yang melekat 
sebagai manusia;
b. Tahanan tidak boleh disiksa, diperlakukan dengan keji dan tidak 
manusiawi, mendapat perlakuan dan hukuman yang merendahkan 
martabat, atau diberi ancaman-ancaman lainnya.
Pasal 24 huruf (a)
Dalam melaksanakan tindakan penahanan petugas dilarang 
menyalahgunakan kewenangan investigasi untuk melakukan tindakan 
siksaan badan terhadap seseorang
TIM ADVOKASI MELANGKAH KE HUKUM INTERNASIONAL
SELAIN melakukan berbagai langkah hukum di dalam negeri, 
Tim Advokasi juga melangkah ke “Hukum Internasional” dengan 
melakukan komunikasi dan koordinasi ke berbagai pihak terkait di 
sejumlah negara. Pasalnya, kasus dugaan tindakan pelanggaran HAM 
berat—yang diduga—dilakukan Polda Metro Jaya ini, layak “ditangani” 
lembaga penegakan hukum HAM internasional. Tim Advokasi telah 
melakukan pelaporan kepada International Criminal Court di Den Haag
dan Committee Against Torture di Geneva
Berikut ini Press release dari DPP FPI dan laporan Tim Advokasi yang 
disampaikan dalam edisi bahasa Inggris:
MENIMBANG KLAIM PEMBELAAN TERPAKSA 
DALAM PENEMBAKAN PENGAWAL HRS
(Sesuai dengan judul tulisan ini, klaim pembelaan terpaksa didasarkan 
pada keterangan pihak Polda Metro Jaya. Disisi lain alasan pembelaan 
terpaksa dipertanyakan oleh banyak pihak. Oleh karenanya perlu dilakukan 
analisis normatif yuridis guna menilai klaim dimaksud). Perbuatan pidana 
dimaksudkan sebagai perbuatan yang dilarang undang-undang pidana 
dan kepada pelakunya diancam sanksi pidana. Penjatuhan pidana 
sebagaimana yang diancamkan didasarkan adanya ‘kesalahan’ (mens 
rea) pelaku tindak pidana. Kesalahan sebagai unsur subjektif merupakan 
dasar pertanggungjawaban pidana. 
Seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, 
jika pada dirinya tidak ada kesalahan. Tanda konkret adanya kesalahan 
menunjuk pada ‘kesengajaan’ (dolus) dan ‘kealpaan/kelalaian’ (culpa). 
Menurut Memorie van Toelichting, kesengajaan itu adalah ‘menghendaki’ 
dan ‘mengetahui’ (willens en wetens). Maksudnya, seseorang yang 
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu, haruslah menghendaki 
(willens) apa yang ia perbuat dan harus mengetahui pula (wetens) apa 
yang ia perbuat tersebut beserta akibatnya.
Sementara KUHP menentukan keadaan-keadaan tertentu 
yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat 
dipertanggungjawabkan pidana. Dengan kata lain, perbuatan dalam 
situasi khusus yang memenuhi persyaratan tidak dapat dijatuhi 
pidana. Di sini, beberapa perbuatan yang bersifat ‘melawan hukum’ 
(wederrechtelijk) dikecualikan dari ketentuan hukum pidana, sebab 
adanya alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana di antaranya 
adalah ‘pembelaan terpaksa’ (noodweer) dan ‘pembelaan terpaksa yang 
melampaui batas’ (noodweerexces). 
Dengan demikian, hakim memberikan putusan bebas. Terhadap 
pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, dikarenakan adanya alasan y alasan penghapus pidana tersebut. Pada pembelaan terpaksa dan pembelaan 
terpaksa yang melampaui batas sangat terkait dengan klaim pihak 
Kepolisian (in casu Polda Metro Jaya) dalam penembakan para pengawal 
Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS).
Pada prinsipnya pembelaan terpaksa harus memenuhi persyaratan 
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP. Begitupun 
pembelaan pembelaan terpaksa yang melampaui batas harus merujuk 
pada ketentuan Pasal 49 Ayat (2) KUHP. Pasal 49 Ayat (1) KUHP 
menyebutkan: “Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa 
dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, 
mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan 
orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan 
segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Rumusan demikian menekankan adanya serangan langsung 
yang mengancam seketika. Maksudnya, antara adanya serangan 
dan saat pembelaan dilakukan dalam waktu yang tidak berlangsung 
lama. Dipersyaratkan, pembelaan yang dilakukan disebabkan tidak 
ada upaya lain untuk menghindari serangan tersebut. Oleh karena 
itu, sedapat mungkin dilakukan upaya menghindar. Ketika upaya 
menghindar tidak dapat dilakukan, maka barulah pembelaan terpaksa 
dapat dilakukan. 
Tegasnya upaya menghindar merupakan suatu keharusan. 
Kemudian menyangkut sifat pembelaan itu sendiri, dipersyaratkan 
harus proporsional. Pembelaan itu harus seimbang dengan serangan 
yang dialami. Tidak dapat dibenarkan pembelaan melebihi (melampaui) 
dari serangan. Jika pembelaan terpaksa digolongkan sebagai alasan 
pembenar, maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas—sesuai 
dengan sifatnya—merupakan alasan pemaaf. Pasal 49 Ayat (2) KUHP 
menyebutkan: “Melampui batas pertahanan yang sangat perlu, jika 
perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan 
terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”. Pada 
pembelaan terpaksa yang melampaui batas dipersyaratkan harus adanya situasi yang sama pada pembelaan terpaksa sebagaimana 
dijelaskan di atas. 
Kemudian, terhadap situasi yang demikian harus timbul keguncangan 
jiwa yang demikian hebat akibat adanya serangan. Dapat dikatakan, 
terjadinya pembelaan sebagai akibat langsung dari keguncangan jiwa 
yang hebat itu, sehingga ia tidak mampu menahan guncangan jiwanya. 
Artinya, ada hubungan kausalitas antara keguncangan jiwa dengan 
serangan seketika. Kembali pada kasus penembakan terhadap pengawal 
IB HRS sebagaimana disampaikan oleh pihak Kepolisian, telah terjadi 
tembak-menembak. Terlepas adanya perbedaan versi kronologis, 
namun mengacu kepada persyaratan pembelaan terpaksa sebagaimana 
disebutkan Pasal 49 Ayat (1) KUHP, yakni keharusan menghindar 
ternyata tidak terpenuhi. Sepatutnya, upaya menghindar dilakukan, 
terlebih lagi kemampuan untuk itu tersedia. 
Tidak dapat dikatakan terpenuhi syarat pembelaan terpaksa, 
selama masih mampu menghindar. Kemudian, terhadap keempat orang 
pengawal IB HRS yang dimasukkan ke dalam mobil, pihak Kepolisian 
mengatakan adanya penyerangan dan upaya perebutan pistol dan oleh 
karenanya dilakukan tindakan tegas terukur berupa penembakan. 
Lagi lagi, ini pun tidak sesuai dengan persyaratan pembelaan 
terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Persyaratan 
proporsionalitas tidak terpenuhi. Dikatakan demikian oleh karena tidak 
terdapat kondisi yang seimbang. Para pengawal IB HRS dalam keadaan 
tidak bersenjata. Hal ini menunjukkan kondisi yang tidak seimbang. 
Terlebih lagi, tidak dilakukan upaya pelumpuhan, namun yang terjadi 
justru tembakan yang mematikan. Menjadi jelas pembelaan yang 
dimaksudkan melampaui dari serangan.
Lebih lanjut, jika asumsikan adanya keguncangan jiwa yang 
demikian hebat akibat serangan dan upaya merebut pistol ternyata juga 
tidak memenuhi persyaratan. Bagaimana mungkin terjadi keguncangan 
jiwa yang hebat seketika itu, jika terhadap para pengawal IB HRS tidak 
dilakukan tindakan pengamanan sebelumnya dengan pemborgolan. Lebih dari itu, bagaimana mungkin dapat didalilkan adanya hubungan 
kausalitas antara keguncangan jiwa yang hebat dengan serangan 
seketika tersebut. Tindakan yang tidak seimbang sangat jauh dari 
keguncangan jiwa. Serangan seketika harus berhadapan dengan 
keguncangan jiwa yang tiba-tiba pula. Serangan tangan kosong dan 
upaya perampasan pistol yang didalilkan bukanlah serangan yang 
menimbulkan keguncangan jiwa yang demikian hebat.
Pada akhirnya, klaim Polda Metro Jaya bahwa penembakan berujung 
maut dilakukan karena pembelaan terpaksa masih sebatas asumsi. 
Pembuktian terpenuhi atau tidaknya pembelaan terpaksa maupun 
pembelaan terpaksa yang melampaui batas itu harus dibuktikan di 
depan sidang Pengadilan. Pada akhirnya, Pengadilan yang berhak 
memutuskannya berdasarkan ketentuan Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) 
KUHP. Pengadilan dimaksud tentunya adalah Pengadilan HAM. Harapan 
rakyat, segerakanlah Pengadilan HAM guna tegaknya “kepastian hukum 
yang adil”. Untuk itu Komnas HAM tidak boleh kalah! 
(Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH., MH / Direktur HRS Centre,, Jakarta, 
28 Desember 2020).
BENARKAH FIKRI, ADI DAN FAISAL ADALAH 
POLISI PENEMBAK ENAM PENGAWAL HRS?
Pertanyaan ini muncul sehubungan dengan beredarnya media 
sosial Oppositeleaks yang menayangkan foto dan pelaporan Briptu Fikri 
Ramadhan kepada Mabes Polri tanggal 7 Desember 2020 yang disertai 
dua orang saksi yaitu Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. 
Uniknya Terlapor adalah enam anggota Laskar yang meninggal. Banyak 
pernyataan mendesak agar Kepolisian segera mengumumkan nama￾nama penembak dan personal lain yang terlibat dalam kasus yang 
menjadi perhatian nasional bahkan dunia. 
Kualifikasi kejahatan teringan berdasarkan Laporan Komnas HAM 
adalah pelanggaran HAM dengan indikasi unlawful killing. Bungkamnya 
Polri hingga kini tentang siapa anggotanya yang telah melakukan penembakan hingga tewas tersebut tentu dapat menimbulkan banyak 
spekulasi. Ini kondisi yang tidak sehat. 
Dugaan bahwa Kepolisian sedang berpikir keras dan mencari 
skenario penyelamatan korps wajar menjadi opini publik. 
Korban tewas diputar menjadi penjahat sementara pembunuh 
sebagai pahlawan. Munculnya tiga nama Fikri, Adi, dan Faisal didapat 
Oppositeleaks 6890 dari pelaporan 7 Desember 2020 pada hari yang 
sama dengan terjadinya peristiwa pembunuhan dini hari. Aksi sendiri 
dimulai jam 23.45 WIB tangga 6 Desember 2020. Briptu Fikri Ramadhan 
menerangkan tindakan aparat melakukan hal tersebut tak lain 
sebagai “tindakan tegas dan terukur kepada pelaku”. Publik menilai 
ini untuk mengganti diksi “menembak” (bacaan lain “membantai” dan 
“menyiksa”). 
Tiga hal kemungkinan terhadap tiga nama di atas, yaitu: 
Pertama, Briptu Fikri, Bripka Adi, dan Bripka Faisal itulah yang 
melakukan penembakan sehingga ketiganya yang paling siap untuk 
mempertanggungjawabkan hingga ke proses hukum peradilan sesuai 
peristiwa atau skenario peristiwa.
Kedua, bukan ketiganya, tetapi mereka menjadi “pemeran pengganti” 
sekedar formalitas untuk melaporkan. Ada pelaku lain baik anggota 
Polri atau instansi lain yang menjadi eksekutor sebenarnya. 
Ketiga, anggota Polri dan instansi lain berkolaborasi untuk 
mengeksekusi. Artinya dapat lebih dari tiga orang personil di atas. Proses 
penguntitan dan pembuntutan dilakukan bukan oleh satu atau dua 
orang. Banyak orang dan pihak yang diduga terlibat. Siapa sebenarnya 
mereka itu tentu sangat mudah diketahui oleh lembaga Kepolisian yang 
telah mengakui bahwa penembak adalah aparat. 
Hanya hingga kini terjadi keanehan bahwa hal yang mudah ini 
justru tidak diungkap. “Jangan grasa grusu” kata seorang pejabat Mabes 
Polri. Ini bukan soal grasa grusu akan tetapi fakta kejahatan yang mesti 
segera diusut. Justru betapa lambat kasus ini ditangani. Ayo Pak Kapolri segera umumkan siapa pelaku yang melakukan 
unlawful killing itu. Benarkah Fikri, Adi, dan Faisal? Jika iya tentu tinggal 
melakukan penyidikan, jika ternyata bukan, maka tidak boleh ada 
orang yang tidak bersalah harus dikorbankan. 
Kasihan. Persoalan ini akan semakin jelimet dan bikin mumet 
perencana atau pembuat skenario jika bermotif untuk menutupi 
kebenaran. 
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 23 Februari 2021
BOLA JANJI PRESIDEN DAN KAPOLRI
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat fit and proper test di depan 
anggota DPR menjanjikan untuk menuntaskan kasus pelanggaran 
HAM pembunuhan enam anggota laskar FPI oleh anggota Polri dengan 
merealisasikan empat rekomendasi Komnas HAM. Sejak dilantik Listyo 
Sigit sebagai Kapolri hingga kini belum ada kebijakan konkret sebagai 
tindak lanjut. 
Meski tingkat kepercayaan terhadap Komnas HAM rendah dengan 
hasil rekomendasinya, tetapi apa yang minimal dapat ditindaklanjuti 
adalah penegakan hukum. Membawa aparat pembunuh ke proses 
peradilan. Di samping janji Listyo Sigit Prabowo, juga Presiden berjanji 
pula untuk menjalankan rekomendasi Komnas HAM. Karenanya bola 
janji ada di tangan Presiden dan Kapolri.
Sebenarnya Kapolri sebelumnya Jenderal Idham Azis sudah 
membentuk tim khusus pengusutan untuk menindaklanjuti 
rekomendasi Komnas HAM. Artinya Kapolri Listyo tinggal melanjutkan 
dan menyempurnakan. Tetapi ternyata hingga kini masih tidak jelas pula 
agenda penyidikan perkara. Keseriusan Kapolri mulai dipertanyakan. 
Luar biasa bertele-telenya penanganan. Sudah hampir tiga bulan 
peristiwa terjadi, namun masih miskin langkah. 
Belum mulai penunaian janji soal pembunuhan enam anggota 
Laskar FPI, kini sudah muncul lagi kasus baru yaitu meninggalnya
Ustad Maheer At Thuwailibi di Bareskrim Mabes Polri yang juga 
menuai kecurigaan. Komnas HAM berniat menyelidiki. Akan semakin 
menumpuk persoalan penegakan hukum yang berkaitan dengan HAM 
yang tidak terselesaikan.
Jika janji Kapolri tidak bergerak di lapangan, maka wajar akhirnya 
publik akan bertanya sebagai Kabareskrim saat itu, Listyo bersama 
Kapolda Metro Fadil Imran apakah terlibat? Ketika tuntutan agar Fadil 
Imran dinon-aktifkan atau diberhentikan, bagaimana dengan tuntutan 
kepada Listyo Sigit?
Presiden sebagai figur yang sering berjanji tetapi tidak terbukti, 
kini oleh Mahasiswa UGM telah dinobatkan sebagai “Juara Lomba” 
inkonsistensi. Janji dan realisasi yang tidak bersesuaian. Nah jika kasus 
pembunuhan 6 anggota laskar FPI ini bola janji ada pada Presiden dan 
Kapolri, maka akankah juga Pak Kapolri menjadi juara atau sekurang￾kurangnya runner-up lomba inkonsistensi pula?
Ayo Pak Kapolri segera bergerak, jangan ragu untuk mengumumkan 
dan menyeret anak buah ke meja hijau demi nama baik jajaran 
Kepolisian agar nantinya Kepolisian tidak mendapat predikat sebagai 
“Juara Lomba Pelanggaran HAM”.
(HM Rizal Fadillah, Bandung, 12 Februari 2021)
FAKTA KESAKSIAN DAN KETAKUTAN (POLRI) 
BERSUMPAH MUBAHALAH
Dalam suratnya tertanggal 24 Februari 2021, yang ditujukan kepada 
Kapolda Metro Jaya itu, TP3 mengajukan permohonan agar Kapolda 
Metro Jaya bersama jajarannya dapat menghadiri acara sumpah 
Mubahalah. Bagaimankah isi surat TP3? Inilah surat yang dimaksudkan 
tersebut:
Kami dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar 
FPI sangat prihatin dengan unfair trial dan tidak transparannya proses 
hukum atas kasus pembunuhan atas enam laskar FPI pada 6-7 Desember 
2020, di KM 50 Tol Cikampek.
Dalam Konferensi Pers pada 8 Desember 2020 yang lalu Kabid 
Humas Pold Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, Polri 
telah menyita dua pucuk senjata dalam insiden baku tembak dengan 
laskar FPI. Kombes Yusri Yunus menyatakan Polda Metro Jaya memiliki 
bukti yang kuat bahwa dua pucuk senjata api tersebut adalah milik dua 
laskar FPI yang telah meninggal dunia.
Di sisi lain, berdasarkan keterangan kuasa hukum keluarga korban, 
TP3 meyakini laskar FPI tidak mungkin melakukan penyerangan 
karena pada prinsipnya mereka tidak memiliki senjata api. Sikap TP3 
ini diperkuat pula dengan kesaksian dan sumpah orang-tua seluruh
korban, bahwa anak-anak mereka 
memang tidak pernah memiliki 
senjata api. 
Untuk meyakinkan kebenar￾an dan sikapnya, keluarga para 
korban pun telah siap untuk 
bersumpah melalui proses muba -
halah dengan aparat kepolisian 
yang telah menuduh mereka memiliki senjata api.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, demi kebenaran, hukum dan 
keadilan, kami dari TP3 sudah mempersiapkan dan akan memfasilitasi 
berlangsungnya acara sumpah/mubahalah tersebut. Karena itu, kami 
mengundang:
1. Kapolda Metro Jaya
2. Kabid Humas Polda Metro Jaya
3. Briptu Fikri Ramadhan
4. Bripka Faisal Khasbi 
5. Bripka Adi Ismanto
Selaku anggota Polri yang menuduh pemilikan senjata api oleh laskar 
FPI yang dibunuh tersebut, untuk hadir pada acara mubahlah yang 
direncanakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/2 Maret 2021
Waktu : Jam 14.00-15.00 WIB
Tempat : Masjid Al Furqon, Jl. Kramat Raya No.45, Jakarta Pusat.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kehadiran para anggota 
Polri terkait, kami ucapkan terima kasih. 
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3P) Enam Laskar FPI
KH. DR. Abdullah Hehamahua
KoordinatorPolda Metro Jaya tidak menghadiri undangan dari TP3 pada Rabu 
(3/3 2021). Lalu, apakah kemudian acara sumpah Mubahalah itu gagal? 
Tidak, TP3 tetap menyelenggarakan sumpah Mubahalah di aula gedung 
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat di Jl. Kramat Raya, 
Jakarta Pusat. Adapun sumpah mubahalah yang telah dibacakan Bapak 
Syuhada, orang tua dari salah satu korban pembunuhan, mewakili 
seluruh keluarga korban, adalah sebagai berikut: 
“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami 
keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI 
yang terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa 
anak-anak kami dari Laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh 
dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi 
telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut. Karenanya, ya Allah 
timpakanlah laknat dan azab-Mu kepada siapa pun di antara kami yang 
berdusta dan timpakan juga laknat dan siksa-Mu, Ya Allah ke atas seluruh 
keluarganya. Jika pihak aparat negara yang benar menurut Allah SWT, 
Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami 
akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat. Tetapi jika Enam Laskar 
FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak 
sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat 
negara beserta keluarga dan keturunan aparat negara akan dilaknat Allah 
SWT di dunia sampai akhirat.”
MARI BERDOA UNTUK:
MUBAHALAH KELUARGA KORBAN 
PEMBUNUHAN ENAM PENGAWAL HRS
Penuntasan kasus pembunuhan enam pengawal HRS secara adil, 
transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden 
Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, 9 Maret 2021, tampak suram. 
Polri telah melangkah sepihak memproses anggota Polri yang diklaim 
sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri 
tersebut adalah laporan Komnas HAM yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel, tidak valid dan sarat rekayasa. 
Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil 
pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan? 
Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus 
pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro 
Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal 
akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal 
ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono 
di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan 
untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah 
P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap.
Sebelumnya Rusdi di Mabes Polri mengatakan: “Pada Kamis kemarin, 
penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50 
dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari 
terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka,” (6/4/2021). Hal 
yang mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, kalau benar 
menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa mereka tak kunjung 
ditahan aparat? 
Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik 
mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar￾benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum 
dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga 
mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok 
masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan. 
Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian 
dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja 
penyelesaian kasus pembunuhan enam laskar sesuai skenario, yang 
antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut Polri, pembunuhan 
terjadi akibat terjadi baku-tembak, pengawal HRS memiliki senjata 
api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario ini coba 
diselaraskan oleh Komnas HAM dengan membuat laporan sumir sebagai 
“hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”. Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah 
keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan 
aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu pula sebabnya keluarga korban 
menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status 
pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik 
di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. 
Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu.
Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah 
dimana kita banyak berdoa dan meminta pertolongan Allah, mari 
kita terus berdoa, siang dan malam, agar Allah mengabulkan doa-doa 
kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan takdirnya, 
menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran, atas 
Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh 
keluarga korban. 
Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah 
membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan 
dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban 
adalah pihak yang benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol 
Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim 
Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat 
di Masjid Al Furqon, Kramat, Jakarta.
Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran 
mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena 
menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan 
kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri 
menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di KM 50. 
Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut 
pistol petugas di dalam mobil (?!), sehingga polisi terpaksa melakukan 
tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja!!).
Sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak 
memiliki senjata, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah 
menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan keluarga seluruh 
korban pembunuhan juga sama, bahwa anak-anak mereka tidak 
pernah memiliki senjata. Dengan demikian, para korban tidak pernah 
menyerang aparat (yang semula disangka preman, karena para aparat 
tak pernah menyatakan identitas!), dan karenanya tidak pula akan 
terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri.
Karena yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan 
keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai 
seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah 
pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan. TP3 menilai, 
apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas 
dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah 
melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah 
HAM disebut extra judicial killing, bukan unlawful killing sebagaimana 
dinyatakan oleh Komnas HAM. 
Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling 
bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI 
dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari 
kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula 
sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti 
diurai dalam tulisan ini, dan juga menulis surat kepada Presiden Jokowi, 
sebagaimana dilakukan pada 9 maret 2021. 
Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas 
melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Kepolisian RI sesuai 
surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat 
tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk 
bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas 
Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka 
Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto (ketiga nama terakhir terlibat 
dalam peristiwa Km 50 Tol Cikampek).
Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebutkan dalam 
tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu 
mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, 
sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah 
berlangsung sepihak.
Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh 
Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban 
pembunuhan adalah sebagai berikut:
“Demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami 
keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg 
terbunuh di Km 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak￾anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim 
oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas 
masalah pembunuhan tersebut. Karenanya ya Allah timpakanlah laknat 
dan azab-Mu kepada siapa pun di antara kami yang berdusta dan timpakan 
juga laknat dan siksa-Mu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya.
Jika pihak aparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang 
Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat 
Allah SWT di dunia sampai akhirat. Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut 
yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim 
menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta 
keluarga dan keturunan aparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia 
sampai akhirat.”
Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti 
kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh 
dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah 
SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran 
(Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam 
syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, 
dan menundukkan kebatilan.
Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya 
sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal 
adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu
(boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain 
untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau 
pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) 
dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak 
ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak 
ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 
1929 KUH Perdata).
Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di KM 50, 
aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukkan 
sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) 
mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan 
transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus 
pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. 
Menurut UU No.26/2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri 
tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun 
bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan 
ada di tangan Kejagung. 
Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, 
TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan 
pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta 
sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri 
mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini 
agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM 
mengatakan terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran 
hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat. 
Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa 
harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum 
yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung 
Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan 
oleh TP3, dan itu pula sebabnya TP3 mendukung dan memfasilitasi 
acara mubalah tersebut.
Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam.
Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, 
yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang 
diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila 
dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah 
agama pulalah TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan 
berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian KM 50 Tol 
Cikampek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan 
keadilan. 
Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah 
menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam 
Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhai seluruh upaya kita, serta 
mengabulkan doa orang-orang yang dizalimi, para pendukung Petisi 
Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa 
yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya 
kepada Allah SWT kita bertawakal.
(Marwan Batubara, Badan Pekerja TP3/Jakarta, 21 April 2021)


NOTA KEBERATAN: MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK 
KEZALIMAN MENEGAKKAN KEADILAN
Tim Advokasi Habib Rizieq Shihab telah mengajukan Eksepsi 
(Nota Keberatan) atas surat dakwaan Saudara Penuntut umum Reg. 
Perkara No. PDM- 011/JKT.TIM/Eku/02/2021. Dalam eksepsinya yang 
berjudul “MENGETUK PINTU LANGIT MENOLAK KEZALIMAN 
MENEGAKKAN KEADILAN”, Tim Advokasi menyampaikan agresivitas 
dan manuver Penuntut Umum dengan menambahkan beraneka ragam 
pasal selundupan yang tidak ada kaitannya dengan Prokes dan Test 
Swab adalah bukti perkara A Quo yakni lanjutan dari Operasi Intelijen 
Berskala Besar. Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum Yang 
terhormat, Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati,
Perlu diingat bahwa perkara ini bermula dari adanya kegiatan 
yang dianggap melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 
pada penyelenggaraan pernikahan putri HABIB RIZIEQ SYIHAB dan 
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, namun Penuntut Umum 
dengan agresif dan nafsu mendakwa HABIB RIZIEQ SYIHAB dengan pasal￾pasal yang tidak ada kaitannya dengan protokol kesehatan pencegahan 
Covid-19. Sementara ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol 
kesehatan kerap ditemukan di lapangan. Kejadian paling anyar adalah 
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. Aparat 
penegak hukum seperti tak sudi dan tak berdaya untuk membubarkan 
acara yang secara terang-terangan melanggar protokol kesehatan. Yang 
paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden 
Jokowi saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 
Februari 2021 lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, 
berjejer di pinggir jalan menyambut idolanya yang melintas dalam 
iring-iringan kendaraan. Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi 
peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan 
melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya histeris.Semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim 
zalim, dungu, pandir dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi 
untuk menolaknya. Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini 
terhadap rakyat. Terhadap rezim zalim, dungu dan pandir selalu dicari 
cari pembenaran untuk meloloskan dari hukum, sementara terhadap 
HABIB RIZIEQ SYIHAB selalu dicari cari kesalahan untuk dihukum. 
Berbeda dengan yang dialami oleh HABIB RIZIEQ SYIHAB dan mantan 
pengurus FPI yang harus dikerangkeng di dalam tahanan, rekening 
dibekukan. Padahal HABIB RIZIEQ SYIHAB sudah membayar denda 
Rp50 juta.
Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum Yang terhormat, 
Hadirin pengunjung sidang yang kami hormati, Dan tidak cukup hanya 
sampai di situ, ketidakadilan terhadap HABIB RIZIEQ SYIHAB berlanjut 
dengan aneka ragam pasal selundupan yang aneh bin ajaib, yang telah 
ditambahkan oleh Penuntut Umum sejak menerima pelimpahan berkas 
perkara dari Penyidik di antaranya yaitu Pasal 82A ayat
t (1) jo. 59 ayat (3) 
huruf c dan d UU RI 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang 
Ormas menjadi Undang-Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 
10 huruf b KUHP jo. Pasal 35 ayat (1) KUHP.
Manuver gesit yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan 
menambahkan aneka ragam pasal selundupan tersebut sungguh 
luar biasa bersifat akrobatik dan penuh dengan muatan politik dan 
merupakan lanjutan Operasi Intelijen Berskala Besar, yang setidaknya 
dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Tempat dilakukan sidang pengadilan bukan di wilayah locus delicti
perbuatan terjadi. Dari hal ini saja sudah jelas bahwa perkara aquo 
adalah perkara politik yang target hukumannya sudah ditentukan, 
proses penghukumannya sudah dikendalikan dan hak hal HABIB 
RIZIEQ SYIHAB sudah dikerdilkan.
2. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya, penambahan pasal￾pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman dan pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar HABIB RIZIEQ 
SYIHAB bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik 
yang menghendaki.
3. Due Process of Law TIDAK sesuai dengan ketentuan KUHAP.



AUR (Aksi Unjuk Rasa)
Agen BIN (Orang yang secara organik atau bukan organik 
menjalankan fungsi BIN)
BIN (Badan Intelijen Negara)
BB (Barang Bukti)
Bareskrim (Badan Reserse Kriminal)
Bangsit (Perkembangan Situasi)
CCTV (Closed Circuit Television)
Cover-up Operation
 (operasi untuk menghilangkan jejak kejahatan) 
Complain (Keluhan)
Crime Against Humanity
(Kejahatan Terhadap Kemanusiaan)
DPO (Daftar Pencarian Orang)
Den Madar (Detasemen Markas Daerah)
Ditreskrimum (Direktorat Reserse Kriminal Umum)
Drone (Pesawat yang diterbangkan tanpa awak)
Distipidum (Direktur Tindak Pidana Umum) 
Delapan Enam-86 (Mengerti)
Delapan Tujuh-87 (Disampaikan/Diteruskan/Ditujukan)
Extra judicial killing
 (Pembunuhan yang di luar mandat pengadilan)
FPI (Front Pembela Islam)
Galtas (Penggalangan Terbatas)
GSR (Gun Shoot Residu)
GT (Gerbang Tol)
HP (Handphone)
HAM (Hak Asasi Manusia)
HRS (Habib Rizieq Syihab)
Haljol (Hal Menonjol)
Insinuansi (Memberi kesan seolah-olah)
KTP (Kartu Tanda Penduduk)
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)
KTA (Kartu Tanda Anggota)
Koopsus (Komando Operasi Khusus)
Kombes Pol (Komisaris Besar Polisi)
Kodam (Komando Daerah Militer)
Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah)
Labfor (Laboratorium Forensik)
LTM (Luka Tembak Masuk)
LTK (Luka Tembak Keluar)
Lawful killing. (pembunuhan yang beralasan) 
Mabes (Markas Besar)
Mapolda Jaya (Markas Polisi Daerah Jakarta Raya)
Nopol (Nomor polisi)
Police line (Garis pembatas polisi di suatu lokasi perkara)
Opsnal (Operasional)
Opsint (Operasi Intelijen)
Polri (Polisi Republik Indonesia)Polda (Kepolisian Daerah)
PMJ (Kepolisian Daerah Metro Jaya)
Puslabfor (Pusat Laboratorium Forensik), 
Pangda (Panglima Daerah)
Provos FPI (Salah satu divisi pengawalan di FPI)
PJR (Patroli Jalan Raya)
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Pangdam (Panglima Daerah)
Polri (Polisi Republik Indonesia)
Rehabilitasi (Pemulihan nama baik dari korban)
Resmob (Reserse Mobile)
Rechoset (Arah tembakan akibat benturan suatu benda)
Restitusi (Ganti kerugian)
Reskrimum (Reserse Kriminal Umum)
Rest Area (Area Istirahat di jalan tol)
RS (Rumah Sakit)
Sajam (Senjata tajam)
Senpi (Senjata api)
Sprint (Surat Perintah)
STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan)
SS (Sig-Sauer adalah senjata pabrikan produksi AS)
Surveillance (Pengawasan, pembuntutan, penguntitan)
Satlantas (Satuan Lalu Lintas) 
Shooting Box (Kotak penembakan)
Siber (Satuan kerja di bawah Bareskrim Polri yang bertugas 
 melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan siber)
SIM (Surat Izin Mengemudi)
Toga (Tokoh Agama)
TNI (Tentara Nasional Indonesia)
Towing (Mobil Derek atau gandeng)
TP3 (Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan) enam 
pengawal HRSTomas (Tokoh Masyarakat)
Toolmark (Jejak atau bekas alat),
TKP (Tempat Kejadian Perkara)
TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Meluas)
Unwilling (Tidak berkehendak)
Unlawful killing (Pembunuhan yang tidak legal atau melawan hukum)
Voice Notes (Catatan percakapan di handphone)
Willing (Berkehendak)
WIB (Waktu Indonesia bagian barat)
WhatsApp (Aplikasi pesan lintas)
Widespread (Unsur meluas)