Mei 2023

Rabu, 31 Mei 2023

filsafat hukum 8


lebih dahulu telah memberikan teladan 
nyata tentang keharusan dipatuhinya hukum. Mengapa polisi disebut 
sebagai “hukum yang hidup”? sebab  tugas dan tanggung jawab 
polisi merambah persoalan nyata yang telah, sedang, dan bahkan akan 
dihadapi oleh warga . Ragam persoalan di tengah warga , baik 
yang dikategorikan sebagai tindak kejahatan maupun masih tergolong 
penyakit-penyakit sosial (social desease) memerlukan  pesan nyata 
(empirik) polisi. sebab  peran sosial praksis itu, terjadi pelekatan yuridis 
kepada polisi. Artinya, dinamika profesi polisi tidak bisa dilepaskan 
dengan kuantitas dan kualitas hubungannya dengan persoalan-persoalan 
yang dihadapi (menimpa) warga . Cita-cita tertib sosial dan 
peradaban (civilization and social order) akan dapat diwujudkan berkat 
peran konstruktif yang ditunjukkan oleh polisi. Dalam posisi peran 
konstruktif ini, kehadiran polisi mampu mendatangkan kemanfaatan 
yang tidak sedikit. Bahkan kalau dicermati, melalui tugas polisi secara 
substansial, akan dapat diketahui bahwa polisi bukan sekadar penegak 
hukum, namun  dapat memasuki tataran sebagai filsuf hukum. Secara 
umum, peran konstruktif polisi dapat diamati dalam Undang-Undang 
Nomor 13 tahun 1961 tentang Kepolisian Negara Republik negara kita , 
antara lain sebagai berikut:
1. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
2. Memelihara keselamatan orang, benda, dan warga , termasuk 
memberi perlindungan dan pertolongan.
3. Memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam.
4. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit 
warga .
5. Mengusahakan ketaatan warga negara dan warga  terhadap 
peraturan-peraturan negara.
Tugas dan kewenangan polisi, seperti ini  dalam undang-
undang, lebih dititiktekankan pada persoalan kewarga an. Artinya, 
kehadiran polisi memegang kunci penting dalam memainkan peran 
sebagai pengayom, pendidik, dan pemberantas berbagai kesulitan yang 
dihadapi warga .
Dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai penyelenggara profesi 
hukum, polisi mendapatkan kepercayaan untuk memperkenalkan, 
mewarga kan, dan memberi teladan praksis tentang daya imperatif 
suatu perundang-undangan. Di tangan polisi, hukum akan memiliki 
kekuatan sosial yang mampu menjembatani aspirasi hukum warga . 
Interaksi dan warga  yang bersifat makro sangat memungkinkan 
bagi polisi untuk lebih leluasa dalam menyampaikan kepada warga  
tentang eksistensi hukum, baik sosiologis maupun filosofis. Di samping 
fungsi kewarga an secara aktif ini , polisi juga menempatkan 
jati dirinya sebagai unsur vital dari suatu proses peradilan. Manajemen 
hukum akan bisa berjalan proporsional dan dapat menjembatani 
warga  pencari keadilan (fungsionalisasi) manakala polisi dapat 
menempatkan tugasnya sesuai dengan garis perundang-undangan yang 
mengaturnya. 
1. Pengertian Polisi
Menurut Simons dalam bukunya Learboek Nederlands Strafrecht: 
“Polisi yaitu ujung tombak dalam integrated criminal justice system. Di 
tangan polisilah terlebih dahulu mampu mengurangi gelapnya masalah  
kejahatan.” Sedangkan menurut Moylan (1953: 4), mengemukakan 
bahwa: “Istilah polisi sepanjang sejarah ternyata memiliki  arti 
yang berbeda-beda dalam arti yang diberikan semulanya. Juga istilah 
yang diberikan tiap-tiap negara terhadap pengertian “polisi” yaitu 
berbeda sebab masing-masing negara cenderung untuk memberikan 
istilah dalam bahasanya sendiri. Misalnya istilah “contable” di Inggris 
mengandung arti tertentu bagi pengertian polisi, yaitu countable 
mengandung dua macam arti. Pertama sebagai satuan untuk pangkat 
terendah di kalangan kepolisian (police countable) dan kedua berarti 
kantor polisi (office of constable)”.
   
Selanjutnya, Menurut Satjipto Raharjo polisi yaitu alat 
negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban warga , 
memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada 
warga  (Satjipto Raharjo, 2009: 111). Selanjutnya Satjipto 
Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa jika  
hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam warga , di 
antaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yang akan menentukan 
secara konkret apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban 
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 
Negara Republik negara kita  dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa 
Kepolisian yaitu segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan 
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah 
kepolisian dalam undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni 
fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik negara kita , fungsi 
kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang 
pemeliharaan keamanan dan ketertiban warga , penegakan hukum, 
pelindung, pengayom, dan pelayan kepada warga . Sedangkan 
lembaga kepolisian yaitu organ penguasa yang ditetapkan sebagai 
suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya 
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Sadjijono, 2008: 52-53).
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang 
Kepolisian Negara Republik negara kita  menyebutkan bahwa: 
a. Kepolisian Negara Republik negara kita  yaitu alat Negara 
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban 
warga , menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, 
pengayoman, dan pelayanan kepada warga  dalam rangka 
terpeliharanya keamanan dalam negeri.
b. Kepolisian Negara Republik negara kita  yaitu Kepolisian Nasional 
yang yaitu satu kesatuan dalam melaksanakan peran 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Polri yang kita kenal saat ini yaitu Kepolisian yang telah dibentuk 
sejak tanggal 19 Agustus 1945, Polri mencoba memakai sistem 
kepolisian federal membawah di Departemen Dalam Negeri dengan 
kekuasaan terkotak-kotak antarprovinsi bahkan antar-karasidenan. Maka 
mulai tanggal 1 Juli 1946 Polri menganut sistem Kepolisian Nasional 
(The negara kita n National Police). Sistem kepolisian ini dirasa sangat pas 
dengan negara kita  sebagai negara kesatuan, karenanya dalam waktu 
singkat Polri dapat membentuk komando-komandonya sampai ke 
tingkat sektor (kecamatan). Dan sistem inilah yang dipakai Polri sampai 
sekarang.
2. Dasar Hukum Kepolisian
Dasar hukum atau Undang-Undang yang mengatur tentang Kepolisian 
yaitu sebagai berikut:
• Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
• Peraturan Pemerintah Republik negara kita Nomor 2 Tahun 2003
Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik 
negara kita ;
• Keputusan Presiden Republik negara kita Nomor 7 Tahun 1974
tentang Tugas Kepolisian.
• PERKAP NOMOR 14 TAHUN 2011, tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian.
3. Kode Etik Profesi Kepolisian
Etika yaitu ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia yang terkait 
dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada 
warga . Sedang pengertian kepolisian pada intinya yaitu aparat 
penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum, 
keselamatan, dan keamanan warga . Jadi etika kepolisian yaitu 
norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam 
mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, 
ketertiban umum dan keamanan warga .
Manfaat etika sebetulnya memperkuat hati nurani yang baik dan 
benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan 
bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya, dan tingkah 
lakunya yaitu berguna, bermanfaat bagi warga , dan karenanya 
dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat di dalam 
warga nya. Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian 
di dalam warga  jika dilaksanakan dengan baik.
   
Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti 
etika lainnya, walaupun usianya lebih tua. Hal itu disebabkan sebab 
sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, 
sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam, 
antara Negara yang satu dengan yang lain. Sehingga dalam aplikasi, 
para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa ciri 
atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police 
Cultura) yang dominan pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya. 
Kecenderungan itu antara lain:
a.  Orientasi tindakan sering mengutamakan pencapaian hasil optimal 
(efektivitas), sehingga sering mengabaikan efisiensi.
b.  Polisi diajar untuk selalu bersikap curiga, sehingga harus bertanya 
dengan detail. Sedangkan sikap curiga ini mengandung makna 
waspada dengan dasar pengertian etika.
c.  Di satu pihak polisi dinilai tidak adil, tidak jujur, tidak profesional, 
di pihak lain banyak petunjuk bahwa polisi harus mendukung dan 
menunjukkan solidaritas pada lingkungan.
d.  Pragmatisme yang banyak mendatangkan keberhasilan, sering 
membuai polisi dan lalu melalaikan akar pragmatisme itu sendiri.
Tujuannya yaitu berusaha meletakkan etika kepolisian secara 
proporsional dalam kaitannya dengan warga . Kode etik profesi itu 
yaitu sarana  untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang 
yang profesional susaha  tidak dapat merusak etika profesi. Dalam kode 
etik profesi polisi di dalamnya ada  prinsip-prinsip etika profesi, 
prinsip-prinsipnya tertuang dalam pasal-pasal yang mencakup empat 
prinsip di bawah ini:
a.  Prinsip Tanggung Jawab. Tanggung jawab yaitu salah satu 
prinsip pokok bagi kaum profesional.
b.  Prinsip Keadilan. Prinsip ini termasuk orang yang profesional 
agar dalam menjalankan profesionalnya tidak merugikan hak dan 
kewajiban pihak tertentu khususnya orang-orang yang dilayaninya. 
Mereka juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapa pun 
termasuk orang yang tidak dapat membayar jasa profesionalnya.
c.  Prinsip Otonomi. Prinsip ini yang dituntut oleh kalangan 
profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan 
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya
d.  Prinsip Integritas Moral. Orang yang profesional yaitu orang 
yang memiliki  integritas mempengaruhi atau moral yang tinggi.
Pengembangan etika kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, 
dibangun, dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik 
yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.  Membangun warga 
 Mewujudkan warga  yang mampu berbuat etis tidaklah 
mudah, sebab harus memperhitungkan segenap unsur pendukung 
eksistensinya yang berdimensi sangat luas. Dengan mengasumsikan 
bahwa ada  banyak dimensi perilaku warga  yang baik 
dan mendukung etika kepolisian dengan baik, maka dari banyak 
dimensi itu yang paling signifikan bagi pelaksanaan tugas polisi 
yaitu berupa dimensi hukum, kepatuhan mereka kepada hukum, 
dan sikap menolak gangguan keamanan atau pelanggaran hukum.
 Dari hukum yang baik itulah, etika atau perilaku warga  yang 
terpuji dapat terbentuk, yang pada gilirannya akan mengembangkan 
aplikasi etika kepolisian.
b.  Membentuk polisi yang baik
 Bibit-bibit atau calon polisi yang baik yaitu dididik, dilatih, 
diperlengkapi dengan baik dan kesejahteraan yang memadai. Calon 
yang baik hanya dapat diperoleh dari warga  yang terdidik baik, 
persyaratan masuk berstandar tinggi, pengujian yang jujur dan 
fair (penuh keterbukaan), dan bakat yang memadai berdasarkan 
psikotes.
c.  Membentuk pimpinan polisi yang baik
 Pada dasarnya, sama dan serupa dengan proses membentuk individu 
polisi yang baik di atas. Namun, untuk pimpinan yang berstatus 
perwira harus dituntut standar yang lebih tinggi. Semakin tinggi 
pangkatnya maka semakin tinggi pula standar persyaratannya, 
khususnya unsur kepemimpinannya.
Etika kepolisian yang benar, baik, dan kokoh, akan yaitu 
sarana untuk:
a.  Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggaan sebagai seorang 
polisi, yang lalu  dapat menjadi kebanggaan bagi warga .
   
b.  Mencapai sukses penugasan.
c.  Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk 
partisipasi warga .
d.  Mewujudkan polisi yang profesional, efektif, efisien, dan modern, 
yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai warga .
4. Analisis
Etika kepolisian yaitu suatu norma atau serangkaian aturan yang 
ditetapkan untuk membimbing petugas dalam menentukan, apakah 
tingkah laku pribadinya benar atau salah.
Dengan memahami pengertian dasar etika kepolisian, yang menjadi 
akar dan pedoman, yang menopang bentuk perilaku ideal yang kokoh 
dari polisi dalam melaksanakan pengabdiannya maka, akan membuat 
mereka teguh dalam pendiriannya, sehingga mereka dapat mengambil 
sikap yang tepat dalam setiap tindakannya. Di mana sikap itu berpangkal 
dari integritas yang mendalam dalam sanubari dan hati nuraninya. Itulah 
dasar dari moralitas etika kepolisian yang bersifat hakiki.
Tanpa memahami dasar itu seorang polisi akan dapat goyah jika  
menghadapi problema-problema yang dijumpai dalam penugasan. Sikap 
goyah itu akan mendorong mereka untuk berperilaku menyimpang dari 
etika kepolisian yang seharusnya mereka tegakkan.
Pemahaman yang setengah-setengah akan membuat mereka patuh 
hanya kalau ada pengawasan saja. Hal itu dapat diartikan sebagai sikap 
yang serba goyah, sikap yang tidak stabil, sikap yang tidak mantap, 
bahkan pelecehan terhadap etika kepolisian.
Etika kepolisian yang diaplikasikan dengan baik dan benar akan 
membantu polisi dalam pemecahan masalahnya sehari-hari. Polisi secara 
tepat dapat menentukan apakah tindakan itu baik atau tidak baik dalam 
mengemban tugas mereka. Apakah harus menerima uang imbalan atas 
hasil karyanya atau harus menolaknya secara tegas yang sudah disebut 
dalam sumpah jabatan. Sikap profesional dan keteladanan akan segera 
terlihat dan terasa pada saat dia menentukan tindakannya.
Dengan adanya kode etik, pengembangan akan lebih terarah, 
akan terkoordinasi, dan mendatangkan manfaat serta dukungan yang 
maksimal dari warga . Semua kode etik intinya yaitu aturan-
aturan dan peraturan yang diendapkan dari cita-cita dan kegiatan untuk 
mewujudkan cita-cita.
5. Tugas, Fungsi, dan Wewenang Polisi
a. Tugas Kepolisian
Menurut G. Gewin (Djoko Prakoso,1987:136) Tugas Polisi yaitu 
sebagai berikut: “Tugas polisi yaitu bagian dibandingkan  tugas negara perundang-
undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib ketenteraman dan 
keamanan, menegakkan negara, menanamkan pengertian, ketaatan, dan 
kepatuhan”.
Pada dasarnya, tugas kepolisian yaitu yaitu bagian dari 
pada tugas negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, 
maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan 
dan juga koordinasi, sebab itulah dibentuk organisasi polisi yang 
lalu  memiliki  tujuan untuk mengamankan dan memberikan 
perlindungan kepada warga  yang berkepentingan, terutama mereka 
yang melakukan suatu tindak pidana.
Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang 
Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik negara kita , telah 
ditentukan di dalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 
1 Tahun 1961, (1985: 2) menyatakan sebagai berikut:
1)  Kepolisian Negara Republik negara kita , selanjutnya disebut 
Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama 
bertugas memelihara keamanan dalam negeri.
2)  Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung 
tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Dalam Keputusan Presiden Republik negara kita  Nomor 7 Tahun 
1974 dalam butir 31 butir a (Djoko Prakoso,1987: 183) menyebutkan 
tugas dari kepolisian yaitu sebagai berikut:
“Kepolisian Negara Republik negara kita  disingkat Polri bertugas 
dan bertanggung jawab untuk melaksanakan: segala usaha dan 
kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama di bidang 
pembinaan keamanan dan ketertiban warga , sesuai dengan 
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden 
Nomor 52 Tahun 1969”.
   
Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban 
warga , Polisi Republik negara kita  berkewajiban dengan segala 
usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban 
warga . Polisi sebagai pengayom warga  yang memberi 
perlindungan dan pelayanan kepada warga  bagi tegaknya ketentuan 
peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan 
yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan 
tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 
1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam 
menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam 
Wilayah Negara Republik negara kita .
Selanjutnya, lebih jelas mengenai tugas Polisi yang dimaksud diatur 
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 
Republik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 menyebutkan bahwa 
tugas pokok Kepolisian Negara Republik negara kita  adalah:
1)  memberi  keamanan dan ketertiban warga ;
2)  Menegakkan hukum;
3)  memberi  perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada 
warga .
Untuk mendukung tugas pokok ini  di atas, polisi juga 
memiliki tugas-tugas tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 
ayat (1) Undang–Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 
Republik negara kita  yaitu sebagai berikut:
1)  Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli 
terhadap kegiatan warga  dan penguasa sesuai kebutuhan.
2)  Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, 
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
3)  Membina warga  untuk meningkatkan partisipasi warga , 
kesadaran hukum warga , serta ketaatan warga warga  
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
4)  Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
5)  Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum: melakukan 
koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian 
khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk 
pengamanan swakarsa.
6)  Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis 
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan 
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
7)  Melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai 
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan 
lainnya.
8)  Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, 
laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan 
tugas kepolisian.
9)  Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, warga , 
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau 
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan 
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
10) Melayani kepentingan warga warga  untuk sementara sebelum 
ditangani oleh instansi/atau pihak berwenang.
11) memberi  pelayanan kepada warga  sesuai dengan 
kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian.
12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
jika  diidentifisir, jabaran-jabaran tugas dari Pasal 13 UU Nomor 
2 Tahun 2002 dalam bentuk tugas, peran, dan wewenang cukup luas, 
bahkan melebihi dari 40 (empat puluh) bagian, belum lagi tugas-tugas 
khusus seperti terlibat dalam pelaksanaan perdamaian dunia, lalu  
yang diberikan oleh berbagai peraturan perundang-undangan, antara 
lain perlindungan saksi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang 
Teroris dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian 
Uang.
Dari tugas-tugas polisi ini  dapat dikemukakan bahwa pada 
dasarnya tugas polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan, 
ketertiban, menjamin, dan memelihara keselamatan negara, orang, 
benda, dan warga , serta mengusahakan ketaatan warga negara dan 
warga  terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai 
tugas preventif dan tugas yang kedua yaitu tugas represif. Tugas ini untuk 
menindak segala hal yang dapat mengacaukan keamanan warga , 
bangsa, dan negara. 
   
b. Fungsi Polisi
Fungsi Polri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 UU Nomor 2 
Tahun 2002, yaitu bagian dari pemerintahan negara di bidang 
pemeliharaan keamanan, ketertiban warga , penegakan hukum, 
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada warga .
maka , fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi 
pemerintahan tidak terlepas dari tujuan yang telah ditentukan 
dalam Pembukaan UUD RI 1945, yaitu fungsi melindungi segenap 
bangsa negara kita  dan seluruh tumpah darah negara kita , memajukan 
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut 
serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, 
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 
2 Tahun 2002 menyangkut fungsi kepolisian dalam dimensi yuridis 
dan sosiologis.
a. Fungsi kepolisian dalam dimensi yuridis meliputi: 
I. Fungsi kepolisian yang bersifat umum, yang dilaksanakan oleh 
Polri sebagai bagian dari lembaga pemerintahan. 
 Fungsi kepolisian umum, yaitu yaitu bagian dari 
administrasi negara, dengan demikian melekat fungsi-fungsi 
utama administrasi negara yang meliputi: 
a)  fungsi pengaturan, yaitu menyangkut perumusan peraturan 
perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan 
tugas kepolisian;
b)  fungsi perizinan, yaitu fungsi yang berkaitan dengan 
fungsi pengaturan dalam rangka penerbitan/pemberian 
izin, termasuk prosedur dan unit organisasi atau satuan 
yang diberi wewenang untuk menerbitkan izin ini ;
c)  fungsi pelaksanaan tugas pokok, berdasarkan kewajiban 
umum kepolisian dan ketentuan peraturan perundang-
undangan tertentu;
d)   fungsi pengelolaan pemilikan negara yang dipercaya 
kepada Polri yaitu melalui pengolahan inventaris Polri 
secara efisien yang berasal dari APBN;
e)  fungsi pengawasan tugas pokok Polri, yaitu untuk meng-
evaluasi tugas pokoknya;
f)  fungsi penyelesaian perselisihan, yaitu menyelesaikan 
perkara-perkara atau persengketaan-persengketaan 
adminis trasi yang bukan kompetensi pengadilan.
 II.  Fungsi Kepolisian Khusus, yang yaitu tugas administrasi 
khusus sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar 
hukumnya. 
b.  Fungsi kepolisian dalam dimensi sosiologis, 
 yaitu berupa rumusan fungsi kepolisian yang diemban, yang secara 
swakarsa dibentuk, tumbuh, dan berkembang dalam tata kehidupan 
warga .
 Sehubungan dengan hal di atas pada pasal 3 ayat 1, pengemban 
fungsi kepolisian yaitu Kepolisian Negara Republik negara kita  
yang dibantu oleh:
a)  kepolisian khusus; 
b)  penyidik pegawai negeri sipil;
c)  bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
c. Wewenang Polisi
Polisi memiliki wewenang secara umum yang diatur dalam Pasal 15 
ayat (1) Undang–Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 
Republik negara kita , yaitu sebagai berikut:
a.  Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b.  Membantu menyelesaikan perselisihan warga warga  yang 
dapat mengganggu ketertiban umum;
c.  Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit warga ;
d.  Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau 
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e.  Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan 
administratif kepolisian;
f.  Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan 
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g.  Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
   
h.  Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret 
seseorang;
i.   Mencari keterangan dan barang bukti;
j.   Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k.  Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan 
dalam rangka pelayanan warga ;
l.   memberi  bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan 
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan 
warga ;
m.  Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Adapun wewenang yang dimiliki kepolisian untuk menyelenggarakan 
tugas di bidang proses pidana menurut Pasal 16 Undang-Undang No. 
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik negara kita  adalah:
a.  Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan 
penyitaan.
b.  Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat 
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
c.  Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka 
penyidikan.
d.  Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta 
memeriksa tanda pengenal diri.
e.  Melakukan pemeriksaan – pemeriksaan surat.
f.  Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka 
atau saksi.
g.  Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya 
dengan pemeriksaan perkara.
h.  Mengadakan penghentian penyidikan.
i.   Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j.   Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi 
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan 
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang 
yang disangka melakukan tindak pidana.
k.  Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik 
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.
l.  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang b,ertanggung 
jawab.
Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya juga 
berwenang:
a.  memberi  izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan 
kegiatan warga  lainnya;
b.  Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c.  memberi  surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d.  Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e.  memberi  izin operasional dan melakukan pengawasan senjata 
api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f.  memberi  izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap 
badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g.  memberi  petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian 
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis 
kepolisian;
h.  Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam 
menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i.   Melakukan  pengawasan  fungsional kepolisian terhadap orang 
asing yang berada di wilayah negara kita  dengan koordinasi instansi 
terkait;
j.   Mewakili penguasa Republik negara kita  dalam organisasi 
kepolisian internasional;
k.  Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas 
kepolisian.
6.  Tantangan-Tantangan dalam Profesi Polisi
Tantangan atau Hambatan yang Memengaruhi Pelayanan Kepolisian
Misi kepolisian sebagaimana tertuang dalam undang-undang di atas 
di mana antara lain mencakup: pelayanan keamanan dan ketertiban 
warga , penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan 
pelayanan warga , maka bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan 
oleh kepolisian ke depan harus dapat bekualitas (service quality) 
sebagaimana pelayanan yang diharapkan oleh warga . Service quality 
   
bukan hanya pelayanan jasa yang sesuai spesifikasi internal saja, akan 
namun  spesifikasi yang dipakai  harus mengacu kepada spesifikasi 
warga . Bila spesifikasi pelayanan yang diharapkan warga  
kurang tepat, maka kepolisian perlu melakukan pendidikan warga  
tentang bentuk ideal dari Kualitas Pelayanan Kepolisian sebagaimana 
spesifikasi bentuk pelayanan kepolisian yang telah ditetapkan oleh 
Undang-Undang.
Namun demikian, sebagai sebuah sub-sistem yang tidak berdiri 
sendiri dalam sistem besar ketatanegaraan negara kita , kepolisian 
dihadapkan pada kondisi kekinian yang patut dipertimbangkan sebagai 
faktor penentu keberhasilan pelayanan. Adapun beberapa faktor yang 
bisa diidentifikasi antara lain yaitu menyangkut adanya berbagai 
tantangan dan perubahan yang berkembang baik secara regional 
maupun global, termasuk dampak otonomi daerah sebagai implikasi 
dari perubahan dan peran kepolisian sebagai institusi sipil yang patut 
dikedepankan dalam mengelola pemolisian sebagai bagian dari standar 
universal yang bisa diterima oleh warga .
Berbagai perubahan dialami warga  di dunia ini, bahkan 
perubahan itu makin hari terasa makin cepat berjalan dengan arah 
yang tidak terduga-duga. Perubahan itu meliputi berbagai hal, dari 
yang kasat mata sampai pada yang tak tampak tapi terasa. Seperti 
perubahan ekspektasi warga  atas cita rasa pelayanan kepolisian 
dan perubahan aspirasi warga  lainnya. Perubahan yang terjadi 
itu mengharuskan berubahnya pula cara kepolisian memandang dan 
membangun hubungan dengan komunitas. Hal ini  disebabkan 
semakin berkembangnya aspirasi warga  yang menginginkan pola 
hubungan yang demokratis di mana hal ini  berkonsekuensi pada 
keinginan warga  untuk menjadikan kepolisian sebagai lembaga 
negara yang bekerja secara transparan dan akuntabel.
Tantangan dalam Profesi Kepolisian
Polisi sebagai penegak hukum akan sangat rentan terhadap pengaruh-
pengaruh dari orang lain yang menyimpang dari tugas dan tanggung 
jawabnya. Seperti halnya dalam bentuk penyuapan yang sengaja 
dilakukan oknum tertentu untuk menutupi kesalahannya dalam 
melakukan pelanggaran pidana.
Polisi memang rawan menyalahgunakan kekuatan kepolisiannya 
(police power), melanggar kode etik profesinya, sampai pada melanggar 
hak asasi manusia. Polri dituntut agar dalam menjalankan tugas dan 
profesinya terutama dalam penegakan hukum harus sesuai dengan 
kepastian hukum serta keadilan bagi warga . Bagaimana sikap 
dan perilaku anggota Polri harus mencerminkan karakter Polri yang 
sesungguhnya sesuai dengan Tribrata oleh sebab itu dibutuhkan Etika 
Kepolisian. 
Kesimpulannya bahwa tantangan terbesar bagi seorang polisi 
sebagai penegak hukum yaitu pada godaan atau hasutan oleh pihak 
tertentu untuk mempengaruhi  moralitas polisi sehingga menerima 
suap atau dalam bentuk pelanggaran lainnya. Hal ini kaitannya dengan 
prinsip-prinsip dalam kode etik kepolisian yaitu prinsip tanggung jawab 
dan prinsip integritas moral.
Berbicara etika, maka akan berkaitan erat dengan tata berkelakuan 
dalam menjalankan sebuah profesi. Hal ini tidak terlepas dari bentuk 
kedisiplinan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Kedisiplinan 
yang dimaksud yaitu yang tertanam dalam moral tiap individu. Bukan 
moral yang serta merta berhubungan dengan sifat religius namun  moral 
yang berdasar pada sikap bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab 
ini terbentuk secara lahiriah bukan batiniah.
Di samping itu tantangan profesi kepolisian yang lainnya yaitu 
keberadaannya yang masih dianggap oleh sebagian warga  
sebagai penegak hukum yang sifatnya antagonis. Sementara polisi 
diperhadapkan dengan tugasnya untuk mengayomi warga , 
untuk selalu bersikap sabar, patuh, dan bisa diajak komunikasi maka 
sosok lembut yang ditampilkan. Namun, di satu sisi polisi juga harus 
memiliki sikap tegas dan bertanggung jawab. Dalam menghadapi 
pembangkangan/serangan polisi diberi dispensasi tentang penggunaan 
cara paksaan, kekerasan, dan bahkan penggunaan senjata api namun  
dalam batas-batas yang diperbolehkan hukum. Akan namun , sebagian 
warga  lebih gampang untuk menangkap konteks kekerasannya 
tanpa memperhatikan titik permasalahannya.
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
A. Teori dan Konsep Keadilan dalam Perspektif Filsafat 
Hukum 
Berbicara tentang keadilan pastinya tidak ada pendefinisian yang dapat 
dikatakan sama. Konsep keadilan selalu diartikan dengan berbagai 
definisi dan selalu dilatarbelakangi dari sisi orang yang mendefinisikan.
Tentang rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang dasar yang 
perlu diperhatikan, sebagai berikut:
• Pandangan kaum awami (pendapat awam) yang pada dasarnya
merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah 
keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras 
dengan dalil ”neraca hukum“ yakni “takaran hak dan kewajiban”.
• Pandangan para ahli hukum (Purnadi Purbacaraka) yang pada
dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu yaitu keserasian antara 
kepastian hukum dan kesebandingan hukum.
Adanya kenyataan berdasarkan dalil “takaran hak yaitu kewajiban”, 
yang secara jelas berarti seperti berikut ini:
• Hak setiap orang itu besar kecilnya tergantung pada atau selaras
dengan besar kecil kewajibannya, sehingga dengan demikian berarti 
pula seperti di bawah ini.
• Dalam keadaan yang wajar, tidaklah benar kalau seseorang dapat
memperoleh haknya secara tidak selaras dengan kewajibannya atau 
tidak pula selaras kalau seseorang itu dibebankan kewajiban yang 
tidak selaras dengan haknya.
• Tiada seorang pun dapat memperoleh haknya tanpa ia melaksanakan
kewajibannya, baik sebelum maupun sesudahnya, dan dengan 
demikian pula sebaliknya tiada seorang pun yang dapat dibebankan 
kewajibannya tanpa ia memperoleh haknya, baik sebelum maupun 
sesudahnya.
Contohnya:
• Setiap pemilik suatu benda atau pemegang hak milik atas suatu
benda harus membayar pajak kekayaannya atas benda miliknya itu 
dalam jumlah tertentu yang ditentukan menurut harga atau nilai 
bendanya ini . Semakin mahal harga atau nilai benda ini , 
maka semakin mahal pula pajak yang harus dibayar oleh pemiliknya 
dan demikian pula sebaliknya.
• Upah seorang pegawai tentunya diselaraskan dengan berat ringan
pekerjaannya.
Pandangan para filosof tentang keadilan?
• Plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum 
dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus 
memikirkan hal itu. Untuk istilah keadilan ini Plato memakai  
kata Yunani ”Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup 
moralitas individual dan sosial. Penjelasan tentang tema keadilan 
diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama 
Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan 
didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. 
Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain. 
 Plato yaitu seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui 
kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia sehingga 
pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya 
dengan masalah keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan 
yaitu di luar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan 
yaitu adanya perubahan dalam warga . warga  memiliki 
elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu: a) 
Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang 
diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan 
secara tegas dengan domba manusia. b) Identifikasi takdir negara 
dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus terhadap kelas 
ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-
aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan 
pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan 
anggotanya.Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen 
lainnya dapat diturunkan, misalnya berikut ini: a) Kelas penguasa 
punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan 
latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua 
bentuk pendidikan, namun  kelas penguasa ini tidak diperkenankan 
berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha 
mencari penghasilan, b) Harus ada sensor terhadap semua aktivitas 
intelektual kelas penguasa, dan propaganda terus-menerus yang 
bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-pikiran mereka. Semua 
inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah 
atau ditekan. c) Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). 
Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, 
para penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru 
para penguasa itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama 
melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan alternatif kedua akan 
melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya. 
Untuk mewujudkan keadilan warga  harus dikembalikan pada 
struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi 
penggembala. Tugas ini yaitu tugas negara untuk menghentikan 
perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan 
antara individu melainkan hubungan individu dan negara. 
Bagaimana individu melayani negara.Keadilan juga dipahami secara 
metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk 
super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. 
Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia 
lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial 
bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah 
atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Dengan 
demikian Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin Negara 
seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher.
• Aristoteles, yaitu seorang filosof pertama kali yang merumuskan 
arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan yaitu memberikan 
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat 
mundus. Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua 
bentuk yaitu; pertama, keadilan distributif, yaitu keadilan yang 
ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat 
jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota warga  menurut 
prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu 
keadilan yang menjamin, mengawasi, dan memelihara distribusi ini 
melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada 
prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo 
dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau 
dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang. Atau kata 
lainnya keadilan distributif yaitu keadilan berdasarkan besarnya 
jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif yaitu keadilan 
berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang 
diberikan. 
 Merosotnya demokrasi Athena, dalam perang Peloponesus dan 
sesudahnya, menjadi bahan perenungan tentang keadilan yang 
mendominasi filsafat hukum Plato dan Aristoteles. Keduanya 
mencurahkan sebagian besar dari karya mereka untuk memberi 
definisi yang konkret mengenai keadilan dan hubungan antara 
keadilan dan hukum positif. Plato berusaha untuk mendapatkan 
konsepnya mengenai keadilan dari ilham, sementara Aristoteles 
mengembangkannya dari analisis ilmiah atas prinsip-prinsip 
rasional dengan latar belakang model-model warga  politik 
dan undang-undang yang telah ada. Doktrin-doktrin Aristoteles 
tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, namun  
juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles 
bagi filsafat hukum yaitu formulasinya terhadap masalah 
keadilan, yang membedakan antara: keadilan “distributif” dengan 
keadilan “korektif” atau “remedial” yang yaitu dasar bagi 
semua pembahasan teoretis terhadap pokok persoalan. Keadilan 
distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada 
setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam warga , 
dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan 
hukum (equality before the law). Keadilan korektif berfokus 
pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran 
dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif 
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang 
dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman 
yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, 
ketidakadilan memicu terganggunya “kesetaraan” yang 
sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas 
membangun kembali kesetaraan ini . Dari uraian ini tampak 
bahwa keadilan korektif yaitu wilayah peradilan sedangkan 
keadilan distributif yaitu bidangnya pemerintah. Dalam 
Ethica Niconzachea, misalnya, Aristoteles melihat keadilan 
antara pihak-pihak yang bersengketa yaitu prasyarat dasar 
tata kehidupan yang baik dalam polis. Dalam rangka itu, ia 
membedakan tiga macam keadilan: distributif, pemulihan, dan 
komutatif. Terutama prinsip ‘keadilan komutatif ’mengatur urusan 
transaksi antara pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran 
atau perdagangan. Misalnya: pertama, harus ada kesetaraan 
perbandingan antara barang yang dipertukarkan, dan kedua, 
harus terjadi kesalingan; semua barang yang dipertukarkan harus 
sebanding. Untuk tujuan itulah uang dipakai , dan dalam 
arti tertentu menjadi perantara. Jumlah sepatu yang ditukarkan 
dengan sebuah rumah (atau dengan sejumlah makanan) dengan 
demikian harus setara dengan rasio seorang pembangun rumah 
terhadap seorang pembuat sepatu. Aristoteles menerangkan 
keadilan dengan ungkapan “justice consists in treating equals equally 
and unequalls unequally, in proportion to their inequality”. Untuk hal-hal 
yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga 
diperlakukan tidak sama, secara proporsional. Aristoteles dalam 
mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan 
benda tertentu. Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles 
yaitu saat  semua unsur warga  mendapat bagian yang 
sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles 
dipandang sejajar dan memiliki  hak yang sama atas kepemilikan 
suatu barang (materi). Pandangan Aristoteles tentang keadilan 
bisa didapatkan dalam karyanya Nichomachean Ethics, Politics, 
Rethoric. Buku ini sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang 
berdasarkan filsafat hukum Aristoteles mesti dianggap sebagai 
inti dari filsafat hukumnya, “sebab  hukum hanya bisa ditetapkan 
dalam kaitannya dengan keadilan”.
• Ulpianus, yang mengatakan bahwa keadilan yaitu kemauan yang 
bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap 
orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua 
voluntas ius suum cuique tribuendi). 
• Ustinian, yang menyatakan bahwa “keadilan yaitu kebijakan 
yang memberikan hasil,  bahwa setiap orang mendapat apa yang 
yaitu bagiannya”.
• Herbert Spenser, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas 
untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak 
melanggar kebebasan yang sama dari lain orang”. 
• Roscoe Pound, yang melihat indikator keadilan  dalam hasil-hasil 
konkret yang bisa diberikannya kepada warga . Ia melihat 
bahwa  hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa perumusan 
kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan 
yang sekecil-kecilnya. 
• Nelson, yang menyatakan bahwa “Tidak ada arti lain bagi keadilan 
kecuali persamaan pribadi”.
• John Salmond, yang menyatakan bahwa norma keadilan 
menentukan ruang lingkup dari kemerdekaan individual dalam 
mengejar kemakmuran individual, sehingga dengan demikian 
membatasi kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai 
dengan kesejahteraan umat manusia.
• Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga dipakai  
dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama 
kecocokan dengan undang-undang. Ia menganggap sesuatu yang 
adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relatif dengan sebuah 
norma ‘adil’ hanya kata lain dari ‘benar’. 
• Jhon Rawls, Konsep keadilan menurut Rawls, ialah suatu usaha  
untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga 
secara konseptual Rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang 
mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan 
rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-
kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang 
sama pada saat akan memulainya dan itu yaitu syarat yang 
fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang 
mereka hendaki”. 
 John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasarnya yaitu 
prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi 
jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok dalam warga . 
Untuk mencapai keadilan ini , maka rasional jika seseorang 
memaksakan pemenuhan keinginannya sesuai dengan prinsip 
kegunaan, sebab dilakukan untuk memperbesar keuntungan 
bersih dari kepuasan yang diperoleh oleh anggota warga nya.
Ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa 
sehingga paling menguntungkan golongan warga  paling 
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama situasi 
ketidaksamaan menjamin maximum minorium bagi orang yang 
paling lemah. Artinya situasi warga  harus sedemikian rupa, 
sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin 
dihasilkan bagi orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat 
pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya 
setiap orang memiliki diberikan peluang yang sama besar dalam 
hidup. Kesamaan dapat meletakkan prinsip-prinsip keadilan, 
sebab pada dasarnya hukum harus menjadi penuntun agar orang 
dapat mengambil posisi yang adil dengan tetap memperhatikan 
kepentingan individunya, dan bertindak proporsional sesuai 
dengan haknya serta tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan 
demikian keadilan sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban para 
pihak dalam melaksanakan kesepakatan perjanjian sebagai bentuk 
tanggung jawabnya.ada  dua tujuan dari teori keadilan menurut 
John Rawls, yaitu: a. Teori ini mau mengartikulasikan sederet 
prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan menerangkan 
berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan 
dalam keadaan-keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan 
dengan “keputusan moral” yaitu sederet evaluasi moral yang 
telah kita buat dan sekiranya memicu tindakan sosial kita. 
Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk 
pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif. b. Rawls mau 
mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul 
atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya “rata-rata” 
(average utilitarianisme). Maksudnya yaitu bahwa institusi sosial 
   
dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi keuntungan 
dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat pandangan 
bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diabdikan untuk 
memaksimalisasi keuntungan rata-rata perkapita. Untuk kedua 
versi utilitarianisme ini  “keuntungan” didefinisikan sebagai 
kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. 
Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya membuat 
pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi utilitarianisme 
ini . Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan lebih unggul 
dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial.
 Dua prinsip keadilan Rawls di bawah ini yaitu solusi bagi 
problem utama keadilan. a. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-
besarnya (principle of greatest equal liberty). Prinsip ini mencakup: 
1) Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak 
bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan), 2) Kebebasan 
berbicara (termasuk kebebasan pers), 3) Kebebasan berkeyakinan 
(termasuk keyakinan beragama), 4) Kebebasan menjadi diri sendiri 
(person), dan 5) Hak untuk mempertahankan milik pribadi. b. 
Prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan 
(the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas 
kesempatan (the prinsiple of fair equality of opportunity). Inti prinsip 
pertama yaitu bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus 
diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka 
yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosio-ekonomis 
dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam 
prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, 
pendapatan, dan otoritas. Sedang istilah yang paling kurang 
beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk pada mereka 
yang paling kurang memiliki  peluang untuk mencapai prospek 
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Oleh sebab itu, perbedaan 
menuntut pengaturan struktur warga  sehingga kesenjangan 
prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, 
otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang 
kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan 
dalam dua hal. Pertama melakukan koreksi dan perbaikan 
terhadap ketimpangan yang dialami oleh kaum lemah dengan 
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang 
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri 
sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan 
untuk mengoreksi ketidakadilan yang dialami kaum lemah.
B. Keadilan dalam Perspektif    
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta 
diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain 
Stoisisme norma hukum alam primer yang bersifat umum menyatakan: 
Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum 
tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere). Cicero juga 
menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat 
manusia, namun  oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai 
tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas 
dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni 
unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan yaitu 
Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux. Secara harfiah ungkapan 
ini  berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan 
dapat menolongnya. 
Dalam paradigma hukum Utilitarianisme, keadilan dilihat secara 
luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak 
yaitu seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human 
welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, 
diukur dengan perspektif ekonomi. 
Perspektif tentang keadilan sebagaimana dirumuskan di atas, 
menurut Satjipto Rahardjo bahwa keadilan mencerminkan bagaimana 
seseorang  melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana seseorang 
memperlakukan manusia. Lebih lanjut Angkasa mengatakan bahwa 
sebab keadilan yaitu ukuran yang dipakai seseorang dalam 
memberikan terhadap objek yang berada di luar diri orang ini . 
Mengingat objek yang dinilai yaitu manusia maka ukuran-ukuran 
yang diberikan oleh seseorang terhadap orang lain tidak dapat 
dilepaskan dengan bagaimana seseorang ini  memberikan konsep 
atau makna tentang manusia. jika  seseorang melihat orang lain 
sebagai makhluk yang mulia maka perlakuan seseorang ini  pun 
akan mengikuti anggapan yang dipakai sebagai ancangan dan sekaligus 
akan menentukan ukuran yang dipakai dalam menghadapi orang lain. 
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masalah keadilan tidak 
dapat dilepaskan dengan filsafat tentang manusia.
Terlepas dari berbagai pandangan konsep keadilan ini  di 
atas, dalam hal ini penulis ingin berbagi pendapat tentang bagaimana 
konsep keadilan yang sesungguhnya terlepas dari latar belakang 
penulis. Keadilan pada dasarnya sifatnya yaitu abstrak, dan hanya bisa 
dirasakan dengan akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu/
warga . Keadilan tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun 
pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif pencarian keadilan 
yang kita lihat sehari-hari. Keadilan juga tidak memiliki ukuran serta 
takaran yang pasti tentang bagaimana halnya suatu keadaan yang “Adil”. 
Secara sederhana kapan keadilan itu dibicarakan dan mengapa? Pada 
dasarnya seseorang atau individu/warga  mencari keadilan saat  
dirasakan adanya suatu ketidakadilan atau dengan kata lain keadilan 
muncul saat  adanya ketidakadilan yang dirasakan.
Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa setiap manusia pada 
dasarnya terlahir dalam kehendak bebas (dalam arti luas) masing-
masing, oleh sebab adanya kehendak bebas dari setiap individu ini  
akhirnya membentur kehendak bebas dari individu lain, sehingga secara 
tidak langsung dan tidak disadari bahwa kehendak bebas dari setiap 
individu ini  ternyata dibatasi oleh kehendak bebas dari individu 
lain dan sebaliknya. Dengan berbagai faktor dan alasan timbul konflik 
dalam warga  baik oleh masing-masing individu yang berusaha 
mengambil kebebasan dari individu lain dengan tujuan dan maksud 
tertentu. Oleh sebab adanya pengambilan kehendak bebas dari 
seseorang oleh orang lain ini , maka timbul usaha untuk mencari 
keadilan. Seseorang/individu tidak akan mencari serta mengetahui 
keadilan itu seperti apa saat  memang tidak ada kepentingan serta 
kebebasannya yang dicurangi atau dilukai. saat  tidak ada hal-hal yang 
mengganggu kepentingan kita/manusia baik itu kebebasan (dalam arti 
luas atau kebebasan terbatas) maka menurut saya tidak akan muncul 
kata tentang “Keadilan”.
Dengan demikian di sini saya berkesimpulan bahwa keadilan 
itu yaitu suatu keadaan di mana adanya suatu keseimbangan 
antara pelaksanaan kehendak bebas dan kepentingan setiap individu/
warga  dalam pelaksanaan kehidupan berwarga  dan bernegara. 
Pendapat ini lebih condong pada konsep keadilan menurut Herbet 
Spenser (baca di atas).
C. Hukum dan Keadilan dalam     
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-
olah hanya menjadi ruang lingkup telaah filsafat. namun  kelestarian 
sebagai relevansi antara hukum dan keadilan selalu terjaga. Lintasan 
sejarah dari seluruh aliran pemikiran dalam ilmu hukum senantiasa 
memperjuangkan keadilan, entah dari sudut pandang manapun caranya 
memandang hukum, baik hukum dipandang sebagai objek, maupun 
hukum dipandang sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam diri 
personal. Harus diakui segala analisis, pembongkaran, dekonstruksi, 
hingga kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif semuanya 
terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam tujuannya 
untuk mencapai keadilan.
Itulah sebabnya pembagian keadilan yang pernah dikemukakan 
oleh Aristoteles hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh 
terhadap segala tindakan untuk mempertahankan hukum dalam 
segala sisinya. Yakni, hukum dalam sisi membentuk undang-undang 
yaitu pengikatan resmi terhadap keadilan distributif (mutlak; 
principa prima). Sedangkan pekerjaan hakim yang berfungsi untuk 
mempertahankan basis keadilan dalam perundang-undangan dituntut 
untuk menjadi pengadil yang menegakkan hukum dalam wujudnya 
sebagai keadilan kumutatif (relatif; principa secundaria). Baik hukum 
maupun moral dan keadilan yaitu sesuatu yang abstrak. Oleh 
sebab itu wajar kiranya jika terjadi multipersepsi terhadap hukum 
dalam pendefinisiannnya.
Bahkan ahli hukum sekaliber van Apeldoorn sampai pada 
kesimpulan tidak memberikan satupun tentang definisi hukum itu. 
Apeldoorn hanya menyatakan bahwa definisi hukum itu sangatlah 
sulit untuk dibuat sebab tidak mungkin untuk mengadakannya sesuai 
dengan kenyataan. Dalam pendapat yang hampir serupa, Immanuel Kant 
mengemukakan ‘Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von 
recht”, tidak ada seorang Yuris pun yang dapat mendefinisikan hukum 
dengan tepat.

Meskipun demikian, tetap penting untuk dikemukakan pengertian 
hukum. Paling tidak sebagai dasar untuk memberi pemahaman awal 
agar dapat diidentifikasi sifat pembedaannya dengan ilmu sosial lainnya. 
Seperti ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan 
sebagainya. Atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono 
Soekanto mengidentifikasi paling sedikit sepuluh arti hukum sebagai 
berikut:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang 
tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
2. Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan 
atas gejala-gejala yang dihadapi; 
3. Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan 
perilaku yang pantas dan diharapkan; 
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat 
kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat 
tertentu, serta berbentuk tertulis; 
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-mempengaruhi yang yaitu 
kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum; 
6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi; 
7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan 
timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; 
8. Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur; 
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi 
abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk; 
10. Hukum sebagai seni (legal art);
11. Dalam menguraikan pengertian hukum di makalah ini, penting juga 
dikemukakan definisi hukum yang pernah diuraikan oleh Muchtar 
Kusumatmadja;
12. Dasar falsafatinya sehingga penting untuk diuraikan pendapat 
ini . Sebab Kusumaatmadja berhasil menggabungkan atau 
dengan kata lain mendamaikan semua aliran pemikiran dalam 
ilmu hukum sehingga teori hukum yang pernah dipertahankan 
oleh masing-masing mazhabnya bertemu dalam satu kesatuan 
pengertian sebagaimana Kusumaatmadja menyebutnya “sistem 
hukum”;

13. Lengkapnya, bahwa hukum didefinisikan sebagai mazhab hukum 
Unpad “Law and Developmet” yaitu seperangkat kaidah, asas-
asas  lembaga hukum, dan setiap proses-proses yang mengikat daya 
keberlakuannya.
Atas cakupan dari “kaidah, asas-asas, dan lembaga” dalam pen-
definisian hukum ini  yaitu saluran pendefinisian yang 
merangkum mazhab hukum alam sekaligus mazhab hukum positivistik. 
Sedangkan “proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya” tidak 
lain dari faktor nonhukum yang menjadi pusat kajian dari aliran sejarah 
hukum dan aliran realisme hukum.
Selain dikemukakan pengertian hukum menurut Kusumaatmadja, 
penting pula diuraikan pengertian hukum menurut Achmad Ali, 
sebagaimana yang dikemukakan dalam bukunya “Menguak Tabir 
Hukum” setelah beliau mengutip beberapa pendapat para ahli tentang 
pendefinisian hukum.
Achmad Ali bisa dikatakan cukup lengkap dalam merangkum 
pengertian hukum dari berbagai pakar, beliau merangkum semua 
pandangan para pemikir barat, pemikir timur hingga pemikir Islam 
lalu pada akhirnya beliau tiba pada kesimpulan “definisi yang dapat 
mengartikulasikan hukum itu”.
Achmad Ali memandang bahwa apa yang dimaksud sebagai hukum 
yaitu yang dimanifestasikan dalam wujud, yaitu:
1. Hukum sebagai kaidah (hukum sebagai sollen);
2. Hukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).
Bahwa hukum sebagai kenyataan yaitu hal yang paling utama 
namun  tidak berarti bahwa hukum sebagai kaidah dapat diabaikan, 
sebab hukum sebagai kenyataan tetap bersumber dari hukum sebagai 
kaidah. Hanya saja lebih konkretnya hukum sebagai kaidah tidak saja 
yang termuat dalam hukum positif belaka, namun  keseluruhan kaidah 
sosial yang diakui keberlakuannya oleh otoritas tertinggi yang ada 
dalam warga . Lebih jauh lagi, Achmad Ali mengemukakan bahwa 
hukum adalah:
“Seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu 
sistem yang menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang 
tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga warga  
dalam kehidupan berwarga nya, yang bersumber baik 
dari warga  sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui 
keberlakuannya oleh otoritas tertinggi dalam warga  ini , 
serta benar-benar diberlakukan oleh warga warga  (sebagai 
suatu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah ini  
dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi 
untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal”.
Pada dasarnya ada  kesamaan pandangan antara Kusumaatmadja 
melihat hukum dalam dua sudut pandang, yakni hukum dipandang 
sebagai kaidah atau norma dan hukum dipandang keberlakuannya dalam 
kenyataan. Das sein yang dimaksudkan oleh Achmad Ali sebetulnya 
itulah yang dipahami oleh Kusumaatmadja sebagai “segala proses yang 
mengikat daya keberlakuan hukum itu”. Hukum dalam kenyataan sama 
halnya dengan segala proses eksternal yang mempengaruhi  hukum yang 
dijalankan berdasarkan ketentuannya.
Tentunya baik hukum dalam kenyataan (law in action) maupun 
hukum dalam wujud sebagai kaidah sebagaimana yang ada  dalam 
perundang-undangan (law in book), sisi ideal yang hendak dicapai sebagai 
pencapaian paling tertinggi sebagai hukum yang dicita-citakan (ius 
conctituendum) sudah pasti tujuan hukum untuk mencapai keadilan.
Pertanyaan selanjutnya, kalau demikian lantas di mana letaknya 
“hukum” untuk mencapai kepastian dan kemanfaatan? Jawabannya 
sudah pasti ada  dalam hukum sebagai kaidah dan hukum sebagai 
kenyataan.
Oleh sebab itu, baik tujuan hukum sebagai kepastian maupun 
tujuan hukum dalam sisi manfaat hal demikian lebih cocok dikatakan 
sebagai proses atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai keadilan 
dari hukum itu sendiri.
Hanya saja pekerjaan mereka yang berkecimpung di bidang filsafat 
kendati selalu berusaha mencari pendefinisian tentang makna keadilan 
itu sendiri, tindakan mereka semata-mata untuk memberikan gambaran 
“justice in concreto”.
Dalam berbagai literatur ada  berbagai pandangan para ahli 
yang mencoba memberikan definisi tentang keadilan. Di antaranya 
Soerjono Koesoemo Sisworo, Suhrawardi K. Lubis, Thomas Aquinas, 
Aristoteles, Achmad Ali, dan NE. Algra.
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo “keadilan yaitu keseimbangan 
batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan 
atas kehadiran dan perkembangan kebenaran, yang beriklim toleransi 
dan kebebasan.” Sedangkan menurut Suhrawardi K. Lubis dalam 
bukunya “Etika Profesi Hukum”, mengemukakan “bahwa Adil atau 
Keadilan yaitu pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan 
kewajiban. jika  ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang 
antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya jika  kita mengakui 
hak hidup, maka sebaiknya kita harus mempertahankan hak hidup 
ini  dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang kita lakukan 
tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang-orang, sebab orang 
lain itu juga memiliki hak yang sama. Dengan pengakuan hidup orang 
lain, otomatis kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain 
ini  untuk mempertahankan hak individunya”.
Selanjutnya, Thomas Aquinas seorang tokoh filsuf hukum alam, 
mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:
1. Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak Undang-Undang 
yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
2. Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas 
kesamaan atau proporsionalitas.
Jauh hari sebelumnya Aristoteles juga pernah mengemukakan 
keadilan. Aristoteles menguraikan “justice is political virtue, by the rules of 
the state is regulated and these rules the eterion of what is right.”
Aristoteles pulalah sebetulnya yang pertama kali meletakkan dua 
pembagian keadilan secara proporsional yang terbagi menjadi keadilan 
distributif, keadilan komutatif, dan keadilan vendikatif. 
Pertama, keadilan distributif (justitia distributive) yaitu keadilan 
yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik 
secara umum. Kedua, keadilan komutatif yaitu keadilan dengan 
mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Ketiga, keadilan 
vendikatif yaitu keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti 
kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil jika  ia dipidana 
badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah ditentukan atas 
tindakan pidana yang dilakukannya.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa negara kita  kata adil 
memiliki  arti; tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada 
yang benar, dan berpegang teguh pada kebenaran. Sedangkan keadilan 
yaitu sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.
Achmad Ali lebih melihat keadilan dalam tujuan hukum semata, 
bahwa keadilan tidaklah dapat dijadikan satu-satunya tujuan hukum. 
Sebab bagaimanapun nilai keadilan selalu subjektif dan abstrak. Achmad 
Ali lebih setuju jika keadilan bersama-sama dengan kepastian dan 
kemanfaatan dijadikan tujuan hukum secara prioritas, sesuai dengan 
masalah  in concreto. 
Tampaknya, pandangan Achmad Ali demikian dalam memotret 
tujuan hukum lebih dominan pada ajaran dari tujuan hukum secara 
kasuistis.
Dengan sifat keadilan yang abstrak ini , NE. Algra pun 
akhirnya mengemukakan “bahwa apakah sesuatu itu adil (rechtvaarding), 
lebih banyak tergantung pada rechmatigheid (kesesuaian dengan hukum), 
pandangan mempengaruhi seorang penilai. Kiranya lebih baik mengatakan itu 
tidak adil, namun  itu mengatakan hal itu saya anggap adil. Memandang 
sesuatu itu adil, terutama yaitu suatu pendapat mengenai nilai 
secara pribadi”.
Antara Hukum dan Keadilan memang saling terkait seperti dua sisi 
mata uang, hukum tanpa keadilan ibarat badan tanpa jiwa, sedangkan 
keadilan tanpa hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau 
intuisi yang di dalam mengambil keputusan memiliki  ruang lingkup 
diskresi yang luas serta tidak ada keterkaitannya dengan perangkat 
aturan.
D. Hubungan Hukum dan Keadilan
Summum Ius Summa Injuria/Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat 
berarti ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencita-
citakan keadilan maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan 
terhenti untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
Hal ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja 
menyisakan ada ketidakadilan di sana. Masih ada  beberapa orang 
yang merasakan bahwa putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus 
demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa oleh komunitas 
tertentu, ada kalanya menganggap putusan hakim tidaklah memenuhi 
rasa keadilan bagi dirinya.
namun  tidak berarti bahwa timbulnya respons atau reaksi dari 
partisipan hukum yang dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta 
merta mengambil kesimpulan bahwa antara hukum dan keadilan tidak 
ada gunanya, bahkan tidak ada hubungannya. Oleh sebab keadilan 
memang hanya sesuatu yang dicita-citakan. Ibarat penilaian baik dan 
benar tidak ada yang bisa menggambarkan sejelas-jelas mungkin. Sebab 
apa? sebab  lagi-lagi keadilan sudah dikatakan dari awal yaitu sifatnya 
abstrak dan memang keadilan hanyalah tujuan akhir. Niscaya manusia 
terbatas untuk menggapainya.
Pun kalau ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan dengan hati 
nurani. Itu juga hanya dalam wilayah tingkatan rasa sekaligus naluri 
yang diusahakan sepadan dengan naluri orang lainnya.
Kalau demikian, bukankah hukum yang diidentikkan sebagai 
perundang-undangan tidak lain dari rasa kebaikan, rasa kebenaran, 
kejahatan, dan keburukan yang lalu  diberlakukan secara imperatif. 
Maka ada lah bangunan rasa dan naluri sepadan, universal melalui 
konsensus moral sejawat kesepahaman.
Maka bersandar, berdasarkan seluruh analogi ini , dari situlah 
hukum dan keadilan terjadi keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan 
satu dengan lainnya. Bagi penganut mazhab hukum positivistik saat  
memandang hukum hanya seperangkat perundang-undangan semata, 
maka pertanyaan yang harus dijawab oleh kaum ini: Lantas berasal 
dari manakah hukum itu sehingga lahir menjadi sekumpulan kaidah, 
norma, ketentuan, hingga menjadi sekumpulan perundang-undangan? 
Apakah cukup lahir dari rasionya saja? Apakah lahir dari rasio Tuhan 
yang diturunkan melalui rasio manusia (lex humana) ataukah lahir dari 
alam kebatinan yang dipahami sebagai pengalaman kebatinan berkat 
kemampuannya memilah kebaikan dan keburukan?
Semua pertanyaan ini  terjawab dengan mengatakan bahwa 
“itu moral” dan apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. 
Kebaikan otomotasi satu haluan dengan keadilan. Segala pekerjaan 
untuk mengkonkretisasi hukum identik dengan moral, hukum identik 
dengan keadilan akan terejawantahkan dalam prinsip-prinsip hukum.
Dalam konteks ini, dalil ketiga hukum dalam pengembanan 
sebagaimana yang dikemukakan oleh Mewissen akan menjadi satu 
kesatuan terhadap seluruh abstraksi teoretikal atas gejala hukum 
   
ini . Baik ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum yaitu 
“sentral” untuk melahirkan banyaknya jumlah keadilan melalui 
banyaknya jumlah asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu hukum.
Antara filsafat hukum yang terpusat pada keadilan lalu  
melahirkan sekumpulan teori hukum, maka dalam tataran itulah teori 
hukum dan keadilan akan menurunkan asas hukum, lalu menciptakan 
sejumlah ketentuan yang dipahami sebagai kaidah hukum.
Asas hukum dalam “permainan” moral dan keadilan ini dapat 
dikatakan wadah yang berada di tengah-tengah untuk mencari 
konsensus publik sehingga hukum benar-benar imparsial, integral, 
hingga tercapai sisi keadilannya.
Hubungan hukum dan keadilan pula dapat diamati pada setiap 
tujuan hukum. Mulai dari tujuan hukum ajaran etis, ajaran prioritas 
baku, hingga ajaran masalah istis. Satupun dari ajaran ini  tidak ada 
yang dapat melepaskan diri dari tujuan hukum pada sisi keadilannya. 
Hanya saja dilengkapi dengan tujuan hukum lain seperti kepastian, 
kemanfaatan, dan predictibility.
Termasuk pula bagi pembentuk perundang-undangan sekalipun 
konsisten untuk melepaskan diri dari sisi keadilan sebagai salah satu 
tujuan hukum, pada hakikatnya masih dituntut untuk merumuskan 
teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung pentingnya 
undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa 
dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran 
menimbang, mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam 
konsideran menimbang ini , ada  pertimbangan filsufis yang 
mencatat tujuan hukum sebagai keadilan atas pembentukan Undang-
Undang itu. 
Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstitusi 
yang berfungsi sebagai aparatur penegak hukum, dalam usaha nya untuk 
melakukan penegakan hukum, menjaga sisi keadilan hukum. Hakim 
diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan dalam melahirkan 
putusan-putusannya. Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum 
yang hidup di dalam warga , agar hukum tetap konsisten untuk 
selalu memperjuangkan keadilan.
usaha  hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya 
tatkala perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang-
undangan, lalu perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya 
pengaturan. Hakim dalam posisi demikian dapat melakukan penafsiran 
dan konstruksi hukum. Ingat! pekerjaaan hakim di sini untuk melakukan 
penafsiran atas ketentuan hukum yang kabur, pada dasarnya menjadi 
pekerjaan untuk mengakomodasi kaidah-kaidah tidak tertulis yang 
diakui keberadaannya dalam warga , agar pencapaian keadilan 
untuk warga , diharapkan hakim dapat mewujudkannya.
Atas dasar itu lalu  menjadi pembenaran saat Roland Dworkin 
mempopulerkan teori hukumnya sebagai “moral reading”. Moral reading 
yang dimaksud oleh Dworkin, gugatan terhadap perundang-undangan 
yang tidak lengkap. Perundang-undangan yang belum mampu 
mengakomodasi segala kepentingan hukum primer yang ada  
dalam warga . Oleh sebab itu menjadi pekerjaan hakim konstitusi 
dalam masalah  ini, untuk kembali menciptakan hukum dari hukum yang 
terpencar di luar, dengan menyesuaikannya dalam ground norm sekaligus 
dengan constitutional norm.
Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang 
hendak diwujudkan oleh hukum. usaha  untuk mewujudkan keadilan 
dalam hukum ini  yaitu proses yang dinamis yang memakan 
banyak waktu. usaha  ini sering kali juga didominasi oleh kekuatan-
kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk 
mengaktualisasikannya. Keadilan dalam cita hukum yang yaitu 
pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, 
dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut 
makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya 
rasa dan daya pikir yang dua-duanya yaitu daya rohani, di mana 
rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal 
agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, 
sebab yang dapat menentukan baik dan buruk yaitu rasa.
Tidak dapat dipungkiri dalam banyak hal negara seperti negara kita  
menerapkan filsafat politik Hegel kendati tidak mendapat dukungan 
sepenuhnya dari individu-individu. Hak-hak individu dikesampingkan 
tentu saja dapat dipahami sebagai hasil dari sebuah perjuangan mayoritas 
warga atau atas dasar kepentingan umum. Akhirnya kepentingan individu 
dikesampingkan. ada  permasalahan apakah mengedepankan 
kepentingan umum atau kepentingan individu?Keseimbangan keadilan 
antara individu dengan warga  tidak dapat dipisahkan satu sama 
lain. Menilai suatu keadilan dalam suatu warga  tidak pernah 
mungkin jika  tanpa ikatan antara individu satu dengan individu yang 
lainnya. Antara keduanya ada  relasi timbal balik. Dasar seorang 
hakim dalam mengambil putusan yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan 
Ketuhahan Yang Maha Esa”. maka , dalam menetapkan 
putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah 
Swt. atas nama-Nya suatu putusan diucapkan. Ia bersumpah atas nama 
Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itulah hatinya bergetar. Ini yaitu 
peringatan bagi siapa saja. Pesan Rasululloh Muhammad Saw. kepada 
seorang sahabatnya sebagai berikut: “Wahai Abu Hurairah, keadilan 
satu jam lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun, salat, zakat, dan 
puasa. Wahai Abu Hurairah, penyelewengan hukum satu jam lebih pedih 
dan lebih besar dalam pandangan Allah dibandingkan  melakukan maksiat 
enam puluh tahun”. Sebuah pesan yang indah, yang wajib dipahami, 
dihayati, dan diamalkan oleh para hakim. Dengan ditemukan nilai ideal 
keadilan dapat mengatur keseimbangan kepentingan umat manusia 
baik kepastian hukum, kesejahteraan, kebahagiaan, pendidikan, dan 
lain-lain. Oleh sebab itu, untuk menegaskan sarana untuk mencapai 
keadilan, sebuah Negara harus mampu merumuskan konsep keadilan 
yang ingin dicapai baik keadilan individual maupun kolektif.
E. Telaah Filosofis terhadap Hakikat Keadilan sebagai 
Cita-Cita dan Tujuan Hukum
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari 
masing-masing warga  yang memiliki sifat  atau kekhususan 
sebab pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi warga  
atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.
Dari landasan teori yang dikemukakan di atas terlihat dengan jelas 
perbedaan-perbedaan pendapat dari para ahli tentang tujuan hukum, 
tergantung dari sudut pandang para ahli ini  melihatnya, namun 
semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran yang 
mereka anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang tentu 
saja diwarnai oleh aliran serta paham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum biasanya atau tujuan hukum 
secara universal yaitu memakai  asas prioritas sebagai tiga nilai 
dasar hukum atau sebagai tujuan hukum, masing-masing: keadilan, 
kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai landasan dalam mencapai 
tujuan hukum yang diharapkan.
Secara khusus masing-masing jenis hukum memiliki  tujuan 
spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya memiliki  tujuan 
spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum 
formal memiliki  tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum 
materiil, dan lain sebagainya.
Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum yaitu sekaligus keadilan, 
kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan 
masalah dalam kenyataan. 
Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataannya sering sekali antara 
kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara 
keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan 
dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam masalah -masalah  hukum 
tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menurut 
persepsi keadilan yang dianut oleh hukum ini  tentunya) bagi 
si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya 
sering merugikan kemanfaatan bagi warga  luas, sebaliknya kalau 
kemanfaatan warga  luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang 
tertentu terpaksa dikorbankannya. Oleh sebab itu bagaimana keadilan, 
kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Menurut Prof. Muchsin, pada hakikatnya hukum yaitu alat 
atau sarana untuk mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu 
warga  yang berkeadilan dalam menyelenggarakan kesejahteraan 
sosial yang berupa peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan 
memberikan sangsi bagi yang melanggarnya, baik itu untuk mengatur 
warga  ataupun aparat penguasa sebagai penguasa.
Ditambahkan pula oleh Prof. Muchsin, bahwa konsep dasar serta 
tujuan hukum hanyalah berbicara pada dua konteks persoalan saja:
1.  Konteks yang pertama yaitu keadilan yang menyangkut tentang 
kebutuhan warga  akan rasa keadilan di tengah saking 
banyaknya dinamika dan konflik di tengah warga .
2.  Konteks yang kedua yaitu aspek legalitas menyangkut apa yang 
disebut dengan hukum positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan 
oleh sebuah kekuasaan negara yang sah dalam pemberlakuannya 
dapat dipaksakan atas nama hukum.
   380
Dua konteks persoalan ini  di atas sering kali terjadi benturan, 
di mana hukum positif tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan, dan 
sebaliknya rasa keadilan sering kali tidak memiliki kepastian hukum. 
Untuk mencari jalan tengahnya komprominya yaitu bagaimana agar 
semua hukum positif ada dan hadir selalu yaitu cermin dari rasa 
keadilan. 
Di samping itu hakikat hukum bertumpu pula pada idea keadilan 
dan kekuatan moral, idea keadilan tidak pernah lepas dengan kaitannya 
sebab membicarakan hukum, jelas atau samar-samar senantiasa 
yaitu pembicaraan mengenai keadilan pula. 
Serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Muchsin, Theo 
Huijbers dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan, dan 
kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama 
dibandingkan  kepastian dan kemanfaatan. 
Selanjutnya menjelaskan dan mengajak kita pertama-tama 
memandang hukum positif secara terpisah dari prinsip-prinsip keadilan. 
Seandainya hukum lepas dari norma-norma keadilan kemungkinannya 
ada hukum yang ditetapkan yaitu hukum yang tidak adil. Dan 
pertanyaannya yaitu apakah hukum yang tidak adil memiliki kekuatan 
hukum?
Lanjut Theo Huijbers mengemukakan untuk mengetahui mengerti 
apakah hukum sebetulnya apakah makna hukum itu, hukum ialah 
mewujudkan keadilan dalam hidup bersama manusia. Makna ini tercapai 
dengan dimasukkannya prinsip-prinsip keadilan dalam peraturan-
peraturan hidup bersama waktu itu.
Maka sebetulnya yang disebut dengan hukum positif yang 
yaitu suatu realisasi dari prinsip keadilan.
Keinsyafan keadilan dalam hubungan dengan hukum tidak hanya 
dimiliki oleh rakyat, yang berkuasa dalam sebuah negara semestinya 
sadar akan perlunya keadilan sebab kesadaran ini para penguasa politik 
sekuat tenaga berusaha untuk mengesahkan tindakan-tindakannya 
seakan-akan tindakan itu sesuai dengan prinsip keadilan.
Selanjutnya Theo Huijbers mengemukakan bila hukum hanya di-
pandang sebagai hukum kalau tidak menentang keadilan, konsekuensinya 
ialah bahwa peraturan hukum yang tidak memuat konsep keadilan maka 
bukanlah hukum yang sebenarnya.
Memang undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi 
tujuan kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan sebab sifatnya 
akan menjadi tidak fleksibel, kaku, dan statis. Penulisan yaitu 
pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak 
(pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan 
dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness warga  
ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada 
konsekuensi ketertinggalan substansi undang-undang ini  atas 
bahan pembentuknya (nilai-nilai warga ). 
Suatu undang-undang memang memiliki mekanisme pembaruan 
(legal reform) sebagai usaha  meminimalisir sifat ketidakdinamisannya, 
namun setiap orang juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undang-
undang baik melalui proses legislasi maupun proses kontekstualisasi 
oleh hakim bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Proses 
legislasi tidak dapat dipungkiri juga yaitu manifestasi proses 
pergulatan politik, di mana untuk menghasilkan suatu undang-undang 
yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat 
sebab memerlukan  usaha  pencapaian kesepakatan atas kelompok-
kelompok dengan visi dan misi yang berbeda-beda.
Olehnya itu saat ini asas prioritas yang pertama-tama kita harus 
memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir yaitu 
kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik 
yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara, maupun aparat hukum 
lainnya, seyogianya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan 
secara bersama-sama, namun  manakala tidak mungkin, maka haruslah 
diprioritaskan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Dengan penerapan asas prioritas ini, sistem hukum kita dapat 
tetap tegak terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan.
Untuk mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, 
ketenteraman, dan ketertiban dalam warga , terutama warga  
yang kompleks dan majemuk seperti di negara kita , maka semestinya 
kita menganut asas prioritas yang kasuistis yang saat  tujuan hukum 
diprioritaskan sesuai masalah  yang dihadapi dalam warga , sehingga 
pada masalah  tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari ketiga asas 
ini  sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian 
yaitu tujuan akhir dari hukum itu sendiri.