Jumat, 26 Januari 2024

hak asasi manusia 6





sebut sebagai “Konvensi” 
mengenai penerapan atau penafsiran Konvensi. Para anggota 
Komisi akan dipilih dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan 
untuk tujuan itu oleh para Negara Peserta Protokol ini (pasal 
226 ---
3 ayat 1). Para anggota akan dipilih untuk masa jabatan enam 
tahun dan akan dipilih kembali jika  dicalonkan lagi (pasal 5).
6. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan 
dan Jabatan
Konvensi ini disetujui pada tanggal 25 Juni 1958 oleh Konferensi 
Umum Organisasi Buruh Internasional pada persidangannya 
yang ke-42. Pasal 1 (ayat 1) Konvensi ini menyebutkan bahwa: 
Untuk tujuan Konvensi ini istilah “diskriminasi” mencakup:
a. Setiap pembedaan, pengesampingan atau pengutamaan yang 
dilakukan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, 
pendapat politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, yang 
memiliki  akibat meniadakan atau mengurangi persamaan 
kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
b. Pembedaan, pengesampingan atau pengutamaan lain 
semacam itu yang memiliki  akibat meniadakan atau 
mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam 
pekerjaan atau jabatan, seperti yang mungkin ditetapkan oleh 
Anggota yang bersangkutan sesudah berkonsultasi dengan 
perwakilan organisasi-organisasi majikan dan pekerja, 
jika  organisasi-organisasi semacam itu ada, dan dengan 
badan-badan lain yang tepat.
Sementara itu dalam pasal 1 (ayat 3) menyebutkan bahwa 
istilah ”pekerjaan” dan “jabatan” mencakup akses ke pelatihan 
kejuruan, akses ke pekerjaan dan jabatan-jabatan tertentu, dan 
syarat-syarat perburuhan dan kondisi-kondisi pekerjaan.
Maka untuk mencegah praktik diskriminasi dalam istilah ini, 
usaha yang dilakukan termuat dalam pasal 3 Konvensi ini yaitu:
Setiap anggota yang baginya Konvensi ini berlaku berusaha 
dengan metode-metode yang tepat dengan kondisi-kondisi? dan 
praktik nasional untuk: 
a. Mencari kerja sama organisasi-organisasi majikan dan pekerja 
dan badan-badan lain yang tepat dalam meningkatkan 
penerimaan dan pentaatan pada kebijakan ini; 
b. Membuat perundang-undangan semacam itu dan 
227---
meningkatkan program-program pendidikan seperti yang 
mungkin diperhitungkan untuk menjamin penerimaan dan 
pentaatan kebijakan itu; 
c. Membuat setiap pengaturan statuta dan mengubah setiap 
perintah atau praktek administratif yang bertentangan 
dengan kebijakan itu; 
d. Mengejar kebijakan mengenai pekerjaan di bawah pengawasan 
langsung suatu penguasa nasional; 
e. Menjamin pentaatan pada kebijakan itu dalam - bimbingan 
kejuruan, pelatihan kejuruan dan pelayanan-pelayanan 
penempatan di bawah pengarahan suatu penguasa nasional; 
f. Menunjuk dalam laporan-laporan tahunannya mengenai 
penerapan Konvensi, tindakan yang diambil sesuai dengan 
kebijakan dan akibat-akibat yang dijamin dengan tindakan 
ini .
7. Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk 
Ketidakrukunan dan Diskriminasi berdasar Agama 
atau Kepercayaan
Deklarasi ini diumumkan dengan Resolusi Majelis Umum 
36/55, 25 November 1981.Istilah “ketidakrukunan dan diskriminasi 
berdasar agama atau kepercayaan” dalam pasal 2 (ayat 
2) berarti setiap pembedaan, pengesampingan, larangan atau 
pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan 
dan yang tujuannya atau akibatnya menia’
Beberapa hak diakui dalam tujuan Deklarasi ini yaitu  
seperti yang tercantum dalam pasal 1 antara lain:
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani 
dan beragama. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk 
menganut suatu agama atau kepercayaan apa pun pilihannya, 
dan kebebasan, baik secara individu ataupun dalam 
warga  dengan orang-orang lain dan di depan umum 
atau sendirian, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan 
dalam beribadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan yang 
228 ---
akan mengurangi kebebasannya untuk menganut suatu 
agama atau kepercayaan pilihannya.
(3) Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan 
seseorang hanya boleh tunduk pada pembatasan-pembatasan 
yang ditetapkan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang 
dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, 
ketertiban umum, kesehatan warga  atau kesusilaan 
umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar orang 
lain.
Sesuai dengan istilah dari Pasal 1 Deklarasi ini, hak atas 
kebebasan berpendapat, hati nurani, beragama, atau kepercayaan  
diatur dalam pasal 6 yang mencakup:
a. Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu 
agama atau kepercayaan, dah mendirikan serta mengelola 
tempat-tempat untuk tujuan ini; 
b. Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau 
kemanusiaan yang tepat; 
c. Membuat, memperoleh dan mempergunakan sampai sejauh 
memadai berbagai benda dan material yang diperlukan 
berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama 
atau kepercayaan; 
d. Menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan berbagai 
penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini; 
e. Mengajarkan suatu agama atau kepercayaan di tempat-
tempat yang cocok untuk tujuan-tujuan ini; 
f. Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan 
keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari 
perseorangan atau lembaga; 
g. Melatih, memilih, menunjuk atau mencalonkan dengan 
suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan 
persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau 
kepercayaan apa pun; 
h. Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari 
libur dan upacara-upacara menurut ajaran-ajaran agama 
atau kepercayaan seseorang; 
i. Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan 
seseorang dan warga  dalam persoalan-persoalan agama 
atau kepercayaan pada tingkat nasional dan internasional.
8. Deklarasi tentang Ras dan Prasangka Sosial
Deklarasi ini disetujui dan diumumkan oleh Konvensi Umum 
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada persidangannya 
yangke-20, pada tanggal 27 November 1978. Dalam Pasal 1 
Deklaras ini mengakui bahwa:
a. Semua insan manusia termasuk dalam rumpun manusia 
berasal dari keturunan bersama. Mereka dilahirkan sama 
dalam martabat dan hak-hak dan semua membentuk suatu 
bagian integral kemanusiaan. 
b. Semua individu dan kelompok memiliki  hak untuk berbeda, 
untuk menganggap diri mereka sebagai berbeda dan untuk 
dianggap sebagai berbeda. Namun demikian, keragaman gaya 
hidup dan hak untuk berbeda, dalam keadaan apa pun, tidak 
boleh bertindak sebagai dalih untuk prasangka rasial mereka 
tidak boleh membenarkan baik dalam hukum ataupun 
dalam kenyataan praktek diskriminasi apa pun, juga tidak 
boleh menyediakan alasan untuk kebijakan apartheid, yang 
merupakan bentuk ekstrem rasisme.
c. Jati diri asal sama sekali tidak mempengaruhi kenyataan 
bahwa insan manusia dapat dan boleh hidup secara berbeda-
beda, juga tidak menghalangi adanya berbagai perbedaan 
berdasar pada keragaman kebudayaan, lingkungan dan 
sejarah, juga tidak menghalangi hak untuk mempertahankan 
jati diri kebudayaan. 
d. Semua bangsa di dunia memiliki kecakapan yang sama untuk 
mencapai tingkat tertinggi dalam mengembangkan tingkat 
intelektual, teknik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik. 
e. Berbagai perbedaan di antara prestasi berbagai bangsa secara 
keseluruhan diakibatkan oleh faktor-faktor geografis, sejarah, 
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai perbedaan 
230 ---
ini  sama sekali tidak boleh dipergunakan sebagai dalih 
untuk klasifikasi susunan tingkat negara-negara atau bangsa-
bangsa apa pun.
9. Konvensi tentang Perbudakan 
Konvensi ini ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 
September 1926. Pasal 1 Konvensi ini menjelaskan mengenai 
Perbudakan, yaitu:
a. Perbudakan yaitu  suatu status atau keadaan seseorang yang 
kepadanya dilaksanakan setiap dan kekuasaan-kekuasaan 
atau semua kekuasaan yang melekat pada hak atas pemilikan. 
b. Perdagangan budak mencakup semua perbuatan yang 
terlibat dalam penangkapan, peroleh atau peraturan 
terhadap seseorang dengan tujuan menurunkan dia pada 
perbudakan; semua perbuatan yang terlibat dalam perolehan 
seorang budak dengan tuiuan menjual atau mempertukarkan 
dia; semua perbuatan pemberian dengan penjualan atau 
pertukaran terhadap seorang budak yang diperoleh dengan 
tujuan dijual atau dipertukarkan, dan, pada umumnya, setiap 
perbuatan memperdagangkan atau mengangkut para budak.
Maka usaha  untuk menangani kasus perbudakan, para negara 
Peserta sepakat di dalam pasal 4 dan 5 yang menyebutkan bahwa:
a. Pasal 4:
Para Negara Peserta Tingkat Tinggi harus saling 
memberikan setiap bantuan kepada yang lainnya dengan 
tujuan menjamin penghapusan perbudakan dan perdagangan 
budak.
b. Pasal 5:
Para Negara Peserta T’ingkat Tinggi harus mengakui 
bahwa mencapai jalan lain untuk melaksanakan wajib kerja 
atau kerja paksa memiliki  akibat-akibat yang gawat dan 
berusaha, masing-masing berkenaan dengan wilayah yang 
ditempatkan di bawah kedaulatan yurisdiksi, perlindungan, 
kekuasaan atau perwaliannya, mengambil semua langkah 
yang diperlukan untuk mencegah wajib kerja atau kerja 
paksa, dari mengembangkan menjadi kondisi-kondisi yang 
analog déngan perbudakan. 
Disepakati bahwa: 
(1) Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan transisi yang 
ditetapkan dalam ayat (2) di bawah, maka wajib kerja 
atau kerja paksa hanya dapat diminta untuk tujuan-
tujuan negara. 
(2) Di dalam wiiayah-wilayah di mana wajib kerja atau kerja 
paksa selain untuk tujuan-tujuan negara masih bertahan, 
maka para Negara Peserta Tingkat Tinggi harus berusaha 
secara progresif dan secepat mungkin mengakhiri praktek 
semacam itu. Sepanjang wajib kerja atau kerja paksa 
ini  ada, kerja ini tanpa kecuali harus bersifat 
pengecualian, harus selalu menerima upah yang memadai 
dan tidak boleh melibatkan pemindahan para buruh itu 
dari tempat tinggal mereka yang biasanya. 
(3) Dalam semua kasus, maka tanggung jawab setiap jalan 
lain untuk meraksanakan wajib kerja atau kerja paksa 
harus dibebankan pada para penguasa pusat wilayah 
yang bersangkutan yang berwenang.
10. Konvensi Pelengkap tentang Penghapusan Perbudakan, 
Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik Serupa 
dengan Perbudakan
Konvensi ini disetujui dengan resolusi Konferensi para 
Duta Besar yang Berkuasa Penuh, yang diminta bersidang oleh 
Dewan Ekonomi dan Sosial, 608 (XXI) tanggal 30 April 1956 dan 
dilaksanakan di Jenewa pada 7 September 1956. Dalam Seksi I 
Pasal 1 Konvensi ini dijelaskan tentang lembaga-lembaga dan 
praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan antara lain:
a. Perbudakan utang, yang untuk mengatakan, status atau 
keadaan yang timbul dari suatu janji oleh seorang yang 
berutang mengenai pelayanan-pelayanan pribadinya 
atau pelayanan-pelayanan seseorang yang di bawah 
penguasaannya sebagai jaminan untuk suatu utang, jika nilai 
setiap pelayanan ini  sebagaimana diukur secara layak 
tidak berlaku terhadap penghapusan utang itu atau lumayan 
dan sifat setiap pelayanan ini  tidak dibatasi secara 
berturut-turut dan tidak didefinisikan. 
b. Perhambaan, yang untuk mengatakan, kondisi atau status 
seorang penyewa yang menurut hukum, kebiasaan atau 
persetujuan terikat untuk bertempat tinggal dan bekerja 
pada tanah milik orang lain dan untuk memberikan beberapa 
pelayanan yang sudah tertentu kepada orang lain ini , 
apakah dengan upah atau tidak, dan tidak bebas mengubah 
statusnya; 
c. Setiap lembaga atau praktik yang dengannya:
(i) Seorang wanita, tanpa hak untuk menolak, dijanjikan 
dinikahi atau dinikahi atas pembayaran dengan upah 
dalam uang atau dengan barang untuk orang tuanya, 
walinya, keluarganya atau orang lain mana pun atau 
kelompok; atau 
(ii) Suami seorang perempuan, keluarganya atau marganya, 
berhak mengalihkan dia kepada orang Iain untuk suatu 
harga yang diterima atau sebaliknya; atau 
(iii) Seorang wanita pada saat kematian suaminya besar 
kemungkiman diwariskan oleh orang lainnya; 
d. Setiap lembaga atau praktek di mana seorang anak atau 
seorang anak muda di bawah umur 18 tahun, diberikan oleh 
salah satu atau kedua orang tuanya yang sebenarnya atau 
oleh walinya kepada orang lain, apakah dengan upah atau 
tidak, dengan tujuan mengeksploitasi anak atau anak muda 
ini  atau tenaganya.
Dalam seksi II pasal 3 di jelaskan tentang perdagangan 
budak antara lain:
(1) Perbuatan mengangkut atau berusaha mengangkut 
budak dari suatu negara ke negara lainnya dengan setiap 
sarana angkutan, atau sarana yang menjadi tambahannya 
akan merupakan pelanggaran pidana menurut undang-
undang para Negara Peserta Konvensi ini dan sebab  itu 
orang-orang yang dihukum dapat dikenakan hukuman-
hukuman yang sangat berat.
(2) a.  Para Negara Peserta harus mengambil semua 
langkah yang efektif untuk mencegah kapal-kapal 
dan pesawat terbang yang dikuasakan untuk 
mengibarkan bendera mereka dari mengangkut 
budak dan untuk menghukum orang-orang yang 
bersalah sebab  perbuatan-perbuatan ini  atau 
sebab  memakai  bendera nasional untuk tujuan 
ini .
b. Para Negara Peserta Konvensi ini harus saling 
mempertukarkan informasi agar dapat menjamin 
koordinasi praktis langkah-langkah yang diambil 
dalam memerangi perdagangan budak dan harus 
saling menginformasikan setiap kasus mengenai 
perdagangan budak dan setiap usaha untuk 
melakukan pelanggaran pidana ini, yang mana dapat 
menjadi pengetahuan mereka.
Sementara itu, definisi-definisi dari perbudakan, 
seseorang yang dalam status perhambaan serta pedagangan 
budak dijelaskan dalam Seksi IV Pasal 7 yaitu:
a. “Perbudakan”, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 
Perbudakan tahun 1926, berarti Status atau kondisi 
seseorang yang atas dirinya setiap atau semua kekuasaan 
yang melekat pada hak atas pemilikan dilaksanakan, dan 
“budak” berarti seseorang yang dalam kondisi atau status 
ini ; 
b. “Seseorang yang dalam status perhambaan” berarti 
seseorang yang dalam kondisi atau, status yang 
diakibatkan oleh setiap dari lembaga-lembaga atau 
praktek-praktek yang disebutkan dalam Pasal 1 Konvensi 
ini; 
c. ”Perdagangan budak” berarti dan mencakup semua 
perbuatan yang terlibat dalam penangkapan, perolehan 
atau peraturan atas seorang dengan tujuan menurunkan 
dia pada perbudakan, semua perbuatan yang terlibat 
dalam perolehan seorang budak dengan tujuan menjual 
atau mempertukarkan dia, semua perbuatan pemberian 
dengan merjual atau mempertukarkan seseorang yang 
diperoleh dengan tujuan dijual atau dipertukarkan; 
dan, pada umumnya, setiap perbuatan perdagangan, 
atau pengangkutan para budak dengan sarana-sarana 
pengangkutan apa pun.
Untuk mendukung penghapusan berbagai bentuk 
perbudakan ini, maka dalam Seksi V Pasal 8 dijelaskan 
bahwa:
(1) Para Negara Peserta Konvensi ini saling berusaha saling 
bekerja sama dengan yang lain dan dengan Perserikatan 
Bangsa-Bangsa untuk memberlakukan ketentuan-
ketentuan yang terlebih dahulu. 
(2) Para Negara Peserta berusaha menyampaikan kepada 
Sekretaris Jenderal Perserikalan Bangsa-Bangsa, salinan-
salinan dari undang-undang, peraturan-peraturan dan 
tindakan-tindakan administratif apa pun, yang dibuat 
atau diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan dalam Konvensi ini. 
(3) Sekretaris Jenderal akan menyampaikan informasi yang 
diterima menurut ketentuan ayat (2) pasal ini kepada para 
Negara Peserta yang lain dan kepada Dewan Ekonomi 
dan Sosial sebagai bagian dari dokumentasi untuk 
pembahasan apa pun yang di mana Dewan mungkin 
melakukan dengan tujuan membuat rekomendasi-
rekomendasi leblh jauh untuk menghapus perbudakan, 
Perdagangan budak atau lembaga-lembaga dan praktek-
praktek yang menjadi subyek Konvensi ini.
11. Konvensi ILO Nomor 29 tentang Kerja Paksa
Konvensi ini disetujui pada tanggal 28 Juni 1930 oleh 
Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional pada sidangnya 
yang ke-14. Istilah dari kerja paksa dijelaskan dalam pasal 2 ayat 
1 yaitu: ”kerja paksa atau wajib kerja akan berarti semua kerja 
atau pelayanan yang diminta dari siapa pun di bawah ancaman 
hukum apa pun dan di mana orang ini  tidak menawarkan 
diri secara sukarela. Namun istilah “kerja paksa atau wajib kerja” 
tidak akan mencakup:
a. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta berdasar 
undang-undang pelayanan wajib militer untuk pekerjaan 
yang semata-mata bersifat militer; 
b. Setiap pekeriaan atau pelayanan yang membentuk bagian 
kewajiban-kewajiban sebaga warga negara yang lazim dari 
suatu negara berpemerintahan-sendiri sepenuhnya; 
c. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta dari siapa 
pun sebagai konsekuensi suatu hukuman dalam suatu 
pengadilan hukum, dengan syarat bahwa pekerjaan atau 
pelayanan ini  dilaksanakan di bawah pengawasan dan 
pengendalian seorang penguasa pemerintah dan bahwa orang 
ini  tidak disewa atau ditempatkan pada peraturan 
perseorangan, perusahaan atau himpunan swasta; 
d. Setiap pekerjaan atau pelayanan yang diminta dalam kasus-
kasus keadaan darurat, yang unI tuk menyatakan, dalam 
kejadian perang atau bencana alam atau bencana alam yang 
mengancam seeperti kebakaran, banjir, kelaparan, gempa 
bumi, penyakit epidemik yang gawat, atau penyakit episotik, 
serangan oleh binatang, serangga, atau hama sayuran dan 
secara umum keadaan apa pun yang akan membahayakan 
keberadaan atau kesejahteraan keseluruhan atau bagian 
penduduk; 
e. Semacam pelayanan warga  bersama dalam skala kecil 
yang dilakukan oleh anggota-anggota warga  demi 
kepentingan langsung warga  ini , sebab nya dapat 
dianggap sebagai kewajiban-kewajiban warga negara yang 
lazim dengan syarat bahwa anggota anggota warga  itu 
atau perwakilan langsung mereka berhak dikonsultasikan 
mengenai kebutuhan untuk pelayanan-pelayanan ini .
Untuk mencapai tujuan dalam Konvensi ini, maka istilah 
”penguasa yang berwenang” harus berarti baik seorang penguasa 
negara metropolitan atau penguasa pusat tertinggi di wilayah 
yang bersangkutan (Pasal 3). Selain itu dalam pasal 4 disebutkan 
bahwa:
(1) Penguasa yang berwenang tidak boleh mengenakan atau 
memperkenankan pembebanan kerja paksa atau wajib kerja 
untuk keuntungan perseorangan, perusahaan atau himpunan 
swasta.
(2) jika  kerja paksa atau wajib kerja untuk keuntungan 
perseorangan, perusahaan atau himpunan swasta ini  
ada pada tanggal di mana ratifikasi suatu Negara Anggota 
pada Konvensi ini didaftar oleh Direktur Jendelal Kantor 
Buruh Internasional, maka Negara Anggota ini  harus 
benar-benar menghapus kerja paksa atau wajib kerja ini  
dari tanggai di mana Konvensi ini berlaku bagi Anggota 
ini . 
12. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja 
Paksa
Konvensi ini disetujui pada tanggal 25 Juni 1957 oleh 
Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional pada sidangnya 
yang ke-14. Pasal 1 menyebutkan bentukbentuk kerja paksa atau 
wajib kerja yang dimaksud yaitu :
a. Sebagai sarana paksaan politik atau pendidikan atau sebagai 
hukuman sebab  memiliki  atau mengutarakan pendapat 
politik atau pendapat yang secara ideologi berlawanan dengan 
sistem politik, sosial atau ekonomi yang sudah terbentuk; 
b. Sebagai metode untuk memobilisasi dan memakai  tenaga 
kerja untuk tujuan-tujuan pen bangunan ekonomi; 
c. Sebagai sarana disiplin kerja; 
d. Sebagai hukuman sebab  telah ikut serta dalam pemogokan; 
e. Sebagai sarana diskriminasi rasial, sosial, warga negara atau 
agama
Maka Setiap Anggota Organisasi Buruh Internasional yang 
meratifikasi Konvensi ini berusaha mengambil langkah-langkah 
yang efektif untuk menjamin penghapusan segera dan sama 
sekali terhadap kerja paksa atau wajib kerja seperti yang dirinci 
dalam Pasal 1 Konvensi  ini (Pasal 2).
13. Konvensi Untuk Menumpas Perdagangan Orang dan 
Eksploitasi Pelacuran Orang Lain
Konvensi ini disetujui dengan resolusi Majelis Umum 317 (IV), 
tanggal 2 Desember 1949. Dalam pasal 1 Konvensi ini disebutkan 
bahwa Para Negara Peserta Konvensi ini bersepakat untuk 
menghukum siapa pun yang memuaskan nafsu-nafsu orang lain:
(1) Mendapatkan, membujuk atau membawa pergi orang lain 
untuk tujuan-tujuan pelacuran, meski pun dengan persetujuan 
orang ini ; 
(2) Mengeksploitasi pelacuran orang lain, meskipun dengan 
persetujuan orang ini . 
Sementara dalam Pasal 2 Para Negara Peserta Konvensi ini 
lebih jauh bersepakat untuk menghukum siapa pun yang: 
(1) Memelihara atau mengatur atau dengan sengaja membiayai 
atau mengambil bagian dalam pembiayaan suatu rumah 
pelacuran; 
(2) Dengan sengaja membiarkan atau menyewa suatu gedung 
atau tempat Iain atau bagian apa pun dalam pembiayaannya, 
untuk tujuan melacurkan orang lain. 
Maka Setiap Negara Peserta Konvensi ini bersepakat untuk 
mengambil semua langkah yang perlu untuk mencabut atau 
menghapus undang-undang apa pun yang ada, peraturan atau 
penetapan administratif, yang menurutnya orang-orang yang 
terlibat atau diduga terlibat dalam pelacuran yaitu  tunduk 
baik pada pencatatan khusus ataupun pemilikan suatu dokumen 
khusus ataupun pada persyaratan-persyaratan pengecualian apa 
pun untuk pengawasan atau pemberitahuan (Pasal 6).
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 Tahun 
1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap 
Perempuan
Konvensi ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Oktober 
1998. Dalam Rangka pencegahan dan penanggulangan masalah 
kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk 
tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, dibentuk 
Komisi yang bersifat nasional yang diberi nama Komisi Nasional 
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Pasal 1). Komnas ini 
berdasar Pancasila (Pasal 2) dan bersifat independen (Pasal 
3).
Tujuan dari Komisi ini termuat dalam Pasal 4 antara lain:
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan 
terhadap perempuan yang berlangsung di Indonesia; 
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan 
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia; 
c. peningkatan usaha  pencegahan dan penanggulangan segala 
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan 
hak asasi manusia perempuan.
Maka untuk meujudkan tujuan ini , dalam Pasal 5 
Komnas ini melakukan kegiatan:
a. penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan 
terhadap perempuan Indonesia dan usaha -usaha  pencegahan 
dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk 
kekerasan terhadap perempuan;
b. pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrumen 
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengena perlindungan hak 
asasi manusia perempuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta menyampaikan berbagai saran 
dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatf 
dan warga  dalam rangka penyusunan dan penetapan 
peraturan dan kebijakan berkenaan dengan usaha -usaha  
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan 
terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan 
penegakan hak asasi manusia bagi perempuan;
c. pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta, 
tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta 
memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada 
pemerintah;
d. penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas 
terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan 
kepada warga ;
e. pelaksanaan kerja sama regional dan internasional dalam 
rangka meningkatkan usaha  pencegahan dan penanggulangan 
kekerasan terhadap perempuan dalam rangka mewujudkan 
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 
tentang Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning 
The Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai 
Penghapusan Kerja Paksa)
Undang-Undang ini diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 
Mei 1999. Pokok-pokok dari Konvensi ini yaitu : 
a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus 
melarang dan tidak boleh memakai  setiap bentuk kerja 
paksa sebagai alat penekanan politik, alat pengerahan untuk 
tuiuan pembangunan, alat mendisiplinkan pekerja, sebagai 
hukuman atas keterlibatan dalam pemogokan dan sebagai 
tindakan diskriminasi. 
b. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus 
mengambil tindakan yang menjamin penghapusan kerja 
paksa dengan segera dan menyeluruh. 3. 
c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus 
melaporkan pelaksanaannya.
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999 
tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning 
Discrimination in Respect of Employment And Accupation 
(Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Pekerjaan dan 
Jabatan) 
240 ---
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999. Adapun 
pokok-pokok Konvensi ini antara lain:
a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib 
melarang setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan 
dan jabatan termasuk dalam memperoleh pelatihan dan 
keterampilan yang didasarkanatas ras, warna kulit, jenis 
kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal-
usul keturunan. 
b. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini harus 
mengambil langkah-langkah kerja sama dalam peningkatan 
pentaatan pelaksanaannya, peraturan perundang-undangan, 
administrasi, penyesuaian kebijaksanaan, pengawasn, 
pendidikan dan pelatihan. 
c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi harus 
melaporkan pelaksanaannya.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan 
Orang
Ketentuan umum dalam Undang-undang in termuat dalam 
pasal 1 yaitu sebagai berikut:
a. Perdagangan Orang yaitu  tindakan perekrutan, 
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, 
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, 
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, 
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, 
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, 
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang 
kendali atas orang lain ini , baik yang dilakukan di dalam 
negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau 
memicu  orang tereksploitasi. 
b. Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu  setiap tindakan 
atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur 
tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. 
c. Korban yaitu  seseorang yang mengalami penderitaan 
psikis, mental, fisik, seksuai, ekonomi dan/atau sosial, yang 
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 
d. Setiap Orang yaitu  orang perseorangan atau korporasi yang 
melakukan tindak pidana perdagangan orang.
e. Anak yaitu  seseorang yang beium berusia 18 (deiapan belas) 
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 
f. Korporasi yaitu  kumpulan orang dan/atau kekayaan yang 
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan 
badan hukum. 
g. Eksploitasi yaitu  tindakan dengan atau tanpa persetujuan 
korban yang meliputi namun  tidak terbatas pada pelacuran, 
kerla atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa 
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, 
seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum 
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau 
jarirgan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan 
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan 
baik materiil maupun immateriil. 
h. Eksploitasi Seksual yaitu  segala bentuk pemanfaatan organ 
tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk 
mendapatkan keuntungan, termasuk namun  tidak terbatas 
pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. 
i. Perekrutan yaitu  tindakan yang meliputi mengajak, 
mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari 
keluarga atau komunitasnya. 
j. Pengiriman yaitu  tindakan memberangkatkan atau 
melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat Iain. 
k. Kekerasan yaitu  setiap perbuatan secara melawan hukum, 
dengan atau tanpa memakai  sarana terhadap fisik dan 
psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau 
menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. 
l. Ancaman Kekerasan yaitu  setiap perbuatan secara melawan 
hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan 
tubuh, baik dengan atau tanpa memakai  sarana yang 
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki 
seseorang. 
m. Restitusi yaitu  pembayaran ganti kerugian yang dibebankan 
kepada pelaku berdasar putusan pengadilan yang 
242 ---
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau 
immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
n. Rehabilitasi yaitu  pemulihan dari gangguan terhadap 
kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan 
perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun 
dalam warga . 
o. Penjeratan Utang yaitu  perbuatan menempatkan orang 
dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa 
menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang 
yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya 
sebagai bentuk pelunasan utang.
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan 
mencegah sedini mungkin terjadmya tindak pidana perdagangan 
orang (Pasal 56).Pemerintah, Pemerintah Daerah, warga , 
dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana 
perdagangan orang (Pasal 57 ayat 1). Selain itu Pemerintah dan 
Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, 
dan mengealokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan 
dan penanganan masalah perdagangan orang (Pasal 57 ayat 2).
Maka usaha -usaha  lanjutan yang dilakukan oleh pemerintah 
untuk menangani kasus tindak pidana perdagangan orang antara 
lain tercantum dalam pasal 58 (ayat 1-7) sebagai berikut:
1) Untuk me1aksanakan pemberantasan tindak pidana 
perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah 
Wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan 
penanganan tindak pidana perdagangan orang. 
2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah 
membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil 
dari pemerintah, penegak hukum, organisasi warga , 
lembaga swadaya warga , organisasi profesi, dan peneliti/
akademisi.
3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang 
beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak 
hukum, organisasi warga , lembaga swadaya warga , 
organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. 
243---
4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat 
(3) merupakan lembaga koordinatif yang betugas:
a. mengkoordinasikan usaha  pencegahan dan penanganan 
tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja 
sama; 
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan 
korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi 
sosial; 
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan 
hukum; serta 
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi. 
5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat 
setingkat menteri yang ditunjuk berdasar Peraturan 
Presiden. 
6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-
langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah 
dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran 
yang diperlukan. 
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan 
organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja 
gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan 
Presiden.
Selain langkah-langkah di atas, pemerintah juga 
melaksanakan kerja sama internasional seperti yang termuat 
dalam Pasal 59 Undang-Undang ini antara lain:
1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan 
dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, 
Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja 
sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, 
maupun multilateral. 
2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal-balik 
dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya 
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
244 ---
Tidak menutup kemungkinan bahwa warga  juga 
memiliki peran dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan 
orang, seperti yang tercantum dalam pasal 60, antara lain:
1) warga  berperan serta membantu usaha  pencegahan dan 
penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. 
2) Peran serta warga  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau 
melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada 
penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta 
dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
E.  Konvensi tentang Peradilan dan Hukum yang Tidak Manusiawi 
1. Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan Terhadap 
Narapidana 
a. Akomodasi
• jika  akomodasi tidur dalam sel-sel perseorangan, 
maka setiap narapidana di malam hari harus menempati 
satu sel sendirian. Jika sebab  alasan-alasan khusus 
seperti sangat penuh sementara, menjadi perlu bagi 
administrasi lembaga pewarga anpusat untuk 
membuat pengecualian terhadap peraturan ini. yaitu  
tidak diinginkan memiliki  dua narapidana dalam satu 
sel. 
• jika  asrama-asrama dipakai , asrama ini  
harus dihuni Oleh narapidana yang secara hati-hati 
dipilih seperti kecocokannya untuk saling berteman dalam 
kondisi-kondisi ini . Harus ada pengawasan tetap di 
malam hari, sesuai dengan sifat lembaga itu.
b. Kebersihan Pribadi
• Narapidana harus menjaga badan mereka bersih, dan 
untuk tujuan ini mereka harus disediakan air dan 
peralatan-peralatan toilet seperti yang diperlukan untuk 
kesehatan kebersihan.
• Agar para narapidana bisa memelihara penampilan 
yang baik sesuai dengan kehormatan diri mereka, akan 
245---
disediakan berbagai fasilitas untuk pemeliharan rambut 
dan jenggot yang layak, dan narapidana pria sebisa 
mungkin mencukur dengan teratur.
c. Pakaian dan Tempat Tidur
• Setiap narapidana yang tidak diperkenankan memakai 
pakaiannya sendiri harus disediakan pakaian lengkap 
yang layak dengan iklim dan memadai untuk menjaganya 
dalam kesehatan yang baik. Pakaian ini  dengan 
cara apa pun tidak boleh menurunkan martabat atau 
menghinakan. 
• Semua pakaian harus bersih dan dijaga dalam kondisi 
yang cocok. Pakaian dalam harus diganti dan dicuci 
sesering yang diperlukan untuk memelihara kesehatan.
• Dalam kondisi-kondisi pengecualian, setiap waktu seorang 
narapidana dipindahkan di luar lembaga untuk tujuan 
yang diizinkan, dia harus diperkenankan mengenakan 
pakaiannya sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik 
perhatian orang.
• Jika para narapidana diperbolehkan mengenakan pakaian 
mereka sendiri, harus dibuat pengaturan-pengaturan 
mengenai izin masuk mereka pada lembaga untuk 
menjamin bahwa pakaian itu bersih dan layak pakai. 
• Setiap narapidana sesuai dengan standar-standar lokal 
atau nasional, harus disediakan tempat tidur terpisah, 
dan dengan selimut terpisah dan yang cukup bersih saat  
diberikan, dijaga dalam susunan yang baik dan diganti 
sesering mungkin untuk menjamin kebersihannya.
d. Makanan 
• Setiap narapidana harus diberikan menurut pengaturannya 
pada jam-jam biasa dengan makanan bernilai gizi yang 
memadai untuk kesehatan dan kekuatan, berkualitas 
sehat dan disiapkan serta yang disajikan dengan baik. 
• Air minum harus tersedia untuk setiap narapidana setiap 
waktu.
246 ---
e. Pelayanan Kesehatan
Pada setiap lembaga harus tersedia pelayanan-pelayanan, 
paling sedikit satu orang pejabat kesehatan yang memenuhi 
syarat di mana harus memiliki beberapa pengetahuan 
psikiatri. Pelayanan-pelayanan kesehatan harus diorganisir 
dalam hubungan yang dekat dengan administrasi kesehatan 
umum warga  atau negara.
f. Pelayanan lain yang disediakan yaitu  ketersediaan 
perpustakaan.
2. Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam 
yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang 
Menghinakan
Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan 
aksesi oleh Resolusi Majelis Umum 39/46, tanggal 10 Desember 
1984. Dalam Pasal 1, untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, istilah 
”penganiayaan” berarti perbuatan apa pun yang dengannya 
sakit berat atau penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan 
sengaja dibebankan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti 
memperoleh darinya atau orang ketigatelah melakukannya 
atau disangka telah melakukannyaatau mengintimidasi atau 
memaksa dia atau orang ketiga, atau sebab  alasan apa pun 
yang didasarkan pada diskriminasi macam apa pun, jika  sakit 
atau penderitaan ini  dibebankan oleh atau atas anjuran 
atau dengan persetujuan atau persetujuan diam-diam seorang 
petugas pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu 
kedudukan resmi. Istilah ini  tidak mencakup sakit atau 
penderitaan, yang timbul hanya dari hal-hal yang melekat atau 
insidental pada sanksi-sanksi yang sah.
usaha  pencegahan penganiayaan yang dilakukan pemerintah 
dalam Undang-Undang ini tercantum dalam Pasal 2, antara lain:
1) Setiap Negara Peserta akan mengambil tindakan-tindakan 
legislatif, administratif, pengadilan atau lainnya untuk 
mencegah perbuatan-perbuatan penganiayaan setiap wilayah 
yang berada di bawah yurisdiksinya. 
2) Tidak ada keadaan-keadaan pengecualian apa pun, apakah 
suatu keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan 
247 ---
politik internal atau keadaan darurat umum lain apa pun, 
dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran tindakan 
penganiayaan. 
3) Sebuah perintah dari pejabat yang lebih tinggi atau wewenang 
umum tidak dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran 
tindakan penganiayaan. 
3. Aturan-Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak 
Hukum
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 34/169, 
17 Desember 1979. Dalam Pasal 1 (ayat 1) disebutkan bahwa 
Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi 
kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan 
melayani warga  dan dengan melindungi semua orang 
dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan 
tingkat pertanggungjawaban yang tinggi yang dipersyaratkan 
oleh profesi mereka. Istilah petugas Penegak hukum mencakup 
semua pegawai hukum, apakah yang ditunjuk atau dipilih, yang 
melaksanakan kekuasaan-kekuasaan polisi, terutama kekuasaan 
menangkap atau menahan.
Dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas 
penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat 
manusia, dan menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi 
manusia semua orang (Pasal 2). Para petugas penegak hukum 
dapat memakai  kekerasan hanya saat  benar-benar 
diperlukan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan untuk 
pelaksanaan kewajiban mereka.
4. Prinsip-Prinsip Etika Kedokteran yang Relevan dengan 
Peran Personil Kesehatan, Terutama Para Dokter, 
Dalam Perlindungan Narapidana dan Tahanan Terhadap 
Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak 
Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan.
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 37/194, 
18 Desember 1982. Prinsip-Prinsip dalam etika kedokteran 
ini  anata lain:
248 ---
• Prinsip 1: Personil kesehatan terutama dokter yang ditugaskan 
untuk merewat kesehatan para narapidana dan para tahanan 
memiliki  suatu kewajiban untuk memberikan kepada 
mereka perlindungan kesehatan fisik dan mental mereka, dan 
perawatan penyakit dengan kualitas dan standar yang sama 
seperti yang diberikan kepada mereka yang tidak dipenjara 
atau ditahan. 
• Prinsip 2: yaitu  merupakan pelanggaran besarterhadap etika 
kedokteran, dan jugamenupakan pelanggaran instrumen-
instrumen internasonal yang berlaku, bagi personil kesehatan 
terutama para dokter, untuk melibatkan diri secara aktif 
atau pasif dalam perbuatan-perbuatan yang merupakan 
keikutsertaan, keterlibatan, penghasutan atau mencoba 
melakukan penganiayaan atau perlakuan yang kejam yang 
lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
• Prinsip 3: yaitu  merupakan pelanggaran terhadap etika 
kedokteran bagi personel kesehatan, terutama para doktor 
untuk terlibat dalam hubungan profesi apa pun dengan para 
narapidana atau para tahanan yang tujuannya tidak semata-
mata untuk menilai, melindungi atau memperbaiki kesehatan 
fisik dan mental mereka.
• Prinsip 4: yaitu  merupakan Pelanggaran terhadap etika 
kedokteran bagi personel kesehatan, terutama para dokter 
untuk:
 Menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka 
agar dapat membantu interogasi pada narapidana dan 
para tahanan dalam cara yang mungkin tidak cocok 
dengan kesehatan fisik atau mental atau keadaan para 
narapidana atau para tahanan ini  dan yang tidak 
sesuai dengan instrumen-instrumen internasional yang 
relevan.
 Memberi keterangan, atau ikut serta dalam pemberian 
keterangan, mengenai kesehatan para narapidana atau 
para tahanan, untuk setiap bentuk perlakuan atau 
hukuman yang mungkin tidak cocok dengan kesehatan 
fisik atau mental mereka dan yang tidak sesuai dengan 
249---
instrumen-instrumen internasional yang relevan, atau 
ikut serta dalam setiap cara dalam pemberian perlakuan 
atau setiap hukuman semacam itu yang tidak sesuai 
dengan instrumen-instrumen internasional yang relevan.
• Prinsip 5: yaitu  merupakan pelanggaran terhadap etika 
kedokteran bagi personil kesehatan, terutama para dokter, 
ikut serta dalam setiap prosedur untuk mengendalikan 
seorang narapidana atau tahanan kecuali prosedur semacam 
itu ditetapkan sesuai dengan kriteria kesehatan semata-mata 
seperti yang diperlukan untuk melindungi perlindungan 
kesehatan fisik dan mental atau keselamatan narapidana 
atau tahanan itu sendiri, teman-teman narapidana atau 
tahanan atau walinya dan tidak mendatang. kan bahaya pada 
kesehatan fisik atau mentalnya.
5. Prinsip-Prinsip Dasar Tentang Kemandirian Pengadilan
1) Kemandirian pengadilan harus dijamin oleh Negara dan 
diabadikan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Negara. 
yaitu  merupakan kewajiban semua lembaga pemerintah 
atau lembaga lembaga yang lain untuk menghormati dan 
mentaati kemandirian pengadilan.
2) Pengadilan harus memutus perkara-perkara yang diajukan 
kepadanya secara adil, atas dasar fakta-fakta dan sesuai 
dengan undang-undang, tanpa pembatasan-pembatasan apa 
pun, pengaruh-pengaruh yang tidak tepat, bujukan-bujukan 
langsung atau atau tidak langsung, dari arah mana pun atau 
sebab  alasan apa pun.
3) Pengadilan harus memiliki yurisdiksi atas semua pokok 
masalah yang bersifat hukum dan harus memiliki  
kekuasaan eksklusif untuk memutuskan apakah suatu pokok 
masalah yang diajukan untuk memperoleh keputusannya 
yaitu  berada di dalam kewenangannya seperti yang 
ditentukan oleh hukum.
4) Tidak boIeh ada campur tangan apa pun yang tidak tepat 
atau tidak diperlakukan terhadap proses 1 pengadilan, 
juga tidak boleh ada keputusan-keputusan yudisial oleh 
250 ---
pengadilanpengadilan itu tunduk pada perbaikan. Prinsip 
ini tanpa mempengaruhi pemeriksaan ulang yudisial atau 
pada pelonggaran atau keringanan oleh para penguasa yang 
berwenang terhadap hukuman-hukuman 1 yang dikenakan 
oleh pengadilan, sesuai dengan undang-undang.
5) Setiap orang berhak diadili oleh pengadilan-pengadilan 
ataupun tribunal-tribunal biasa, yang 1 memakai  
prosedur-prosedur hukum yang sudah mapan. Tribunal-
tribunal biasa yang tidak memakai  prosedur-prosedur 
proses hukum yang dibentuk sebagaimana mestinya tidak 
boleh diciptakan untuk menggantikan yurisdiksi milik 
pengadilan-pengadilan biasa ataupun tirbunal-tirbunal 
yudisial.
6) Prinsip kemandirian pengadilan berhak dan mewajibkan 
pengadilan untuk menjamin bahwa acara kerja pengadilan 
dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak para pihak 
dihormati.
7) yaitu  kewajiban setiap Negara Anggota untuk menyediakan 
sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan 
pengadilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat.
6. Kumpulan Prinsip-Prinsip untuk Perlindungan Semua 
Orang yang Berada di Bawah Penahanan Apa Pun atau 
Pemenjaraan
• Prinsip 1:
Semua orang yang berada di bawah setiap bentuk penahanan 
atau pemenjaraan harus diperlakukan dalam cara yang 
manusiawi dan dengan menghormati martabat pribadi 
manusia yang melekat. 
• Prinsip 2:
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan hanya dapat 
dilaksanakan secara sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan undang-undang dan oleh para pejabat yang 
berwenang atau orang-orang yang dikuasakan untuk tujuan 
ini .
251---
• Prinsip 3:
Tidak boleh ada pembatasan atau pelanggaran rerhadap setiap 
hak-hak asasi manusia dari orang-orang yang berada di bawah 
bentuk penahanan atau pemenjaraan yang diakui, atau yang 
ada di Negara manapun, sesuai dengan hukum, konvensi, 
peraturan atau kebiasaan dengan dalih bahwa Kumpulan 
Prinsip-pinsip ini tidak mengakui hak-hak ini , atau 
bahwa Kumpulan Prinsip-prinsip ini  mengakui hak-hak 
itu pada jangkauan yang lebih sempit.
• Prinsip 4:
Setiap bentuk penahanan atau pemeniaraan dan semua 
tindakan yang mempengaruhi hak-hak asasi manusia 
seseorang yang berada di bawah penahanan atau pemenjaraan 
harus diperintah oleh atau tunduk pada pengawasan efektif 
dari seorang penguasa pengadilan atau penguasa yang lain;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 
tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other 
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau 
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau 
Merendahkan Martabat Manusia)
Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi:
a. Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun 
mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, 
tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia 
yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan 
persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) 
dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun 
pelarangan penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak 
mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, 
atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.
b. Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, 
administrasi, hukum, dan langkah efektif lainnya 
guna mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah 
252 ---
yurisdiksinya. Tidak ada pengecualian apa pun, baik 
dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, 
maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan 
sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan 
ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority) 
juga tidak dapat dipakai  sebagai pembenaran atas suatu 
penyiksaan.
c. Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan 
sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan. 
Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan 
percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak 
penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur vahwa 
pelaku tindak pidana ini  dapat dijadikan hukuman yang 
setimpal dengan sifat tindak pidananya.
d. Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak 
penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. 
Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir, 
mengembalikan, atau mengekstradisikan seorang ke negara 
lain jika  ada alasan yang cukup kuat untuk menduga 
bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara 
Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadnp 
seseorang yang melakukan tindak penyiksaan jika  tidak 
mengekstradisikannya.
e. Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam 
proses peradilan atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa 
pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap 
penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program 
pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, 
petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang Iain yang 
terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan 
(interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadi/individu 
yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.
f. Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya 
bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti 
rugi dan memiliki  hak untuk mendapatkan kompensasi 
yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan 
rehabilitasi.




Glosarium 
apartheid :  Kejahatan berdasar warna kulit
ad hoc :  Satuan tugas
accountability :  Pertanggungjawaban
Bill of rights :  Piagam hak asasi manusia di Inggris tahun 
1689
civil liberty :  Kebebasan warga 
check and balances : Konsep saling mengawasi dalam sistem 
pemerintahan 
clarity :  Kejelasan
CSR :  Corporate social responsibility 
droits de I’homme :  Hak asasi manusia  (dlm.  Bhs. Perancis)
Das Capital :  Judul buku yang ditulis Karl Marx
Deklarasi Virginia 1776 :  Salah satu isinya, semua orang harus mampu 
dengan bebas memperoleh kebahagiaan.
Deklarasi : Hak untuk menikmati  hidup dalam 
Massachusetts 1780   ketenteraman dan keamanan.
Deklarasi Perancis 1789 :  Memuat tentang jaminan hak-hak manusia 
dan warga negara. 
Deklarasi Perancis 1789 :  Menyatakan bahwa sumber kedaulatan pada 
dan Virginia   pokoknya ada pada bangsa. 
Deklarasi Pennsylvania 1776:  Pemerintah seharusnya didirikan untuk 
keuntungan bersama, penjagaan dan 
keamanan rakyat, bangsa atau warga .
Deklarasi Maryland 1776 :  Ajaran untuk menentang kekuasaan 
sewenang-wenang dan penindasan. 
Declaration of Independent :   Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat  tahun 
1776.
Direktif :  Fungsi hukum sebagai pengarah dalam 
membangun ketertiban.
Du Contract Social : Judul buku Jean Jacques Rousseau yang 
menggemakan kekuasaan rakyat. 
democratische rechtsstaat :   Negara hukum yang demokratis
erga omnes :  Kewajiban yang dilaksanakan setiap negara 
dalam menghadapi semua negara lain.
extraordinary crimes :  Kejahatan luar biasa
equality :  Persamaan
electoral threshold :   Syarat minimal utuk ikut Pemilu.
Grundlegung :  Buku karangan Immanuel Kant.
Genosida :  Pemusnahan suatu bangsa secara sistematis.
HAM  :  Hak Asasi Manusia
human rights :  hak asasi manusia  (dlm. Bhs.  Inggris).
HESB :  Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 
International Covenant on :  Konvensi internasional tentang hak sipil dan 
Civil and Political Rights   politik tahun 1966.
International Covenant on : Konvensi internasional tentang ekonomi, 
sosial Economic, Social   dan budaya.
and Cultural Rights
international crimes :   Kejahatan internasional
impunitas :  Tidak terjamah oleh hukum
ICTR :  International Court Tribunal for Rwanda 
ICTY :  International Court Tribunal for Yugoslavia
ICC :  International Criminal Court
ICC :  Statuta Roma 
Instruksi Presiden:    tentang Menghentikan Penggunaan Istilah  
No. 26 Tahun 1998  Pribumi dan Non Pribumi dalam semua 
  Perumusan dan Penyelenggaraan Negara.
Keputusan Presiden :  tentang Pengesahan Hak-hak Anak.
No. 36 Tahun 1990
Keputusan Presiden :   tentang Komisi Nasional HAM.
No. 50 Tahun 1993
Keppres No. 129 Tahun 1998 :  tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan 
Terhadap Perempuan.
Keppres No. 181 : tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan 
Tahun 1998  TerhadapPerempuan
Konvensi ILO :  diratifikasi berdasar Keppres No. 83 
(International Labour  Tahun 1998 tentang Kebebasan
Organization) No. 87  Berserikat dan Perlindungan
Tahun 1948  Hak untuk Berorganisasi.
Konvensi ILO No. 105 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang 
No. 19 Tahun 1957   Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja 
  Paksa.
Konvensi ILO No. 111 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang 
Tahun 1958  No.21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi 
  dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Konvensi ILO No. 138 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang No. 20 
Tahun 1973   Tahun 1999 tentang Usia Minimum untuk 
  Diperbolehkan Bekerja.
Konvensi ILO No. 182 :   diratifikasi berdasar Undang-Undang No. 1 
Tahun 1999  Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan 
  Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan 
  Terburuk untuk Anak.
Konvensi ILO No. 88 :  diratifikasi berdasar Keppres No. 36 Tahun 
Tahun 1948  2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan 
  Tenaga Kerja. 
KY :  Komisi Yudisial
KUHP :  Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KUHAP :  Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
KKR :  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
La Declaration des droits de :  Penghapusan pemerintahan feodal dan 
I’homme et du Citoyen  penindasan terhadap hak asasi manusi tahun 
  .
Law is a command of :   Hukum dipandang sebagai perintah dari pihak 
the law gived  pemegang the law gived kekuasaan tertinggi. 
legal rights :   Hak asasi di bidang hukum 
L’Esprit Des Lois :  Buku Montesquieu tentang pembagian 
kekuasaan negara.
mensenrechten :   Hak asasi manusia  (dlm.  Bhs.  Belanda).
Marxisme :  Ajaran Karl Marx, dasar dari Komunisme.
MK :   Mahkamah Konstitusi
openness :  keterbukaan 
Piagam Magna Charta :   Piagam hak asasi manusia di Inggris  tahun .
Positivisme :  Faham yang menyatakan kebenaran itu 
harus bisa dibuktikan secara empiris.
personal rights :  hak asasi pribadi 
property rights :  hak asasi di bidang ekonomi 
political rights :  hak asasi di bidang politik 
parliamentary threshold :  syarat minimal untuk punya akil di parlemen
political wisdom :  kebijaksanaan politik
Peraturan Pemerintah :   tentang Pengelolaan Perkembangan
No. 27 Tahun 1994   Kependudukan
Power tends to  corrupt and :   Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan 
absolute power tends to  kekuasaan yang mutlak cenderung  untuk 
corrupt absolutely  korupsi secara mutlak pula.
Resfec for human right and  :  Penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
for fundamental freedom
Rights to development :  Hak untuk ikut serta dalam pembangunan.
Rechsstaat :  Negara hukum (Bhs.  Belanda)
rule of law :  Negara hukum (Bhs.  Inggris)
sollens kategori :  Hukum sebagai keharusan yang harus ditaati
social and cultural rights :  Hak asasi manusia di bidang sosial budaya 
solus populis suprema lex :   Suara rakyat yaitu  suara keadilan
sparation of power :   Pemisahan kekuasaan
The Universal Declaration :  Deklarasi hak asasi manusia PBB  tahun 1948.
of Human Rights
tuna daksa :  Penyandang cacat tubuh 
tuna netra :  Penyandang cacat netra 
tuna wicara/rungu :  Penyandang cacat bicara dan pendengaran
tuna daksa lara kronis :  Penyandang cacat bekas penderita penyakit 
kronis 
tuna grahita :  Penyandang cacat mental
tuna laras :  Penyandang cacat eks psikotik
Two Treatises on :  Buku John Locke  tentang ajaran pembagian 
261---
Civil Government   kekuasaan.
trias politica :  Kekuasaan pemerintahan dibagi jadi 3 yakni 
legislatif, eksekutif, dan yudikatif
UUPA :  Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang 
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 
GBHN :  Garis-Garis Besar Haluan Negara 
UU No. 39 Tahun 1999 :   tentang HAM
UU No. 6 Tahun 1974 : tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ke-
sejahteraan Sosial.
UU No. 13 Tahun 1992 :   tentang Perkeretaapian.
UU No. 14 Tahun 1992 :   tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
UU No. 21 Tahun 1992 :  tentang Pelayaran.
UU No. 23 Tahun 1992 :  tentang Kesehatan.
UU No. 10 Tahun 1995 :   tentang Kepabeanan.
UU No. 6 Tahun 1974 : tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 
  Kesejahteraan Sosial.
UU No. 28 Tahun 2002 :  tentang Bangunan Gedung.
UU No. 13 Tahun 2003 :  tentang Ketenagakerjaan.
UU No. 20 Tahun 2003 :  tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UU No. 12 Tahun 2003 :  tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, 
DPD dan DPRD.
UU No, 23 Tahun 2003 :   tentang Pemilu Presiden dan Wapres.
UU No. 5 Tahun 1999 : tentang Larangan Praktik Monopoli dan 
Persaingan Curang.
UU. No. 38 Tahun 1999 :   tentang Perlindungan Konsumen.
UU No. 4 Tahun 1996 :   tentang Hak Tanggungan.
262 ---
UU No. 4 Tahun 1998 :   tentang Kepailitan .
UU No. 42 tahun 1999 :   tentang Jaminan Fiducia (kebendaan).
Undang-Undang No. 5 : tentang Pengesahan Konvensi Menentang 
Tahun 1998   Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman 
  Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau 
  Merendahkan.
Undang-Undang :  tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat 
No. 9 Tahun 1998   di Muka Umum.
Undang-Undang :  tentang HAM.
No. 39 Tahun 1999
Undang-Undang :   tentang Pengadilan HAM.
No. 26 Tahun 2000
Undang-Undang : tentang Pengesahan Konvensi Mengenai 
No. 7 tahun 1984   Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  
  terhadap Wanita.
wetmatigheid vanbestuur :  pemerintahan berdasar peraturan